Anda di halaman 1dari 11

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vitiligo
2.1.1 Definisi
Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal'
(pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas
yang didapat, dan ditemukan pada semua ras (Hunter et al., 2002). Kata vitiligo
mungkin berasal dari bahasa Yunani, vitelius, yang berarti bercak putih pada
lembu (Habif, 2003).
Vitiligo adalah kehilangan pigmen yang didapatkan dan ditegakkan
dengan pemeriksaan histologi dimana didapati tidak adanya melanosit epidermal
(Habif, 2003). Vitiligo adalah penyakit hipomelanosis idiopatik yang didapat
dengan adanya gejala klinis berupa makula putih yang dapat meluas dan dapat
mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut
dan mata (Soepardiman, 2011).

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab dari vitiligo belum diketahui dengan pasti dan terdapat
berbagai faktor pencetus yang sering dilaporkan sebagai penyebab vitiligo,
misalnya krisis ekonomi dan trauma fisis (Soepardiman, 2011).
Selain dilihat dari etiologinya, menurut Soepardiman dalam buku Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin (2011), vitiligo juga memiliki 2 bentuk yang memiliki
ciri khas masing-masing, yaitu:
1. Lokalisata, yang dapat dibagi lagi menjadi:
a. fokal: satu atau lebih makula pada satu area, namun tidak segmental,
b. segmental: satu atau lebih makula pada satu area dengan distribusi sesuai
dermatom, misalnya pada satu tungkai,
c. mukosal: hanya terdapat pada membran mukosa.

Universitas Sumatera Utara


6

2. Generalisata
Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi generalisata.
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo
generalisata dapat dibagi lagi menjadi:
a. akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
yang merupakan stadium mula vitiligo generalisata,
b. vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat,
c. campuran: depigmentasi yang terjadi menyeluruh atau yang hampir
menyeluruh dan disebut vitiligo total (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo merupakan kelainan piogenik yang multifaktoral dengan
patogenesis yang rumit. Walaupun beberapa teori telah diusulkan untuk
menjelaskan hilangnya melanosit pada epidermal di vitiligo, penyebab utama
vitiligo masih belum diketahui. Perkembangan yang pesat telah terjadi pada 2
dekade yang lalu. Teori yang berkaitan dengan vitiligo adalah autoimun,
sitotoksik, oksidan-antioksidan biokimia, neural, dan mekanisme virus yang
merusak melanosit epidermal. Banyak studi juga menyatakan bahwa peran
genetik sangat signifikan pada kasus vitiligo (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo dan beberapa penyakit autoimun lainnya dilaporkan berhubungan dengan
adanya infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Seyedalinahi et al.,
2009).
Ada juga pengaruh genetik pada kejadian munculnya vitiligo yakni
ditandai dengan penetrasi yang tidak sempurna, berbagai tempat yang rentan, dan
jenis genetik yang beragam. Vitiligo yang diturunkan bisa melibatkan gen yang
berhubungan dengan biosintesis melanin, pengaruh oksidatif stress, dan regulasi
dari autoimun (Halder dan Taliaferro, 2008).
Hubungan yang paling sering antara vitiligo dengan penyakit autoimun
berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa terdapat hubungan HLA dengan vitiligo.
Beberapa jenis HLA dengan vitiligo pada berbagai studi termasuk A2, DR4, DR7,
dan Cw6 (Halder dan Taliaferro, 2008).
Hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun dengan baik telah
diketahui. Tiroid disorder, Hashimoto tiroiditis dan penyakit Graves, sangat

