Anda di halaman 1dari 10

Kearifan Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan

1. Pengertian Kearifan Lokal


Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan
akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan
ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara
substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini
kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari.

Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-
nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat
umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai
yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local
wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu
(Ridwan, 2007).

Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok


masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam
ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara
berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kearifan (wisdom)dapat disepadankan pula
maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan,kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam
pengambilan Keputusan yang berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suat masalah
atau serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit.

Kearifan lokal (localwisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom)dan lokal
(local). Localberarti setempat, sedangkan wisdomdapat berarti kebijaksanaan. Secara umum
maka localwisdom(kearifan/kebijaksanaansetempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suat gagasan konseptual yang hidup
dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat
serta berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kearifan lokal yang tumbuh di
masyarakat memiliki ciri yang spesifik, terkait dengan pengelolaan lingkungan sebagai kearifan
lingkungan.
Kearifan lingkungan (ecologicalwisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh
dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan
tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang
diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan
secara turun-temurun oleh komunitas pendukungnya. Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai
aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati,
memanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia
secara timbal balik. Pengetahuan rakyat yang memiliki kearifan ekologis itu dikembangkan,
dipahami dan secara turun-temurun diterapkan sebagai pedoman dalam mengelola lingkungan
terutama dalam mengolah sumberdaya alam. Pengelolaan lingkungan secara arif dan
berkesinambungan itu dikembangkan mengingat pentingnya fungsi sosial lingkungan untuk
menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan
mereka, lebih-lebih kalau merekaberada pada taraf ekonomi sub-sistensi, mengakibatkan orang
merasa menyatu atau banyak tergantung kepada lingkungan mereka.

2. Klasifikasi Kearifan Lokal


Klasifikasi kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan
prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur
tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian
Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan
Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang
mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar
pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan musyawarah adat
yang disebut Kombongan Ada. SetiapKombongan Ada memiliki beberapa penguasa adat kecil
yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga masih terdapat penguasa adat wilayah yang
disebut Bua (Buletin Tata Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu kelompok masyarakat
adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan sekitar Keraton di
Jawa. Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti
kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi
pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.

Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat
tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai
contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai
kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alamsemesta, dan manusia. Ketentuan
tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau buruk, mana
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka
akan ada sanksi adat yang mengaturnya.

Tata Cara atau Prosedur


Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk
bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian
musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu
bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di
Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali,Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas teritori
wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan
atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat
misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya sangat
teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah (pengaturan
pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan tata lampah (pengaturan
perilaku/perbuatan).
3. Ciri-ciri Kearifan Lokal
Secara umum budaya diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Jadi budaya daerah adalah suatu sistem atau cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah daerah dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya daerah terbentuk
dari berbagai unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seniserta bahasa.
Kearifan Lokal secara umum diartikan sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Ciri-cirinya adalah:
1) Mampu bertahan terhadap budaya luar
2) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4) Mempunyai kemampuan mengendalikan
5) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya

Dengan demikian budaya dan kearifan lokal adalah hal yang saling berkaitan satu sama
lain.

4. Bagaimana Menggali Kearifan Lokal


Kesadaran untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan
budaya masyarakat etnik muncul karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia
sekarang telah diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Kedepan, masyarakat dunia dihantui
akan krisis multidimensi dan berhadapan dengan semakin meningkatnya degradasi sumberdaya
alam dan lingkungan serta pencemaran yang meluas baik di daratan, laut maupun udara.
Pengetahuan lokal yang sudah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos, yang dianut dalam jangka waktu cukup lama inilah
yang disebut kearifan budaya lokal. Pada makna yang sama berlaku diberbagai bidang yang
berkembang di masyarakat, seperti bidang pertanian, pengelolaan hutan secara adat, pelestarian
sumber air,secara umum dinyatakan sebagai kearifan lokal. Pada penggalian kearifan lokal perlu
dipahami beberapa hal agar kearifan tersebut dapat diterima dan ditaati yaitu :
1. Kearifan tersebut masih ada.
2. Kearifan tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat.
3. Kearifan tersebut sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Kearifan tersebut diatur dengan Undang-undang.

