Anda di halaman 1dari 22

BAB IV

ANALISIS TENTANG PENENTUAN NOMINAL MAHAR DI

DESA MOROREJO KECAMATAN KALIWUNGU

KABUPATEN KENDAL

A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penentuan Nominal Mahar di Desa

Mororejo

Dalam pandangan Islam, mahar adalah sebagai penghormatan yang

tulus terhadap kaum wanita, mahar dalam pandangan Islam juga bertujuan

untuk memuliakan derajat kaum wanita, yang pada zaman Jahiliyah kedudukan

mereka tak lebih daripada binatang yang diperjual-belikan. Dan diwajibkannya

lelaki membayar mahar kepada kaum wanita adalah sebagai tanda ketinggian

kedudukan mereka, dan sebagai uang muka dari sebuah bangunan cinta kasih.

Ia diberikan oleh pengantin lelaki kepada pengantin wanita sesuai dengan

kesepakatan mereka. Mungkin nilainya seperempat dinar sampai seribu dinar

atau bahkan lebih. Mahar di sini bukan seperti adat orang Afrika yang

memberikan karya atas pengantin perempuan. Dalam Islam mahar bukanlah

berarti menjual seorang anak perempuan kepada seorang suami. Ia pun berbeda

dari kebiasaan maskawin orang-orang Eropa lama di mana ayah memberikan

maskawin lebih banyak kepada anak perempuannya (sendiri) pada waktu dia

menikah, lalu harta itu menjadi milik si suami, karena memang itulah motifnya

63
64

menikahi anak perempuan tersebut.1 Pemberian mahar kepada wanita bukanlah

sebagai harga dari perempuan itu dan bukan pula sebagai pembelian perempuan

itu dari orang tuanya, pensyariatan mahar juga merupakan salah satu syarat

yang dapat menghalalkan hubungan suami isteri, yaitu interaksi timbal balik

yang disertai landasan kasih sayang dengan peletakan status kepemimpinan

keluarga kepada suami dalam kehidupan berumah tangga.

Kewajiban pemberian mahar oleh calon suami juga merupakan satu

gambaran dari sebuah kemauan dan tanggung jawab dari suami untuk

memenuhi nafkah yang jelas diperlukan dalam kehidupan berumah tangga.

Yang berkewajiban memberi nafkah (mahar dan kebutuhan hidup rumah

tangga) hanyalah laki-laki, karena memang menjadi kodrat bagi laki-laki

bahwa Ia memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk berusaha

memenuhi kebutuhan dan mencari rezeki, sedangkan tugas dari seorang

wanita dalam keluarga adalah menjaga rumah tangga, terutama mendidik

anak. Walau dalam kenyataannya tidak sedikit kaum perempuan yang mampu

memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja sendiri. Dalam Islam,

disyariatkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang diberikan

seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu

ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas

kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-

Quran Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4 :

1
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D. Perkawinan dalam Syariat Islam (Shariah The Islamic Law),
Penerjemah: Drs. H. Basri Iba Asghary dan H. Wadi Masturi, S.E., Jakarta: PT Rineka Cipta,
1996, Cet. II, hlm. 66
65




4:
Artinya: Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. (QS. an-Nisa: 4)2

Pengertiannya adalah, bayarkanlah mahar kepada mereka sebagai

pemberian yang setulus hati. Pemberian itu adalah maskawin yang besar

kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus

dilakukan dengan ikhlas. Wajibnya mahar juga didasarkan pada sabda

Rasulullah SAW. Berikut:


Artinya: Berikanlah (maharnya) sekalipun cincin besi. (HR Muttafaq
alaih)3

Mahar merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah

pernikahan, karena mahar sebagai pemberian yang dapat melanggengkan cinta

kasih, yang mengikat dan mengukuhkan hubungan antara suami istri. Mahar

yang harus dibayarkan ketika akad nikah hanyalah sebagai wasilah

(perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena itu islam sangat

menganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan dipermudah.4

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar, karena

adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu

2
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. asy-Syifa, 1992,
hlm. 115.
3
Syamsudin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga, Bogor: CV. Idea Pustaka Utama, 2004,
Cet. I, hlm 65
4
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, 2002,
hlm. 148
66

tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri, karena itu Islam

menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-

masing orang atau keadaan dan tradisi yang berlaku dalam keluarganya.

