Disusun Oleh:
Kelompok 5
Puji syukur atas Kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-
Nya laporan akhir praktikum Kimia Fisika ini dapat diselesaikan. Laporan ini
bertujuan untuk melengkapi sebagian dari syarat-syarat mengikuti Final Ujian
Praktikum Kimia Fisika pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas
Malikussaleh.
Dengan segala kerendahan hati penulis yakin laporan ini sangat jauh dari
kesempurnaan sehingga masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki. Untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Kelompok 5
DAFTAR ISI
2.3.1 Konsentrasi
Konsentrasi berkaitan dengan jumlah partikel yang bereaksi. Makin besar
konsentrasi, maka makin banyak partikel sehingga semakin banyak tumbukan
yang terjadi. dengan demikian semakin banyak partikel yang bertumbukan, maka
laju reaksi pun semakin besar (Anwar, 2005).
Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi dapat dijelaskan sebagai berikut:
supaya suatu reaksi dapat berlangsung, partikel-partikel tersebut pertama-tama
haruslah bertubrukan. Hal ini berlaku ketika dua partikel itu larutan atau salah
satu larutan satunya lagi benda padat. Jika konsentrasi tinggi maka kemungkinan
untuk bertubrukan pun besar. Jika reaksi hanya melibatkan satu partikel tersebut
ke berbagai arah, maka tumbukan-tumbukan tidak saling berhubungan.
Hubungan antara konsentrasi zat dengan laju reaksi dapat bermacam-
macam. Ada reaksi yang berlangsung dua kali lebih cepat bila konsentrasi
pereaksi dinaikkan dua kali dari konsentrasi sebelumnya. Ada juga reaksi
berlangsung empat kali lebih cepat jika konsentrasi pereaksi dinaikkan dua kali.
Untuk laju reaksi yang mengikuti persamaan:
aA+bB C + D. (2.6)
secara matematik laju reaksinya dapat dinyatakan dengan:
V=k[A]m[B]n. (2.7)
Pangkat-pangkat pada faktor konsentrasi dalam persamaan laju reaksi
disebut dengan orde reaksi. Jadi, m adalah orde terhadap zat A dan n adalah orde
terhadap zat B. Di sini, tidak ada hubungan antara orde reaksi dengan koefisien
reaksi (a dan b) karena orde reaksi diperoleh dari eksperimen. Dalam percobaan
ini akan dipelajari penentuan laju reaksi dan tetapan laju dari reaksi antara
Na2S2O3 dengan HCl. Tiosulfat bereaksi dengan asam membentuk endapan
kuning belerang dan gas belerang dioksida. Adapun reaksi yang terjadi antara
natrium tiosulfat dengan asam adalah sebagai berikut.
S2O32-(aq) + 2H3O+(aq) H2S2O3(aq) + 2H2O(l)........................ (2.8)
2.3.3 Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi laju
reaksi. Besarnya temperatur menyebabkan lajureaksi semakin besar. Temperatur
juga akan mempengaruhi harga konstanta suatu laju reaksi. Kecepatan lajureaksi
sebagai pengaruh suhu, dapat dilihat pada proses pembuatan kopi. Gula akan lebih
cepat larut apabila air pada gelas lebih panas. Sebaliknya gulaakan lebih lambat
larut apa bila air pada gelas itu masih dingin.
Pada umumnya reaksi akan lambat cepat apabila suhu dinaikkan. Dengan
menaikan suhu maka energi kinetik molekul-molekul zat yang bereaksi akan
bertambah sehingga semakin banyak molekul yang memiliki energi sama atau
lebih besar dari Ea. hubungan antara nilai tetapan laju reaksi (k) terhadap suhu
dinyatakan oleh persamaan Arrhenius:
k=A.e E/RT (2.9)
2.3.4 Katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempercepat atau memperlambat laju
reaksi. Zat yang mempercepat laju reaksi disebut katalisator. Dan zat yang
memperlambat suatu reaksi disebut inibitor.
Ada dua jenis katalis yaitu:
1. Katalis homogen: yaitu katalis yang wujudnya sama dengan wujud
pereaksi.
2. Katalis heterogen: yaitu katalis yang wujudnya berbeda dengan wujud
partikel laju reaksi bergantung pada energi rintangan reaksi atau energi
aktivitasi katalis juga didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat
mengurangi energi aktivitasi suatu reaksi.
3.1.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. HCl 1 M
2. NaS2O3 0,25 M
3. Aquadest
Bagian B
Adapun prosedur kerja yang dilakukan sebagai berikut:
1. Dimasukkan 10 ml NaS2O3 0,25 M kedalam gelas ukur, lalu diencerkan
hingga volumenya menjadi 50 ml.
2. Diukur 2 ml HCl 1 M dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditempatkan
gelas ukur dan tabung reaksi tersebut dengan beaker glass yang berisi air
pada suhu 48C. Dibiarkan kedua larutan beberapa lama sampai mencapai
suhu kesetimbangan dan diukur suhu dengan termometer dan dicatat.
3. Ditambahkan HCl ke dalam larutan tiosulfat tersebut, pada saat yang
bersamaan dihidupkan stopwatch. Larutan diaduk lalu ditempatkan gelas
ukur di atas kertas bertanda silang hitam, dicatat waktu yang dibutuhkan
sampai tanda silang hitam menjadi kabur bila dilihat dari atas.
4. Diulangi langkah kerja diatas pada suhu 53C dan 58C.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Kecepatan
Reaksi (Bagian A)
1
No. Volume Relatif Tiosulfat (ml) Waktu (detik) (detik -1 )
waktu
1 20 17,49 0,057
2 15 22,12 0,045
3 5 42,51 0,023
Tabel 4.2 Hasil Percobaan Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Kecepatan
Reaksi (Bagian B)
1 Waktu 1 1
No T (C) T (K) (K) (detik -1 ) Log waktu
suhu (detik) waktu
4.2 Pembahasan
Pada percobaan A dilakukan dalam 3 tabung yang berbeda-beda dengan
volume larutan tiosulfat yang berbeda yaitu 20 ml, 15 ml, dan 5 ml. Setiap tabung
mengalami waktu yang berbeda-beda untuk mencapai suatu reaksinya. Reaksi
yang membedakannya adalah ketika reaksi mencapai titik keruhnya yang ditandai
dengan terjadinnya perubahan warna larutan dan sampai tanda silang di bawah
tabung terlihat kabur. Pada saat warna larutan berubah dan tanda silang menjadi
kabur maka dicatat waktu yang dibutuhkan untuk membuat larutan berubah
warna.
45
40
35
Laju Reaksi (s-1)
30
25
20
15
10
5
0
5 15 20
Volume Tiosulfat (ml)
0.04
0.035
Laju Reaksi (s-1)
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.005
0
48 53 58
Suhu (C)
Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara Suhu (C) dengan Laju Reaksi (s-1)
Dari gambar di atas terlihat pada suhu 48C campuran Na2S2O3 dan HCl
menghabiskan waktu 46,33 detik untuk bereaksi, kemudian pada saat suhu 53C
campuran Na2S2O3 dan HCl menghabiskan waktu 33,01 detik untuk bereaksi dan
pada suhu 58C campuran Na2S2O3 dan HCl menghabiskan waktu 26,10 detik
untuk bereaksi. Pada percobaan ini terlihat bahwa suhu sangat berpengaruh pada
laju reaksi. Semakin tinggi suhu larutan maka waktu yang diperlukan untuk
bereaksi juga akan semakin cepat. Hal ini terjadi karena suhu dengan waktu
berbanding terbalik.
