Konservasi Laut
(Bunga Rampai)
Editor:
Jamaluddin Jompa
Natsir Nessa
Muhammad Lukman
Kontributor:
Andriani|Dining|Jamaluddin Jompa |
Muhammad Lukman | Naomi| Natsir
Nessa Rahmi | Sudirman | Syamsu Alam
Ali |
Yusran Nur Indar dkk
i
Daftar Isi
Daftar Isi.............................................................................................i
URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS)
DALAM
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA
.............................................................................................................
1
Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman1
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN
ADAPTIF
.............................................................................................................
7
Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa
..........................................................................................................
7
KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI
...........................................................................................................
35
Jamaluddin Jompa et al.
........................................................................................................
35
STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU KAPOPOSANG
...........................................................................................................
14
Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani
........................................................................................................
14
MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI
...........................................................................................................
33
Dining, Jamaluddin Jompa dkk
........................................................................................................
33
PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU KONTRADIKTIF ?
...........................................................................................................
54
Sudirman dan Natsir Nessa
........................................................................................................
54
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN
KEANEKARAGAMAN
LARVA
...........................................................................................................
68
Muhammad Lukman, Andriani Nasir.
........................................................................................................
68
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT
KARANG DI
INDONESIA
...........................................................................................................
83
Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk.
........................................................................................................
83
i
URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS)
DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI
INDONESIA
Pendahuluan
Memimpikan Indonesia di tahun 2020 memiliki kawasan
konservasi dengan luas 20 Jt Ha merupakan sebuah
keniscayaan yang akan segera terwujud. Hingga akhir tahun
2012, KKP telah merilis 10,7 Jt Ha kawasan konservasi (KKP,
2012). Luas KKP itu sudah menjadi 1.84% dari luas
lautannya, 580 Jt Ha (KKP, 2009). Indonesia dengan kawasan
konservasi itu menjadi cita-cita besar bagi sebuah negara
kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17,540 dan
panjang garis pantai 95,000 Km yang membentang dari ujung
barat ke timur. Ini yang mendapat apresiasi dari berbagai
stakeholder baik . dalam negeri maupun komunitas luar
negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau 17.540 dan panjang garis pantai 95 ribu
kilometer yang membentang dari ujung barat ke timur.
Karunia sumber daya alam yang melimpah dan
keanekaragaman hayati yang besar membuat Indonesia
menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia. Indonesia
menjadi Center of Excellent keanekaragaman sumber daya
hayati. Hal tersebut didukung oleh potensi kelautan dan
perikanan, pertambangan, perhubungan laut, industri
maritime, ekowisata, jasa kelautan dan energy sumber daya
mineral yang yang melimpah. Sumber daya hayati terumbu
karang mencapai 500 jenis spesies dan spesies ikan 2000
jenis, budidaya (12,4 juta hektar), perikanan tangkap (6,8 juta
ton), cadangan minyak bumi (9,1 milyar barel), cekungan
minyak dan gas/migas sampai 70 persen. Potensi tersebut
akan memberi manfaat jika dibarengi dengan pengembangan
konservasi sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil
1
kelautan. Disisi lain, pembukaan lapangan pekerjaan akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sector kelautan.
Tabel 1. Jenis dan Luas Kawasan Konservasi Perairan
No Lokasi/ Nama KKP Luas (Ha) Keterangan
1 KKPN/TNP Laut Sawu, NTT 3,521,130.01 KKJI+UPT
2 KKPN/TWP Gili Matra, NTB 2,954.00 KKJI+UPT
3 KKPN/TWP Laut Banda, Maluku 25,000.00 KKJI+UPT
4 KKPN/TWP P. Pieh, Sumbar 39,900.00 KKJI+UPT
5 KKPN/TWP Padaido 183,000.00 KKJI+COREMAP+UPT
6 KKPN/TWP Kapoposang, Sulsel 50,000.00 KKJI+COREMAP+UPT
7 KKPN/SAP Aru Tenggara, Maluku 114,000.00 KKJI+UPT
8 KKPN/SAP Raja Ampat, Papua
Barat 60,000.00 KKJI+COREMAP+UPT
9 KKPN/SAP Waigeo, Papua Barat 271,630.00 KKJI+COREMAP+UPT
10 KKPD/Raja Ampat, Papua Barat 970,900.00 KKJI+COREMAP+UPT+PEMDA
11 KKPD/Sukabumi, Jawa Barat 1,771.00 KKJI+PEMDA
12 KKPD/Berau, Kaltim 1,271,749.00 KKJI+PEMDA
13 KKPD/Pesisir Selatan, Sumbar 733.00 KKJI+PEMDA
14 KKPD/Bonebolango, Gorontalo 2,460.00 KKJI+PEMDA
15 KKPD/Batang, Jawa Barat 6,800.00 KKJI+PEMDA
16 KKPD/Lampung Barat, Lampung 14,866.87 KKJI+PEMDA
17 KKPD/Alor, NTT 400,008.30 KKJI+PEMDA
18 KKPD/Indramayu, Jawa Barat 720.00 KKJI+PEMDA
19 KKPD/Batam, Kepri 66,867.00 KKJI+PEMDA
20 KKPD/Bintan, Kepri 472,905.00 KKJI+PEMDA
21 KKPD/Natuna, Kepri 142,997.00 KKJI+PEMDA
22 KKPN/Anambas, Kepri 1,842,960.27 KKJI+PEMDA
23 KKP Lainnya (54-12=42 KKPD) 1,262,686.20 KKJI+PEMDA
Jumlah 10,703,537.65
Sumber. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012
Mendorong pertumbuhan ekonomi dari sector kelautan
seperti pisau bermata dua. Pemanfaatan sumber daya yang
tidak mengacu pada prinsip keberlanjutan dan mengabaikan
asas pelestarian menjadi ancaman serius. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa
segala kegiatan manusia akhirnya mempengaruhi struktur
bangunan terumbu karang. Aktivitas
2
manusia pada akhirnya akan menghasilkan pencemaran dan
berdampak pada kerusakan sumber daya hayati laut. Sumber
pencemaran bersumber dari pembangunan kawasan
pemukiman, pertambangan, pelayaran, industri perikanan,
budidaya. Selain itu, aktivitas masyarakat pesisir yang
melakukan alih fungsi lahan mangrove menjadi lahan tambak
dan kawasan pemukiman membuat kawasan pesisir makin
terdegradasi. Penyebab kerusakan sumber daya hayati laut
juga akibat dari penangkapan ikan yang berlebihan (over-
exploitation). Laju penangkapan ikan yang berlebihan
mengakibatkan stok populasi ikan menurun. Kehidupan
nelayan akan mengalami kerugian akibat sumber daya ikan
yang makin berkurang. Berkurangnya sumber pendapatan
ekonomi akan mengakibatkan nelayan mencari ikan di
wilayah lain. Sumber daya yang makin berkurang itu
membuat nelayan memilih jalan singkat menangkap ikan.
Penangkapan secara destruktif menjadi pilihan yang cepat
dan menghasilkan ikan yang banyak. Namun demikan, cara
tersebut mengakibatkan kerusakan habitat ikan dan
lingkungan laut semakin meningkat.
Lemahnya peran pemerintah mendorong kebijakan
pemanfaatan sumber daya alam menjadi celah bertambahnya
tingkat kerusakan. Apalagi masyarakat pesisir yang makin
terhimpit secara ekonomi. Keadaan ini membuat kesadaran
mengelola lingkungan pesisir semakin rendah. Situasi itu
kemudian mendorong masyarakat pesisir terjebak pada ruang
kemiskinan. Hasil kajian Kementerian Kelautan dan
Perikanan menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia
kebanyakan di wilayah pesisir dengan jumlah 7,9 juta atau 25
persen dari penduduk miskin di Indonesia. (Kabarbisnis.com,
30 Mei 2014). Pada saat bersamaan, kerusakan lingkungan
pesisir dan laut juga terus meningkat. Hasil kajian Lembaga
Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan sekitar 30,4
persen kondisi terumbu karang mengalami kerusakan. Hanya
5,29 persen yang berada dalam kondisi baik. (Koran Sindo,
16 April 2014).
Membumikan Konservasi Laut Upaya penyelamatan
ekosistem dan konservasi laut sudah dilakukan sejak dahulu.
Melalui program Marine and Coastal Resources Managemen
Program (MCRMP), pemerintah mendorong pengelolaan
sumber daya alam yang bertujuan pada pelestarian ekosistem
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setelah
program MCRMP, pemerintah Indonesia kemudian
memprakarsai program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation
and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan
Pengelolaan Terumbu Karang. Program Coremap I dan
Coremap II dilaksanakan untuk mendorong peningkatan
rehabilitasi, melindungi dan mengelola terumbu karang
secara lestari. Program Coremap menggambarkan
peningkatan perlindungan kawasan yang cukup signifikan.
Seiring dengan itu, nilai manfaat program Coremap secara
ekonomi dirasakan oleh masyarakat pesisir. Walhasil
3
masyarakat semakin menyadari pentingnya upaya
perlindungan terhadap ekosistem laut. Meski demikian,
ancaman kerusakan ekosistem laut juga makin serius.
Melihat dampak yang akan ditimbulkan membuat Indonesia
dan negara-negara yang berkepentingan dengan laut
menginisiasi pertemua kelautan dunia. Indonesia kemudian
mejadi tuan rumah World Ocean Conference dan Coral
Triangle Initiative (CTI) Summit 2009. Dukungan dunia
internasional dibuktikan dengan hadirnya 121 negara.
Sementara CTI Summit secara khusus dilakukan oleh negara
negara yang mencakup segitiga terumbu karang dunia yakni
Filipina. Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste,
Kepulauan Solomon, utusan khusus pemerintah Australia dan
Amerika Serikat. CTI merupakan upaya kerja sama negara-
negara di segitiga karang dunia untuk melakukan
pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dengan
mewujudkan kawasan Kawasan Perlindungan Laut (Marine
Protected Area-MPA). Kawasan ini merupakan pusat
keanekaragaman hayati di dunia yang memiliki pengaruh
terhadap keseimbangan ekosistem secara global. Setiap
negara sangat berkepentingan agar kawasan ini tetap lestari,
dengan 500 spesies karang, 3.000 spesies ikan dan kawasan
hutan mangrove yang paling besar di dunia, kawasan CTI
menjadi harapan manusia di masa mendatang. Dukungan
internasional untuk meningkatkan pengelolaan laut yang
berkelanjutan melalui penetapan kawasan konservasi laut
terus berkembang. Harapannya konservasi laut mampu
memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat
pesisir. Untuk mencapai hal itu, pemerintah bersama
bersama Deputy Administrator of United States Agency for
International Development (USAID), secara resmi
menyatakan dimulainya program Marine Protected Areas
Governance (MPAG) di Indonesia.
MPA bukan hanya tentang melindungi dan melestarikan
keanekaragaman hayati laut, tetapi juga untuk mendukung
perikanan berkelanjutan, ekowisata bahari, dan keperluan
lainnya untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan
terhadap MPA cukup kuat dengan adanya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007, dan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.17 / MEN / 2008 yang mengatur
kawasan konservasi daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60/
2007 tentang Konservasi Sumber Daya Perikanan menjadi
dasar program MPA. Hal tersebut mengatur sistem zonasi
perairan yang dibutuhkan dalam MPA. Sistem Zonasi yang
digunakan dalam mengelola MPA terbagi atas empat zona
yakni zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan
berkelanjutan, dan zona lainnya. Pembagian zona tersebut
merupakan satu kesatuan kawasan yang dikelola secara
efektif, dengan harapan mampu memajukan industri kelautan
dan perikanan.
4
Solusi Pengelolaan Terumbu Karang
Pendekatan kawasan konservasi laut sangat signifikan dalam
mengurangi arus kerusakan terumbu karang. Secara
perlahan terumbu karang mampu melakukan recovery
dengan berkembangnya konsep pengelolaan kawasan
konservasi. Pilar pengelolaan kawasan konservasi yakni
perlindungan, pelestarian dan pengelolaan yang
berkelanjutan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam
pengelolaan terumbu karang. Untuk mendukung target
pencapaian 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun
2020, sesuai dengan Konferensi Biodiversity yang
menyatakan bahwa target Marine Protected Area (MPA)
sebesar 10% dari luas Perairan Dunia. Olehnya itu,
pemerintah Indonesia menetapkan pola jejaring kawasan
konservasi. Aturan pelaksanaan tersebut telah diatur dalam
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang
menyebutkan bahwa Dalam pengelolaan kawasan konservasi
perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi
perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun
global. Pembentukannya berdasarkan keterkaitan biofisik
antar kawasan konservasi perairan disertai dengan bukti
ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi
perikanan, dan daya tahan lingkungan. Tahun 2013, Kawasan
Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai
15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan,
diantaranya terdiri dari Kawasan Konservasi Perairan
Daerah, Taman nasional, Taman Wisata Perairan, Cagar Alam
dan Suaka Alam Perairan. Sulawesi Selatan memiliki empat
kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat
Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas
kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari
total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia.
(Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan, 2014).
Mengembangkan kawasan MPA mejadi tanggung jawab
secara social semua pihak. Pemerintah, masyarakat, NGO,
perusahaan swasta mesti memiliki visi yang sama tentang
MPA. Sehingga tahun 2020 target pencapaian 20 juta Ha bisa
tercapai.
Menembus Dimensi Kawasan Konservasi Laut Buku ini
membahas gambaran konservasi laut dari berbagai dimensi.
Sebagai bahan bacaan yang disajikan secara ilmiah namun
tetap renyah untuk dibaca. Setiap Bab membahas tema
berbeda yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi
laut. Bab II, dibahas bagaimana mengevaluasi efektivitas
pengelolaan kawasan taman wisata perairan dan kawasan
konservasi laut khususnya di daerah Kabupaten Pangkep. Bab
III memaparkan aspek hubungan dan keterkaitan secara
biofisik antar kawasan konservasi untuk mendukung jalinan
jejaring kawasan konservasi. Pada Bab IV dan V secara
khusus mengupas pengelolaan kawasan konservasi jenis
penyu. Dari
5
Bab ini akan diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi
dalam pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang. Bab V
membahasa berbagai macam Bagan yang perannya dianggap
menjadi ancaman dalam pengelolaan MPA. Sementara itu Bab
VII dan Bab VIII secara khusus membahas konservasi laut
kaitannya dengan pemulihan keanekaragaman larva dan
perevelnsi terhadap penyakit karang.
6
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG
EFEKTIF DAN ADAPTIF
Pendahuluan
7
pengelolaan kawasan konservasi termasuk yang berkategori
taman wisata alam laut tidak efektif.
Pada pertemuan internasional Convention on Biological
Diversity pada tahun 2006 di Brazil, pemerintah Indonesia
telah berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi
laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan berkomitmen
memperluasnya menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020
(UNEP-WCMC, 2008). Komitmen didasarkan selain pada
tingginya kebutuhan untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan juga untuk menghadapi ancaman tekanan
terhadap sumberdaya laut. Kepulauan Spermonde memiliki
keragaman ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut
yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul di atas
dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di
pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar)
membentang dari utara ke selatan sepanjang kurang lebih
300 km dengan luas 16.000 km 2. Kabupaten Pangkep
dicirikan oleh wilayah perairan lautnya yang luas dengan
taburan 117 pulau-pulau merupakan ekosistem dengan
keragaman hayati yang sangat tinggi terutama pada habitat
terumbu karang (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id/,
diakses pada tanggal 25 Desember 2013).
Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan
produktivitas ekosistem yang tinggi sehingga dapat
mendukung kegiatan perekonomian. Ekosistem pesisir utama
Kabupaten Pangkep adalah terumbu karang, mangrove, dan
padang lamun. Salah satu upaya dalam menyelamatkan
ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pangkep adalah
dengan membetuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang
telah diinisiasi oleh COREMAP II. DPL merupakan wilayah
perlindungan laut yang dibentuk berdasarkan aspirasi
masyarakat. Hingga saat ini hampir di setiap desa kecamatan
pesisir memiliki DPL. Akan tetapi, permasalahan kerusakan
ekosistem pesisir tidak secara otomatis telah terpecahkan
dengan terbetuknya DPL tersebut.
Selain itu, kemampuan resistensi dan resiliensi dari setiap
DPL belum teruji karena belum ada mekanisme konektivitas
antar DPL yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan
lokasi tersebut. Oleh karena itu, dibentuklah Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep
berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2009
tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kabupaten Pangkep dan Peraturan Bupati Pangkajene Dan
Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan
Kepulauan untuk menjamin daya resistensi dan resiliensi dari
setiap lokasi terpilih melalui mekanisme konektivitas antar
habitat, biota, dan kondisi ekologinya. Berdasarkan SK Bupati
tersebut, KKLD Pangkep mencakup wilayah administrasi
Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Liukang
Tupabbiring Utara.
8
Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan
Spermonde dan secara administratif masuk dalam wilayah
Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi
Sulawesi Selatan. SK Menteri Kehutanan No. 588/KPTS-
VI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan
Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas
sebesar 50.000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km.
Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan
sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan
dan Perikanan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No.
BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009.
Kawasan ini lalu ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan
Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai
dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.66/MEN/2009 (Haslindah, 2012).
Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah
menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap
sumberdaya pesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi
penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem pesisir dan
laut terutama akibat dari penangkapan ikan secara destruktif.
Demikian halnya terjadi di wilayah kawasan konservasi TWP
Kapoposang maupun KKLD Kabupaten Pangkep dimana
Tingkat PITRaL masih sering terjadi (Saleh. A, 2010). Oleh
karenanya, pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk
mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan
kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat
meningkatkan fungsi dari kawasan konservasi itu sendiri
serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan.
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil nomor KEP/44/KP3K/2012 tentang Pedoman
Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) adalah
pedoman teknis yang diterbitkan untuk menilai capaian
kinerja pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia,
tujuannya adalah untuk mendukung komitmen pemerintah
dalam proses perluasan kawasan konservasi sampai 20 juta
hektar pada tahun 2020.
Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi
Laut Daerah Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi
yang dikelola oleh Pemerintah untuk menjamin ketersediaan
sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi tersebut
ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan
sumberdaya laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya
sehingga proses pemanfaatan sumberdaya dapat berlangsung
secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua kawasan
konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan
sehingga pada akhirnya pengelolaan secara mandiri dan
berkelanjutan dapat segera terwujud. Untuk mendorong
percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP
Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten
Pangkep
9
tentunya harus dievaluasi agar upaya peningkatan kinerja
pengelolaannya didasarkan pada hasil-hasil evaluasi tersebut
dan dengan berdasarkan hal tersebut sehingga penelitian ini
ditujukan untuk Mengkaji capaian kinerja pengelolaan
Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP)
Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Kabupaten Pangkep dengan menggunakan Pedoman Teknis
Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E -KKP3K) sesuai
keputusan Kementerian Kelautan Perikanan melalui Direktur
Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor 44
/KP3K/2012 serta mengetahui persepsi nelayan setempat
terhadap keberadaan kawasan TWP Kapoposang dan KKLD
Kabupaten Pangkep.
Gambaran Umum
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang pada
awalnya berada dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan
dimana berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No.
588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 ditetapkan
Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut
(TWAL) seluas 50.000 ha. Kemudian TWAL Kapoposang
diserahterimakan pengelolaannya dari Kementerian
Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan
dengan Berita Acara nomor 01/Menhut-IV/2009 dan BA
108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Nomen
klaturnya kemudian berubah menjadi Taman Wisata Perairan
(TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya melalui
keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor
66/MEN/2009 tentang penetapan kawasan konservasi
perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di
sekitarnya di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditjen KP3K
http://kkji.kp3k.kkp.go.id , diakses pada tanggal 12 Mei
2014).
10
Gambar 6 : Peta Zonasi Taman Wisata Perairan
Kapoposang. Sumber : Balai Kawasan Konservasi Perairan
Nasional (BKKPN) Kota Kupang (2014)
13
Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai
76,19 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola memiliki
SDM yang fungsinya belum sesuai dengan fungsi pengelolaan
dimana fungsi yang dimaksud berupa fungsi pengawasan,
monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi
budaya. Selain dokumen rencana pengololaan belum
disahkan, juga belum ada dokumen-dokumen tentang Standar
Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi
perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang
mengatur tentang penguatan kelembagaan, patroli bersama,
pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial
ekonomi dan budaya.
Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai
57,14 %, hal ini disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit
organisasi pengelola belum sesuai dengan kompetensi yang
ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah
mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain
itu, anggaran pengelolaan kawasan konservasi belum
terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan pengelolaan
sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana
pengelolaan juga belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul
akibat dari keterbatasan anggaran pengelolaan adalah belum
adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan konservasi
berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang
sampai saat ini juga belum menetapkan data ekologis mana
yang akan digunakan sebagai garis dasar (t 0) untuk
melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan
kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi,
kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP
Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan
sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya.1
Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru
mencapai 33,33 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola
TWP Kapoposang belum pernah melakukan kegiatan-kegiatan
pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan
pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak
kegiatan budidaya terhadap kawasan konservasi, kajian
dampak kegiatan perikanan terhadap kawasan konservasi,
kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak
dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat
dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan. Selain
itu, sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan
stakeholder juga belum ada.
Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi
yang efektif, unit pengelola juga telah melakukan banyak hal
dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen pencadangan
calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan
1
Keterangan lisan Koordinator Unit Pengelola TWP Kapoposang.
14
Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata
cara
Penetapan kawasan konservasi perairan, identifikasi,
inventarisasi, sosialisasi dan konsultasi publik calon kawasan
konservasi perairan. Hasil dari upaya inisiasi pencadangan
kawasan kawasan konservasi tersebut adalah diterbitkannya
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan
Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi
Selatan pada tanggal 3 September 2009 dengan luas
kawasan 50.000 ha. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan
Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor
KEP.66/MEN/2009 adalah mengumumkan dan
mensosialisasikan kawasan konservasi TWP Kapoposang
kepada masyarakat.
15
yang dibutuhkan seperti SDM dengan kualifikasi
perencanaan, monitoring sumberdaya, evaluasi, pengawasan,
penelitian, dan SDM yang memiliki kualifikasi untuk mengkaji
kondisi sosial ekonomi budaya. Selain itu, dukungan terhadap
pembiayaan pengelolaan juga masih sangat minim, belum
adanya dokumen-dokumen SOP misalnya SOP penelitian dan
pendidikan, SOP pelaksanaan kegiatan pariwisata, SOP
pelaksanaan kegiatan budidaya, dan SOP pelaksanaan
kegiatan perikanan tangkap. Dalam hal pengelolaan
sumberdaya kawasan, unit pengelola KKLD Kabupaten
Pangkep juga belum menetapkan data ekologis mana yang
akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan
pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi
habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi
populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP
Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan
sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya.
Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten
Pangkep tidak menunjukkan capaian kinerja apapun (0 %),
hal ini disebabkan karena belum tersedianya data tentang
peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari
adanya pengelolaan KKLD dan peningkatan kesadaran
masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya
kawasan, serta belum adanya sistem pendanaan
berkelanjutan yang melibatkan stakeholder dalam
mendukung pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep.
Meskipun masih banyak yang belum dilakukan oleh unit
pengelola KKLD Kabupaten Pangkep dalam meningkatkan
level/peringkat pengelolaan KKLD namun layak mendapatkan
apresiasi karena kinerja pengelolaan telah mencapai
peringkat merah dengan status pencadangan kawasan
konservasi. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan
Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010
Tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan
Kepulauan. Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan
oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep adalah
menginisiasi penetapan dokumen Rencana Pengelolaan
KKLD.
Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan
Konservasi TWP Kapoposang Dengan KKLD Kabupaten
Pangkep
16
Kapoposang dilakukan dengan perencanaan kebijakan secara
top-down sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) Kabupaten Pangkep inisiasi pencadangan
kawasannya dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat
dan pemerintah dengan melalui proses perencanaan
kebijakan secara bottom-up. Selain itu, pengelolaan Kawasan
Konservasi TWP Kapoposang dikelola langsung oleh Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan
Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan
Perikanan sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) Kabupaten Pangkep pengelolaan kawasannya
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep yang
melekat pada Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep.
Pada grafik yang divisualisasikan di bawah terlihat kedua
kawasan konservasi yaitu TWP Kapoposang dan KKLD
Kab.Pangkep telah mencapai kinerja pengelolaan 100 %
namun pada peringkat kuning hanya TWP Kapoposang yang
telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % sedangkan kinerja
pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81
%.
