Skripsi Hubungan Gaya Hidup Dan Kepribadian Dengan Hipertensi
Skripsi Hubungan Gaya Hidup Dan Kepribadian Dengan Hipertensi
KABUPATEN MAJALENGKA
TAHUN 2012
SKRIPSI
Disusun Oleh:
RINI NURAISA
A.08.042
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
MAJALENGKA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak semua orang yang perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Hidup
dengan sehat merupakan suatu kebutuhan yang penting dari kondisi secara fisik mapun psikis yang
memungkinkan seseorang hidup lebih produktif. Untuk itu perlu dilakukan upaya mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat yaitu dengan meningkatkan kesadaran hidup sehat, upaya
pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pengobatan yang dilakukan sesuai dengan anjuran
petugas kesehatan yang profesional.
Menurunya derajat kesehatan masyarakat dalam rangka kegiatan Perawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) diakibatkan oleh meningkatnya angka kesakitan pada keluarga sasaran khususnya keluarga
rawan, keluarga yang rentan terhadap masalah kesehatan. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa
faktor antara lain meningkatnya suatu penyakit di masyarakat, kurangnya kegiatan perawatan kesehatan
masyarakat oleh petugas, kurang akuratnya data yang tersedia dan lingkungan yang tidak sehat dan
bersih. 1
Dewasa ini, penyakit degeneratif yang banyak terjadi di masyarakat dan mempunyai tingkat mortalitas
yang cukup tinggi serta mempengaruhi kualitas hidup dan produktifitas seseorang salah satunya adalah
penyakit hipertensi. Menurut Marliani (2007) bahwa hipertensi atau tekananan darah tinggi merupakan
gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai
normal, yaitu melebihi 140 / 90 mmHg. Prevalensi hipertensi di dunia pada tahun 2006 menurut WHO di
seluruh dunia terdapat 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi mengalami kejadian hipertensi. Angka
ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333
juta berada di negara maju dan 639 juta sisanya berada di negara sedang berkembang, temasuk
Indonesia (Andra, 2007).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2007 prevalensi hipertensi di Indonesia
mencapai 31,7% dari total jumlah penduduk dewasa. Hipertensi merupakan penyebab kematian utama
ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberkulosis (7,5%). Prevalensi
hipertensi di Jawa dan Sumatera memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional. Angka
kejadian hipertensi di Indonesia paling banyak terjadi di daerah Jawa Barat yaitu mencapai 47,8%
(Departemen Kesehatan RI, 2009).
Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti.
Namun menurut Yogiantoro (2006) bahwa hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi dan sisanya hipertensi sekunder yaitu tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat
diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks
adrenal, pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid, dan lain-lain.
Kejadian hipertensi dengan bertambahnya usia selalu mengalami peningkatkan sehingga perlu
diwaspadai dan ditangani dengan tepat karena risikonya yang dapat menyebabkan kematian. Menurut
Sustrani (2006) hipertensi mengakibatkan jantung bekerja lebih keras sehingga proses perusakan dinding
pembuluh darah berlangsung dengan lebih cepat. Hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung dua
kali dan meningkatkan resiko stroke delapan kali dibanding dengan orang yang tidak mengalami
hipertensi. Selain itu hipertensi juga menyebabkan terjadinya payah jantung, gangguan pada ginjal dan
kebutaan serta yang paling parah adalah efek jangka panjangnya yang berupa kematian mendadak.
Menurut Crea (2008) menyatakan bahwa pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang
yang berusia 45 tahun ke atas namun pada saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang
berusia muda. Beberapa hal yang dapat memicu penyakit hipertensi adalah ketegangan, kekhawatiran,
status sosial, kebisingan, gangguan dan kegelisahan. Pengendalian pengaruh dan emosi negatif tersebut
tergantung juga pada kepribadian masing-masing individu. Hipertensi dapat dipengaruhi oleh gaya
hidup (merokok, minum kopi, minum alkohol, olah raga) dan juga kepribadian.
Gaya hidup dan kepribadian merupakan faktor yang sangat penting untuk dikaji karena kedua faktor
tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat yang pada akhirnya akan tercapai
atau tidaknya derajat kesehatan masyarakat tersebut. Menurut Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa
derajat kesehatan masyarakat berkaitan dengan status kesehatan masyarakat ini dapat diukur dari
beberapa aspek salah satunya adalah dari segi health behaviour. Health behaviour merupakan perilaku
nyata dari anggota masyarakat yang secara langsung berkaitan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri.
Artinya bahwa penyakit hipertensi yang berkembang di masyarakat ini dapat disebabkan oleh perilaku
masyarakat itu sendiri dalam hal ini adalah gaya hidup dan kepribadian masyarakat.
Berdasarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2011 kejadian hipertensi yaitu 45.187
kejadian terdiri dari 41.981 (92,9%) hipertensi primer dan 3.206 (7,1%) hipertensi sekunder. Sementara
kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka dari tahun ke tahun pun mengalami
peningkatan. Jumlah pasien baru hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka menunjukan
kenaikan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 tercatat terdapat 1.671 kasus hipertensi, sedangkan pada
tahun 2010 kejadian hipertensi meningkat menjadi 2.632 kasus dan pada tahun 2011 terjadi lagi
peningkatan kasus hipertensi menjadi 3.412 kasus. Peningkatan kasus hipertensi yang terjadi di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Majalengka ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari petugas kesehatan
dan apabila dibandingkan dengan puskesmas lainnya angka kejadian hipertensi ini lebih tinggi salah
satunya dengan UPTD Puskesmas Panyingkiran yaitu sebesar 3.006 kejadian.
Tingginya kejadian hipertensi di tengah-tengah masyarakat perlu dikaji secara mendalam dan diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini akan berkontribusi positif bagi keperawatan komunitas
dalam menggali dan mengetahui fenomena perilaku masyarakat yang secara langsung berdampak pada
meningkatnya kejadian hipertensi. Pentingnya kajian mengenai hipertensi ini maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang Hubungan gaya hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan pada tahun 2009 tercatat sejumlah 1.671 kasus, tahun 2010 sejumlah 2.632 kasus dan
tahun 2011 sejumlah 3.412 kasus. Bila dibandingkan dengan Puskesmas Panyingkiran maka angka
kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka lebih tinggi. Peningkatan tersebut
diduga timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor. Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi
pertanyaan dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan antara gaya hidup dan kepribadian
dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012?.
Pada penelitian ini dibatasi pada faktor gaya hidup dan kepribadian, serta hubungan antara kedua faktor
tersebut dengan kejadian hipertensi. Subjek penelitian ini adalah penduduk di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli tahun 2012. Alasan penelitian ini
dilakukan karena kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka dari tahun ke tahun
selalu mengalami peningkatan. Jenis penelitian ini akan menggunakan desain analitik kuantitatif dengan
pendekatan case control.
Diketahuinya hubungan antara gaya hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
2) Diketahuinya gambaran gaya hidup di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten
Majalengka Tahun 2012.