-1.3
321 326 331
-1.35
-1.4
Log V (s-1)
-1.45
-1.5
-1.55
-1.6
-1.65
-1.7
Suhu (K)
Gambar 4.3 Grafik Hubungan antara Log V (s-1) dan Suhu (K)
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa pada suhu 321 K menghasilkan
Log laju reaksi sebesar -1,66, pada suhu 326 K menghasilkan Log laju reaksi
sebesar -1,52, dan pada suhu 331 K menghasilkan Log dari laju reaksi sebesar -
1,42. Dari grafik terlihat bahwa semakin tinggi suhunya, maka nilai log dari laju
reaksi juga semakin besar. Hal ini dikarenakan nilai log dari laju reaksi
dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan larutan untuk bereaksi sehingga
menyebabkan tanda silang menjadi kabur. Hubungan antara suhu dan waktu yang
diperlukan adalah semakin tinggi suhunya maka waktu yang dibutuhkan untuk
larutan bereaksi akan semakin cepat sehingga menyebabkan tanda silang menjadi
kabur.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Semakin tinggi volume tiosulfat dalam larutan, maka semakin cepat waktu
yang diperlukan untuk bereaksi dan semakin rendah volume tiosulfat maka
semakin lama waktu yang diperlukan untuk bereaksi.
2. Hasil percobaan bagian A, saat volume tiosulfat 5 ml diperlukan waktu
42,51 detik untuk bereaksi dan laju reaksinya sebesar 0,057 detik-1, saat
volume tiosulfat 15 ml diperlukan waktu 22,12 detik untuk bereaksi dan
laju reaksinya sebesar 0,045 detik1, dan saat volume tiosulfat 20 ml
diperlukann waktu 17,49 detik untuk bereaksi dan laju reaksinya sebesar
0,057 detik -1.
3. Semakin tinggi suhu larutan, maka semakin cepat waktu yang diperlukan
untuk bereaksi dan semakin rendah suhu larutan, maka semakin lama
waktu yang diperlukan untuk bereaksi.
4. Hasil percobaan bagian B, saat suhu 48C diperlukan waktu 46,33 detik
untuk bereaksi dan laju reaksinya sebesar 0,022 detik-1, saat suhu 53C
diperlukan waktu 33,01 detik untuk bereaksi dan laju reaksinya sebesar
0,030 detik-1, dan saat suhu 58C diperlukan waktu 26,10 detik untuk
bereaksi dan laju reaksinya sebesar 0,038 detik-1.
5. Suhu dan konsentrasi sangat berpengaruh terhadap suatu kecepatan reaksi.
5.2 Saran
Sebaiknya pada percobaan ini, praktikan berhati-hati dan lebih teliti saat
memperhatikan waktu yang diperlukan untuk memburamkan tanda silang hitam
karena dapat mempengaruhi hasil laju reaksi yang didapatkan sehingga laju reaksi
yang didapatkan tidak akurat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian A
1
1. Menghitung laju reaksi
waktu
a. Pada konsentrasi Na2S2O3 20 ml
1 1
= = 0,057 s-1
waktu 17,49 s
b. Pada konsentrasi Na2S2O3 15 ml
1 1
= = 0,045 s-1
waktu 22,12 s
c. Pada konsentrasi Na2S2O3 5 ml
1 1
= = 0,023 s-1
waktu 42,51 s
1,267 = [1,3]x
x = -0,011
V2 C2
b. =
V3 C3
0,045 15
=
0,023 5
1,956 = [15]x
x = -0,88
Bagian B
1
1. Menghitung laju reaksi
waktu
a. Pada suhu 48C
1 1
= = 0,022 s-1
waktu 46,33 s
1
2. Menghitung Log waktu
1
4. Harga dalam K
t
1 1
a. = = 3,12 103 K-1
t 321 K
1 1
b. = = 3,07 103 K-1
T 326 K
1 1
c. = = 3,02 103 K-1
T 331 K
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT
C-1
C-2
1.1 Judul Praktikum : Distribusi Zat Terlarut antara Dua Pelarut yang
Tidak Bercampur.
1.2 Tanggal Praktikum : 06 April 2016
1.3 Pelaksana Praktikum: 1. Mona Melisza J.F Lubis (110140019)
2. Ilham Kurniadi (140140004)
3. Malasari Nasution (140140007)
4. Afna Nurhusna (140140017)
5. Fadlina Yani (140140023)
1.4 Tujuan Praktikum
Menentukan konstanta kesetimbangan suatu zat terlarut terhadap dua
pelarut yang tidak bercampur, dan menentukan derajat disosiasi zat terlarut dalm
pelarut tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi campuran-campuran merupakan suatu teknik dimana suatu
larutan(biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua
(biasanya organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan dengan yang
pertama, dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solut) ke
dalam pelarut kedua. Untuk suatu zat terlarut A yang didistribusikan antara dua
fasa tidak tercampurkan a dan b, hukum distribusi (hukum partisi) Nernst
menyatakan bahwa asal keadaan molekulnya sama dalam kedua cairan dan
temperatur adalah konstan.
Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak
dapat campur. Pelarut umum dipakai adalah air dan pelarut organik lain seperti
CHCl3, eter atau pentana. Garam anorganik, asam-asam dan basa-basa yang dapat
larut dalam air bisa dipisahkan dengan baik melalui ekstraksi ke dalam air dari
pelarut yang kurang polar. Ekstraksi lebih efisien bila dilakukan berulang kali
dengan jumlah pelarut yang lebih kecil daripada jumlah pelarutnya banyak tetapi
ekstraksinya hanya sekali.
Tiga metode dasar pada ekstraksi cair-cair adalah ekstraksi bertahap,
ekstraksi kontinyu, dan ekstraksi counter current. Ekstraksi bertahap merupakan
cara yang paling sederhana. Caranya cukup dengan menambahkan pelarut
pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut semula kemudian dilakukan
pengocokan sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi yang akan diekstraksi
pada kedua lapisan, setelah ini tercapai lapisan didiamkan dan dipisahkan.
Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada pada banyaknya ekstraksi yang
dilakukan. Hasil yang baik diperoleh jika jumlah ekstraksi yang dilakukan
berulang kali dengan jumlah pelarut sedikit-sedikit (Khopkar, 1990).
Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat baik untuk
zat organik maupun zat anorganik. Cara ini juga dapat digunakan untuk analisis
makro maupun mikro. Selain untuk kepentingan analisis kimia, ekstraksi juga
banyak digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan preparatif dalam bidang kimia
organik, biokimia dan anorganik di laboratorium. Pada penerapan praktis
ekstraksi pelarut ini, perlu diperhatikan fraksi zat terlarut total dalam fasa yang
satu atau yang lainnya, tidak peduli bagaimanapun cara-cara disosiasi, asosiasi
atau interaksinya dengan spesi-spesi lain yang terlarut. Untuk memudahkan maka
diperkenalkan istilah angka banding distribusi.
