Anda di halaman 1dari 7

GAMBARAN KEJADIAN PLEBITIS AKIBAT PEMASANGAN INFUS PADA

PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJENE

Pattola1, Abdul Rakhmat2, Muhammad Basri3


1
Stikes Nani Hasanuddin Makassar,
2
RSUP DR. Wahidin Sudiirohusodo Makassar
3
Politekkes Kemenkes Makassar,

ABSTRAK

Plebitis masih merupakan masalah lazim dalam terapi cairan, ketika kita memberikan obat
intravena, terapi cairan rumatan serta nutrisi parenteral. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran kejadian plebitis akibat pemasangan infus pada pasien di RSUD Majene.
Penelitian menggunakan metode deskriptif non analitik pada pasien yang mendapatkan terapi infus
dan didapatkan sampel sebanyak 30 dengan menggunakan tehnik aksidental sampling. Semua
responden mendapatkan cairan intravena jenis isotonik seperti ringer laktat, dextrosa 5% dan NaCl
0,9%, kejadian plebitis didominasi pada responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
18 responden (60,0%), sebagian besar pada responden kelompok usia dewasa (15-59 tahun) yaitu
sebanyak 19 responden (63,3%). Kejadian plebitis lebih banyak terjadi pada hari ke tiga yaitu
sebanyak 11 responden (36,7%), responden yang mendapatkan obat injeksi intravena 4 jenis
sebanyak 17 responden (56,7%) dan 17 responden tersebut mendapatakan injeksi antibiotik sejaligus
sebagai faktor utama dalam kejadian plebitis dalam penelitian ini, sehingga perlu lebih
memperhatikan prosedur yang tepat saat memberikan injeksi antibiotik intravena.

Kata kunci : infus, plebitis.

PENDAHULUAN Dalam jurnal hubungan antara lokasi


Kekerapan plebitis akibat infus sangat penusukan infus dan tingkat usia dengan
bervariasi menurut peneliti, kondisi klinis dan plebitis di ruang rawat inap dewasa RSUD
karakteristik pasien. Menurut Pose-Reino dkk, Tegurejo Semarang, oleh Dewi Nujanah 2011,
35% kejadian plebitis pada pasien penyakit dari 70 responden terjadi plebitis sebanyak 38
dalam. orang (54.3%). Hasil penelitian tersebut
Nordenstrom J, Jeppsson B, Larsson J, menunjukan 12 responden (17.1%) plebitis
kekerapan plebitis 18% dari 83 pasien bedah terjadi pada hari ke-3. Lokasi penusukan pada
yang mendapat nutrisi parenteral perifer, metakarpal didapat 42 responden dan terjadi
semua larutan nutrisi diberikan selama 24 jam plebitis sebanyak 16 orang (38.1%). Usia 21-
dari bag 3 liter dan lokasi infus dirotasi setiap 40 didapat 17 responden dan plebitis 5 orang
hari. Menurut Nassaji-Zavareh M, Ghorbani R, (7.1%) dan usia 40-60 didapat 37 responden
kekerapan plebitis 26% dari 300 pasien dan plebitis 20 orang (28.6%).
dibangsal penyakit dalam dan bedah. Manuel Akibat yang ditimbulkan dari komplikasi
Monreal dkk, kejadian plebitis 39% dari 766 plebitis pada pasien adalah meningkatkan hari
pasien dengan pnemonia akut yang rawat di rumah sakit, menambah lama terapi,
membutuhkan terapi intravena. Joan Webster dan meningkatkan tanggung jawab perawat
dkk, plebitis terjadi 35% dari 755 pasien. (Mark serta dapat menyebabkan pasien
A Graber, 2010). mendapatkan resiko masalah kesehatan lain.
Prosentase infeksi nosokomial yang (Alexander, et al.,2010)
tertinggi di rumah sakit swasta maupun rumah Tujuan umum untuk mengetahui
sakit pemerintah pada tahun 2004 adalah gambaran kejadian plebitis akibat
plebitis dengan jumlah 2.168 pasien dari pemasangan infus pada pasien di Rumah
jumlah pasien yang beresiko 124.733 (1.7%) Sakit Umum Daerah Majene.
(Depkes, 2004).
Jumlah kejadian plebitis menurut METODE PENELITIAN
distribusi penyakit sistem sirkulasi darah Penelitian ini menggunakan metode
pasien rawat inap, Indonesia tahun 2006 penelitian deskriptif non analitik. dilakukan di
berjumlah 744 orang (17.11%) (Depkes RI, ruang perawatan interna dan perawatan bedah
2006). Rumah Sakit Umum Daerah Majene,
dilaksanakan mulai pada tanggal 28

