Anda di halaman 1dari 17

2014

YAYANG
NISFULAWATI

1104104010046

Tanggal :
20 Maret 2014

METOLOGI PENELITIAN
Dosen : Siti Zulfa, ST., MT.
STUDI KELAYAKAN AKSESIBILITAS BAGI DIFABEL DI
MASJID RAYA BAITURRAHMAN BANDA ACEH
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hakikatnya suatu karya Arsitektur adalah hasil dari pada usaha manusia
menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manusia bertempat
tinggal, berusaha atau bersosial budaya. Bangunan dengan karya arsitekturnya yang
beragam tidak hanya memiliki fungsi sebagai estetika saja, namun sebuah bangunan
juga harus dinilai dari segi fungsionalnya terutama dari segi fasilitas dan aksesibilitas
yang disediakan pada sebuah bangunan atau sebuah karya arsitektur. Fungsionalnya
sebuah bangunan sangat erat kaitannya dengan pengguna itu sendiri, baik pengguna
normal maupun pengguna yang difabel(penyandang cacat).

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna


mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan
lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan
dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib
diterapkan secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan
dan keselamatan akses bagi semua pengguna tanpa terkecuali.
Aksesibilitas dalam kajian ini difokuskan kepada aksesibilitas difabel pada
bangunan peribadatan dengan mengambil kasus sarana aksesibilitas yang terdapat di
Masjid Raya Baiturrahman Banda aceh untuk melihat sejauh mana sarana aksesibilitas di
Masjid ini dapat memfasilitasi kebutuhan dari kaum difabel. Yang
menjadi acuan dasar kajian ini adalah prinsip universal design yang
diimplementasikan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 30/PRT/M/2006
yang menjadi parameter bagi penyediaan sarana aksesibilitas di Masjid Raya
Baiturrahman Banda aceh.
Dari kajian ini ditemukan bahwa sarana aksesibilitas yang ada di Masjid Raya
Baiturrahman belum aksesibel untuk diakses oleh kaum difabel dikarenakan sarana
aksesibilitas di masjid ini tidak memenuhi prinsip universal design tentang kemudahan,
kegunaan, keselamatan dan kemandirian.
1.2 Tujuan dan Maksud
Adapun tujuan dari penelitian tentang aksesibilitas kaum difabel pada Masjid Raya
Baiturrahman Banda aceh :
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi keadaan eksisting sarana aksesibilitas
di Masjid Raya Baiturrahman.
2. Sebagai bentuk sosialisasi pentingnya memfasilitasi sarana aksesibilitas
kaum difabel pada bangunan publik yakni bangunan peribadatan.
3. Sebagai usaha menuju perlindungan hukum (advokasi) yang
memungkinkan adanya aturan yang baku tentang aksesibilitas kaum difabel pada
sarana aksesibilitas umum bangunan publik khususnya bangunan masjid.

1.3 Perumusan Masalah


1. Bagaimanakah penilaian aksesibilitas di Masjid Raya Baiturrahman Banda aceh dari
sudut pandang kaum difabel ?
2. Permasalahan aksesibilitas fisik apakah yang menghalangi kaum difabel dalam
mengakses Masjid Raya Baiturrahman sebagai bangunan peribadatan yang
diperuntukkan bagi umum?

1.4 Batasan Masalah


1. Kaum difabel pada penelitian ini dibatasi pada tuna netra, tuna rungu, tuna daksa
dan pengguna kursi roda.
2. Penelitian ruang luar (outdoor) dibatasi pada kajian aksesibilitas kaum difabel
pada fasilitas umum di ruang terbuka maupun ruang dalam Masjid Raya
Baiturrahman Banda aceh.
3. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya membahas aspek fisik.
4. Penelitian ruang dalam (indoor) akan dilakukan pada seluruh area bagian dalam
bangunan masjid.
1.5 Kerangka Pikir

Bagaimana penilaian aksesibilitas di area Masjid Raya


Baiturrahman Banda aceh dari sudut pandang kaum
dfabel dan permasalahan aksesibilitas fisik apakah yang
menghalangi aksesibilitas kaum difabel dalam mengakses
ruang bangunan.

