Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SECTIO CAESARIA ATAS INDIKASI BEKAS SC +

PERLENGKETAN
BAB I

LAPORAN KASUS

Keterangan Umum

Nama pasien : Ny. MM

Umur : 39 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Nama suami : Tn. B

Umur : 40 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Tanggal masuk : 21-April-2017

Tanggal pemeriksaan : 21-April-2017

Anamnesa:

Autoanamnesa tanggal 21 April 19.00 di ruang perawatan

Keluhan Utama : Mulas-mulas

Pasien G3P2A0 datang ke UGD RS Dustira dengan keluhan mulas-mulas yang

dirasakan sejak 12 jam yang lalu dan dirasakan hilang timbul. Mulas-mulas
dirasakan semakin sering dan semakin kuat hingga saat ini. Mulas dirasakan

seperti saat ingin melahirkan.

Selain mulas, terdapat keluhan keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Saat ini

merupakan kehamilan ke-3, riwayat persalinan anak ke-1 dilakukan secara

spontan pada tahun 1994 dan anak ke-2 dilakukan spontan pada tahun 2004.

Pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan setiap bulannya, pemeriksaan

ke bidan sebanyak 8 kali dan ke dokter spesialis obgyn 2 kali Tidak terdapat

penyakit selama kehamilan sekarang. Pasien mengaku sulit buang air kecil, tidak

disertai nyeri. Riwayat BAB 1-2x sehari, normal. Nafsu makan pasien baik,

pasien makan 3x/hari. Tidak terdapat riwayat penyakit darah tinggi, kencing

manis, astma dan alergi obat pada pasien dan keluarga. Pasien hanya

menggunakan alat kontrasepsi kondom.

Riwayat Menstruasi : Menarche saat usia 13 tahun, siklus haid 28 hari, lama

5-7 hari

HPHT : 17-Juli-2016

TP : 24-April-2017

UK : 39-40 minggu

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda vital
TD : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36.6 0C

BB sebelum hamil : 56 Kg

BB sesudah hamil : 70 Kg

TB : 155 Cm

Kepala

Mata : Konjungtiva anemis -/-

Sklera ikterik -/-

Leher : KGB tidak teraba

JVP tidak meningkat

Thorax

Bentuk & gerak : Simetris

Cor : Bunyi jantung I & II murni reguler

Pulmo : VBS kanan = kiri

Abdomen :Bentuk cembung gravida, BU (+) normal

Nyeri tekan (-)

Hepar & lien: tidak teraba

TFU : 38 cm

Leopold I : Bokong

Leopold II : Puka

Leopold III : Bokong


Leopold IV : Konvergen

DJJ : 144x/menit

Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema ekstremitas inferior -/-

Vaginal toucher : Darah (+), Lendir (-), Pembukaan 4-5.

