TUGAS MAKALAH DASAR PENDIDIKAN Dan MANAGEMEN
TUGAS MAKALAH DASAR PENDIDIKAN Dan MANAGEMEN
OLEH :
ELVIRA. MASSI
08 310 284
MANFAAT
2. Bagi Calon Guru : Calon guru akan lebih siap dalam menghadapi tugasnya
nanti karena dia sudah mempelajari bagaimana
kurikulum itu sebenarnya, sebagai penunjang
didalam proses pembelajaran nantinya, sehingga
materi tersebut dapat diserap dengan baik oleh siswa.
1. Hakikat pendidikan
Dari segi bahasa, pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya)
mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan
(latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya (Poerwadarminta,
1991).
Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah kita dapat merujuk kepada berbagai
sumber yang diberikan para ahli pedidikan. Dalam Undang-Undang sistem
pendidikan Nasional (Pasal I UU RI No. 20 th. 2003) dinyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan prows
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
bangsa dan negara.
Menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah memberi pertolongan secara cedar dan
segaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju
kearah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas
segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro
mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan
nilai moral (kekuatan batin, karakter), fikiran (intellect) den tumbuh anak yang
enters satu den lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kite didik selaras.
Istilah pendidikan nilai termasuk barang asing ditelinga masyarakat bahkan didunia
pendidikan sekalipun. Hal ini dikarenakan 2 hal: pertama belum merakyatnya
sumbangan-sumbangan nilai/moral bagi masyarakat umum yang berasal dari
rahim pendidikan nilai. Kedua belum banyaknya fakultas yang
mengembangkannya dan jugs tingkat hunian akademik pada program pendidikan
nilai sangat miskin. Namun demikian, pendidikan nilai sebenarnya adalah hakikat
dan tujuan pendidikan itu sendiri. Di Indonesia sendiri baru due program studi
yang mengembangkan pendidikan nilai yaitu Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) di Bandung dan Unversitas Negeri Malang di Malang Jawa Timur. Itupun
berada di level Program dan sekolah Pascasarjana kedua universitas.
Secara lebih rinci pendidikan dan nilai bisa mempunyai makna sendiri-sendiri,
namun jika disatukan maka akan muncul beberapa definisi tentang pendidikan
nilai (Mulyana, 2004), ini berarti makna pendidikan nilai, memicu banyak arti
dan pengertian. Sastraprateja memberikan definisi Pendidikan nilai adalah
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang (kaswardi, 1993),
sedangkan Mardimadja (1986) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai
bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Kedua pakar
ini sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri
yang diajarkan lewat beberapa mata kuliah akan tetapi mencakup seluruh
proses pendidikan (Mulyana, 2004). Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan
itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan nilai akan muncul dengan
sendirinya. Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan (Sukanta, 2007).
Benang merah yang dapat ditarik dari konsep Driyarkara adalah "perlunya
keseimbangan antara dimensi kognitif dan afektif dalam proses pendidikan". Artinya untuk
membentuk manusia seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan kecerdasan berpikir
atau IQ anak didik melalui segudang ilmu pengetahuan, melainkan juga harus dibarengi
dengan pengembangan perilaku dan kesadaran moral.
Karena hanya dengan kombinasi seperti itulah peserta didik akan mampu menghargai
nilai-nilai humanitas di dalam dirinya dan orang lain. Disinilah hakikat Pendidikan nilai yang
sebenarnya.
Di sisi lain Pendidikan nilai bisa berarti educare yang berarti membimbing, menuntun,
dan memimpin. Filosofi pendidikan sebagai educare ini lebih mengutamakan proses
pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik
dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktivitas hidup untuk
menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga
tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang sangat dicita-citakan.
Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan
untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan
keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik
diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik melebihi dari
posisi sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik.
Karena itu, suatu usulan rumusan komprehensif menyeluruh yang terbuka kiranya jauh
lebih menguntungkan untuk menyiapkan generasi masa depan. Usulan rumusan tersebut
adalah: Pendidikan nilai bertujuan mendampingi dan mengantar peserta didik kepada
kemandirian, kedewasaan, kecerdasan, agar menjadi manusia profesional (artinya memiliki
keterampilan (skill), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian/pengorbanan)
yang beriman dan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat,
nusa dan bangsa Indonesia. Dalam bahasa -undang bisa dikatakan bahwa tujuan Pendidikan adalah
membentuk manusia seutuhnya.
Tujuan pendidikan nilai secara global adalah mencapal manusia yang seutuhnya atau
manusia purnawan, jika menggunakan bahasa Driyarkara. Pendidikan bermaksud
mencapai manusia yang sehat atau mencapai pribadi yang terintegrasi jika menggunakan
bahasa Philomena Agudo. Integrasi pribadi memadukan semua bakat dan kemampuan
daya manusia dalam kesatuan utuh menyeluruh. Pembawaan fisik, emosi, budi, dan
rohani diselaraskan menjadi kesatuan harmonis. Pendidikan itu manifestasi non scholae sed
vitae discimus.
Kelimabelas manifestasi aktualisasi diri hasil pendidikan nilai itu menjadi modal dasar
untuk membangkitkan semangat kemaslahatan untuk sesama. Kesimpulannya, Pendidikan
nilai bukan hanya menyediakan sumber daya manusia bagi sektor ekonomi tanpa
kehilangan keutuhannya, tapi Pendidikan nilai juga membentuk manusia-manusia yang
mampu mengatasi krisis yang rumit sekalipun. Inilah sejatinya pendidikan nilai yang,
bermuara pada konsep "educate the head, the heart, mrcl flit, hanul ".
Berpijak pada pola kandungan filsafat maka pendidikan, nilai juga mengandung tiga
unsur utama yaitu ontologis pendidikan nilai, epistemologis pendidikan nilai dan aksiologis
pendidikan nilai.
Objek formal Pendidikan nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena
atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak
utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang
berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi
syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu
terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh
memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik
tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan terjadi mata
rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik pendidik atau
antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan nilai atau pakar Pendidikan nilai demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan nilai
memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan
pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan
(kebijaksanaan atau wisdom), fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan
objek formalnya, telaah Pendidikan nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan
melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan nilai sebagai ilmu otonom yang
mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatic (Randall & Buchler, 1942).
Kemanfaatan teori pendidikan nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai
tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek
melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkalkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan. Dengan demikian pendidikan nilai tidak bebas nilai mengingat hanya
terdapat Batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan nilai dan tugas pendidik
sebagai pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan nilai
sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya
pendidikan nilai memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek.
Namun harus diakui bahwa Pendidikan nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di negara Indonesia.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau
obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi
dunia serta realitas yang nenindasnya. Dunia dan realitasnya bukan "sesuatu yang ada dengan
sendirinya", dan karena itu "harus diterima menurut apa adanya", sebagai suatu takdir
atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas penuh sikap
kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan
indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan. Di sinilah urgensi human being (memanusiakan manusia) merupakan
upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual,
bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang
dihadapi. Sekali lagi inilah atmosfer pendidikan nilai.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter,
tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya
mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan
Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada
pengembangan model "pendidikan afektif'. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal:
menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran.
Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih
penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari
model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis
dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian
besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai
masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa,
dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan,
melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar,
melihat, diskusi, den melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan
cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif
merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101
strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi
pembelajaran.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan
membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah darn gembira dengan memadukan
potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien,
dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang
mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini
bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia
kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang
melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping
pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua
ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat,
menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada
guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan
Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar
dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing
(belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah
learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan
melakukan refleksi).
Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai
tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk
kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan
alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses
dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu
memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut "perjalanan menuju
kekedalaman diri sendiri", menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya
refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga
diriya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh
pengalaman seseorang. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan kelas yang pertama adalah
faktor gurunya, kemudian faktor kedisiplinan, terus evaluasi atau penilaian bagi peserta didik.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengadakan pembaharuan pendidikan
adalah perumusan dasar filosofi pendidikan, misi dan visi setiap unit kerja, strategi dan
perencanaan untuk mencapai tujuan yang banyak membantu dan menjadi pedoman dalam
pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Tanpa itu semua, suatu lembaga pendidikan akan
bekerja serampangan dan tidak tahu ukuran apa yang akan dipakai untuk mengukur
keberhasilan dan kegagalan segala kegiatan yang ada. Warna sistem pendidikan dan
pengelolaannya sangat tergantung dari dasar filosofi, visi dan misi yang dimiliki oleh
suatu lembaga pendidikan. Pelaksanaan yang secara konsisten dan konsekuen akan
dengan sendirinya membentuk identitas yang membedakan dengan lembaga sekolah lain.
Hal-hal ini pula yang akan memberikan roh yang menjiwai dan menggerakkan semua
pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan yang optimal. Perlu pula dibangun suatu budaya
pengelolaan keorganisasian yang jelas dan terinci sehingga semua dapat bekerja secara
proaktif, mendahulukan yang utama, selalu melihat tujuan akhir, kooperatif, berpikir
menangmenang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti dan mewujudkan
sinergi. Semua anggota komunitas pendidikan hendaknya bergerak dari ketergantungan
melewali kemandirian menuju kesalingtergatungan.
3. Tujuan pendidikan
Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Akan dibawakemanakah sebenarnya anak didik
itu? Soal ini adalah soal yang paling sulit dibicarakan dalam hal mendidik. Soal "tujuan
pendidikan" merupakan soal yang prinsipil dalam pedagogik.Maka dari itu, sebelum kita
membicarakan tujuan pendidikanyang khusus berlaku di negara kita dewasa ini (Undang-
Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 tahun 1954 dan Undang-Undang No. 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional), untuk sekadar menambah pengetahuan kita
tentang pendidikan, marilah kita tinjau dahulu beberapa hal. Segala apa yang kita katakan
tentang tujuan pendidikan ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup.
Dahulu, ketika VOC berkuasa di Indonesia ini, ada pula sedikit mendirikan
sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi bumiputradi beberapa kota perniagaan. Tetapi,
jelas di sini bahwa tujuannya it u bukanlah untuk mempertinggi kebudayaan rakyat,
melainkan hanyalah sekadar memenuhi kebutuhan mereka mencari tenaga kerja murah untuk
kepentingan monopoli perdagangan mereka. Dilain pihak lagi ada maksud pengembangan
agama Nasrani (missi Ian Zending) kepada rakyat jajahannya.
Sekarang zaman telah berubah, Indonesia telah merdeka. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan yang berlaku sekarang pun berlainan pula. .
Tetapi, yang pasti dan harus kita ingat ialah si pendidik sendiri harus memiliki dan
menentukan tujuan hidupnya sendiri. Tujuan pendidikan berhubungan erat dengan tujuan
dan pandangan hidup si pendidik sendiri. Nyatalah, bahwa untuk mendidik itu diperlukan
suatu syarat yang mutlak: Si pendidik sendiri harus telah memiliki (mempersatukan diri
dengan) norma-norma yang tertentu sehingga ia dapat disebut orang yang berkepribadian.
Segala yang diperbuatnya terhadap anak, dalam keadaan yang demikian oleh pendidik,
baru dapat dikatakan mempunyai tujuan sendiri yang tegas di dalam hidupnya. Seorang
pendidik tidak akan tahu kemana anak akan dibawanya (dididik) jika tictak mengetahui
jalan hidupnya. Ingatlah kata-kata yang terkenal dalam pedagogik "Pendidik tidak dapat
memberikan sesuatu kepada anak didiknya, kecuali hanya apa yang ada padanya".
Seorang ayah yang ateis, umpamanya, tidak mungkin mendidik anaknya agar berbakti
dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Seorang guru yang miskin perasaan sosialnya,
tidak akan mampu memasukkan perasaan sosial yang sebenarnya kepada anak didiknya.
Seorang ibu yang berperasaan lemah lembut dan kasih sayang, tentu akan lebih mudah
mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berperasaan halus dan cinta sesama manusia
daripada seorang ibu yang kasar dan keras tingkah lakunya, dan sebagainya.
2. Macam-Macam Tujuan Pendidikan
a. Tujuan umum,
b. Tujuan-tujuan tak sempurna (tak lengkap),
c. Tujuan-tujuan sementara,
d. Tujuan-tujuan perantara, dan
e. Tujuan insidental.
a) Tujuan Umum
Tujuan umum disebut juga tujuan sempurna, tujuan terakhir, atau tujuan bulat.
Tujuan umum ialah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan
orang tua ataupendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu
dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat padaanak didik itu sendiri
dan dihubungkan dengan syarat-syaratdan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu.
Tujuan umum ini tidak akan dan tidak dapat selalu diingat oleh si pendidik
dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karenaitulah, tujuan umum itu selalu
dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus mengingat keadaan dan faktor-faktor
yangterdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya seperti
(1) Sifat pembawaan anak didik: umur, jenis kelamin, watak dan kecerdasannya.
(2) Kernungkinan dan kesanggupan keluarga anak didik, miskin atau kaya, terpelajar
atau tidak dan lain-lain. Masih primitif atau sudah majukah masyarakat sekitar
anak itu ? Apakah adat-istiadat masyarakat di situ menghambat atau melancarkan
jalannya pendidikan anakanak itu ? Dan sebagainya.
(3) Tempat dalam masyarakat yang menjadi tujuan anak didik itu. jabatan-jabatan,
pekerjaan-pekerjaan, dan fungsi-fungsi masyarakat apakah yang diperlukan ?
Pertanian, perindustrian, perekonomian, pemerintahan, perdagangan, dan
sebagainya adalah lapangan-lapangan kemasyar'aatan yang memerlukan syarat-
syarat tertentu dan tiap-tiap orang. Dengan kata lain, tidak kepada semua anggota
masyarakat merninta syarat-syarat yang sama.
(4) Tugas badan-badan dan tempat pendidikan. Keluarga atau rumah tangga, sekolah,
badan-badan keagamaan, badanbadan sosial, dan sebagainya sudah tentu
mempunyai tugas yang berbeda-beda dalam mendidik anak-anak. Masingmasing
akan memperhatikan kepribadian anak-didik.dari sudutnya sendiri-sendiri.
(5) Tugas negara dan masyarakat di sini dan sekarang. Tugas suatu bangsa atau umat
manusia di dalam suatu negara yang dijajah atau yang sudah merdeka berlainan.
Demikian pula, keadaan bangsa dan urnat manusia dahulu berbeda dengan
sekarang. Maka dari itu, tujuan sempurna dengan sendirinya mengalami
penentuan yang berlainan pula.
(6) Kemampuan-kemampuan yang ada pada pendidik sendiri. Seperti pernah
diuraikan, hidup si pendidik turut menentukan arah tujuan pendidikan. Dernikian
pula, kecakapan-kecakapan, kesanggupan, pengetahuan, dankehidupan si
pendidik itu. Tujuan umum ini dengandemikian harus ditentukan yang sungguh-
sungguh konkrit dengan memperhitungkan dan memperhatikan segala kenyataan.
Tujuan tak sempurna ini bergantung kepada tujuan umumdan tidak dapat
terlepas dari tujuan umum itu. Memisahkan tujuan tak lengkap menjadi tujuan sendiri
sehingga merupakan tujuan terakhir atau tujuan umum dan pendidikan menjadi berat
sebelah, dan berarti tidak mengakui kepribadian manusia sebulat-bulatnya dan seutuh-
utuhnya. Ingatlah pendidikan hendaklah harmonis, integral, dan seimbang.
c) Tujuan-Tujuan Sementara
Tujuan sementara itu merupakan tempat-tempat perhentiansementara pada
jalan yang menuju ke tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar
kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, dan belajar bermain-main bersama
teman-temannya.Umpamanya, kita melatih anak belajar berbicara agar anakdapat
berbicara dengan baik dan benar. Dalam hal ini tujuankita telah tercapai (tujuan
sementara), yaitu anak dapatberbicara. Tetapi, tidak hanya sampai di situ tujuan kita.
Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan baik dan sopan santun
terhadap sesama manusia' berbicara dengan struktur tata kalimat yang benar, agar ia
berbuat susila (tujuan tak lengkap), dan seterusnya.
Demikian pula melatih anak untuk belajar kebersihan, belajar berbelanja, dan
sebagainya adalah tujuan sementara.Tujuan sementara ini merupakan tingkatan-
tingkatan untuk menuju kepadatujuan umum. Untuk mencapai tujuan-tujuan
sementara itu di dalam praktek harus mengingat dan memperhatikan jalannya.
perkernbangan pada anak. Untuk itu maka perlulah psikologi perkembangan.
d) Tujuan-Tujuan Perantara
Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Umpamanya, tujuan
sementara ialah si anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk
apa anak belajar membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam
kernungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti
metode mengajar dan metode membaca.
e) Tujuan Insidental
Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat yang
terlepas pada jalan menuju kepada tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil
anaknya supaya masuk ke dalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, atau
untuk makan bersama-sama; ayah itu mengharap supaya perintahnya itu ditaati.
Tetapi, dalam situasyang lain mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan
itu dan. hanya bersikap netral saja. Contoh lainnyaadalah jika anak pulang sekolah
langsung tanpa memberi salam, melempar tas sekolah dan sepatunya di sembarang
tempat,orang tua atau kakaknya agar mengulang dari depan pintumemberi salam,
menaruh tas dan sepatunya pada tempatnya,atau minimal orang tua atau kakaknya
menasehati agar lainkali memberi salam ketika mau masuk rumah danmenempatkan
tas dan sepatunya pada tempat yang telah tersedia.
Pada abad ke-18 dan. ke-19 disebut abad rasio, yang pada waktuitu teknologi dan
ilmu pengetahuan alam sedang maju pesat, orang lebih mengutamakan hal-hal. yang
berhubungan dengan. kehidupan duniawi dan kebendaan (materi) daripada hal-hal
yangherhubungan kerohanian. seperti keindahan, kesusilaan, dan. agama (ingatlah akan
aliran rasionalisme dalam filsafat, yang kemudian menimbulkan aliran intelektualisme
dan materialisme dalam pendidikan.).
Ditinjau dari sudut anak atau manusia itu sendiri, di samping kedua pendirian. di
atas, ada pula pendidikan yang mementingkan. anak itu sendiri sebagai pribadi, dan ada
pula yang lebih mementingkan manusia itu sebagai anggota masyarakat. Sehingga
dalam hal ini timbullah apa yang disebut pendidikan individual (individueele opvoeding)
dan pendidikan kemasyarakatan (sociale opmeding).
Tentu saja pandangan ini pun berat sebelah. Kemungkinan akan menimbulkan
bahaya kolektivisme, yaitu suatu pendapat yang tidak menghargai "penentuan diri
sendiri atas tanggung jawab sendiri" pada seseorang, yang berarti pula individualitas
dikesampingkan.
Untuk mengakhiri bahasan ini, perlu di sini kita singgung, bagaimana pendapat
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, terutama pendidikan bagi anak-anak kita,
Indonesia.
Sebagai pendiri, bapak, dan pemimpin Perguruan Taman Siswa, pendapat dan
pandangannya tentang pendidikan dapat dilihat pada: Asas-Asas Taman Siswa yang
antara lain sebagai berikut:
(1) Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah menuju ke "tertib damai" yang harus
dicapai dengan mengingati hak-diri dan mengutamakan keperluan umum,
mengganti alat " perintah dan paksaan" dengan usaha memajukan "bertumbuh
sendiri" dengan selalu mementingkan kodrat-iradatnya alam: itulah yang
dinamakan "Among-system " atau cara " tut wuri handayani".
(2) Pengajaran harus memberikan pengetahuan yang perlu dan berguna untuk
kemerdekaan hidup lahir dan batin di dalam masyarakat, dan membiasakan
murid untuk dapat mencari sendiri segala ilmu itu dan mempergunakannya untuk
amal,keperluan umum.
(3) Pendidikan Taman Siswa bermaksud memaksakankeadaban murid (kultural)
dengan dasar kemanusiaan dan aliran kebangsaan.
(4) Cita-cita pendidikan Taman Siswa ialah membangun orangyang berpikir
merdeka, bertenaga merdeka, yaitu manusia yang merdeka lahir dan batin.
Nyatalah dari uraian di atas bahwa yang menjadi dasar untuk' segala usaha
Taman Siswa itu ialah apa yang disebut "Pancadarma. Taman Siswa", yang berisikan
lima syarat mutlak, yaitu: (1) dasar, kodrat alam, (2) dasar kebudayaan, (3) dasar
kemerdekaan, (4) dasar, kebangsaan, dan (5) dasar kemanusiaan.
Pendidikan dalam Taman Siswa berlaku menurut "sistem Among", yaitu sistern
yang mengemukakan dua dasar:
Setelah kita membicarakan berbagai hal mengenai tujuan pendidikan pada umumnya,
makin terang bagi kita bahwa setiap tujuan dalam pendidikan itu ditentukan oleh zaman
dan kebudayaan tempat manusia itu hidup.
Dalam pasal yang lalu diuraikan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sekarang ini
jauh berbeda dengan tujuan pendidikan pada zaman penjajahan. Sebab, tiap-tiap tujuan
pendidikan di suatu negara mau tidak mau ditentukan pula oleh corak pernerintahan dan
bentuk negaranya. Apa yang dituju dengan pendidikan di negara yang dikuasai atau
diperintah oleh satu orang ataupun oleh golongan minoritas, berbeda dengan di negara
yang dikuasai oleh inayoritas. Tujuan pendidikan di negara diktator berbeda dengan di
negara demokrsi. Tetapi, soal tersebut tidak dibicarakan di siniyang penting ialah marilah
kita sekarang menyelami tujuanpendidikan dan pengajaran di negara kita sendiri, sebagai
pegangan dan sebagai dasar di dalam menunaikan tugas kita sebagai pendidik,pembina
masyarakat dan bangsa.Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar dantujuan
pendidikan dan pengajaran itu di dalam Undang-Undangnomor 12 tahun 1954, terutama
pasal 3 dan 4 yang berbunyi sebagaiberikut :
Pasal 3 : Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air.
