Anda di halaman 1dari 177

TUGAS MAKALAH

PENGANTAR DASAR DAN MAGEMEN PENDIDIKAN

OLEH :

ELVIRA. MASSI
08 310 284

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


TUJUAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat:

1. Kognitif : Mengetahui serta memahami tentang hakikat pendidikan dan


perkembangannya, sehingga mampu menjadi guru yang dapat
membina siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan
fakta, teori, konsep, prinsip yang telah mereka dapat didalam kelas.

2. Afektif : Bersungguh - sungguh dalam melakukan suatu proses pembelajaran


khususnya mengenai pengembangan kurikulum dalam proses belajar
- mengajar nanti.

3. Psikomotor : Memiliki ketrampilan dalam mengembangkan sistem pembelajaran


dalam proses pembelajaran nanti, sehingga para siswa menjadi
semangat untuk belajar Matematika.

MANFAAT

1. Bagi Mahasiswa : Mahasiswa memiliki lebih banyak pengetahuan tentang


kurikulum dan perkembangannya, serta lebih
termotivasi untuk lebih banyak mempelajari
materi-materi berikutnya dalam mata kuliah proses
pembelajaran.

2. Bagi Calon Guru : Calon guru akan lebih siap dalam menghadapi tugasnya
nanti karena dia sudah mempelajari bagaimana
kurikulum itu sebenarnya, sebagai penunjang
didalam proses pembelajaran nantinya, sehingga
materi tersebut dapat diserap dengan baik oleh siswa.

3. Bagi Guru : Sebagai Guru telah mempersiapkan diri pada saat


memberikan pembelajaran, maupun saat sebelum
melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga
senantiasa menciptakan suatu sistem pendidikan yang
teratur. Dan pendidikan dapat meletakan dasar-dasar yang
konkrit untuk berfikir.

IA. Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran

1. Hakikat pendidikan

Dari segi bahasa, pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya)
mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan
(latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya (Poerwadarminta,
1991).

Dalam bahasa jawa, penggulawentah berarti mengolah, jadi mengolah kejiwaannya


ialah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak sang anak. Dalam
bahasa Arab pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah (Daradjat,
2000).

Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah kita dapat merujuk kepada berbagai
sumber yang diberikan para ahli pedidikan. Dalam Undang-Undang sistem
pendidikan Nasional (Pasal I UU RI No. 20 th. 2003) dinyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan prows
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
bangsa dan negara.

Menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah memberi pertolongan secara cedar dan
segaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju
kearah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas
segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro
mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan
nilai moral (kekuatan batin, karakter), fikiran (intellect) den tumbuh anak yang
enters satu den lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kite didik selaras.

John Dewey mewakili aliran filsafat pendidikan modern merumuskan Education is


all one growing; it has no end beyond it self, pendidikan adalah segala sesuatu
bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di
balik dirinya. Dalam proses pertumbuhan ini anak mengembangkan diri ke
tingkat yang makin sempurna atau life long Education, dalam artian pendidikan
berlangsung selama hidup. Pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental
dalam kehidupan manusia untuk mengantarkan anak manusia kedunia peradaban.
Juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan bimbingan otentik, supaya akan
mengenali jati dirinya yang unik, mampu bertahan memiliki dan melanjutkan atau
mengembangkaii warisan sosial generasi terdahulu, untuk kemudian dibangun lewat
akal budi dan pengalaman (Kartono, 1997). Noeng Muhadjir rnerumuskan
pendidikan sebagai upaya terprogram dari pendidik membantu subyek didik
berkembang ketingkat yang normatif lebih baik, dengan cara yang baik dalam
konteks positif (Muhadjir, 1993).

Sementara Zamroni memberikan definisi pendidikan adalah suatu proses


menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang
hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang benar dan
yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya ditengah-tengah
masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal (Zamroni, 2001). Dari
definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah merupakan usaha atau
proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya
agar is dapat melakukan perannya dalarn kehidupan secara fungsional dan
optimal. Dengan demikian pendidikan pads intinya menolong ditengah-tengah
kehidupan manusia. Pendidikan akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.

1. Pendidikan sebagai panglima


Secara filosofi Socrates menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses
pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge),
dan etika (conduct). Oleh karenanya membangun aspek kognisi, afeksi dan
psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan adalah nilai pendidikan
yang paling tinggi. Ada dua fenomena yang membuat mengapa pendidikan
adalah yang pertama dan utama.
Pertama, ketika Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yang pertama
spotnic pada 4 oktober 1957, Amerika Serikat maradang. Betapa tidak,
Amerika adalah negara besar dengan kemampuan teknologi paling maju
dipecudangi oleh Uni Sovyet. Sampai-sampai presiden AS kites itu membentuk
special unit (tim khusus) untuk merespon kejadian besar ini. Tim yang
dibentuk bukanlah tim yang akan menandingi kecanggihan Sovyet. Tapi tim ini
bertugas meninjau kembali kurikulum pendidikan AS mulai dari jenjang
pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Suatu tindakan politik yang
diluar perkiraan banyak orang. Dengan bekeria keras dan dalam waktu yang
singkat tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa
kurikulum pendidikan AS dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi
dan hares direvisi. Sebuah keputusan yang teramat berani waktu itu. Tapi itulah
sebuah konsekuensi kalau hendak berkompetisi dalam kemajuan peradaban.
Amerika pun mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala segi dan
dimensinya. Mulai dari kurikulum, mata pelajaran, tenaga pengajar, sarana
pendidikan sampai kepada sistem evaluasi pendidikan. Usaha mereka dengan
sangat cepat membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Pada tanggal 14 juli
1969 mereka berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Hanya
dalam kurun waktu 12 tahun mereka berhasil mengungguli teknologi Uni
Sovyet. Waktu yang relatif singkat, kurang dari masa pendidikan seorang anak
dari tingkat dasar Sampai jenjang perkuliahan (C. Winfield and Scoot, The Great
Debate, 1957).
Kedua, kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi di Jepang seusai
kekalahan mereka dalam perang dunia II dengan dibom atomnya kota
Hiroshima dan Nagasaki (6 dan 9 Agustus 1945). Jepang praktis lumpuh dalam
segala segi kehidupan. Bahkan kaisar Jepang waktu ilu menyatakan bahwa mereka
sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali tanah dan air. Namun Sang kaisar langsung
memanggil pucuk pimpinan dan bertanya: Berapa orang guru yang masih hidup?
Sebuah pertanyaan sederhana tapi mengandung makna pendidikan adalah
awal dari segalanya.
Jepang bangkit perlahan-lahan dengan memperbarui sistem pendidikan mereka
dalam semua jenjang pendidikan. Dalam masa yang relatif singkat Jepang
berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang
ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang
menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang
mulai membangun diri pada waktu yang lama dengan Jepang (kita merdeka
1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita
malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mender
ke belakang. Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah
berubahnya pengertian beta huruf dikalangan rakyat Jepang. Beta huruf yang
sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengertian "tidak bisa
menggunakan komputer". Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian
aslinya di kalangan dunia ketiga, yang berarti tidak bisa tulis dan baca.
Dua fenomena di atas merupakan gambaran nyata dari urgensi pendidikan yang
telah dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh AS dan Jepang. Langkah
yang mereka ambit telah membuktikan kepada dunia bahwa kemajuan
pendidikan berarti kemajuan sebuah bangsa. Dan bangsa manapun di dunia ini
yang mengabaikan pendidikan maka tungguiah kehancuran dari bangsanya.
Di Indonesia, jauh sebelum Bung Karno menggagas konsep kemerdekaan
Indonesia, elemen bangsa yang berbasis pendidikan seperti R.A. Kartini, HOS
Cokroaminoto, Dr Soetomo, Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dcwantara.
sudah memikirkan bangsa ini lewat pendidikan. tdak lama berselang giliran K.II.i1
I)ahlan mendirikan Organisasi sosial dan kependidikan dengan nama
Muhammadiyah. Lewat satu dekade berikutnya K.H Hasyim Asy'ari ikut
mencerdaskan bangsa dengan NU-nya. Semua bermuara pada pendidikan.
Hasilnya sungguh ajaib, semua orang terdidik mulai memikirkan nasib
bangsa dan berusaha lepas dari penjajahan. Dan Indonesia merdeka.
Jika menengok data dan fakta sejarah, agenda kebangkitan nasional saat ini
terletak pada pendidikan. Mengapa? karena seluruh sektor kehidupan bangsa
merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan
dari output dunia pendidikan.
Begitu sentralnya peran pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka krisis
multidimensi separah apapun akan bisa teratasi dengan pendidikan yang baik dan
sistematis. Setelah meletakkan pendidikan pada tempatnya kita harus menata
ulang (redesaigning) rancang bangun kehidupan berbangsa, membangun
karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan den identitas tradisi lokal
dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era
globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negaranegara di
seluruh dunia. Agar di mesa depan kinerja pendidikan nasional dapat
diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara,
siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan
komitmen tinggi memajukan pendidikan demi kemajuan bangsa Indonesia.
Semua ini bisa terlaksana dengan menempatkan pendidikan sebagai panglima di
negeri ini. Ini berarti semua elemen bangsa (terutama pemerintah) hares concern
terhadap dunia pendidikan kita.
2. Pengertian pendidikan

Istilah pendidikan nilai termasuk barang asing ditelinga masyarakat bahkan didunia
pendidikan sekalipun. Hal ini dikarenakan 2 hal: pertama belum merakyatnya
sumbangan-sumbangan nilai/moral bagi masyarakat umum yang berasal dari
rahim pendidikan nilai. Kedua belum banyaknya fakultas yang
mengembangkannya dan jugs tingkat hunian akademik pada program pendidikan
nilai sangat miskin. Namun demikian, pendidikan nilai sebenarnya adalah hakikat
dan tujuan pendidikan itu sendiri. Di Indonesia sendiri baru due program studi
yang mengembangkan pendidikan nilai yaitu Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) di Bandung dan Unversitas Negeri Malang di Malang Jawa Timur. Itupun
berada di level Program dan sekolah Pascasarjana kedua universitas.

Dalam ranah ilmu pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan haruslah


mengandung tiga dimensi filosofis yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan sedang epistemologi
menyinggung sumber pengetahuan dan aksiologi kebagian tugas menilai ape
manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan. Yang terakhir inilah kajian pendidikan
nilai. Meneliti, menelaah dan menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu
pengetahuan bagi umat manusia. Dalam kanal pendidikan, istilah pendidikan nilai
ntcng:tcu pada aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan
menerapkan nilai/moral kepada peserta didik (Kosasih Jahiri, modul perkuliahan
Pendidikan Nilai UPI).

Secara lebih rinci pendidikan dan nilai bisa mempunyai makna sendiri-sendiri,
namun jika disatukan maka akan muncul beberapa definisi tentang pendidikan
nilai (Mulyana, 2004), ini berarti makna pendidikan nilai, memicu banyak arti
dan pengertian. Sastraprateja memberikan definisi Pendidikan nilai adalah
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang (kaswardi, 1993),
sedangkan Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai
bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Kedua pakar
ini sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri
yang diajarkan lewat beberapa mata kuliah akan tetapi mencakup seluruh
proses pendidikan (Mulyana, 2004). Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan
itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai akan muncul dengan
sendirinya. Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan (Sukanta, 2007).

a. Orientasi Pendidikan Nilai


Konsep awal Pendidikan Nilai adalah komponen yang menyentuh filosofi
tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia
paripurna dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya. Semua ini
berawal dari pertanyaan mendasar apa yang membuat manusia berkembang
menjadi manusia seutuhnya? Jawabannya menurut N. Driyarkara (1991)
adalah pengakuan dan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Pengakuan
dan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan ilu hanya akan timbul manakala
ranah afeksi dalam diri sescorang diltidupkan. Hal itu berarti dalam proses
belajar mengajar perkembangan perilaku anak dan pemahamannya
mengenai nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, rasa tanggung jawab
serta kepedulian terhadap orang lain merupakan elemen yang tidak dapat
dipisahkan dari unsur pendidikan.
Kesadaran anak akan nilai humanitas pertama-tama muncul bukan melalui
teori atau konsep, melainkan melalui pengalaman konkrit yang langsung
dirasakannya di sekolah. Pengalaman itu mcliputi sikap dan perilaku guru
yang baik, penilaian adil yang d i terapkan, pergaulan yang
menyenangkan serta lingkungan yang sehat dengan penekanan sikap
positif seperti penghargaan terhadap keunikan serta perbedaan. Pengalaman
seperti inilah berperan mcmbentuk emosi anak berkembang dengan baik.

Selanjutnya Driyarkara (1991) mengindikasikan bahwa kesadaran moral mengarahkan


anak untuk mampu membuat pertimbangan secara matang atas perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Mark dan Terence
mengatakan "Allorality is directed and constructed to perform a large range of
independent functions to prohibit destruction and harm, to promote harmony and
stability, to develop what is best in us. It promotes the social and economoc conditions
that sustain mutually beneficial trust and cooperation, articulates ideals and excel lences,
sets priorities among the activities that constitute our lives". Kymlicka (2001)
menegaskan bahwa relevansi penanaman kesadaran moral pendidikan yakni membentuk
warga negara yang mempunyai rasa keadilan, kemampuan membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, mempunyai penghargaan akan hak-hak asasi manusia, bersikap
toleran, dan memiliki rasa solider serta loyalitas terhadap yang lain.

Benang merah yang dapat ditarik dari konsep Driyarkara adalah "perlunya
keseimbangan antara dimensi kognitif dan afektif dalam proses pendidikan". Artinya untuk
membentuk manusia seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan kecerdasan berpikir
atau IQ anak didik melalui segudang ilmu pengetahuan, melainkan juga harus dibarengi
dengan pengembangan perilaku dan kesadaran moral.

Karena hanya dengan kombinasi seperti itulah peserta didik akan mampu menghargai
nilai-nilai humanitas di dalam dirinya dan orang lain. Disinilah hakikat Pendidikan nilai yang
sebenarnya.

Di sisi lain Pendidikan nilai bisa berarti educare yang berarti membimbing, menuntun,
dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses
pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik
dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk
menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga
tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang sangat dicita-citakan.

Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan
untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan
keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik
diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik melebihi dari
posisi sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik.

Karena itu, suatu usulan rumusan komprehensif menyeluruh yang terbuka kiranya jauh
lebih menguntungkan untuk menyiapkan generasi masa depan. Usulan rumusan tersebut
adalah: Pendidikan nilai bertujuan mendampingi dan mengantar peserta didik kepada
kemandirian, kedewasaan, kecerdasan, agar menjadi manusia profesional (artinya memiliki
keterampilan (skill), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian/pengorbanan)
yang beriman dan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat,
nusa dan bangsa Indonesia. Dalam bahasa -undang bisa dikatakan bahwa tujuan Pendidikan adalah
membentuk manusia seutuhnya.

b. Filosofi Pendidikan Nilai


Pendidikan merupakan sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang
menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah clan menentukan hidup
manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat hergantung pada tingkat
pendidikannya. Pendeknya, pendidikan itu memanusiakan manusia muda.
Pendidikan nilai adalah bentuk hidup hersama yang membawa manusiaa
muda ke tingkat manusia purnawan. (Driyarkara, 1991). Jadi, corak
pendidikan harus dibalik, dari non vitae sed scholae discimus menjadi non
scholae sed Vitae discimus. Kalimat ini adalah sebuah kalimat dalam
bahasa Latin yang artinya: "Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan
untuk hidup Adagium ini berasal dari Seneca, seorang filsuf, pujangga yang
hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi. Maka, pendidikan harus dilaksanakan
demi kehidupan. Hal ini menjadi solusi supaya pendidikan tidak jatuh
dalam pragmatisme.
Selanjutnya, mewujudkan pendidikan bercorak noh scholae sed vitae discimus berarti
menumbuhkan pendidikan nilai yang bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan esensial
kedudukannya dalam kebudayaan. Salah satu konsep filosofi dasar pendidikan nilai menurut
Theodore Bramelt adalah pendidikan harus mampu menjadi agen atau perantara yang
menanamkan nilai-nilai yang ada clalam jiwa stake holder (Barnadib, 1990). Mendidik
juga berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau memasukkan dunia nilai-nilai
ke dalam jiwa anak (Driyarkara, 1991). Inilah dasar etika Pendidikan nilai.

Tujuan pendidikan nilai secara global adalah mencapal manusia yang seutuhnya atau
manusia purnawan, jika menggunakan bahasa Driyarkara. Pendidikan bermaksud
mencapai manusia yang sehat atau mencapai pribadi yang terintegrasi jika menggunakan
bahasa Philomena Agudo. Integrasi pribadi memadukan semua bakat dan kemampuan
daya manusia dalam kesatuan utuh menyeluruh. Pembawaan fisik, emosi, budi, dan
rohani diselaraskan menjadi kesatuan harmonis. Pendidikan itu manifestasi non scholae sed
vitae discimus.

Pendidikan menghasilkan manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya.


Menurut Maslow (Agudo, 1999), aktualisasi itu akan tampak pada (1) penerimaan diri,
orang lain, dan kenyataan kodrat, (2) spontan dan jujur daiam pemikiran, perasaan, dan
perbuatan, (3) membutuhkan dan menghargai keintiman diri (privasi), (4) pandangan
realitas mantap, (5) kekuatan menghadapi problem di luar dirinya sendiri, (6) Pribadi
mandiri, (7) menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sendiri, (8) menjalin
hubungan pribadi dengan yang Transenden, (9) persahabatan dekat dengan beberapa
sahabat atau orang-orang tercinta, (10) ramah terbuka karena dapat menghargai dan
menerima pribadi yang lain, (11) perasaan tajam, peka akan nilai-nilai rasa moral
susila teguh dan kuat, (12) humor tanpa menyakitkan, (13) kreativitas, bisa menemukan
diri sendiri, tidak selalu ikut-ikutan (14) mampu menolak pengaruh yang mau
menguasai/memaksakan diri, (15) dan dapat menemukan identitasnya.

Kelimabelas manifestasi aktualisasi diri hasil pendidikan nilai itu menjadi modal dasar
untuk membangkitkan semangat kemaslahatan untuk sesama. Kesimpulannya, Pendidikan
nilai bukan hanya menyediakan sumber daya manusia bagi sektor ekonomi tanpa
kehilangan keutuhannya, tapi Pendidikan nilai juga membentuk manusia-manusia yang
mampu mengatasi krisis yang rumit sekalipun. Inilah sejatinya pendidikan nilai yang,
bermuara pada konsep "educate the head, the heart, mrcl flit, hanul ".

Berpijak pada pola kandungan filsafat maka pendidikan, nilai juga mengandung tiga
unsur utama yaitu ontologis pendidikan nilai, epistemologis pendidikan nilai dan aksiologis
pendidikan nilai.

c. Aspek Ontologis Epistemologis dan Aksiologis Pendidikan Nilai

1. Dasar ontologis Pendidikan Nilai


Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari pendidikan nilai
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan pendidikan nilai melalui
pengalaman pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek
materil Pendidikan nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-
aspek kepribadiannya.

Objek formal Pendidikan nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena
atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak
utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang
berperilaku kolektif.

Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi
syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu
terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik
tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan terjadi mata
rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik pendidik atau
antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2. Dasar epistemologis Pendidikan nilai

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan nilai atau pakar Pendidikan nilai demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan nilai
memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan
pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom), fenomena pendidikan.

Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan
objek formalnya, telaah Pendidikan nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan
melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan nilai sebagai ilmu otonom yang
mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatic (Randall & Buchler, 1942).

3. Dasar aksiologis Pendidikan nilai

Kemanfaatan teori pendidikan nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai
tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek
melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkalkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan. Dengan demikian pendidikan nilai tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat Batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan nilai dan tugas pendidik
sebagai pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan nilai
sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya
pendidikan nilai memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek.
Namun harus diakui bahwa Pendidikan nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di negara Indonesia.

d. Pendidikan nilai adalah Human Being

Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N.


Driyarkara). Inilah sejatinya pendidikan nilai. Pendidikan nilai hendaknya membantu
peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih
bermanusiawi (semakin "penuh" sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam
masyarakatnya, yang bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat
membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau
keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang
cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau
obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi
dunia serta realitas yang nenindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan
sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir
atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas penuh sikap
kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.

Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan
indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Di sinilah urgensi human being (memanusiakan manusia) merupakan
upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual,
bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang
dihadapi. Sekali lagi inilah atmosfer pendidikan nilai.

Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang


berbasis human being yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum
learning, quantum teaching, den the accelerated learning.

Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter,
tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya
mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan
Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada
pengembangan model "pendidikan afektif'. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal:
menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran.
Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih
penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.

Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari
model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis
dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian
besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai
masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.

Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa,
dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan,
melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar,
melihat, diskusi, den melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan
cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif
merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101
strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi
pembelajaran.

Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi,


hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar women belajar. Dalam
prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan
neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning
mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara
jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan
metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah
satu konsep dasar dari metode ini adalah Belajar itu harus mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih
besar dan terekam dengan baik.

Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan
membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah darn gembira dengan memadukan
potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien,
dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang
mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini
bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia
kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang
melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping
pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua
ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).

The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan
Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar
dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing
(belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah
learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan
melakukan refleksi).

Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk


belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi
kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai
persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara
berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja
sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai
tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk
kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan
alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses
dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu
memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut "perjalanan menuju
kekedalaman diri sendiri", menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya
refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga
diriya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh
pengalaman seseorang. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan kelas yang pertama adalah
faktor gurunya, kemudian faktor kedisiplinan, terus evaluasi atau penilaian bagi peserta didik.

Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas


merdeka untuk menemukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya
sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam
pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan
dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik
tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif
mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan
ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya
(realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih
tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam
proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pernilahan nilai-nilai yang akan
diperjuangkannya.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengadakan pembaharuan pendidikan
adalah perumusan dasar filosofi pendidikan, misi dan visi setiap unit kerja, strategi dan
perencanaan untuk mencapai tujuan yang banyak membantu dan menjadi pedoman dalam
pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Tanpa itu semua, suatu lembaga pendidikan akan
bekerja serampangan dan tidak tahu ukuran apa yang akan dipakai untuk mengukur
keberhasilan dan kegagalan segala kegiatan yang ada. Warna sistem pendidikan dan
pengelolaannya sangat tergantung dari dasar filosofi, visi dan misi yang dimiliki oleh
suatu lembaga pendidikan. Pelaksanaan yang secara konsisten dan konsekuen akan
dengan sendirinya membentuk identitas yang membedakan dengan lembaga sekolah lain.
Hal-hal ini pula yang akan memberikan roh yang menjiwai dan menggerakkan semua
pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan yang optimal. Perlu pula dibangun suatu budaya
pengelolaan keorganisasian yang jelas dan terinci sehingga semua dapat bekerja secara
proaktif, mendahulukan yang utama, selalu melihat tujuan akhir, kooperatif, berpikir
menangmenang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti dan mewujudkan
sinergi. Semua anggota komunitas pendidikan hendaknya bergerak dari ketergantungan
melewali kemandirian menuju kesalingtergatungan.

3. Tujuan pendidikan

Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Akan dibawakemanakah sebenarnya anak didik
itu? Soal ini adalah soal yang paling sulit dibicarakan dalam hal mendidik. Soal "tujuan
pendidikan" merupakan soal yang prinsipil dalam pedagogik.Maka dari itu, sebelum kita
membicarakan tujuan pendidikanyang khusus berlaku di negara kita dewasa ini (Undang-
Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 tahun 1954 dan Undang-Undang No. 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional), untuk sekadar menambah pengetahuan kita
tentang pendidikan, marilah kita tinjau dahulu beberapa hal. Segala apa yang kita katakan
tentang tujuan pendidikan ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup.

Seperti umumnya kita semua mengetahui bahwa apa yangdimaksud oleh


pemerintahan penjajahan Belanda dahulumendirikan sekolah-sekolah di Indonesia bagi orang
bumiputraberlainan sekali dengan maksud pemerintah Indonesia dewasa inimendirikan
sekolah-sekolah dan kursus-kursus serta perguruan-perguruan tinggi bagi warganegaranya.

Dahulu, ketika VOC berkuasa di Indonesia ini, ada pula sedikit mendirikan
sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi bumiputradi beberapa kota perniagaan. Tetapi,
jelas di sini bahwa tujuannya it u bukanlah untuk mempertinggi kebudayaan rakyat,
melainkan hanyalah sekadar memenuhi kebutuhan mereka mencari tenaga kerja murah untuk
kepentingan monopoli perdagangan mereka. Dilain pihak lagi ada maksud pengembangan
agama Nasrani (missi Ian Zending) kepada rakyat jajahannya.

Demikian pula,sekolah-sekolah yang didirikan selanjutnya oleh pemerintah


Hindia Belanda sesudah VOC itu. Bukanlah untuk mencerdaskan dan meninggikan mutu
kehidupan dan kebudayaanrakyat pada umumnya, melainkan maksud yang sesungguhnya
ialahmendidikorangbumiputra (kebanyakanhanyalahanak-anak orang atasan) untuk dididik
sebagai pegawai negeri rendahan yang giat, patuh, setia, dan mengabdi kepada atasannya.
Jadi, pendidikan itu hanya untuk kepentingan kolonialismenya.

Sekarang zaman telah berubah, Indonesia telah merdeka. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan yang berlaku sekarang pun berlainan pula. .

1. Tujuan dan Kepribadian Pendidik

Dalam sajian di muka sudah dikatakan bahwa pendidikan ialahpimpinan orang


dewasa terhadap anak dalam perkernbangannya ke arah kedewasaan. Jadi, di sini terang
bahwa tujuan umum pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang
berarti bahwa ia harus dapat menentukan masa depan diri sendiri dan bertanggungjawab
sendiri. Anak harus dididik menjadi orang yang sanggup mengenal dan berbuat menurut
kesusilaan. Orang dewasa adalah orang yang sudah mengetahui dan memiliki nilai-nilai
hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagaman, kebenaran, dan sebagainya, dan
hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma itu serta bertanggungjawab atas apa
yang ia lakukan. Pada anak-anak hal demikian itu belum mungkin.Anak belum cukup
mengenal diri sendiri sebagai "Aku". Baru pada masa pubertas anak mulai mengenal
"Akunya", dan mulai memilih dan mengenal nilai-nilai hidup. Tetapi, untuk menentukan
nilai-nilai hidup manakah yang termasuk martabat manusia harus kita pedoman untuk
menentukan tujuan pendidikan, hal ini adalah soal filsafat antropologi atau pandangan
orang tentang hidupmanusia. Tentang bagaimana terjadinya atau asalnya norma-
normakesusilaan dan nilai-nilai hidup itu banyak sekali pendapat orang dan berlain-
lainan.

Tetapi, yang pasti dan harus kita ingat ialah si pendidik sendiri harus memiliki dan
menentukan tujuan hidupnya sendiri. Tujuan pendidikan berhubungan erat dengan tujuan
dan pandangan hidup si pendidik sendiri. Nyatalah, bahwa untuk mendidik itu diperlukan
suatu syarat yang mutlak: Si pendidik sendiri harus telah memiliki (mempersatukan diri
dengan) norma-norma yang tertentu sehingga ia dapat disebut orang yang berkepribadian.
Segala yang diperbuatnya terhadap anak, dalam keadaan yang demikian oleh pendidik,
baru dapat dikatakan mempunyai tujuan sendiri yang tegas di dalam hidupnya. Seorang
pendidik tidak akan tahu kemana anak akan dibawanya (dididik) jika tictak mengetahui
jalan hidupnya. Ingatlah kata-kata yang terkenal dalam pedagogik "Pendidik tidak dapat
memberikan sesuatu kepada anak didiknya, kecuali hanya apa yang ada padanya".
Seorang ayah yang ateis, umpamanya, tidak mungkin mendidik anaknya agar berbakti
dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Seorang guru yang miskin perasaan sosialnya,
tidak akan mampu memasukkan perasaan sosial yang sebenarnya kepada anak didiknya.
Seorang ibu yang berperasaan lemah lembut dan kasih sayang, tentu akan lebih mudah
mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berperasaan halus dan cinta sesama manusia
daripada seorang ibu yang kasar dan keras tingkah lakunya, dan sebagainya.
2. Macam-Macam Tujuan Pendidikan

Di dalarn bukunya Beknopte Theoretische Paedagogiiek, Langeveldmengutarakan


macam-macam tujua pendidikan sebagai berikut:

a. Tujuan umum,
b. Tujuan-tujuan tak sempurna (tak lengkap),
c. Tujuan-tujuan sementara,
d. Tujuan-tujuan perantara, dan
e. Tujuan insidental.
a) Tujuan Umum
Tujuan umum disebut juga tujuan sempurna, tujuan terakhir, atau tujuan bulat.
Tujuan umum ialah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan
orang tua ataupendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat padaanak didik itu sendiri
dan dihubungkan dengan syarat-syaratdan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu.

Tujuan umum ini tidak akan dan tidak dapat selalu diingat oleh si pendidik
dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karenaitulah, tujuan umum itu selalu
dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus mengingat keadaan dan faktor-faktor
yangterdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya seperti

(1) Sifat pembawaan anak didik: umur, jenis kelamin, watak dan kecerdasannya.
(2) Kernungkinan dan kesanggupan keluarga anak didik, miskin atau kaya, terpelajar
atau tidak dan lain-lain. Masih primitif atau sudah majukah masyarakat sekitar
anak itu ? Apakah adat-istiadat masyarakat di situ menghambat atau melancarkan
jalannya pendidikan anakanak itu ? Dan sebagainya.
(3) Tempat dalam masyarakat yang menjadi tujuan anak didik itu. jabatan-jabatan,
pekerjaan-pekerjaan, dan fungsi-fungsi masyarakat apakah yang diperlukan ?
Pertanian, perindustrian, perekonomian, pemerintahan, perdagangan, dan
sebagainya adalah lapangan-lapangan kemasyar'aatan yang memerlukan syarat-
syarat tertentu dan tiap-tiap orang. Dengan kata lain, tidak kepada semua anggota
masyarakat merninta syarat-syarat yang sama.
(4) Tugas badan-badan dan tempat pendidikan. Keluarga atau rumah tangga, sekolah,
badan-badan keagamaan, badanbadan sosial, dan sebagainya sudah tentu
mempunyai tugas yang berbeda-beda dalam mendidik anak-anak. Masingmasing
akan memperhatikan kepribadian anak-didik.dari sudutnya sendiri-sendiri.
(5) Tugas negara dan masyarakat di sini dan sekarang. Tugas suatu bangsa atau umat
manusia di dalam suatu negara yang dijajah atau yang sudah merdeka berlainan.
Demikian pula, keadaan bangsa dan urnat manusia dahulu berbeda dengan
sekarang. Maka dari itu, tujuan sempurna dengan sendirinya mengalami
penentuan yang berlainan pula.
(6) Kemampuan-kemampuan yang ada pada pendidik sendiri. Seperti pernah
diuraikan, hidup si pendidik turut menentukan arah tujuan pendidikan. Dernikian
pula, kecakapan-kecakapan, kesanggupan, pengetahuan, dankehidupan si
pendidik itu. Tujuan umum ini dengandemikian harus ditentukan yang sungguh-
sungguh konkrit dengan memperhitungkan dan memperhatikan segala kenyataan.

b) Tujuan-Tujuan Tak Sempurna


Yang dimaksud dengan tujuan tak sempurna atau taklengkap ini ialah tujuan
mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak dicapai dengan
pendidikan, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup yangtertentu,
seperti keindahan, kesusilaan, keagarnaan, kemasyarakatan, seksual, kecerdasan, dan
sosial. Oleh karena itu, kita dapat juga mengatakan, pendidikan keindahan,
pendidikan kesusilaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan intelektual, dan lain-
lain yang masing-masing dilaksanakan. untuk mencapai tujuan yang terkandung di
dalam masing-masing seginya.

Tujuan tak sempurna ini bergantung kepada tujuan umumdan tidak dapat
terlepas dari tujuan umum itu. Memisahkan tujuan tak lengkap menjadi tujuan sendiri
sehingga merupakan tujuan terakhir atau tujuan umum dan pendidikan menjadi berat
sebelah, dan berarti tidak mengakui kepribadian manusia sebulat-bulatnya dan seutuh-
utuhnya. Ingatlah pendidikan hendaklah harmonis, integral, dan seimbang.

c) Tujuan-Tujuan Sementara
Tujuan sementara itu merupakan tempat-tempat perhentiansementara pada
jalan yang menuju ke tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar
kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, dan belajar bermain-main bersama
teman-temannya.Umpamanya, kita melatih anak belajar berbicara agar anakdapat
berbicara dengan baik dan benar. Dalam hal ini tujuankita telah tercapai (tujuan
sementara), yaitu anak dapatberbicara. Tetapi, tidak hanya sampai di situ tujuan kita.
Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan baik dan sopan santun
terhadap sesama manusia' berbicara dengan struktur tata kalimat yang benar, agar ia
berbuat susila (tujuan tak lengkap), dan seterusnya.

Demikian pula melatih anak untuk belajar kebersihan, belajar berbelanja, dan
sebagainya adalah tujuan sementara.Tujuan sementara ini merupakan tingkatan-
tingkatan untuk menuju kepadatujuan umum. Untuk mencapai tujuan-tujuan
sementara itu di dalam praktek harus mengingat dan memperhatikan jalannya.
perkernbangan pada anak. Untuk itu maka perlulah psikologi perkembangan.

d) Tujuan-Tujuan Perantara
Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Umpamanya, tujuan
sementara ialah si anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk
apa anak belajar membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam
kernungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti
metode mengajar dan metode membaca.

Contoh lain, tujuan tak sempurna ialah pembentukan kesusilaan: sebagai


tujuan sementaranya dapat ditentukan pada suatu umur yang tertentu si anak belajar
membeda-bedakan " kepunyaanku" dan "kepunyaanmu". Dengan memperhatikan
tujuan sementara itu si anak kita beri permainannya dengan alat tertentu dan cara
bermain tertentu (tujuan perantara). Jika anak telah menguasai teknik permainan dan
cara menggunakan alat dan dapat memainkannya, maka tujuan perantara ini tercapai.

e) Tujuan Insidental
Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat yang
terlepas pada jalan menuju kepada tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil
anaknya supaya masuk ke dalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, atau
untuk makan bersama-sama; ayah itu mengharap supaya perintahnya itu ditaati.
Tetapi, dalam situasyang lain mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan
itu dan. hanya bersikap netral saja. Contoh lainnyaadalah jika anak pulang sekolah
langsung tanpa memberi salam, melempar tas sekolah dan sepatunya di sembarang
tempat,orang tua atau kakaknya agar mengulang dari depan pintumemberi salam,
menaruh tas dan sepatunya pada tempatnya,atau minimal orang tua atau kakaknya
menasehati agar lainkali memberi salam ketika mau masuk rumah danmenempatkan
tas dan sepatunya pada tempat yang telah tersedia.

Kenyataan menuniukkan bahwa di dalam tiap-tiap situasi terpisah yang kita


laksanakan, meskipun ada tujuan-tujuan. tujuan-tujuan itu masih ada hubungannya
dengan tujuan umum. Tetapi, jika yang dimaksud oleh si ayah tadi ialah agaranaknya
mempunyai kebiasaan-kebiasaan tetap untuk makanbersama-sama keluarga sehingga
dengan demikian bermaksud pula untuk memperkuat rasa sama-sama terikat dalam
ikatankeluarga, maka hal itu dapatlah dipandang sebagai tujuanperantara.

Macam-macam tujuan" tersebut di atas (tujuan taksempurna, tujuan


sementara, tujuan perantara, dan tujuaninsidental) dapat dicapai dengan nyata.
Adapun bagaimana menetapkan tujuan-tujuan itu dan bagaimana cara
melaksanakannya adalah tugas pedagogik praktis.

Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atasdan hubungan-hubungannya satu


sama lain, mempermudah usahakita hendak mengerti pekerjaan mendidik dan
memungkinkan kita meninjau apa yang dianjurkan oleh aliran-aliran modern atau
aliran-aliran kuno dalam pendidikan. Sedangkan tujuan umum itu bermuara dalam
pandangan hidup yang mendukung sebagai batu dasarnya.

3. Beberapa Pendapat tentang Tujuan Pendidikan

Dalam pasal-pasal. yanglalu telah dikatakan bahwa tujuanpendidikan itu


ditentukan. oleh zaman dan kebudayaan di tempat hidup juga telah dijelaskan bahwa
tujuan pendidikan ituditentukan oleh "pandangan hidup" manusia. Karena pandangan
hidup" manusia itu berlainan, berbeda-beda pula apa yang hendak dicapai dengan.
pendidikan itu. jadi, titik berat yang hendak dituju, berbeda-beda pula seperti:
Ada ahli didik yang lebih menitikberatkan. kepada ketuhanan atau agama (lihat :
tujuan tak lengkap). Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia
selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang
diperintahkanoleh agamanya. Anak dididik bukan untuk hidup di dunia ini dan.
sekarang, melainkan dengan. pendidikan itu mereka hendak mempersiapkan anak untuk
hidup di akhirat nanti. Seperti di Eropa dalam Abad Pertengahan, dan juga di negara-
negara Asia pada zaman dahulu, India kuno, Mesir kuno, dan lain-lain, kebanyakan.
orang masih berpendirian demikian.

Sebaliknya, banyak pula orang yang lebih mengutamakan keduniawian. dan


bukan keakhiratan dalam pendidikannya. Mereka rnendidik anak-anak untuk dapat dan
sanggup hidup di dunia ini, yang penuh dengan. rintangan dan kesukaran yang harus
diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya.

Pada abad ke-18 dan. ke-19 disebut abad rasio, yang pada waktuitu teknologi dan
ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat, orang lebih mengutamakan hal-hal. yang
berhubungan dengan. kehidupan duniawi dan kebendaan (materi) daripada hal-hal
yangherhubungan kerohanian. seperti keindahan, kesusilaan, dan. agama (ingatlah akan
aliran rasionalisme dalam filsafat, yang kemudian menimbulkan aliran intelektualisme
dan materialisme dalam pendidikan.).

Ditinjau dari sudut anak atau manusia itu sendiri, di samping kedua pendirian. di
atas, ada pula pendidikan yang mementingkan. anak itu sendiri sebagai pribadi, dan ada
pula yang lebih mementingkan manusia itu sebagai anggota masyarakat. Sehingga
dalam hal ini timbullah apa yang disebut pendidikan individual (individueele opvoeding)
dan pendidikan kemasyarakatan (sociale opmeding).

J.J. Rousseau, -umpamanya, lebih mementingkan pendidikan individual daripada


pendidikan kemasyarakatan. la berpendapat bahwa manusia itu ketika dilahirkan adalah
baik, suci, dan kebanyakan anak itu menjadi rusak karena manusia itu sendiri atau
karena masyarakat. Oleh karena itulah, Rousseau dalam pendidikannya menganjurkan
agar anak-anak dididik sesuai dengan alamnya. Alam anak-anak itu baik; semua
pembawaan anak: itu adalah pembawaan yang baik. Maka dari itu, kembangkanlah
pembawaan-pembawaan anak itu menurut alamnya. Rousseau adalah penganjur
pendidikan menurut alam, sehingga hukuman dalam pendidikanpun ia menganjurkan
"hukuman alam". Alamlah yang akan mendidiknya. Jika anak ingin tahu rasa panasnya
api, biar anak merasakannya. Jika anak ingin menghayati keindahan alam, biarkan
mereka mengamati alam di sekelilingnya. Jika anak ingin tahu rasa sakit hati, biarkan
dia diejek teman-temannya ketika ia mengganggu teman lain yang sedang bermain.

Terhadap pendirian Rousseau yang demikian kita tidak akanbegitu saja


menerima. Bagaimana si anak itu dapat memilih mana yang baik dan yang buruk tentang
norma-norma kesusilaan jika anak itu tidak dibantu atau dipimpin oleh orang dewasa;
kalau anak itu hanya diserahkan begitu saja pada pertumbuhan sewajarnya menurut
alam.
John Dewey, seorang ahli filsafat dan ahli didik bangsaAmerika, berpendapat
bahwa pendidikan kemasyarakatanlah yang lebih penting daripada pendidikan
individual. Tujuan pendidikan menurut Dewey ialah membentuk manusia untuk menjadi
warga negara yang baik. Untuk itu, di sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada
anak yang perlu bagi kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai warga negara. Anak harus dididik untuk menjadi orang yang dapat menurut
pimpinan dan dapat memberikan pimpinan atau menjadi seorang yang ahli dalam suatu
teknik, perindustrian, dan lain-lain. Pendeknya, pendidikan hendaklah mempersiapkan
anak untuk hidup di dalam masyarakat. Teranglah bahwa ia lebih menguramakan
masyarakatnya daripada anak itu sendiri sebagai individu.

Tentu saja pandangan ini pun berat sebelah. Kemungkinan akan menimbulkan
bahaya kolektivisme, yaitu suatu pendapat yang tidak menghargai "penentuan diri
sendiri atas tanggung jawab sendiri" pada seseorang, yang berarti pula individualitas
dikesampingkan.

Maka kesimpulannya ialah : pendidikan harus dapat maju bersama-sama.


Pendidikan individual jangan diabaikan, jadi pendidikan harus berdasarkan kepada
pribadi, kepada individualitas anak. Pendidikan kemasyarakatanpunharus tertanam
dengan baik pada anak-anak sebab manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi
juga sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh adanya larangan-larangan, peraturan-
peraturan, undang-undang, dan sebagainya.

Untuk mengakhiri bahasan ini, perlu di sini kita singgung, bagaimana pendapat
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, terutama pendidikan bagi anak-anak kita,
Indonesia.

Sebagai pendiri, bapak, dan pemimpin Perguruan Taman Siswa, pendapat dan
pandangannya tentang pendidikan dapat dilihat pada: Asas-Asas Taman Siswa yang
antara lain sebagai berikut:

(1) Hak seorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikingsrecht) dengan


mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum
(maastchappelijkesaamhoorigheid), ialah pertama.
(2) Tertib dan damai (tata dan tentrem, orde en vrede), itulah tujuan yang setinggi-
tingginya. Tidak ada ketertiban kalau tak berdasarkan perdamaian. Sebaliknya, tak
akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.
(3) Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei), itulah yang perlu sekali untuk
segala kemajuan (evolutie), dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu,
pendidikan yang beralaskan syarat "paksaan-hukum-ketertiban" (regeering, tucht
en orde) dianggapnya memperkosa hidup kebatinan anak. Yang dipakainya sebagai
alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat
tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang
dinamakannya "Amongmethode".
(4) Dalam sistern ini maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia
yang merdeka batinnya, merdekapikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan
hanya memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga
mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal
keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu ialah yangbermanfaat untuk
keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (sociaal belang).
Atau lebih jelas lagi dapat kita katakan sebagai berikut

(1) Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah menuju ke "tertib damai" yang harus
dicapai dengan mengingati hak-diri dan mengutamakan keperluan umum,
mengganti alat " perintah dan paksaan" dengan usaha memajukan "bertumbuh
sendiri" dengan selalu mementingkan kodrat-iradatnya alam: itulah yang
dinamakan "Among-system " atau cara " tut wuri handayani".
(2) Pengajaran harus memberikan pengetahuan yang perlu dan berguna untuk
kemerdekaan hidup lahir dan batin di dalam masyarakat, dan membiasakan
murid untuk dapat mencari sendiri segala ilmu itu dan mempergunakannya untuk
amal,keperluan umum.
(3) Pendidikan Taman Siswa bermaksud memaksakankeadaban murid (kultural)
dengan dasar kemanusiaan dan aliran kebangsaan.
(4) Cita-cita pendidikan Taman Siswa ialah membangun orangyang berpikir
merdeka, bertenaga merdeka, yaitu manusia yang merdeka lahir dan batin.

Nyatalah dari uraian di atas bahwa yang menjadi dasar untuk' segala usaha
Taman Siswa itu ialah apa yang disebut "Pancadarma. Taman Siswa", yang berisikan
lima syarat mutlak, yaitu: (1) dasar, kodrat alam, (2) dasar kebudayaan, (3) dasar
kemerdekaan, (4) dasar, kebangsaan, dan (5) dasar kemanusiaan.

Pendidikan dalam Taman Siswa berlaku menurut "sistem Among", yaitu sistern
yang mengemukakan dua dasar:

(1) Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan


lahir dan batin sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri).
(2) Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dengan sebaik-baiknya.
Dilihat dari asas dan dasarnya, ternyata pendidikan Tamansiswa adalah harmonis
(selaras): tidak mementingkan salah satu segi pendidikan saja. Di dalamnya terdapat
keselarasan antara pendidikan jasmani dan pendidikan rohani. Tidak hanya
mengutamakan pendidikan individual (seperti pendapat Rousseau), tetapi juga
pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan Taman Siswa tidak hanya mementingkan
perkembangan anak sebagai individu, tetapi juga gunanya ilmu itu bagi keperluan
umum, yaitu bagi masyarakat. Pendidikan Taman Siswa tidak hendak mementingkan
telektual atau pengetahuan saja (intelektualisme), tetapi juga segi pendidikan yang lain,
seperti kesusilaan, kesenian, keindahan, dan kebudayaan mendapat tempat yang
sewajarnya.
Sesudah membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan tujuan
pendidikan pada umumnya, sampailah saatnya sekarang kita mempelajari tujuan
pendidikan dan pengajaran di negara kita, Indonesia, seperti yang tercantum di dalam
Undang-Undang No. 12 tahun 1954. Hal ini akan dibicarakan tersendiri dalam bab
berikut.

4. Tujuan Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia

Setelah kita membicarakan berbagai hal mengenai tujuan pendidikan pada umumnya,
makin terang bagi kita bahwa setiap tujuan dalam pendidikan itu ditentukan oleh zaman
dan kebudayaan tempat manusia itu hidup.

Dalam pasal yang lalu diuraikan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sekarang ini
jauh berbeda dengan tujuan pendidikan pada zaman penjajahan. Sebab, tiap-tiap tujuan
pendidikan di suatu negara mau tidak mau ditentukan pula oleh corak pernerintahan dan
bentuk negaranya. Apa yang dituju dengan pendidikan di negara yang dikuasai atau
diperintah oleh satu orang ataupun oleh golongan minoritas, berbeda dengan di negara
yang dikuasai oleh inayoritas. Tujuan pendidikan di negara diktator berbeda dengan di
negara demokrsi. Tetapi, soal tersebut tidak dibicarakan di siniyang penting ialah marilah
kita sekarang menyelami tujuanpendidikan dan pengajaran di negara kita sendiri, sebagai
pegangan dan sebagai dasar di dalam menunaikan tugas kita sebagai pendidik,pembina
masyarakat dan bangsa.Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar dantujuan
pendidikan dan pengajaran itu di dalam Undang-Undangnomor 12 tahun 1954, terutama
pasal 3 dan 4 yang berbunyi sebagaiberikut :

Pasal 3 : Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air.

Pasal 4: Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaksud dalam
"Pancasila", UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas
kebudayaan kebangsaan Indonesia.

Kalau kita meneliti apa yang tercanturn pada pasal-pasal di atas,nyatalah apa yang
menjadi tugas pendidik, yaitu

(a) membentuk manusia susila,

(b) membentuk manusia susila yang cakap,

(c) membentuk warga negara,

(d) membentuk warga negara yang demokratis,

(e) membentuk warga negara yang bertanggungjawab tentang kesejahteraan


masyarakat dan tanah air.
Marilah kita coba menelaah apa yang dimaksud dengan macam-macam tugas tersebut
agar lebih jelas pengertian kita sehinggaterhindar dari "ketidaktentuan" dalam mendidik,
yang mungkintimbul jika kita tidak benar-benar mengetahui apa yang hendak kitatuju
dengan pendidikan itu.Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pembangunannegara dan
bangsa Indonesia, maka rumusan tentang tujuan pendidikan seperti tercanturn dalam
Undang-Undang no. 12 tahun1954 mengalami perubahan, meskipun inti atau esensinya
adalahsama.

Di dalam GBHN 1983 - 1988 tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut:


Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila,bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Tujuan ini pada
rumusan GBHN 1993 tidak mengalami perubahan.

Uraian selanjutnya dalam bab ini mengacu pada rumusan tujuan pendidikan dalam
Undang-Undang no. 12 tahun 1954 seperti telah dikemukakan di atas. Anak Harus dididik
menjadi manusia susila. Seketika timbullah bermacam-macam pertanyaan dalam diri kita:

Apakah yang dimaksud dengan manusia susila itu ?


Dapatkah kesusilaan atau watak itu dididik ?
Mengapa pendidikan kesusilaan itu penting ?
Alat manakah atau dengan cara bagaimana kita dapat mendidik kesusilaan atau watak
itu ?
Marilah kita coba menelaah apa yang dimaksud dengan tugas kita yang terpenting itu
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.Manusia susila ialah manusia yang hidupnya
sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang berlaku. Kita katakan norma-norma
kesusilaan yang sedang berlaku, sebab setiap zaman orang berubah-ubah pandangan
tentang baik dan buruk (etika). Yang dahulu berlaku, mungkin sekarang sudah dianggap
sebagai suatu hal yang hersifat feodal atau kolonial. Oleh sebab itu rumusan tentang
pendidikan watak bagi anak-anak Indonesia perlu dirumuskan dengan jelas agar sekolah
dan lembaga pendidikan dapat mencapainya dengan pedoman yang jelas.
2. Hakikat Pembelajaran

a. metode pembelajaran

Metode pembelajaran sebagai unsur dasar teknologi dinamis dal.im proses


pembelajaran harus mampu menggerakkan situasi pendidikan menjadi kegiatan nyata
yang langsung melibatkan peserta didik. melalui proses pembelajaran itulah puncak-
puncak fungsi dan tugas pendidlk tertunaikan.

ILUSTRASI

Penulis buku ini berkunjung ke sebuah SD di Amerika Serikat. Masuk ke kelas III, penulis
disambut hangat oleh guru (seorang wanita ) di kelas itu bersama muhd-muridnya. Oleh
ibu guru penulis dipersilahkan berdiri didepan kelas dan diperkenalkan kepada murid-
murid sebagai seorang tamu dari Indonesia.

Murid-murid dengan antusias memperhatikan tamu di kelasnya, dan sesudah ibu guru
memperkenalkan tamunya itu sejumlah murid spontan mengacungkan tangan.
Ibu guru menunjuk seorang murid yang mengacungkan tangan itu untuk mengemukakan
apa yang ingin disampaikannya. Murid yang ditunjuk itu menanyakan ; " Bendera
Indonesia itu apa, Bu? "
Pada berbagai kesempatan ketika penulis mengutarakan suasana yang terjadi di kelas III
SD tersebut diatas kepada guru-guru ditanah air,dan bertanya kepada mereka :
bagaimana hendaknya respon yang diberikan oleh guru kepada murid atas pertanyaan
itu?jawaban yang pada umumny a dikemukan oleh para guru ialah:

Guru langsung menjawab pertanyaan murid : Merah- Putih


Guru mempersilakan tamunya menjawab
Guru menawarkan kepada murid lain,siapa yang bisa menjawabnya
(ada yang agak berbeda )Guru menyuruh murid berdiskusi berdua-dua tentang
jawaban pertanyaan itu
Dari satu eksemplar kecil proses pembelajaran di kelas III SD dapat ditarik beberapa atribut
yang menyertai proses pembelajaran yang berlangsung pada waktu itu, yang agaknya dirasakan oleh
para murid Kelas III SD, yaitu:

Materi yang dipelajari: baru, menarik, berguna, dan mudah.


Suasano yang berkembang: unik, menantang, menggairahkan, ber-semangat, hidup.
Aktivitas yang dijalani: spontan, bersemangat, mangaktifkan semua murid, jelas, mudah,
konkrit, tertib, berdisiplinjancar, tidak mem-buang-buang waktu.
Sumber belajar: tersedia, terjangkau, mencukupi, kaya, mudah.
Pribadi guru: penuh perhatian, sopan dan lembut, ceria, bersemangat, mengajak, artikulatif,
tektis/strategis, konkrit.