Diagnosa Masuk

G3P2A0 + gravidarum 39-40 minggu janin hidup tunggal+oligohiramnion+letak

sungsang

Perjalanan Persalinan

21 April 2017

10.00 Pasien masuk ruangan

18.00 Dilakukan autoanamnesa dan pemeriksaan fisik

20.30 Mulai dilakukan Sectio Caesarea

21.00 Telah lahir bayi laki-laki (BB: 3846gr, PB: 52cm, AS: 6-8, Lk/Ld: 36/34)

pada tanggal 21 April 2017 secara SC atas indikasi letak

sungsang+oligohiramnion

Laporan Operasi

1. Setelah dilakukan anestesi spinal, dilakukan tindakan A dan antiseptik di

bagian perut bawah ibu

2. Dilakukan sayatan secara pfannenstiel meliputi cutis dan subcutis 12 cm,

perdarahan dirawat

3. Fascia disayat melintang 12 cm


4. M. rectus abdominis disisikan secara tumpul

5. Peritoneum digunting secara hati-hati

6. Plica vesica uterina digunting secara melintang, blast disisihkan

7. SBR disayat melintang 10 cm kemudian dilebarkan dengan 2 jari operator

secara tumpul

8. Ketuban dipecahkan, cairan keluar 250 cc, berwarna hijau

9. Bayi dilahirkan dengan cara meluksir kepala

10. Bayi lahir laki-laki, APGAR score 6-8, BB 3846gr, PB 52cm

11. Plasenta dikeluarkan secara manual, lengkap bersama kotiledon dan selaput

ketuban

12. Cavum uteri dieksplorasi dengan kasa steril terbuka yang dililitkan pada digiti

2 dan 3 OP

13. SBR dijahit secara jelujur 2 lapis dengan benang surgeon I, end to end

14. Plica vesica uterita disatukan kembali dan dijahit

15. Kavum abdomen dieksplorasi dan dicuci dengan NaCl fisiologis

16. Dilakukan kontap pada tuba dekstra, perlengketan dibebaskan

17. Dengan cara yang sama, dilakukan kontap pada tuba sinistra

18. Kavum abdomen dieksplorasi dan dicuci dengan NaCl fisiologis

19. M. rectus abdominis dijahit dan didekatkan dengan benang cromic

20. Fascia dijahit ssecara jelujur

21. Luka operasi ditutup lapis demi lapis

Diagnosis Pre-Operasi
G3P2A0 + gravidarum 39-40 minggu janin hidup tunggal +oligohiramnion+letak

sungsang

Diagnosis Post operasi

Nifas hari I + Para III + Postpartus Maturus + SC atas indikasi

Oligohiramnion+letak sungsang

Prognosa

Quo ad Vitam : Ad bonam

Quo ad Fungtionam : Ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oligohidramnion
2.1.1 Definisi
Definisi oligohidramnion yang digunakan beragam karena tidak ada titik
potong yang ideal sewaktu dilakukan pengukuran. Oligohidramnion mempunyai
karakteristik seperti di bawah ini:
Berkurangnya volume cairan amnion
Volume cairan amnion < 500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu
Single deepest pocket (SDP) < 2 cm
Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile dari umur
kehamilan
Tidak ditemukan kantong yang bebas dari tali pusat pada pengukuran
minimal 1 cm pada pengukuran SDP
Volume cairan amnion bergantung pada usia kehamilan, karena itu , definisi yang
paling baik adalah Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile.

2.1.2 Epidemiologi
Insiden sekitar 3,9 % dari seluruh kehamilan, namun estimasi sekitar 12 %
dari kehamilan usia 40 minggu atau lebih.

2.1.3 Oligohidramnion onset dini


Beberapa kondisi telah dikaitkan dengan berkurangnya cairan amnion.
Oligohidramnion merupakan bukti terjadinya obstruksi saluran kencing fetus atau
agenesis renal. Maka dari itu, anuria memiliki peranan secara etiologi pada kasus-
tersebut. Kebocoran dari defek yang terdapat pada membran fetus akan
menurunkan volume cairan cukup besar, namun sebagian besar diikuti dengan
terjadinya persalinan. Paparan terhadap angiotensin converting enzim inhibitor
dikaitkan dengan terjadinya hidramnion. Dari 15- 25 % kasus, dikaitkan dengan
kelainan fetus seperti yang ditampilkan dalam tabel 2. Pryde dkk. (2000) hanya
mampu memvisualisasikan struktur fetus pada 50 % dari wanita-wanita yang
dirujuk untuk menjalani pemeriksaan ultrasonik pada pertengahan trimester
ketiga. Mereka menjalani amnioinfusion, baru kemudian dapat divisualisasikan 77
% dari struktur pencitraan yang rutin dikerjakan. Identifikasi kelainan yang
berkaitan meningkat dari 12 % menjadi 31 % fetus.

Tabel X. Keadaan yang dikaitkan dengan oligohidramnion.