Pasal 4: Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaksud dalam
"Pancasila", UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas
kebudayaan kebangsaan Indonesia.
Kalau kita meneliti apa yang tercanturn pada pasal-pasal di atas,nyatalah apa yang
menjadi tugas pendidik, yaitu
Uraian selanjutnya dalam bab ini mengacu pada rumusan tujuan pendidikan dalam
Undang-Undang no. 12 tahun 1954 seperti telah dikemukakan di atas. Anak Harus dididik
menjadi manusia susila. Seketika timbullah bermacam-macam pertanyaan dalam diri kita:
a. metode pembelajaran
ILUSTRASI
Penulis buku ini berkunjung ke sebuah SD di Amerika Serikat. Masuk ke kelas III, penulis
disambut hangat oleh guru (seorang wanita ) di kelas itu bersama muhd-muridnya. Oleh
ibu guru penulis dipersilahkan berdiri didepan kelas dan diperkenalkan kepada murid-
murid sebagai seorang tamu dari Indonesia.
Murid-murid dengan antusias memperhatikan tamu di kelasnya, dan sesudah ibu guru
memperkenalkan tamunya itu sejumlah murid spontan mengacungkan tangan.
Ibu guru menunjuk seorang murid yang mengacungkan tangan itu untuk mengemukakan
apa yang ingin disampaikannya. Murid yang ditunjuk itu menanyakan ; " Bendera
Indonesia itu apa, Bu? "
Pada berbagai kesempatan ketika penulis mengutarakan suasana yang terjadi di kelas III
SD tersebut diatas kepada guru-guru ditanah air,dan bertanya kepada mereka :
bagaimana hendaknya respon yang diberikan oleh guru kepada murid atas pertanyaan
itu?jawaban yang pada umumny a dikemukan oleh para guru ialah:
b. Pengintegrasian Kaidah-Kaidah.
Suatu proses pembelajaran, baik dalam skala eksemplar berlangsung dalam puluhan menit
ataupun dalam skala atau eksemplar besar dalam beberapa jam, apabila dikehendaki terlaksana dengan
baik, hendaklah di disain dan diselenggarakan dengan mengintegrasikan kaidah pendidikan
sebagaimana diuraikan terdahulu.
Gambarannya sebagai berikut.
Kewibawaan sebagai kaidah pendidikan dalam buku ini, yang meliputi unsur-unsur
pengakuan dan penerima-an, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, tindakan tegas yang
mendidik, dan pengarahan serta keteladanan, ditampilkan oleh ibu guru Kelas III SD tersebut
di atas. Dengan penampilannya yang penuh perhatian, sopan dan lembut, ceria, dan
bersemangat sang guru menampilkan kesukaannya kepada murid dan cara-cara guru
memperlakukan murid sebagai subjek yang penuh potensi dengan harkat dan martabatnya
yang tinggi. Sedangkan penampilan guru yang mengajak, artikulatif, teknis/ ggstrategis dan
konkrit memperlihatkan penguasaannya yang tinggi terhadap materi, metode, alat bantu dan
sumber, serta lingkungan pembelajaran, sebagai unsur kewiyataan.
Unsur kewibawaan seperti tindakan tegas yang mendidik memang belum ditampilkan dalam
contoh di atas, karena suasana yang membutuhkan tindaan tegas itu memang tidak muncul.
Demikian pula unsur- unsur kewiyataan, yaitu alat bantu pembelajaran secara spesifik dan
penilaian hasil pembelajaran juga belum tampak, karena dalam pembelajaran dengan waktu
yang cukup singkat itu kedua unsur tersebut belum/tidak diperlukan kemunculannya. Dalam
prak-tik pembelajaran dengan skala yang lebih besar keseluruhan unsur kewibawaan dan
kewiyataan diharapkan diterapkan secara penuh
Pada contoh Kelas III SD diatas unsur D (dapat) telah berjalan, yaitu para murid
mendapatkan pemahaman tentang bendera Indonesia yaitu Merah-Putih. Mudah-mudahan
unsur C (catat) dilakukan oleh mereka sampai dengan taraf hafal dan tidak melupakannya.
Unsur T (terap) mudah-mudahan dapat mereka praktikkan pada peristiwa yang tepat. Unsur
D pada contoh di atas memang masih amat terbatas, berhubung dengan terbatasnya skala
pembelajaran yang terjadi. Pada skala pembelajaran yang lebih besar untuk jangka yang lebih
panjang ketiga unsur D-C-T perlu dikembangkan melalui berbagai tahapan kegiatan belajar,
pemantapan, dan penerapan hasil-hasilnya.
6) Konstruk Pembelajaran
Hasil belajar dan pembelajaran yang lengkap dan menyeluruh di samping secara materiil
mencakup seluruh unsur pancadaya, secara kualitas berdimensi triguna, yaitu maknaguna,
dayaguno dan karya-guna. Pertama-tama, hasil belajar yang diperoleh peserta didik dengan
disertai pemahaman atau pemaknaan yang mantap. Pemahaman ini tidak sekedar paham atau
bermakna melainkan pemahaman atau pemaknaan yang bernuansa kontekstual. Inilah yang
disebut maknaguna. Lebih jauh, unsur D yang berkualifikasi maknaguna itu, hendaknya tidak
berhenti di sana, malainkan berlanjut pada kekuatan substansi penuh makna itu yang mampu
mendorong peserta didik ke-arah penerapan tertentu. Unsur D yang telah mampu memotivasi
individu yang bersangkutan, meningkat kualifikasinya menjadi substansi yang ber dayaguna.
Substansi yang berdayaguna itu lebih jauh lagi dapat diwujudkan menjadi kegiatan yang
bermanfaat atau berguna bagi diri individu yang bersangkutan dan kemaslahatan bersama.
Substansi yang bermakna itu menjadi dayaguna dan akhirnya terwujud menjadi karyaguna.
Itulah triguna dalam hasil pembelajaran.
Proses pembelajaran yang lengkap dan berhasil mengharuskan peserta didik memperoleh
hasil belajar dengan tiga dimensinya itu, yaitu triguha. Contoh pembelajaran pada Kelas III
SD di atas, karena keterbatasannya, baru sampai pada hasil belajar dimensi pertama yang
paling awal, yaitu pengetahuan tentang bendera Merah-Putih sebagai bendera bangsa
Indonesia. Penekanan atau pembahasan lebih jauh agaknya belum diperoleh murid-murid
Kelas III SD. Dimensi dayaguna dan karyaguna berkenaan dengan bendera Merah-Putih
tentu masih amat jauh dari jangkauan mereka.
c. Bentuk Pembelajaran
Bentuk-bentuk pembelajaran telah banyak dikenal, baik melalui buku yang diterbitkan di
dalam negeri maupun didatangkan dari berbagai sumber di luar negeri. Bahkan berbagai
bentuk pembelajaran itu telah pula banyak dibelajarkan dan ditatarkan kepada para guru
dan/ataupun calon guru atau pendidik lainnya. Dengan demikian, sesungguhnyalah, bentuk-
bentuk pembelajaran itu tidaklah asing bagi banyak pihak. Permasalahannya adalah
bagaimana bentuk-bentuk pembelajaran itu saling terkait secara harmoni dengan
mengintegrasikan kaidah-kaidah keilmuan pendidikan di dalamnya Pada dasarnya ada lima
bentuk pembelajaran, yaitu penyajian, Tanya-jawab, penugasan, pencarian/penemuan, dan
pemerolehan pengalaman. Gambarannya secara garis besar adalah sebagai berikut.
1) Penyajian
Bentuk pembelajaran penyajian atau ceramah sering kali dianggap sebagai bentuk
yang paling elementer atau tradisional. Semua orang dapat dengan mudah melaksanakannya,
yaitu dengan menyajikan atau memaparkan suatu uraian yang dikehendaki oleh penyaji. Pe-
nyajian ini biasanya disertai langkah-langkah tertentu, mulai dari pengawalan, pelaksanaan,
penyajian, dan pengakhiran. Sesungguhnya setradisional bagaimanapun bentuk pembelajaran
atau metode ceramah itu sah-sah saja. Permasalahan akan muncul apabila penyajian itu (isi
dan caranya) dikaitkan dengan peserta/penerima ceramah itu: apakah mereka dapat
mengikutinya dengan baik dan memperoleh sesuatu yang berguna berkenaan dengan materi
yang disajikan itu? Permasalahan ini terkait dengan aplikasi kaidah-kaidah keilmuan (lihat
Matrik 14 dan 15) pendidikan yang akan mengarahkan metode ceramah atau penyajian yang
tradisional menjadi kontekstual dan kontemporer.
2) Tanya jawab
Bentuk pembelajaran ini tergolong konvensional yang sedikit banyak lebih maju
dibanding metode ceramah yang elementer dan tradisional itu. Metode Socrates yang
diperkenalkan oleh filsafat Yunani (bernama Socrates) itu menjadi terkenal karena melalui
tanya jawab yang intensif dan ekstensif permasalahan atau topik yang menjadi fokus dalam
proses pembelajaran dapat tergali sehingga mencapai hasil pembelajaran yang berkualitas
triguna. Dalam spektrum yang sangat luas, bentuk pembelajaran tanya jawab terbentang dari
sekedar menanyakan penguasaan (hafalan) atas materi yang telah disajikan, meningkat
menjadi diskusi ter- struktur, meningkat lagi menjadi tanya jawab yang mengarah kepadl
pendalaman dan analisis, sampai dengan Metode Sokrates. Dalam spektrum yang semakin
meluas itu kaidah-kaidah keilmuan pendidikan (lihat Matrik 18 dan 19) diimplementasikan.
Langkah-langkah yang digunakan dalam bentuk tanya jawab ini lebih bervariasi dibanding
bentuk penyajian.
3) Penugasan
Dalam pembelajaran dengan penugasan pendidik mengintervensi peserta didik dengan
semacam instruksi agar peserta didik melakukan sesuatu berkaitan dengan materi
pembelajaran. Dalam instruksi itu dua hal sangat esensial, yaitu pertama tentang bentuk
kegiatan atau cara-cara yang harus dilakukan oleh peserta didik, dan kedua tentang isi dari
kegiatan yang harus dilakukan itu. Kedua hal itu merupakan komponen dasar bagi
terlaksananya tugas menjadi materi pembelajaran yang dimaksudkan. Kegiatan yang
merupakan pelaksanaan dari penugasan itu dapat dilakukan di tempat yang sesuai, seperti
laboratorium, bengkel, perpustakaan, dan lain-lain. Bentuk dan isi kegiatan akan menentukan
langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan penugasan. Lebih jauh, perlu mendapat
perhatian juga bahwa suksesnya penugasan itu tidak semata-mata tergantung pada adanya
jenis kegiatan dan materi kegiatan saja, melainkan terlebih lagi ditentukan oleh kualitas
berbagai aspek yang menyertainya, baik aspek-aspek yang ada pada diri peserta didik,
pendidik maupun lingkungan. Berbagai aspek yang menyertai terlaksananya penugasan itu
adalah kaidah-kaidah keilmuan pendidikan, (lihat Matrik 14 dan 15) yang pertama-tama
harus menjadi perhatian pendidik sebagai penanggung jawab atas suksesnya pembelajaran.
5).Pemeralehan Pengalaman.
Bentuk pembelajaran ini mengharuskan peserta didik terjun langsung ke dalam suatu
kegiatan, dan terlibat sepenuhnya di dalam kegiatan Itu. Melalui bentuk pembelajaran ini
peserta didik diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam berbagai aspeknya,
misalnya pengalaman yang menyangkut pemahaman, perasaan, psikomotorik dan bebagai
keterampilan nyata.
Untuk suksesnya pemerolehan pengalaman yang dimaksudkan Itu, jenis dan bentuk
kegiatan yang harus dilakukan peserta didik perlu dispesifikasi secara jelas, dan demikian
pula perangkat peralatan yang digunakannya. Lebih jauh, jenis-jenis kegiatan dan peralatan
yang ada itu dirumuskan langkah-langkah kerja yang harus ditempuh. Proses pembelajaran
dengan bentuk pemerolehan pengalaman itu dianggap bentuk yang paling maju dan dapat
menyentuh seluruh aspek pancadaya yang perlu dikembangkan, yaitu daya taqwa, cipta, rasa,
karsa dan karya.
Selain kelima bentuk pembelajaran di atas, di sini perlu disinggung tentang pengujian.
Pengujian seringkah dianggap sebagai bagian akhir dari suatu atau serangakaian proses
pembelajaran. Pengujian merupakan bentuk pembelajaran tersendiri apabila ia terselenggara
sebagai satu.
unit program yang direncanakan secara terpisahkan dari proses pembelajaran tertentu.
Program ulangan/ujian semester, ujian kenaikan kelas, ujian akhir sekolah, dan ujian nasional
dapat digolongkan ke dalam kegiatan pembelajaran dalam bentuk pengujian itu. Untuk hal-
hal tertentu program seleksi masuk lembaga pendidikan dan/atau lembaga kerja tertentu dapat
pula digolongkan ke dalam bentuk pengujian tersendiri seperti itu. Program ulangan/ujian
yang dimaksudkan itu memerlukan adanya ketegasan tentang materi yang akan diujikan dan
prosedur pengujiannya. Dengan ketegasan itu peserta didik dapat mempersiapkan diri
mengenai materi yang akan diujikan dan juga cara-cara atau langkah-langkah yang akan
dijalani dalam proses pengujian. Dalam kondisi demikian acara pengujian yang terprogram
tersendiri itu merupakan bentuk pembelajaran yang prosesnya dijalani oleh peserta didik.
Demi suksesnya program pengujian yang dimaksudkan itu, kaidah-kaidah pendidikan perlu
pula diterapkan secara tepat dan optimal.
berupa hal-hal yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat kompleks;
dalam bentuk sangat konkrit sampai dengan sangat abstrak;
diambil dari tempat yang sangat dekat, menempel pada atau berada di dalam
diri sendiri sampai dengan yang sangat jauh atau bahkan tidak terjangkau
atau tak terhingga jaraknya;
berupa kondisi atau produk takwa, cipta, rasa, karsa, dan/atau karya;
berbentuk benda nyata, gambar, simbol, abstraksi, atau personifikasi yang
dapat ditangkap melalui satu atau lebih indera manusia;
yang ada sekarang, waktu yang telah berlaku, dan/atau waktu yang akan
datang.
Kedua, materi pembelajaran dan alat bantu pembelajaran saling terkait yang satu
dengan lainya. Suatu hal dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran apabila di satu sisi dari
padanya dapat digali berbagai hal yang terkait dengan pengembangan peserta didik sesuai
dengan tujuan pendidikan, dan dilain sisi hal itu dapat pula dijadikan alat bantu pembelajaran
apabila dioperasionalkan secara teknis dalam rangka menunjang pembentukan
pengembangan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal-hal yang digali dari materi
pembelajaran adalah objek-b)ak berkenaan dengan kompetensi atau kemampuan WPKNS
peserta didik terkait dengan unsur-unsur HMM (hakikat, dimensi, dan pancada-ya
kemanusiaan). Dalam pada itu, aspek operasional teknis alat bantu pembelajran amat
tergantung pada kemampuan pendidik menggunakan alit bantu yang dimaksud dan
kemampuan peserta didik mengakses dan memperoleh sesuatu sebagai hasil belajar (dalam
dimensi triguna).
No. Substansi
ilustras
i
Dari gambaran di atas, perlu digarisbawahi bahwa segala sesuatu dapat dijadikan
materi pembelajaran dan/atau alat bantu pembelajaran. dengan demikian, apabila
dipertanyakan tentang dari mana datangnya materi pembelajaran dan alat bantu pembelajaran
itu? Jawabnnya, dapat dari mana-mana, tergantung pada tujuan pembelajaran yang telah
(lilctapkan. Berbicara lebih terarah, sumber dari materi pembelajaran (I.in alat bantu
pembelajaran dapat dikategorikan ke dalam lima ranah, yaitu diri pendidik, diri peserta didik,
lingkungan, kondisi insidental, dan liasil karya/budaya.
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (4), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (3), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat,(2), Pasal 28 ayat (5), Pasal 29 ayat (5),
Pasal 35 ayat (3), Pasal 7 ayat (5), dan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Guru;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4586);
MEMUTUSKAN:
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kualifikasi Akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh
Guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
3. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk Guru.
4. Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada Guru
sebagai tenaga profesional.
5. Gaji adalah hak yang diterima oleh Guru atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Organisasi Profesi Guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan
diurus oleh Guru untuk mengembangkan profesionalitas Guru.
7. Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama adalah Perjanjian tertulis antara Guru
dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja
serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Guru Tetap adalah Guru yang diangkat oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2
(dua) tahun secara terus-menerus, dan tercatat pada satuan administrasi pangkal di satuan
pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah serta
melaksanakan tugas pokok sebagai Guru.
9. Guru Dalam Jabatan adalah Guru pegawai negeri sipil dan Guru bukan pegawai negeri
sipil yang sudah mengajar pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, maupun penyelenggara pendidikan yang sudah mempunyai Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama.
10. Pemutusan Hubungan Kerja atau Pemberhentian Kerja adalah pengakhiran Perjanjian
Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama Guru karena suatu hal yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara Guru dan penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan
11. Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disingkat TK adalah salah satu bentuk satuan
Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan
program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
12. Raudhatul Athfal yang selanjutnya disingkat RA dan Bustanul Athfal yang selanjutnya
disebut BA adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur
pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama
Islam bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
13. Pendidikan Dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi
jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan pada satuan pendidikan yang
berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta
menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat.
14. Sekolah Dasar yang selanjutnya disingkat SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan Dasar.
15. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disingkat MI adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Dasar.
16. Sekolah Menengah Pertama. yang selanjutnya disingkat SMP adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang
Pendidikan Dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI.
17. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disingkat MTs adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama. Islam pada jenjang Pendidikan Dasar sebagai lanjutan
dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui
sama atau setara SD atau MI.
18. Pendidikan Menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang
merupakan lanjutan Pendidikan Dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah
Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain
yang sederajat.
19. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disingkat SMA adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal Yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang Pendidikan
Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan
dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
20. Madrasah Aliyah yang selanjutnya disingkat MA adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai lanjutan
dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari basil belajar yang diakui
sama atau setara SMP atau MTs.
21. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang
Pendidikan Menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat
atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
22. Madrasah Aliyah Kejuruan yang selanjutnya disebut MAK adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan
kejuruan dengan kekhasan agama. Islam pada jenjang Pendidikan Menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar
yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
23. Sarjana yang selanjutnya disingkat S-1.
24. Diploma Empat yang selanjutnya disingkat D-IV
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah
kota.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non Pemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi
masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang
mengalami bencana alam, bencana social, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat
lain.
29. Departemen adalah departemen yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang
pendidikan nasional.
30. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan
nasional.
KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI
Pasal 2
Pasal 3
Bagian Kedua
Sertifikasi
Pasal 4
(1) Sertifikat Pendidik bagi Guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga,
kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun
Masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diikuti oleh
peserta, didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditunjukkan
dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi Guru untuk
melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau
mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(2) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada, ayat (1) diperoleh melalui
pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program
pendidikan nonkependidikan.
(3) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi calon Guru
dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi Guru.
(4) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Guru Dalam
Jabatan yang belum memenuhinya, dapat dipenuhi melalui:
a. Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
b. Pengakuan hasil belajar mandiri yang diukur melalui uji kesetaraan yang dilaksanakan
melalui ujian komprehensif oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(5) Pendidikan sebagaimana, dimaksud pada ayat (4) huruf a memperhatikan:
a. Pelatihan Guru dengan memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya;
b. Prestasi akademik yang dialcui dan diperhitungkan ekuivalensi satuan kredit
semesternya; dan/atau
c. Pengalaman mengajar dengan masa bakti dan prestasi tertentu.
(6) Guru Dalam Jabatan yang mengikuti pendidikan dan uji kesetaraan. sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), baik yang dibiayai Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun
biaya sendiri, dilaksanakan dengan tetap, melaksanakan tugasnya sebagai Guru.
(7) Menteri dapat menetapkan aturan khusus bagi Guru Dalam, Jabatan dalam memenuhi
Kualifikasi Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar pertimbangan:
a. Kondisi Daerah Khusus; dan/atau
b. Ketidakseimbangan yang mencolok antara kebutuhan dan ketersediaan Guru menurut
bidang tugas.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kualifikasi Akademik, pendidikan, dan uji kesetaraan
sebagaimana, dimaksud pada, ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 6
(1) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memiliki beban
belajar yang diatur berdasarkan persyaratan latar belakang bidang keilmuan dan satuan
pendidikan tempat penugasan.
(2) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain
yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit
semester.
(3) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain
yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit
semester.
(4) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk TK atau RA atau TKLB atau bentuk
lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan
kredit semester.
(5) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang S-1 atau D-IV kependidikan selain untuk SD atau MI atau SDLB atau bentuk
lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan
kredit semester.
(6) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan TK atau RA atau TKLB atau bentuk. lain yang sederajat dan pada satuan
pendidikan SD atau MI atau SDLB atau bentuk lain yang sederajat yang berlatar
belakang sarjana psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh)
satuan kredit semester.
(7) Beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjadi Guru pada satuan
pendidikan SMP atau MTs atau SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan
pendidikan SMA atau MA atau SMALB atau SMK atau MAK atau bentuk lain yang
sederajat, baik yang berlatar belakang S-1 atau diploma empat D-IV kependidikan
maupun S-1 atau D-IV nonkependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40
(empat puluh) satuan kredit semester.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (7) diatur dalam kerangka dasar dan struktur kurikulum oleh
perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi yang mengacu pada standar nasional
pendidikan.
Pasal 7
Pasal 8
Sertifikasi Pendidik bagi calon Guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan
akuntabel.