Dengan atribut yang demikian, proses pembelajaran berlangsung dengan sebaik-baiknya


melalui pensinergian energi peserta didik dan energi lingkungan yangada. Energi
pendidikdiartikulasikan sedemikian rupa sehingga energi pendidik, peserta didik dan lingkungan
tersinergikan.

b. Pengintegrasian Kaidah-Kaidah.
Suatu proses pembelajaran, baik dalam skala eksemplar berlangsung dalam puluhan menit
ataupun dalam skala atau eksemplar besar dalam beberapa jam, apabila dikehendaki terlaksana dengan
baik, hendaklah di disain dan diselenggarakan dengan mengintegrasikan kaidah pendidikan
sebagaimana diuraikan terdahulu.
Gambarannya sebagai berikut.

1) Arah dan wilayah materi pembelajaran


Arah dan wilayah materi pembelajaran sangatlah luas, seluas kehi-dupan manusia dari zaman
ke zaman, bahkan menjangkau masa de-pan dan kehidupan dunia dan akhirat. Satu unit proses
pembelajaran hanya menjangkau satu unit materi yang volumenya sangat terbatas dari ratusan, ribuan
atau bahkan dalam jumlah yangtak terhitung un-tuk pembelajaran yang perlu dipelajari peserta didik.
Dalam segenap unit materi pembelajaran itu terkait dengan kaidah-kaidah berikut.
Harkat dan martabat manusia (HMM) dengan tiga komponen-nya yang intisarinya
dirumuskan dalam lima-i.
Pengembangan pancadaya (daya taqwa, cipta, rasa dan karsa) menuntut dipilih dan
dirumuskannya materi pembelajaran se-cara tajam dan terarah kepada pengembangan
kelima potensi dasar itu, secara terpadu dan terkait, mengacu kepada hakikat manusia
dalam bingkai dimensi kemanusiaan.
Pengembangan potensi merupakan wujud nyata pengembangan peserta didik dalam
kelima potensi dasar itu, meliputi (a) kompetensi berkenaan dengan sistem, cara dan
peralatan tertentu (hard skill), dan (b) kompetensi berkenaan dengan nilai-nilai
kemanusiaan (soft skill).
Kompetensi yang dimaksudkan itu terarah kepada penguasaan WPKNS (wawasan,
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap) sebagai isi diri individu yang dapat diterapkan
dalam kehidupan-nya sehari-hari selama hidupnya. Materi IPTEKSA (ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan agama) serta budaya adalah bidang-bidang kajian yang diperlu-kan
penguasaan WPKNS-nya.
Kompetensi yang dimaksudkan itu dilengkapi pula dengan kajian tentang kebenaran,
baik kebenaran hakiki maupun kebenaran relatif yang diturunkan dari dan diaplikasikan
kepada gatra-gatra (dengan ADD dan ADL-nya) yang dijumpai individu dalam
kehidupan-nya. Hanya dengan kebenaran-kebenaran itulah individu (manusia pada
umumnya) dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Seluruh substansi yang dikemukakan di atas dapat dikembalikan kepada alam ciptaan
Tuhan. Alam yang tidak terbatas luasnya dan tidak terhingga kandungannya merupakan
modal bagi manusia untuk hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk itu manusia harus
mampu mempelajari, melalui kaidah-kaidah alam takam-bang jadi guru. Penguasaan
alam oleh manusia akan menjamin kesuksesan dan kebahagiaan manusia (baik secara
individu, ke-luarga, kelompok, masyarakat/bangsa, maupun manusia secara keseluruhan)
sebagai khalifah di muka bumi ini sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Demikian luasnya substansi pembelajaran, terbentang dan terbuka untuk dipelajari manusia
melalui kegiatan belajar dan proses pembelajaran dalam rangka upaya pendidikan secara menyeluruh.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah perkembangan peserta didik dan kekhususan jalur, jenjang serta
jenis pendidikan, berbagai substansi pembelajaran dapat dikemas dalam bentuk kurikulum yang
substansinya terspesifikasikan tetapi mencakup, konkrit tetapi fleksibel, bahkan dapat dikategorikan
standar tetapi terbuka bagi perkembangan sesuai dengan asas dinamik kehidupan dan perkembangan
yang terjadi.
Memperhatikan luasnya substansi pembelajaran sebagaimana digambarkan di atas, materi
pembelajaran di Kelas III SD yang diilustrasikan di atas volumenya sangat kecil, ibarat setitik air di
tengah lautan atau sebutir debu di tengah padang pasir. Namun, sekecil apapun materi pembelajaran itu,
ia tetap penting bagi pengembangan peserta didik. Demikian pula, sekecil apapun materi pembelajaran
itu, penampilan dalam proses pembelajaran haruslah disertai dengan kaidah-kaidah pendidikan secara
tepat dan dinamis, apabila materi itu dikehendaki benar-benar bermanfaat untuk pengembangan potensi
peserta didik.

2) Harkat dan Martabat Manusia (HMM)


Kaidah-kaidah dalam HMM secara langsung menjadi muatan materi pembelajaran. Dengan
mengadopsi bahwa inti HMM adalah lima-i maka materi pelajaran yang diangkat atau menjadi muatan
proses pembelajaran dikehendaki memuat kelima unsur lima-i. Lebih jauh, atribut keseluruhan proses
pembelajaran yang akan terlaksanapun nantinya dikehendaki bernuansa lima-i juga. Pada pembelajaran
tentang Bendera Indonesia di Kelas III SD yang berlangsung hanya kira-kira 20 menit, sebagai
diilustrasikan di atas, kaidah-kaidah lima-i telah terjelmakan di dalamnya". Unsur inisiatif jelas terlihat
telah berkembang dan terus dikembangkan oleh guru. Unsur ini tampil dalam bentuk murid-murid
mengacungkan tangan ingin mengemukakan atau bertanya sesuatu berkenaan dengan datangnya tamu
dari Indonesia ; ada di antara murid-murid itu yang bertanya tentang bendera Indonesia. Inisiatif lebih
lanjut dikembangkan oleh guru dengan menerapkan metode mencari dan menemukan dengan
mengakses sumber-sumber yang ada. Metode ini sekaligus menunjang berkembangnya unsur industrius
pada diri peserta didik. Unsur individu tampak pada keberanian murid-murid mengacungkan tangan
untuk menampilkan diri, dan unsur interaksi terwujudkan dalam saling menenggang untuk membahas
sumber-sumber belajar (mereka tidak saling berebut), tertib pada saat bangkit dari kursi dan duduk
kembali setelah mengakses sumber; kemudian mereka menunggu dan mendengarkan teman yang
sedang menyampaikan pendapat tentang bendera Indonesia. Lebih jauh, unsur interaksi juga
berkembang ketika murid-murid menghubungkan dirinya dengan tamu asing yang datang dari negeri
seberang, meskipun hal ini tidak secara eksplisit dinyatakan. Pertanyaan siswa tentang bendera
Indonesia sesungguh-nya terkait dengan kenyataan bahwa bangsa Amerika pun punya bendera; dalam
kaitan itu, tentunya bangsa Indonesia juga mempunyai bendera. Ini cerminan unsur interaksi juga.
Unsur-unsur lima-i tidak hanya ditampilkan dalam kaitannya dengan materi pembelajaran saja,
melainkan juga dengan atribut-atribut proses pembelajaran lainnya. Aktivitas pembelajaran yang di-
jalani peserta didik (murid-murid Kelas III SD di atas misalnya) dengan atribut spontan, bersemangat,
aktif, tertib, berdisiplin, lancar, tidak membuang-buang waktu, semuanya terkait dengan unsur-unsur ini-
siatif, industrius, individu dan interaksi. Demikian juga atribut yang diberikan kepada guru, seperti
penuh perhatian, sopan dan lembut, ceria, bersemangat, mengajak, artikulatif, teknis/strategis, konkrit
merupakan wujud yang mewarnai aktivitas guru dalam mengembangkan unsur-unsur lima-i pada
peserta didik.
Unsur-unsur lima-i sebagai ideologi pembelajaran, yang merupakan representasi HMM, perlu
setiap kali melalui substansi seke cil apapun, setiap kali muncul, ada dan dihidupkan secara
taktis/ strategisi dan dinamis dalam proses pembelajaran. Kondisi muncul terus-menerus
seperti itu akan semakin memperkokoh keberadaan unsur-unsur lima-i (dan keseluruhan
unsur HMM) dalam diri peserta didik yang akan menjadi acuan dasar yang sekaligus
mewarnai sosok diri dan penampilan kehidupan peserta didik sekarang (dalam proses
pembelajaran) dan selanjutnya.

3) Pilar Pembelajaran: Kewibawaan dan Kewiyataan

Kewibawaan sebagai kaidah pendidikan dalam buku ini, yang meliputi unsur-unsur
pengakuan dan penerima-an, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, tindakan tegas yang
mendidik, dan pengarahan serta keteladanan, ditampilkan oleh ibu guru Kelas III SD tersebut
di atas. Dengan penampilannya yang penuh perhatian, sopan dan lembut, ceria, dan
bersemangat sang guru menampilkan kesukaannya kepada murid dan cara-cara guru
memperlakukan murid sebagai subjek yang penuh potensi dengan harkat dan martabatnya
yang tinggi. Sedangkan penampilan guru yang mengajak, artikulatif, teknis/ ggstrategis dan
konkrit memperlihatkan penguasaannya yang tinggi terhadap materi, metode, alat bantu dan
sumber, serta lingkungan pembelajaran, sebagai unsur kewiyataan.

Unsur kewibawaan seperti tindakan tegas yang mendidik memang belum ditampilkan dalam
contoh di atas, karena suasana yang membutuhkan tindaan tegas itu memang tidak muncul.
Demikian pula unsur- unsur kewiyataan, yaitu alat bantu pembelajaran secara spesifik dan
penilaian hasil pembelajaran juga belum tampak, karena dalam pembelajaran dengan waktu
yang cukup singkat itu kedua unsur tersebut belum/tidak diperlukan kemunculannya. Dalam
prak-tik pembelajaran dengan skala yang lebih besar keseluruhan unsur kewibawaan dan
kewiyataan diharapkan diterapkan secara penuh

4) Dimensi Belajar: TBMTbl


Pada contoh Kelas III SD di atas baru dimensi belajar dari tidak tau menjadi tahu
yang tertampilkan, berhubung dengan kecilnya skala pembelajaran. Pada skala yang lebih
besar, seluruh dimensi belajar, yaitu TBMTbl (dimensi tahu, bisa, mau, terbiasa dan ikhlas)
dikehendaki dikembangkan secara penuh dan mantap

5) Paradigma Pembelajaran: D-C-T

Pada contoh Kelas III SD diatas unsur D (dapat) telah berjalan, yaitu para murid
mendapatkan pemahaman tentang bendera Indonesia yaitu Merah-Putih. Mudah-mudahan
unsur C (catat) dilakukan oleh mereka sampai dengan taraf hafal dan tidak melupakannya.
Unsur T (terap) mudah-mudahan dapat mereka praktikkan pada peristiwa yang tepat. Unsur
D pada contoh di atas memang masih amat terbatas, berhubung dengan terbatasnya skala
pembelajaran yang terjadi. Pada skala pembelajaran yang lebih besar untuk jangka yang lebih
panjang ketiga unsur D-C-T perlu dikembangkan melalui berbagai tahapan kegiatan belajar,
pemantapan, dan penerapan hasil-hasilnya.

6) Konstruk Pembelajaran

Trilogi konstruk pembelajaran merupakan konstruksi pembelajaran secara


menyeluruh yang meliputi tiga komponen dasar, yaitu enerrgi pembelajaran, dinamika
konstruktivisme dalam pembentukan pengetahuan, dan konsep konvergensi sebagai hasil
perkembangan peserta didik.

o Energi pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan harmonisasi


pensinergian ketiga komponen energi pembelajaran, yaitu energi belajar
peserta didik, energi pendidik, dan energi lingkungan. Pendidik merupakan
motor pensinergian tersebut.
o Konstruktivisme. Rangsangan dari luar peserta didik (yang berasal dari materi
pembelajaran) memasuki diri peserta didik dan diolah melalui mekanisme
mental serta dikonstruk menjadi pengetahuan yang bermakna bagi peserta
didik yang bersangkutan. Kualitas konstruksi pengetahuan dan hasil-hasilnya
pada diri peserta didik sangat dipengaruhi oleh kesadaran peserta didik atas
posisi dan kondisi dirinya dalam proses pembelajaran, serta kondisi
lingkungan belajarnya. Posisi dan kondisi diri yang kuat peserta didik dalam
proses pembelajaran, ditopang oleh lingkungan yang kaya akan mendorong
mekanisme konstruktivisme yang bermutu tinggi dengan hasil yang
berkualitas tinggi pula.
o Konvergensi. Komponen pembawaan peserta didik dan komponen pengaruh
intervensi dari luar yang diterima peserta didik dan proses pembelajaran
berpengaruh secara proposional terhadap perkembangan peserta didik dalam
bentuk hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik. Dalam hal ini pendidik
harus memahami pembawaan atau modal mental dimiliki peserta didik untuk
sebesar-besarnya dikembang-kan melalui intervensi dari luar peserta didik
(berupa perlakuan pendidik dan kondisi lingkungan yang prima dan kaya).
Kondisi modal mental dan intervensi dari luar peserta didik bersama-sama
membuahkan hasil pembelajaran yang dinikmati peserta didik.
Konstruk pembelajaran yang terbentuk pada proses pembelajaran yang terjadi di
Kelas III SD yang digambarkan di atas dapat dipahami sebagai berikut:

o Energi Pembelajaran. Ibu guru Kelas III SD itu telah berhasil


mengharmonisasikan energi peserta didik (yang pada waktu itu menaruh
perhatian besar terhadap tamu asing di kelas mereka dan antusias untuk
menanyakan/memperoleh sesuatu dari tamunya itu), dan energi pendidik
sendiri yang hendak memanfaatkan tamu asingnya itu untuk kepentingan
murid-muridnya. Kombinasi ketiga energi itu membentuk proses pembelajaran
yang berlangsung selama kira-kira 20 menit dengan materi pokok Bendera
Indonesia.
o Konstruktivisme. Mekanisme terbentuknya pengetahuan tentang bendera
Indonesia, yaitu Merah-Putih, berlangsung secara efektif, dengan dua
komponen dasar konstruktivisme bermutu tinggi yang menggiringi proses
pembelajaran, yaitu kesadaran murid-murid bahwa mereka bebas
bertanya/berbicara dan mendapat kesempatan yang amat bagus untuk
memperoleh sesuatu dari tamu asing, serta kondisi lingkungan yang amat
menunjang, yaitu suasana hangat, menantang dan menggairahkan dan ada-nya
sumber-sumber belajar yang dapat di akses dengan mudah dan efektif. Selain
sumber yang berupa buku yang ada di kelas, tamu asingnya itu juga
memberikan konfirmasi yang amat bersahabat dan menguatkan. Dengan
demikian, proses konstruktivisme tentang bendera Merah-Putih terjadi dengan
efektif. Pengetahuan tentang Merah-Putih pada diri murid-murid Kelas III SD
itu agaknya terbentuk dengan kuatnya.
o Konvergensi. Dua kekuatan interen dan eksteren yang ada pada diri peserta
didik berkonvergensi dalam proses singkat di Kelas III SD itu, yaitu modal
mental yang ada pada tiap-tiap diri murid kelas III itu. Dapat dibayangkan
bahwa mereka masing-masing adalah individu normal yang memiliki
kemampuan dasar minimal rata-rata. Pengembangan potensi murid-murid
yang minimal rata-rata itu ditunjang oleh faktor ekstern yang cukup bagus,
yaitu suasana yang hangat dan menyenangkan yang dimotori oleh ibu guru, in-
tervensi positif dan strategis dari sang guru yang ditunjang oleh tamunya, serta
sumber belajar yang efektif. Kedua komponen interen dan eksteren itu
terkonvergensi dalam mengangkat tema Bendera Indonesia bagi murid-murid
Kelas III SD itu.
Memperhatikan gambaran di atas, tampak bahwa berbagai kaidah keilmuan
pendidikan terterapkan secara terintegrasikan di dalam proses pembelajaran, meskipun proses
itu hanya berbentuk suatu eksemplar kecil pembelajaran yang berlangsung sekitar 20 menit.
Lebih jauh, semakin besar skala proses pembelajaran yang dilangsungkan akan semakin besar
pula kemungkinan dilibatkan dan diintegrasikannya kaidah-kaidah keilmuan pendidikan yang
dimaksud itu secara lebih luas dan mendalam.
7) Dimensi hasil belajar: Triguna

Hasil belajar dan pembelajaran yang lengkap dan menyeluruh di samping secara materiil
mencakup seluruh unsur pancadaya, secara kualitas berdimensi triguna, yaitu maknaguna,
dayaguno dan karya-guna. Pertama-tama, hasil belajar yang diperoleh peserta didik dengan
disertai pemahaman atau pemaknaan yang mantap. Pemahaman ini tidak sekedar paham atau
bermakna melainkan pemahaman atau pemaknaan yang bernuansa kontekstual. Inilah yang
disebut maknaguna. Lebih jauh, unsur D yang berkualifikasi maknaguna itu, hendaknya tidak
berhenti di sana, malainkan berlanjut pada kekuatan substansi penuh makna itu yang mampu
mendorong peserta didik ke-arah penerapan tertentu. Unsur D yang telah mampu memotivasi
individu yang bersangkutan, meningkat kualifikasinya menjadi substansi yang ber dayaguna.
Substansi yang berdayaguna itu lebih jauh lagi dapat diwujudkan menjadi kegiatan yang
bermanfaat atau berguna bagi diri individu yang bersangkutan dan kemaslahatan bersama.
Substansi yang bermakna itu menjadi dayaguna dan akhirnya terwujud menjadi karyaguna.
Itulah triguna dalam hasil pembelajaran.

Proses pembelajaran yang lengkap dan berhasil mengharuskan peserta didik memperoleh
hasil belajar dengan tiga dimensinya itu, yaitu triguha. Contoh pembelajaran pada Kelas III
SD di atas, karena keterbatasannya, baru sampai pada hasil belajar dimensi pertama yang
paling awal, yaitu pengetahuan tentang bendera Merah-Putih sebagai bendera bangsa
Indonesia. Penekanan atau pembahasan lebih jauh agaknya belum diperoleh murid-murid
Kelas III SD. Dimensi dayaguna dan karyaguna berkenaan dengan bendera Merah-Putih
tentu masih amat jauh dari jangkauan mereka.

c. Bentuk Pembelajaran

Bentuk-bentuk pembelajaran telah banyak dikenal, baik melalui buku yang diterbitkan di
dalam negeri maupun didatangkan dari berbagai sumber di luar negeri. Bahkan berbagai
bentuk pembelajaran itu telah pula banyak dibelajarkan dan ditatarkan kepada para guru
dan/ataupun calon guru atau pendidik lainnya. Dengan demikian, sesungguhnyalah, bentuk-
bentuk pembelajaran itu tidaklah asing bagi banyak pihak. Permasalahannya adalah
bagaimana bentuk-bentuk pembelajaran itu saling terkait secara harmoni dengan
mengintegrasikan kaidah-kaidah keilmuan pendidikan di dalamnya Pada dasarnya ada lima
bentuk pembelajaran, yaitu penyajian, Tanya-jawab, penugasan, pencarian/penemuan, dan
pemerolehan pengalaman. Gambarannya secara garis besar adalah sebagai berikut.

1) Penyajian
Bentuk pembelajaran penyajian atau ceramah sering kali dianggap sebagai bentuk
yang paling elementer atau tradisional. Semua orang dapat dengan mudah melaksanakannya,
yaitu dengan menyajikan atau memaparkan suatu uraian yang dikehendaki oleh penyaji. Pe-
nyajian ini biasanya disertai langkah-langkah tertentu, mulai dari pengawalan, pelaksanaan,
penyajian, dan pengakhiran. Sesungguhnya setradisional bagaimanapun bentuk pembelajaran
atau metode ceramah itu sah-sah saja. Permasalahan akan muncul apabila penyajian itu (isi
dan caranya) dikaitkan dengan peserta/penerima ceramah itu: apakah mereka dapat
mengikutinya dengan baik dan memperoleh sesuatu yang berguna berkenaan dengan materi
yang disajikan itu? Permasalahan ini terkait dengan aplikasi kaidah-kaidah keilmuan (lihat
Matrik 14 dan 15) pendidikan yang akan mengarahkan metode ceramah atau penyajian yang
tradisional menjadi kontekstual dan kontemporer.

2) Tanya jawab

Bentuk pembelajaran ini tergolong konvensional yang sedikit banyak lebih maju
dibanding metode ceramah yang elementer dan tradisional itu. Metode Socrates yang
diperkenalkan oleh filsafat Yunani (bernama Socrates) itu menjadi terkenal karena melalui
tanya jawab yang intensif dan ekstensif permasalahan atau topik yang menjadi fokus dalam
proses pembelajaran dapat tergali sehingga mencapai hasil pembelajaran yang berkualitas
triguna. Dalam spektrum yang sangat luas, bentuk pembelajaran tanya jawab terbentang dari
sekedar menanyakan penguasaan (hafalan) atas materi yang telah disajikan, meningkat
menjadi diskusi ter- struktur, meningkat lagi menjadi tanya jawab yang mengarah kepadl
pendalaman dan analisis, sampai dengan Metode Sokrates. Dalam spektrum yang semakin
meluas itu kaidah-kaidah keilmuan pendidikan (lihat Matrik 18 dan 19) diimplementasikan.
Langkah-langkah yang digunakan dalam bentuk tanya jawab ini lebih bervariasi dibanding
bentuk penyajian.

3) Penugasan
Dalam pembelajaran dengan penugasan pendidik mengintervensi peserta didik dengan
semacam instruksi agar peserta didik melakukan sesuatu berkaitan dengan materi
pembelajaran. Dalam instruksi itu dua hal sangat esensial, yaitu pertama tentang bentuk
kegiatan atau cara-cara yang harus dilakukan oleh peserta didik, dan kedua tentang isi dari
kegiatan yang harus dilakukan itu. Kedua hal itu merupakan komponen dasar bagi
terlaksananya tugas menjadi materi pembelajaran yang dimaksudkan. Kegiatan yang
merupakan pelaksanaan dari penugasan itu dapat dilakukan di tempat yang sesuai, seperti
laboratorium, bengkel, perpustakaan, dan lain-lain. Bentuk dan isi kegiatan akan menentukan
langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan penugasan. Lebih jauh, perlu mendapat
perhatian juga bahwa suksesnya penugasan itu tidak semata-mata tergantung pada adanya
jenis kegiatan dan materi kegiatan saja, melainkan terlebih lagi ditentukan oleh kualitas
berbagai aspek yang menyertainya, baik aspek-aspek yang ada pada diri peserta didik,
pendidik maupun lingkungan. Berbagai aspek yang menyertai terlaksananya penugasan itu
adalah kaidah-kaidah keilmuan pendidikan, (lihat Matrik 14 dan 15) yang pertama-tama
harus menjadi perhatian pendidik sebagai penanggung jawab atas suksesnya pembelajaran.

4) Pencarian dan Penemuan


Bentuk pembelajaran ini merupakan perkembangan lebih maju dari bentuk penugasan. Dalam
bentuk yang lebih maju ini peserta didik tidak sekedar ditugasi untuk melaksanakan sesuatu,
melainkan ditugasi untuk mendapatkan sesuatu yang cara-cara mendapatkannya (boleh jadi)
belum begitu jauh dispesifikasi oleh pendidik. Kegiatan eksperimen tergolong ke dalam
bentuk pencarian. Dalam hal ini satu hal yang harus menjadi benar-benar spesifik bagi
peserta didik adalah objek apa ying harus dicari dalam kegiatan pencarian itu; objek yang
dicari atau harus ditemukan sebagai hasil pembelajaran oleh peserta didik. Objek yang perlu
ditemukan haruslah benar-benar dispesifikkan103 oleh pendidik. Dalam pada itu, agar proses
pencarian yang dilakukan oleh peserta didik berjalan lancar sebagaimana diharapkan dan
temuan (temuan-temuan) yang dihasilkan berkualitas tinggi, kaidah-kaidah keilmuan (lihat
Matrik 14 dan 15) pendidikan diintegrasikan ke dalam btntuk pembelajaran tersebut. Proses
pencarian yang dimaksudkan Itu diselenggara-kan dengan langkah-langkah yang secara
khusus ditentukan demi suksesnya penemuan objek-objek yang dicari.

5).Pemeralehan Pengalaman.

Bentuk pembelajaran ini mengharuskan peserta didik terjun langsung ke dalam suatu
kegiatan, dan terlibat sepenuhnya di dalam kegiatan Itu. Melalui bentuk pembelajaran ini
peserta didik diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam berbagai aspeknya,
misalnya pengalaman yang menyangkut pemahaman, perasaan, psikomotorik dan bebagai
keterampilan nyata.

Untuk suksesnya pemerolehan pengalaman yang dimaksudkan Itu, jenis dan bentuk
kegiatan yang harus dilakukan peserta didik perlu dispesifikasi secara jelas, dan demikian
pula perangkat peralatan yang digunakannya. Lebih jauh, jenis-jenis kegiatan dan peralatan
yang ada itu dirumuskan langkah-langkah kerja yang harus ditempuh. Proses pembelajaran
dengan bentuk pemerolehan pengalaman itu dianggap bentuk yang paling maju dan dapat
menyentuh seluruh aspek pancadaya yang perlu dikembangkan, yaitu daya taqwa, cipta, rasa,
karsa dan karya.

Selain kelima bentuk pembelajaran di atas, di sini perlu disinggung tentang pengujian.
Pengujian seringkah dianggap sebagai bagian akhir dari suatu atau serangakaian proses
pembelajaran. Pengujian merupakan bentuk pembelajaran tersendiri apabila ia terselenggara
sebagai satu.

unit program yang direncanakan secara terpisahkan dari proses pembelajaran tertentu.
Program ulangan/ujian semester, ujian kenaikan kelas, ujian akhir sekolah, dan ujian nasional
dapat digolongkan ke dalam kegiatan pembelajaran dalam bentuk pengujian itu. Untuk hal-
hal tertentu program seleksi masuk lembaga pendidikan dan/atau lembaga kerja tertentu dapat
pula digolongkan ke dalam bentuk pengujian tersendiri seperti itu. Program ulangan/ujian
yang dimaksudkan itu memerlukan adanya ketegasan tentang materi yang akan diujikan dan
prosedur pengujiannya. Dengan ketegasan itu peserta didik dapat mempersiapkan diri
mengenai materi yang akan diujikan dan juga cara-cara atau langkah-langkah yang akan
dijalani dalam proses pengujian. Dalam kondisi demikian acara pengujian yang terprogram
tersendiri itu merupakan bentuk pembelajaran yang prosesnya dijalani oleh peserta didik.
Demi suksesnya program pengujian yang dimaksudkan itu, kaidah-kaidah pendidikan perlu
pula diterapkan secara tepat dan optimal.

Gambaran lebih menyeluruh tentang keterkaitan bentuk-bentuk pembelajaran dengan


pengembangan pancadaya dan kaidah keilmuan pendidikan pada umumnya tampak pada
kedua matriks berikut. Matriks 14 memberikan arah tentang keterkaitan bentuk-bentuk
pembelajaran dengan pengembangan pancadaya, sedangkan Matriks 15 tentang keterkaitan
bentuk-bentuk pembelajaran dengan kaidah-kaidah pendidikan pada umumnya

1. Sumber Materi dan Alat Bantu Pembelajaran


Ilustrasi

1. Seorang guru Taman Kanak-kanak (TK) mengajari murid-muridnya menyanyikan


lagu Balonku Ada Lima. Sambil mengucapkan balonku sang guru menggerakkan
kedua tangannya membentuk gambaran bulat ibarat balon; sambil mengucapkan ada
lima guru itu mengedepankan kelima jari telapak tangan kanannya; dan seterusnya.
Dalam proses pembelajaran menyanyikan lagu itu, ibu guru TK menggunakan dirinya
sendiri sebagai sumber belajar dan sekaligus alat bantu pembelajaran.
2. Guru TK mengajar murid-muridnya lagu: Hidung saya satu; mata saya dua; pakai
baju baru; semua bergembira. Guru (dan juga murid-murid) memegang hidung
masing-masing ketika kata-kata hidung saya satu diucapkan; menunjuk kedua mata
masing-masing ketika kalimat mata saya dua diucapkan; menunjuk baju yang dipakai
masing-masing ketika frasa baju saya baru dilantunkan; dan meraupkan kedua tangan
ke depan ketika baris semua bergembira disenandungkan. Lagi-lagi, guru TK kita itu
melalui lagu Hidung, Mata dan Baju menggunakan diri guru sendiri, diri murid-
murid, dan kebersamaan yang ada di kelas itu sekaligus sebagai sumber dan alat bantu
pembelajaran.
3. Guru Kelas III di Amerika Serikat yang telah diilustrasikan terdahulu menggunakan
tamu asing dan buku-buku yang tersedia di kelas sekaligus sebagai sumber dan alat
bantu pembelajaran dengan tema Bendera Indonesia.
4. Seorang guru Kelas IV SD hendak memulai pelajaran IPA dengan tema Buah-
Buahan. la membawa ke kelasmya pada jam pembelajaran yang sudah terjadwal
berbagai jenis buah-buahan: durian, rambutan, bermacam-macam pisang, duku,
jambu, petai, jagung, padi, kelapa, dan buah pinang. Guru SD yang kreatif itu juga
membawa beberapa gambar berkaitan dengan berbagai macam buah-buahan. Guru
tersebut dengan bersemangat hendak menyelenggarakan proses pembelajaran dengan
menggunakan semua bawa-annya itu sebagai sumber dan alat bantu pembelajaran.
5. Seorang guru SMP memulai proses pembelajaran dengan mengalas meja yang ada di
depan kelas dengan kertas koran bekas. Para siswa tercengang dan banyak di
antaranya yang bertanya: Untuk apa Pak?. Dengan mantap sang guru menjawab: Ada
sesuatu yang istimewa. Kemudian sang guru mempersilahkan dua orang siswa maju
ke depan kelas (secara sukarela). Kedua siswa itu diminta memasangkan masker
(penutup mulut dan hidung) dan sarung tangan (dari karet) yang telah disediakan
terlebih dahulu oleh guru Murid-murid lain semakin tercengang dan mengharap-harap
apa sebenarnya yang akan terjadi.
Selanjutnya, guru meminta kedua siswa yang memakai masker dan bersarung
tangan itu mengambil tong sampah yang ada di sudut pekarangan sekolah. Bawa tong
sampah itu dengan segenap isinya, bunyi instruksi guru. Siswa yang lain agak sedikit
heboh. Ada yang bertanya sendiri: untuk apa ya. Ada yang berkomentar: Oooo. Ada
pula yang berkomentar agak nakal kepada teman yang mengambil sampah: Awas ada
itunya!. Sambil menunggu guru membagikan masker kepada semua siswa yang ada di
kelas itu.

6. Dalam rangka pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau) guru pengampu


pelajaran tersebut menyiapkan kaset video tentang acara peminangan, pernikahan dan
perhelatan menurut budaya Minangkabau. Film tentang adat pernikahan itu dilengkapi
dengan film yang menampilkan pertunjukan tari, silat, saluang dan rabab yang biasa
juga mengiringi acara perhelatan pernikahan itu. Seluruh apa yang disiapkan oleh
guru BAM itu (akan) digunakan sebagai sumber dan alat bantu pembelajaran di kelas-
kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
7. Dengan tema Kekayaan Alam Semesta seorang guru Fisika SMA Kelas III
menggunakan artikel Ninok Leksono106) yang berjudul Tahun, Semesta, dan
Kehidupan sebagai salah satu sumber materi pembelajarannya. Sumber lain yang
digunakannya juga ialah film pengetahuan popular seri Harun Yahya yang berjudul
Penciptaan Alam Semesta. Tulisan Ninok Leksono ini dikliping, dikopi, dan
dibagikan kepada para siswa melengkapi dan memperluas materi yang ada di dalam
buku wajib sekolah.
8. Ketika proses pembelajaran telah berlangsung kira-kira 17 menit seorang siswa
datang terlambat, masuk kelas sambil berkata maaf Pak, terlambat kepada pak guru
yang sedang mengajar. Pak guru menyambutnya dengan mengatakan: "Oke, ...
silahkan duduk". Setelah siswa itu duduk, seorang siswa lain bertanya kepada guru:
"maaf Pak, apakah Bapak pernah terlambat?". Mendapat pertanyaan seperti itu guru
merasa tertarik dan ingin memanfaatkannya sebagai materi pembelajaran yang cukup
penting. Selanjutnya, guru menggunakan waktu kira-kira 20 menit untuk membahas
bersama siswa-siswanya materi keterlambatan saya yang pernah terjadi.
9. Dalam proses pembelajaran melalui layanan informasi di kelas I SMA seorang
konselor menggunakan tayangan berupa sejumlah cuplikan film dari film-film yang
banyak beredar dan film dokumenter yang dibuat dengan kameranya sendiri. Layanan
tersebut bertema Aku Bisa untuk membangkitkan motivasi siswa bahwa mereka
mampu meraih prestasi tinggi asal mau bekerja keras.
10. Sewaktu menyelenggarakan proses pembelajaran melalui layanan Bimbingan
Kelompok dengan topik bebas konselor di SMP Panca-waskita V menyiapkan
berbagai sumber bacaan tertulis (seperti koran, majalah, buku, bulletin, jurnal).
Sebagai pemimpin kelompok, konselor mempersilahkan para siswa (anggota
kelompok) mengakses sumber-sumber bacaan tersebut dan apabila sesuai materinya
dapat dijadikan topik yang diusulkan sebagai pokok bahasan dalam layanan
bimbingan kelompok yang akan segera terselenggara itu.
11. Seorang dosen konselor (dosen yang menyandang gelar profesi Konselor)
menyelenggarakan proses pembelajaran tentang Layanan Mediasi kepada para
mahasiswa calon konselor. Dosen tersebut menggunakan tayangan film tentang
penyelenggaraan layanan mediasi yang telah dibuat terlebih dahulu. Sebelumnya,
sebagai persiapan untuk diselenggarakannya proses pembelajaran itu para mahasiswa
diwajibkan mengakses minimal dua sumber, satu di antaranya internet, yang berisi
tentang layanan mediasi. Pada jadwal yang telah ditetapkan, proses pembelajaran itu
diselenggarakan di suatu kampus dengan sejumlah mahasiswa dan diikuti juga oleh
serombongan mahasiswa di kampus lain dengan menggunakan media teknologi
telekonferensi.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa, pertama, materi dan alat bantu
pembelajaran terbentang dalam rentangan yang sangat luas, bahkan tak terbatas. Bahkan
boleh dikatakan, segala sesuatu dapat dijadikan materi dan/atau alat Bantu pembelajran, asal
memenuhi kriteria normatif dalam konteks harkat dan martabat manusia (HMM). Materi
dan/atau alat bantu pembelajaran dapat:

berupa hal-hal yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat kompleks;
dalam bentuk sangat konkrit sampai dengan sangat abstrak;
diambil dari tempat yang sangat dekat, menempel pada atau berada di dalam
diri sendiri sampai dengan yang sangat jauh atau bahkan tidak terjangkau
atau tak terhingga jaraknya;
berupa kondisi atau produk takwa, cipta, rasa, karsa, dan/atau karya;
berbentuk benda nyata, gambar, simbol, abstraksi, atau personifikasi yang
dapat ditangkap melalui satu atau lebih indera manusia;
yang ada sekarang, waktu yang telah berlaku, dan/atau waktu yang akan
datang.
Kedua, materi pembelajaran dan alat bantu pembelajaran saling terkait yang satu
dengan lainya. Suatu hal dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran apabila di satu sisi dari
padanya dapat digali berbagai hal yang terkait dengan pengembangan peserta didik sesuai
dengan tujuan pendidikan, dan dilain sisi hal itu dapat pula dijadikan alat bantu pembelajaran
apabila dioperasionalkan secara teknis dalam rangka menunjang pembentukan
pengembangan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal-hal yang digali dari materi
pembelajaran adalah objek-b)ak berkenaan dengan kompetensi atau kemampuan WPKNS
peserta didik terkait dengan unsur-unsur HMM (hakikat, dimensi, dan pancada-ya
kemanusiaan). Dalam pada itu, aspek operasional teknis alat bantu pembelajran amat
tergantung pada kemampuan pendidik menggunakan alit bantu yang dimaksud dan
kemampuan peserta didik mengakses dan memperoleh sesuatu sebagai hasil belajar (dalam
dimensi triguna).

Keterkaitan antara materi pembelajaran dan alat bantu pembelajaran adalah


sebagaimna tergambar dalam Tabel 1. Isi tabel ini diambil dari kesebelas ilustrasi di atas.
Tabel 1

Keterkaitan antara Materi Pembelajaran Dan Alat Bantu Pembelajaran

No. Substansi
ilustras
i

Materi Alat bantu


pembelajar pembelajaran
an
1. Lagu Suara, Gerak tangan guru serta
Balonku frama, aktivitas peserta didik.
lirik
2. Lagu Suara, Penunjukan objek serta
Hidung7/ irama, lirik aktivitas yang
Mulut, dan dinamakan hi-dung,
Baju / mata dan baju, serta
kondisi kebersamaan
dan aktivitas peserta
didik.
3. Bendera Bentuk, Wujud yang sebenarnya
Indonesia warna dan bendera Indonesia
makna (Merah-Putih).
bendera
Indonesia

4. Buah- Berbagai hal Keberadaan buah-


buahan berkenaan den- buahan dalam bentuk
gan buah- nyata, gam-bar dan
buahan yang representasi lain
dapat mem- yang dapat ditangkap
bentukWPKNS oleh indera serta
terkait dengan teknis peng-
HMM. gunaannya dan
aktivitas peserta
didik.
5. Sampah Berbagai hal Keberadaan sampah
berkenaan dalam bentuk
dengan sampah nyatanya, tiruan,
yang dapat gambar dan
memben- representasi lain
tukWPKNS yang dapat ditangkap
terkait dengan indera serta teknis
HMM. peng-gunaannya dan
aktivitas peserta
didik
6. Peristiwa Substansi film Keberadaan film itu
tentang berkenaan sendirj/ dan teknis
pemi- dengan penggunaannya serta
nangan peminangan, aktivitas
per- pernikahan, dan pesert^didik.
nikahan perhelatan yang
dan dapat
perhelatan membentuk
dalam WPKNSter-kait
buda-ya dengan HMM.
Minang-
kabau

7. Kondisi Substansi artikel dan Kopian kliping artikel,


alam tayangan film keberadaan film dan teknis
semesta berkenaan dengan alam penggunaannya serta aktivi-
dan semesta, pemben-tukan tas peserta didik
kekayaan dan isi yang ada di
yang ada di dalamnya yang dapat
dalamnya membentuk WPKNS
terkait dengan HMM.

8. Keterlam- Berbagai hal ber- Wujud pengalaman keter-


batan saya kenaan dengan ke- lambatan guru (dan juga
terlambatan yang dapat keterlam-batan siswa) yang
membentuk WPKNS pernah terjadi dan artikulasi
terkait dengan HMM penggunaannya

9. Kondisi Konsep Aku Bisa yang Keberadaan cuplikan film-


Aku Bisa dapat membentuk film dan teknis penggunaan-
WPKNS terkait nya serta aktivitas peserta
dengan HMM. didik.

10 Substansi Substansi dalam topik Sumbertertulis yang ada


yang bahasan yang dapat dan teknis penggunaannya
menjadi membentuk WPKNS serta aktivitas peserta didik.
topik ba- terkait dengan HMM
hasan
11. Layanan Substansi layanan Sumber internet, dan film
Mediasi Mediasi yang dapat tentang layanan Mediasi,
membentuk WPKNS serta teknologi teleknofe-
terkait dengan HMM rensi dan teknis penggu-
naannya serta aktivitas
peserta didik

Dari gambaran di atas, perlu digarisbawahi bahwa segala sesuatu dapat dijadikan
materi pembelajaran dan/atau alat bantu pembelajaran. dengan demikian, apabila
dipertanyakan tentang dari mana datangnya materi pembelajaran dan alat bantu pembelajaran
itu? Jawabnnya, dapat dari mana-mana, tergantung pada tujuan pembelajaran yang telah
(lilctapkan. Berbicara lebih terarah, sumber dari materi pembelajaran (I.in alat bantu
pembelajaran dapat dikategorikan ke dalam lima ranah, yaitu diri pendidik, diri peserta didik,
lingkungan, kondisi insidental, dan liasil karya/budaya.

IB. REGULASI PENDIDIKAN/PERATURAN PENDIDIKAN


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2008
TENTANG GURU

Menimbang:

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (3), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat,(2), Pasal 28 ayat (5), Pasal 29 ayat (5),
Pasal 35 ayat (3), Pasal 7 ayat (5), dan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Guru;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4586);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG GURU.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kualifikasi Akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh
Guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
3. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk Guru.
4. Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada Guru
sebagai tenaga profesional.
5. Gaji adalah hak yang diterima oleh Guru atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Organisasi Profesi Guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan
diurus oleh Guru untuk mengembangkan profesionalitas Guru.
7. Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama adalah Perjanjian tertulis antara Guru
dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja
serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Guru Tetap adalah Guru yang diangkat oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2
(dua) tahun secara terus-menerus, dan tercatat pada satuan administrasi pangkal di satuan
pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah serta
melaksanakan tugas pokok sebagai Guru.
9. Guru Dalam Jabatan adalah Guru pegawai negeri sipil dan Guru bukan pegawai negeri
sipil yang sudah mengajar pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, maupun penyelenggara pendidikan yang sudah mempunyai Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.
10. Pemutusan Hubungan Kerja atau Pemberhentian Kerja adalah pengakhiran Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama Guru karena suatu hal yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara Guru dan penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan
11. Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan
Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
12. Raudhatul Athfal yang selanjutnya disingkat RA dan Bustanul Athfal yang selanjutnya
disebut BA adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur
pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama
Islam bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
13. Pendidikan Dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi
jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan pada satuan pendidikan yang
berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta
menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat.
14. Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan Dasar.
15. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disingkat MI adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Dasar.
16. Sekolah Menengah Pertama. yang selanjutnya disingkat SMP adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang
Pendidikan Dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
17. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disingkat MTs adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama. Islam pada jenjang Pendidikan Dasar sebagai lanjutan
dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui
sama atau setara SD atau MI.
18. Pendidikan Menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang
merupakan lanjutan Pendidikan Dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah
Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain
yang sederajat.
19. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disingkat SMA adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal Yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan
Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan
dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
20. Madrasah Aliyah yang selanjutnya disingkat MA adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan
dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari basil belajar yang diakui
sama atau setara SMP atau MTs.
21. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang
Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat
atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
22. Madrasah Aliyah Kejuruan yang selanjutnya disebut MAK adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
kejuruan dengan kekhasan agama. Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar
yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
23. Sarjana yang selanjutnya disingkat S-1.
24. Diploma Empat yang selanjutnya disingkat D-IV
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah
kota.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non Pemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi
masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang
mengalami bencana alam, bencana social, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat
lain.
29. Departemen adalah departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang
pendidikan nasional.
30. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan
nasional.
KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI

Pasal 2

Guru wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat


jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Bagian Kesatu
Kompetensi

Pasal 3

(1) Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan seperangkat


pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan
diaktualisasikan oleh Guns dalam melaksanakan togas keprofesionalan.
(2) Kompetensi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional
yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(3) Kompetensi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat holistik.
(4) Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan
Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurangkurangnya
meliputi:
a. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. Pemahaman terhadap peserta didik;
c. Pengembangan kurikulum atau silabus;
d. Perancangan pembelajaran;
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogist
f. Pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. Evaluasi hasil belajar, dan
h. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
(5) Kompetensi kepribadian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup kepribadian yang:
a. Beriman dan bertakwa;
b. Berakhlak mulia;
c. Arif dan bijaksana;
d. Demokratis;
e. Mantap;
f. Berwibawa;
g. Stabil;
h. Dewasa;
i. Jujur;
j. Sportif,
k. Bagi menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
l. Secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
m. Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
(6) Kompetensi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menipakan kemampuan
Guru sebagai bagian dari Masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi
kompetensi untuk:
a. Berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat. secara santun;
b. Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta
didik;
d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan
norma Serta sistem nilai yang berlaku; dan
e. Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
(7) Kompetensi profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
kemampuan Guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/ atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya
meliputi penguasaan:
a. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata
pelajaran yang akan diampu; dan
b. Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan,
yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan
diampu.
(8) Kompetensi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7)
dirumuskan ke dalam:
a. Standar kompetensi Guru pada satuan pendidikan di TK atau RA, dan pendidikan
formal bentuk lain yang sederajat;
b. Standar kompetensi Guru kelas pada SD atau MI, dan pendidikan formal bentuk lain
yang sederajat;
c. Standar kompetensi Guru mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran pada SW atau
MTs, SMA atau MA, SMK atau MAK dan pendidikan formal bentuk lain yang
sederajat; dan
d. Standar kompetensi Guru pada satuan pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB, SMALB
dan pendidikan formal bentuk lain yang sederajat.
(9) Standar kompetensi Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Sertifikasi

Pasal 4

(1) Sertifikat Pendidik bagi Guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga,
kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun
Masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diikuti oleh
peserta, didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5

(1) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditunjukkan
dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi Guru untuk
melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau
mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(2) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada, ayat (1) diperoleh melalui
pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program
pendidikan nonkependidikan.
(3) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi calon Guru
dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi Guru.
(4) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Guru Dalam
Jabatan yang belum memenuhinya, dapat dipenuhi melalui:
a. Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
b. Pengakuan hasil belajar mandiri yang diukur melalui uji kesetaraan yang dilaksanakan
melalui ujian komprehensif oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(5) Pendidikan sebagaimana, dimaksud pada ayat (4) huruf a memperhatikan:
a. Pelatihan Guru dengan memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya;
b. Prestasi akademik yang dialcui dan diperhitungkan ekuivalensi satuan kredit
semesternya; dan/atau
c. Pengalaman mengajar dengan masa bakti dan prestasi tertentu.
(6) Guru Dalam Jabatan yang mengikuti pendidikan dan uji kesetaraan. sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), baik yang dibiayai Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun
biaya sendiri, dilaksanakan dengan tetap, melaksanakan tugasnya sebagai Guru.
(7) Menteri dapat menetapkan aturan khusus bagi Guru Dalam, Jabatan dalam memenuhi
Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar pertimbangan:
a. Kondisi Daerah Khusus; dan/atau
b. Ketidakseimbangan yang mencolok antara kebutuhan dan ketersediaan Guru menurut
bidang tugas.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kualifikasi Akademik, pendidikan, dan uji kesetaraan
sebagaimana, dimaksud pada, ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 6

(1) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memiliki beban
belajar yang diatur berdasarkan persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan
pendidikan tempat penugasan.
(2) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain
yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit
semester.
(3) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain
yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit
semester.
(4) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk
lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan
kredit semester.
(5) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk
lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan
kredit semester.
(6) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk. lain yang sederajat dan pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang sarjana psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh)
satuan kredit semester.
(7) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SMP atau MTs atau SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan
pendidikan SMA atau MA atau SMALB atau SMK atau MAK atau bentuk lain yang
sederajat, baik yang berlatar belakang S-1 atau diploma empat D-IV kependidikan
maupun S-1 atau D-IV nonkependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40
(empat puluh) satuan kredit semester.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (7) diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh
perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional
pendidikan.

Pasal 7

(1) Muatan belajar pendidikan profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi


kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional.
(2) Bobot muatan belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan latar
belakang pendidikan sebagai berikut:
a. Untuk lulusan program S-1 atau D-IV kependidikan dititikberatkan pada penguatan
kompetensi profesional; dan
b. Untuk lulusan program S-1 atau D-IV nonkependidikan dititikberatkan pada
pengembangan kompetensi pedagogik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh perguruan tinggi
penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pasal 8

Sertifikasi Pendidik bagi calon Guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan
akuntabel.

Pasal 9

(1) Jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
(2) Program pendidikan profesi. diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
(3) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui ujian tertulis dan
ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
(4) Ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara komprehensif
yang mencakup penguasaan:
a. Wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik,
pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil
belajar;
b. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran,
kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan
c. Konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual
menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang
diampunya.
(5) Ujian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara holistik dalam
bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional pada
satuan pendidikan yang relevan.

Pasal 10

(1) Sertifikat Pendidik bagi calon Guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat
menjadi Guru.
(2) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi
pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(3) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetapi diperlukan oleh Daerah Khusus yang membutuhkan Guru dapat diangkat menjadi
pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(4) Sertifikat Pendidik sah berlaku untuk melaksanakan tugas sebagai Guru setelah
mendapat nomor registrasi Guru dari Departemen.
(5) Calon Guru dapat memperoleh lebih dari satu Sertifikat Pendidik, tetapi hanya dengan
satu nomor registrasi Guru dari Departemen.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 11

Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperoleh Guru berlaku
selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai Guru sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Guru Dalam Jabatan yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV dapat
langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.
(2) Jumlah peserta uji kompetensi pendidik setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
(3) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
penilaian portofolio.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengakuan atas
pengalaman profesional Guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan:
a. Kualifikasi Akademik;
b. Pendidikan dan pelatihan;
c. Pengalaman mengajar;
d. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. Penilaian dari atasan dan pengawas;
f. Prestasi akademik;
g. Karya pengembangan profesi;
h. Keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. Penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan.
(5) Dalam penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Guru Dalam Jabatan
yang belum mencapai persyaratan uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik
diberi kesempatan untuk:
a. Melengkapi persyaratan portofolio; atau
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan di perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kompetensi dan penilaian portofolio sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 13

(1) Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi ditetapkan oleh Menteri dengan
kriteria:
a. Memiliki program studi yang relevan dan terakreditasi;
b. Memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan standar nasional
pendidikan; dan
c. Memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan kriteria
tambahan yang diperlukan untuk penetapan perguruan tinggi penyclenggara pendidikan
profesi atas dasar pertimbangan:
a. Tercapainya pemerataan cakupan pelayanan penyelenggaraan pendidikan profesi;
b. Letak dan kondisi geografis; dan/atau
c. Kondisi sosial-ekonomi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.

