Anda di halaman 1dari 17

1.

Hakikat kimia dan pembelajaran kimia


A. Kimia merupakan bagian dari sains maka hakikat ilmu kimia sama dengan hakikat sains
yaitu sains sebagai pengetahuan, proses dan produk, penerapan dan sarana
pengembangan nilai dan sikap tertentu seperti berikut ini:
a. Sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, dan menginvestigasi
fenomena alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris.
b. Sains sebagai proses atau metode dan produk. Dengan menggunakan metode ilmiah
yang sarat keterampilan proses, mengamati, mengajukan masalah, mengajukan
hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis serta mengevaluassi data, dan menarik
kesimpulan terhadap fenomena alam akan diperoleh produk sains, misalnya: fakta,
konsep, prinsip dan generalisasi yang kebenarannya bersifat tentatif.
c. Sains dapat dianggap sebagai aplikasi. Dengan penguasaan pengetahuan dan produk
sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah dan memanfaatkan,
memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan
teknologi.
d. Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai
tertentu, misalnya: nilai, religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap
keterbukaan, nilai praktis dan ekonomis dan nilai etika atau estetika.
Implikasi dari pemahaman hakikat sains dalam proses pembelajaran dijelaskan Carin &
Sund dengan memberikan petunjuk sebagai berikut:
a. Peserta didik perlu dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yang didasari
metode ilmiah dan keterampilan proses sains yang mengarah pada belajar penemuan
b. Peserta didikperlu dibimbing untuk melakukan aktivitas yang berkitan dengan
pemecahan masalah dalam masyarakat dan teknologi
c. Peserta didik perlu didorong untuk melakukan belajar dengan melakukan sesuatu
sehingga peserta didik dapat mengonstruksi konsep melalui kegiatan ilmiah

B. Pembelajaran kimia ditinjau dari kegiatan atau metode ilmiah


C. Produk pembelajaran
D. Konsep kimia menurut para hli
Menurut Brady ( 1994 : 3 ), ilmu kimia merupakan ilmu mengenal bahan kimia. Bahan
kimia bukanlah zat abstrak yang perlu ditakuti oleh manusia biasa. Bahan ini mencakup
benda yang ada di sekitar kita. Selanjutnya ilmu kimia dapat didefinisikan sebagai ilmu
murni yang mempelajari bahan-bahan yang ada di alam semesta, interaksi diantaranya
dan perubahan energy yang berhubungan atau disebabkan oleh adanya perubahan-
perubahan alam. Sedangkan menurut Irfan Anshory (2000: 3) ilmu kimia adalah cabang
ilmu pengetahuan alam yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat materi, perubahan
suatu materi menjadi materi lain, serta energy yang menyertai perubahan materi.
Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bertujuan menemukan zat-zat kimia yang langsung
bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia belaka, akan tetapi ilmu kimia dapat pula
memenuhi keinginan seseorang untuk memahami berbagai peristiwa alam yang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakekat materi serta perubahannya ,
menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasan-
gagasan, dan memupuk ketekunan serta ketelitian bekerja. Ilmu kimia lahir dari
keinginan para ahli kimia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa
tentang sifat materi yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan
pengetahuan teoritis tentang materi yang kebenarannya dapat dijelaskan dengan logika
matematika. Sebagian aspek kimia bersifat kasat mata (visible), artinya dapat dibuat
fakta kongkritnya dan sebagian aspek yang lain bersifat abstrak atau tidak kasat mata
(invisible), artinya tidak dapat dibuat fakta kongkritnya. Namun demikian, aspek kimia
yang tidak dapat dibuat fakta kongkritnya harus bersifat kasat logika, artinya
kebenarannya dapat dibuktikan dengan logika matematika sehingga rasionalitasnya dapat
dirumuskan /diformulasikan. Dengan demikian ilmu kimia dalam hal-hal tertentu yang
bersifat teoritis menggunakan teori kebenaran koherensi, dan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan fakta kongkrit (data empiris) menggunakan teori kebenaran
korespondensi.
E. Pembelajaran dari berbagai aspek ilmu kimia