Pasal 9
(1) Jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
(2) Program pendidikan profesi. diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
(3) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui ujian tertulis dan
ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi.
(4) Ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara komprehensif
yang mencakup penguasaan:
a. Wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik,
pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil
belajar;
b. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran,
kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan
c. Konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual
menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang
diampunya.
(5) Ujian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara holistik dalam
bentuk ujian praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional pada
satuan pendidikan yang relevan.
Pasal 10
(1) Sertifikat Pendidik bagi calon Guru dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat
menjadi Guru.
(2) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi
pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(3) Calon Guru yang tidak memiliki Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetapi diperlukan oleh Daerah Khusus yang membutuhkan Guru dapat diangkat menjadi
pendidik setelah lulus uji kelayakan.
(4) Sertifikat Pendidik sah berlaku untuk melaksanakan tugas sebagai Guru setelah
mendapat nomor registrasi Guru dari Departemen.
(5) Calon Guru dapat memperoleh lebih dari satu Sertifikat Pendidik, tetapi hanya dengan
satu nomor registrasi Guru dari Departemen.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 11
Sertifikat Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperoleh Guru berlaku
selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai Guru sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Guru Dalam Jabatan yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV dapat
langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.
(2) Jumlah peserta uji kompetensi pendidik setiap tahun ditetapkan oleh Menteri.
(3) Uji kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
penilaian portofolio.
(4) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengakuan atas
pengalaman profesional Guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan:
a. Kualifikasi Akademik;
b. Pendidikan dan pelatihan;
c. Pengalaman mengajar;
d. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
e. Penilaian dari atasan dan pengawas;
f. Prestasi akademik;
g. Karya pengembangan profesi;
h. Keikutsertaan dalam forum ilmiah;
i. Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
j. Penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan.
(5) Dalam penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Guru Dalam Jabatan
yang belum mencapai persyaratan uji kompetensi untuk memperoleh Sertifikat Pendidik
diberi kesempatan untuk:
a. Melengkapi persyaratan portofolio; atau
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan di perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kompetensi dan penilaian portofolio sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 13
(1) Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi ditetapkan oleh Menteri dengan
kriteria:
a. Memiliki program studi yang relevan dan terakreditasi;
b. Memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan standar nasional
pendidikan; dan
c. Memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan kriteria
tambahan yang diperlukan untuk penetapan perguruan tinggi penyclenggara pendidikan
profesi atas dasar pertimbangan:
a. Tercapainya pemerataan cakupan pelayanan penyelenggaraan pendidikan profesi;
b. Letak dan kondisi geografis; dan/atau
c. Kondisi sosial-ekonomi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
A. Pengertian Kurikulum
Banyak orang yang menganggap kurikulum berkaitan dengan bahan ajar atau buku-
buku pelajaran yang harus dimiliki anak didik sehingga perubahan kurikulum identik dengan
perubahan buku pelajaran. Benarkah demikian? Apakah kurikulum hanya berkaitan dengan
bahan ajar? Apakah aktivitas siswa mempelajari bahan ajar tidak termasuk kurikulum?
Persoalan kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar akan tetapi banyak persoalan lainnya
termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan, persoalan materi pelajaran, serta persoalan-
persoalan lainnya yang terkait dengan hal itu. Istilah kurikulum digunakan pertama kali pada
dunia olahraga pada zaman Yunani kuno yang berasal dari kata curir dan curere. Pada waktu
itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang
pelari. Orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari mulai start
sampai finish. Selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli
pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam
penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa
kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Kurikulum memang diperuntukkan untuk anak didik, seperti yang
diungkapkan Murray Print (1993) yang mengungkapkan bahwa kurikulum meliputi:
1. planned learning experiences;
2. offered within an educational institution/program;
3. represented as a document; and
4. includes experiences resulting from implementing that document.
Print memandang bahwa sebuah kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar,
program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen serta hasil
dari implementasi dokumen yang telah disusun.
Dari penelusuran konsep, pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian,
yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar dan
kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep
kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor,
Alexander & Lewis, 1981).
Pengertian kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang
dikemukakan oleh Robert M. Hutchins (1936) yang menyatakan: "The curriculum should
include grammar, reading, thetoric and logic, and mathematic, and addition at the secondary
level introduce the great books of the western world".
Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitannya dengan usaha
untuk memperoleh ljazah. ljazah sendiri pada dasarnya menggambarkan kemampuan.
Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah menguasai pelajaran
sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampuan tersebut tercermin dalam nilai setiap
mata pelajaran yang terkandung dalam ijazah itu. Siswa yang belum memiliki kemampuan
atau belum memperoleh nilai berdasarkan standar tertentu tidak akan mendapatkan ijasah,
walaupun mungkin saja mereka telah mempelajari kurikulum tersebut. Dengan demikian,
dalam pandangan ini kurikulum berorientasi kepada isi atau materi pelajaran (content
oriented). Proses pembelajaran di sekolah yang menggunakan konsep kurikulum demikian,
penguasaan isi pelajaran merupakan sasaran akhir proses pendidikan. Untuk mengecek
apakah siswa telah menguasai materi pelajaran atau belum biasanya dilaksanakan tes hasil
belajar.
Maka yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah yang dipelajari siswa dalam setiap
mata pelajaran itu? Ya, manakala kita kaji, yang dipelajari dalam setiap mata pelajaran itu
adalah ilmu pengetahuan sesuai dengan nama setiap mata pelajaran. Misalnya, ketika anak
mempelajari mata pelajaran IPS, maka pada dasarnya mereka mempelajari ilmu pengetahuan
tentang ilmu sosial. Demikian juga ketika siswa mempelajari mata pelajaran IPA, maka pada
dasarnya mereka sedang belajar ilmu pengetahuan alam, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, kurikulum sebagai mata pelajaran pada hakikatnya adalah kurikulum yang berisikan
bidang studi.
Kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik, dalam proses
perencanaannya memiliki ketentuan sebagai berikut:
1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut
menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa.
2. Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal
seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya.
3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan
strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi
pelajaran, semacam menggunakan pendekatan ekspositori.
Pandangan yang menganggap kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran merupakan
pandangan yang dianggap tradisional, walaupun sebenarnya masih banyak dianut orang dan
mewarnai kurikulum yang berlaku dewasa ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak
terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai
suatu institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam kebutuhan dan
tuntutan kehidupan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak saja dituntut
untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang,
akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral
dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam
keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan.
Tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut,
mengakibatkan pula pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai
mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah
seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan
tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu
tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal
saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya
kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan
observasi, wawancara dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena
memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah. Sedangkan, tugas-tugas
lain seperti membantu orang tua bekerja di ladang, atau membantu memasak dan lain
sebagainya, walaupun pekerjaan semacam itu bermanfaat untuk kehidupan siswa, bukanlah
kurikulum, karena pekerjaan dan aktivitas tersebut sama sekali di luar tanggung jawab guru'
Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah
Hollis L. caswell dan campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "... all of
the experiences children have under the guidance of teacher". Demikian juga dengan Dorris
Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai : " ... those experiences of
the child which the school in any way utilizes or attempts to influence" . Lebih jelas lagi
dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P, Mccutchen, dan A. N. Zechiel: " . . . the curiculum . . .
the total expeience with which the school deals in educating young people".
Pendapat-pendapat di atas selanjutnya diikuti oleh tokoh pendidikan berikutnya seperti
Romine (1945) yang mengatakan: "Curiculum is interpreted to mean all af the organized
courses, activities, and experiences wich pupils have under direction of the school, wether in
the classroom or not .Pendapat yang hampir sama diberikan oleh Harold Alberty (1965).
Bagi dia kurikulum itu adalah "all of the activities that are provided for the students by the
school". Demikian juga Saylor dan Alexander (1956) yang menyatakan : " the curriculum is
the sum total of school's efforts to influence learning, wether in the classroom, on the
playground, or out of school". Bagi mereka, kurikulum itu bukan hanya menyangkut mata
pelajaran yang harus dipelajari, akan tetapi menyangkut seluruh usaha sekolah untuk
mempengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas atau bahkan di luar sekolah.
Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman,
selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh
penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang
psikologi belajar. Pandangan baru dalam psikologi menganggap bahwa belajar itu bukan
mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan
demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja
perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebab
itu dalam proses belajar pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekadar
menumpuk sejumlah pengetahuan.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka
untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum
sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang
dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab
kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu
bahwa pencapaian target pelaksarnaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan
siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes
sebagai produk belajar akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai
pengalaman belajar.
Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukanlah pekerjaan
yang sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang
tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman
dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah, maka
makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
Kritikan dan ketidaksepahaman terhadap konsep tersebut, memunculkan konsep yang
menganggap kurikulum sebagai suatu program atau rencana untuk belajar. Pendapat
kurikulum sebagai perencanaan belajar di antaranya dikemukakan oleh Hilda Taba. Taba
(1962) mengatakan A curriculum is a plan for learning : therefore, what is known about the
learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a
curriculum".
Pendapat yang menganggap kurikulum sebagai program atau rencana belajar seperti
dikemukakan Hilda Taba di atas, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Daniel Thnner dan
Laurel Tirnner (1975) yang menyatakan bahwa kurikulum adalah perencanaan yang berisi
tentang petunjuk belajar serta hasil yang diharapkan. Tanner mengatakan kurikulum itu
sebagai ...the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes,
formulated through the sistematic reconstruction of knowledge and experiences under
auspices of the school, for the learner's continous and wiIIfuI growth in personal sosial
competence".
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya
diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald f. Orlosky dan B. Othanel Smith
(1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah
suatu perencanaan atau program pengalaman siswayang diarahkan sekolah.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum
menurut undang-undang pendidikan kita yang dijadikan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud dengan isi dan bahan pelajaran
itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian
tujuan pendidikan nasional.
Batasan menurut undang-undang itu tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua
aspek pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara
pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan
pendidikan nasional.
Untuk menutup diskusi kita tentang konsep dasar kurikulum, ingin saya sampaikan,
bahwa kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebab konsep itu
jelas sasarannya dan mudah diukur. Akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap
tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi
kurikulum, kita tidak banyak mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan
pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. oleh karena itu, kurikulum tidak hanya
menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rencana itu. Jadi, antara kurikulum
sebagai sebuah rencana dengan kurikulum sebagai sebuah kenyataan tidak dapat dipisahkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Muruay print (1993) menyarakan: "curriculum is defined as
all the planned learning opportunities offeied to learner by the educational institution and the
experiences learners encounter when the curriculum is implemented".
Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar
berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah
anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik hanya akan tercapai apabila dia memperoleh
pengalaman belajar melalui semua kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata
peiajaran ataupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zeis, kurikulum
sebagai suatu rencana, pemberajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta
didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat
skilbeck dan Harris (1976) yang menyatakan bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran
yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan
kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, dalam
kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta
bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam
rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.
Setelah kita kaji berbagai konsep kurikulum, maka dalam bahasan ini kurikulum dapat
diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus
dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, straregi dan cara yang
dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.
Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliputi penyusunan dokumen, implementasi
dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.
1. Peranan Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah
mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa
perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya,
sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka dapat menjunjung tinggi dan
berperilaku sesuai dengan norma-norrna tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah
melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era
globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan
mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam
kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum
berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur
masyarakat, sehingga keajekan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.
2. Peran Kreatif
Apakah tugas dan tanggung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai
lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal
baru sesuai dengan tuntunan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat
statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum
memiliki peran kreatif, kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya,
kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat
mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan
sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus
berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka
pendidikan selamanya akan tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada
akhirnya akan kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan
sosial masyarakat.
Memerhatikan fungsi-fungsi di atas, maka jelas kurikulum berfungsi untuk setiap orang
atau lembaga yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan
penyelenggaraan pendidikan. Sekarang coba Anda pikirkan atau diskusikan dengan teman
Anda, kira-kira apa saja fungsi kurikulum, untuk guru, siswa, kepala sekolah, pengawas,
orang tua, dan masyarakat. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam
pelaksanaan proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak berpedoman kepada
kurikulum, maka tidak akan berjalan dengan efektif, sebab pembelajaran adalah proses yang
bertujuan, sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan untuk mencapai
tujuan; sedangkan arah dan tujuan pembelajaran beserta bagaimana cara dan strategi yang
harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu merupakan komponen penting dalam sistem
kurikulum.
Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program
sekolah. Dengan demikian, Penyusunan kalender sekolah, pengajuan sarana dan prasarana
sekolah kepada dewan sekolah, penyusunan berbagai kegiatan sekolah baik yang menyangkut
kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan lainnya, harus didasarkan pada kurikulum.
Bagi pengawas, kurikulum akan berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan
supervisi. Dengan demikian, dalam proses pengawasan para pengawas akan dapat
menentukan apakah program sekolah termasuk pelaksanaan proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum atau belum, sehingga
berdasarkan kurikulum itu juga pengawas dapat memberikan saran perbaikan.
Pendidikan adalah usaha bersama. Tidak mungkin tujuan pendidikan akan berhasil
secara optimal manakala semuanya dibebankan pada guru atau sekolah. Dalam kaitan inilah
orang tua perlu memahami tujuan serta proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh sekolah.
Dengan demikian fungsi kurikulum bagi orang tua adalah sebagai pedoman untuk
memberikan bantuan baik bagi penyelenggaraan Program sekolah, maupun membantu
putra/putri mereka belajar di rumah sesuai dengan Program sekolah. Melalui kurikulum orang
tua akan mengetahui tujuan yang harus dicapai serta ruang lingkup materi pelajaran.
Bagi siswa itu sendiri, kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar. Melalui
kurikulum siswa akan memahami apa yang harus dicapai, isi atau bahan pelajaran apa yang
harus dikuasai, dan pengalaman belajar apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Berkaitan dengan fungsi kirikulum, Alexander Inglis (dalam Hamalih 1990) mengemukakan
enam fungsi kurikulum untuk siswa:
Fungsi penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
Fungsi integrasi (the integrating function)
Fungsi diferensiasi (the dffirentiatingfunction)
Fungsi persiapan (the preparation function)
Fungsi pemilihan (the selective function)
Fungsi diagnostik (the diagnostic function)
Fungsi penyesuaian yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat mengantar
siswa agar mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengapa
kurikulum harus memiliki fungsi penyesuaian? Oleh sebab kehidupan masyarakat tidak
bersifat statis, akan tetapi dinamis, artinya kehidupan masyarakat selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, siswa harus dapat
beradaptasi dalam kehidupan masyarakat yang cepat berubah itu. Dalam rangka inilah fungsi
penyesuaian kurikulum diperlukan. Nah, sekarang coba Anda pikirkan bagaimana agar
kurikulum memiliki fungsi penyesuaian?
Fungsi integrasi dimaksudkan bahwa kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi
siswa secara utuh. Kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor harus berkembang secara
terintegrasi. Mengapa demikian? Sebab, kurikulum bukan hanya diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan intelektual atau kecerdasan saja akan tetapi juga harus dapat
membentuk sikap sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, serta dapat
memberikan keterampilan untuk dapat hidup di lingkungan masyarakatnya. Nah, sekarang
bagaimana menurut Anda agar kurikulum memiliki fungsi integrasi?
Fungsi diferensiasi yang dimaksud adalah bahwa kurikulum harus dapat melayani
setiap siswa dengan segala keunikannya. Mengapa demikian? Sebab, siswa adalah organisme
yang unik yakni memiliki perbedaan-perbedaan, baik perbedaan minat, bakat, maupun
perbedaan kemampuan. Dapat dipastikan di dunia ini tidak akan ada manusia yang sama.
Walaupun keadaan fisik mungkin ada yang sama, akan tetapi belum tentu dilihat dari faktor
psikologisnya juga sama.
Fungsi persiapan mengandung makna, bahwa kurikulum harus dapat memberikan
pengalaman belajar bagi anak baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, maupun untuk kehidupan di masyarakat. Bagi anak yang memiliki potensi untuk
belajar pada jenjang yang lebih tinggi, maka kurikulum harus membekali mereka dengan
berbagai pengetahuan yang diperlukan agar mereka dapat mengikuti pelajaran pada level
pendidikan di atasnya; namun bukan itu saja kurikulum juga harus membekali mereka agar
dapat belajar di masyarakat, bagi mereka yang tidak memiliki potensi untuk melanjutkan
pendidikannya.
Fungsi pemilihan adalah fungsi kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan minatnya. Kurikulum harus bersifat
fleksibel, artinya menyediakan berbagai pilihan program pendidikan yang dapat dipelajari.
Hal ini sangat penting, sebab seperti yang telah dikemukakan di atas, siswa memiliki
perbedaan-perbedaan, dan kurikulum harus melayani setiap perbedaan siswa.
Fungsi diagnostik, adalah fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan
siswa. Melalui fungsi ini kurikulum berperan untuk menemukan kesulitan-kesulitan dan
kelemahan yang dimiliki siswa, disamping mengeksplorasi berbagai kekuatan-kekuatan
sehingga melalui pengenalan itu siswa dapat berkembang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
Memerhatikan begitu pentingnya keaadaan kurikulum ideal, maka setiap guru dituntut
untuk memahami dengan benar kurikulum ideal, bukan hanya tentang tujuan yang harus
dicapai akan tetapi berbagai hal yang berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan itu
sendiri.
Apakah setiap kurikulum ideal dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh guru? Tentunya
tidak. Setiap sekolah tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan sempurna, karena
berbagai alasan. Pertama, bisa atau tidaknya kurikulum ideal diterapkan oleh guru, dapat
ditentukan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Misalkan dalam
kurikulum ditetapkan agar anak memiliki kompetensi dalam mengamati micro organism,
maka setiap anak dapat menggunakan microscope. Kalau kurikulum itu diterima di sekolah
yang telah memiliki peralatan semacam itu, maka tentu saja guru dapat melaksanakannya
sesuai dengan tuntutan kurikulum; tetapi seandainya kurikulum itu harus dijadikan pedoman
bagi sekolah-sekolah yang tidak memiliki peralatan semacam itu, tentu kurikulum ideal
semacam itu tidak mungkin dapat dilakukan.
Kedua, bisa atau tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan, akan ditentukan oleh
kemampuan guru. Misalnya, kurikulum ideal menuntut agar anak dapat menggunakan
komputer untuk belajar, dan sekolah memiliki peralatan komputer dengan lengkap, nah tentu
saja peralatan yang lengkap itu tidak mungkin dapat dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan
kurikulum, manakala guru tidak menguasainya dengan optimal. Jadi, dengan demikian sarana
yang lengkap belum menjamin kurikulum ideal dapat dilaksanakan manakala tidak didukung
oleh kemampuan guru.
Ketiga, bisa tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan oleh setiap guru, juga tergantung
pada kebijakan setiap sekolah yang bersangkutan. Misalnya, di sekolah tersedia sarana
belajar dengan lengkap sesuai dengan tuntutan kurikulum, demikian juga halnya dengan
kemampuan guru, tetapi dengan alasan bahwa sarana atau alat tersebut merupakan alat yang
mahal dan langka misalnya, maka kepala sekolah mengambil kebijakan alat tersebut tidak
boleh digunakan, maka tidak mungkin kurikulum dapat dilaksanakan dengan optimal. Nah,
dengan demikian kebijakan sekolah juga dapat menentukan bisa dan tidaknya kurikulum
ideal dilaksanakan oleh guru.
Ketiga hal tersebut, merupakan faktor yang dapat atau tidaknya kurikulum ideal
dilaksanakan oleh setiap guru. Oleh karena berbagai keterbatasan itu, maka guru hanya
mungkin dapat menerapkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Inilah yang kemudian
dinamakan actual curriculum atau kurikulum nyata, yakni kurikulum yang secara riil dapat
dilaksanakan oleh guru sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada.
Oleh karena kurikulum ideal merupakan pedoman bagi setiap guru khususnya tentang
tujuan dan kompetensi yang harus dicapai; sedangkan kurikulum aktual adalah kurikulum
nyata yang dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang ada dengan demikian
dapat dipastikan bahwa semakin jauh jarak antara kurikulum ideal dengan kurikulum aktual,
artinya apa yang dikerjakan guru tidak sesuai atau jauh dari rambu-rambu kurikulum ideal
maka akan semakin rendah kualitas suatu sekolah. Sebaliknya, semakin dekat jarak antara
kurikulum ideal dan kurikulum aktual, artinya apa yang dilakukan guru dan siswa sesuai
dengan rambu-rambu bahkan melebihi kurikulum ideal sebagai pedoman, maka akan
semakin bagus kualitas suatu sekolah atau kualitas proses belajar mengajar.
Garis pertama berwama merah menunjukkan kurikulum aktual yang dilaksanakan guru
menyentuh atau sesuai dengan kurikulum ideal bahkan melebihi kurikulum ideal, maka dapat
dipastikan kualitas pendidikan akan meningkat. Sebaliknya, apabila kurikulum aktual yang
dilaksanakan guru seperti yang tergambar pada garis kedua tidak pernah menyentuh bahkan
melenceng dari kurikulum ideal, maka dapat dipastikan kualitas pendidikan akan rendah.
Misalnya, dalam kurikulum ideal ditetapkan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam
berkomunikasi berbahasa Inggris, maka sebaiknya siswa menggunakan laboratorium bahasa.
Di sekolah yang memiliki sarana yang lengkap dan kreativitas gurunya bagus, ketika anak
belajar bahasa Inggris, bukan saja menggunakan laboratorium bahasa akan tetapi juga
menggunakan native speaker, apa yang akan terjadi? Tentu saja hasil belajar siswa akan lebih
baik. Sebaliknya manakala kurikulum itu jatuh di sekolah yang tidak memiliki fasilitas
seperti laboratorium bahasa kemudian gurunya tidak kreatif, sehingga pembelajaran akan
dilaksanalan seadanya maka jelas hasil belajar sisiwa tidak akan optimal. Itulah sebabnya
jarak antara kurikulum ideal tidak boleh terlalu jauh dengan kurikulum aktual.