Fetus Maternal
Kelainan kromosom Insufisiensi uteroplasental
Kelainan kongenital Hipertensi
Hambatan pertumbuhan Preeklamsia
Kematian Diabetes
Kehamilan postterm Obat-obatan
Ruptur membran Prostaglandin synthase inhibtor
Plasenta ACE-inhibitor
Abruptio
Twin to twin transfusion
2.1.4 Oligohidramnion kehamilan lanjut
Volume cairan amnion berkurang setelah kehamilan 35 minggu. Penanganan
dari oligohidramnion pada kehamilan lanjut tergantung pada keadaan klinis.
Evaluasi terhadap kelainan fetus dan gangguan pertumbuhan adalah sangat
penting. Pada kehamilan yang disertai komplikasi dengan oligohidramnion dan
gangguan pertumbuhan fetus, observasi ketat terhadap pertumbuhan fetus sangat
penting karena berkaitan dengan morbiditas, dan melahirkan bayi merupakan
rekomendasi dengan indikasi pada bayi atau ibunya. Walaupun usia kehamilan
merupakan pertimbangan pada keputusan ini, namun bukti-bukti pengendalian
pada faktor ibu atau bayi umumnya akan mengatasi peluang terjadinya komplikasi
dari kelahiran preterm.
Oz dkk. (2002) menyelidiki penyebab dari kejadian oligohidramnion pada
kehamilan postterm. Mereka menemukan reduksi kecepatan diastolik akhir pada
arteri renal, yang diperkirakan peningkatan hambatan arteri merupakan faktor
penting. Dengan menggunakan AFI yang kurang dari 5 cm.
Casey dkk. (2000) menemukan insiden oligohidramnion 2,3% pada lebih dari
6.400 kehamilan yang menjalani pemeriksaan sonography setelah usia kehamilan
34 minggu di Parkland Hospital. Mereka memastikan pengamatan sebelumnya
bahwa penemuan ini berkaitan dengan peningkatan resiko buruk perinatal.
Sebaliknya, dengan menggunakan database percobaan RADIUS, Zhang dkk.
(2004) melaporkan bahwa oligohidramnion pada derajat ini tidak dikaitkan
dengan efek buruk perinatal. Magann dkk. (1999) tidak menemukan hubungan
bahwa oligohidramnion meningkatkan resiko komplikasi antepartum. Chauhan
dkk (1999) melakukan metaanalisis dari 18 penelitian yang membandingkan
10.500 kehamilan dimana indeks cairan amnion intrapartum kurang dari 5 cm.
Dibandingkan dengan kontrol yang memiliki indeks lebih dari 5 cm, wanita
dengan oligohidramnion memiliki peningkatan yang bermakna, 2,2 kali lipat,
akan resiko melahirkan dengan seksio sesaria atas indikasi fetal distress dan 5,2
kali lipat peningkatan resiko untuk nilai APGAR menit ke-5 kurang dari 7.
Kompresi tulang belakang selama persalinan sering dijumpai pada
oligohidramnion. Sarno dkk. (1989, 1999) melaporkan bahwa indeks 5 atau
kurang seringkali dikaitkan dengan peningkatan resiko sebesar 5 kali lipat untuk
menjalani persalinan secara seksio sesaria. Baron dkk. (1995) melaporkan
peningkatan sebesar 50% pada variabel deselerasi selama persalinan dan
peningkatan 7 kali lipat untuk menjalani persalinan dengan seksio sesaria pada
wanita-wanita tersebut. Sangat berbeda dengan Casey dkk. (2000) yang
menunjukkan peningkatan 25% pada denyut jantung janin yang tidak beraturan
pada wanita dengan oligohidramnion ketika dibandingkan dengan kontrol. Selain
itu, angka seksio pada kehamilan dengan temuan seperti ini meningkat hanya 3-
5%. Divon dkk. (1995) mempelajari 638 wanita dengan kehamilan postterm pada
proses persalinannya dan mengamati hanya yang indeks cairan amnionnya 5 cm
atau kurang atau yang memiliki denyut jantung janin yang mengalami deselerasi
dan mekonium. Menariknya, Chauhan dkk. (1995) menunjukkan bahwa
pengurangan indeks cairan amnion meningkatkan resiko kelahiran dengan seksio
hanya pada wanita yang penolong persalinannya menyadari akan temuan ini.