11A. HAKIKAT PENDIDIKAN

A. Pengertian Kurikulum
Banyak orang yang menganggap kurikulum berkaitan dengan bahan ajar atau buku-
buku pelajaran yang harus dimiliki anak didik sehingga perubahan kurikulum identik dengan
perubahan buku pelajaran. Benarkah demikian? Apakah kurikulum hanya berkaitan dengan
bahan ajar? Apakah aktivitas siswa mempelajari bahan ajar tidak termasuk kurikulum?
Persoalan kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar akan tetapi banyak persoalan lainnya
termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan, persoalan materi pelajaran, serta persoalan-
persoalan lainnya yang terkait dengan hal itu. Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada
dunia olahraga pada zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu
itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang
pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari mulai start
sampai finish. Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli
pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam
penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa
kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum memang diperuntukkan untuk anak didik, seperti yang
diungkapkan Murray Print (1993) yang mengungkapkan bahwa kurikulum meliputi:
1. planned learning experiences;
2. offered within an educational institution/program;
3. represented as a document; and
4. includes experiences resulting from implementing that document.
Print memandang bahwa sebuah kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar,
program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen serta hasil
dari implementasi dokumen yang telah disusun.
Dari penelusuran konsep, pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian,
yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar dan
kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep
kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor,
Alexander & Lewis, 1981).
Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang
dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1936) yang menyatakan: "The curriculum should
include grammar, reading, thetoric and logic, and mathematic, and addition at the secondary
level introduce the great books of the western world".
Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitannya dengan usaha
untuk memperoleh ljazah. ljazah sendiri pada dasarnya menggambarkan kemampuan.
Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah menguasai pelajaran
sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampuan tersebut tercermin dalam nilai setiap
mata pelajaran yang terkandung dalam ijazah itu. Siswa yang belum memiliki kemampuan
atau belum memperoleh nilai berdasarkan standar tertentu tidak akan mendapatkan ijasah,
walaupun mungkin saja mereka telah mempelajari kurikulum tersebut. Dengan demikian,
dalam pandangan ini kurikulum berorientasi kepada isi atau materi pelajaran (content
oriented). Proses pembelajaran di sekolah yang menggunakan konsep kurikulum demikian,
penguasaan isi pelajaran merupakan sasaran akhir proses pendidikan. Untuk mengecek
apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum biasanya dilaksanakan tes hasil
belajar.
Maka yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah yang dipelajari siswa dalam setiap
mata pelajaran itu? Ya, manakala kita kaji, yang dipelajari dalam setiap mata pelajaran itu
adalah ilmu pengetahuan sesuai dengan nama setiap mata pelajaran. Misalnya, ketika anak
mempelajari mata pelajaran IPS, maka pada dasarnya mereka mempelajari ilmu pengetahuan
tentang ilmu sosial. Demikian juga ketika siswa mempelajari mata pelajaran IPA, maka pada
dasarnya mereka sedang belajar ilmu pengetahuan alam, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, kurikulum sebagai mata pelajaran pada hakikatnya adalah kurikulum yang berisikan
bidang studi.
Kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses
perencanaannya memiliki ketentuan sebagai berikut:
1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut
menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
2. Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal
seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan
strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi
pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Pandangan yang menganggap kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran merupakan
pandangan yang dianggap tradisional, walaupun sebenarnya masih banyak dianut orang dan
mewarnai kurikulum yang berlaku dewasa ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak
terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai
suatu institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam kebutuhan dan
tuntutan kehidupan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak saja dituntut
untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang,
akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral
dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam
keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan.
Tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut,
mengakibatkan pula pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai
mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan
tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu
tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal
saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya
kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan
observasi, wawancara dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena
memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Sedangkan, tugas-tugas
lain seperti membantu orang tua bekerja di ladang, atau membantu memasak dan lain
sebagainya, walaupun pekerjaan semacam itu bermanfaat untuk kehidupan siswa, bukanlah
kurikulum, karena pekerjaan dan aktivitas tersebut sama sekali di luar tanggung jawab guru'
Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah
Hollis L. caswell dan campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "... all of
the experiences children have under the guidance of teacher". Demikian juga dengan Dorris
Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai : " ... those experiences of
the child which the school in any way utilizes or attempts to influence" . Lebih jelas lagi
dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P, Mccutchen, dan A. N. Zechiel: " . . . the curiculum . . .
the total expeience with which the school deals in educating young people".
Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti
Romine (1945) yang mengatakan: "Curiculum is interpreted to mean all af the organized
courses, activities, and experiences wich pupils have under direction of the school, wether in
the classroom or not .Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty (1965).
Bagi dia kurikulum itu adalah "all of the activities that are provided for the students by the
school". Demikian juga Saylor dan Alexander (1956) yang menyatakan : " the curriculum is
the sum total of school's efforts to influence learning, wether in the classroom, on the
playground, or out of school". Bagi mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata
pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk
mempengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.
Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman,
selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh
penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang
psikologi belajar. Pandangan baru dalam psikologi menganggap bahwa belajar itu bukan
mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan
demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja
perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebab
itu dalam proses belajar pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekadar
menumpuk sejumlah pengetahuan.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka
untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum
sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang
dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab
kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu
bahwa pencapaian target pelaksarnaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan
siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes
sebagai produk belajar akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai
pengalaman belajar.
Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukanlah pekerjaan
yang sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang
tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman
dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah, maka
makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
Kritikan dan ketidaksepahaman terhadap konsep tersebut, memunculkan konsep yang
menganggap kurikulum sebagai suatu program atau rencana untuk belajar. Pendapat
kurikulum sebagai perencanaan belajar di antaranya dikemukakan oleh Hilda Taba. Taba
(1962) mengatakan A curriculum is a plan for learning : therefore, what is known about the
learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a
curriculum".
Pendapat yang menganggap kurikulum sebagai program atau rencana belajar seperti
dikemukakan Hilda Taba di atas, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Daniel Thnner dan
Laurel Tirnner (1975) yang menyatakan bahwa kurikulum adalah perencanaan yang berisi
tentang petunjuk belajar serta hasil yang diharapkan. Tanner mengatakan kurikulum itu
sebagai ...the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes,
formulated through the sistematic reconstruction of knowledge and experiences under
auspices of the school, for the learner's continous and wiIIfuI growth in personal sosial
competence".
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya
diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald f. Orlosky dan B. Othanel Smith
(1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah
suatu perencanaan atau program pengalaman siswayang diarahkan sekolah.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum
menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud dengan isi dan bahan pelajaran
itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian
tujuan pendidikan nasional.
Batasan menurut undang-undang itu tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua
aspek pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara
pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan
pendidikan nasional.
Untuk menutup diskusi kita tentang konsep dasar kurikulum, ingin saya sampaikan,
bahwa kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebab konsep itu
jelas sasarannya dan mudah diukur. Akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap
tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi
kurikulum, kita tidak banyak mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan
pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. oleh karena itu, kurikulum tidak hanya
menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rencana itu. Jadi, antara kurikulum
sebagai sebuah rencana dengan kurikulum sebagai sebuah kenyataan tidak dapat dipisahkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Muruay print (1993) menyarakan: "curriculum is defined as
all the planned learning opportunities offeied to learner by the educational institution and the
experiences learners encounter when the curriculum is implemented".
Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar
berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah
anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik hanya akan tercapai apabila dia memperoleh
pengalaman belajar melalui semua kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata
peiajaran ataupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zeis, kurikulum
sebagai suatu rencana, pemberajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta
didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat
skilbeck dan Harris (1976) yang menyatakan bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran
yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan
kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, dalam
kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta
bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam
rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.
Setelah kita kaji berbagai konsep kurikulum, maka dalam bahasan ini kurikulum dapat
diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus
dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, straregi dan cara yang
dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.
Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliputi penyusunan dokumen, implementasi
dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.

B. Peran dan Fungsi Kurikulum


Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni
mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat hidup di masyarakat. Makna dapat hidup di
masyarakat itu memiliki arti luas, yang bukan saja berhubungan dengan kemampuan peserta
didik untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai dengan norma-norma masyarakat, akan
tetapi juga pendidikan harus berisi tentang pemberian pengalaman agar anak dapat
mengembangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dengan demikian,
dalam sistem pendidikan kurikulum merupakan komponen yang sangat penting, sebab di
dalamnya bukan hanya menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga
pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa serta bagaimana mengorganisasi
pengalaman itu sendiri. Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak
kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peranan kreatif, serta peran kritis dan
evaluatif (Hamalik, 1990).

1. Peranan Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah
mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa
perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya,
sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka dapat menjunjung tinggi dan
berperilaku sesuai dengan norma-norrna tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah
melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era
globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan
mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam
kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum
berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur
masyarakat, sehingga keajekan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.

2. Peran Kreatif
Apakah tugas dan tanggung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai
lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal
baru sesuai dengan tuntunan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat
statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum
memiliki peran kreatif, kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya,
kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat
mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan
sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus
berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka
pendidikan selamanya akan tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada
akhirnya akan kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
sosial masyarakat.

3. Peran Kritis dan Evaluatif


Apakah setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak didik?
Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman juga harus dimiliki
oleh setiap anak didik? tentu tidak. Tidak setiap nilai dan budaya sama harus tetap
dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan masyarakat; demikian juga adakalanya nilai dan budaya baru itu juga
tidak sesuai dengan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman.
Dengan demikian, kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu
dipertahankan, dan nilai atau budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam
rangka inilah peran kritii dan evahiatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus berperan
dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk
kehidupan anak didik.
Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga peran pada halaman berikutnya harus
berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran konservatifnya
cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan zaman; sebaliknya
kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatinya dapat membuat hilangnya nilai-nilai
budaya masyarakat.
Sesuai dengan peran yang harus "dimainkan" kurikulum sebagai alat dan pedoman
pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa
demikian? Sebab, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal
dalam pelaksanaan perannya itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil
(1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu (1) fungsi pendidikan umum (common and
general education) , (2) suplementasi (supplementation), (3) eksplorasi (exploration) , dan (4)
keahlian (specialization) .

1. Fungsi pendidikan umun (common and general education)


Fungsi pendidikan umum (common and general education), yaitu fungsi kurikulum
untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kurikulum
harus memberikan pengalaman belajar kepada setiap peserta didik agar mampu
menginternalisasi nilai-nilai dalam kehidupan, memahami setiap hak dan kewajiban
sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial. Dengan demikian, fungsi kurikulum
ini harus diikuti oleh setiap siswa pada jenjang dan level atau jenis pendidikan mana
pun.
2. Suplementasi (supplementation)
Setiap peserta didik memiliki perbedaan baik dilihat dari perbedaan kemampuan,
perbedaan minat, maupun perbedaan bakat. Kurikulum sebagai alat pendidikan
seharusnya dapat memberikan pelayanan kepada setiap siswa sesuai dengan perbedaan
tersebut. Dengan demikian, setiap anak memiliki kesempatan untuk menambah
kemampuan dan wawasan yang lebih baik sesuai dengan minat dan bakatnya. Artinya,
peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata harus terlayani untuk
mengembangkan kemampuannya secara optimal; sebaliknya siswa yang memiliki
kemampuan di bawah rata-rata juga harus terlayani sesuai dengan kemampuannya.
3. Eksplorasi (exploration)
Fungsi eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menentukan dan
mengembangkan minat dan bakat masing-masing siswa. Melalui fungsi ini siswa
diharapkan dapat belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga memungkinkan
mereka akan belajar tanpa adanya paksaan. Namun demikian, proses eksplorasi
terhadap minat dan bakat siswa bukan pekerjaan yang mudah. Adakalanya terjadi
pemaksaan dari pihak luar, misalnya para orang rua, yang sebenarnya anak tidak
memiliki bakat dan minat terhadap bidang tertentu, mereka dipaksa untuk memilihnya
hanya karena alasan-alasan tertentu yang sebenarnya tidak rasional. Oieh sebab itu para
pengembang kurikulum mesti dapat menggali rahasia keberbakatan anak yang kadang-
kadang tersembunyi.
4. Keahlian (spesialization)
Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan
keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakar siswa. Dengan demikian, kurikulum
harus memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, misalnya perdagangan, pertanian,
industri atau disiplin akademik. Bidang-bidang semacam itu yang diberikan sebagai
pilihan, yang pada akhirnya setiap peserta didik memiliki keterampilan-keterampilan
sesuai dengan bidang spesialisasinya. Untuk itu pengembangan kurikurum harus
melibatkan para spesialis untuk menentukan kemampuan apa yang harus dimiliki setiap
siswa sesuai dengan bidang keahliannya.

Memerhatikan fungsi-fungsi di atas, maka jelas kurikulum berfungsi untuk setiap orang
atau lembaga yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan
penyelenggaraan pendidikan. Sekarang coba Anda pikirkan atau diskusikan dengan teman
Anda, kira-kira apa saja fungsi kurikulum, untuk guru, siswa, kepala sekolah, pengawas,
orang tua, dan masyarakat. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam
pelaksanaan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada
kurikulum, maka tidak akan berjalan dengan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang
bertujuan, sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan untuk mencapai
tujuan; sedangkan arah dan tujuan pembelajaran beserta bagaimana cara dan strategi yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen penting dalam sistem
kurikulum.
Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program
sekolah. Dengan demikian, Penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana
sekolah kepada dewan sekolah, penyusunan berbagai kegiatan sekolah baik yang menyangkut
kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan lainnya, harus didasarkan pada kurikulum.
Bagi pengawas, kurikulum akan berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan
supervisi. Dengan demikian, dalam proses pengawasan para pengawas akan dapat
menentukan apakah program sekolah termasuk pelaksanaan proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum atau belum, sehingga
berdasarkan kurikulum itu juga pengawas dapat memberikan saran perbaikan.
Pendidikan adalah usaha bersama. Tidak mungkin tujuan pendidikan akan berhasil
secara optimal manakala semuanya dibebankan pada guru atau sekolah. Dalam kaitan inilah
orang tua perlu memahami tujuan serta proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sekolah.
Dengan demikian fungsi kurikulum bagi orang tua adalah sebagai pedoman untuk
memberikan bantuan baik bagi penyelenggaraan Program sekolah, maupun membantu
putra/putri mereka belajar di rumah sesuai dengan Program sekolah. Melalui kurikulum orang
tua akan mengetahui tujuan yang harus dicapai serta ruang lingkup materi pelajaran.
Bagi siswa itu sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar. Melalui
kurikulum siswa akan memahami apa yang harus dicapai, isi atau bahan pelajaran apa yang
harus dikuasai, dan pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Berkaitan dengan fungsi kirikulum, Alexander Inglis (dalam Hamalih 1990) mengemukakan
enam fungsi kurikulum untuk siswa:
Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
Fungsi integrasi (the integrating function)
Fungsi diferensiasi (the dffirentiatingfunction)
Fungsi persiapan (the preparation function)
Fungsi pemilihan (the selective function)
Fungsi diagnostik (the diagnostic function)

Fungsi penyesuaian yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat mengantar
siswa agar mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengapa
kurikulum harus memiliki fungsi penyesuaian? Oleh sebab kehidupan masyarakat tidak
bersifat statis, akan tetapi dinamis, artinya kehidupan masyarakat selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, siswa harus dapat
beradaptasi dalam kehidupan masyarakat yang cepat berubah itu. Dalam rangka inilah fungsi
penyesuaian kurikulum diperlukan. Nah, sekarang coba Anda pikirkan bagaimana agar
kurikulum memiliki fungsi penyesuaian?
Fungsi integrasi dimaksudkan bahwa kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi
siswa secara utuh. Kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor harus berkembang secara
terintegrasi. Mengapa demikian? Sebab, kurikulum bukan hanya diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan intelektual atau kecerdasan saja akan tetapi juga harus dapat
membentuk sikap sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, serta dapat
memberikan keterampilan untuk dapat hidup di lingkungan masyarakatnya. Nah, sekarang
bagaimana menurut Anda agar kurikulum memiliki fungsi integrasi?
Fungsi diferensiasi yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat melayani
setiap siswa dengan segala keunikannya. Mengapa demikian? Sebab, siswa adalah organisme
yang unik yakni memiliki perbedaan-perbedaan, baik perbedaan minat, bakat, maupun
perbedaan kemampuan. Dapat dipastikan di dunia ini tidak akan ada manusia yang sama.
Walaupun keadaan fisik mungkin ada yang sama, akan tetapi belum tentu dilihat dari faktor
psikologisnya juga sama.
Fungsi persiapan mengandung makna, bahwa kurikulum harus dapat memberikan
pengalaman belajar bagi anak baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, maupun untuk kehidupan di masyarakat. Bagi anak yang memiliki potensi untuk
belajar pada jenjang yang lebih tinggi, maka kurikulum harus membekali mereka dengan
berbagai pengetahuan yang diperlukan agar mereka dapat mengikuti pelajaran pada level
pendidikan di atasnya; namun bukan itu saja kurikulum juga harus membekali mereka agar
dapat belajar di masyarakat, bagi mereka yang tidak memiliki potensi untuk melanjutkan
pendidikannya.
Fungsi pemilihan adalah fungsi kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum harus bersifat
fleksibel, artinya menyediakan berbagai pilihan program pendidikan yang dapat dipelajari.
Hal ini sangat penting, sebab seperti yang telah dikemukakan di atas, siswa memiliki
perbedaan-perbedaan, dan kurikulum harus melayani setiap perbedaan siswa.
Fungsi diagnostik, adalah fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan
siswa. Melalui fungsi ini kurikulum berperan untuk menemukan kesulitan-kesulitan dan
kelemahan yang dimiliki siswa, disamping mengeksplorasi berbagai kekuatan-kekuatan
sehingga melalui pengenalan itu siswa dapat berkembang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.

C. Kurikulum dan Pengajaran


Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisi tentang ide-ide dan gagasan-gagasan
yang dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Rencana tertulis itu kemudian menjadi
dokumen kurikulum yang membentuk suatu sistem kurikulum yang terdiri dari komponen-
komponen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain, seperti misalnya
komponen tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen pengalaman belajar, komponen
strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi. Komponen-komponen yang membentuk
sistem kurikulum selanjutnya melahirkan sistem pengajaran, dan sistem pengajaran itulah
yang menjadi pedoman guru dalam pengelolaan proses belajar mengajar di dalam kelas.
Dengan demikian maka dapat dikatakan sistem pengajaran merupakan pengembangan dari
sistem kurikulum yang digunakan. Oleh karena sistem pengajaran melahirkan tindakan-
tindakan guru dan siswa, maka dapat juga dikatakan bahwa tindakan-tindakan itu pada
dasarnya implementasi dari kurikulum, yang selanjutnya implementasi itu akan memberikan
masukan dalam proses perbaikan kurikulum. Demikian terus menerus, sehingga proses
pengembangan kurikulum membentuk siklus yang tanpa ujung.
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal
yang tidak terpisahkan walaupun keduanya memiliki posisi yang berbeda. Kurikulum
berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan; serta isi yang
harus dipelajari; sedangkan pengajaran adalah proses yang terjadi suatu interaksi belajar dan
mengajar antara guru dan siswa. Posisi kurikulum dan pengajaran ini diungkapkan saylor
(1981): "The terms curricuhmt and isitrucTion are interlockcd almost as inextricable as
name Tiistan anil Isoled or Romeo and Juliet. without a curriculum or plan, there can be no
effective instruction; and without instruction the curriculum has title meaning".
Bagi saylor, kurikulum dan pengajaran itu seperti Romeo dan Juliet. Artinya berbicara
tentang Romeo adalah berbicira juga tentang Juliet. Romeo tidak akan berarti apa-apa tanpa
juliet dan juga sebaliknya. Tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, maka pembelajaran atau
pengajaran tidak akan efektif; demikian juga tanpa pembelajaran atau pengajaran sebagai
implementasi sebuah rencana maka kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.
Seperti yang diungkapkan Saylor, Oliva (1992) mengungkapkan bahwa kurikulum dan
pengajaran memiliki keterkaitan yang erat. Kurikulum berhubungan dengan isi/materi yang
harus dipelajari sedangkan pengajaran berkaitan dengan cara mempelajarinya. .... curiculum
as that which is taught and instruction as the means used to teach that which is taught- Even
more simply, curriculum can be conceived as the ,,what" and instruction as the "how " . we
may thinh of the curriculum as a program, a plan, conteni, and learning experiences, where
as we ma)t characteriie.iitruction as methods, the teaching act, implementation and.
presentation. (Olivia, I 992)
Bagi oliva, kurikulum berkaitan dengan apa yangharus diajarkan; sedangkan pengajaran
mengacu kepada bagai mana cara mengajarkannya. Dengan demikian, bagi oliva kurikulum
berhubungan dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi pelajaran serta
pengalaman belajar; sedangkan pengajaran berkaitan dengan metode tindakan mengajar,
implementasi, dan presentasi.
Dari uraian di atas, maka jelas ketika kita memikirkan apa yang harus dipelajari siswa,
materi apa yang akan di sampaikan, pengalaman belajar apa yang harus dimiliki siswa, maka
pada saat itu kita sedang mengembangkan sebuah program, sebuah perencanaan atau sebuah
kurikulum. Selanjutnya, manakala kita memikirkan bagaimana cara yang dapat dilakukan
untuk mengajarkan suatu materi, metode apa yang harus digunakan, bagaimana menyusun
implementasi program dalam tindakan nyata, maka pada saat itu kita sedang menyusun
program pengajaran.
Untuk melihat keterkaitan hubungan antara kurikulum dan pengajaran coba Anda lihat
gambar 1.1 tentang hubungan kurikulum dan pengajaran di bawah ini.
Isi dalam sistem pengembangan kurikulum bersumber dari budaya masyarakat.
Berdasarkan sumber tersebut ditentukan kriteria penyusunan dan kriteria pemilihan. Mengapa
sistem pengembangan kurikulum harus sesuai dengan budaya masyarakat?
Selanjutnya sistem pengembangan kurikulum akan melahirkan rangkaian pengajaran
serta hasil yang diharapkan sesuai dengan kurikulum. Rangkaian pengajaran inilah yang
kemudian akan mengkristal dalam sistem pengajaran yang tiada lain adalah tindak lanjut dari
pengembangan sistem kurikulum. Dalam implementasinya sistem pengajaran akan
dipengaruhi oleh isi pelajaran (keluasan dan kedalaman materi serta jenis materi pelajaran itu
sendiri) dan berbagai instrumen pendukung yang kesemuanya itu tidak akan lepas dari sosial
budaya masyarakat. Sistem pengajaran secara langsung dapat dipengaruhi oleh perilaku
mengajar (seperti kualitas pengajaran, waktu pengajaran, kemampuan mengajar guru, dan
lain sebagainya). Dari sistem pengajaran itulah selanjutnya dapat melahirkan hasil belajar
siswa.
Sistem pengajaran terbentuk oleh tiga subsistem, yaitu subsistem tentang perencanaan
pengajaran, subsistem tentang pelaksanaan pengajaran, dan subsistem evaluasi. Setiap
subsistem itu merupakan suatu rangkaian, yang masing-masing dapat dianalisis. Tugas guru
adalah berhubungan dengan membangun sistem pengajaran ini. Oleh karenanya, efektivitas
suatu kurikulum sangat tergantung kepada guru yang mengembangkannya.
Perencanaan pengajaran adalah proses yang dilakukan untuk mendesain kegiatan
pengajaran sebagai upaya pencapaian tujuan kurikulum. Dengan demikian, perencanaan
pengajaran dilakukan dalam berbagai tingkat satuan waktu, yang meliputi perencanaan
tahunan, perencanaan semesteran, perencanaan mingguan dan perencanaan harian, yakni
perencanaan untuk satu kali kegiatan pembelajaran. Perencanaan pengajaran disusun sebagai
upaya implementasi sistem kurikulum. Oleh karenanya penyusunan perencanaan sesuai
dengan tujuan kurikulum.
Subsistem pelaksanaan pengajaran tiada lain adalah implementasi atau action dari
perencanaan. Subsistem pelaksanaan erat kaitannya dengan prosedur yang ditempuh oleh
guru dan siswa di dalam praktik pembelajaran, oleh karena itu, maka keberhasilan kurikulum
sangat tergantung pada subsistem pelaksanaan ini. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah
faktor guru itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, guru merupakan ujung tombak yang
berhubungan langsung dengan siswa, sehingga bukan saja ia berperan sebagai fasilitator bagi
siswa, akan tetapi juga ia berperan sebagai pengelola atau pengatur lingkungan agar siswa
belajar.
Subsistem evaluasi berhubungan dengan kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa. Dalam sistem pengajaran subsistem
evaluasi memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting, oleh sebab hasil evaluasi selain
dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan siswa juga dapat dijadikan sebagai umpan balik
untuk perbaikan proses pembelajaran. Kemudian bagaimana cara memfungsikan hasil
evaluasi untuk melihat keberhasilan siswa dan sebagai umpan balik perbaikan proses
pengajaran? Walaupun antara kurikulum dan pengajaran merupakan dua sisi yang tidak
terpisahkan, namun dalam suatu proses pengajaran dan pembelajaran, dapat terjadi berbagai
kemungkinan hubungan antara keduanya Peter F. Oliva (1992) menggambarkan
kemungkinan hubungan itu ke dalam beberapa model seperti di bawah ini.

1. Model dualistis (the dualistic model)


Pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanya tidak bertemu kurikulum
yang seharusnya menjadi input dalam menata sistem pengajaran tidak tampak.
Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam proses
penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran berjalan
sendiri. Model dualistis itu digambarkan Oliva sebagai berikut:

2. Model berkaitan (the interlocking model)


Pada model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang keduanya
memiliki hubungan. Baik antara kurikulum dan pengajaran maupun pengajaran dan
kurikulum ada bagian-bagian yang berpadu atau memiliki keterkaitan, sehingga antara
keduanya memiliki hubungan.

3. Model konsentris (the concentric model)


Pada model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan
kurikulum bagian dari pengajaran atau pengajaran bagian dari kurikulum. Yang satu
tergantung dari yang lain. Model konsentris ini dapat digambarkan sebagai berikut:
4. Model siklus (the ciclical model)
Pada model ini antara kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan yang timbal balik.
Keduanya saling berpengaruh. Apa yang diputuskan dalam kurikulum akan menjadi
dasar dalam proses pelaksanaan pengajaran. Sebaliknya apa yang terjadi dalam
pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum selanjutnya. Oleh sebab itu, dalam
model siklus hubungan keduanya sangat erat walaupun kedudukannya terpisah yang
berarti dapat dianalisis secara terpisah pula.

D. Kurikulum Ideal dan Kurikulum Aktual


Sebagai suatu rencana atau program tertulis, kurikulum merupakan pedoman bagi guru
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Oleh sebab itu, setiap guru
seharusnya dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Inilah yang
dinamakan kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang diharapkan dapat dilaksanakan dan
berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses belajar dan mengajar. Oleh karena
kurikulum ideal merupakan pedoman bagi guru, maka kurikulum ini juga dinamakan
kurikulum formal atau kurikulum tertulis (writen curriculum). Contoh dari kurikulum ini
adalah kurikulum sebagai suatu dokumen seperti Kurikulum SMU 1989, Kurikulum SD 1975
yang berlaku pada tahun itu, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah pedoman, kurikulum ideal
memegang peran yang sangat penting dalam merancang pembelajaran yang dapat dilakukan
oleh guru dan siswa. Sebab, melalui pedoman tersebut guru minimal dapat menentukan hal-
hal sebagai berikut:
1. Merumuskan tujuan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Dapat kita
bayangkan tanpa tujuan yang jelas sebagai rambu-rambu, maka guru akan kesulitan
menentukan dan merencanakan program pembelajaran.
2. Menentukan isi atau materi pelajaran yang harus dikuasai untuk mencapai tujuan atau
penguasaan kompetensi.
3. Menyusun strategi pembelajaran untuk guru dan siswa sebagai upaya pencapaian
tujuan.
4. Menentukan keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi

Memerhatikan begitu pentingnya keaadaan kurikulum ideal, maka setiap guru dituntut
untuk memahami dengan benar kurikulum ideal, bukan hanya tentang tujuan yang harus
dicapai akan tetapi berbagai hal yang berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan itu
sendiri.
Apakah setiap kurikulum ideal dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh guru? Tentunya
tidak. Setiap sekolah tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan sempurna, karena
berbagai alasan. Pertama, bisa atau tidaknya kurikulum ideal diterapkan oleh guru, dapat
ditentukan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Misalkan dalam
kurikulum ditetapkan agar anak memiliki kompetensi dalam mengamati micro organism,
maka setiap anak dapat menggunakan microscope. Kalau kurikulum itu diterima di sekolah
yang telah memiliki peralatan semacam itu, maka tentu saja guru dapat melaksanakannya
sesuai dengan tuntutan kurikulum; tetapi seandainya kurikulum itu harus dijadikan pedoman
bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki peralatan semacam itu, tentu kurikulum ideal
semacam itu tidak mungkin dapat dilakukan.
Kedua, bisa atau tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan, akan ditentukan oleh
kemampuan guru. Misalnya, kurikulum ideal menuntut agar anak dapat menggunakan
komputer untuk belajar, dan sekolah memiliki peralatan komputer dengan lengkap, nah tentu
saja peralatan yang lengkap itu tidak mungkin dapat dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan
kurikulum, manakala guru tidak menguasainya dengan optimal. Jadi, dengan demikian sarana
yang lengkap belum menjamin kurikulum ideal dapat dilaksanakan manakala tidak didukung
oleh kemampuan guru.
Ketiga, bisa tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh setiap guru, juga tergantung
pada kebijakan setiap sekolah yang bersangkutan. Misalnya, di sekolah tersedia sarana
belajar dengan lengkap sesuai dengan tuntutan kurikulum, demikian juga halnya dengan
kemampuan guru, tetapi dengan alasan bahwa sarana atau alat tersebut merupakan alat yang
mahal dan langka misalnya, maka kepala sekolah mengambil kebijakan alat tersebut tidak
boleh digunakan, maka tidak mungkin kurikulum dapat dilaksanakan dengan optimal. Nah,
dengan demikian kebijakan sekolah juga dapat menentukan bisa dan tidaknya kurikulum
ideal dilaksanakan oleh guru.
Ketiga hal tersebut, merupakan faktor yang dapat atau tidaknya kurikulum ideal
dilaksanakan oleh setiap guru. Oleh karena berbagai keterbatasan itu, maka guru hanya
mungkin dapat menerapkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Inilah yang kemudian
dinamakan actual curriculum atau kurikulum nyata, yakni kurikulum yang secara riil dapat
dilaksanakan oleh guru sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada.
Oleh karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi setiap guru khususnya tentang
tujuan dan kompetensi yang harus dicapai; sedangkan kurikulum aktual adalah kurikulum
nyata yang dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang ada dengan demikian
dapat dipastikan bahwa semakin jauh jarak antara kurikulum ideal dengan kurikulum aktual,
artinya apa yang dikerjakan guru tidak sesuai atau jauh dari rambu-rambu kurikulum ideal
maka akan semakin rendah kualitas suatu sekolah. Sebaliknya, semakin dekat jarak antara
kurikulum ideal dan kurikulum aktual, artinya apa yang dilakukan guru dan siswa sesuai
dengan rambu-rambu bahkan melebihi kurikulum ideal sebagai pedoman, maka akan
semakin bagus kualitas suatu sekolah atau kualitas proses belajar mengajar.

Garis pertama berwama merah menunjukkan kurikulum aktual yang dilaksanakan guru
menyentuh atau sesuai dengan kurikulum ideal bahkan melebihi kurikulum ideal, maka dapat
dipastikan kualitas pendidikan akan meningkat. Sebaliknya, apabila kurikulum aktual yang
dilaksanakan guru seperti yang tergambar pada garis kedua tidak pernah menyentuh bahkan
melenceng dari kurikulum ideal, maka dapat dipastikan kualitas pendidikan akan rendah.
Misalnya, dalam kurikulum ideal ditetapkan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam
berkomunikasi berbahasa Inggris, maka sebaiknya siswa menggunakan laboratorium bahasa.
Di sekolah yang memiliki sarana yang lengkap dan kreativitas gurunya bagus, ketika anak
belajar bahasa Inggris, bukan saja menggunakan laboratorium bahasa akan tetapi juga
menggunakan native speaker, apa yang akan terjadi? Tentu saja hasil belajar siswa akan lebih
baik. Sebaliknya manakala kurikulum itu jatuh di sekolah yang tidak memiliki fasilitas
seperti laboratorium bahasa kemudian gurunya tidak kreatif, sehingga pembelajaran akan
dilaksanalan seadanya maka jelas hasil belajar sisiwa tidak akan optimal. Itulah sebabnya
jarak antara kurikulum ideal tidak boleh terlalu jauh dengan kurikulum aktual.

E. Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)


Dalam bukunyaThe Hidderr Curriculum an Overview: Curriculum Perspectives,
Seddon (1983) mengungkapkan: ...The hidden curriculum refers to outcomes of education
and/or the processes leading to those outcomcs, which are not explicity internded by
educators. These outcomes are generally not explicitly intended because they are not stated
by teacher in their oral or weitten list of objective, not are they included in educational
statements of intent such as syllabuses; school policy documents or curriculum projects.
Kurikulum tersembunyi pada dasarnya adalah hasil dari suatu proses pendidikan yang tidak
direncanakan. Artinya perilaku yang muncul di luar tujuan yang dideskripsikan oleh guru.
Kurikulum pada hakikatnya berisi ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu selanjutnya
dituangkan dalam bentuk dokumen atau tulisan secara sistematis dan logis yang
memerhatikan unsur scope dan sequence, selanjutnya dokumen tertulis itulah yang
dinamakan dengan kurikulum yang terencana (curiculum document or writen cuiculum).
Salah satu isi yang terdapat dalam dokumen kurikulum itu adalah sejumlah daftar tujuan yang
harus dicapai oleh peserta didik. Tujuan itulah yang selanjutnya dijadikan pedoman oleh guru
dalam proses pembelajaran sebagai tahap implementasi kurikulum. Pada kenyataannya hasil
dari proses pembelajaran itu selain sesuai dengan tujuan perilaku yang dirumuskan, juga ada
perilaku sebagai hasil belajar di luar tujuan yang dirumuskan. Inilah hakikat dari kurikulum
tersembunyi, yakni efek yang muncul sebagai hasil belajar yang sama sekali di luar tujuan
yang dideskripsikan. Kemudian faktor apa saja yang dapat memengaruhi hasil yang ridak
direncanakan itu? Ada dua aspek yang dapat memengaruhi perilaku sebagai hidden
curriculum itu, yaitu aspek yang relatif tetap dan aspek yang dapat berubah. Yang dimaksud
dengan aspek relatif tetap adalah ideologi, keyakinan, nilai budaya masyarakat yang
memengaruhi sekolah termasuk di dalamnya menentukan budaya apa yang parut dan tidak
patut diwdriskan kepada generasi bangsa. Aspek yang dapat berubah meliputi variabel
organisasi sistem sosial dan kebudayaan. Variabel organisasi meliputi bagaimana guru
mengelola kelas, bagaimana pelajaran diberikan, bagaimana kenaikan kelas dilakukan.
Sistem sosial meliputi bagaimana pola hubungan sosial antara guru, guru dengan peserta
didik, guru dengan staf sekolah, dan lain sebagainya. Menurut Bellack dan Kiebard, hidden
curriculum memiliki tiga dimensi, yaitu:
1. Hidden cunikulum dapat menunjukkan suatu hubungan sekolah, yang meliputi interaksi
guru, peserta didik, struktur kelas, keseluruhan pola organisasional peserta didik sebagai
mikrokosmos sistem nilai sosial.
2. Hidden curriculum dapat menjelaskan sejumlah proses pelaksanaan di dalam atau di
luar sekolah yang meliputi hal-hal yang memiliki nilai tambah, sosialisasi,
pemeliharaan struktur kelas.
3. Hidden curriculum mencakup perbedaan tingkat kesengajaan (intensionalitas) seperti
halnya yang dihayati oleh para peneliti, tingkat yang berhubungan dengan hasil yang
bersifat insidental. Bahkan hal itu kadang-kadang tidak diharapkan dari penyusunan
kurikulum dalam kaitannya dengan fungsi sosial pendidikan.
Dalam dimensi pelaksanaan implementasi kurikulum di dalam kelas atau
pengembangan kurikulum dalam skala mikro, kurikulum tersembuny (hiddm curriculum)
memiliki makna: Pertama, kurikulum tersembunyi dapat dipandang sebagai tujuan yang tidak
tertulis (tersembunyi), akan tetapi pencapaiannya perlu dipertimbangkan oleh setiap guru
agar kualitas pembelajaran lebih bermakna. Sebagai contoh, ketika guru hendak mengajar
tujuan tertentu melalui metode diskusi, sebenarnya ada tujuan lain yang harus dicapai selain
tujuan yang berhubungan dengan penguasaan materi pembelajaran, misalnya kemampuan
siswa untuk mengeluarkan pendapat atau gagasan melalui bahasa yang benar; atau sikap
siswa untuk mau mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain; kemampuan menyimak
dan menentukan permasalahan dan lain sebagainya; atau ketika guru menentukan tujuan agar
siswa dapat menuliskan sesuatu, maka sesungguhnya ada tujuan lain yang ingin dicapai yaitu
menilai kerapian tulisan siswa, ketepatan menuliskan lambang-lambang tulisan, kemampuan
siswa mengeluarkan gagasan melalui bahasa tulisan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu,
dalam konteks ini semakin kaya guru menentukan kurikulum tersembunyi, maka akan
semakin bagus juga kualitas proses dan hasil pembelajaran. Kedua, kurikulum tersembunyi
juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang terjadi tanpa terlebih dahulu yang dapat
dimanfaatkan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalkan, ketika guru akan
mengajarkan tent.rng serangga (binatang insekta), tibatiba lewat jendela kelas muncul seekor
kupu-kupu masuk ke dalam kelas, nah, kemunculan kupu-kupu yang tidak direncanakan itu
merupakan hidden curriculum yang dapat dijadikan awal pembahasan materi pembelajaran.
Dengan demikian semakin kaya guru dengan hiddencurriculum, maka akan semakin aktual
proses pembelajaran. Selanjutnya, dapatkah Anda memberikan contoh lain pengembangan
hidden curriculum?

F. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum


Di muka dijelaskan bahwa kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni
kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen
kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah
realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi, dengan demikian
kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan proses pembelajaran sebagai implementasi
dokumen tersebut merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling meng-
ada dan meniada-kan: ada kurikulum pasti ada pembelajaran; dan ada pembelajaran ada juga
kurikulum.
Guru merupakan salah satu faktorpenting dalam implementasi kurikulum.
Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemarnpuan guru untuk
mengimplementasikannya maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat
pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan
efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang
posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran
kelas. Murray Printr (1993) mencatat peran guru dalam level ini adalah sebagai:
1. Implementers
2. Adapters
3. Danelopers
4. researchers
Pertama,sebagai implemter, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang
sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus
kurikulum. Guru tidak memiliki ruang baik untuk menentukan isi kurikulum maupun
menentukan target kurikulum. Pada fase sebagai implementator kurikulum, peran guru dalam
pengembangan kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang telah disusun.
Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru
kita dalam pengembangan kurikulum hanya sebatas sebagai implementator berbagai
kebijakan kurikulum yang dirancang secara terpusat, yakni Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP). Dalam GBPP yang berbentuk matriks telah ditentukan dari mulai tujuan
yang harus dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan
termasuk penggunaan media dan sumber belajar serta bentuk evaluasi yang harus dilakukan
sampai kepada penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan. Dalam
pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung
jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Akibatnya kurikulum
bersifat seragam, apa yang dilakukan oleh guruguru di bagian timur Indonesia, sama dengan
apa yang dilakukan oleh guru-guru yang berada di bagian barat lndonesia. Oleh karena guru
hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat krearivitas dan inovasi guru dalam
merekayasapembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai
pembaru. Mengajar dianggapnya bukan sebagai pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas
rutin atau tugas keseharian.
Kedua, peran guru sebagai adapters, lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum,
akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan
kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum
yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), misalnya para perancang kurikulum hanya
menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana
implementasinya, kapan waktunya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh
guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters lebih luas dibandingkan dengan peran
guru sebagai implementers.
Ketiga, peran sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan
dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan sajadapat menentukan tujuan dan isi
pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus
dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum
sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi
sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa. Pelaksanaan peran
ini dapat kita lihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal (Mulok) sebagai bagian
dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KISP). Pengembangan kurikulum
muatan lokal, sepenuhnya. diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. Oleh
sebab itu, bisa terjadi kurikulum mulok antar sekolah bisa berbeda. Kurikulum dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan masing masing sekolah.
Keempat, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum
(curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru
yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam
pelaksanaan peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai
komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas
program, menguji strategi dan model pembelajaran, d.an lain sebagainya termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu
merode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah merode Penelitian Tindakan Kelas
(PTK), yakni metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam
implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus
melaksariakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian,
dengan pTK bukan saja dapat menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, akan tetapi secara terus-menerus guru dapat meningkatkan kualitas
kinerjanya.

11B. PERKEMBANGAN dan PARADIGMA KURIKULUM ( KTSP)

PERKEMBANGAN KURIKULUM
A. Hakikat Perkembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem
pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus
dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikah pemahaman
tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa; Oleh karena begitu pentingnya
fungsi dan peran kurikulum, maka setiap pengembangan kurikulum pada jenjang mana pun
harus.*didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan pengembangan kurikulum adalah sePerti fondasi sebuah
bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri di
atas fondasi yang rapuh? Ya, tentu saja bangunan itu tidak akan tahan lama. Oleh sebab itu,
sebelum sebuah gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin
kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut.
Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus
didasaikan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun fondasi kurikulum
berarti kesalahan dalam menentukan kebijaka! dan implementasi pendidikan. Apa yang akan
terjadi seandainya terdapat kekelituan dalam menentukan kebijakan dan
mengimplementasikan- sistem pendidikan? Pengembangan kurikulum pada hakikatnya afatah
proses penyusurlan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelaiari serta
bagaimana cara mempel ajarnya. Namun demikian, persoalan mengembangkan isi dan bahan
pelajaran serra bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab
menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin
dicapai; sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan
kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan
menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian
kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
Sebelum kita bahas tentang asas-asas pengembangan kurikulum yang akan kita kupas
pada bahasan selanjutnya, pada bagian ini kita akan mempelajari hakikatpengembangan
kurikulum itu sendiri. Hal ini sangat penting, sebab pemahaman akan hakikat pengembangan
akan membawa pada pemahaman bagaimana seharusnya proses pengembangan dilakukan.
Menurut David Pratt (1980) istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan
pengembangan yang rnengandung konotasi bersifat gradual. Desain adalah proses yang
disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan penyeleksian bagian-bagian, teknik dan
prosedur yang mengatur suatu tujuan atau usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan
kurikulum (curriculum development atau atniculum planning) adalah proses atau kegiatan
yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman
dalam proses dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus. Rangkaian kegiatan itu
digambarkan Seller seperti pada gambar 2.1.

Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan


orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya arah dan tujuan pendidikan,
pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak didik, pandangan tentang keberhasilan
implementasi kurikulum, dan lain sebagainya. Berdasarkan orientasi itu selanjutnya
dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam proses
pembelajaran dan dievaluasi. Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam
menentukan orientasi, begitu seterusnyq hingga membentuk siklus.
Orientasi pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu:
1. Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya hendak dibawa ke
mana siswa yang kita didik itu.
2. Pandangan tentang anak apakah anak dianggap sebagai organism yang aktif atau pasif.
3. Pandangan tentang proses pembelajan: apakah proses pembelajaran itu dianggap
sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah perilaku anak.
4. Pandangan tentang lingkungan: apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal,
atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5. Konsepsi tentang peranan guru: apakah guru harus berperan sebagai Instruktur yang
bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan
dan bantuan padaanakuntuk belajar.
6. Evaluasi belajar: apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.
Mengacu pada proses pengembangan kurikulum sebagai siklus seperti yang
dikemukakan Seller di atas, maka tampak bahwapengembangan kurikulum itu pada
hakikatnya adalah pengembangan komponenkomponen yang membentuk sistem kurikulum
itu sendiri serta pengembangan komponen pembelajaran sebagai implementasi kurikulum.
Dengan demikian, maka pengembangan kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya,
yaitu sisi kurikulum sebagai pedomanyang kemudian membentuk kurikulum tertulis (writen
curriculum atau document curriculum) dan sisi kurikulum sebagai implementa si (curriculum
implementation) yang tidak lain adalah sistem pembelajaran.
Proses pengembangan berbeda dengan perubahan dan pembinaan kurikulum. Perubahan
kurikulum adalah kegiatan atau proses yang disengaja manakala berdasarkan hasil evaluasi
ada salah satu atau beberapa komponen yang harus diperbaiki atau di ubah; sedangkan
pembinaan adalah proses untuk mempertahankan dan menyempurnakan kurikulum yang
sedang dilaksanakan. Dengan demikian, pengembangan menunjuk pada proses merancang
dan pembinaan adalah implementasi dari hasil pengembangan. Oleh sebab itu,
pengembangan dan pembinaan kurikulum merupakan dua kegiatan yang sebenarnya tidak
dapat dipisahkan, sebab, apa artinya suatu rancangan kurikulum tanpa diimplementasikan.
Justru makna suatu kurikulum akan dapat dirasakan manakala diimplementasikan, dan hasil
implementasi itu selanjutnya akan memberikan masukan untuk penyempurnaan rancangan.
Inilah hakikat pengembangan kurikulum yang membentuk siklus.
Selanjutnya, apa saja yang harus diperhatikan dalam proses pengembangan kurikulum?
Yang sangat penring untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum adalah isi atau
muatan kurikulum itu sendiri. Ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
isi pengembangan kurikulum, yaitu rentangan kegiatan, dan tujuan kelembagaan yang
berhubungan dengan misi dan visi sekolah.

1. Rentangan Kegiatan (Range of Activity)


Pengembangan isi kurikulum biasanya diawali dengan rancangan kebijakan kurikulum,
rancangan bidang studi, program pengajaran, unit pengajaran, dan rencana pembelajaran.
Kebijakan kurikulum merupakan otorita pemegang kebijakan pendidikan. Kebijakan
kurikulum memuat tentang apayang harus diajarkan dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para pengembang kurikulum lebih lanjut. Kebijakan kurikulum pada dasarnya merupakan
keputusan yang ditentukan dari hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Menentukan
kebijakan kurikulum harus dilaksanakan secara hati-hati, sebab akan mempengaruhi berbagai
kebijakan pendidikan lainnya. Misalnya, mengenai isi dari setiap disiplin ilmu yang perlu
dikuasai oleh anak didik dalam jenjang tertenru, kebutuhan sosial
macam apayangharus dikuasai anak didik sertapengalaman belajar yang bagaimana yang
harus dimiliki anak didik. Hal ini tentu saja didasarkan pada pengkajian yang komprehensif.
Rancangan program studi meliputi kegiatan-kegiatan menentukan tujuan, urutan serta
kedalaman materi dalam setiap bidang studi, misalnya rancangan bidang studi matematika,
bahasa, IPA, dan lain sebagainya.
Rancangan program pengajaran adalah kegiatan merancang aktivitas belajar dalam
setiap bidang studi untuk satu tahun, satu semester atau, satu caturwulan. Program pengajaran
tersebut selanjutnya dijabarkan pada rencana pembelajaran, yang dirancang lebih khusus
untuk jangka waktu tertentu. Bisa jadi program yang lebih khusus itu adalah program
pembelajaran untuk satu kali pertemuan dalam proses pembelajaran.
Dilihat dari program kegiatan yang dihasilkan, maka pengembangan kurikulum itu
dimulai dari kegiatan pengembangan dari lingkup yang paling luas sampai kepada lingkup
yang paling sempit, yaitu pengembangan kurikulum dalam proses pembelajaran di dalam
kelas dalam satu unit pengajaran atau bidang studi tertentu. Untuk lingkup yang paling luas,
pengembangan kurikulum menghasilkan program kebijakan kurikulum dan mengembangkan
rancangan program studi; sedangkan mengembangkan program-program kegiatan sebagai
penjabaran dari program studi merupakan lingkup pengembangan kurikulum yang lebih
sempit.
Di samping merancang program, kegiatan pengembangan kurikulum juga berkaitan
dengan menghasilkan bahan-bahan pengajaran, seperti menyusun buku teks, modul, program-
program film, rekaman audio, dan lain sebagainya. Fungsi bahan pengajaran itu sendiri
adalah untukmemberikan pengalarnan belajar sesuai dengan tujuan dan program kegiatan.
Seperti McNeil, Nasution (1989), juga mengemukakan bahwa kegiatan pengembangan
kurikulum meliputi dua proses utama, yakni pengembangan pedoman kurikulum dan
pengembangan pedoman instruksional. Pedoman kurikulum berisi tentang rumusan-rumusan
normatif tentang isi kurikulum. Misalnya, tentang latar belakangyang berisi tentang tujuan
dan landasan filosofis, sasaran peserta didik, bidang studi, struktur bahan pelajaran beserta
silabusnya; sedangkan pedoman instruksional berisi tentang penjabaran lebih rinci dari
pedoman kurikulum untuk pengelolaan pembelajaran. Dengan demikian, pedoman
instruksional disusun oleh guru sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pembelajaran, atau
sebagai pedoman implementasi kurikulum.

1. Tujuan Kelembagaan (lnstitusional Purpose)


Tujuan kelembagaan sama artinya dengan visi dan misi sekolah. Pengembangan
kurikulum selamanya harus sejalan dengan visi dan misi sekolah yang bersangkutan, karena
kurikulum pada hakikatnya disusun untuk mencapai tujuan sekolah.
Setiap jenis sekolah akan memiliki visi dan misi yang berbeda.Jenis sekolah kejuruan,
misalnya akan berbedadengan sekolah umum. Sekolah kejuruan yang memiliki visi dan misi
untukmempersiapkan anak didik memiliki keterampilan sesuai dengan lapangan pekerjaan
tertentu, maka mengembangkan isi kurikulum akan lebih tepat dilakukan melalui analisis
pekerjaan (job analysis), bukan melalui analisis disiplin ilmu. Sebaliknya, sekolah yang
memiliki visi dan misi untuk mempersiapkan anak didik dapat mengikuti pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi, maka analisis disiplin ilmu, seperti pemahaman fakta, konsep, teori
dan sebagainya, akan lebih cocok dibandingkan denganpenentuan isi kurikulum melalui
analisis tugas atau analisis pekerjaan. Dengan demikian, visi dan misi sekolah harus menjadi
pertimbangan utama dalam menentukan isi kurikulum. Sehingga, pengalaman belajaryang
dilakukan siswa di sekolah, akan menjamin pencapaian tujuan sekolah yang bersangkutan.
Untuk lebih memahami proses pengembangan kurikulum, kita kutip pendapat Zus
dalam bukunya yang berjudul Curriculum Principles and Foundations (1976). Zais
menggambarkan proses pengembangankurikulum seperci terlihat pada Gambar 2.2.
Proses pengembangan kurikulum menurut Zais, harus dimulai dengan asumsi-asumsi
filosofis sebagai sistem rnlu (value sistem) atau pandangan hidup suatu bangsa. Berdasarkan
asas filosofis itulah selanjutnya ditentukan tentang hakikat pengetahuan, sosiokultural,
hakikat anak didik, dan teori-teori belajar. Inilah yang menjadi dasar dalam pengembangan
kurikulum, dengan kata lain landasan pengembangan kurikulum itu meliputi asas filosofis,
asas psikologis, dan asas sosial budaya termasuk di dalamnya asas teknologis- Manakala
telah ditentukan landasan-landasan sebagai fondasi kurikulum, maka ditentukan komponen-
komponen kurikulum yang menyangkut tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus, isi
atau materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi. Jadi, pada dasarnya proses
pengembangan kurikulum adalah proses penyusunan keempat komponen tersebut yang
dilandasi oleh asas asas pengembangannya sebagai fondasi.

Sejalan dengan pendapat Zais,Lawton (1973) juga menggambarkan bahwa yang


seharusnya menjadi sumber landasan kurikulum meliputi landasan filosofis, sosialcultural
dan psikologis. Peranan ketiga landasan dalam pengembangan kurikulum digambarkan
Lawton pada gambar 2.3 berikut ini.
Pengembangan landasan kurikulum terdiri atas tiga sumberyakni:
1. Studi tentang hakikat dan nilai ilmu pengetahuan (sudies of the nature And value
knowledge) sebagai aspek filosofis.
2. Studi tentang kehidupan (studix of life) sebagai aspek sosial-budaya.
3. Studi tentang siswa dan teori-teori belajar (sudies of leamers and learning theory)
sebagu aspek psikologi.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa peran landasan dalam pengembangan adalah sebagai


berikut:
1. Pengembang kurikulum pertama kali harus memiliki pandangan yang jelas tentang
hakikat ilmu pengetahuan dan hakikat nilai lsebagai landasan filosofis).
2. Pandangan filosofis tersebut kemudian disusun dalam konteks pemahaman pengembang
kurikurum tentang masyarakar dan kebudayaannya serta kebutuhan masyarakat pada
masa yang akan datang (landasan sosiologis dan budaya).
3. Aspek psikologis yakni hakikat siswa dan bagaimana mereka belajar akan berkontribusi
dalam membangun suatu kurikulum (landasan psikologi).
4. Secara keseluruhan ketiga landasan tersebut akan menjadi sumber bagi pengembang
dalam menentukan keputusan tentang kurikulum yang akan disusun.
5. Berdasarkan keputusan, selanjutnya para pengembang dapat menentukan keputusan
tentang tugas-tugas kurikulum.
6. Ketika sumber-sumber yang menjadi landasan kurikulum dan konsep kurikulum telah
menghasilkan isi kurikulum itu sendiri, maka selanjutnya kira dapat menentukan
bagaimana hasil akhir kurikulum yang dibutuhkan.