PERKEMBANGAN KURIKULUM
A. Hakikat Perkembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem
pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus
dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikah pemahaman
tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa; Oleh karena begitu pentingnya
fungsi dan peran kurikulum, maka setiap pengembangan kurikulum pada jenjang mana pun
harus.*didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan pengembangan kurikulum adalah sePerti fondasi sebuah
bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri di
atas fondasi yang rapuh? Ya, tentu saja bangunan itu tidak akan tahan lama. Oleh sebab itu,
sebelum sebuah gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin
kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut.
Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus
didasaikan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun fondasi kurikulum
berarti kesalahan dalam menentukan kebijaka! dan implementasi pendidikan. Apa yang akan
terjadi seandainya terdapat kekelituan dalam menentukan kebijakan dan
mengimplementasikan- sistem pendidikan? Pengembangan kurikulum pada hakikatnya afatah
proses penyusurlan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelaiari serta
bagaimana cara mempel ajarnya. Namun demikian, persoalan mengembangkan isi dan bahan
pelajaran serra bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab
menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin
dicapai; sedangkan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan
kebutuhan masyarakat. Persoalan inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan
menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian
kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
Sebelum kita bahas tentang asas-asas pengembangan kurikulum yang akan kita kupas
pada bahasan selanjutnya, pada bagian ini kita akan mempelajari hakikatpengembangan
kurikulum itu sendiri. Hal ini sangat penting, sebab pemahaman akan hakikat pengembangan
akan membawa pada pemahaman bagaimana seharusnya proses pengembangan dilakukan.
Menurut David Pratt (1980) istilah desain lebih mengena dibandingkan dengan
pengembangan yang rnengandung konotasi bersifat gradual. Desain adalah proses yang
disengaja tentang suatu pemikiran, perencanaan dan penyeleksian bagian-bagian, teknik dan
prosedur yang mengatur suatu tujuan atau usaha. Atas dasar itu, maka pengembangan
kurikulum (curriculum development atau atniculum planning) adalah proses atau kegiatan
yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman
dalam proses dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus. Rangkaian kegiatan itu
digambarkan Seller seperti pada gambar 2.1.
2. Prinsip Fleksibilitas
Apa yang diharapkan dalam kurikulum ideal kadang-kadang tidak sesuai dengan
kondisi kenyataan yang ada. Bisa saja ketidaksesuaian itu ditunjukkan oleh kemampuan guru
yang kurang,latar belakang atau kemampuan dasar siswa yang rendah, atau mungkin sarana
dan prasarana yang ada di sekolah tidak memadai. Kurikulum harus bersifat lentur atau
fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada.
Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi: Pertama, fleksibel bagi guru, yang artinya
kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program
pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada. Kedua, fleksibel bagi siswa artinya
kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat
dan minat siswa.
3. Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan
kesinambungan antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan.
Dalam penyusunan materi pela jaran perlu dijaga agar apayang diperlukan untuk mempelajari
suatu materi pelajaran pada jenjang yang lebih tinggi telah diberikan dan dikuasai oleh siswa
pada waktu mereka berada pada jenjang sebelumnya. Prinsip ini sangat
penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan materi
pelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu ada kerja sama antara
pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, misalkan para pengembang
pendidikan pada jenjang sekolah dasar, jenjang SLTP, jenjang SLTA, dan bahkan dengan
para pengembang kurikulum di perguruan tinggi.
4. Efektifitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat
dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas
dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan
guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedun,
efektivitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Efektivitas kegiatan guru
berhubungan dengan keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun. Sebagai contoh, apabila guru menetapkan dalam satu
caturwulan atau satu semester harus menyelesaikan 12 program pembelajaran sesuai dengan
pedoman kurikulum, ternyata dalam jangka waktu tersebut hanya dapat menyelesaikan 4 atau
5 program saja, berarti dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program itu tidak efektif.
Efektivitas kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu. Sebagai contoh apabila
ditetapkan dalam satu caturwulan siswa harus dapat mencapai sejumlah tujuan pembelajaran,
ternyata hanya sebagian saja dapat dicapai siswa, maka dapat dikatakan bahwa, proses
pembelajaran siswa tidak efektif.
5. Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan
biayayang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat
efi siensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas
dapat memperoleh hasil yang maksimal. Betapa pun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat khusus serta mahal pula
harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar untuk dilaksanakan. Kurikulum harus
dirancang untuk dapat digunakan dalam segala keterbatasan.
b. Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya
kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar
sebagai proses perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari
pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke
dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori
tabularasa-nya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi
apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar
tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik-elementeristik.
Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah
organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada hakikatnya
manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap
situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku
manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang
pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini
kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-wholistik.
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau
hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R). Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan
teori Stimulus-Respons. Dengan demikian, menurut aliran behavioristik proses belajar sangat
tergantung pada adanya rangsangan atau stimulus yang muncul dari luar diri atau yang kita
kenal dengan faktor lingkungan. Proses belajar dapat dipelajari dari kegiatan yang tampak
yang dapat dilihat. Berbeda dengan aliran behavioristik, pada aliran kognitif belajar adalah
kegiatan mental yang ada dalam diri setiap individu. Kegiatan mental itu memang tidak dapat
dilihat secara nyata, akan tetapi menurut aliran ini, justru sesuatu yang ada dalam diri itulah
yang menggerakkan seseorang mencapai perubahan tingkah laku. Selanjutnya teori-teori
belajar dari kedua aliran ini akan dibahas pada bagian tersendiri.
A. Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum terbaru di
Indonesia yang disarankan untuk dijadikan rujukan oleh para pengembang kurikulum di
tingkat satuan pendidikan KTSP merupakan kurikulum berorientasi pada pencapaian
kompetensi, oleh sebab itu kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi atau yang kita kenal dengan KBK (kurikulum 2004). Ini dapat dilihat
dari unsur yang melekat pada KTSP itu sendiri, yakni adanya standar konpetensi dan
kompetensi dasar serta adanya prinsip yang sama dalam pengelolaan kurikulum yakni yang
disebut dengan Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Standar kompetensi dan kompetensi
dasar dapat kita lihat dari Standar Isi (SI) yang disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), yang diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang
selanjutnya SI dan SKL itu harus dijadikan salah satu rujukan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan; sedangkan KBS merupakan salah satu prinsip
pengembangan yang dirancang untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengelola serta menilai proses dan hasil pembelajaran
sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan serta daerah di mana sekolah itu berada.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, lahir dari semangat otonomi daerah, di mana
urusan pendidikan tidak semuanya tanggung jawab pusat, akan tetapi sebagian menjadi
tanggung jawab daerah, oleh sebab itu dilihat dari pola atau model pengembangannya KTSP
merupakan salah satu model kurikulum yang bersifat desentralistik.
Pada bagian ini akan diuraikan tentang pengertian tujuan, dasar atau landasan
pengembangan, prinsip-prinsip pengembangan dan komponen KTSP
1. Pengertian
Apa sebenarnya KTSP itu?
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, Ayat 15), dijelaskan bahwa
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun
dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh
satuan pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Manakala kita analisis konsep di atas, maka ada beberapa hal yang berhubungan dengan
makna kurikulum operasional. Pertama, sebagai kurikulum yang bersifat operasional, maka
dalam pengembangannya, KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun
pemerintah secara nasional. Artinya, walaupun daerah diberi kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum akan tetapi kewenangan itu hanya sebatas pada pengembangan
operasionalnya saja; sedangkan yang menjadi rujukan pengembangannya itu sendiri
ditentukan oleh pemerintah, misalnya jenis mata pelajaran beserta jumlah jam pelajarannya
isi dari setiap mata pelajaran itu sendiri, serta kompetensi yang harus dicapai oleh setiap mata
pelajaran itu. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
Daerah dalam menentukan isi pelajaran terbatas pada pengembangan kurikulum muatan
lokal, yakni kurikulum yang memiliki kekhasan sesuai dengan kebutuhan daerah, serta aspek
pengembangan diri yang seuai dengan minat siswa. Jumlah jam pelajaran kedua aspek
tersebut ditentukan oleh pemerintah.
Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP dituntut dan harus
memerhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 ayat 2, yakni bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. Persoalan ini penting untuk dipahami, sebab walaupun standar isi ditentukan oleh
pemerintah, akan tetapi dalam operasional pembelajarannya yang direncanakan dan
dilakukan oleh guru dan pengembang kurikulum tidak terlepas dari keadaan dan kondisi
daerah. Misalnya, ketika standar isi mengharuskan siswa mempelajari masalah transportasi,
maka para pengembang KTSP di suatu daerah akan berlainan dengan daerah lain.
Pengembang KTSP di Jawa misalnya akan mengembangkan isi kurikulum tentang
transportasi darat; sedangkan di Kalimantan akan banyak membahas transportasi air/sungai.
Dengan demikian, walaupun topik yang dikaji mungkin sama secara nasional akan tetapi
materi/isi dari topik tersebut mungkin akan lain.
Ketiga, sebagai kurikulum operasional, para Pengembang kurikulum di daerah memiliki
keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam
mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, dalam menentukan media pembelajaran
dalam menentukan evaluasi yang dilakukan termasuk dalam menentukan berapa kali
pertemuan dan kapan suatu topik materi harus dipelajari siswa agar kompetensi
dasar yang telah ditentukan dapat tercapai.
2. Karakteristik KTSP
Di muka telah dijelaskan bahwa pengertian kurikulum dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, yakni kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa
dalam kurun waktu tertentu, kurikulum sebagai seluruh aktivitas siswa untuk memperoleh
Pengalaman, serta kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Demikian juga
dilihat dari desainnya, kurikulum terdiri atas 4 desain, yakni desain kurikulum disiplin ilmu
atau yang dikenal dengan kurikulum subjek akademis, kurikulum pengembangan individu
yang sering kita kenal dengan kurikurum humanistik, kurikulum berorientasi pada kehidupan
masyarakat atau yang kita kenal dengan rekonstruksi sosial serta kurikulum teknologis.
Dihubungkan dengan konsep dasar dan desain kurikulum di atas, maka KTSP memiliki
semua unsur tersebut yang sekaligus merupakan karateristik KTSP itu sendiri, yakni:
a. Dilihat dari desainnya KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu.
Hal ini dapat dilihat dari pertama, struktur program KTSP yang memuat sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Setiap mata pelajaran yang harus
dipelajari itu selain sesuai dengan nama-nama disiplin ilmu juga ditentukan jumlah jam
pelajaran secara ketat. Kedua, kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari
kemampuan siswa menguasai materi perajaran. Hal ini dapat dilihat dari sistem
kerulusan yang ditentukan oleh standar minimal penguasaan isi pelajaran seperti yang
diukur dari hasil ujian Nasional. soal-soal dalam UN itu lebih banyak bahkan
seluruhnya menguji kemampuan kognitif siswa dalam setiap mata pelajaran. Walaupun
dianjurkan kepada setiap guru menggunakan sistem penilaian proses misalnya dengan
portofolio, namun pada akhirnya kelulusan siswa ditentukan oleh sejauh mana siswa
menguasai materi pelajaran.
b. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Hai ini dapat
dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dalam KTSP yang menekankan pada aktivitas
siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui berbagai
pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya melalui CTL, inkuiri,
pembelajaran fortofolio, dan lain sebagainya. Demikian juga secara tegas dalam
struktur kurikulum terdapat komponen, pengembangan diri, yakni komponen kurikulum
yang ditekankan kepada aspek pengembangan minat dan bakat siswa.
c. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Hal ini tarnpak pada
salah satu prinsip KTSP, yakni berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Dengan demikian, maka KTSP
dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan lokalnya, KTSP
didasarkan pada keberagaman kondisi, sosial, budaya yang berbeda masing-masing
daerahnya.
d. KTSP merupakan kurikulum teknologis. Hal ini dapat dilihat dari adanya standar
kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan pada indikator hasil belajar,
yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penilaian.
Dilihat dari karakteristik di atas, maka KTSP adalah kurikulum yang memuat semua
unsur desain kurikulum. Namun demikian, walaupun semua unsur desain mewarnai KTSP
akan tetapi desain KTSP sebagai desain kurikulum berorientasi pada pengembangan disiplin
ilmu atau desain kurikulum. Subjek Akademis tampak lebih dominan. Hal ini tampak jelas
dari pengaturan secara ketat nama-nama disiplin ilmu serta kriteria keberhasilan setiap siswa
dalam mempelajari kurikulum. Dengan demikian, manakala digambarkan dalam sebuah
pohon, akar dan batang KTSP adalah desain kurikulum disiplin ilmu; sedangkan desain
kurikulum berorientasi kehidupan masyrakat, desain kurikulum pengembangan individu serta
desain kurikulum teknologis hanya berupa cabang-cabangnya yang tidak terlepas dari pohon
disiplin ilmu.
C. Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
lembaga pendidikan. Dengan demikian, melalui KTSP diharapkan dapat mendorong sekolah
untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan
kurikulum. Seperti yang kita ketahui, dalam model pengelolaan kurikulum yang sentralistis
seperti kurikulum-kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia seluruh keputusan
pengembangan kurikulum diatur dan ditentukan secara terpusat. Sekolah atau lembaga-
lembaga pendidikan secara nasional hanya berperan sebagai pelaksana kurikulum itu sendiri.
Guru-guru tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kurikulum baik dalam tatanan
ideal maupun dalam tataran operasional, selain melaksanakan kurikulum yang sudah jadi.
Akibatnya, apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya di setiap
sekolah/daerah adalah sama. Oleh karena itulah, dalam proses pengembangan kurikulum
setiap unsur sekolah menjadi pasif.
Tidak demikian dengan KTSP sesuai dengan otonominya, KTSP memberikan
kesempatan kepada sekolah untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan di setiap satuan pendidian akan menjadi
lebih bermakna untuk mempersiapkan anak didik menjadi anggota masyarakat yang berguna
mengembangkan potensi daerahnya.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk.
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
rnengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia. Kemandirian setiap sekolah dalam menggali dan memanfaatkan potensi dan
sumber daya akan menentukan kualitas sekolah yang bersangkutan. KTSP sebagai
kurikulum operasional memberikan kesempatari kepada setiap sekolah untuk
mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan sesuai dengan
karakteristik sekolah. Untuk itulah sekolah dituntut melakukan inisiatif dalam menggali
secara mandiri berbagai potensi dan sumber daya untuk mendukung program sekolah
termasuk kurikulum yang dikembangkannya. Dengan demikian, setiap komponen
sekolah baik kepala sekolah maupun guru-guru dituntut untuk lebih aktif dan kreatif
melakukan berbagai upaya agar semua kebutuhan sekolah terpenuhi.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. Pada kurikulum-kurikulum
sebelumnya, sekolah hanya berfungsi melaksanakan kurikulum yang telah disusun
secara terpusat. Sekolah apalagi masyarakat kurang bahkan tidak memiliki kesempatan
untuk mengembangkan kurikulum, akibatnya peran sekolah terlebih lagi masyarakat
sangat terbatas. Tidak demikian dengan KTSP Sebagai kurikulum operasional, KTSP
menuntut keterlibatan masyarakat secara penuh, sebab tanggung jawab pengembangan
kurikulum tidak lagi berada di pemerintah, akan tetapi di sekolah; sedangkan sekolah
akan berkembang manakala ada keterlibatan masyarakat.
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan
yang akan dicapai. Sekolah, dengan KTSP-nya tidak lagi hanya berfungsi sebagai
pelaksana kurikulum yang telah diatur pusat, akan tetapi juga sebagai pengambil
keputusan tentang pengembangan dan implementasi kurikulum. Melalui KTSP
diharapkan setiap sekolah atau satuan pendidikan akan berlomba dalam menyusun
program kurikukum sekaligus berlomba dalam mengimplementasikannya. Dengan
demikian, akan tercipta persaingan antar sekolah menuju pencapaian kualitas
pendidikan.
Pasal 1 Ayat 19
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran, serta carayang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pasal 37 Ayat 1
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matemarika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
Pasal 33 Ayat2
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah
koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama
kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Pasal 6 Ayat 6
Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata perlajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika; dan
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Pasal 16 Ayat 1
Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan
menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.
Pasal 20
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pembelajaran yang
memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran,
sumber belajar dan penilaian hasil belajar.
3. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan
daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memerhatikan
kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.
Pendahuluan
Konsep kepemimpinan sangat kompleks dan mengalami perkembangan. Tulisan-tulisan
tentang kepemimpinan kebanyakan disadur dari kultur Barat, khususnya dari Amerika Utara.
Walaupun demikian, kepemimpinan dipahami secara berbeda dalam kultur yang berbeda:
diperlukan banyak upaya untuk mempelajari dan memahami kepemimpinan dari sudut
pandang cultural. Buku-buku administratif yang ada jarang menyentuh ekspektasi bahwa kultur
membentuk pemimpin' (Bryant, 1998, hal. 7).
Hofstede (1980; 1991) telah melakukan penelitian tentang pentingnya variabel-variabel berikut
ini dalam suatu kultur:
1. Individualism, otonomi individu versus tanggungjawab terhadap kelompok.
2. Masculinity, bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dibedakan.
3. Power distance, bagaimana ketidaksamaan terjadi.
4. Uncertainty avoidance, tingkat perhatian terhadap hukum dan aturan.
Uraian tentang variabel-variabel tersebut di atas (Dimmock, 1998) menunjukkan
bagaimana ia menjadi relevan dengan cara-cara kepemimpinan dalam masyarakat yang berbeda-
beda. Misalnya, dari 5 3 negara, Amerika Serikat, Australia dan Inggris Raya menduduki peringkat
pertama, negara kedua dan ketiga memiliki ciri masyarakat individualistic. Sementara itu,
Hongkong, Singapura, Malaysia dan Thailand memiliki ciri masyarakat kolektif, yang
mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Berkaitan dengan itu,
pola hubunganpower distance antara negaranegara Barat dan Timur memiliki perbedaan yang
tajam. Negara-negara Timur dengan masyarakat kolektifnya cenderung memiliki indeks power
distanceyang tinggi, sedangkan negara-negara Barat dengan masyarakat individualistisnya
cenderung memiliki indeks power distance yang rendah. Walaupun demikian, ada sedikit perbedaan
dalam hal maskulinitas/feminitas dan uncertainty avoidance di antara tujuh negara yang disebut
di atas. Bjerke dan Al-Meer (1993, hal. 34) dalam penelitiannya terhadap pars manajer Arab,
menggunakan instrumen-instrumen penelitian Hofstede dan ia menyimpulkan bahwa mereka:
"Cenderung memiliki orientasi uncertainty avoidance yang tinggi. Misalnya, manajer
Muslim Arab Saudi, tidak toleran terhadap orang yang menyimpang dari ajaran Islam
dan tradisi Arab. Mereka sangat loyal terhadap organisasinya. Mereka jugs tidak
menyukai konflik. Walaupun demikian, jika terpaksa, mereka menyelesaikan
perbedaan pendapat dengan sikap yang otoritarian".
Perbedaan antara negara-negara Barat dan Timur terletak pada ketidaksamaan dalam
kekuasaan (power), peran individu, peran gender dan toleransi terhadap uncertainty. Perbedaan
tersebut sangat penting diketahui untuk memahami bagaimana perbedaan peran pemimpin
dalam kultur yang berbeda.
Harber dan Davies (1997) mengklaim bahwa kepemimpinan dalam pendidikan di
negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Afrika, cenderung otoriter. Mereka
menyampaikan beberapahipotesis yang mendukung klaim mereka:
"Proses pengajaran cenderung otoriter jika guru kepala ditentukan berdasarkan
pada kepangkatan tanpa diikuti dengan pelatihan";
"Sistem pendidikan cenderung sangat sentralistis dan top down";
"Ada beberapa gagasan tradisional tentang model kepemimpinan laki-laki:
'kekuatan, hirarki dan dominasi sangat menentukan model manajerial"' (dikutip dari
ibid., hal. 60 1).
Bryant (1998, hal. 18), yang telah melakukan penelitian kualitatif dengan orang-orang
Amerika asli, mengilustrasikan bagaimana konsep-konsep barat tentang kepemimpinan tidak
boleh dipaharni secara taken for granted.
"Kultur penduduk ash Amerika bisa berubah-rubah. Nilai-nilai sederhana yang kita
pahami secara taken for granted terkadang terbalik. Nepotisme misalnya. Dalam kultur
Barat, gagasan tentang melakukan sesuatu yang menguntungkan keluarga dipandang
sebagai sesuatu yang tidak eds. Di beberapa tempat ada hukum yang melarang
nepotisme. Tapi dalam kultur penduduk ash Amerika, memperhatikan keluarga
merupakan salah satu kewajiban penting bagi seorang pemimpin. Nepotisme menjadi
sebuah nilai yang positif ".
Aktivitas
Berkaitan dengan ide-ide tentang kepemimpinan, mau
tidak mau sekarang kita perlu mengambil beberapa
materi yang berasal dari Barat. Walaupun demikian,
seperti yang anda baca pada bagian selanjutnya, is
bisa lebih bermanfaat jika mempertanyakan secara
lebih mendalam tentang konsep-konsep aktual yang
diaplikasikan pada kepemimpinan dalam sekolah atau
perguruan tinggi anda.
Pada Bab II kami tekankan bahwa terdapat perbedaan antara kepemimpinan dan
manajemen, dan bahwa keduanya memberikan kontribusi terhadap efektifitas dalam
pendidikan. Secara praktis, fungsi kepemimpinan dan manajemen tampak overlap dan
memiliki peranan yang sama.
Walaupun demikian, dalam menganalisis kepemimpinan is sangat bermanfaat dalam
memberikan pertimbangan lanjut tentang bagaimana konsepkonsep tersebut berbeda.