Salah satu contoh kearifan lingkungan yang digali dari kearifan lokal pada
upaya pelestarian sumber air adalah kepercayaan pada sumber air yang terdapat pohon
rindang dan besar atau gua yang seramada penghuni gaib. Konseppamali atau (bhs. Jawa
oraelok) kencing dibawah pohonbesar di bawahnya terdapatsumber air merupakan
perilaku masyarakat tradisional memagariperbuatan anak-cucu agar tidak merusak alam sehingga
debit dan kualitas airnya dapat terjaga.Kearifan local tersebut sulit dijelaskan secara ilmiah,
namun dapat direnungi dalam jangka waktu panjang. Bila kita melihat pada satu sisi rasional
yang semuanya harus dapat dipahami secara logika, maka hal tersebut sering dipahami takhayul
secara bulat dampaknya banyak pohondirusak tanpa ada perasaan salah. Kearifan lokal sebagai
kearifan lingkungan saat ini sangat penting demi keharmonisan lingkungan untuk kelangsungan
hidup berkelanjutan tanpa harus mengkorbankan rasionalitas ilmu pengetahuan melebur dalam
keyakinan tradisional secara mutlak, melainkan mengutamakan azas manfaat dan kewajaran.

5. Fungsi Kearifan Lokal


Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-
aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi
bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah:

a. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.


b. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
c. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
d. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali
menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi
bermacam-macam.
Dalam tulisan Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi, antara lain memberikan
informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
a. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
b. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur
hidup, konsep kanda pat rate.
c. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara
saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
d. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
e. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
f. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
g. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
h. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client
i. (Balipos terbitan 4 September 2003)
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari
yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis

6. Wujud Kearifan Lokal


Jim Ife (2002) menyatakan bahwa kearifan lokal terdiri dari enam dimensi yaitu :
1. Pengetahuan Lokal.
Setiap masyarakat dimanapun berada baik di pedesaan maupun pedalaman selalu memiliki
pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan
perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan kondisi
geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu
cukup lama dan telah mengalami perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu
beradaptasi dengan lingkungannnya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari pengetahuan
lokal mereka dalam menaklukkan alam.
2. Nilai Lokal.
Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat
memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh
anggotannya. Nilai-nilai ini biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannnya. Nilai-nilai ini memiliki dimensi waktu,
nilai masa lalu, masa kini dan masa datang, dan nilai ini akan mengalami perubahan sesuai
dengan kemajuan masyarakatnya.

3. Keterampilan Lokal.
Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap masyarakat dapat dipenuhi apabila
masyarakat itu memiliki keterampilan lokal. Keterampilan lokal dari yang paling sederhana
seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan
lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluargannya masing-masing
atau disebut dengan ekonomi subsisten. Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan hidup
(life skill), sehingga keterampilan ini sangat tergantung kepada kondisi geografi tempat dimana
masyarakat itu bertempat tinggal.

4. Sumber daya Lokal.


Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak
terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai
dengan kebutuhannya dan tidak akan mengekpoitasi secara besar-besar atau dikomersilkan.
Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannnya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan
pertanian, dan permukiman, Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif atau
communitarian.

5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal.


Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu memiliki pemerintahan lokal
sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah
warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai
mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda beda. Ada masyarakat yang melakukan
secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang
melakukan secara bertingkat atau berjenjang naik dan bertangga turun.

Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua
aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
a. Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:
1. Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang
dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional
primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi,
secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi).
2. Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan
lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah rakyat ini merupakan
bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan
mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses
pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya
(Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernacular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip
dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal
karena dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.

3. Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)


Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal,
contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting.
Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilemma dalam pengembangan serta
dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai
kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO
Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan
kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai sebuah dimensi
budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali merupakan media
ekspresi berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam
aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol jika
dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan
telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai
macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni
budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun
memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-
nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.

b. Tidak Berwujud (Intangible)


Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak
berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa
nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk
kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari
generasi ke generasi.