Universitas Sumatera Utara


7

sering berkaitan dengan vitiligo, bersamaan dengan penyakit endokrin lainnya


seperti penyakit Addison dan diabetes mellitus. Alopesia areata, anemia
pernisiosa, sistemik lupus eritematosus, inflammatory bowel disease, rematoid
artritis, psoariasis dan autoimmune polyglandular syndrome adalah kelainan lain
yang berkaitan dengan vitiligo, tetapi ada makna dari beberapa hubungan ini yang
masih diperdebatkan. Bukti yang paling meyakinkan pada patogenesis autoimun
adalah demonstrasi dari sirkulasi autoantibodi pada pasien vitiligo (Halder dan
Taliaferro, 2008).
Sebagai tambahan pada keterlibatan mekanisme imun humoral di
patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat dimana terdapat indikasi proses
imun selular. Kerusakan pada melanosit bisa secara langsung dimediasi oleh
autoreactive cytologic T cells. Peningkatan jumlah sirkulasi limfosit sitotoksik
CD8+ yang reaktif pada melanA/Mart-1 (melanoma antigen yang dikenali oleh sel
T ), glikoprotein 100, dan tirosinase telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo.
Aktivasi Sel T CD8+ telah didemonstrasikan didalam pinggiran luka pada kulit
yang terkena vitiligo. Reseptor Melanocyte-spesific T-cell ditemukan di lapisan
melanoma dan pada pasien vitiligo memiliki struktural yang sama (Halder dan
Taliaferro, 2008).

2.1.3 Epidemiologi
Vitiligo adalah penyakit depigmentasi paling sering dijumpai. Hampir
setengah dari kasus vitiligo muncul sebelum umur 20 tahun. Kedua jenis kelamin
sama-sama terkena vitiligo, dan tidak ada perbedaan yang nyata dalam angka
kejadian menurut jenis kulit dan ras. Nonsegmental (atau generalisasi) vitiligo dan
segmental vitiligo memiliki gejala klinis yang khusus dan riwayat alami.
Nonsegmental vitiligo adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini (tercatat
85-90% dari semua kasus vitiligo), tetapi pada segmental vitiligo, bisa memiliki
onset yang lebih cepat, tercatat 30% pada kasus anak-anak. Pada awal kejadian,
kedua jenis vitiligo baik nonsegmental vitiligo dan segmental vitiligo dapat
menunjukkan fokal vitiligo, yang mana ditunjukkan karakteristiknya oleh bagian
kecil area yang dipengaruhi (<15 cm2) (Taeb dan Picardo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


8

Vitiligo ditemukan pada 0,1-2,9% populasi penduduk dunia, di usia


berapapun, tersering pada usia 10-40 tahun, dengan dominasi pada perempuan. Di
Amerika, sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari
200 orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angkanya
mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%. Sebagian besar kasus
terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola
pewarisannya konsisten dengan trait poligenik (Anurogo dan Ikrar, 2014).
Pada vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan, penyakit ini dimulai
setelah terpapar bahan kimia yang toksik terhadap melanosit. Setelah itu, penyakit
ini berkembang menjadi generalisasi vitiligo. Derivat fenolik/ katekol adalah
bahan kimia mayor yang berhubungan dengan vitiligo, dan dapat menimbulkan
kejadian ini. Berbagai jenis alergen yang menyebabkan allergic contact dermatitis
(ACD) memiliki kemungkinan menjadi faktor pemicu bagi vitiligo kontak atau
vitiligo yang berkaitan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, kontak dengan bahan
kimia dan allergen telah dilaporkan karena telah memicu lesi vitiligo. Secara
etiologi, telah dilaporkan 864 kasus pada bahan kimia leukoderma di India.
Pewarna rambut (27,4%) adalah kasus tersering yang dilaporkan sebagai agen
kausative, diikuti oleh deodorant atau parfum (21,6%) dan deterjen atau
pembersih (15,4%). Telah dilaporkan bahwa diantara 29 pasien yang melaporkan
faktor provokasi dari bahan kimia, diduga terdapat vitiligo yang di induksi oleh
bahan kimia seperti captan, paratertiary butyl phenol (PTBP), dan diphencyprone
telah terdeteksi pada 4 pasien. Bahan kimia yang paling berkontribusi adalah
PTBP yang memberikan 50,7% dari agen kausatif. Bahan kimia yang paling
sering terpapar pada kehidupan sehari-hari pasien adalah produk pembersih
(30,0%), diikuti oleh produk kosmetik (17,0%), pewarna rambut (11,4%), dan
nikel (11,2%). Bagaimanapun, hanya 23 pasien (4,9%) mengatakan bahwa semua
bahan bahan kimia ini diduga menjadi pemicu kejadian vitiligo. Diantara 16
pasien yang menjawab bahwa pewarna rambut memperburuk vitiligo yang telah
dideritanya, hanya 8 pasien yang melaporkan allergic contact dermatitis (ACD)
pada pewarna rambut. Oleh karena itu, allergic contact dermatitis (ACD) pada