4) Diketahuinya hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
5) Diketahuinya hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan masukan mengenai perilaku kesehatan
masyarakat khususnya gaya hidup dan kepribadian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka
sehingga menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk
mencegah hipertensi melalui perilaku hidup sehat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan mengenai kebiasaan-
kebiasaan masyarakat yang dapat menimbulkan penyakit hipertensi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan ilmiah yang bermanfaat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya tentang penyakit hipertensi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan tentang penyakit hipertensi dan
faktor-faktor yang menjadi penyebabnya serta menambah pengalaman dalam melakukan penelitian di
lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
Beberapa definisi tentang hipertensi telah diungkapkan oleh beberapa ahli atau penulis buku tentang
hipertensi diantaranya menurut Marliani (20070 menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi
merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di
atas nilai normal, yaitu melebihi 140 / 90 mmHg. Menurut Crea (2008) hipertensi adalah istilah medis
untuk penyakit tekanan darah tinggi dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
banyak diderita di dunia termasuk di Indonesia. Hipertensi termasuk penyakit umum, tanpa disertai
gejala khusus dan biasanya dapat ditangani secara mudah, namun bila dibiarkan tanpa penanganan
dapat menyebabkan bebagai komplikasi yang lebih parah berupa penyakit jantung dan pembuluh darah
seperti aterosklerosis, infark miokard, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal dan kematian dini. 8
Menurut Shanty (2011) menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah penyakit yang
umum terjadi dalam masyarakat kita. Keadaan itu terjadi jika tekanan darah pada arteri utama didalam
tubuh terlalu tinggi. Hipertensi kini semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia. Berdasarkan
beberapa pengertian hipertensi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah salah satu
penyakit yang biasanya gangguan terjadi pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan
kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140 / 90 mmHg
2.1.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder yaitu sebagai
berikut (Setiawati dan Bustami, 2005):
1) Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah hipertensi yang tidak jelas
etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama
pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah
mulitifaktor, terdiri dari factor genetic dan lingkungan. Factor keturunan bersifat poligenik dan terlihat
dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetic ini dapat berupa
sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap
vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis, dan obesitas.
2) Hipertensi sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi
ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin),
obat, dan lain-lain. Hipertensi renal dapat berupa:
a. Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat lesi pada arteri ginjal sehingga menyebabkan
hipoperfusi ginjal.
b. Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Sementara menurut Sutanto (2009), penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah
terjadinya perubahan-perubahan pada :
3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,
kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah
perifer untuk oksigenasi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And
The Treatment Of High Blood Pressure), yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat. Data
terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata
dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong pembuatan
klasifikasi baru pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi dimana tekanan darah sistol pada kisaran 120-
139 mmHg, dan tekanan darah diastole pada kisaran 80-89 mmHg. Hipertensi level 2 dan 3 disatukan
menjadi level 2. Tujuan dari klasifikasi JNC 7 adalah untuk mengidentifikasi individu-individu yang dengan
penanganan awal berupa perubahan gaya hidup, dapat membantu menurunkan tekanan darahnya ke
level hipertensi yang sesuai dengan usia.
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah Sistol (mmHg) Tekanan darah Diastol (mmHg)
Optimal
Normal
< 130
< 85
85 89
140 149 90 99
90 94
< 90
Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada januari 2007 meluncurkan pedoman penanganan hipertensi di
Indonesia, yang diambil dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga. Dan klasifikasi hipertensi
ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolic dengan merujuk hasil JNC 7 dan
WHO yaitu sebagai berikut:
Kategori tekanan darah Tekanan darah Sistol (mmHg) Tekanan darah Diastol (mmHg)
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling berhubungan terlibat dalam
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit
ginjal atau korteks adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab utama peningkatan tekanan darah
(hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang jelas pada pasien penderita
hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi turut berperan aktif pada tekanan darah normal dan
yang terganggu. Hal ini mungkin berperan penting pada perkembangan penyakit hipertensi esensial.
Terdapat banyak faktor yang saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien
hipertensi (Crea, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada
medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda
spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu
dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Crea, 2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi
kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra
vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural dan fungsional pada system
pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam
relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan
penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus. Menurut
Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara lain yaitu :
2) Sering gelisah
3) Wajah merah
5) Mudah marah
6) Telinga berdengung
7) Sukar tidur
8) Sesak napas
Menurut Crea (2008) gejala hipertensi adalah sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk, sulit tidur
dan gelisah atau cemas dan kepala pusing, dada berdebar-debar dan lemas, sesak nafas, berkeringat,
dan pusing.
Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit diantaranya adalah stroke
hemorragik, penyakit jantung hipertensi, penyakit arteri koronaria anuerisma, gagal ginjal, dan
ensefalopati hipertensi (Shanty, 2011).
1) Stroke
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena berkurangnya atau terhentinya suplai
darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi.
Kadang pula stroke disebut dengan CVA (cerebrovascular accident). Hipertensi menyebabkan tekanan
yang lebih besar pada dinding pembuluh darah, sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan
pembuluh darah rentan pecah. Namun demikian, hemorrhagic stroke juga dapat terjadi pada bukan
penderita hipertensi. Pada kasus seperti ini biasanya pembuluh darah pecah karena lonjakan tekanan
darah yang terjadi secara tiba-tiba karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan atau faktor
emosional. Pecahnya pembuluh darah di suatu tempat di otak dapat menyebabkan sel-sel otak yang
seharusnya mendapat pasokan oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh darah tersebut
menjadi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang tersembur dari pembuluh darah yang pecah
tersebut juga dapat merusak sel-sel otak yang berada disekitarnya.
2) Penyakit Jantung
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel
kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan
oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan
beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. Disamping itu juga
secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan
arteriosclerosis.
Hipertensi umumnya diakui sebagai faktor resiko utama penyakit arteri koronaria, bersama dengan
diabetes mellitus. Plak terbentuk pada percabangan arteri yang ke arah aterikoronaria kiri, arteri
koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirromflex. Aliran darah kedistal dapat mengalami obstruksi
secara permanen maupun sementara yang di sebabkan olehakumulasi plak atau penggumpalan. Sirkulasi
kolateral berkembang di sekitar obstruksiarteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke
miokardium. Kegagalan sirkulasikolateral untuk menyediakan supply oksigen yang adekuat ke sel yang
berakibat terjadinya penyakit arteri koronaria.
4) Aneurisme
Pembuluh darah terdiri dari beberapa lapisan, tetapi ada yang terpisah sehingga memungkinkan darah
masuk. pelebaran pembuluh darah bisa timbul karena dinding pembuluh darah aorta terpisah atau
disebut aorta disekans. kejadian ini dapat menimbulkan penyakit aneurisma diamana gejalanya adalah
sakit kepala yang hebat, sakit di perut sampai ke pinggang belakang dan di ginjal. aneurisme pada perut
dan dada penyebab utamanya pengerasan dinding pembuluh darah karena proses penuaan
(aterosklerosis) dan tekanan darah tinggi memicu timbulnya aneurisme.
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus diambil tindakan pencegahan yang baik (stop
High Blood Pressure), antara lain menurut (Crea, 2008), dengan cara sebagai berikut:
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 g garam dapur untuk diet setiap hari.
Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan menjaga berat badan (b.b) normal atau tidak berlebihan.
Batasan kegemukan adalah jika berat badan lebih 10% dari berat badan normal.
Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol
darah yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol dalam dinding pembuluh darah.
Lama kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan menggangu
peredaran darah. Dengan demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung
memperparah hipertensi.
4) Olahraga teratur.
Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat meyerap atau menghilangkan endapan kolesterol dan
pembuluh nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan menggerakkan semua sendi dan otot tubuh
(latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda. Tidak dianjurkan melakukan
olahraga yang menegangkan seperti tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan
dapat menimbulkan hipertensi.
Relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi stress atau ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan
dengan mengencangkan dan mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai,
indah, dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula dilakukan dengan mendengarkan musik, atau bernyanyi.
Dalam kehidupan dunia modern yang penuh dengan persaingan, tuntutan atau tantangan yang
menumpuk menjadi tekanan atau beban stress (ketegangan) bagi setiap orang. Jika tekanan stress
terlampau besar sehingga melampaui daya tahan individu, akan menimbulkan sakit kepala, suka marah,
tidak bisa tidur, ataupun timbul hipertensi. Agar terhindar dari efek negative tersebut, orang harus
berusaha membina hidup yang positif. Beberapa cara untuk membina hidup yang positif adalah sebagai
berikut:
b. Membuat jadwal kerja, menyediakan waktu istirahat atau waktu untuk kegiatan santai.
c. Menyelesaikan satu tugas pada satu saat saja, biarkan orang lain menyelesaikan bagiannya.
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah target tekanan darah yatiu < 140/90 mmHg dan
untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah < 130/80
mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan menghambat laju penyakit ginjal. Pada
umumnya penatalaksanaan pada pasien hipertensi meliputi dua cara yaitu (Yogiantoro, 2006):
1. Non Farmakologis
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan
berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan
konsumsi buah dan sayur.
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu,
aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak > 3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter.
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap
detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
2. Farmakologis
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis
thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist,
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor
antagonist/ blocker (ARB).
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku
merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam
dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif maupun aktif (melakukan tindakan) (Maulana, 2009).
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri, yang mempunyai
bentangan yang sangat luas mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan
hidup terutama perilaku manusia. Faktor keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk
perkembangan perilaku makhluk hidup itu selanjutnya, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau
lahan untuk perkembangan perilaku tersebut (Sudarma, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa banyak perilaku yang melekat pada diri manusia baik secara
sadar maupun tidak sadar. Salah satu perilaku yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku
kesehatan.
2.2.1 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat
klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari:
Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain:
b. Olahraga teratur
c. Tidak merokok
f. Mengendalikan stress
g. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan
dalam hubungan seks.
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit,
pengetahuan tentang gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.
Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit, yang harus diketahui oleh orang
sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the
sick role) yang meliputi:
c. Mengetahui hak (misalnya : hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan
sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama
kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).
2.2.2 Bentuk-Bentuk Perilaku
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan rumus
teori Skinner tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain
(dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat
diamati orang lain dari luar atau observable behavior. Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa
perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :
a. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang. Faktor eksternal atau
stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya,
ekonomi maupun politik.
b. Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang. Faktor internal yang
menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi,
motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya. Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal merupakan
faktor yang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi
oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan
mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan
kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat
kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan
perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu,
sebelum mampu mengubah perilaku tersebut (Machfoedz, 2006).
Health Belief Model (HBM) adalah suatu model kepercayaan penjabaran dari model sosio-psikologis.
Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah-masalah kesehatan ditandai oleh
kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit
yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan
perilaku pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Health Belief Model (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh kelompok ahli psikologi sosial dalam
pelayanan kesehatan masyarakat Amerika. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas
kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit dan sering kali
dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia
yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan (Maulana, 2009).
Menurut teori HBM derajat kesehatan masyarakat yang ditentukan oleh perilaku sehat masyarakatnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) variabel demografi yaitu umur, jenis kelamin, latar belakang
budaya), 2) variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial (gaya hidup), tekanan sosial, dan 3)
variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya.
Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya
(Sakinah, 2002). Menurut Lisnawati (2006) gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari
yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan positif.
Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau
minum-minuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang
dialami.
Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy
behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan
pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan
ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini juga
didukung oleh pendapat Maulana (2009) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kesehatan yang
prima jalan terbaik adalah dengan merubah gaya hidup yang terlihat dari aktifitasnya dalam menjaga
kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gaya hidup adalah pola
perilaku individu sehari-hari yang diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya untuk
mempertahankan hidup sedangkan gaya hidup sehat dapat disimpulkan sebagai serangkaian pola
perilaku atau kebiasaan hidup sehari-hari untuk memelihara dan menghasilkan kesehatan, mencegah
resiko terjadinya penyakit serta melindungi diri untuk sehat secara utuh.
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan
peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami
ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and
Womens Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi,
51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok
perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam
median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada
kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).
Telah ditemukan 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, dengan 40 jenis diantaranya bersifat karsinogenik
(dapat menyebabkan kanker), dimana bahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap tembakau
yang disebarkan ke udara bebas (asap samping), misalnya karbon monoksida (CO) 5 kali lipat lebih
banyak ditemukan pada asap samping daripada asap utama, benzopiren 3 kali, dan amoniak 50 kali.
Nikotin dan CO pada rokok selain meningkatkan kebutuhan oksigen, juga mengganggu suplai oksigen ke
otot jantung (miokard) sehingga merugikan kerja miokard. Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis
dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok,
nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah,
kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja
saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya (Marliani, 2007).
Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari
lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih
dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk
kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
aterosklerosis dan hipertensi (Marliani, 2007).
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan
pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah
amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah
mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk
melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja
maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada
ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan
menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan
darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari (Crea, 2008).
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan
darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan
volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Alkohol hanya
mengandung energi tanpa mengandung zat gizi lain, kebiasaan minum alkohol dapat mengakibatkan
kurang gizi, penyakit gangguan hati, kerusakan saraf otak dan jaringan serta dapat mengakibatkan
hipertensi apabila konsumsi terlalu banyak (Setiawati dan Bustami, 2005).
Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau terlalu banyak, akan cenderung memiliki tekanan
darah yang tinggi dari pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol. Berlebihan mengkonsumsi
alkohol ( > 2 gelas bir/wine/whiskey/hari) merupakan faktor risiko hipertensi (Sustrani, 2006).
Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum
diketahui secara pasti. Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki
tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit. Menurut Ali Khomsan
konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan
dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah (Yogiantoro, 2006).
Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-20% dari semua kasus hipertensi.
Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat
hipertensi sebesar dua kali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum
diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang, minum-
minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ lain (Shanty, 2011).
Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan jumlah yang banyak diketahui dapat
meningkatkan risiko penyakit Hipertensi atau penyakit Kardiovaskuler. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa orang yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang hari mempunyai tekanan darah
rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan
tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg pada orang yang tidak
mempunyai hipertensi (Crea, 2008).