Partisi zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak dapat campur
menawarkan banyak kemungkinan yang menarik untuk pemisahan analitis. Bila
suatu zat terlarut membagi diri antara dua cairan yang tidak dapat campur maka
ada suatu hubungan yang pasti antara konsentrasi zat terlarut dalam dua fasa pada
kesetimbangan. Suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara dua zairan yang
tidak dapat campur. Di dalam suatu proses ekstraksi, orang biasanya menghendaki
jumlah zat yang diekstrak dalam fase air sekecil mungkin. Persamaan yang
digunakan untuk menyatakan jumlah zat yang tersisa dalam fase air dapat
dinyatakan sebagai berikut:
n
V
Wn = W ..(2)
Kd .V S
Keterangan:
Wn = jumlah zat terlarut yang tersisa setelah n kali ekstraksi (gram)
W = jumlah zat terlarut mula-mula (gram)
V = volume larutan fasa 1 (ml)
Kd = angka banding distribusi
S = jumlah pelarut organik yang dipakai (ml)
n = jumlah n kali ekstraksi
Persamaan ini memperlihatkan bahwa ekstraksi sempurna jika S kecil dan
n besar. Jadi hasil yang baik diperoleh dengan jumlah ekstraksi yang relatif besar
dan jumlah pelarut yang kecil (Sukarjo,1985).
2.3 Titrasi
Titrasi adalah metode analisa kimia secara kuantitatif yang biasa
digunakan dalam laboratorium untuk menentukan konsentrasi dari reaktan. Titrasi
dilakukan untuk mengukur volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik
ekivalen. Istilah yang paling sering ditemui dalam titrasi yaitu titik ekuivalen dan
titik akhir titrasi. Titik ekivalen adalah saat yang menunjukkan bahwa ekivalen
perekasi-pereaksi sama. Di dalam prakteknya titik ekivalen sukar diamati, karena
hanya meruapakan titik akhir teoritis atau titik akhir stoikometri. Titik akhir titrasi
merupakan keadaan dimana penambahan satu tetes zat penitrasi (titran) akan
menyebabkan perubahan warna indicator. Ada beberapa macam jenis titrasi, yaitu:
1. Titrasi Argentometri
Titrasi argentometri adalah jenis titrasi yang digunakan khusus untuk
reaksi pengendapan. Prinsip umumnya adalah mengenai kelarutan dan tetapan
hasil kali kelarutan dari reagen-reagen yang bereaksi. Secara umum, metode titrasi
argentometri ada tiga macam. Pertama, metode Mohr. Pada metode ini tidak ada
indikator yang digunakan. Sehingga untuk menandai titik akhir titrasi adalah
tingkat kekeruhan dari larutan sampel. Kedua, metode Volhard. Metode ini
menggunakan indikator yang akan bereaksi dengan kelebihan larutan standar
membentuk ion kompleks dengan warna tertentu. Ketiga, metode Fajans. Metode
ini menggunakan indikator adsorpsi. Endapan yang terbentuk dari reaksi utama
dapat menyerap indikator adsorpsi pada permukaannya sehingga endapan tersebut
terlihat berwarna.
2. Titrasi Kompleksasi
Titrasi kompleksasi merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi
atau pembentukan ion kompleks. Indikator yang digunakan biasanya akan
bereaksi dengan kelebihan titran (sama-sama membentuk ion kompleks) dan
menunjukkan perubahan warna. Pada titrasi jenis ini ada banyak hal yang harus
ditimbang dan diperhatikan mengingat pembentukan ion kompleks adalah spesifik
pada kondisi tertentu.
3. Titrasi Asam Basa
Titrasi asam basa merupakan metode analisis kuantitatif yang berdasarkan
reaksi asam basa. Sesuai persamaan umum reaksi asam basa yaitu:
asam + basa garam + air .....................................(3)
Indikator yang biasa digunakan adalah indikator yang dapat memprofilkan
perubahan warna pada trayek pH tertentu.
4. Titrasi Redoks
Titrasi redoks merupakan jenis titrasi dengan reaksi redoks. Secara umum
ada tiga macam reaksi redoks. Pertama, titrasi iodometri. Titrasi iodometri
merupakan titrasi redoks dengan menggunakan I2 dan merupakan jenis reaksi
tidak langsung. Kedua, titrasi iodimetri. Titrasi iodimetri merupakan titrasi redoks
dengan I2 juga, bedanya yaitu pada iodometri I2 yang digunakan langsung dalam
wujud I2 sehingga disebut juga reaksi langsung. Ketiga, titrasi permanganometri.
Titrasi permanganometri merupakan reaksi titrasi dengan memanfaatkan ion Mn2+
(Wahyudi, 2000).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.2 Bahan-Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Asam asetat 1,15 N dan 2,4 N
2. Indicator PP 10%
3. Larutan NaOH 1 N
4. Chloroform
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Distribusi Zat Terlarut antara Dua Pelarut yang Tidak
Bercampur
Konsentrasi Volume (ml) NaOH untuk Volume (ml) untuk titrasi
Sampel konsentrasi CH3COOH awal CH3COOH sisa ekstraksi
CH3COOH
I II Rata-rata I II Rata-rata
1,15 N 0,4 ml 0,6 ml 0,5 ml 0,2 ml 0,3 ml 0,25 ml
2,4 N 1,4 ml 1,2 ml 1,3 ml 1,0 ml 1,2 ml 1,1 ml
4.2 Pembahasan
Pada percobaan ini digunakan sampel CH3COOH dengan konsentrasi yang
berbeda, yaitu 1,15 N dan 2,4 N. Masing- masing larutan dalam erlenmeyer
ditambah 2 tetes indikator PP 10% kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 1 N
sampai terbentuk titik ekivalen dan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali. Pada
titrasi dengan menggunakan CH3COOH 1,15 N didapatkan hasil titrasi pertama
sebanyak 0,4 ml dan pada titrasi kedua didapatkan hasil titrasi sebanyak 0,6 ml
sehingga didapatkan rata-rata hasil titrasi sebanyak 0,5 ml. Pada percobaan
dengan menggunakan CH3COOH konsentrasi 2,4 N dihabiskan volume NaOH
pada titrasi pertama sebanyak 1,4 ml dan pada titrasi kedua sebanyak 1,2 ml
sehingga didapatkan rata-rata hasil titrasi sebanyak 1,3 ml. Dari data yang
didapatkan terlihat bahwa pada percobaan dengan menggunakan CH3COOH 2,4
N lebih banyak menghabiskan volume NaOH dibandingkan dengan CH3COOH
1,15 N. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi CH3COOH yang
digunakan maka semakin banyak volume NaOH yang diperlukan untuk mencapai
titik ekuivalennya.
Percobaan untuk menitrasi sisa ekstraksi CH3COOH juga menggunakan
konsentrasi CH3COOH yang berbeda yaitu 1,15 N dan 2,4 N. Pada percobaan ini
25 ml CH3COOH dimasukan ke dalam corong pemisah lalu ditambahkan
chloroform sebanyak 25 ml dan dikemudian larutan ini dikocok sampai 20 menit
setelah itu larutan tersebut didiamkan salama 10 menit sampai terbentuk 2 lapisan
di larutan tersebut. Lalu diambil 10 ml dan dimasukan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan 2 tetes indikator PP dan kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 1
N sampai terbentuk titik ekuivalen dan diulangi 2 kali. Pada percobaan dengan
menggunakan CH3COOH dengan konsentrasi 1,15 N didapatkan hasil titrasi pada
percobaan pertama sebanyak 0,2 ml dan pada percobaan kedua didapat hasil titrasi
sebanyak 0,3 ml, sehingga didapatkan rata-rata hasil titrasinya sebanyak 0,25 ml.