Pada Peringkat hijau, kinerja pengelolaan kawasan
konservasi TWP Kapoposang mencapai 76,19% dan kinerja
pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 61,90 %.
Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan kawasan konservasi
mencapai 57,14 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten
Pangkep mencapai 35,71 %, dan pada peringkat emas kinerja
pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai
33,33 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep
belum ada capaian apapun (0 %).
17
Gambar 12 : Grafik Perbandingan Presentase
Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi
Berdasarkan Analisis E-KKP3K
18
anggaran pengelolaannya hanya melekat pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pangkep
dan APBD Propinsi Sulawesi Selatan.
KINERJA
PENGELOLAAN
PERINGKAT TWP Kapoposang KKLD Kab.
Pangkep
Capaian Ket Capaian Ket
(%) (%)
MERAH KAWASAN
(1) KONSERVASI 100 Efektif 100 Efektif
DIINISIASI
KUNING KAWASAN Belum
(2) KONSERVASI 100 Efektif 81,81
Efektif
DIDIRIKAN
HIJAU KAWASAN Belum Belum
(3) KONSERVASI 76,19 61,90
Efektif Efektif
DIKELOLA
MINIMUM
BIRU KAWASAN Belum Belum
(4) KONSERVASI 57,14 35,71
Efektif Efektif
DIKELOLA
OPTIMUM
EMAS (5) KAWASAN 33,33 Belum 0 Belum
KONSERVASI Efektif Efektif
MANDIRI
Tabel 1 : Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan
Konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep.
Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan,
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012
Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
(E-KKP3K).
19
Berbeda dengan capaian kenerja pengelolan kawasan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep
yang baru mencapai kinerja pengelolaan 100 % pada
peringkat merah. Hasil E-KKP3K tersebut membuktikan
bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai
pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status
kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan
KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada
peringkat merah dengan status telah dicadangkan.
Capaian kinerja pengelolaan TWP Kapoposang pada
peringkat hijau, biru, emas dan capaian kinerja pengelolaan
KKLD Kab.Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru, emas
masih berada di bawah 100 % sehingga dapat dikategorikan
belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya
aktivitas pelaksanaan rencana pengelolaan, penguatan
kelembagaan, dan belum adanya pendanaan yang mandiri
dan berkelanjutan.
20
Gambar 13 : Peta Lokasi Penelitian. Keterangan : (a)
Lokasi Penelitian di wilayah TWP Kapoposang (Pulau
Gondongbali); (b) Lokasi Penelitian di wilayah KKLD Kab.
Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau
Pala).
2
Berdasarkan keterangan lisan staf unit pengelola KKLD Kab.Pangkep
bahwa sosialisasi KKLD Kab.Pangkep baru sekali dilaksanakan pada tahun
2010 setelah diterbitkannya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan
nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi
21
Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro
Uleng bahwa unit pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak
pernah melakukan sosialisasi edukatif terkait keberadaan
KKLD Kab. Pangkep sehingga nelayan sebagai entitas yang
menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak
mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep.3
22
Persepsi Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Tidak
Ramah Lingkungan (PITRaL) di Sekitar Wilayah
Kawasan Konservasi.
Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL)
merupakan aktivitas penangkapan yang sifatnya eksploitatif
dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi (Saleh,
2010). Alat PITRaL yang paling sering dipergunakan adalah
racun sianida (bius), bahan peledak (bom ikan), trawl, bubu
tindis, dan muroami. Berdasarkan laporan Destructive
Fishing Watch (DFW) Indonesia (2003) dalam Saleh (2010),
untuk kepulauan Spermonde diperkirakan 64,88%
nelayannya adalah pelaku PITRaL.
Persepsi nelayan terhadap aktivitas Penangkapan Ikan Tidak
Ramah Lingkungan (PITRaL) menggambarkan bahwa
aktivitas PITRaL masih terjadi baik di wilayah TWP
Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab.Pangkep meski
intensitasnya sudah menurun. Indikasinya terlihat dimana
sebanyak 17,1% responden di wilayah TWP Kapoposang
menyebutkan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam
kurun waktu 6 bulan; dan 11,4% menyatakan aktivitas
PITRaL sering terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6
bulan.
Demikian hanya di wilayah KKLD Pangkep dimana
tergambarkan masih ada indikasi terjadinya aktivitas PITRaL.
Responden di Pulau Kulambing sebanyak 74,3% menyatakan
aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6
bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih
terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sebanyak
14,3% responden di Pulau Samatellu Lompo menyatakan
aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6
bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih
terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.
Responden di Pulau Pala umumnya (80%) menyatakan
aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6
bulan dan 8,6% aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3
kali dalam kurun waktu 6 bulan.
Laporan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan
Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep 2006 (Coremap II,
2006) menjustifikasi bahwa nelayan yang berada di
kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan yang berasal dari
Pulau Karanrang masih melakukan aktivitas PITRaL dalam
proses pemanfaatan sumberdaya laut. Senada dengan itu,
Saleh (2010) mengungkapkan bahwa nelayan yang berada di
kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan penangkap ikan
sunu menggunakan alat tangkap pancing sunu yang selalu
berbarengan dengan penggunaan sianida. Hal ini disebabkan
pancing sunu dimaksudkan untuk mendapatkan target dalam
keadaan hidup, sedang ikan target sendiri berada di dalam
celah karang, sehingga untuk dapat ditangkap target harus
dipaksa keluar dari lubang persembunyiannya dengan cara
menyemprotkan sianida (bius).
23
Persepsi Terhadap Eksploitasi Kima
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa
menjustifikasi perlindungan terhadap berbagai jenis Bivalvia,
diantaranya Kima Tapak Kuda (Hippopus hippopus), Kima
Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunia (Tridacna crocea),
Kima selatan (Tridacna derasa), Kima raksasa (Tridacna
gigas), dan Kima sisik (Tridacna squamosa). Berdasarkan hal
tersebut sehingga menjadi penting untuk menggambarkan
aktivitas eksploitasi Kima di wilayah TWP Kapoposang dan
KKLD Kab, Pangkep.
Talibo adalah nama local (local common name) untuk jenis
biota Kima bagi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep.
Sudah menjadi tradisi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep
untuk menyajikan hidangan Kima pada saat acara-acara
hajatan dan atau pesta pernikahan. Meski belum ada data
tentang menurunnya tingkat populasi Kima yang
digambarkan dalam deret waktu, namun masyarakat
kepulauan di Kab.Pangkep cukup merasakan berkurangnya
hasil tangkapan Kima.
Baik di Wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD
Kab. Pangkep tergambarkan masih adanya indikasi
eksploitasi Kima meski intensitasnya sudah menurun.
Responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali)
sebanyak 20% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi
Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 17,1%
responden menyatakan eksploitasi Kima masih terjadi lebih
dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan.
Demikian halnya juga di wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau
Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) dimana terindikasi
masih adanya eksploitasi Kima. Responden di Pulau
Kulambing sebanyak 17,1% masih melihat adanya aktivitas
eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan
sebanyak 11,4% responden menyatakan aktivitas eksploitasi
Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6
bulan.
Di Pulau Samatellu Lompo, 14,3% responden menyatakan
masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam
kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 22,9% menyatakan
aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali
dalam kurun waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala
sebanyak 14,3% juga masih melihat aktivitas eksploitasi Kima
sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 8,6%
responden menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih
terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Masih
adanya indikasi eksploitasi Kima di wilayah kawasan
konservasi laut diduga kemungkinan disebabkan karena
pengawasan terhadap sumberdaya laut masih belum terlalu
ketat.
24
Persepsi Terhadap Aktivitas Penambangan Karang.
Penambangan karang adalah aktivitas yang dilarang apalagi
dilakukan di wilayah kawasan konservasi laut. Kebanyakan
masyarakat yang berada di daerah kepulauan di Indonesia
yang wilayahnya jauh dari daratan dimana sulit untuk
mendapatkan material bahan bangunan untuk pembangunan
sementara kebutuhan untuk mendapatkan atau membangun
rumah semakin tinggi sehingga kadang secara terpaksa
melakukan penambangan karang yang biasanya ditujukan
untuk membangun fondasi bangunan. Tak terkecuali
masyarakat yang berada di wilayah TWP Kapoposang dan
KKLD Kab. Pangkep seperti yang tervisualisasikan pada
grafik di bawah menggambarkan masih adanya aktivitas
penambangan karang meski responden umumnya
menyatakan sudah tidak ada lagi atau sudah tidak pernah
melihat lagi aktivitas penambangan karang.
Sebanyak 17,1% responden di Pulau Gondongbali
menyatakan pernah melihat aktivitas penambangan karang
lebih dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun. Di Pulau
Kulambing, sebanyak 14,3% responden pernah melihat
aktivitas penambangan karang dengan aktivitas kurang dari 3
kali selama kurun waktu 1 tahun dan sebanyak 11,4%
responden pernah melihat aktivitas penambangan karang
lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir.
Sebanyak 8,6% respoden di Pulau Samatellu Lompo pernah
melihat aktivitas penambangan kurang dari 3 kali dalam
setahun terakhir dan 20% menyatakan aktivitas
penambangan karang lebih dari 3 kali dalam setahun
terakhir. Demikian halnya di Pulau Pala bahwa sebanyak
31,4% responden menyatakan aktivitas penambangan karang
terjadi kurang dari 3 kali dalam setahun dan 8,6% responden
menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi lebih dari
3 kali dalam setahun terakhir. Terlepas dari rendahnya
pendapatan nelayan dalam hal memenuhi kebutuhan,
terutama dalam hal pembangunan pemukiman.
25
Di Provinsi Sulawesi Selatan dan KKLD Kabupaten Pangkep
juga telah dicadangkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene
Dan
Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan
Kepulauan. Setelah dicadangkannya TWP Kapoposang pada
tahun 2009 dan KKLD Kab. Pangkep pada tahun 2010, kedua
kawasan konservasi ini tentunya harus dikelola efektif agar
dapat memberikan manfaat banyak kepada nelayan setempat.
Secara umum responden baik responden yang berada di
kawasan TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun yang
berada di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambbing,
Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala ) menyatakan bahwa
sejak ditetapkannya kawasan konservasi TWP Kapoposang
dan KKLD Kab.Pangkep hasil tangkapan tidak mengalami
perubahan peningkatan atau sama saja. Pendugaan
sementara kemungkinan disebabkan oleh faktor daya
jangkauan trip armada tangkap nelayan yang hanya sebagian
besar hanya menjangkau daerah-daerah yang dekat dengan
pulau. Menurut kepala desa Mattiro Dolangeng4 bahwa
daerah fishing ground nelayan sebagian besar berada di
sekitar pulau yang kaya akan karang dikarenakan armada
tangkap nelayan hanya mampu menjangkau wilayah perairan
dangkal yang dekat dengan pulau sehingga ekosistem karang
semakin rusak dikarenakan aktivitas PITRaL.
Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan
mulai merasakan bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan
tidak meningkat bahkan dirasakan semakin berkurang,
sementara nelayan secara ekonomi tidak mampu
meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar
untuk menjangkau wilayah fishing ground yang lebih jauh
Dugaan kedua kemungkinan disebabkan oleh sejak
ditetapkannya TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten
Pangkep oleh Pemerintah sampai sekarang belum ada
penataan tapal batas zona-zona yang ada dalam wilayah
kawasan konservasi sehingga kegiatan-kegiatan ekstraktif
tetap dilakukan oleh nelayan pada daerah-daerah yang kaya
akan karang. Kegiatan ekstraktif tersebut secara teoritis akan
memberikan dampak negative yaitu terganggunya rekrutmen
ikan karang sehingga kestabilan rantai makanan, aliran
energi dan siklus materi dalam ekosistem terumbu karang
tidak terjadi secara optimal. Menurut staf unit pengelola
KKLD Kab. Pangkep5 bahwa isu pengurangan luasan zona inti
KKLD Kab.Pangkep sedang bergulir dikarenakan beberapa
stakeholder (Pengusaha Bisnis Perikanan) yang mengetahui
keberadaan KKLD Kab.Pangkep merasa wilayah fishing
groundnya semakin terbatasi.
26
Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki
ketergantungan politik secara vertikal menggulirkan isu
tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa stakeholder
tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya
penghasilan akibat berkurangnya hasil tangkapan karena
terlalu luasnya zona inti KKLD Kab.Pangkep. Karena adanya
resistensi dari stakeholder tersebut sehingga penataan tapal
batas KKLD Kab.Pangkep belum bisa dilakukan. Hal inilah
yang mendasari sehingga dinamika otonomi daerah dirasakan
sangat berpengaruh terhadap proses pengelolaan kawasan
konservasi laut. Kepentingan stakeholder yang bertabrakan
diupayakan untuk disinkronisasi secara harmonis agar tidak
terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem
demokrasi politik di Indonesia belum dewasa sehingga
kebijakan selalu disandarkan pada kepentingan sebagian
kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski
harus mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya
laut.
27
Persepsi Terhadap Manfaat Terumbu Karang Sebagai
Daerah Tempat Tinggal (Nursery Ground), Tempat
Mencari Makan (Feeding Ground) dan tempat
Beregenerasi Berbagai Macam Ikan Laut (Spawning
Ground).
Responden yang ada di kawasan konservasi laut Kab.
Pangkep baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau
Gondongbali) maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau
Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) pada
umumnya adalah adalah nelayan dengan armada tangkap
yang sederhana sehingga hanya bisa mengakses fishing
ground yang dekat dimana sebagian besar daerah fishing
groundnya adalah perairan dangkal daerah ekosistem karang
tumbuh berkembang. Coremap telah memberikan banyak
pelajaran dan pengetahuan kepada nelayan tentang manfaat
terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground ,
dan Spawning Ground. Sehingga dengan demikian dapat
menjustifikasi bahwa responden baik di wilayah TWP
Kapoposang maupun KKLD Kab. Pangkep pada umumnya
sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai
Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground.
Hal ini tergambarkan dimana sebanyak 77,1% responden di
TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menjawab bahwa
terumbu karang bermanfaat sebagai
Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground.
Demikian halnya wilayah KKLD Pangkep dimana sebanyak
68,6% responden di Pulau Kulambing, 60% responden di
Pulau Samatellu Lompo dan 54,3% responden di Pulau Pala
sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery
Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini
dapat digeneralisasi bahwa masyarakat nelayan di baik di
wilayah TWP Kapoposang maupun di KKLD Kab.
Pangkep sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai
Nursery Ground,
Feeding Ground, dan Spawning Ground.
28
pengelolaan kawasan konservasi adalah juga merupakan
upaya penegakan aturan (hukum) yang diharapkan dapat
memberikan keadilan kepada seluruh nelayan dalam hal
pemanfaatan sumberdaya laut. Upaya penegakan aturan
pemanfaatan sumberdaya laut tersebut harus disandarkan
pada kepentingan mayoritas nelayan dengan tetap
mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.
Dari hasil penelitian menggambarkan tingginya harapan
mayoritas nelayan terhadap perlunya mensegerakan
optimalisasi penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya
laut, baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah
KKLD Kab. Pangkep. Sebanyak 68,6% responden di wilayah
TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menganggap perlu
ada aturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah terumbu
karang dan sebanyak 20% menyatakan sangat perlu ada
aturan pemanfaatan sumberdaya. Responden yang berada di
wilayah KKLD kabupaten pangkep, yaitu Pulau Kulambing,
Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala masing-masing
sebanyak 62.9%, 62.9% dan 57.1% mengharapkan perlu ada
aturan pemanfaatan sumberdaya dan masing-masing
sebanyak 28.6%, 14.3%, dan 25.7% menyatakan sangat perlu
adanya aturan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut.
Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat menjustifikasi
bahwa secara umum responden berharap adanya penegakan
aturan secara optimal agar dapat memberikan keadilan
dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut.
29
tersebut menyebabkan luasan kawasan menjadi 90.000
hektar sementara dalam Keputusan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009
tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi
Sulawesi Selatan tercantum luasan kawasan 50.000 hektar.
Hal ini memungkinkan akan dilakukan peninjauan kembali
Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan tersebut.6
Demikian halnya dengan management plan KKLD Kab.
Pangkep masih belum ditetapkan karena masih dalam proses
sinkronisasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu, pertimbangan lain sehingga management plan
KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan adalah karena
luas zona inti (no take zone) KKLD Kab.Pangkep masih ingin
dikurangi. Hipotesis sementara terkait rencana pengurangan
luas zona inti KKLD Kab.Pangkep adalah diduga sedikit
banyaknya terkait dengan dinamika otonomi daerah.
Lambatnya progresifitas pengelolaan kawasan konservasi
TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep yang dikarenakan
oleh belum ditetapkannya Management Plan TWP
Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep menyebabkan lemahnya
pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di
wilayah perairan Kab.Pangkep sehingga memberi ruang
kepada para pemanfaat sumberdaya laut untuk tetap
melakukan aktivitas PITRaL, penambangan karang dan
eksploitasi biota dilindungi (Kima). Sejak tahun 2006-2011
melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL),
Coremap telah banyak memberikan pengetahuan dan
pembelajaran kepada masyarakat nelayan di wilayah
Kepulauan Kab.Pangkep sehingga masyarakat nelayan
umumnya mengetahui manfaat terumbu karang namun
realitas menunjukkan kondisi yang un-linear dimana masih
ada indikasi terjadinya pelanggaran pemanfaatan
sumberdaya laut yang terindikasi dengan masih adanya
aktivitas PITRaL, penambangan karang, eksploitasi biota
dilindungi (Kima). Hipotesis sementara kemungkinan
disebabkan oleh : (1) rendahnya pengawasan terhadap
pemanfaatan sumberdaya laut yang dikarenakan belum
ditetapkannya Management Plan kawasan konservasi laut
TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Rendahnya
dukungan Pemerintah dalam hal meningkatkan kapasitas
(teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada
tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih
jauh sehingga sebagian besar nelayan secara determinan
melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang
sekitar pulau; (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam
upaya mengembangkan mata pencaharian alternative bagi
masyarakat nelayan. Dugaan ini masih perlu dikaji lebih jauh
agar dapat menjadi landasan ilmiah dalam proses
6
Keterangan lisan Koordinator Pengelola TWP Kapoposang.
30
pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan
sumberdaya laut secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, penulis
merekomendasikan beberapa hal, yaitu : (1) Segera
menetapkan dan mensosialisasikan management plan TWP
Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Untuk mempercepat
pencapaian efektifitas kinerja pengelolaan pada peringkat
emas, diperlukan keseriusan dari masing-masing pengelola
untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dokumen
pengelolaan sesuai dengan Pedoman Teknis E-KKP3K; (3)
Meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil
tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau
fishing ground yang lebih jauh serta meningkatkan kapasitas
teknologi pasca panen untuk menjaga kualitas hasil
tangkapan; (4) Mengembangkan mata pencaharian
alternative dan memberikan jaminan pasar terhadap hasil
produksi mata pencaharian alternative bagi masyarakat
nelayan di kepulauan Kab.Pangkep; (5) Diperlukan penelitian
lanjutan tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.
Pangkep sebagai landasan teoritis dalam pengelolaan
kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Lautan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional
Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis
Universitas Diponegoro ke 43. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan
Laut. Universitas Diponegoro, Semarang.
Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003.
Strategi Pengembangan Konservasi Laut. Dalam
Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan dan
Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. Jakarta.
Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya
Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir
dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB.
Bogor.
Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan
Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosial Sistem
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Bogor : Pusat
Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut
(P4L).
Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang
Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten
Pangkep Tahun 2006.
Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan
Berkelanjutan di TWP Kapoposang Tahun 2011.
Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis
Publisher, Boca Raton , FL.
Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam
Angka 2012. BPS Propinsi Sulawesi Selatan.
Makassar.
Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to
Marine Fisheries in Indonesia. Paper Submited for
Asia Pasific Fisheries Commision APFIC) Symposium
on Enviromental Aspects of Responsible Fisheries,
Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.
Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis
Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Pada
Pengelolaan KKLD Ujungnegoro Kabupaten Batang.
Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117
124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.
32
Ditjen KP3K. 2012. Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir,
dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Keputusan
Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
nomor KEP.44/KP3K/12. Jakarta.
Ditjen KP3K. Basis Data Kawasan Konservasi.
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ (Diakses pada tanggal 25
Desember 2013)
Ditjen KP3K. Eksotisme Kapoposang. Publikasi Kementerian
Kelautan dan Perikanan seri Kawasan Konservasi
Perairan Nasional. Jakarta Pusat.
http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12
Mei 2014)
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Tata
Ruang Pesisir dan Laut. Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun 2002,
tanggal 4 September 2002. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman
Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Direktorat Konservasi dan Taman laut Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Jakarta
Elida, F. 2005. Pola Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis
Masyarakat Di Kepulauan Karimunjawa. Tesis.
Program Pasca Teknik Pembangunan Wilayah dan
Kota Universitas Diponegoro Semarang.
Gay,L.R. and Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business
and Management. Macmillan Publishing Co.,
NewYork
Gubbay, S. 1995. Marine Protected Areas. Chapman & hall.
London-Glssgow-Weinheim-New York-Tokyo-
Melbourne-Madras.
Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara
Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.
Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu
Karang Taman Wisata Perairan Kapoposang
Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas
Hasanuddin.
Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J.
Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness : A
Framework For Assessing Management
Effectiveness of Protected Area 2nd Edition. IUCN,
Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
IUCN, 1994. Guidelines for Protected Area Management
Categories CNPPA with assistance of WC,WM,
IUCN,.Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Kartono, Kartini & Gulo, Dali. 1987. Kamus Psikologi. Pionir
Jaya. Bandung Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil nomor
KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis
Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
(E-KKP3K)
33
Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi
objek daya tarik wisata Pantai di kecamatan Kei
Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal
Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas
Pattimura Ambon Locally-Managed Marine
Management Area. www.Lmmanetwork.org
Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan
yang dilindungi di Daerah Tropika. Terjemahan.
Yogyakarta:Gajahmada University Press.
Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam.
Tesis. Program Pasca Sarjana Manajemen
Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro
Semarang.
McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati.
Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang
Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah
Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta
National Research Council., 1999. Sustaining Marine
Fisheries. National Academy Press. Washington D.C.
Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia ; Paradigma,
Perkembangan dan Pengelolaannya. Publikasi Ditjen
KP3K KKP. Jakarta. http://kkji.kp3k.kkp.go.id
(Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)
Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks
Kelompok Gramedia. Jakarta
Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi
Laut Daerah (KKLD) Perairan Kecamatan Liukang
Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati
Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan
Konservasi Perairan Indonesia: A Consultancy
Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan
Perikanan dengan Coral Triangle Support
Partnership (CTSP). Jakarta.
UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of
Marine Protected
Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEP-
WCMC
Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi
Offset. Yogyakarta.
34
KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI
Pendahuluan
Jejaring Konservasi diperkenalkan oleh IUCN yang
menyatakan bahwa Jaringan MPA merupakan kumpulan
Kawasan Konservasi individu atau daerah Pencadangan
sinergis pada berbagai skala spasial, dan dengan kisaran
tingkat perlindungan yang dirancang untuk memenuhi tujuan
dimana perlindungan kawasan tidak cukup pada tingkatan
yang lebih kecil (IUCN-WCPA, 2008). Saat ini Jejaring
Konservasi juga dikembangkan di Indonesia guna mengejar
target 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020,
sebagaimana hasil Konferensi Biodiversity yang menyarankan
akan target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari
luas Perairan Dunia. Tahun 2013 luas Kawasan Konservasi
perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar
yang berjumlah 131 kawasan. Sulawesi Selatan memiliki
empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat
Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas
kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau + 5% dari
total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. Peluang
untuk mencapai target kawasan konservasi sebagaimana
yang disyaratkan 20 juta Ha ditahun 2020 yang saat ini masih
kurang 4,215,870.48 masih dapat dilakukan. Kekurangan
tersebut dapat ditambahkan salah satunya dengan membuat
jejaring kawasan konservasi di Ecoregion Selat Makassar.
Kebutuhan untuk peningkatan kawasan konservasi,
kepentingan dalam menjamin berkembangnya diversitas
biologi dan keberlansungan proses ekologi di Perairan, maka
dilakukan pengkajian pembentukan Jejaring Konservasi di
Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Selain itu,
kesiapan pembentukan Jejaring konservasi juga perlu
mendapat perhatian dari sisi Kelembagaan, hal ini menjadi
factor dalam berjalannya pengelolaan kawasan serta
dinamika kelembagaan sosial yang berpengaruh dalam
pengembangan Jejaring Konservasi. Oleh karenanya
keterkaitan biofisik dan kelembagaan menjadi kajian dalam
Penelitian ini.
