Contoh Perhitungan Constructed Wetland
Contoh Perhitungan Constructed Wetland
Parameter Desain
Parameter desain yang sangat penting untuk sistem constructed wetland adalah waktu
detensi hidrolis, kedalaman basin (panjang dan lebar), laju beban BOD 5, dan laju beban hidrolis.
Rentang tipikal yang disarankan untuk perancangan diberikan pada tabel di bawah ini.
Walaupun persamaan (6-1) dapat dianggap benar secara teoretis, tetapi ada dua masalah
yang terlibat dalam penggunaannya, yaitu sulitnya menentukan atau mengevaluasi faktor A atau
Av.
Waktu detensi hidrolis adalah sebuah fungsi dari debit desain dan sistem geometri yang
diekspresikan oleh persamaan berikut (Metcalf & Eddy, 1991) :
t = LWnd (2)
Q
Dimana L = panjang basin, ft
W = lebar basin, ft
n = fraksi dari area cross-section yang tidak terdapat tumbuhan
d = kedalaman basin, ft
Q = debit rata-rata yang melalui sistem [(Q in + Q out)/2], ft 3/d
Nilai-nilai di bawah ini telah diestimasi berdasarkan kedua persamaan di atas, meskipun
demikian nilai-nilai di bawah ini sangat terbatas penggunaannya (Metcalf & Eddy, 2001).
A = 0.52
KT = K20 (1.1)(T-20), T dalam oC
K20 = 0.0057 d-1
Av = 4.8 ft2/ft3 (15.7 m2/m3)
n = 0.75
Nilai luas permukaan basin (As) dapat ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini
(Metcalf & Eddy, 1991) :
As = Q (ln Co ln Ce + ln A) (3)
KT(y)(n)
Dimana As = luas permukaan FWS wetland,m2(ft2)
KT = K20 (1.06)(T-20) (4)
K20 = 0.2779 d-1
n = 0.65 0.75
A = 0.52 (efluen primer)
= 0.7 0.85 (efluen sekunder)
= 0.9 (efluen tersier)
Sedangkan waktu detensi (T) untuk sistem FWS dapat diperoleh dari persamaan di bawah
ini (Metcalf & Eddy, 1991) :
Ce = exp ( - KT t ) (5)
Co
KT = K20 (1.06)(T-20) (6)
K20 = 0.678 d-1 (7)
Model yang sama telah disarankan untuk menentukan waktu detensi yang diperlukan
untuk sistem SFS untuk penyisihan BOD (Metcalf & Eddy, 2001) :
Ce = exp ( - KT t ) (8)
Co
t didefinisikan sebagai waktu detensi teoretis berdasarkan porositas dari medium (Metcalf &
Eddy, 2001) :
t = L W d (9)
Q
Dimana : t = waktu detensi wilayah pori, d
L = panjang basin, ft
W = lebar basin, ft
= porositas medium basin
d = kedalaman basin, ft
Waktu detensi aktual t adalah fungsi dari konduktivitas hidrolis media dan panjang basin, yang
dinyatakan oleh persamaan berikut (Metcalf & Eddy, 1991) :
t = L (10)
ks S
Dimana : L = panjang basin, ft
ks = konduktivitas hidrolis, ft3/ft2.d
S = slope basin, ft/ft
Karakteristik tipikal media yang digunakan pada sistem SFS terdapat pada tabel berikut
ini.
Karakteristik Tipikal Media Untuk SFS
Hydraulic
Media Type Max 10% Porosity, Condictivity, ks, K20
grain size, mm ft3/ft2.d
Medium sand 1 0.42 1.380 1.84
Coarse sand 2 0.39 1.575 1.34
Gravelly sand 8 0.35 1.640 0.86
Sumber : Metcalf & Eddy, 2001
Penyumbatan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada filtrasi
horizontal. Bila penyumbatan (clogging) ini terjadi maka konstruksi tersebut tidak akan
berfungsi dengan semestinya dan perlu dilakukan pembongkaran dan pergantian media dan hal
tersebut merupakan pekerjaan yang menyulitkan. Karena itu pemilihan media merupakan salah
satu masalah yang amat penting dalam mendesain filtrasi horizontal sehingga media yang lazim
digunakan untuk filtrasi horizontal adalah gravel (kerikil).
