Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

TB PARU BTA POSITIF LESI LUAS KASUS PUTUS OBAT

Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :
Wulan Zumaroh Azmi G4A016026

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA POSITIF LESI LUAS KASUS PUTUS OBAT

Disusun oleh :

Wulan Zumaroh Azmi G4A016026

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, Juli 2017

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Purwokerto Kidul Rt 02/09 Purwokerto Selatan
Tanggal masuk : 08 Juli 2017
Tanggal periksa : 09 Juli 2017
No. CM : 00627039

II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan
Batuk, demam, keringat dingin,berat badan makin turun
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien
sejak satu minggu sebelum masuk RSMS. Sesak dirasakan sepanjang
hari terutama jika malam hari dan pada saat batuk muncul, sesak
dirasakan semakin memberat sejak satu hari sebelum masuk RSMS.
Saat sesak nafas, tidak terdengar bunyi mengi, dan sesak dirasakan
tidak dipengaruhi oleh posisi tidur miring kekanan ataupun kekiri.
Selain keluhan sesak, pasien mengeluhkan batuk berdahak, batuk
dirasakan terus menerus sepanjang hari, terutama memberat dimalam
hari, Dalam satu hari batuk timbul sekitar lebih dari 9 kali. Dahak yang
dikeluarkan pasien berwarna putih kekuningan, namun tidak bercampur
dengan darah. Pasien mengakui sering berkeringat pada malam hari,
nafsu makan berkurang, berat badan pasien menurun sebanyak 4 kg dan
sering merasa lemas.
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi, asma, kaki bengkak,
nyeri dada, mual, muntah, pasien mempunyai kebiasaan merokok, dan
pernah mengkonsumsi OAT mulai sekitar Maret 2017. Pasien mengakui
tidak teratur kontrol ke puskesmas terdekat dengan alasan pasien harus
berjualan, selain itu pasien mengakui jarang meminum obat, pasien
mengakui pernah tidak meminum obat sekitar 2-3 bulan dengan alasan
obat hilang. Pasien mengakui sudah tiga kali mondok di RSMS dengan
keluhan yang sama.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat mondok :2 kali di RSMS dengan keluhan
yang serupa.
c. Riwayat OAT :diakui pada Maret 2017 dibeerikan
OAT kategori 2 dari RSMS, namun hanya 2 minggu saja kemudian
berhenti karena pasien beralasan obat hilang, setelah itu pasien
tidak berobat lagi, dalam catatan pasien, pasien meminum OAT
kategori 1 dari RSMS.
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : diakui
i. Riwayat penyakit jantung : diakui
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk. Rumah
satu dengan yang lain berjarak sekitar 70 meter. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Di lingkungan
rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien.
b. Home
Pasien tinggal di rumah dengan ukuran 9 x 8 meter dengan lantai
menggunakan keramik dengan 4 kamar. Pasien tinggal bertujuh
bersama istri, 4 orang anak, dan kedua orang cucunya. Kamar
pasien berukuran 3 x 3 meter. Pasien tidur berdua dengan istri
pasien, terkadang tidur bersama cucunya. Tembok rumah pasien
terbuat dari batu bata. Jendela pada rumah pasien cukup banyak dan
tidak selalu dibuka setiap pagi hari. Pencahayaan rumah pasien
cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang pedagang dengan penghasilan yang sedang. .
Pembiayaan kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh pasien sendiri.
d. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi sebagai
sumber karbohidrat utama, sayur dan lauk daging, ikan, atau telur
sesekali. Sebelum sakit pasien memiliki kebiasaan merokok sejak
usia 26 tahun. Pasien terkadang membuang dahak sembarangan
baik saat berjualan maupun di sekitar rumah.
III. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : tampak sesak
b. Kesadaran : compos mentis, GCS = E4M6V5
c. BB : 43 kg
d. TB : 165 cm
e. Vital sign
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 120 x/menit
- RR : 28 x/menit
- Suhu : 36,7 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : mesochepal, simetris
- Rambut : warna hitam keputihan, distribusi
merata, tidak rontok
2) Mata
- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor,
diameter 2 mm/ 2mm
- Exopthalmus : (-/-)
- Lapang pandang : tidak ada kelainan
- Lensa : keruh (-/-)
- Gerak mata : normal
- Tekanan bola mata : nomal
- Nistagmus : (-/-)
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- terpasang NK
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar
- JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri
dan didapatkan ronkhi basah kasar terutama di paru
sebelah kanan dan wheezing minimal di paru sebelah
kanan.

b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
tidak kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar, eritema di seluruh lapang abdomen
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi : hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae
dextra, NT (-) dan lien tidak teraba.