Peningkatan Luas Kawasan Konservasi dan berkembangnya
diversitas biologi melalui Jejaring Konservasi memerlukan
langkah penilaian biofisik dan penilaian kelembagaan dalam
inisiasi dan pengelolaan kawasan. Penelitian ini akan melihat
(1) Bagaimana Kondisi dan Keterkaitan Biofisik Perairan
Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar
sebagai daerah pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi
Perairan (2) Apakah terdapat wilayah penting untuk
perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan
Kabupaten Selayar (3) Bagaimana
35
aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring
Kawasan Konservasi Perairan di Kepulauan Spermonde dan
Perairan Kabupaten Selayar
Adapun Tujuan Penelitian adalah (a) Mengetahui Kondisi dan
Keterkatian Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan
Kabupaten Selayar sebagai daerah Pembentukan Jejaring
Kawasan Konservasi Peraian (b) Menghasilkan Wilayah
penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan
Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (c) Mengetahui
aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring
Kawasan Konservasi Peraian,
Sementara itu manfaat penelitian ini yakni (a) Mengetahui
keadaan Kondisi Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan
Kabupaten Selayar, (b) Dapat menjadi pertimbangan dalam
perencanaan dalam mengelola Kawasan Konservasi Perairan,
(c) Tersedianya kajian ilmiah dalam perencanaan
pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde
dan Kabupaten Selayar
36
Gambar.2.1Pembagian Ecoregion Laut (MEOW) di Indonesia
(Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).
37
keanekaragaman hayatinya. Waktu penelitian akan dilakukan
dari Bulan Februari Hingga April. Pengambilan data
dilakukan pada Bulan Februari 2014
Biofisik Kawasan Perlindungan
Kesamaan biofisik menjadi factor penting dalam kegiatan
dalam perlindungan. Di perairan Selayar dan Spermonde,
salah satu indikasi untuk melihat kesamaan biofisik di kedua
perairan ini data jenis terumbu karang. Data jenis terumbu
karang yang digunakan adalah data tahun 19847 yang
merupakan data hasil identifikasi jenis karang di beberapa
daerah bagian Indonesia timur. Data tersebut digunakan
karena menunjukkan adanya tingkat biodiversitas yang tinggi
di kedua perairan dibandingkan dengan hasil identifikasi
karang saat ini. Dari hasil perbandingangan sebelumnya
dimana hasil identifikasi jenis karang saat ini mengalami
penurunan jenis karang. Sebagaimana hasil penelitian
Edinger,
Jurek Kolasa, & Michael J. Risk, (2000) dimana ditemukan
genera 25% lebih sedikit dibandingkan hasil studi tahun 1980
(Moll, 1983). Kesamaan biofisik ini dibagi menjadi tiga yakni
kesamaan jenis karang, konektivitas dan keterwalikan
wilayah.
Jumlah jenis karang yang ditemukan di kedua peraian
berbeda, dimana Spermonde lebih banyak dibanding dengan
Selayar dan Takabonerate. Jenis yang ditemukan di ketiga
perairan tersebut Faviidae dengan 43 jenis, Fungiidae dengan
25 jenis, Acroporidae dengan 22 jenis dan total jenis yang
ditemukan untuk seluruh family 138 jenis. Jenis karang yang
tidak ditemukan di Selayar tetapi ditemukan di Spermonde
sebanyak 31 jenis karang. Jenis karang ini seperti
Acroporidae Jenis Montipora informis Bernard, Fungiidae
Halomitra spec. nov. Fungiidae Halomitra spec.nov.Sekitar 25
spesies hanya ditemukan di Selayar. Sementara Semua
spesies lain juga ditemukan di perairan Spermonde (MOLL,
1983). Di perairan Takabonerate daerah identifikasi Taka
Garlarang, Taka Lamungan dan karang di sekitar Tinanja
terumbu ditemukan sekitar 200 jenis karang dan ditemukan
spesies Spesies langka atau baru (Montipora spec. 1,
Acropora spec. 2 dan Acropora spec. 6). Phy-sophyllia patula
Hodgson & Ross, sejauh ini hanya dijelaskan dari Filipina,
juga ditemukan di daerah ini(Best, et al., 1989).
7
M. Borel Best et all, Recent Scleractinian Coral Species Collected During
The Snellius-Ii Expedition In Eastern Indonesia (1984)Netherlands Journal
of Sea Research 23 (2): 107-115 (1989)
38
Gambar 4.4 Trend tutupan karang hidup di Perairan
Spermonde dan SelayarSesuai dengan tabel 5.1, berdasarkan
data kehadiran dan ketidakhadiran jenis karang pada ketiga
perairan tersebut, didapatkan tingkat kesamaan jenis karang
diatas 70% dengan tingkat kesamaan tertinggi yaitu Selayar-
Takabonerate. Perbedaan tingkat kesamaan jenis karang
dipengaruhi oleh factor jarak dan isolasi perairan. Jarak yang
semakin jauh maka tingkat kesamaan akan rendah
sebagaimana antara Spermonde dan Takabonerate..
39
ini pada bulan Maret dimana arus dari Spermonde dari utara
menuju keselatan yaitu ke perairan Selayar dan bercampur
dengan arus yang berasal dari Laut Jawa. Arah arus bergerak
menjauhi pesisir takalar dan bergerak Ke arah barat.
Sementara pada bulan Juli arus bergerak dari Selatan yaitu
dari laut flores menuju perairan selayar dan kemudian
menyisir pesisir pulau Sulawesi dan menuju ke Spermonde
dengan kecepatan hingga 60 cm/det, factor perubahan ini
terkait dengan perubahan Musim. Kedua perairan ini
menujukkan adanya hubungan keterkaitan karena factor arus
yang bolak balik sepanjang tahun, dan kedua daerah ini tidak
terhalangi oleh daratan dan juga tidak terisolasi, sehingga
memungkinkan rekruitmen/transper larva dapat terjadi
diantara keduanya.
Konektivitas di perairan dipengaruhi oleh factor massa air,
namun untuk melihat apakah kedua perairan memiliki
konektivitas salah satunya dengan mengetahui sebaran larva
dan kemiripan secara genetic antara populasi. Sebaran larva
Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) rata rata
tersebar hingga jarak 52 Km di Kepulauan Spermonde
(Knittweis, Kraemer, Timm, & Kochzius, 2009), sementara
Seriatopora hystrix memiliki diferensiasi genetic hingga 90
km di Great BarrierReef(Ayreand Dufty 1994).
40
Selayar seperti pesisir Jeneponto, Bantaeng jarang ditemukan
daerah terumbu karang, hal bisa saja mendapat pengaruh
local seperti sedimentasi dan arus. Arus yang bergerak dari
Spermonde menuju selayar, tidak melalui perairan tersebut,
melainkan menjauh kearah bagian luar jauh dari pesisir,
kemudian berbelok menuju perairan selayar. Selain
pergerakan biota laut jenis karang, pergerakan penyu juga
telah diketahui bahwa penyu merupakan hewan dengan
kemampuan bergantung tinggi terhadap habitat peneluran,
dan migrasi. Spermonde dan selayar merupakan dua tempat
habitat peneluran dan habitat migrasi penyu hijau.
Pergerakan penyu yang memanfaatkan habitat tersebut
menujukkan adanya konektivitas habitat yang memberi
ketergantungan tinggi terhadap penyu hijau. Oleh karena
karakteristik migrasi yang panjang dengan jarak ribuan
kilometer (Raja Ampat- Kalimantan) maka migrasi ini akan
menunjukkan jalur maupun tujuan yang relatif konsisten.
KKPD Pangkep dan TWP Kapoposang berada di satu gugusan kepulauan yaitu Spermonde, sebagian besar pulau pulaunya
terdapat karang tepi (fringing reefs)
dengan rataan terumbu karang umumnya memiliki lebar 100 200
meter. Bilamana mengacu pada rekomendasi perlindungan 20 -30%
pada berbagai level komunitas di daerah no take area(Zona inti),
maka spermonde sebagai satu kesatuan sterumbu karang yang
saling berhubungan belum mencapai persentase tersebut yang
baru 5% perlindungan untuk terumbu karang. Hal ini juga sama di
Perairan Selayar dimana perlindungan habitat terumbu karang
yang mencapai 7.0% di daerah Zona inti.
Di dalam kawasan yang telah ada, replikasi telah dilakukan
seperti di TNBT, dan KKPD Pangkep. TWP Kapoposang, luas
zona inti hanya 2% dari luas kawasan dan tersebar dalam dua
lokasi zona inti, untuk kawasan tersebut maka terlihat bahwa
replikasi perlindungan habitat masih rendah sehingga
memiliki ancaman terhadap gangguan pemanfaatan dan
pemulihan habitat. Selain factor zona inti, untuk
pengembangan jejaring, replikasi menjadi hal yang penting.
Replikasi atau melindungi lebih dari satu habitat yang sama.
Replikasi perlindungan meminimalkan risiko ketika habitat
mengalami gangguan yang sama. Jika beberapa daerah
habitat yang dilindungi bertahan terhadap dampak, maka
daerah tersebut dapat bertindak sebagai sumber larva untuk
pemulihan bagi daerah lain.
41
desa yaitu DPL kemudian dari kawasan ini berkembang
menjadi KKPD yang dilanjutkan dengan kajian inisiatif
pembentukan KKPD. Perkembangan tingkatan kelembagaan
menunjukkan adanya upaya untuk mengefektifkan
pengelolaan dengan melakukan penyelenggaraan konservasi
secara otonom sebagaimana pada TNBTR hal ini tentunya
berdampak pada alokasi anggaran yang juga semakin tinggi.
Dari hasil laporan lakip TNBTR 2013, menunjukkan bahwa
anggaran yang tinggi untuk pengelolaan telah menghasilkan
kinerja yang baik sebagaimana target pengelolaan.
Permasalahan juga masih terdapat didalam kawasan TNBTR,
misalnya aktivitas Illegal fishing dan destructive fishing
masih terjadi, dan kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum. Permasalahan tersebut merupakan
pengaruh external kelembagaan yang muncul sebagai akibat
dari usaha perikanan yang tidak terkontrol, juga melibatkan
berbagai stakeholder lain. Khusus di Perairan Selayar, usaha
perikanan melibatkan banyak pihak dan politik local sehingga
TNBTR perlu meningkatkan dan menjalin komitmen dan
kemitraan yang kuat dengan instansi terkait.
Hasil evaluasi E -KKP3K tahun 2013 menunjukkan bahwa
rapor merah untuk KKPD Pangkep dan Selayardan TWP
Kapoposang Kuning. Kesimpulan merah berarti berarti
kawasan telah memiliki SK pencadangan, dan kuning atau
tingkat 2 berarti lembaga pengelola telah terbentuk dan
rencana pengelolaan tersedia. TWP Kapoposang dengan
pencapaian tingkat dua,memiliki permasalahan anggaran dan
kapasitas pengawasan kawasan yang masih minim.
Permasalahan untuk KKPD, dengan hasil rapor merah,
Kelembagaan pengelola KKPD Selayar belum memiliki SK
Bupati, namunmemilikiLembaga pengelola (SK Kepala
Organisasi).Saat ini Baik KKPD Selayar maupun Pangkep
telah memasuki 4 tahun masa pencadangan.
42
Tabel 5.2 Hasil Upgradi Kelembaga Pengel Kawasan
Analisis ng an ola
Perlindungan Perairan di Selayar dan
Spermonde
Kawas KKPD KKPD TWP
an Sel. Pangkep Kap
Bentuk Lembaga Seksi Satker
Pengawasan BKKPN
Lembaga Pengelola dan Konservas
1
Sumber Data : Hasil Analisis
Tabel 5.3 Hasil Analisis pengembangan Jejaring Konservasi Perairan Kawasan Perlindungan
Perairan di Selayar dan Spermonde
Kawasan KKPD KKPD TWP Kap
Sel. Pangkep
Bentuk Lembaga Seksi Satker
Lembaga Pengelola Pengawasan BKKPN
dan
Konservas
Jejaring Jejaring kelola Jejaring Tata Kelola Perairan
Tata Spermonde
Konserva bersama denga melibatkan TWP, KKPD
si n (Pangkep,
TNBTR Takalar, Makassar, Barru)
5
KKPD Selayar mengalami hambatan dalam penyelenggaran
konservasi oleh karena kelembagaan yang belum memadai
(lembaga pengelola), akan tetapi kegiatan pengawasan
terbantu dengan dukungan dari TNBTR dan Kapolres yang
juga aktif dalam pengawasan. Kondisi ini menunjukkan
adanya peluang untuk menyelenggarakan jejaring kerjasama
dalam pengelolaan kawasan di Perairan Selayar karena
memiliki sasaran perlindungan biofisik yang relative sama
yaitu terumbu karang dan berada dalam satu wilayah
ekoregion. Kegiatan kerjasama saat ini baru sebatas dalam
kegiatan pengawasan, akan tetapi dalam bentuk non formal
juga terlibat kegiatan kegiatan seperti kegiatan pariwisata
bahari (Festival Takabonerate), kampanye perlindungan biota
lindung dan lain lain.
Dari kondisi tersebut, maka Peluang untuk membentuk
jejaring tata kelola di perairan selayar dapat lebih mudah dan
dapat dikembangkan untuk memperkuat kapasitas
kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pertukaran
informasi dan penguatan terhadap kinerja kelembagaan.
Kondisi ini mungkin didapatkan karena dengan adanya
TNBTR yang sudah memiliki kapasitas pengelolaan kawasan
yang baik dan proses pembelajaran yang panjang dalam
mengelola kawasan. Khusus untuk penegakan hukum, maka
jejaring dapat dibentuk lebih luas dengan melibatkan unsur
Kejaksaan, TNI Angkatan laut untuk memperkuat penegakan
hukum. Pembentukan jejaring telah dijelaskan Laumann,
Knoke, & Kim, 1985; Provan & Milward, 1995; Knoke et aL,
1996), dalam Weible& Paul A. Sabatier, 2005),alasan untuk
membentuk jaringan adalah untuk bertukar berbagai sumber
daya, seperti uang, staf, atau layanan.
Kesatuan biofisik perairan di beberapa kabupaten yang
berada dalam kepulauan Spermonde, sepatutnya juga
menyediakan daerah untuk perlindungan. KKPD pangkep
lahir karena difasilitasi melalui project Coremap II, dimana
kegiatan ini hanya dilakukan di satu kabupaten di Spermonde
yaitu di pangkep. Hal ini dirasa sebagai kekurangan, dimana
sedapat mungkin program didorong untuk mencakup
Kepulauan Spermonde agar dapat mendorong perlindungan
kawasan dengan kesatuan biofisik yang saling berhubungan.
Factor kesatuan biofisik ini dapat menjadi pertimbangan
dalam pembentukan jejaring perlindungan. Namun melihat
dari belum tersedianya kawasan konservasi di Kab. Makassar,
Maros, dan Takalar maka, dasar berfikir jejaring ekologi
dapat menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan
konservasi di daerah tersebut. Sebenarnya di Kota Makassar
dengan 12 pulau pulau kecil dan rataan terumbu, telah
menginventaris data biofisik dan sosial ekonomi untuk
menjadi daerah rencana perlindungan, namun dari hasil
kajian tersebut belum menggambarkan kompleksitas data
yang kuat untuk menjadi daerah rujukan sebagai daerah
rencana pencadangan.
1
Membangun Jejaring Pengelolaan Kawasan
Perlindungan
Keterkaitan dan kesamaan biofisik di perairan selayar dan
spermonde, menempatkan Spermonde sebagai daerah supply
atau sebagai hulu dikarenakan arus dominan bergerak dari
utara ke selatan, dan dengan jenis spesies karang yang lebih
melimpah dibandingkan dengan Selayar dan Takabonerate.
Kondisi ini menunjukkan bahwa keterkaitan biofisik kedua
perairan dipengaruhi oleh Arus local dan Arus lintas
Indonesia yang keduanya dominan menuju Selatan, walaupun
jarak antara spermonde dan selayar cukup jauh (+ 150 Km
Tanakeke-Selayar). Kondisi ini dapat menjadi dasar dalam
menetapkan jejaring ekologi. Khususnya untuk
pengembangan kerangka Konservasi di Provinsi Sulawesi
Selatan dapat dikembangkan dengan menambahkan gugusan
terumbu karang di teluk Bone terutama di perairan bone dan
sinjai sebagai satu kesatuan pengelolaan jejaring ekologi
terumbu karang. Yaitu Kep. Spermonde sebagai satu jejaring
dan Kep. Selayar-Perairan Bone-Sinjai juga sebagai jejaring
karena perbedaan ecoregion. Sementara untuk kerangka
penguatan perairan, jejaring ekologi ditingkat kepulauan
yang sama dalam satu ecoregion dapat dibentuk yaitu
jejaring kawasan konservasi tingkat lokal di kepulauan
Spermonde, dimana daerah ini terdiri atas 5 kabupaten
dalam satu hamparan daerah terumbu karang yaitu Barru,
Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar
Aspek keterkaitan biofisik menjadi dasar pembentukan
jejaring, seperti Oseanography, limnology, bioekologi
perikanan, daya tahan lingkungan dan daya lenting
lingkungan. Kondisi biofisik dan keterkaitan ecologi didalam
kawasan Spermonde menjadi pertimbangan untuk
penyelenggaraan konservasi dengan model Jejaring
Konservasi lokal, namun masalah terbesar adalah kesamaan
pandangan pelaku dan pentingnya jejaring bagi para
pemangku kepentingan di wilayah tersebut. Di beberapa
daerah ada yang mengerti dan memahami secara baik,
namun ada yang belum memahami dan bahkan tidak
mengetahui manfaat tersebut. Komitmen para pelaku untuk
berjejaring juga ditunjukkan, namun bagaimana komitmen
tersebut dapat diukur dan terimplementasi akan banyak
variabel dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karenanya
dalam mendorong konsep penyelenggaran perlindungan
perairan dengan model jejaring perairan lokal Spermonde
sangat perlu dilakukan dengan kehati hatian melalui kajian
kelembagaan, ecologi, sosial dan ekonomi yang saling terkait
dan interdisplin agar tiap sistem dan subsistem tersebut
dapat mencapai tujuannya .
Dalam mendorong penyelenggaran konservasi berbasis
kawasan di perairan spermonde, maka perhatian terhadap
manfaat yang didapatkan bagi daerah dapat terukur sehingga
tiap pelaku memiliki kemauan untuk berkoalisi atau
berjejaring guna mendapatkan yang lebih, terutama pada
desan kelembagaan. Permen KKP 13 tahun 2014 tentang
Jejaring Kawasan Konservasi Perairan mengisyaratkan
2
bahwa kelembagaan untuk Jejaring kawasan konservasi lokal
dapat dibentuk forum atau sekretariat yang dibentuk melalui
kerjasama satuan pengelola organisasi.Perbedaan mendasar
tentang forum dan sekertariat, tergambar pada tujuan
pembentukan kelembagaan apakah hanya berfungsi sebagai
media kordinasi antara para pengelola atau menjadi
pendorong percepatan pengelolaan yang efektif (tata kelola,
ecology, dan sosial ekonomi) secara bertanggungjawab.
Di Spermonde, kebutuhan kelembagaan adalah mendorong
peningkatan perlindungan dan pengelolaan biodiversitas
habitat komunitas, spesies dengan kapasitas pengelola yang
juga meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang
seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian. Sementara di
Selayar kebutuhan kelembagaan adalah saling memperkuat
positioning penyelenggara perlindungan perairan agar dapat
mendorong penegakan hukum yang sinegis serta
mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan
sosial masyarakat di Selayar. Untuk mengakomodasi tujuan
tersebut, baik di selayar maupun di spermonde, kelembagaan
untuk jejaring tidak hanya sebatas mengelola program jangka
pendek atau pusat informasi, sebagaimana pada
kelembagaan sekertariat, hal ini berbeda dengan forum.
Forum menjadi pilihan dalam pengelolaan jejaring
konservasi, oleh karena keanggotaan dalam forum memiliki
tanggung jawab dalam pencapaian tujuan kelembagaan
tersebut. Sejumlah ruang lingkup tentang jejaring telah
dijabarkan dalam Peraturan Menteri, seperti kegiatan
restorasi, pengelolaan perikanan berkelanjutan, perlindungan
biota bermigrasi dan terancam, hingga pada pembiayaan.
Kelembagaan forum sangat baik dalam hal perencanaan,
namun implementasnya mendapat sejumlah
masalah(Saptana, 2004).Kelembagaan forum memiliki
kelemahan seperti kesadaran para pengelola yang rendah
terhadap tanggung jawab, sebagian besar forum diisi oleh
birokrat, belum adanya dana operasional khusus, sistem
informasi dan kantor pengelola tidak tersedia. Selain itu hal
yang paling mendasar adalah aspek legal kelembagaan,
misalnya legalitas dari pemerintah Provinsi atau kementerian
atau kerjasama antara Satuan pengelola. Strategi dalam
mendorong kerjasama jejaring dapat didorong dengan
menjalin Hubungan saling ketergantungan fungsional
( Chisholm , 1989) atau ketergantungan sumber daya ( Pfeffer
& Salancik , 1978)dalam(Weible & Paul A. Sabatier, 2005).
Moll, et.al, (1981)menyatakan bahwa daerah ini (Spermonde)
bisa diselamatkan dari eksploitasi yang berlebihan. Sebuah
rencana manajemen yang baik akan mampu mengendalikan
industri dengan pertumbuhan dan tuntutan pariwisata.
Langkah untuk mendorong forum jejaring konservasi untuk
tujuan restorasi dan pengelolaan biodiversitas habitat,
komunitas, dan jenis di Spermonde, merupakan hal yang
cukup sulit mengingat kondisi kelembagaan dan pendanaan
bagi
3
pengelola, namun jika hal ini berhasil maka dapat menjadi
contoh atau pembelajaran bagi daerah lain dalam hanya
sebatas pada kegiatan pengawasan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah
dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian yakni (1)
Perairan Spermonde dan Selayar memiliki keterkaitan biofisik
sebagai pengaruh dari arus local dan Arus lintas Indonesia
(Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan,
sehingga memberikan pengaruh terhadap aliran larva dan
kesamaan jenis karang yang tinggi. Kondisi perairan
ditunjukkan dengan keanekaragaman jenis karang menurun
25% di Spermonde dalam 33 tahun. Sementara di Selayar dan
Takabonerate berbeda, dimana Takabonerate keanekaragaman
jenis karang meningkat seiring dengan kegiatan perlindungan.
(2) Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di
kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga
20%. Pengembangan jejaring dengan dasar ekologi
dikembangkan secara terpisah dikedua perairan oleh karena
berbeda ecoregion. (3) Di Spermonde dapat dikembangkan
Jejaring pengelolaan perairan untuk mendapatkan zona inti
hingga 20% perlindungan habitat dan mendorong restorasi
habitat. Pendekatan jejaring ini menjadi rujukan terhadap
pengembangan kawasan konservasi perairan didaerah lain di
Spermonde yang belum memiliki Kawasan perlindungan. Factor
kelembagaan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaran
konservasi, semakin besar kapasitas kelembagaan akan semakin
baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis Kawasan
Konservasi perairan.
Saran
Untuk pengembangan jejaring Kawasan konservasi, maka
pendekatan kompleksitas dan kehati hatian perlu digunakan
agar dapat mengetahui manfaat dan berbagai kemungkinan
implikasi yang muncul dalam jejaring Konservasi. Dimana
bukan hanya pendekatan ekologi, social ekonomi, dan
kelembagaan tetapi bagaimana hubungan antara keduanya
saling mempengaruhi agar tidak menimbulkan konflik,
melainkan disusun untuk menciptakan pencapaiannya.
Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran
konservasi, bukan pada penegakan hukum atau kesadaran
masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja dan kapasitas
kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh
karenanya seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka
sepatutnya Kementerian Kelautan Perikanan untuk
memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut
karena telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga
berhasil menciptakan kapasitas yang besar dan menjadi
rezim perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam
Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa kita
harus menyelamatkan
4
lingkungan dan manusia yang tidak bisa melihat kebenaran
dan tersesat dalam kegiatan pengrusakan
5
Daftar Pustaka
Akbar, I. A. (2008). Keragaman Suhu Dan Kecepatan Arus Di
Selat Makassar Periode Juli 2005 Juni 2006 (Mooring
INSTANT) [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Alder, J., N. A. Sloan, & Henk Uktolseya. (1994). A
Comparison of Management Planning and
Implementation in Three Indonesian Marine Protected
Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198.
Balai Taman Nasional Takabonerate. (2012). Review Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Takabonerate Tahun 1997-
2022 Kabupaten Kepulauan Selayar. Selayar: TN
Takabonerate.
Ban, N. C. (2009). Minimum data requirements for designing
a set of marine protected areas, using commonly
available abiotic and biotic datasets.
Biodivers Conserv (2009) 18 Springer, 1829-1845.
Barber, P. H. (2000). Biogeography A Marine Wallace's line ?
Nature Vol 406, 692-693.
Best, M., B.W. Hoeksema , W. Moka , H. MOLL , Suharsono ,
& I Nyoman Sutarna. (1989). Recent Scleractinian
Coral Species Collected During The Snellius-II
Expedition In Eastern Indonesia. Netherlands Journal
of Sea Research 23 (2), 107-115.
BPSPL. (2010). dan diolah dari Buku Inventarisasi Data
Potensi Penyebaran Biota Perairan Laut yang masuk
Appendiks Cites dan yang dilindungi di Sulawesi .
Makassar: BPSPL.
BPSPL. (2011). Identifikasi Dan Pemetaan Jenis Ikan Yang
Dilindungi Dan Tidak Dilindungi Yang Masuk Appendiks
Cites Di Sulawesi Selatan . Makassar:
BPSPL.
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2012).
Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di
Segitiga Terumbu Karang (Terjemahan). World
Reseources Institute.
Callum M, & Roberts. (2001). Designing Marine Reserve
Networks Why Small, Isolated Protected Areas Are Not
Enough . Summer Vol 2 no. 3 .
Callum, Roberts, & al, e. (2003). Application Of Ecological
Criteria In Selecting Marine Reserves And Developing
Reserve Networks. Ecological Applications 13, 215
228.
6
Clifton, J. (2003). Prospects for co-management in Indonesia's
marine protected areas. MarinePolicy 27, 389395.
Cowen, R. (2002). Larval dispersal and retention and
consequences for population connectivity. Ecology of
Coral Reef Fishes: Recent Advances. , 149 170.
Denny, W. (2010). Karakteristik Habitat Mamalia Laut di
Kepulauan Seribu Jakarta Utara [ Skripsi ]. Bogor:
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Diamond , J. (1972). Biogeographic kinetics: estimation of
relaxation times for avifaunas of southwest Pacific
islands. Proc. natn. Acad. Sei. , (pp. 199-203). USA.
Diamond, J. (1975). The Island Dilemma : Lessons of Modern
Biogeographic Studies For The Design of Natural
reserves. Biology Conservation, 129-146.
Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari
2). Retrieved from Direktorat Konservasi Kawasan Dan
Jenis Ikan:
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-
konservasi/details/1/92
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2014,
Februari 16). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-
3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah
689 ribu hektar. Retrieved from Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan:
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/en/beritabaru/186-
capaian-2013-pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-
juta-hektar,-luasan-kkp-3k-bertambah-689-ribu-hektar
Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari
29). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai
3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu
hektar. Retrieved from Konservasi Kawasan dan Jenis
Ikan:
http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/186-
capaian-2013-pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-
juta-hektar,-luasan-kkp-3k-bertambah-689-ribu-hektar
Dit. KKJI. (2013). Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil,
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Edinger, E., Jurek Kolasa, & Michael J. Risk. (2000).
Biogeographic variation in coral species diversity on
coral reefs in three regions of Indonesia.
Diversity and Distributions 6, 113-127.
7
Erftemeijer PLA, O. R. (1993). Primary production of seagrass
beds in South Sulawesi (Indonesia): a comparison of
habitats, methods and species. , .
Aquat Bot : 46, 67-90.
Fernandes. L, A. G. (2012). Biophysical principles for
designing resilient networks of marine protected areas
to integrate fisheries, biodiversity and climate change
objectives in the Coral Triangle. The Nature
Conservancy for the Coral Triangle Support
Partnership.
Fernndez,M, & Castilla, J. C. (2005). Marine Conservation in
Chile: Historical Perspective, Lessons, and Challenges.
Conservation Biology 19(6):, 1752-1762.
Groonbridge, B., & Jenkins, M. (2002). Wordl Atlas of
Biodiversity Prepared by the UNEP World Conservation
Monitoring Centre. Barkeley USA: University of
California.
Gustiar, C. (2005). Analisis Kelembagaan Dan Peranannya
Dalam Penataan Ruanc Di Teluk Pangpang Kabupaten
Banyuwangi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Handoko, E. Y. (2004). Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam
Bidang Kelautan. Pertemuan Ilmiah Tahunan I.
Surabaya: Teknik Geodesi ITS Surabaya.
Heliani, L. S. (2009, 6 23). Dinamika Fisis Perairan Indonesia
Dari Data Altimeter
(I).
Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Geographic
Priorities For Marine Biodiversity Conservation In
Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and
Fisheries and Marine Protected Areas Governance
Program.
Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Goegraphic
Priorities for Marine Biodiversity Conservation In
Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairds and
Fisheries and Marine Protected Areas Governance
Program.
Hutomo, M. (1985). Sumber daya ikan terbang. Jakarta: LIPI .
Ilahude, A. (1970). On the Occurrence of Upwelling in the
Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia, 10, 3-
53.
Imran, A., Kaharuddin, M., Suriamihardja, D., & Sirajuddin,
H. (2013). Geology Of Spermonde Platform.
Proceedings of the 7th International Conference on
Asian and Pacific Coasts (APAC 2013), (p. 1062). Bali.
Inaku, D. F. (2011). Analisis Pola Sebaran Dan Perkembangan
Area Upwelling Di Bagian Selatan Perairan Selat
Makassar [ Tesis ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
8
Indar, Y. N., Munsi, L., & Kahar, L. (2002). Sistem Sistem
Tradisional Sebagai Pranata Institusi Dalam
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Di Wilayah
Pesisir.
Makassar: Universitas Hasanuddin 2002.
IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected
Area NetworksMaking It Happen. Washington, D.C:
IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric
Administration and The Nature Conservancy 118 p.
Jalil, A. R. (2013). Distribusi Kecepatan Arus Pasang Surut
Pada Muson Peralihan Barat-timur Terkait Hasil
Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Spermonde .
Depik 2 (1), 26-32.
Jamaluddin Jompa, Willem Moka , & Dewi Yanuarita. (2007).
Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde:
Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di
Kepulauan Spermonde. 265.
Jentoft , S., Thijs C. van Son, & Maiken Bjurkan. (2007).
Marine Protected Areas: A Governance System
Analysis. Hum Ecol 35, 611-622.
Jones, G. (1991). Postrecruitment Processes in the Ecology of
Coral Reef Fish Population. A Multivactorial
Perspective dalam The Ecology of Fishes on Coral Reef.
Durham: Departement of Zoology University of New
Hamspire.
kepselayarkab.go.id. (2014, January 11). Redaksi: Jl. Jend.
Ahmad Yani No. 1 Benteng, Kepulauan Selayar.
Retrieved from kepselayarkab.go.id:
http://kepselayarkab.go.id/2013/09/781/
Kikutchi, T. (1980). Faunal Relationship in Temperate
Seagrass Bed. In R. C. Phillips, Handbook of Seagrass
Biology. An Ecosystem Approach (pp. 153 -172). New
York,: Garland Press.
KLH. (2014, January 1). Kementerian Lingkungan Hidup.
Retrieved from Kementerian Lingkungan Hidup:
http://www.menlh.go.id/DATA/Peta%20lampiran
%20factsheet.pdf
Knittweis, L., Kraemer, W. E., Timm, J., & Kochzius, M. (2009).
Genetic structure of Heliofungia actiniformis
(Scleractinia:Fungiidae) populations in the Indo-Malay
Archipelago: implications for live coral trade
management efforts. Conserv Genet 10, 241249.
Kuo, J. (2007). New monoecious seagrass of Halophila
sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic
Botany 87 , 171-175.
9
Kurniawan, E. P. (2003). Bathimetri, Komposisi sedimen Dan
Acoustic Bottom Backscattering Strength Dasar Laut
Dalam Diselat Makassar [ Skripsi ]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Laevastu, T. d. (1981). Fisheries Oceanography and Ecology.
New York: Fishering News Book Ltd.
Lampe, M. (2008). Kajian Masyarakat Maritim [Buku Bahan
AJar]. Makassar: Program Studi Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
lllahude , G. (1978). On The Effecting The Productivity of The
Southern.
Makassar Strait. Marine Research in Indonesia. 21:, 81-
107.
McConnell, R. (1987). Ecological Studies in Tropical Fish
Communities. Cambridge University Press.
Miller, G., & Spoolman, S. (2009). Essentials of Ecology 5
Edition. United States: Cengage Learning.
Moka, A. (2001). Bentuk Kepulauan Spermonde
(Sangkarang). Materi Pendidikan dan Latihan
Metodologi Penelitian Terumbu Karang. Puslitbang
Oseanologi
LIPI-UNHAS-BAPPEDA SULAWESI SELATAN-
COREMAP-POSSI.
.
Moll, H., Maya Wijsman-Best , & L.G. de Klerk. (1981).
Present Status Of The Coral Reefs In The Spermonde
Archipelago (South Sulawesi, Indonesia).
Proceedings of the Fourth International Coral Reef
Symposium Manila, (pp. 265-267). Manila.
Mona - Raja Ampat Sea-Turtle Tracking Project. (2014, Mey
31). Retrieved from http://www.seaturtle.org/:
http://www.seaturtle.org/tracking/index.shtml?
tag_id=60648
Moran, J. (1990). The Acanthasterplancii (L); Biographical
Data. Coral Reefs 9, 95-96.
Mutmainnah. (2012). Kajian Model Kesesuaian Pemanfaatan
Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Kerentanan
dan Daya Dukung di Kecamatan Liukang Tupabbiring,
Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi
Selatan [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
10
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara [ Cetakan Kedua ]. Jakarta:
Djambatan.
Nuitja , I., & Uchida, I. (1983). Studied in The Sea Turtle II
( The Nesting Site Characteristics of The Hawksbill and
Green Turtle). A Journal of Museum Zoologicium Bogor.
Nurjaya, I., & Surbakti, H. (2009). Sludi Pcndahuluan Kondisi
OseanogMfi Fisik pada Musim Baral di Perairan Pantai
Timur Kalimantan antara Balikpapan dan Delta
Mahakam. Jurnal Kelautan Nasional Vol. 1. Retrieved
from
http://eprints.unsri.ac.id/584/5/Pages_from_Heron_Surb
akti-2.pdf
Ogden, J. C. (1983). Coral Reefs, Seagrass Beds and
Mangroves: Their Interaction in Coastal Zones of the
Caribbean. . UNESCO Reports in Marine Science No.
23.
Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar. (2013). Fasilitasi
Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-
pulau Kecil Kabupaten Kepulauan Selayar . Selayar:
Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar.
PMU Coremap II Kab. Pangkep. (2009). Management Plan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab.
Pangkep. Pangkep.
Rani, C. (2001). Pemutihan Karang : Pengaruhnya terhadap
Komunitas Terumbu Karang. Hayati Vol 8. No. 3, 86-90.
Rauf, A. (2008). Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang
Kepulalan Tanakeke Berbasis Daya Dukung [Disertasi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Saptana, S. K. (2004). Integrasi Kelembagaan Forum Kass
Dan Program Agropolitan Dalam Rangka
Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera.
AKP Volume 2, 257-276.
Satria, F. (2009). Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan
Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut Dalam [ Disertasi
]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sinurat, M. R. (2000). Analisis Kelembagaan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di Wilayah Pesisir
Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Seiatan [Tesis].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, S. (1997). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Soenardjo, N. (1999). Produksi dan Laju Dekomposisi
Serasah Mangrove dan Hubungannya dengan Struktur
Komunitas Mangrove di Kaliutu Kabupaten Rembang
Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
11
Souhoka , J., Hendra F. Sihaloho , & Djuwariah . (2011).
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten
Pangkep. Jakarta: LIPI.
Spalding, M. D., & all, e. (2007). Marine Ecoregions of the
World: A Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas.
BioScience, 573-583.
Starger, C. (2007). Coral Population Genetics in the
Indonesian Seas [Thesis]. Columbia: Columbia
University.
Subiyanto, & Niniek Widyorini, I. (2009). Pengaruh Pasang
Surut Terhadap Rekruitmen Larva Ikan di Pelawangan
Timur Segara Anakan Cilacap.
Saintek Perikanan Vol 5, No.1, 44-48.
Sukoraharjo, S. S. (2012). Variabilitas Massa Air Permukaan
Dari Data Satelit di Perairan Selat Makassar
[ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sultan, M. (2004). Pengembangan Perikanan Tangkap
Dikawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate
[ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Susandi, F. (2004). Pendugaan Nilai dan Sebaran Target
Strength Ikan Pelagis di Selat Makassar Pada Bulan
Oktober 2003 [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Susanto, H. A. (2011). Progres Pengembangan Sistem
Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Development
And Progress Of Marine Protected Area Systems In
Indonesia. Jakarta: Coral Triangle Support Partnership.
Ubeng, A. (1999). Variasi Tahunan Upwelling Di Perairan
Selatan Sulawesi Selatan [ Skripsi ]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Ulumudin , Y., Frensly D. Hukom , & Susetiono . (2011).
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Pangkep.
Jakarta: LIPI.
UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Network of
Marine Protected Areas; A Review of Progress.
Cambridge: UNEP-WCMC.
Verheij, E. (1993). Marine plants on the reefs of the
Spermonde Archipelago, SW Sulawesi, Indonesia:
aspect of taxonomy, fl on sties and ecology.
[Dissertation]. Leiden: Rijksherbarium Hortus
Botanicus.
Weible, C., & Paul A. Sabatier. (2005). Comparing Policy
Networks: Marine Protected Areas in California. The
Policy Studies Journal, Vol. 33, No. 2, , 181-202.
White, A. P. (2006). Creating and managing marine protected
areas in the Philippines. Fisheries Improved for
Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and
12
Education . Philippines: Foundation, Inc. and University
of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City
Coastal Conservation and Education .
Wilson, J., Darmawan , A., Subijanto, J., Green, A., &
Sheppard, S. (2011).
Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut
yang Tangguh Ecoregion Sunda Kecil, Segitiga Karang [
Laporan ]. Australia: The Nature Conservancy, Program
Kelautan Asia Pasifik.
Woodruff, D. (2010). Biogeography and conservation in
Southeast Asia: how 2.7 million years of repeated
environmental fluctuations affect today's patterns and
the future of the remaining refugial-phase biodiversity.
Biodivers Conserv 19, 919-941.
Wyrtki, K. (1961). Physical Oceanography of The Southeast
Asian Waters. California: University of California .
Yusuf, S. (2008). Laporan Monitoring Terumbu Karang
Berkala 2005-2008 KePulauan Spermonde Sulawesi
Selatan. Makassar: Pusat Penelitian Terumbu Karang
Universitas Hasanuddin.
Zacharias, M., Howes, D., Harper, J., & al, e. (1998). The
British Columbia marine ecosystem classification:
rationale, development, and verification. .
Coast Manage, 105-124.
Zamani, N., & Hawis H. Madduppa. (2001). A Standard
Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs:
Implication for Management and Conservation.
Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2), 137-146.
13
STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU
KAPOPOSANG
Pendahulua
Penyu laut (sea turtle) merupakah kekayaan biota laut langka
sehingga dilindungi oleh peraturan dan perundang undangan
di Indonesia. Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat enam
jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu
hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata),
penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator
depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta
penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya
masih diperdebatkan karena Nuitja (1992) menyebutkan
hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta
dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah
jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992,
Charuchinda et al. 2002).
Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah salah satu dari enam
spesies penyu laut yang ada di perairan laut Indonesia.
Sebagai spesies migran spesies penyu paling intensif
dieksploitasi masyarakat Indonesia. Populasi penyu hijau
dikelompokkan sebagai endangered species dalam IUCN Red
List yakni spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko
mengalami kepunahan. Pemerintah Indonesia telah
menetapkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang
melindungi penyu hijau. Pemerintah Indonesia yang memiliki
kewenangan mengelola spesies langka dan terancam
kepunahan gagal menghentikan eksploitasi penyu hijau.
Indikasi kegagalan Pemerintah ditunjukkan oleh penurunan
populasi penyu hijau secara terus menerus hingga saat ini
(Wibowo dkk. 2007).
Di banyak tempat, khususnya di kawasanSunda Kecil (Jawa
Barat, JawaTimur, Bali dan NTB) mulai mengembangkan
inisiatif pariwisata berbasis penyu. Ada peluang konservasi
disana, tapi di perlukan suatu kebijakan, petunjuk teknis dan
pelaksanaan yang relevan dengan kebutuhan biologi penyu
laut agar pelaksanaan wisata berbasis penyu dapat memberi
lebih banyak manfaat ketimbang kerugian. Dalam
kesempatan ini berhasil di inisias iterbentuknya Jejaring
Kelompok Praktisi Konservasi Penyu di Wilayah JawaTimur
dan Sunda Kecil bagian barat. Jejaring ini dikoordinir oleh
Ikram M. Sangaji, Kepala Badan Pengelolaan Sumberdaya
Pesisirdan Laut (BPSPL) KKP Denpasar. Penangkapan penyu
laut masih sering terjadi disebabkan oleh karena kurangnya
pengawasan, lemahnya penegakan hukum dan peraturan,
kurangnya sosialisasi peraturan perikanan yang
14
berhubungan dengan larangan penangkapan dan
perlindungan spesies ETP (endanggered, treatned, dan
protected), sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap
perlindungan spesies ETP khususnya penyu laut masih sangat
rendah.
Ada beberapa bentuk ancaman terhadap populasi penyu
antara lain adalah eksploitasi penyu untuk memenuhi
kebutuhan protein bagi sebagian masyarakat lokal,
dipasarkan untuk menambah pendapatan nelayan, memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam upacara tradisional, permintaan
plastron (cangkang penyu) untuk kebutuhan pemasaran
internasional, pengambilan telur untuk diperdagangkan dan
dikonsumsi masyarakat lokal. Ancaman lain adalah gangguan
habitat peneluran karena aktifitas masyarakat disekitarnya
serta adanya konflik kepemilikan lahan daerah peneluran,
serta pengaruh perubahan iklim, kegagalan inkubasi dan
penetasan telur akibat adanya abrasi pada habitat peneluran.
15
pendapatan nelayan, dan tujuan sosial untuk memaksimalkan
peluang kerja dan mata pencaharian nelayan. Dalam
implementasi EAFM harus diperhatikan adalah : (1)
perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan
dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi
ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus
dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible
untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-
hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan
perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan
sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Pulau Kapoposang
Pulau Kapoposang diketahui sebagai salah satu habitat atau
area pendaratan penyu untuk melakukan peneluran. Di pulau
tersebut terdapat 2 spesies dari 6 spesies yang terdapat di
Indonesia yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan
penyu hijau (Chelonia mydas). Tekanan populasi penyu laut di
Pulau Kapoposang disebabkan karena masih adanya
kebiasaan masyarakat Pulau Kapoposang maupun
masyarakat Pulau lain yang ada disekitar Pulau Kapoposang
yang mengambil telur penyu dari lubang sarangnya untuk
dikonsumsi sebagai salah satu sumber protein atau di jual
pada masyarakat di luar pulau Kapoposang. Sumberdaya
penyu walaupun sudah menjadi barang terlarang untuk
dieksploitasi namun masyarakat nelayan masih tetap
mengambil telurnya maupun menangkap induknya untuk
diambil daging dan cangkangnya. Penangkapan penyu sisik
maupun penyu hijau dewasa pada umumnya tertangkap
secara tidak sengaja (spesis bukan target) pada jaring insang
atau pukat nelayan yang seharusnya dilepas kembali ke laut
Pulau Kapoposang adalah bagian dari Kepulauan Spermonde
atau Kepulauan Singkarang di Selat Makassar yang terletak
disebelah Barat Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang adalah
merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan
Kapoposang. Pulau ini berada dibawah otoritas kecamatan
Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkajene Kepulauan
Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang merupakan
salah satu dari delapan kawasan konservasi yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan
No.66/Men/2009 dengan status Taman Wisata Perairan.
Taman Wisata Kepulauan Kapooposang terdiri dari 6 pulau
kecil yaitu: Pulau Kapoposang 10 ha, Pulau Papandangan 13
ha, Pulau Gondongbali 5 ha, Pulau Pamanggangan 5 ha,
Pulau Tambakulu 5, dan Pulau Saranti 4 ha. Tiga pulau
berpenduduk paling padat adalah Gondongbali 1.807 jiwa,
Papandangan 898 jiwa, dan Kapoposang 454 jiwa. Tiga pulau
lainnya yaitu Suranti, Tambakulu dan Pamanggangan tidak
berpenduduk. (Kecamatan Liukang Tupabbiring, 2013).
16
Pulau Kapoposang merupakan salah satu dusun dari Desa
Mattiro Ujung Kecamatan Liukang Tupabbiring. Pulau ini
menjadi salah satu pulau yang selalu dikunjungi oleh
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pulau
Kapoposang memiliki jarak cukup jauh dari Kota Makassar
maupun dari Ibu Kota Kabupaten Pangkep. Pulau Kapoposang
dapat ditempuh dalam waktu 6 jam dari Pelabuhan Paotere
Kota Makassar dengan menggunakan Kapal Motor. Pelayaran
ke pulau Kapoposang pada musim Barat dan musim
Pancaroba cukup berbahaya karena cuaca yang buruk seperti
angin yang kencang dan gelombang besar, sehingga pada
musim tersebut sulit untuk mendapatkan transportasi ke
pulau Kapoposang. Para wisatawan yang akan berkunjung ke
Pulau Kapoposang pada umumnya menggunakan agen wisata
yang ada di Makassar. Sarana dan prasarana di Pulau
Kapoposang sangat terbatas hanya terdapat sebuah SD,
beberapa buah cottage tempat menginap pengunjung, sebuah
generator listerik untuk sarana penerangan bagi beberapa
rumah penduduk. Pulau Kapoposang di tumbuhi banyak
pohon kelapa, sukun, pohon kelor, pisang sebagai salah satu
sumber pendapatan. Hasil tumbuhan ini dijual di pulau-pulau
terdekat dengan harga yang cukup murah, namun jika dapat
dijual di Makassar dan Pangkep harganya cukup tinggi.
Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dengan alat
tangkap jaring insang, pancing, bubu, dan cantrang. Jaring
insang, pancing dan bubu digunakan untuk menangkap ikan
karang. Cantrang digunakan untuk menangkap kepiting
rajungan dan udang. Sumberdaya yang banyak diitangkap
nelayan adalah ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap,
lencam, serta kepiting rajungan dan udang. Daerah
penangkapan nelayan pulau Kapoposang tidak jauh dari
Taman Wisata Perairan Kapoposang terutama pada musim
Barat dan Musim Pancaroba karena cuaca yang buruk. Pada
musim Barat pada umumnya nelayan hanya menangkap ikan
di daerah terumbu karang disekitar pulau. Kawasan Taman
Wisata Perairan Kapoposang juga dihuni oleh beberapa jenis
biota ETP (endanggered, threatned, dan protected) seperti
penyu laut, dugong, berbagai jenis kima (Tridacna spp), dan
kuda laut.
Penangkapan terhadap biota ETP (endangered, threatnet,
dan protected) sebagai target utama sudah tidak dilakukan
oleh nelayan di Pulau Kapoposang. Namun yang terjadi
adalah masih sering ditemukan biota ETP tertangkap oleh
alat tangkap jaring secara tidak sengaja atau hasil tangkapan
sampingan. Misalnya penyu laut tertangkap oleh jaring
insang dan cantrang, dugong biasa tertangkap dengan jaring
di daerah padang lamun, sedangkan kima masih sering
dieksploitasi oleh nelayan untuk konsumsi rumah tangga.
