1. Pendahuluan
Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa suatu erupsi vulkanik dapat ditampilkan
sebagai puncak dari rangkaian proses fisika dan kimia (Figure 1.21, Parfitt (2008)). Tahapan
awal dari rangkaian tersebut adalah pembentukan magma di dalam Bumi. Tidak akan terjadi
erupsi jika tidak terdapat magma.
Pada bab ini kita akan membahas mengenai pembentukan magma dan tahapan paling
awal dari pergerakan magma, di mana magma pertama kali mulai berpisah dan bergerak
menjauh dari tempat pembentukannya.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai proses pelelehan batuan dan segregasi
magma di dalam mantel bumi.
Gb. 1. Sebaran gunungapi, lempeng tektonik, dan Ring of Fire di permukaan Bumi
Sumber : www.usgs.gov
Tidak begitu jelas namun cukup penting diketahui bahwa terdapat rangkaian gunungapi
yang sempit dan panjang berjajar di bawah permukaan samudera. Observasi menggunakan
sonar imaging systems serta submersible baik yang berawak maupun yang menggunakan
remote kontrol menunjukkan keberadaan mid-ocean ridges (MORs) (Fig. 2.4). Erupsi di
sepanjang MORs terjadi pada kedalaman yang sangat dalam di bawah samudera (khususnya 1-
4 km) sehingga kita jarang memperhatikan aktivitasnya dan kesulitan mengobservasinya. Akan
tetapi, pada bulan Juni 1993, sebuah jaringan hydrophone mendeteksi aktivitas seismik di
sepanjang bagian dari punggungan Juan de Fuca (sebuah pusat pemekaran yang terletak ~400
km dari pesisir barat Oregon, USA). Investigasi selanjutnya menggunakan berbagai jenis
peralatan menunjukkan bahwa aktivitas seismik merupakan tanda-tanda adanya erupsi di
sepanjang punggungan yang menghasilkan suatu aliran lava basa sepanjang 3,8 km dengan
lebar mencapai 500 m.
Vukanisme pada zona sempit dan panjang ini sangat erat hubungannya dengan struktur
Bumi dalam skala besar, khususnya fakta bahwa lapisan planet yang paling luar terdiri dari
rangkaian slab yang terpisah-pisah, yang kemudian disebut sebagai lempeng. Ilmu yang
mempelajari tentang hubungan antar lempeng-lempeng Bumi dan interior Bumi yang lebih
dalam disebut tektonik lempeng, dan zona vulkanik sempit menandai beberapa batas
pertemuan lempeng. Pada beberapa kasus, zona vulkanik sempit ini merupakan tempat di
mana dua lempeng bergerak saling menjauh, atau yang kemudian disebut divergent margins
atau spreading centers dan merupakan tempat terjadinya vulkanisme punggungan tengah
samudera (Fig. 2.4 (Parfitt, 2008)). Fakta bahwa lempeng-lempeng bergerak menjauh pada
lokasi ini dan material baru mencapai permukaan memperjelas kemungkinan bahwa beberapa
pergerakan material mantel yang pelan ke arah permukaan terjadi di sini. Proses yang terjadi
pada divergent margins nampak pada Gb. 3, di mana pemekaran samudera berawal dari
pemekaran benua yang berlanjut terus-menerus.
Di tempat lain, dua lempeng bergerak bersama dan bertumbukan yang kemudian
disebut convergent margins. Ada 3 jenis batas konvergen (Gb. 4), yaitu batas konvergen
benua-benua yang menghasilkan rangkaian pegunungan non-vulkanik, batas konvergen benua-
samudera yang menghasilkan gunungapi busur benua, dan batas konvergen samudera-
samudera yang menghasilkan gunungapi busur kepulauan. Convergent margins berhubungan
dengan vulkanisme di mana subduksi terjadi, misalnya lempeng yang satu menyusup ke
bawah lempeng yang lain (Fig. 2.4). Proses ini mendominasi pembentukan RoF di sekitar
Pasifik. Fakta bahwa lempeng yang turun bergerak ke dalam mantel, yang harus mengubah
bentuk agar memungkinkannya masuk, lagi-lagi menunjukkan bahwa pada skala waktu yang
panjang, mantel mampu bertindak seakan-akan dia merupakan fluida. Faktanya, sekarang kita
paham bahwa perbedaan temperatur antara interior mantel yang panas dan permukaan
lapisan di atasnya yang dingin menyebabkan mantel mengalami konveksi yang pelan namun
terjadi secara terus-menerus.