9) Ekstrimitas
- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)

2. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen thoraks 06 juni 2017 (dilakukan di RSMS)
Hasil rontgen thoraks :
Tampak bercak infiltrat pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra.
Corakan bronkhovaskuler pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra tampak meningkat.
Cor dalam batas normal
b. Laboratorium
Darah Lengkap
Tanggal 08 juli 2017
Hb : 14.4 gr/dl N Normal : 14 18 gr/dl
Leukosit : 15650/ul H Normal : 4.800 10.800/ul
Hematokrit : 43 % N Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4,7 juta/ul N Normal : 4,7 6,1 juta/ul
Trombosit : 279.000/ul H Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 66,6 fL N Normal : 79 - 99 fL
MCH : 30,4 pg N Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 33,2 gr/dl N Normal : 33 37gr/dl
RDW : 14,5 % H Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 9,7 fL N Normal : 7,2 - 11,1 Fl

Hitung Jenis
Eosinofil : 0,6 % L Normal : 2 4 %
Basofil : 0,3 % N Normal : 0 1 %
Batang : 0,6 % L Normal : 2 5 %
Segmen : 83,8 % H Normal : 40 70%
Limfosit : 6,9 % L Normal : 25 - 40%
Monosit : 6,6 % H Normal : 2 8 %

Kimia Klinik
Ureum : 22,6 N Normal : 14,98-38,52 mg/dl
Kreatinin : 0,59 L Normal: 0,8-1,3 mg/dl
GDS : 52 N Normal : < 200 mg/dl
Natrium : 134 N Nnormal : 134-146 mmol/L
Kalium : 5.2 H Normal : 3.4-4,5 mmol/L
Klorida : 94 L Normal : 96-108 mmol/L
Kimia klinik
Tanggal 10 juli 2017
Albumin : 2,02 L Normal : 3.00-5.00 g/dL
SGOT : 26 N Normal: 13-27
SGPT : 31 L Normal : 16-63

Mikrobiologi 10 Juli 2017


Pewarnaan ZN 1x
BTA I : 2+ / positif 2
Leukosit : positif
Epitel : positif

Pewarnaan ZN 2x
BTA I : 3+ / positif 3
Leukosit : positif
Epitel : positif

IV. DIAGNOSIS
1. TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat
2. Sensitif Rifamppisin
3. Hipoalbumin
V. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) Oksigen 3 liter/menit
2) IVFD RL 20 tpm
3) Inj. Ranitidin 2x50 mg
4) Inj. Ceftazidine 2x1
5) Po Ambroxol 3x1 tab
6) 4FDC 1X 3 tab
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit TB,
penyebab, penularan, pengobatan, efek samping obat dan
komplikasinya.
2) Edukasi mengenai kebersihan lingkungan rumah, seperti buka
ventilasi setiap hari agar sinar matahari dan udara masuk juga
edukasi untuk selalu membersihkan rumahnya dan edukasi agar
pasien tidak mambuang dahak di sembarang tempat.
3) Makan makanan yang bergizi
4) Screening pada anggota keluarga yang lain apabila ada yang
mengalami gejala yang sama dan untuk tindakan pencegahan
juga pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu sampai akhir bulan kedua
pengobatan, selanjutnya tiap 1 bulan mulai bulan ketiga.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
d. Evaluasi bakteriologis
- Sebelum pengobatan dimulai
- Satu minggu pada akhir bulan ke 2 pengobatan (setelah fase
intensif)
- Akhir bulan kelima pengobatan
- Pada akhir pengobatan
e. Evaluasi radiologi
- Sebelum pengobatan
- Pada akhir pengobatan
f. Evaluasi efek samping
- Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin)
- Periksa fungsi ginjal ( ureum, kreatinin)
- Periksa GDS, G2PP, asam urat
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran

g. Evaluasi keteraturan obat


Penyuluhan atau pendidikan mengenai keteraturan minum obat dan
kontrol. Penyuluhan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungan sekitarnya.
3. Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
a. Kepatuhan minum obat
b. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
c. Umur penderita
d. Penyakit yang menyertai
e. Resistensi obat