Mengkonsumsi kafein secara teratur sepanjang hari mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi di
bandingkan dengan kalau mereka tidak mengkonsumsi sama sekali. Kebiasaan mengkonsumsi kopi dapat
meningkatkan kadar kolesterol darah dan meningkatkan risiko terkena penyakit jantung (Sustrani, 2006).
a. Minum kopi ringan bila konsumsi kopi kurang dari 200 mg perhari (1-2 gelas sehari ) atau kurang dari 4
sdm perhari
b. Minum kopi sedang bila konsumsi kopi 200-400 mg perhari (3-4 gelas sehari) atau konsumsi 4-8 sdm
perhari
c. Minum kopi berat bila konsumsi lebih dari 400 mg perhari (> 5 gelas sehari) atau konsumsi lebih dari 8
sdm perhari.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih
berat karena adanya kondisi tertentu. Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 45 menit per hari,
penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau
aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL)
sebesar 4.4 mmHg (Khomsan, 2004).
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus
memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan kaki selama
30-60 menit setiap hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan peredaran darah. Bagi penderita
tekanan darah tinggi, jantung atau masalah pada peredaran darah, sebaiknya tidak menggunakan beban
waktu jalan. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan wanita yang kurang aktivitas fisik
dengan kelompok yang beraktifitas fisik dapat menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low Density
Lipoprotein) faktor penting penyebab pergeseran arteri (Rohaendi, 2008).
Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (CHD) yang setara dengan
hiperlipidemia atau merokok, dan seseorang yang tidak aktif secara fisik memiliki resiko 30-50% lebih
besar untuk mengalami hipertensi. Selain meningkatkanya perasaan sehat dan kemampuan untuk
mengatasi stress, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalah meningkatnya kadar HDL-C,
menurunnya kadar LDL-C, menurunnya tekanan darah, berkurangnya obesitas, berkurangnya frekuensi
denyut jantung saat istirahat dan konsumsi oksigen miokardium (MVO2), dan menurunnya resistensi
insulin (Price, 2005).
2.4 Kepribadian
2.4.1 Pengertian
Kepribadian merupakan sejumlah pola tingkah laku yang aktual dan potensial yang ditentukan oleh
bawaan dan lingkungan yang dihubungkan melalui interaksi fungsional dari aspek kognitif dan afektif ke
dalam pola tingkah laku. Sadli (2004) mengemukakan bahwa kepribadian adalah proses be coming, yaitu
suatu proses dinamis yang berkelanjutan dimulai sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Oleh
karena itu setiap insan yang normal memiliki ciri-ciri kepribadian yang membedakan individu yang satu
dengan yang lain. Walaupun perbedaan itu tampak jelas, namun tidak berarti berbeda peranan dalam
aspek atau komponen yang terdapat pada pribadi yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah keseluruhan
tingkah laku baik aktual maupun potensial dari individu yang bersifat khas, dinamis dalam hubungannya
dengan lingkungan, yang diperoleh individu melalui interaksinya dengan dunia sekitar.
Pembagian tipe kepribadian manusia dalam sifat introvert dan ekstrovert merupakan teori Jung yang
sangat populer. Jung menyatakan bahwa kepribadian introvert dan ekstrovert terbentuk berdasarkan
sikap jiwa. Sikap jiwa adalah arah energi psikis umum atau libido yang menjelma dan orientasi manusia
terhadap dunianya. Arah aktivitas fisik ini dapat ke luar atau ke dalam dan demikian pula arah orientasi
manusia dapat ke luar atau ke dalam (Parkinson, 2004).
Jung menyatakan bahwa ekstrovert diartikan sebagai keramahan, terus terang, cepat akrab,
berakomodasi secara natural dan mudah menyesuikan diri dengan berbagai situasi, jarang was-was,
sering berspekulasi dan sembrono pada situasi yang belum dikenal. Introvert sebaliknya, berhubungan
dengan keragu-raguan, reflektif defensif, menarik dari obyek, dan senang bersembunyi dibalik rasa
ketidakpercayaan (Parkinson, 2004).
Eysenck menyatakan bahwa orang introvert cenderung mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan
depresi yang ditandai dengan kecenderungan obsesi, mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom mereka
labil, gampang terluka, mudah gugup, rendah diri, mudah melamun, sukar tidur. Sedangkan orang
ekstrovert memperlihatkan kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala histeris, sedikit energi,
perhatian sempit, sejarah kerja yang kurang baik, hipokondriosis (Ahmadi, 2005).
Jung menyatakan apabila orientasi seseorang terhadap sesuatu itu sedemikian rupa sehingga keputusan-
keputusan dan tindakannya tidak dikuasai oleh pendapat subyektifitas melainkan ditentukan oleh faktor-
faktor obyektif atau faktor luar, maka orang yang demikian itu mempunyai orientasi ekstrovert. Apabila
orientasi ini menjadi kebiasaan, maka orangnya dikatakan tipe ekstrovert. Sebaliknya apabila seseorang
menghadapi sesuatu, faktor-faktor yanng berpengaruh adalah faktor subyektif atau yang berasal dari
dunia batin sendiri, maka orang tersebut mempunyai orientasi introvert (Ahmadi, 2005).
Parkinson (2004), menyatakan orang introvert biasanya kaku, suka menyendiri, hati-hati dan terkontrol.
Orang dengan kepribadian ekstrovert biasanya impulsif, suka menuruti dorongan hati, mudah berubah,
mudah dipengaruhi dan terangsang, agresif, mudah gelisah, tersinggung dan mudah marah.
Introvert dan ekstrovert dimaksudkan sebagai derajat mana orientasi seseorang ditujukan ke dalam,
pada diri seseorang atau ditujukan keluar dunia luar. Pada ujung introvert pada skala terdapat individu
yang pemalu dan lebih suka bekerja sendirian, mereka cenderung menarik diri ke dalam diri mereka
sendiri terutama pada saat mereka mengalami stres, emosional atau konflik. Pada ujung ekstrovert
terdapat individu yang peramah dan suka bergaul, menyukai pekerjaan yang memungkinkan mereka
bekerja secara langsung dengan orang lain, pada saat stres mereka mencari kawan (Parkinson, 2004).
Karakteristik komponen untuk menilai kepribadian introvert dan ekstrovert adalah activity, sociability,
risk taking, impulsiveness, expresiveness, reflexiveness, dan responsibility. Ketujuh aspek ini digunakan
oleh Eysenck sebagai tolak ukur tentang tingkat ekstrovert dan introvert dari penelitian. Tujuh aspek ini
merupakan komponen obyek sikap yang dapat diukur. Karakteristik tersebut berpengaruh terhadap
tindakan dalam kesehariannya yang akan berdampak pada derajat kesehatan seseroang (Ahmadi, 2005).
Dalam activity diukur bagaimanakah subyek melakukan aktivitasnya, aktif dan energik atau sebaliknya,
bagaimana mereka menikmati pekerjaannya dan jenis pekerjaan atau aktivitas apakah yang dipilih atau
disukainya. Sociability mengukur bagaimana orang melakukan kontrak sosial, apakah orang tersebut
memiliki banyak teman, suka bergaul, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mudah berbicara
atau sebaliknya, merasa minder, tidak banyak teman, menyukai kesepian dan lain-lain (Ahmadi, 2005).
Risk taking mengukur bagaimana keberanian orang mengambil resiko dalam hidupnya. Impulsiveness
digunakan untuk melihat perbedaan antara orang introvert dan ekstrovert dari segi orang itu impulsif
atau tidak. Orang impulsif akan terlihat tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, mudah berubah dan
tidak dapat diramalkan. Orang dengan kepribadian ekstrovert biasanya impulsif daripada orang introvert
(Ahmadi, 2005).