2. Pendekatan pembelajaran kimia


A. Pendekatan STM

Model pembelajaran sains teknologi masyarakat dilaksanakan oleh guru melalui topik
yang dibahas dengan jalan menghubungkan antara sains dan teknologi yang terkait
dengan kegunaannya di masyarakat. Dalam STM, pembelajaran harus dilakukan dalam
konteks kebutuhan masyarakat dengan lebih dahulu menampilkan isu-isu di masyarakat
berkaitan dengan topik yang akan dikaji atau dibahas. Pembelajaran sains yang diawali
dengan isu atau masalah aktual yang ada di masyarakat dan pada akhirnya dikaitkan
dengan teknologi serta kegunaan dan kebutuhan masyarakat, maka konsep-konsep yang
telah dipelajari dan dikuasai peserta didik diharapkan dapat bermanfaat bagi dirinya dan
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya serta masalah
lingkungan sosialnya.
Model pembelajaran sains teknologi masyarakat terdiri dari lima langkah pembelajaran,
yaitu:
a) Tahap pendahuluan (inisiasi, invitasi, apersepsi, dan eksplorasi)

b) Tahap pembentukan dan pengembangan konsep

c) Tahap aplikasi konsep dalam kehidupan

d) Tahap pemantapan konsep, dan

e) Tahap evaluasi

B. Pendekatan CTL
CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan
siswa secara penuh untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi artinya
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung bukan menjadi
tujuan akhir. Siswa mencari dan menemukan serta mengembangkan materi
pembelajaran, tapi harus ada pendidik yang membimbingnya.
CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang
dipelajarinya dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan sehari-harinya. Hal ini
penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan bukan saja bagi
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional tetapi materi yang dipelajarinya akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga diharapka siswa mampu
mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL
bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan
tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak
kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarung kehidupan
nyata.
C. Pendekatan konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran yang mengajak siswa
untuk berpikir dan mengkonstruksi dalam memecahkan suatu permasalahan secara
bersama-sama sehingga didapatkan suatu penyelesaian yang akurat (Saefudin: 2008).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran (Nurhadi,
2004: 33). Berdasarkan definisi di atas, pendekatan konstruktivisme merupakan
pembelajaran yang lebih mengutamakan pengalaman langsung dan keterlibatan siswa
untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam pandangan konstruktivisme strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan
dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Dalam
pembelajaran konstruktivisme guru berperan sebagai fasilitator sekaligus membimbing
dan mengarahkan siswa membangun sendiri pengetahuan dengan terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran.
Trianto (2007) menyebutkan bahwa pendekatan konstruktivisme mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) dengan adanya pendekatan konstruktivisme, pengembangan
pengetahuan bagi siswa dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui kegiatan
penelitian atau pengamatan langsung sehingga siswa dapat menyalurkan ide-ide baru
sesuai dengan pengalaman dengan menemukan fakta yang sesuai dengan kajian teori, (2)
antara pengetahuan-pengetahuan yang ada harus ada keterkaitan dengan pengalaman
yang ada dalam diri siswa, (3) setiap siswa mempunyai peranan penting dalam
menentukan apa yang mereka pelajari. (4) Peran guru hanya sebagai pembimbing dengan
menyediakan materi atau konsep apa yang akan dipelajari serta memberikan peluang
kepada siswa untuk menganalisis sesuai dengan materi yang dipelajari.
D. Pendekatan ketrampilan proses
Pendekatan keterampilan proses adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran IPA yang
beranggapan bahwa IPA itu terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah yang
juga harus dikembangkan pada peserta didik sebagai pengalaman yang bermakna yang
dapat digunakan sebagai bekal
Pembelajaran kimia tidak boleh mengesampingkan proses ditemukannya konsep-konsep
Kimia. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menjelaskan konsep-konsep kimia
ditempuh dengan pendekatan proses. Dalam pendekatan proses pendekatan
pembelajaran didasarkan pada anggapan bahwa ilmu kimia itu terbentuk dan
berkembang akibat diterapkannya suatu proses, yang dikenal dengan metode ilmiah,
dengan menerapkan keterampilan-keterampilan proses Sains, yaitu mulai dari
menemukan masalah hingga mengambil keputusan
E. Pendekatan deduktif-induktif