INTRAPLATE SETTING
Terdapat setting dimana MORs dan hotspot samudra merupakan zona mantel yang naik
dan juga zona terjadinya pelelehan akibat dekompresioanal. Di samudra, interaksi awal mantel
plume dengan kerak benua menghasilkan banjir basalt yang disebut LIPs. Setelah fase awal
tersebut, magmatisme berlanjut membentuk magma basaltic tetapi interaksi dari basalt dengan
kerak benua membuat batas komposisi magma. Dibeberapa contoh, misalnya Yellowstone,
magmatisme adalah bi-modal, menghasilkan keduanya magma basaltic dan rhyolitik. Rhyolit
dengan volume besar terbentuk oleh pelelehan batuan kerak disebabkan oleh transfer panas
dari kolam magma basaltic didasar kerak. Di setting yang lain khususnya di East African Rift
Valley, ditemukan komposisi magma yang sangat beragam. Ditemukan magma paling aneh
pemekaran benua adalah carbonatite. Carbonatit adalah magma dimana mengandung lebih dari
50% mineral karbonat dan teramati pada erupsi di Oldoinyo Lengai, gunungapi di East African
Rift Valley. Pengamatan awal menunjukkan aliran carbonatit adalah aliran lumpur yang muncrat
saat erupsi dan agak berpijar ketika diamati pada malam hari. Lava tersebut memiliki
temperatur paling rendah (khususnya 500 5900C di Oldoinyo Lengai) dan viskositas terendah
dari lava daratan yang diketahui. Mereka sangat mirip dengan basalt.
Selama lempeng menunjam, terjadi reaksi didalam batuan membuat batuan tersebut
dehidrasi dan melepaskan gelembung air. Terlihat seperti air yang naik ke mantel yang
meninggalkan lempeng yang menunjam (fig. 2.8), menurunkan solidus material mantel yang
cukup untuk menyebabkan pelelehan (fig. 2.2). Seperti di MOR, pelelehan mantel menghasilkan
magma basaltic, tetapi meskipun saat ini, mereka bukanlah tipe magma yang dominan yang
dijumpai di setting subduksi. Di setting busur kepulauan, pelelehan basaltic di dasar litosfer dan
didalam kerak sendiri bisa terjadi kristalisasi fraksional, dengan sisa larutan yang menghasilkan
andesit basaltic dan andesit dijumpai disana (fig. 2.8).
Di busur benua, dimana magma mencapai permukaan harus melewati kerak benua yang
cukup tebal, berpotensi untuk terjadinya proses yang lebih jauh. Kemudian, meskipun magma
primer yang dihasilkan adalah basalt dari mantel, interaksi magma dengan kerak benua
membuat keragaman magma yang keluar ke permukaan (fig. 2.8). disini potensi yang besar
untuk batuan kerak meleleh, untuk asimilasi material kerak selama magma bergerak keatas,
untuk kristalisasi fraksional (dimana kristal terbentuk dan tertinggal oleh sisa larutan magma),
dan untuk percampuran magma pada kedalaman berbeda dibawah permukaan. Yang relatif
penting dimana setiap proses masih menjadi sumber debat antara igneous petrologist dan
geochemist, dan ini diluar dari jangkauan diskusi kita. Kita lebih konsentrasi dengan sifat fisik
dari magma yang dihasilkan, dan sedikit tetang sifat magma yang berkembang seperti
basalt,dapat dikarakterisasi sangat baik dalam istilah kandungan silica magma (table 2.1),
meskipun jumlah komposisi kimia lain pada pembentukan mineral pembentuk batuan juga
penting. Kunci permasalahan adalah perbedaan komposisi mineral magma menyebabkan
mereka memiliki kemampuan yang berbeda melepaskan kandungan volatile seperti air dan
karbo dioksida, dan kemampuan yang berbeda untuk mengalirkan dalam kondisi terkena gaya
yaitu mereka mempunyai perbedaan viskositas.
