Anda di halaman 1dari 7

Gula Jawa (Gula Aren) Tidak Mengandung Formalin

Pernahkan anda menerima email yang menjelaskan bahwa semua pengrajin gula aren
menggunakan formalin dalam membuat gula aren? Benarkah demikian? Penjelasan
dari Prof. Dr. Mary Astuti berikut semoga bisa menenangkan anda...

Nampaknya demam formalin sudah melanda seluruh lapisan masyarakat, baik dengan
info yang benar dan akurat maupun info yang kelabu dan info yang merah membara.
Saya beserta tim UGM sudah lama membina perajin gula kelapa baik didaerah Kulon
Progo maupun diwilayah Purworedjo kami bahkan membuat satu rumah processing
sebagai percontohan bagi perajin. Perajin gula kelapa adalah masyarakat yang cukup
miskin dan tidak ada pilihan lain untuk bekerja selain sebagai perajin untuk menghidupi
dirinya dan keluarganya. Kalau ada pilihan lain mereka akan memilih pekerjaan lain
yang lebih baik dan tidak berisiko tinggi. Mengapa? memanjat pohon kelapa yang
tingginya diatas 10 m tentu berisiko apalagi tanpa alat pengaman. Saat ini pemanjat
sudah semakin langka karena pemanjat yg sudah berumur tidak kuat lagi manjat
sedangkan yang muda segan dan kurang bergairah untuk pekerjaan seperti itu.

Membuat gula kelapa atau aren tidak semudah mengkonsumsinya baik dalam bentuk
yang sudah dicampurkan pada es dawet, pada kolak, pada sambel pecel, pada kecap
dll. Pertama-tama perajin harus memanjat pohon kelapa dengan membawa alat
penoreh (pisau) dan bumbung atau plastik untuk menampung nira kelapa. Cara
menyanyat tandan bungakelapa yang berumur satu bulan atau baru mekar. Tidak
mudah lho menyadap tandan karena perlu ketrampilan. Pertama bersihkan tandan
bunga, tandan dipukul-pukul pelan dan ditekuk kesamping sehingga tandan yang
tadinya tegak menjadi menunduk, kemudian iris pucuk tandan sekitar 5 cm kearah
bawah dengan ketebalan sekitar 0,4 cm.. Pengirisan dilakukan pada pagi atau sore
hari. Cairan yang menetes yg disebut nira ditampung dalam wadah bumbung bambu
atau ember plastik ataupun jerigen plastik. Pekerjaan ini memerlukan keahlian karena
para penyadap nira selain harus tahu bagaimana mempersiapkan tandan, bagaimana
mengiris , bagaimana mereka harus manjat dengan membawa arit, bumbung, cairan
pengawet atau pengatur pH dan bagaimana mereka harus menggelantung di pohon.
bisa dibayangkan enggak ya?

Nira adalah cairan yang berasa manis karena mengandung gula sakarosa 10-15%
mengandung gula reduksi (glukosa) 1,0-2,0%. Cairan yang mengandung gula ini pada
saat keluar dari tandan mempunyai pH netral sekitar 7, baunya enak dan rasanya
manis. Dalam kondisi seperti itu dg jumlah airnya sekitar 80-85%, yang dibiarkan
terbuka dipohon (perlu waktu 8-12jam untuk mendapatkan 0,5-1 L nira per tandan)
akan digemari mikroorganisme jenis yeast yang akan mengubah gula sukrosa dalam
nira menjadi alkohol kemudian menjadi asam sehingga nira berasa asam dan tidak bisa
dikristalkan membentuk gula yang padat apabila dimasak. Para perajin akan
menambahkan air kapur sekitar 1-2sendok makan kedalam bumbung atau jerigen
penampung nira. Gunanya air kapur untuk menaikkan pH nira sehingga nira tidak
disukai yeast, sehingga nira tidak berubah menjadi masam dan pada saat dimasak
masih bisa menjadi gula yang keras. Ada juga perajin yang menambahkan sayatan
pohon manggis dengan tujuan yang sama yaitu mencegah aktivitas yeast. Ada pula
perajin yang menggunakan sodium bisulfit yang berupa bubuk (mereka menyebut obat
gula). Gunanya sodium bisulfit selain untuk mengawetkan juga untuk mempertahankan
warna gula jawa menjadi kuning kecoklatan karena mempunyai sifat sebagai anti
pencoklatan.