Seni Kepemimpinan
Seni bisa berarti ketrampilan intuitif, `tabu melak sanakan', namun ia)uga
mengindikasikan `refleksi aksi'. Schon (ibid., hal. 42) menjelaskan hal ini sebagai:
`refleksi, dalam konteks aksi, tentang fenomena yang tidak sama dengan pemahaman intuitif .
Atau, 'dialog reflektif dengan situasi.'
Lebih dari itu, refleksi tentang aksi manajer/pemimpin dilakukan dalam
konteks kultur sebuah organisasi yang berperan seperti wadah pengalaman masa
lampau, organisasi menjadi `gudang pengetahuan kumulatif yang dikembangkan'.
Organisasi dan kulturnya mungkin bisa membuat pembelajaran dan perubahan menjadi
kondusdatau sebaliknya. Dan ini akan mempengaruhi cakupan dan arch refleksi aksi manajer
.
Manajemen taktis dan strategis
Pembedaan antara manajemen dan kepemimpinan dapat dikaitkan dengan
pembeclaan antara kepemimpinan taktis dan strategis sebagaimana disampaikan
Sergiovanni (1984a, hal. 105): 'kepemimpinan taktis mencakup analisis terhadap
kegiatan administratif dengan Skala kecil, namun memberikan perhatian pada tujuan
secara lebih besar. Kepemimpinan strategis, sebaliknya, merupakan Seni dan ilmu yang
memfokuskan perhatiannya pada kebijakan-kebijakan dan tujuantujuan dengan rencana-
rencana jangka panjang.'
Sergiovanni mengidentifikasi strategi dengan keyakinan dan komitmen. Dia
mengidentifikasi ketrampilan taktis yang diperlukan dalam pendekatan situasional
terhadap kepemimpinan 'pembacaan yang cermat terhadap situasi dengan
menggunakan takaran model-model kepemimpinan yang benar dan tepat' dan
membeclakannya dengan:
"Seorang pemimpin yang memiliki tujuan-tujuan, keyakinan, dan komitmen tertentu demi
sekolah atau universitas, dan yang bisa mengkomunikasikannya dengan yang lain karena...
apa yang menjadi keyakinan atau komitmen Seorang pemimpin adalah lebih penting
daripada apa yang dilakukannya. Denganperkataan lain, bahwa seorang pemimpin yang
mengkomunikasikan suatu permasalahan dengan yang lain adalah lebih penting
daripada gaya kepemimpinan itu sendiri" (ibid., hal. 66).
'Ketentuan' Kepemimpinan
Walaupun manajer dituntut untuk dapat menunjukkan kepemimpinan yang baik, namun
kebanyakan teoritisi membuat perbedaan antara ketentuan kepemimpinan dan manajemen
pada umumnya. Bennis (1984) menyimpulkan bahwa direktur eksekutif sebuah
organisasi yang dia teliti, mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai pemimpin.
Mereka sangat concern terhadap tujuan-tujuan dasar organisasi, kenapa ia ada. Dan
secara umum, ia tidak concern terhadap "upaya untuk melakukan sesuatu dengan
benar" (tidak concern terhadap manajer), namun ia concern terhadap "upaya untuk melakukan
sesuatu yang benar"' (ibid., hal. 66).
'Kekuatan'Kepemimpinan
Di sisi lain, Sergiovanni (1984b) mengidentifikasi lima `kekuatan' kepemimpinan, yang
dipandang secara hirarkis. Pertama,'kekuatan'teknis (manajemen) yang nienyokong kekuatan
lain, namun la merupakan bagian teratas dari piramida, dan kebanyakan kekuatan yang
menonjol adalah aspek-aspek normatif dari kepemimpinan yang concern terhadap nilai-nilai
dan kultur:
Teknis teknik-teknik manajemen. Pemimpin sebagai 'penggerak manajemen'.
Manusia sumber-sumber days sosial dan interpersonal. Pemimpin sebagai 'penggerak
manusia'.
Pendidikan kepakaran di bidang pendidikan. Pemimpin sebagai 'praktisi klinis'
Simbolik memfokuskan'perhatian pada hal yang penting. Pemimpin sebagai 'ketua'
Kultural membangun sebuah kultur sekolah yang unik. Pemimpin sebagai `tokoh
spiritual'.
Walaupun terdapat sedikit tulisan tentang kegiatan para pemimpin sekolah dan perguruan
tinggi selain di Amerika dan Eropa, terdapat sebuah studi tentang kepala utama di Barbados
(Sealy, 1992, dikutip dari Harber dan Davies, 1997) menunjukkan bahwa dalam masalah
tersebut sedikit berbecla dari apa yang telah dijelaskan di atas. Para pimpinan terjebak dalam
banyak kegiatan keseharian, dan kegiatan membutuhkan waktu yang panjang adalah makan
Siang. Tugas administratif dan korespondensi menghabiskan banyak waktu mereka.
Walaupun 'kerja kepala guru morat-marit, fragmentatif, tidak teratur' (Harber dan Davies,
1997, hal. 65), mereka dan pars pemimpin lainnya sangat berkeinginan untuk memimpin
dalam mewujudkan realitas dari hari ke hari.
Referensi
Dalam 'Leadership in Educational Management', bab III dalam The Principles of
Educational Management; Marianne Coleman memberi sebuah pandangan tentang
pola-pola dasar kepemimpinan, konsep kepemimpinan dalam teori organisasi dan
aspek-aspek kepemimpinan yang dipandang cukup relevan dengan lingkungan
pendidikan. Beberapa aspek ini akan diulas secara lebih lugs dalam bagian-bagian berikut.
Uraian
Melalui Bab ini, anda akan melihat bahwa ada dua cara penting untuk menganalisis pola-pola
kepemimpinan: pertama adalah pembedaan antara otokrasi dan demokrasi, cara ini
diasosiasikan dengan penelitian Tennenbaum dan Schmidt (1973); cara kedua adalah
didasarkan pada dominasi relatif yang ada dalam diri seorang pemimpin, yaitu. tentang
'perhatiannya terhadap orang dan hubungan-hubungan' atau 'perhatiannya terhadap produksi atau
hasil'; teori ini diasosiasikan dengan penelitian Blake dan Mouton (1964). Konsepkonsep ini
sangat membantu dalam menguji kepemimpinan dalam teori organisasi, yang menekankan
pada teori-teori situasional dan kontingensi. Teori-teori tersebut mengakui pentingnya interaksi
pemimpin dan lingkungannya: 'mereka mengakui bahwa pola dan sikap kepemimpinan yang
tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada' (Coleman,
1994a, hal. 59).
Hal tersebut di atas menegasikan bahwa pola-pola kepemimpinan dalam suatu
kelompok disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, pola kepemimpinan yang
cocok bagi sekolah inspektorat atau lemah akan sangat berbeda dari sekolah yang memiliki ciri
khas dinamis dan berubah (Hopkins, 1994b). Ketepatan pola kepemimpinan dalam sebuah
sekolah dasar dengan delapan orang guru tentu berbeda dari pola kepemimpinan dan
manajemen perguruan tinggi yang mempekeriakan seratus orang tenaga pengajar, yang dibagi
rata pada empat fakultas. Walaupun demikian, di sans terdapat dimensi kepemimpinan yang
baik, khususnya dalam lingkungan pendidikan. Di antaranya adalah: pentingnya visit manfaat
kepemimpinan transformasional; menempatkan pendidikan anak didik dan round pada posisi
utama dalam perencanaan dan manajemen; dan dimensi moral danetis kepemimpinan dalam
pendidikan. Lebih dari itu, kepemimpinan dalam pendidikan mengalami banyak tantangan
bersamaan dengan maraknya otonomi sekolah dan perguruan tinggi di beberapa negara, yang
memberi tanggungjawab barn kepada para pemimpin pendidikan, khususnya dalam kaitannya
dengan kemampuan mereka dalam menangani isu-isu strategic. Dimensi kepemimpinan lainnya
yang aplikatif dalam kepemimpinan seluruh institusi pendidikan adalah masalah gender, yang
secara umum masih didominasi kaum laki-laki (Schein, 1994).
Daftar generalisasi berikut ini, yang ditinjau ulang dari literatur kepemimpinan dalam
pendidikan (Beare et. al., 1998a; 1993), merefleksikan sebuah perhatian yang serius terhadap
beberapa hal yang ditegaskan di atas. Anda akan diminta untuk kembali pada daftar berikut ini
seperti ketika anda merefleksikan pemikiran utama tentang sifat atau watak kepemimpinan dalam
manajemen pendidikan. Berikut ini generalisasi dalam kaitannya dengan konsep visi (lihat hal.
11).
1. Penekanan harus diberikan pada kepemimpinan transformasional daripada transaksional.
2. Pemimpin yang terkemuka memiliki sebuah visi bagi organisasinya.
3. Visi harus dikomunikasikan dengan suatu cars yang dapat menjaga komitmen para anggota
organisasi.
4. Komunikasi visi memerlukan komunikasi makna.
5. Isu-isu nilai `apa yang seharusnya' adalah utama bagi kepemimpinan.
6. Pemimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi.
7. Studi tentang sekolah-sekolah terkemuka memberikan dorongan untuk melaksanakan school
based management dan collaborative decision-making.
8. Terdapat banyak kekuatan kepemimpinan teknis, manusia, pendidikan, simbolik dan
semuanya itu harus dihilangkan dalam sekolah.
9. Perhatian harus diberikan kepada institusionalisasi visi jika kepemimpinan jenis
transformatif ingin sukses.
10. Kualitas stereotip'laki-laki' dan 'perempuan'sangat penting dalam kepemimpinan, tanpa
menghiraukan jenis kelamin pemimpin (Beare et. al., 1989a., hal. 108; 1993, hal. 147).
Walaupun demikian, pada prakteknya ia bisa berbeda dari idealisms tersebut di atas.
Penelitian tentang pengembangan profesional untuk mendorong perubahan-perubahan
pendidikan di Hongkong menemukan bahwa: 'Para administrator yang terlibat dalam studi ini
melihat adanya tempat yang sangat terbatas bagi para guru untuk merencanakan
pengembangan profesional mereka. Mereka menegaskan bahwa perencanaan untuk
pengembangan profesional merupakan tanggungjawab kepala sekolah dan anggota
eksekutiflainnya... sangat sedikit responder yang menunjukkan suatu peranan aktif para guru
dalam merencanakan pengembangan profesional' (Walker dan Cheng, 1996, hal. 206).
Burns (1978) percaya dengan identifikasi pertama, yakni kepemimpinan transformatif.
Dia tidak mendukung teori dua-faktor kepemimpinan, namun ia lebih condong pada
kepemimpinan transformasional yang notabene berseberangan dengan kepemimpinan
transaksional. Ini merepresentasikan suatu pandangan yang berbeda tentang kepemimpinan
transformasional dan teori dua-faktor kepemimpinan, yang ada dalam satu individu (Bass dan
Avolio, 1994). Sebuah studi terhadap delapan proyek penelitian. dari Singapura, Australia,
Canada dan USA, yang menginvestigasi teori dua-faktor kepemimpinan, menunjukkan adanya
dukungan terhadap validitas internal dan eksternalnya (Leithwood et. al., 1996, hal. 828).
Misalnya, data kualitatif yang dikumpulkan dari 51 pengawas sekolah Texas menunjukkan bahwa:
'mereka meyakini praktek transaksional membantu mereka dalam manajemen rutin, sedangkan
praktek transformasional membantu mereka dalam mengupayakan. perubahan' (ibid., hal. 820).
Penelitian tentang kepemimpinan transformasional jugs telah dianalisis dengan
harapan dapat memberikan pengaruh terhadap tips kepemimpinanini. Beberapa temuan dari
sebuah analisis terhadap 20 studi tentang kepemimpinan transformasional menun- jukkan
bahwa:
" Kepemifnpinan transformasional, secara keseluruhan, sangat berkaitan dengan kepuasan
pemimpin dan. persepsi positif terhadap efektifitas pemimpin".
"Kepemimpinan transformasional, secara keseluruhan, sangat berkaitan dengan kemauan
pars anggota organisasi untuk meningkatkan upaya ekstra".
"Tingkat organisasi memiliki pengaruh terhadap persepsi guru terhadap efektifitas dan
pengembangan. Persepsi tersebut memiliki korelasi positif dengan kepemimpinan
transformasional".
"Kualitas kepemimpinan yang dikaitkan dengan pengaruh transformasional adalah:
kharisma/visi/ inspirasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan yang didasarkan
pada kepentingan individu" (dikutip dari ibid., hal. 828-9).
Kepemimpinan Pendidikan
Melalui literatur yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam pendidikan, terra tentang
pentingnya pendidikan atau tentang pengajaran dan pembelajaran, diuraikan kembah. Walaupun
demikian, praktek kepemimpinan yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Inggris Raya,
cenderung membohongi individu-individu yang memiliki spesialisasi di bidang manajemen
sumber daya finansial dan manusia. Namun, penelitian tentang efektifitas sekolah menegaskan
pentingnya apa yang terjadi di ruang kelas, dan kepemimpinan pendidikan dipandang sebagai
upaya memberikan sebuah kultur pengajaran dan pembelajaran yang kondusif.
"Kami menganggap, bahwa mutu kehidupan sekolah sangat bergantung pada
mutu pengalaman pelajar di dalam ruang kelas. Selanjutnya kami juga menganggap,
bahwa kepemimpinan pendidikan akan menjadi sentral bagi negosiasi tentang
apa yang bisa dinilai dalam kurikulum dan apa yang dipandang baik dalam metode
pengajaran. Pendekatan terhadap kepemimpinan ini akan. menjaga ideide praktis
yang patut ditiru. Untuk mencapai kondisi ini, maka keunggulan pedu
didefinisikan dalam terma-terma yang spesifik. la juga mengandung makna sebagai
perencanaan yang cerdas untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karena itu,
pemimpin pendidikan harus sertanggungiawabdalam menciptakan kultur
organisasional yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
partisipasi seluruh pihak yang terlibat dalam pengajaran dan pembelajaran"
(Duignan dan Macpherson, 1992, hal. 83).
Di Israel, mutu yang menghubungkan kepemimpinan dengan sekolah yang efektif dalam
jangka waktu yang panjang, diketahui dapat menjadi kemampuan tersendiri dalam menentukan
tujuan-tujuan organisasi yang jelas sesuai dengan kemampuan para guru: 'kepala sekolah yang
efektif tidak hanya menghabiskan waktunya untuk melakukan kontrol internal secara eksplisit,
seperti memonitor pengajaran, tapi harus lebih menekankan pada penetapan tujuan dan
mekanisme konsensus tujuan untuk mengarahkan perhatian para guru terhadap output
organisasi' (Goldring dan Pasternak, 1994, hal. 251).
Mutu-mutu yang diidentifikasi oleh Duignan dan Macpherson sebagai sesuatu yang
aplikatif bagi para pemimpin pendidikan adalah, dalam banyak hal, sama dengan mutu-mutu
yang diidentifikasi dengan para pemimpin transformasional. Penekanannya adalah terdapat
pada pendorongan dan pemberdayaan tanggungjawab langsung terhadap pengajaran face-to-
face. Dengan demikian, pemimpin pendidikan:
1. Memberikan kesempatan kepada anggota untukberpartisipasi dalam proses perubahan
guna merefleksikan praktek dan mengembangkan pemahaman personal tentang sifat
dan implikasi perubahan terhadap diri mereka;
2. Mendorong mereka yang terlibat dalam implementasi perbaikan untuk membentuk
kelornpokkelornpok,sosial dan membangun tradisi saling mendukung selama proses
perubahan;
3. Membuka peluangfeedback positif bagi semua pihak yang terlibat dalam perubahan; dan
4. Harus sensitif terhadap outcomes proses pengembangan dan menciptakan kondisi
yang kondusif bagi feedback yang dibutuhkankemudian menindaklanjutinya dengan
melibatkan beberapa pihak dalam mendiskusikan ide-ide dan prakteknya (Duignan
dan Macpherson, 1992, hal. 84). Implikasi praktis bagi kepemimpinan sudah jelas.
Kepala sekolah harus menjamin adanya penekanan terhadap pengembangan profesional
yang dikaitkan dengan refleksi tentang praktek ruang kelas danyang dikembangkan
dalam sebuah kultur kolaborasi. Lebih dari itu, Fidler (1997, hal. 32) menunjukkan adanya
implikasi-implikasi praktis bagi kepemimpinan instruksional, yang mencakup:
"Me-manage kurikulum dan pengajaran, yang mencakup organisasi kelompok
murid dan alokasi waktu, dan jugs menstimulasi pengembangan kurikulum";
"Melakukan supervise terhadap pengajaran"; "Memonitor kemajuan pelajar"; dan
"Menciptakan iklim pengajaran yang positif
Bottery (1992, hal. 190) mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menolak ripe-ripe
kepemimpinan paternalistik dan mendukung suatu ripe kepemim pinan yang
mengarah pada penciptaan suatu kultur yang demokratis dan partisipatif-
"Kepala-kepala organisasi yang demokratis adalah mereka yang memiliki keinginan untuk
melibatkan staf dan murid dalam proses pendidikan sekolah, tidak untuk menghasilkan nilai
yang baik dan tidak untuk membuat staf dan murid senang, tapi untuk mendidik anggota-
anggota sekolah dalam hal hak dan tanggungjawab mereka sebagai warga negara. Kepala-
kepala organisasi yang demokratis juga memiliki keinginan untuk memberikan peluang kepada
orang lain untuk berdiskusi tentang kebijakan dan implementasinya, tidak untuk menegaskan
bahwa tujuan utamanya adalah menghindari konfrontasi dan oposisi, tidak juga untuk
menegaskan bahwa semua pengetahuan diorientasikan untuk menghasilkan nilai yang
baik, tapi untuk membekali anggota-anggota sekolah dengan peluang atau kesempatan
untuk mengembangkan diri mereka sendiri dan komunitasnya".
Dalam konteks sebuah negara yang demokratis, mungkin masih terdapat dilema
etis bagi para pemimpin pendidikan. Grace (1995, hal. 146-7) mengilustrasikan dilema
moral, etis dan profesional para pemimpin pendidikan dengan contoh-contoh konflik yang
thalami para guru kepala, yaitu antara keinginanuntuk bekerja sama dengan sekolah-sekolah
lain dan tekanan untuk berkompetisi dengan sekolah-sekolah tersebut yang disebabkan oleh
reformasi yang terjadi di Inggris dan Wales:
"Dalam perjuangan ideologic dan nilai antara komunitas profesional dan keuntungan
otonom, pada umumnya, para partisipan masih tetap loyal terhadap kultur yang ada
yang membutuhkan pembaharu. Bagi beberapa pihak, otonomi manajemen sekolah
yang tinggi merupakan suatu indikator'kemajuan'yang cukup, tanpa harus melakukan
pengrusakan terhadap jaringan pendidikan lokal".
Otonomi finansial yang meningkat menyebabkan mereka menghadapi dilema etis
lainnya yang terkait dengan pekerjaan guru, khususnya berkaitan dengan tuntutan untuk
mengurangi pengeluaran, yang kemudian mengarah pada pengambilan kepu0tusan yang
berlebihan.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah perguruan tinggi tidak
dapat berjalan dengan sistem komando, tapi dengan kepercayaan dan kemufakatan (ibid.).
Salah satu aspek kepemimpinan yang memberikan ruang otonomi yang cukup dalam
institusi pendidikan perlu diterapkan dalam sekolah atau perguruan tinggi dan bahkan dalam
komunitas yang lebih lugs. Kepalakepala sekolah percontohan Model C di Afrika Selatan, yang
dikontrol secara ketat di bidang finansial daripada sekolah-sekolah lainnya, mengidentifikasi
pemasaran sebagai salah satu perubahan utama dalam peran mereka (Steyn dan Squelch,
1994).
Beare et. al. (1989a, hal. 235) mengidentifikasi tiga aspek fundamental hubungan antara
sekolah dan komunitas:
1. Kesan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap baiknya murid belajar, karena
sikap orangtua terhadap sekolah mempunyai pengaruh langsung terhadap murid.
2. Beberapa guru tampak tidak apresiatif bahwa sekolah hanyalah sebuah elemen dalam
perusahaan pendidikan yang lebih besar.
3. Kesan penghargaan terhadap publik; penghargaan dapat menciptakan dukungan publik.
Dari sana akan muncul suatu konsensus bersama bahwa manajemen relasi eksternal
merupakan concern kepemimpinan yang sangat fundamental, berkaitan dengan hasil,
hubungan dan penghargaan. Caldwell dan Spinks (1992, hal. 156-7) membuat hubungan ini
sangat eksplisit, dengan alasan bahwa kepemimpinan sangat responsif terhadap beberapa
komponen berikut:
1. Komitmen terhadap gagasan bahwa sekolah adalah sebuah institusi yang didirikan
untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan komunitas setempat.
2. Mengakui bahwa mereka yang mempunyai kepentingan tersebut dilayani dalam
mendapatkan informasi bahwa sekolah diarahkan dan diselaraskan dengan harapan.
3. Menjaga kultur yang menghargai refleksi kritis.
4. Mengidentifikasi indikator-indikator yang valid dan dapat diandalkan untuk digunakan
dalam menyampaikan pertanggungjawaban.
5. Menganalisis dan menvalidasi informasi yang diperoleh dari evaluasi dan review dan
mengupayakan bersama yang lain untuk memilih strategi manajemen dan pembuatan
keputusan secara tepat dalam siklus manajemen tahunan.