Menurut Parkinson (2004) untuk mengukur kepribadian dapat menggunakan instrumen kepribadian The
Mind Style Questionnaire (MSQ). MSQ adalah sebuah penilaian terhadap lima sifat utama yang disusun
untuk mengukur kepribadian seseorang. Instrumen ini terdiri dari 88 pertanyaan dan untuk mengukur
kepribadian introvert dan ekstrovert terdiri dari 12 pertanyaan masing-masing 6 pertanyaan kepribadian
ekstrovert dan 6 pertanyaan kepribadian introvert.
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka maka kerangka teori dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.1
Kejadian Hipertensi
Sumber : Teori Perilaku Health Belief Model (HBM) dalam Maulana (2009)
Keterangan:
Diteliti
Tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati dan diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini faktor yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi yang diteliti adalah gaya hidup dan kepribadian. Hal tersebut
diangkat dari teori perilaku bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku kesehatan sesorang untuk mencapai derajat kesehatannya. Artinya bahwa penyakit hipertensi
yang berkembang saat ini diakibatkan oleh gaya hidup dan kepribadian seseorang dalam berperilaku
hidup sehat. Berdasarkan hal tersebut maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada
diagram berikut:
(Independen) (Dependen)
39
Diagram 3.1 Kerangka Konsep Hubungan antara Gaya Hidup dan Kepribadian dengan Kejadian
Hipertensi 3.2 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang memiliki atau
yang didapatkan oleh satuan-satuan penelitian tentang suatu konsep tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable independen (variabel bebas) dan variable dependen
(variabel terikat). Variabel independen dalam penelitian ini adalah gaya hidup dan kepribadian,
sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian hipertensi.
Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 2 3 4 5 6 7
1 Gaya hidup Pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat dan
opininya Angket Kuisioner 0 = Berisiko, jika memiliki kebiasaan merokok/ minum
beralkohol/ minum kopi/ kurang olah raga
1 = Tidak berisiko, jika tidak memiliki kebiasaan merokok, minum beralkohol, minum kopi dan kebiasaan
olah raga teratur
Ordinal
1 2 3 4 5 6 7
3 Kejadian Hipertensi Keadaan responden dengan tekanan darah > 140/90 mmHg Angket
Kuisioner 0 = Hipertensi, jika tekanan darah > 140/90 mmHg
1) Ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
2) Ada hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Penelitian ini menggunakan penelitian analitik kuantitatif dengan pendekatan case control yaitu suatu
penelitian dimana efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasikan pada saat ini, kemudian faktor
resiko diindentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2005).
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah
penduduk yang ada di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka tahun 2012. Populasi dalam penelitian
ini terbagai menjadi dua kelompok yaitu populasi kontrol dan populasi kasus. Populasi kasus adalah
penduduk yang mempunyai hipertensi. Sedangkan populasi kontrolnya adalah penduduk yang memiliki
riwayat keluarga hipertensi tapi tidak hipertensi.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Arikunto, 2006). Sampel
dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 50 sampel terdiri dari 25 sampel kasus dan 25 sampel kontrol.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling yaitu sampel
ditentukan berdasarkan kriteria tertentu dan banyaknya sesuai dengan jumlah sampel yang ditetapkan.
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi untuk kelompok kasus dan kontrol adalah responden merupakan penduduk di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Majalengka dan tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu (diet dan
sebagainya).
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus dan kontrol adalah penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka yang tidak bisa membaca dan menulis atau memahami kuesioner.
Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Puskesmas Majalengka bulan Juni-Juli tahun 2012.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa kuesioner untuk
mengukur variabel dependen dan independen. Pengumpulan data dimulai pada bulan Juni 2012. Setelah
didapatkan subjek penelitian, kemudian dilakukan pengumpulan data dengan teknik angket. Angket dan
pengambilan kuesioner dilakukan pada subjek penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka.
1) Informed Concent, diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed concent adalah lembar
persetujuan untuk menjadi responden.
2) Anonimity, berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner).
Peneliti hanya menulis kode pada lembar pengumpulan data tersebut.
3) Confidentiality, kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu
yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian.
2) Coding (pengkodean), tahap ini memudahkan dalam memasukan data dan pengolahan pemberian
data, maka pertanyaan yang telah diajukan diberi tanda/ kode.
4) Tabulasi data, dilakukan dengan mengelompokkan data sesuai dengan variabel yang diteliti, guna
memudahkan dalam analisis.
1. Analisa Univariat
Analisis univariat yang dilakukan terhadap variabel-variabel, dari hasil yang diperoleh dalam penelitian,
pada umumnya dari hasil analisis, menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel-variabel yang
ada, dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dengan distribusi proporsi (Sugiyono, 2009).
Hasil analisis ini menghasilkan distribusi dari tiap variabel yang bertujuan untuk memperoleh distribusi
dari tiap variabel dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2006):
Keterangan :
P = Proporsi
N = Jumlah populasi
2. Analisa Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Uji yang dipakai adalah chi-square dengan batas kemaknaan = 0,05. Menentukan uji kemaknaan
hubungan dengan cara membandingkan nilai ( value) dengan nilai = 0,05 pada taraf kepercayaan 95 %
dengan kaidah keputusan sebagai berikut (Sugiyono, 2009):
1) Nilai ( value) < 0,05 maka HO ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara variabel
bebas dengan variabel terikat.
2) Nilai ( value) > 0,05 maka Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antar
variabel bebas dengan variabel terikat.
Selain menentukan uji kemaknaan juga ditentukan nilai Odds Ratio (OR) yaitu ratio odds antara
kelompok kasus dan kelompok kontrol. Perhitungan odds ratio dapat menggunakan tabel 2 x 2 sebagai
berikut:
Kontrol
pemajanan pada kelompok kasus dengan odds pemajanan pada kelompok kontrol. Interpretasi dari nilai
OR adalah sebagai berikut (Arikunto, 2006):
BAB IV
Hasil penelitian mengenai hubungan gaya hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan jumlah sampel 50
responden terdiri dari 25 sampel kasus dan 25 sampel kontrol yang disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi.
1. Gambaran Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi berdasarkan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Kejadian
Hipertensi f %
Hipertensi 25 50,0
Jumlah 50 100
47
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa setengahnya responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 yang mengalami hipertensi yaitu sebesar 25 responden
(50,0%) dan setengahnya responden tidak mengalami hipertensi yaitu sebesar 25 responden (50,0%). 2.
Gambaran Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Gaya hidup f %
Berisiko22 44,0
Jumlah 50 100
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kurang dari setengah responden di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan gaya hidup berisiko yaitu sebesar 22
responden (44,0%) dan lebih dari setengah responden dengan gaya hidup tidak berisiko yaitu sebesar 28
responden (56,0%).
3. Gambaran Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi berdasarkan Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Kepribadian f %
Introvert 29 58,0
Ekstrovert 21 42,0
Jumlah 50 100
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa lebih dari setengah responden di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan kepribadian introvert yaitu sebesar
29 responden (58,0%) dan kurang dari setengah responden dengan kepribadian ekstrovert yaitu sebesar
21 responden (42,0%).