Pada percobaan kedua yaitu sama dengan seperti percobaan pertama, hanya saja
menggunakan konsentrasi CH3COOH yang berbeda yaitu 2,4 N. Pada titrasi
pertama didapatkan hasil titrasinya sebanyak 1,0 ml dan pada titrasi kedua
didapatkan hasil titrasi sebanyak 1,2 ml, sehingga didapatkan rata-rata hasil titrasi
sebanyak 1,1 ml. Dari data yang didapatkan terlihat bahwa pada percobaan
dengan menggunakan CH3COOH 2,4 N lebih banyak menghabiskan volume
NaOH dibandingkan dengan CH3COOH 1,15 N. Hal ini disebabkan karena
semakin tinggi konsentrasi CH3COOH, maka semakin banyak volume NaOH
yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalennya. Volume titrasi yang dihabiskan
dengan menggunakan CH3COOH sisa ekstraksi lebih sedikit dibandingkan
dengan menggunakan CH3COOH tanpa ekstraksi.
. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan yang telah diamati maka
diketahui bahwa larutan CH3COOH dan chloroform tidak terjadi pencampuran.
Larutan ini mengalami pemisahan karena tidak terjadi kesetimbangan antara
kedua larutan tersebut. Dalam hal ini, campuran mengalami sifat heterogan
dimana campuran ini dapat dipisahkan secara mekanis. Larutan chloroform berada
diatas sedangkan larutan CH3COOH terletak dibawah larutan chloroform.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Air dan chloroform merupakan dua pelarut yang tidak saling bercampur.
2. Asam asetat yang larut dalam air kalau didiamkan akan berada di bawah
sedangkan larutan asam asetat yang larut dalam chloroform kalau
didiamkan akan berada di bagian atas.
3. Volume titrasi NaOH rata-rata yang dihabiskan untuk konsentrasi
CH3COOH 1,15 N sebanyak 0,5 ml dan untuk konsentrasi CH3COOH
1,15 N sisa ekstraksi dihabiskan sebanyak 0,25 ml.
4. Volume titrasi NaOH rata-rata yang dihabiskan untuk konsentrasi
CH3COOH 2,4 N sebanyak 1,3 ml dan untuk konsentrasi CH3COOH 2,4
N sisa ekstraksi dihabiskan sebanyak 1,1 ml.
5. Semakin besar konsentrasi asam asetat yang digunakan maka semakin
banyak volume NaOH yang dihabiskan.
6. Volume titrasi yang dihabiskan dengan menggunakan CH3COOH sisa
ekstraksi lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan CH3COOH
tanpa ekstraksi.
5.2 Saran
Sebaiknya pada percobaan ini, praktikan berhati-hati dan lebih teliti saat
memperhatikan titik akhir dari titrasi karena dapat mempengaruhi hasil yang
didapatkan nantinya, karena kesalahan dalam menentukan titik akhir titrasi dapat
menyebabkan hasil yang didapatkan tidak akurat lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1 1 log (0,25)
= = 1
1,15 log ( )
0,756
0,602
= 0,869 = 0,121
n
C
K = C
log C = 4,976
0,869
= 1,15
= 0,756
Cekstraksi = (0,5-0,25) mL
= 0,25
Log Cekstraksi = -0,602
1 1 log (1,1)
= 2,4 = 1
log ( )
0,174
0,041
= 0,417 = 0,759
n
C
K = log C = 0,054
C
0,417
= 2,4
= 0,174
Cekstraksi = (1,3-1,1) mL
= 0,2
Log Cekstraksi = -0,69
LAMPIRAN C
GRAFIK
3
2.494368452
Log Ckloroform
2
1 y = 4.3544x - 6.2144
0
-1 0 0.5 1 1.5 2 2.5
-2 -1.860034782
-3
Log Cair
Grafik Intercept dan Slope Antara Log Cair dengan Log Ckloroform
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
Buret
Corong Pemisah
Pipet Volume
Erlenmeyer
Statif
Gelas Ukur
D-1
D-2
Pipet Tetes
Corong
Stopwatch
Penyangga Corong Pemisah
ABSTRAK
Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap menjadi gas bila terjadi
peningkatan suhu. Berat molekul adalah jumlah massa atom dari unsur-unsur
yang membentuk molekulnya. Berat molekul suatu senyawa dapat ditentukan
dengan menggunakan pengukuran massa jenis gas dan menerapkan persamaan
gas ideal. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menentukan berat molekul suatu
senyawa volatil berdasarkan pengukuran massa jenis gas dan penerapkan
persamaan gas ideal. Metode pada praktikum ini yaitu dengan penimbangan
erlenmeyer yang kosong dan berisi senyawa kloroform. Selisih dari penimbangan
dianggap sebagai berat senyawa kloroform. Dengan menggunakan hukum gas
ideal maka dapat diperoleh berat molekul dari senyawa kloroform tersebut. Nilai
volume dapat diperoleh dari pengukuran berat air yang dapat diisikan dalam
erlenmeyer dikalikan dengan densitas. Berat molekul senyawa kloroform yang
didapat yaitu 118,9 gram/mol. Hal ini berbeda dengan berat molekul senyawa
kloroform secara teoritis yaitu 119,5 gram/mol. Massa dan suhu senyawa
berbanding lurus dengan berat molekulnya sehingga semakin besar massa dan
suhu pada senyawa tersebut maka semakin tinggi berat molekulnya. Tekanan dan
volume senyawa berbanding terbalik dengan berat molekul senyawa sehingga
semakin besar tekanan dan volume senyawa tersebut maka semakin rendah berat
molekul senyawa itu.
Sifat-sifat gas ideal dimiliki oleh gas inert (He, Ne, Ar dan lain-lain) dan
uap Hg dalam keadaan yang sangat encer. Gas yang umumnya terdapat di alam
seperti N2, O2, CO2, NH3, dan lainnya mempunyai sifat yang sedikit berlainan dari
sifat gas ideal. Namun pada kenyataannya diketahui bahwa suatu gas selalu
dipengaruhi oleh perubahan tekanan dan suhu lingkungan. Berbagai hukum yang
dikenal sebagai hukum-hukum gas menyatakan ketergantungan sejumlah gas
terhadap tekanan, suhu, dan volume. Hukum-hukum gas ini diperoleh dari
pengamatan-pengamatan eksperimental. Maka dari itu berat molekul senyawa
volatil dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan gas ideal yang
berdasarkan pengukuran massa jenis gas (Halliday dan Resnick, 1978).
Kerapatan gas dipergunakan untuk menghitung berat molekul suatu gas,
caranya ialah dengan cara menggabungkan suatu volume gas yang akan dihitung
berat molekulnya dengan berat gas yang telah diketahui berat molekulnya sebagai
standar pada temperatur atau suhu dan tekanan yang sama. Kerapatan gas
didefinisikan sebagai berat gas dalam gram per liter. Untuk menentukan berat
molekul ini maka ditimbang sejumlah gas tertentu kemudian diukur tekanan,
volume dan suhunya. Hukum gas ideal menyatakan sebagai berikut:
P.V = n.R.T ........................................................(2.1)
dimana
m
n = ................................................(2.2)
BM
Sehingga
m
P.V = .R.T..............................(2.3)
BM
Persamaan tersebut menjadi:
m
P.(BM) = .R.T = .R.T.................(2.4)
V
Keterangan:
P = Tekanan (atm)
V = Volume (L)
T = Suhu (K)
R = Tetapan gas ideal (L atm/mol K)
= Massa Jenis (g/L)
Bila gas ideal sifat-sifatnya dapat dinyatakan dengan persamaan yang
sederhana yaitu P.V = n.R.T, maka sifat-sifat gas sejati hanya dapat dinyatakan
dengan persamaan yang lebih kompleks, lebih pada tekanan yang tinggi dan
temperatur yang rendah. Kerapatan biasanya merujuk pada ukuran seberapa
banyak suatu densitas berada dalam suatu jumlah yang tetap dalam suatu ruang.