Sarana aksesibilitas umum Masjid Raya Baiturrahman


Banda aceh.
Batasan
Pembahasan mencakup aspek fisik.
Penelitian
Penelitian indoor/outdoor pada bangunan Masjid Raya
Baiturrahman Banda aceh.

Sarana aksesibilitas belum memenuhi asas kegunaan,


Hipotesis
keselamatan, kemudahan, dan kemandirian.

Studi Banding Peninjauan aksesibilitas pada bangunan


masjid di Kota Banda Aceh

Teknik Data Primer : Wawancara,


Pengumpulan Data
Peng. Data Kuisioner, Pengukuran.
Data Sekunder : Studi Literatur

Reduksi Data : Seleksi,


Analisis Data Alat Analisis :
Penyederhanaan,
Pengukuran,
Justifikasi, Verifikasi
Skoring,
Tabulasi, dll.

Penilaian :
Standar, Kriteria
penilaian, Kriteria
Skor.

Temuan dan Kesimpulan Penilaian akses


Kesimpulan

Perwujudan sarana aksesibilitas


Rekomendasi
sebagai universal design.
dan Saran
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Difabel

Konsep difabel berakar dari suatu pendekatan medis dan individual. Menurut
pendekatan ini, keberfungsian secara fisik dan mental seseorang merupakan prasyarat
bagi kaum difabel untuk dapat menentukan kehendaknya dan berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas. Dunia barat mengelompokkan difabel berdasarkan usia dan
kemampuan. Untuk mereka pada usia tertentu atau mereka yang memiliki tingkat
kemampuan yang berbeda, menunjukkan hasil yang mengecewakan apabila dinilai dari
kondisi fisik mereka.
Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada 1000 orang anak-anak
dan remaja di New York tahun 1989. Dalam penelitian tersebut anak-anak diminta untuk
menjelaskan apa yang mereka lihat. Tanpa terkecuali, anak-anak tersebut melaporkan
bahwa mereka melihat pria dan wanita melakukan pekerjaan, seperti memasak
makanan, merawat peliharaan dan melakukan pekerjaan rutin mereka. Selanjutnya
mereka melaporkan hal yang sama ketika para remaja melakukan pekerjaan tersebut.
Tetapi selanjutnya, mereka melihat orang cacat fisik mencoba untuk menyelesaikan
pekerjaan yang sama dengan sebelumnya. Dalam waktu singkat, dalam pemikiran anak-
anak tersebut.

Kritikan terhadap penanganan masalah difabel tersebut sesungguhnya sudah


direspon World Health Organization (WHO) dan para profesional yang bekerja di bidang
rehabilitasi. WHO, misalnya, sejak tahun 2001 sudah merevisi definisi difabel. Pedoman
dari WHO menjadi acuan di banyak negara termasuk di Indonesia disebut International
Classification of Impairment, Disability and. Dari pedoman ini ada 3 konsep yang
dibedakan, yaitu :

1. Impairment , adalah hilangnya atau ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis,


fisik atau anatomi.
2. Disability , mengacu kepada keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas
secara normal yang disebabkan oleh impairment .

3. Handicap , merupakan ketidakberuntungan sesorang yang diakibatkan oleh


impairment dan disability yang menyebabkan ia tidak dapat melakukan perannya
secara sosial maupun ekonomi

WHO merevisi konsep ini menjadi International Classification of Functioning Disability


and Health (ICF) . Pada konsep ini, impairment bukanlah satu-satunya faktor yang
menjadi fokus dalam menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen
utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah difabel, yaitu:
1. Functioning (keberfungsian), meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur
serta aktivitas dan partisipasi.
2. Disability (ketidakmampuan), bagian pertama meliputi keberfungsian
badan/anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi, sedangkan bagian kedua
terdiri dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor lingkungan dan factor-faktor yang
sifatnya personal.