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN

1. Penegakan Diagnosis
TB paru BTA (+) lesi luas kasus putus obat
a. Anamnesis
1) Pasien laki-laki berusia 63 tahun datang dengan keluhan utama sesak
nafas sejak 1 minggu sebelum masuk RSMS
2) Gejala penyerta : batuk berdahak, keringat pada malam hari, nafsu
makan berkurang, dan berat badan menurun.
3) Pasien sebelumnya pernah memiliki keluhan serupa dan pasien hanya
berobat selama 2 bulan kemudian berhenti.
4) Pasien mengatakan bahwa sebelunya pernah mengonsumsi obat TB
selama 2 bulan di, namun pasien tidak mengonsumsi obat lagi karena
obat hilang, dan pasien tidak berobat kembali ke RSMS maupun ke
Puskesmas. Pasien tersebut merupakan kasus putus obat (default)
karena mempunyai riwayat mengonsumsi OAT selama lebih dari 1
bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
5) Pasien sebelumnya memiliki riwayat mondok dengan keluhan serupa di
RSMS.
6) Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk, jendela rumah
tidak selalu dibuka, dan pasien memiliki pola makan yang tidak terlalu
baik (nutrisi kurang).
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 45 Kg
TB : 165 cm
BMI : 16,6 kg/m2 (Underweight).
2) Vital Sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 36,7 oC
3) Pemeriksaan Pulmo
- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri dan
didapatkan ronkhi basah halus terutama di paru sebelah kanan dan
suara wheezing minimal di paru sebelah kanan.
c. Pemeriksaaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 08 juli 2017 didapatkan
leukositosis. Pada pemeriksaan darah pasien tuberkulosis aktif maka
didapatkan jumlah leukosit yang meninggi, dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri.
Pemeriksaan mikrobiologi tanggal 10 juli 2017 (BTA) didapatkan
hasil 2+/3+. Pemeriksaan mikroskopis dengan bahan sputum biasa
menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen. Berdasarkan rekomendasi WHO,
interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International
Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Foto Thoraks AP tanggal 06 juni 2017
Pulmo: Tampak bercak infiltrat pada kedua lapang paru dextra dan paru
sinistra.
Corakan bronkhovaskuler pada kedua lapang paru dextra dan paru sinistra
tampak meningkat.
Cor dalam batas normal.