Segala nash yang memberikan keterangan tidaklah dimaksudkan kecuali untuk

menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya

jumlah. Jadi diperbolehkan memberi mahar misalnya dengan sebuah cincin

besi atau hanya mengajarkan beberapa ayat al-Quran dan lain sebagainya ,

dengan persyaratan sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang

melakukan akad.

Seperti hadits di bawah ini:

: .....


Artinya: Dari Sahal bin Saad bahwa Nabi SAW.lalu Nabi bersabda
sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al-Quran
yang ada padamu. (HR. Bukhari Muslim) 5

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar itu boleh berupa sesuatu

yang bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan beberapa

ayat dari al-Quran. Selain mengajarkan ayat-ayat dari al-Quran, bentuk

mahar dalam perbuatan jasa atau manfaat lainnya adalah yang termasuk dalam

kategori melayani (khidmad), mereka berargumen dengan mengacu kepada

firman Allah yang menceritakan perkawinan Nabi Musa a.s. dengan putri

5
Sayyid Sabiq, alih bahasa Drs moh. Thalib, Fiqh Sunnah 7, Bandung: PT. al-Maarif,
1983, hlm. 55-56
67

Nabi Syuaib a.s. dengan mahar dalam bentuk jasa yang bermanfaat yaitu

bekerja selama delapan tahun, dalam al-Quran surat al Qashas ayat 27:

(27 :

Artinya: Sesungguhnya aku ingin mengawinkan engkau dengan salah


seorang putriku ini dengan (mas kawin) engkau bekerja padaku
selama delapan tahun 6

Mahar adalah wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah

pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan

suami istri yang saling mencintai dan meridhoi dan menjadi pasangan yang

mesra dalam sebuah rumah tangga untuk menghadiahkan kembali mahar itu

kepada suaminya demi kepentingan dan kesenangan bersama, sebab harta itu

telah menjadi hartanya. Tentang hukum memberikan mahar adalah wajib,

sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa ayat 47

32:


Artinya: Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. an-Nisa ayat 4)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan

kepada suami untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu

tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada sunnah ataupun

mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar adalah wajib

6
Departemen Agama, op.cit, hlm.613
7
Ibid, hlm. 115
68

bagi suami terhadap istrinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkannya

dari makna wajib kepada makna yang lain.8

Pemberian tersebut juga sebagai pertanda eratnya hubungan dan cinta

yang mendalam antara calon suami-istri, di samping jalinan yang seharusnya

menyelimuti rumah tangga yang mereka bangun. Di kalangan banyak orang

telah menjadi tradisi bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian

mahar saja, tetapi diiringi dengan aneka ragam hantaran (hadiah) lainnya, baik

berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, atau yang lainnya, sebagai

penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang nantinya akan

mendampingi hidupnya.9

Besar dan bentuk mahar hendaknya senantiasa berpedoman kepada

sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan Islam, sehingga

besar dan bentuk mahar itu tidak sampai memberatkan calon mempelai pria.10

Kalau mahar atau mas kawin itu adalah hak seorang perempuan (istri) maka

istri yang baik adalah yang tidak mempersulit atau mempermahal mas kawin.

Kini, tidak sedikit dari kaum muslimin yang telah teracuni paham

materialisme. Mereka memandang mahar dengan pandangan materi semata.

Mahar mereka jadikan sebagai asas dalam akad nikah. Padahal sebenarnya

mahar hanyalah sebagai lambang penghormatan terhadap kaum wanita.

Namun ternyata sekarang menjadi tuntutan yang paling utama. Pandangan

8
Dr. Nurjannah, Mahar Pernikahan, Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003, Cet. I, hlm.
27
9
Ibid.
10
DRS. H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang (DIMAS), 1993, Cet.
I, hlm. 81
69

seperti itu sangat bertentangan dengan syariat Islam yang memerintahkan

kepada pemeluknya untuk mempermudah masalah mahar.