4.1.2 Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.4 Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
f % f % f %
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dari 25 responden yang mengalami hipertensi terdapat lebih dari
setengahnya responden dengan gaya hidup berisiko sebesar 60,0% dan kurang dari setengahnya dengan
gaya hidup berisiko sebesar 40,0%. Sementara dari 25 responden yang tidak mengalami hipertensi
terdapat kurang dari setengahnya responden dengan gaya hidup berisiko sebesar 28,0% dan lebih dari
setengahnya dengan gaya hidup berisiko sebesar 72,0%.
Hasil penghitungan statistik menggunakan desain case control dengan = 0,05 diperoleh r value sebesar
0,046 (r value < ) sehingga hiptesis nol ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara gaya hidup dengan
kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Berdasarkan nilai OR diperoleh sebesar 3,857 (95%CI: 1,180 < OR < 12,606) yang berarti bahwa
penduduk dengan gaya hidup yang berisiko mempunyai peluang 3,85 kali lebih besar akan mengalami
hipertensi dibandingkan responden dengan gaya hidup yang tidak berisiko.
2. Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.5 Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Kepribadian Kejadian
f % f % f %
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa dari 25 responden yang mengalami hipertensi terdapat lebih dari
setengahnya responden dengan kepribadian introvert sebesar 76,0% dan kurang dari setengahnya
dengan kepribadian ekstrovert sebesar 24,0%. Sementara dari 25 responden yang tidak mengalami
hipertensi terdapat kurang dari setengahnya responden dengan kepribadian introvert sebesar 40,0% dan
lebih dari setengahnya dengan kepribadian ekstrovert sebesar 60,0%.
Hasil penghitungan statistik menggunakan desain case control dengan = 0,05 diperoleh r value sebesar
0,022 (r value < ) sehingga hiptesis nol ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara kepribadian
dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012. Berdasarkan nilai OR diperoleh sebesar 4,750 (95%CI: 1,406 < OR < 16,051) yang berarti bahwa
penduduk dengan kepribadian introvert mempunyai peluang 4,75 kali lebih besar akan mengalami
hipertensi dibandingkan responden dengan kepribadian ekstrovert.
4.1.2 Pembahasan
1. Gambaran Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa setengahnya responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 yang mengalami hipertensi yaitu sebesar 50,0%.
Hipertensi merupakan penyakit yang sudah dikenal di tengah-tengah masyarakat, namun tidak sedikit
yang memahami dampak yang lebih parah dari penyakit hipertensi ini. Hipertensi dapat mengakibatkan
jantung bekerja lebih keras sehingga proses perusakan dinding pembuluh darah berlangsung dengan
lebih cepat yang mendorong terjadinya payah jantung, gangguan pada ginjal dan kebutaan serta yang
paling parah adalah efek jangka panjangnya yang berupa kematian mendadak.
Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya secara pasti.
Namun menurut Yogiantoro (2006) bahwa hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi dan sisanya hipertensi sekunder yaitu tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat
diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks
adrenal, pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid, dan lain-lain.
Menurut Marliani (2007) bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan gangguan pada sistem
peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi
140 / 90 mmHg. Sementara menurut Crea (2008) hipertensi adalah istilah medis untuk penyakit tekanan
darah tinggi dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang banyak diderita di dunia
termasuk di Indonesia. Hipertensi termasuk penyakit umum, tanpa disertai gejala khusus dan biasanya
dapat ditangani secara mudah, namun bila dibiarkan tanpa penanganan dapat menyebabkan bebagai
komplikasi yang lebih parah berupa penyakit jantung dan pembuluh darah seperti aterosklerosis, infark
miokard, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal dan kematian dini.
Ada beberapa gejala yang bisa ditemukan dan dirasakan sebagai penyakit hipertensi. Menurut Crea
(2008) menyatakan gejala hipertensi diantaranya sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk, sulit tidur
dan gelisah atau cemas dan kepala pusing, dada berdebar-debar dan lemas, sesak nafas, berkeringat dan
pusing.
Hipertensi di masyarakat seiring dengan usia maka kejadiannya pun semakin meningkat, namun risiko
akibat hipertensi ini dapat dikurangi diantaranya melalui cara hidup yang sehat seperti mengkonsumsi
makanan dan minuman yang sehat, kebiasaan olah raga yang teratur dan memeriksakan diri secara rutin
untuk mengetahui perkembangan tekanan darah terutama pada masyarakat yang merasakan gejala
hipertensi.
2. Gambaran Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kurang dari setengah responden di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan gaya hidup berisiko yaitu
sebesar 44,0%.
Gaya hidup dalam penelitian ini merupakan kebiasaan masyarakat yang dapat berisiko terhadap penyakit
hipertensi seperti kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, kebiasaan minum kopi
dan keteraturan dalam berolah raga. Hasil penelitian ternyata masih banyak atau bahkan hampir
setengahnya penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka yang masih mempunyai kebiasaan
gaya hidup yang kurang baik. Dari pengumpulan data di lokasi penelitian ternyata penduduk yang
mengalami hipertensi masih ada yang mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman yang
beralkohol, minum kopi dan tidak teratur berolah raga. Bahkan jumlah penduduk yang memiliki
kebiasaan merokok, minum minuman yang beralkohol, minum kopi dan tidak teratur berolah raga lebih
banyak terdapat pada penderita hipertensi dibandingkan yang tidak mengalami hipertensi.
Gaya hidup dapat diartikan sebagai kebiasaan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya sebagai salah
satu bentuk perilaku. Kebiasaan yang positif atau baik yang merupakan upaya seseorang untuk hidup
sehat maka termasuk kedalam perilaku hidup sehat. Sebagaimana teori Becker (1979) dalam
Notoatmodjo (2007) yang membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari perilaku
hidup sehat, perilaku sakit dan perilaku peran sakit. Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan
dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang
mencakup antara lain makan dan menu seimbang (appropriate diet), olahraga teratur, tidak merokok,
tidak minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stress termasuk gaya
hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
Menurut Sakinah (2002) menyatakan bahwa gaya hidup merupakan pola hidup seseorang di dunia yang
diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri
seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Lisnawati (2006) menyatakan gaya hidup
sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik,
mental dan sosial berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan,
pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman beralkohol, berolahraga secara teratur
dan terampil dalam mengelola stres yang dialami.
Berdasarkan hal tersebut maka perlunya meningkatkan kesadaran terutama baik pada penderita
hipertensi maupun yang tidak hipertensi untuk berperilaku hidup sehat yaitu dengan menjaga dan
memelihara gaya hidup yang sehat pula, dan bagi petugas kesehatan perlunya meningkatkan kegiatan
penyuluhan dan pemberian informasi tentang gaya hidup sehat dalam mengurangi risiko yang lebih
parah akibat penyakit hipertensi.
3. Gambaran Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa lebih dari setengah responden di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan kepribadian introvert yaitu
sebesar 58,0%.