Foskett (1998) mengidentifikasi pentingnya aspek relasi eksternal, yang memasarkan
sekolah atau perguruan tinggi, walaupun tingkat urgensitas dan tipe penclekatan berubah
sesuai dengan face pendidikan. Bagi FE College, pemasaran 'telah menjadi keasyikan
tersendiri... sejak periode inkorporasi (post 1992)' (ibid., hal. 54) walaupun demikian, dia
memandang bahwa bagi sekolah-sekolah dasar, aspek pemasaran penjualan relatif tidak
penting, dengan penekanan bahwa ia mendasarkan diri pada hubungan dan pentingnya
promosi. Dalam sekolah-sekolah menengah, penekanan pemasaran cenderung dikaitkan dengan
pilihan orangtua.
Pemasaran merupakan sebuah aspek relasi eksternal yang penting, yang mana la
mempunyai tingkat kemungkinan aplikasi khusus untuk manajemen strategis, dan ia
merupakan salah satu aspek dimana guru kepala atau kepala sekolah secara konsisten, telah
banyak berperan dalam sekolah, meski ia dapat dibuktikan sekarang (ibid.) bahwa
tanggungjawab dipikul oleh tim manajemen senior, atau badan penasehat yang memiliki
keanggotaan yang lebih lugs daripada tim manajemen senior.
Kepemimpinan Strategic
Mengidentifikasi sebuah strategi yang ada dalam suatu orientasi pemasaran sangat penting bagi
sekolah danperguruan tinggi. Peran utama kepala sekolah dan tim manajemen senior adalah
memberikan contoh teladankepemimpinan dalam manajemen strategis. The National Standard
for Headicachers (TTA, 1998, hal. 9) mengidentifikasi 'arah danpengembangan strategis
sekolah' sebagai kunci dan arch utama pars kepala bagian. Standar tersebut mengidentifikasi
mendefmisikan masalah itu sebagai; 'para kepala guru yang bekerja dengan badan pemerintah,
mengembangkan sebuah pandangan strategis untuk sekolah dalam komunitasnya' dan
menganalisisdan merencanakan untuk masa depannya dan pengembangan selanjutnya dalam
konteks lokal, nasional dan internasional'.
Dalam kaitannya dengan perencanaan strategis dalam jenjang pendidikan tinggi,
Lumby (1998, hal. 102) berkomentar tentang pentingnya peran kepemimpinan: `mencapai
suatu tujuan bergantung pada lebih dari sekedar kejelasan tujuan. Kekuasaan dan kapabilitas
seseorang dalam memimpin sangat penting dalam mencapai perubahan:
Stress telah menekankan pentingnya peran pemimpin dalam menegakkan visi sekolah
atau perguruan tinggi. Walaupun demikian, kepemimpinan juga berkaitan dengan
implementasi strategi:
"Pemimpin tidak cukup hanya mempunyai visi, juallah visi tersebut dan kembangkan,
yang membiarkan orang lain menerjemahkannya ke dalam aksi. Implementasi perencanaan
strategis memerlukan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan, yang dfikuti dengan kemampuan
kreatifuntuk memahami perubahan dan bagaimana masalah dapat diatasi secara tepat" (Hall,
1998, hal. 145).
Referensi
Valerie Hall, dalam tulisannya yang berjudul: Stra-
tegic Leadership in Education: Becoming, being, doing', Bab 10 dari buku Strategic
Management in Schools and Colleges, mencatat beberapa hal berikut:
Hubungan antara manajemen dan kepemimpinan;
visi;
Kepernimpinan. transformasional;
Kepemimpinan pendidikan;
Kepemimpinan moral dan etis;
Kepemimpinan dalam sekolah atau perguruan tinggi-yang otonom.
Uraian
Poin penting yang ditekankan Hall (1998, hal. 134) adalah peran pemimpin sebagai kepala
sekolah dan tim manajemen senior yang mendukung terbentuknya kultur kolaboratif dan
terealisasikannya fungsi-fungsi kepemimpinan. Aspek kepemimpinan strategis selanjutnya yang
dibahas dalam bab tersebut adalah pentingnya struktur, khususnya pembentukan tim. Aspek
manajemen strategis yang berkaitan dengan itu adalah pentingnya me-manage orang-orang
yang ada dalam sebuah organisasi. Hall menegaskan bahwa hal ini akan sangat berhasil jika
model kepemimpinan kepala sekolah adalah model yang lebih menekankan pada
pemberdayaan daripada pemanfaatan berlebihan terhadap kekuasaan yang dimilikinya.
Dua mutu kepemimpinan strategis yang muncul dari bacaan tersebut adalah tuntutan
bagi pemimpin agar bersikap fleksibel dalam mengatasi sesuatu yang tidak diharapkan, dan
tuntutan bagi mereka untuk mempunyai'visi helikopter', yaitu suatu kernampuan untuk
berpandangan jauh ke depan. West-Burnham (1997, hal. 247) memandang pentingnya
sekolah untuk melakukan rekonseptualisasi kepemimpinan. Hal tersebut bertujuan untuk:
'merespon suatu dunia yang berubah'. Dia menegaskan. (dikutip dari ibid. hal. 235-43) tuntutan
pada:
Intelektualisme untuk memperkuat peran dan refleksi edukatif;
Seni yang berkaitan dengan visi, kreativitas dan komunikasi;
Spiritualitas prinsip-prinsip atau 'perspektif yang lebih tinggi'
berperan dengan model kepemimpinan yang memberdayakan orang lain dan sangat mampu
dalam berkomunikasi dengan staf dan siswa. Model kepemimpinan semacam itu adalah
model kepemimpinan transformasional dan edukatif
Ada suatu stereotip gender yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Sejumlah laki-laki dalam
manajemen senior menciptakan sebuah image yang menjurus pada pengabadian dirinya sendiri
(selfpertuating): 'Banyak model kepala guru laki-laki yang bersifat selektor, yang kemudian
menjadi dasar stereotip' (Morgan et. al, 1983, hal. 77). Stereotip tersebut dipertegas dengan:
asumsi yang tidak benar bahwa kepemimpinan adalah sebuah karakteristik laki-laki yang
memerlukan kekerasan fisik dan mental Berta kemampuan untuk mendekati kesulitan-kesulitan
dengan Tony Bush & Marianne Coleman
Para wanita di Inggris Raya, dan di manapun, kebanyakan hanya berperan dalam
profesi mengajar, namun relatif sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting
pemegang otoritas dalam se jumlah sekolah menengah, perguruan tinggi, danuniversitas
dan dalam administrasi lokal pendidikan, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar di Israel.
(Goldring dan Chen, 1994).
Referensi
Marianne Coleman dalam `Women in Educational Management', Bab 9 dari buku The
Principles of Educational management, menguraikan terra-terra kesetaraan gender dan
pengembangan karir bagi wanita. juga ada bagian-bagian khusus yang
memperkenalkan konsep model-model manajemen 'feminin' dan `maskulin' clan
sekolah, sekolah efektif.
Uraian
Aspek-aspek kepemimpinan dan manajemen yang dipandang 'feminin' ini adalah sama
dengan aspekaspek kepemimpinan dan manajemen yang saat ini dipandang efektif. Lebih
dari itu, beberapa bukti empirik yang muncul (hal. 191) membuktikan bahwa kebanyakan
wanita dalam kepemimpinan mampu berperan dengan model kepemimpinan yang
memberdayakan orang lain dan sangat mampu dalam berkomunikasi dengan staf dan siswa.
Model kepemimpinan semacam itu adalah model kepemimpinan transformasional dan
edukatif.
Ada suatu stereotip gender yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Sejumlah laki-laki
dalam manajemen senior menciptakan sebuah image yang menjurus pada pengabdian dirinya
sendiri (self-pertuating): Banyak model kepala guru laki-laki yang bersifat selector, yang
kemudian menjadi dasar stereotip (Morgan et.al.,1983, hall.77). Stereotip tersebut dipertegas
dengan :asumsi yang tidak benar bahwa kepemimpinan adalah sebuah karakteristik laki-laki
yang memerlukan kekerasan fisik dan mental serta kemampuan untuk mendekati kesulitan-
kesulitan dengan tanpa emosional (Gane dan Morgan, 1992, hal.53).
Keberadaan stereotip yang mengidentifikasi pemimpin sebagai peran laki-laki
didukung oleh penelitian di bidang manajemen yang dilakukan pada tahun 1970-an dan
dilakukan kembali pada tahun 1990-an: `salah satu hal penting yang mendiskreditkan peran
wanita dalam manajemen di semua negara adalah adanya stereotip yang mengasosiasikan
manajemen sebagai pekerjaan atau dunia laki-laki' (Schein, 1994, hal. 47). Temuan penelitian
Schein tersebut (ibid., hal. 48) adalah bahwa laki-laki dan perempuan. Cenderungmelihat pada
karakteristik utama manajer yang balk, yaitu yang memiliki:
Kemampuan kepemimpinan;
Rasa tanggungjawab;
Ketrampilan di bidang bisnis dan
Kemampuan analitis.
Walaupun demikian, kesimpulan tersebut (ibid., hal. 88) tidak berarti bahwa semua laki-
laki dan perempuan berada dalam posisi yang bertentangan, namun bahwa beberapa laki-laki
cenderung mendominasikultur kekuasaan dan pendidikan: 'Dengan demikian hirarki tersebut,
bersifat status-oriented, yang secara vertikal membedakan institusi yang bersifat 'natural'
dalam mengorganisir sejumlah besar orang; dan bahwa segala sesuatu itu berputar terkadang
menang dan terkadang kalah. Hal tersebut adalah hal yang 'natural' bagi kemanusiaan
daripada merepresentasikan hanya khusus pada satu bentuk maskulinitas.'
Schmuck (1996, hal. 355) mengklaim bahwa perempuan bertindak sebagai 'Insider'
dan 'outsider' dalam organisasi.-organisasi pendidikan:
"Sebagai 'insider' mereka (perempuan) mengadopsi peran-peran, norms-norms, sikap-
sikap dan ekspektasi-ekspektasi tentang peran sebagai kepala sekolah atau
pengawas sekolah. Namun, karena kondisi peran-peran gender sosial
membutuhkannya, maka mereka tetap sebagai 'outsider' karena mereka tidak
merefleksikan ekspektasi-ekspektasi kultural peran pemimpin seperti laki-laki. Para ad-
ministrator perempuan berada dalam kondisi yang marjinal. Perempuan yang menjadi
administrator harus menemukan cars-cars barn untuk bertindak karena mereka tidak
memenuhi ekspektasi ekspektasi kultural sebagaimana yang dilakukan dan
dipenuhi oleh laki -laki dalam peran kepemimpinan".
Kepemimpinan Perempuan
Penelitian empirik tentang kepala-kepala sekolah perempuan dan pars manajer senior perempuan
lainnya mengindikasikan bahwa mereka cenderung. berperilaku model manajemen
transformatif dan partisipatif Ma yorit as (seki tar 85%) kepala perempuan sekolah
menengah di Inggris dan Wales (Coleman, 2000) menganggap dirinya memiliki model mana-
jemen kolaboratif danpeople-centered. Persepsi ini sangat kuat berkembang di tengah-tengah
kelompok usia muds di bawah umum 50 tahun. Model manajemen people-centered didukung
oleh sebuah studi tentang manajer perempuan dalam lingkungan bisnis di Hongkong dan China
(Chow dan Luk, 1996, hal. 35). Studi ini mengindikasikan bahwa perempuan menempati rating
atas dalam hal dirinya sebagai motivator yang dikaitkan dengan hubungan personal seperti
penghargaan terhadap kerja yang baik dan `mempunyai hubungan yang baik dengan atasan
dan kolega.
Identifikasi terhadap model manajemen kolaboratif dengan perempuan sebagai
pelakunya adalah sesuai dengan temuan-temuan awal, sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Penelitian tentang kepala-kepala guru dan kepala-kepala sekolah perempuan di Amerika Serikat,
Inggris Raya, Australia, Selandia Baru dan. Kanada menunjukkan bahwa para. manajer
perempuan tampil bekerja secara koperatif dan memberdayakankoleganya Berta memfungsikan
team work secara efektif (Blackmore, 1989; Hall, 1996; Jirasinghe dan Lyons, 1996). Dalam
penelitan yang lebih lugs lagi tentang kepala-kepala sekolah dasar dan menengah di Inggris,
Jirasinghe dan Lyons (1996) mengelola suatu variasi tes kepribadian, yang mencakup kuesioner
kepribadian pekerjaan, kuesioner model tim Belbin dan kuesioner model kepernimpinan yang
dikutip dari penelitian Bass (1981). Dalam dimensi kuesioner kepribadian pekerjaan, kepala-
kepala sekolah perempuan (sekolah dasar dan menengah) mendeskripsikan dirinya sebagai sosok
yang lebih:
Supel
Demokratis
Perhatian
Artistik
Bersikap baik
Cermat dan. teliti
Berperasaan dan berhati-hati.
Mereka mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai pemimpin yang partisipatif dan
konsultatif.
Kepala-kepala sekolah perempuan mempersepsi dirinya sebagai sosok yang lebih:
Rasional
Relaks
Keras hati
Aktif
Kompetitif
Shakeshaft (1989) meninjau ulang penelitan yang dilakukan di Amerika Serikat dengan
beberapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen:
Perempuan cenderung memiliki lebih banyak melakukan kontak dengan atasan dan
bawahan, guru dan murid.
Perempuan menghabiskan banyak waktu dengan para anggota komunitas dan dengan
koleganya, walaupun mereka bukanlah perempuan.
Mereka lebih informal.
Mereka concern terhadap perbedaan-perbedaan individual antara murid.
Mereka lebih memandang posisinya sebagai seorang pemimpin pendidikan daripada
seorang manajer, dan melihat kerja sebagai suatu pelayanan terhadap komunitas.
Terdapat suatu sikap kurang menerima terhadap para pemimpin perempuan daripada
laki-laki; oleh karenanya, para pemimpin perempuan hidup dalam suatu dunia
yang terpendam dan gelisah (ibid., hal. 175)
Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang banyak dari instruksi supervise, dan sementara
laki-laki dari administrasi.
Dalam komunikasi, mereka dapat tampil lebih sopan dan tentatif daripada laki-laki,
yang cenderung sederhana dalam memberikan statemen. Bahasa tubuh bisa juga
berbeda, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah daripada lakilaki.
Perempuan cenderung lebih menggunakan model manajemen partisipatoris; dan
menggunakan strategi-strategi kolaboratif dalam menyelesaikan konflik.
Secara umum, ia menunjukkan bahwa terdapat suatu identifikasi yang kuat tentang
ciri-ciri feminin pada sebagian kepala guru, dan juga terdapat suatu identifikasi yang lemah
tentang kebanyakan ciri-ciri maskulin. Walaupun demikian, ada sejumlah ciri-ciri maskulin,
khususnya'evaluatif,'disiplin','kompetitif dan 'obyektif , yang teridentifikasi dari 50% responden
atau lebih. Di samping itu, terdapat dua ciri-ciri feminin yang teridentifikasi dari responden yang
sangat sedikit: `subyektif dan 'non-subyektif . Defiasi ini bersumber dari stereotip-stereotip
yang memperkuat gambaran tentang suatu paradigma model manajemen feminin murni di
antara para kepala sekolah menengah perempuan di Inggris dan Wales dan menunjukkan suatu
model manajemen yang lebih netral (tidak memihak gender).
Aktivitas
Lihat kembali daftar generalisasi tentang
kepemimpinan yang disampaikan di awal bab ini,
yang dikutip dari literatur utama (hal. 22). Ketika
anda membaca kembali daftar tersebut dalam konteks
buku ini secara keseluruhan, maka akan jelas bahwa
terdapat suatu pandangan tentang apa yang disebut
dengan pemimpin yang baik dalam pendidikan saat
ini. Kepemimpinan tidak dibatasi hanya pada kepala
sekolah atau kepala guru, tapi bisa juga lebih dari itu
sampai pada level manajer senior. Sebagaimana telah
kita ketahui, dalam kultur transformasional,
kepemimpinan mengalami perubahan.
Dengan mempertimbangkan konteks sekolah atau
perguruan tinggi anda, cobalah untuk
mengidentifikasi atau mengilustrasikan beberapa
contoh untuk daftar generalisasi.
Komentar
Tidak seperti contoh-"contoh generalisasi dalam institusi yang anda temukan, Beare at al. (1993,
hal. 147) menyampaikan ilustrasi untuk generalisasi tersebut; dalam hal tiga generalisasi:
1. Pemimpin yang baik memiliki suatu visi bagi organisasinya (kepala sekolah
menggambarkan atau membayangkan sekolah sebagai pusat pembelajaran bagi seluruh
komunitas).
2. Pernimpin memiliki peranan penting dalam mengembangkan kultur organisasi (kepala
sekolah melibatkan anggota-anggota komunitas di setiap acara dan kegiatan sekolah).
3. Mutu stereotip 'maskulin' dan 'ferninin' adalah penting dalam kepemimpinan. Dengan
tanpa memperhatikan gender pemimpin (kepala sekolah sensitif dan perhatian
terhadap kebutuhankebutuhan personal (stereotip 'ferninin'); kepala sekolah
membantu dalam menumbuhkembangkan budaya kompetitif, pendekatan tim dalam
menjaga kedudukan akademik sekolah ('stereotip maskulin')).
Spesifikasi kerja disusun oleh kepala sekolah atau staf senior lainnya secara bersama-sama.
Spesifikasi kerja tersebut hanyalah merupakan starting poin negosiasi peran, yang merupakan
suatu proses berkelanjutan yang melibatkan seluruh anggota pemegang jabatan.
Kelompok peran harus terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
memainkan perannya secara tepat. Peran-peran tersebut harus mencakup peran atasan,
menengah, dan bawahan. la juga bisa mencakup, beberapa tempat atau posisi yang tepat
dalam menjalankan sebuah peran tertentu.
Coulson (1974, hal. 6-7) menggunakan konsep kelompok peran pada posisi wakil
kepala di sebuah sekolah menengah Inggris:
"Wakil kepala sekolah di sebuah sekolah dasar akan memahami bahwa orang-orang
tertentu memilikihak untuk menentukan posisinya sendiri. Orang tersebut akan
menentukan lelornpok peran'nya. Kelompok peran wakil kepala mencakup guru-guru di
sekolah, pengurus, siswa, orangtua, wakil kepala sekolah lainnya dan seterusnya. Cain
(1988) menyampaikan dua kriteria bagi `penentu peran yang efektif : (a) mereka
yang dipengaruhi dalam beberapa hal oleh sikap peran yang tergabung dalam;
dan (b) mereka yang berasal dari kelompok ini dengan suatu kekuatan melalui suatu
aktor di wilayah yang relevan dengan aksi... pengaruh dari kelompok peran tersebut
terganggu oleh adanya kemungkinan bahwa bahan yang sebenarnya adalah bukan
harapan aktual dari anggota kelompok peran, tapi persepsi wakil kepala terhadap
harapanharapan mereka".
Konsep kelompok peran. memberi seclikit nilai terhadap, pemegang jabatan tentang
bagaimana seharusnya is bertinclak. Walaupun demikian, secara praktis, pemegang jabatan
biasanya memiliki pandangan yang jelas tentang sifat peran, didasarkan pada pengalaman
profesional yang dialaminya selama beberapa tahun. Konsepsi personal ini berkaitan dengan
pandangan tentang kelompok peran yang dipahami untuk menentukan bagaimana suatu peran
akan dimainkan dalam setiap individu. Hall (1997, hal. 63) merujuk pada konsep'mengambil
peran dan membuat peran (role-taking and role-making)': 'alasan kenapaseorang individu
berperilaku rbecla dari cleskripsi formal kerjanya, bisa dilihat dari upaya individu membuat peran
untuk dirinya sendiri, dengan cara mencocokkannya dengan penafsirannya'.
Pengaruhnya terhadap individu terbukti ketika seseorang yang barn menempati
sebuah posisi. Perbedaan antara pemegang jabatan yang pertama dan yang kedua bisa dilihat
pada perbedaan penilaian perseorangan terhadap bagaimana pernan tersebut seharusnya
dimainkan, dan hal tersebut juga bisa dilihat pada perbedaan persepsi tentang pandangan kolektif
terhadap kelompok peran.
Di mana ada perbedaan antara pandangan pemegang peran dan anggota kelompok
peran, atau di mana ada ketegangan dalam peran, pemegang peran bisa mengalami konflik atau
ketegangan peran. Peran seorang dosen dan manajer menengah di pendidikan tinggi perlu
dilakukan perubahan dan reclefinisi. Dalam sebuah studi tentang peran kepala departemen di
universitas `baru' di Inggris, Smith (1996, hal. 248) mengidentifikasi `tingkat kecepatan
perubahan dankondisi ekonomi yang sulit di pendidikan tinggi' sebagai salah satu penyebab utama
tekanan. Dia melihat sumber utama konflik peran sebagai:
"Keseimbangan departemen dan stafnya yang sulit untuk merepresentasikan universitas
dan, pada saat bersamaan, universitas juga mengalami kesulitandalam merepresentasikan
departemen; kesulitan me-manage akademik, khususnya di beberapa wilayah disiplin staf dan
menyelesaikan konflik di antara staf, memperoleh dan me-manage sumber-sumber kondisi
ekonomi yang sangat sulit" (ibid.)
Tuntutan terhadap tempat tugas adalah penting dan bervariasi. Dalam salah satu studi
kasus yang dilakukan Smith (ibid., bal.'200), seorang dekan membuat daftar harapannya
terhadap kepala departemen:
"Saya memiliki banyak harapan. Mereka semua digaji. Saya mengharap mereka me-manage
dan memimpin departemen-departemennya secara efektif-, me-manage, memimpin dan
mengembangkan stafnya secara efektif; responsif terhadap perubahan; proaktif dan tidak reaktif
terhadap sesuatu yang terjadi pada diri kita; bekerjasama; menjalankan departemennya dalam
universitas; memahami dan mengimplementasikan misi, menggunakan misi sebagai sebuah
startingpoin".
"Saya berharap para kepala departemen mampu mendelegasikan tugas dan tidak berpikiran bahwa
membuat Surat itu lebih penting. Saya berharap mereka mempunyai visi rencana strategic Fakultas
hingga"tahun 2000".