Kami tim UGM selain melakukan pembinaan di dua daerah tersebut juga melakukan
survei untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan gula yang dilakukan di
berbagai daerah mulai Banyuwangi, Blitar, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Bantul,
Kulon Progo, Purworedjo, Kebumen, Banjarnegara, Cilacap, Pangandaran, Sukabumi,
Banten dan Lampung. Survei tersebut juga untuk mengetahui zat apa yang digunakan
para perajin serta permasalahan yang dihadapi perajin dalam melakukan proses
pembuatan gula dan bagaimana kualitas gula kelapa mereka apa sudah memenuhi
persyaratan SNI. Pemakaian sodium bisulfit memang dijinkan dengan residunya
maksimum 300 ppm. Sodium bisulfit pada gula kelapa saat digunakan dalam masakan
yang dipanaskan pada suhu tinggi akan hilang. Seperti yang digunakan pada kecap,
akan hilang. Dari pengalaman kami tersebut tidak ada satupun perajin yang
menggunakan formalin seperti yang anda informasikan. Kasihan sekali perajin kalau
harus membawa formalin naik keatas pohon dengan risiko tumpah akan mengiritasi
mata mereka, kulit teriritasi dan bila terhirup mengakibatkan sesak nafas, tenggorokan
terasa terbakar.

Mungkin perlu kami sampaikan pula mengapa nira yang cair bisa menjadi gula yang
padat . Proses pembuatan gula kelapa melalui tahapan penyaringan nira agar kotoran
yang terikut termasuk semut tidak ikut diproses. Kalau semutnya ikut diproses bisa
mengandung asam format (turunan formalin) karena secara alami semut mengeluarkan
asam format.

Setelah disaring kemudian dimasak dalam wajan (besi atau tanah) atau dalam panci
aluminium. Pemasakan nira harus dilakukan segera setelah nira disaring, kalau masih
menunggu nira yang lain sebaiknya nira yang datang dulu didihkansaja kemudian akan
dimasak bersama-sama. Pemasakan ini akan mengakibatkan air dalam nira menguap
dan terjadi perubahan pada sukrosa yang disebut karamelisasi (warnanya coklat dan
baunya khas karamel), dilakukan pengadukan agar terbentuk kristal gula (kadang-
kadang perajin menambahkan sedikit parutan kelapa untuk memancing terbentuknya
inti kristal). Kristalisasi dihentikan dengan cara menurunkan masakan dari api apabila
diambil sedkit masakan diantara ibu jari dan telunjuk tidak putus pada rentang tertentu.
Pengadukan tetap dilakukan dan segera masakan dicetak dalam cetakan yang sudah
disiapkan. Maka akan diperoleh gula kelapa yang padat. Apabila jumlah gula
reduksinya dalam nira banyak maka gulanya tidak bisa keras tetapi agak lembek. Gula
kelapa ini bisa disimpan dalam suhu ruang dengan kelembaban 80 % sampai dua bulan
masih bagus. Gula kelapa mudah menyerap air sehingga apabila disimpan pada
ruangan yang lembab maka gula mudah melelh atau menjadi lembek. Gula kelapa yang
tahan lama bila disimpan berbeda dengan tahu yang hanya tahan satu hari maka
perajin tahu menambahkan formalin agar tahu lebih tahan lama. UGM juga punya
binaan industri tahu tanpa formalin tapi daya simpannya hanya dua hari di almari
pendingin.

OK itu sedikit info dari kami kalau masih belum jelas bisa langsung hubungi kami di
UGM. Saya sangat kasihan apabila nanti para perajin yang sudah miskin tambah miskin
karena rumor yang tidak pas. Mereka akan kehilangan pekerjaan yang jadi tumpuan
hidupnya. Gula Jawa atau Gula aren sudah diproduksi di Indonesia sejak abad ke 7
atau sebelumnya dan cukup menghidupi banyak keluarga meskipun katagori mereka
miskin dan hanya pengepulnya yang lumayan hidupnya.

(diambil dari tanggapan Prof Mary mengenai Isu formalin didalam gula aren)

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Dinas Kesehatan Kabupaten Mempawah


melakukan uji laboratorium terhadap gula merah dari 17 sampel yang diambil acak, baik dari
toko dan agen di Kabupaten Mempawah, Senin (6/7/2015).