Kerapatan adalah massa per satuan volume pada temperatur dan tekanan tertentu,
dinyatakan dalam cgs dalam gram per sentimeter kubik (g/cm3 = g/ml) dan dalam
satuan SI dalam kilogram per meter kubik (kg/m3). Persamaan untuk kerapatan
yaitu:
m
= .............................................................(2.5)
v
Suatu aliran dari udara kering yang bersih dilewatkan cairan yang akan
diukur tekanan uapnya. Ketelitian dari pengukuran ini tergantung pada kejenuhan
udara tersebut. Untuk menjamin kejenuhan ini maka udara dilewatkan ke cairan
tersebut secara seri. Bila V adalah volume dari cairan tersebut pada temperatur T
maka tekanan uap dapat dihitung dengan hukum gas ideal :
P = RT.........................(2.6)
Hukum gabungan gas untuk suatu sampel gas menyatakan bahwa
perbandingan PV/T adalah konstan. Sebenarnya untuk gas-gas real (nyata)
seperti metana (CH3) dan oksigen, setelah dilakukan pengukuran secara cermat
ternyata hal ini tidak benar. Gas hipotesis yang dianggap akan mengikuti hukum
gabungan gas pada berbagai suhu dan tekanan yang disebut dengan gas ideal. Gas
nyata akan menyimpang dari sifat gas ideal. Pada tekanan yang relatif rendah
termasuk pada tekanan atmosfer serta suhu yang tingg semua gas akan menempati
keadaan ideal sehingga hukum gas gabungan dapat dipakai untuk segala macam
gas yang digunakan (Brady, 1999).
Persamaan gas ideal bersama-sama dengan massa jenis gas dapat
digunakan untuk menentukan berat molekul senyawa volatil, tetapi proses ini
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Kelebihan digunakan
konsep gas ideal yaitu sebagai berikut:
1. Dalam penerapannya menggunakan penangas air sebagai pengatur suhu.
Sehingga proses ini lebih cocok untuk senyawa yang memiliki titik didih
kurang dari 100oC.
2. Dengan adanya faktor koreksi, maka dapat meminimalkan kesalahan
perhitungan data hasil percobaan.
3. Dengan metode ini, kita dapat menentukan berat molekul suatu senyawa
volatil dengan peralatan yang lebih sederhana.
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Penentuan Berat Molekul Suatu Senyawa
No. Hasil Percobaan Keterangan
1 Massa erlenmeyer kosong 45,70 gram
2 Massa erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang 46,29 gram
3 Massa erlenmeyer + aluminium foil + karet gelang + 46,49 gram
kloroform 5 ml sesudah di desikator
4 Massa kloroform 0,20 gram
5 Massa erlenmeyer + air 96,51 gram
6 Massa air 50,81 gram
7 Suhu penangas air 97C
8 Suhu yang terdapat dalam erlenmeyer 30C
9 Tekanan atmosfir 1 atm
10 Berat molekul kloroform teoritis 119,5 gr/mol
11 Berat molekul kloroform yang dipraktikumkan 118,9 gr/mol
4.2 Pembahasan
Sampel yang digunakan dalam percobaan penentuan berat molekul suatu
senyawa ini adalah kloroform (CHCl3). Pada praktikum ini didapat massa
senyawa kloroform seberat 0,20 gram dan volume airnya sebanyak 0,05103 liter
pada suhu 30C. Volume ini diperoleh dengan menggunakan hubungan antara
massa jenis air dan massa air. Massa jenis air yang digunakan pada suhu 30C
yaitu 0,9957 gr/cm3. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan terlihat bahwa
berat molekul suatu senyawa dipengaruhi oleh massa, suhu, volume dan tekanan.
Dimana massa dan suhu senyawa berbanding lurus dengan berat molekulnya
sehingga semakin besar massa dan suhu pada senyawa tersebut maka semakin
tinggi berat molekulnya. Sementara tekanan dan volume berbanding terbalik
dengan berat molekul senyawa sehingga semakin besar tekanan dan volume
senyawa tersebut maka semakin rendah berat molekul senyawa itu.
Perhitungan berat molekul (BM) kloroform dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan gas ideal yaitu dengan adanya volume air dan massa
jenisnya. Dengan mengetahui massa jenis zat maka berat molekul juga dapat
dihitung. Massa jenis air pada suhu 30C yaitu 0,9957 gr/cm3 sehingga didapat
volume air sebesar 0,05103 liter. Pada percobaan ini perhitungan nilai berat
molekul dari kloroform yang diperoleh dari hasil percobaan hampir mendekati
nilai sebenarnya yaitu 118,9 gram/mol, sedangkan nilai BM teoritis dari
kloroform adalah 119,5 gram/mol sehingga nilai persen kesalahannya sebesar
0,5%. Hal disebabkan karena tidak semua cairan kloroform yang menguap
kembali lagi mengembun setelah didinginkan, akibatnya dapat mengurangi udara
yang masuk kembali. Uap kloroform tidak mengembun semua dapat disebabkan
karena pada saat erlenmeyer dipindahkan dari penangas air ke desikator ada uap
yang keluar melalui lubang yang berada dibagian atas kloroform.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan penerapan hukum gas ideal, berat molekul senyawa
kloroform dipengaruhi oleh massa, suhu, tekanan dan volume senyawa
tersebut.
2. Berat molekul kloroform secara teoritis berbeda dengan yang
dipraktikumkan. Berat molekul yang dipraktikumkan yaitu 118,9
gram/mol, sedangkan berat molekul teoritis dari kloroform adalah 119,5
gram/mol.
3. Pada perhitungan persen kesalahan, didapatkan persen kesalahan untuk
penentuan berat molekul kloroform yaitu 0,5%.
5.2 Saran
Pada percobaan ini praktikan diharapkan berhati-hati dan dapat menjaga
agar uap dari senyawa volatil tidak ada yang keluar dari labu erlenmeyer sehingga
didapat hasil percobaan yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Atastina Sri. 2003. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Fisika. Jakarta: UI-
Press.
Brady, James E. 1999. Kimia Universitas Jilid 1 Edisi Kelima. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Halliday dan Resnick. 1978. Fisika Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Petrucci. 1987. Kimia Dasar Prinsip Terapan Modern Jilid 2 Edisi Keempat.
Jakarta: Erlangga.
Respati. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kimia untuk Universitas. Yogyakarta: Rineka
Cipta.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
= 51,03 cm3
= 0,05103 L
4. BM CHCl3
Suhu penangas air = 97C
= 370 K
Nilai R = 0,08206 L.atm/mol.K
PV =nRT
m
PV = RT
BM
mRT
BM =
PV
Latm
(0,20 gram)(0,08206 )(370 K)
molK
BM =
(1 atm)(0,05103 L)
6,07244 gram
=
0,05103 mol
= 118,9 gram/mol
LAMPIRAN C
TUGAS
Jawab :
1. Dalam percobaan ini, yang menjadi sumber kesalahan utama adalah
kurangnya ketelitian dalam proses percobaan dan itu merupakan kesalahan
praktikan. Praktikan kurang lama menguapkan kloroform pada penangas
air, yang seharusnya kloroform harus diuapkan sampai habis.