Menurut konsep ini, masalah difabel timbul sebagai interaksi dari berbagai komponen-
komponen tersebut. Keberfungsian secara fisik dan mental seseorang merupakan
prasyarat baginya untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas. Namun cara ini
juga direfleksikan dalam kehidupan sosial yang menyebabkan terhambatnya kaum
difabel mendapatkan kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai aktivitas
dalam kehidupan masyarakat (Eva Kasim, 2004).

2.2 Universal Design Sebagai Paradigma Baru


Universal design pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat oleh Ron Mace
pada tahun 1985. Sebelumnya pada tahun 1950 dikenal terminologi barrier- free design
(desain bebas hambatan) yang dalam perkembangannya barrier- free design memiliki
persepsi yang negatif di antara orang Amerika. Karena barrier-free design hanya dapat
digunakan oleh kaum difabel. Sehingga kedudukan antara difabel dan non difabel di
ruang publik menjadi terpisah. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip equity yang
mengharuskan adanya persamaan hak bagi setiap orang di ruang publik.

Selanjutnya pada tahun 1970 berkembang terminologi yang lebih populer yang dikenal
dengan accessible design (desain yang aksesibel) yang mengatakan bahwa sarana
aksesibilitas sebagai parameter yang mempengaruhi pergerakan masyarakat di
lingkungan publik. Tetapi accessible design dalam penerapannya dirasakan masih
kurang praktis karena cakupannya terlalu luas. Oleh karena itu Ron Mace mengatakan
perlu adanya suatu standar minimum untuk mengatur fasilitas umum kaum difabel dan
non difabel dalam ruang publik secara bersamaan yang dikenal dengan universal design.
Dalam artiannya Universal design adalah produk dan lingkungan yang dihasilkan
dalam perancangan lingkungan binaan, yang memungkinkan semua orang dapat dengan
mudah untuk mengakses setiap elemen di dalamnya . Dalam penerapannya universal
design bisa tidak sama di setiap tempat tergantung dari berbagai pendekatan desain dan
undang-undang yang berlaku (Ron Mace dalam Elaine Ostroff, 2001).

2.3 Prinsip-Prinsip Universal Design

Menurut Molly Folente Story ( Universal Design Handbook , 2001) prinsip-


prinsip utama universal design, yaitu :
1. Dapat digunakan semua jenis pengguna
Definisi : Produk desain dapat digunakan dan dipasarkan untuk semua
jenis pengguna.

Implikasi dalam perencanaan :


a. Mempertimbangkan aturan kekerabatan dalam memfasilitasi aksesibilitas pejalan
Kaki.
b. Mengembangkan pendekatan strategis dalam membuat kebijakan transportasi yang
memprioritaskan transportasi non kendaraan bermotor.
c. Jalan dapat diakses semua jenis pengguna tanpa ada batasan

2. Fleksibel dalam penggunaan


Definisi : Produk desain mengakomodasi semua jenis pengguna dan tidak
dibedakan berdasarkan kemampuannya

Implikasi dalam perencanaan :


a. Mengadaptasi proposal pengembangan sebagai aturan detail untuk perencanaan
b. Produk aksesibilitas harus dapat memfasilitasi setiap pengguna.

3. Sederhana dan mudah untuk digunakan


Definisi : Penggunaan desain mudah dimengerti ditinjau dari segi
pengalaman dan kemampuan pengguna

Implikasi dalam perencanaan :


a. Proposal pengembangan mudah diterapkan dalam setiap lokasi, bangunan dan jalan
b. Rute langsung bagi pedestrian tanpa kendaraan bermotor

4. Informasi yang memadai


Definisi : Produk desain dilengkapi informasi pendukung yang penting untuk
pengguna dimana informasi yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan
pengguna.