Kasi Pengawasan makanan dan Minuman, Dinkes Kabupaten Mempawah, Mira Ismiliawaty
mengatakan dalam pengambilan sampel dari 17 gula merah itu sebagai langkah awal untuk
melindungi konsumen.

Uji laboratorium tersebut dilakukan untuk memastikan tidak adanya kandungan zat berbahaya
yaitu formalin, seperti isu berembus saat ini.

"Langkah ini sebagai antisipasi awal, menepis ke kehawatiran masyarakat akan gula merah.
Hasilnya dari 17 sampel yang kita uji hasilnya negatif," ujarnya.

Mira menjelaskan dalam pelaksanaannya, pihkanya tidak mencukupkan pada langkah awal
tersebut, namun akan ditindaklanjuti dengan sidak gabungan bersama Disperindagkoptamben
Mempawah.

Penulis: Madrosid
Editor: Arief
Sumber: Tribun Pontianak

Gula Jawa BerFormalin


Tinggalkan Balasan

kejujuran dan keterbukaan,adalah hal utama dalam berbisnis, apalagi bisnis online.

Kemaren saya keliling untuk cek stock gula baik di pasar maupun pengepul.dan betapa
terkejutnya saya saat mendengar pengakuan pedagang bahwa dia juga menjual gula jawa BS.
gulo jowo rekondisi, gula jawa merah yang tidak laku dalam jangka waktu yang lama, rusak,
kurang berkualitas, dimasak kembali dan dicetak ulang. Hasil akhir dari cetak ulang ini mirip
dengan gula jawa baru. bahkan ada yang menambahkan FORMALIN

Untuk mengetahui mana gula merah atau yang biasa disebut gulo jowo atau gula aren yang
menggunakan formalin, bisa menggunakan tips berikut ini:

1. Gula merah atau gula jawa yang sehat itu yang dirubung lalat atau semut, seperti halnya daun
yang sehat tanpa DDT adalah daun yang ada ulatnya. Ternyata binatang-binatang itu membantu
kita sebagai detector racun.

2. Pilih gula merah/jawa yang lembek dan mudah meleleh, karena yang pakai formalin itu
membuatnya menjadi keras.

3. Gula aren/jawa yang tidak pakai pengawet itu harum

4. Yang sudah pasti karena tidak pakai pengawet gula jawa itu harus baik kemasannya karena
mudah rusak.

Selama ini saya tidak pernah sekalipun menjual gula jawa rekondisi. Untuk menjaga silaturohmi
dengan klient saya, gulo jowo magelang selalu menjual produk berkualitas dan bukan daur ulang