Pendekatan deduktif merupakan kebalikan dari pendekatan induktif. Pendekatan ini
berproses dari umum ke khusus, dari teorema ke contoh-contoh. Teorema diberikan
kepada siswa dan guru membuktikan. Selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan
soal-soal yang relevan dengan teorema yang diberikan. Kebaikan pendekatan ini
pembelajaran berjalan efisien. Sedangkan kelemahannya, siswa pasif dan siswa akan
merasakan sulit dalam memahami teorema dan konsep yang abstrak
Pendekatan induktif berproses dari hal-hal yang bersifat konkret ke yang bersifat abstrak,
dari contoh khusus ke rumus umum. Setelah para siswa memahami dan menangkap suatu
konsep berdasarkan sejumlah contoh konkret, mereka kemudian sampai kepada generalisasi.
Kebaikan pendekatan ini adalah siswa mempunyai kesempatan aktif di dalam menemukan
suatu formula sehingga siswa terlibat dalam mengobservasi, berpikir dan bereksperimen.
Sedangkan kelemahannya adalah formula yang diperoleh dari cara induktif belum lengkap
ditinjau dari sudut matematika. Selain itu, pendekatan ini banyak menggunakan waktu
Untuk pendekatan ini terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu tahap pendahuluan, tahap
eksplorasi, tahap pembentukan konsep, dan tahap penerapan konsep. Selain itu, Dewanto
(2003) mengatakan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif dimulai
dengan pemberian masalah divergen, kontektual, dan open ended kepada siswa, dengan
harapan siswa dapat menyelesaikan masalah sendiri
Untuk mengeliminasi kelemahan-kelemahan dari masing-masing pendekatan tersebut,
tampaknya gabungan dari pendekatan induktif-deduktif layak untuk digunakan dalam
pembelajaran. Model berfikir induktif dirancang dengan tujuan untuk mendorong para
pelajar menemukan dan mengorganisasikan informasi, menciptakan nama suatu konsep,
dan menjajagi berbagai cara yang dapat menjadikan para pelajar lebih terampil dalam
menyingkap dan mengorganisasikan informasi dan dalam melakukan pengetesan
hipotesis yang melukiskan antar hal. Pada pendekatan induktif ini dimulai dengan
memberikan bermacammacam contoh. Dari contoh-contoh tersebut siswa mengerti
keteraturan dan kemudian mengambil keputusan/kesimpulan yang bersifat umum.
Sebaliknya yang disebut dengan pendekatan deduktif pembelajaran adalah yang mulai
dengan memberikan sesuatu yang bersifat umum, kemudian peserta didik diminta
memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan pernyataan semula. Pembelajaran akan
mudah diingat oleh siswa jika disertai dengan contoh-contoh kongkrit yang dapat dialami
dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran akan efektif jika disesuaikan dengan
lingkangan siswa dalam kesehariannya sehingga akan mudah dipahami
3. Penelitian
A. Populasi sampel, teknik sampling, hipotesis
Populasi adalah keseluruhan dari karasteristik atau unit hasil pengukuran yang
menjadi obyek/subyek penelitian. Subjek penelitian adalah seseorang atau sesuatu, apa
saja, yang tentangnya (sifatnya, keadaannya, attribute-nya) penelitian akan dilakukan.
Sedangkan obyek penelitian adalah sifat atau keadaan (attribute) subjek yang akan
diteliti itu (Tatang, 2009).
Penggunaan polulasi dapat digunakan antara lain jika:
a. jumlah populasi yang akan diteliti terbatas dan sedikit;
b. luas daerah penelitian tidak terlalu luas dan mudah dijangkau;
c. waktu penelitian yang tersedia cukup lama;
d. dana yang tersedia cukup;
e. fasilitas penelitian cukup;
f. tersedia sarana penelitian yang cukup;
g. tersedia tenaga peneliti yang cukup terjaminnya keamanan dalam penelitian.
Sampel adalah cuplikan atau sebagian dari populasi yang akan diteliti atau dapat
juga dikatakan bahwa populasi dalam bantuk mini (miniature populasi). Salah satu syarat
yang harus dipenuhi sampel adalah bahwa sampel harus representatif (mewakili) dari
populasi.
Suatu sampel yang representatif adalah sampel yang anggotanya dapat diambil
secara acak atau random. Dikatakan sampel random, jika setiap individu (anggota
populasi) mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Perlu
juga diperhatikan bahwa batas-batas populasi harus diketahui dan ditetapkan dengan jelas
dan tegas. Begitu juga karakteristik, cara pengukuran dan penelitian yang harus dilakukan
dengan jelas, tegas, dan konsisten. Hal ini penting agar simpulan atau generalisasi yang
diambil tidak bias, artinya hasil yang diperoleh sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Berikut alasan-alasan perlunya pengambilan sampel:
a. Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.
b. Lebih cepat dan lebih mudah.
c. Memberikan informasi yang lebih mendalam.
d. Dapat ditangani lebih teliti.
Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel (Sugiyono, 2001: 56).
Margono (2004: 125) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan teknik sampling adalah
cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan
dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran
populasi agar diperoleh sampel yang representatif.Untuk menentukan sampel yang akan
digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan
Probability Sampling
Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang
yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel
(Sugiyono, 2009:82). Dalam probability sampling, pemilihan sampel tidak dilakukan secara
subjektif, dalam arti sampel yang terpilih tidak didasarkan pada keinginan peneliti, sehingga
setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel.
a. Simple Random Sampling
Simpel random sampling adalah sebuah metode untuk memilih n unsur dari
populasi berukuran N sehingga setiap satu dari NCn sampel berbeda mempunyai
kesempatan yang sama untuk diambil (Cochran, 1977:18). Artinya jika elemen
populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen
tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Cara
atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan
bersifat umum.
b. Stratified Random Sampling
Adalah sebuah teknik pengambilan sampel dimana populasi terlebih dahulu
dibagi-bagi menjadi sub-sub populasi yang antar sub populasi heterogen. Karena sub
populasi heterogen pada setiap sub populasi ada yang diambil sebagai sampel.
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut
mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti
dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin
mengetahui sikap manager terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa
manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi.
Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling
tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan
sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga
tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat
menentukan secara proposional dan tidak proposional.
1. Proportionate Stratified Random Sampling
Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap
stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut.
Teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota atau unsur yang
tidak homogen dan berstrata secara proportional (Sugiyono, 2009:82) Teknik
sampling dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional.
Anggota populasi heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang
signifikan pada pencapaian tujuan penelitian. Misalnya jumlah pegawai yang lulus
S1 45, S2 = 30, STM = 800, ST = 900, SMEA = 400, SD = 300.
2. Disproportionate Stratified Random Sampling
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah
unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit.
Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel, jika populasi
berstrata tetap kurang proporsional (Sugiyono, 2009:83). Misalnya, jumlah guru di
Kecamatan X memiliki 1 orang lulusan S3, 4 orang lulusan S2, 178 orang lulusan
S1 dan 156 orang lulusan Diploma. Maka Pengambilan sampel untuk S3 sebanyak
1 orang, S2 sebanyak 4 orang, sedangkan untuk S1 dan Diploma diambil secara
proporsional.
c. Area (Cluster) Sampling (Sampling Menurut Daerah)
Cluster sampling adalah sebuah sampel random sederhana dalam setiap unit
sampling yang dipilih atau dikelompokan dari elemen-elemen (Scheaffer, 1986: 197).
Sedangkan menurut Arikunto, Sampel Wilayah atau daerah adalah teknik sampling
yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah dalam populasi
Arikunto, 2010: 182). Menurut Sugiyono (2009:83), teknik sampling daerah
digunakan untuk menentukan sampel jika obyek yang akan diteliti atau sumber data
sangat luas. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa cluster sampling ini digunakan
jika objek yang akan diteliti sangat luas, populasi biasanya dalam bentuk gugus atau
kelompok-kelompok tertentu, anggota gugus/kelompok mungkin tidak homogen.
Teknik pengambilan sampel acak klaster dapat digunakan manakala jumlah
tak terbatas dan anggota populasi memiliki sifat-sifat yang sama (homogen) namun
masih dapat dibuat klaster-klaster atau gugus.
d. Sampling Sistematis
Adalah Teknik pengambilan sampel acak sistematis merupakan teknik
pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi
nomor urut (Paidi, 2011: 21). Teknik ini dapat digunakan manakala jumlah terbatas,
anggota populasi memiliki sifat-sifat yang sama (homogen), dan peneliti tidak
memiliki alat pengambil data secara random. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk
memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan
sampel adalah yang keberapa. Misalnya, jika ada 100 guru, semuanya diberi nomor
urut no. 1 s.d. 100. Pengambilan sampel dapat dilakukan berdasarkan urutan nomor
genap saja atau urutan nomor ganjil saja.