Implikasi dalam perencanaan :


a. Sebagai masukan dalam proses perencanaan yang berguna untuk mengurangi
jarakdi antara setiap pengguna.
b. Mempertimbangkan cara untuk membuat setiap perencanaan tepat sasaran.

5. Toleransi kesalahan
Definisi : Meminimalkan resiko kecelakaan akibat dari kejadian yang tidak
terduga.

Implikasi dalam perencanaan :


a. Faktor keselamatan sebagai prioritas utama dalam perencanaan. Termasuk di
dalamnya keselamatan di jalan, menghindarikriminalitas, mengutamakan kesehatan
dan semua yang membuat hidup lebih baik.

6. Mengurangi usaha fisik


Definisi : Produk desain dapat digunakan secara efisien dan aman dengan mengurangi
resiko cedera.

Implikasi dalam perencanaan :


a. Diprioritaskan untuk desain pedestrian dan jalan yaitu dengan meminimalkan
gangguan dalam perjalanan.

7. Ukuran ruang untuk penggunaan yang tepat


Definisi : Penggunaan ukuran ruang dalam desain yaitu dengan melakukan
pendekatan melalui postur, ukuran dan pergerakan pengguna.

Implikasi dalam perencanaan :

a. Memperhatikan kebutuhan minimum standar ruang


b. Mempertimbangkan aspek kepadatan dan hubungan antar ruang dalam merancang
bentuk.

8. Memasukkan unsur kesenangan


Definisi : Dengan adanya penambahan unsur kesenangan dalam perencanaan
maka lingkungan yang dihasilkan akan memberikan pengalaman yang menyenangkan

Implikasi dalam perencanaan :


a. Memperkenalkan pentingnya urban desain dalam proses perencanan.

2.4 Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas

2.4.1 Ukuran Dasar Ruang


Esensi : Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada
ukuran tubuh manusia dewasa, peralatan yang digunakan, dan ruang yang
dibutuhkan untuk mewadahi pergerakan penggunanya.

Persyaratan :
1. Ukuran dasar ruang diterapkan dengan mempertimbangkan fungsi.
2. Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini dapat
ditambah atau dikurangi sepanjang asas-asas aksesibilitas dapat tercapai.

2.4.2 Jalur Pemandu


Esensi : Jalur yang memandu penyandang cacat untuk berjalan dengan memanfaatkan
tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.

Persyaratan :
1. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan.
2. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan
situasi di sekitarnya/warning.
3. Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu ( guiding blocks ):
a. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan.
b. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan
perbedaan ketinggian lantai.
c. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area penumpang.
d. Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan.
e. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat.

4. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu
memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sedemikian sehingga tidak terjadi
kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin
peringatan. Untuk memberikan perbedaan warna antara ubin pemandu dengan ubin
lainnya, maka pada ubin pemandu dapat diberi warna kuning atau jingga.

3.4.3 Jalur Pedestrian


Esensi : Jalur yang digunakan untuk berjalan kaki atau berkursi roda bagi difabel
secara mandiri yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman,
mudah, nyaman dan tanpa hambatan.

Persyaratan :
1. Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertekstur halus tetapi tidak
licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa
ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm.

2. Kemiringan maksimum 2 dan pada setiap jarak 900 cm diharuskan terdapat


bagian yang datar minimal 120 cm.

3. Area istirahat digunakan untuk membantu pengguna jalan difabel dengan


menyediakan tempat duduk santai di bagian tepi

4. Pencahayaan berkisar antara 50 -150 lux tergantung pada intensitas pemakaian,


tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

5. Drainase dibuat tegak lurus dengan arah jalur dengan kedalaman maksimal 1,5 cm,
mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi jalur pedestrian.

6. Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah dan 160 cm
untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu,
lubang drainase/gorong-gorong dan benda-benda lainnya yang menghalangi.

