Anda di halaman 1dari 38

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Eksplorasi
Dalam Kamus Bahas Indonesia, eksplorasi diartikan sebagai penjelajahan
lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak tentang keadaan terutama
sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu. Eksplorasi mempunyai sebuah arti yaitu
suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka pembelajaran dan mengacu pada sebuah
penelitian (penjajakan), dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak tentang
keadaan atau suatu benda dengan cara pengumpulan data untuk menghasilkan suatu
bentuk perupaan yang baru (Indriyani, 2018). Menurut Purwadi dalam Desmawati
(2018:10) menyatakan bahwa eksplorasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan
menggali infromasi atau alternatif yang sebanyak-banyaknya untuk hal yang berkaitan
dengan kepentigan masa mendatang. Eksplorasi adalah kegiatan mencari dan menggali
pengetahuan mengenai suatu benda atau keadaan secara mendalam dengan tujuan
memperoleh suatu pengalaman yang baru (Lestari, 2019).
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Ekplorasi
adalah suatu kegiatan untuk mencari, menggali atau meneliti informasi dari sumber-
sumber tertentu lebih dalam lagi untuk mengetahui lebih banyak mengenai suatu masalah
yang berkembang dalam masyarakat dengan cara melakukan pengumpulan data.

B. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan
subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi
secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan pembelajaran
secara efektif dan efisisen Komalasari (2006 : 3). Pembelajaran juga merupakan upaya
yang dilakukan untuk membantu seseorang atau sekelompok orang sedemikian rupa
dengan maksud supaya di samping tercipta proses belajar juga sekaligus supaya proses
belajar menjadi lebih efesien dan efektif.
Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil

dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai
asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata

mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein

atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka

perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).

Dalam KBBI, mengatakan matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara

bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah

mengenai bilangan. Penjelasan matematika juga diungkapkan Soedjadi (2000 : 11),

yakni matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan

bilangan. Matematika juga merupakan pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan

masalah tentang ruang dan bentuk.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar


dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari
proses pembelajaran. Adanya kebudayaan yang dikaitkan dengan matematika tidak lepas
dengan suatu model pembelajaran. Model pembelajaran yang digunakan yaitu
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual teaching and Learning
(CTL). CTL adalah model pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi
pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam prakteknya, masalah kontekstual harus dibangun berdasarkan aktivitas anak atau
masyarakat dimana anak berada. Masalah kontekstual yang dibangun salah satunya
adalah dengan mengaitkan pembelajaran dengan budaya. Dalam konteks pembelajaran,
pemberdayaan budaya dan kearifan lokal menjadikan siswa tidak merasa terasing dalam
belajarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pembelajaran

matematika menggunakan model pembelajaran kontekstual adalah proses interaksi antara

guru dan siswa mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa

dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan pengembangan pola berfikir

dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja diciptakan oleh guru

agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa

dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien.

Dalam pembelajaran kontekstual terdapat tujuh komponen utama yang merupakan

karakteristik pembelajaran yakni : kontruktivisme (constructivism) menemukan (inquiry),

bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),

refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).

a. Kontruktivisme (constructivisme)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa

pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas

melalui kontek yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau

kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan

itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Kontruktivisme menekankan pada belajar secara autentik yakni belajar dengan

melakukan proses interaksi dengan objek yang dipelajari secara nyata.

Kontruktivisme adalah proses menbabagun atau menyusun pegetahuan baru dalam

struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan siswa dapat terbentuk

dari dua faktor yaitu, objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek

untuk menginterpretasi objek tersebut Sanjaya, (2006:264).

b. Menemukan (inquiry)

Menemukan merupakan komponen inti dari pendekatan CTL. Proses

pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir


secara sistematis. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan,

telah lama diperkenalkan pula dalam pembelajaran inquiri and discovery (mencari

dan menemukan).

Secara umum proses inquiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:

1) Merumuskan masalah

2) Mengajukan hipotesis

3) Mengumpulkan data

4) Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan

5) Membuat kesimpulan

Melalui tahapan tersebut, maka proses pembelajaran dalam menemukan

pengetahuan yang baru akan lebih terarah dan tampak dalam pendekatan CTL.

c. Bertanya (questioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya

dapat dilihat sebagai refleksi dari keinginantahuan setiap individu; sedangkan

menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam

proses pembelajaran melalui CTL , guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,

akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karna itu peran

bertanya sangat penting sebab, melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat

membimbimg dan mengarahkan siswa menemukan setiap materi yang dipelajarinya.

Dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya aan sangat berguna untuk:

1) Menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi

pembelajaran.

2) Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.


3) Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu.

4) Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.

5) Membimbing siwa untuk menemukan dan menyimpulkan sesuatu.

d. Masyarakat Belajar (learning community)

Leo Semenovich Vygotsky, seorag psikolog Rusia, mengatakan bahwa

pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang

lain. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar

hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar

dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, dan antar

kelompok. Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan

dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam

kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari

kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.

Proses pembelajaran memerlukan proses kerja sama antara guru dan siswa,

sesama siswa atau siswa dengan lingkungannya. Komponen ini akan menciptakan

proses berbagi masalah (sharing problem), berbagi informasi (sharing information),

berbagi pengalaman (sharing experiencen), dan berbagi pemecahan masalah (sharing

problem). Proses tersebut diharapkan dapat meningkatkan kerja sama, pengetahuan

dan keterampilan belajar.

e. Pemodelan (Modeling)

Pemodelan merupakan salah satu komponen CTL yang dapat dilakukan guru

dalam proses pembelajaran yang kemudian dapat ditiru oleh siswa guna
mempermudah dalam mengkonstruksi pengetahuan. Akan tetapi proses ini lebih

menekankan pada bagaimana mengoperasikan suatu kegiatan agar dapat mencapai

tujuan. Dalam CTL ini, model dapat dirancang dengan melibatkan partisipasi dari

siswa maupun dari sumber belajar.

f. Refleksi (Reflektion)

Refleksi merupakan proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang

dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa

pembelajaran yang telah dilaluinya. Refleksi merupakan bagian terpenting dari CTL,

karna pada akhir pembelajaran merupakan waktu yang tepat untuk merefleksi

pembelajaran. Adapun hal yang dapat dilakukan dalam proses ini adalah memberikan

pernyataan langsung terhadap apa yang diperoleh hari itu, melakukan pencatatan

terhadap apa yang menjadi pengetahuan baru, menyatakan kesan dan saran mengenai

pembelajaran. Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan

tradisonal adalah cara-cara berpikir tentang seuatu yang telah dipelajari oleh siswa.

Dalam proses pembelajaran dengan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung dan mengingat kembali apa

yang telah dipelajari.

g. Penilaian Autentik (authentic assessment)

Tahap terakhir pembelajaran kontekstual adalah penilaian. Penilaian autentik

merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran

perkembangan belajar siswa. Penilaian ini menekankan pada proses pembelajaran

sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan
siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Adapun penjelasan mengenai

karakteristik dari penilaian autentik (Authentic Assesment) yakni sebagai berikut.

1) Penilaian dilakukan selama dan sesudah proses pembelajaran

berlangsung.Penilaian dilakukan selama dan sesudah proses pembelajaran

berlangsung.

2) Aspek yang diukur adalah keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta

apakah peserta didik belajar atau apa yang sudah diketahui peserta didik.