Nonprobability Sampling
Nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi
peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi yang dipilih menjadi
sampel (Sugiyono, 2009 : 84-85). Metode Non Probability Sampling digunakan apabila
metode Probability Sampling tidak dapat digunakan terutama dalam kaitannya dengan
pengurangan biaya, waktu, tenaga dan permasalahan yang timbul dalam pembuatan kerangka
sampel.
a. Sampling Kuota
Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang
mempunyyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan. Merupakan
metode penetapan sampel dengan menentukan quota terlebih dahulu pada masing-
masing kelompok, sebelum quota masing-masing kelompok terpenuhi maka
penelitian belum dianggap selesai. Misalnya, Pengambilan sampel dari 1000 guru
PNS. Jika kuota sampel yang dibutuhkan adalah 100 guru, maka pengambilan sampel
dapat dilakukan dengan memilih sampel secara bebas dengan karakteristik yang telah
ditentukan peneliti .
Quota sampling dapat juga disebut sebagai judgment sampling dua tahap dimana :
Tahap I Peneliti merumuskan kategori kontrol atau quota dari populasi
yang akan diteliti
Tahap II Penentuan bagaimana sampel akan diambil, dapat secara
convinience atau judgment, tergantung situasi dan kondisi
penelitian serta kemampuan peneliti
Perbedaan antara judgment dengan quota terletak pada adanya
suatu batasan pada quota sampling. Dalam quota sampling,
sampling yang diambil telah dijatah (quotum) dari setiap sub
kelompoknya.
b. Sampling Accidental
Sampling Accidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
yaitu siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat
digunakan sebagai sampel, jika dipandang orang yang kebetulan ditemui cocok
sebagai sampel. Misalnya, Peneliti ingin mengetahui minat siswa untuk mengunjungi
perpustakaan.
Contoh aplikasi , Penelitian tentang persepsi konsumen terhadap pelayanan.
Penelitian dilaksanakan selama satu minggu. Sampel yang diambil adalah sebesar 100
orang. Konsumen yang akan terpilih sebagai sampel adalah 100 orang pertama yang
ditemui di toko tersebut selama kurun waktu penelitian.
c. Purposive Sampling/ Judgement Sampling
Sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Biasanya teknik ini digunakan untuk studi kasus yang dimana aspek dari
kasus tunggal yang representatif diamati dan dianalisis. Pemilihan sampel didasarkan
pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai hubungan dengan karakteristik
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Memilih sampel berdasarkan kelompok,
wilayah atau sekelompok individu melalui pertimbangan tertentu yang diyakini
mewakili semua unit analisis yang ada. Misalnya, Peneliti ingin mengetahui model
pembelajaran aktif, maka sampel yang dipilih yaitu responden yang ahli dalam bidang
pembelajaran aktif, misalnya : guru, wakil kepala sekolah urusan kurikulum dan lain-
lain.
d. Sampling Jenuh
Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel. Hal ini dilakukan jika jumlah populasi relatif kecil, kurang
dari 30 orang atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang
sangat kecil.
e. Snowball Sampling
Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula
jumlahnya kecil kemudian membesar.
Kelebihan, bias relatif kecil karena populasinya spesifik dan sampelnya
terfokus. Kekurangan, biaya dan waktu yang diperlukan untuk memperoleh informasi
cukup besar. Contoh aplikasi penelitian mengenai pendapat ahli penyakit dalam
senior Indonesia terhadap pengobatan penyakit dalam dengan menggunakan tenaga
dalam. Dalam pelaksanaannya, pertama-tama dilakukan wawancara terhadap seorang
ahli penyakit dalam. Selanjutnya dari yang bersangkutan diminta untuk menunjukan
beberapa ahli lain untuk diwawancarai. Demikian seterusnya hingga diperoleh
sejumlah responden yang diperlukan.