Sebuah studi tentang persepsi peran kepala-kepala guru sekolah negeri dan swasta di
Pakistan (Simkins et. al., 1998) menemukan bahwa persepsi kepala guruterhadap peran
mereka dipengaruhi oleh paksaan dan tekanan eksternal. Khusus berkaitan dengan perbeclaan
antara sekolah-sekolah negeri dan swasta: 'ia n-iempengaruhi tugas kepala-kepala guru,
keduanya secara obyektdmisalnya, membolehkan dan melarang kebebasan di beberapa hal
tertentu dan secara subyektif dalam membuat harapan terhadap kepala-kepala guru tentang
bagaimana mereka seharusnya memainkan peran mereka' (ibid., hal. 144).
Grace (1995) melaporkan tentang ketegangan yang dialami para kepala guru sebagai
suatu hasil perubahan kultur yang jauh dari nuansa kooperatif pada saat meningkatknya tingkat
kompetisi antar sekolah. Hall (1997) mengomentari tentang kemungkinan adanya ketegangan
peran kepala-kepala guru dan gubernur sebagai suatu hasil dari perubahan kekuasaan dan
tentang kemungkinan gubernur sekolah di Inggris dan Wales. Walaupun demikian, mungkin saja
para kepala guru bisa menerima perubahan semacam ini dalam hal kebebasan lain yang mereka
alami, agar mampu mendefinisikan kembali peran mereka secara lebih luas.
Salah satu wilayah ketegangan peran potensial pernah diidentifikasi oleh Hughes
(1989, hal. 11) sebagai dua model peran, dimana:
"Ketua eksekutif organisasi bisa jugs dipertimbangkan dengan kepemimpinan profesionalnya.
Elemen penting dalam model tersebut adalahketerkaitan antara dua aspek. Hal ini dapat
dilihat dalam kaitannya dengan kepemimpinan sekolah, tapi ia jugs dapat
diaplikasikan pada level lain dan dalam model-model organisasi pendidikan lainnya".
Perubahan menuju otonomi sekolah yang luas di Afrika Selatan dibuktikan dengan
pembuatan sekolahsekolah Model C, dimana sekolah banyak bertanggungjawab terhadap masalah
finansial. Redefinisi peran dari memimpin profesional menuju ketua eksekutif yang ditunjukkan
dengan perubahan adalah jelas:
"Semua kepala sekolah sepakat bahwa fungsi-fungsi bare diberikan kepada mereka sejak
implementasi Model C. Menurut mereka, sekarang mereka telah melaksanakan peran
manajer sekolah. Hal itudiketahui bahwa peran mereka telah mengalami perubahan dari
'pernimpin instruksional' menuju 'manajer', dan dikatakan bahwa ini mencakup
peran 'direktur' dan 'ahli finansial'. Seorang interviewee menyesal bahwa dia tidak
mempunyai waktu untuk mengunjungi guru-guru atau berjalan mengitari sekolah, sejak
tugas-tugas administratif membatasi geraknya dalam kantor. Seorang kepala sekolah
lainnya merasa bahwa ia sekarang telah menjadi `manajer umum': seorang manajer
personal, finansial, tempat dan instruksional" (Steyn dan Squelch, 1994, hal. 186).
The national Standards for Headteachers (TTA, 1998) conclong pada kepala guru
sebagai `tenaga profesional yang memimpin sekolah', dan di Inggris Raya peran kepala sekolah
atau kepala guru sekarang didefinisikan lebih jelas daripada sebelumnya. Pengembangan pe-
latihan kepala guru dan kompetensi (ibid.), dantuntutan inspeksi eksternal dan kontrol
undangundang lainnya, telah memfokuskan perhatiannya
pada peran kepala:
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peran kepala atau ketua didefinisikan
secara mentah, dengan persiapan yang tidak cukup, dan diperlakukan secara khusus
daripada sebuah cars strategic (misalnya, Hall et. al., 1986). Pada tahun 1990-an, kepala
guru dimungkinkan untuk mempunyai deskripsi kerja dan kesempatan yang luas
untukpelatihan dan pengembangan. Tidak seperti peranperan manajemen lainnya
(misalnya, wakil kepala guru dan manajer menengah), peran kepala telah menjadi subyek
penelitian" (Hall, 1997, hal. 66).
Aktivitas
Pertimbangkan peran yang dimainkan oleh seorang
manajer senior dengan tanggungiawab
kepemimpinan di sekolah atau Perguruan tinggi
anda. Cobalah mengidentifikasi anggota-anggota
kelompok peran dan beberapa pengaruh dan
harapan internal dan eksternal yang bisa
mempengaruhi peran tersebut. Di samping itu,
wawancarailah Para manajer senior dan tanyakan
tentang pandangan-pandangannya.
Uraian
Anggota-anggota kelompok peran mencakup semua orang yang bekerja dengan pemimpin
individu. Mereka jugs dimungkinkan mencakup beberapa pihak berikut ini: siswa; orangtua;
stafpendukung; representasi pihak eksternal, pemimpin dan anggota-anggota komunitas; keluarga
mereka; dan pemegang jabatan sebelumnya.
Hall (1997, hal. 62) menegaskan beberapa pengaruh eksternal yang menyebabkan terjadinya
kesulitan dalam upaya mengidentifikasi sifat peran manajemen dan kepemimpinan:
"Kesulitan ini muncul dari beberapa sumber, yang mencakup perbedaan tujuan dalam
pendidikan, persepsi guru terhadap did mereka sendiri sebagai 'tenaga-tenaga
profesional' dan interaksi preskripsi pemerintah pusat dan interpretasi guru secara
individu. Di samping itu, ada beberapa perubahan global yang ikut mempengaruhi
kerja guru dan kultur di era post-modern".
Poin-poin Pembelajaran
Walaupun teori kepemimpinan cenderung didasarkan pada model-model barat, secara
praktis is dapat ditemukan beberapa kultur yang berbeda.
Kepemimpinan dan manajemen merupakan konsep yang berbeda, tapi secara umum
ditemukan di dalam peran yang sama
Studi-studi tentang kepemimpinan dalam pendidikan mendukung adanya kepemim-
pinan transformasional, kepemimpinan edukatif, dan perhatian terhadap dimensi
moral dari kepemimpinan.
Meningkatnya otonomi dalam institusi pendidikan akan menciptakan tantangan barn
bagi pemimpin, yang mencakup perlunya bertanggungjawab terhadap kepemimpinan
strategis.
Mutu feminin dalam kepemimpinan dan manajemen berbeda dari stereotip kepe-
mimpinan, tapi memiliki kesamaan pada model-model kepemimpinan dan manajemen
yang secara umum dipandang cukup efektif.
Peran pemimpin merupakan suatu konsep yang lebih lugs daripada sekedar definisi kerja/
tugas.
Ketegangan peran bisa disebabkan oleh konflik pandangan dan juga bisa disebabkan oleh
pengaruh perubahan dalam lingkungan eksternal
IIIB. HAKIKAT MANAGEMEN DALAM PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai bagian yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh
dan --meningkatkan pengetahuan serta keterampilan individu di luar sistem pendidikan
yang perilaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih
mengutamakan pada praktik daripada teori. Sementara itu, keterampilan di sini adalah
meliputi pengertian phsical
Pendidikan sangat penting bagi setiap individu. Pendidikan secara singkat didefinisikan
sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja di masa mendatang.
Hal-hal berikut penting untuk mengetahui konsep pendidikan lebih lanjut, yaitu:
1. Pendidikan adalah proses secara sistematis untuk mengubah tingkah laku seseorang untuk
mencapai tujuan organisasi. Pendidikan berkaitan dengan keahlian clan kemampuan
untuk melaksanakan pekerjaan saat ini. Pendidikan memiliki orientasi saat ini dan
membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil
dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Program pendidikan formal adalah usaha pemberi kerja untuk memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk memperoleh pekerjaan atau bidang tugas yang sesuai dengan
kemampuannya, sikap clan pengetahuannya.
Pendidikan adalah salah satu bentuk edukasi yang mana prinsip-prinsip pembelajaran
berikut dapat diterapkan, yaitu:
1. pihak yang diberikan pendidikan (trainee) harus dapat dimotivasi untuk belajar;
2. trainee harus mempunyai kemampuan untuk belajar;
3. proses pembelajaran harus dapat dipaksakan atau diperkuat;
4. pendidikan harus menyediakan bahan-bahan yang dapat dipraktikkan atau diterapkan;
5. bahan-bahan yang dipresentasikan harus memiliki arti yang lengkap clan memenuhi
kebutuhan;
6. materi yang diajarkan harus memiliki arti yang lengkap dan memenuhi kebutuhan.
Berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan masalah pengembangan.
Pengembangan adalah suatu proses mendapatkan pengalaman, keahlian dan sikap untuk
menjadi sesuatu atau meraih sukses sebagai pemimpin dalam organisasi mereka. Oleh
karena itu, kegiatan pengembangan ditujukan untuk membantu seseorang untuk dapat
menangani persoalannya di masa mendatang, dengan memerhatikan tugas dan kewajiban
yang dihadapi sekarang. Karena adanya perbedaan antara kegiatan pendidikan (sekarang)
dan pengembangan (di masa mendatang) sering kabur. Hal ini merupakan salah satu
permasalahan utama. Apabila dilihat dari perspektif keseluruhan, perbedaan antara kegiatan
pendidikan untuk bidang tugas yang sekarang dengan kegiatan pengembangan untuk suatu
tanggung jawab di masa mendatang, makin kabur. Apa yang umumnya suatu perusahaan
lakukan untuk menciptakan sesuatu, adalah suatu organisasi di mana orang-orang bergabung
untuk melakukan kegiatan belajar yang terus-menerus. Walaupun pendidikan dapat
membantu seseorang untuk mengerjakan pekerjaan mereka saat ini, keuntungan dari program
pendidikan dapat diperoleh sepanjang kariernya dan dapat membantu peningkatan kariernya di
masa mendatang. Sementara itu, pengembangan dapat membantu individu untuk memegang
tanggung jawab di masa mendatang.
Kegiatan pendidikan dan pengembangan memberikan dividen (keuntungan) kepada
seseorang dan perusahaan, berupa keahlian, keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset
yang berharga bagi perusahaan. Melalui pendidikan akan menambah kemampuan seseorang
dan demikian Pula bagi perusahaan yang mementingkan tuntutan para. Manajer dan
departemen SDM. Akan tetapi, kegiatan pendidikan dan pengembangan adalah bukan solusi
yang universal yang dapat memenuhi semua kebutuhan. Rancangan tugas yang efektif,
pemilihan seleksi, penempatan dan kegiatan-kegiatan lainnya juga diperlukan. Meskipun
begitu kegiatan pendidikan dapat memberikan kontribusi yang berarti kalau dikerjakan secara
benar
Sebelum mengurai pada sub-bab berikutnya sebaiknya dikemukakan dahulu beberapa
konsep pendidikan, yaitu konsep tradisional dan konsep Sistem.
Feed Back
1.identifikasi
kebutuhan
pendidikakan
2.Penetapan
5.Evaluasi
sasaran
pendidikan
3.Merancang
4.Pelaksanan
program
program
B. SASARAN PENDIDIKAN
Pada dasarnya setiap kegiatan yang terarah tentu harus mempunyai sasaran yang jelas
yang memuat hasil yang ingin dicapai dengan melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian
pula dengan program pendidikan. Hasil yang ingin dicapai hendaknya dirumuskan
denganjelas agar langkah-langkah persiapan dan pelaksanaan pendidikan dapat diarahkan
untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sasaran pendidikan yang dapat dirumuskan dengan
jelas akan dijadikan sebagai acuan penting dalam menentukan materi yang akan diberikan,
cara dan sarana-sarana yang diperlukan. Sebaliknya sasaran yang tidak spesifik atau terlalu
umum akan menyulitkan penyiapan dan pelaksanaan pendidikan sehingga tidak dapat
menjawab kebutuhan pendidikan.
Sasaran pendidikan yang dapat dirumuskan dengan jelas akan berhasil dalam hal-hal
sebagai berikut :
1) Menjamin konsistensi dalam menyusun program pendidikan yang mencakup materi,
metode, cara penyampaian,sarana pendidikan ;
2) memudahkan komunikasi antara penyusun program pendidikan dengan pihak yang
memerlukan pendidikan;
3) memberikan kejelasan bagi murid tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka
mencapai sasaran;
4) memudahkan penilaian peserta dalam mengikuti pendidikan;
5) memudahkan penilaian hasil program pendidikan;
6) menghindarkan kemungkinan konflik antara penyelenggara dengan orang yang meru-
pakan objek pendidikan mengenai efektivitas pendidikan yang diselenggarakan.
Tujuan atau sasaran dari pendidikan pads dasarnya dapat dikembangkan dari serang -
kaian pertanyaan sebagai berikut:
1. Keefektifan/validitas pendidikan
Apakah peserta memperoleh keahlian, pengetahuan, dan kemampuan selama
pendidikan.
4. Keefektifan/validitas interorganisasional.
Dapatkah suatu program pendidikan yang diterapkan di satu perusahaan berhasil di
perusahaan yang lain.
Sementara itu, tujuan dari pendidikan dan pengembangan adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya pendidikan mencakup beberapa aspek dari ketiga kategori di atas, se-
bagai contoh untuk mencapai tingkat psikomotorik tertentu diperlukan belajar pada kategori
afektif clan kognitif. Demikian pula halnya pada aspek kognitif menjadi perhatian utama,
belajar pada kategori psimotorik clan afektif turut berperan.
Selain itu perlu pula diketahui jenis sasaran pendidikan sehingga setiap pendidikan yang
diselenggarakan akan mencapai sasaran:
1. Berdasarkan tingkatannya
a. Sasaran primer. Sasaran ini merupakan inti dari program'pendidikan. Sasaran pri-
mer ini sangat penting karena akan memberikan arti kejelasan dan kesatuan atas
segala kegiatan selama kegiatan pendidikan berlangsung
b. Sasaran sekunder. Sasaran ini merupakan inti dari masing-masing pelajaran dalam
suatu program pendidikan. Sasaran sekunder ini sesungguhnya sebagai penjabaran
lebih lanjut dan sekaligus merupakan bagian integral dari sasaran primer.
2. Berdasarkan kontennya
a. Berpusat pada kegiatan instruktur. Di sini menggambarkan spa yang dilakukan
instruktur selama pelatihan dilaksanakan (seperti, mendemontrasikan cara meng-
gunakan program Microsoftword).
b. Berpusat pada bahan pelajaran, Di sini menggambarkan bahan yang disampaikan
dalam pendidikan (seperti, prosedur mengaktifkan komputer).
c. Berpusat pada kegiatan peserta. Di sini menggambarkan kegiatan yang dilakukan
peserta selama pendidikan (seperti, peserta mampu menggunakan komputer)
C. MANFAAT PENDIDIKAN
3. Manfaat dalam hubungan murid, intra dan antargrup dan pelaksanaan kebijakan.
Meningkatkan komunikasi antargrup dan individual.
Membantu dalam orientasi bagi karyawan barn dan karyawan transfer
ataupromosi
Memberikan informasi tentang kesamaan kesempatan dan aksi affirmative.
Memberikan informasi tentang hukum pemerintah dan kebijakan internasional.
Meningkatkan keterampilan interpersonal.
Membuat kebijakan perusahaan, aturan dan regulasi.
Meningkatkan kualitas moral.
Membangun kohesivitas dalam kelompok.
Memberikan iklim yang baik untuk belajar, pertumbuhan dan koordinasi.
Membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih baik untuk bekerja dan hidup.
D. KEBUTUHAN PENDIDIKAN
Dalam praktik pekerjaan sering didengar adanya sementara orang yang tidak
mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan hasil baik. Tentunya nantinya akan
menimbulkan masalah, jika prestasi kerjanya saling berkaitan dengan unit kerja lainnya.
Idealnya setiap penempatan seseorang pada posisi apa pun dalam suatu perusahaan harus
ada kesesuaian antara kemampuan clan tuntutan jabatannya/pekerjaannya. Jika terjadi
perbedaan di antara keduanya, inilah yang disebut dengan kesenjangan prestasi yang salah
satunya dapat diatasi dengan pendidikan.
Selanjutnya, setiap upaya yang dilakukan untuk melakukan penelitian kebutuhan
pendidikan adalah suatu usaha untuk mengumpulkan dan menganalisis gejala -gejala clan
informasi -informasi yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan-kesenjangan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi jabatan tertentu
dalam suatu perusahaan. Upaya untuk melakukan identifikasi pendidikan dapat dilakukan
antara lain dengan cara sebagai berikut.
3. Analisis catatan tentang seseorang, yaitu catatan seseorang yang berisi tentang
latar belakang pendidikan, hasil tes seleksi penerimaan, pendidikan yang
pernah diikuti, promosi, demosi, rotasi, penilaian prestasi secara periodik,
temuan hasil pemeriksaan satuan pemeriksaan, kegagalan kerja, hasil komplain
dari pelanggan, banyaknya hasil produksi yang gagal, efektivitas kerja yang
menurun, produktivitas kerja yang menurun, in-efisien dalam berbagai hal clan
lain-lain. Dari catatan ini bisa ditentukan kekurangankekurangan yang dapat diisi
melalui pendidikan, dan is masih memiliki potensi untuk dikembangkan.
4. Analisis laporan kegiatan bisnis, yaitu laporan lain tentang keluhan pelanggan,
keluhan murid, tingkat absensi, kecelakaan kerja, kerusakan mesin, dan lain-lain
yang dapat dipelajari dan disimpulkan adanya kekurangan-kekurangan yang
bisa ditanggulegi dengan pendidikan.
5. Analisis masalah, yaitu masalah yang dihadapi sektor usaha secara umum
dipisahkan ke dalam dua masalah pokok, yaitu masalah yang menyangkut sistem
dan muridnya. Masalah yang menyangkut murid sering kali ada implikasinya
dengan pendidikan. Jika sektor usaha menghadapi masalah utang-piutang bisa
digunakan sistem penagihan dan melatih murid yang menangani penyelesaian utang
piutang tersebut.
6. Rancangan jangka panjang sektor usaha, rancangan jangka panjang ini mau
tidak mau memasukkan bidang murid di dalam prosesnya. Jika dalam
prosesnya banyak sekali diantisipasi adanya perubahan-perubahan,
kesenjangan potensi pengetahuan dan keterampilan dapat dideteksi sejak awal.
Dari kebutuhan pendidikan yang bersifat potensial ini dapat dirumuskan sasaran
dan rancang programnya.
Observasi di lapangan.
Mengumpulkan permintaan pendidikan dari pars pengguna jasa pendidikan.
Mengadakan wawancara dengan: target peserta, atasan individu yang bersangkutan,
bawahannya atau temannya.
Diskusi kelompok.
Kuesioner.
Permintaan karyawan karena kebutuhan pekerjaan.
Tes tertulis.
Komentar pelanggan.
Kebutuhan pelanggan/masyarakat.
Komentar pesaing.
Hasil temuan satuan pemeriksa
IVA. MANAGEMEN PEMBELAJARAN
A. Latar Belakang dan Konsep Model Pembelajaran
Perkembangan teknologi pendidikan kontemporer semakin pesat. Dari waktu ke
waktu muncul metode, model dan strategi baru pembelajaran untuk mempercepat penguasaan
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan oleh pembelajar. Dalam konteks ini muncul apa
yang disuarakan para ahli dengan revolusi cara belajar sebagai respon terhadap pembelajaran
yang berfokus terhadap guru, sekarang diganti dengan pendekatan pembelajaran berpusat
kepada anak (student centered learning). Di Indonesia juga diperkenalkan kurikulum berbasis
kompetensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Teori, strategi, teknik dan model pembelajaran semakin berkembang di abad ke-21
ini. Di Indonesia dengan penerapan kurikulum berbasis kompetensi. maka keragaman model
pembelajaran yang diaplikasikan oleh guru untuk mempercepat penguasaan kompetensi dasar
siswa setelah mempelajari suatu mata pelajaran semakin penting.
Menurut Karli dan Yuliariatiningsih (2003) berkenaan dengan reformasi kurikulum di
Indonesia yang dilaksanakan tahun 2004 yaitu kurikulum berbasis kompetensi maka perlu
dipahami hakikat pembelajaran yang bermakna terutama beratnya menerapkan kurikulum
berbasis kompetensi. Pengertian kompetensi sebagai suatu pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai dasar yang, direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan
berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi
kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar untuk
melakukan sesuatu.
Untuk itu diperlukan berbagai model pembelajaran yang memberikan kontribusi
penting bagi kurikulum berbasis kompetensi. Model pembelajaran tuntas merupakan suatu
model yang banyak dimanfaatkan paru guru dalam pembelajaran dan instruktur dalam
pelatihan Hal itu dimaksudkan agar peserta didik dapat menguasai materi pembelajaran
secara tuntas begitu proses pembelajaran yang dirancang oleh guru untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan peserta didik berakhir.
Joyce dan Weil (1996:7) menjelaskan model pembelajaran adalah deskripsi dari
lingkungan pembelajaran yang bergerak dari perencanaan kurikulum mata pelajaran, bagian-
bagian dari pelajaran untuk merancang material pembelajaran, buku latihan kerja program,
multi media, bantuan kompetensi untuk program pembelajaran. Dengan kata lain, model
pembelajaran adalah bantuan alat-alat yang mernpermudah siswa dalam belajar.
Jadi keberadan model pengajaran adalah berfungsi membantu siswa memperoleh
informasi, gagasan, keterampilan, nilai-nilai, cara berpikir, dan pengertian yang diekspresikan
mereka. Karena itu, posisi guru adalah mengajar siswa bagaimana cara belajar. Untuk jangka
panjang sebenarnya pembelajaran harus menciptakan iklim yang memungkinkan siswa
meningkatkan kemampuan pembelajaran yang lebih mudah dan efektif pada masa depan.