Universitas Sumatera Utara


9

pewarna rambut tidak dapat menjadi persyaratan untuk perkembangan vitiligo


(Jeon et al., 2014).
Terdapat 30% penderita dari prevalensi di dunia mempunyai riwayat
keluarga. Perkembangan awal dari lesi, sekitar 25% penderita dijumpai pada usia
dibawah 10 tahun, 50% terjadi sebelum usia 23 tahun dan kurang dari 10% terjadi
pada usia lebih dari 42 tahun. Walaupun vitiligo relatif jarang dijumpai pada bayi
tetapi kongenital vitiligo pernah dilaporkan dan kadang kadang didiagnosa
sebagai piebaldism (Lubis, 2009).
Pada banyak penelitian, vitiligo lebih banyak dijumpai pada wanita
(dewasa) dibandingkan pada laki-laki (dewasa) yaitu 2-3 :1. Sedangkan penelitian
vitiligo pada anak-anak, dijumpai perbandingan yang hampir sama pada kedua
jenis kelamin. Kemungkinan ini disebabkan wanita (dewasa) lebih memberikan
perhatian terhadap penyakit nya dibandingkan laki-laki (dewasa), sehingga lebih
banyak mendapat pengobatan (Lubis, 2009).

2.1.4 Patogenesis
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), ada beberapa patogenesis terbentuknya vitiligo, yakni sebagai berikut:
1. Hipotesis autoimun
Ditandai adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis hashimoto,
anemia pernisiosa, dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum 80%
penderita.
2. Hipotesis neurohumoral
Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor neural
berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol.
Kemungkinan adanya produk yang terbentuk selama sintesis katekol yang
mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat
dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin.
3. Autotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan
DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan

Universitas Sumatera Utara


10

radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor
melanin. Secara in vitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom merupakan
sitotoksik terhadap melanosit.
4. Pajananan terhadap bahan kimia
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan mono benzil eter
hidrokinon dalam sarung tangan atau deterjen yang mengandung fenol.
Mono benzil eter hidrokinon mempunyai mekanisme yang sama dengan
hidrokinon yakni sebagai precursor dalam proses melanogenesis, namun
penggunaan yang berlebihan dari mono benzil eter hidrokinon ini dapat
mengakibatkan zat ini dimetabolisme menjadi radikal bebas yang aktif yang dapat
menghancurkan melanosit itu sendiri (Katsambas dan Stratigos, 2001).

2.1.5 Gejala Klinis


Pasien dengan vitiligo akan menunjukkan satu sampai beberapa makula
amelanotik yang berwarna seperti kapur atau putih susu. Lesi vitiligo biasanya
dapat ditentukan batasnya dengan baik, tetapi garis tepinya dapat dijumpai
scalloped. Makula vitiligo dapat dievaluasi dengan pemeriksaan lampu wood.
Perbesaran lesi secara sentrifugal pada kadar yang tidak dapat diprediksi dan
dapat timbul di semua sisi tubuh, termasuk mukosa membran. Walaupun
demikian, lesi inisial lebih sering timbul pada tangan, lengan bawah, kaki , dan
wajah. Ketika vitiligo timbul pada wajah, vitiligo sering melibatkan penyebaran di
daerah perioral dan periokular (Halder dan Taliaferro, 2008).

2.1.6 Diagnosis Banding


Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011) sebagai diagnosis banding vitiligo ialah piebaldisme, sindrom wardenburg,
dan sindrom woolf. Vitiligo segmental harus dibedakan dengan nevus
depigmentosis. Lesi tunggal atau sedikit harus dibedakan dengan tinea versikolor,
pitiriasis alba, hipomelanosis gutata, dan hipopigmentasi pasca-inflamasi.