7. Tepi pengaman dibuat setinggi maksimal 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur


pedestrian.

3.4.4 Ramp
Esesnsi : Ramp adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu,
sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga.

Persyaratan:
1. Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7, perhitungan
kemiringan tersebut tidak termasuk awalan atau akhiran ramp ( curb
ramps/landing) Sedangkan kemiringan suatu ramp yang ada di luar bangunan
maksimum 6.

2. Panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 7) tidak boleh lebih dari
900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang.

3. Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman, dan 120 cm dengan
tepi pengaman. Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan
pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama lebarnya,
sedemikian sehingga bisa dipakai untuk kedua fungsi tersebut, atau dilakukan
pemisahan ramp dengan fungsi sendiri-sendiri.

4. Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu ramp harus bebas dan
datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi roda
dengan ukuran minimum 160 cm.

5. Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki tekstur sehingga
tidak licin baik diwaktu hujan.

6. Lebar tepi pengaman ramp /kanstin/ low curb 10 cm, dirancang untuk menghalangi
roda kursi roda agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ramp . Apabila
berbatasan langsung dengan lalu-lintas jalan umum atau persimpangan harus dibuat
sedemikian rupa agar tidak mengganggu jalan umum.

7. Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang cukup sehingga membantu


penggunaan ramp saat malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian-bagian
ramp yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah sekitarnya dan bagian-bagian
yang membahayakan.

8. Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang dijamin


kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai. Pegangan rambat harus mudah
dipegang dengan ketinggian 65 80 cm.

3.4.5 Tangga
Esensi : Fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan
ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai.

Persyaratan :
1. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam.

2. Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60


3. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga.

4. Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum pada salah satu sisi
tangga.

5. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 80 cm dari lantai,


bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat
atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.

6. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujungnya (puncak dan
bagian bawah) dengan 30 cm.

7. Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air
hujan yang menggenang pada lantainya.

3.4.6 Pintu
Esensi : Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang merupakan
tempat untuk masuk dan keluar dan pada umumnya dilengkapi dengan penutup (daun
pintu).

Persyaratan :
1. Pintu pagar ke tapak harus mudah dibuka dan ditutup oleh difabel.

2. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90 cm, dan pintu-pintu yang
kurang penting memiliki lebar bukaan minimal 80 cm.

3. Di daaerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau
perbedaan ketinggian lantai.

4. Hindari penggunan bahan lantai yang licin di sekitar pintu

5. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi pengguna kursi
roda dan tongkat tuna netra.

3.4.7 Toilet
Esensi : Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa terkecuali penyandang
cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya.

Persyaratan :

1. Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan
rambu/simbol dengan sistem cetak timbul penyandang cacat pada bagian
luarnya.
2. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk
dan keluar pengguna kursi roda.

3. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna kursi roda
sekitar (45-50 cm)

4. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat handrail)
yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan
penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki bentuk siku-siku
mengarah ke atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi roda.

5. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan perlengkapan-
perlengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus dipasang sedemikian
hingga mudah digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasanketerbatasan fisik
dan bisa dijangkau pengguna kursi roda.

6. Semua kran sebaiknya dengan menggunakan sistem pengungkit dipasang pada


wastafel, dll.

7. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.

8. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan pengguna kursi roda.

3.48 Telepon Umum


Esensi : Peralatan komunikasi yang disediakan untuk semua orang yang sedang
mengunjungi suatu bangunan atau fasilitas umum.

Persyaratan :

1. Telepon umum disarankan yang menggunakan tombol tekan, harus terletak pada
lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk penyandang cacat, orang tua, orang
sakit, balita dan ibu-ibu hamil.

2. Ruang gerak yang cukup harus disediakan di depan telpon umum sehingga
memudahkan penyandang cacat untuk mendekati dan menggunakan telpon.