Tulisan ini sekedar catatan, tak lama setelah saya melakukan percakapan kosong dengan salah
satu keluarga pasien di RS. Sukadana, Lamtim, tanpa saya sebut namanya, kebetulan beliau
merupakan pembuat gula merah di wilayah Kab. Lampung Timur. Sangat disayangkan ketika
terjadi percakapan saya tidak dapat mendokumentasikan gula yang beliau buat, lantaran memang
tidak dalam situasi bekerja. Jadi memang terlihat kurang valid atau akurat ketika pemberitaan
tidak mencantumkan foto-foto yang dimaksud. Terlepas dari kealpaan saya untuk tidak
mendokumentasikan foto2nya tapi paling tidak menjadi bahan informasi bahwa selama ini
produsen cenderung terpaksa mencampurkan bahan pembuat gula merah dengan bahan kimia
pembeku yang tidak jelas nama dan kandungan senyawa dalam zat yang dicampur tersebut. Oleh
karena itu menjadi sebuah kekhawatiran bahwa gula merah sebagai salah satu bahan makanan
ternyata "terpaksa" harus tercemari oleh bahan kimia yang jelas-jelas sangat berbahaya. Memang
apa yang diceritakan salah satu produsen gula di desa Banding ini bukanlah isapan jempol
belaka, karena jika kita amati lebih jauh produk gula yang dipasarkan saat ini tekstur lebih keras
dan warnanya pun sudah berbeda dengan gula merah produk para pengrajin yang tidak
mencampurkan bahannya dengan bahan kimia, dimana rasa cita rasa gula tersebut cenderung
manis agak kepahit-pahitan dan warna yang biasanya merah hati, kini warnanya justru menjadi
merah bercampur warna putih, lebih keras dan seperti saya sebutkan di atas cenderung lebih
pahit jika kita makan. Dengan rasa yang aneh ini mengindikasikan pencampuran bahan kimia
tersebut bertujuan untuk mengawetkan gula agar tahan lama disimpan. Penggunaan bahan kimia
pembeku dan pengawet ini hakekatnya tujuannya karena biasanya produsen gula menjual kepada
para pengepul ini agar gula tidak mudah meleleh karena biasanya gula merah yang tidak
dicampur bahan kimia akan mudah meleleh, tidak lebih dari satu minggu gula merah ini akan
meleleh seperti lilin yang terkena panas. Jika gula ini meleleh sudah barang tentu harganya pun
akan ikut turun. Jika harga jual dari para pengepul pun akan jatuh dan kerugian pastilah akan
mereka dapatkan. Menurut pengakuan sumber, penambahan cairan kimia ini hakekatnya sudah
dilakukan bertahun-tahun atas permintaan pengepul (bos besar) dengan alasan karena gula yang
sudah dicampur cairan kimia ini "katanya" lebih tinggi atau selisih Rp 500, dibandingkan gula
yang tanpa cairan tersebut. Karena harga jual dari produsen biasanya Rp 12.000 / kg karena
dicampurkan dengan bahan kimia tersebut harganya bisa menjadi Rp.12.500 / kg. Meskipun
selisihnya hanya Rp 500 menurut produsen tentunya sangat menguntungkan walaupun
hakekatnya apa yang disampaikan pengepul adalah akal-akalan busuk agar gula yang disimpan
tidak lekas rusak. Terlepas dari keuntungan maupun kerugian produsen gula dengan selisih harga
yang ditawarkan, hakekatnya apa yang dilakukan pengepul dan produsen sudah melanggar
hukum, karena dengan dengan mencampurkan bahan gula (nira) dengan cairan kimia tersebut
hakatnya mereka sudah melakukan pelanggarn hukum dan lebih dari itu adalah tindakan yang
sangat tidak manusiawi karena mencampurkan bahan berbahaya bagi produknya yang sudah
pasti akan berpengaruh pada pengguna atau konsumen gula. Sebagaimana kita tahu gula merah
merupakan bahan pokok bagi pengusaha makanan manis, misalnya es dawet, es cendol, manisan
dan lain-lain produk usaha dan rumah tangga yang menggunakan gula merah. Sehingga dengan
adanya gula merah bercampur bahan kimia hakekatnya mereka sudah meracuni para
konsumennya, para pembeli jajanan tersebut, termasuk kita pun bisa jadi sudah
mengkonsumsinya tanpa kita sadar bahwa makanan dan minuman dengan pemanis gula merah
sudah berampur bahan kimia berbahaya. Efek yang akan terjadi ketika mengkonsumsi bahan
kimia pembeku atau pengawet seperti formalin atau bahan kimia lain berbahaya hakekatnya kita
sudah meracuni tubuh secara tidak sengaja, walaupun kadangkala makanan olahan yang kita
konsumsi tidak kita ketahui kandungannya, akant tetapi lambat laun organ vital pencernaan
dalam tubuh kita akan mengalami kerusakan secara sistematis tanpa kita sadari. Metro,
Lampung, 12/11/2013 M. Ali Amiruddin /maliamiruddin TERVERIFIKASI
www.puisianaksd.wordpress.com www.maliamiruddin57.blogspot.co.id @fb: M Ali Amiruddin
@twitter : M. Ali Amiruddin @Linkedin : M. Ali Amiruddin Selengkapnya... IKUTI Share 0 0
Memuat...

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/gula-merah-yang-dicampur-obat-
kimia-pembeku-dan-pengawet_5520333da33311aa33b670c6

Liputan6.com, Sumatra: Tempat-tempat jajanan umum bertebaran hampir di


setiap sudut, terutama di berbagai kota di Tanah Air. Kuliner yang tersedia pun
beragam. Soal bersih dan kandungan gizi bagi sebagian orang jadi nomor kesekian.
Jika perut sudah lapar, dimanapun dan apapun hidangannya pasti dilahap.

Ketoprak atau rujak, misalnya, kerap ditemukan di tempat-tempat makan umum.


Dua kuliner ini merupakan sedikit contoh makanan yang memakai gula merah atau
gula jawa sebagai bahan-bahannya. Gula jawa ditumbuk dengan bahan lainnya,
seperti kacang dan cabai, menjadikannya campuran bumbu yang lezat untuk rujak.