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Agar kurikulum dapat berfungsi sebagai pedoman, maka ada sejumlah prinsip dalam
proses pengembangannya. Di bawah ini akan diuraikan sejumlah prinsip yang dianggap
penting.
1. Prinsip Relevansi
Kurikulum merupakan rel-nya pendidikan untuk membawa siswa agar dapat hidup
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta membekali siswa baik dalam bidang
pengetahuan, sikap maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Oleh sebab itu, pengalaman- pengalaman belajar yang disusun dalam kurikulum harus
relevan dengan kebutuhan masyarakat. Inilah yang disebut dengan prinsip relevansi.
Ada dua macam relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi
internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-
komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman
belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian
untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal ini menunjukkan keutuhan suatu
kurikulum.
Relevansi eksternal berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses belajar
siswa yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Ada tiga
macam relevansi eksternal dalam pengembangan kurikulum: Pertama, relevan dengan
lingkungan hidup peserta didik. Artinya, bahwa proses pengembangan dan penetapan isi
kurikulum hendaklah disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar siswa. Contohnya untuk
siswa yang ada di perkotaan perlu diperkenalkan kehidupan di lingkungan kota, seperti
keramaian dan rambu-rambu lalu lintas; tata cara dan pelayanan jasa bank, kantor pos, dan
lain sebagainya. Demikian juga untuk sekolah yang berada di daerah pantai, perlu
diperkenalkan bagaimanakehidupan di pantai, seperti mengenai tambak, kehidupan nelayan,
koperasi, pembibitan udang, dan lain sebagainya.
Kedua, relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun dengan yang akan
datang. Artinya, isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang
berkembang. Selain itu juga apa yang diajarkan kepada siswa harus bermanfaat untuk
kehidupan siswa pada waktu yang akan datang. Misalkan untuk kehidupan yang akan datang,
penggunaan komputer dan Internet akan menjadi salah saru kebutuhan, maka dengan
demikian bagaimana cara memanfaatkan komputer dan bagaimana cara mendapatkan
informasi dari Internet sudah harus diperkenalkan kepada siswa. Demikian juga dengan
kemampuan berbahasa. Pada masa yang akan datang ketika pasar bebas seperti persetujuan
APEC mulai berlaku, maka masyarakat akan dihadapkan kepada persaingan merebut pasar
kerja dengan orang-orang asing. Oleh karenanya keterampilan berbahasa asing sudah harus
mulai dipupuk sejak sekarang.
Ketiga, relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Artinya, bahwa apa yang diajarkan di
sekolah harus mampu memenuhi dunia kerja. Untuk sekolah kejuruan contohnya, kalau
dahulu di Sekolah Kejuruan Ekonomi dilatih bagaimana agar siswa mampu menggunakan
mesin tik sebagai alat untuk,keperluan surat-menyurat, maka sekarang mesin tik sudah tidak
banyak digunakan, akan tetapi yang lebih banyak digunakan komputer. Dengan demikian,
keterampilan mengoperasikan komputer harus diajarkan. Demikian juga halnya dengan
runrutan dunia kerja kepariwisataan, perbankan, asuransi, perhotelan dan lain sebagainya, isi
kurikulum harus menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan di setiap bidang.
Untuk memenuhi prinsip relevansi ini, maka dalam proses pengembangannya sebelum
ditentukan apayang menjadi isi dan model kurikulum yang bagaimana yang akan digunakan,
perlu dilakukan studi pendahuluan dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan
seperti melakukan survei kebutuhan dan tuntutan masyarakat; atau melakukan studi tentang
jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh setiap lembaga atau instansi.

2. Prinsip Fleksibilitas
Apa yang diharapkan dalam kurikulum ideal kadang-kadang tidak sesuai dengan
kondisi kenyataan yang ada. Bisa saja ketidaksesuaian itu ditunjukkan oleh kemampuan guru
yang kurang,latar belakang atau kemampuan dasar siswa yang rendah, atau mungkin sarana
dan prasarana yang ada di sekolah tidak memadai. Kurikulum harus bersifat lentur atau
fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada.
Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi: Pertama, fleksibel bagi guru, yang artinya
kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program
pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada. Kedua, fleksibel bagi siswa artinya
kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat
dan minat siswa.

3. Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan
kesinambungan antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan.
Dalam penyusunan materi pela jaran perlu dijaga agar apayang diperlukan untuk mempelajari
suatu materi pelajaran pada jenjang yang lebih tinggi telah diberikan dan dikuasai oleh siswa
pada waktu mereka berada pada jenjang sebelumnya. Prinsip ini sangat
penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan materi
pelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu ada kerja sama antara
pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, misalkan para pengembang
pendidikan pada jenjang sekolah dasar, jenjang SLTP, jenjang SLTA, dan bahkan dengan
para pengembang kurikulum di perguruan tinggi.

4. Efektifitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat
dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas
dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan
guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedun,
efektivitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Efektivitas kegiatan guru
berhubungan dengan keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun. Sebagai contoh, apabila guru menetapkan dalam satu
caturwulan atau satu semester harus menyelesaikan 12 program pembelajaran sesuai dengan
pedoman kurikulum, ternyata dalam jangka waktu tersebut hanya dapat menyelesaikan 4 atau
5 program saja, berarti dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program itu tidak efektif.
Efektivitas kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu. Sebagai contoh apabila
ditetapkan dalam satu caturwulan siswa harus dapat mencapai sejumlah tujuan pembelajaran,
ternyata hanya sebagian saja dapat dicapai siswa, maka dapat dikatakan bahwa, proses
pembelajaran siswa tidak efektif.

5. Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan
biayayang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat
efi siensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas
dapat memperoleh hasil yang maksimal. Betapa pun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat khusus serta mahal pula
harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar untuk dilaksanakan. Kurikulum harus
dirancang untuk dapat digunakan dalam segala keterbatasan.

C. Landasan Pengembangan Kurikulum


Ada tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni landasan filosofis, psikologis, dan
landasan sosiologis-teknologis. Ketiga landasan tersebut diuraikan di bawah ini.
1. Landasan Filosofis dalam Pengembangan Kurikulum
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata philos" dan " sophia" . Philos,
artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan
demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan.
Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau
pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan: "popularly philosophy
means one's general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has
aphitosophy of life". Dengan demikian, maka jelas setiap individu atau setiap kelompok
masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai
dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan
pokok seperti: Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana
yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus
dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus
diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses
pendidikan itu berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses
pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.
Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai
pandangan hidup atau value sistem, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang
kita didik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara
pencapaian tujuan filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang
kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan
tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.
.
a. Fitsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek
kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan.
Hummel (1977), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
mengembangkan tujuan pendidikan:
1. Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness, knowledge and
ability so that they can manage their personal and collective life to the greates possible
extent.
2. Equity. Enable all citizens to paticipate in cultural and economic life by coffering them
an equal basic education.
3. Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the
generation, but also guide education towards mutual understanding and towards what
has become a worldwide realizations of common destiny.
Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama autonomy, artinya
memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan
kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua
equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival,
artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya
kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan
saling ketergantungan antara manusia.
Pengembangan ketiga aspek itu diarahkan agar kehidupan manusia lebih baik, lebih
bermakna, bertanggung jawab, lebih bermartabat dan lebih beradab, sehingga pada gilirannya
setiap manusia terdidik dapat mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu dapat
mengubah kebudayaan yang dianggapnya tidak relevan dengan pandangan hidup atau nilai-
nilai yang dimilikinya.
Filsafat sebagai sistem nilai (value sistem) harusmenjadi dasar dalam menentukan
tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu
masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa
yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa ke mana anak yang kita
didik itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat
kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang
dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya
sendiri, oleh sebab itu dalam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem
nilai masyarakat.
Sistem nilai bangsa Amerika misalnya adalah liberalis-demokratis, maka dengan
dernikian tujuan pendidikan di Amerika adalah membentuk manusia yang liberalis-
demokratis. Kemudian, bagaimana dengan sistem nilai di Cina atau di negara-negara Timur
Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, atau Iran? Ya, setiap bangsa memiliki sistem nilai masing-
masing dan sistem nilai itu yang biasanya mencerminkan tujuan pendidikan. Di Indonesia,
sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila, oleh sebab itu membentuk manusia yang
Pancasilais merupakan tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis
pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan
nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti
Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kurikulum yang berlaku,
akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam
praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas. Dalam melaksanakan kegiatan serta
pengambilan berbagai keputusan guru haruslah mencerminkan nilai-nilai itu. Itulah sebabnya,
walaupun setiap guru dapat saja memiliki norma atau sistem nilai yang dianggapnya baik,
akan tetapi nilai-nilai itu jangan sampai betentangan dengan norma-norma masyarakat, yaitu
Pancasila.
Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi
atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif
berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan
dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.
Setiap negara atau masyarakat akan memaknai ketiga bidang pengembangan itu sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku. Demikian juga halnya dengan Indonesia. Sebagai suatu
bangsa yang memiliki sistem nilai sendiri, yakni Pancasila maka ketiga bidang itu mestinya
dibingkai oleh kebenaran dan nilai-nilai Pancasila. Kecerdasan yang harus dikuasai oleh
setiap anak didik kita tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sebagai
sistem nilai, Pancasila menjadi bingkai dari tujuan dan pelaksanaan pendidikan.

b. Filsafat sebagai Proses Berpikir


Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah setiap berpikir dapat
dikatakan berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri
tertentu. Sidi Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (200a) mengemukakan ciri-ciri berpikir
filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal
(radical thinking), yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai
pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak separuh-separuh, tidak berhenti dijalan
tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak
selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab
dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus,
yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara
sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang yang
berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan
menemukan kebenaran.
Pandangan tentang hakikat kebenaran ternyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989),
ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan
eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat
dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap
aliran meiniliki pandangan yang berbeda tentang cabang-cabang filsafat itu.
Aliran idealisme memandang, bahwa kebenaran itu datangnya dari "Yang Maha
Kuasa". Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Apa yang
dilihat manusia tentang kenyataan itu hanya bayang-bayangnya. Seperti halnya kita
bercermin. Muka kita ada dalam cermin seperti aslinya; akan tetapi, apakah manakala tidak
ada cermin muka kita juga ikut tidak ada? Tidak bukan? Muka kita tetap ada, yang tidak ada
hanya bayangnya saja. Inilah hakikat kebenaran dan kenyataan menurut aliran idealisme.
Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Kebenaran yang
ditemukan itu hanya sebagian kecil saja. Sebenarnya, banyak kebenaran yang tidak mungkin
manusia mampu menangkapnya.
Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang
pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain. Tentang
pengetahuan misalnya aliran idealisme menganggap bahwa pengetahuan itu datangnya dari
kekuasaan yang maha tinggi seperti yang telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu.
Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh "Yang Maha" itu. Manusia tidak
perlu meragukan kebenarannya selain harus mematuhinya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan
mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu
dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itulah, pengetahuan
dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra. Dengan
demikian, menurut aliran ini, sesuatu itu merupakan kebenaran manakala bisa dibuktikan
melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan bukanlah kebenaran. Mengenai norma
atau nilai, menurut pandangan realisme disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat
berubah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan kedua aliran di atas, aliran pragmatism berpendapat bahwa kenyataan
itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan manusia lainnya.
Berkat hubungan sosial itu manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuan
diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat.
Karena yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial, maka norma juga dapat berbeda
menurut kebutuhan masyarakat.
Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki
kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya
sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap
individu memiliki kebebasan untuk memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan
kebebasannya itu. Dengan demikian, setiap individu bisa memiliki norma yang berbeda.
Pandangan yang berbeda setiap aliran filsafat terhadap cabang-cabang filsafat yang
menjadi objek pembahasannya dapat memengaruhi isi dan strategi kurikulum. Kurikulum
yang cenderung bersifat idealis akan berbeda dengan kurikulum yang berorientasi kepada
aliran realis, pragmatis dan ekstensialis, demikian juga sebaliknya. Namun demikian, untuk
setiap pengembang kurikulum tidak perlu fanatik dengan satu aliran saja. Bisa saja kurikulum
yang dihasilkan merupakan gabungan dari setiap aliran itu. sebagai contoh, kurikulum yang
bermuatan pendidikan moral atau pendidikan agama, bisa saja berorientasi kepada aliran
idealis; namun untuk kurikulum yang bermuatan natural science cenderung ke arah aliran
filsafat realisme.

3. Landasan Psikologis dalam pengembangan Kurikulum


Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam mengantar anak didik sesuai dengan
harapan dan tujuan pendidikan. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan
perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai
dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan
kondisi psikologi perkembangan dan psikologi belajar anak.
Pemahaman tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum sangatlah penting.
Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan
kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan.
a. Psikologi Perkembangan Anak
Salah satu hal yang perlu diketahui tentang anak, adalah masa-masa perkembangan
mereka. Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan ini disebabkan beberapa alasan.
Pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. pada setiap
tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Seandainya
tugas-tugas perkembangan itu tidak terpenuhi, maka akan mengalami hambatan pada tahapan
berikutnya. Kedua, anak didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan periode
yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. pada masa itu
anak berada pada periode perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek
perkembangan. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan dalam
melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, maupun dalam mengantisipasi kejadian-
kejadian yang tidak diharapkan.
Untuk memahami perkembangan siswa, salah satu teori yang banyak digunakan adalah
seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif.
Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan
dan membimbing perilaku anak. Ada dua konsep yang perlu diketahui untuk memahami teori
perkembangan kognitif dari Piaget, yaitu konsep tentang fungsi dan konsep tentang struktur.
Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya
adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui fungsi akan terjadi kecenderungan-
kecenderungan biologis untuk mengorganisasi pengetahuan ke dalam struktur kognisi, dan
untuk beradaptasi kepada berbagai tantangan yang datang dari luar (lingkungannya).
Sedangkan, struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel
yang digunakan untuk memahami lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami
lingkungan itu anak bersifat aktif. Artinya, pengetahuan itu dibentuk dan diciptakan sendiri.
Anak tidak menerima pengetahuan secara pasif dari lingkungannya. Menurut Piaget,
perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan
tertentu. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif itu, menurut Piaget terdiri dari 4 fase,
yaitu:
1. Sensori motor yang berkembang dari mulai lahir sampai 2 tahun;
2. Praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun;
3. Operasioanal konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun; dan
4. Operasional formal, yang dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun ke atas.

1. Sensorimotor (0-2 tahun)


Pada fase sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun,
kemampuan kognitif anak masih sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan
kemampuan yang bersifat primiti{, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka.
Kemampuan kognitif atau intelegensi yang dimiliki anak pada masa ini merupakan
intelegensi dasar yang amat berarti dan menentukan untuk perkembangan kognitif
selanjutnya.
Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis (practical intellegence).
Dikatakan demikian, oleh karena pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti
dunia kebendaan secara praktis dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa
memahami apa yang sedang ia lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatannya
itu.
Kemampuan anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul. Interaksi dengan
lingkungan dilakukan melalui gerakan-gerakan, menyentuh, bergerak, dan sebagainya. Segala
yang dilakukan anak dengan gerakan-gerakan tubuhnya itu merupakan suatu eksperimen
terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi dengan lingkungan, lambat laun anak akan
belajar tentang bagaimana menguasai lingkungannya secara lebih baik.
Sesuai dengan perkembangannya dalam proses interaksi dengan lingkungan anak akan
menghadapi tantangan-tantangan untuk mengambil atau menerima informasi-informasi dari
luar kemudian ia menyusun informasi tersebut sehingga manakala ia akan berinteraksi lagi
dengan lingkungan, ia dapat menggunakan informasi itu. Demikian terus-menerus, sehingga
pada akhirnya proses interaksi dengan lingkungan itu akan menjadi lebih baik dan lebih
bermakna. Dari proses interaksi itulah anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalaman
mental. Piaget percaya, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau
tindakan. Artinya apabila seorang anak melihat, merasakan, atau menggerakkan sesuatu
benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk
menguasai atau menanganinya. Diperkirakan semakin baik pengalaman-pengalaman anak,
maka akan semakin baik pula perkembangan intelektual anak tersebut.
2. Praoperasional (2-7 tahun)
Pada fase ini menurut Piaget ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran
dalam diri anak tentang suatu objek. Anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya
suatu benda. Artinya, pandangan terhadap benda sudah tidak melalui mengandalkan indranya
seperti pada masa sensorimotor. Walaupun suatu benda sudah ia tinggalkan atau sudah hilang
dari penglihatan dan pendengarannya, akan tetapi anak sadar kalau benda itu memang ada.
Inilah yang diistilahkan dengan kesadaran akan object permanence. Munculnya kesadaran
akan object permanence ini adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut
dengan mental representation (gambaran mental). Representasi mental adalah sesuatu yang
mewakili atau menjadi simbol atau wujud sesuatu yang lain. Representasi mental merupakan
bagian yang penting dari kemampuan kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan
menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu, walaupun semua itu berada di
luar pandangannya.
Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui
pengalamannya anak dapat mengenal dan memberikan objek dengan nama-nama sesuai
dengan gagasan yang telah dibentuknya dalam otak. Anak akan mampu mengekspresikan
sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif.
Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini anak
mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau
kelasnya. Misalkan perbedaan antara "bapak" dengan orang lain, atau perbedaan antara
bentuk tunggal dan bentuk jamak.
Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat "animistic" artinya, bahwa
segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah "hidup". Misalkan bulan bergerak,
menandakan bahwa ia adalah hidup, demikian juga dengan matahari, gunung, laut, daun-daun
yang ditiup angin, dan lain sebagainya. Mereka memandang bahwa gerakan-gerakan itu
disebabkan oleh adanya kekuatan yang menggerakkan semacam raksasa atau manusia yang
hebat dan 'Jagoan". Oleh karena itu, pada fase ini juga bersifat " ar ticifialistic".
Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan
sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang " egocentric". Ia akan beranggapan bahwa cara
pandang orang lain terhadap objek sama seperti dirinya. Ia tidak dapat bekerjasama secara
efektif dalam kelompok-kelompok. Sebab, peraturan adalah "peraturannya". Orang lain tidak
boleh keluar dari peraturan yang dibuatnya sendiri. Sifat egosentris ini akan berkurang pada
suatu saat, yaitu apabila anak telah banyak terlibat dalam interaksi sosial dengan berbagai
macam pendapat dari individu-individu yang lain.

3. Operasional Konkret (7-17 tahun)


Dikatakan fase operasional konkret, karena pada masa ini pikiran anak terbatas pada
objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Anak berpikir tentang
objek-objek atau benda yang ia temukan secara langsung, misalnya tentang beratnya,
warnanya, dan strukturnya. Ia juga berpikir tentang aktivitas-aktivitas yang dapat ia lakukan
dengan menggunakan benda-benda yang ditemuinya itu.
Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa
sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan sistem of
operations (satuan langkah berfikir). Kemampuan ini sangat penting artinya bagi anak untuk
mengoordinasikan pemikiran suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem
pemikirannya sendiri. Kemampuan satuan langkah berpikir ini, kelak akan menjadi dasar
terbentuknya intelegensi. Menurut Piaget, intelegensi bukan sifat yang biasanya digambarkan
dengan skor IQ, Intelegensi adalah suatu proses, yaitu tahapan langkah operasional tertentu
yang mendasari semua pikiran dan pengetahuan manusia, di samping merupakan proses
pembentukan pemahaman.
Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi: conservation, addition
of classes, dan multiplication of classes.
Conservation atau pengehalan adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek
kumulatif materi, seperti volume dan jumlah. Anak yang mengenali sifat kuantitatif sebuah
benda akan tahu bahwa sifat kuantitatif sebuah benda tidak akan berubah secara
sembarangan.
Addition of classes (penambahan golongan benda), yaitu kemampuan anak dalam
memahami cara mengombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah
dan dihubungkan dengan kelas yang lebih tinggi, misalkan kelompok ayam, itik, bebek
dihubungkan dengan benda berkelas tinggi, yaitu unggas. Di samping itu, kemampuan ini
juga meliputi kecakapan memilah-milah benda-benda dari kelompok tinggi menjadi benda
berkelas rendah sepeiti ayam, itik, dan bebek adalah bagian dari unggas.
Multifrication of classes (pelipatgandaan golongan benda), yakni kemampuan yang
melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda seperti
wama bunga dan jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda, seperti mawar
merah, mawar putih, dan sebagainya. Selain itu, kemampuan ini juga meliputi kemampuan
memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi yang spesifik, misalnya warna
bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning.
Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif
ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secaramatematika,
seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi.
Kemampuan-kemampuan ini merupakan dasar bagi pengembangan "akal pikiran".
Contohnya mengembangkan keterampilan klasifikasi merupakan faktor penting untuk
menyusun dan menempatkan informasi secara mudah di dalam otak anak.
Sebagai hasil dari fase ini, anak mengorganisir lingkungannya ke dalam struktur-
struktur kognitif berupa ide-ide atau konsep-konsep. Karena ia sudah dapat melakukannya,
setiap kali menjumpai objek atau benda-benda baru di alam sekitarnya, ia tidak lagi perlu
menguji secara luas, akan tetapi ia sudah dapat mengklasifikasikannya sesuai dengan bagian,
struktur, dan fungsinya.
Oleh karena kemampuan yang dimiliki anak masih terbatas pada hal-hal yang
konkret, maka proses berpikir pada anak akan terjadi pada aktivitas-aktivitas langsung. Anak
akan menemui kesulitan untuk memecahkan masalah dengan hanya mengandalkan daya
otaknya tanpa mencoba melakukan kegiatan (pengalaman langsung). Segala sesuatu yang
dipikirkan harus ditarik pada hal-hal yang konkret, tanpa ada penarikan seperti itu, maka akan
sulit dipecahkan anak.

4. Operasional formal (12-14 tahun ke atas)


Piaget menamakan fase ini sebagai fase "formal operational, karena pada masa ini pola
berpikir anak sudah sistematik dan meliputi prosesproses yang kompleks. Operasionalnya
tidak lagi terbatas pada semata-mata pada hal-hal yang konkret, akan tetapi dapat juga
dilakukan pada operasional lainnya, dengan menggunakan logikayang lebih tinggi
tingkatannya, seperti misalnya berpikir hipotesis-deduktif, berpikir rasional, berpikir abstrak,
berpikir proposional, mengevaluasi informasi, dan lain sebagainya.
Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa,
karena kemampuannyayangsudah berkembang pada hal hal yang bersifat abstrak. Anak
sudah mampu memprediksi berbagai macam kemungkinan. Ia sudah dapat membedakan
mana yang terjadi dan mana yang seharusnya terjadi. Ia juga dapat menyusun hipotesis dari
suatu kenyataan misalkan pola berpikir: "apabila Maka.................. "
Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak.
Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak
akan efektif.

b. Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya
kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar
sebagai proses perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari
pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke
dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori
tabularasa-nya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi
apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar
tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik-elementeristik.
Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah
organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada hakikatnya
manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap
situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku
manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang
pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini
kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-wholistik.
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau
hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R). Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan
teori Stimulus-Respons. Dengan demikian, menurut aliran behavioristik proses belajar sangat
tergantung pada adanya rangsangan atau stimulus yang muncul dari luar diri atau yang kita
kenal dengan faktor lingkungan. Proses belajar dapat dipelajari dari kegiatan yang tampak
yang dapat dilihat. Berbeda dengan aliran behavioristik, pada aliran kognitif belajar adalah
kegiatan mental yang ada dalam diri setiap individu. Kegiatan mental itu memang tidak dapat
dilihat secara nyata, akan tetapi menurut aliran ini, justru sesuatu yang ada dalam diri itulah
yang menggerakkan seseorang mencapai perubahan tingkah laku. Selanjutnya teori-teori
belajar dari kedua aliran ini akan dibahas pada bagian tersendiri.

4. Landasan Sosiologis-Teknologis dalam Pengembangan Kurikulum


Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di
masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan
di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian dalam
konteks ini sekolah bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai
suatu masyarakat, akan tetapi juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, kurikulum bukan hanya berisi berbagai nilai suatu
masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakatnya.
Sehubungan dengan penentuan asas sosiologis-teknologis inilah, kita perlu mengkaji berbagai
hal yang harus dipertimbangkan dalam proses menyusun dan mengembangkan suatu
kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

a. Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum


Masyarakat tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan yang
semakin kompleks. Perubahan bukan hanya terjadi pada sistem nilai, akan tetapi juga pada
pola kehidupan, struktur sosial, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai
kekuatan kelompokyang dapatmemberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik
pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses pengembangan isi
kurikulum sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang dihadapi
oleh para pengembang kurikulum adalah manakala setiap kelompok sosial itu memberikan
masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelompoknya seperti
misalnya tuntutan golongan agama, politik, militer, industri, dan lain sebagainya. Bukan
hanya itu, pertentangan-pertentangan pun sering terjadi sehubungan dengan cara pandang
yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut. Misalkan, cara pandang
kelompok agamawan atau kelompok budayawan yang lebih menekankan pendidikan di
sekolah sebagai proses penanaman budi pekerti berbeda dengan cara pandang kelompok
industriawan yang lebih menekankan pendidikan di sekolah sebagai wadah untuk membentuk
generasi manusia yang siap pakai dengan sejumlah keterampilan teknis sesuai dengan
tuntutan industri. Cara pandang yang berbeda semacam ini tentu saja memunculkan kriteria
keberhasilan yang berbeda pula, yang pada gilirannya tolok ukur keberhasilan itu tidak
pernah memuaskan semua golongan sosial.
Walaupun dirasakan sangat susah, para pengembang kurikulum mestinya memerhatikan
setiap tuntutan dan tekanan masyarakat yang berbeda itu. Oleh sebab itu, menyerap berbagai
informasi yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu langkah penting dalam proses
penyusunan suatu kurikulum. Dalam konteks inilah pengembang kurikulum perlu
menjalankan peran evaluatif dan peran kritisnya dalam menentukan muatan kurikulum.
Masih ingatkah Anda bagaimana menjalankan peran tersebut sepertinya telah dibahas di
modul 1? Ya, melaksanakan peran evaluative dan peran kritis adalah proses pengkajian
secara kritis tentang apa saja muatan kurikulum yang dianggap layak untuk dipelajari oleh
anak didik.

b. Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum


Mengapa kemajuan teknologi harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
kurikulum? Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir
manusia telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya
bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi
manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulu dibayangkannya
sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya dengan ditemukannya hasil
teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya manusia dapat berhubungan secara
langsung dengan orang yang tinggal di seberang sana, akan tetapi manusia dapat melihat
berbagai peristiwa yang terjadi pada saat yang sama di seluruh belahan dunia.
Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu,
bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat
mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transformasi, menyebabkan
permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari merenggut jiwa
manusia. Pembangunan pusat-pusat industri menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan
berbagai permasalahannya, termasuk munculnya berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas.
Terciptanya hasil teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadinya
gesekan budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main
besarnya.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-
tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan
kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sesuai dengan
perubahan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini diserahkan
kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu
pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta menanamkan budi
pekerti dan nilai-nilai.
Sesuai dengan perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat cepat itu, maka
kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus-menerus diperbarui
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Para pengembang
kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi dan strategi yang
dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak menjadi usang.
Hal penting yang perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh para pengembang kurikulum
sehubungan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat adalah mengenai perubahan pola
hidup dan perubahan sosial politik.

1. Perubahan pola hidup


Kemajuan di bidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup ini.
Penggunaan pesawat telepon yang lebih memudahkan untuk berkomunikasi, munculnya
stasiun-stasiun siaran televisi yang menawarkan berbagai acara selama dua puluh empat jam
dari mulai bidang pendidikan, informasi sampai hiburan dengan berbagai macam variasinya
teknologi dalam bidang jasa seperti asuransi, jasa perbankan, teknologi di bidang kesehatan
dan lain sebagainya, merupakan faktor yang mendorong terjadinya perubahan pola hidup dan
bahkan tatanan sosial masyarakat.
Perubahan pola hidup itu dikatakan banyak orang sebagai perubahan pola hidup yang
bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industri modern. Pola kehidupan
masyarakat industri modern memiliki karakteristik yang berbeda dengan pola kehidupan
agraris. Perbedaan tersebut dapat dilihat. Pertama, dari pola kerja. Pada masyarakat agraris,
pola kerja sangat teratur yang berlangsung siang hari pada waktu yang tetap. Tidak demikian
halnya pada masyarakat industri, selain masyarakat menggunakan waktu yang cukup panjang
untuk bekerja juga memiliki pola yang tidak beraturan. Apabila dilihat pada masyarakat
perkotaan keadaan ini sangat dapat dirasakan: Bagaimana kehidupan di kota-kota besar yang
tidak pernah sepi selama dua puluh empat jam. Orang sibuk bekerja baik siang maupun
malam.
Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi terhadap cara dan strategi yang harus
dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk
manusia produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat mencintai
pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda dengan manusia yang mencintai
pekerjaan. Manusia yang hanya sekadar dapat bekerja orientasinya biasanya ditunjukkan oleh
berapa besar upah yang dapat ia terima. Manusia semacam ini tidak lebih dari seorang buruh
yang bekerja dengan ototnya. Sedangkan manusia yang mencintai pekerjaan orientasinya
adalah produk yang dihasilkannya. Manusia yang demikianlah yang dimaksud dengan
manusia produktif, yang bekerja bukan hanya dengan ototnya akan tetapi juga dengan
otaknya.
Kedua, pola hidup yang sangat tergantung kepada hasil-hasil teknologi. Pada
masyarakat industri banyak sekali jenis-jenis pekerjaan yang sangat mengandalkan teknologi,
dari mulai pekerjaan ibu-ibu rumah tangga di dapur sampai kepada pekerjaan-pekerjaan
kantor.
Ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi, melenyapkan jenis-jenis pekerjaan
tertentu dan memunculkan jenis pekerjaan baru yang menuntut keahlian-keahlian tertentu.
Keahlian tersebut tentu saja harus dipersiapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Seorang
petani contohnya untuk meningkatkan hal panennya, tidak lagi berpikir berapa kerbau yang
harus dimiliki agar dapat membajak sawah dengan cepat, akan tetapi berpikir bagaimana
menggunakan traktor dan bagaimana cara merawatnya dengan baik. Dengan demikian
sebagai akibat ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi, keterampilan memelihara
kerbau berubah menjadi keterampilan merawat mesin-mesin pertanian.
Ketiga, pola hidup dalam sistem perekonomian baru. Perubahan pola hidup ini ditandai
dengan penggunaan produk jasa perbankan dan asuransi untuk kegiatan perekonomian,
seperti menabung, perkreditan, dan permodalan usaha. Demikian juga tumbuh suburnya
pusat-pusat perbelanjaan dalam gedung bertingkat menggantikan pasar-pasar tradisional.
Semuanya ini bukan saja membawa pada hal-hal yang bersifat positif, akan tetapi juga
membawa efek negatif seperti misalnya tumbuhnya pola hidup konsumtif seiring dengan
program advertensi yang begitu gencar melalui pesawat televisi, munculnya berbagai jenis
kejahatan dan lain sebaginya. Terdapatnya perubahan-perubahan semacam itu, bukan hanya
memerlukan perubahan isi kurikulum akan tetapi juga dapat merubah Iingkungan sekolah
termasuk merubah bahan-bahan bacaan yang dapat memperkenalkan anak didik terhadap
fenomena-fenomena baru yang terjadi. Misalkan bagaimana cara menabung di Bank,
bagaimana cara menggunakan ATM, bagaimana cara berkomunikasi di telepon, semuanya
harus diperkenalkan lewat bahan-bahar bacaan di sekolah.

2. Perubahan kehidupan sosial politik


Arus globalisasi yang bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan sosial
politik ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali ke dalam kehidupan sosial politik. Di
Indonesia perubahan tersebut adalah ditandai dengan munculnya gerakan reformasi yang
menjatuhkan rezim Orde Baru yang selama 32 tahun berkuasa. Diakui, selama berkuasanya
rezim ini hampir tidak ada saluran komunikasi yang dapat menyuarakan kebebasan.
Kehidupan sosial politik tidak pernah berkembang, karena bergerak dalam pola yang kaku
dan bersifat linier. Demikian pula dengan sistem pendidikan yang berlaku. Sistem pendidikan
yang sangat sentralistis seakan-akan sulit melepaskan dari kungkungan kekuasaan. Diakui
atau tidak, pendidikan telah menjadi alat politik rezim yang berkuasa. Akibatnya kurikulum
yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat pembebasan dan alat pencerahan, akan tetapi
digunakan untuk membentuk manusia yang memiliki pola pikir yang seragam, manusia yang
tunduk dan patuh terhadap kekuasaan; manusia yang lebih senang menjadi abdi; manusia
yang lebih senang dipekerjakan dari pada manusia yang senang membuka, menciptakan dan
mencintai pekerjaan.
Dengan munculnya era reformasi, semuanya mestinya berubah. Pendidikan harus
diarahkan untuk menciptakan manusia-manusia yang kritis dan demokratis. Untuk itulah,
perubahan ke arah transparansi harus ditangkap secara utuh oleh para pengembang
kurikulum. Kehidupan yang demokratis haruslah menjiwai isi kurikulum. Mengutip pendapat
Paulo Freire (1993), kurikulum pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari
keterbelengguan.
Produk hukum yang dapat digunakan untuk mengadakan perubahan jiwa dan strategi
pendidikan di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan tentang Perimbangan Pembagian Keuangan.
Undang-Undang ini meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan termasuk bidang
pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, mulai dari perencanaan, implementasi, sampai kepada pengendalian. Ini
berarti bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur isi dan strategi kurikulum
sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Sinyal ini harus ditangkap dan dicerna
oleh para pengembang kurikulum di daerah, untuk memberdayakan pendidikan sebagai
pembentuk generasi yang andal sesuai dengan nilai dan kebutuhan masyarakat lokal.
Sehubungan dengan hal di atas, maka para pengembang kurikulum dalam
melaksanakan tugasnya harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan dalam
undang-undang, keputusan pemerintah, peraturan peraturan daerah dan lain sebagainya.
2. Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada.
3. Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah.
4. Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja.
5. Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.
Dalam konteks dasar sosiologis-teknologis hal-hal di atas merupakan
hal-hal yang sangat penting untuk dipahami oleh pengembang kurikulum.

PARADIGMA KURIKULUM (KTSP)

A. Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum terbaru di
Indonesia yang disarankan untuk dijadikan rujukan oleh para pengembang kurikulum di
tingkat satuan pendidikan KTSP merupakan kurikulum berorientasi pada pencapaian
kompetensi, oleh sebab itu kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi atau yang kita kenal dengan KBK (kurikulum 2004). Ini dapat dilihat
dari unsur yang melekat pada KTSP itu sendiri, yakni adanya standar konpetensi dan
kompetensi dasar serta adanya prinsip yang sama dalam pengelolaan kurikulum yakni yang
disebut dengan Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Standar kompetensi dan kompetensi
dasar dapat kita lihat dari Standar Isi (SI) yang disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), yang diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang
selanjutnya SI dan SKL itu harus dijadikan salah satu rujukan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan; sedangkan KBS merupakan salah satu prinsip
pengembangan yang dirancang untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengelola serta menilai proses dan hasil pembelajaran
sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan serta daerah di mana sekolah itu berada.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, lahir dari semangat otonomi daerah, di mana
urusan pendidikan tidak semuanya tanggung jawab pusat, akan tetapi sebagian menjadi
tanggung jawab daerah, oleh sebab itu dilihat dari pola atau model pengembangannya KTSP
merupakan salah satu model kurikulum yang bersifat desentralistik.
Pada bagian ini akan diuraikan tentang pengertian tujuan, dasar atau landasan
pengembangan, prinsip-prinsip pengembangan dan komponen KTSP

B. Pengertian dan Karakteristik KTSP

1. Pengertian
Apa sebenarnya KTSP itu?
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, Ayat 15), dijelaskan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun
dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh
satuan pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Manakala kita analisis konsep di atas, maka ada beberapa hal yang berhubungan dengan
makna kurikulum operasional. Pertama, sebagai kurikulum yang bersifat operasional, maka
dalam pengembangannya, KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun
pemerintah secara nasional. Artinya, walaupun daerah diberi kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum akan tetapi kewenangan itu hanya sebatas pada pengembangan
operasionalnya saja; sedangkan yang menjadi rujukan pengembangannya itu sendiri
ditentukan oleh pemerintah, misalnya jenis mata pelajaran beserta jumlah jam pelajarannya
isi dari setiap mata pelajaran itu sendiri, serta kompetensi yang harus dicapai oleh setiap mata
pelajaran itu. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
Daerah dalam menentukan isi pelajaran terbatas pada pengembangan kurikulum muatan
lokal, yakni kurikulum yang memiliki kekhasan sesuai dengan kebutuhan daerah, serta aspek
pengembangan diri yang seuai dengan minat siswa. Jumlah jam pelajaran kedua aspek
tersebut ditentukan oleh pemerintah.
Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP dituntut dan harus
memerhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 ayat 2, yakni bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. Persoalan ini penting untuk dipahami, sebab walaupun standar isi ditentukan oleh
pemerintah, akan tetapi dalam operasional pembelajarannya yang direncanakan dan
dilakukan oleh guru dan pengembang kurikulum tidak terlepas dari keadaan dan kondisi
daerah. Misalnya, ketika standar isi mengharuskan siswa mempelajari masalah transportasi,
maka para pengembang KTSP di suatu daerah akan berlainan dengan daerah lain.
Pengembang KTSP di Jawa misalnya akan mengembangkan isi kurikulum tentang
transportasi darat; sedangkan di Kalimantan akan banyak membahas transportasi air/sungai.
Dengan demikian, walaupun topik yang dikaji mungkin sama secara nasional akan tetapi
materi/isi dari topik tersebut mungkin akan lain.
Ketiga, sebagai kurikulum operasional, para Pengembang kurikulum di daerah memiliki
keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam
mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, dalam menentukan media pembelajaran
dalam menentukan evaluasi yang dilakukan termasuk dalam menentukan berapa kali
pertemuan dan kapan suatu topik materi harus dipelajari siswa agar kompetensi
dasar yang telah ditentukan dapat tercapai.

2. Karakteristik KTSP
Di muka telah dijelaskan bahwa pengertian kurikulum dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, yakni kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa
dalam kurun waktu tertentu, kurikulum sebagai seluruh aktivitas siswa untuk memperoleh
Pengalaman, serta kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Demikian juga
dilihat dari desainnya, kurikulum terdiri atas 4 desain, yakni desain kurikulum disiplin ilmu
atau yang dikenal dengan kurikulum subjek akademis, kurikulum pengembangan individu
yang sering kita kenal dengan kurikurum humanistik, kurikulum berorientasi pada kehidupan
masyarakat atau yang kita kenal dengan rekonstruksi sosial serta kurikulum teknologis.
Dihubungkan dengan konsep dasar dan desain kurikulum di atas, maka KTSP memiliki
semua unsur tersebut yang sekaligus merupakan karateristik KTSP itu sendiri, yakni:
a. Dilihat dari desainnya KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu.
Hal ini dapat dilihat dari pertama, struktur program KTSP yang memuat sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Setiap mata pelajaran yang harus
dipelajari itu selain sesuai dengan nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam
pelajaran secara ketat. Kedua, kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari
kemampuan siswa menguasai materi perajaran. Hal ini dapat dilihat dari sistem
kerulusan yang ditentukan oleh standar minimal penguasaan isi pelajaran seperti yang
diukur dari hasil ujian Nasional. soal-soal dalam UN itu lebih banyak bahkan
seluruhnya menguji kemampuan kognitif siswa dalam setiap mata pelajaran. Walaupun
dianjurkan kepada setiap guru menggunakan sistem penilaian proses misalnya dengan
portofolio, namun pada akhirnya kelulusan siswa ditentukan oleh sejauh mana siswa
menguasai materi pelajaran.
b. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Hai ini dapat
dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dalam KTSP yang menekankan pada aktivitas
siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui berbagai
pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya melalui CTL, inkuiri,
pembelajaran fortofolio, dan lain sebagainya. Demikian juga secara tegas dalam
struktur kurikulum terdapat komponen, pengembangan diri, yakni komponen kurikulum
yang ditekankan kepada aspek pengembangan minat dan bakat siswa.
c. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Hal ini tarnpak pada
salah satu prinsip KTSP, yakni berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Dengan demikian, maka KTSP
dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan lokalnya, KTSP
didasarkan pada keberagaman kondisi, sosial, budaya yang berbeda masing-masing
daerahnya.
d. KTSP merupakan kurikulum teknologis. Hal ini dapat dilihat dari adanya standar
kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan pada indikator hasil belajar,
yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penilaian.
Dilihat dari karakteristik di atas, maka KTSP adalah kurikulum yang memuat semua
unsur desain kurikulum. Namun demikian, walaupun semua unsur desain mewarnai KTSP
akan tetapi desain KTSP sebagai desain kurikulum berorientasi pada pengembangan disiplin
ilmu atau desain kurikulum. Subjek Akademis tampak lebih dominan. Hal ini tampak jelas
dari pengaturan secara ketat nama-nama disiplin ilmu serta kriteria keberhasilan setiap siswa
dalam mempelajari kurikulum. Dengan demikian, manakala digambarkan dalam sebuah
pohon, akar dan batang KTSP adalah desain kurikulum disiplin ilmu; sedangkan desain
kurikulum berorientasi kehidupan masyrakat, desain kurikulum pengembangan individu serta
desain kurikulum teknologis hanya berupa cabang-cabangnya yang tidak terlepas dari pohon
disiplin ilmu.

C. Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
lembaga pendidikan. Dengan demikian, melalui KTSP diharapkan dapat mendorong sekolah
untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan
kurikulum. Seperti yang kita ketahui, dalam model pengelolaan kurikulum yang sentralistis
seperti kurikulum-kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia seluruh keputusan
pengembangan kurikulum diatur dan ditentukan secara terpusat. Sekolah atau lembaga-
lembaga pendidikan secara nasional hanya berperan sebagai pelaksana kurikulum itu sendiri.
Guru-guru tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kurikulum baik dalam tatanan
ideal maupun dalam tataran operasional, selain melaksanakan kurikulum yang sudah jadi.
Akibatnya, apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya di setiap
sekolah/daerah adalah sama. Oleh karena itulah, dalam proses pengembangan kurikulum
setiap unsur sekolah menjadi pasif.
Tidak demikian dengan KTSP sesuai dengan otonominya, KTSP memberikan
kesempatan kepada sekolah untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan di setiap satuan pendidian akan menjadi
lebih bermakna untuk mempersiapkan anak didik menjadi anggota masyarakat yang berguna
mengembangkan potensi daerahnya.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk.
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
rnengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia. Kemandirian setiap sekolah dalam menggali dan memanfaatkan potensi dan
sumber daya akan menentukan kualitas sekolah yang bersangkutan. KTSP sebagai
kurikulum operasional memberikan kesempatari kepada setiap sekolah untuk
mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan sesuai dengan
karakteristik sekolah. Untuk itulah sekolah dituntut melakukan inisiatif dalam menggali
secara mandiri berbagai potensi dan sumber daya untuk mendukung program sekolah
termasuk kurikulum yang dikembangkannya. Dengan demikian, setiap komponen
sekolah baik kepala sekolah maupun guru-guru dituntut untuk lebih aktif dan kreatif
melakukan berbagai upaya agar semua kebutuhan sekolah terpenuhi.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. Pada kurikulum-kurikulum
sebelumnya, sekolah hanya berfungsi melaksanakan kurikulum yang telah disusun
secara terpusat. Sekolah apalagi masyarakat kurang bahkan tidak memiliki kesempatan
untuk mengembangkan kurikulum, akibatnya peran sekolah terlebih lagi masyarakat
sangat terbatas. Tidak demikian dengan KTSP Sebagai kurikulum operasional, KTSP
menuntut keterlibatan masyarakat secara penuh, sebab tanggung jawab pengembangan
kurikulum tidak lagi berada di pemerintah, akan tetapi di sekolah; sedangkan sekolah
akan berkembang manakala ada keterlibatan masyarakat.
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan
yang akan dicapai. Sekolah, dengan KTSP-nya tidak lagi hanya berfungsi sebagai
pelaksana kurikulum yang telah diatur pusat, akan tetapi juga sebagai pengambil
keputusan tentang pengembangan dan implementasi kurikulum. Melalui KTSP
diharapkan setiap sekolah atau satuan pendidikan akan berlomba dalam menyusun
program kurikukum sekaligus berlomba dalam mengimplementasikannya. Dengan
demikian, akan tercipta persaingan antar sekolah menuju pencapaian kualitas
pendidikan.

C. Dasar Penyusunan KTSP


Pengembangan KTSP didasarkan pada dua landasan pokok, yakni landasan empiris dan
landasan formal. Yang menjadi landasan empirik di antaranya adalah: pertama, adanya
kenyataan rendahnya kualitas pendidikan kita baik dilihat dari sudut proses maupun hasil
belajar. Dari sudut proses misalnya pendidikan kita kurang mampu mengembangkan peserta
didik secara utuh. Proses pendidikan cenderung berorientasi hanya pada pengembangan
kognitif atau pengembangan intelektual; sedangkan pengembangan sikap dan psikomotor
cenderung terabaikan. Melalui KTSP sebagai kurikulum yang berorientasi pada pencapaian
kompetensi mendorong proses pendidikan tidak hanya terfokus pada pengembangan
intelektual saja, akan tetapi juga pembentukan sikap dan keterampilan secara seimbang yang
dapat direfleksikan dalam kehidupan nyata. Kedua, Indonesia adalah negara yang sangat luas
yang memiliki keragaman sosial budaya dengan potensi dan kebutuhan yang berbeda. Selama
ini kurikulum yang bersifat sentralistis cenderung mengabaikan porensi dan kebutuhan
daerah yang berbeda itu. Akibarnya, lulusan pendidikan tidak sesuai dengan harapan dan
kebutuhan daerah di mana siswa tinggal. KTSP sebagai kurikulum yang cenderung bersifat
desentralistik memiliki prinsip berorientasi pada kebutuhan dan potensi daerah. Artinya,
keanekaragaman daerah baik dilihat dari sosial, budaya dan kebutuhan harus dijadikan
pertimbangan dalam proses penyusunan dan pengembangan kurikulum. Ketiga, selama ini
peran sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum bersifat pasif. Sekolah hanya
berfungsi untuk melaksanakan kurikulum yang disusun oleh pusat, yang kemudian berimbas
pada kurangnya peran dan tanggung jawab masyarakat dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan program sekolah. KTSP sebagai bentuk kurikulum desentralistik
menuntut peran aktif masyarakat, sebab KTSP disusun dan dirancang oleh sekolah dan
masyarakat, sehingga berbagai keputusan sekolah tentang pengembangan kurikulum beserta
pengimplementasiannya menjadi tanggung jawab masyarakat.
Yang menjadi landasan formal, KTSP disusun dalam rangka memenuhi amanat yang
tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Penyusunan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu pada Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Thhun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan PP di
atas. Selanjutnya, secara teknis penyusunan KTSP berpedoman pada panduan yang disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Terdapat sejumlah pasal yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dari
undang-undang, peraturan pemerintah, maupun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah Pasal 1 Ayat 19; Pasal 18
Ayat 1,2 3 dan 4; Pasal 32 Ayat 1, 2 dan 3; Pasal 35 Ayat 2; Pasal 36 Ayat 1, 2 ,3, dan 4
PasaI 31 Ayat 1, 2, dan 3; Pasal 33 Ayat 1 dan2. Pasal-pasal yang terkait dari Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan adalah Pasal 1 Ayat
5, 13, 14, 15; Pasal 5 Ayat 1 dan 2; Pasal 6 Ayat 6; Pasal 7 Ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8;
Pasal 8 Ayat 1, 2, dan 3; Pasal 10 Ayat 1, 2, dan 3; Pasal 11 Ayat 1, 2, 3, dan 4; Pasal 13
Ayat 1, 2, 3,dan 4; Pasal 14 Ayat 1, 2, dan 3; Pasal 16 Ayat 1, 2, 3, 4, dan 5; Pasal 17 Ayat 1,
2; Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan Pasal 20.
Di bawah ini disebutkan bunyi pasal-pasal yang berkaitan secara langsung dengan
penyusunan KTSP Untuk memahami lebih lengkap dipersilakan Anda membaca pasal-pasal
terkait dari produk hukum baik undang-undang, peratutaran pemerintah, maupun peraturan
menteri yang telah disebutkan di atas.
1. Pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang terkait secara langsung dengan penyusunan KTSP di antaranya:

Pasal 1 Ayat 19
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran, serta carayang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Pasal 36 Ayat 2 dan 3


Ayat 2: Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Ayat 3: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragamanpotensidaerahdanlingkungannya;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Pasal 37 Ayat 1
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matemarika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.

Pasal 33 Ayat2
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama
kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

2. Pasal-pasal Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang


Standar Nasional Pendidikan yang terkait dengan penyusunan KTSP di antaranya:

Pasal 1 Ayat 5, 13, 14, dan 15


Ayat 5: Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria rentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian,
kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta
didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ayat 13: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi
dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Ayat 14: Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
Ayat 15: Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.

Pasal 5 Ayat 1 dan 2


Ayat 1: Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai
kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Ayat 2: Standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan
struktur kurikulum, beban belajar kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
pendidikan/akademik.

Pasal 6 Ayat 6
Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata perlajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika; dan
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.

Pasal 8 Ayat 1 dan 2


Ayat 1: Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam
kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan.
Ayat 2: Kompetensi sebagaimana dimaksud pada (Ayat l) terdiri atas standar
kompetensi dan kompetensi dasar.

Pasal 16 Ayat 1
Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan
menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.

Pasal 17 Ayat 1 dan2


Ayat 1: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MVSDLB, SMp/ MTs./ SMPLB,
SMA/MAISMALB/SMK/MK atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik.
Ayat 2: Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan
kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMB SMA
dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama
untuk MI/MTs ./MA, dan MAK.

Pasal 20
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pembelajaran yang
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran,
sumber belajar dan penilaian hasil belajar.

E. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


1. Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan, dan Kepentingan Peserta Didik, dan
Lingkungannya
KTSP memiliki prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Memiliki posisi sentral berarti
kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered). Di samping itu juga
pengembangan KTSP perlu memerhatikan potensi dan kebutuhan lingkungan di mana siswa
tinggal. Mengapa demikian? Sebab pendidikan pada hakikatnya adalah upaya
mempersiapkan anak didik agar mampu hidup dan mengembangkan lingkungannya.

2. Beragam dan Terpadu


Pengembangan kurikulum memerhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi
daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dgn tidak diskriminatif terhadap
perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan gender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri
secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna.

3. Tanggap Terhadap Perkembangan llmu Pengetahuan Teknologi, dan Seni


Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum
memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan Kebutuhan Kehidupan


Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk
di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

5. Menyeluruh dan Berkesinambungan


Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian
keilmuan dan mata perajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan
antar semua jenjang pendidikan.