Hipotesis adalah pernyataan tentative yang merupakan dugaan mengenai apa saja
yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahaminya
Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang perlu diuji kebenarannya oleh karena
itu hipotesis berfungsi sebagai kemungkinan untuk menguji kebenaran suatu teori.
Jika hipotesis sudah diuji dan dibuktikan kebenarannya, maka hipotesis tersebut
menjadi suatu teori. Jadi sebuah hipotesis diturunkan dari suatu teori yang sudah ada,
kemudian diuji kebenarannya dan pada akhirnya memunculkan teori baru.
Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih
bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.
Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang
kan diteliti. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan
dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan
sengaja menimbulkan/ menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau
eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.

Hipotesis penelitian
1. hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah tingkat kebenarannya sehingga masih
harus diuji menggunakan teknik tertentu
2. hipotesis dirumuskan berdasarkan teori, dugaan, pengalaman pribadi/orang lain,
kesan umum, kesimpulan yang masih sangat sementara
3. hipotesis adalah jawaban teoritik atau deduktif dan bersifat sementara
4. hipotesis adalah pernyataan keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya
menggunakan data/informasi yang dikumpulkan melalui sampel
5. jika pernyataan dibuat untuk menjelaskan nilai parameter populasi, maka disebut
hipotesis statistik
6. rumusan hipotesis sebenarnya sudah dapat dibaca dari uraian masalah, tujuan
penelitian, kajian teoritik, dan kerangka pikir sehingga rumusannya harus sejalan
7. rumusan hipotesis sebagai petunjuk arah dalam rancangan penelitian, teknik
pengumpulan dan analisis data serta penyimpulan
8. dinyatakan sebagai kalimat pernyataan (deklaratif)
9. melibatkan minimal dua variabel penelitian
10. mengandung suatu prediksi
11. harus dapat diuji (testable)
12. hipotesis korelatif yaitu pernyataan tentang ada atau tidak adanya hubungan antara
dua variabel atau lebih
13. hipotesis komparatif yaitu pernyataan tentang ada atau tidak adanya perbedaan
antara dua kelompok atau lebih
14. hipotesis nihil/nol (h) yaitu hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
antara dua variabel atau lebih atau tidak adanya perbedaan antara dua kelompok atau
lebih
15. hipotesis alternatif (a) yaitu hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara dua
variabel atau lebih atau adanya perbedaan antara dua kelompok atau lebih
B. Hubungan antara identifikasi masalah, pembatasan, tujuan, hipotesis kesimpulan
Identifikasi masalah merupakan kegiatan mencermati berbagai masalah yang terdapat di
dalam suatu lingkup deskripsi latar belakang. Identifikasi masalah menjadi dasar untuk
menentukan pembatasan masalah, yakni dari sekian banyak masalah yang teridentifikasi
hanya satu permasalahan saja yang akan menjadi fokus topik penelitian. Pembatasan
masalah dimaksudkan agar kegiatan penelitian benar-benar dapat mengungkapkan secara
spesifik permasalahan yang diangkat. Oleh karena itu, selanjutnya dibutuhkan
perumusan masalah.
Perumusan masalah menjadi acuan dan titik tolak dari keseluruhan penelitian. Dari
rumusan masalah ini tercermin arah dari penelitian yang dilakukan. Untuk itu, rumusan
masalah harus menjadi rujukan bagi peneliti dalam kegiatan penelitian secara
keseluruhan, mulai dari memilih paradigma dan teori sampai kepada proses
pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Sehingga teori yang dipakai dan data yang
akan dikumpulkan harus selalu relevan dengan rumusan masalah. Dengan kata lain,
penelitian dilakukan untuk mencari jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.
Selanjutnya kaitan antara rumusan masalah dan pertanyaan penelitian ialah pertanyaan
penelitian tidak terlepas dari rumusan masalah karena pertanyaan penelitian merupakan
bentuk penjabaran dari rumusan masalah yang menggunakan kata kerja operasional
sehingga menyiratkan lebih jelas langkah-langkah apa saja yang sebenarnya akan
dilakukan dalam penelitian. Sedangkan kesimpulan merupakan ringkasan hasil penelitian
yang menjawab semua rumusan masalah penelitian.