2. Tindak Lanjut Penanganan Pasien


Pasien seharusnya mendapat terapi OAT kategori II ( 2RHZES/RHZE/
5R3H3E3) karena pasien termasuk dalam tipe BTA (+) kasus putus obat.
Pasien sudah pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya selama 2
bulan namun kemudian berhenti, pemeriksaan BTA (2+/3+) serta gambaran
foto thorax menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip dari pengobatan
OAT adalah harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis sesuai dengan kategori pengobatan.
Pasien dan keluarga harus diedukasi dan diawasi mengenai efek
samping obat selama pasien menjalani pengobatan. Pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal sejak awal
pengobatan harus diperhatikan untuk digunakan sebagai data dasar melihat
penyakit penyerta dan efek samping obat.
Efek samping dari isoniazid yang sering terjadi seperti kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot akibat sehingga biasanya dapat berkurang
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Efek samping dari rifampisin yaitu dapat terjadi
sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang, gatal-gatal pada kulit
dan sindrom perut serta dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
pasien dan keluarga agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir. Efek
samping lain seperti penurunan fungsi hati diakibatkan pirazinamid,
penurunan visus diakibatkan etambutol, serta kerusakan saraf kedelapan yang
diakibatkan oleh streptomisin.
Evaluasi dan monitoring harus dilakukan. Evaluasi klinis yang perlu
dilakukan meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik. Evaluasi
bakteriologis sputum (BTA) bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya
konversi dahak. Pemeriksaan BTA dilakukan selama 3 kali, yaitu pada akhir
bulan ke tiga, pada satu bulan sebelum pengobatan berakhir dan pada akhir
pengobatan. Karena pasien ini mendapatkan terapi OAT pada tanggal 11 Juli
2017 maka dilakukan pemeriksaan BTA kembali pada tanggal 11 Oktober
2017 (akhir bulan ke tiga), kemudian satu bulan sebelum pengobatan terakhir
yaitu pada tanggal 11 Februari 2018 dan pada akhir pengobatan 11 Maret
2017.
Selain itu, riwayat pasien yang susah ketika diminta untuk minum
OAT maka harus dilakukan evaluasi keteraturan berobat dan
diminum/tidaknya obat tersebut, karena ketidakteraturan dalam pengobatan
akan menyebabkan timbulnya resistensi. Oleh sebab itu, sangat penting
dilakukannya penyuluhan atau pendidikan yang diberikan kepada pasien,
keluarga dan lingkunganya mengenai penyakit dan keteraturan obat.
Dalam menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
Pengawas Minum Obat (PMO) mengingat pasien ini sebelumnya pernah
mengalami putus obat. Syarat-syarat PMO, yaitu:
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
pasien.
b. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien. Sebaiknya PMO yang diutamakan adalah petugas kesehatan,
misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan
lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO
dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh
masyarakat lainnya.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO
memiliki beberapa tugas penting yaitu:
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan (6-9 bulan)
b. Memberi dorongan dan semangat kepada pasien
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
d. Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit
TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
a. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
b. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke pelayanan kesehatan.
Multy Drug Resisten (MDR)
Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidensi TB-MDR meningkat
secara bertahap merata 2% pertahun. Enam negara dengan kekerapan TB-
MDR tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia,
bagian federasi Rusia, dan Uzbekistan. Indonesia menduduki ranking ke-
8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi dan prioritas
kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini menyumbang
85% dari beban TB-MDR global (Nawas, 2010).
Multi Drug Resistance (MDR) atau resistensi ganda menunjukkan
M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa
OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi
menjadi 3, yaitu (PDPI, 2006):
1. Resistensi primer adalah apabila penderita sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan TB.Resistensi inisial adalah apabila tidak diketahui
pasti apakah penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan
sebelumnya atau tidak.
2. Resistensi sekunder adalah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
Pada kasus ini, jika hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
menunjukkan resistensi terhadap OAT maka pasien dapat dikategorikan
dalam resistensi sekunder karena sebelumnya mempunyai riwayat
pengobatan OAT selama 4 bulan 10 hari dan belum dinyatakan sembuh.
Berdasarkan guideline the programmatic management of drug
resistant tuberculosis:emergency update oleh WHO (2008) resistensi oleh
OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya pertumbuhan M.tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih
OAT. Empat jenis kategori resistensi terhadap OAT ditampilkan dalam
tabel dibawah ini.
Tabel 1. Kategori Resistensi OAT
JENIS RESISTEN DEFINISI

Poli resisten Resisten terhadap lebih dari


satu OAT lini pertama selain
kombinasi isoniazid dan
rifampisin (INH dan
rifampisisn tidak bersamaan).
Multi Drug Resistant (MDR) Resisten terhadap sekurang-
kurangnya INH dan
rifampisin.
Extensively Drug Resistant TB-MDR ditambah
(XDR) kekebalan terhadap satu obat
golongan fluorokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari
OAT injeksi lini kedua
(kanamisin, amikasin, dan
kapreomisin).
Total Drug Resistant (TDR) Resisten baik dengan lini
pertama maupun lini kedua.
Pada kondisi ini tidak ada
lagi obat yang bisa dipakai.