6. Belajar Sepanjang Hayat


Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara
unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memerhatikan kondisi dan
tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Daerah


Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan kepentingan
daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejarah dengan
moto Bhineka Tunggal lka dalam kerangka Negara Kesatuan Republik indonesia (NKRI).
Di samping itu, dalam mengimplementasikan KTSP juga harus memerhatikan prinsip-
prinsip pelaksanaan, di antaranya sebagai berikut:
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
KTSP dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. oleh sebab itu,
pembentukan keimanan, ketakwaan serta pembentukan akhiak muliaharus menjadi
dasar dalam pengembanan kurikulum beserta implementasinya. Dengan demikian,
maka seluruh mata pelajaran yang disusun serta pengalaman belajar yang diberikan
pada anak didik, semuanya diarahkan untuk membentuk keimanan, ketakwaan serta
pembentukan watak yakni pembentukan akhlak mulia.
2. Pengembangan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik
Peserta didik bukanlah benda mati, akan tetapi individu yang memiliki potensi,
kecerdasan, kemampuan dan minat yang berbeda. Di samping itu juga peserta didik
bukanlah individu dalam bentuk "min" akan tetapi makhluk yang sedang berkembang.
Untuk itulah kurikulum disusun agar mampu mengembangkan potensi, minat,
kecerdasan intelektual, emosional, kemampuan sesuai dengan tahap perkembangannya.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan Setiap daerah memiliki
karakteristik yang berbeda, baik dilihat dari potensinya, kebutuhan dan tantangannya
sesuai dengan geografis dan budaya yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kurikulum harus
memuat perbedaan dan keragaman setiap daerah, agar setiap lulusan lembaga
pendidikan dapat mengembangkan daerahnya sendiri.
4. Tuntutan pengembangan daerah dan nasional. Walaupun KTSP disusun sesuai dengan
karakteristik daerah, akan tetapi kedaerahan itu tidak boleh lepas dari semangat
kesatuan dan persatuan nasional. Dengan demikian, keseimbangan antara kebutuhan
pembangunan daerah dan nasional perlu dijaga dan jadi bahan pertimbangan utama
para pengembang kurikulum. Mementingkan unsur kedaerahan dan melupakan unsur
kepentingan nasional, akan membuat kurikulum menjadi kontra-produktif.
5. Tuntutan dunia kerja.
Kurikulum harus mempersiapkan peserta didik dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan formal yang lebih tinggi. Namun pada kenyataannya karena sesuatu hal
tidak semua peserta dapat melanjutkan pendidikan, dengan demikian maka kurikulum
harus membekali mereka dengan berbagai keterampilan dan kecakapan sesuai dengan
taraf perkembangan mereka agar mereka mampu bersaing dalam dunia kerja.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Telah kita pahami bahwa ilmu pengetahuan itu tidaklah statis, akan tetapi terus
berkembang. Dengan demikian, isi kurikulum harus ditinjau dan disempurnakan secara
terus-menerus, agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni.
7. Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Kita menyadari dan tidak
bisa kita pungkiri bahwa masyarakat Indonesia pemeluk agama yang berbeda.
Keyakinan untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu
itu dijamin oleh undang-undang. Oleh sebab itu, kurikulum harus dikembangkan agar
peserta didik dapat menghormati dan toleran terhadap setiap agama yang dipeluknya
sehingga akan tercipta kerukunan umat beragama, di samping mendorong agar mereka
berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang dipeluknya.
8. Dinamika perkembangan global
Tidak bisa kita pungkiri, dewasa ini manusia hidup dalam alam globalisasi yang serba
terbuka. Dalam alam globalisasi, kehidupan setiap masyarakat atau bangsa bukan hanya
bersentuhan dengan masyarakat atau bangsa lain, akan tetapi juga terjadi saling
ketergantungan. Dengan demikian, maka kurikulum harus dikembangkan agar peserta
didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.
9. Persatuan dan nilai-nilai kebangsaan
Pengelolaan dan pengembangan kurikulum harus dapat mendorong agar peserta didik
memiliki wawasan dan sikap kebangsaan yang kuat sehingga terciptanya persatuan
nasional yang dapat memperkukuh kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Masyarakat lndonesia adalah masyarakat yang majemuk dengan adat istiadat serta
budaya yang berbeda. Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan keragaman sosial
budaya masing-masing daerah serta dapat melestarikannya sebagai kekayaan bangsa.
11. Kesetaraan gender
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan rasa keadilan setiap individu
dengan tidak mengotak-ngotakan dalam kelompok tertentu. Dengan kata lain,
kurikulum harus mengembangkan kesetaraan gender.
12. Karakteristik satuan pendidikan
Setiap satuan pendidikan memiliki visi dan misi yang berbeda. Pengembangan
kurikulum harus sesuai dan dapat mengembangkan misi dan visi sekolah.
F. Komponen KTSP
Sebagai sebuah pedoman KTSP terdiri atas empat komponen, yakni (1) tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan; (2) struktur program dan muatan KTSP; (3)
kalender pendidikan; dan (a) silabus dan rencana pembelajaran.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan
mengacu pada tujuan umum pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang standar Nasional Pendidikan Pasal 26 dikemukakan:
a. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
b. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
c. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

2. Struktur Program dan Muatan Kurikulum


Stuktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang
dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut:
a. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b. Kelompokmatapelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c. Kelompok mata pelajaran ilmu pengerahuan dan teknologi
d. Kelompok mata pelajaran esretika
e. Kelompok mata pelajaran jasmani;.olahraga, dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
pasal 7, yakni:
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulai pada SD/MI/SDLB/ Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/ paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK atau bentuk lain
yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama
kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani,
olahraga, dan kesehatan.
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian pada SD/MI/SDLB/ Paket
A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/ Paket C, SMK/MAK atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak
mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SD/MI/SDLB/Paket A,
atau bentuk lain yang sederajat. Dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
bahasa, matematika, ilmu sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang
relevan.
(4) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMP/MTS/SMPLB/Paket B, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/ataukegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan/atau teknologi informasi, serta muatan
lokal yang relevan.
(5) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SMA/MA/SMALB/Paket C, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui
muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta
muatan lokal yang relevan.
(6) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMK/MAK, atau
bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa
matematika ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan,
teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
(7) Kelompok mata pelajaran estetika pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB
/Paket B, SMA,/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa seni dan budaya, keterampilan,
dan muatan lokal yang relevan.
(8) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA,/SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk
lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani,
olahraga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang
relevan.
Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya
merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu, materi
muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
a. Mata pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing satuan pendidikan tertera
dalam struktur kurikulum yang tercantum dalam standar ini.
b. Muatan lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi
muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.

f. Pendidikan kecakapan hidup


1) Kurikulum untuk SD/MVSDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB,
SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup
kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan /atau kecakapan
vokasional.
2) Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian dari pendidikan semua
mata pelajaran.
3) Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan
yang bersangkutan dan/atau dari satuan: pendidikan formal lain dan/atau
nonforrnal yang sudah memperoleh akreditasi.
g. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global
1) Kurikulum untuk SD/MI/SDLB,SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB,
SMK/MAK dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
2) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari
pendidikan semua mata pelajaran.
3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat diperoleh peserta didik
dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal
lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

3. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan
daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memerhatikan
kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.

4. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran


Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam
materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Berdasarkan silabus yang telah disusun guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar
(KBM) bagi siswanya.

G. Proses Penyusunan KTSP


Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun KTSP yaitu:
1. Analisis Konteks
a. Mengidentifikasi Standar Isi dan Standar Kemampuan Lulusan sebagai sumber
dan acuan penyusunan KTSP.
b. Menganalisis kondisi yang ada dari satuan pendidikan yang meliputi peserta didik
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, biaya dan program-
program.
c. Menganalisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan
sekitar komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi,
dunia industri dan dunia kerja, sumber dayaalam dan sosial budaya.
2. Mekanisme Penyusunan
a. Tim Penyusun
Tim penyusun KTSP pada SD,SMP SMA, dan SMK terdiri atas guru, konselor, dan
kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota. Di dalam kegiatan ini penyusun
melibatkan komite sekolah dan narasumber serta pihak lain yang terkait. Supervisi
dilakukan oleh dinas yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tingkat
kabupaten/kota untuk SD dan SMP dan tingkat provinsi untuk SMA dan SMK. Tim
penyusun kurikulum angkat satuan pendidikan MI, MTs, MA dan MAK terdiri atas
guru, konselor dan kepala madrasah sebagai ketua merangkap anggota. Di dalam
kegiatan ini penyusun melibatkan komite sekolah, dan nara sumber, serta pihak lain
yang terkait. Supervisi dilakukan oleh departemen yang menangani urusan
pemerintahan di bidang agama. Tim penyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan
khusus (SDLB, SMPLB, dan SMALB) terdiri atas guru, konselor, kepala sekolah
sebagai ketua merangkap anggota. Di dalam kegiatan ini penyusun melibatkan komite
sekolah, dan narasumber, serta pihak lain yang terkait. Supervisi dilakukan oleh dinas
provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
b. Kegiatan Penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah
madrasah. Kegiaran ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya
sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran
baru. Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi penyiapan dan
penyusunan draf, review, serta finalisasi, pemantapan dan penilaian. Langkah yang
lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun.
c. Pemberlakuan Dokumen KTSP pada SD, SMB SMA, dan SMK, dinyatakan berlaku
oleh kepala sekolah setelah mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diketahui
oleh dinas tingkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan
untuk SD dan SMP dan tingkat provinsi untuk SMA dan SMK.
Dokumen KTSP pada MI, MTs, MA, dan MAK, dinyatakan berlaku oleh kepala
madrasah setelah mendapat pertimbangan dari komite madrasah dan diketahui oleh
departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama.
Dokumen KTSP pada SDLB, SMPLB, SMALB, dinyatakan berlaku oleh kepala
sekolah setelah mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diketahui oleh dinas
provinsi yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan.

111A. HAKIKAT KEPEMIMPINAN dalam PENDIDIKAN

Bab ini membahas tentang:


Perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen;
Tipe,tipe dan aspek-aspek kepemimpinan yang variatif,
Gender dan kepemimpinan; dan
Peranan kepemimpinan

Pendahuluan
Konsep kepemimpinan sangat kompleks dan mengalami perkembangan. Tulisan-tulisan
tentang kepemimpinan kebanyakan disadur dari kultur Barat, khususnya dari Amerika Utara.
Walaupun demikian, kepemimpinan dipahami secara berbeda dalam kultur yang berbeda:
diperlukan banyak upaya untuk mempelajari dan memahami kepemimpinan dari sudut
pandang cultural. Buku-buku administratif yang ada jarang menyentuh ekspektasi bahwa kultur
membentuk pemimpin' (Bryant, 1998, hal. 7).
Hofstede (1980; 1991) telah melakukan penelitian tentang pentingnya variabel-variabel berikut
ini dalam suatu kultur:
1. Individualism, otonomi individu versus tanggungjawab terhadap kelompok.
2. Masculinity, bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dibedakan.
3. Power distance, bagaimana ketidaksamaan terjadi.
4. Uncertainty avoidance, tingkat perhatian terhadap hukum dan aturan.
Uraian tentang variabel-variabel tersebut di atas (Dimmock, 1998) menunjukkan
bagaimana ia menjadi relevan dengan cara-cara kepemimpinan dalam masyarakat yang berbeda-
beda. Misalnya, dari 5 3 negara, Amerika Serikat, Australia dan Inggris Raya menduduki peringkat
pertama, negara kedua dan ketiga memiliki ciri masyarakat individualistic. Sementara itu,
Hongkong, Singapura, Malaysia dan Thailand memiliki ciri masyarakat kolektif, yang
mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Berkaitan dengan itu,
pola hubunganpower distance antara negaranegara Barat dan Timur memiliki perbedaan yang
tajam. Negara-negara Timur dengan masyarakat kolektifnya cenderung memiliki indeks power
distanceyang tinggi, sedangkan negara-negara Barat dengan masyarakat individualistisnya
cenderung memiliki indeks power distance yang rendah. Walaupun demikian, ada sedikit perbedaan
dalam hal maskulinitas/feminitas dan uncertainty avoidance di antara tujuh negara yang disebut
di atas. Bjerke dan Al-Meer (1993, hal. 34) dalam penelitiannya terhadap pars manajer Arab,
menggunakan instrumen-instrumen penelitian Hofstede dan ia menyimpulkan bahwa mereka:
"Cenderung memiliki orientasi uncertainty avoidance yang tinggi. Misalnya, manajer
Muslim Arab Saudi, tidak toleran terhadap orang yang menyimpang dari ajaran Islam
dan tradisi Arab. Mereka sangat loyal terhadap organisasinya. Mereka jugs tidak
menyukai konflik. Walaupun demikian, jika terpaksa, mereka menyelesaikan
perbedaan pendapat dengan sikap yang otoritarian".

Perbedaan antara negara-negara Barat dan Timur terletak pada ketidaksamaan dalam
kekuasaan (power), peran individu, peran gender dan toleransi terhadap uncertainty. Perbedaan
tersebut sangat penting diketahui untuk memahami bagaimana perbedaan peran pemimpin
dalam kultur yang berbeda.
Harber dan Davies (1997) mengklaim bahwa kepemimpinan dalam pendidikan di
negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Afrika, cenderung otoriter. Mereka
menyampaikan beberapahipotesis yang mendukung klaim mereka:
"Proses pengajaran cenderung otoriter jika guru kepala ditentukan berdasarkan
pada kepangkatan tanpa diikuti dengan pelatihan";
"Sistem pendidikan cenderung sangat sentralistis dan top down";
"Ada beberapa gagasan tradisional tentang model kepemimpinan laki-laki:
'kekuatan, hirarki dan dominasi sangat menentukan model manajerial"' (dikutip dari
ibid., hal. 60 1).

Bryant (1998, hal. 18), yang telah melakukan penelitian kualitatif dengan orang-orang
Amerika asli, mengilustrasikan bagaimana konsep-konsep barat tentang kepemimpinan tidak
boleh dipaharni secara taken for granted.
"Kultur penduduk ash Amerika bisa berubah-rubah. Nilai-nilai sederhana yang kita
pahami secara taken for granted terkadang terbalik. Nepotisme misalnya. Dalam kultur
Barat, gagasan tentang melakukan sesuatu yang menguntungkan keluarga dipandang
sebagai sesuatu yang tidak eds. Di beberapa tempat ada hukum yang melarang
nepotisme. Tapi dalam kultur penduduk ash Amerika, memperhatikan keluarga
merupakan salah satu kewajiban penting bagi seorang pemimpin. Nepotisme menjadi
sebuah nilai yang positif ".
Aktivitas
Berkaitan dengan ide-ide tentang kepemimpinan, mau
tidak mau sekarang kita perlu mengambil beberapa
materi yang berasal dari Barat. Walaupun demikian,
seperti yang anda baca pada bagian selanjutnya, is
bisa lebih bermanfaat jika mempertanyakan secara
lebih mendalam tentang konsep-konsep aktual yang
diaplikasikan pada kepemimpinan dalam sekolah atau
perguruan tinggi anda.

Pada Bab II kami tekankan bahwa terdapat perbedaan antara kepemimpinan dan
manajemen, dan bahwa keduanya memberikan kontribusi terhadap efektifitas dalam
pendidikan. Secara praktis, fungsi kepemimpinan dan manajemen tampak overlap dan
memiliki peranan yang sama.
Walaupun demikian, dalam menganalisis kepemimpinan is sangat bermanfaat dalam
memberikan pertimbangan lanjut tentang bagaimana konsepkonsep tersebut berbeda.

Kepemimpinan dan Manajemen


Sebagairnana ditegaskan sebelumnya, bahwa kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan
nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur:
"Kepemimpinan dan manajemen bukanlah merupakan terma yang sinonim. Seseorang bisa
menjadi pemimpin tanpa harus menjadi manajer. Seseorang, misalnya, bisa melaksanakan
fungsi-fungsi simbolik, inspirasional, edukasional dan normatif pemimpin yang
merepresentasikan kepentingan organisasi tanpa harus melaksanakan tugas formal
manajemen. Sebaliknya, Seseorang bisa me-manage tanpa harus memimpin. Seorang individu
bisa me-monitor dan mengontrol aktivitas-aktivitas organisasional, membuat keputusan-
keputusan, dan mengalokasikan sumber-sumber daya tanpa harus melaksanakan fungsi-fungsi
simbolik, normatif, inspirasional, atau edukasional kepemimpinan" (Schon, 1984, hal. 36)

Seni Kepemimpinan
Seni bisa berarti ketrampilan intuitif, `tabu melak sanakan', namun ia)uga
mengindikasikan `refleksi aksi'. Schon (ibid., hal. 42) menjelaskan hal ini sebagai:
`refleksi, dalam konteks aksi, tentang fenomena yang tidak sama dengan pemahaman intuitif .
Atau, 'dialog reflektif dengan situasi.'
Lebih dari itu, refleksi tentang aksi manajer/pemimpin dilakukan dalam
konteks kultur sebuah organisasi yang berperan seperti wadah pengalaman masa
lampau, organisasi menjadi `gudang pengetahuan kumulatif yang dikembangkan'.
Organisasi dan kulturnya mungkin bisa membuat pembelajaran dan perubahan menjadi
kondusdatau sebaliknya. Dan ini akan mempengaruhi cakupan dan arch refleksi aksi manajer
.
Manajemen taktis dan strategis
Pembedaan antara manajemen dan kepemimpinan dapat dikaitkan dengan
pembeclaan antara kepemimpinan taktis dan strategis sebagaimana disampaikan
Sergiovanni (1984a, hal. 105): 'kepemimpinan taktis mencakup analisis terhadap
kegiatan administratif dengan Skala kecil, namun memberikan perhatian pada tujuan
secara lebih besar. Kepemimpinan strategis, sebaliknya, merupakan Seni dan ilmu yang
memfokuskan perhatiannya pada kebijakan-kebijakan dan tujuantujuan dengan rencana-
rencana jangka panjang.'
Sergiovanni mengidentifikasi strategi dengan keyakinan dan komitmen. Dia
mengidentifikasi ketrampilan taktis yang diperlukan dalam pendekatan situasional
terhadap kepemimpinan 'pembacaan yang cermat terhadap situasi dengan
menggunakan takaran model-model kepemimpinan yang benar dan tepat' dan
membeclakannya dengan:
"Seorang pemimpin yang memiliki tujuan-tujuan, keyakinan, dan komitmen tertentu demi
sekolah atau universitas, dan yang bisa mengkomunikasikannya dengan yang lain karena...
apa yang menjadi keyakinan atau komitmen Seorang pemimpin adalah lebih penting
daripada apa yang dilakukannya. Denganperkataan lain, bahwa seorang pemimpin yang
mengkomunikasikan suatu permasalahan dengan yang lain adalah lebih penting
daripada gaya kepemimpinan itu sendiri" (ibid., hal. 66).
'Ketentuan' Kepemimpinan
Walaupun manajer dituntut untuk dapat menunjukkan kepemimpinan yang baik, namun
kebanyakan teoritisi membuat perbedaan antara ketentuan kepemimpinan dan manajemen
pada umumnya. Bennis (1984) menyimpulkan bahwa direktur eksekutif sebuah
organisasi yang dia teliti, mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai pemimpin.
Mereka sangat concern terhadap tujuan-tujuan dasar organisasi, kenapa ia ada. Dan
secara umum, ia tidak concern terhadap "upaya untuk melakukan sesuatu dengan
benar" (tidak concern terhadap manajer), namun ia concern terhadap "upaya untuk melakukan
sesuatu yang benar"' (ibid., hal. 66).

'Kekuatan'Kepemimpinan
Di sisi lain, Sergiovanni (1984b) mengidentifikasi lima `kekuatan' kepemimpinan, yang
dipandang secara hirarkis. Pertama,'kekuatan'teknis (manajemen) yang nienyokong kekuatan
lain, namun la merupakan bagian teratas dari piramida, dan kebanyakan kekuatan yang
menonjol adalah aspek-aspek normatif dari kepemimpinan yang concern terhadap nilai-nilai
dan kultur:
Teknis teknik-teknik manajemen. Pemimpin sebagai 'penggerak manajemen'.
Manusia sumber-sumber days sosial dan interpersonal. Pemimpin sebagai 'penggerak
manusia'.
Pendidikan kepakaran di bidang pendidikan. Pemimpin sebagai 'praktisi klinis'
Simbolik memfokuskan'perhatian pada hal yang penting. Pemimpin sebagai 'ketua'
Kultural membangun sebuah kultur sekolah yang unik. Pemimpin sebagai `tokoh
spiritual'.

Pandangan sekilas tentang sifat kepemimpinan dan manajemen ini


mengindikasikan bahwa pars pemimpin di sekolah dan perguruan tinggi dibebani dengan
beberapa tanggungjawab yank memiliki imphkasi yang besar terhadap, perbaikan dan
peningkatan yang dialami institusi. Secara khusus, pemimpin diasosiasikan dengan
pengembangan dan pengkomunikasian sebuah visi sekolah atau perguruan tinggi (lihat Bab
III). Mengkomunikasikan sesuatu yang ada dalam visi menyiratkan tentang sifat
kepemimpinan saat ini. Oleh karenanya, pemimpin diharap mampu mendorong dan
meningkatkan keterlibatan dan pemahaman staf. Pentingnya dan tanggungjawab kepe-
mimpinan tersebut juga ditegaskan dengan hubungan antara efektifitas dan perbaikan sekolah
dan kualitas kepemimpinan: 'kepemimpinan terhadap staf denganmaksud tertentu yang
dilakukan oleh guru kepala' (Mortimore et. al., 1998, hal. 118) merupakan faktor utama
dalam daftar faktor-faktor yang menyebabkan sekolah menjadi efektif.

Teori dan Praktek


Pembedaan antara kepemimpinan dan manajemen dapat menyembunyikan fakta bahwa banyak
pemimpin yang menghabiskan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya lebih
tepat dikatakan sebagai pekerjaan administratif. Torrington dan Weightman (1989) melakukan
observasi terhadap pekerjaan staf senior di sekolah-sekolah Inggris dan menemukan, bahwa
proporsi waktu yang substansial clihabiskan untuk hal-hal yang bersifat administratif
(didefinisikan sebagai pekerjaan yang bisa clikerjakan oleh orang yang memiliki inteligensi dengan
umur sekitar 16 tahunan) dan aspek-aspek teknis dalam kerja, seperti pengajaran di ruang kelas.
Hal ini akan menyisakan sedikit waktu untuk area kerja memimpin danme-manage.
Sebuah review tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh para guru kepala, disampaikan
Fullan (1991, hal. 146). la menemukan bahwa:
"Secara virtual, seluruh waktu para guru kepala digunakan untuk mengadakan
pertemuan dan menelepon".
"Kegiatan harian para guru kepala cenderung sporadis dan secara simultan ditandai
dengan kecekatan, variasi dan fragmentasi".
"Para guru kepala melakukan sekitar rata-rata 149 tugas dalam satu hari dengan
gangguan konstan dalam sebuah studi disebutkan sekitar 59 per sen kegiatan yang
mengalami gangguan".
"Kebanyakan dari aktivitas mereka (84 per sen) adalah singkat/sebentar (satu
orang mencapai hingga empat merit)"
" P a r a k e p a l a g u r u m e n u n j u k k a n a d a n ya kecenderungan terjebak dalam
situasi genting dan menekan. Mereka meluangkan sedikit waktu untuk melakukan
perencanaan reflektif".
"Kebanyakan dari waktu mereka digunakan untuk keperluan administratif,
menjaga aturan dan manajemen krisis".

Walaupun terdapat sedikit tulisan tentang kegiatan para pemimpin sekolah dan perguruan
tinggi selain di Amerika dan Eropa, terdapat sebuah studi tentang kepala utama di Barbados
(Sealy, 1992, dikutip dari Harber dan Davies, 1997) menunjukkan bahwa dalam masalah
tersebut sedikit berbecla dari apa yang telah dijelaskan di atas. Para pimpinan terjebak dalam
banyak kegiatan keseharian, dan kegiatan membutuhkan waktu yang panjang adalah makan
Siang. Tugas administratif dan korespondensi menghabiskan banyak waktu mereka.
Walaupun 'kerja kepala guru morat-marit, fragmentatif, tidak teratur' (Harber dan Davies,
1997, hal. 65), mereka dan pars pemimpin lainnya sangat berkeinginan untuk memimpin
dalam mewujudkan realitas dari hari ke hari.

Referensi
Dalam 'Leadership in Educational Management', bab III dalam The Principles of
Educational Management; Marianne Coleman memberi sebuah pandangan tentang
pola-pola dasar kepemimpinan, konsep kepemimpinan dalam teori organisasi dan
aspek-aspek kepemimpinan yang dipandang cukup relevan dengan lingkungan
pendidikan. Beberapa aspek ini akan diulas secara lebih lugs dalam bagian-bagian berikut.

Uraian
Melalui Bab ini, anda akan melihat bahwa ada dua cara penting untuk menganalisis pola-pola
kepemimpinan: pertama adalah pembedaan antara otokrasi dan demokrasi, cara ini
diasosiasikan dengan penelitian Tennenbaum dan Schmidt (1973); cara kedua adalah
didasarkan pada dominasi relatif yang ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu. tentang
'perhatiannya terhadap orang dan hubungan-hubungan' atau 'perhatiannya terhadap produksi atau
hasil'; teori ini diasosiasikan dengan penelitian Blake dan Mouton (1964). Konsepkonsep ini
sangat membantu dalam menguji kepemimpinan dalam teori organisasi, yang menekankan
pada teori-teori situasional dan kontingensi. Teori-teori tersebut mengakui pentingnya interaksi
pemimpin dan lingkungannya: 'mereka mengakui bahwa pola dan sikap kepemimpinan yang
tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada' (Coleman,
1994a, hal. 59).
Hal tersebut di atas menegasikan bahwa pola-pola kepemimpinan dalam suatu
kelompok disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, pola kepemimpinan yang
cocok bagi sekolah inspektorat atau lemah akan sangat berbeda dari sekolah yang memiliki ciri
khas dinamis dan berubah (Hopkins, 1994b). Ketepatan pola kepemimpinan dalam sebuah
sekolah dasar dengan delapan orang guru tentu berbeda dari pola kepemimpinan dan
manajemen perguruan tinggi yang mempekeriakan seratus orang tenaga pengajar, yang dibagi
rata pada empat fakultas. Walaupun demikian, di sans terdapat dimensi kepemimpinan yang
baik, khususnya dalam lingkungan pendidikan. Di antaranya adalah: pentingnya visit manfaat
kepemimpinan transformasional; menempatkan pendidikan anak didik dan round pada posisi
utama dalam perencanaan dan manajemen; dan dimensi moral danetis kepemimpinan dalam
pendidikan. Lebih dari itu, kepemimpinan dalam pendidikan mengalami banyak tantangan
bersamaan dengan maraknya otonomi sekolah dan perguruan tinggi di beberapa negara, yang
memberi tanggungjawab barn kepada para pemimpin pendidikan, khususnya dalam kaitannya
dengan kemampuan mereka dalam menangani isu-isu strategic. Dimensi kepemimpinan lainnya
yang aplikatif dalam kepemimpinan seluruh institusi pendidikan adalah masalah gender, yang
secara umum masih didominasi kaum laki-laki (Schein, 1994).
Daftar generalisasi berikut ini, yang ditinjau ulang dari literatur kepemimpinan dalam
pendidikan (Beare et. al., 1998a; 1993), merefleksikan sebuah perhatian yang serius terhadap
beberapa hal yang ditegaskan di atas. Anda akan diminta untuk kembali pada daftar berikut ini
seperti ketika anda merefleksikan pemikiran utama tentang sifat atau watak kepemimpinan dalam
manajemen pendidikan. Berikut ini generalisasi dalam kaitannya dengan konsep visi (lihat hal.
11).
1. Penekanan harus diberikan pada kepemimpinan transformasional daripada transaksional.
2. Pemimpin yang terkemuka memiliki sebuah visi bagi organisasinya.
3. Visi harus dikomunikasikan dengan suatu cars yang dapat menjaga komitmen para anggota
organisasi.
4. Komunikasi visi memerlukan komunikasi makna.
5. Isu-isu nilai `apa yang seharusnya' adalah utama bagi kepemimpinan.
6. Pemimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi.
7. Studi tentang sekolah-sekolah terkemuka memberikan dorongan untuk melaksanakan school
based management dan collaborative decision-making.
8. Terdapat banyak kekuatan kepemimpinan teknis, manusia, pendidikan, simbolik dan
semuanya itu harus dihilangkan dalam sekolah.
9. Perhatian harus diberikan kepada institusionalisasi visi jika kepemimpinan jenis
transformatif ingin sukses.
10. Kualitas stereotip'laki-laki' dan 'perempuan'sangat penting dalam kepemimpinan, tanpa
menghiraukan jenis kelamin pemimpin (Beare et. al., 1989a., hal. 108; 1993, hal. 147).

Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional


Hal penting yang harus diingat bagi. siapa saja yang ingin mempraktekkan kepemimpinan
transfornasional adalah tidak hanya mengandalkan kharisma personalnya, tapi is harus mencoba
untuk memberdayakan stafnya.Serta melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinannya.
Kepemimpinan transformasional bertentangan dengan kepemimpinan transaksional
yang:didasarkan pada pertukaran pelayanan (dari seorang guru,misalnya) dengan berbagai
macam bentuk upah (penghargaan gaji dan upah intrinsik) yang dikontrol oleh pemimpin,
setidak-tidaknya pada bagian-bagian tertentu' (Leithwood, 1992, hal. 69).
Walaupun demikian, Bass dan Avolio (1994) menawarkan sebuah teori dua-faktor (a
two factor theory) kepemimpinan dimana kepemimpinan transformasional dapat eksis
berdampingan dengan kepemimpinan transaksional. Teori ini dipandang sebagai dua faktor
penting untuk menjaga organisasi dan memberikan jaminan bahwa pembelajaran atau perkuliahan
dapat berialan dengan lancar.
Kepemimpinan transformasional secara khusus berhubungan dengan gagasan
perbaikan. Bass dan Avolio (ibid., hal. 2) menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional
akan tampak apabila pemimpin:
"Menstimulasi semangat para kolega dan pengikutnya untuk melihat pekerjaan mereka
dari beberapa perspektif barn",
"Menurunkan misi atau visi kepada tim dan organisasinya",
"Mengembangkan kolega dan pengikutnya pada tingkat kemampuan dan potensial
yang lebih tinggi", dan
"Memotivasi kolega dan pengikutnya untuk melihat pada kepentingannya masing-
masing, sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan organisasinya".

Alternatif lainnya adalah bahwa mereka merujuk pada kepemimpinan transformasional


sebagai empat hal berikut ini:
1. Pengaruh ideal (para pemimpin dipandang sebagai model peran bagi yang lainnya).
2. Motivasi yang inspirasional.
3. Stimulasi intelektual.
4. Pertimbangan yang didasarkan pada individu (mencakup pemimpin yang berperan sebagai
mentor atau penasehat bagi individu dalam suatu institusi).

Seperti yang diungkap di atas, kepemimpinan bersifat situasional, yaitu para


pemimpin bisa menunjukkan pola-pola yang variatif dan aspek-aspek kepemimpinan yang
bergantung pada konteks spesifik di dalam kegiatan yang mereka laksanakan. Namun, para
pemimpin yang mempertunjukkan apa yang disebut'profil kepemimpinan optimal'
menunjukkan kepemimpinan transformasional dan mendukung kepemimpinan transaksional
mereka dengan penguatan dan penghargaan yang positif daripada sekedar koreksi. Bass dan
Avolio (ibid., hal. 5-6) menegaskan bahwa:
"Telah banyak penelitian dan studi yang dilakukan yang mencakup bisnis dan
industri, pemerintahan, militer, institusi pendidikan, dan organisasi non profit.
Kesemuanya itu menunjukkan, bahwa para pemimpin transformasional... adalah
lebih efektif dan memuaskan daripada para pemimpin transaksional.Yang terakhir
sebenarnya baik, namun yang pertama lebih baik lagi".

Saudi-studi dalam institusi-institusi pendidikan telah mengindikasikan bahwa para


pemimpin transformasional tampil menjadi sosok:
Dalam pencarian secara terns menerus terhadap tiga tujuan fundamental:
1) Membantu para anggota staf dengan mengembangkan dan menjaga kultur sekolah yang
kolaboratif dan profesional;
2) Membantu perkembangan pengembangan guru; dan
3) Membantu mereka dalam memecahkan masalah bersama-sama secara efektif (Leithwood,
1992, hal. 69-70).

Walaupun demikian, pada prakteknya ia bisa berbeda dari idealisms tersebut di atas.
Penelitian tentang pengembangan profesional untuk mendorong perubahan-perubahan
pendidikan di Hongkong menemukan bahwa: 'Para administrator yang terlibat dalam studi ini
melihat adanya tempat yang sangat terbatas bagi para guru untuk merencanakan
pengembangan profesional mereka. Mereka menegaskan bahwa perencanaan untuk
pengembangan profesional merupakan tanggungjawab kepala sekolah dan anggota
eksekutiflainnya... sangat sedikit responder yang menunjukkan suatu peranan aktif para guru
dalam merencanakan pengembangan profesional' (Walker dan Cheng, 1996, hal. 206).
Burns (1978) percaya dengan identifikasi pertama, yakni kepemimpinan transformatif.
Dia tidak mendukung teori dua-faktor kepemimpinan, namun ia lebih condong pada
kepemimpinan transformasional yang notabene berseberangan dengan kepemimpinan
transaksional. Ini merepresentasikan suatu pandangan yang berbeda tentang kepemimpinan
transformasional dan teori dua-faktor kepemimpinan, yang ada dalam satu individu (Bass dan
Avolio, 1994). Sebuah studi terhadap delapan proyek penelitian. dari Singapura, Australia,
Canada dan USA, yang menginvestigasi teori dua-faktor kepemimpinan, menunjukkan adanya
dukungan terhadap validitas internal dan eksternalnya (Leithwood et. al., 1996, hal. 828).
Misalnya, data kualitatif yang dikumpulkan dari 51 pengawas sekolah Texas menunjukkan bahwa:
'mereka meyakini praktek transaksional membantu mereka dalam manajemen rutin, sedangkan
praktek transformasional membantu mereka dalam mengupayakan. perubahan' (ibid., hal. 820).
Penelitian tentang kepemimpinan transformasional jugs telah dianalisis dengan
harapan dapat memberikan pengaruh terhadap tips kepemimpinanini. Beberapa temuan dari
sebuah analisis terhadap 20 studi tentang kepemimpinan transformasional menun- jukkan
bahwa:
" Kepemifnpinan transformasional, secara keseluruhan, sangat berkaitan dengan kepuasan
pemimpin dan. persepsi positif terhadap efektifitas pemimpin".
"Kepemimpinan transformasional, secara keseluruhan, sangat berkaitan dengan kemauan
pars anggota organisasi untuk meningkatkan upaya ekstra".
"Tingkat organisasi memiliki pengaruh terhadap persepsi guru terhadap efektifitas dan
pengembangan. Persepsi tersebut memiliki korelasi positif dengan kepemimpinan
transformasional".
"Kualitas kepemimpinan yang dikaitkan dengan pengaruh transformasional adalah:
kharisma/visi/ inspirasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan yang didasarkan
pada kepentingan individu" (dikutip dari ibid., hal. 828-9).

Meskipun kesimpulannya diambil dari banyak studi, kuantitatif dan kualitatd,


Leithwood et. al. (ibid.) menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat pengaruh positif yang
dikaitkan dengan beberapa bentuk kepemimpinan dalam pendidikan. Di USA kepemimpinan
pendidikan ini, juga dikenal sebagai 'kepemimpinan instruksional'.

Kepemimpinan Pendidikan
Melalui literatur yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam pendidikan, terra tentang
pentingnya pendidikan atau tentang pengajaran dan pembelajaran, diuraikan kembah. Walaupun
demikian, praktek kepemimpinan yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Inggris Raya,
cenderung membohongi individu-individu yang memiliki spesialisasi di bidang manajemen
sumber daya finansial dan manusia. Namun, penelitian tentang efektifitas sekolah menegaskan
pentingnya apa yang terjadi di ruang kelas, dan kepemimpinan pendidikan dipandang sebagai
upaya memberikan sebuah kultur pengajaran dan pembelajaran yang kondusif.
"Kami menganggap, bahwa mutu kehidupan sekolah sangat bergantung pada
mutu pengalaman pelajar di dalam ruang kelas. Selanjutnya kami juga menganggap,
bahwa kepemimpinan pendidikan akan menjadi sentral bagi negosiasi tentang
apa yang bisa dinilai dalam kurikulum dan apa yang dipandang baik dalam metode
pengajaran. Pendekatan terhadap kepemimpinan ini akan. menjaga ideide praktis
yang patut ditiru. Untuk mencapai kondisi ini, maka keunggulan pedu
didefinisikan dalam terma-terma yang spesifik. la juga mengandung makna sebagai
perencanaan yang cerdas untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karena itu,
pemimpin pendidikan harus sertanggungiawabdalam menciptakan kultur
organisasional yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
partisipasi seluruh pihak yang terlibat dalam pengajaran dan pembelajaran"
(Duignan dan Macpherson, 1992, hal. 83).

Di Israel, mutu yang menghubungkan kepemimpinan dengan sekolah yang efektif dalam
jangka waktu yang panjang, diketahui dapat menjadi kemampuan tersendiri dalam menentukan
tujuan-tujuan organisasi yang jelas sesuai dengan kemampuan para guru: 'kepala sekolah yang
efektif tidak hanya menghabiskan waktunya untuk melakukan kontrol internal secara eksplisit,
seperti memonitor pengajaran, tapi harus lebih menekankan pada penetapan tujuan dan
mekanisme konsensus tujuan untuk mengarahkan perhatian para guru terhadap output
organisasi' (Goldring dan Pasternak, 1994, hal. 251).
Mutu-mutu yang diidentifikasi oleh Duignan dan Macpherson sebagai sesuatu yang
aplikatif bagi para pemimpin pendidikan adalah, dalam banyak hal, sama dengan mutu-mutu
yang diidentifikasi dengan para pemimpin transformasional. Penekanannya adalah terdapat
pada pendorongan dan pemberdayaan tanggungjawab langsung terhadap pengajaran face-to-
face. Dengan demikian, pemimpin pendidikan:
1. Memberikan kesempatan kepada anggota untukberpartisipasi dalam proses perubahan
guna merefleksikan praktek dan mengembangkan pemahaman personal tentang sifat
dan implikasi perubahan terhadap diri mereka;
2. Mendorong mereka yang terlibat dalam implementasi perbaikan untuk membentuk
kelornpokkelornpok,sosial dan membangun tradisi saling mendukung selama proses
perubahan;
3. Membuka peluangfeedback positif bagi semua pihak yang terlibat dalam perubahan; dan
4. Harus sensitif terhadap outcomes proses pengembangan dan menciptakan kondisi
yang kondusif bagi feedback yang dibutuhkankemudian menindaklanjutinya dengan
melibatkan beberapa pihak dalam mendiskusikan ide-ide dan prakteknya (Duignan
dan Macpherson, 1992, hal. 84). Implikasi praktis bagi kepemimpinan sudah jelas.
Kepala sekolah harus menjamin adanya penekanan terhadap pengembangan profesional
yang dikaitkan dengan refleksi tentang praktek ruang kelas danyang dikembangkan
dalam sebuah kultur kolaborasi. Lebih dari itu, Fidler (1997, hal. 32) menunjukkan adanya
implikasi-implikasi praktis bagi kepemimpinan instruksional, yang mencakup:
"Me-manage kurikulum dan pengajaran, yang mencakup organisasi kelompok
murid dan alokasi waktu, dan jugs menstimulasi pengembangan kurikulum";
"Melakukan supervise terhadap pengajaran"; "Memonitor kemajuan pelajar"; dan
"Menciptakan iklim pengajaran yang positif

Walaupun demikian, dalam kesimpulan penelitian tentang kepemimpinan pendidik.


Northfield (1999, hal. 100) menegaskan: 'Bagi kepala sekolah, sebagai pemimpin pendidik,
ciri utamanya adalah pemimpin (sebagai guru) yang memberikan kesempatan peserta atau
anggota untuk berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman personal dan mendorong
bagi terciptanya kondisi yang kondusif untuk melakukan refleksi secara praktis.'
Ide tentang pentingnya pembelajaran ini disadur dari Sergiovanni (1998), yang
merujuk pada kepemimpinan pedagogik yang memiliki nilai plus dalam pengembangan kapital
sosial, akademik dan intelektual dalam dire pelajar dan guru. Istilah kapital tidak digunakan
secara kaku dalam hal ekonomi saja, tape juga digunakan dalam terms yang memberi nilai
tambah bagi pembelajaran para pelajar dan guru, sehingga dapat meningkatkan nilai material
kepemimpinan pedagogik dengan mengembangkan beberapa bentuk kapital manusia' (ibid.,
hal. 38).

Dimensi moral dan Etis Kepemimpinan


Kepemimpinan dalam sekolah mempunyai tanggungjawab tersendiri; para pimpinan dan kepala
sekolah memiliki peran yang sangat menentukan bagi keberhasilan sekolah. Oleh karena itu,
mereka harus sertanggungjawab terhadap pengalaman-pengalaman pelajar di sekolah. Sifat
tanggungjawab ini berbeda dari jenis tanggungjawab kepemimpinan lainnya, walaupun West-
Burnham (1994c, hal. 26) menyatakan bahwa jenis manajemen yang tidak cocok bagi anak-anak
adalah sama tidak cocoknya jika diterapkan pada orang dewasa. Hodgkinson (1991, hal. 62-3) juga
mencurahkan perhatiannya pada kesulitan dalam mengidentifikasi tujuan-tujuan dalam
pendidikan yang tidak sama dengan jenis organisasi lainnya. Dalam hal ini, is juga
mengidentifikasi sebuah kekuatan yang berkaitan dengan nilai-nilai untuk didukung:
"Kesulitan-kesulitan ini merupakan somber peluang kepemimpinan yang khas:
peluang untuk mengetahui, yaitu mengklarifikasi dan mempertahankan tujuan-tujuan
akhir pendidikan; peluang untuk mengetahui makna yang sesungguhnya dan men-
ciptakan proses... dan peluang untuk melakukan evaluasi secara tepat dan memberinya
legitimasi bagi seluruh partisipan dalam proyek pendidikan koperatif yang besar.
Dengan kata lain adalah bahwa kepemimpinan pendidikan adalah hal yang sulit,
penuh dengan tantangan, dan mengandung pesan moral."

Bottery (1992, hal. 190) mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menolak ripe-ripe
kepemimpinan paternalistik dan mendukung suatu ripe kepemim pinan yang
mengarah pada penciptaan suatu kultur yang demokratis dan partisipatif-
"Kepala-kepala organisasi yang demokratis adalah mereka yang memiliki keinginan untuk
melibatkan staf dan murid dalam proses pendidikan sekolah, tidak untuk menghasilkan nilai
yang baik dan tidak untuk membuat staf dan murid senang, tapi untuk mendidik anggota-
anggota sekolah dalam hal hak dan tanggungjawab mereka sebagai warga negara. Kepala-
kepala organisasi yang demokratis juga memiliki keinginan untuk memberikan peluang kepada
orang lain untuk berdiskusi tentang kebijakan dan implementasinya, tidak untuk menegaskan
bahwa tujuan utamanya adalah menghindari konfrontasi dan oposisi, tidak juga untuk
menegaskan bahwa semua pengetahuan diorientasikan untuk menghasilkan nilai yang
baik, tapi untuk membekali anggota-anggota sekolah dengan peluang atau kesempatan
untuk mengembangkan diri mereka sendiri dan komunitasnya".

Lebih lanjut, Sergiovanni (1998, hal. 43) menyatakan: `sumber otoritas


kepemimpinan tidak ditemukan pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur birokratis tidak
juga pada kepribadian dan jenis kepemimpinan, tapi pada nilai-nilai, ide-ide dankomitmen
seorang pemimpin'.
Nilai-nilai kepemimpinan pendidikan ini juga perlu diterapkan pada negara-
negara berkembang, yang cenderung memiliki jenis manajemen yang birokratis, dan
sebuah jenis kepemimpinanyang otoriterterkadang merupakan akibat dari warisan
kolonialisme (Harber dan. Davies, 1997). Ini diklaim bahwa nilainilai demokratis, yang
mencakup partisipasi dan transparansi, sangat membantu dalam meningkatkanefektifitas
sekolah:
"Hal ini disebabkan, walaupun nilai-nilai ini tidak memberi jawaban' bagi negara-negara
berkembang sebagaimana yang sering dilakukan dalam teknik-teknik manajemen Barat,
keduanya memberi kebebasan kepada para partisipan untuk berdiskusi tentang jawaban-
jawaban yang relevan bagi pengembangan lokal dan, dalam memberikan pendidikan
sistem politik demokratis, mendorong terciptanya suatu konteks makro politik yang me-
mungkinkan terjadinya perdebatan yang bebas dan darnai' (ibid., hal. 151).

Dalam konteks sebuah negara yang demokratis, mungkin masih terdapat dilema
etis bagi para pemimpin pendidikan. Grace (1995, hal. 146-7) mengilustrasikan dilema
moral, etis dan profesional para pemimpin pendidikan dengan contoh-contoh konflik yang
thalami para guru kepala, yaitu antara keinginanuntuk bekerja sama dengan sekolah-sekolah
lain dan tekanan untuk berkompetisi dengan sekolah-sekolah tersebut yang disebabkan oleh
reformasi yang terjadi di Inggris dan Wales:
"Dalam perjuangan ideologic dan nilai antara komunitas profesional dan keuntungan
otonom, pada umumnya, para partisipan masih tetap loyal terhadap kultur yang ada
yang membutuhkan pembaharu. Bagi beberapa pihak, otonomi manajemen sekolah
yang tinggi merupakan suatu indikator'kemajuan'yang cukup, tanpa harus melakukan
pengrusakan terhadap jaringan pendidikan lokal".
Otonomi finansial yang meningkat menyebabkan mereka menghadapi dilema etis
lainnya yang terkait dengan pekerjaan guru, khususnya berkaitan dengan tuntutan untuk
mengurangi pengeluaran, yang kemudian mengarah pada pengambilan kepu0tusan yang
berlebihan.

Kepemimpinan Sekolah atau Perguruan Tinggi yang Otonom

Walaupun kepemimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang otonom menghadapi


beberapa dilema, perubahan jugs mengakibatkan adanya tantangan dan peluang bagi
kepemimpinan, yaitu sekitar kemungkinan meningkatnya efisiensi dan efektifitas institusi-
institusi otonom. Caldwell dan Spinks (1992, hal. 57), yang sangat memperhatikan
kepemimpinan dalam sekolah-sekolah otonom, menekankan pentingnya kepemimpinan
pendidikan clan menegaskan bahwa: `dalam analisis akhir, kasus manajemen diri (self-man-
agement) harus didasarkan pada manfaat bagi siswa yang ditunjukkan melalui hasil
pembelaiaran'.

Marsh D. (1992, hal. 16) membuat daftar meningkatnya tanggungjawab sebuah


perguruan tinggi dan mengkaitkan peningkatan tersebut dengan kemungkinan bahwa
kepemimpinan akan cenderung pada transformasional, sebuah model kepemimpinan yang
memberdayakan.

melakukan rekruitmen, penggajian, evaluasi dan pemberhentian. personel;


secara terus nienerus memerlukan ketrampilanketrampilan baru dan melatih stafnya;
memformulasikan anggarannya;
membuat investasi kapital sesuai dengan yang dibutuhkan;
secara konstan memonitor dan mengontrol standarstanclar mutunya (atau misalnya BS575
0), inspeksi dan kekeliruan-kekeliruan lainnya;
menekankan dan mengembangkan produk-produk dan bisnis-bisnis baru;
mengupayakan peningkatan secara terus menerus terhadap segala sesuatunya;
mengembangkan dan memastikan standar-standar produktifitas, mutu dan peningkatan
secara detail dan membuatnya kuat;
menjadi student centered dan 'upsidedown'.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah perguruan tinggi tidak
dapat berjalan dengan sistem komando, tapi dengan kepercayaan dan kemufakatan (ibid.).
Salah satu aspek kepemimpinan yang memberikan ruang otonomi yang cukup dalam
institusi pendidikan perlu diterapkan dalam sekolah atau perguruan tinggi dan bahkan dalam
komunitas yang lebih lugs. Kepalakepala sekolah percontohan Model C di Afrika Selatan, yang
dikontrol secara ketat di bidang finansial daripada sekolah-sekolah lainnya, mengidentifikasi
pemasaran sebagai salah satu perubahan utama dalam peran mereka (Steyn dan Squelch,
1994).
Beare et. al. (1989a, hal. 235) mengidentifikasi tiga aspek fundamental hubungan antara
sekolah dan komunitas:
1. Kesan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap baiknya murid belajar, karena
sikap orangtua terhadap sekolah mempunyai pengaruh langsung terhadap murid.
2. Beberapa guru tampak tidak apresiatif bahwa sekolah hanyalah sebuah elemen dalam
perusahaan pendidikan yang lebih besar.
3. Kesan penghargaan terhadap publik; penghargaan dapat menciptakan dukungan publik.

Dari sana akan muncul suatu konsensus bersama bahwa manajemen relasi eksternal
merupakan concern kepemimpinan yang sangat fundamental, berkaitan dengan hasil,
hubungan dan penghargaan. Caldwell dan Spinks (1992, hal. 156-7) membuat hubungan ini
sangat eksplisit, dengan alasan bahwa kepemimpinan sangat responsif terhadap beberapa
komponen berikut:
1. Komitmen terhadap gagasan bahwa sekolah adalah sebuah institusi yang didirikan
untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan komunitas setempat.
2. Mengakui bahwa mereka yang mempunyai kepentingan tersebut dilayani dalam
mendapatkan informasi bahwa sekolah diarahkan dan diselaraskan dengan harapan.
3. Menjaga kultur yang menghargai refleksi kritis.
4. Mengidentifikasi indikator-indikator yang valid dan dapat diandalkan untuk digunakan
dalam menyampaikan pertanggungjawaban.
5. Menganalisis dan menvalidasi informasi yang diperoleh dari evaluasi dan review dan
mengupayakan bersama yang lain untuk memilih strategi manajemen dan pembuatan
keputusan secara tepat dalam siklus manajemen tahunan.
Foskett (1998) mengidentifikasi pentingnya aspek relasi eksternal, yang memasarkan
sekolah atau perguruan tinggi, walaupun tingkat urgensitas dan tipe penclekatan berubah
sesuai dengan face pendidikan. Bagi FE College, pemasaran 'telah menjadi keasyikan
tersendiri... sejak periode inkorporasi (post 1992)' (ibid., hal. 54) walaupun demikian, dia
memandang bahwa bagi sekolah-sekolah dasar, aspek pemasaran penjualan relatif tidak
penting, dengan penekanan bahwa ia mendasarkan diri pada hubungan dan pentingnya
promosi. Dalam sekolah-sekolah menengah, penekanan pemasaran cenderung dikaitkan dengan
pilihan orangtua.
Pemasaran merupakan sebuah aspek relasi eksternal yang penting, yang mana la
mempunyai tingkat kemungkinan aplikasi khusus untuk manajemen strategis, dan ia
merupakan salah satu aspek dimana guru kepala atau kepala sekolah secara konsisten, telah
banyak berperan dalam sekolah, meski ia dapat dibuktikan sekarang (ibid.) bahwa
tanggungjawab dipikul oleh tim manajemen senior, atau badan penasehat yang memiliki
keanggotaan yang lebih lugs daripada tim manajemen senior.

Kepemimpinan Strategic
Mengidentifikasi sebuah strategi yang ada dalam suatu orientasi pemasaran sangat penting bagi
sekolah danperguruan tinggi. Peran utama kepala sekolah dan tim manajemen senior adalah
memberikan contoh teladankepemimpinan dalam manajemen strategis. The National Standard
for Headicachers (TTA, 1998, hal. 9) mengidentifikasi 'arah danpengembangan strategis
sekolah' sebagai kunci dan arch utama pars kepala bagian. Standar tersebut mengidentifikasi
mendefmisikan masalah itu sebagai; 'para kepala guru yang bekerja dengan badan pemerintah,
mengembangkan sebuah pandangan strategis untuk sekolah dalam komunitasnya' dan
menganalisisdan merencanakan untuk masa depannya dan pengembangan selanjutnya dalam
konteks lokal, nasional dan internasional'.
Dalam kaitannya dengan perencanaan strategis dalam jenjang pendidikan tinggi,
Lumby (1998, hal. 102) berkomentar tentang pentingnya peran kepemimpinan: `mencapai
suatu tujuan bergantung pada lebih dari sekedar kejelasan tujuan. Kekuasaan dan kapabilitas
seseorang dalam memimpin sangat penting dalam mencapai perubahan:
Stress telah menekankan pentingnya peran pemimpin dalam menegakkan visi sekolah
atau perguruan tinggi. Walaupun demikian, kepemimpinan juga berkaitan dengan
implementasi strategi:
"Pemimpin tidak cukup hanya mempunyai visi, juallah visi tersebut dan kembangkan,
yang membiarkan orang lain menerjemahkannya ke dalam aksi. Implementasi perencanaan
strategis memerlukan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan, yang dfikuti dengan kemampuan
kreatifuntuk memahami perubahan dan bagaimana masalah dapat diatasi secara tepat" (Hall,
1998, hal. 145).

Referensi
Valerie Hall, dalam tulisannya yang berjudul: Stra-
tegic Leadership in Education: Becoming, being, doing', Bab 10 dari buku Strategic
Management in Schools and Colleges, mencatat beberapa hal berikut:
Hubungan antara manajemen dan kepemimpinan;
visi;
Kepernimpinan. transformasional;
Kepemimpinan pendidikan;
Kepemimpinan moral dan etis;
Kepemimpinan dalam sekolah atau perguruan tinggi-yang otonom.