Contoh kearifan lokal masyarakat


Elly Burhainy Faizal mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara
yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta
kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
a. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan
Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia.
Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
b. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari
kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
c. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana ulen. Kawasan hutan dikuasai dan
menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
d. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan
lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan
mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian
sederhana dan ramah lingkungan.
e. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal
upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan
eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
f. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur
kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang
profan.
Pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa untuk keberdayaan masyarakat
dan desa
Pelatihan merupakan salah satu jenis pendidikan. Pelatihan adalah serangkaian
aktifitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan
pengalaman atau perubahan sikap seseorang (Simamora, 1999). Lebih khusus,
Mangkuprawira (2003) menggambarkan bahwa pelatihan lebih merujuk pada
pengembangan keterampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan dengan
segera, tidak seperti pendidikan pada umumnya yang memberikan pengetahuan
tentang subyek tertentu dengan sifat lebih umum, terstruktur untuk jangka waktu yang
jauh lebih panjang.
Pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa merupakan instrumen yang
tepat untuk mencapai keberdayaan masyarakat dan desa. Dari data BPS (2012),
jumlah desa dan kelurahan di Indonesia mencapai 79.075, dan penduduk Indonesia
berjumlah 224.775.796 jiwa. Untuk memberikan peningkatan kapasitas pada sekian
banyak masyarakat Indonesia, tentunya membutuhkan ketrampilan yang bisa didapat
dengan segera namun efektif dalam diimplementasikan. Jawabannya adalah melalui
pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa.
Berkaitan dengan pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa ini,
pemerintah memberikan pedoman dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pelatihan Masyarakat dan Desa/Kelurahan.
Permendagri ini memberikan norma, standar dan prosedur dalam penyelenggaraan
pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa secara lengkap, termasuk rumpun-
rumpun pelatihan di dalamnya. Dalam Permendagri ini diberikan pedoman secara
menyeluruh dari sasaran pelatihan, pelatih, bahan pelatihan, metode pelatihan, peserta
pelatihan, sampai standar pelatihan masyarakat dan desa/kelurahan.
Agar suatu pelatihan secara efektif berhasil, As'ad (1987) mengungkapkan lima
komponen penentu keberhasilan pelatihan:
1. Sasaran pelatihan atau pengembangan
Setiap pelatihan harus mempunyai sasaran yang jelas yang bisa diuraikan kedalam
perilaku-perilaku yang dapat diamati dan diukur supaya bisa diketahui efektivitas dari
pelatihan itu sendiri.
2. Pelatih /Trainer
Pelatih harus bisa mengajarkan bahan-bahan pelatihan dengan metode tertentu
sehingga peserta akan memperoleh pengetahuanketrampilan dan sikap yang
diperlukan sesuai dengan sasaian yang ditetapkan.
3. Bahan-bahan latihan
Bahan-bahan latihan harus disusun berdasarkan sasaran pelatihan yang telah
ditetapkan.
4. Metode latihan (termasuk alat bantu):
Setelah bahan dari latihan ditetapkan maka langkah berikutnya adalah menyusun
metode latihan yang tepat.
5. Peserta (Trainee)
Peserta merupakan komponen yang cukup penting, sebab keberhasilan suatu program
pelatihan tergantung juga pada pesertanya.
Dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat dan desa, selain
kelima hal tersebut di atas, Permendagri Nomor 19 Tahun 2007 juga memberikan
pedoman untuk penyelenggaraan beberapa jenis pelatihan. Beberapa jenis pelatihan ini
bisa diselenggarkan dalam rangka membangun desa secara komperhensif. Pelatihan-
pelatihan tersebut antara lain : pelatihan metodologi pemberdayaan masyarakat dan
desa; pelatihan perencanaan pembangunan partisipatif; pelatihan manajemen
keuangan desa; pelatihan pemberdayaan pemerintah desa; pelatihan penyusunan dan
pendayagunaan data base desa; pelatihan PKK dan pelatihan kader pemberdayaan
masyarakat; posyandu dan lain-lainnya.
Dengan jenis-jenis pelatihan ini, maka masyarakat dan desa/kelurahan akan
tergarap secara komperhensif dari semua sisi, sehingga pembangunan yang akan
dilakukan oleh masyarakat dan desa sendiri akan komperhensif dan mencakup semua
aspek. Dengan demikian, dengan pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa yang
dilakukan secara langsung akan mampu meningkatkan dengan keberdayaan
masyarakat dan desa apabila dilakukan secara efektif sesuai norma, standar dan
prosedur yang ditetapkan.
Dengan keberhasilan pelatihan pemberdayaan masyarakat dan desa
harapannya akan meningkatkan keberdayaan masyarakat dan desa. Dengan
keberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat akan secara mandiri mampu
untuk melakukan pembangunan dengan konsep dari, oleh dan untuk masyarakat yang
akan mengantarkan bangsa menuju kejayaan. semoga

*) ditulis untuk buletin mandiri volume1 nomor 1 tahun 2013, dalam suasana kejar
deadline bingung mau menulis apa :D
Pemberdayaan dan penguatan masyarakat

Anda mungkin juga menyukai