1
Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721
Desember s.d 28 Januari 2013. Populasi responden (30,0%), dan usia anak (1-14
penelitian adalah semua pasien yang tahun) sebanyak 2 responden (6,7%).
mendapat terapi intravena (pemberian infus) di
Rumah Sakit Umum Daerah Majene yaitu 3. Distribusi frekuensi hari infeksi
sebanyak 137 pasien. Sampel penelitian Tabel 4.3. Distribusi frekuensi berdasarkan
adalah pasien yang mengalami plebitis hari infeksi dengan kejadian plebitis di
dengan kriteria-kriteria tertentu yang dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Majene
dengan menggunakan teknik aksidental Januari 2013.
sampling.
Penelitian ini menggunakan alat ukur Hari Infeksi n %
berupa lembaran observasi untuk melihat Hari ke 1 2 6,7
kejadian plebitis mulai hari pertama setelah
Hari ke 2 4 13,2
pemasangan dengan mengisi biodata dan
karakteristik responden. Hari ke 3 11 36,7
Hari ke 4 6 20,0
HASIL PENELITIAN Hari ke 5 5 16,7
1. Distribusi frekuensi jenis kelamin Hari ke 6 2 6,7
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi berdasarkan
jenis kelamin dengan kejadian plebitis di Total 30 100
Rumah Sakit Umum Daerah Majene Sumber : Data Primer, 2013
Januari 2013.
Berdasarkan tabel 4.3 di atas
Jenis Kelamin n %
menunjukan bahwa dari 30 responden
Laki-Laki 12 40,0 dengan kejadian plebitis sebagian besar
Perempuan 18 60,0 terjadi pada hari ke 3 pemasangan infus
yaitu sebanyak 11 responden (36,7%),
Total 30 100 kejadian plebitis pada hari ke 4
Sumber : Data Primer, 2013 pemasangan infus sebanyak 6 responden
(20,0%), kejadian plebitis pada hari ke 5
Berdasarkan tabel 4.1 di atas pemasangan infus sebanyak 5 responden
menunjukan bahwa dari 30 responden (16,7%), hari ke 2 pemasangan infus
sebagian besar terjadi plebitis pada sebanyak 4 responden (13,2%) dan
responden dengan jenis kelamin kejadian plebitis pada hari ke 1 dan 6
perempuan yaitu sebanyak 18 responden pemasangan infus masing masing 2
(60,0%) sedangkan jenis kelamin laki-laki responden (6,7%).
sebanyak 12 responden (40.0%).
4. Distribusi frekuensi obat injeksi intravena
2. Distribusi frekuensi umur Tabel 4.4. Distribusi frekuensi berdasarkan
Tabel 4.2. Distribusi frekuensi berdasarkan obat injeksi intravena dengan kejadian
umur dengan kejadian plebitis di Rumah plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah
Sakit Umum Daerah Majene Januari 2013. Majene Januari 2013.
Umur n % Injeksi n %
Usia bayi (0-1 tahun) 0 0,0 1 jenis obat 3 10,0
Usia anak (1-14 tahun) 2 6,7 2 jenis obat 4 13,3
Usia dewasa (15-59 tahun) 19 63,3 3 jenis obat 6 20,0
Usia lansia ( 60 tahun) 9 30,0 4 jenis obat 17 56,7
Total 30 100 Total 30 100
Sumber : Data Primer, 2013 Sumber : Data Primer, 2013

Berdasarkan tabel 4.2 di atas Berdasarkan tabel 4.4 di atas


menunjukan bahwa dari 30 responden menunjukan bahwa dari 30 responden
sebagian besar kejadian plebitis terjadi dengan kejadian plebitis, sebagian besar
pada responden dengan rentang usia respoden mendapatkan obat injeksi
dewasa (15-59 tahun) yaitu sebanyak 19 intravena dengan jumlah 4 jenis obat yaitu
responden (63,3%) dan terbayak kedua sebanyak 17 responden (56,7%)
plebitis terjadi pada responden dengan sedangkan responden yang tidak beresiko
rentang usia lansia (60 tahun) sebanyak 9 sebanyak 8 responden (26.7%).

2 Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721


Berdasarkan hasil penelitian di atas
5. Distribusi frekuensi jenis cairan yang menunjukan adanya dominansi
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian plebitis pada perempuan, peneliti
jenis cairan dengan kejadian plebitis di dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
Rumah Sakit Umum Daerah Majene perempuan lebih rentang mengalami
Januari 2013. infeksi plebitis dibanding pria dikarenakan
Jenis cairan N % perempuan lebih sering mengalami
penurunan keadaan umum sampai
Isotonik 30 100,0 penurunan daya tahan tubuh, perempuan
Hipotonik 0 0,0 mengalami menstruasi dengan siklus
Hipertonik 0 0,0 normal setiap bulan yang relatif diikuti
dengan penurunan daya tahan tubuh akibat
Total 30 100 kelelahan yang ditimbulkan dari kurangnya
Sumber : Data Primer, 2013 sel darah merah dalam tubuh terutama
hemoglobin. Dalam tubuh hemoglobin
Berdasarkan tabel 4.5 di atas berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh
menunjukan bahwa semua responden jaringan tubuh termaasuk ke jaringan
dengan kejadian plebitis mendapatkan perifer, ketika tubuh mengalami penurunan
jenis cairan intravena yang isotonik yaitu kadar hemoglobin, tubuh akan melakukan
sebanyak 30 responden (100%). kompensasi dengan mengutamakan suplay
kebutuhan ke daerah sentral terutama ke
PEMBAHASAN organ otak dan mengurangi perfusi ke
1. Gambaran jenis kelamin dengan kejadian jaringan perifer dimana lokasi pemasangan
plebitis infus secara umum di ekstremitas atas.
Kejadian plebitis pada 30 responden 2. Gambaran umur dengan kejadian
dalam penelitian ini menujukan bahwa lebih plebitis
banyak terjadi pada responden dengan Dari hasil penelitian didapatkan
jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak kejadian plebitis akibat pemasangan infus
18 responden (60,0%) sedangkan jenis sebagian besar pada responden kelompok
kelamin laki-laki sebanyak 12 responden usia dewasa (15-59 tahun) yaitu sebanyak
(40.0%). 19 responden (63,3%), sedangkan
Hasil penelitian faktor-faktor yang responden kelompok usia lansia ( 60
berhubungan dengan kejadian plebitis tahun) didapatkan kejadian plebitis
pada terapi cairan intravena di Rumah sebanyak 9 responden (30,0%), responden
Sakit Ibnu Sina oleh Satriani (2011) kelompok usia anak (1-14 tahun) terjadi
menunjukkan bahwa responden yang plebitis sebanyak 2 responden (6,7%).
berjenis kelamin laki-laki dengan kejadian Menurut Darmawan (2008), faktor
plebitis sebanyak 13 orang (35,1%) dan pasien yang dapat mempengaruhi angka
yang tidak terjadi plebitis sebanyak 24 kejadian plebitis mencakup usia, janis
orang (64,9%), sementara responden yang kelamin dan kondisi dasar pasien.
berjenis kelamin perempuan dengan Sedangkan menurut lanbeck (2003), salah
kejadian plebitis sebanyak 15 orang satu faktor resiko yang signifikan
(35,7%), dan yang tidak terjadi plebitis menyebabkan plebitis vena adalah pasien
sebanyak 27 orang (64,3%). yang berusia 51-61 tahun.
Hasil serupa dengan penelitian yang Distribusi frekuensi umur dalam
dilakukan Wayunah (2011), menunjukan penelitian ini ada kemiripan karakteristik
bahwa dari 40 pemasangan infus jenis responden dengan penelitian yang
kelamin perempuan terjadi plebitis dilakukan oleh Darmanto (2008) dimana
sebanyak 17 (42.5) sedangkan responden data disebutkan dari 33 responden
jenis kelamin laki-laki terjadi plebitis menunjukan bahwa usia 31-40 tahun lebih
sebanyak 9 (36.0) dari 26 responden mendominasi kejadian plebitis sebesar
dengan kejadian plebitis. 21,1%.
Sesuai dengan penyataan Campbell Statistik hasil penelitian di atas dapat
(1998) dalam Wayunah (2011) menemukan diartikan bahwa kekerapan plebitis lebih
bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh banyak terjadi pada usia dewasa sampai
terhadap kejadian plebitis, dimana jenis usia lansia, semakin bertambah umur
kelamin perempuan meningkatkan resiko seseorang semakin beresiko untuk
terjadinya plebitis. mengalami kejadian plebitis saat
mendapatkan terapi intravena. Umur
mempengaruhi kondisi vena seseorang,

3
Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721
dimana semakin muda manusia (misal plebitis pada hari pertama tidak ada, pada
pada usia infant) pembuluh darah masih hari kedua ada 5 (2,76%) dan yang terjadi
fragil sehingga mudah pecah apalagi plebitis pada hari ketiga ada 22 (12,16%).
dengan gerakan yang tidak terkontrol Proses inflamasi yang merupakan
meningkatkan resiko plebitis mekanik. Dan reaksi tubuh terhadap luka dimulai setelah
tentunya dengan ukruan pembuluh darah beberapa menit dan berlangsung selama
yang kecil akan menyulitkan dalam tiga hari setelah cedera (Potter & Perry,
pemasangannya sehingga dibutuhkan 2005).
orang yang benar-benar terampil. Hal tersebut di atas terjadi dapat
Sebaliknya orang yang semakin tua disebabkan oleh kerusakan jaringan saat
mengalami kekakuan pembuluh darah, hal insersi alat intravena ke dalam vena,
ini juga yang menyebabkan semakin sulit jaringan yang terluka atau terbuka menjadi
untuk dipasang serta kondisi pembuluh port de entry yang akan memudahkan
darah juga sudah tidak dalam kondisi baik. mikroorganisme masuk ke dalam vena.
Kejadian plebitis pada usia 1-14 tahun Dengan masuknya mokroorganisme
sebanyak 2 (6,7%), angka kejadian ini tersebut maka tubuh akan merespon
relative kecil jika dikaitkan dengan asumsi dengan pengaktifan imunitas yang ditandai
sebelumnya bahwa kelompok usia 1-14 adanya proses inflamasi.
tahun beresiko plebitis mekanik, hal ini Kejadian plebitis pada pasien setelah
terjadi karena dalam penentuan sampel hari ketiga lebih banyak disebabkan oleh
peneliti tidak membagi kelompok usia dan faktor-faktor lain selain dari lamanya hari
penelitian ini dilakukan di ruang perawatan rawat pasien, seperti pemberian obat
interna dan perawatan bedah dimana injeksi intravena pada pasien yang lebih
pasien dengan kasus bedah umur 1-14 dari 1 macam obat injeksi yang diberikan
tahun relatif kecil sehingga angka setiap 8 jam dan setiap 12 jam.
kemungkinan untuk mendapatkan pasien Kejadian plebitis pada hari pertama
dengan kejadian plebitis juga relative kecil. sampai hari ketiga pemasangan infus dapat
Alasan yang sama kejadian plebitis pada dicegah dengan melakukan rotasi kanula
kelompok usia lansia ( 60 tahun) dimana seperti yang direkomendasikan oleh
angka kejadian plebitis lebih kecil dari Infusion Nursing Standartds of Practice
kelompok usia dewasa ( 15-59 tahun). (2006a) bahwa kanula perifer harus diganti
Seperti pernyataan Potter dan Perry setiap 72 jam dan segera mungkin jika
(2005), usia juga berpengaruh dalam diduga terkontaminasi, adanya komplikasi
kejadian plebitis, hal ini dikarenakan atau ketika terapi telah dihentikan.
pertahanan tubuh seseorang terhadap Sedangkan Center for Desease Control
infeksi dapat berubah sesuai dengan usia. (CDC) Guidelines (2002b) dan RCN (2005)
Usia 41-60 tahun meruapakan usia dewasa merekomendasikan pemindahan lokasi
pertengahan yang mengalami perubahan kanula atau tempat penusukan adalah 27
fisiologis. Dewasa menengah tersebut lebih sampai 96 jam meskipun beberapa literatur
bersikap positif dalam menghadapi realitas memperluas dukungan untuk tidak
kesehatan, dilihat dari bagaimana mereka mengganti sampai dengan 144 jam.
mencari pelayanan kesehatan, untuk Kecuali ketika sudah ada gejala infeksi,
mempertahankan dan meningkatkan maka harus segera diganti meskipun belum
kesehatan. 72 jam. Untuk itu perawat harus mencatat
3. Gambaran hari infeksi dengan kejadian tanggal dan waktu pemasangan infus
plebitis (Alexander, et al., 2010 dalam Wayunah
Pada table 4.3 di atas, dapat dilihat 2011).
bahwa plebitis banyak terjadi pada hari ke 4. Gambaran jenis obat injeksi intravena
3 yaitu sebanyak 11 responden (36,7%), dengan kejadian plebitis
dengan gejala yang paling sering dialami Distribusi responden berdasarkan
pasien adalah nyeri, bengkak dan jenis obat injeksi intravena di Rumah Sakit
kemerahan. Umum Daerah Majene menunjukkan
Hasil penelitian serupa yang dilakukan bahwa kejadian plebitis pada responden
oleh Nurjannah Dewi, dkk (2011) yang mendapatkan obat injeksi intravena
menunjukan bahwa responden yang 4 jenis sebanyak 17 responden (56,7%).
terpasang infus mengalami plebitis pada Hasil penelitian Lanbeck (2003),
hari ketiga sebanyak 12 responden (17,1%) dimana studi klinis yang dilakukan pada
dari 70 responden. 550 pasien yang mendapatkan antibiotik
Hasil penelitian Paschalia (2004), dari injeksi intravena, ditemukan bahwa pasien
154 (85,08%) pemasangan infus, terjadi pada pengobatan dengan antibiotik

4 Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721


intravena memiliki resiko dua kali lebih Menurut Asmadi (2010), bahwa
besar untuk terjadi plebitis dengan nilai langkah utama yang dilakukan untuk
odds rasio sebesar 2,34. perbaikan sirkulasi adalah dengan
Menurut Weinstein (2001), pemberian memberikan cairan isotonis, salah satunya
obat-obat injeksi sering memaksa tempat- adalah cairan ringer laktat. Cairan isotonis
tempat optimum dan membuat vena digunakan untuk menambah volume CES
menjadi buruk sehingga beresiko untuk (cairan ekstra seluler). Larutan ini
terjadi plebitis. mengandung konsentrasi larutan yang
Dalam pemberian antibiotik melalui IV sama dengan cairan seperti dalam cairan
perlu diperhatikan dalam pencampuran tubuh dan menghasilkan tekanan osmotik
serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk yang sama seperti CES (cairan ekstra
menghindari terjadinya komplikasi seperti seluler) dalam normal dan stabil. Larutan
tromboplebitis karena kepekatan dan tidak saline normal atau NACL 0,9%, Ringer
tercampurnya obat secara baik. Biasanya laktat dan Dextrose 5% dan air semuanya
untuk mencampur serbuk antibiotik / obat- berfungsi sebagai larutan isotonik.
oabat yang lain yang diberikan secara IV Plebitis disebabkan oleh banyak
adala cairan aquades dengan faktor, penyebab plebitis paling sering
perbandingan 4cc larutan aquades adalah ketidaksesuaian ukuran kateter dan
berbanding 1 vial antibiotik atau 6cc larutan pemilihan vena, jenis cairan (pH dan
aquades berbanding 1 vial serbuk antibiotik osmolalitass) kurangnya tehnik aseptik dan
Bila pencampuran obat terlalu pekat pemasangan dan waktu kanulasi yang
maka aliran dalam infus terhambat dan lama. (Richardson dan Bruso, 1993 dalam
dapat menyebabkan flebitis (Hankins, Gabriel 2008; Alexande et al.,2010).
2000). Alasan ini juga sering digunakan Hasil penelitian Kamma (2010),
untuk pemberian antibiotik melalui menunjukan bahwa pemberian terapi
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa cairan intravena dengan osmolalitas > 500
banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas mOsm/L (pekat) lebih beresiko terjadi
oral yang baik, dan mampu mencapai plebitis dibandingkan dengan pemberian
kadar adekuat dalam darah untuk terapi cairan intravena dengan osmolalitas
membunuh bakteri. < 500 mOsm/L (tidak pekat), disamping
Kejadian plebitis pada 17 responden dipengaruhi juga oleh terapi obat-obat
(56,7%) tersebut mendapatkan obat injeksi intravena yang diberikan seperti antibiotik.
intravena golongan antibiotik yaitu Responden yang diberikan cairan
ceftriaxone sediaan vial serbuk tiap 12. dengan osmolalitas pekat 2,36 kali lebih
Sehingga peneliti berasumsi bahwa beresiko terjadi plebitis dibandingkan
kejadian plebitis diatas merupakan plebitis dengan responden yang diberikan cairan
kimia yang banyak dipengaruhi oleh dengan cairan osmolalitas tidak pekat.
pemberian obat injeksi jenis antibiotik Plebitis kimiawi dihubungkan dengan pH
serbuk yang harus dilarutkan dengan dan osmolalitas cairan infus yang ekstrem
cairan pelarut seperti aquades pro injeksi. selalu diikuti dengan resiko plebitis tinggi.
Pemberian obat injeksi jenis antibiotik Pada penelitian ini, secara statistik
seperti ceftriaxone serbuk sediaan vial didapatkan hasil bahwa ada hubungan
termasuk jenis obat dengan tingkat jenis cairan infus yang diberikan dengan
kelarutan yang cukup pekat sehingga kejadian flebitis. Secara klinis pula ada
tergolong beresiko terhadap kejadian hubungan antara jenis cairan dengan
infeksi plebtis pada pasien yang kejadian flebitis. Adanya hubungan
mendapatkan terapi tersebut, terlebih tersebut disebabkan karena cairan dengan
ketika obat tersebut tidak dicampur dengan osmolalitas tinggi sangat rentan untuk
baik oleh dengan cairan pelarut oleh terjadinya flebitis karena dalam teori bahwa
petugas. cairan ini dengan mudah dapat
5. Gambaran jenis cairan intravena dengan menyebabkan sel mengkerut dan cairan ini
kejadian plebitis menarik air dari kompartemen intraseluler
Distribusi responden berdasarkan ke kompartemen ekstraseluler.
jenis cairan intravena dengan kejadian Osmolaritas dan pH cairan infus yang
plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi,
Majene menunjukkan dari 30 responden pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5,
(100%) dengan kejadia plebitis dimana keasaman diperlukan untuk
mendapatkan cairan isotonis seperti ringer mencegah karamelisasi dekstrosa selama
laktat, dextrosa 5% dan NaCl 0,9%. proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang
mengandung glukosa, asam amino dan

5
Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721
lipid yang digunakan dalam nutrisi semua responden mendapatkan cairan infus
parenteral bersifat lebih flebitogenik isotonik yaitu ringer laktat, dekstrosa 5% dan
dibandingkan normal saline. NaCl 0,9%, sehingga peneliti berasumsi
Data statistik di atas peneliti bahwa kejadian plebitis sebanyak 30 sampel,
berasumsi bahwa bahwa kejadian plebitis cairan intravena kurang memberikan kontribusi
dalam penelitian ini pada 30 responden pengaruh terhadap kejadian plebitis.
lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor
lain selain dari jenis cairan dan lamanya SARAN
hari rawat pasien, seperti pemberian obat Berdasarkan hasil penelitian yang telah
injeksi intravena pada pasien yang lebih diperoleh, ada beberapa saran yang menjadi
dari 1 macam obat injeksi yang diberikan pertimbanagn bagi peneliti dalam penelitian
setiap 8 jam dan setiap 12 jam. ini, yaitu antara lain :
1. Bagi institusi Rumah Sakit Umum Daerah
KESIMPULAN Majene
Dari 30 responden, berdasarkan jenis Secara statistik, angka kejadian plebitis
kelamin peneliti menemukan angka kejadian pada Rumah Sakit Umum Daerah Majene
plebitis akibat dari terapi intravena tergolong masih relatif tinggi sehingga
(pemasangan infus) yang realtif dominan perlu dilakukan surveillance secara lebih
terjadi pada jenis kelamin perempuan yaitu 18 teratur tentang penyebab terjadinya
responden (60,0%) dari 30 responden. plebitis di Rumah Sakit Umum Daerah
Kejadian plebitis akibat dari terapi intravena Majene dan cara-cara pencegahannya.
(pemasangan infus) berdasarkan umur, Terutama dalam pemberian obat antibiotik
peneliti menemukan 19 responden (63,3%) injeksi yang menjadi faktor utama kejadian
pada kelompok umur dewasa (15-59 tahun) plebitis dalam penelitian ini.
dari 30 responden. sebagian besar kejadian 2. Bagi institusi akademis
plebitis terjadi pada hari ketiga pemasangan Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
infus yaitu sebanyak 11 responden (36,7%). memperoleh gambaran kejadian plebitis
Hal ini menunjukan bahwa lamanya hari rawat yang lebih eksploratif dengan mengacu
bukan merupakan factor yang menyebabkan pada kelemahan-kelemahan yang ada
terjadinya plebitis, melainkan kejadian plebitis dalam penelitian ini.
yang menyebabkan bertambahnya hari rawat 3. Bagi peneliti lain
pasien. Dalam penelitian ini pula didapatkan Perlu meneliti dengan besar sampel yang
17 (56,7%) kejadian plebitis dengan obat berbeda, menambah karakteristik sampel
injeksi intravena golongan antibiotik yaitu dan sub-sub variable sehingga dapat
ceftriaxone sediaan vial serbuk tiap 12 jam menyajikan informasi tetang kejadian
yang dicampur dengan aquades 5cc. plebitis yang lebih kompleks.
Sedangkan berdasarkan jenis cairan intravena

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M, Corrigan, A, Gorski, L, Hankins, J., Perucca, R. (2010). Infusion Nursing Society, Infusion Nursing
: An Evidence-Based Approach. Third Edition. St. Louis: Dauders Elsevier.

Anonim. (2006). Infusion Nursing Standards of Practice. (available online at http://www.insl.org./i4a/


pages/index.cfm?pageid=3619. Accessed 2 Desember 2012

Centers for Disease Conlrol and Prevention (CDC), Guidelines for lhe Prevenlion of Inlravascular Calheler-
Relaled Infeclions, 2002. http://www .cdc.gov/n cidodld h qp/gl inlravascular.hlml

Darmadi, (2008). Infeksi Nosokomial, Problematika dan Pengendaliannya, Salemba Medika. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. (1993). Petunjuk Penyusunan Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial Rumah
Sakit, Dirjen Pelayanan Medik, Jakarta.

Dewi Nurjannah, dkk. 2011. Hubungan antara lokasi penusukan infus dan tingkat usia dengan kejadian flebitis di
ruang rawat inap dewasa RSUD Tegurejo Semarang. (http://ejournal. stikestelogorejo.ac.id/index. php/
ilmu keperawatan/article/download/48/87) Diakses 5 Februari 2013.

Fitria, dkk. 2008. Tindakan Pencegahan Plebitis Terhadap Pasien yang Terpasang Infus Di RSU Mokopido
Tolitoli. (http://www.scribd.com/ doc/16274307/) Diakses 5 Februari 2013.

6 Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721


Fitriansyah, 1999. http://wikipedia.com, akses tanggal 11 Februari 2013

Harsono, 2000. Control of Infection In The pediatric Hospital, Philadhelpia, WB Saunders.

Ince Maria, Erlin Kurnia. Jurnal STIKES Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Standar Prosedur Operasional
Pemasangan Infus terhadap Phlebitis.Volume 5 No.1 Juli 2012.

Kozier, Erb, Breman, Snyder. (2010). Clinical Handbook for Fundamentals of nursing; Concepts, Process, and
th
practice, Alih Bahasa; Fruriolina Ariani, 7 Edition. EGC, Jakarta.

Mark A, Graber. (2010). Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi 3, Farmedia, Jakarta.

Nurachmah, E., Sudarsono, R.S. (2000). Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Pearson. (1995) Guideline for Prevention of Intravasculer Device Related Infection, Issues in health care Setting.

Perry, A.G. Potter, P.A. (2005). Pocket Guide to Basic Skills and Procedures. St. Louis, Missouri, Alih Bahasa,
Monica Ester, EGC, Jakarta.

Potter, P.A., Perry, A.G. (1993), Fundamental of Nursing Concept, Process & Practice. Salemba Medika, Jakarta.
th
Potter, P.A., Perry, A.G. (2010). Fundamental of Nursing 7 Edition. Salemba Medika, Jakarta.

Riduwan, M.B.A. (2010). Skala Pengukuran Variabe-Variabel Penelitian, Cet.7. Alfabeta, Bandung.

Sastroasmoro, S. Ismael, S. (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Sagung Seto, Jakarta.

Sharon M, Weinstein. (2000). Memory Bank for Intravenous Therapy, Alih Bahasa, Surya Sugani, Setiawan;
Ed.2, EGC, Jakarta.

Sjaifoellah. (1999). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Smeltzer, S. C. (2002). Brunner and Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing, Alih Bahasa H.Y.
Kuncara, dkk Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Edisi 8 Volume 1, EGC, Jakarta.

Soekidjo Notoadmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Ed. Rev. Rineka Cipta, Jakarta.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, CV Alfabeta, Bandung.

Terry,J., Baranowski,L., Lonsway,R.A. Hendrick.C., (1995). Intravenous Therapy Clinical Principles and Practice,
W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Widiyanto, B. (2002). Angka Kejadian Plebitis Akibat Pemasangan Infus Pada Terapi Intravena di Bangsa Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Daerah Purworejo, (unpublished).

7
Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013 ISSN : 2302-1721

Anda mungkin juga menyukai