Mempermahal mas kawin adalah sesuatu yang dibenci oleh Islam,

karena akan mempersulit hubungan perkawinan di antara sesama manusia.

Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan (wanita yang memasang

mahar terlalu mahal), bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar

itu lebih murah tentu akan memberi berkah dalam kehidupan suami istri

(berumah tangga). Dan mahar yang murah adalah menunjukkan kemurahan

hati si perempuan, bukan berarti malah menjatuhkan harga dirinya.

Dari Aisyah ra. Ia berkata, bahwa Rasulullah Saw, bersabda:

. )(

. . ,


Artinya: Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang
paling murah maharnya. Dan sabdanya pula: perempuan yang baik
hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan
perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka
yaitu maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.
(HR. Ahmad).11

Masih banyak manusia yang tidak mengenal mahar atau maskawin ini,

mereka berpegang dengan adat Jahiliyah. Yaitu seorang ayah menyerahkan

anak gadisnya kepada laki-laki yang berani memberikan jumlah mahar yang

tinggi, sebaliknya menolak menyerahkan anak gadisnya kepada laki-laki yang

11
Sayyid Sabiq, alih bahasa Drs Moh. Thalib, op. cit , hlm. 58-59
70

hanya mampu memberikan mahar dengan jumlah yang sedikit. Sehingga

seakan-akan perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif

dalam etiket perdagangan itu. Perbuatan semacam ini menimbulkan banyak

kegelisahan sehingga laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahayanya,

akan menimbulkan banyak kejahatan dan kerusakan serta mengacaukan dunia

perkawinan sehingga akhirnya yang halal itu lebih sulit untuk dicapai daripada

yang haram (zina).

Masalah nominal mahar, Islam tidak mengatur tentang berapa banyak

dan sedikitnya jumlah mahar tersebut. Dalam hal ini jumlah mahar tergantung

pada keadaan pihak suami serta kedudukan si istri. Kewajiban seorang muslim

agar memberikan mahar atau maskawin kepada wanita yang akan dipersunting

menjadi istrinya terdapat dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 25, dan Ia pun

mengingatkan kaum muslimin agar menikahi wanita dengan seijin walinya

dan membayarkan maskawinnya.

25:
Artinya: Karena itu kawinilah mereka (wanita-wanita) dengan seijin
keluarganya, dan berikanlah kepada mereka maskawinnya.

Dalam kitab terjemahan Kifayatul Akhyar, Syaikh Abu Sujak berkata:


Artinya: Mengenai paling sedikit dan paling banyaknya maskawin tidak ada
batas tertentu.12

12
Imam Taqiyudin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, Penerjamah: K.H. Syarifudin
Anwar dan K.H. Misbah Mustafa, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh), Surabaya: Bina
Insan, t. th, hlm. 135
71

Mahar dalam jumlah yang banyak, adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Seperti dalam QS. an-Nisa ayat 20:

20:

Artinya: Dan kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka
(istri-istri) mahar yang banyak. 13

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa mahar itu dapat ditentukan

(bentuk dan jumlahnya) atau juga bisa tidak ditetapkan. Mahar yang

ditentukan baik bernilai besar ataupun kecil, merupakan jumlah yang

disepakati kedua belah pihak pada saat perkawinan ataupun sesudahnya, itulah

yang sebaiknya, pemberian mahar ini dapat di bayar secara tunai dan bisa juga

ditangguhkan sesuai persetujuan istri. Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-

Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu mengatakan bahwa mahar yang disepakati oleh

pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad

sesudahnya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dimengerti bahwa penetapan

jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan tetapi diperbolehkan

untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan penundaan. Hal ini

tentunya sangat didukung oleh kerelaan kedua belah pihak.14

Hal-hal yang termasuk dalam ke dalam mahar musamma dalam akad

adalah apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat yang

berlaku sebelum pesta pernikahan ataupun sesudahnya, seperti gaun pengantin

atau pemberian yang diberikan sebelum dukhul (bersetubuh) atau sesudahnya.