3) Penilaian dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan dalam beberapa tahapan

dan periodik, sesuai dengan tahapan waktu dan bahasannya, baik dalam bentuk

formatif maupun sumatif.

4) Penilaian dilakukan secara integral, yaitu menilai berbagai aspek pengetahuan,

sikap, dan keterampilan peserta didik sebagai satu kesatuan utuh.

5) Hasil penilaian digunakan sebagai feedback, yaitu untuk keperluan pengayaan

(enrichment) standar minimal telah tercapai atau mengulang (remedial) jika

standar minimal belum tercapai.

Berdasarkan tujuh komponen CTL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

pendekatan CTL membantu dalam proses pembelajaran yang membantu siswa

mengkonstruksi pengetahuan dengan melakukan tahapan pembelajaran penemuan

(inquiry) dan melakukan kerjasama sebagai bentuk konkret dalam proses

kontekstual.

Berikut Sintaks pembelajaran kontekstual berbasis tenun kelompok Tolfe’u.

Tabel 2.1 Sintaks pembelajaran kontekstual berbasis tenun kelompok Tolfe’u


Aktivitas Komponen Kontekstual
a. Guru mengembangkan Constructivisme
pemikiran siswa untuk
melakukan kegiatan
belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja
sendiri, menemukan
sendiri dan
mengkontruksi sendiri
pengetahuan dan
ketrampilan baru yang
harus dimiliknya
menggunakan media
pembelajaran tenunan
kelompok Tolfe’u.
b. Guru memberikan Inquiry
kesempatan pada peserta
didik untuk menemukan
solusi dari masalah yang
diberikan.
c. Guru memberikan Questioning
kesempatan pada siswa
untuk bertanya.
d. Guru membagi peserta Learning Community
didik dalam kelompok.
e. Guru meminta peserta
didik untuk berdiskusi
dan mengerjakan
pertanyaan yang ada.
f. Guru menghadirkan Modeling
tenunan kelompok
Tolfe’u sebagai contoh
pembelajaran.
h. Guru melakukan refleksi Reflection
dengan mengungkapkan
kesan peserta didik
terhadap pembelajaran
yang telah dilakukan.
i. Guru meminta siswa Authentic Assesment
untuk mengerjakan
latihan soal.

C. Budaya
Koentjanigrat mengartikan kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah. Kata buddhayah merupakan bentuk jamak dari budi, yang dapat diartikan
sebagai budi atau akal. Jadi, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan akal (Sidin, 2018).
Menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, (Rachmawati, 2012)). Hal tersebut
mengartikan bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau
kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli
sejarah budaya mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat
(Rachmawati, 2012).
Dominikus, (2018) mendefinisikan kebudayaan mencakup dua hal. Pertama,
istilah budaya digunakan untuk mengacu pada pola kehidupan masyarakat, kegiatan dan
pengaturan material dan sosial yang berulang secara teratur yang merupakan kekhususan
suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini pengertian budaya mengacu pada
benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang bisa diamati atau diindrai di lingkungan hidup.
Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan
yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi
mereka, menentukan tindakan dan memilih di antara alternatif yang ada.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Budaya
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia sebagai warisan
atau tradisi yang mengacu pada pola kehidupan masyarakat secara turun temurun tentang
benda-benda, peristiwa-peristiwa, sistem pengetahuan dan kepercayaan.

D. Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u


1. Sejarah Kecamatan Fatuleu Tengah
a. Menurut Bapak Tadius Suan
Fatuleu terletak di kabupaten kupang, Nusa Tenggara Timur. Fatuleu terbagi atas
3 kecamatan yaitu Fatuleu Tengah, Fatuleu Barat dan Fatuleu Induk (Camplong).
Fatuleu Tengah memiliki 4 desa yaitu Nunsaen, Olbiteno, Pasi dan Nonbaun.
Pada awalnya kecamatan Fatuleu Tengah adalah sebuah hutan yang keunikannya
memiliki gunung besar. Pada tahun 1929 Belanda dan Usif Sonbai (Raja Fatuleu
Tengah) saling berperang, korban darah untuk mendapatkan Fatuleu Tengah. Dan
peperangan dimenangkan oleh Usif Sonbai, karena pada zaman itu Usif Sonbai
memakai ilmu hitam atau ilmu sembah. “Taon 1929 inan fena mnao Kauniki in
mapala fatu ne Suan Jelal nok Martakel. Sonbai in mapala bendera meter nua,
kenat mese, a peot buku, mese sobe mas, nok aleku pasan mese amfel Suan in
Jelal in. Bendera meter nua nok kenat mese amfel Martakel, mah Martakel inan
fena Amfoang. (Tahun 1929 Usif Sonbai pergi ke Kauniki, sebelumnya Usif
Sonbai memberikan kepada Raja Suan dan Raja Jelal masing-masing yaitu
mendapatkan satu bendera berukuran dua meter, satu senapan tumbuk, satu buku
sejarah, satu topi mas, dan gong satu pasang. Sedangkan peninggalan untuk Raja
Martakel yaitu satu bendera berukuran dua meter dan satu senapan tumbuk, tetapi
Raja Martakel kembali ke Amfoang)’’. Sonbai in amfe, in feot, Atoin amaf
(Saudara, Tua adat) yaitu Tunsakune, Ola lalan, Mael Selas, dan Mael Taboen.
“hit oen nalali ulan tulun, nen nunleu amnael haltin tanao hale ne sonbai neu
kalu in ne tais nok le in neu lol in nok on le an hin nokan in kan nau haba in
nokan ma in neman talaij on am fin, sonbai kanemaf hin muif hak hin mandat, he
unu-unu kase kana blenat kit fat neu no hit le uis le sonbai. (Kita biasa minta
hujan di Usif Sonbai, kita berdoa di goa Nunleu, setelah doa selesai hujan
langsung turun, jika hujan tidak datang, kita semua naik ke Fatuleu kasih kabar
ke Sonbai kalau ia datang berarti ia datang, kalau tidak datang ia kasih mandat
kepada Suan Jelal dan Tua adat, kalau tanam tanaman tidak jadi kita beritau
kepada Sonbai)’’. “Bukan sembarang hem tao noel nok lotis, noel na ne aba tobe
es le nan, lotis nane fatuleu in nan ne naskau ana nane in fele at su’u oko, in le
on atoin su’u oko es nipan nan sanut maken na kua binan. (Tenun Fatuleu bukan
sembarang ditenun motifnya yaitu motif Buna dan Sotis punya arti tersendiri,
Buna berarti pagar masyarakat, gunung fatuleu membentuk satu kepala keluarga
bagian batu paling tinggi sebagai seorang bapak (lambang Buna), bagian batu
rendah sebagai seorang ibu dan anak (lambing Sotis) yang sedang menjunjung
batu yang tinggi dengan memegang tempat siri)’’. Motif Buna Fatuleu
menggambarkan pembesar sehingga digunakan pada saat penyambutan orang
besar, sedangkan motif Sotis menggambarkan masyarakat kecil sehingga
digunakan pada saat acara kecil. Pada tahun 1930 bulan maret Utusan injil
Simson Suan dari Fatuoni mendirikan gereja di Hausisi, Naifalo. Selanjutnya
gereja dipindah ke Laiskot, pindah lagi ke Nunapa, setelah itu gereja dipindahkan
kembali ke Naifalo. “Ol ne kleij mfae Ena Ola nok fele Yakomina Suan, Tafin
Suan nok fele Neno Niuflapu sin mnao kleij ne Simson Suan oen sin le faig kleij
na hoinan ana. (Pada suatu hari tepat pada hari minggu, Ena Ola dan istrinya
Yakomina Suan, Tafin Suan dan istrinya Neno Niuflapu pergi ke gereja dan
bertemu Utusan injil Simson Suan untuk di doakan supaya memiliki keturunan,
setelah itu satu minggu kemudian mereka memiliki anak)’’. Saat ini gereja
Fatuleu memiliki 4 cabang yaitu Induknya adalah Gereja Fatusukif Naifalo,
Gereja Ebenhaezer Kabuka, Gereja Dian Nunsaen dan Gereja Getsemani. Untuk
mencari tau malapetaka besar yang menimpa kami dan keturunan kami maka ada
lempengan dari gunung Fatuleu yang roboh berarti dalam waktu dekat ada pejabat
yang meninggal dunia atau ada musibah yang menimpah seorang pejabat dan itu
sudah berlangsung dari dulu yaitu ketika ibu Tien Soeharto dan Presiden Soeharto
meninggal ada lempengan Fatuleu yang roboh.
b. Menurut Bapak Felipus Suan
Fatuleu terletak di kabupaten kupang, Nusa Tenggara Timur. Fatuleu terbagi atas
3 kecamatan yaitu Fatuleu Tengah, Fatuleu Barat dan Fatuleu Induk (Camplong).
Fatuleu Tengah memiliki 4 desa yaitu Nunsaen, Olbiteno, Pasi dan Nonbaun.
Kecamatan Fatuleu Tengah sudah ada sejak dahulu sebelum peperangan. Pada
tahun 1929 Usif Sonbai mengumpulkan Raja Suan dan saudaranya dari Kolabe
(Nikliu) bernama Raja Jelal untuk menyerahkan Fatuleu Tengah, dari kedua Raja
ini sebutan Raja Suan dan Raja Jelal menjadi satu yaitu Raja Suan Jelal. Setelah
menyerahkan Fatuleu Tengah, Usif Sonbai pindah ke Kauniki. Atoin amaf dari
masyarakat Fatuleu Tengah yaitu Tunsakune, Ola lalan, Mael Selas, dan Mael
Taboen. Pada zaman ini Usif Sonbai, Raja Suan Jelal tidak mengenal Gereja,
mereka pergi ke Goa untuk menyembah. Tidak hanya pergi menyembah di goa
tetapi mereka juga membawa hasil makanan untuk makan di goa. Goa itu masih
ada sampai sekarang. Pada tahun 1930 Bapak dari Bapak Felipus Suan yaitu
seorang utusan injil dari Fatuoni mendirikan gereja di Hausisi, Naifalo, Fatuleu
Tengah. Pada zaman ini banyak masyarakat Fatuleu Tengah yang menolak
berdirinya gereja. Setelah itu gereja di pindah ke Laiskot, selanjutnya dipindahkan
lagi ke Boni, tidak bertahan lama gereja di pindahkan lagi ke Nunapa. Pada tahun
1965 pada masa KPI gereja dipindahkan ke Naifalo, Fatuleu Tengah, pada zaman
ini banyak masyarakat Fatuleu Tengah yang dibunuh, Bapak Simson Suan
berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh Bapak Ruben Selai. Pada masa ini
semua masyarakat Fatuleu tengah mengenal gereja, setelah itu gereja di pimpin
oleh Bapak Nikodemus Nepat. Pada masa jabatan Bapak Nikodemus terjadi
khasus perkalian besar-besaran, selanjutnya pada tahun 1992 diganti oleh Bapak
Simson Marin (memimpin 11 tahun). Selanjutnya di pimpin oleh Bapak Nitbani
tahun 2003, pada masa ini nama gereja diberikan nama Fatusukif Naifalo
selanjutnya digantikan oleh Ibu Naisanu. Ibu naisanu memimpin dari tahun 2009-
2016. Setelah itu gereja dipimpin oleh Ibu Luisa sampai sekarang. Saat ini gereja
Fatuleu memiliki 4 cabang yaitu Induknya adalah Gereja Fatusukif Naifalo,
Gereja Ebenhaezer Kabuka, Gereja Dian Nunsaen dan Gereja Getsemani.
Kampung Fatuleu terkenal dengan sebuah Gunung yang saat ini menjadi tempat
pariwisata. Pariwisata ini diresmikan pada tahun 2017 oleh Bupati Ayub Titu Eki,
gunung Fatuleu berarti batu keramat, seseorang yang memanjat gunung fatuleu
dengan tidak hati-hati dengan mudah mendapatkan musibah, terdapat banyak
tanaman dibumi yang berada pada gunung fatuleu, hal ini hanya bisa dilihat oleh
orang-orang tertentu, jika ada orang pembesar yang meninggal maka ada
lempengan gunung Fatuleu yang roboh beberapa saat sebelumnya.
c. Menurut Bapak Mateos Niuflapu
Fatuleu terletak di kabupaten kupang, Nusa Tenggara Timur. Fatuleu terbagi atas
3 kecamatan yaitu Fatuleu Tengah, Fatuleu Barat dan Fatuleu Induk (Camplong).
Fatuleu Tengah memiliki 4 desa yaitu Nunsaen, Olbiteno, Pasi dan Nonbaun.
Kecamatan Fatuleu Tengah sudah ada sejak dahulu sebelum peperangan. Raja
yang memimpin Fatuleu Tengah yaitu Sonbai, kemudian Fatuleu diserahkan
kepada Bapak Leluhur Fatuleu Tengah Raja Suan Jelal (dua orang bersaudara,
istilah Suan adalah anak laki-laki dan Jelal adalah anak perempuan) adapun teman
sekerja Suan Jelal yaitu Raja Martakel, setelah itu Usif Sonbai pindah ke Kauniki.
Raja Suan Jelal tidak memiliki anak, hanya memiliki anak angkat yaitu Tua adat
(Atoin amaf) antara lain Tunsakune, Ola lalan, Mael Selas, dan Mael Taboen.
Pada zaman itu tidak ada Gereja, mereka hanya menyembah atau memakai ilmu
hitam, tempat mereka menyembah yaitu di Goa Nualeu. Tidak hanya pergi
menyembah di goa tetapi mereka juga membawa hasil makanan untuk makan di
goa. Pada tahun 1930 Utusan injil Bapak Simson Suan dari Fatuoni yang
membangun gereja di Hausisi, Naifalo. Setelah itu gereja dipindahkan ke Laiskot,