2. Rumus molekul senyawa tersebut adalah CHCl3.
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
Thermometer
Pipet Volume
Kata Kunci: Cairan Volatil, Energi Aktivasi, Penguapan, Titik Didih dan Suhu.
BAB I
PENDAHULUAN
Keterangan:
V = kecepatan reaksi penguapan
dL = penguraian liquid
dt = perubahan waktu (detik)
K = Tetapan kesetimbangan
2. Tekanan
Reaksi yang melibatkan fase gas, kecepatan reaksinya berbanding lurus
dengan kenaikan tekanan dimana faktor tekanan ini ekuivalen dengan konsentrasi
gas.
3. Orde reaksi
Orde reaksi menentukan seberapa besar konsentrasi reaktan berpengaruh
pada kecepatan reaksi. Orde suatu reaksi ialah jumlah semua komponen dari
konsentrasi persamaan laju. Jika laju suatu reaksi kimia berbanding lurus dengan
pangkat satu konsentrasi dari hanya satu pereaksi, maka reaksi itu dikatakan
sebagai reaksi orde pertama. Jika laju reaksi itu berbanding lurus dengan pangkat
dua suatu pereaksi maka reaksi itu disebut reaksi orde kedua. Suatu reaksi dapat
berorde ketiga atau mungkin lebih tinggi lagi, tetapi hal itu sangat jarang.
4. Suhu
Pada umumnya reaksi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan.
Kenaikan suhu menyebabkan energi kinetik molekul-molekul zat yang bereaksi
akan bertambah sehingga akan lebih banyak molekul yang memiliki energi sama
atau lebih besar dari Ea. Dengan demikian lebih banyak molekul yang dapat
mencapai keadaan transisi atau dengan kata lain kecepatan reaksi menjadi lebih
besar. Kenaikan suhu bukan hanya menyebabkan molekul-molekul lebih sering
bertabrakan tetapi juga bertabrakan dengan dampak yang lebih besar karena
bergerak lebih cepat. Pada suhu yang ditinggikan, persentase tabrakan yang
mengakibatkan reaksi kimia akan lebih besar, karena makin banyak molekul yang
memiiki kecepatan lebih besar dan memiliki energi yang cukup untuk bereaksi.
5. Katalisator
Katalisator adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan
maksud memperbesar kecepatan reaksi. Katalis terkadang ikut terlibat dalam
reaksi tetapi tidak mengalami perubahan kimiawi yang permanen, dengan kata
lain pada akhir reaksi katalis akan dijumpai kembali dalam bentuk dan jumlah
yang sama seperti sebelum reaksi.
Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan reaksinya (mempercepat
reaksi) dengan jalan memperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan
dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Penurunan energi pengaktifan akan
menyebabkan reaksi dapat berlangsung lebih cepat pada suhu yang sama.
2.2 Energi Aktivasi
Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi
energi untuk dapat berlangsung. Istilah energi aktivasi (Ea) pertama kali
diperkenalkan oleh Svante Arrhenius dan dinyatakan dalam satuan kilojoule per
mol (Respati,1992).
Hubungan antara energi aktivasi dan koefisien laju reaksi dapat dilihat dari
rumusan yang disebut persamaan Arrhenius. Persamaannya sebagai berikut:
K = Ae-Ea/RT.................................................................(2.2)
Ea = -RT ln (kA)...........................................................(2.3)
Keterangan:
k = tetapan laju reaksi
A = tetapan Arhenius
Ea = energi aktivasi (kJ/mol)
R = konstanta gas universal (8314,34 J/kg mol K)
T = suhu (K)
2.3 Pengertian Penguapan
Penguapan atau evaporasi adalah proses perubahan molekul di dalam
keadaan cair dengan spontan menjadi gas. Proses ini adalah kebalikan
dari kondensasi. Umumnya penguapan dapat dilihat dari lenyapnya cairan secara
berangsur-angsur ketika terpapar pada gas dengan volume signifikan.
Kalor penguapan dan perubahan energi penguapan adalah kalor reaksi dan
perubahan entalpi yang dibutuhkan atau dilepaskan pada penguapan 1 mol zat
dalam fase cair menjadi 1 mol zat dalam fase gas pada titik didihnya. Ketika
molekul-molekul saling bertumbukan mereka saling bertukar energi dalam
berbagai derajat, tergantung bagaimana mereka bertumbukan. Terkadang transfer
energi berat sebelah, sehingga salah satu molekul mendapatkan energi yang cukup
untuk menembus titik didih cairan. Bila ini terjadi di dekat permukaan cairan
molekul tersebut dapat terbang ke dalam gas dan menguap (Holliday, 1978).
4.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan energi pengaktifan dari suatu
zat volatil. Zat volatil yang digunakan adalah kloroform dan etanol, kedua zat
volatil ini diuapkan dengan berbagai suhu di cawan porselin dimulai dari suhu
35C, 40C, 45C, 50C, 55C hingga 60C. Pada percobaan ini dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali. Pengulangan dilakukan untuk masing-masing
percobaan bertujuan untuk mengetahui perbandingan untuk masing-masing waktu
yang didapat.
Pada percobaan pertama yaitu dengan pemanasan kloroform pada suhu
terendah 35C digunakan rata-rata waktu sebesar 46,49 detik untuk kloroform
46
tepat menguap. Begitu juga untuk pemanasan kloroform dengan suhu tertinggi
60C digunakan rata-rata waktu sebesar 1,90 detik. Dari hasil yang sudah didapat
diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan untuk memanaskan
kloroform maka semakin cepat waktu yang dihabiskan kloroform untuk menguap.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan grafik berikut:
-0.8
-1
-1.2
-1.4
-1.6
-1.8
y = -2562x - 7,007
1/T R = 0,82
-1
Log K
-1.5
-2
y = -4434x - 12,07
-2.5 R = 0,9891
1/T
5.2 Saran
Pada percobaan selanjutnya, sebaiknya dapat menggunakan metode
penguapan dengan bantuan oven sebagai alat pengganti lampu spiritus yang
digunakan untuk mengatur suhu yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Atastina Sri. 2003. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Fisika. Jakarta: UI-
Press.
Brady, James E. 1999. Kimia Universitas Jilid I Edisi Kelima. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Holliday dan Resnick. 1978. Fisika Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Petrucci. 1987. Kimia Dasar Prinsip Terapan Modern Jilid 2 Edisi Keempat.
Jakarta: Erlangga.