Bentuk gravel yang relatif bulat dan ukuran yang regular memberikan void ratio yang
tinggi. Sebenarnya bentuk demikian akan mengurangi kinerja dari treatment, tetapi menghindari
masalah penyumbatan. Bagian muka (front part) dari media harus sedemikian hingga
mempunyai void yang kecil hingga dapat menahan SS sebaik mungkin, tetapi juga harus luas
agar dapat meratakan SS tersebut agar tidak mengumpul di satu tempat saja. Berdasarkan
pengalaman empiris, pemakaian gravel dengan bentuk bulat dan uniform dengan ukuran diameter
antara 8 15 mm adalah paling baik.
Kedalaman Air
Untuk sistem FWS, perencanaan kedalaman air tergantung dari kedalaman optimum dari
vegetasi yang dipilih. Sedangkan untuk sistem SFS, kedalamannya dikontrol oleh penetrasi dari
rizoma dan akar-akar karena tamanan mensuplai oksigen ke dalam air melalui rizoma/sistem akar.
Geometri basin akan tergantung dari sistem yang digunakan , SFS atau FWS. Untuk
sistem FWS , area permukaan ( L x W ) telah ditentukan oleh desain waktu detensi dan
kedalaman. Panduan untuk rasio optimum panjang terhadap lebar belum ditentukan secara tepat,
walaupun demikian salah satu studi telah melaporkan performansi yang superior dengan bentuk
basin yang panjang dan dangkal, dengan rekomendasi rasio panjang terhadap lebar paling sedikit
10 : 1. Secara tipikal, sistem-sistem yang sudah ada mempunyai total lebar kira-kira equal
dengan panjang basin. Lebar sistem dibagi ke dalam beberapa basin paralel .
Untuk sistem SFS, cross sectional area ditentukan dari persamaan berikut (Metcalf &
Eddy, 1991) :
Ac = Q (11)
ks S
Kecepatan aliran didefinisikan oleh (k s S) harus dibatasi hingga nilai 22 ft/d (6.8 m/d) untuk
mengurangi pengikisan lapisan bakteri. Lebar basin yang diperlukan adalah fungsi dari cross-
sectional area dengan desain kedalaman, dan dihitung berdasarkan persamaan berikut (Metcalf &
Eddy, 1991) :
W = Ac (12)
d
Secara tipikal, lebar basin dari sistem SFS lebih besar daripada panjang basin.
Hydraulic-Loading Rate
Rentang hydraulic-loading rate yang digunakan untuk perancangan adalah dari 15,000
hingga 55,000 gal/acre.d (150 500 m 3/ha.d). Area spesifik yang dibutuhkan adalah sebesar 20
hingga 65 acres/Mgal.d (2.1 6.9 ha/103 m3.d)
Kontrol Vektor
Wetland, terutama sistem FWS, menyediakan habitat breeding yang ideal untuk nyamuk.
Masalah kontrol vektor dapat menjadi faktor yang kritis dalam menentukan kelayakan
penggunaan constructed wetland. Rencana untuk kontrol biologis nyamuk melalui penggunaan
ikan nyamuk (Gambusia afinis) ditambah dengan agen control kimia perlu untuk dimasukkan ke
dalam desain. Tingkat dissolved oxygen (DO) harus di atas 1 mg/L untuk memelihara populasi
ikan. Nyamuk tidak menjadi masalah pada penggunaan sistem SFS karena sistem SFS didesain
untuk mencegah akses nyamuk ke dalam zona air. Permukaan air umumnya ditutup dengan pea
gravel atau coarse sand untuk memenuhi tujuan ini.