C. PTK, kualitatif, eksperimen, evaluative

4. Evaluasi
A. Tujuan evaluasi

Evaluasi adalah penentuan nilai suatu program dan penentuan pencapaian tujuan suatu
program. Evaluasi berkaitan dengan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh
mana, dalam hal apa, dan bagaimana dari tujuan pendidikan dapat tercapai. Evaluasi juga
dimanfaatkan untuk mengambil keputusan terhadap sebuah proses secara menyeluruh
(input, proses, output). Evaluasi dapat digambarkan sebagai suatu proses untuk
mempertimbangkan sesuatu barang atau gejala dengan mempergunakan patokan-patokan
tertentu, patokan-patokan itu mengandung pengertian baik-tidak baik, memenuhi syarat-
tidak memenuhi syarat, memadai-tidak memadai, dan sebagainya, dengan dipengaruhi
oleh value judgment.
Kegiatan evaluasi hasil belajar sains menggunakan patokan-patokan untuk menetapkan
sesuatu, patokan-patokan ini boleh bersumber dari hasil pengukuran atau pengujian atau
tes atau mungkin juga bersumber dari sendiri oleh si penilai, sehingga subjektivitasnya
sangat tinggi. Untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh subjektivitas dalam
penilaian, maka digunakan tes dan pengukuran, sehingga keputusan yang diambil
melalui kegiatan penilaian akurasinya atau objektivitasnya dapat dipertanggung
jawabkan.
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi sistem
pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi, metode, media, sumber
belajar, lingkungan maupun sistem penilaian itu sendiri. Sedangkan tujuan khusus
evaluasi pembelajaran disesuaikan dengan jenis evaluasi pembelajaran itu sendiri, seperti
evaluasi perencanaan dan pengembangan, evaluasi monitoring, evaluasi dampak,
evaluasi efisiensi-ekonomis, dan evaluasi program komprehensif. Fungsi evaluasi adalah
untuk untuk perbaikan dan pengembangan sistem pembelajaran. Sebagaimana Anda
ketahui bahwa pembelajaran sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen, seperti
tujuan, materi, metoda, media, sumber belajar, lingkungan, guru dan peserta. Dengan
demikian, perbaikan dan pengembangan pembelajaran harus diarahkan kepada semua
komponen pembelajaran tersebut
Fungsi penilaian hasilbelajar :
1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah
diberikan.
2. Untuk mengetahui kecakapan, motivasi, bakat, minat, dan sikap peserta didik
terhadap program pembelajaran.
3. Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar peserta didik
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
4. Untuk mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran. Keunggulan peserta didik dapat dijadikan dasar bagi guru
untuk memberikan pembinaan dan pengembangan lebih lanjut, sedangkan
kelemahannya dapat dijadikan acuan untuk memberikan bantuan atau bimbingan.
5. Untuk seleksi, yaitu memilih dan menentukan peserta didik yang sesuai dengan
jenis pendidikan tertentu.
6. Untuk menentukan kenaikan kelas.
7. Untuk menempatkan peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya
B. Prinsip evaluasi

1. Kontinuitas
Evaluasi tidak boleh dilakukan secara insidental, karena pembelajaran itu sendiri adalah
suatu proses yang kontinu. Oleh sebab itu, Anda harus melakukan evaluasi secara
kontinu. Hasil evaluasi yang diperoleh pada suatu waktu harus senantiasa dihubungkan
dengan hasil-hasil pada waktu sebelumnya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang
jelas dan berarti tentang perkembangan peserta didik. Perkembangan belajar peserta
didik tidak dapat dilihat dari dimensi produk saja tetapi juga dimensi proses bahkan dari
dimensi input.
2. Komprehensif
Dalam melakukan evaluasi terhadap suatu objek, Anda harus mengambil seluruh objek
itu sebagai bahan evaluasi. Misalnya, jika objek evaluasi itu adalah peserta didik, maka
seluruh aspek kepribadian peserta didik itu harus dievaluasi, baik yang menyangkut
kognitif, afektif maupun psikomotor. Begitu juga dengan objek-objek evaluasi yang lain.
3. Adil dan objektif
Dalam melaksanakan evaluasi, Anda harus berlaku adil tanpa pilih kasih. Semua peserta
didik harus diperlakukan sama tanpa pandang bulu. Anda juga hendaknya bertindak
secara objektif, apa adanya sesuai dengan kemampuan peserta didik. Sikap like and
dislike, perasaan, keinginan, dan prasangka yang bersifat negatif harus dijauhkan.
Evaluasi harus didasarkan atas kenyataan (data dan fakta) yang sebenarnya, bukan hasil
manipulasi atau rekayasa.
4. Kooperatif
Dalam kegiatan evaluasi, Anda hendaknya bekerjasama dengan semua pihak, seperti
orang tua peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, termasuk dengan peserta didik itu
sendiri. Hal ini dimaksudkan agar semua pihak merasa puas dengan hasil evaluasi, dan
pihak-pihak tersebut merasa dihargai.
5. Praktis
Praktis mengandung arti mudah digunakan, baik bagi Anda sendiri yang menyusun alat
evaluasi maupun orang lain yang akan menggunakan alat tersebut. Untuk itu, Anda harus
memperhatikan bahasa dan petunjuk mengerjakan soal.
Dalam penilaian hasil belajar, Anda harus memperhatikan pula hal-hal sebagai berikut :
a. Penilaian hendaknya dirancang sedemikian rupa, sehingga jelas abilitas yang harus
dinilai, materi yang akan dinilai, alat penilaian dan interpretasi hasil penilaian.
b. Penilaian harus menjadi bagian integral dalam proses pembelajaran.
c. Untuk memperoleh hasil yang objektif, penilaian harus menggunakan berbagai alat
(instrumen), baik yang berbentuk tes maupun non-tes.
d. Pemilihan alat penilaian harus sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan.
e. Alat penilaian harus mendorong kemampuan penalaran dan kreatifitas peserta didik,
seperti : tes tertulis esai, tes kinerja, hasil karya peserta didik, proyek, dan portofolio.
f. Objek penilaian harus mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-
nilai.
g. Penilaian harus mengacu kepada prinsip diferensiasi, yaitu memberikan peluang
kepada peserta didik untuk menunjukkan apa yang diketahui, apa yang dipahami dan
apa yang dapat dilakukan.
h. Penilaian tidak bersifat diskriminatif. Artinya, guru harus bersikap adil dan jujur
kepada semua peserta didik, serta bertanggung jawab kepada semua pihak.
i. Penilaian harus diikuti dengan tindak lanjut.
j. Penilaian harus berorientasi kepada kecakapan hidup dan bersifat mendidik
C. Penyusunan instrumen