1.Faktor Penyebab Resistensi OAT


TB resistensi obat sebenarnya merupakan suatu fenomena buatan manusia,
sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan
terjadinya penularan dari pasien TB MDR ke orang lain. Ada beberapa penyebab
terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu (PDPI, 2006):
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH
saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah
cukup tinggi.
c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter
dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi,
demikian seterusnya.
d. Fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat
yang resisten.
e. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat.
f. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
g. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan
kejemuan.
h. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB.
2. Diagnosis Tb-MDR
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Menurut
standar ISTC tahun 2009, penilaian kemungkinan resistensi obat dilakukan
pada pasien dengan risiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan, pajanan
kasus resisten dan prevalensi resistensi obat di masyarakat. Semua suspek TB-
MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan
uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.tuberculosis yang resisten
minimal terhadap rifampisin dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-
MDR.
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah (Soepandi, 2006):
1. Kasus kronik atau gagal pengobatan kategori 2.
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak positif setelah sisipan
dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB putus obat pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2.
8. Kontak erat dengan pasien konfirm TB-MDR
9. TB-HIV
Adanya riwayat lalai atau putus obat setelah 4 bulan 10 hari pada pasien
dalam kasus ini menjadikan pasien dicurigai kemungkinan TB MDR.
3. Pengobatan TB-MDR
Kriteria utama klasifikasi OAT untuk MDR dibedakan berdasarkan data
biologikal dibagi menjadi 3 kelompok (PDPI, 2006):
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam.
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon.
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS.
Berdasarkan standar 12 dari International Standards For
Tuberculosis Care (ISTC) tahun 2009, dinyatakan:
a. Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR TB)
seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung OAT
lini kedua.
b. Pemilihan regimen obat dapat menggunakan regimen standar atau
berdasarkan suspected atau confirmed DST.
c. Paling tidak harus digunakan 4 obat yang masih efektif dan pengobatan
harus diberikan setidaknya 18-24 bulan.
d. Cara-cara yang berpihak kepada pasien termasuk observasi pengobatan
disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
e. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDR TB harus dilakukan.
Pada strategi pengobatan standar setiap pasien akan mendapatkan
regimen pengobatan yang sama. Regimen standar ini disusun menggunakan
data Drug Resistantcy Survey (DRS) dari populasi yang representatif
digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil
uji kepekaan individual. Regimen standar MDR TB di Indonesia adalah 6Z-
(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs. Dengan penjabaran fase inisial
selama 6 bulan menggunakan 5 atau 6 jenis obat, dan dilanjutkan dengan
18 bulan menggunakan 4 atau 5 jenis obat (Z: pirazinamid, Kn:Kanamisisn,
Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin).
Fase pengobatan pada MDR TB terdiri dari fase intensif dan fase
lanjutan. Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat
injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan setidaknya 6 bulan
atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Sementara fase lanjutan adalah
fase setelah injeksi dihentikan, yang berlangsung minimal 18 bulan setelah
konversi biakan (PDPI, 2006).
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik
TB seperti batuk berdahak, demam, dan BB menurun, umumnya membaik
dalam beberapa bulan pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah
konversi dahak dan biakan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap
bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi
pada pasien TB MDR antara lain (Nawas, 2010):
1. Penilaian klinis termasuk berat badan.
2. Penilaian segera bila ada efek samping.
3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada
fase lanjutan.
4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan.
5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan.
6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan
(kanamisin dan kapreomisin).
7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.
Deteksi dini melalui screening terhadap orang yang beresiko tertular
juga penting dilakukan. Kemungkinan penularan bakteri tuberkulosis lebih
cepat dengan keadaan rumah yang mendukung seperti lembab, matahari tidak
masuk, ventilasi yang tidak memadai. Kemungkinan penularan pada keluarga
pasien sangat besar sehingga perlu dilakukan skrining TB paru terhadap
keluarga pasien yang tinggal serumah dan kontak erat dengan pasien.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Depkes RI, 2006).
2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, yaitu (Depkes RI, 2006):
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah
d. Drop out
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronik
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang
baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
3. Factor resiko
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
4. Patogenesis tuberkulosis
h. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon
daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman
persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa
bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi
mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu
sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
i. Tuberkulosis sekunder (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).
5. Penegakan diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada
atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama
adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat
tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan
ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak
dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu
negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada
awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan
batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut
tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada
seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering
didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat,
garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema (Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto
rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)
Gambar 1
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

- Pemeriksaan bakteriologis
Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS
diulang.
a. Hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif.
b. Hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS
diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB,
ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif.
b. Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),


sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu
(SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ +-- ---
++-