Keberdaan penyu di sekitar Pulau Kapoposang pada musim
pemijahan atau musim peneluran karena sebagian dari
pesisir pantai dengan substrat berpasir Pulau Kapoposang
merupakan habitat
17
peneluruan penyu. Telur penyu di Pulau Kapoposang masih
sering ditemukan dan dimanfaatkan oleh nelayan sebagai
salah satu sumber pendapatan dan sumber protein.
Pendekatan Ekosistem dalam analisis Keberlanjutan
penyu.
18
manipulasi lingkungan yang kurang tepat. Secara umum
penyu laut dapat menghasilkan sekitar 150 butir telur dan
diambil untuk ditetaskan pada tempat tertentu namun tukik
yang dihasilkan hanya berkisar antara 50-100 ekor tukik.
Kejadian ini diduga karena kualitas telur sudah rusak
sedangkan telur-telur yang mau ditangkarkan memerlukan
telur yang berkualitas baik.
Sensitivitas atribut dan Indeks keberlanjutan dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
Leverage of Attributes RAPFISH Ordination
60
40
Features
Rang Collapse 7.23
20
Distingishing
Frekuensi 6.72
Attribute
Other
Jumlah Tukik di -20 73.90
12.44
Penangkaran
-40 Real Fisheries
References
Janis Spesies Yang
10.16 DOWN Anchors
Ada
-60
0
2 4 6 8 10 12 14 Fisheries Sustainability
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Kecerahan 5.09 UP
40
Features
Kekeruhan 6.57
Pantai 9.74 20
Perubahan Garis
Distingishing
0 BAD 72.79 GOOD
Attribute
Other
Kondisi Terumbu 11.17 -20
Karang
-40 Real Fisheries
-60 Anchors
0 2 4 6 8 10 12
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Fisheries Sustainability
Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
20
menjadi 10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang
didominasi oleh komponen karang mati dan tertutup algae. Di
satu sisi tutupan terumbu karang pada kawasan ini yang
masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang
berduri ini. Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi
merupakan indikasi bahwa kondisi biologi dan lingkungan
perairan mendukung keberlanjutan Habitat dan Ekosistem di
Pulau Kapoposang. Nilai keberlanjutan Habitat dan
Ekosistem sebesar 72.79 (Gambar 2) menunjukkan kategori
baik (keberlanjutan). Kerusakan terumbu karang telah
mendapat perhatian melalui program pengembangan TWP,
zonasi daerah pemanfaatan, serta pengawasan dan
penegakan peraturan.
40
Features
0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100 120
Other
Selektifitas
3.71 DOWN References
Penangkapan
-60 Anchors
21
Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan dalam
penangkapan ikan sangat bervariasi bergantung jenis ikan
yang menjadi tujuan penangkapan. Penyu laut yang
tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan (tidak
menjadi sasaran utama penangkapan). Semua jenis jaring
yang dipakai nelayan dapat menangkap penyu mulai dari
ukuran kecil sampai ukuran besar. Jenis jaring yang
dioperasikan di terumbu karang yang sering menangkap
penyu adalah jaring atau pukat baronang dan pukat kakap.
Beberapa nelayan telah memiliki tingkat kesadaran terhadap
peraturan sehingga melepaskan penyu laut yang tertangkap
secara tidak sengaja pada jaring ikan mereka dilepaskan ke
laut, sehingga populasi penyu masih dapat dipertahankan di
pulau Kapoposang. Namun sebagian nelayan dari luar Pulau
Kapoposang masih mengambil penyu yang tertangkap untuk
dijual sebagai hewan peliharaan dan untuk hiasan akuarium
atau kolam-kolam. Hasil analisis Rapfish (Gambar 3)
menunjukkan nilai keberlanjutan dimensi penangkapan
sebesar 45.15 menunjukkan keberlanjutan kategori sedang
(berkelanjutan). Walaupun alat tangkap yang mereka
gunakan dapat menjaring penyu namun perilaku nelayan
yang melepaskan kembali penyu yang terjaring sehingga
populasi penyu dapat dipertahankan di Pulau Kapoposang.
22
Leverage of Attributes RAPFISH Ordination
60
Pariwisata 5.41 UP
40
Distingishing Features
Pemasaran 5.26
20
0 20 40 60 80 100 120
Pendapatan Rumah
Tangga
Other
-20
DOWN References
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Anchors
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on -60
Sustainability scale 0 to 100) Fisheries Sustainability
23
Keberlanjutan Dimensi Sosial
Nelayan
40
Distingishing Features
Pengetahuan 3.31 20
Lingkungan
Konflik Pemanfaatan 11.12 0 BAD GOOD
Attribute
0 20 40 60 80 100 120
Other
-20 60.89
DOWN References
0 2 4 6 8 10 12
24
telur penyu karena dibutuhkan untuk penetasan agar
menghasilkan tukik untuk penangkaran
40
Features
Kepatuhan 4.73
20
Distingishing
Keberadaan dan 15.99
Attribute
Sosialisasi Aturan
0 GOOD
0 BAD 20 40 60 80 120 140
84.01100
Other
Program Pengelolaan 3.54 -20
26
pemberian prioritas kepada aspek pengelolaan yang memiliki
nilai indeks keberlanjutan yang berada pada kategori kurang
berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dan teknik
penangkapan, sebagaimana Charles et.al (2002) menyatakan
bahwa pengelolaan akan banyak berhadapan dalam
kompromi dan membuat pilihan dan penetapan skala
prioritas terhadap alternatif yang tersedia untuk menetapkan
penggunaan alokasi sumberdaya yang terbatas.
Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut
Nilai Stress kelima dimensi <0.20 menunjukkan hasil analisis
yang baik. Nilai stress menggambarkan goodness of fitness
dalam multi-dimensional scaling, yaitu ukuran ketepatan
suatu konfigurasi dapat mencerminkan data aslinya. Nilai
stress yang rendah mencerminkan nilai goodness of fitness
yang sempurna, dengan batas tertinggi menurut Kruskal dan
Wills (1979) in Kavanagh et al. (2000) adalah maksimal
sebesar 0.20.
27
DIAGRAM LAYANG-LAYANG
100
80
60
45.15 38.49
84.01
Dimensi Kelembagaan
Kesimpulan
Status keberlanjutan setiap dimensi yang berpengaruh dalam
pengelolaan penyu melalui pendekatan ekosistem di Pulau
Kapoposang adalah dimensi ekonomi (kurang berkelanjutan),
dimensi teknik penangkapan, sosial, ekonomi, habitat dan
ekosistem (berkelanjutan), sedangkan dimensi kelembagaan
(sangat berkelanjutan), sedangkan status keberlanjutan
secara agregat atau multidimensi memiliki kategori baik atau
berkelanjutan.
28
Hasil analisis multidimensi aplikasi Rapfish (modifikasi)
menujukkan nilai stress dan koefisien determinasi cukup baik
dan hasilnya dapat dipercaya.
Rekomendasi
(1)Perlu melindungi habitat peneluran penyu, demplot
peneluran penyu, dan perlindungan proses peneluran pada
musim pemijahan, penangan telur yang berasal dari
nelayan dengan baik sebelum ditangkarkan.
(2)Pelibatan anggota masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
dan penangkaran penyu di Pulau Kapoposang selain
anggota kelompok pelestari penyu (Bahari Lestari) agar
tidak terjadi konflik.
(3)Pengembangan wisata ekologi di Pulau Kapoposang
sebagai salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomi
sumberdaya penyu yaitu promosi daya tarik untuk
menyaksikan penyu bertelur pada musim pemijahan.
(4)Peningkatan sosialisasi peraturan yang sudah ada baik
peraturan pada level kabupaten, provinsi, nasional,
maupun internasional pada masyarakat di Pulau
Kapoposang.
(5)Pengawasan dan pengendalian alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan, dan penyadaran masyarakat untuk
melakukan pelepasan penyu.
(6)Melindungi terumbu karang, padang lamun yang ada
disekitar daerah peneluran penyu (sarang penyu)
Memberikan perhatian terhadap habitat penyu, khususnya
kondisi terumbu karang dengan mengintensifkan
pengawasan terhadap penerapan program dan aturan
yang telah berjalan saat ini.
29
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J. TJ Pitcher. Preikshot D, Kaschner K, Ferris B. 2000.
"How Good Is Good?": A Rapid Appraisal Technique for
Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of
North Atlantic. Sea Around Us Methodology Review:
136-182.
Allahyari MS. 2010. Social Sustainability Assessment of
Fisheries Cooperatif in Guilan Province, Iran. J.Of
Fisheries and Aquatic Science 5(3):216-222
Arianto, A. 1999. Studi Karakteristik Habitat Peneluran Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Pengelolaan di
Pantai Tampang-Belimbing TN bukit Barisan Selatan.
Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
30
dan Pengelolaan Wilayah, Program studi Manajemen
Kelautan. Pasca Srajana Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Indrawasih, Ratna. 2008. Co-Management Sumberdaya Laut
Pelajaran Dari Pengelolaan Model COFISH Di
Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Kebijakan Dan Riset Sosial Ekonomi,
Volume I No.2
Irwan Noor. "Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) di Perairan ZEEI Samudera
Hindia Selatan Jawa Timur" Disertasi Program Doktor.
Universitas Hasanuddin. Makassar 2012.
Kavanagh. P. 2001. Rapid Appraisal for Fisheries (Rapfish)
Project. Rapfish Software Description (for Microsoft
Exel). University of British Columbia
Kay, R and J. Alder, 1999. Coastal Planning & Management E
& FN Spon, London
Kementrian Kelautan Dan Perikanan. 2011. Laporan Akhir
Monitoring Kondisi Kesehatan Terumbu Karang di TWP
Kapoposang. Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil: Satker Rehabilitasi dan Terumbu
Karang.
Kruskal, J. B., & Wish, M. (1978). Multidimensional scaling.
Beverly Hills, CA: Sage Publications.
Marasco, R. J., Goodman, D., Grimes, C. B., Lawson, P. W.,
Punt, A. E. and Quinn II, T. J.2007. Ecosystem-based
fisheries management: some practical suggestions.
Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 64,
pp. 928-939.
Mrquez-M., R. 1990. FAO Species Catalogue Vol. 11: Sea
Turtles of The World: An Annotated and Illustrated
Catalogue of Sea Turtle Species Known To Date. FAO.
Roma. iv + 81 h.
Metcalf, J. Sarah. 2009. Qualitative Modelling To Aid
Ecosystem Analyses For Fiheries Management In A
Data-Limited Situation. Dissertation. University of
Tasmania. Australia.
Notohadikusumo.T. 2005. Implikasi Etika Dalam Kebijakan
Pembangunan Kawasan. Jurnal Forum Perencanaan
Pembangunan. Edisi Khusus, Januari 2005
Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu
Laut. IPB Press. Bogor. xii + 127 h.
Nur, N. 2004. Sea Turtle Conservation in Malaysia.
www.wildasia.net. [18 Maret 2005]
PERSGA/GEF. 2004. Standard survey methods for key
habitats and key species in the Red Sea and Gulf of
Aden. PERSGA Technical Series No.10. PERSGA,
Jeddah.
31
Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. Rapfish: A Rapid
Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability
Status of Fisheries. Fisheries Research, 49(3): pp. 255-
270
Pikitch, E.K., Santora, C., Babcock, E.A., Bakun, A., Bonfil,
R.,Conover, D.O., Dayton, P., Doukakis, P., Fluharty, D.,
Herman,B., Houde, E.D., Link, J., Livingston, P.A.,
Mangel, M.,McAllister, M.K., Pope, J., and Sainsbury,
K.J. 2004. Ecosystembased fishery management.
Science (Washington, D.C.), 305:346347.
Pomeroy, Robert, Len Garces, Micahel Pido, Geronimo
Silvestre. 2009. Ecosystem-based Fisheries
Management in Small-Scale Tropical Marine Fisheries:
Emerging Models of Governance Arrangements in The
Philippines. Journal of Elsevier: Marine Policy, Vol 34:
pp. 298-308.
PPTK Unhas. 2006. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu
Karang di Kepulauan Spermonde.
RAPFISH Group. 2006. Standart Attributes For Rapfish
Analysis Evaluation Fields for Ecological, Technological,
Economic, Sosial and Ethnic Status. Fisheries Centre,
UBC. Vancaouver.
Rebel, T. P. 1974. Sea Turte and Turtle Industry of The
Western Indies, Florida, and The Gulf of Mexico.
University of Miami Press. Florida. 250 h.
Saaty, T. L. 1995. Decision Making for Leaders. The Analytical
Hierarchy Process for Decisions in A Complex World.
RWS Publication, Pittsburgh.
Sekaran, Uma 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis.
Jakarta: Salemba Empat. USAID.1996. Track a Turtle.
www.oneocean.org/ambassadaor/turtlebiology.html. [18
Maret 2006]
Wiyono, Eko Sri. 2006. Mengapa Sebagaian Besar Perikanan
Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen
Perikanan Konvensional). Inovasi Online, ISSN : 0917-
8376 | Edisi Vol.6/XVIII/Maret 2006
www.ioseaturtles.org
Zaldi, S.J. 2010. Survei Sosial Ekonomi dan Ketaatan
Masyarakat terhadap Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.Laporan Praktek
Kerja Lapang. Jurusan Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan.Universitas
Hasanuddin.Makassar.
Zamani, N.P. 1998. Penyu Laut Indonesia. Lestarikan atau
Punah Selamanya. WWF Indonesia-Bali Office. Bali. iv +
27 h.
Zulfakar. 1996. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik
(Eretmochelys imbricate) di Pulau Dapur, Kecamatan
Toboali, Kabupaten, Bangka Propinsi Sumatera Selatan.
Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Konservasi
Sumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
32
MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI
Pendahuluan
33
Namun demikan, surat edaran Dirjen tersebut belumlah
cukup mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan
degradasi kerusakan ekosistem terumbu karang. Sehingga
salah satu jalan yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Periikanan (KKP) adalah
menyiapkan strategi perlindungan terhadap bambu laut.Hal
ini dilakukan, selain untuk menjawab permasalahan
keberlanjutan pengelolaan perikanan, juga mendukung
perlindungan ikan secara global. Menurunnya populasi
bambu laut yang terus menerus perlu di lakukan kajian atau
analisis tentang aspek sosial (peran dan pemahaman
masyarakat), ekonomi (tingkat pendapatan), budaya
masyarakat (tradisi) dan aspek hukum (formal dan
nonformal), serta peran lembaga-lembaga yang berwewenang
dalam hal pengelolaan terhadap sumberdaya alam pesisir dan
laut. Selanjutnya keseluruhan hasil kajian atau analisis dari
aspek-aspek yang dikemukakan di atas, akan menjadi data
dan informasi bagian alisis model pengelolaan terhadap
sumber daya alam pesisir dan laut secara umum dan
terhadap bambu laut secara khususnya.
Langkah awal dimulainya analisis tentang pengelolaan
terhadap sumber daya bambu laut, bermula dari beberapa
data sebagai informasi dasar yang menyatakan bahwa telah
terjadi penurunan populasi sumber daya bambu laut pada
beberapa lokasi di Indonesia timur. Tingginya tingkat
penangkapan atau eksploitasi terhadap sumber daya bambu
laut diduga akan menurunkan populasi sumber daya ini di
alam. Selain itu berbagai upaya eksploitasi terhadap sumber
daya alam perairan pesisir dan laut yang selama ini dilakukan
di sekitar ekosistem terumbu karan gdengan menggunakan
alat tangkap destruktif, akhirnya akan merusak terumbu
karang. Hal ini juga menjadi salah satu masalah serius yang
dapat menurunkan populasi bambu laut di alam.
Selain itu penurunan populasi sumber daya bambu laut
adalah juga karena Kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat seperti tingkat pendidikan,tingkatpendapatan,
maupun latarbelakang pekerjaan dapat mempengaruhi juga
pola pikir atau pun pemahaman tentang bagaimana
mengelola sumberdaya alam yang lestari atau berkelanjutan
bagi peningkatan taraf hidup Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk membuat strategi pengelolaan bambu laut di
Indonesia yang berbasis pada kondisi pupulasi, sosekbud,
hukum dan kelembagaan guna kepentingan pengelolaan
sumber daya bambu laut secara berkelanjutan
34
Gambaran Umum Populasi
Status Populasi
Status populasi bambu laut belum dilakukan secara
menyeluruh, namun dari beberapa hasil survey yang telah
dilakukan,kepadatan alaminya tidak merata pada setiap
daerah. Kelimpahan yang ada di setiap daerah berbeda
beda tergantung kondisi wilayah dan kondisi terumbu karang
di setiap daerah tersebut.Kelimpahan jumlah koloni
didasarkan pada kriteria Haris, dkk. (2010) membaginya
kedalam lima kategori sebagaimana disajikan pada Tabel
1.Kriteria kelimpahan bambu laut berdasarkan jumlah koloni
(Haris, dkk. 2010)
1. 3 - 44 jarang
2. 45 84 sedikit
3. 85 126 sedang
4. 127 167 banyak
5. 168 - 209 melimpah
35
baik.Dari hasil survey tahun 2013 P.Bone tambung memiliki
jumlah koloni bambu laut yang masih melimpah di
bandingkan dengan pulau pulau lain sekitarnya.P Bone
tambung sangat terjaga terumbu karangnya karna
merupakan Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh masyarakat
setempat sehingga kondisi terumbu karangnya terjaga. Tokoh
masyarakat di Pulau tersebut sangat menjaga laut
mereka.Sedangkan pada perairan lainnya koloninya sangat
jarang , bahkan di beberapa pulau seperti di P.Barrang Lompo
dan P.Samalona tidak di temukan lagi bambu laut. imprep
(Dining A Candri Dkk). Data bambu laut di Kabupaten Parigi
Moutong menunjukan status populasi dari biota bambu laut
(Isis hippuris) pada stasiun pertama memiliki kepadatan
populasi sebesar 852 koloni / 500 m,menunjukan jumlah yang
melimpah, sedangkan pada stasiun kedua memiliki populasi
514 koloni / 500 m menunjukan kategori melimpah.
Sedangkan sebaran koloni Isis hippuris ditemukan hidup
lebih besar berada pada kedalaman 5 meter dengan
persentase 38,14% dan rata-rata ukuran yang dominan hidup
adalah ukuran 30-50 cm dengan persentase 44,66%. Data
yang lain yang di lakukan oleh BPSPL Makassar antara lain
data bambu laut pada Tahun 2012 di beberapa daerah
Sulawesi, yaitu Perairan Gorontalo, Selayar, Konawe dan
Parigi Moutong.
Adapun sebaran kelimpahan bambu laut di Perairan
Kabupaten Goronatlo Utara berdasarkan jumlah koloni
bambu laut , dari data tersebut, dapat diketahui rata-rata
sebaran kelimpahan adalah 73,5 koloni dengan ukuran
kelimpahan yang didominasi oleh kelompok dengan jumlah
koloni yang kecil (1 10) . Menurut Haris, dkk.(2010),
kelimpahan koloni bambu laut ini termasuk kategori sedikit.
Hal ini menunjukkan bahwa bambu laut di perairan pulau
Saronde ini tingkat pertumbuhannya masih rendah, meskipun
merupakan daerah yang agak terlindung (atol). Di samping
itu Perairan di Kabupaten Gorontalo Utara khususnya
perairan Pulau Saronde belum ada kegiatan pengambilan
bambu laut sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran
komposisi dan kelimpahan bambu laut yang ada ini masih
merupakan ukuran alamiah yang belum dimanfaatkan oleh
nelayan.
Berdasarkan hasil survey BPSPL Makassar di Kabupaten
Konawe, Kelimpahan koloni bambu laut di perairan
Kabupaten Konawe termasuk kategori sedikit sampai
kategori melimpah (berdasarkan kategori Haris, dkk., 2010),
tetapi penyebarannya tidak merata dan ukuran individu
didominasi dengan yang kecil (0
30 cm). Populasi dan sebaran bambu laut sudah sangat
terbatas akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan di
perairan Konawe.
Di Kabupaten Bima dan Kota Bima survey di lakukan oleh
BPSPL Bali menunjukan bahwa di daerah tersebut bambu
laut penyebaran tidak merata.Di Kota Bima (P.Kolo,
P.Soronehe 1 dan P.Soronehe 2 dan P.Bonto) tidak di temukan
sama sekali bambu laut sedangkan di kabupaten Bima yaitu
di Pulau
36
(Lariti I, Lariti 2, Tosa, Lampa Jara dan Pasir Putih).Survey
juga di lakukan di pulau Lombok yaitu Kepulauan Gili
Matra :Gili Air, Gili Meno dan Gili trawangan tidak di
temukan bambu Laut di daerah tersebut.Dining Candri,Dkk
(In Prep). Data terbaru tahun 2013 dan 2014 yang sudah di
lakukan di Kepulauan Spermonde menunjukan penurunan
jumlah yang signifikan.
Kepulauan Wakatobi
Survey yang di lakukan di Pulau Hoga di daerah
perlindungan laut di temukan bambu laut dalam kondisi
melimpah tetapi di beberapa pulau yang lain di temukan
bambu laut dalam kondisi jarang .Di Pulau Wanci survey
menunjukan bambu laut dalam kategori sedikit, jarang
bahkan tidak di temukan. Dining Candri,dkk (In Prep)
Tingkat Pemanfaatan
Biota bamboo laut ini termasuk dalam karang lunak yang
banyak diperdagangkan dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan
sebagian Asia. Permintaan pasar terbesar adalah dari Cina
dan memiliki harga yang tinggi.Dari data hasil laporan
bulanan kegiatan operasional tindakan karantina Tahun 2011
yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter
Monginsidi, bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi
pengiriman bambu laut sebanyak 230.000 kg, dengan tujuan
utama Makassar dan Surabaya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengambilan bambu
laut maka akan semakin tinggi pula ancaman terhadap
terumbu karang disebabkan cara pengambilan atau
pemanenan yang tidak ramah lingkungan.
Dari hasil wawancara yang diperoleh, sistem pemasaran Isis
hippuris yang dilakukan di Kecamatan Moutong yakni
pedagang pengumpul mendatangi masyarakat kemudian
dilakukan transaksi dengan harga jual Rp.1.500,- per-
kilogram dalam bentuk bambu laut yang telah dikelupas.
Sedangkan di Kabupaten Konawe, harga bambu laut di
tingkat nelayan sangat murah yaitu rata-rata Rp 500,- per
kilogram bambu laut kering, sedangkan harga ditingkat
eksportir Rp 5.000 perkilogram. Untuk harga jual bambu laut
di Kabupaten Gorontalo Utara selama ini berkisar antara
Rp2.000,00/kg Rp3.000,00/kg. Nelayan pengambil bambu
laut tidak mengetahui secara jelas jalur pemasaran di tingkat
pedagang pengumpul hingga ke konsumen. Begitu juga dari
data yang di kumpulkan di Kepulauan Togean dan kepulauan
Wakatobi, dari wawancara yang di lakukan kepada
narasumber kunci, harga bambu laut berkisar antara Rp 2000
Rp.5000./ kg.
37
Tingkat Pengelolaan
Bambu laut sampai saat ini belum termasuk dalam jenis yang
dilindungi dan masuk dalam Appendiks CITES. Sehingga
pengelolaannya harus berdasarkan Undang Undang 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Dalam Pasal 7 UU 31 Tahun 2004 telah jelas disebutkan
bahwa IKAN adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan (Pisces, Crustacea, Mollusca,
Coeloenterata (bambu laut), Echinodermata, Amphibia,
Reptilia, Mamalia dan Algae)Bambu laut (Isis hippuris) yang
termasuk kedalam phylum Coelenterata termasuk dalam
definisi ikan menurut UU 31 Tahun 2004.Dan didalam Pasal
53 PP 60 Tahun 2007 juga telah disebutkan bahwa Otoritas
Pengelola (Management Authority) Konsevervasi Sumberdaya
Ikan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan
38
Landasan Hukum Penetapan Status Perlindungan
39
pengumpulan data dan kegiatan analisis dari data-data yang
dihasilkan selama proses verifikasi. Kegiatan yang dilakukan
dalam tahapan verifikasi di antara di
Rekomendasi Ilmiah dari LIPI selaku otoritas ilmiah
diperlukan sebagai bahan pertimbangan dari sisi keilmuan
terhadap spesies ikan yang diusulkan untuk ditetapkan status
perlindungannya. Dalam tahapan ini selain pertimbangan
ilmiah LIPI juga diharapkan dapat memberikan saran
pengelolaan terhadap spesies ikan yang akan dilindungi.