Penilaian terhadap hasil belajar peserta didik selalu memerlukan instrumen penilaian. Ada
kalanya guru kurang mempersiapkan dengan baik instrumen tersebut dan terkesan asal-
asalan. Padahal hasil penilaian merupakan informasi penting, baik bagi guru sebagai
umpan balik terhadap berhasil tidaknya dalam mengajar maupun bagi peserta didik
terhadap tingkat penguasaan yang telah dicapai. Oleh karena itu sebelum melakukan
penilaian, guru perlu mempersiapkan instrumen penilaian dengan baik dan juga
mengetahui bagaimana membuat soal yang baik. Sebenarnya instrumen soal yang baik
adalah yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi.
a. Menentukan Tujuan Tes
Penentuan tujuan tes penting dilakukan karena dengan tujuan yang jelas maka
pengembangan instrumen akan lebih mudah dilakukan.
b. Melakukan analisis kurikulum
Analisis kurikulum dilakukan dengan menelaah kurikulum yang ada berkaitan dengan
tujuan tes yang telah ditetapkan. Instrumen yang dikembangkan harus mengacu pada
SK dan KD.
c. Menyusun Kisi-Kisi
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal (meliputi SK-KD,
materi, indikator, dan bentuk soal) yang akan dibuat. Dalam membuat kisi-kisi ini,
kita juga harus menentukan bentuk tes yang akan kita berikan.
d. Penulisan Butir Soal
Penulisan butir soal disesuaikan dengan kisi-kisi yang telah dibuat sesuai dengan jenis
tes dan indikator pembelajaran yang dirumuskan. Penulisan soal juga harus
memperhatikan kaidah bahasa, materi, dan konstruksi.
e. Melakukan telaah instrumen secara teoritis
Telaah instrumen tes secara teoritis atau kualitatif dilakukan untuk melihat kebenaran
instrumen dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Telaah instrumen secara teoritis
dapat dilakukan dengan cara meminta bantuan ahli/pakar, teman sejawat, maupun
dapat dilakukan telaah sendiri. Setelah melakukan telaah ini kemudian dapat diketahui
apakah secara teoritis instrumen layak atau tidak.
f. Uji coba soal tes
Sebelum tes digunakan perlu dilakukan terlebih dahulu uji coba tes. Langkah ini
diperlukan untuk memperoleh data empiris terhadap kualitas tes yang telah disusun.
Ujicoba ini dapat dilakukan ke sebagian siswa, sehingga dari hasil ujicoba ini
diperoleh data yang digunakan sebagai dasar analisis tentang reliabilitas, validitas,
tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, daya beda, dan lain-lain.
g. Merevisi Soal
Berdasarkan hasil analisis butir soal dan hasil uji coba kemudian dilakukan perbaikan
terhadap soal-soal yang belum memenuhi standar kualitas yang diharapkan sehingga
diperoleh perangkat tes yang lebih baik. Untuk soal yang sudah baik tidak perlu lagi
dibenahi, tetapi soal yang masuk kategori tidak bagus harus dibuang karena tidak
memenuhi standar kualitas.

Anda mungkin juga menyukai