2.1.5 Penatalaksanaan
Oligohidramnion pada kehamilan aterm mungkin dilakukan penanganan aktif
dengan cara induksi persalinan atau penanganan ekspektatif dengan cara hidrasi
dan pemantauan janin, dan atau USG reguler untuk menilai volume cairan
amnion. Ketika kedua pilihan tersedia, penanganan aktif adalah pendekatan yang
umum dilakukan pada wanita hamil aterm dengan atau tanpa faktor resiko pada
ibu atau fetus. Induksi persalinan pada wanita resiko rendah dengan
oligohidramnion paling umum dilakukan, meskipun tidak ditemukan perbaikan
pada keluaran neonatal. Conway dkk mengacak 61 wanita dengan
oligohidramnion hamil aterm diinduksi atau ekspektatif menemukan tidak ada
perbedaan pada keluaran maternal dan neonatal. Mereka menyimpulkan bahwa
penanganan ekspektatif dengan pemantauan fetus 2 kali seminggu adalah
alternatif yang sensibel terhadap induksi persalianan, dan kebanyakan (67%)
wanita akan masuk persalinan spontan dalam 3 hari sesudah diagnosis. Meskipun
kekuatannya kecil dan insufisien, penelitian ini menyarankan bahwa
oligohidramnion tidak memperlihatkan hubungan dengan keluran tambahan, tapi
menyebabkan intoleransi persalinan pada fetal, yang menghasilkan angka SC
yang lebih tinggi. Penanganan ekspektatif mempunyai keluaran neonatal yang
sama baik, pendekatan itu belum digunakan secara luas.
Amnioinfusion merupakan suatu prosedur melakukan infus larutan NaCl
fisiologis atau ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan
amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat
berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselerasi variabel berat dan
sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusion cukup
efektif, aman, mudah dikerjakan, dan biayanya murah. Pada tahun 1976, Gabbe
dkk pertama kali melaporkan tindakan amnio infusion pada kera rhesus yang
hamil. Dalam percobaannya, janin kera memperlihatkan gambaran deselerasi
variabel menyusul pengeluaran cairan amnion dari kavum uteri; dan gambaran
deselerasi variabel menghilang setelah kavum uteri diisi kembali dengan cairan.
Penelitian pada manusia baru dilaporkan pada tahun 1983 oleh Miyazaki dan
Taylor, yang menyatakan bahwa tindakan amnioinfusion dapat menghilangkan
gambaran deselerasi variabel yang timbul akibat oligohidramnion.
Amnioinfusion dapat dilakukan dengan cara transabdominal atau transservikal
(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusion dilakukan dengan
ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat dimasukkan
melalui jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion dengan tuntunan
ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang
dipasang ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri. Selama tindakan
amnioinfusion, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat kardiotokografi
(KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin. Mula-mula
dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau ringer laktat selama 20-30 menit.
Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah
tetesan infus disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila
deselerasi variabel menghilang, infus dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian
tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah
maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-
1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka
tindakan dianggap gagal.
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusion, antara lain:
amnionitis, hidramnion, uterus hipertonik, kehamilan kembar, kelainan kongenital
janin, kelainan uterus, gawat janin yang berat, malpresentasi janin, pH darah janin
7, plasenta previa atau solusio plasenta. Meskipun amnioinfusion cukup mudah
dan aman dilakukan, beberapa komplikasi mungkin terjadi selama tindakan,
antara lain: prolapsus tali pusat, ruptura pada jaringan parut bekas seksio sesarea,
hidramnion iatrogenik, emboli cairan amnion, febris intrapartum.

2.2 Letak Sungsang


2.2.1 Definisi
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri
(Prawirohardjo, 2008, p.606).

2.2.2 Klasifikasi Letak Sungsang


Klasifikasi letak sungsang dibagi menjadi, (Kasdu, 2005, p.28)
1) Presentasi bokong murni (frank breech)
Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujung
kaki setinggi bahu atau kepala janin.
2) Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech)
Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki dan tangan menyilang sempurna
dan di samping bokong dapat diraba kedua kaki.
3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna (incomplete breech)
Yaitu letak sungsang dimana hanya satu kaki di samping bokong,
sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas.

2.2.3 Diagnosis
Diagnosis letak sungsang yaitu pada pemeriksaan luar kepala tidak teraba di
bagian bawah uterus melainkan teraba di fundus uteri. Kadang-kadang bokong
janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi bokong
tidak dapat digerakkan semudah kepala. Seringkali wanita tersebut menyatakan
bahwa kehamilannya terasa lain daripada yang terdahulu, karena terasa penuh di
bagian atas dan gerakan terasa lebih banyak di bagian bawah. Denyut jantung
janin pada umumnya ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi daripada
umbilicus.
Apabila diagnosis letak sungsang dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat,
karena misalnya dinding perut tebal, uterus mudah berkontraksi atau banyaknya
air ketuban, maka diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dalam. Apabila
masih ada keragu-raguan, harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan
ultrasonografik. Setelah ketuban pecah, dapat diraba lebih jelas adanya bokong
yang ditandai dengan adanya sacrum, kedua tuber ossis iskii, dan anus. Bila dapat
diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit,
sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang letaknya tidak sejajar dengan jari-
jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada
persalinan lama, bokong janin mengalami edema, sehingga kadang-kadang sulit
untuk membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat
membedakan antara bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan ke
dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan ke dalam
mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan. Pada
presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba di samping bokong,
sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempurna, hanya teraba satu kaki di
samping bokong (Prawirohardjo, 2008, pp.609-611).

2.2.4 Etiologi
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap
ruangan didalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah
air ketuban relative lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan
leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala,
letak sungsang, ataupun letak lintang. Pada kehamilan triwulan terakhir janin
tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relative berkurang. Karena bokong
dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong
dipaksa menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala
berada dalam ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian
dapat dimengerti mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak
sungsang lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian
besar ditemukan dalam presentasi kepala. Faktor-faktor lain yang memegang
peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya adalah multiparitas, hamil
kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa, dan panggul sempit. Kadang-
kadang letak sungsang disebabkan karena kelainan uterus dan kelainan bentuk
uterus. Plasenta yang terletak di daerah kornu fundus uteri dapat pula
menyebabkan letak sungsang karena plasenta mengurangi luas ruangan di daerah
fundus (Prawirohardjo, 2008, p.611).

2.2.5 Cara Persalinan Letak Sungsang


Kehamilan letak sungsang dapat dilakukan persalinan dengan cara,
A. Pervaginam
Persalinan letak sungsang dengan pervaginam mempunyai syarat yang harus
dipenuhi yaitu pembukaan benar-benar lengkap, kulit ketuban sudah pecah, his
adekuat dan tafsiran berat badan janin < 3600 gram. Terdapat situasi-situasi
tertentu yang membuat persalinan pervaginam tidak dapat dihindarkan yaitu ibu
memilih persalinan pervaginam, direncanakan bedah sesar tetapi terjadi proses
persalinan yang sedemikian cepat, persalinan terjadi di fasilitas yang tidak
memungkinkan dilakukan bedah sesar, presentasi bokong yang tidak terdiagnosis
hingga kala II dan kelahiran janin kedua pada kehamilan kembar. Persalinan
pervaginam tidak dilakukan apabila didapatkan kontra indikasi persalinan
pervaginam bagi ibu dan janin, presentasi kaki, hiperekstensi kepala janin dan
berat bayi > 3600 gram, tidak adanya informed consent, dan tidak adanya petugas
yang berpengalaman dalam melakukan pertolongan persalinan (Prawirohardjo,
2008, p.593).
a) Persalinan spontan (spontaneous breech)
Yaitu janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri (cara bracht).
Pada persalinan spontan bracht ada 3 tahapan yaitu tahapan pertama yaitu fase
lambat, fase cepat, dan fase lambat.
Berikut ini prosedur melahirkan secara bracht :
(1) Ibu dalam posisi litotomi, sedang penolong berdiri di depan vulva.

(2) Saat bokong membuka vulva, dilak ukan episiotomi.Seger a setelah b kong

la ir, bokong dicengkeram secara bracht yai u kedua ib u jari penolong

se ajar sumbu panjang pa ha sedangk an jari-jari lain meme gang panggul.

(3) Pada waktu tali pusat l ahir dan tampak teregang, seger a kendorkan tali

pusat tersebut.