Namun, di balik kelezatan serta kesegarannya, beredar kabar ada segelintir


pedagang nakal yang meramu gula jawa dengan zat tertentu sehingga bisa
berdampak tidak baik untuk kesehatan. Tim Sigi SCTV mencoba menelusuri
kebenaran kabar itu. Seorang pembuat gula di sebuah kota di Sumatra yang
menjadi salah satu pemasok Tim Sigi datangi.

Untuk membuat gula jawa, pagi-pagi sang pembuat sudah harus menyambangi
kebun kelapa miliknya. Dengan cekatan, ia memanjat berpuluh-puluh pohon
kepala cepat. Berliter-liter nira kelapa diambil setiap hari untuk diolah menjadi
gula jawa.

Tungku pun disiapkan. Nira langsung dimasak. Benar-benar masih diproses secara
tradisional. Cukup lama waktu memasaknya, butuh tiga sampai empat jam
memasak nira sampai kehitaman hingga berubah menjadi gula jawa.

Kalau tak terlalu dicermati, kita akan segera meyakini cara memasak seperti ini
adalah cara alami membuat gula jawa. Namun, kesabaran berbuah hasil. Tim Sigi
melihat ada keganjilan, yakni ada serbuk yang dicampurkan ke adonan nira. Rasa
penasaran pun menyeruak tentang kegunaan dan pengaruh obat gula ini. Sementara
proses mematangkan gula jawa yang dioplos serbuk kimia tadi sudah hampir
selesai dan artinya gula jawa siap dicetak.

Hasil gula jawa cetakan diteliti baik baik. Sekilas tak nampak ada perbedaan
signifikan yang mencurigakan, selain warnanya lebih cerah dan bersih. Rahasia
adonan gula jawa yang dicampur dengan obat kimia ternyata sudah diketahui si
pembuat sejak lama. Obat kimia yang tak jelas dari sisi keamanannya untuk
makanan ini mudah didapati dan dijual bebas.

Informasi dari pembuat gula jawa ini lalu Tim Sigi tindak lanjuti dengan
mendatangi agen penjual obat gula itu. Bau kimia yang amat menusuk menyambut
kedatangan Tim Sigi saat mendatangi sebuah rumah yang diduga tempat penjualan
obat gula. Info sang pembuat gula jawa cukup akurat. Rumah itu merupakan
gudang tempat obat kimia yang biasa digunakan pembuat gula jawa. Berkarung-
karung obat gula terhamparsiap dijual.

Obat kimia ini ternyata tak pandang bulu. Sang penjual yang semestinya terbiasa
dengan aroma menusuk dari obat kimia tidak tahan juga dengan baunya. Dari salah
satu karung obat kimia kami mendapati tulisan sodium meta bisulfit, yakni unsur
kimia bersifat korosif dan mengandung asam yang cukup tinggi. Bisa jadi, nama
unsur kimia yang cukup berbahaya bila dosisnya berlebih ini sengaja dirahasiakan
oleh si penjual kepada para pembuat gula jawa.

Tim Sigi tak membuat asumsi sendiri karena kerasnya unsur kimia juga diakui si
penjual. Tak hanya merusak tubuh, benda-benda lain di sekitar gudang juga ikut
rusak karena sifat unsur kimia dari obat gula jawa itu.

Rupanya, sang pemilik gudang sekaligus penjual kimia sulfit ini tidak pernah
membuka nama unsur kimia yang dijualnya. Hal ini sebenarnya sempat membuat
curiga pekerjanya.

Cuma menduga-duga dan tak tahun pasti. Sampel gula jawa lalu Tim Sigi ujicoba
di laboratorium terpecaya. Hasilnya tak berbeda jauh dari pengamatan Tim Sigi.

Sodium Meta Bisulfit sebenarnya masih bisa digunakan pada produk pangan
sebagai pengawet, namun dalam takaran tertentu. Sementara dari sampel gula jawa
yang diuji jauh melebihi ambang batang penggunaan pada makanan sehingga
berbahaya.

Untuk itu, konsumen lebih disarankan memilih gula jawa berwarna lebih gelap
karena relatif aman dari bahan kimia. Atau setidaknya mengandung sulfit dalam
batas yang wajar.(BOG

Anda mungkin juga menyukai