3. Ketinggian telpon dipertimbangkan terhadap keterjangkauan gagang telpon terhadap


pengguna kursi roda 80-100 cm.

4. Bagi pengguna yang memiliki pendengaran kurang, perlu disediakan alat kontrol
volume suara yang terlihat dan mudah terjangkau.

5. Bagi tuna netra sebaiknya disediakan petunjuk telpon dalam huruf Braille dan
dilengkapi juga dengan isyarat bersuara (talking sign) yang terpasang di dekat telpon
umum.
6. Panjang kabel gagang telpon harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk
menggunakan telpon dengan posisi yang nyaman. ( 75 cm).

7. Bilik telepon dapat dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan dengan gerak pengguna
dan site yang tersedia.

3.4.9 Area Parkir


Esensi : Area parkir adalah tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh penyandang
cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, daripada
tempat parkir yang biasa. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan penumpang
(Passenger Loading Zones) adalah tempat bagi semua penumpang, termasuk penyandang
cacat, untuk naik atau turun dari kendaraan.

Persyaratan :
1. Tempat parkir penyandang cacat terletak pada rute terdekat menuju bangunan/
fasilitas yang dituju, dengan jarak maksimum 60 meter.

2. Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas di sekitarnya sehingga pengguna
berkursi roda dapat dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraannya.

3. Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan simbol tanda parkir
penyandang cacat yang berlaku.

4. Pada lot parkir penyandang cacat disediakan ram trotoir di kedua sisi kendaraan.

5. Ruang parkir mempunyai lebar 370 cm untuk parkir tunggal atau 620 cm untuk parkir
ganda dan sudah dihubungkan dengan ram dan jalan menuju fasilitas-fasilitas lainnya.

6. Kedalaman minimal dari daerah naik turun penumpang dari jalan atau jalur lalu-lintas
sibuk adalah 360 cm dan dengan panjang minimal 600 cm.

7. Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan untuk mempermudah dan
membedakan dengan fasilitas serupa bagi umum.
3.5 Standar Aksesibilitas Pada Bangunan Fasilitas Pelayanan Umum

Tabel 3.1 Standar aksesibilitas pada bangunan fasilitas pelayanan umum

Elemen Standar Minimal Standar yang


direkomendasikan

Pintu Masuk/Keluar Pintu masuk dan keluar Pintu bangunan


bangunan harus cukup hendaknya dikonstruksi
lebar minimal 90 cm dan sedemikian rupa
hendaknya dikonstruksi sehingga para pengguna
sedemikian rupa sehingga kursi roda dapat
dapat dilalui oleh melaluinya dengan
pengguna kursi roda. mudah dan lebar pintu
Dari pintu masuk/keluar minimal 120 cm.
menuju ke meja penerima Pintu masuk/keluar
tamu perlu dilengkapi utama sebaiknya pintu
dengan jalur pemandu. otomatis, lebar minimal
120 cm, sedangkan pintu
masuk/keluar lainnya
minimal 90 cm.
Pada dasarnya
diperlukan jalur
pemandu dari pintu
masuk/keluar.
Koridor Lebar koridor minimal 120 Lebar koridor sebaiknya
cm sehingga pengguna 180 cm atau lebih
kursi roda dapat sehingga dua pengguna
melaluinya dan perlu kursi roda dapat
disediakan ruang yang berpapasan dan
longgar agar pengguna merubah arah dengan
kursi roda dapat berputar. mudah dan perlu
Apabila dalam suatu disediakan ruang yang
bangunan terdapat longgar agar pengguna
perbedaan ketinggian kursi roda dapat
lantai, perlu dipasang berputar. Jika fasilitas ini
ramp yang dapat disediakan, lebar koridor
menghilangkan perbedaan dan lainnya minimal 140
ketinggian tersebut. cm.
Tangga Apabila dalam suatu Tinggi setiap anak
bangunan terdapat tangga maksimal 16 cm
tangga, perlu dipasang dan lebar tapak anak
pegangan tangan pada tangga minimal 30 cm.
kedua sisinya. Pada bagian atas tangga
Ubin peringatan dan ubin perlu dipasang
pengarah perlu dipasang peringatan.
pada bagian atas tangga
Ramp Pada ramp perlu dipasang Perlu dipasang pegangan
pegangan tangan. pada kedua sisi ramp.
Ubin peringatan perlu Lebar ramp sebaiknya 150
dipasang pada ramp. cm atau lebih dengan
kemiringan 7 8 derajat
atau kurang.
Ubin peringatan perlu
dipasang pada ramp.
Kamar Mandi Pada kamar mandi Pada prinsipnya 2% atau
minimal disediakan satu lebih dari jumlah kloset
kloset duduk untuk yang tersedia pada setiap
digunakan pengguna kursi lantai bangunan sebaiknya
roda. berupa kloset duduk yang
dapat dipergunakan
pengguna kursi roda.