Rekomendasi LIPI ini merupakan salah satu dasar dalam
melaksanakan program tindak lanjut setelah penetapan
status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menteri menetapkan SK perlindungan jenis ikan berdasarkan
tingkat keterancaman dan kebutuhan pengaturan, dapat
ditetapkan dengan status perlindungan penuh atau status
perlindungan terbatas.Pada dasarnya penetapan status
perlindungan penuh dan terbatas tersebut merupakan salah
satu upaya untuk menghindari bahaya kepunahan dan
program peningkatan populasinya di habitat alam.
Di dalam Permen di atas juga diatur mekanisme perubahan
status perlindungan, sehingga berdasarkan data hasil
monitoring dan evaluasi populasi apabila kondisi populasi
menjadi semakin baik, serta kemampuan dalam melakukan
pengelolaan, maka spesies ikan yang sudah dilindungi dapat
dibuka status perlindungannya menjadi tidak dilindungi
ataupun menjadi perlindungan terbatas. Setelah
ditetapkannya status perlindungan ini, maka perlu dilakukan
program sosialisasi sehingga aturan yang sudah ditetapkan
dapat diketahui secara luas, terutama oleh stakeholder-
stakeholder yang terkait dengan mata rantai penangkapan
dan perdagangan.Monitoring populasi dan upaya-upaya
untuk menambah jumlah individu dalam populasi serta
pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum dilakukan
dalam rangka penegakan aturan dan pencapaian tujuan
perlindungan.
40
Pemenuhan Terhadap Indikator
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan, Pasal 23 menyebutkan kriteria
jenis ikan dilindungi di antaranya meliputi: terancam punah,
langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), terjadinya
penurunan populasi di alam secara drastis dan tingkat
kemampuan reproduksi yang rendah.
Pengambilan dan perdagangan bambu laut sudah
berlangsung secara masif, khususnya di wilayah perairan
Kepulauan Sulawesi. Bambu laut umumnya hidup di perairan
pesisir yang dangkal, sehingga sangat rawan akan terjadinya
pemanfaatan yang berlebih. Berdasarkan hasil survey
populasi bambu laut pada beberapa lokasi di perairan
Sulawesi menunjukkan besarnya tekanan penangkapan
terhadap populasi bambu laut.
Dalam melakukan pengambilan bambu laut yang dilakukan
oleh masyarakat nelayan umumnya tidak dilakukan dengan
metode khusus, lokasi pengambilan yang berada di kawasan
pesisir yang dangkal tidak membutuhkan peralatan yang
modern, umumnya pengambilan dilakukan dengan cara
mencabut atau dibabat menggunakan parang. Dengan
metode ini hampir semua koloni bambu laut tercabut, baik
yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar.
Sosial Budaya dan Dukungan Masyarakat
Perlu adanya upaya untuk menyamakan visi antara
pemerintah dan masyarakat bahwa regulasi tentang
penetapan status perlindungan bambu laut bukanuntuk
menutup sumber penghidupan masyarakat, tetapi dilakukan
agar masyarakat mempunyai sumber penghidupan yang
berkelanjutan, tidak hanya bagi masyarakat di masa sekarang
tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Dampak Penetapan Status Terhadap Sumber
Pendapatan Masyarakat
Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir mempunyai
ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya yang ada di
pesisir dan laut, dimana sebagian besar masyarakatnya
berprofesi sebagai nelayan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya
yang terkait dengan sumberdaya ikan. Saat ini, berdasarkan
hasil kajian yag dilakukan di wilayah perairan di Indonesia
khususnya di indonesia Timur dapat diketahui bahwa
penyebab utama kerusakan ekosistem bambu laut disebabkan
oleh kegiatan pengambilan bambu laut dengan menggunakan
cara-cara yang belum mempertimbangkan aspek kelestarian
bambu laut itu sendiri. Masyarakat mengambil dengan cara
mencabut dan mencungkil karang, sehingga apabila kegiatan
ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya
pengaturan yang jelas maka dikhawatirkan kegiatan
pengambilan bambu laut ini tidak hanya akan
41
mengancam kelestarian bambu laut, tetapi juga akan
mengancam ekosistem terumbu karang.
Penetapan status perlindungan bambu laut yang nantinya
akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan ini tidak akan memberikan dampak secara
signifikan pada pendapatan masyarakat. Beberapa hal yang
menjadi pertimbangan dalam pernyataan tersebut adalah :
42
Dari data yang di peroleh di dearah kepulauan Wakatobi dari
tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi pengambilan bambu
laut dalam skala besar, saat ini setelah 12 tahun kondisi
bambu laut belum pulih, terbukti dari survey di lakukan
jumlah bambu laut dalam kategori sedikit bahkan tidak ada
sama sekali, kecuali di daerah DPL dalam kategori
melimpah.Dining Candri,Dkk (In Prep)
Arah Kebijakan Pemerintah
43
Surat Edaran Gubernur Sulteng kepada Bupati/Walikota
Seluruh Sulteng Nomor : 523/529/DISKANLUT tanggal 27
Oktober 2009 perihal : pelarangan pengumpulan dan
pemasaran bambu laut (Isis hippuris) dan batang merah
(Melitodes/Sealipress)
44
1) Bambu laut dapat terjaga kelestariannya sehingga
dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi
lingungan dan masyarakat generasi sekarang dan
generasi yang akan datang;
2) Masyarakat pesisir dapat merasakan manfaat yang
lebih besar dan lebih sinambung dari sumber daya
bambu laut, sehingga dikhawatirkan kondisi
pemanfaatan bambu laut yang terjadi saat ini hanya
akan memberikan nilai ekonomi yang rendah bagi
masyarakat dan hanya berlangsung sesaat.
3) Pengambilan bambu laut diharapkan tidak
menyebabkan kepunahan bambu laut dan tidak
menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang,
sehingga diperlukan regulasi dan inovasi teknologi
dalam pemanfaatannya, sehingga dapat memberikan
manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
4) Pemanfaatan bambu laut hendaknya mempunyai basis
kajian yang memadai sehingga kegiatan pemanfaatan
tidak memberikan dampak yang serius bagi
kelangsungan sumberdaya. Saat ini kajian-kajian yang
terkait dengan aspek biologi dan inovasi teknologi
pemanfaatannya belum tersedia secara memadai.
Perancangan Status Perlindungan
Terkait dengan program penetapan status perlindungan
terbatas bambu laut, ada beberapa hal penting yang harus
menjadi pertimbangan sebelum menetapkan status
perlindungan, diantaranya :
a. Data dan informasi tentang aspek biologi dan status
populasi masih sangat terbatas, namun kegiatan
pemanfaatan telah dilakukan secara besar-besaran
sehingga dikhawatirkan jika ini di lakukan terus
menerus akan mengakibatkan ancaman kepunahan
spesies bambu laut.
b. Bambu laut dapat di manfaatkan secara lestari.
Pemanfaatan secara lestari ini dapat dimaknai dengan
menerapkan prinsip-prinsip sustainable use,
diantaranya : pemanfaatan tidak melebihi batas yang
diperbolehkan, pemanfaatan dengan cara-cara yang
bersifat merusak, dan lain-lain;
c. Metode pengambilan bambu laut dilakukan dengan cara
yang tidak ramah lingkungan sehingga dapat
mengancam kelestarian sumber daya bambu laut dan
menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang.
Untuk itu perlu adanya metode yang tepat dengan cara
pengambilan bambu laut dengan cara memotong bagian
tubuh bambu laut bukan mencabut apalagi mencukil
karang, karena hal ini dapat merusak terumbu karang
dan mengancam kelestarian sumberdaya bambu laut.
d. Bambu laut (Isis hippuris) berada saku kelas dengan
terumbu karang (Kelas : Anthozoa) yang secara ekologis
pada habitat yang sama. Pemerintah melalui Undang-
Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
45
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pada Pasal 35 telah
mengeluarkan larangan pengambilan terumbu
e. karang, termasuk aktivitas-aktivitas yang dapat
menyebabkan kerusakan terumbu karang;
f. Pengambilan dan perdagangan bambu laut bukan
merupakan mata pencaharian utama masyarakat, tetapi
hanya pendapatan tambahan bagi keluarga.
Penghentian pemanfatan bambu laut tidak akan
menyebabkan dampak yang besar pada tingkat
kesejahteraan masyarakat, namun tetap perlu
dipertimbangkan untuk untuk mengembangkan mata
pencaharian alternative bagi masyarakat yang terkena
dampak secara langsung oleh penghentian pemanfaatan
bambu laut.
g. Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No.
523/596/DISKANLUT tanggal 27 Oktober tahun 2009
telah mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh
Bupati/Walikota yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah
tentang larangan pengumpulan, penampungan dan
pemasaran bambu laut dan batang merah. Empat
substansi surat edaran tersebut diantaranya : (1) tidak
membuat rekomendasi dan ijin atas pengambilan,
pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu
laut baik hasil dari wilayah sendiri maupun dari
Kabupaten/Kota lainnya; (2) meningkatkan pengawasan
atas usaha-usaha yang merusak ekosistem pantai dan
pulau-pulau kecil termasuk bambu laut dan sejenisnya;
(3) membuat edaran Bupati/Walikota kepada aparat
pemerintah, para Kepala SKPD, Camat, Lurah / Kepala
Desa, Petugas Pelabuhan untuk melarang kegiatan
pengambilan, pengumpulan, penampungan dan
pemasaran bambu laut di wilayahnya; (4) mendukung
sejumlah aparat Dinas Kelautan dan Perikanan, Polisi,
Kejaksanaan untuk memproses lebih lanjut dengan
adanya pelanggaran, pengambilan, pengumpulan,
penampungan dan pemasaran bambu laut (Isis
hippuris) dan matang merah atau sejenisnya sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku. (5) surat
edaran ini agar disampaikan/diteruskan kepada seluruh
unit kerja yang ada di lingkungannya dan ditempatkan
pada papan pengumuman atau tempat yang mudah
dibaca masyarakat.
h. Surat Edaran Bupati Sinjai Nomor : 660/943/SET
tanggal 23 Juni 2013 tentang pelarangan pengambilan
bambu laut dan sejenisnya yang ditujukan kepada : (1)
Kepala Badan, Dinas dan Kantor Lingkup Pemkab Sekab
Sinjai; (2) Para Camat Sekab. Sinjai dan (3) Para Kepala
Desa Sekab. Sinjai. Surat Edaran ini didasarkan pada
fakta lapangan bahwa pengambilan bambu laut sangat
berpengaruh terhadap rusaknya potensi terumbu
karang serta sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
46
Berdasarkan Peraturan MenteriKP Nomor : 3/MEN/2010
tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan dan poin-
poin pertimbangan penting di atas maka beberapa opsi
perlindungan yang paling memungkinkan untuk
diimplementasikan dengan mempertimbangkan kepentingan
ekonomi, ekologi, soasial dan kepentingan konservasi, yaitu
dengan penetapan status Perlindungan Terbatas Waktu.
Perlindungan terbatas waktu
47
perlindungan hanya bersifat sementara, dan berpeluang
untuk dibuka kembali. Kegiatan sosialisasi ini diharapkan
dapat di lakukan dengan pertemuan maupun dengan
penyediaan bahan sosialisasi yang memadai agar dapat di
pahami dengan baik oleh masyarakat.
Pengawasan dan Pembinaan
48
Hasanuddin ,namun wilayah yang dapat di survey masih
sangat terbatas, sehingga masih belum dapat
merepresentasikan status sebaran dan status populasi bambu
laut secara nasional.
Berdasarkan pada kegiatan survey potensi bambu laut yang
dilakukan, habitat bambu laut mempunyai kesamaan dengan
habitat terumbu karang, dan banyak ditemukan pada
perairan yang relatif dangkal, dan bebrapa di daerah reef
slope, sehingga dapat dengan mudah dimanfaatan oleh
masyarakat. Selama ini bambu laut belum menjadi fokus
objek yang diperhitungkan dalam pelaksanaan survey
terumbu karang, sehingga walaupun sudah banyak survey
terumbu karang yang dilakukan, namun data tentang bambu
laut sendiri masih sangat minim tersedia.
Untuk massa yang akan datang, pelaksanaan survey terumbu
karang diharapkan dapat dilaksanakan bersamaan dengan
survey bambu laut, sehingga waktu pelaksanaan dapat
berjalan dengan lebih efektif dan juga dapat menghemat
pembiayaan. Luasnya wilayah perairan Indonesia merupakan
salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam
melaksanakan survey bambu laut, oleh karena itu kajian studi
potensi populasi ini tidak mungkin dilakukan oleh Ditjen
KP3K saja tetapi harus melibatkan lebih banyak pihak-pihak
terkait.Terkait dengan hal tersebut maka perlu disediakan
buku panduan metode pelaksanaan survey, sehingga setiap
orang dapat melakukan survey dengan metode yang standar.
Pengembangan Metode Pengambilan
49
Kesimpulan
50
dapat membeikan manfaat kepada lingkungan dan
masyarakat secara luas.
c. Perlunya dilakukan kajian secara mendalam
tentang aspek biologi, ekologi dan keragaman
genetik serta sosial ekonomi dalam pengelolaan
bambu laut ke depan agar dapat memberikan
manfaat ekonomi yang lebih besar dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian bambu laut dan
ekosistemnya.
d. Perlunya dilakukan kajian yang lebih mendasar
terkait dengan kandungan yang terdapat dalam
bambu laut, beberapa hasil kajian menunjukkan
adanya kandungan bio-aktif yang potensial untuk
dikembangkan menjadi berbagai kebutuhan,
termasuk obat-obatan dan kosmetik.
51
DAFTAR PUSTAKA
Chao, C.H., L.F. Huang, S.L. Wu, J.H.Su, H.C.Huang, and
J.H.Sheu.2005. Steroids from the Gorgonian I.hippuris..
J.Nat Prod., 68 (9), pp 1366-1370.
Coremap II dan DKP Provinsi Sulsel, 2011.Potensi dan Status
Pemanfaatan Sumberdaya Bambu Laut diKabupaten
Selayar. Makassar
Pendahuluan
Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan
oleh para nelayan di seluruh perairan Indonesia. Alat tangkap
ini menggunakan alat bantu cahaya untuk menarik perhatian
ikan agar mendekati alat tangkap atau masuk ke areal
penangkapan atau catchable area. Menggunakan waring
dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil yaitu 0,5 cm.
Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat
dikelompokkan kedalam kelompok jaring angkat (Von
Brandt,1985). Bagan dalam operasi penangkapannya
menggunakan cahaya sebagai alat bantu berkembang terus
dan dapat diklasifikasikan mulai dari bagan tancap (fixed
bagan), bagan apung (floated bagan), yang dapat dibagi
kedalam 2 kelompok yaitu bagan rakit dan bagan perahu.
Bagan perahu(canoe bagan) dapat pula diklasifikasikan
menjadi bagan satu perahu (bagan with one canoe), bagan
dua perahu (bagan with two canoes) dan bagan dengan
menggunakan mesin sendiri (bagan with engine boat)
Bagan tancap mulai beroperasi sejak tahun 1949 dan sampai
sekarang alat tangkap tersebut masih eksis. Perkembangan
terakhir adalah bagan raksasa atau biasa disebut dengan
bagan rambo. Bagan apung berdasarkan ukurann plat
formnya dapat dibagi atas 3 jenis yaitu: Bagan kecil (small
bagan), biasanya berukuran 12 x12 m, bagan sedang
(medium bagan) dan bagan raksasa (large bagan). Lampu
yang digunakan juga berkembang, sesuai dengan
perkembangan teknologi. Pada awalnya bagan yang hanya
menggunakan lampu petromaks, kini bagan sudah
menggunakan lampu mercury. Sejak tahun 1950 pemanfaatan
lampu petromaks telah digunakan oleh para nelayan
khususnya nelayan yang melakukan penangkapan di perairan
Teluk Bone dan Selat Makassar. Selanjutnya pada tahun
1972, seiring dengan pemanfaatan listrik untuk kebutuhan
industri dan rumah tangga, maka telah dimanfaatkan pula
oleh para nelayan bagan. Lampu merkury mulai
dimanfaatkan oleh para nelayan di Teluk Bone sejak
tahun1987 pada alat tangkap bagan rambo dan berkembang
terus sampai saat ini. Demikian halnya dengan lampu neon,
sejak tahun 1992 telah dimanfaatkan oleh para nelayan
bagan (Sudirman 2003; Sudirman dan Nessa, 2011).
Alat tangkap bagan sebagai salah satu alat tangkap yang
menggunakan cahaya banyak digunakan oleh para nelayan di
wilayah pesisir karena mempunyai
54
beberapa keunggulan-keunggulan. Keunggulan tersebut
antara lain Secara teknis mudah dilakukan/diopersikan
(khususnya bagan tancap), Investasinya terjangkau oleh oleh
masyarakat, Merupakan perikanan rakyat yang telah
digunakan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sekitar
pulau-pulau kecil secara turun temurun, Tangkapannya selalu
ada walaupun terkadang jumlahnya sedikit dan Menyerap
banyak tenaga kerja (Sudirman dan Nessa 2011).
Keunggulan-keunggulan tersebut membuat alat penangkapan
bagan sampai saat ini masih digunakan oleh nelayan
dihampir seluruh wilayah pesisir Indonesia.
Namun demikian terdapat pula beberapa kelemahan-
kelemahan dan permasalahan dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan sehingga menimbulkan beberapa
masalah antara lain: Selektivitasnya rendah sehingga dinilai
kurang ramah terhadap lingkungan perairan, Untuk bagan
perahu membutuhkan jumlah banyak kayu sebagai bahan
dalam pembuatannya sehingga dapat menguras sumberdaya
hutan di darat, Kadang-kadang beroperasi di daerah
pelayaran, sehingga dapat mengganggu dan membahayakan
aktivitas pelayaran di laut, Banyak beroperasi di sekitar
daerah terumbu karang, sehingga dapat mempengaruhi
keseimbangan ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan atas keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh
perikanan bagan serta permasalah-permasalahan yang
ditimbulkannya, maka terbuka peluang-peluang pengaturan
yang dapat dilakukan seperti mengatur daerah penangkapan
bagan, sehingga tidak mengganggu alur pelayaran dan
daerah-daerah terumbu karang. Membatasi jumlah unit yang
beroperasi dalam suatu areal penangkapan, serta
memperbaiki selektivitas mata jaring yang digunakan.
Penangkapan
Prinsip penangkapan ikan pada bagan adalah menarik
perhatian ikan dengan bantuan cahaya buatan atau lampu
agar ikan masuk ke areal penangkapan (catchable area),
selanjutnya jaring yang berada di bawah bagan akan ditarik
ke permukaan sehingga ikan akan terkumpul pada jaring atau
tertangkap. Fungsi jaring pada bagan bukanlah sebagai alat
untuk menjeratnya ikan, akan tetapi sebagai tempat
berkumpulnya ikan-ikan yang berkumpul dibawah cahaya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua jenis ikan dapat
tertangkap dengan bagan?. Ikan yang tertangkap pada bagan
umumnya adalah ikan-ikan yang dapat tertarik oleh cahaya
atau phototaxis positif. Ikan yang phototaksis positif memiliki
sel kon yang terangsang jika ada sumber cahaya disekitarnya,
dengan kata lain akan mendekati cahaya atau lampu yang
sedang menyala. Tingkah laku ikan yang mendatangi cahaya
tersebut dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan
penangkapan khususnya pada alat tangkap bagan.
55
Mengenal Ragam Bagan
Bagan tancap merupakan bagan yang dipasang secara
menetap di perairan, terdiri dari rangkaian bambu yang
dipasang secara membujur dan melintang. Bambu merupakan
komponen utama dari bangunan bagan tancap. Bahan
tersebut mudah diperoleh nelayan dan harganyapun
tergolong murah. Jumlah bambu yang digunakan bergantung
pada kedalaman perairan bagan tersebut beroperasi.
Semakin dalam perairan maka jumlah bambu yang digunakan
semakin banyak karena bambu tersebut harus disambung.
Secara umum jumlah bambu bervariasi antara 135 -200
batang. Bambu tersebut merupakan komponen utama dalam
menopang berdirinya alat tangkap bagan tancap di perairan.
Komponen lain yang digunakan adalah waring. Waring
dipasang pada bagian tengah bagan yang berfungsi untuk
menangkap ikan yang masuk ke catchable area. Ukuran
bagan tancappun bervariasi mulai dari ukuran 7 x 7 m sampai
9 x 9 m, bergantung kedalaman perairan tempat bagan
tersebut dioperasikan. Umumnya nelayan menggunakan
ukuran 8 x 8 m. Photo salah satu bagan tancap diperairan
disajikan pada Gambar 1 dan 2. Sejalan dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
yang telah dicapai oleh masyarakat maka desain dan
konstruksi bagan semakin berkembang.
57
Alat-alat lain yang ada pada alat tangkap bagan rambo adalah
alat bantu dalam memperlancar kegiatan operasional bagan
rambo, antara lain radio komunikasi, keranjang, peti dan
serok. Radio komunikasi digunakan untuk
mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan hasil
tangkapan, harga ikan, fishing ground, antara juragan laut
dan juragan darat (punggawa laut dan punggawa darat) dan
antara sesama nelayan bagan rambo. Keranjang merupakan
tempat hasil tangkapan setelah disortir. Sebuah keranjang
mempunyai diameter 45 cm dengan tinggi 26 cm. Setiap
bagan rambo mempunyai minimal 30 keranjang.
Peti merupakan tempat penyimpanan hasil tangkapan
sebelum dibawa ke darat. Ikan yang ada dalam peti telah
dicampur dengan es untuk mengawetkan hasil tangkapan.
Serok ini mempunyai ukuran panjang 3,5 m dengan diameter
bukaan mulut 52 cm, tinggi jaring 60 cm dengan mesh size 1
cm.
Pemanfaatan Bagan untuk Penangkapan Ikan
Dalam pengoperasian satu unit bagan rambo dibutuhkan 16-
20 orang ABK yang dipimpin oleh seorang juragan laut atau
disebut dengan punggawa laut. Juragan laut memimpin dan
bertanggungjawab terhadap seluruh operasi penangkapan
ikan yang dilakukan. Tugas masing -masing personil di atas
bagan rambo pada saat operasi dapat dibagi atas: satu orang
yang mengatur pencahayaan lampu, 1 orang mengatur tali
jangkar pada saat hauling, 2 orang bertugas untuk
mengangkut hasil tangkapan dan selebihnya 14 orang
bertugas untuk memutar roller dan menggiring ikan ke salah
satu sisi perahu yang berfungsi sebagai kantong jaring.
Proses penangkapan dimulai dengan terlebih dahulu
menentukan fishing ground. Penentuan fishing ground antara
lain ditentukan dengan melihat hasil tangkapan nelayan
bagan rambo pada malam sebelumnya. Jika ada bagan rambo
yang mendapatkan hasil tangkapan yang menonjol maka
bagan rambo akan terkonsentrasi pada suatu fishing ground
tertentu. Sebaliknya jika hasil tangkapan merata antara
setiap unit alat tangkap maka fishing groundnya akan
menyebar. Penentuan fishing ground ini sepenuhnya berada
pada juragan laut. Lama waktu yang dibutuhkan dari satu
fishing ground ke fishing ground lainnya antara 1-7 jam,
bergantung pada jarak lokasi dan keadaan cuaca. Setelah
melalui pengecekan dasar perairan (sebaiknya lumpur dan
dekat dengan daerah terumbu) maka fishing ground
ditentukan, yang dilanjutkan dengan penurunan jangkar.
Pada saat menjelang senja hari (pukul 18.10 WIT) penurunan
jaring mulai dilakukan (setting) setelah semua ikatannya
pada bingkai telah terikat dengan baik, selanjutnya dilakukan
penyalaan lampu (lighting). Roller batu yang berfungsi
sebagai penahan jaring dari arus terlebih dahulu diturunkan.
Dua sampai empat jam setelah lampu dinyalakan dilakukan
pemadaman lampu. Pemadaman lampu dilakukan secara
bertahap untuk menghindari kagetnya ikan dan usaha untuk
58
menggiring ikan ke tengah jaring. Lampu yang pertama
dipadamkan adalah seluruh lampu bagian pinggir rangka
bagan, dimana setiap lampu mempunyai kekuatan 400 W
yang bejumlah 10 buah. Bersamaan dengan itu lampu
konsentrasi mulai dinyalakan. Lima menit kemudian lampu
yang berada di bagian tiang utama dipadamkan. Pada saat ini
lampu yang menyala hanyalah lampu yang berada di rumah
bagan dan seluruh lampu yang berada di bawah platform
rangka bagan.