Sistem Akuakultur
Akuakultur dimaksudkan sebagai budidaya air, tepat seperti agrikultur yang
dimaksudkan sebagai budidaya lahan ; ini merupakan pertumbuhan tanaman dan hewan dalam
air untuk akhirnya dipanenkan sebagai makanan, baik untuk manusia maupun untuk hewan
piaraan. Alga blooms yang padat dalam kolam stabilisasi air limbah tidak hanya memberikan
oksigen untuk oksidasi air limbah influen bagi bakteria, namun alga tersebut juga merupakan
sumber makanan yang sangat berarti, yang kurang lebih mengandung 50 % protein (Duncan
Mara, 1975). Pertumbuhan alga dalam kolam adalah suatu proses yang efisiensinya tinggi
dengan hasil protein jauh berlebihan dibandingkan dengan yang umumnya ditemukan dalam
akrikultur konvensional. Alga tersebut mungkin dipanenkan dari efluen kolam maturasi dengan
salah satu dari beberapa proses pengolahan tersier dan kemudian digunakan sebagai suatu
tambahan makanan ternak.
Alga yang tumbuh dalam air limbah telah dicoba dengan berhasil untuk makanan ternak
ayam, babi, lembu, dan domba. Akan tetapi sering kali, tidak terdapat uang atau tenaga terampil
untuk mengoperasikan dan memelihara proses-proses pengolahan tersier. Dalam kasus semacam
itu, protein alga dalam kolam stabilisasi air limbah paling menyenangkan dimanfaatkan untuk
ikan pemakan-alga dalam kolam maturasi. Ikan mujair Sarotherodon mossambica khususnya
sangat toleran terhadap densitas alga yang tinggi dan berbiak secara ekstrim baik dalam kolam
maturasi. Lebih-lebih ikan ini sangat enak rasanya. Ikan lain yang telah diternak dalam kolam
maturasi meliputi Gurame (Catlacatla, Laboe rohita (Frontispiece)), Ictalurus punctatus dan ikan
pemakan nyamuk (Gambusia sp) (Duncan Mara, 1975). Hasil panen ikan, khususnya mujair,
mungkin dapat ditingkatkan dengan mengintroduksikan bibit yang yang steril, tetpai hal ini akan
menuntut perhatian tenaga ahli yang berpengalaman dalam budidaya ikan. Di Papua New
Guinea, suatu kombinasi akuakultur dan agrikultur yang sangat efektif tetapi sangat sederhana
telah dikembangkan: kolam maturasi digunakan untuk meningkatkan ikan maupun bebek dan
efluen akhir digunakan untuk irigasi sayuran berkualitas tinggi yang ditumbuhkan dalam gravel
bukannya tanah. Suatu praktek hortikultura yang dikenal sebagai Hydrophonic.
Clonorchiasis adalah penyakit hati serius yang disebabkan oleh cacing tramtoda parasitis
Clonorchis sinensis yang mempunyai dua host intermediet, siput (Bithynia sp) dan ikan (gurame).
Penyebaran penyakit ini dibatasi sampai Timur Jauh, khususnya Cina Selatan, yang dalam hal ini
insiden yang tinggi diakibatkan oleh praktek yang ekstensif dalam perabukan kolam ikan dengan
air limbah dan kesukaan penduduk lokal untuk makan ikan baku. Pemeliharaan kolam secara
teratur adalah esensial untuk mencegah pengembangan populasi siput yang stabil. Jika pinggiran
kolam tersebut bersih dari vegetasi, kemudian siput akan kehilangan habitatnya dan karena itu
parasit dalam air limbah baku akan mati karena tidak adanya host pertamanya (siput).
Sebagian besar daur ulang dari air buangan secara tradisional telah dirancang untuk
memproduksi ikan melalui nutrien-nutrien yang ada di dalam air buangan. Di lain pihak, sistem
air buangan konvensional seperti lumpur aktif, trickling filter, dan kolam stabilisasi dirancang
untuk menyisihkan nutrien-nutrien yang ada di dalam air buangan. Pada gambar di bawah ini,
ekskreta manusia yang digunakan kembali melalui akuakultur dapat digunakan secara langsung
untuk menghasilkan makanan bagi manusia untuk dikonsumsi (garis putus-putus) atau secara
tidak langsung melalui pakan untuk unggas (bebek) dan ikan (garis solid).