Tipe kepribadian dalam berbagai literatur dapat dibedakan secara beragam. Namun pada penelitian ini,
tipe kepribadian dibedakan berdasarkan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Hal tersebut karena
kedua tipe kepribadian ini berkaitan dengan perilaku seseorang dalam menyikapi permasalahan yang
sedang dialaminya termasuk perilaku hidup sehat maupun sakit. Sebagaimana menurut teori Skinner
(1938) dalam Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup terjadi bila
respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas karena
masih dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.
Sementara perilaku terbuka (overt behavior) merupakan respon terhadap stimulus sudah berupa
tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable behavior.
Pembagian tipe kepribadian manusia dalam sifat introvert dan ekstrovert merupakan teori Jung yang
sangat populer. Jung menyatakan bahwa kepribadian introvert dan ekstrovert terbentuk berdasarkan
sikap. Menurut Eysenck dalam Ahmadi (2005) bahwa orang introvert cenderung mengembangkan gejala-
gejala ketakutan dan depresi yang ditandai dengan kecenderungan obsesi, mudah tersinggung, apatis,
syaraf otonom mereka labil, gampang terluka, mudah gugup, rendah diri, mudah melamun, sukar tidur.
Sementara ekstrovert menurut Parkinson (2004) diartikan sebagai keramahan, terus terang, cepat akrab,
berakomodasi secara natural dan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai situasi. Berdasarkan hal
tersebut maka tipe kepribadian ekstrovert dalam kehidupan keseharian perlu dikembangkan agar
perilaku masyarakat dalam menyikap peran sakit lebih siap.
Perlunya petugas kesehatan memberikan dorongan dan motivasi bagi penderita hipertensi dan yang
tidak hipertensi untuk menumbuhkan keyakinan dan kesadaran menjaga kesehatan lebih penting untuk
menghindari resiko yang lebih parah serta melakukan pemeriksaan rutin kepada petugas kesehatan
untuk mengetahui perkembangan penyakit hipertensi yang dialaminya.
4. Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian
hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 (r value =
0,046). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penduduk yang memiliki gaya hidup seperti kebiasaan
merokok, minum kopi, minum alkohol dan kurang teratur dalam berolahraga lebih besar akan mengalami
hipertensi. Hal tersebut juga dapat dilihat dari nilai OR yang diperoleh sebesar 3,857 (95%CI: 1,180 < OR
< 12,606) yang berarti bahwa penduduk dengan gaya hidup yang berisiko mempunyai peluang 3,85 kali
lebih besar akan mengalami hipertensi dibandingkan penduduk dengan gaya hidup yang tidak berisiko.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Health Belief Model (HBM) dalam Maulana (2009) menyatakan
bahwa derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh perilaku sehat masyarakat yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu variabel demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang budaya, variabel
sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial (gaya hidup), tekanan sosial, dan variabel struktural yaitu
pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Berdasarkan teori HBM tersebut maka gaya hidup seseorang dalam hipertensi merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami penyakit hipertensi. Dalam hal ini perilaku sakit
(illnes behaviour) dan perilaku peran sakit (the sick role behaviour) seseorang menyebabkan seseorang
menderita suatu penyakit. Masyarakat yang mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman
beralkohol, minum kopi dan tidak teratur dalam berolah raga akan mengalami penyakit hipertensi lebih
besar dibandingkan masyarakat yang tidak mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol,
minum kopi dan teratur dalam berolah raga.
Banyak hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa meroko berkaitan dengan peninggian
tekanan darah. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and
Womens Hospital, Massachussetts dalam Rahyani (2007) terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak
ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek
merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek
terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian tersebut yaitu kejadian
hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari.
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Menurut Sustrani (2006) bahwa
orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau terlalu banyak, akan cenderung memiliki tekanan
darah yang tinggi dari pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol. Berlebihan mengkonsumsi
alkohol (> 2 gelas) merupakan faktor risiko hipertensi.
Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan jumlah yang banyak diketahui dapat
meningkatkan risiko penyakit hipertensi. Beberapa penelitian dalam Crea (2008) menunjukan bahwa
orang yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang hari mempunyai tekanan darah rata-
rata lebih tinggi dibandingkan dengan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan
tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg pada orang yang tidak
mempunyai hipertensi.
Menurut Rohaendi (2008) bahwa kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan
wanita yang kurang aktivitas fisik dengan kelompok yang beraktifitas fisik dapat menurunkan sekitar
6,5% kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) faktor penting penyebab pergeseran arteri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2005) menyebutkan bahwa perilaku sehat
(healthy behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan
pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan
ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini juga
didukung oleh pendapat Maulana (2009) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kesehatan yang
prima jalan terbaik adalah dengan merubah gaya hidup yang terlihat dari aktifitasnya dalam menjaga
kesehatan.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisa data ternyata masih ada masyarakat dengan gaya hidup
tidak berisiko tetapi mengalami hipertensi. Hal ini dapat dikarenakan adanya faktor lain yang dapat
mempengaruhi kejadian hipertensi. Selain gaya hidup dan kepribadian, faktor lain yang dapat
mempengaruhi kejadian hipertensi diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ras, tekanan sosial,
pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
hipertensi meskipun seseorang tidak memiliki kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, minum
kopi dan teratur dalam berolah raga. Kebiasaan yang baik tersebut ternyata belum cukup jika
pengetahuan tentang hipertensi rendah karena menyebabkan seseorang tidak memahami dengan baik
mengenai penyakit hipertensi sehingga tidak mengetahui cara penanganan terhadap penyakit hipertensi.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan teori yang sudah dikemukakan di atas, maka hasil
penelitian ini tidak terdapat kesenjangan. Oleh karena itu maka bagi penderita hipertensi yang
mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman alkohol, minum kopi dan tidak teratur berolah raga
perlu mendapatkan bimbingan dari petugas kesehatan serta dukungan keluarga agar merubah gaya
hidup yang kurang baik tersebut ke arah gaya hidup sehat sehingga dapat mengurangi bahayanya
penyakit hipertensi yang lebih parah.
5. Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara kepribadian dengan kejadian
hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 (r value =
0,022). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penduduk yang memiliki kepribadian introvert berisiko
lebih besar akan mengalami hipertensi daripada kepribadian introvert. Hal tersebut pun dapat dilihat
dari nilai OR yang diperoleh sebesar 4,750 (95%CI: 1,406 < OR < 16,051) yang berarti bahwa penduduk
dengan kepribadian introvert mempunyai peluang 4,75 kali lebih besar akan mengalami hipertensi
dibandingkan penduduk dengan kepribadian ekstrovert.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Health Belief Model (HBM) dalam Maulana (2009) menyatakan
bahwa salah satu derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh perilaku sehat masyarakat yang
dipengaruhi oleh sosio-psikologis yaitu kepribadian. Juga teori Ahmadi (2005) yang menyatakan bahwa
karakteristik komponen untuk menilai kepribadian introvert dan ekstrovert adalah activity, sociability,
risk taking, impulsiveness, expresiveness, reflexiveness, dan responsibility. Ketujuh aspek ini digunakan
oleh Eysenck sebagai tolak ukur tentang tingkat ekstrovert dan introvert dari penelitian. Tujuh aspek ini
merupakan komponen obyek sikap yang dapat diukur. Karakteristik tersebut berpengaruh terhadap
tindakan dalam kesehariannya yang akan berdampak pada derajat kesehatan seseorang.