Uraian
Poin penting yang ditekankan Hall (1998, hal. 134) adalah peran pemimpin sebagai kepala
sekolah dan tim manajemen senior yang mendukung terbentuknya kultur kolaboratif dan
terealisasikannya fungsi-fungsi kepemimpinan. Aspek kepemimpinan strategis selanjutnya yang
dibahas dalam bab tersebut adalah pentingnya struktur, khususnya pembentukan tim. Aspek
manajemen strategis yang berkaitan dengan itu adalah pentingnya me-manage orang-orang
yang ada dalam sebuah organisasi. Hall menegaskan bahwa hal ini akan sangat berhasil jika
model kepemimpinan kepala sekolah adalah model yang lebih menekankan pada
pemberdayaan daripada pemanfaatan berlebihan terhadap kekuasaan yang dimilikinya.
Dua mutu kepemimpinan strategis yang muncul dari bacaan tersebut adalah tuntutan
bagi pemimpin agar bersikap fleksibel dalam mengatasi sesuatu yang tidak diharapkan, dan
tuntutan bagi mereka untuk mempunyai'visi helikopter', yaitu suatu kernampuan untuk
berpandangan jauh ke depan. West-Burnham (1997, hal. 247) memandang pentingnya
sekolah untuk melakukan rekonseptualisasi kepemimpinan. Hal tersebut bertujuan untuk:
'merespon suatu dunia yang berubah'. Dia menegaskan. (dikutip dari ibid. hal. 235-43) tuntutan
pada:
Intelektualisme untuk memperkuat peran dan refleksi edukatif;
Seni yang berkaitan dengan visi, kreativitas dan komunikasi;
Spiritualitas prinsip-prinsip atau 'perspektif yang lebih tinggi'
berperan dengan model kepemimpinan yang memberdayakan orang lain dan sangat mampu
dalam berkomunikasi dengan staf dan siswa. Model kepemimpinan semacam itu adalah
model kepemimpinan transformasional dan edukatif
Ada suatu stereotip gender yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Sejumlah laki-laki dalam
manajemen senior menciptakan sebuah image yang menjurus pada pengabadian dirinya sendiri
(selfpertuating): 'Banyak model kepala guru laki-laki yang bersifat selektor, yang kemudian
menjadi dasar stereotip' (Morgan et. al, 1983, hal. 77). Stereotip tersebut dipertegas dengan:
asumsi yang tidak benar bahwa kepemimpinan adalah sebuah karakteristik laki-laki yang
memerlukan kekerasan fisik dan mental Berta kemampuan untuk mendekati kesulitan-kesulitan
dengan Tony Bush & Marianne Coleman

Kepemimpinan dalam Manajemen Pendidikan a:


Selanjutnya yang dibahas dalam bab tersebut adalah pentingnya struktur, khususnya
pembentukan tim. Aspek manajemen strategis yang berkaitan dengan itu adalah pentingnya me-
manage orang-orang yang ada dalam sebuah organisasi. Hall menegaskan bahwa hal ini akan
sangat berhasil jika model kepemimpinan kepala sekolah adalah model yang lebih
menekankan pada pemberdayaan daripada pemanfaatan berlebihan terhadap kekuasaan yang
dimilikinya.
Dua mutu kepemimpinan strategis yang muncul dari bacaan tersebut adalah tuntutan bagi
pemimpin agar bersikap fleksibel dalam mengatasi sesuatu yang tidak diharapkan, dan tuntutan
bagi mereka untuk mempunyai'visi helikopter', yaitu suatu kernampuan untuk berpandangan
jauh ke depan. West-Burnham (1997, hal. 247) memandang pentingnya sekolah untuk
melakukan rekonseptualisasi kepemimpinan. Hal tersebut bertujuan untuk: 'merespon suatu
dunia yang berubah'. Dia menegaskan. (dikutip dari ibid. hal. 235-43) tuntutan pada:
Intelektualisme untuk memperkuat peran dan refleksi edukatif;
Seni yang berkaitan dengan visi, kreativitas dan komunikasi;
Spiritualitas prinsip-prinsip atau 'perspektif yang lebih tinggi'
Kepercayaan moral atau integritas nilai-nilai;
Keinginan untuk melepaskan kekuasaan dan digantikan dengan kemampuan
mendelegasikan kekuasaan;
Kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan untuk mengetahui diri anda
sendiri dan diri orang lain, dan kemampuan untuk menciptakan relasi interpersonal.

Konseptualisasi ini menggunakan sebuah kosakata barn yang berkaitan dengan


kepemimpinan, tapi menekankan pada banyak hal tentang visi, kepemimpinan etis dan
pemberdayaan. Walaupun demikian, penggunaan bahasa yang bervariasi akan mendorong
pada teriadinya perubahan mind-set yang berkaitan dengan kepemimpinan. Perubahan
mind-set yang berkaitan dengan kepemimpinan bisa juga terjadi melalui penggunaan
konsep gender dalam menganalisis gays-gays kepemimpinan.

Gender dalam Kepemimpinan Pendidikan


Kebanyakan teori-teori kepemimpinan tidak hanya menolak peran wanita dalam
sekolah, tapi juga mengalarni bias gender dan terbentuk asumsi-asumsi yang tidak
benar tentang peran gender dalam organisasi. Kebanyakan teori hanya
memfokuskan pada peran laki-laki dalam organisasi (Schmuck, 1996, hal. 346).

Para wanita di Inggris Raya, dan di manapun, kebanyakan hanya berperan dalam
profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting
pemegang otoritas dalam se jumlah sekolah menengah, perguruan tinggi, danuniversitas
dan dalam administrasi lokal pendidikan, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar di Israel.
(Goldring dan Chen, 1994).

Referensi
Marianne Coleman dalam `Women in Educational Management', Bab 9 dari buku The
Principles of Educational management, menguraikan terra-terra kesetaraan gender dan
pengembangan karir bagi wanita. juga ada bagian-bagian khusus yang
memperkenalkan konsep model-model manajemen 'feminin' dan `maskulin' clan
sekolah, sekolah efektif.
Uraian
Aspek-aspek kepemimpinan dan manajemen yang dipandang 'feminin' ini adalah sama
dengan aspekaspek kepemimpinan dan manajemen yang saat ini dipandang efektif. Lebih
dari itu, beberapa bukti empirik yang muncul (hal. 191) membuktikan bahwa kebanyakan
wanita dalam kepemimpinan mampu berperan dengan model kepemimpinan yang
memberdayakan orang lain dan sangat mampu dalam berkomunikasi dengan staf dan siswa.
Model kepemimpinan semacam itu adalah model kepemimpinan transformasional dan
edukatif.
Ada suatu stereotip gender yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Sejumlah laki-laki
dalam manajemen senior menciptakan sebuah image yang menjurus pada pengabdian dirinya
sendiri (self-pertuating): Banyak model kepala guru laki-laki yang bersifat selector, yang
kemudian menjadi dasar stereotip (Morgan et.al.,1983, hall.77). Stereotip tersebut dipertegas
dengan :asumsi yang tidak benar bahwa kepemimpinan adalah sebuah karakteristik laki-laki
yang memerlukan kekerasan fisik dan mental serta kemampuan untuk mendekati kesulitan-
kesulitan dengan tanpa emosional (Gane dan Morgan, 1992, hal.53).
Keberadaan stereotip yang mengidentifikasi pemimpin sebagai peran laki-laki
didukung oleh penelitian di bidang manajemen yang dilakukan pada tahun 1970-an dan
dilakukan kembali pada tahun 1990-an: `salah satu hal penting yang mendiskreditkan peran
wanita dalam manajemen di semua negara adalah adanya stereotip yang mengasosiasikan
manajemen sebagai pekerjaan atau dunia laki-laki' (Schein, 1994, hal. 47). Temuan penelitian
Schein tersebut (ibid., hal. 48) adalah bahwa laki-laki dan perempuan. Cenderungmelihat pada
karakteristik utama manajer yang balk, yaitu yang memiliki:
Kemampuan kepemimpinan;
Rasa tanggungjawab;
Ketrampilan di bidang bisnis dan
Kemampuan analitis.

Perempuan dipandang oleh laki-laki dan perempuan lain, kurang memiliki


karakteristik-karakteristik tersebut. Ada sebuah stereotip tentang pekerjaan keras, atau mungkin
juga disebut agresif, pemimpin yang lebih asyik dengan tugas daripada relasi atau hubungan.
Sebaliknya, manajer perempuan dalam pendidikan cenderung diidentifikasi dengan aspek-
aspek manajemen yang'lembut', misalnya, aspek-aspek yang berhubungan dengan kerja pastoral
atau manajemen orang.
Penelitian di propinsi Shaanxi China menunjukkan bahwa:
"Manajemen dan kepemimpinan benar -benar tampak dengan adanya peran
perempuan dalam masyarakat, dan peran manajemen tersebut merupakan indikator
keberhasilan peran perempuan. Partisipasi perempuan dalam manajemen kemudian dapat
dilihat sebagai sebuah tipe 'pemindahan peran', dan, di mana la ada, is
mengarah pada tekanan sosial terhadap laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu,
terdapat suatu keyakinan umum bahwa perempuan kurang tampil sebagai sosokyang
besar, tapi is lebih teliti daripada laki-laki. Keyakinan tersebut menyatakan bahwa
perempuan lebih pantas untuk bersikap patuh" (Coleman et. al., 1998. 154).
Dalam sebuah studi tentang laki-laki dan perempuan dalam pendidikan di negara-
negara Afrika, Sri Lanka, Malaysia, dan Hongkong, Davies dan Gunawardena (dikutip dari
1992, hal. 82, 85) mengidentifikasi beberapa wilayah perbedaan antara lakilaki dan
perempuan. Studi tersebut disimpulkan:
1. bahwa laki-laki lebih concern terhadap hal-hal yang berhubungan dengan finansial dan
gaji daripada perempuan, yang lebih concern terhadap orangorang dalam sekolah dan
beban keria mereka;
2. 'dalarn hal upaya kompetitif. Sebaliknya perem-
puan lebih concern terhadap kerjasama dan team work;
3. laki-laki cenderung mudah pugs dengan pekerjaannya, sedangkan perempuan masih
ragu;
4. laki-laki menginginkan status dan penghargaan,adapun perempuan `tampak tidak
menginginkan status'.

Walaupun demikian, kesimpulan tersebut (ibid., hal. 88) tidak berarti bahwa semua laki-
laki dan perempuan berada dalam posisi yang bertentangan, namun bahwa beberapa laki-laki
cenderung mendominasikultur kekuasaan dan pendidikan: 'Dengan demikian hirarki tersebut,
bersifat status-oriented, yang secara vertikal membedakan institusi yang bersifat 'natural'
dalam mengorganisir sejumlah besar orang; dan bahwa segala sesuatu itu berputar terkadang
menang dan terkadang kalah. Hal tersebut adalah hal yang 'natural' bagi kemanusiaan
daripada merepresentasikan hanya khusus pada satu bentuk maskulinitas.'
Schmuck (1996, hal. 355) mengklaim bahwa perempuan bertindak sebagai 'Insider'
dan 'outsider' dalam organisasi.-organisasi pendidikan:
"Sebagai 'insider' mereka (perempuan) mengadopsi peran-peran, norms-norms, sikap-
sikap dan ekspektasi-ekspektasi tentang peran sebagai kepala sekolah atau
pengawas sekolah. Namun, karena kondisi peran-peran gender sosial
membutuhkannya, maka mereka tetap sebagai 'outsider' karena mereka tidak
merefleksikan ekspektasi-ekspektasi kultural peran pemimpin seperti laki-laki. Para ad-
ministrator perempuan berada dalam kondisi yang marjinal. Perempuan yang menjadi
administrator harus menemukan cars-cars barn untuk bertindak karena mereka tidak
memenuhi ekspektasi ekspektasi kultural sebagaimana yang dilakukan dan
dipenuhi oleh laki -laki dalam peran kepemimpinan".

Kepemimpinan Perempuan
Penelitian empirik tentang kepala-kepala sekolah perempuan dan pars manajer senior perempuan
lainnya mengindikasikan bahwa mereka cenderung. berperilaku model manajemen
transformatif dan partisipatif Ma yorit as (seki tar 85%) kepala perempuan sekolah
menengah di Inggris dan Wales (Coleman, 2000) menganggap dirinya memiliki model mana-
jemen kolaboratif danpeople-centered. Persepsi ini sangat kuat berkembang di tengah-tengah
kelompok usia muds di bawah umum 50 tahun. Model manajemen people-centered didukung
oleh sebuah studi tentang manajer perempuan dalam lingkungan bisnis di Hongkong dan China
(Chow dan Luk, 1996, hal. 35). Studi ini mengindikasikan bahwa perempuan menempati rating
atas dalam hal dirinya sebagai motivator yang dikaitkan dengan hubungan personal seperti
penghargaan terhadap kerja yang baik dan `mempunyai hubungan yang baik dengan atasan
dan kolega.
Identifikasi terhadap model manajemen kolaboratif dengan perempuan sebagai
pelakunya adalah sesuai dengan temuan-temuan awal, sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Penelitian tentang kepala-kepala guru dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat,
Inggris Raya, Australia, Selandia Baru dan. Kanada menunjukkan bahwa para. manajer
perempuan tampil bekerja secara koperatif dan memberdayakankoleganya Berta memfungsikan
team work secara efektif (Blackmore, 1989; Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Dalam
penelitan yang lebih lugs lagi tentang kepala-kepala sekolah dasar dan menengah di Inggris,
Jirasinghe dan Lyons (1996) mengelola suatu variasi tes kepribadian, yang mencakup kuesioner
kepribadian pekerjaan, kuesioner model tim Belbin dan kuesioner model kepernimpinan yang
dikutip dari penelitian Bass (1981). Dalam dimensi kuesioner kepribadian pekerjaan, kepala-
kepala sekolah perempuan (sekolah dasar dan menengah) mendeskripsikan dirinya sebagai sosok
yang lebih:
Supel
Demokratis
Perhatian
Artistik
Bersikap baik
Cermat dan. teliti
Berperasaan dan berhati-hati.

Menurut kuesioner tim Belbin, mereka cenderungmenjadi sosok:


Pekerja tim
Lengkap dan sempurna.

Mereka mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai pemimpin yang partisipatif dan
konsultatif.
Kepala-kepala sekolah perempuan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih:
Rasional
Relaks
Keras hati
Aktif
Kompetitif

Mereka tidak menunjukkan suatu preferensi khusus dalam peran-peran rim,


mereka mengidentifkasi diri mereka sebagai para pemimpin delegatif.
Adapun para pemimpin yang partisipatif, konsultatif dan delegatif bisa juga dikatakan
sebagai sosok yang tidak otokratis. Terdapat perbedaan penting antara kepala-kepala sekolah
laki-laki dan perempuan dalam mempersepsi diri mereka sendiri: 'Para kepala sekolah
perempuan mengklaim dirinya bersikap dengan model kepemimpinan yang berdasarkan pada
keputusan konsensus; mehbatkan seluruh kolega yang relevan dalam semua kegiatan, sehingga
dengan demikian bisa menjaga komitmen dan motivasi; dan berperilaku dengan model
kepemimpinan yang hangar dan bersahabat' Uirasinghe dan Lyons, 1996, hal. 61).
Pilihan kepala-kepala sekolah laki-laki terhadap kepemimpinan mpinan delegatif tidak
sampai pada level- pemberdayaan dan melibatkan staf:
"Para pemimpin percaya terhadap delegasi tugas dan tanggungjawab. Mereka
cenderung kurang berkomunikasi dengan Para stafnya dan mereka cenderung tidak secara
jelas memberikan instruksi atau kurang jelas dalam merencanakan tugas atau kerja staf
yang diawasinya. Para pemimpin semacam itu cenderung tidak meminta pandangan staf
tentang bagaimana seharusnya proyek dilaksanakan, tapi mereka cenderung simplistik
dalam menjalankan tugas dan kerja" (ibid.)

Shakeshaft (1989) meninjau ulang penelitan yang dilakukan di Amerika Serikat dengan
beberapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen:
Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan
bawahan, guru dan murid.
Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan dengan
koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan.
Mereka lebih informal.
Mereka concern terhadap perbedaan-perbedaan individual antara murid.
Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan daripada
seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap komunitas.
Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan daripada
laki-laki; oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam suatu dunia
yang terpendam dan gelisah (ibid., hal. 175)
Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervise, dan sementara
laki-laki dari administrasi.
Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki,
yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh bisa juga
berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada lakilaki.
Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen partisipatoris; dan
menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik.

Feminin dan Maskulin


Terkait dengan persoalan laki-laki dan perempuan, terms 'gender' (jika diaplikasikan dalam
peran-peran sosial) relatif bisa menjadi bebas nilai. Dalam hal. ini, `maskulin' tidak secara
eksklusif digunakan untuk lakilaki begitu pula dengan 'feminin' juga tidak secara eksklusif
digunakan untuk perempuan: "'Maskulin" dan "feminin" merepresentasikan suatu koherensi,
yaitu tipe ideal" yang konsisten. Gender tidak didefinisikan secara seks fisik. Oleh karena itu,
seorang individu bisa memiliki identitas yang sangat jelas sebagai seorang laki-laki (maskulin)
dan sekaligus memiliki sikap perempuan (feminin)' (Gray, 1989 hal. 43).
Gray (1993) telah mengidentifikasi dua paradigmayang bisa digunakan sebagai alas
untuk menguji isuisu gender, yang mencakup bidang manajemen, di dalam sekolah (lihat
Coleniafl, 1994b, hal. 189). Tipetipe mutu sebagaimana disusun oleh Gray tidak harus menjadi
eksklusif; setiap orang bisa mengakui mutu laki-laki dan perempuan dari dua daftar yang
disusun Gray. Bem Sex Role Inventory yang dikembangkan untuk kegunaan psikologi (Bem,
1974) juga mengidentifikasi kelompok-kelompok p e i rangkat yang berkaitan dengan
sikap maskulin dan feminin. Penelitian yang dilakukan. oleh Bem (1974) dan didukung oleh
Ferraro (1994), mengindikasikar, bahwa. pemimpin yang
sangat efektif adalah mereka mutu dari dua daftar tersebut.
Paradigma laki-laki danperempuan yang dibangun oleh Gray digunakan dalam
interview dengan lima kepala guru perempuan dari beberapa sekolah menengah dalam sebuah
negara (Coleman, 1996) dan dalam sebuah survey tentang selurLib kepala guru perempuan
sekolah menengah di Inggris dan. Wales (Coleman, 2000). Hasil dari dua kasus tersebut
menunjukkankeunggulan mutu feminin' di antara para kepala guru perempuan, tapi pilihan
tersebut sangat didukung dan diperkuat oleh keterlibatan mutu 'maskulin'. Mutu-mutu yang
terdapat dalam tabel 4.1 menyampaikan suatu alternatif yang didasarkan pada data empirik
tentang, paradigma feminin yang diidentifikasi oleh Gray (1993).
Tabel 4.1 Mutu yang teridentifikasi dari 50 %kepala guru atau lebih
Mutu %
Sadar terhadap perbedaan individu (f) 86.0
Perhatian (f) 79.4
Intuitif (f) 76.2
Toleran (f)
68.7
Kreatif (f) 68.0
Evaluatif (m) 31.1
Disiplin (m) 60.4
Informal (f) 59.4
Kompetitif (m) 50.6
Obyektif (m) 50.6

Total = 470; (f) = feminin, (m) = maskulin. Sumber : Gray (1993)

Secara umum, ia menunjukkan bahwa terdapat suatu identifikasi yang kuat tentang
ciri-ciri feminin pada sebagian kepala guru, dan juga terdapat suatu identifikasi yang lemah
tentang kebanyakan ciri-ciri maskulin. Walaupun demikian, ada sejumlah ciri-ciri maskulin,
khususnya'evaluatif,'disiplin','kompetitif dan 'obyektif , yang teridentifikasi dari 50% responden
atau lebih. Di samping itu, terdapat dua ciri-ciri feminin yang teridentifikasi dari responden yang
sangat sedikit: `subyektif dan 'non-subyektif . Defiasi ini bersumber dari stereotip-stereotip
yang memperkuat gambaran tentang suatu paradigma model manajemen feminin murni di
antara para kepala sekolah menengah perempuan di Inggris dan Wales dan menunjukkan suatu
model manajemen yang lebih netral (tidak memihak gender).

Kontribusi Perempuan terhadap Kepemimpinan


Di samping mengakui kurangnya kesempatan bagi perempuan, ada juga pengakuan terhadap
beberapa aspek mutu yang dimiliki perempuan di bidang keperhimpinan dan manajemen.
Ozga (1993, hal. 15) pernah melakukan refleksi tentang perempuan dalam manajemen
pendidikan. la menyimpulkan: Xami tidak menyatakan bahwa perempuan mempunyai
kapasitas 'natural' untuk me-manage secara lebih baik, tapi kami menyatakan bahwa model-
model komunikasi dan organisasi yang cukup familiar bagi perempuan merupakan model-
model manajemen yang efektif, yang bisa diterapkan dalam pendidikan'.
Shakeshaft (1989, hal. 186) menyimpulkan dari reviewnya tentang studi-studi empiris
bahwa: 'model-model komunikasi perempuan yang tradisional dan stereotip masih lebih baik
daripada model-model stereotip laki-laki'.
Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu model manajemen yang bisa
dianggap'feminin'dan bahwa model manajemen ini mudah ditemukan pada perempuan.
Pemikiran penting tentang kepemimpinan akan cenderung mengidentifikasi beberapa aspek
model feminin yang efektif dalam pendidikan. Beberapa pemimpin perempuan tampil dengan
mengadopsi suatu model yang bisa dikatakan sebagai model transformasional dan edukatif.
Stereotip-stereotip dan teori-teori tentang kepemimpinan masih didominasi oleh laki-
laki. Walaupun demikian, ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa pengalaman dan sifat
perempuan berbeda dari laki-laki, dan bahwa model kepemimpinan pendidikan laki-laki saja
tidak cukup. Di samping itu, bukti penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan
mampu tampil dengan kuat dalam kepemimpinan dan manajemen, sehingga efektifitas
kepemimpinan pendidikan saat ini meningkat.

Aktivitas
Lihat kembali daftar generalisasi tentang
kepemimpinan yang disampaikan di awal bab ini,
yang dikutip dari literatur utama (hal. 22). Ketika
anda membaca kembali daftar tersebut dalam konteks
buku ini secara keseluruhan, maka akan jelas bahwa
terdapat suatu pandangan tentang apa yang disebut
dengan pemimpin yang baik dalam pendidikan saat
ini. Kepemimpinan tidak dibatasi hanya pada kepala
sekolah atau kepala guru, tapi bisa juga lebih dari itu
sampai pada level manajer senior. Sebagaimana telah
kita ketahui, dalam kultur transformasional,
kepemimpinan mengalami perubahan.
Dengan mempertimbangkan konteks sekolah atau
perguruan tinggi anda, cobalah untuk
mengidentifikasi atau mengilustrasikan beberapa
contoh untuk daftar generalisasi.

Komentar
Tidak seperti contoh-"contoh generalisasi dalam institusi yang anda temukan, Beare at al. (1993,
hal. 147) menyampaikan ilustrasi untuk generalisasi tersebut; dalam hal tiga generalisasi:
1. Pemimpin yang baik memiliki suatu visi bagi organisasinya (kepala sekolah
menggambarkan atau membayangkan sekolah sebagai pusat pembelajaran bagi seluruh
komunitas).
2. Pernimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi (kepala
sekolah melibatkan anggota-anggota komunitas di setiap acara dan kegiatan sekolah).
3. Mutu stereotip 'maskulin' dan 'ferninin' adalah penting dalam kepemimpinan. Dengan
tanpa memperhatikan gender pemimpin (kepala sekolah sensitif dan perhatian
terhadap kebutuhankebutuhan personal (stereotip 'ferninin'); kepala sekolah
membantu dalam menumbuhkembangkan budaya kompetitif, pendekatan tim dalam
menjaga kedudukan akademik sekolah ('stereotip maskulin')).

Kepemimpinan dan Peran-perannya


Dalam diskusi tentang kepemimpinan, kita kadang- kadang membicarakan'peran'pemimpin
dengan tanpa mendefinisikan terlebih dahulu istilah 'peran'. Ada perbedaan penting yang harus
diketahui antara kepemimpinan atau posisi manajemen dan peran orang-orang organisasi dalam
menjalankan posisinya. Burnham (1969, hal. 72-3) menjelaskan tentang perbedaan tersebut:
"Posisi merupakan kumpulan hak dan tugas, yang berbeda satu sama lainnya, dan
dibentuk oleh sekelompok kecil orang seperti kepala sekolah, wakil atau. guru ... di
dalam suatu organisasi, posisi tersebut disusun secara hirarkis berdasarkan status,
danbisa juga disebut sebagai lokasi-lokasi peta organisasi".
"Diasosiasikan dengan setiap posisi dalam sebuah organisasi, ia merupakan sejumlah
harapan atau keinginan tentang sikap apa yang tepat bagi seseorang untuk
menduduki posisinya, dan sikap ini terdiri dari peran yang diasosiasikan dengan
kantor. Untuk membedakan dua istilah ini posisi dan peran, maka perlu
dinyatakan bahwa seseorang yang menduduki sebuah posisi, ia juga menjalankan
perannya... peran adalah aspek posisi yang dinamis".

Spesifikasi kerja disusun oleh kepala sekolah atau staf senior lainnya secara bersama-sama.
Spesifikasi kerja tersebut hanyalah merupakan starting poin negosiasi peran, yang merupakan
suatu proses berkelanjutan yang melibatkan seluruh anggota pemegang jabatan.
Kelompok peran harus terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
memainkan perannya secara tepat. Peran-peran tersebut harus mencakup peran atasan,
menengah, dan bawahan. la juga bisa mencakup, beberapa tempat atau posisi yang tepat
dalam menjalankan sebuah peran tertentu.
Coulson (1974, hal. 6-7) menggunakan konsep kelompok peran pada posisi wakil
kepala di sebuah sekolah menengah Inggris:
"Wakil kepala sekolah di sebuah sekolah dasar akan memahami bahwa orang-orang
tertentu memilikihak untuk menentukan posisinya sendiri. Orang tersebut akan
menentukan lelornpok peran'nya. Kelompok peran wakil kepala mencakup guru-guru di
sekolah, pengurus, siswa, orangtua, wakil kepala sekolah lainnya dan seterusnya. Cain
(1988) menyampaikan dua kriteria bagi `penentu peran yang efektif : (a) mereka
yang dipengaruhi dalam beberapa hal oleh sikap peran yang tergabung dalam;
dan (b) mereka yang berasal dari kelompok ini dengan suatu kekuatan melalui suatu
aktor di wilayah yang relevan dengan aksi... pengaruh dari kelompok peran tersebut
terganggu oleh adanya kemungkinan bahwa bahan yang sebenarnya adalah bukan
harapan aktual dari anggota kelompok peran, tapi persepsi wakil kepala terhadap
harapanharapan mereka".

Konsep kelompok peran. memberi seclikit nilai terhadap, pemegang jabatan tentang
bagaimana seharusnya is bertinclak. Walaupun demikian, secara praktis, pemegang jabatan
biasanya memiliki pandangan yang jelas tentang sifat peran, didasarkan pada pengalaman
profesional yang dialaminya selama beberapa tahun. Konsepsi personal ini berkaitan dengan
pandangan tentang kelompok peran yang dipahami untuk menentukan bagaimana suatu peran
akan dimainkan dalam setiap individu. Hall (1997, hal. 63) merujuk pada konsep'mengambil
peran dan membuat peran (role-taking and role-making)': 'alasan kenapaseorang individu
berperilaku rbecla dari cleskripsi formal kerjanya, bisa dilihat dari upaya individu membuat peran
untuk dirinya sendiri, dengan cara mencocokkannya dengan penafsirannya'.
Pengaruhnya terhadap individu terbukti ketika seseorang yang barn menempati
sebuah posisi. Perbedaan antara pemegang jabatan yang pertama dan yang kedua bisa dilihat
pada perbedaan penilaian perseorangan terhadap bagaimana pernan tersebut seharusnya
dimainkan, dan hal tersebut juga bisa dilihat pada perbedaan persepsi tentang pandangan kolektif
terhadap kelompok peran.
Di mana ada perbedaan antara pandangan pemegang peran dan anggota kelompok
peran, atau di mana ada ketegangan dalam peran, pemegang peran bisa mengalami konflik atau
ketegangan peran. Peran seorang dosen dan manajer menengah di pendidikan tinggi perlu
dilakukan perubahan dan reclefinisi. Dalam sebuah studi tentang peran kepala departemen di
universitas `baru' di Inggris, Smith (1996, hal. 248) mengidentifikasi `tingkat kecepatan
perubahan dankondisi ekonomi yang sulit di pendidikan tinggi' sebagai salah satu penyebab utama
tekanan. Dia melihat sumber utama konflik peran sebagai:
"Keseimbangan departemen dan stafnya yang sulit untuk merepresentasikan universitas
dan, pada saat bersamaan, universitas juga mengalami kesulitandalam merepresentasikan
departemen; kesulitan me-manage akademik, khususnya di beberapa wilayah disiplin staf dan
menyelesaikan konflik di antara staf, memperoleh dan me-manage sumber-sumber kondisi
ekonomi yang sangat sulit" (ibid.)

Tuntutan terhadap tempat tugas adalah penting dan bervariasi. Dalam salah satu studi
kasus yang dilakukan Smith (ibid., bal.'200), seorang dekan membuat daftar harapannya
terhadap kepala departemen:
"Saya memiliki banyak harapan. Mereka semua digaji. Saya mengharap mereka me-manage
dan memimpin departemen-departemennya secara efektif-, me-manage, memimpin dan
mengembangkan stafnya secara efektif; responsif terhadap perubahan; proaktif dan tidak reaktif
terhadap sesuatu yang terjadi pada diri kita; bekerjasama; menjalankan departemennya dalam
universitas; memahami dan mengimplementasikan misi, menggunakan misi sebagai sebuah
startingpoin".
"Saya berharap para kepala departemen mampu mendelegasikan tugas dan tidak berpikiran bahwa
membuat Surat itu lebih penting. Saya berharap mereka mempunyai visi rencana strategic Fakultas
hingga"tahun 2000".

Sebuah studi tentang persepsi peran kepala-kepala guru sekolah negeri dan swasta di
Pakistan (Simkins et. al., 1998) menemukan bahwa persepsi kepala guruterhadap peran
mereka dipengaruhi oleh paksaan dan tekanan eksternal. Khusus berkaitan dengan perbeclaan
antara sekolah-sekolah negeri dan swasta: 'ia n-iempengaruhi tugas kepala-kepala guru,
keduanya secara obyektdmisalnya, membolehkan dan melarang kebebasan di beberapa hal
tertentu dan secara subyektif dalam membuat harapan terhadap kepala-kepala guru tentang
bagaimana mereka seharusnya memainkan peran mereka' (ibid., hal. 144).
Grace (1995) melaporkan tentang ketegangan yang dialami para kepala guru sebagai
suatu hasil perubahan kultur yang jauh dari nuansa kooperatif pada saat meningkatknya tingkat
kompetisi antar sekolah. Hall (1997) mengomentari tentang kemungkinan adanya ketegangan
peran kepala-kepala guru dan gubernur sebagai suatu hasil dari perubahan kekuasaan dan
tentang kemungkinan gubernur sekolah di Inggris dan Wales. Walaupun demikian, mungkin saja
para kepala guru bisa menerima perubahan semacam ini dalam hal kebebasan lain yang mereka
alami, agar mampu mendefinisikan kembali peran mereka secara lebih luas.
Salah satu wilayah ketegangan peran potensial pernah diidentifikasi oleh Hughes
(1989, hal. 11) sebagai dua model peran, dimana:
"Ketua eksekutif organisasi bisa jugs dipertimbangkan dengan kepemimpinan profesionalnya.
Elemen penting dalam model tersebut adalahketerkaitan antara dua aspek. Hal ini dapat
dilihat dalam kaitannya dengan kepemimpinan sekolah, tapi ia jugs dapat
diaplikasikan pada level lain dan dalam model-model organisasi pendidikan lainnya".

Meskipun ia bermanfaat dalam mempertimbang. kan dua aspek seorang pemimpin


pendidikan, penelitian terhadap kepala-kepala guru menunjukkan bahwa terdapat:
"Inter-penetrasi dua sub-peran. Yaitu, bahwa tenaga profesional administrasi tidak bekerja
seperti seorang pemimpin profesional begitu pula dengan hal lainnya seperti
ketua eksekutif. Ketrampilan dan sikap pengetahuan profesional dimungkinkan
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seluruh tugas yang dilakukan kepala
organisasi profesional" (ibid., hal. 15).

Perubahan menuju otonomi sekolah yang luas di Afrika Selatan dibuktikan dengan
pembuatan sekolahsekolah Model C, dimana sekolah banyak bertanggungjawab terhadap masalah
finansial. Redefinisi peran dari memimpin profesional menuju ketua eksekutif yang ditunjukkan
dengan perubahan adalah jelas:
"Semua kepala sekolah sepakat bahwa fungsi-fungsi bare diberikan kepada mereka sejak
implementasi Model C. Menurut mereka, sekarang mereka telah melaksanakan peran
manajer sekolah. Hal itudiketahui bahwa peran mereka telah mengalami perubahan dari
'pernimpin instruksional' menuju 'manajer', dan dikatakan bahwa ini mencakup
peran 'direktur' dan 'ahli finansial'. Seorang interviewee menyesal bahwa dia tidak
mempunyai waktu untuk mengunjungi guru-guru atau berjalan mengitari sekolah, sejak
tugas-tugas administratif membatasi geraknya dalam kantor. Seorang kepala sekolah
lainnya merasa bahwa ia sekarang telah menjadi `manajer umum': seorang manajer
personal, finansial, tempat dan instruksional" (Steyn dan Squelch, 1994, hal. 186).

The national Standards for Headteachers (TTA, 1998) conclong pada kepala guru
sebagai `tenaga profesional yang memimpin sekolah', dan di Inggris Raya peran kepala sekolah
atau kepala guru sekarang didefinisikan lebih jelas daripada sebelumnya. Pengembangan pe-
latihan kepala guru dan kompetensi (ibid.), dantuntutan inspeksi eksternal dan kontrol
undangundang lainnya, telah memfokuskan perhatiannya
pada peran kepala:
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peran kepala atau ketua didefinisikan
secara mentah, dengan persiapan yang tidak cukup, dan diperlakukan secara khusus
daripada sebuah cars strategic (misalnya, Hall et. al., 1986). Pada tahun 1990-an, kepala
guru dimungkinkan untuk mempunyai deskripsi kerja dan kesempatan yang luas
untukpelatihan dan pengembangan. Tidak seperti peranperan manajemen lainnya
(misalnya, wakil kepala guru dan manajer menengah), peran kepala telah menjadi subyek
penelitian" (Hall, 1997, hal. 66).

Aktivitas
Pertimbangkan peran yang dimainkan oleh seorang
manajer senior dengan tanggungiawab
kepemimpinan di sekolah atau Perguruan tinggi
anda. Cobalah mengidentifikasi anggota-anggota
kelompok peran dan beberapa pengaruh dan
harapan internal dan eksternal yang bisa
mempengaruhi peran tersebut. Di samping itu,
wawancarailah Para manajer senior dan tanyakan
tentang pandangan-pandangannya.

Uraian
Anggota-anggota kelompok peran mencakup semua orang yang bekerja dengan pemimpin
individu. Mereka jugs dimungkinkan mencakup beberapa pihak berikut ini: siswa; orangtua;
stafpendukung; representasi pihak eksternal, pemimpin dan anggota-anggota komunitas; keluarga
mereka; dan pemegang jabatan sebelumnya.
Hall (1997, hal. 62) menegaskan beberapa pengaruh eksternal yang menyebabkan terjadinya
kesulitan dalam upaya mengidentifikasi sifat peran manajemen dan kepemimpinan:
"Kesulitan ini muncul dari beberapa sumber, yang mencakup perbedaan tujuan dalam
pendidikan, persepsi guru terhadap did mereka sendiri sebagai 'tenaga-tenaga
profesional' dan interaksi preskripsi pemerintah pusat dan interpretasi guru secara
individu. Di samping itu, ada beberapa perubahan global yang ikut mempengaruhi
kerja guru dan kultur di era post-modern".

Poin-poin Pembelajaran
Walaupun teori kepemimpinan cenderung didasarkan pada model-model barat, secara
praktis is dapat ditemukan beberapa kultur yang berbeda.
Kepemimpinan dan manajemen merupakan konsep yang berbeda, tapi secara umum
ditemukan di dalam peran yang sama
Studi-studi tentang kepemimpinan dalam pendidikan mendukung adanya kepemim-
pinan transformasional, kepemimpinan edukatif, dan perhatian terhadap dimensi
moral dari kepemimpinan.
Meningkatnya otonomi dalam institusi pendidikan akan menciptakan tantangan barn
bagi pemimpin, yang mencakup perlunya bertanggungjawab terhadap kepemimpinan
strategis.
Mutu feminin dalam kepemimpinan dan manajemen berbeda dari stereotip kepe-
mimpinan, tapi memiliki kesamaan pada model-model kepemimpinan dan manajemen
yang secara umum dipandang cukup efektif.
Peran pemimpin merupakan suatu konsep yang lebih lugs daripada sekedar definisi kerja/
tugas.
Ketegangan peran bisa disebabkan oleh konflik pandangan dan juga bisa disebabkan oleh
pengaruh perubahan dalam lingkungan eksternal
IIIB. HAKIKAT MANAGEMEN DALAM PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai bagian yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh
dan --meningkatkan pengetahuan serta keterampilan individu di luar sistem pendidikan
yang perilaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih
mengutamakan pada praktik daripada teori. Sementara itu, keterampilan di sini adalah
meliputi pengertian phsical

Pendidikan sangat penting bagi setiap individu. Pendidikan secara singkat didefinisikan
sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja di masa mendatang.
Hal-hal berikut penting untuk mengetahui konsep pendidikan lebih lanjut, yaitu:

1. Pendidikan adalah proses secara sistematis untuk mengubah tingkah laku seseorang untuk
mencapai tujuan organisasi. Pendidikan berkaitan dengan keahlian clan kemampuan
untuk melaksanakan pekerjaan saat ini. Pendidikan memiliki orientasi saat ini dan
membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil
dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Program pendidikan formal adalah usaha pemberi kerja untuk memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk memperoleh pekerjaan atau bidang tugas yang sesuai dengan
kemampuannya, sikap clan pengetahuannya.

Pendidikan adalah salah satu bentuk edukasi yang mana prinsip-prinsip pembelajaran
berikut dapat diterapkan, yaitu:
1. pihak yang diberikan pendidikan (trainee) harus dapat dimotivasi untuk belajar;
2. trainee harus mempunyai kemampuan untuk belajar;
3. proses pembelajaran harus dapat dipaksakan atau diperkuat;
4. pendidikan harus menyediakan bahan-bahan yang dapat dipraktikkan atau diterapkan;
5. bahan-bahan yang dipresentasikan harus memiliki arti yang lengkap clan memenuhi
kebutuhan;
6. materi yang diajarkan harus memiliki arti yang lengkap dan memenuhi kebutuhan.
Berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan masalah pengembangan.
Pengembangan adalah suatu proses mendapatkan pengalaman, keahlian dan sikap untuk
menjadi sesuatu atau meraih sukses sebagai pemimpin dalam organisasi mereka. Oleh
karena itu, kegiatan pengembangan ditujukan untuk membantu seseorang untuk dapat
menangani persoalannya di masa mendatang, dengan memerhatikan tugas dan kewajiban
yang dihadapi sekarang. Karena adanya perbedaan antara kegiatan pendidikan (sekarang)
dan pengembangan (di masa mendatang) sering kabur. Hal ini merupakan salah satu
permasalahan utama. Apabila dilihat dari perspektif keseluruhan, perbedaan antara kegiatan
pendidikan untuk bidang tugas yang sekarang dengan kegiatan pengembangan untuk suatu
tanggung jawab di masa mendatang, makin kabur. Apa yang umumnya suatu perusahaan
lakukan untuk menciptakan sesuatu, adalah suatu organisasi di mana orang-orang bergabung
untuk melakukan kegiatan belajar yang terus-menerus. Walaupun pendidikan dapat
membantu seseorang untuk mengerjakan pekerjaan mereka saat ini, keuntungan dari program
pendidikan dapat diperoleh sepanjang kariernya dan dapat membantu peningkatan kariernya di
masa mendatang. Sementara itu, pengembangan dapat membantu individu untuk memegang
tanggung jawab di masa mendatang.
Kegiatan pendidikan dan pengembangan memberikan dividen (keuntungan) kepada
seseorang dan perusahaan, berupa keahlian, keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset
yang berharga bagi perusahaan. Melalui pendidikan akan menambah kemampuan seseorang
dan demikian Pula bagi perusahaan yang mementingkan tuntutan para. Manajer dan
departemen SDM. Akan tetapi, kegiatan pendidikan dan pengembangan adalah bukan solusi
yang universal yang dapat memenuhi semua kebutuhan. Rancangan tugas yang efektif,
pemilihan seleksi, penempatan dan kegiatan-kegiatan lainnya juga diperlukan. Meskipun
begitu kegiatan pendidikan dapat memberikan kontribusi yang berarti kalau dikerjakan secara
benar
Sebelum mengurai pada sub-bab berikutnya sebaiknya dikemukakan dahulu beberapa
konsep pendidikan, yaitu konsep tradisional dan konsep Sistem.

1. Pendidikan Berdasarkan Kosep Tradisional


Gambar 1.1
Konsep pendidikan tradisional
1.Identifikasi 2.Penetapan 3.Merancang 4.Pelaksanan 5.Evaluasi
kebutuhan sasaran program program pendidikan
pendidikan

Feed Back

2. Pendidikan Berdasarkan Konsep Sistem


Gambar 1.2
Konsep Pendidikan Sistem

1.identifikasi
kebutuhan
pendidikakan
2.Penetapan
5.Evaluasi
sasaran
pendidikan

3.Merancang
4.Pelaksanan
program
program

B. SASARAN PENDIDIKAN

Pada dasarnya setiap kegiatan yang terarah tentu harus mempunyai sasaran yang jelas
yang memuat hasil yang ingin dicapai dengan melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian
pula dengan program pendidikan. Hasil yang ingin dicapai hendaknya dirumuskan
denganjelas agar langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan pendidikan dapat diarahkan
untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sasaran pendidikan yang dapat dirumuskan dengan
jelas akan dijadikan sebagai acuan penting dalam menentukan materi yang akan diberikan,
cara dan sarana-sarana yang diperlukan. Sebaliknya sasaran yang tidak spesifik atau terlalu
umum akan menyulitkan penyiapan dan pelaksanaan pendidikan sehingga tidak dapat
menjawab kebutuhan pendidikan.
Sasaran pendidikan yang dapat dirumuskan dengan jelas akan berhasil dalam hal-hal
sebagai berikut :
1) Menjamin konsistensi dalam menyusun program pendidikan yang mencakup materi,
metode, cara penyampaian,sarana pendidikan ;
2) memudahkan komunikasi antara penyusun program pendidikan dengan pihak yang
memerlukan pendidikan;
3) memberikan kejelasan bagi murid tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka
mencapai sasaran;
4) memudahkan penilaian peserta dalam mengikuti pendidikan;
5) memudahkan penilaian hasil program pendidikan;
6) menghindarkan kemungkinan konflik antara penyelenggara dengan orang yang meru-
pakan objek pendidikan mengenai efektivitas pendidikan yang diselenggarakan.

Tujuan atau sasaran dari pendidikan pads dasarnya dapat dikembangkan dari serang -
kaian pertanyaan sebagai berikut:

1. Keefektifan/validitas pendidikan
Apakah peserta memperoleh keahlian, pengetahuan, dan kemampuan selama
pendidikan.

2. Keefektifan pengalihan/transfer ilmu pengetahuan.


Apakah pengetahuan, keahlian atau kemampuan yang dipelajari dalam pendidikan dapat
meningkatkan kinerja dalam melakukan tugas.
3. Keefektifan/validitas intraorganisasional.
Apakah kinerja pekerjaan dari grup barn yang menjalani program pendidikan di
perusahaan yang sama dapat dibandingkan dengan kinerja pekerjaan dari grup
sebelumnya.

4. Keefektifan/validitas interorganisasional.
Dapatkah suatu program pendidikan yang diterapkan di satu perusahaan berhasil di
perusahaan yang lain.

Sementara itu, tujuan dari pendidikan dan pengembangan adalah sebagai berikut:

1. untuk meningkatkan kuantitas output;


2. untuk meningkatkan kualitas output;
3. untuk menurunkan biaya limbah dan perawatan;
4. untuk menurunkan jumlah dan biaya terjadinya kecelakaan;
5. untuk menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta meningkatkan kepuasan kerja;
6. untuk mencegah timbulnya antipasti karyawan ;

Dengan demikian, kegiatan pendidikan pada dasarnya dilaksanakan untuk mengha-


silkan perubahan tingkah laku dari orang-orang yang mengikuti pendidikan. Perubahan
tingkah laku yang dimaksud di sini adalah dapat berupa bertambahnya pengetahuan, ke -
ahlian, keterampilan clan perubahan sikap clan perilaku. Oleh karena itu, sasaran pendidikan
dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe tingkah laku yang diinginkan, antara lain.
1. Kategori psikomotorik yang meliputi pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat me-
lakukan gerakan-gerakan yang tepat sehingga sasarannya adalah agar orang tersebut
memiliki keterampilan fisik tertentu.
2. Kategori afektif, yang meliputi perasaan, nilai, sikap, sehingga sasaran pelatihan dalam'
kategori ini adalah untuk membuat orang mempunyai sikap tertentu.
3. Kategori kognitif, yang meliputi proses intelektual seperti mangingat, memahami,
menganalisis sehingga sasaran pendidikan pada kategori ini adalah untuk membuat
orang mempunyai pengetahuan dan keterampilan berpikir.

Pada dasarnya pendidikan mencakup beberapa aspek dari ketiga kategori di atas, se-
bagai contoh untuk mencapai tingkat psikomotorik tertentu diperlukan belajar pada kategori
afektif clan kognitif. Demikian pula halnya pada aspek kognitif menjadi perhatian utama,
belajar pada kategori psimotorik clan afektif turut berperan.
Selain itu perlu pula diketahui jenis sasaran pendidikan sehingga setiap pendidikan yang
diselenggarakan akan mencapai sasaran:

1. Berdasarkan tingkatannya
a. Sasaran primer. Sasaran ini merupakan inti dari program'pendidikan. Sasaran pri-
mer ini sangat penting karena akan memberikan arti kejelasan dan kesatuan atas
segala kegiatan selama kegiatan pendidikan berlangsung
b. Sasaran sekunder. Sasaran ini merupakan inti dari masing-masing pelajaran dalam
suatu program pendidikan. Sasaran sekunder ini sesungguhnya sebagai penjabaran
lebih lanjut dan sekaligus merupakan bagian integral dari sasaran primer.

2. Berdasarkan kontennya
a. Berpusat pada kegiatan instruktur. Di sini menggambarkan spa yang dilakukan
instruktur selama pelatihan dilaksanakan (seperti, mendemontrasikan cara meng-
gunakan program Microsoftword).
b. Berpusat pada bahan pelajaran, Di sini menggambarkan bahan yang disampaikan
dalam pendidikan (seperti, prosedur mengaktifkan komputer).
c. Berpusat pada kegiatan peserta. Di sini menggambarkan kegiatan yang dilakukan
peserta selama pendidikan (seperti, peserta mampu menggunakan komputer)

C. MANFAAT PENDIDIKAN

1) Manfaat untuk murid


Membantu murid dalam membuat keputusan clan pemecahan masalah yang lebih
efektif.
Melalui pendidikan, variabel pengenalan, pencapaian prestasi, pertumbuhan, tang-
gung jawab dan kemajuan dapat diinternalisasi dan dilaksanakan.
Membantu mendorong clan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri.
Membantu murid mengatasi stres, tekanan, frustasi, dan konflik.
Memberikan informasi tentang meningkatkya pengetahuan kepemimpinan, keteram-
pilan komunikasi dan sikap.
Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan.
Membantu murid mendekati tujuan pribadi sementara meningkatkan keterampilan
interaksi.
Memenuhi kebutuhan personal peserta dan pelatih.
Memberikan nasihat dan jalan untuk pertumbuhan masa depan.
Membangun rasa pertumbuhan dalam pendidikan.
Membantu pengembangan keterampilan mendengar, bicara, dan menulis dengan
latihan.
Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru.

2. Manfaat untuk perusahaan, ketika seseorang telah memasuki dunia kerja


Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif
terhadap orientasi profit.
Memperbaiki pengetahuan kerja clan keahlian pada semua level perusahaan.
Memperbaiki moral murid.
Membantu seseorang untuk mengetahui tujuan perusahaan.
Membantu menciptakan image perusahaan yang lebih baik.
Mendukung otentisitas, keterbukaan dan kepercayaan.
Meningkatkan hubungan antara atasan dan bawahan.
Membantu pengembangan perusahaan.
Belajar dari peserta.
Membantu mempersiapkan dan pelaksanaaan kebijakan perusahaan.
Memberikan informasi tentang kebutuhan perusahaan di masa depan.
Perusahaan dapat membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif.
Membantu pengembangan promosi di dalam.
Membantu pengembangan keterampilan kepemimpinan, motivasi, kesetiaan, sikap,
dan aspek lain yang biasanya diperlihatkan pekerja.
Membantu meningkatkan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan kualitas kerja.
Membantu menekan biaya dalam berbagai bidang seperti produksi, murid, admi-
nistrasi.
Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kompetensi dan pengetahuan per-
usahaan.
Meningkatkan hubungan antara buruh dengan manajemen.
Mengurangi biaya konsultan luar dengan menggunakan konsultan internal
Mendorong mengurangi perilaku merugikan.
Menciptakan iklim yang baik untuk petumbuhan.
Membantu meningkatkan komunikasi organisasi.
Membantu karyawan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stres dan tekanan kerja.

3. Manfaat dalam hubungan murid, intra dan antargrup dan pelaksanaan kebijakan.
Meningkatkan komunikasi antargrup dan individual.
Membantu dalam orientasi bagi karyawan barn dan karyawan transfer
ataupromosi
Memberikan informasi tentang kesamaan kesempatan dan aksi affirmative.
Memberikan informasi tentang hukum pemerintah dan kebijakan internasional.
Meningkatkan keterampilan interpersonal.
Membuat kebijakan perusahaan, aturan dan regulasi.
Meningkatkan kualitas moral.
Membangun kohesivitas dalam kelompok.
Memberikan iklim yang baik untuk belajar, pertumbuhan dan koordinasi.
Membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja dan hidup.

D. KEBUTUHAN PENDIDIKAN

Pendidikan akan berhasil jika proses mengisi kebutuhan pendidikan yang


benar. Pada dasarnya kebutuhan itu adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan,
meningkatkan keterampilan atau sikap, masing-masing bisa dengan kadar yang
bervariasi. Kebutuhan dapat digolongkan menjadi:

1 Kebutuhan memenuhi tuntutan sekarang. Kebutuhan ini biasanya dapat


dikenali dari prestasi karyawannya yang tidak sesuai dengan standar hasil
kerja yang dituntut pada jabatan itu. Meskipun tidak selalu penyimpangan ini
dapat dipecahkan dengan pendidikan.
2 Memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya. Pada tingkat hierarki mana pun
dalam perusahaan sering dilakukan rotasi jabatan. Alasannya bermacam-macam,
ada yang menyebutkan untuk mengatasi kejenuhan, ada juga yang menyebutkan
untuk membentuk orang generalis. Seorang manajer keuangan, sebelum
dipromosikan menjadi general manajer tentunya perlu melewati jabatan fungsional
lainnya.
3 Untuk memenuhi tuntutan perubahan.perubahan-perubahan, baik intern
(perubahan sistem, struktur organisasi) maupun ekstern (perubahan teknologi,
perubahan orientasi bisnis perusahaan) sering kali memerlukan adanya tambahan
pengetahuan barn. Meskipun pada saat ini tidak ada senjang antara kemampuan
orangnya dengan tuntutan jabatannya, tetapi dalam rangka menghadapi perubahan
di atas dapat diantisipasi adanya sepanjang yang bersifat potensial.

E. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENDIDIKAN

Dalam praktik pekerjaan sering didengar adanya sementara orang yang tidak
mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan hasil baik. Tentunya nantinya akan
menimbulkan masalah, jika prestasi kerjanya saling berkaitan dengan unit kerja lainnya.
Idealnya setiap penempatan seseorang pada posisi apa pun dalam suatu perusahaan harus
ada kesesuaian antara kemampuan clan tuntutan jabatannya/pekerjaannya. Jika terjadi
perbedaan di antara keduanya, inilah yang disebut dengan kesenjangan prestasi yang salah
satunya dapat diatasi dengan pendidikan.
Selanjutnya, setiap upaya yang dilakukan untuk melakukan penelitian kebutuhan
pendidikan adalah suatu usaha untuk mengumpulkan dan menganalisis gejala -gejala clan
informasi -informasi yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan-kesenjangan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi jabatan tertentu
dalam suatu perusahaan. Upaya untuk melakukan identifikasi pendidikan dapat dilakukan
antara lain dengan cara sebagai berikut.

1. Membandingkan uraian pekerjaan/jabatan dengan pengetahuan clan keterampilan


yang dimiliki seseorang.
2. Analisis penilaian prestasi, beberapa prestasi yang di bawah sadar dianalisis
dan ditentukan apakah penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh karena
kurangnya pengetahuan dan keterampilan seseorang.

3. Analisis catatan tentang seseorang, yaitu catatan seseorang yang berisi tentang
latar belakang pendidikan, hasil tes seleksi penerimaan, pendidikan yang
pernah diikuti, promosi, demosi, rotasi, penilaian prestasi secara periodik,
temuan hasil pemeriksaan satuan pemeriksaan, kegagalan kerja, hasil komplain
dari pelanggan, banyaknya hasil produksi yang gagal, efektivitas kerja yang
menurun, produktivitas kerja yang menurun, in-efisien dalam berbagai hal clan
lain-lain. Dari catatan ini bisa ditentukan kekurangankekurangan yang dapat diisi
melalui pendidikan, dan is masih memiliki potensi untuk dikembangkan.

4. Analisis laporan kegiatan bisnis, yaitu laporan lain tentang keluhan pelanggan,
keluhan murid, tingkat absensi, kecelakaan kerja, kerusakan mesin, dan lain-lain
yang dapat dipelajari dan disimpulkan adanya kekurangan-kekurangan yang
bisa ditanggulegi dengan pendidikan.

5. Analisis masalah, yaitu masalah yang dihadapi sektor usaha secara umum
dipisahkan ke dalam dua masalah pokok, yaitu masalah yang menyangkut sistem
dan muridnya. Masalah yang menyangkut murid sering kali ada implikasinya
dengan pendidikan. Jika sektor usaha menghadapi masalah utang-piutang bisa
digunakan sistem penagihan dan melatih murid yang menangani penyelesaian utang
piutang tersebut.

6. Rancangan jangka panjang sektor usaha, rancangan jangka panjang ini mau
tidak mau memasukkan bidang murid di dalam prosesnya. Jika dalam
prosesnya banyak sekali diantisipasi adanya perubahan-perubahan,
kesenjangan potensi pengetahuan dan keterampilan dapat dideteksi sejak awal.
Dari kebutuhan pendidikan yang bersifat potensial ini dapat dirumuskan sasaran
dan rancang programnya.

Sumber informasi untuk menyelenggarakan suatu pendidikan dapat diperoleh


dari catatan, laporan dan rencana yang telah dibuat dengan baik sehingga akan
memudahkan dalam melakukan identifikasi kebutuhan pendidikan. Terkadang tidak sedikit
informasi untuk analisis kebutuhan pendidikan tersimpan di benak orang-orangnya, tanpa
tersurat dengan baik sehingga dapat diketahui semua pihak. Informasi kebutuhan
pendidikan tersebut perlu digali dengan berbagai cara, antara lain:

Observasi di lapangan.
Mengumpulkan permintaan pendidikan dari pars pengguna jasa pendidikan.
Mengadakan wawancara dengan: target peserta, atasan individu yang bersangkutan,
bawahannya atau temannya.
Diskusi kelompok.
Kuesioner.
Permintaan karyawan karena kebutuhan pekerjaan.
Tes tertulis.
Komentar pelanggan.
Kebutuhan pelanggan/masyarakat.
Komentar pesaing.
Hasil temuan satuan pemeriksa
IVA. MANAGEMEN PEMBELAJARAN
A. Latar Belakang dan Konsep Model Pembelajaran
Perkembangan teknologi pendidikan kontemporer semakin pesat. Dari waktu ke
waktu muncul metode, model dan strategi baru pembelajaran untuk mempercepat penguasaan
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan oleh pembelajar. Dalam konteks ini muncul apa
yang disuarakan para ahli dengan revolusi cara belajar sebagai respon terhadap pembelajaran
yang berfokus terhadap guru, sekarang diganti dengan pendekatan pembelajaran berpusat
kepada anak (student centered learning). Di Indonesia juga diperkenalkan kurikulum berbasis
kompetensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Teori, strategi, teknik dan model pembelajaran semakin berkembang di abad ke-21
ini. Di Indonesia dengan penerapan kurikulum berbasis kompetensi. maka keragaman model
pembelajaran yang diaplikasikan oleh guru untuk mempercepat penguasaan kompetensi dasar
siswa setelah mempelajari suatu mata pelajaran semakin penting.
Menurut Karli dan Yuliariatiningsih (2003) berkenaan dengan reformasi kurikulum di
Indonesia yang dilaksanakan tahun 2004 yaitu kurikulum berbasis kompetensi maka perlu
dipahami hakikat pembelajaran yang bermakna terutama beratnya menerapkan kurikulum
berbasis kompetensi. Pengertian kompetensi sebagai suatu pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai dasar yang, direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan
berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi
kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk
melakukan sesuatu.
Untuk itu diperlukan berbagai model pembelajaran yang memberikan kontribusi
penting bagi kurikulum berbasis kompetensi. Model pembelajaran tuntas merupakan suatu
model yang banyak dimanfaatkan paru guru dalam pembelajaran dan instruktur dalam
pelatihan Hal itu dimaksudkan agar peserta didik dapat menguasai materi pembelajaran
secara tuntas begitu proses pembelajaran yang dirancang oleh guru untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan peserta didik berakhir.
Joyce dan Weil (1996:7) menjelaskan model pembelajaran adalah deskripsi dari
lingkungan pembelajaran yang bergerak dari perencanaan kurikulum mata pelajaran, bagian-
bagian dari pelajaran untuk merancang material pembelajaran, buku latihan kerja program,
multi media, bantuan kompetensi untuk program pembelajaran. Dengan kata lain, model
pembelajaran adalah bantuan alat-alat yang mernpermudah siswa dalam belajar.
Jadi keberadan model pengajaran adalah berfungsi membantu siswa memperoleh
informasi, gagasan, keterampilan, nilai-nilai, cara berpikir, dan pengertian yang diekspresikan
mereka. Karena itu, posisi guru adalah mengajar siswa bagaimana cara belajar. Untuk jangka
panjang sebenarnya pembelajaran harus menciptakan iklim yang memungkinkan siswa
meningkatkan kemampuan pembelajaran yang lebih mudah dan efektif pada masa depan.
Sebab pengertian dan keterampilan diperoleh mereka dengan baik apabila mereka sudah
melakukan pembelajaran tuntas. Jadi pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan
salah satu model pembelajaran, seperti halnya model pembelajaran bersama(cooperative
learning).

B. Model Pembelajaran Tuntas


1. Pengertian Pembelajaran Tuntas
Maka perlu diketahui apa sebenarnya model pembelajaran tuntas (mastery learning).
Menurut S.Nasution (2000:35) pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa
semua anak didik kepada tujuan. Apa yang diajarkan hendaknya dipahami sepenuhnya oleh
semua anak.
Tujuan guru mengajar adalah agar bahan yang disampaikannya dikuasai sepenuhnya
oleh semua murid dan bukan hanya oleh beberapa orang saja.
Bagaimanapun, murid-murid berbeda secara individual dalam caranya belajar,
sementara perbedaan individual ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar tiap
anak dapat berkembang sepenuhnya serta menguasai bahan pelajaran secara tuntas. Bahwa
tujuan ini tidak rnudah dapat kita pahami, ini adalah sebagai tantangan bagi para guru agar
pekerjaan ini dilaksanakan secara lebih profesional.
Tujuan proses belajar mengajar secara ideal adalah agar bahan yang dipelajari
dikuasai sepenuhnya oleh murid. Ini disebut sebagai mastery learning atau belajar tuntas.
Pembelajaran tuntas diambil dari pemikiran brillian Benyamin S.Bloom (1968)
terhadap munculnya format tertentu dari perencanaan pengajaran. Menggunakan beberapa
perbedaan dengan model belajar yang dibuat Carrol (1963) diusulkannya bahwa
pembelajaran menuju kriteria 100 % atau pembelajaran tuntas (learning mastery) seharusnya
tidak hanya suatu keinginan saja. Tetapi juga suatu pencapaian tujuan untuk semua pelajar
yang selama ini sangat kecil persentasenya dalam penguasaan program sekolah.
Pembelajaran tuntas (pelajaran yang sesungguhnya baik) memberikan arah yang
sesuai yang dapat dibuat pada waktu diberikan kepada pelajar dimana memberikan kualitas
pembelajaran yang ditangani pada tingkat lebih tinggi. Kualitas ini mencakup tes evaluasi
formatif dari semua pelajaran dan umpan balik terhadap para pelajar (hal. 108).
Sebenarnya masih ada sumber pemikiran yang mempengaruhi gagasan-gagasan yang
harus meyakinkan maksud dari pengukuran berdasarkan kriteria, sebagaimana dijelaskan oleh
Glasser (1963), dan Glaser & Klaus (1963). Dalam jenis penilaian, pengukuran dibuat dari
pencapaian semua pemahaman kinerja/prestasi. Karena itu, pengukuran prestasi adalah
berhubungan terhadap sejumlah standar atau kriteria, sejumlah contoh dari pengukuran
berdasarkan kriteria berasal dari jenis-jenis hasil belajar yang disebut keterampilan
intelektual. Seperti halnya perekaman terhadap pembelajaran matematik, tata bahasa, prinsip
keilmuan dan lainnya. Pengukuran berdasarkan kriteria dari mata pelajaran tertentu seperti
sejarah dan literatur menghadirkan pertimbangan yang sukar, yang tidak memiliki pemecahan
memuaskan.
Hal ini merupakan pendapat penting bagi alas an-alasan berikut: bahwa pembelajaran
tuntas bermakna pembelajaran 100%. Sepanjang kriteria 100 % dapat dipertahankan/dicapai
maka konsep pembelajaran tuntas jelas sangatlah kuat.
Langkah kedua dari pembelajaran tuntas sebagai suatu yang sudah diterima adalah
membuat pembelajaran tuntas ke dalam suatu sistem pengajaran. Usaha ini merupakan
kontribusi oleh penelitian Anderson (1976) dan Block(1971) di antara peneliti lainnya.
Penelitian ini menyumbangkan gagasan bahwa perbedaan besar pencapaian dalam tipe kelas
di sekolah akan bersifat substansial berkurang oleh keikutsertaan pelajar dalarn waktu lebih
banyak dan dengan jaminan bahwa semua pelajar rnenerima sejumlah umpan balik dengan
perbaikan pengajaran. Kemudian bila guru berpegang teguh terhadap penyesuaian ini dalam
menyampaikan pengajaran dan prosedur kelas mereka maka tingkat pencapaian dalam sernua
kelas meningkat. Para pelajar yang ada dalam bagian yang lebih rendah dan distribusi
kelasnya akan ikut dan didorong untuk latihan untuk mempelajari ulang, mengikuti prosedur
baru bahkan bila mereka memerlukan waktu lebih banyak dan kemudian akan menjadi
pelajar yang lebih baik.
Segera setelah Bloom membiarkan pembelajaran tuntas membumi untuk membuka
rencana induk. Kemudian dia membuat buku yang berjudul Human Characteristic and
School Learning (1976). Di dalam buku ini ditemukan pembahasan bahwa hasil
pembelajaran ditentukan oleh dua jenis karakteristik dari pelajar atas masukan ke dalam
pengajaran- kemampuan kognitif dan karakteristik afektif. Sejatinya hal ini dipengaruhi oleh
pengajaran di sekolah sebelumnya, tetapi dalam hal faktor utama oleh lingkungan ekstra
sekolah, di rumah tangga dan di masyarakat. Kemudian kita memberikan pengaruh
pengajaran pada dirinya, karena hal itu akan menuju pembelajaran berkualitas.
Berbagai bukti yang terkumpul dan disimpulkan oleh Bloom mengindikasikan bahwa
mutu pembelajaran dalam suatu mata pelajaran tertentu seperti halnya matematik dan bahasa
asing telah dilaksanakan dengan variabel berikut: (a) Menyampaikan maksud kepada pelajar,
(b) Partisipasi pelajar dalam aktivitas pembelajaran, (c) Penguatan diterima oleh pelajar, dan
(d) Ketentuan umpan balik harus berisikan perbaikan. Pendapat ini bertolak dari keinginan
untuk mencatat bahwa karakteristik masukan kognitif masuk ke dalam gambaran juga dalam
pengertian khusus dari prasyarat kepada tugas-tugas pembelajaran.
Pendapat di atas merupakan gagasan tentang kualitas pembelajaran. Khususnya,
bahwa perlu dipertegas kembali rancangan pembelajaran, sebagai sebuah variabel, Bloom
merancangnya sebagai variabel alternatif. Semua hal itu merupakan faktor yang termasuk
strategi bahwa perancang pembelajaran, atau para guru adalah dapat membuat dan juga
melakukan, sehingga mampu mempengaruhi kualitas pembelajaran.
Verifikasi terbaru pengaruh dari berbagai variabel kualitas pembelajaran telah banyak
dijelaskan oleh Bloom (1984). Menurut Bloom kemajuan belajar siswa dalam prestasi atas
kelas pembelajaran konvensional dikenali dari berbagai variabel, yaitu: (a) Peningkatan dari
prasyarat, (b) Peningkatan maksud dan partisipasi, dan(c) Umpan balik pembelajaran tuntas
dan prosedur perbaikan. Prosedur berikutnya adalah juga dicoba dalam perpaduan dengan
variabel lainnya. termasuk satu totalitas perangkat yang dibuat atas kompleks yang disebut
kegiatan tutorial. Sedangkan bagi masing-masing pelajar akan menerima pengaruh yang
berbeda dari variabel yang ada. Lebih jauh, berbagai variabel terkombinasikan pengaruhnya
yang muncul terhadap tambahan. Jadi perlu juga diperhatikan kemajuan yang dicapai dari
satu tutorial kepada tutorial lainnya yang juga berguna bagi bentuk kualitas yang diinginkan.
Jika guru membuat pemahaman mereka bekerja juga, maka bentuk dari peningkatan
persyaratan. peningkatan maksud/ tujuan, dan partisipasi pelajar, serta pemberian penguatan
umpan balik serta pengkoreksian dapat semuanya dilakukan dalam kelas. Jika perancang
pembelajaran memutuskan melakukan juga, maka bentuk kualitas yang diinginkan dapat
dibangun ke dalam suatu pembelajaran yang sesungguhnya/baik dengan media tertentu.
Maka variabel pembelajaran berkualitas ini, dan dalam kombinasinya dengan prosedur dari
pembelajaran tuntas, akan dapat memunculkan prestasi dengan sejumlah dari dana atau lebih
tujuan.
Ide-ide tentang pembelajaran tuntas (mastery learning) telah dikemukakan oleh
tokoh-tokoh seperti H Morrison (1962), B.F Skinner (1954), J.I. Goodlad dan R.H.Anderson
(1959), John Carrol (1963), Jerome Brunner (1966) P.Suppes (1966), dan R.Glassers (1968).
Sedangkan di Indonesia, ide tentang pembelajaran tuntas ini dipopulerkan oleh Badan
Pengembangan dan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) yang dikaitkan dengan
pembaharuan kurikulum (kurikulum 1975, dan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
dengan pengajaran modulnya).
Menurut S. Nasution (2001), bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penguasaan penuh terhadap mata pelajaran dalam proses pembelajaran, yaitu :
1) Bakat untuk mempelajari sesuatu.
Bakat, misalnya inteligensi mempengaruhi prestasi belajar. Jadi bakat yang tinggi
menyebabkan prestasi tinggi dan bakat rendah menyebabkan prestasi rendah.
Anggapan ini menyebabkan guru lemah dalam menghadapi tantangan bila ternyata
peserta didik lebih banyak yang kurang berbakat dalarn suatu mata pelajaran tertentu.
Meskipun rnengakui perbedaan bakat, namun bagi John Carrol itu cuma masalah
perbedaan waktu yang diperlukan untuk menguasai bakat tidak menentukan tingkat
penguasaan atau jenis bahan yang dipelajari. Jadi setiap orang dapat mempelajari
bidang studi apapun hingga batas yang tinggi asal diberi waktu yang cukup di
samping syarat-syarat lain.
2) Mutu Pengajaran
Guru yang baik adalah guru yang dapat membimbing setiap anak secara individual
hingga ia menguasai bahan pelajaran sepenuhnya (S.Nasution,2001).
3) Kesanggupan untuk memahami pengajaran,
4) Ketekunan,
5) Waktu yang tersedia untuk belajar.

2. Rancangan Sistem Pembelajaran Tuntas


Persoalan utama yang mengemuka di sini adalah bagaimana melakukan suatu analisis
tugas? Bukan bagaimana untuk mengenalkan konsep baru, tetapi bagaimana cara-cara dalam
suatu pembelajaran dapat mempengaruhi pembelajaran dari suatu konsep. Sebagaimana ada
dalam gagasan rancangan pengajaran, maka hal tersebut berkaitan dengan pembelajaran
tuntas, yaitu : Ada sejumlah deretan gagasan utama pembelajaran tuntas dari rancangan
pengajaran yang sama (kecuali dalam peristilahan), dan ada sejumlah pendapat kunci dari
rancangan sistem pengajaran yang tidak temasuk dengan pembelajaran tuntas.
Rancangan pengajaran dimulai dengan apa yang disebut analisis kebutuhan, tujuannya
adalah untuk menentukan apa saja kebutuhan untuk dipelajari. Kegiatan ini diikuti oleh
analisis tugas yang menyatakan apakah yang dipelajari sebagai seperangkat dan tujuan
performa anak. Hal ini merupakan pernyataan deskripsi dari perilaku atau kinerja manusia
yang dapat diobservasi. Adalah diperlukan membuat banyak deskripsi dari mata pelajaran
tertentu, dan hampir dalam setiap pokok bahasan tertentu. Sebagai contoh dalam mata
pelajaran sains, boleh dibuat: Memberikan suatu deskripsi tercetak dari kegagalan tubuh dari
suatu berat khusus, mendemonstrasikan prinsip gravitasi dengan suatu ekspresi di lapangan
dan nilai dari kekuatan pada him. Suatu perbedaan jenis tujuan, juga bagi suatu mata
pelajaran dalam sains mungkin saja menjadi: Menjelaskan langkah suksesi dalam
pengetahuan ilmiah dan logika yang mengarah terhadap meninggalkan konsep lainnya.
Ada asumsi bahwa suatu tujuan tertentu menjadi eksis, atau bahwa dapat dimulai,
kemudian langkahnnya adalah mengklasifikasi tujuan pembelajaran secara sederhana tujuan
diklasifikasikan sebagai jenis hasil pembelajaran seperti informasi verbal, keterampilan
intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan rnotorik. Adapun alasan mengklasifikasi
tujuan adalah tidak hal utama, sebab tujuan tersebut dinilai (diukur) secara berbeda. Sejatinya
hal tersebut merupakan tindakan adil. Alasan utama mengklasifikasi hasil pembelajaran
bagaimanapun sebab tujuan memerlukan perbedaan aktivitas dan model pengajaran bagi
pencapaian, efektivitas yang sangat besar.
Taktik Pengajaran
Taktik pengajaran adalah diturunkan dari dua sumber berbeda. Hal itu dikelompokkan
dari sumber yang cocok dan saling melengkapi. Suatu sumber adalah observasi dari
pengajaran yang telah dilaksanakan dan bagaimana hal itu berlangsung dalam usaha untuk
mengajar. Hal ini tidak sepenuhnya tepat, apakah yang dilakukan seorang seorang pengajar?
Itu suatu pandangan yang sempit. Apakah pekerjaan guru dalam menyampaikan pengajaran?
Atau sumber buku apakah yang dipakai guru dalam menyampaikan pengajaran?.
Bagaimanapun hal ini terbatas sebagai suatu taktik dan bersifat temporal, hal ini sebagai
suatu rangkaian langkah-langkah, suatu pnosedur dalam struktur pengajaran.
Kedua, sumber taktik adalah teori pembelajaran. Model dan proses informasi
diusulkan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) beberapa tahun lalu diidentifikasi suatu sumber
dan struktur konsep tercakup dalam proses memperoleh informasi dan mentransformasikan,
sebab itu proses ini adalah penyampaian dalam memori jangka panjang dan belakangan
disebut sebagai suatu kinerja/ penampilan manusia yang dapat diamati. Proses ini atau
seperangkat proses, bentuk dasar dan apa yang disebut teori Pembelajaran.

1) Proses Informasi Dalam Pembelajaran


Penerimaan dan masuknya rangsangan, maka informasi dicatat secara singkat dalam
satu atau lebih pencatatan ingatan, kemudian berjalan analisis bentuk atau pemilihan persepsi.
Informasi yang kemudian masuk ke dalam memori dalam waktu singkat dapat disimpan
dalam waktu terbatas kira-kira hanya 20 jam. Disana informasi didengar ulang dan juga
masalahnya menuju kepada penyusunan semantik dalam bentuk informasi yang masuk ke
dalam ingatan waktu jangka panjang. Informasi yang tersimpan dalam memori jangka
panjang akan dapat diberlakukan kembali ke dalam memori jangka pendek, yang dalam hal
ini begitulah cara kerja memori. Pekerjaan mernori (ingatan kesadaran) merupakan
kombinasi dari informasi baru dan informasi lama yang memberikan fungsi pekerjaan sangat
penting bagi pembelajaran baru. Jadi intinya menghubungkan informasi baru dengan
informasi lama tentang sesuatu sehingga terjadi pembelajaran. Perilaku pelajar yang tercipta
akibat rangsangan informasi dapat bertambah dan berkembang sehingga dapat diamati.
Ada dua aspek lain dari model proses informai yang perlu diungkapkan. Satu hal
adalah pentingnya komponen dan kontrol eksekutif (excutive control) yakni kontrol
pembelajar atas proses pembelajaran dan memori pelajar bertugas sebagai pengendali dalam
menerima informasi, sebagai contoh; atas penempatan perhatian atau cara masuknya
informasi. Kedua tambahan bentuk dari proses tersebut yang disebut pengayaan
(reinforcement). Bagaimanapun model ini harus bekerja dalam memperkaya informasi yang
sudah ada. Dengan kata lain, pengaruh dari hukum yang diasumsikan untuk menangani dalam
tindakan pembelajaran tertentu. Setelah pengaruh dari keberhasilan dalam penampilan
diketahui pengaruhnya secara baik atas bentuk kinerja pelajar. Adapun langkah dan model
pembelajaran ini adalah mencakup yakni urutan langkah, urutan transformasi, informasi dari
seseorang kepada orang lain. Kemudian model di atas menempatkan bahwa pembelajaran
adalah suatu rangkaian proses. Semua dari unsurnya akan terjadi dalam beberapa detik, tetapi
unsur-unsur tersebut terdiri dari sejumlah langkah yang harus diidentifikasi.
Pengajaran adalah sekumpulan dari peristiwa eksternal. Sementara hal-hal yang
berkaitan dengan peristiwa internal disebut proses pembelajaran. Jadi peristiwa eksternal
tidak otomatis menciptakan proses internal (pembelajaran). Akan tetapi proses eksternal
menampilkan pengaruh proses internal untuk mendukung seluruh proses pembelajaran. Hal
ini mengarahkan atas gagasan bahwa pengajaran dapat didefinisikan sebagai seperangkat
perencanaan yang disengaja dalam rancangan proses peristiwa eksternal dirancang untuk
mendukung proses pembelajaran.

2. Peristiwa Pembelajaran
Dua sumber observasi empiris terhadap prosedur informasi, dan model proses
informasi dan pembelajaran manusia serta memori keduanya tercakup dalam bentuk peristiwa
pembelajaran. Peristiwa ini sebagaimana hal-hal berikut, tersusun dalam suatu urutan dan
pengajaran, yaitu :
1) Menciptakan perhatian,
2) Menginformasikan kepada pelajar tentang tujuan pembelajaran,
3) Merangsang, dengan mengulang pembelajaran terdahulu.
4) Menghadirkan rangsangan,
5) Memberikan bimbingan dalam pembelajaran,
6) Menetapkan performa,
7) Memberikan umpan balik informasi,
8) Penilaian prestasi belajar,
9) Peningkatan perhatian ulang dan mentransfernya.
Mata pelajaran apapun yang dipelajari oleh siswa, tolak ukur sesungguhnya dalam
sistem pendidikan masa depan adalah seberapa besar kemarnpuannya dalam membangkitkan
gairah belajar secara menyenangkan. Pendekatan ini akan mendorong setiap siswa untuk
membangun citra diri positif yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
mereka.
Dalam setiap sistem yang terbukti berhasil yang dipelajari di seluruh dunia yaitu citra
diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran. Selain itu yang penting bagi para
pelajar, harus ada empat tingkat pembelajaran dalam kurikulum pendidikan, yaitu
menekankan :
1) Citra diri dan perkembangan pribadi,
2) Pelatihan keterampilan hidup,
3) Belajar tentang cara belajar dan acara berpikir,
4) Kemampuan-kemampuan akademik, fisik dan artisitik yang spesifik.
Dalam konteks ini tujuan belajar harus jelas dalam diri siswa. Adapun tujuan belajar
adalah :
1) Mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik,
yang dapat dilakukan dengan lebih cepat, lebih baik dan lebih mudah,
2) Mengembangkan kemampuan konseptual umum agar mampu belajar menerapkan
konsep yang sama atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain,
3) Mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah
dapat digunakan dalam segala tindakan. (Dryden & Vos, 2001:109).
Secara umum, setiap peristiwa pengajaran adalah mampu mendukung proses internal
pembelajaran. Jika tidak ada dukungan tertentu diberikan oleh kontrol eksekutif pelajar, yang
kehadirannya sangat penting dari setiap peristiwa tambahan menuju kemungkinan bagi
keberhasilan dalam pembelajaran atau mencapai prestasi.

Hubungan Peristiwa Pembelajaran terhadap Pembelajaran Tuntas


1) Merangsang ingatan terhadap pembelajaran terdahulu. Dalam konsep Bloom, kegiatan
ini adalah sama pengertiannya dengan peningkatan prasyarat kognitif. Seperti halnya
dalam penanganan pengajaran bagi keterampilan intelektual dalam matematik dan
pembelajaran bahasa, adalah penting sekali mengkondisikan untuk menjamin prasyarat
keterampilan agar ingatan mereka muncul kembali tentang materi pelajaran
sebelumnya. Dalam perkataan lain guru harus menghadirkan ingatan mereka ke dalam
peristiwa belajar yang akan dimulai.
2) Menghadirkan rangsangan.
Peristiwa ini berkenaan dengan kegiatan untuk menekankan atau mencerahkan bentuk
berbeda dari apa yang akan dipelajari. Jika pembelajaran adalah dari suatu teks cetakan,
kernudian gagasan kuncinya adalah tulisan, cetakan dalam berbagai bentuk susunan
halaman atau lainnya. Di sini perlu ditegaskan bahwa harus dibuat peningkatan tujuan.
3) Membuat tujuan dalam pembelajaran.
Dalam rancangan pengajaran, tujuan dalam pembelajaran diwujudkan dalam sejumlah
pencapaian jenis hasil pembelajaran yang diharapkan. Bagaimana arahan dalam
mewujudkan tujuan secara cepat dan tepat serta lebih baik. Tujuan pembelajaran
bermakna pengorganisasian dan elaborasi isi pembelajaran. Aktivitas ini dapat
dilakukan oleh pengajar sebagaimana dirancangnya terlebih dahulu apa yang akan
dilakukan pelajar. Jelasnya, peristiwa pembelajaran ini disebut menyediakan arahan
pembelajaran yang memiliki gagasan tujuan, atau pengorganisasian dan partisipasi
pelajar.
4) Mencapai performance/kinerja pelajar.
Kegiatan ini tentu saja untuk memeriksa bahwa segala sesuatunya sudah dipelajari.
Bagaimanapun kegiatan ini mungkin juga harus dihubungkan dengan partispasi pelajar.
Dalam pemahaman minimal, pelajar memerlukan partispasi dengan menunjukkan
apakah mereka benar-benar sudah belajar.
5) Memberikan informasi umpan balik.
Mempekirakan umpan balik sesungguhnya satu dari peristiwa penting pengajaran.
Tahap ini adalah informasi umpan balik, digunakan untuk menyatakan temuan
penelitian dan Estes (1972) yang mendemonstrasikan kekuatan informasi versus
penghargaan sebagai bentuk penguatan. Peristiwa ini bersifat konsisten dengan konsep
umpan balik dan pembelajaran tuntas. Bagaimanapun perbaikan umpan balik sebagai
pekerjaan dalam pembelajaran tuntas, berpengaruh sebagai sesuatu prosedur yang lebih
dalam diri pelajar adalah diajarkan dalam cara-cara memperbaiki kesalahan-kesalahan
pelajar.
Jika perancang pengajaran menggunakan peristiwa pembelajaran lebih baik, mereka
akan bekerjasama ke dalam pelajaran yang dirancang pada gagasan-gagasan, yaitu: (a)
Peningkatan prasyarat, (b) Memberikan pengorganisasian isi dan mencapai tujuan, (c)
Menjamin partisipasi pelajar, dan (d) Menggunakan informasi dan umpan balik perbaikan.
Secara keseluruhan peristiwa pengajaran tersebut dapat dikelompokkan kepada
pengaruh minor dan pengaruh mayor terhadap sistem pembelajaran. Adalah penting untuk
membedakan ketiga jenis hasil kognitif. Hal ini muncul dari kemampuan belajar yang bersifat
kualitatif, struktural dan perbedaan satu dengan lainnya. Semua itu dinamakan dengan
informasi verbal, keterampilan intelektual dan strategi kognitif. Beberapa hubungan dapat
dibangun antara ketiga hal tersebut dengan sembilan jenis kognitif sebagaimana dikemukakan
Bloom sebagai teori kognitif dalam pembelaiaran mencakup pengetahuan prosedur
pengetahuan atau produksi dan keterampilan manajemen pribadi atau proses pengendalian.
Bagaimanapun lima hasil pembe1ajaran yaitu keterampilan intelektual, strategi
kognitif. informasi verbal, sikap dan keterampilan motorik memerlukan perbedaan isi khusus
dan konfigurasi peristiwa pembelajaran bagi pembelajaran efektif.
Perbedaan kondisi Pembelajaran bagi hasil belajar yang berbeda.
Sungguh perbedaan kondisi pembelajaran akan menuntut hasil pembelajaran yang
berbeda terlihat dalam peristiwa pembelajaran yaitu sejak dari rangsangan kembali dan hasil
pembelajaran terdahulu menghadirkan rangsangan dan memberikan arahan belajar.
Bila guru merencanakan keterampilan intelektual untuk dipelajari, maka hasil
pembelajaran terdahulu yang perlu dirangsang harus berisikan syarat-syarat keterampilan.
Tentu saja di sini diperlukan gagasan tentang peningkatan prasyarat. Bila yang diperlukan
adalah informasi verbal, maka hasil pembelajaran terdahulu yang harus dirangsang adalah
tidak persis berkaitan dengan prasyarat. Bahkan merupakan pengorganisasian pengetahuan
yang sangat rumit. Menurut Ausabel, istilah modern tentang teori kognitif adalah Skema.
Pengetahuan ini tidak persis memerlukan prasyarat, dan lebih banyak berhubungan secara
umum dengan informasi verbal daripada persyarat keterampila intelektual. Manakala hal
yang dinginkan keterampilan motorik, maka hasil terhadap minat harus relevan dengan
pengetahuan terdahulu yaitu keterampilan prosedur yang disebut juga bagian dari
keterampilan dasar. Sedangkan bila yang diperlukan adalah sikap, maka hasil pembelajaran
terdahulu yang harus dirangsang adalah berbeda. Hal itu mungkin mencakup pengetahuan
dan situasi dalam hal sikap yang akan diberikan. Tentu saja diperlukan untuk memperhatikan
model kemanusiaan dan kualitas yang membuat penghargaan terhadap pribadi.
Sejatinya, peristiwa pembelajaran berlangsung berbeda bergantung atas apa hasil
pembelajaran yang diharapkan. Jika tujuan pembelajaran adalah pembelajaran percakapan
bahasa Jerman, maka dorongan harus diberikan pemahaman secara oral prosedur berbahasa
Jerman sehingga peserta didik jangan sarnpai membuat kesalahan dalam mengucapkan dan
menulis.
Demikian juga dalam hal memberikan arah bimbingan pembelajaran berbeda dalam
setiap jenis hasil pembelajaran yang diharapkan. Seperti halnya pembelajaran yang mengarah
informasi verbal maka diperlukan hanya bersifat elaborasi berbagai informasi yang
berhubungan dengan pengetahuan baru sebagaimana dipelajari sehingga peserta didik dapat
membangun pengetahuan baru secara akrab.
Model pembelajaran tuntas merupakan satu model pembelajaran yang menawarkan
tingkat pencapaian tujuan pembelajaran yang maksimal dengan proses tertentu. Sebagai
sebuah model yang dikembangkan secara rasional, sistematis dan praktis, maka model
pembelajaran tuntas perlu diaplikasikan guru secara terpadu dengan model lain untuk
mencapai sasaran pembelajaran secara maksimal dalam konteks kurikulum berbasis
kompetensi.
Prinsip-prinsip rancangan pembelajaran adalah memiliki pengaruh besar terhadap
prosedur yang baik dalam pembelajaran tuntas. Hal yang penting bagi perancang dan guru
adalah menyiapkan berbagai variabel proses pembelajaran tuntas, yaitu peningkatan
persyaratan, memberikan organisasi rangsangan yang baik, jaminan partisipasi pembelajar,
memberikan umpan balik dengan koreksi. Dengan partisipasi yang tinggi setelah perbaikan
maka diperkirakan biasanya pembelajar akan menguasai tujuan semua domain secara tuntas.

C. Model Pembelajaran Kooperatif


Ada banyak cara dalam pembelajaran kooperatif untuk digunakan di dalam kelas.
Fakta dasar dari pembelajaran adalah memahami konsep, alasan tingkat tinggi, pemecahan
masalah dan penerapan yang memungkinkan tindakan terbaik dalam kelompok pembelajaran
kooperatif.
Menurut Kemp, at. al (1994:151) pembelajaran kooperatif adalah suatu jenis khusus
dan aktivitas kelompok yang berusaha untuk memajukan pembelajaran dan keterampilan
sosial dengan kerjasama tiga konsep ke dalam pengajaran, yaitu: (a) Penghargaan Kelompok
(b) Pertanggung Jawaban Pribadi, dan (c) Peluang Yang Sama Untuk Berhasil. Berdasarkan
tiga komponen tersebut disarankan bahwa pembelajaran kooperatif membutuhkan
perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang sistematik. Pembelajaran kooperatif lebih
banyak diarahkan kepada perencanaan pelajar untuk mengelompokkan dan menyampaikan
kepada tutor dan anggota kelompok pelajar yang lain atau penyempurnaan kegiatan.
Sungguh tugas yang lebih konseptual, pemecahan masalah diperlukan, dan jawaban
lebih kreatif diperlukan. tentu lebih besar keuntungan pembelajaran kooperatif daripada
kompetitif dan pembelajaran individual.
Pembelajaran kooperatif menunjukkan bahwa sasaran pembelajaran sangat penting,
tugas belajar bersifat rumit dan konseptual, pemecahan masalah diperlukan, berpikir divergen
atau kreatif diperlukan, kualitas kinerja sangat diharapkan, strategi berpikir tingkat tinggi dan
berpikir kritis sangat dibutuhkan, pengembangan sosial dari pelajar adalah satu sasaran utama
pembelajaran.
Ada dua bentuk utama pembelajaran kooperatif melibatkan para pelajar dalam kerja
kelompok, kepada: (a) Membantu teman pelajar yang lain untuk menguasai materi pelajaran,
dan (b) Menyempurnakan suatu proyek kegiatan bersama seperti laporan tulisan, presentasi,
percobaan, karya seni dan berbagai kebajikan. Dalam dua situasi pembelajaran kooperatif ini
biasanya diinginkan petunjuk-petunjuk berikut:
1) Batas ukuran murid adalah tiga atau lima orang,
2) Susunan kelompok pelajar bersifat heterogen dalam tingkat kemampuan, jenis kelamin
dan etnis,
3) Aktivitas perencanaan secara hati-hati dengan mempertimbangkan susunan kelas, materi
tugas dan kerangka waktu,
4) Membangun sejumlah penghargaan (pengakuan atau sesuai yang dapat dilihat,
tergantung atas usia kelas para pelajar) untuk memotivasi kelompok,
5) Menjamin bahwa setiap orang dalam kelompok memiliki tugas khusus dengan itu
mereka akan berhasil melalui usaha-usaha yang sesuai. Selain itu, pelajar yang memiliki
kemampuan rendah mungkin diarahkan kepada yang lain dan tidak mendapat
keuntungan dari kegiatan ini,
6) Mengajarkan mata pelaaran menggunakan presentasi pengajar atau pendekatan individu
yang. menggunakan pembelajaran kooperatif sebagai pelengkap peninjauan ulang,
pelaksanaan pengulangan dan pengayaan.
7) Memantau dan membantu apa yang diperlukan kelompok,
8) Mengacu kepada tingkatan/kelas sebagai hal ii banyak kemungkinan atas kontribusi
anggota setiap individu pelajar atau prestasinya, menggunakan penghargaan kelompok
sebagai tujuan/sasaran dan pengakuan terhadap keberhasilan kelompok (Kemp
1994:152).
Dalam banyak kasus para guru mungkin saja memodifikasi kurikulum untuk
memenuhi pembelajaran kooperatif. Ada lima elemen dasar yang menjadi cakupan bagi
pembelajaran kooperatif, yaitu:
1) Saling Ketergantungan Positif, yaitu pandangan bahwa seorang adalah berkaitan
dengan orang lain dalam satu cara, seseorang tidak akan berhasil jika anggota
kelompok yang lain juga tidak berhasil. Itu artinya keuntungan kerja mereka adalah
keuntungan bersama. Suatu pengertian umum bahwa keberhasilan adalah
keberhasilan bersarma dan sebaliknya kegagalan adalah kegagalan bersama.
Interdependensi positif adalah pembentukan struktur rnelalui sasaran umun atau
imbalan, atas setiap sumber daya orang penentuan peran khusus atas setiap orang atau
pembagian kerja.
2) Hubungan Timbal Balik Berhadap-Hadapan. Elemen ini dimaksudkan sebagai bentuk
situasi para pelajar menjelaskan secara lisan kepada yang lain bagaimana
memecahkan masalah, mendiskusikan antara satu pelajar dengan yang lain sifat dasar
konsep yang dipelajari, seorang pelajar mengajarkan pengetahuan kepada teman
kelasnya, dan menjelaskan kepada yang lain tentang hubungan antara yang dipelajari
hari ini dengan pembelajaran yang sebelumnya. Di sini ada aktivitas kognitif dan
dinamika interpersonal yang hanya terjadi bila pelajar dapat terlibat dalam penjelasan
bagaimana (untuk menjawab) tugas-tugas kepada yang lain. Interaksi timbal balik ini
adalah memajukan perasaan untuk saling menolong antar pelajar, membantu,
mendorong, dan mendukung satu dengan lainnya dalam usaha pembelajaran.
3) Tanggungjawab individu, yaitu ada tanggung jawab bila kinerja individu pelajar
dinilai dan hasilnya memberikan umpan balik terhadap kelompok dan individu siswa
yang pintar. Hal ini penting bahwa anggota kelompok mengetahui siapa yang lebih
membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan tugas belajarnya. Maksud dari hal ini
adalah menjamin bahwa setiap pelajar percaya bahwa dia atau yang lain akan
bertanggung jawab terhadap materi tugas pembelajaran untuk meningkatkan
pemahaman setiap pribadi pelajar atas tanggung jawab kelompok dalam kelas.
Adapun cara umum yang digunakan untuk menyusun tanggung jawab pelajar
mencakup ; (a) Memberikan suatu tes individu kepada setiap pelajar, (b) Menseleksi
secara random hasil tes pelajar untuk memasukkannya ke dalam kelompok.
4) Keterampilan bekerjasama, yaitu mencakup kepemimpinan, pengambilan keputusan,
membangun kepercayaan, komunikasi dan keterampilan manajemen konnik
diperlukan bagi pelajar untuk bekerja secara produktif. Kelompok tidak akan
berfungsi secara efektif jika para pelajar tidak memiliki dan menggunakan
keterampilan; kerjasama yang diperlukan. Keterampilan ini harus diajarkan hanya
sebagai bertujuan dan penuh ketepatan sebagai keterampilan akademik.
5) Pembentukan Kelompok, akan tercipta bila kelompok berdiskusi bagaimana mereka
mencapai sasaran mereka dan mempertahankan hubungan kerajsama secara efektif di
antara sesama anggota kelompok. Kelompok perlu menjelaskan bahwa tindakan
anggota apakah menolong atau tidak menolong membuat keputusan (tentang perilaku)
mereka untuk melanjutkan atau harus ada perubahan. Adapun proses pembentukan
kelompok yaitu : (a) Mengusahakan kelompok belajar untuk memfokuskan
pemeliharaan kelompok, (b) Membantu memudahkan keterampilan pembelajaran
kelompok, (c) Menjamin bahwa anggota menerima umpan balik terhadap keterlibatan
mereka, dan (d) Membiarkan pelajar untuk mempraktekkan keterampilan belajar
bersama secara konsisten. Beberapa kunci untuk keberhasilan proses pembentukan
kelompok adalah membiarkan kecukupan waktu dan tempat yang kondusif membuat
kelompok khusus, mempertahakan pelajar dalam proses keterlibatan, membiarkan
pelajar menggunakan keahlian belajar bersama, dan menjamin bahwa ada harapan
yang jelas sebagai tujuan dan proses tersebut benar-benar dikomunikasikan.

Hasil Pembelajaran Kooperatif


Ada banyak penelitian sudah teruji berkaitan dengan keuntungan pembelajaran
kooperatif, seperti halnya Johson & Johnson (1974), Johnson. Johnson & Maruyama (1983),
Johnson, Maruyama, Johnson, Nelson & Skon (1981), disimpulkan bahwa pengalaman
pembelajaran kooperatif, terbanding dengan kompetitif dan pembelajaran individual,
memajukan prestasi belajar yang tinggi, motivasi yang lebih besar, hubungan interpersonal
pelajar yang lebih positif, sikap yang lebih positif terhadap bidang pelajaran dan guru, harga
diri yang lebih besar dan kesehatan psikologis perspektif berbicara yang lebih akurat, dan
keterampilan sosial yang lebih besar.
Dengan sejumlah bukti hasil penelitian yang diperoleh, bahwa kehebatan kelas karena
diorientasikan ke arah pembelajaran individual dan kompetitif. Karena itu, adalah positif bila
guru mampu menerapkan pembelajaran kooperatif sehingga tercapai pembelajaran efektif
dan secara aktual dilakukan oleh guru.