pindah lagi ke Nunapa, dan kembali pindah ke Naifalo tahun 1965. Pada zaman
ini ada dua keluarga yang tidak mem punyai anak yaitu Bapak Ena Ola bersama
istrinya Yakomina Suan dan Bapak Tafin Suan bersama istrinya Neno Niuflapu,
sebelumnya dua keluarga ini menyembah dan berhala agar mempunyai anak
tetapi tidak di karuniai anak sehingga pada suatu saat mereka pergi ke gereja
untuk bertemu dengan Utusan Injil Bapak Simson Suan untuk mendoakan mereka
supaya memiliki anak setelah di doakan satu minggu kemudian kedua keluarga ini
memiliki anak. Hal ini diketahui oleh masyarakat Fatuleu sehingga mereka semua
mengenal gereja, waktu yang bersamaan terjadinya pembunuhan besar-besaran
yaitu KPI, jika masyarakat Fatuleu tidak ke gereja maka mereka akan dibunuh.
Saat ini gereja Fatuleu memiliki 4 cabang yaitu Induknya adalah Gereja Fatusukif
Naifalo, Gereja Ebenhaezer Kabuka, Gereja Dian Nunsaen dan Gereja Getsemani.
Gunung Fatuleu pernah diincar untuk dibeli oleh Juragan Perusahaan Marmer,
pada saat itu Bapak Mateos Niuflapu menjabat sebagai Kepala Desa Fatuleu
tengah, upaya yang dilakukan oleh Bapak Mateos Niuflapu yaitu mengajak
masyarakatnya untuk melawan pihak yang ingin menjual sehingga gunung
Fatuleu tidak jadi dijual. Gunung Fatuleu adalah warisan yang memiliki banyak
arti bagi masyarakat Fatuleu Tengah, mereka begitu menyayangi gunung Fatuleu.
Jika ada orang pembesar yang meninggal maka ada lempengan gunung Fatuleu
yang jatuh, hal ini di buktikan dengan jatuhnya lempengan batu Fatuleu beberapa
saat sebelum meninggalnya Ibu Tien Soeharto dan Presiden Soeharto ada
lempengan Fatuleu yang roboh.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas penulis menyimpulkan Fatuleu
terletak di kabupaten kupang, Nusa Tenggara Timur. Fatuleu terbagi atas 3
kecamatan yaitu Fatuleu Tengah, Fatuleu Barat dan Fatuleu Induk. Fatuleu
Tengah memiliki 4 desa yaitu Nunsaen, Olbiteno, Pasi dan Nonbaun. Kecamatan
Fatuleu Tengah sudah ada sejak dahulu sebelum peperangan. Pada awalnya
kecamatan Fatuleu Tengah adalah sebuah hutan yang keunikannya memiliki
gunung besar. Pada tahun 1929 Belanda dan Usif Sonbai (Raja Fatuleu Tengah)
saling berperang, korban darah untuk mendapatkan Fatuleu Tengah. Dan
peperangan dimenangkan oleh Usif Sonbai, karena pada zaman itu Usif Sonbai
memakai ilmu hitam atau ilmu sembah. Setelah itu Usif Sonbai pindah ke
Kauniki. Sebelum pindah Usif Sonbai menyerahkan Fatuleu Tengah beserta
peninggalan lainnya ke tiga Raja yaitu: Raja Suan, Raja Jelal dan Raja Martakel.
Raja Suan dan Raja Jelal yaitu saudaranya dari Kolabe, Nikliu (dua orang
bersaudara dan namanya digabungkan menjadi Suan Jelal) peninggalan yang
diberikan kepada Raja Suan Jelal yaitu masing-masing mendapatkan satu bendera
berukuran dua meter, satu senapan tumbuk, buku sejarah, satu topi mas dan gong
satu pasang. Sedangkan peninggalan untuk Raja Martakel yaitu satu bendera
berukuran dua meter dan satu senapan tumbuk, setelah itu Raja Martakel pindah
ke Amfoang. Pada zaman ini kedua Raja Suan dan Raja Jelal tidak mengenal
gereja dan setiap kali musim hujan hampir tiba Raja Suan dan Raja Jelal pergi ke
salah satu goa di gunung fatuleu untuk menyembah dan meminta hujan, nama goa
itu adalah goa Nunleu. Goa itu masih ada sampai sekarang, tidak hanya pergi
menyembah di goa tetapi mereka juga membawa hasil makanan untuk makan di
goa. Atoin amaf (Saudara, Tua adat) dari Usif Sonbai yaitu Tunsakune, Ola lalan,
Mael Selas, dan Mael Taboen. Tenun Fatuleu bukan sembarang ditenun motifnya
yaitu motif Buna dan Sotis punya arti tersendiri, Buna berarti memagari
masyarakat, bentuk gunung Fatuleu membentuk satu kepala keluarga bagian batu
paling tinggi sebagai seorang bapak (lambang Buna), bagian batu rendah sebagai
seorang ibu dan anak (lambang Sotis) yang sedang menjunjung batu yang tinggi
dengan memegang tempat siri)’’. Motif Buna Fatuleu menggambarkan pembesar
sehingga digunakan pada saat penyambutan orang besar, sedangkan motif Sotis
menggambarkan masyarakat kecil sehingga digunakan pada saat acara kecil. Pada
tahun 1930 datanglah seorang Utusan injil dari Fatuoni ke Hausisi Naifalo,
Fatuleu Tengah, Utusan injil itu bernama Simson Suan. Utusan injil Simson Suan
membangun gereja dan merupakan gereja pertama yang ada di kecamatan Fatuleu
Tengah. Pada zaman ini banyak masyarakat Fatuleu Tengah yang menolak
berdirinya gereja. Setelah itu gereja di pindah ke Laiskot, selanjutnya dipindahkan
lagi ke Boni, tidak bertahan lama gereja di pindahkan lagi ke Nunapa. Pada tahun
1965 gereja di pindahkan ke Hausisi Naifalo, banyak masyarakat Fatuleu Tengah
yang dibunuh, Pada zaman ini ada dua keluarga yang tidak mempunyai anak
yaitu Bapak Ena Ola bersama istrinya Yakomina Suan dan Bapak Tafin Suan
bersama istrinya Neno Niuflapu, sebelumnya dua keluarga ini menyembah dan
berhala agar mempunyai anak tetapi tidak di karuniai anak sehingga pada suatu
saat mereka pergi ke gereja untuk bertemu dengan Utusan Injil Bapak Simson
Suan untuk mendoakan mereka supaya memiliki anak setelah di doakan satu
minggu kemudian kedua keluarga ini memiliki anak. Hal ini diketahui oleh
masyarakat Fatuleu sehingga mereka semua mengenal gereja, waktu yang
bersamaan terjadinya pembunuhan besar-besaran yaitu KPI, jika masyarakat
Fatuleu tidak ke gereja maka mereka akan dibunuh. Bapak Simson Suan berhenti
dari jabatannya dan digantikan oleh Bapak Ruben Selai, setelah itu gereja di
pimpin oleh Bapak Nikodemus Nepat. Pada masa jabatan Bapak Nikodemus
terjadi khasus perkalian besar-besaran, selanjutnya pada tahun 1992 diganti oleh
Bapak Simson Marin (memimpin 11 tahun). Selanjutnya di pimpin oleh Bapak
Nitbani tahun 2003, pada masa ini nama gereja diberikan nama Fatusukif Naifalo
selanjutnya digantikan oleh Ibu Naisanu. Ibu naisanu memimpin dari tahun 2009-
2016. Setelah itu gereja dipimpin oleh Ibu Luisa sampai sekarang. Saat ini gereja
Fatuleu memiliki 4 cabang yaitu Induknya adalah Gereja Fatusukif Naifalo,
Gereja Ebenhaezer Kabuka, Gereja Dian Nunsaen dan Gereja Getsemani.
Kampung Fatuleu terkenal dengan sebuah Gunung yang saat ini menjadi tempat
pariwisata. Pariwisata ini diresmikan pada tahun 2017 oleh Bupati Ayub Titu Eki,
gunung Fatuleu berarti batu keramat, seseorang yang memanjat gunung fatuleu
dengan tidak hati-hati dengan mudah mendapatkan musibah, terdapat banyak
tanaman dibumi yang berada pada gunung Fatuleu, hal ini hanya bisa dilihat oleh
orang-orang tertentu, jika ada orang pembesar yang meninggal maka ada
lempengan gunung Fatuleu yang roboh beberapa saat sebelumnya. hal ini di
buktikan dengan jatuhnya lempengan batu Fatuleu beberapa saat sebelum
meninggalnya Ibu Tien Soeharto dan Presiden Soeharto ada lempengan Fatuleu
yang roboh.
Salah satu cara melestarikan gunung Fatuleu yaitu dengan menenun.
Keunikan dari kain tenun Fatuleu Tengah yaitu kain motif selalu memiliki warna
merah dan putih, hal ini menjadi warisan dari nenek moyang mereka karena
merah putih melambangkan bendera merah putih yang menjadi peninggalan dari
Raja Sonbai. Selain itu ini menjadi alasan ada satu bendera merah putih yang
dikibarkan diatas puncak gunung Fatuleu. Mata pencaharian dari masyarakat
Fatuleu Tengah yaitu Menenun dan berkebun. Setiap perempuan Fatuleu wajib
tenun barulah dianggap bisa berumah tangga. Dengan menenun masyarakat
Fatuleu dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu masyarakat
Fatuleu berinisiatif untuk membuat kelompok tenun dan kelompok tenun sudah
diketahui oleh orang-orang dari berbagai dunia. Nama kelompok tenun yaitu
kelompok Tolfe’u. tempat menenun di Desa Nunsaen (sebutan kampung tenun
Timor). Masyarakat Fatuleu tengah biasanya menenun dengan motif Loti (Sotis)
dan motif Noel (Buna). Motif Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna) sendiri
terinspirasi dari gambar bunga gunung Fatuleu, tetapi seiring berjalannya waktu
bunga itu sudah tidak ada lagi. Motif Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna)
memiliki kesamaan dalam proses penenunan dan perbedaanya dapat dilihat
berdasarkan tabel dibawah ini:

Tabel 2.2 Perbedaan Motif Loti dan Motif Noel

Gambar 2.1 Motif Loti (Sotis) Gambar 2.2 Motif Noel (Buna)

Gambar 2.3 Motif Loti (Sotis) Gambar 2.4 Motif Noel (Buna)
Pembuatan bunga Loti Pembuatan bunga Noel
menggunakan alat Sial Loti/Keta menggunakan alat Hau loti.
loti.
Digunakan untuk simbolis atau Digunakan untuk menyambut
penghargaan. orang besar.
Warna dasar di bawah motif Warna dasar dibawah motif
bunga Loti selalu memiliki bunga Noel selalu memiliki satu
paduan warna. Contoh seperti warna. Contoh seperti gambar 2.4
gambar 2.3 warna dasarnya warna dasarnya hanya merah
kuning dan orange. muda.

Bentuk motif Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna) juga terdapat bentuk
geometri Aflolo (bela ketupat) dan Akne Teun (segi tiga). Motif lain yang dibentuk
tergantung dari kreatif penenun kelompok Tolfe’u.

2. Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u


2.1 Budaya Menenun
Aktivitas menenun merupakan aktivitas yang sudah sangat melekat bagi
masyarakat Fatuleu Tengah, dengan menenun masyarakat Fatuleu Tengah
melestarikan warisan dari nenek moyang. Pada tahun 2010 terbentuklah PKK
(sebutan untuk perempuan-perempuan Fatuleu yang tidak bekerja). Perempuan –
perempuan ini memiliki keahlian dalam menenun. Sehingga mereka berinisiatif
untuk membentuk kelompok tenun, kelompok tenun di beri nama kelompok
Tolfe’u yang artinya muncul pucuk baru atau baru bangun. Awal terbentuk
kelompok Tolfe’u berjumlah 20 orang dan diketuai oleh Mama Ferderika
Sufance Efsiana Utan. Mereka menenun pada pukul 09.00 WITA–14.00 WITA
(pada saat tidak bekerja dirumah atau tidak bekerja di kebun). Pada musim
panas kelompok ini melakukan penenunan bersama dirumah tenun (gedung
pengrajin tenun). Pada musim hujan mereka lebih banyak menenun dirumah
masing-masing dikarenakan mereka lebih banyak melibatkan diri dikebun.
Perjalanan berkembangnya kelompok tenun ini berjalan mulus dan didukung
oleh Pemerintah, berawal dari persetujuan Musyawarah Dusun, Musyawarah
tingkat Desa, tingkat Kecamatan, hingga Dinas Prindak Kabupaten. Pemerintah
membuat satu gedung pengrajin tenun dan satu tempat sorum (tempat jual tenun
dalam jumlah banyak). Hingga pada tahun 2020 jumlah penenun berkurang
menjadi 10 orang. Kelompok tenun ini sudah dikenal di berbagai dunia dan
Mahasiswa Perguruan Tinggi sering melalukan Penelitian di Kampung tenun ini.
Aktivitas menenun kelompok Tolfe’u saat dahulu menggunakan kapas
alami untuk membuat benang. Tetapi saat ini mereka menggunakan benang dari
toko karena tanaman kapas yang sudah langka, proses pembuatan yang
memerlukan waktu yang sangat lama yaitu satu tahun lebih untuk menghasilkan
satu kain tenun, dan seiring berjalannya waktu alat bantu dalam proses
pembuatan kapas menjadi benang juga sudah tidak ada. Yang masih sangat
tradisional saat ini adalah pewarnaan benang yaitu menggunakan zat warna
alam. Pewarna benang kelompok Tolfe’u ada 3 yaitu: pewarna alam, pewarna
kimia (warna napthol) dan juga pewarna belerang. Warna menggunakan zat
pewarna alam seperti:
1. Warna merah tua: akar mengkudu, buah nitas, daun tarum, kulit loba,
dan kemiri.
2. Warna merah muda: daun jati, kemiri, kaktus, dan garam.
3. Warna biru laut: daun tarum, kemiri, buah nitas, dan garam.
4. Warna Hijau daun: daun arbila, kemiri dan garam.
5. Warna kuning: kunyit, kemiri, garam dan jeruk purut.
6. Warna hitam: buah tinta, kemiri dan lumpur.
Kemiri sangat berperan penting dalam pewarna alami agar pewarna
melekat pada kain dan warna kain tetap awet.

Tetapi jika dalam keadaan mendesak maka pengrajin menggunakan zat


pewarna kimia (warna napthol) seperti:
1. Warna merah tua: napthol ASBO /AS/ASD, costic soda, TRO, garam
diaso/merah B, garam dapur dan air.
2. Warna kuning: napthol ASG, costik soda, TRO, Daram diaso/merah B, air
dan garam dapur.
3. Warna biru: napthol ASBO, costik soda, TRO, daram diaso/biru B, air dan
garam dapur.
4. Warna coklat: napthol ASG, costik soda, TRO, daram diaso/biru B, air dan
garam dapur.
5. Warna merah mudah/jamur: napthol AS, costik soda, TRO, daram
diaso/merah B, air dan garam dapur.
6. Warna merah cabe: napthol ASD, costik soda, TRO, daram diaso/merah B,
air dan garam dapur.

Dan juga zat pewarna lainnya yaitu zat pewarna belerang. Zat pewarna
belerang ada dua yakni belerang hitam dan belerang coklat. Dan bahan yang
digunakan yaitu: belerang (tergantung ingin warna coklat atau hitam), Natrium
sulfide, soda as, TRO dan garam dapur.

Kain tenun di kelompok Tolfe’u tidak hanya digunakan sebagai pakaian


sehari-hari tetapi juga digunakan dalam berbagai hal seperti upacara adat,
kegiatan perpisahan dan kesenian di dunia pendidikan, acara nikah, duka,
penyembutan orang besar/pemerintahan, sebagai simbolis atau penghargaan.
Beberapa hal unik dari budaya tenun kelompok Tolfe’u yaitu: Mayoritas kain
tenun Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna) masyarakat Fatuleu Tengah yaitu pada
warnanya mencorak merah dan putih yang melambangkan bendera Negara
Indonesia. Motif Loti (Sotis) biasanya digunakan sebagai simbolis atau
penghargaan sedangkan motif Noel (Buna) digunakan untuk menyambut orang
besar atau pemerintah. Yang lainnya Pada acara nikah motif mencorak merah
dan putih sedangkan duka motif mencorak hitam.

2.2 Proses Menenun


Proses menenun kelompok tolfeu menggunakan kapas memerlukan langkah-
langkah yang panjang yaitu: menguraikan kapas, menjemur kapas,
menghaluskan kapas, memintal kapas, menggulung benang, menjemur benang,
mewarnai benang, mencuci benang, menjemur benang, menggulung benang,
membentang benang, dan menenun. Sedangkan jika menggunakan benang toko
memerlukan langkah lebih pendek yaitu: pewarnaan benang, mencuci benang,
menjemur benang, menggulung benang, membentang benang, dan menenun.
Berikut di uraikan proses menenun kelompok Tolfe’u menggunakan kapas dan
benang.
a. Proses menenun menggunakan kapas
1) Helal Abas (Menguraikan Kapas)
‘‘Mpaek bninis, bnin abas he nak hel. (Gunakan bnini, untuk
menceraikan biji kapas)’’.
2) Hoi Abas (Menjemur Kapas)
‘‘Hoi abas hen meot. (Jemur kapas sampai kering)’’.
3) Naknut Abas (Menghaluskan Kapas)
‘‘Mpaek sifo naknut abas. (Gunakan sifo untuk menghaluskan kapas)’’.

Gambar 2.5 Sifo

4) Tasun Abas (Memintal Kapas)


‘‘Paek ike nok suti nok aof muti he tasun hen lael abnonof. Ike takeob bi
suti inanan he naiti abas helat naen nok alekot, leb aof muti ne nimak
kalu ike nahen tasonin neu ab aunu. ( Memintal kapas dengan Ike, suti,
dan abu ra’o. suti sebagai wadah untuk ike diputar oleh penenun, tangan
penenun pakai abu ra’o agar tidak licin dan sementara memintal
perhatikan apabila benang sudah menutupi ike, benang di ambil’’.
Gambar 2.6 Ike, Suti dan Kapas

Gambar 2.7 Memintal kapas

5) Taun Abas (Menggulung Benang)

‘‘He taun abas paek faut ana. (Gulung benang menggunakan batu
kecil)’’.

6) Hoi Abas (Menjemur Benang)

‘‘He naiti moen sela in he hotj, noen paek loan. (Angkat benang,
membuat sela untuk jemur menggunakan bambu)’’.

7) Kep Abas (Mewarnai Benang)

‘‘Talal oelan na lot atao in masan. (Masak air sampai panas, kemudian
masukan benang dengan pewarna yang di inginkan)’’.
Gambar 2.8 Mewarnai Benang

8) Faes Abas (Mencuci Benang)

‘‘Ta poitan mat boe tek oe meu abas nak nino. (Keluarkan benang, cuci
benang dengan air dingin sampai bersih)’’.

9) Hoi Abas (Menjemur Benang)


‘‘Hoi abas mneu hau bi mone. (Jemur benang diluar)’’.
10) Taun Abas (Menggulung Benang)
‘‘Leka inan meot taun abas tek nimak hen fae ab aunu. (Jika benang
sudah kering di gulung untuk proses selanjutnya)’’.
11) Lolo/Non (Membentang Benang)
‘‘Taloit tan heu het non mau ai tais, ai beti. Non paek suak nua hen
tahan abas, anbi le au he non in afane abas huma fauk le au paek he non
neu atis, heknat, sial, ut, keta loti/sial loti nok hau loti. (Bentang benang
untuk buat kain tenun perempuan, kain tenun laki-laki. Gunakan suak
untuk tahan benang, siapkan berapa warna benang di afane, siapkan atis,
tali senar/tali gewang, sial, ut, keta loti/sial loti, dan hau loti)’’.
12) Teun (Menenun)
Teun merupakan proses akhir untuk menghasilkan kain tenun. Proses ini
membutuhkan konsentrasi para pengrajin Tofle’u. adapun perlengkapan
yang digunakan dalam menenun yaitu:
a) Paus Niun (Sabut pinggang)
b) Senu
c) Puat
d) Nekan nok Tanaj
e) Atis
f) Ut
g) Sauban
h) Sial
i) Hau Loti
j) Sial Loti/Keta Loti
b. Proses menenun menggunakan benang
1) Kep Abas (Mewarnai Benang)
‘‘Kalu njali nak es nak kepa njael huma-huma, hau poat hukim, taum, mal
toko. Taiti he taube neu bokor nok malo nok oe na out. ( Pewarnaannya bisa
berbagai warna, warna alami, warna kimia. Proses pewarnaan yaitu
melarutkan zat warna dan benang pada wadah yang sudah dimasukan air
panas)’’.

Gambar 2.9 Mewarnai benang

2) Faes Abas (Mencuci Benang)


‘‘Faes talali abas at boel nak nino, tapoita het hoije. (Mencuci benang
sampai bersih, keluarkan benang untuk dijemur)’’.

Gambar 2.10 Mencuci benang

3) Hoi Abas (Penjemuran Benang)

‘‘Hoi abas paek loan. (Menjemur benang menggunakan bambu)’’.

Gambar 2.11 Menjemur benang

4) Taun Abas (Menggulung Benang)


‘‘Abas taunu hen jael bol mese paek nimak. (Taun Abas atau menggulung
benang menjadi satu gulungan yang bulat dengan menggunakan tangan)’’.

Gambar 2.12 Menggulung benang

5) Lolo /Non (Membentang Benang)

‘‘Taloit tan heu het non mau ai tais, ai beti. Non paek suak nua hen tahan
abas, anbi le au he non in afane abas huma fauk le au paek he non neu atis,
heknat, sial, ut, keta loti/sial loti nok hau loti. (Bentang benang untuk buat
kain tenun perempuan, kain tenun laki-laki. Gunakan suak untuk tahan
benang, siapkan berapa warna benang di afane, siapkan atis, tali senar/tali
gewang, sial, ut, keta loti/sial loti, dan hau loti)

Gambar 2.13 Membentang benang


6) Teun (Penenunan)
Teun merupakan proses akhir untuk menghasilkan kain tenun. Proses ini
membutuhkan konsentrasi para pengrajin Tofle’u. adapun perlengkapan yang
digunakan dalam menenun yaitu:
a) Paus Niun (Sabut pinggang)
‘‘Paek paus niun au paek bik munik hen pao abas hen ma tan.
(Gunakan paus niun sebagai penahan belakang penenun agar benang
tetap kencang)’’.

Gambar 2.14 Paus niun

b) Senu
‘‘Paek senu le nan he otet tenu na hel. (Gunakan senu untuk
memotong, meratahkan, dan memadatkan benang)’’.

Gambar 2.15 Gambar senu


c) Puat
‘‘Paek puat hau he tatam senu le abas ambi nan tait puat he
naili abas an ma sein, puat fe lenan neu senun hen poi ma hen
tam. (Puat terbuat dari kayu untuk menahan benang agar tidak
sulit ketika memasukan senu)’’.

Gambar 2.16 Puat

d) Nekan nok Tanaj


‘‘Nekan nok tanaj bale le au he teun, he na helan abas an
peun. ( Nekan dan tanaj untuk mengaitkan kain tenun, kain
tenunmenjadi kencang)’’.

Gambar 2.17 Nekan nok Tanaj

e) Atis
‘‘Atis le nan an habi abas le au teun he naik an peun. (Atis
untuk menjepit atau menahan benang agar tetap kencang)’’.

Gambar 2.18 Atis

f) Ut
‘‘Ut le nan he na soel abas fafon ma pin. (Ut untuk untuk
memisahkan benang bagian atas dan bagian bawah)’’.

Gambar 2.19 Ut

g) Sauban
‘‘Sauban le nan he na tenu ina nan oeta helan nok senu,
tamepan lulat ina tunan abas. (Sauban untuk alat untuk
memutar atau menggulung benang yang dimasukan dalam kain
lalu rapikan oleh senu, dan membentuk bunga menjadi rapih
dan kuat)’’.

Gambar 2.20 Sauban

h) Sial
‘‘Sial hen panat abas he kais na san on mese lail mese. (Sial
untuk menahan benang agar kuat dan tak tercecer.

Gambar 2.21 Sial

i) Hau Loti
‘‘Hau loti hen panat abas atun noel abas fafon ma pin kais na
tuan. (Hau loti untuk menahan benang bunga buna atas bawah
agar pembuatannya bunga buna tidak tercampur.
Gambar 2.22 Hau loti

j) Sial Loti/Keta Loti


‘‘Sial loti moe hau lotis abas. (Sial loti untuk membuat bunga
sotis)’’.

Gambar 2.23 Sial Loti/Keta loti


Berdasarkan pemaparan perlengkapan dalam menenun di atas berikut gambar
perlengkapan menenun secara keseluruhan.

Ut Puat Sial loti Sial Nekan nok tanaj

Paus niun Sauban Hau loti Senu

Atis

Gambar 2.4 Perlengkapan menenun keseluruhan

E. Etnomatematika
Pendidikan dan kebudayaan adalah salah satu hubungan antara proses dengan isi.
Pendidikan ialah proses pengoperasian kebudayaan dalam arti membudayakan manusia.
Sardijiyo Paulina Pannen (dalam Wahyuni, dkk,2013:3) mengatakan bahwa pembelajaran
berbasis budaya merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih
mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang
dimiliki,diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang studi tertentu dan dalam
penilaian hasil belajar dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian. Salah satu
yang dapat menjabatani antara budaya dan pendidikan matematika adalah
etnomatematika.
Menurut Prabwati[CITATION Meg16 \p 25 \n \t \l 1057 ] dalam jurnalnya bahwa
beragam kajian mengenai ethno telah dikenal seperti ethnomusicology, ethnobotany,
ethnopsychology. Ethnoscinece dimaknai sebagai kajian scientific berkaitan dengan
fenomena-fenomena teknologi yang berkaitan langsung dengan latar belakang sosial,
ekonomi dan budaya. Ethnolanguage dimaknai sebagai kajian bahasa dalam hubungan
dengan keseluruhan budaya dan kehidupan sosial, sehingga dengan analogi yang sama
ethnomathematics dimaknai sebagai kajian matematika (ide matematika) dalam
hubungan keseluruhan budaya dan kehidupan sosial.
Ubiratan D’Ambrosio seorang matematikawan Brasil dalam Prabawati [CITATION
Meg16 \p 27 \n \t \l 1057 ] menyatakan bahwa secara istilah etnomatematika diartikan
sebagai: The mathematics which is practiced among identifiable cultural groups such as
national-tribe societies, labour groups chlidern of certain age brackets and professional
classes. Artinya: metematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi
seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia
tertentu dan kelas professional.
Ubiratan D’Ambrosio pada tahun 1999 menyempurnakan definisinya yang pernah
diungkapkannya dalam Puspadewi [CITATION Kad14 \p 80 \n \t \l 1057 ] menjadi I have
been using the word ethnomathematics as modes, styles and techniques (tics) of
explanation, of understanding and of coping with the nurutal and cultural environment
(mathema) in distinct cultural systems (ethno). Artinya: saya telah menggunakan kata
etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik menjelaskan, memahami, dam
menghadapi lingkungan alam dan budaya dalam sistem budaya yang berbeda.
Pendapat Ubiratan D’Ambrosio pada tahun 1999 menyempurnakan definisinya
yang pernah diungkapkannya dalam Puspadewi, bahwa etnomatematika terbentuk dari
kata ethno, maathema, dan tics. Awalnya etho mengacu pada kelompok kebudayaan yang
dapat dikenali, seperti perkumpulan suku di suatu Negara dan kelas-kelas profesi di
masyarakat, termasuk pula bahasa dan kebiasaan mereka sehari-hari..Kemudian,
mathema disini berarti menjelaskan, mengerti, mengukur, mengklasifikasi, mengurutkan,
dan memodelkan suatu pola yang muncul pada suatu lingkungan. Akhiran tics
mengandung arti seni dalam teknik.
Ascher dalam Tandililing [CITATION Pit15 \p 40 \n \t \l 1057 ] mendefinisikan
etnomatematika sebagai suatu studi tentang ide-ide matematika dalam masyarakat
literasi. Artinya, Secara tidak sadar karya seni yang dibuat oleh kelompok masyarakat
atau suku-suku tertentu yang tidak mengenyam pendidikan formal mengandung konsep-
konsep matematika. Pernyataan-pernyataan yang sudah diungkapkan maka
etnomatematikan dapat diartikan sebagai matematika yang dipraktikan oleh kelompok
budaya yang berada di lingkungan masyarakat semua kalangan.
Dominikus (2018) mengemukakan bahwa etnomatematika berkaitan dengan
praktik matematika, ide-ide matematika, dan pengetahuan matematika dari suatu
kelompok sosial-budaya masyarakat yang berhubungan dengan perhitungan,
pengelompokkan, pengurutan, penyimpulan, dan pemodelan.
Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas. Etnomatematika
merupakan kajian matematika yang terintegrasi dengan budaya pada kehidupan
masyarakat. Etnomatematika jika disadari masyarakat semua kalangan maka masyarakat
akan berpikir bahwa matematika itu merupakan ilmu dari segala ilmu pengetahuan yang
tidak bisa dihindari dalam kehidupan nyata. Masyarakat sudah berpikir seperti itu maka
masyarkat akan menggunakan matematika dalam kehidupannya. Seperti pengrajin kain
tenun ketika ingin membuat kain tenun sepanjang yang diinginkan oleh pengrajin maka
pengrajin kain tenun harus memperhitungkan benang yang akan di butuhkan dalam
proses ini pola pikir pengrajin tersebut menggunakan pola pikir matematika agar benang
yang dibutuhkan tidak melebihi batas agar sesuai dengan panjang kain tenun yang
dinginkan jika melebihi batas maka pengrajin tersebut akan mengalami kerugian karena
modal yang dikeluarkan lebih besar dari pada keuntungan yang di dapatkan.
Etnomatematika dalam dunia pendidikan juga dapat dianggap sebagai sebuah
program yang bertujuan untuk mempelajari siswa memahami, mengartikulasikan,
mengolah dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep dan praktek-praktek
yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas kebudayaan sehari-hari
dalam masyarakat pendidikan. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Theresia
Laurens [CITATION The16 \p 10 \n \t \l 1057 ] bahwa setalah siswa belajar pada proses
pembelajaran dengan berbasis etnomatematika dapat meningkatkan hasil belajar dan
sebelum pembelajaran berbasis etnomatematika rerata hasil belajar siswa berada pada
katagori rendah. Pernyataan Theresia Laurens tersebut sama halnya dengan pernyataan
Euis Fajriyah [CITATION Faj18 \p 116 \n \t \l 1057 ] bahwa hadirnya etnomatematika dalam
pembelajaran matematika memberikan nuansa baru bahwa belajar matematika tidak
hanya didalam kelas tetapi juga bisa diluar kelas dengan mengunjungi atau berinteraksi
dengan kebudayaan setempat dapat digunakan sebagai media pembelajaran matematika.
Sementara itu, dilihat dari sisi pendeketan pembelajaran, maka etnomatematika selaras
dengan pendekatan pembelajaran matematika yang cocok jika diterapkan dalam
kurikulum 2013.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa Etnomatematika


adalah istilah yang menjembatani antara pendidikan Etnomatematika di integrasikan
terkait dengan aktivitas matematika meliputi aktivitas berhitung, mengukur,
pengelompokkan, pengurutan, penyimpulan, dan pemodelan. Etnomatematika
menggunakan konsep matematika secara luas di semua kalangan masyarakat baik
masyarakat yang mengenyam pendidikan formal ataupun tidak mengenyam pendidikan.
Pendidikan formal sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari siswa
memahami, mengartikulasikan, mengolah dan akhirnya menggunakan ide-ide
matematika, konsep dan praktek-praktek yang dapat memecahkan masalah yang
berkaitan dengan aktivitas kebudayaan sehari-hari. Dan bagi masyarakat yang tidak
mengenyam pendidikan mendapatkan ilmu matematika karena tanpa mereka sadari
banyak aktivitas mereka yang mengandung konsep-konsep matematika.

Adapun karakteristik etnomatematika (Dominikus, 2018), antara lain :


1. Counting atau menghitung
Praktik dan alat-alat menghitung baik secara fisik maupun mental, sudah ada ribuan
tahun dalam berbagai bentuk. Aktivitas menghitung dikaitkan dengan bilangan yang
nampak dalam ungkapan bahasa daerah yang digunakan kelompok budaya itu.
Demikian juga alat-alat yang digunakan dalam menghitung bervariasi antara satu
kelompok budaya dengan kelomok budaya yang lain. Dengan demikian akan berbeda
pula sistem bilangan yang digunakan.
2. Locating atau melokalisir, menentukan
Locating berkaitan dengan menemukan suatu jalan, menempatkan suatu objek,
menentukan arah, dan menentukan hubungan objek satu dengan yang lain. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan spasial, bagaimana konseptualisasi keruangan dan
bagaimana suatu objek diposisikan dalam lingkungan spasial. Pemetaan, navigasi,
dan pengaturan objek-objek keruangan terdapat dalam semua budaya dan semuanya
membentuk pengetahuan matematika yang penting.
3. Measuring atau mengukur
Aktivitas mengukur umumnya menggunakan berbagai ukuran tidak baku seperti
menggunakan bagian dari tubuh untuk mengukur panjang. Untuk mengukur waktu,
benda cair dan berat digunakan cara dan alat yang berbeda dalam setiap budaya.
Aktivitas mengukur ini juga berkaitan dengan bilangan dengan demikian mencakup
pula aktivitas membandingkan, mengurutkan, dan mengkuantifikasi karakteristik
suatu objek.
4. Designing atau merancang, menciptakan
Aktivitas designing berkaitan dengan pembuatan pola untuk membuat objek-objek
atau artefak budaya yang digunakan di rumah, dalam perdagangan, dekorasi,
berperang, permainan dan tujuan keagamaan. Designing juga berkaitan dengan hal-
hal yang berskala besar seperti rumah, perkampungan, jalan, kebun, lapangan, desa
dan kota. Semua ini menjadi sumber dan bagian dalam pembentukan pengetahuan
matematika anggota kelompok budaya.
5. Playing atau permainan
Playing berkaitan dengan berbagai permainan tradisional dan tarian tradisional dalam
masyarakat yang melibatkan jenis penalaran matematika, probabilitas, dan berpikir
strategis. Permainan memuat aturan permainan, prosedur, material yang digunakan
dan kriteria yang dibakukan.
6. Explaining atau menjelaskan
Explaining merujuk ke berbagai aspek kognitif mempertanyakan dan
mengonseptualisasi lingkungan. Penjelasan membangun koneksi yang bermakna
antara fenomena yang berbeda dalam merespon pertanyaan mengapa. Untuk
menjelaskan berbagai fenomena yang lebih kompleks dan dinamis seperti proses
kehidupan, pasang surut dan aliran peristiwa, setiap budaya mempunyai cerita, cerita
rakyat dan penutur cerita. Cerita merupakan suatu fenomena universal, dan dalam
kaitan dengan pengetahuan matematika dalam budaya, hal yang paling penting adalah
kemampuan bahasa penutur cerita untuk mengaitkan wacana dalam berbagai cara.
Dalam kaitan dengan penelitian, maka perhatian ditujukan pada kelogisan
konektivitas dalam bahasa yang memungkinkan proposisi dikombinasikan,
dipertentangkan, diperluas, dibatasi, dielaborasi, dan lainnya. Dari semua hal ini
pengetahuan pembuktian telah dibangun yang memenuhi kriteria konsisten dan
meyakinkan.

F. Penelitian yang Relevan


Penelitian yang relevan terkait dengan etnomatematika telah dilakukan
sebelumnya oleh para peneliti dari berbagai daerah dengan pembahasan topik yang
beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Alfonsa dengan judul Integrasi Etnomatematika
Dalam Kurikulum Matematika Sekolah. Dengan hasil pembahasanya menarik
kesimpulan bahwa dengan sistem pendidikan berbasis kurikulum 2013 yang
menanamkan pemikiran ilmiah dan pendidikan karakter, menjadi rasional untuk
mengintegrasikan etnomatematika dan pembelajaran matematika.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wara Sabon Dominikus, dengan judul
Etnomatematika Adonara dan Kaitannya dengan Matematika Sekolah. Dengan hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat  pengetahuan matematika dalam budaya Adonara
yang disebut sebagai etnomatematika Adonara antara lain: bilangan dan basis bilangan,
penamaan waktu, menghitung, mengukur, membandingkan dan mengurutkan,
menjelaskan, geometri, pola bilangan, bilangan polindromik, dan mengevaluasi dan
memutuskan.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Yohanis Ndapa Deda dan Hermina
Disnawati, dengan judul Hubungan Motif Kain Tenun Masyarakat Suku Dawan-Timor
dengan Matematika Sekolah. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa Motif Buna, Motif Sotis, dan Motif Futus memiliki hubungan dengan
pembelajaran konsep geometri yang dipelajari di sekolah dasar dan sekolah menengah,
seperti pengenalan konsep segi empat, garis lurus, dan konsep pencerminan.

Anda mungkin juga menyukai