Universitas Sumatera Utara


11

Lepra, tinea versikolor, tubero sklerosis, nevus anemikus, atau


depigmentasi juga menjadi pertimbangan untuk menegakkan penyakit vitiligo
(Barankin dan Freiman, 2006).
Vitiligo sering berhubungan dengan penyakit autoimun. Prevalensi yang
paling berhubungan dengan endorinopati adalah disfungsi tiroid, baik hipertiroid
(Grave diseases) atau hipotiroid (Hashimoto tiroiditis) yang biasanya didahului
dengan onset disfungsi tiroid. Penyakit addison, anemia pernisiosa, alopesia
areata, dan diabetes melitus juga sering terjadi peningkatan pada pasien dengan
vitiligo. Pasien dengan autoimun poliendokrinopati kandidiasis-ektodermal
distropi telah meningkatkan prevalensi vitiligo. Mutasi dari autoimmune regulator
(AIRE) telah ditemukan pada sindrom ini. Pasien harus dianamnesis tentang
gejala gejala kelainan ini (Halder dan Taliaferro, 2008).
Vitiligo bisa mempengaruhi aktivitas melanosit di seluruh tubuh,
termasuk sel pigmen pada rambut, bagian dalam telinga, dan retina. Poliosis
(leukotrichia) terjadi pada banyak pasien. Gangguan pada auditori dan visual
terjadi pada beberapa pasien. Aseptik meningitis bisa menjadi hasil dari kerusakan
leptomeningeal melanosit (Halder dan Taliaferro, 2008).
Beragam diagnosis banding untuk vitiligo antara lain: depigmentasi
diinduksi obat atau topikal, depigmentasi pasca-inflamasi (misalnya: skleroderma,
psoriasis, atopic eczema), depigmentasi pasca-trauma, halo naevus, idiopathic
guttate hypomelanosis, progressive macular hypomelanosis, lepra, lichen
sclerosus (untuk vitiligo genital), melanoma-associated leucoderma, melasma,
mycosis fungoides-associated depigmentation, naevus anaemicus, naevus
hipopigmentasi, naevus of Ito, piebaldism, pityriasis alba, pityriasis versicolor,
tuberous sclerosis. Penyakit/gangguan tersering yang dikira/mirip vitiligo adalah:
tinea (pityriasis) versicolor, piebaldism, dan guttate hypomelanosis (Anurogo dan
Ikrar, 2014).

Universitas Sumatera Utara


12

2.1.7 Penegakan Diagnosis


Lampu wood dapat menegaskan wilayah vitiligo dan membantu mencari
perluasannya. Biopsi kulit tidak biasa di lakukan. Dipertimbangkan pemeriksaan
TSH dan kadar glukosa darah puasa (Barankin dan Freiman, 2006).
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011) terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis vitiligo, yaitu:
1. Evaluasi klinis
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis dan gambaran klinis. Pada
anamnesis ditanyakan:
a. awitan penyakit
b. riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini
c. riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes melitus, dan
anemia pernisiosa.
d. kemungkinan faktor pencetus, misalnya stres, emosi, terbakar surya,
dan pajanan bahan kimiawi.
e. riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih.
2. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaaan Hematoksilin Eosin (HE) tampaknya normal kecuali
tidak ditemukan melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula.
Reaksi DOPA untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi, tetapi meningkat
pada tepi yang berpigmentasi.
3. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan DOPA
menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit normal.
Diagnosis pada vitiligo ditegakkan dengan pemeriksaan fisik.
Bagaimanapun, adanya pertimbangan bahwa terdapat hubungan vitiligo dengan
penyakit autoimun lainnya, beberapa pemeriksaan laboratorium membantu
menegakkan diagnosis, termasuk kadar TSH (thyroid stimulating hormone),
antibodi antinuklear, dan pemeriksaan darah lengkap. Para klinisi juga harus
melakukan investigasi dari serum antitiroglobulin dan antitiroid peroksida
antibodi, khususnya ketika pasien mempunyai tanda dan gejala dari penyakit

Universitas Sumatera Utara


13

tiroid. Antitiroid peroksida antibodi, menjadi tanda yang sensitif dan spesifik dari
kelainan autoimun tiroid. Berdasarkan definisi, penyakit vitiligo adalah penyakit
dimana kurangnya melanosit pada lesi kulit. Demikian juga dengan permukaan
dermal, perivaskular dan limfositik perifolikular infiltrat primer dapat juga
diamati pada batas lesi vitiligo dan lesi awal, yang terdiri dari mediasi sel imun
yang melakukan proses kerusakan melanosit pada vitiligo (Halder dan Taliaferro,
2008).