Respati. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Kimia untuk Universitas. Yogyakarta: Rineka
Cipta.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
Untuk mencari 1/T T dalam K:
T = 35C + 273 = 308 K
1
1/T = = 0,00325
308
T = 40C + 273 = 313 K
1
1/T = = 0,00319
313
T = 45C + 273 = 318 K
1
1/T = = 0,00315
318
T = 50C + 273 = 323 K
1
1/T = = 0,0031
308
T = 55C + 273 = 328 K
1
1/T = = 0,00305
308
T = 60C + 273 = 333 K
1
1/T = = 0,00300
308
B-1
2. Etanol
1
1/t = = 0,0071
140,20
1
1/t = = 0,0111
89,80
1
1/t = = 0,0166
60,13
1
1/t = = 0,0212
47,11
1
1/t = = 0,0331
30,24
1
1/t = = 0,0407
24,53
2. Etanol
Log K = log 0,0071 = -2,1467
Log K = log 0,0111 = -1,9533
Log K = log 0,0166 = -1,7791
Log K = log 0,0212 = -1,6731
Log K = log 0,0331 = -1,4806
Log K = log 0,048 = -1,3897
Tabel B.1 hasil perhitungan chloroform
Ea = slope x R
Ea = 2562 0,082057
Ea = 210,23 kJ/mol
b = ln A
7,007 = ln A
A = 1104,34
Tabel B.2 hasil perhitungan etanol
Ea = slope x R
Ea = 4434 0,082057
Ea = 363,841 kJ/mol
b = ln A
12,07 = ln A
A = 174555,84
LAMPIRAN C
GRAFIK
C.1 Grafik Perbandingan antara Log K dan 1/T pada Zat Kloroform
-0.8
-1
-1.2
-1.4
-1.6
-1.8 y = -2562x - 7,007
1/T R = 0,82
C.2 Grafik Perbandingan antara Log K dan 1/T pada Zat Etanol
-1
Log K
-1.5
-2
Kasa Thermometer
Cawan Porselin
ABSTRAK
Dimana :
V = kecepatan reaksi
k = konstanta kecepatan reaksi
n = tingkat reaksi
Secara pendekatan persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut :
1
= ( + )..........(2.5)
Dimana :
k = tetapan baru
Persamaan (4) dilogaritmakan:
1
Log = + . ( + ).....(2.6)
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Kenaikan Temperatur sebagai Ukuran Kecepatan Reaksi
Percobaan Rata-Rata
No Konsentrasi HCl (N)
I (sekon) II (sekon) III (sekon) (sekon)
1 0,1 357 345 354 352
2 0,2 334 344 332 336
3 0,3 293 296 289 292
4 0,4 254 246 241 247
5 0,5 200 181 186 189
4.2 Pembahasan
Pada percobaan kenaikan temperatur sebagai ukuran kecepatan reaksi
digunakan konsetrasi HCl yang berbeda yaitu 0,1 N; 0,2 N; 0,3 N; 0,4 N dan
0,5N. Pada konsentrasi 0,1 N rata-rata waktu yang diperlukan untuk menaikkan
suhu sebesar 2C adalah 352 detik. Pada konsentrasi 0,2 N rata-rata waktu yang
diperlukan untuk menaikkan suhu sebesar 2C adalah 336 detik. Pada konsentrasi
0,3 N rata-rata waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu sebesar 2C adalah
292 detik. Pada konsentrasi 0,4 N rata-rata waktu yang diperlukan untuk
menaikkan suhu sebesar 2C adalah 247 detik. Pada percobaan yang terakhir
dengan HCl 0,5 N rata-rata waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu sebesar
2C adalah 189 detik.
Pada percobaan ini terjadi peningkatan suhu karena campurannya bersifat
eksoterm, yaitu proses pelepasan panas yang ditandai dengan peningkatan suhu.
Pada percobaan ini terbukti bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu larutan maka
semakin cepat pula waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu sebesar 2C.
Semakin tinggi konsentrasi suatu larutan tersebut maka semakin banyak
tumbukan yang terjadi sehingga semakin besar pula kecepatan reaksinya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Waktu yang paling cepat untuk menaikan suhu sebesar 2C terjadi pada
larutan HCl dengan konsentrasi 0,5 N yaitu selama 189 detik.
2. Waktu yang paling lama untuk menaikan suhu sebesar 2C terjadi pada
larutan HCl dengan konsentrasi 0,1 N yaitu selama 352 detik.
3. Semakin tinggi konsentrasi suatu larutan maka semakin banyak tumbukan
yang terjadi pada larutan tersebut sehingga kecepatan reaksi semakin besar
pula.
5.2 Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan praktikan menyarankan agar
pada saat mengamati kenaikan temperatur dilakukan secara teliti, karena dapat
mempengaruhi keakuratan waktu yang didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bird. 1987. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.
Khopar. 2008. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.
Smith, C. Julian, Peter Harriot and Warren L.Mc Cabe. 1999. Operasi Teknik
Kimia. Jakarta: Erlangga.
Sukarjo. 1985. Kimia Fisika. Jakarta: Bina Aksara.
Sukarjo. 1989. Kimia Fisika. Yogyakarta: Rineka Cipta.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
1. Konsentrasi ion H+
a. HCl 0,1 N = [H+] = 0,1 N
log [H+] = log 0,1
= -1
b. HCl 0,2 N = [H+] = 0,2 N
log [H+] = log 0,2
= -0,69897
c. HCl 0,3 N = [H+] = 0,3 N
log [H+] = log 0,3
= -0,52288
d. HCl 0,4 N = [H+] = 0,4 N
log [H+] = log 0,4
= -0,39794
e. HCl 0,5 N = [H+] = 0,5 N
log [H+] = log 0,5
= -0,30103
yixi
Intersept =
n
(12,20742)(0,018581)
=
5
12,226
=
5
= -2,4452
LAMPIRAN C
TUGAS
Jawaban :
1. Kecepatan reaksi adalah banyaknya reaksi kimia yang berlangsung per satuan
waktu.
2. Karena semakin besar konsentrasi zat yang terlibat dalam suatu reaksi berarti
semakin banyak partikel/molekul yang bertumbukan akibatnya kecepatan
reaksi juga semakin cepat.
3. Karena kecepatan reaksi hanya dipengaruhi oleh konsentrasi HCl/ion H+ dan
suhu yang terdapat pada reaksi tersebut, bukan dipengaruhi banyaknya serbuk
Mg.
4. a. HCl 0,1 N
t = 352 detik
N Volume
mol = 1
0,1 0,003
= = 0,0003 mol
1
0,0003 mol
v = = 8,52 107 mol/detik
352 detik
b. HCl 0,2 N
t = 336 detik
N Volume
mol = 1
0,2 0,003
= = 0,0006 mol
1
0,0006 mol
v = = 1,79 106 mol/detik
336 detik
c. HCl 0,3 N
t = 292 detik
N Volume
mol = 1
0,3 0,003
= = 0,0009 mol
1
0,0009 mol
v = = 3,08 106 mol/detik
292 detik
d. HCl 0,4 N
t = 247 detik
N Volume
mol = 1
0,4 0,003
= = 0,0012 mol
1
0,0012 mol
v = = 4,86 106 mol/detik
247 detik
e. HCl 0,5 N
t = 189 detik
N Volume
mol = 1
0,5 0,003
= = 0,0015 mol
1
0,0015 mol
v = = 7,94 106 mol/detik
189 detik
70 R = 0.9452
60
50
40
30
20
10
0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Konsentrasi (N)
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
Termometer Spatula
Stopwatch
Bola Penghisab
ABSTRAK
Tetapan kesetimbangan (K) adalah hasil kali produk dipangkatkan koefisien
reaksinya dibagi hasil kali reaktan dipangkatkan koefisien reaksinya. Tetapan
kesetimbangan mempunyai nilai yang tetap pada suhu tertentu. Jika reaktan dan
produk dinyatakan dengan konsentrasi, maka tetapan kesetimbangan ditulis
dengan simbol Kc. Tetapan kesetimbangan yang dinyatakan dengan tekanan
parsial ditulis dengan simbol Kp. Hasil yang didapatkan dari percobaan ini yaitu
campuran 5 ml HCl 3N + 5 ml H2O menghabiskan volume titran (NaOH)
sebanyak 0,5 ml, campuran 5 ml HCl 3N + 5 ml CH3COOC2H5 menghabiskan
volume titran (NaOH) sebanyak 3,5 ml, campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml
CH3COOC2H5 + 1 ml H2O menghabiskan volume titran (NaOH) sebanyak 2 ml,
campuran 5 ml HCl 3N + 2 ml CH3COOC2H5 + 3 ml H2O menghabiskan volume
titran (NaOH) sebanyak 2,1 ml, campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml CH3COOC2H5 + 1
ml CH3OH menghabiskan volume titran (NaOH) sebanyak 4 ml, campuran 5 ml
HCl 3N + 4 ml CH3COOC2H5 + 1 ml CH3COOH menghabiskan volume titran
(NaOH) sebanyak 6 ml, dan campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml CH3OH + 1 ml
CH3COOH didapatkan volume titran (NaOH) sebanyak 4 ml.
