Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Disusun oleh :
Wulan Zumaroh Azmi G4A016026
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA POSITIF LESI LUAS KASUS PUTUS OBAT
Disusun oleh :
Pembimbing,
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Purwokerto Kidul Rt 02/09 Purwokerto Selatan
Tanggal masuk : 08 Juli 2017
Tanggal periksa : 09 Juli 2017
No. CM : 00627039
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan
Batuk, demam, keringat dingin,berat badan makin turun
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien
sejak satu minggu sebelum masuk RSMS. Sesak dirasakan sepanjang
hari terutama jika malam hari dan pada saat batuk muncul, sesak
dirasakan semakin memberat sejak satu hari sebelum masuk RSMS.
Saat sesak nafas, tidak terdengar bunyi mengi, dan sesak dirasakan
tidak dipengaruhi oleh posisi tidur miring kekanan ataupun kekiri.
Selain keluhan sesak, pasien mengeluhkan batuk berdahak, batuk
dirasakan terus menerus sepanjang hari, terutama memberat dimalam
hari, Dalam satu hari batuk timbul sekitar lebih dari 9 kali. Dahak yang
dikeluarkan pasien berwarna putih kekuningan, namun tidak bercampur
dengan darah. Pasien mengakui sering berkeringat pada malam hari,
nafsu makan berkurang, berat badan pasien menurun sebanyak 4 kg dan
sering merasa lemas.
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi, asma, kaki bengkak,
nyeri dada, mual, muntah, pasien mempunyai kebiasaan merokok, dan
pernah mengkonsumsi OAT mulai sekitar Maret 2017. Pasien mengakui
tidak teratur kontrol ke puskesmas terdekat dengan alasan pasien harus
berjualan, selain itu pasien mengakui jarang meminum obat, pasien
mengakui pernah tidak meminum obat sekitar 2-3 bulan dengan alasan
obat hilang. Pasien mengakui sudah tiga kali mondok di RSMS dengan
keluhan yang sama.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat mondok :2 kali di RSMS dengan keluhan
yang serupa.
c. Riwayat OAT :diakui pada Maret 2017 dibeerikan
OAT kategori 2 dari RSMS, namun hanya 2 minggu saja kemudian
berhenti karena pasien beralasan obat hilang, setelah itu pasien
tidak berobat lagi, dalam catatan pasien, pasien meminum OAT
kategori 1 dari RSMS.
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : diakui
i. Riwayat penyakit jantung : diakui
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar, eritema di seluruh lapang abdomen
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae
dextra, NT (-) dan lien tidak teraba.
9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
2. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen thoraks 06 juni 2017 (dilakukan di RSMS)
Hasil rontgen thoraks :
Tampak bercak infiltrat pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra.
Corakan bronkhovaskuler pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra tampak meningkat.
Cor dalam batas normal
b. Laboratorium
Darah Lengkap
Tanggal 08 juli 2017
Hb : 14.4 gr/dl N Normal : 14 18 gr/dl
Leukosit : 15650/ul H Normal : 4.800 10.800/ul
Hematokrit : 43 % N Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4,7 juta/ul N Normal : 4,7 6,1 juta/ul
Trombosit : 279.000/ul H Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 66,6 fL N Normal : 79 - 99 fL
MCH : 30,4 pg N Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 33,2 gr/dl N Normal : 33 37gr/dl
RDW : 14,5 % H Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 9,7 fL N Normal : 7,2 - 11,1 Fl
Hitung Jenis
Eosinofil : 0,6 % L Normal : 2 4 %
Basofil : 0,3 % N Normal : 0 1 %
Batang : 0,6 % L Normal : 2 5 %
Segmen : 83,8 % H Normal : 40 70%
Limfosit : 6,9 % L Normal : 25 - 40%
Monosit : 6,6 % H Normal : 2 8 %
Kimia Klinik
Ureum : 22,6 N Normal : 14,98-38,52 mg/dl
Kreatinin : 0,59 L Normal: 0,8-1,3 mg/dl
GDS : 52 N Normal : < 200 mg/dl
Natrium : 134 N Nnormal : 134-146 mmol/L
Kalium : 5.2 H Normal : 3.4-4,5 mmol/L
Klorida : 94 L Normal : 96-108 mmol/L
Kimia klinik
Tanggal 10 juli 2017
Albumin : 2,02 L Normal : 3.00-5.00 g/dL
SGOT : 26 N Normal: 13-27
SGPT : 31 L Normal : 16-63
Pewarnaan ZN 2x
BTA I : 3+ / positif 3
Leukosit : positif
Epitel : positif
IV. DIAGNOSIS
1. TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat
2. Sensitif Rifamppisin
3. Hipoalbumin
V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) Oksigen 3 liter/menit
2) IVFD RL 20 tpm
3) Inj. Ranitidin 2x50 mg
4) Inj. Ceftazidine 2x1
5) Po Ambroxol 3x1 tab
6) 4FDC 1X 3 tab
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit TB,
penyebab, penularan, pengobatan, efek samping obat dan
komplikasinya.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien tidak mambuang dahak di sembarang tempat.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan
juga pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi bakteriologis
- Sebelum pengobatan dimulai
- Satu minggu pada akhir bulan ke 2 pengobatan (setelah fase
intensif)
- Akhir bulan kelima pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran
1. Penegakan Diagnosis
TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat
a. Anamnesis
1) Pasien laki-laki berusia 63 tahun datang dengan keluhan utama sesak
nafas sejak 1 minggu sebelum masuk RSMS
2) Gejala penyerta : batuk berdahak, keringat pada malam hari, nafsu
makan berkurang, dan berat badan menurun.
3) Pasien sebelumnya pernah memiliki keluhan serupa dan pasien hanya
berobat selama 2 bulan kemudian berhenti.
4) Pasien mengatakan bahwa sebelunya pernah mengonsumsi obat TB
selama 2 bulan di, namun pasien tidak mengonsumsi obat lagi karena
obat hilang, dan pasien tidak berobat kembali ke RSMS maupun ke
Puskesmas. Pasien tersebut merupakan kasus putus obat (default)
karena mempunyai riwayat mengonsumsi OAT selama lebih dari 1
bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
5) Pasien sebelumnya memiliki riwayat mondok dengan keluhan serupa di
RSMS.
6) Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk, jendela rumah
tidak selalu dibuka, dan pasien memiliki pola makan yang tidak terlalu
baik (nutrisi kurang).
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 45 Kg
TB : 165 cm
BMI : 16,6 kg/m2 (Underweight).
2) Vital Sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 36,7 oC
3) Pemeriksaan Pulmo
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri dan
didapatkan ronkhi basah halus terutama di paru sebelah kanan dan
suara wheezing minimal di paru sebelah kanan.
c. Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 08 juli 2017 didapatkan
leukositosis. Pada pemeriksaan darah pasien tuberkulosis aktif maka
didapatkan jumlah leukosit yang meninggi, dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri.
Pemeriksaan mikrobiologi tanggal 10 juli 2017 (BTA) didapatkan
hasil 2+/3+. Pemeriksaan mikroskopis dengan bahan sputum biasa
menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen. Berdasarkan rekomendasi WHO,
interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International
Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Foto Thoraks AP tanggal 06 juni 2017
Pulmo: Tampak bercak infiltrat pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra.
Corakan bronkhovaskuler pada kedua lapang paru dextra dan paru sinistra
tampak meningkat.
Cor dalam batas normal.
c. Pindahan
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah
d. Drop out
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronik
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang
baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
3. Factor resiko
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
4. Patogenesis tuberkulosis
h. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa
bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi
mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu
sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
i. Tuberkulosis sekunder (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).
5. Penegakan diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada
atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama
adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat
tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan
ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak
dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu
negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan
batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada
seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering
didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat,
garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema (Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto
rontgen dada di bawah ini :
(Bahar, 2007)
Gambar 1
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
- Pemeriksaan bakteriologis
Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS
diulang.
a. Hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif.
b. Hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS
diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB,
ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif.
b. Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB.
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu
(SPS)
Gambar 2.
Alur Diagnosis TB paru
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria
pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya
positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
- Laboratorium Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan
kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
- Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin
hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami
infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes
RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes
tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bahar, 2007):
(Bahar, 2007)
Gambar 3
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,
2007):
A. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral paling menonjol.
B. Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol.
C. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran kedua antibodi seimbang.
D. Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik
serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili,
cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit
keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif
(Bahar, 2007).
4. Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).
5. Pengobatan Tuberkulosis Paru
a. Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan
hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi
diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua
OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang
hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas
sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih
bawah (Bahar & Amin, 2007).
b. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup
Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel .1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
(H) terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama
2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau
4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase
intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah
negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum
BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1
bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat
dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja
sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda
(MDR-TB).
d. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis
e. Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(Depkes RI, 2006) :
Tabel 4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel .6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 37 kg 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
DAFTAR PUSTAKA