2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Soepardiman dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(2011), pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk
menggunakan penutup muka agar bagian yang terkena vitiligo tidak tampak.
Pengobatan sistemik adalah dengan trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan
gabungan sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet
gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0.6 mg/kg berat badan
dan 2 jam sebelum penyinaran selama 6 bulan sampai setahun. Pengobatan
dengan psoralen secara topikal yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran
sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pada beberapa penderita
kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason valerat 0.1% atau klobetasol
propionat 0.05% efektif menimbulkan pigmen (Soepardiman, 2011).
Pada usia dibawah 18 tahun hanya diobati secara topikal saja dengan
salep metoksalen 1% yang diencerkan 1:10 dengan spiritus dilutus. Cairan
tersebut dioleskan pada lesi. Setelah didiamkan 15 menit lalu dijemur selama 10
menit. Pada usia di atas 18 tahun, jika kelainan kulitnya generalisata,
pengobatannya digabung dengan kapsul metoksalen (10 mg). Obat tersebut
dimakan 2 kapsul (20 mg) 2 jam sebelum dijemur, seminggu 3 kali. Bila lesi
lokalisata, hanya diberikan pengobatan topikal. Jika setelah 6 bulan tidak ada
perbaikan pengobatan dihentikan dan dianggap gagal (Soepardiman, 2011).
MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% dapat dipakai untuk
mengobati vitiligo yang lebih luas dari 50% permukaan kulit dan tidak berhasil

Universitas Sumatera Utara


14

dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis kontak pengobatan


dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang normal (Soepardiman, 2011).

Tabel 2.1 Penanganan pada vitiligo


Tipe Vitiligo Penanganan
Segmental dan Lini pertama : hindari faktor pemicu atau pencetus, terapi
nonsegmental/ lokal ( kortikosteroid topikal, inhibitor calcineurin)
terbatas Lini kedua : terapi localized narrow-band UVB, terutama
(melibatkan lampu monokromatis excimer atau laser
<2-3% Lini ketiga : pertimbangkan teknik pembedahan jika
permukaan repigmentasi secara kosmetik di daerah yang terlihat kurang
tubuh) memuaskan
Nonsegmental Lini pertama : stabilkan dengan terapi narrow-band UVB
(melibatkan minimal 3 bulan, durasi optimal setidaknya 9 bulan jika ada
>3% respon ; kombinasikan dengan terapi topikal, termasuk
permukaan penguatan (reinforcement) dengan terapi UVB pada target
tubuh) Lini kedua : pertimbangkan kortikosteroid sistemik atau
agen imunosupresif bila terdapat *extension under narrow-
band UVB therapy*, namun data pendukung pendekatan ini
terbatas
Lini ketiga : pertimbangkan pembedahan di daerah yang
menunjukkan respons minimal 1 tahun, terutama di daerah
bernilai kosmetik tinggi (misalnya: wajah); fenomena
Koebners dapat merusak kelangsungan hidup cangkok kulit
(graft survival); kontraindikasi relatif di daerah seperti
punggung tangan
Lini keempat : pertimbangkan depigmentasi (monobenzyl
ether of hydroquinone atau hanya mequinol atau
berhubungan dengan Q-switched ruby laser) jika lebih dari
50% area yang dirawat atau diterapi tidak berespons atau
jika area terlihat amat jelas, seperti di wajah atau tangan
Sumber : Anurogo dan Ikrar, 2014

Universitas Sumatera Utara


15

Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna setelah 1


tahun. Kemungkinan akan timbul kembali pigmentasi yang normal pada daerah
yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit gelap sehingga harus
dicegah dengan tabir surya (Soepardiman, 2011).
Cara lain ialah tindakan pembedahan dengan tandur kulit, baik pada
seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya kultur sel melanosit. Daerah ujung
jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberikan hasil pengobatan yang buruk
(Soepardiman, 2011).

2.1.9 Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo dapat bervariasi dan tidak dapat di prediksi.
Repigmentasi spontan yang secara kosmetik memuaskan pasien jarang terjadi.
Bintik repigmentasi pada bercak menandakan bahwa melanosit yang berasal dari
lapisan akar terluar pada folikel rambut memproduksi melanin. Penting untuk
menentukan apakah vitiligonya stabil atau progresif, yang kedepannya
menentukan pemilihan terapi (Sterry et al., 2006).
Klinis dari sub-tipe vitiligo belum dapat memprediksi bagian anatomi
yang terkena di masa depan atau aktivitas dari penyakit ini (Halder dan Taliaferro,
2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai