a. Latar Belakang
Bambu merupakan material utama dalam pembuatan angklung yang pemilihannya berdasarkan
kualifikasi usianya.
Setelah dipotong dengan ukuran dua sampai tiga jengkal tangan orang dewasa (diukur dari
bagian terbawah), bambu tersebut harus didiamkan setidaknya selama satu minggu untuk
meminimalkan keterkandungan air di dalamnya.
Setelah seminggu, bambu tadi harus dipisahkan dari ranting-rantingnya. Ia hars dipotong
berdasarkan beberapa referensi ukuran tertentu.
Kemudian, bambu itu harus disimpan selama setahun untuk menghindarkannya dari serbuan
rayap atu anai-anai. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan meliputi:
- Menyimpan bambu dalam rendaman lumpur, genangan air, atau sungai
- Mengasapinya di atas perapian
- Menggunakan cairan kimia tertentu
Handiman pernah didatangi seorang profesor musik dari Jepang yang meminta dibuatkan
angklung. Ahli etnomusikolog itu kemudian meneliti dan mempelajari angklung buatan
Handiman untuk menciptakan komposisi musik. Beberapa musikolog dari negara lain juga
menggunakan angklung Handiman untuk bermusik.
Kecintaan Handiman terhadap angklung dimulai sejak kecil. Ia mengenal angklung dari Pak
Daeng ketika mengikuti kegiatan Kepanduan (Pramuka) tahun 1938. Pak Daeng tidak hanya
mengajarkan bermusik dengan angklung, tetapi juga mengajarkan cara membuat angklung.
Pada waktu itu kami membuat angklung untuk kebutuhan sendiri (Pramuka), kenangnya.
Oleh gurunya, Handiman diajak keluar-masuk hutan bambu di berbagai pelosok daerah di Jawa
Barat, untuk memilih jenis dan struktur bambu yang bagus untuk angklung. Saya diajarkan
bagaimana memilih bambu dan mengetahui ilmu tentang bambu sebelum membuat angklung,
ujar Handiman.
Proses membuat angklung alat musik tak mudah. Dibutuhkan hampir satu tahun semenjak
bambu ditebang, dijemur, lalu disimpan agar bambu kering. Penyimpanan ini sekaligus untuk
menguji apakah bambu dimakan mikroorganisma yang bisa membuat bambu lapuk.
Demi mempertahankan kualitas angklung buatannya, Handiman masih sering pergi ke daerah
terpencil untuk mendapatkan bambu berkualitas. Seluruh daerah di pesisir pantai selatan Jawa
Barat sudah habis dijelajahi. Demikian juga dengan kebun-kebun bambu milik masyarakat di
daerah Cirebon, Tasikmalaya, Majalengka, Garut, Kuningan, dan Sumedang (seluruhnya di Jawa
Barat).
Karena proses produksi yang lama, dalam sebulan Handiman hanya bisa membuat satu unit
angklung, terdiri dari 100-130 angklung melodi, akompanyemen (akord), dan ko-
akompanyemen. Setiap hari ia ikut bekerja di bengkel kerja sekaligus rumahnya, di Jalan
Surapati, Bandung.
b. Ide
Kualitas hasil pengeringan secara konvensional sangat bergantung pada musim. Di lokasi yang memiliki sumber
panas bumi ( geothermal), panas yang terkandung dalam air panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung
untuk pengeringan hasil pertanian dan produk olahannya.
Alat pengering tipe Fin Tube Exchanger sederhana ini dirancang untuk mengekstrak panas dari air panas bumi
untuk proses pengeringan sehingga dapat digunakan setiap saat dan tidak tergantung musim. Air panas bumi
dialirkan dan memanaskan pipa ( tube) secara konveksi dan dipindahkan ke sirip ( fin) secara konduksi kemudian
panas dipindahkan ke udara secara konveksi untuk mengeringkan bahan. Dengan demikian kualitas dan higienitas
produk dapat dipertahankan.
Perspektif:
Pemanfaatan langsung (direct uses) energi panas bumi oleh masyarakat masih sangat terbatas
dikarenakan teknologinya masih terbatas, pengembangannya sangat menjanjikan ketika kendala-kendala
di lapangan dapat diatasi.
Keunggulan Inovasi:
Dapat diaplikasikan di daerah yang memiliki sumber air panas bumi untuk pengeringan beraneka ragam
hasil pertanian seperti kopra, cengkeh, padi, kopi, coklat, dan lain-lain, juga produk olahan turunannya
seperti emping, rengginang, ikan, dan sebagainya.