IVB. MANAGEMEN PENGELOLAAN KELAS


Guru adalah penanggung jawab pembelajaran di dalam kelas. Sejumlah siswa yang
mengikuti mata pelajaran sama dalam waktu yang sama untuk mencapai tujuan pembelajaran
perlu diatur, diarahkan dan dipengaruhi dalam satu interaksi belajar mengajar.
Arikunto (1992) berpendapat bahwa pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang
dilakukan oleh guru (penanggung jawab) dalam membantu murid sehingga dicapai kondisi
optimal pelaksanaan kegiatan belajar mengajar seperti yang diharapkan.
Pengelolaan kelas berkaitan dengan dua kegiatan utama, yaitu (1) Pengelolaan yang
herkaitan dengan siwa, (2) Pengelolaan yang berkaitan dengan fisik (ruangan, perabot, alat
pelajaran). Kegiatan membuka jendela, mengatur bangku, menyalakan lampu bila kurang
terang, menggeser papan tulis supaya lebih jelas merupakan pengelolaan bersifat fisik kelas.
Adapun tujuan pengeiolaan kelas adalah agar setiap anak di kelas dapat bekerja
dengan tertib sehingga tercapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien.
Sebuah kelas dapat dikatakan tertib, dilihat dari indikator yaitu (1) Setiap anak terus
bekerja, tidak ada yang berhenti karena tidak tahu tugas belajar yang harus dikerjakannya
atau tidak dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya, (2) Setiap anak terus melakukan
pekerjaan belajar tanpa membuang waktu agar dapat menyelesaikan tugas belajar yang
diberikan kepadanya. Jangan sampai ada anak yang dapat mengerjakan tugasnya, tetapi tidak
bergairah dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru, karena situasi dan kondisi kelas
tidak mendukung.
Pengelolaan kelas yang berkaitan dengan siwa adalah mengenai besar atau kecilnya
ukuran atau jumlah siswa dalam satu kelas: Ada dua sudut pandang yang terkait dengan
menetapkan ukuran kelas yang tepat. Dia satu sisi, bila ukuran kelas terlalu besar jumlah
siswanya, maka akan berhubungan langsung dengan perbaikan mutu pengajaran. Akan tetapi
dan segi pembiayaan, pengurangan jumlah siswa dalam satu kelas, tentu akan berakibat pada
membesamya pembiayaan yang harus dikeluarkan.
Dalam prakteknya, ada kelas yang berukuran 40, ada yang 30 dan ada yang hanya 24
orang dalam satu kelas. Besarnya jumlah siswa dalam satu kelas diharapkan dapat
memberikan dampak, di antaranya (1) Produktivitas kelompok maupun pengetahuan pribadi
tentang hasil (tugas), (2) Perselisihan kelompok, rasa harga diri individu (relasi antar anggota
siswa). Davis (1991) menyimpulkan bahwa efektivitas kelompok atau kelas dalam mencapai
tujuan belajar adalah produk dan orientasi tugas dan relasi.
Menurut Davis (1991) bahwa tidak ada ukuran kelas optimal yang cocok untuk semua
situasi. Ukuran kelas optimal harus dihubungkan dengan sifat tujuan belajar yang akan
dicapai. Paling tidak ada tiga ketentuan umum dalam menentukan ukuran kelas, yaitu:
I) Bila tujuan kognitif tingkat rendah dan tujuan afektif akan dicapai, kelas besar tidak
lebih buruk daripada kelas kecil.
2) Bila tujuan kognitif tingkat tinggi dan tujuan afektif ingin dicapai, kelas kecil
beranggotakan 5 atau 7 orang siswa adalah ukuran optimal.
3) Bila yang ingin dicapai adalah tujuan kognitif tingkat tertinggi (evaluasi) dan tujuan
afektif (karakterisasi) maka pengajaran dengan guru satu lawan satu bahkan lebih baik
daripada kelas kecil.
Tegasnya, dalam menetapkan ukuran kelas maka para guru hendaklah berpegang
kepada tujuan yang akan dicapai. Untuk tujuan belajar tingkat rendahan maka ukuran kelas
adalah masalah administrasi, sedangkan untuk tujuan belajar tingkat tinggi maka ukuran kelas
adalah masalah tantangan profesional. Dalam konteks ini, perlu digaris bawahi bahwa, kelas
besar paling tidak memiliki tiga efek samping, yaitu:
1) Kelas-kelas besar memberikan bahan mengajar lebih berat bagi para guru, karena
lebih banyak persiapan yang dibutuhkan.
2) Kelas-kelas besar lebih membatasi kebebasan guru dalam memvariasikan metode
penyajiannya.
3) Di samping itu, tugas guru dalam mengontrol situasi kelas juga semakin berat.
Menurut Davis (1991) selain yang disebutkan di atas, ada beberapa konsekuensi dari
kelas besar dalam proses pembelajaran baik terhadap guru maupun terhadap siswa, yaitu :
1) Makin besar tuntutan pada guru di satu pihak, dan makin kecil tuntutan terhadap
peserta didik untuk menggunakan keterampilannya di pihak lain.
2) Makin besar toleransi kelompok terhadap pengarahan dan guru sebagai pemimpin,
dan semakin menonjol dia dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya. Dengan
kata lain, situasi akan semakin tersentralisasi dalam kelas kelompok besar.
3) Semakin besar kecenderungan dari anggota-anggota yang lebih aktif mendominasi
interaksi dalam kelompok.
4) Makin besar kecenderungan dari anggota-anggota yang kurang aktif untuk lebih
sungkan dan takut berpartisipasi dan semakin kuranglah penjelajahan dan petualangan
serta diskusi kelompok.
5) Suasana main kurang intim, kegiatan semakin tidak menentu dan anggota semakin
kurang puas dengan hasil-hasil diskusi kelompok.
IVC. MANAGEMEN SEKOLAH/KEPALA SEKOLAH
, Manajemen Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran.1 Berdasarkan
makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen
pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya,
manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu
sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang
semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi
internal sekolah itu sendiri.
Dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari School-Based Management
(SBM). Istilah ini mula-mula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai
alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan
karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang
berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah.
Tuntutan perubahan lingkungan sekolah dimaksud antara lain tuntutan dunia kerja,
tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan sosial, ekonomi, hukum, dan politik.
Lulusan sekolah-sekolah pada saat itu di bawah standar tuntutan berbagai bidang kebutuhan,
yang mengakibatkan kekecewaan banyak kalangan yang berkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Definisi-definisi yang dikemukakan di bawah ini cakupannya cukup bervariasi. Ada yang
lingkupnya luas sekali hingga mencakup kawasan politis, ada pula yang bermakna lebih
sempit, yaitu hanya mencakup kawasan operasional sekolah bahkan ada yang lebih spesifik,
yaitu pada proses belajar mengajar di kelas saja. Namun demikian, pada intinya sama, yaitu
terjadinya pergeseran kewenangan yang semula berada di tangan birokrasi pemerintah pusat
ataupun daerah menuju ke lingkungan sekolah.
Bank Dunia mengeluarkan semacam panduan yang didasarkan pada studi kasus di
enam negara. Studi kasus tersebut menggambarkan desentralisasi dan reformasi MBS di
sekolah-sekolah negeri di Chicago, sekolah-sekolah EDUCO di El Salvador, sekolah-sekolah
DPEP di India, sekolah-sekolah manajemen mandiri di New Zealand, sekolah-sekolah
otonomi di Nikaragua dan sekolah-sekolah di Spanyol. MBS didefinisikan sebagai bentuk
yang paling radikal dalam upaya desentralisasi pendidikan karena MBS memberikan transfer
dalam pengambilan keputusan pada tingkat sekolah.2
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman
(1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasisekolah
dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal
guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah kepala sekolah, guru,
konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan
siswa.3
Definisi ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang orang yang memaknainya.
Definisi yang muncul dari kondisi pendidikan Amerika yang terpuruk tersebut menggugah
keinginan para pengambil kebijakan di negara tersebut untuk mengubah sistem pengelolaan
sekolah. Inisiatif penerapan MBS di sana datang dari birokrat yang sadar akan pentingnya
memberikan kekuasaan pada masing-masing sekolah secara langsung.
Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada bidang
tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakkan tanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang menyangkut bidang
anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena itu, MBS memberikan hak kontrol proses
pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua.4
MBS dalam pengertian yang sama dikemukakan oleh Myers dan Stonehill (1993)
adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan
keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara
individual. MBS memberi kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat untuk
memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka
tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang anggaran, personel, dan kurikulum.
Dengan keterlibatan stakeholder lokal dan pengambilan keputusan dalam MBS dapat
meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa.5
Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud kinerja sekolah adalah terjadinya lingkungan
belajar yang efektif.
Diyakini dengan adanya lingkungan belajar yang efektif maka prestasi belajar siswa,
berupa prestasi akademik ataupun non-akademik akan meningkat. Alasan ini cukup rasional
karena lingkungan sekolahlah yang paling mengetahui bagaimana menciptakan lingkungan
belajar yang efektif bagi siswanya. Selama pengelolaan pendidikan ditentukan oleh pusat
maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan secara efektif.
MBS adalah salah satu dari beberapa bentuk reformasi pendidikan dalam rangka
memperbaiki pendidikan, terutama memperbaiki lingkungan pengajaran dan pembelajaran
bagi siswa. Namun, Paterson (1991) mengingatkan bahwa dalam pelaksanaannya sering
terjadi salah konsentrasi yang seharusnya terfokus pada aktivitas pengajaran malah sering
kali perhatiannya terpusat pada kedisiplinan siswa.6 Kesalahan konsentrasi dalam penerapan
MBS ini harus menjadi perhatian para pengelola pendidikan sehingga pengalaman tersebut
bisa jadi pelajaran dan tak perlu terulang.
Pada umumnya, dalam pelaksanaan MBS harus menentukan salah satu fokus arah dan
tujuan secara jelas, yaitu bagian mana kinerja sekolah yang akan ditingkatkan. Sulit untuk
meningkatkan kinerja sekolah secara umum tanpa adanya arah yang jelas. Apakah akan
terfokus pada mutu belajar siswa, mutu manajemen sekolah, mutu kurikulum, mutu personel,
mutu pengelolaan keuangan, dan Iain-lain. Ketika MBS diaplikasikan secara umum, seperti
uji coba pada beberapa negara maju maka yang berhasil adalah sasaran-sasaran sekunder dan
tersier, sedangkan sasaran primernya, yaitu peningkatan mutu belajar mengajar gagal untuk
ditingkatkan.
Misalkan di Amerika Serikat pengaruh MBS dalam meningkatkan prestasi belajar siswa
hasilnya bervariasi. Di Maryland terjadi peningkatan nilai ujian yang berarti setelah
menjalankan beberapa tahapan reformasi, termasuk diantaranya penerapan MBS.7 Sementara
itu di Dade County, Florida justru terjadi penurunan nilai ujian setelah tiga tahun menerapkan
MBS.8
Dalam manajemen sekolah model MBS ini berarti tugas-tugas manajemen sekolah
ditetapkan menurut karakteristik-karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri.
Oleh karena itu, warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas
penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan
aktivitas pendidikan yang efektif demi perkembangan jangka panjang sekolah.9
Sebelum MBS diterapkan di Hong Kong, sekolah-sekolah di sana tidak berjalan secara
efektif. Sekolah efektif adalah sekolah yang dijalankan sesuai dengan fungsi dan tujuannya
masing-masing. Berarti efektivitas antara satu sekolah dengan sekolah yang lain berlainan,
dan tidak harus sama. Sekolah-sekolah di Hong Kong tidak efektif karena tidak dimilikinya
otonomi dan tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan dan memecahkan permasalahan-
permasalahan di sekolahnya.
MBS memberikan kekuasaan yang luas hingga tingkat sekolah secara langsung.
Dengan adanya kekuasaan pada tingkat lokal sekolah maka keputusan manajemen terletak
pada stakeholderlokal, dengan demikian mereka diberdayakan untuk melakukan segala
sesuatu yang berhubungan dengan kinerja sekolah.10 Dengan MBS terjadi proses
pengambilan keputusan secara kolektif. Pengambilan keputusan kolektif ini dapat
meningkatkan efektivitas pengajaran dan meningkatkan kepuasan guru.11
Walaupun MBS memberikan kekuasaan penuh kepada sekolah secara individual, dalam
proses pengambilan keputusan sekolah tidak boleh berada di satu tangan saja. Ketika MBS
belum diterapkan, proses pengambilan keputusan sekolah sering kali dilakukan sendiri oleh
pihak sekolah secara internal yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah. Namun, dalam
kerangka MBS proses pengambilan keputusan mengikutkan partisipasi dari berbagai pihak
baik internal, eksternal, maupun jajaran birokrasi sebagai pendukung. Dalam pengambilan
keputusan harus dilaksanakan secara kolektif di antara stake-holder sekolah.
MBS adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang
sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan,
efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan
meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola
sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar untuk
menciptakan kepala sekolah, guru, dan administrator yang profesional. Dengan demikian,
sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat
sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan
masyarakat.12
Definisi yang berkembang di Indonesia semacam ini tidak luput dari latar belakang
sejarah pendidikan di Indonesia. Selama puluhan tahun pengelolaan sistem pendidikan di
Indonesia dijalankan secara sentralistik. Ketika terjadi perubahan sistem pemerintahan dari
sentralistik ke desentralistik maka pengelolaan sistem pendidikan juga didesentralisasikan.
Namun, penulis kurang sependapat dengan pernyataan bahwa MBS di Indonesia sebagai hasil
dari desentralisasi pendidikan. Setidaknya, terdapat tiga alasan: pertama, desentralisasi
pendidikan di Indonesia diterapkan sampai pada tingkat Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999. Kedua, MBS tidak dapat dijalankan
apabila kewenangan pengelolaan pendidikan hanya sampai pada Pemda Kabupaten/Kota.
Ketiga, MBS di Indonesia tidak mengikuti jalur desentralisasi pemerintahan daerah tersebut.
Buktinya, sebelum UU itu berlaku pada Januari 2001, MBS telah diujicobakan pada 1.000
sekolah di seluruh Indonesia. Kesimpulannya bahwa penerapan MBS di Indonesia tidak
mengikuti jalur desentralisasi pemerintahan daerah yang di dalamnya terdapat desentralisasi
pendidikan.
MBS didefinisikan sebagai desentralisasi otoritas pe-ngambilan keputusan pada
tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga bidang, yaitu anggaran, kurikulum, dan
personel. Dalam sistem MBS otoritas dapat ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, dari pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah ke dewan
sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah, guru, administrator, konselor, pengembang
kurikulum, dan orang tua.13
MBS adalah suatu bentuk administrasi pendidikan, di mana sekolah menjadi unit
utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan bentuk tradisional manajemen
pendidikan, di mana birokrasi pemerintah pusat sangat dominan dalam proses pembuatan
keputusan. Dalam hal ini MBS disebut sebagai School-Based Decision Making and
Management yang secara tegas disebutkan bahwa "refers to a form of educational
administration in which the school become the primary unit for decision making. It differs
from more traditional form of educational administration in which a central bureaucracy
dominated the decision making process".14
Istilah School-Based Decision Making and Management itu muncul karena adanya
pergeseran tanggung jawab pada tingkat sekolah dengan manajemen mandiri (self
management). School-Based Decision Making and Management tidak sekadar proses
pengambilan keputusan, tetapi berada dalam dimensi yang lebih luas karena melibatkan
konteks sosial. School-Based Decision Making and Management adalah sebagai dasar politis
dan jalan untuk mengelola konflik dalam proses sosial. School-Based Decision Making and
Management tidak hanya sekadar strategi mengelola sekolah, tetapi sebagai bagian dari
upaya menopang legitimasi institusi publik dan negara.15
Pandangan tentang MBS semacam ini melompat jauh ke depan, karena memandang
sekolah sebagai entitas yang harus mampu menangani permasalahannya sendiri secara
mandiri. Sebelumnya sekolah dipandang sebagai lembaga sosial yang suci yang terlepas dari
permasalahan. Namun, seiring dengan perkembangan lingkungan sosial, ekonomi, politik,
hukum, dan ideologi maka sekolah pun menghadapi banyak permasalahan.
Dalam kondisi seperti ini sekolah semakin dituntut untuk membantu memecahkan
masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya. Masalah narkoba misalnya yang sering
terjadi di lingkungan sekolah harus sanggup dipecahkan oleh sekolah. Demikian juga
masalah tawuran pelajar dan kriminalitas lainnya yang sering muncul di dalam lingkungan
sekolah, menuntut kemampuan sekolah untuk memecahkannya.Bahkan semakin
meruncingnya konflik sosial yang terjadi di masyarakat, sekolah harus berani berperan
sebagai penengah atau pemecah konflik. Peran ini hanya bisa dilakukan apabila sekolah
memiliki kemandirian dan memiliki legitimasi dari pemerintah dan masyarakat luas.
Alangkah idealnya apabila sekolah mampu berperan sebai pencair segala konflik dan
pertikaian yang terjadi di masyarakat.
Pendapat lain tentang MBS adalah pengorganisasian dan penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara otonom atau mandiri oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk
mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua
kelompok kepentingan yang terkait secara langsung dalam proses pengambilan keputusan.16
Secara lebih ringkas defmisi MBS adalah otonomi manajemen sekolah dan pengambilan
keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi
warga sekolah dan sesuai dengan peraturan perundangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sementara itu, pengambilan keputusan partisipatif adalah cara pengambilan keputusan
dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan demokratik di mana warga sekolah
didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan
dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut MBS dengan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara umum MPMBS diartikan
sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.17
Tampaknya di Indonesia penerapan MBS difokuskan pada peningkatan kualitas sekolah.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah suprastruktur dan infrastruktur pendidikan di sini
telah siap sehingga langsung mengarah pada sasaran inti, yaitu kualitas sekolah? Apakah
personelnya, manajemennya, kurikulumnya, kondisi pembelajarannya telah mendukung
pencapaian sekolah berkualitas? Apabila ternyata belum, upaya itu akan sia-sia dan akan
terjadi pemborosan besar-besaran.
Dengan otonomi yang lebih besar maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar
dalam mengelola sekolahnya sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya
sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Namun, kemandirian sekolah harus didukung dengan
kemandirian dalam menggali sumber daya keuangan dan mengelolanya secara mandiri.
Kewenangan yang berada pada tingkat sekolah memiliki beberapa keuntungan, seperti
(l) kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua
dan guru, (2) bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya lokal, (3) efektif dalam melakukan
pembinaan siswa seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah,
moral guru dan iklim sekolah, dan (4) adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan,
memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan
perencanaan.18
Dengan pengambilan keputusan partisipatif maka rasa memiliki warga sekolah dapat
meningkat. Meningkatnya rasa memiliki akan meningkatkan rasa tanggung jawab yang
selanjutnya meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya. Peningkatan otonomi
sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif ditujukan untuk meningkatkan kualitas
sekolah.
Di Amerika Serikat MBS menggunakan istilah Site-Based Management dengan
maksud adanya kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah. MBS merupakan strategi
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan negeri. Menurut Raynolds (1997) Site-Based
Management didefinisikan menjadi tiga komponen pokok sebagai berikut.19
a. Pendelegasian otoritas kepada masing-masing sekolah untuk membuat keputusan tentang
program pendidikan sekolahyang meliputi kepegawaian {staffing), anggaran {budgeting),
dan program.

b. Pengadopsian model pengambilan keputusan bersama (shareddecision making model)


pada tingkat sekolah oleh tim manajemen yang meliputi kepala sekolah, para guru, orang
tua siswa dan kadang-kadang para siswa dan anggota masyarakat.

c. Suatu harapan bahwa Site-Based Management akan mempermudah kepemimpinan pada


tingkat sekolah dalam upaya meningkatkan (kualitas) sekolah.

Beberapa definisi lain yang perlu juga disimak adalah School-Based Management is a
strategy to improve education by transferring significant decision-making authority from state
and district offices to individual school. Bahwa MBS adalah suatu strategi untuk
memperbaiki pendidikan dengan memindahkan kewenangan pengambilan keputusan yang
penting dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada pihak pengelola sekolah.20
MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision Making refers to an inclusive or
representative decision making process in which all members of the group participate as
aquels, bahwa MBS merujuk pada suatu representasi proses pengambilan keputusan di mana
seluruh anggota kelompok berpartisipasi secara seimbang.21
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS adalah model pengelolaan
sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk
mengelola sekolahnya sendiri secara langsung. Dimilikinya kewenangan sekolah itu karena
terjadi pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah kepada sekolah
langsung dalam pengelolaan sekolah. Dengan adanya kewenangan yang besar tersebut maka
sekolah memiliki otonomi, tanggung jawab, dan partisipasi dalam menentukan program-
program sekolah.

IVD. MANAGEMEN KEPENDIDIKAN


SARANA
Sarana adalah segala sesuatuyang mendukung secara langsung terhadap kelancaran
proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan
sekolah, dan lain sebagainya; sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara
tidak langsung dapatmendukung keberhasilan proses pembelajaran, misalnya, jalan
menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya.
Kelengkapan saranadanprasarana akan membantu guru dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran; dengan demikian sarana danprasarana merupakan komponenpenting
yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
Terdapat beberapa keuntungan bagi sekolah yang memiliki kelengkapan sarana dan
prasarana.Pertama, kelengkapan sarana danprasaranadapat menumbuhkan gairah dan
motivasi guru mengajar. Mengajar dapatdilihat dari dua dimensi, yaitu sebagai
proses penyampaian materi pelajaran dan sebagai proses pengaturan lingkungan
yang dapat merangsangsiswa untuk belajar. Apabila mengajar dipandang sebagai
proses penyampaian materi, maka dibutuhkansarana pembelajaran berupa alat dan
bahanyang dapat menyalurkan pesan secara efektif dan efisien; sedangkan manakala
mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswadapat belajar,
maka dibutuhkan sarana yang berkaitan dengan berbagaisumber belajar yang
dapatmendorong siswa untuk belajar. Dengan demikian, ketersediaaan sarana yang
lengkap, memungkinkan guru memilikiberbagai pilihan yang dapat digunakan
untukmelaksanakan fungsi mengajarnya; dengan demikian ketersediaan inidapat
meningkatkan gairahmengajar mereka.Kedua, kelengkapan sarana danprasarana dapat
memberikan berbagai pilihan pada siswa untuk belajar. Setiap siswa pada dasarnya
memiliki gaya belajar yang berbeda. Siswa yang bertipe auditif akanlebih mudah
belajar melalui pendengaran; sedangkan tipe siswa yangvisual akan lebih mudah
belajar melalui penglihatan. Kelengakapan saranadanprasarana akan memudahkan
siswa menentukan pilihan dalam belajar.

V.PERAN GURU dan KOMPETENSI GURU


A. Peran Guru

Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan.


Teknologiyang konon dapat memudahkan manusia mencari dan mendapatkan informasi dan
pengetahuan, tidak mungkin bisa mengganti peran guru. Laluapa peran guru dalam kondisi
demikian? Apakah guru sebagai satu-satunyasumber belajar masih tetap relevan? Apakah ada
peran lain yang dianggaplebih penting? Bagaimana melaksanakan peran-peran tersebut agar
prosespengajaran yang menjadi tanggung jawab lebih berhasil? Beberapa peranakan
dijelaskan di bawah ini.

1. Guru sebagai Sumber Belajar


Peran guru sebagai sumber belajar, merupakan peran yang sangatpenting. Peran sebagai
sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaanmateri pelajaran. Kita bisa menilai baik atau
tidaknya seorang guru hanyadari penguasaan materi pelajaran. Dikatakan guru yang baik
manakala iadapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga benar-benar iaberperan
sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apa pun yang di-tanyakan siswa sekaitan
dengan materi pelajaran yangsedang diajar-kannya, ia akan dapat menjawab dengan
penuh keyakinan. Sebaliknya,dikatakan guru yang kurang baik manakala ia tidakpaham
tentang materiyang diajarkannya. Ketidakpahaman tentang materi pelajaran
biasanyaditunjukan oleh perilaku-perilaku tertentu misalnya, teknik penyampai-an materi
pelajaran yang monoton, ia lebih seringduduk di kursi sambilmembaca, suaranya lemah, tidak
berani melakukan kontakmasa dengansiswa, miskin dengan ilustrasi dan lain sebagainya.
Perilaku guru yangdemikian dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada diri
siswa,sehingga guru akan sulit mengendalikan kelas.

Sebagai sumber belajardalam proses pembelajaran hendaknya gurumelakukan hal-hal


sebagai berikut:
a. Sebaiknya guru memiliki bahan referensi yang lebih banyak diban-dingkan dengan siswa.
Hal ini untuk menjaga agar g,ru memilikipemahaman yang lebih baik tentang materi yang
akan dikaji bersamasiswa.Dalam perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat,bisa
terjadi siswa lebih "pintar" dibandingkan gurudalam hal pengua-saan informasi. Oleh sebab
itu, untuk menjaga agar gurutidak keting-galan informasi, sebaiknya guru memiliki bahan-
bahan referensi yanglebih banyak dibandingkan siswa. Misalnya, melacak bahan-
bahandari Internet, atau dari bahan cetak terbitan terakhir, atau berbagaiinformasi dari media
masa.
b. Guru dapat menunjukkan sumber belaiar yang dapat dipelajari olehsiswa yang biasanya
memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata siswayang lain.Siswa yang demikian perlu
diberikan perlakuan khusus,misalnya dengan memberikan bahan pengayaan dengan
menunjukkansumber belajar yang berkenaan dengan materi pelajaran.

c. Guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran, misalnyadengan menentukan


mana materi inti(core), yang wajib dipelajarisiswa, mana materi tambahan mana materi
yang harus diingat kembalikarena pernah di bahas dan lain sebagainya. Malalui
pemetaansemacam ini akanmemudahkan bagi guru dalam melaksanakantugasnya
sebagai sum;er belajar.

2. Guru sebagai Fasilitator


Sebagai fasilitator guru berperandalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran.Sebelum prosespembelajaran dimulai sering guru
bertanya: bagaimana caranya agar iamudah menyajikan bahan pelajaran? Pertanyaan tersebut
sekilas memangada benarnya. Melalui usaha yang sungguh-sungguh guru ingin agar iamudah
menyajikan bahan pelajaran dengan baik. Namun demikian, pertanyaan ersebut menunjukkan
bahwa proses pembelajaran berorientasipada guru. Oleh sebab itu, akan lebih bagus manakala
pertanyaan tersebutdiarahkan pada siswa, misalnya apa yang harus dilakukan agar
siswamudah mempelajari bahan pelajaran sehingga tujuan belajar tercapai secara
optimal. Pertanyaan tersebut mengandung makna, kalau tujuan mengajar adalah
mempermudah siswa belajar.

3. Guru sebagai Pengelola


Sebagai pengelola pembelajaran(learning manajer), guru berperan dala-mmenciptakan
iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secaranyaman. Melalui pengelolaan
kelas yang baik guru dapat menjaga kelasagar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar
seluruh siswa.
4. Guru sebagai Demonstrator

Yang dimaksud dengan peran guru sebagai demonstrator, adalah peranuntuk


mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuatsiswa lebih mengerti dan
memahami setiap, pesan yang disampaikan. Adadua konteks guru sebagai
demonstrator.Pertama, sebagai demonstratorberarti guru harus menunjukkan sikap-sikap
yang terpuji. Dalam setiapaspek kehidupan, guru merupakan sosok ideal bagi setiap siswa.
Biasanyaapa yang dilakukan guru akan menjadi acuan bagi siswa. Dengan demikian,dalam
konteks ini guru berperan sebagai model dan teladan bagi setiapsiswa.Kedua, sebagai
demonstrator guru harus dapat menujukkan bagai-mana caranya agar setiap materi pelajaran
dapat lebih dipal-ami dan di-hayati oleh setiap, siswa. Oleh karena itu, sebagai demonstrator
eras kaitan-nya dengan pengaturan strategi pembelajaran yang lebih efektif.
5. Guru sebagai Pembimbing

Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari ada-nya setiapperbedaan.
Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walau-pun secara fisik mungkin individu
memiliki kemiripan, akan tetapi padahakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat,
minat,kemampuan dan sebagainya. Di samping itu, setiap individu juga adalah makhluk
yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentutidaklah sama juga.
Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagaipembimbing. Membimbing
siswa agar dapat menemukan berbagai po-tensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup
mereka; membimbing siswaagar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas
perkembangan mereka,sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimanusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat.
Seorang guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang
petanitidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batan atau
daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah
sampai padawaktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu
tumbuh dengan sempurna,tidak terkena hama penyakit yangdapat menyebabkan tanaman
tidak berkembang dan tidaktumbuh dengansehat, yaitu dengan caramenyemai, menyiram,
memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan
seorang guru. Gurutidak dapat memaksa agarsiswanya jadi "itu" atau jadi "ini".Siswa akan
tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai denganminat dan bakat yang dimilikinya.
Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar sisxva tumbuh dan
berkembang sesuai denganpotensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai
pembimbing.

Agar guruberperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada beberapa hal yang harus
dimiliki, di antaranya:Pertama, guru harus memilikipemahaman tentang anak yangsedang
dibimbingnya. Misalnya, pernahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar
sertapemahaman tentangpotensi dan bakat yang dimiliki anak. Pemahaman ini sangat
pentingartinya, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harusdiberikan
kepada mereka.

Kedua, guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan,baik merencakan


tentang tujuan dan kompetensi yanghendak dicapai,maupun merencakan proses
pembelajaran. Proses bimbingan akan dapatdilakukan dengan baik manakala sebelumnya
guru merencanakan hendak di bawa kemana siswa, apa yang harus dilakukan dan lain
sebagainya. Untuk merumuskan tujuan yang sesuaiguru harus inernahami segalasesuatu yang
berhubungan baik dengansistem nilai masyarakat maupundengan kondisi psikologis dan
fisiologis siswa, yangkesemuanya ituterkandung dalam kurikulum sebagai pedoman dalam
merumuskan tujuandan kompetensi yang harusdimiliki. Di samping itu, juga guru
perlumarnpu merencanakan dan mengimplentasikan prosespembelajaran yangmelibatkan
siswa secara penuh. Proses membimbing adalah proses mem-
berikan bantuan kepada siswa, dengan demikian yang terpenting dalamproses pembelajaran
adalah siswa itu sendiri.
6. Guru sebagai Motivator
Dalam proses pembelajaran motivasi merupakan salah satu aspekdinamis yang sangat
penting. Sering terjadi siswa yang kurang berpres-tasi bukan disebabkan oleh
kemampuannya yang kurang, akan tetapidikarenakan tidak adanya motivasi untuk belajar
sehingga is tidak ber-usaha untuk mengerahkan segala kemampuannya. Dengan
demikian, dapat dikatakan siswa yang berprestasi rendah belum tentu disebabkan oleh
kemampuannya yang rendah pula, akan tetapi mungkin disebabkanoleh tidak adanya
dorongan atau motivasi. Kemudian apa yang disebutmotivasi itu?
Woodwort (1955: 337) mengatakan: 'A motive is a set predisposesthe individual of
certain activities and for seeking certain goals". Suatumotive adalah suatu set yang dapat
membuat individu melakukan kegiat-an-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian, perilakuatau tindakan yang ditunjukan seseorang dalam upaya mencapai
tujuantertentu sangat tergantung darimotive yang dimilikinya. Hal ini sepertidiungkapkan
Arden (1957) "motives as internal condition arouse sustain,direct and determain the intensity
of learning effort, and also define theset satisfying or unsatisfyng consequences of goal."
Dari definisi tersebut maka jelas, kuat lemahnya atau semangat tidaknya usaha yang
dilakukan seseorang untuk mencapai suatu tujuan akan ditentukan oleh kuat
lemahnyamotive yang dimiliki orang tersebut.Motive dan motivasi merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan.Motivasi merupakan penjelmaan darimotive yang dapat dilihat
dari perilakuyang ditunjukan seseorang. Hilgard mengatakan bahwa motivasi adalahsuatu
keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang menyebabkanseseorang melakukan
kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.Jadi dengan demikian, motivasi muncul dari
dalam diri seseorang.
Motivasi sangat eras hubugannya dengan kebutuhan, sebab rnemangmotivasi muncul
karena kebutuhan. Seseorang akan terdorong untukbertindak manakala dalam dirinya ada
kebutuhan. Kebutuhan ini yanginenimbulkan keadaan ketidakseimbangan (ketidakpuasaan),
yaitu ketegangan-ketegangan, dan ketegangan itu akan hilang manakala kebutuhan itu telah
terpenuhi.

7. Guru sebagai Evaluator


Sebagai evaluator guru berperan untuk mengumpulkan data atauinformasi tentang
keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan.Terdapat dua fungsi dalam memerankan
perannya sebagai evaluator.Pertama, untuk menentukan keberhasilan siswa dalam
mencapai tujuanyang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam me-
nyerap materi kurikulum.Kedua, untuk menentukan keberhasilan gurudalam melaksanakan
seluruh kegiatan yang telah diprogramkan.
a. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan siswa
Sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan siswa,evaluasi memegang
peranan yang sangat penting. Sebab melaluievaluasi guru dapat menentukan apakah siswa
yang diajarnya sudahmemiliki kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga mereka layak

diberikan program pembelajaran baru; atau malah sebaliknya siswabelum dapat mencapai
standar minimal, sehingga mereka perludiberikanprogram remedial. Sering guru
beranggapan bahwa evaluasisama dengan melakukan tes, artinya guru telah melakukan
evaluasimanakala ia telah melaksanakan tes. Hal ini tentu kurang tepat,sebab evaluasi
adalah suatu proses untuk menentukan nilai ataumakna tertentu pada sesuatu yang
dievaluasi. Dengan demikian, teshanya salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menentukan maknatersebut. Misalnya, Si "R' dikatakan menguasai seluruh
programpembelajaranberdasarkan hasil rangkaian evaluasi misalnya, ber-dasarkan hasil tes,
ia memperoleh skor yang bagus,berdasarkan hasilobservasi ia telah dapat menerapkan
ilmunya dalam kehidupan sehari-hari,berdasarkan hasil wawancara ia benar-benar tidak
mengalamikesulitan tentang bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Berda-sarkan
rangkaian proses evaluasi akhirnya guru dapatmenentukan bahwa Si "A!'pantas diberi
programpembelajaran baru. Sebaliknya,walaupun berdasarkan hasil tes Si "B" telah dapat
menguasai kom-petensi seperti yang diharapkan, akan tetapi berdasarkan hasil wa-wancara
dan observasi, ia tidak rnenunjukkan perubahan perilaku yang signifikan misalnya,
dalamkemampuan berpikir, maka dapatsaja guru menentukan bahwa proses pembelajaran
dianggap belum berhasil.

Kelemahan yang sering terjadi sehubungan dengan pelaksana-an evaluasi selama ini
adalah guru dalam menentukan keberhasilansiswa terbatas pada hasil tes yang biasa
dilakukan secara tertulis,akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada
kemampuansiswa untuk mengisi soal-soal yangbiasa keluar dalam tes.
Di samping itu, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,evaluasi itu juga sebaiknya
dilakukan bukan hanya terhadap hasilbelajar akan tetapi juga proses belajar. Hal ini sangat
penting sebabevaluasi terhadapproses belajar paZla dasarnya evaluasi terhadapketerampilan
intelektual secara nyata.
b. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan Guru
Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk siswa akan tetapi dapatdigunakan untuk menilai
kinerja guru itu sendiri. Berdasarkan hasilevaluasi apakah guru telah melaksanakan proses
pembelajaran sesuaidengan perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu
diperbaiki.Evaluasi untuk menentukan keberhasilan guru, tentu saja tidak sekompleks untuk
menilai keberhasilan siswa baik dilihat dari aspekwaktu pelaksanaan maupun dilihat dari
aspek pelaksanaan. Biasanyaevaluasi ini dilakukansetelah proses pembelajaran berakhir atau
yangbiasa disebut dengan post-tes.

B. Kompetensi Guru
Apa yang disebut kompetensi? Johnson menyatakan: "Competencyas rational
performance which satisfactirily meets the objective for a desiredcondition" (Charles E.
Johnson, 1974).
Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna men-capai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.Dengan demikian, suatu
kompetensi ditunjukanoleh penampilan atauunjuk kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upayamencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru,
yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi pro-fesional dan kompetensi sosial
kemasyarakatan.
a. Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal.
Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan(yang harus di-
gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus me-miliki kompetensi yang
berhubungan dengan pengembangan kepribadian(Personal competencies), di antaranya:
1) Kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agamasesuai dengan
keyakinan agama yang dianutnya.
2) Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat ber-agama.

3) Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan dar,sistem nilai yang
berlaku di masyarakat.
4) Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya,sopan santun dan
tata krama.
5) Bersifat demokratis dan terbuka terhadappembaruan dan kritik.
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yangberhubungan dengan
penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensiini merupakan kompetensi yang
sangat penting, oleh sebab langsung,berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh
sebab itu, tingkatkeprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini.
Beberapakemampuan yang berhubungan dengan kompetensi ini di antaranya:
1) Kemampuan untuk menguasailandasan kependidikan,misalnya pahai,t akan tujuan
pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional,tujuan institusional, tujuan
kurikuler, dan tujuan pembelajaran.
2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan,misalnya paharr.,tentang tahapan
perkembangan siswa,paham tentang teori-teoribelajar, dan lain sebagainya.
3) Kemampuandalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidangstudi yang
diajarkannya.
4) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategipembelajaran.
5) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dansumber belajar.
6) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
7) Kemampuan dalam menyusun programpembelajaran.
8) Kemampuandalam melaksanakan unsur-unsur penunjang,misalnya, paham akan
administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
9) Kemampuan dalarn melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiahuntuk
meningkatkan kinerja.
C. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagaianggota masyarakat
dan sebagai makhluk sosial, meliputi:

1) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan temansejaNvat untuk


meningkatkankemampuan profesional.
2) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiaplembaga
kemasyarakatan.
3) Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara.
kelompok.

Seperti halnya uraian di atas, dalam Undang-Undang Nomor 14Tahun 2005


tentang Guru dan Dosen Pasal 10 dikemukakan bahwa kom-petensi guru itu mencakup
kompetensi pedagogik, kompetensi kepri-badian, kompetensi sosial dan kompetensi
profesional.
a. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam penge-lolaan
pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meli-puti:
1) pemahaman wawasan ataulandasan kependidikan;
2) pemahaman terhadappeserta didik;
3) pengembangan kurikulum/silabus;
4) perancanganpembelajaran;
5) pelaksanaanpembelajaran yang mendidik dan dialogis;
6) pemanfaatan teknologipembelajaran;
7) evaluasi hasil belajar; dan
8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagaipotensi yang
dimilikinya.
b. Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadianyang:
1) mantap;
2) stabil;
3) dewasa;
4) arif dan bijaksana;
5) berwibawa;
6) berakhlak mulia;
7) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
8) secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan
9) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

c. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian darimasyarakat yang


sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk:
1) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat;
2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; dan
3) bergaul secara efelZtif dengan peserta didik, sesama pendidik,tenaga kependidikan,
orang tua/wali peserta didik; dan
4) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
d. Kompetensi profesional merupakankemampuan penguasaan materipelajaran secara luas
dan mendalam.

VI. MANAGEMEN PTK

1. Pengantar

Pengembangan potensi anak dimulai sejak ia menjadi janin. Meskipun dalam


kenyataan tidak ada yang dapat diamati secara langsung dalam kaitan dengan
perilakunya namun anak lahir dengan lebih dari satu potensi yang secara holistik mengacu
pada satu arah tertentu (Stem, 1930). Dalam perwujudannya, tidak ada yang ternyata
sama sifat, ciri dan perilaku anak sebagai mahluk individu, meskipun ia tumbuh
kembang sebagai mahluk sosial. Ini yang disebut paradox perkembangan dan
menyebabkan tumbuhnya minat ilmuwan meneliti gejala tersebut lebih mendalam. Baru
ketika kita dapat secara nyata mengamati perilaku anak (observable behavior), kita mengerti
apa yang disebut riset sosial.

I. Risef Sosial

AR adalah salah satu jenis riset sosial terapan yang pada hakekatnya
merupakan suatu eksperimen sosial dengan mengintrodusir policy baru dengan memonitor
efek-efeknya. AR berusaha mengidentifikasi masalah sosial yang dirancang untuk
mewujudkan suatu kajian emperis sebagai vehicle (Greenwood, et. al., 2003) terhadap
pengujian tingkat efektivitas atau aplikabilitas suatu teori tertentu pada pemecahan
masalah-masalah sosial yang relevan. Selain itu, AR juga merupakan suatu inovasi untuk
menghasilkan perubahan dalam prosedur kebijakan dengan dimonitor melalui metoda
riset sosial (Payne & Payne, 2004).

I * Sebagian makalah dibacakan kembali dari Makalah Paradigma dan Karakteristik Action Research dalam
rangkaNamun
Pelatihandalam kaitan dengan
yang diselenggarakan oleh konteks workshop Universitas
Program Pascasarjana PTK perlu dijelaskan
Negeri Jakarta dan
Pelatihan Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi DKI Jakarta.
mengapa justru keunikan manusia disorot dari sudut pandang penelitian naturalistik
yaitu antara lain PTK.

Dialektika pergeseran pandangan paradigma positivistik versus naturalistik dalam


penggunaan riset sosial, kerap menjadi kajian menarik di kalangan para ilmuwan atau
para pakar penelitian ilmiah. Namun bagi para praktisi profesional, yang paling menjadi
sorotan adalah kebermaknaan teori secara fungsional suatu teori atau temuan yang bersifat
praxis yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul dalam
realitas kehidupan nyata.

Pada sisi yang lain, fungsi-fungsi ilmu, seperti : (1) memahami dan menjelaskan suatu
objek atau masalah secara mendalam; (2) menjelaskan hubunga n-hubungan,
perbedaan-perbedaan atau kecenderungan-kecenderungan; (3) memprediksikan apa
yang akan terjadi berdasarkan hubungan-hubungan; dan (4) mengendalikan sesuatu
berdasarkan pola-pola yang diketahui; (5) memberikan wams dalam memilih dan
menentukan metode atau pendekatan apa yang cocok dalam memecahkan suatu masalah
dalam konteks riset.

Keampuhan suatu metode riset dalam menjelaskan fungsi -fungsi ilmu


menjadi pertimbangan penting dalam menentukan metode tersebut. Metode
korelasional atau studi eksperimen misalnya, cenderung hanya dapat menjelaskan dua
fungsi ilmu yaitu menjelaskan hubungan dan memprediksikan apa yang akan terjadi
berdasarkan hubungan tersebut. Sementara AR dapat menjelaskan semua fungsi
keilmuan, jika si peneliti sungguh dapat mempertemukan antara teori di satu sisi dan
praxis pada sisi yang lain yang selama ini terdapat jurang pemisah seolah berjarak.
Kebermaknaan suatu teori akan diuji langsung aplikabilitasnya di lapangan pada suatu
latar dan konteks tertentu. Peneliti akan memperoleh balikan dari apa yang
dilakukannya melalui refleksi dan observasi partisipatif, apakah suatu teori efektif
untuk memecahkan masalah atau merubah suatu keadaan sampai pada titik yang
diestimasikan. Jadi, peneliti bukan hanya mengetes ada atau tidaknya konsistensi teori
(hipotesis) dengan fakta, melainkan dapat mengembangkan teori secara generatif
(temuan baru) pada latar dan konteks tertentu. Oleh karena itu, tidak berlebihan
jika kehadiran AR pads khazanah metodologi penelitian memberikan daya pikat tersendiri
karena daya tawarnya dalam memberikan solusi dalam berbagai masalah sosial termasuk di
dalamnya dunia pendidikan.

I I I . T u ju an d an Ran can gan AR

1. Tujuan AR
Tujuan AR adalah untuk mendukung intervensi, menyajikan informasi yang
relevan terhadap perubahan yang perlu diadakan bagi para praktisi yang memerlukannya.
Lama kelamaan para peneliti riset sosial memisahkan diri dan para praktisi. Para praktisi
kini makin terlatih dalam ketrampilan riset sosial dan memiliki akses lebih baik terhadap
laporan riset dan sumber-sumber yang dapat memberikan saran terhadap bagaimana
caranya menerapkan riset (how to do research). Berbagai pelatihan yang diadakan lebih
menekankan pada pentingnya menggunakan bukti (evidence) praktik riset berdasarkan
bukti (evidence based practice).
Penelitian AR dapat menerapkan suatu teori yang dikaji secara kritis (critical
research) dengan berorientasi pads paradigms praxis, membuka peluang
terjadinya perubahan dari hasil tindakan yang diobservasi dan dikaji secara refiektif.
Artinya, AR dapat memberikan kontribusi nyata pads perbaikan situasi, pemecahan masalah
dan pengembangan teori melalui fungsi "vehicle" dengan pelibatan peneliti secara
emansipatif. Dengan demikian AR jugs Bering disebut participating research, action
leaming dan emancipating research (Kember, 2000).
2. Rancangan AR

AR sebagai salah satu penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri edukatif mengacu pada
orientasi masa depan dan menunjuk pada rancangan yang bersifat siklus sebagai
berikut:

Meskipun setiap siklus mengandung langkah-langkah: perencanaan, tindakan,


observasi (pengamatan) dan refleksi, perlu diketahui bahwa proses tersebut tidak
terjadi secara teratur. Antara siklus yang satu dan siklus yang lain selalu ada tumpang
tindih dan ciri-ciri maju-mundur. Berbagai situasi sosial jauh lebih kompleks dari gambaran
siklus mumi, sehingga sering bermunculan siklus jamak (multiple spirals) berwujud topik
dan subtopik, bahkan sering sekali berbagai kajian AR nampak chaotic bagi yang
kurang memahami prosesnya. Meskipun demikian, penulisan laporan AR nampak
jauh lebih rapi dari pada kejadian sebenarnya. Dengan dukungan teori seperlunya,
proses yang mengandung perubahan nampak lebih logis dan jelas. Namun harus
dimengerti bahwa berbagai perubahan yang tidak disangka bisa muncul, sehingga
kadang-kadang muncul peralihan fokus atau penambahan fokus. Hal tersebut dapat
dilakukan dalam kajian tambahan. Meskipun tujuan dirumuskan dan dilaksanakan
secara logis dan teratur, namun masalah sosial sering menemukan hal-hal yang "diverse, "
tetapi ternyata dapat merupakan segi yang relevan dan efektif dalam perjalanan proses
tersebut.

Bagi peneliti riset sosial tidak ada kebenaran mutlak namun terjadi
intersubjektivitas, yaitu suatu kondisi ontologis terhadap gejala fenomenologis yang
dilandasi oleh insight (pemahaman) disertai empati, menjadikan gejala tersebut
objektif bermakna (=intersubjektivitas). Inilah yang direspons oleh konsep
Verstehen yang pemahaman kebermaknaan merupakan keterkaitan pengertian
fenomena atau bagian tertentu dari keseluruhan yang bermakna, serta beranjak dari
asumsi akan adanya multiple reality.

3. Karakteristik AR
Penelitian sosial yang naturalistic sifatnya bertumpu pada perspektif yang
melihat kenyataan yang sifatnya jamak, divergen dan berbeda, namun interelasinya
menampilkan berbagai bentuk kebenaran.
Jadi ciri-ciri AR adalah:
Keprihatinan pada masalah-masalah sosial (termasuk situasi pendidikan);
Bertujuan terhadap kemajuan masa depan proses bersiklus dalam empat
tahap : rencana, tindakan, observasi dan refleksi;
Melibatkan inkwairi sistematis;
Terjadi proses reflektif secara kolaboratif;
Keterlibatan peneliti secara partisipatif
Ditentukan oleh praktisioner profesional
Memandang kenyataan secara jamak, namun mengupayakan fokus

4. Teknik Pengumpulan Data


a. Pengamatan Partisipatif
Yang dimaksud pengamatan partisipatif sebagai teknik pengumpulan data
dalam AR adalah peran peneliti dalam mengamati berbagai gejala yang terjadi dalam
latar sosial. Fokus pengamatan diarahkan pada masalah yang menjadi pusat perhatian
peneliti. Apa yang dapat diamati dari prilaku subjek ketika mereka melakukan
proses? Begitu pun pengamatan terhadap dirinya sebagai peneliti. Apakah yang
dilakukan peneliti telah sesuai dengan apa yang direncanakan dalam rancangan penelitian?

b. Catatan Lapangan
Yang dimaksud "Catatan lapangan" dalam penelitian AR adalah bukti otentik berupa
catatan pokok, atau catatan terurai tentang proses apa yang terjadi di lapangan, sesuai
dengan fokus penelitian, ditulis secara deskriptif dan reflektif.

M enurut S chal tzm an dan St rauss model cat at an l apangan dapat


diorganisasikan ke dalam tiga paket, yaitu : 1) Catatan Pengamatan (CP); 2) Catatan
Teori (CT); dan 3) Catalan Metodologi (CM).

Catatan Pengamatan, berisi tentang semua peristiwa yang terjadi, apa yang
dilihat, didengar dan segala apa yang teramati di lapangan, pada latar tertentu. Catatan
ini berisi jawaban atas pertanyan siapa, apa, bilamana, di mana dan bagaimana suatu
aktivitas terjadi. Catatan Teori, merupakan bagian catatan yang berisi pendapat
pengamat (peneliti) yang didasarkan pada suatu teori. Jadi, catatan teori, bukan lagi berisi
fakta, melainkan sudah merupakan interpretasi, pemaknaan suatu gejala (interpretive
meaning). Sedangkan catatan metodologi, terkait dengan pernyataan tindakan
operasional, berupa kritik terhadap diri sendiri tentang cara-cara atau taktik dalam
melaksanakan pengamatan di lapangan (Hopkins, 1993).

c. Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian AR, dapat dilakukan secara informal, atau
direncanakan secara terstruktur dalam bentuk perencanaan yang dipersiapkan sebelumnya.
Wawancara terjadi secara wajar, sebagaimana layaknya hubungan dialogis antara seorang
peneliti dan subjek.
d. Rekaman Audio Visual

Gambaran utuh tentang latar penelitian, apa yang terjadi secara keseluruhan,
baik kegiatan peneliti maupun aktivitas subjek, gambaran fisik, situasi atau
dinamika, akan tampak pada rekaman vidio. Setiap usai liputan, reka man
diputar ulang, dilihat bersama (peneliti dan para kolaborator). Kemudian
diadakan diskusi, untuk melihat gejala apa, data apa yang dapat diakses ? apa yang
dapat dikritisi sebagai titik lemah, terutama pada sisi cara atau pendekatan pembelajaran, atau
teknik penilaian serta alat-alat yang digunakan.

Akses data penelitian lewat teknik ini, lebih bersifat otentik dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, objektivitas data yang dituturkan
secara deskriptif betul-betul didasarkan pada fakta yang terjadi di lapangan.
Dengan demikian, data dokumentasi gambaran utuh itu, digunakan pula dalam proses
validasi data.

e. Bukti Dokumen

Dokumen yang berguna dalam pengumpulan data penelitian ini, adalah


"biodata subjek" dan "nilai-nilai harian" yang dikumpulan sebelum, penelitian
dimulai. Data ini dikumpulkan sebagai data sekunder untuk mendukung
penelitian ini. Misalnya, untuk menggambarkan kondisi awal, pada kala peneliti
mendeskripsikan hasil praobservasi guna membuat rencana umum penelitian.

5. Kriteria dan Pemeriksaan Keabsahan Data

Para peneliti AR tidak mempromosikan "context-free-knowledge".


Kredibilitas, validitas (keteralihan) clan realibilitas (kebergantungan) maupun
objektivitas diukur melalui kesiapan para stakeholders untuk bertindak
terhadap hasil AR dan sampai seberapa kredibilitas hasil tersebut sesuai dengan
harapannya.

Seperti halnya dalam tradisi paradigms kualitatif, AR juga menempatkan


empat kriteria keabsahan data, yakni kredibilitas, keteralihan, kebergantungan dan
kepastian.

Kredibilitas. Keabsahan atau kesahihan data menjadi tolok ukur, apakah


simpulan dari penelitian ini dapat dipercaya atau tidak?

Keteralihan (validitas). Data yang diperoleh hendaknya absah, karena akan


terkait dengan bagaimana hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi lain yang
relatif sama, dilihat dari kesamaan karakteristik latar dan konteksnya.

Kebergantungan (realibilitas). Data yang diperoleh hendaknya reliabel (baca


istilah pada paradigma kuantitatif). Artinya, bagaimana peneliti dapat mengakses
data secara konsisten dari waktu ke waktu. Konsistensi ini menunjuk pada fokus yang
menjadi perhatian utama, dari teknik dan cara -cara yang digunakan serta kaidah-
kaidah berfikir dalam melakukan interpretasi data.

Kepastian (objektivitas). Kepastian data indentik dengan makna


objektivitas. Objektif berarti sesuai dengan fakta apa adanya, bukan data rekaan dan
bukan interpretasi yang melanggar kaidah intersubjektivitas.

Apabila solusi terhadap masalah sosial diperoleh melalui AR, maka validitas tersebut
ditunjukkan dengan menjadikan perubahan sosial terwujud. Dalam "context centered
knowledge" efektivitas cara tersebut harus dikomunikasikan. Meskipun lokasinya khusus,
AR difokuskan terhadap penyelesaian masalah dan perubahan sosial. Hasil tersebut harus
nyata dalam mengatasi masalah sehingga yang disebut generalisasi (validitas
ekstemal) dalam situasi yang berbeda harus direformulasi dalam konteks yang
berbeda (lokasi maupun situasi) dan akan merupakan perbandingan silang antara berbagai
kasus yang serupa.
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
a. Monitoring Data
1) Monitoring diri sendiri
2) Monitoring rekan (kolaborator)
3) Monitoring oleh subjek
4) Monitor bersama
b. Triangulasi
Teknik "triangulasi" dalam penelitian AR dapat dilakukan melalui triangulasi
data, triangulasi teori, triangulasi metode. Pada umumnya yang dilakukan
adalah triangulasi data, yang adalah suatu teknik pemeriksaan keabsahan data
melalui sumber yang berbeda. Triangulasi metode merupakan perlakuan
beberapa metode yang berbeda (wawancara, observasi, catatan lapangan dan
rekaman vidio) dan triangulasi teori adalah konfirmasi dengan teori (dukungan
teori yang relevan).
c. Pengecekan Diskusi Sejawat (Kolaboator)
d. Kecukupan Referensial
e. Uraian Rinci
Uraian rinci dilakukan untuk mencapai aspek keteralihan dari hasil
penelitian ini. Dalam penelitian AR, penulisan rinci dilakukan mengikuti alur siklus
yang mencerminkan empat tahap: 1) perencanaan (planning), 2) tindakan
(action), 3) pengamatan (observing) dan 4) Perenungan (reflecting). Uraian
rinci secara total (the total action), dituturkan secara simultatif dalam tataran
proses berkelanjutan (on going process).
f. Auditing
Seperti dijelaskan Harpem (1983) bahwa pelaksanaan audit sepatutnya
diawali dengan tahap penelusuran data dan melakukan proses audit dengan
empat tahap : 1) praentri, 2) penetapan dapatnya diaudit, 3) kesepakatan
formal, 4) penentuan keabsahan dan diakhiri dengan closure.
Untuk memenuhi proses audit, data diklasifikasi sebagai berikut: (1)
data mentah: hasil rekaman video, catatan lapangan, dan hasil wawancara; (2)
data yang direduksi: catatan lapangan lengkap, ikhtisar hasil observasi,
ikhtisar data kuantitatif berupa data asesmen proses dan produk, dan
hipotesis kerja. Data yang tereduksi dikemas dalam satu paket analisis data
(koleksi data, validasi data, penafsiran data dan rencana tindak lanjut); (3)
sintesis data: temuan dan pembahasan dengan tinjauan teori kepustakaan, simpulan
dan laporan akhir; (4) catatan proses penyelenggaraan, dari awal hingga akhir
penelitian; (6) bahan yang terkait dengan proyeksi hasil penelitian, terkait dengan
prediksi dan implikasi; (6) informasi tentang pengembangan instrumen yang
digunakan: format observasi, format asesmen kinerja guru, format asesmen
kinerja subjek, dan format asesmen produk.

7. Analisis, Interpretasi dan Sintesis Data


a. Analisis dan Interpretasi Data
Analisis data
Analisis data dilakukan selama proses berlangsung (ongoing proses data analysis).
Menurut Becker (dalam Hopkins, 1993: 148-161), ada empat tahap data analisis
proses berkelanjutan yakni : 1) koleksi data (data collection), 2) pemeriksaan
keabsahan data (validation), 3) penafsiran data (interpretation) dan 4) rencana
tindak lanjut (action plan). Analisis data juga sangat terkait dengan reduksi data mentah
menjadi data yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. Proses analisis dilakukan sejak
praobservasi, fase penghangatan --bila ada--, fase tindakan dan pasca tindakan
mengikuti alur dan disain yang telah dirumuskan.
Penafsiran Data
Untuk menafsirkan data secara keseluruhan, kriteria yang digunakan untuk
menjustifikasi bahwa sudah terjadi peningkatan yang berarti (significant
improvement), dapat digunakan kriteria kuantitatif sebagai tolok ukur atau
justifikasi kualitatif. Kriteria kuantitatif dapat menggunakan rerata, varians, atau nilai
mutlak pada pengujian statistik non parametrik bila diperlukan.
b. Sintesis Data
Mensintesis data berarti merangkum semua informasi yang
diperlukan sedemikian rupa sehingga mudah dikomunikasikan kepada clan
difahami oleh orang lain. Sintesis data akan menggambarkan hasil analisis data
berclasarkan suatu kriteria bahwa perubahan atau peningkatan telah terjadi
sampai pada titik atau level yang diestimasikan.
VII. PERMASALAHAN

1. Sebagai Guru :

Guru tidak menguasai bidang studi, sehingga proses pendidikan tidak berjalan dengan
baik
Guru tidak mampu untuk menggunakan teknik dan pendekatan dalam kegiatan
mengajar
Guru yang tidak profesional memnyebabkan system pembelajarannya tidak optimal
Penyajian naskah tidak sesuai dengan kebutuhan belajar mengajar
Guru tidak menjalankan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, dll.

2. Sebagai Siswa :

Sering bolos (lari) dalam kegiatan belajar-mengajar


Tidak menyelesaikan tugas yang di berikan
Kurangnya kesadaran terhadap waktu yang tersedia (tidak sadar waktu)
Tidak bisa menggali kemampuan yang ada (tidak sadar mutu)
Tidak hormat atau menghargai terhadap figure yang memberikan mereka pengetahuan
Kurangnya pemahaman dalam membaca

3. Sebagai Kepala Sekolah :

Terlalu banyak urusan di luar sekolah


Tidak mengetahui perkembangan di sekolah
Tidak menunjukan figur sebagai seorang pemimpin

4. Dari segi proses pembelajaran di sekolah :

Ketidaksiapan pengajar dalam melakanakan proses pembelajaran, sehingga


memungkinkan proses pembelajaran terbata-bata, atau tidak berjalan dengan baik.
Ketidak siapan pelajar yang kurang memperhatikan, sehingga menyebabkan proses
belajar seperti tidak berarti apa-apa, atau si pelajar tidak mengerti saat proses
pembelajaran berlangsung.
Sarana penunjang yang kurang, sehingga menyebabkan proses belajar sering
terhambat atu tidak tuntas dengan baik, seperti buku, kapur tulis, atau white board, dll.
s

VIII. SARAN-SARAN PEMECAHAN MASALAH

1. Sebagai Guru :

Sebaiknya Guru harus menguasai bidang studi, agar proses pendidikan akan berjalan
dengan baik
Guru harus mampu untuk menggunakan teknik dan pendekatan dalam kegiatan
mengajar, agar memungkinkan siswa dapat mengerti penjelasan guru.
Sebaiknya Guru harus profesional supaya system pembelajarannya berjalan secara
optimal
Penyajian naskah harus sesuai dengan kebutuhan belajar mengajar
Dan Guru harus menjalankan kurikulum sesuai dengan yang ditetapkan oleh
pemerintah, dll.

2. Sebagai Siswa :

Menjauhkan diri dari sifat Sering bolos (lari) dalam kegiatan belajar-mengajar
Harus selalu menyelesaikan tugas yang di berikan (pekerjaan rumah)
Kesadaran harus tinggi terhadap waktu yang tersedia (Optimalkan waktu)
Harus bisa menggali kemampuan yang ada (Sadar mutu)
Senantiasa hormat atau menghargai terhadap figure yang memberikan mereka
pengetahuan (Guru/pengajar)
Harus meningkatkan pemahaman dalam membaca

3. sebagai kepala sekolah

Mengurangi urusan yang terlalu banyak di luar sekolah yang tidak penting
Harus mengetahui perkembangan di sekolah. Baik di dalam sekolah sendiri maupun
di sekolah lain
Harus dapat menunjukan figur sebagai seorang pemimpin
4. Dari segi proses pembelajaran di sekolah :

Persiapan diri pengajar dalam melakanakan proses pembelajaran, agar proses


pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
Kesiapan diri pelajar yang harus memperhatikan, agar proses belajar bermakna, atau
si pelajar mengerti saat proses pembelajaran berlangsung.
Sarana penunjang yang harus lengkap, sehingga proses belajar tidak terhambat atau
dapat tuntas dengan baik, seperti buku, kapur tulis, atau white board, dll.

Anda mungkin juga menyukai