5. Kesimpulan
Kebanyakan gunungapi di Bumi terletak di sepanjang batas lempeng tektonik dan
berkaitan dengan konveksi matel dalam skala besar yang menggerakkan lempeng tektonik.
Gunungapi lainnya ditemukan jauh dari batas lempeng dan menunjukkan lokasi hot spots
mantle plume yang terbentuk akibat anomali termal di kedalaman mantel.
Komposisi lava yang keluar dari gunungapi tergantung pada lingkungan tektonik. Di
punggungan tengah samudera, dan di mana tiang hot spot terbentuk di bawah kerak lantai
samudera, pelelehan mantel oleh dekompresi menghasilkan fluid basalt yang panas. Hot
spots di bawah benua juga menghasilkan basalt, tetapi interaksinya dengan kerak benua
menghasilkan suatu variasi magma yang beragam. Di zona subduksi, kehadiran air yang
ikut terbawa turun bersama lempeng yang menyusup menyebabkan penurunan
temperatur pelelehan, sehingga pelelehan baji mentel menghasilkan basalt. Interaksi
antara basalt dengan kerak yang mengapung dan fractional crystallization dari magma yang
dihasilkan, menghasilkan variasi magma yang besar, khususnya di zona di mana kerak
samudera menyusup ke bawah kerak benua. Walaupun komposisi magma bervariasi pada
lingkungan zona subduksi, akan tetapi jenis magma dominannya adalah andesit.
Walaupun keberagaman magma yang besar ditemukan di Bumi, pembentukan mereka
tergantung pada produksi basalts oleh pelelehan mantel. Pelelehan ini dapat terjadi karena
dekompresi material mantel yang bergerak naik atau karena pelelehan yang disebabkan
oleh pelepasan air dari litosfer samudera yang mengalami subduksi, namun pelelehan
dekompresi adalah mode yang lebih dominan.
Pelelehan pada batuan dimulai pada kontak yang sesuai antara butiran mineral ketika
kombinasi temperatur yang turun perlahan dan tekanan yang turun drastis mencapai
solidus. Ketika telah terbentuk pelelehan yang cukup, maka kantong-kantong lelehan antar
butiran mulai terhubung semuanya. Kemampuan mengapung alami dari lelehan kemudian
menyebabkan kantong-kantong lelehan tersebut mulai bergerak akibat rembesan melalui
jalan rembesan yang telah ada. Karena sejak proses terbentuknya densitas lelehan lebih
rendah dibanding batuan, maka lelehan berusaha menempati volume yang lebih besar
dibanding material induknya. Hal ini menyebabkan tekanan dalam lelehan terus bertambah
seiring pertumbuhannya dan ruang tambahan untuk pergerakan lelehan dapat terbentuk
oleh tekanan fluida yang meretakkan beberapa bagian dari gabungan butiran.
Seiring lelehan yang bergerak ke atas, butiran mineral di bagian bawah di mana pelelehan
terjadi akan terkompaksi dan fraksi lelehan bagian atas akan meningkat. Seluruh bagian
atas dari lokasi yang kaya lelehan secepatnya akan mulai naik sebagai tubuh yang terpisah
yang disebut diapir. Kenaikan diapir dibatasi oleh peningkatan viskositas batuan di
sekitarnya, dan selanjutnya, lelehan cenderung naik melalui rekahan yang terisi magma
yang disebut dyke, terbentuk ketika laju tegangan di dalam host rocks menjadi sangat besar
sehingga responnya cenderung dalam mode rapuh dibanding mode plastis.
6. Referensi
Parfitt, E. A., Wilson, L. (2008) Fundamentals of Physics Volcanology. Blackwell Publishing,
Oxford, UK.
Waluyo. Modul Kuliah Tektonik Lempeng (.ppt).
Husein, Salahuddin (2008) 03. Batuan Beku (.pdf). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Husein, Salahuddin (2007) 08. Tektonik Lempeng (.pdf). Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.