Area Parkir Pada area parkir, perlu Pada prinsipnya minimal


disediakan minimal satu 2% dari tempat parkir
tempat parkir untuk dalam suatu area
pengguna kursi roda sebaiknya diperuntukkan
dengan lebar minimal 350 bagi pengguna kursi roda.
cm. Lebar tempat parkir
adalah 350 cm.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendahuluan

Dalam melakukan kajian aksesibilitas difabel pada ruang publik kota, metoda
penelitian yang digunakan yaitu :

1. Metoda kuantitatif dengan metoda survey dan membagikan kuesioner kepada responden
dalam jumlah tertentu. Kuesioner yang dibagikan berupa gabungan dari kuesioner
berstruktur dan tidak berstruktur.

2. Metoda kualitatif yaitu dengan metoda wawancara.


Untuk melakukan penilaian elemen aksesibilitas tehadap sarana aksesibilitas publik di
kawasan Lapangan Merdeka dimana penilaian tersebut diklasifikasikan atas 4 (empat)
kelompok difabel yaitu : tuna netra, tuna rungu, tuna daksa pengguna kruk dan tuna daksa
pengguna kursi roda.

Guna menganalisa kajian sarana aksesibilitas publik di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
ada 2 (dua) standar yang digunakan untuk kriteria penilaian elemen aksesibilitas :

1. Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum


No.30/PRT/M/2006 ).

2. Rangkuman Standar Aksesibilitas tabel 2.5.1 (United Nations, 1995).

4.2 Tahapan Penelitian

1. Menentukan Objek dan Batasan Penelitian


a. Penelitian ruang luar ( outdoor) dibatasi pada kajian aksesibilitas kaum difabel pada fasilitas
umum di ruang terbuka sebagai ruang publik kota.

b. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya membahas aspek fisik.

c. Penelitian ruang dalam bangunan ( indoor ) hanya akan dilakukan pada seluruh area bagian
dalam bangunan masjid.

2. Hipotesis

a. Sarana aksesibilitas di Masjid Raya Baiturrahman belum aksesibel untuk kaum difabel.

b. Sarana aksesibilitas di Masjid Rya Biturrahman Banda Aceh belum memenuhi kriteria
kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian untuk kaum difabel.
3. Studi Banding

a. Dalam penelitian ini yang menjadi studi banding adalah penelitian pada kawasan Masjid
Raya Malaysia. Studi banding ini dilakukan atas dasar kesamaan fungsi kawasan sebagai
sarana peribadatan umum .

4. Pengumpulan Data
a. Data Primer, berupa hasil pengamatan langsung di lapangan yaitu dengan membagikan
kuesioner kepada 50 orang kaum difabel yang pernah berkunjung ke kawasan Masid Raya
Baiturrahman Banda Aceh dan melakukan observasi/ pengukuran pada sarana aksesibilitas
umum di kawasan Masjid Raya Baiturrahman.

Anda mungkin juga menyukai