EXCRETA
FISH DUCKWEED
FOOD FEED
FISH LIVESTOCK
HUMAN CONSUMPTION
Strategi Excreta Reuse Pada Akuakultur
(Peter Edwards, 1996)
Observasi lapangan telah mengindikasikan adanya efisiensi yang tinggi pada sistem
pengolahan air buangan domestik menggunakan sistem akuakultur di Calcutta dan Hanoi. Sistem
ini terbukti menyediakan lingkungan yang sehat dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
(Duncan Mara,1975). Namun demikian, faktor kesehatan dari produsen maupun konsumen dari
sistem ini masih perlu dipertimbangkan dan masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
a. KT
Nilai KT ditentukan dengan rumus, yaitu :
KT = K20 (1.06)(T-20), T dalam oC
K16 = 0.2779 (1.06)(16-20)
K16 = 0.220 d-1
b. As
Luas permukaan basin untuk sistem FWS dapat ditentukan berdasarkan persamaan:
As = Q (ln Co ln Ce + ln A)
KT(y)(n)
As = 22.225 (ln 132 ln 2 + ln 0.52)
0.220(0.46)(0.75)
As = 1035.33 m2
c. Waktu detensi hirdrolis, t
Waktu detensi (t) yang diperlukan untuk mencapai efluen BOD yang diinginkan dapat
ditentukan dengan persamaan:
t = - ln (Ce/Co) / KT
dengan nilai KT sebagai berikut :
K16 = 0.678 (1.06)(16-20)
K16 = 0.537 d-1
t = - ln (Ce/Co) / KT
t = - ln ( 2 / 132) / 0.537
t = 7.8 d OK 4 < t < 15
Nilai t sebesar 7.8 hari memenuhi syarat desain waktu detensi hidrolis yaitu 4 15 hari.
Nilai hidraulic-loading rate (Lw) sebesar 0.021 m 3/m2/d memenuhi syarat desain wetland
untuk sistem FWS yaitu 0.014 < Lw < 0.046.
e. Penyisihan suspended solid (SS) untuk sistem FWS dapat dihitung menggunakan persamaan di
bawah ini (Sherwood C. Reed & Ronald W. Crites, 1995):
Ce = Co [ 0.1139 + 0.00213 (HLR) ]
Nilai Ce TSS sebesar 12.11 mg/L memenuhi syarat baku mutu kelas satu yang ditetapkan,
yaitu 50 mg/L.
c. KT
Nilai KT pada temperatur air minimal sebesar 16 0C dapat dihitung berdasarkan
persamaan (4-4) , yaitu :
KT = K20 (1.1)(T-20), T dalam oC
K16 = 0.86 (1.1)(16-20)
K16 = 0.5874 d-1
k. Penyisihan suspended solid (SS) untuk sistem SFS dapat dihitung menggunakan persamaan di
bawah ini (Sherwood C. Reed & Ronald W. Crites, 1995) :
Nilai Ce TSS sebesar 11.20 mg/L memenuhi syarat baku mutu kelas satu yang ditetapkan,
yaitu 50 mg/L.
Karena keterbatasan luas lahan untuk sistem wetland serta aspek pengontrolan vektor
yang lebih mudah maka tipe constructed wetland yang dipilih adalah tipe SFS.
Jumlah basin paralel yang direncanakan adalah sejumlah 4 buah ditambah dengan 1
basin cadangan yang ditujukan untuk difungsikan pada saat resting. Panjang masing-
masing basin (Lb) ditentukan dari :
Lb = L / 4
Lb = 334.11 ft / 4
Lb = 83.52 ft = 25.46 m
Lebar masing-masing basin (Wb) adalah 5.86 m (Wb = W)
Wetland tipe SFS ini dirancang dengan bagian depan dan belakang (inlet dan outlet)
diberi tambahan tembok yang berlubang-lubang agar distribusi masukan limbah lebih merata.
Kesemuanya membentuk gang (gallery) pada bagian pemasukan dan pengeluaran, dengan
batu kali (d = 12-15 cm) dan gravel (d = 3-6 cm) mengapit pasir gravel. Susunan tersebut
berfungsi sebagai distributor hingga aliran yang masuk ke media diharapkan merata dan
dapat menahan pasir gravel.