(4) Penolong melakukan hiperlordosis pada adan janin dengan cara

punggung ja nin didekatkan ke p erut ibu. enolong h anya mengikuti

gerakan ini tanpa melaku kan tarika

(5) De ngan gera kan hiperlordosis ini berturut-turut lahir pu sar, perut, bahu

dan lengan, d agu, mulut, dan akhirnya seluruh kepala.


Gambar 2.1 Pertolongan persalinan secara bracht
(Prawirohardjo, 2008, p.6 16)

b) Manual aid
Yaitu janin dilahirkan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian
lagi dengan tenaga penolong Pada persalinan dengan cara manual aid ada 3
tahapan yaitu : tahap pertama lahirnya bokong sampai pusar yang dilahirkan
dengan kekuatan ibu sendiri, tahap kedua lahirnya bahu dan lengan yang memakai
tenaga penolong dengan cara klasik, mueller, lovset; tahap ketiga lahirnya kepala
dengan memakai cara mauriceau dan forceps piper.
Berikut ini cara melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara
klasik :
(1) Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada pergelangan
kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga perut janin mendekati
perut ibu.
(2) Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan lahir
dengan jari telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa cubiti kemudian
lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan bawah mengusap
muka janin.
(3) Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin
diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah sehingga
punggung janin mendekati punggung ibu. Dengan cara yang sama lengan dapat
dilahirkan.
.
Gambar 2.2 Pengeluaran lengan secara klasik
(Prawirohardjo, 2008, p.618)

Berikut ini melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara
mueller :
(1) Badan janin dipegang secara femuro-pelvis dan sambil dilakukan traksi curam
ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan di bawah simfisis dan lengan depan
dilahirkan dengan mengait lengan di bawahnya.
(2) Setelah bahu dan lengan depan lahir, maka badan janin yang masih dipegang
secara femuro-pelvis ditarik ke atas sampai bahu belakang lahir.

Gambar 2.3 Pengeluaran lengan secara muller (Prawirohardjo, 2008,


p.619)

Berikut ini melahirkan bahu dan lengan dengan cara lovset :


(1) Badan janin dipegang secara femuro-pelvis dan sambil dilakukan traksi curam
ke bawah badan janin diputar setengah lingkaran, sehingga bahu belakang
menjadi bahu depan.
(2) Sambil melakukan traksi, badan janin diputar kembali ke arah yang
berlawanan setengah lingkaran demikian seterusnya bolak-balik sehingga bahu
belakang tampak di bawah simfisis dan lengan dapat dilahirkan.
Gambar 2.4 Pengeluaran lengan secara lovset
(Prawirohardjo, 2008, p.620)
Berikut ini melahirkan kepala dengan cara mauriceau :
(1) Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam jalan
lahir.
(2) Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk serta jari ke empat
mencengkeram fossa canina sedangkan jari yang lain mencengkeram leher.
(3) Badan anak diletakkan di atas lengan bawah penolong seolah-olah janin
menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ke tiga penolong mencengkeram leher
janin dari arah punggung.
(4) Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil seorang
asisten melakukan fundal pressure.
(5) Saat suboksiput tampak di bawah simfisis, kepala janin dielevasi ke atas
dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut lahir dagu, mulut,
hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya seluruh kepala.

Gambar 2.5 Pengeluaran kepala secara mauriceau


(Prawirohardjo, 2008, p.621)

c) Ekstraksi sungsang
Yaitu janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong. Ekstraksi
sungsang dilakukan jika ada indikasi dan memenuhi syarat untuk mengakhiri
persalinan serta tidak ada kontra indikasi. Indikasi ekstraksi sungsang yaitu gawat
janin, tali pusat menumbung, persalinan macet.
Cara ekstraksi kaki :
(1) Bila kaki masih terdapat di dalam vagina, tangan operator yang berada
pada posisi yang sama dengan os sacrum dimasukkan dalam vagina untuk
menelusuri bokong, paha sampai lutut guna mengadakan abduksi paha janin
sehingga kaki janin keluar. Selama melakukan tindakan ini, fundus uteri ditahan
oleh tangan operator yang lain.
(2) Bila satu atau dua kaki sudah berada di luar vulva, maka dipegang dengan
dua tangan operator pada betis dengan kedua ibu jari berada punggung betis.
Lakukan traksi ke bawah. Setelah lutut dan sebagian paha keluar, pegangan
dialihkan pada paha dengan kedua ibu jari pada punggung paha.