Pemadaman lampu di bawah platform rangka bagan juga
dilakukan secara bertahap yang dimulai dibagian luar rangka
bagan, sehingga gerombolan ikan semakin mendekat ke
bagian tengah kapal. Pada akhirnya lampu yang menyala
hanyalah lampu konsentrasi yang terletak pada sisi kiri dan
kanan perahu. Lampu konsentrasi ini diredupkan secara
perlahan selama 10 15 menit. Penarikan jaring dimulai
ketika juragan laut telah memberikan isyarat bahwa jaring
sudah mulai ditarik. Keputusan penarikan dilakukan ketika
juragan laut setelah mengamati secara visual gerombolan
ikan yang terdapat di bawah platform rangka bagan
khususnya yang berada di daerah sekitar lampu fokus atau
lampu konsentrasi. Pemutaran roller jaring dilakukan dengan
cepat agar gerombolan ikan pada catchable area tidak
meloloskan diri. Waktu yang dibutuhkan untuk menarik jaring
sampai kepermukaan air bergantung pada kecepatan arus
dan kedalaman perairan, umumnya berkisar 8-10 menit.
Proses selanjutnya adalah menggiring ikan ke bagian sisi
jaring (berfungsi sebagai kantong). Jika ikan sudah
berkumpul, maka diangkat ke atas perahu dengan
menggunkan serok, dilanjutkan dengan penyortiran hasil
tangkapan dan setting tahap berikunya. Ikan yang sejenis di
kelompokkan kedalam satu basket dan dimasukkan kedalam
peti dan mencampur dengan es. Proses ini dilakukan 1 4
kali dalam semalam. Jika tangkapan pada malam tersebut
tidak memuaskan maka pada pagi harinya akan dilakukan
perpindahan fishing ground, dan sebaliknya tetap pada
fishing ground itu jika tangkapan memuaskan.
Waktu yang dibutuhkan dalam penyalaan lampu berbeda-
beda bergantung pada waktu hauling, musim ikan, waktu
kedatangan ikan kedalam catchable area, periode bulan, dan
keadaan cuaca. Hauling pertama dan ke 2 relatif waktunya
sama,
masing-masing 4 jam, sedangkan hauling ke 3 hanya 3 jam.
Kegiatan pengoperasian dilakukan hampir setiap malam,
namun demikian pada saat bulan terang atau bulan baru jika
hasil tangkapan kurang memuaskan maka digunakan oleh
para nelayan bagan rambo untuk istirahat sambil melakukan
perbaikan-perbaikan kapal dan jaring, biasanya 3 - 5 hari.
Pada saat itu terjadi pasang tertinggi dan surut terendah
sehingga perahu bagan dapat disandarkan di fishing base,
sehingga pembersihan dan pengecetan bagian bawah kapal
dapat lebih mudah dilakukan.
59
Saat permulaan operasi penangkapan maka bagan rambo di
tarik ke fishing ground dengan towing boat. Jarak fishing
ground dari fishing base antara 4 sampai 17 mil laut.
Selanjutnya dilakukan proses penangkapan seperti yang
dikemukakan di atas. Dalam uraian tersebut di atas
nampaknya perlu pula dikemukakan bagaimana proses
tertangkapnya ikan pada bagan bagan rambo.
Penangkapan Dengan Prinsip Keberlanjutan
Terdapat perbedaan dan persamaan daerah penangkapan
bagan tancap dan bagan apung atau bagan perahu,
khususnya yang beroperasi di perairan Sulawesi Selatan.
Untuk memperoleh tangkapan yang maksimal, para nelayan
bagan tancap sudah mengetahui daerah-daerah penangkapan
yang sangat baik untuk memasang alat tangkap bagan
tancap. Disepanjang perairan Makassar, Maros dan Pangkep
umumnya nelayan bagan memasang alat tangkapnya pada
daerah-daerah yang berdekatan dengan hutan mangrove atau
tidak jauh dari daerah terumbu karang pada kedalaman 5-9
m. Daerah tersebut merupakan daerah subur akan unsure
hara.
Dengan demikian maka ikan-ikan yang tertangkap juga
adalah ikan-ikan yang menghuni daerah-daerah tersebut.
Fishing ground bagan tancap di perairan Kabupaten Pangkep
dikelilingi oleh pulau-pulau kecil dengan dasar perairan
berlumpur dan berpasir. Disekitar pulau-pulau tersebut
merupakan daerah terumbu karang dan padang lamun yang
kaya akan sumberdaya ikan. Tidak jauh dari daerah
penangkapan bagan tancap tersebut, terdapat muara sungai
(estuaria) yang ditumbuhi oleh hutan bakau yang subur pula.
Komponen-komponen ekosistem tersebut turut memberikan
kesuburan di daerah penangkapan bagan tancap, karena
adanya suplai bahan organik.
Pada bagan apung di Selat Makassar, operasi penangkapnnya
berhubungan erat dengan adanya terumbu karang disekitarnya.
Jumlah hasil tangkapan akan banyak jika bagan apung tersebut
beroperasi disekitar daerah terumbu karang. Hal ini disebabkan
karena banyak ikan-ikan pelagis kecil mencari makan disekitar
daerah terumbu karang. Perbedaannya dengan bagan tancap
hanyalah karena bagan apung dapat berpindah-pindah dari satu
fishing ground ke fishing ground lainnya. Dengan demikian agar
marine protected area tidak terganggu oleh alat tangkap bagan,
maka sebaiknya alat tangkap tersebut tidak beroperasi disekitar
marine protected area.
Hasil Tangkapan Dorong Kesejahteraan Nelayan
Berdasarkan hasil penelitian Sudirman dkk (2012)
menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada
bagan tancap yang beroperasi di Perairan Pangkep Sulawesi
Selatan sebanyak 32 spesies. Dengan rincian, tangkapan
utama (primary catch) adalah 13 spesies, tangkapan
sampingan (by catch) 13 spesies dan tangkapan buangan
(discard)
60
sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan
berdasarkan berat (kg) pada bagan tancap selama penelitian
menunjukkan berturut-turut adalah tangkapan utama 78%,
tangkapan sampingan 11 % dan tangkapan buangan 11 %
(Gambar 4). Komposisi ini memberikan gambaran bahwa
keadaan bagan tancap memberikan hasil tangkapan yang
baik bagi pendapatan nelayan. Umumnya hasil tangkapan
bernilai ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan
kepada nelayan. Hanya 11% hasil tangkapan merupakan hasil
tangkapan buangan yang umumnya tidak dikonsumsi oleh
masyarakat. Namun demikian hasil tangapan buangan
tersebut masih dapat dijual dengan harga yang sangat
rendah (Rp 1000/Kg), sebagai makanan ternak ataupun
sebagai makanan ikan di tambak. Tangkapan sampingan
umunya dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi di rumah
tangga nelayan bagan.
N= 1913,6
61
Gambar 5. Komposisi tangkapan utama lima jenis ikan hasil
tangkapan bagan tancap di Selat Makassar (Sudirman dkk,
2012)
Cumi-cumi Lain-lain
Japuh(Othe (Squids) (Others)
2,4% 5,3% Teri
r sardine)
3,1% (Anchovy)
Selar (Big 30,5%
eye scad)
7,2%
Layang
(Russell`s
scad) Kembung(In
26,2% dian
Tembang mackerel)
18,1%
7,1%
63
Cypsilurus poecilopterus), tongkol (Auxis thazard), ikan platu
(Pseudobalistis sp, dan
Aluterus sp), ikan leweri batu (Anomalops sp), cendro
(Tylosorus crocodilus), julung-julung (Hemirhamphus far),
kerong-kerong (Therapon theraps), bulan bulan merah dan
hitam (Priacantus sp), baronang kuning (Siganus virgatus),
lingkis (Siganus canaliculatus) lolosi biru (Caesio
coerulaureus), lolosi merah (Caesio chrysozona), ekor kuning
(Caesio erythrogaster), layur (Trichiurus savala), buntal
(Arothron hispidas), buntal duri (Diodon holacanthus), buntal
tanduk (Lactoria cornuta), gemih (Echenies naucrates),
rambeng (Dipterygonosus sp) bawal putih (Pampus
argenteus), bawal hitam (Formio niger), gurita (Octopus sp)
dan ikan peseng-peseng atau samu-samu (Rabdania sp).
Gambar 9. Variasi hasil tangkapan pada bagan apung di Selat
Makassar
65
maka jumlah spesies sangat beragam. Namun dari hasil
tangkapan tersebut tidak ditemukan spesies langka yang
dilindungi tertangkap oleh bagan rambo sehingga di duga
tidak membahayakan biodiversity. Terdapat berbagai jenis
ikan karang yang tertangkap dengan alat tangkap bagan,
walaupun jumlahnya tidak dominan. Pada alat tangkap bagan
tancap, tangkapan ikan baronang kecil sebanyak 10% dari
total hasil tangkapan adalah suatu hal yang sangat
mengkhawatirkan akan kelestarian ikan-ikan tersebut, karena
mempengaruhi populasinya. Sebaiknya hasil tangkapan
tersebut dikembalikan ke alam dalam keadaan hidup. Sebab
jika tidak maka ancaman yang ditimbulkan adalah
mempengaruhi rantai ekosistem yang ada diterumbu karang,
yan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan ekosistem
terumbu karang.
Penutup
Dari data yang disajikan di atas menunjukkan bahwa alat
tangkap bagan banyak menangkap ikan-ikan kecil (juvenile)
dan berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem perairan
termasuk ekosistem terumbu karang. Disamping itu alat
tangkap tersebut menangkap ikan disekitar areal terumbu
karang, sehingga sebagian ikan-ikan karang juga tertangkap,
walaupun prosentasenya sedikit. Oleh sebab itu, dalam
rangka keberlanjutan sumberdaya perikanan khususnya
menjaga marine protected area, jumlah unit alat tangkap
bagan yang diizinkan beroperasi disetiap perairan harus
dikontrol dengan baik, guna menjaga kelestarian sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan, sebagai bagian dari
implementasi UU.No.34 th 2004 dan sebagai implementasi
dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
66
DAFTAR PUSTAKA
Mallawa, A, Sudirman, Palo, dan Musbir Studi Mengen
M. 1992: ai
Perikanan Bagan rambo di Perairan Barru Selat
Makassar . Laporan
Proyek Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin, Ujung
Pandang. 40
hal.
Nadir, M., 2000. Light di Perairan Barru Selat
Teknologi Fishing Makassar:
Deskripsi, Sebaran Cahaya dan Hasil Tangkapan
(Tidak dipublikasikan).
Tesis Program Pascasarjana Institut Bogor. 87
Pertanian hal.
Sudirman dan N.Nessa 2011. Perikanan Bagan dan Aspek
Pengelolaannya. UMM Press. Malang.234. Hal
Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku ikan Untuk
Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam
Proses Penangkapan Pada bagan Rambo di Selat
Makassar. Disertasi Pascasarjana IPB.307 hal.
Sudirman dan S.Made. 2005. Aspek Teknis, Proses
Penangkapan dan Analisis Investasi Pada Alat Tangkap
Bagan Rambo di Selat Makassar. Jurnal Punggawa.
Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan . Volume
2 Nomor 1,
Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2012.Efektivitas
pemanfaatan jenis dan warna lampu untuk menarik
perhatian ikan pelagis kecil pada alat tangkap bagan
tancap dalam menunjang pengembangan perikanan
tangkap secara berkelanjutan. Laporan Penelitian
Hibah Kompetensi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Unhas. 46 hal
Sudirma Najamuddin Machf Palo. 2013. Efektivitas
n, dan ud penggunaan
berbagai lampu listrik untuk perhati ikan pelagis
jenis menarik an kecil
pad baga tanca Jurnal Penelitia Perikan Tangkap,
a n p. n an JPPI.
Vol.19.no. 3. Desember
2013
Von Brandt, A..1985. Fish Catching Methods of the World.
Third Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham. P.418.
67
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN
KEANEKARAGAMAN LARVA
Pendahuluan
Pemanfaatan sumber daya laut memiliki peran yang
signifikan bagi kehidupan masyarakat nelayan. Penyediaan
lapangan pekerjaan untuk masyarakat, potensi pangan dan
pendapatan negara. Banyak permasalahan yang timbul akibat
pemanfaatan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber
daya. Kerusakan lingkungan, pencemaran air laut dan
kerusakan terumbu karang. Ekspoitasi yang berlebihan akan
memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan sumber
daya alam laut. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang
berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan
aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya
pesisir dalam mendukung fungsi pelayanan bagi
keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka
panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir,
pemanfaatan yang bersifat destruktif, kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak jelas,
serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara
pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir.
Perairan yang mendapat masukan dari bahan organik dan
arorganik akan mempengaruhi ekosistem yang ada. Bahan
antropogenik ini berasal dari berbagai sumber seperti
kegiatan pertambakan dan pertanian selanjutnya memasuki
perairan melalui aliran sungai dan run-off dari daratan.
Adanya buangan-buangan tersebut di atas sangat berdampak
pada lingkungan pesisir dan laut. Tingginya unsur hara akan
merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Costa Jr
et al., 2008; Edinger et al., 1998). Bahan organic dengan
konsentrasi yang tinggi akan memicu pemasaman air laut
(Rixen et al., 2008), yang berakibat pada penurunan laju
kalsifikasi karang (Death et al., 2009). Beberapa fenomena
memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas
antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam
perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang
memicu pertumbuhan fitoplankton dan akhirnya berpengaruh
secara tidak langsung dengan terumbu karang. Pengaruh
tidak langsung tersebut dalam bentuk kompetisi ruang
(McCoook et al. 2001). Adanya peningkatan fitoplankton di
daerah terumbu karang ini yang merupakan daerah
pemijahan bagi ikan akan memicu pula peningkatan
zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih ikan.
68
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan
penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap
organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan
yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik
lingkungannya. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya
hayati perairan laut, pemahaman terhadap faktor-faktor fisik
laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota laut
merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisika-kimia
laut, seperti cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut
semenjak semula dipandang sebagai faktor abiotik pada
ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses
kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan
distribusinya.
Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk
menguraikan secara mendetail tentang keterkaitan pola
distribusi dengan kelimpahan larva ikan berdasarkan
parameter fisika kimia perairan. Mengingat larva sebagai
awal kehidupan ikan yang merupakan sumberdaya perikanan
di suatu perairan. Pemerintah telah mengambil kebijakan
untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Melalui penetapan kawasan konservasi, pemerintah berupaya
melindungi ketersediaan sumber daya alam untuk
kepentingan jangka panjang. Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) secara prinsipnya adalah merupakan suatu
kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang
dimanfaatkan secara permanen dari berbagai kegiatan usaha
perikanan, penambangan karang dan pemanfaatan
sumberdaya, sehingga kawasan ini memiliki biodeversity
yang tinggi.
Dengan demikian, penelitian penilaian kualitas daya dukung
lingkungan perairan khususnya di Kawasan Konservasi Laut
Daerah ini yang merupakan kawasan natural sangat penting
untuk diteliti, sebagai dasar perbandingan karakter daya
dukung lingkungan di luar kawasan KLD yang mendapat
pengaruh antropogenik. Hasil penelitian ini akan bermanfaat
untuk pembangunan skenario penilaian daya dukung kualitas
lingkungan, yang dapat menunjang upaya penyelamatan
terumbu karang dan sekaligus mendukung upaya
meningkatkan produksi dan distribusi larva ikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis kelimpahan
larva ikan dan kualitas lingkungan perairan dengan
menentukan variabilitas nutrien dan parameter fisik dan
kimia perairan pesisir dan laut dalam kawasan KLD. (2)
Menganalisis dan mengevaluasi berbagai parameter fisik,
kimia dan biologi sehubungan dengan penciri lingkungan
kawasan konservasi. (3) Menganalisis skenario penilaian daya
dukung kualitas lingkungan perairan dalam kawasan KLD.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
tentang distribusi larva ikan dan kualitas lingkungan perairan
kawasan konservasi laut daerah dalam
69
menunjang produktivitas perikanan, kemudian dapat
dijadikan rujukan dalam pengelolaan lingkungan di luar
kawasan KLD yang dapat menunjang upaya penyelamatan
terumbu karang sebagai daerah pemijahan ikan dan sekaligus
mendukung upaya meningkatkan produktifitas perikanan.
Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kawasan KLD sering dianggap sebagai kawasan yang
diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.
Namun kawasan konservasi laut ini juga dapat memainkan
peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan
pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata
dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian
keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer
akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan
memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi
laut di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program
Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan
bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk
meningkatkan perikanan, sementara pelestarian
keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat
tambahan (DPI, 2002).
Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut.
Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah larangan
penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang
lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi
spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial
berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah
penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah
perlindungan, Roberts dan Hawkins (2000) memberikan
contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang
mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut. Dengan
demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan
perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem.
Misalnya, Babcock et al. (1999) (dalam Roberts dan Hawkins,
2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali lipat populasi bulu
babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi
tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan
perlindungan. Selain itu, Roberts dan Hawkins (2000)
menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk
memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan
perlindungan (fishing the line) menunjukan bukti manfaat
dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial.
Peranan Hidrooseanografi terhadap Distribusi Beban
Masukan
Gerakan air laut dan angin berpengaruh terhadap
penyebaran dan sekaligus daya tahan hidup organisme
perairan. Adanya kekuatan angin yang bertiup melalui
permukaan mengakibatkan perpindahan horisontal massa air
(Nybakken, 1988). Pickard (1975) dalam Kaswadji (1999)
menambahkan bahwa jika angin bertiup di atas perairan, air
dibawahnya akan ikut terseret bergerak membentuk arus dan
70
dalam waktu yang cukup lama bisa menyebabkan turbulensi.
Turbulensi ini bisa berperan mengangkat nutrien yang
terkumpul di bawah lapisan tercampur akibat tenggelamnya
bahan-bahan organik maupun anorganik (Mann dan Lazier
1991). Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang
dominan berpengaruh pada distribusi beban masukan (Parson
et al., 1984). Bersamaan dengan angin dan gelombang,
pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan yang
dapat mengagkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan.
Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik
Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika
mikroalga melalui peningkatan dan/atau menciptakan
variabilitas kekeruhan (May et al., 2003). Menurut Libels
(1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke
perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipid, asam-asam
nuklead, asam-asam amino, hasil eksresi nitrogenus, asam-
asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor dan sulfur.
Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan
waktu yang berbeda.Secara umum sumber nutrien yang ada
pada perairan laut berasal dari masukan bahan organik
(Valiela, 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme
pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi
bahan-bahan anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh
organisme autotrof (Chester, 1991), seperti misalnya nitrat
dan fosfat.
Menurut Cebrian (2002), nutrien diperoleh dari proses
degradasi bahan organik yang berlangsung pada kolom air
atau sedimen. Laju penguraian bahan organik sangat
ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela,
1984 dan Libels, 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan
dengan ketersediaan oksigen yang cukup disebut reaksi
oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan
kondisi aerobik.Proses penguraian bahan organik dapat pula
terjadi pada kondisi sangat miskin oksigen. Reaksi yang
terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela, 1994;
Thurman, 1993;
Millero dan Sohn, 1992). Dalam melaksanakan aktivitas,
bakteri dan organisme pengurai lainnya mereduksi molekul-
molekul yang mengandung oksigen. Selanjutnya, oksigen
yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi
dalam melaksanakan proses penguraian bahan organik.
Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah
terdegradasi dan ada pula yang sukar terdegradasi
(memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh bahan
organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak,
dan protein. Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil
pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil
buangan dari limbah domestik dan industri. Kemudian bahan
organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated
biphenyl (PCBs) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH)
(Effendie, 2003).
71
Prinsip Nutrien Sebagai Faktor Pembatas
Nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk
fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu;
(1) makro nutrien dibutuhkan dalam jumlah banyak yang
terdiri dari unsur O, C, N, H, P, S, K, Mg, dan Ca, dan (2)
mikro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit adalah
Fe, Mn, Cu, Zn, B, Si, Mo, Cl, V, Co, dan Na (Parson et al.,
1984). Menurut Reynolds (1984) makro nutrien
menyumbangkan lebih besar dari 0,1% dari bobot kering
bebas abu dan mikro nutrien kurang dari 0,1% bobot.
Diantara unsur-unsur makro nutrien, N dan P sering menjadi
faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan
fitoplankton baik pada perairan tawar maupun dalam
perairan estuari dan laut (Lagus et al ., 2004). Disebut
sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat dibutuhkan
oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun
ketersediaanya sedikit dan tidak mencukupi (Barnes dan
Hughes, 1988). Seperti yang dicontohkan oleh Mackentum
(1969), bahwa karena kedua unsur tersebut dibutuhkan oleh
fitoplankton dalam jumlah yang besar yaitu berkisar 0.203-
0.790 g-at N/L dan 0.029 -0.587 g -at P/L, namun
ketersediaannya kecil yaitu 0.01-50 g-at N/L dan lebih kecil
dari 0.01 g-at P/L di permukaan dan pada laut dalam lebih
besar 3 g-at P/L. Besar kecilnya unsur-unsur tersebut dalam
perairan sangat bergantung dari masukan dari luar perairan
seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi, serta
sistem pembentukan yang berlangsung di badan air itu
sendiri (Parsons et al., 1984).
Implikasi Pada Terumbu Karang dan Produktivitas
Perikanan
Kesehatan ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi
oleh kualitas perairan. Hampir dijumpai di seluruh dunia,
penuruan densitas dan keanekaragaman karang
berhubungan dengan meningkatnya laju pengayaan nutrien
(eutrofikasi) di perairan laut
(Costa Jr. et al., 2008; Fabricus et al., 2005). Tingginya
nutrien di perairan merusak ekosistem terumbu karang dan
biodiversity (Edinger et al., 1998; Hatcher, 1997). Walaupun
diakui oleh banyak ilmuwan bahwa karang tidak hanya
dibatasi pada lingkungan yang oligotrofik, kebutuhan akan
nutrien yang berlebihan tidak begitu penting bahkan memiliki
efek samping. Hal ini juga diperkuat oleh konsensus bahwa
aktifitas biologi dari komunitas planktonik (yang dipengaruhi
oleh nutrien) tidak sepenting komunitas bentik pada sebuah
ekosistem terumbu karang yang sehat (Costa Jr et al., 2008).
Pengayaan nutrien di perairan (sering disebut sebagai
eutrofikasi atau nutrifikasi) sekitar terumbu karang berakibat
pada ketidakseimbangan pertukaran nutrien antara
zooxanthella (alga simbiosis) dengan rumah karangnya (the
host coral). Selain itu, pengayaan nutrient diperairan juga
memberikan beberapa dampak pada
72
kesehatan terumbu karang melalui pengurangan daya
penetrasi cahaya akibat dari pertumbuhan fitoplankton.
Meningkatnya fitoplankton yang cukup besar akan
mengganggu bahkan merusak settlement dari larva karang,
termasuk kemungkinan menurunnya tingkat kelangsungan
hidup larva karang akibat pemangsaan bilamana terjadi
perkembangan plankton karnivora (larva-larva ikan).
Perubahan struktur komunitas fitoplankton ini berakibat pada
kerentanan sumber pangan laut di kawasan terumbu karang
khususnya produksi larva ikan.
Metode Penelitian
Lokasi penelitian yaitu, kawasan konservasi laut daerah
Wakatobi (Gambar 3) dan Kapoposang. Penentuan posisi/titik
stasiun penelitian selama pengamatan menggunakan GPS
(Global Positioning System) berdasarkan jarak.
74
ml diikat HgCl2 200 l. Selanjutnya sampel tesebut disimpan
dalam kotak dingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium
untuk analisa selanjutnya. Penyaringan dilakukan sejam
setelah pengambilan sampel.
Tabel 1. Parameter, metode, dan alat yang digunakan
Paramete Satuan Metode Alat Tmpt. Sumber
r analisis
Utama
1.Larva Ind/m3 Jaring 500 Makrosh Lab Aminot
op dan
Ikan mgL -1 Reduksi Spektrofotome Lab. Rey, 2000
ter
2.NO3-N Cadmium UV A1800 APHA, 1986
-
mgL-1 Sulfanilami Shimadz Lab. Grasshoff,
d u
3.NO2-N Amonium Spektrofotome et al. 1983;
ter
mgL-1 Molibat UV A1800 sda
Stanous -
4.NH3-N Shimadzu Lab.