Sebab pengertian dan keterampilan diperoleh mereka dengan baik apabila mereka sudah
melakukan pembelajaran tuntas. Jadi pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan
salah satu model pembelajaran, seperti halnya model pembelajaran bersama(cooperative
learning).
2. Peristiwa Pembelajaran
Dua sumber observasi empiris terhadap prosedur informasi, dan model proses
informasi dan pembelajaran manusia serta memori keduanya tercakup dalam bentuk peristiwa
pembelajaran. Peristiwa ini sebagaimana hal-hal berikut, tersusun dalam suatu urutan dan
pengajaran, yaitu :
1) Menciptakan perhatian,
2) Menginformasikan kepada pelajar tentang tujuan pembelajaran,
3) Merangsang, dengan mengulang pembelajaran terdahulu.
4) Menghadirkan rangsangan,
5) Memberikan bimbingan dalam pembelajaran,
6) Menetapkan performa,
7) Memberikan umpan balik informasi,
8) Penilaian prestasi belajar,
9) Peningkatan perhatian ulang dan mentransfernya.
Mata pelajaran apapun yang dipelajari oleh siswa, tolak ukur sesungguhnya dalam
sistem pendidikan masa depan adalah seberapa besar kemarnpuannya dalam membangkitkan
gairah belajar secara menyenangkan. Pendekatan ini akan mendorong setiap siswa untuk
membangun citra diri positif yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
mereka.
Dalam setiap sistem yang terbukti berhasil yang dipelajari di seluruh dunia yaitu citra
diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran. Selain itu yang penting bagi para
pelajar, harus ada empat tingkat pembelajaran dalam kurikulum pendidikan, yaitu
menekankan :
1) Citra diri dan perkembangan pribadi,
2) Pelatihan keterampilan hidup,
3) Belajar tentang cara belajar dan acara berpikir,
4) Kemampuan-kemampuan akademik, fisik dan artisitik yang spesifik.
Dalam konteks ini tujuan belajar harus jelas dalam diri siswa. Adapun tujuan belajar
adalah :
1) Mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik,
yang dapat dilakukan dengan lebih cepat, lebih baik dan lebih mudah,
2) Mengembangkan kemampuan konseptual umum agar mampu belajar menerapkan
konsep yang sama atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain,
3) Mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah
dapat digunakan dalam segala tindakan. (Dryden & Vos, 2001:109).
Secara umum, setiap peristiwa pengajaran adalah mampu mendukung proses internal
pembelajaran. Jika tidak ada dukungan tertentu diberikan oleh kontrol eksekutif pelajar, yang
kehadirannya sangat penting dari setiap peristiwa tambahan menuju kemungkinan bagi
keberhasilan dalam pembelajaran atau mencapai prestasi.
Beberapa definisi lain yang perlu juga disimak adalah School-Based Management is a
strategy to improve education by transferring significant decision-making authority from state
and district offices to individual school. Bahwa MBS adalah suatu strategi untuk
memperbaiki pendidikan dengan memindahkan kewenangan pengambilan keputusan yang
penting dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada pihak pengelola sekolah.20
MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision Making refers to an inclusive or
representative decision making process in which all members of the group participate as
aquels, bahwa MBS merujuk pada suatu representasi proses pengambilan keputusan di mana
seluruh anggota kelompok berpartisipasi secara seimbang.21
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS adalah model pengelolaan
sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk
mengelola sekolahnya sendiri secara langsung. Dimilikinya kewenangan sekolah itu karena
terjadi pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah kepada sekolah
langsung dalam pengelolaan sekolah. Dengan adanya kewenangan yang besar tersebut maka
sekolah memiliki otonomi, tanggung jawab, dan partisipasi dalam menentukan program-
program sekolah.
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari ada-nya setiapperbedaan.
Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walau-pun secara fisik mungkin individu
memiliki kemiripan, akan tetapi padahakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat,
minat,kemampuan dan sebagainya. Di samping itu, setiap individu juga adalah makhluk
yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentutidaklah sama juga.
Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagaipembimbing. Membimbing
siswa agar dapat menemukan berbagai po-tensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup
mereka; membimbing siswaagar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas
perkembangan mereka,sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang
sebagaimanusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat.
Seorang guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang
petanitidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batan atau
daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah
sampai padawaktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu
tumbuh dengan sempurna,tidak terkena hama penyakit yangdapat menyebabkan tanaman
tidak berkembang dan tidaktumbuh dengansehat, yaitu dengan caramenyemai, menyiram,
memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan
seorang guru. Gurutidak dapat memaksa agarsiswanya jadi "itu" atau jadi "ini".Siswa akan
tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai denganminat dan bakat yang dimilikinya.
Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar sisxva tumbuh dan
berkembang sesuai denganpotensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai
pembimbing.
Agar guruberperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada beberapa hal yang harus
dimiliki, di antaranya:Pertama, guru harus memilikipemahaman tentang anak yangsedang
dibimbingnya. Misalnya, pernahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar
sertapemahaman tentangpotensi dan bakat yang dimiliki anak. Pemahaman ini sangat
pentingartinya, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harusdiberikan
kepada mereka.
diberikan program pembelajaran baru; atau malah sebaliknya siswabelum dapat mencapai
standar minimal, sehingga mereka perludiberikanprogram remedial. Sering guru
beranggapan bahwa evaluasisama dengan melakukan tes, artinya guru telah melakukan
evaluasimanakala ia telah melaksanakan tes. Hal ini tentu kurang tepat,sebab evaluasi
adalah suatu proses untuk menentukan nilai ataumakna tertentu pada sesuatu yang
dievaluasi. Dengan demikian, teshanya salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menentukan maknatersebut. Misalnya, Si "R' dikatakan menguasai seluruh
programpembelajaranberdasarkan hasil rangkaian evaluasi misalnya, ber-dasarkan hasil tes,
ia memperoleh skor yang bagus,berdasarkan hasilobservasi ia telah dapat menerapkan
ilmunya dalam kehidupan sehari-hari,berdasarkan hasil wawancara ia benar-benar tidak
mengalamikesulitan tentang bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Berda-sarkan
rangkaian proses evaluasi akhirnya guru dapatmenentukan bahwa Si "A!'pantas diberi
programpembelajaran baru. Sebaliknya,walaupun berdasarkan hasil tes Si "B" telah dapat
menguasai kom-petensi seperti yang diharapkan, akan tetapi berdasarkan hasil wa-wancara
dan observasi, ia tidak rnenunjukkan perubahan perilaku yang signifikan misalnya,
dalamkemampuan berpikir, maka dapatsaja guru menentukan bahwa proses pembelajaran
dianggap belum berhasil.
Kelemahan yang sering terjadi sehubungan dengan pelaksana-an evaluasi selama ini
adalah guru dalam menentukan keberhasilansiswa terbatas pada hasil tes yang biasa
dilakukan secara tertulis,akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada
kemampuansiswa untuk mengisi soal-soal yangbiasa keluar dalam tes.
Di samping itu, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,evaluasi itu juga sebaiknya
dilakukan bukan hanya terhadap hasilbelajar akan tetapi juga proses belajar. Hal ini sangat
penting sebabevaluasi terhadapproses belajar paZla dasarnya evaluasi terhadapketerampilan
intelektual secara nyata.
b. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan Guru
Evaluasi dilakukan bukan hanya untuk siswa akan tetapi dapatdigunakan untuk menilai
kinerja guru itu sendiri. Berdasarkan hasilevaluasi apakah guru telah melaksanakan proses
pembelajaran sesuaidengan perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu
diperbaiki.Evaluasi untuk menentukan keberhasilan guru, tentu saja tidak sekompleks untuk
menilai keberhasilan siswa baik dilihat dari aspekwaktu pelaksanaan maupun dilihat dari
aspek pelaksanaan. Biasanyaevaluasi ini dilakukansetelah proses pembelajaran berakhir atau
yangbiasa disebut dengan post-tes.
B. Kompetensi Guru
Apa yang disebut kompetensi? Johnson menyatakan: "Competencyas rational
performance which satisfactirily meets the objective for a desiredcondition" (Charles E.
Johnson, 1974).
Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna men-capai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.Dengan demikian, suatu
kompetensi ditunjukanoleh penampilan atauunjuk kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upayamencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru,
yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi pro-fesional dan kompetensi sosial
kemasyarakatan.
a. Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal.
Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan(yang harus di-
gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus me-miliki kompetensi yang
berhubungan dengan pengembangan kepribadian(Personal competencies), di antaranya:
1) Kemampuan yang berhubungan dengan pengamalan ajaran agamasesuai dengan
keyakinan agama yang dianutnya.
2) Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat ber-agama.
3) Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan dar,sistem nilai yang
berlaku di masyarakat.
4) Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya,sopan santun dan
tata krama.
5) Bersifat demokratis dan terbuka terhadappembaruan dan kritik.
b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yangberhubungan dengan
penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensiini merupakan kompetensi yang
sangat penting, oleh sebab langsung,berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh
sebab itu, tingkatkeprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini.
Beberapakemampuan yang berhubungan dengan kompetensi ini di antaranya:
1) Kemampuan untuk menguasailandasan kependidikan,misalnya pahai,t akan tujuan
pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional,tujuan institusional, tujuan
kurikuler, dan tujuan pembelajaran.
2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan,misalnya paharr.,tentang tahapan
perkembangan siswa,paham tentang teori-teoribelajar, dan lain sebagainya.
3) Kemampuandalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidangstudi yang
diajarkannya.
4) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategipembelajaran.
5) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dansumber belajar.
6) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
7) Kemampuan dalam menyusun programpembelajaran.
8) Kemampuandalam melaksanakan unsur-unsur penunjang,misalnya, paham akan
administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
9) Kemampuan dalarn melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiahuntuk
meningkatkan kinerja.
C. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagaianggota masyarakat
dan sebagai makhluk sosial, meliputi:
1. Pengantar
I. Risef Sosial
AR adalah salah satu jenis riset sosial terapan yang pada hakekatnya
merupakan suatu eksperimen sosial dengan mengintrodusir policy baru dengan memonitor
efek-efeknya. AR berusaha mengidentifikasi masalah sosial yang dirancang untuk
mewujudkan suatu kajian emperis sebagai vehicle (Greenwood, et. al., 2003) terhadap
pengujian tingkat efektivitas atau aplikabilitas suatu teori tertentu pada pemecahan
masalah-masalah sosial yang relevan. Selain itu, AR juga merupakan suatu inovasi untuk
menghasilkan perubahan dalam prosedur kebijakan dengan dimonitor melalui metoda
riset sosial (Payne & Payne, 2004).
I * Sebagian makalah dibacakan kembali dari Makalah Paradigma dan Karakteristik Action Research dalam
rangkaNamun
Pelatihandalam kaitan dengan
yang diselenggarakan oleh konteks workshop Universitas
Program Pascasarjana PTK perlu dijelaskan
Negeri Jakarta dan
Pelatihan Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi DKI Jakarta.
mengapa justru keunikan manusia disorot dari sudut pandang penelitian naturalistik
yaitu antara lain PTK.
Pada sisi yang lain, fungsi-fungsi ilmu, seperti : (1) memahami dan menjelaskan suatu
objek atau masalah secara mendalam; (2) menjelaskan hubunga n-hubungan,
perbedaan-perbedaan atau kecenderungan-kecenderungan; (3) memprediksikan apa
yang akan terjadi berdasarkan hubungan-hubungan; dan (4) mengendalikan sesuatu
berdasarkan pola-pola yang diketahui; (5) memberikan wams dalam memilih dan
menentukan metode atau pendekatan apa yang cocok dalam memecahkan suatu masalah
dalam konteks riset.
1. Tujuan AR
Tujuan AR adalah untuk mendukung intervensi, menyajikan informasi yang
relevan terhadap perubahan yang perlu diadakan bagi para praktisi yang memerlukannya.
Lama kelamaan para peneliti riset sosial memisahkan diri dan para praktisi. Para praktisi
kini makin terlatih dalam ketrampilan riset sosial dan memiliki akses lebih baik terhadap
laporan riset dan sumber-sumber yang dapat memberikan saran terhadap bagaimana
caranya menerapkan riset (how to do research). Berbagai pelatihan yang diadakan lebih
menekankan pada pentingnya menggunakan bukti (evidence) praktik riset berdasarkan
bukti (evidence based practice).
Penelitian AR dapat menerapkan suatu teori yang dikaji secara kritis (critical
research) dengan berorientasi pads paradigms praxis, membuka peluang
terjadinya perubahan dari hasil tindakan yang diobservasi dan dikaji secara refiektif.
Artinya, AR dapat memberikan kontribusi nyata pads perbaikan situasi, pemecahan masalah
dan pengembangan teori melalui fungsi "vehicle" dengan pelibatan peneliti secara
emansipatif. Dengan demikian AR jugs Bering disebut participating research, action
leaming dan emancipating research (Kember, 2000).
2. Rancangan AR
AR sebagai salah satu penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri edukatif mengacu pada
orientasi masa depan dan menunjuk pada rancangan yang bersifat siklus sebagai
berikut:
Bagi peneliti riset sosial tidak ada kebenaran mutlak namun terjadi
intersubjektivitas, yaitu suatu kondisi ontologis terhadap gejala fenomenologis yang
dilandasi oleh insight (pemahaman) disertai empati, menjadikan gejala tersebut
objektif bermakna (=intersubjektivitas). Inilah yang direspons oleh konsep
Verstehen yang pemahaman kebermaknaan merupakan keterkaitan pengertian
fenomena atau bagian tertentu dari keseluruhan yang bermakna, serta beranjak dari
asumsi akan adanya multiple reality.
3. Karakteristik AR
Penelitian sosial yang naturalistic sifatnya bertumpu pada perspektif yang
melihat kenyataan yang sifatnya jamak, divergen dan berbeda, namun interelasinya
menampilkan berbagai bentuk kebenaran.
Jadi ciri-ciri AR adalah:
Keprihatinan pada masalah-masalah sosial (termasuk situasi pendidikan);
Bertujuan terhadap kemajuan masa depan proses bersiklus dalam empat
tahap : rencana, tindakan, observasi dan refleksi;
Melibatkan inkwairi sistematis;
Terjadi proses reflektif secara kolaboratif;
Keterlibatan peneliti secara partisipatif
Ditentukan oleh praktisioner profesional
Memandang kenyataan secara jamak, namun mengupayakan fokus
b. Catatan Lapangan
Yang dimaksud "Catatan lapangan" dalam penelitian AR adalah bukti otentik berupa
catatan pokok, atau catatan terurai tentang proses apa yang terjadi di lapangan, sesuai
dengan fokus penelitian, ditulis secara deskriptif dan reflektif.
Catatan Pengamatan, berisi tentang semua peristiwa yang terjadi, apa yang
dilihat, didengar dan segala apa yang teramati di lapangan, pada latar tertentu. Catatan
ini berisi jawaban atas pertanyan siapa, apa, bilamana, di mana dan bagaimana suatu
aktivitas terjadi. Catatan Teori, merupakan bagian catatan yang berisi pendapat
pengamat (peneliti) yang didasarkan pada suatu teori. Jadi, catatan teori, bukan lagi berisi
fakta, melainkan sudah merupakan interpretasi, pemaknaan suatu gejala (interpretive
meaning). Sedangkan catatan metodologi, terkait dengan pernyataan tindakan
operasional, berupa kritik terhadap diri sendiri tentang cara-cara atau taktik dalam
melaksanakan pengamatan di lapangan (Hopkins, 1993).
c. Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian AR, dapat dilakukan secara informal, atau
direncanakan secara terstruktur dalam bentuk perencanaan yang dipersiapkan sebelumnya.
Wawancara terjadi secara wajar, sebagaimana layaknya hubungan dialogis antara seorang
peneliti dan subjek.
d. Rekaman Audio Visual
Gambaran utuh tentang latar penelitian, apa yang terjadi secara keseluruhan,
baik kegiatan peneliti maupun aktivitas subjek, gambaran fisik, situasi atau
dinamika, akan tampak pada rekaman vidio. Setiap usai liputan, reka man
diputar ulang, dilihat bersama (peneliti dan para kolaborator). Kemudian
diadakan diskusi, untuk melihat gejala apa, data apa yang dapat diakses ? apa yang
dapat dikritisi sebagai titik lemah, terutama pada sisi cara atau pendekatan pembelajaran, atau
teknik penilaian serta alat-alat yang digunakan.
Akses data penelitian lewat teknik ini, lebih bersifat otentik dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Artinya, objektivitas data yang dituturkan
secara deskriptif betul-betul didasarkan pada fakta yang terjadi di lapangan.
Dengan demikian, data dokumentasi gambaran utuh itu, digunakan pula dalam proses
validasi data.
e. Bukti Dokumen
Apabila solusi terhadap masalah sosial diperoleh melalui AR, maka validitas tersebut
ditunjukkan dengan menjadikan perubahan sosial terwujud. Dalam "context centered
knowledge" efektivitas cara tersebut harus dikomunikasikan. Meskipun lokasinya khusus,
AR difokuskan terhadap penyelesaian masalah dan perubahan sosial. Hasil tersebut harus
nyata dalam mengatasi masalah sehingga yang disebut generalisasi (validitas
ekstemal) dalam situasi yang berbeda harus direformulasi dalam konteks yang
berbeda (lokasi maupun situasi) dan akan merupakan perbandingan silang antara berbagai
kasus yang serupa.
6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
a. Monitoring Data
1) Monitoring diri sendiri
2) Monitoring rekan (kolaborator)
3) Monitoring oleh subjek
4) Monitor bersama
b. Triangulasi
Teknik "triangulasi" dalam penelitian AR dapat dilakukan melalui triangulasi
data, triangulasi teori, triangulasi metode. Pada umumnya yang dilakukan
adalah triangulasi data, yang adalah suatu teknik pemeriksaan keabsahan data
melalui sumber yang berbeda. Triangulasi metode merupakan perlakuan
beberapa metode yang berbeda (wawancara, observasi, catatan lapangan dan
rekaman vidio) dan triangulasi teori adalah konfirmasi dengan teori (dukungan
teori yang relevan).
c. Pengecekan Diskusi Sejawat (Kolaboator)
d. Kecukupan Referensial
e. Uraian Rinci
Uraian rinci dilakukan untuk mencapai aspek keteralihan dari hasil
penelitian ini. Dalam penelitian AR, penulisan rinci dilakukan mengikuti alur siklus
yang mencerminkan empat tahap: 1) perencanaan (planning), 2) tindakan
(action), 3) pengamatan (observing) dan 4) Perenungan (reflecting). Uraian
rinci secara total (the total action), dituturkan secara simultatif dalam tataran
proses berkelanjutan (on going process).
f. Auditing
Seperti dijelaskan Harpem (1983) bahwa pelaksanaan audit sepatutnya
diawali dengan tahap penelusuran data dan melakukan proses audit dengan
empat tahap : 1) praentri, 2) penetapan dapatnya diaudit, 3) kesepakatan
formal, 4) penentuan keabsahan dan diakhiri dengan closure.
Untuk memenuhi proses audit, data diklasifikasi sebagai berikut: (1)
data mentah: hasil rekaman video, catatan lapangan, dan hasil wawancara; (2)
data yang direduksi: catatan lapangan lengkap, ikhtisar hasil observasi,
ikhtisar data kuantitatif berupa data asesmen proses dan produk, dan
hipotesis kerja. Data yang tereduksi dikemas dalam satu paket analisis data
(koleksi data, validasi data, penafsiran data dan rencana tindak lanjut); (3)
sintesis data: temuan dan pembahasan dengan tinjauan teori kepustakaan, simpulan
dan laporan akhir; (4) catatan proses penyelenggaraan, dari awal hingga akhir
penelitian; (6) bahan yang terkait dengan proyeksi hasil penelitian, terkait dengan
prediksi dan implikasi; (6) informasi tentang pengembangan instrumen yang
digunakan: format observasi, format asesmen kinerja guru, format asesmen
kinerja subjek, dan format asesmen produk.
1. Sebagai Guru :
Guru tidak menguasai bidang studi, sehingga proses pendidikan tidak berjalan dengan
baik
Guru tidak mampu untuk menggunakan teknik dan pendekatan dalam kegiatan
mengajar
Guru yang tidak profesional memnyebabkan system pembelajarannya tidak optimal
Penyajian naskah tidak sesuai dengan kebutuhan belajar mengajar
Guru tidak menjalankan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, dll.
2. Sebagai Siswa :
1. Sebagai Guru :
Sebaiknya Guru harus menguasai bidang studi, agar proses pendidikan akan berjalan
dengan baik
Guru harus mampu untuk menggunakan teknik dan pendekatan dalam kegiatan
mengajar, agar memungkinkan siswa dapat mengerti penjelasan guru.
Sebaiknya Guru harus profesional supaya system pembelajarannya berjalan secara
optimal
Penyajian naskah harus sesuai dengan kebutuhan belajar mengajar
Dan Guru harus menjalankan kurikulum sesuai dengan yang ditetapkan oleh
pemerintah, dll.
2. Sebagai Siswa :
Menjauhkan diri dari sifat Sering bolos (lari) dalam kegiatan belajar-mengajar
Harus selalu menyelesaikan tugas yang di berikan (pekerjaan rumah)
Kesadaran harus tinggi terhadap waktu yang tersedia (Optimalkan waktu)
Harus bisa menggali kemampuan yang ada (Sadar mutu)
Senantiasa hormat atau menghargai terhadap figure yang memberikan mereka
pengetahuan (Guru/pengajar)
Harus meningkatkan pemahaman dalam membaca
Mengurangi urusan yang terlalu banyak di luar sekolah yang tidak penting
Harus mengetahui perkembangan di sekolah. Baik di dalam sekolah sendiri maupun
di sekolah lain
Harus dapat menunjukan figur sebagai seorang pemimpin
4. Dari segi proses pembelajaran di sekolah :