Periksa Rontgen Beri Antibiotik


Dada Spektrum Luas

Hasil Hasil Tidak


Mendukung Mendukung Tidak Ada
TB BTA Ada
Bukan
TB TB Perbaikan Perbaikan
Negatif
Hasil TBC,
Penderita Hasil BTA Mendukun Hasil BTA
Tuberkulosis BTA +++
Rontgen Penyakit
g TB ---
Positif + +Ulangi
- Positif
Periksa Rontgen Lain
PeriksaDahak Dada
Hasil
Rontgen
Negatif

Gambar 2.
Alur Diagnosis TB paru
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria
pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya
positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
- Laboratorium Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai
turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan
kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
- Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin
hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami
infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes
RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah
reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes
tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)
Gambar 3
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,
2007):
A. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di
sini peran antibodi humoral paling menonjol.
B. Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol.
C. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran kedua antibodi seimbang.
D. Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada
pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada
pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik
serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili,
cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit
keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif
(Bahar, 2007).
4. Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).
5. Pengobatan Tuberkulosis Paru
a. Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan
hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi
diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua
OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang
hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas
sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih
bawah (Bahar & Amin, 2007).
b. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup
Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel .1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
(H) terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-
(R) dormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


(Z) berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan
pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol bakteriostatik -
(E)
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
c. Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar &
Amin, 2007) :
Tabel 2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori Paduan pengobatan TB alternatif
Fase awal Fase lanjutan
pengobatan Pasien TB
(setiap hari / 3 x
TB
seminggu)
I Kasus baru TB paru 2 EHRZ 6 HE
dahak positif; kasus baru (SHRZ) 4 HR
TB paru dahak negatif 2 EHRZ 4 H 3 R3
dengan kelainan luas di (SHRZ)
paru; kasus baru TB 2 EHRZ
ekstra-pulmonal berat (SHRZ)
II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3
pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah 2 SHRZE / 1
terputus HRZE

III Kasus baru TB paru 2 HRZ atau 6 HE


dahak negatif (selain 2H3R3Z3
dari kategori I); kasus 2 HRZ atau 2 HR/4H
baru TB ekstra- 2H3R3Z3
pulmonal yang tidak 2 HRZ atau 2 H3R3/4H
berat 2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak TIDAK DIPERGUNAKAN
masih positif setelah (merujuk ke penuntun WHO
menjalankan pengobatan guna pemakaian obat lini kedua
ulang) yang diawasi pada pusat-pusat
spesialis)
(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama
2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau
4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase
intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah
negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum
BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1
bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat
dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya
harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja
sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda
(MDR-TB).

d. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis

Isoniazid (H) harian : 5mg/kg BB


intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB
Pirazinamid (Z) harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S) harian = intermiten : 15 mg/kgBB
usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E) harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

e. Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya
(jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini
dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan
OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(Depkes RI, 2006) :
Tabel 4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu
badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol
(Depkes RI, 2006)
Tabel .6 Dosis OAT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 37 kg 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

f. Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit
sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat
diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat
mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat
diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien,
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan
Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII
demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
BAB V
KESIMPULAN

1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakan diagnosis penyakit TB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Klasifikasi penyakit TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak terbagi
menjadi BTA (+) dan (-), sedangkan berdasarkan tipe pasien dibedakan
menjadi kasus baru, kambuh, drop out, gagal, kronik, dan bekas TB. Pada
pasien ini, BTA (+) kasus putus obat (drop out).
4. Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis yang terbagi menjadi
dua fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan, selain itu dapat diberikan
kombinasi/FDC atau secara tunggal dengan dosis dan waktu minum yang
berbeda.
5. Monitoring dan evaluasi selama pengobatan TB yaitu dari keadaan klinis,
sputum bakteriologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan
6. Efek samping dari obat-obatan TB harus dievaluasi serta diedukasikan
kepada pasien dan keluarga agar mengerti dan tidak khawatir.
7. Keberhasilan pengobatan TB tergantung pada kepatuhan minum obat dan
penyakit yang menyertai.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-
1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman NasionaL
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses
pada 11 JULI 2017.

Anda mungkin juga menyukai