3.1.2 Bahan-Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. HCl 3N
2. H2O
3. Etil asetat
4. Etanol 96%
5. NaOH 0,5N
6. Indikator PP
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Hasil Percobaan I
No Nama zat Densitas (gr/ml)
1. HCl 0,98296
2. Etanol 1,03904
3. Etil asetat 0,87712
4. Air 0,98616
5. Asam asetat glasial 1,02884
4.2 Pembahasan
Percobaan penetapan konstanta kesetimbangan hidrolisa etil asetat
dilakukan dengan menentukan kesetimbangan dari larutan-larutan yang
tercampur. Setiap campuran dalam erlenmeyer diaduk agar homogen, kemudian
ditutup rapat dengan aluminum foil dan didiamkan selama 48 jam. Karena
kesetimbangan dicapai dengan lambat, maka campuran harus didiamkan selama
48 jam.
Masing-masing larutan ditetesi dengan 3 tetes indikator PP kemudian
dititrasi dengan larutan NaOH 0,5 N. Indikator PP digunakan sebagai penentu titik
akhir titrasi. Setelah dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,5N larutan berubah
warna menjadi merah muda. Hal ini disebabkan karena berkurangnya tingkat
keasaman larutan sehingga akan langsung bersifat basa pada saat proses titrasi
tersebut.
Pada campuran 5 ml HCl dan 5 ml air didapat volume titrasinya sebanyak
0,5 ml. Pada titrasi campuran 5 ml HCl 3N + 5 ml etil asetat didapat volume
titrasinya sebanyak 3,5 ml, pada campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml etil asetat + 1 ml
air didapat volume titrasinya sebanyak 2 ml, pada campuran 5 ml HCl 3N + 2 ml
etil asetat + 3 ml air didapat volume titrasinya sebanyak 2,1 ml, pada campuran 5
ml HCl 3N + 4 ml etil asetat + 1 ml etanol menghabiskan volume titrasi sebanyak
4 ml, pada titrasi campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml etil asetat + 1 asam asetat glasial
didapat volume titrasinya sebanyak 6 ml, dan pada titrasi dengan 5 ml HCl 3N + 4
ml etanol + 1 ml asam asetat glasial didapat volume titrasi sebanyak 4,0 ml.
Berdasarkan hasil percobaan didapat volume titrasi paling sedikit pada
campuran 5 ml HCl + 5 ml air yaitu sebanyak 0,5 ml. Hal ini dikarenakan larutan
HCl tersebut telah berkurang kandungan asamnya karena ditambahkan air
sehingga hanya membutuhkan sedikit NaOH untuk membuat larutan menjadi
berwarna merah muda yang merupakan penentu bahwa berakhirnya titrasi.
Sedangkan volume titrasi paling banyak dihabiskan pada campuran 5 ml HCl 3N
+ 4 ml etil asetat + 1 asam asetat glasial. Hal ini dikarenakan kandungan asam
pada campuran-campuran ini sangat tinggi sehingga membutuhkan banyak NaOH
untuk merubah warna larutan menjadi merah muda (titik akhir titrasi).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Campuran harus didiamkan selama 48 jam disebabkan karena
kesetimbangan dicapai dengan lambat.
2. Indikator PP digunakan sebagai penentu titik akhir titrasi.
3. Pada campuran 5 ml HCl + 5 ml air menghabiskan volume titrasi
sebanyak 0,5 ml. Hal dikarenakan larutan HCl telah berkurang kandungan
asamnya karena ditambahkan air sehingga hanya membutuhkan sedikit
NaOH untuk mencapai titik akhir titrasi.
4. Pada campuran 5 ml HCl 3N + 4 ml etil asetat + 1 asam asetat glasial
menghabiskan volume titrasi sebanyak 6 ml. Hal ini dikarenakan
kandungan asam pada campuran ini sangat tinggi sehingga membutuhkan
banyak NaOH untuk mencapai titik akhir titrasi.
5.2 Saran
Selain menggunakan metode titrasi asam basa dapat juga digunakan
metode titrasi yang lain, seperti titrasi iodometri dan titrasi argentometri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menghitung Densitas
Pichnometer kosong = 22,740 gr
Pichnometer + H2O = 47,434 gr
Pichnometer + C4H8O2 = 44,862 gr
Pichnometer + C2H5OH = 42,350 gr
Pichnometer + HCl = 47,537 gr
Pichnometer + CH3COOH = 48,687 gr
Volume Pichnometer = 25 ml
= 0,9892 gr/mol
= 0,9932 gr/mol
= 1,0393 gr/mol
= 0,8863 gr/mol
Berat akhir (isi)Berat awal (kosong)
5. C2H5OH = volume pichnometer
42,350 gram22,704gram
= 25 ml
= 0,7858 gr/mol
2. Perhitungan Pengenceran
N BM %
N = V
Val.Purity
0,5 40 100
= 0,1
1 99
= 2,02 gram
3. Mencari Nilai K
a. 5 ml HCl 3N + 5 ml H2O
V titrasi NaOH = 0,5 ml
Massa H2O = . v = 0,992 gr/ml 5 ml = 4,96 gr
gr 4,96
Mol H2O = BM = = 0,275 mol
18
= 0,000152
b. 5 ml HCl 3N + 5 ml C4H8O2
V titrasi NaOH = 3,5 ml
Massa CH3C2H5 = . v = 0,988 gr/ml 5 ml = 4,94 gr
gr 0 gr
Mol H2O = BM = = 0 gram
18
gr 4,94
Mol C4H8O2 = = = 0,0561 mol
BM 88
Derajat keasaman:
CH2COOC2H5 + H2O C2H5OH + CH3COOH
Mula-mula 0,0561 0,286 0 0
Setimbang 0,0561 0,229 0,0561 0,2844
[C2 H5 OH][CH3 COOH]
K = [CH3 COOC2 H5 ][H2 O]
[0,0561][0,2844]
= [0,0561][0,229]
= 0,245
[0,000485][0,000485]
= [0,01295][0,2232]
= 0,3356
[0,000835][0,000835]
= [0,0193][0,4302]
= 0,20114
[0,001335][0,001335]
= [0,04508][0,0348]
= 0,00114
[0,000835][0,000835]
= [0,0234][0,0173]
= 0,00117
Derajat keasaman:
CH2COOC2H5 + H2O C2H5OH + CH3COOH
Mula-mula 0,0683 0,370 0 0
Setimbang 0,01897 0,01746 0,001835 0,001835
[C2 H5 OH][CH3 COOH]
K = [CH3 COOC2 H5 ][H2 O]
[0,001835][0,001835]
= [0,01897][0,01746]
= 0,01016
LAMPIRAN C
TUGAS DAN JAWABAN
Pichnometer Buret