(3) Dilakukan traksi ke bawah lagi (operator jongkok) dengan tujuan


menyesuaikan arah traksi dengan sumbu panggul ibu.
Cara ekstraksi bokong
(1) Lakukan periksa dalam vagina untuk memastikan titik penunjuk (os
sacrum).
(2) Jari telunjuk tangan operator yang berhadapan dengan os sacrum dikaitkan
pada lipat paha depan janin. Kemudian dilakukan ekstraksi curam ke bawah
(3) Bila trokanter depan sudah berada di bawah simfisis, jari telunjuk tangan
operator yang lain dipasang pada lipat paha belakang untuk membantu traksi
sehingga bokong berada di luar vulva.
(4) Arah ekstraksi berubah ke atas untuk mengeluarkan trokanter belakang.
(5) Ekstraksi kemudian mengikuti putaran paksi dalam.
(6) Bila pusat sudah berada di luar vulva, dikendorkan.
(7) Ekstraksi diteruskan dengan cara menempatkan kedua tangan pada bokong
janin dengan kedua ibu jari berada di atas sacrum dan jari-jari kedua tangan
berada di atas lipat paha janin.
(8) Ekstraksi dilakukan dengan punggung janin di depan, kemudian mengikuti
putaran paksi dalam bahu, salah satu bahu akan ke depan.
(9) Setelah ujung tulang belikat terlihat dilakukan periksa dalam vagina untuk
menentukan letak lengan janin, apakah tetap berada di depan dada, menjungkit
atau di belakang tengkuk. Pada ekstraksi bokong sampai tulang belikat sering
diperlukan bantuan dorongan kristeller.

B. Perabdominam
Memperhatikan komplikasi persalinan letak sungsang melalui pervaginam,
maka sebagian besar pertolongan persalinan letak sungsang dilakukan dengan
seksio sesarea. Pada saat ini seksio sesarea menduduki tempat yang sangat penting
dalam menghadapi persalinan letak sungsang. Seksio sesarea direkomendasikan
pada presentasi kaki ganda dan panggul sempit (Prawirohardjo, 2008, p.622).
Seksio sesarea bisa dipertimbangkan pada keadaan ibu yang primi tua, riwayat
persalinan yang jelek, riwayat kematian perinatal, curiga panggul sempit, ada
indikasi janin untuk mengakhiri persalinan (hipertensi, KPD >12 jam, fetal
distress), kontraksi uterus tidak adekuat, ingin steril, dan bekas SC. Sedangkan
seksio sesarea bias dipertimbangkan pada bayi yang prematuritas >26 minggu
dalam fase aktif atau perlu dilahirkan, IUGR berat, nilai social janin tinggi,
hiperekstensi kepala, presentasi kaki, dan janin >3500 gram (janin besar)
(Cunningham, 2005, p.568).

2.2.6 Komplikasi Persalinan Letak Sungsang


Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya,
A. Komplikasi pada ibu
a) Perdarahan
b) Robekan jalan lahir
c) Infeksi
B. Komplikasi pada bayi
a) Asfiksia bayi, dapat disebabkan oleh :
(1) Kemacetan persalinan kepala (aspirasi air ketuban-lendir)
(2) Perdarahan atau edema jaringan otak
(3) Kerusakan medula oblongata
(4) Kerusakan persendian tulang leher
(5) kematian bayi karena asfiksia berat.
b) Trauma persalinan
(1) Dislokasi-fraktur persendian, tulang ekstremitas
(2) Kerusakan alat vital : limpa, hati, paru-paru atau jantung
(3) Dislokasi fraktur persendian tulang leher : fraktur tulang dasar kepala ; fraktur
tulang kepala ; kerusakan pada mata, hidung atau telinga ; kerusakan pada
jaringan otak.
c) Infeksi, dapat terjadi karena :
(1) Persalinan berlangsung lama
(2) Ketuban pecah pada pembukaan kecil
(3) Manipulasi dengan pemeriksaan dalam

Anda mungkin juga menyukai