Menurut karakteristiknya maka masyarakat yang memiliki kepribadian introvert yang cenderung
mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi yang ditandai dengan kecenderungan obsesi,
mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom mereka labil, gampang terluka, mudah gugup, rendah diri,
mudah melamun dan sukar tidur dapat menjadi suatu kendala untuk mencapai derajat hidup sehat.
Penduduk yang tidak terbuka dan tidak mau memeriksakan dirinya kepada petugas kesehatan dalam
hipertensi ini maka tidak akan mengetahui dan menyadari bagaimana harus bersikap dan bertindak
menghadapi penyakit hipertensi.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisa data ternyata masih ada penduduk dengan kepribadian
ekstrovert tetapi mengalami hipertensi. Hal ini dapat dikarenakan selain kepribadian, faktor lain seperti
usia, jenis kelamin, ras, tekanan sosial, pengetahuan dan pengalaman juga dapat mempengaruhi
kejadian hipertensi. Dalam hal ini apabila seseorang mempunyai kepribadian ekstrovert namun belum
pernah mengalami hipertensi sebelumnya dapat menyebabkan orang tersebut kurang peduli terhadap
kesehatan dirinya. Pengalaman seseorang dapat menjadi sumber pengetahuan dan pendidikan dalam
menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menyikapi penyakit hipertensi.
Hasil penelitian ini tidak terdapat kesenjangan dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dari
itu penduduk yang menderita hipertensi dengan tipe kepribadian introvert perlu mendapatkan dorongan
dan motivasi dari petugas kesehatan serta dukungan keluarga untuk terbuka menyampaikan keluhan
penyakit yang sedang dialaminya serta mau memeriksakan diri kepada petugas kesehatan dengan rutin.
Namun, hasil penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan faktor pengalaman
sehingga menghasilkan hasil penelitian yang lebih luas dan akurat.
BAB V
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan gaya hidup dan kepribadian dengan
kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Setengahnya penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012 yang mengalami hipertensi sebesar 50,0%.
2. Kurang dari setengah penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012 dengan gaya hidup berisiko sebesar 44,0%.
3. Lebih dari setengah penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012 dengan kepribadian introvert sebesar 58,0%. 65
4. Ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 (r value = 0,046 dan OR = 3,857 dengan 95%CI: 1,180 <
OR < 12,606). 5. Ada hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 (r value = 0,022 dan OR = 4,750 dengan
95%CI: 1,406 < OR < 16,051).
5.2 Saran
Disarankan agar petugas kesehatan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka lebih meningkatkan
kegiatan penyuluhan dan pemberian informasi tentang gaya hidup sehat serta memberikan dorongan
dan mitivasi bagi penduduk yang menderita hipertensi yang mempunyai kepribadian introvert.
Perlu memeriksakan kesehatan secara rutin kepada petugas kesehatan agar diketahui perkembangan
tekanan darahnya serta memperoleh informasi dari petugas kesehatan tentang hipertensi lebih luas lagi.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini perlu dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu sumber untuk pengembangan
ilmu dan pengetahuan tentang kejadian hipertensi dan faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi.
Bagi peneliti lain agar memperhatian faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sehingga
menghasilkan ilmu yang lebih luas dan lebih akurat.
Lampiran 1
Yang terhormat,
Bapak/Ibu
Jawaban kuesioner ini akan terjamin kerahasiannya, oleh karena itu Bapak/Ibu tidak perlu menuliskan
nama. Mengingat keberhasilan penelitian ini akan sangat tergantung kepada kelengkapan jawaban,
dimohon dengan sangat agar kiranya jawaban Napak/Ibu dapat diberikan selengkap mungkin.
Kejujuran serta kesungguhan Bapak/Ibu dalam mengisi kuesioner ini akan sangat berarti dan sangat saya
hargai. Atas kesediaan serta kerjasama Bapak/Ibu, saya ucapkan banyak terima kasih.
Majalengka,...
Peneliti,
(Rini Nuraisa)
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama :.
Alamat :.
Dengan ini menyatakan dengan sebesar-besarnya bahwa saya telah mendapat penjelasan mengenai
tujuan, manfaat, dan prosedur dari penelitian ini dengan judul Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian
dengan Kejadian Hipertensi di Desa Kawunggirang Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Selanjutnya saya dengan ikhlas dan sukarela menyatakan ikut serta dalam penelitian ini sebagai
responden. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan tanpa ada paksaan dari
pihak manapun.
Majalengka,
Yang menyatakan,
(Responden)
Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN
A. Identitas Responden
1. Nomor Responden :
Perempuan
a. Ya
b. Tidak
B. Gaya Hidup
Petunjuk :
Jawablah pertanyaan dengan memberikan tanda V pada kolom yang sesuai dengan keadaan dan
pendapat anda!
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
3. Apakah menurut anda kebiasaan minum kopi tidak akan mengganggu kesehatan jika kita
mengkonsumsinya tidak berlebihan/terlalu banyak?
C. Tipe Kepribadian
Petunjuk:
Jawablah pertanyaan dengan memberikan tanda V pada kolom yang sesuai dengan keadaan anda!
NO PERNYATAAN Jawaban
BENAR SALAH
NO PERNYATAAN Jawaban
BENAR SALAH
12 Saya memiliki beberapa orang yang benar-benar merupakan teman baik saya
D. Hipertensi
a. Pernah
b. Belum pernah
a. Ya
b. Tidak
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, A.D., dan Waren, A. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada
Pasien yang berobat di Poliklinik Dwasa Puskemas Bangkiang periode Januari sampai Juni 2008.
Http://yayanakhyar.wordpress.com, diakses tanggal 2 April 2012.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Kesehatan RI, 2009. Kendalikan Stress dan Hipertensi, Raih Produktivitas.
http://www.depkes.co.id, diakses tanggal 28 Maret 2012.
Elsanti, S. 2009. Panduan Hidup Sehat Bebas Kolesterol, Stroke, Hipertensi & Serangan Jantung.
Yogyakarta: Araska.
Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung Sumatera Barat.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kumar, 2005. Hipertensi Penyakit Vaskuler. http://www.medicine.com/, diakses tanggal 12 Maret 2012.
Marliani, L. 2007. 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Mifbakhuddin. 2007. Hubungan antara Faktor Karakteristik, Konsumsi Garam dan Konsumsi Energi
dengan Kejadian Hipertensi Penduduk Usia Lebih Dari 30 Tahun di Desa Pasar Banggi Rw 4 Kecamatan
Rembang Kabupaten Rembang. Semarang: Universitas Muhammdiyah.
Parkinson, M. 2004. Test Yourself: Personality Questionnaires, Memahami Kuesioner Kepribadian. Solo:
Tiga Seragkai.
Price, L. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahyani. 2007. Epidemiologi Penderita Hipertensi Esensial yang Dirawat di Bagian Penyakit Dalam Perjan
RS DR. M. Djamil Padang. Skripsi. Padang.
Setiawati dan Bustami. 2005. Anti Hipertensi dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.
Shanty, M. 2011. Penyakit yang Diam-diam Mematikan. Yogyakarta: Javalitera.
Yogiantoro, M. 2006. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta:
FKUI.