Klorida Spektrofotome
sda
mgL-1 ter
5.PO4-P UV A1800
- Lab.
Molybdosili Shimadz
sda
ca u
-1 e Spektrofotome
6.Silika mgL ter
UV A1800 Lab.
-
Shimadz
u
Spektrofotome
ter
UV A1800
-
Shimadz
u
75
Hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan
Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional
Wakatobi dengan pendekatan kualitatif ditemukan 3 jenis
biota yang dominan yaitu telur larva, larva ikan, dan
crustacea. (Tabel 2).
Tabel 2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman larva selama
pengamatan di Teluk Perairan Taman Wisata Pulau
Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi
Lokasi Jenis n H
[Ind/m3]
Taman Wisata Telur 229 1.0
Nasional
Wakatobi Larva ikan 189 0.7
Crustacea 108 1.1
76
Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori
keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua
Nugini dan di Komodo.
12
TN. Wakatobi
10
2
Konsentrasi [M]
0
10
TW. Kapoposang
8
2
78
Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut,
sesuai dengan pernyataan Mackenthum (1969) bahwa bila
kandungan nitrat lebih dari 0.1 mg/l masih dapat digunakan
untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari 0.1
mg/l merupakan faktor pembatas bagi perairan tersebut.
Hasil pengamatan fosfat (Gambar 5) terlihat bahwa
konsentrasi fosfat nampaknya lebih tinggi di perairan Taman
Wisata Pulau Kapoposang yaitu dengan rata-rata konsentrasi
1.330.127 M, sedangkan rata-rata konsentrasi di Taman
Nasional wakatobi 0.780.066 M. Hal ini diperkirakan
akibat adanya proses resuspensi sedimen yang dapat
melarutkan sebagain kandungan fosfat dalam partikel ke
kolom air.
Untuk konsentrasi silika tertinggi ditemukan di Perairan
Taman Nasional Wakatobi dengan rata-rata konsentrasi
9.700.919 M dan terendah di Taman Wisata Pulau
Kapoposang yaitu rata-rata konsentrasi 8.870.042 M.
Tingginya konsentrasi silika ini, juga terkait dengan input
daratan. Hasil pengukuran konsentrasi silika menunjukkan
bahwa nutrien ini memiliki konsentrasi sangat tinggi
dibanding nitrat dan fosfat. Karena terpengaruh oleh kondisi
seasonal seperti musim hujan dan musim peralihan, dimana
waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Pebruari
dan Maret. Parameter silika ini, juga merupakan salah satu
unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton untuk
pertumbuhannya, terutama dibutuhkan oleh Diatom
(Bacillariophyceae) untuk pembentukan dinding sel.
Keberadaan fitoplankton di daerah terumbu karang ini akan
memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi
sekunder bagi benih ikan.
KESIMPULAN
Perbedaan konsentrasi nutrien di perairan Taman Wisata
Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi berkorelasi
erat terhadap kelimpahan larva ikan. Perbedaan karakter
lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap
komposisi larva yang tertangkap selama pengamatan.
Penetapan kawasan konservasi laut perairan pulau
Kapoposang sebagai Taman Wisata dan perairan Wakatobi
sebagai Taman Nasional memberikan manfaat tidak langsung
yakni melindungi habitat ikan sebagai bagian yang penting
untuk perkembangbiakan jenis ikan komersial. Kawasan ini
juga memberikan tempat berlindung bagi ikan yang tidak
dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga
dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan
komersial.
79
DAFTAR PUSTAKA
Aminot, A., Rey, F., 2006. Standard procedure for the
determination of chlorophyll a by spectroscopic methods.
International Council for the Exploration of the Sea,
Denmark.
[APHA] American Public Health Association. 1986. Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water
Including Bottom Sediment and Sludges. 12th ed. New
York: Amer. Publ. Health Association Inc.
Barnes, R.S.K. and R.N. Hughes. 1988. An Introduction to
Marine Ecology. Blackwell Scientific Publication, London.
Cebrian. J. 2002. Variability and Control of Carbon
Consumption, Export and Acumulation in Marine
Communities. Limnology Oceanography. 47(1):11-12.
Chester, R. 1991. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd,
Australia.
Costa Jr, O. S., M. Nimmo, and E.Cordier. 2008. Coastal
nutrification in Brazil: A review of the role of nutrien
excess on coral reef demise. Journal of South American
Earth Sciences 25(2): 257-270.
Death, G., J.M. Lough, and K.E. Fabricus. 2009. Declining
coral calcification on the Great Barrier Reef. Science
323, 116-119.
Drever, J.L. 1997. The geochemistry of natural waters:surface
and groundwter environments. Lebanon USA: Prentice
Hall.
Edinger, E. N., G. V. Limmon, J. Jompa, Widjatmoko, Wisnu,
Heikoop, Jeffrey. M.J, Risk, J. Michael. 2000. Normal
Coral Growth Rates on Dying Reefs: Are Coral Growth
Rates Good Indicators of Reef Health? Marine Pollution
Bulletin 40(5): 404-425.
Edinger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko, and M.J.
Risk. 1998. Reef degradation and coral biodiversity in
Indonesia: Effects of land-based pollution, destructive
fishing practices and changes over time. Marine
Pollution Bulletin 36(8), 617-630.
Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fabricus, K., G. Death, L. McCook, E. Turak, and D.McB.
Williams. 2005. Changes in algal, coral and fish
assemblages along water gradients on the inshore Great
Barrier Reef. Marine Pollution Bulletin 51, 384-398.
80
Hatcher, B.G. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater
is the whole than the sum of the parts? Coral Reefs 16,
S77-S91.
Heisler, J., P.M.Glibert, J.M.Burkholder, D.M.Anderson,
W.Cochlan, W.C. Dennison, Q. Dortch, C.J. Gobler, C.A.
Heil, E. Humphries, A. Lewitus, R.Magnien, H.G.
Marshall, K. Sellner, D.A. Stockwell, D.K. Stoecker,
M.Suddleson. 2008. Eutrophication and harmful algal
blooms: A scientific consensus. Journal Harmful Algae.
xxx; xxx-xxx
Jassby, A.D. and J.E. Cloern. 2000. Organic Matter Sources
and Rehabilitation of the sacramento San Joaqiun Delta
(California, USA). Aquat. Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst.
10: 323-352.
Kaswadji, R.F. 1999. Pengaruh angin terhadap penyebaran
biomassa fitoplankton di Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal
Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia: VI(2): 61-
72.
Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H.,
and Sipura, J. 2004. Species-Specific Differences in
Phytoplankton Responses to N and P Enrichment and
The N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic
Sea. Journal of Plankton Research., 26 (7), 779-798.
Libels, S.M. 1992. An Introduction to Marine
Biogeochemistry. J.Wiley and Sohn, Inc.
Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution
Biology. United States Department of Interior, Federal
Water Pollution Control Administration, Division of
Technical Support.
Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier. 1991. Dynamics of Marine
Ecosystems. Boston: Blackwell Scientific Publication.
May, C.L., J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H.
Schoellhamer. 2003. Effects of Spatial and Temporal
Variability of Turbidity on Phytoplankton Blooms. Mar.
Ecol. Prog. Ser. 254: 111-128.
McCook L.J. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on
coral reefs: scientific issues and management
consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18,
357-367.
Millero, F.J. and M.L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography.
CRC Press. Boca Raton Ann Arbort London..
Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic
Press. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu
Pendekatan Ekologis. Alih
81
Bahasa; M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, dan M.
Hutomo. Jakarta: Gramedia.
Odum, E.P 1971. Fundamental of E Cology. Third Edition.
Philadelphia and London: W.B. Sounders Company.
Parsons, T.R., M. Takahashi, and B. Hargrave. 1984.
Biological Oceanographic Processes. Third Edition.
Oxford: Pergamon Press.
Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008. Rencana Pengelolaan
Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 1998 2023
(Revisi Tahun 2008).
Rixen T., A. Baum, T. Pohlmann, W. Balzer, J. Samiaji, and C.
Jose. 2008. The Siak, a tropical black water river in
central Sumatra on the verge of anoxia. Biogeochemistry
90, 129-140.
Statham, P.J. 2012. Review : Nutrien in estuaries-An overview
and the potensial impacts of climate change. Science of
the Total Environment 434; 213-227.
Pendahuluan
83
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang,
antara lain, White band disease (WBD) yang menginfeksi
Acropora palmata di Santa Croix (Gladfelter et al.,, 1977),
White plague (W) yang menginfeksi Montastrea di Key Largo
(Dustan, 1977) dan Dark spot yang menginfeksi Siderastrea
sidereal di Karibia (Goreau et al.,, 1998). Dalam dua dekade,
penyakit karang telah meningkat baik jumlah, spesies yang
terinfeksi dan daerah penyebarannya (Goldberg and
Wilkinson (2004). Infeksi penyakit ini umumnya terjadi ketika
karang mengalami stress akibat tekanan dari lingkungan,
seperti pencemaran, suhu tinggi, sedimentasi, nutrient yang
tinggi terutama nitrogen dan senyawa carbon, predator,
kompetisi dengan alga yang pertumbuhannya sangat cepat,
dan kondisi fisiologis yang lemah setelah terjadi pemutihan
(Antonius and Lipscomb. 2001; Raymundo et al., 2008; Aeby
et al., 2011).
Bedasarkan hasil penelitian sebelumnya, penyakit pada
karang dapat mengakibatkan kerusakan, bahkan sampai
kematian pada karang. Green and Bruckner (2000)
melaporkan bahwa White band disease menyebabkan
kematian karang Acropora cervicornis sebesar 85% pada
tahun 1980 di U.S. Virgin island. Hasil penelitian di wilayah
Indo-Pasifik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
penyakit secara temporal di beberapa lokasi. Monitoring
penyakit karang yang telah dilakukan dalam kurun waktu
tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan penyakit white
syndrome sebesar 20 kali lipat di terumbu karang Great
Barrier Reef , Australia (Willis et al., 2004). Raymundo et al.,
(2006) mengemukakan pada dua lokasi di Filipina diperoleh
total prevalensi penyakit mencapai 19,9%, dengan prevalensi
tertinggi 53,7% pada penyakitporites ulcerative white spot
(PUWS) dan growth anomaly mencapai 39,1% (Kaczmarsky,
2006).
84
konservasi yaitu Pulau Sarappo Lompo. Pengamatan
Distribusi penyakit didasarkan kepada kedua pulau tersebut.
Tabel 1. Posisi Geografis Lokasi Penelitian
88
ditemukan penyakit karang.Penyakit brown band disease
banyak ditemukan pada karang Acropora sp, dan black band
disease ditemukan pada jenis karang Porites sp dan
Pachyseris sp sedangkan growth anomaly hanya ditemukan
pada jenis karang Fungia sp (Gambar 4). Penelitian
Raymundo et al.,, (2006) menunjukkan total prevalensi
penyakit mencapai 8,3% pada 8 lokasi terumbu diperairan
Filipina, dengan prevalensi tinggi yaitu 53,7% oleh porites
ulcerative white spot dan growth anomaly mencapai 39,1%.
Selama penelitian juga ditemukan kelompok Compromised
Health (CH) yang menjadi pengganggu bagi kesehatan
karang tetapi tidak dikategorikan sebagai penyakit
karang.Kelompok CH berasal dari biota seperti Drupella sp,
Achantaster plancii, bekas gigitan ikan dan kompetisi dengan
alga.
D
C
E F
90
membantu terumbu untuk pulih dari berbagai akibat
ancaman terhadap kondisi kesehatan karang.
Marine reserves are known to be effective conservation
tools when they are placed and
designed properly. Kawasan konservasi laut merupakan alat
konservasi yang efektif jika didesain dan ditempatkan secara
tepat. Baik bagi sumber daya ikan, maupun untuk
nelayan.Kawasan konservasi laut (KKL)mengidentifikasian
wilayah-wilayah terumbu karang yang kurang rusak dan
meninjau ulang sistem zonasi dan batasan-batasan.
91
dapat memicu terjadinya penyakit karang di kawasan
Kawasan konservasi laut Kapoposang.
Meningkatnya prevalensi dari penyakit karang dapat
dikaitkan dengan perubahan anomali suhu laut oleh karena
pemanasan global. Hal ini mungkin juga dikarenakan
kegiatan yang berhubungan dengan: pariwisata yang
berlebihan melalui kontruksi dari resort, dan kegiatan
rekreasi yang tidak diatur seperti: scuba diving, snorkling,
berjalan di terumbu. Terumbu karang harus dianggap dan
dimasukkan ke dalam rencana.Manajemen. Untuk
menghemat daya laut tak ternilai: kita harus mengadopsi
keberlangsungan konsep kawasan konservasi laut bukannya
kegiatan pariwisata secara random.
92
subjek yang menarik bagi pariwisata. Marine Protected Areas
(MPAs) merupakan strategi manajemen yang dapat
digunakan dalam meningatkan ketahanan ekosistem pesisir
dan melindungi terumbu karang.. Meskipun secara langsung
MPA tidak bisa melindungi terumbu karang dari pemutihan
dan penyakit lainnya, sehingga dapat digunakan untuk
meningkatkan ketahanan terumbu karang dengan melindungi
terumbu karang dari gangguan antropogenik lainnya.
Sebagai contoh dampak antropogenik seperti: peningkatan
nutrisi, polusi, penyelam dan kerusakan kapal, sedimentasi
dan penangkapan yang berlebihan dapat dikurangi.
Pengurangan tekanan langsung ini memberikan kontribusi
terhadap ketahanan sumber larva yang penting bagi
pemulihan terumbu karang (Grimsditch and Salm, 2006).
93
karang yang terancam punah.Namun tentunya, satu
bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam
masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi
karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan
membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan
yang mendukung bagi kesehatan karang dilakukan.
Kesimpulan
Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan komunitas karang serta memperlihatkan
kecenderungan peningkatan infeksi penyakit. Meningkatnya
penyakit karang disebabkan kurangya kepedulian masyarakat
untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang.
Salah satu cara mengurangi terjadinya kerusakan terumbu
karang yakni dengan mendorong terbentuknya kawasan
konservasi laut.
Rekomendasi
Untuk melindungi Terumbu Karang sebaiknya perlu dibentuk
kawasan konservasi sebagai salah satu cara untuk
mengurangi resiko penyakit karang. Meningkatkan peran
masyarakat untuk terlibat aktif di dalam upaya menjaga dan
melestarikan ekosistem terumbu karang. Mendorong
pemerintah agar siap menghadapi perubahan iklim sebagai
isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan
konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas
rumah kaca.
94
Daftar Pustaka
Aeby, G.S., Williams, G.J., Franklin, E.C., Kenyon, J., Cox, E.F.,
Coles, S and TM Work. 2011. Patterns of Coral Disease
Across the Hawaiian Archipelago: Relating Disease to
Environment. PloS ONE 6(5):e20307.
Alker AP, Smith GW and Kim K. 2001. Characterization of
Aspergyllus sydoii (Thom et church), a fungal phatogen
of Carribean sea fan corals. Hydrobyologia. 460:105-
111.
Antonius, A., and Lipscomb, D. 2001. First Protozoan Coral
Killer Identified in The Indo-Pacific. Atoll Research Bull
21:481-493.
Beeden, R., Willis, B.L., Raymundo, L.J,m Page, C.A., and
Weil, E. 2008. Underwater Cards for Assessing Coral
Health on Indo-Pacific Reef. CRTR Program Project
Executing Agency, Center for Marine Studies. The
University of Queensland. Australia.
Ben-Haim, Y., Banin, E., Kushmaro, A., Loya, Y. and
Rosenberg, R. 1999.Inhibition of Photosynthesis and
Bleaching of Zooxanthellae by The Coral Pathogen
Vibrio shiloi. Environ. Microbiol. 1:223-229.
Bonn, M. A.; Joseph, S. and Dai, M. 2005. An empirical
analysis of ecogeneralists visiting Florida: 19982003.
Tourism Analysis, 10: 165- 185.
Bryant D, Burke L, McManus J and Spalding M. 1998. Reef at
Risk : a map based indicator of threats to the Worlds
coral reefs. Washinton DC: World Resource Institute.
56p.
Galloway, S.B., Bruckner, A.W. and Woodley, C.M. (eds.). 2009.
Coral Health and Disease in the Pasific: Vision for
Action. NOAA Technical Memorandum NOS NCCO97
and CRCP 7.National Oceanic and Atmospheric
Administration, Silver Spring, MD 314 pp.
Goldberg, J. And Wilkinson, C. 2004. Global Threats to Coral
Reef: Bleaching, Climate Change, Disease, Predator
Plagues, and Invasive Spesies.
GCRMN. 25 p.
Grimsditch, G. D. and Salm, R. V. 2006. Coral Reef Resilience
and Resistance to Bleaching. IUCN. Gland, Switzerland.
52pp.
Green E and Bruckner AW. 2000. The Significant of Corals
Disease Epizoothyology for Coral Reef conservation.
Biologycal Conservation. 96:347-361.
Haapkyla, J., Seymour, A.S., Trebilko, J., Smith, D. 2007. Coral
Disease Prevalence and Health in The Wakatobi Marine
Park, South-east Sulawesi, Indonesia. Marine Biologi
U.K. 87:403-414.
Haapkyla, J., Unsworth, R.K.F., Seymour, A.S., Thomas, J.M.,
Flavel, M., Willis, B.L., Smith, D.J. 2009. Spation-
Temporal Coral Disease Dynamics in the Wakatobi
Marine National Park. South-East Sulawesi Indonesia.
Disease of Aquatic Organisme 87: 105-115.
95
Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP,
Osfeld RS, Samuel MD. 2002. Climate warming and
disease risks for terrestrial and marine biota. Science
296:2158-2162.
Harvell, C.D., Aronson, A., Baron, N., Connell, J., Dobson, D.,
Ellner, S., Gerber, L., Kim, K., Kuris, A., McCallum, H.,
Lafferty, K., McKay, B., Porter, J., Pascual, M., S,ith, G.,
Sutherland, K., Ward, J. 2004. The rising tide of ocean
disease: unsolved problems and research priorities.
Review Front Ecol Environ 2(7): 375-382.
Hughes,T.P., Nicholas A.J. Graham., Jeremy B.C. Jackson.,
Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. 2010. Rising to
the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends
in Ecology and Evolution.Vol.25 No.11.
Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs in
Spermonde Archipelago, South Sulawesi,
Indonesia.Thesis.McMaster University. Canada.
Kaczmarsky, L.T. 2006. Coral Disease Dynamics in the central
Philipines. Disease of Aquatic Org. 69 (1): 9-21.
Kaczmarsky, L. T., Draud, M., and Williams, E.H. 2005. Is
there a Relationship Between Proximity to Seawage
Effluent and the Prevalence of Coral Disease, Carib.
Jour. Sci. 41:124-137.
Kuta, K.G and Richarson, LL. 2002. Ecological aspect of black
band disease of corals: relationship between disease
incidence and environmental factors. Corals reefs.
21:393-398.
Lesser MP, Bythell JC, gates RD, Johnstone RW, Hoegh-
Guldberg O. 2007. Are infectious disease really killing
corals? Alternative interpretations of the experimental
and ecological data. J Exp Mar Biol Ecol 346:36-44.
Massinai, A. 2012.Kondisi dan Sebaran Penyakit pada Karang
batu (Stony coral) di Kepulauan Spermonde.Disertasi.
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Myers, R.L. and Raymundo, L. 2009. Coral Disease in
Micronesian Reefs: a Link Between Disease Prevalence
and Host Abudance. Dis Aquat Org 87: 77-104.
Nugus, M.M., and Bak, R.P.M. 2009. Brown-Band Syndrome
of Feeding Scars of the Crown-of-Thorn Starfish
Acantasterplanci. Coral Reef 28:507-510.
Page C and Willis B. 2006. Distribution, host range and large
scale spatial variability in black band disease
prevalence on the Great Barrier Reef Australia. Dist
Aquatic. Org. 69;41-51.
Raymundo, L.J., Maypa, A.P., Rosell, K.B., Cadiz, P.L., and
Rojas, P.T. 2006. A Survey of Coral Disease Prevalence
in Marine Protected Areas andFished Reefs of the
Central Viisayas, Philippines. Global Environment
Facility
96
Targeted Research and Capacity Building for Coral Reef
Management Project, Coral Disease Working Group.
Raymundo, L.J., Couch, C.S., and Harvell, C.D. 2008. Coral
Disease Handbook: Guidelines for Assessment,
Monitoring & Management, Coral Reef Targeted
Research and Capacity Building for Management
Program. The University of Queensland. Australia.
Rutzler K and Santavy DL. 1983. The black band disease of
Atlantic reef corals. Description of the cyanophyte
pathogen. PSZNI:Mar. Ecol 4:301-319.
Rodriguez S and Croquer A. 2008. Dynamic of Balck Band
Disease in A Diploria strigoza population Subjectedto
Annual Upwelling on The Notrherns cost of Venezuela.
Coral Reefs. 27, 381-388.
Rodjan RD and Sara M lewis, SM. 2008. Impact of Corals
Predator on Tropicals Reefs. Marine Ecology Progress
series. 367:73-91.
Rosenberg E, Ben-Haim Y. 2002. Microbial disease of corals
and global warming. Environ Microbiol 4:318-326.
Rogers, C. S. 1990. Responses of coral reefs and reef
organisms to sedimentation.Mar. Ecol. Prog. Ser.,
62:185-202.
Sato Y, Bourne D and Willis B. 2009. Dynamic of Seasonal
Outbreaks of Black band disease in an asembalges of
Montipora sp in Pelorus Island (Great Barrier reef,
Australia). Proc R Soc Lond B. 276: 2795-2803.
Sabdono, A. dan Radjasa, O.K. 2006.Karakterisasi Molekuler
Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black
Band Disease) pada Karang Acropora sp di Perairan
Karimunjawa.Ilmu kelautan 11(3): 158-162
Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum di Jumpai di
Indonesia. LIPI-P3O Proyek Penelitian dan
Pengembangan Daerah Pantai. Jakarta.
Shafer,C.S and Inglis, G.J. 2000. Influence and Social,
biophysical and manajerial conditions on tourism
experience within the Great barrier Reff World Heritage
Area Environ. Manag., 26: 73-87.
Toren A, Landau L, Kushmaro A. Loya Y and Rosenberg E.
1998. Effect of temperature on adhesion of VibrioStrain
AK-1 to Oculina patagonica and on coral bleaching. Appl
Environ Microbial 64:1379-1384.
Willis, B.L., Page, C.A., Dinsdale, E.A. 2004. Coral Diseaseon
the Great Barrier Reef .Coral Disease and Health.
(Rosenberg E, & Loya Y, eds). pp 69-104. Springer-
Verlag. Berlin.
Williams, D.N. and Miller, M.W. 2005. Coral Disease
Outbreak: Pattern, Prevalence and Transmission in
Acropora cervicormis. Marine Ecology Progress Series
301: 119-128.
Weil, E. 2004. Coral Reef Disease in the Wider Caribbean. In:
E. Rosenberg and Y. Loya (eds.) Coral Reef and Disease.
35-68.
97
Weil E, Smith, G.W., Gil-Agudelo, D.L. 2006. Status and
progress in coral reef disease research. Dis Aquat Org
69: 1-7.
Weil, E., and Crocuer, A., Urreiztieta, L. 2009. Temporal
Variability and Impas of Coral Disease and Bleacing in
La Parguera, Puerto Rico from 2003-2007.
Caribbean Journal Science 45: 221-246.
Weil, E., and Hooten, A.J. 2008.Underwater Cards for
Assessing Coral Health on Caribbean Reef.CRTR
Program Project Executing Agency, Center for Marine
Studies.The University of Queensland. Australia.
Woesik, R.V, J.Gilner, Hooten AJ. 2009. Standar Operating
Procedure for Repeated Measures of Process and State
Variables of Corals Reef Environment. CRTR and
Capacity Building for management Program.The
University of Quensland. Australia.
Zvuloni A, Artzy Randrup Y, Stone L, Kramarsky-Winter
E,barkan R and Loya Y. 2009. Spatio Temporal
Transmission Pattern of Black Band Disease in A Corals
Community. PLoS ONE (4) 4:1-10.
98