Karena yang maruf (baik) dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam

13
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 59
14
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., op.cit., hlm. 69-70
72

akad adalah lafdziyah (yang dilafalkan atau diucapkan). Pemberian itu wajib

disebutkan pada saat akad, suami harus menyebutkan kecuali bila disyaratkan

untuk tidak menyebutkan dalam akad.15

Sedangkan mahar yang tak ditentukan adalah merupakan mahar yang

diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang ketentuan besar

kecilnya belum ditetapkan dan bentuknya juga tidak disebutkan. Akan tetapi

mahar ini disesuaikan dengan kedudukan wanita dalam struktur kehidupan

sosial dari segala aspek atau pertimbangan seperti keagamaan, kekayaan,

kecantikan, kepandaian, kesopanan, usia, kegadisan, kejandaan, negeri,

keturunan, dan kemuliaan leluhurnya. Mahar mitsil itu diukur dari perempuan

yang menyerupai istri dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah maupun

ibunya. Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak

ayah, bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Jumlah

mahar atau maskawin yang wajar itu akan tergantung pada kedudukan

seseorang dalam kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu,

dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya, dari satu

masa ke waktu yang lain dan dari satu negeri dengan negeri yang lain.16

Jenis mahar yang dipakai masyarakat Indonesia secara umum adalah

mahar musamma, biasanya ditetapkan bersama atau dengan musyawarah dari

kedua belah pihak. Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati

bersama, dan sunnah tatkala mengucapkan ijab kabul pernikahan, agar para saksi

dapat mendengar secara langsung jumlah dan bentuk dari mahar tersebut.
15
Ibid.,
16
Ibid.
73

Penentuan mahar serta pemberiannya baik dengan cara memberi

kontan atau menangguhkannya adalah suatu hal yang diperbolehkan, akan

tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah ditetapkan ketika ijab kabul

pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah pihak dapat menjadi

tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.17

Tradisi tentang penentuan nominal mahar di Desa Mororejo menurut

penulis termasuk dalam satu dalil di antara dalil-dalil syariyyah dalam agama

Islam, yaitu Urf, yang berarti sesuatu yang dikenal oleh banyak orang dan

menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, atau keadaan

meninggalkan, urf juga disebut sebagai adat18. Oleh karena itulah, para

ulama berkata:


Artinya: Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.19

Sedangkan menurut istilah para ahli syara, tidak ada perbedaan

antara urf dan adat kebiasaan. Urf terbentuk dari saling pengertian orang

banyak, sekalipun mereka berlainan dalam stratifikasi sosial mereka, yaitu

kalangan awam dari masyarakat dan kelompok elit mereka. Urf berbeda

dengan ijma, karena sesungguhnya ijma terbentuk dari kesepakatan para

mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam

membentuknya.20

17
Dr. Nurjannah, op. cit., hlm. 42-43.
18
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Alih Bahasa: Drs. H. Moh. Zuhri,
Dipl. TAFL dan Drs. Ahmad Qarib, MA., Semarang, Dina Utama, Cet.I, 1994, hlm. 123
19
Ibid, hlm. 124
20
Ibid, hlm. 123
74

Penentuan mahar yang berlaku di Desa Mororejo dengan ketentuan

bahwa jumlah mahar yang harus diberikan adalah berjumlah 10 x lipat dari

nominal uang peningset (pengikat) yang diberikan ketika pihak laki-laki

melamar adalah termasuk dalam kategori mahar musamma, walaupun jumlah

besarnya mahar pada masyarakat Desa Mororejo adalah atas permintaan pihak

wanita, tetapi bukan berarti jumlah itu adalah pasti dan tidak dapat berubah.

Bila jumlah mahar yang diminta terasa memberatkan bagi pihak laki-laki,

maka masalah tersebut masih bisa dimusyawarahkan. Berapa-pun jumlah

maharnya adalah didasarkan atas kesepakatan bersama, dan biasanya nominal

mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki selalu dibacakan ketika ijab-kabul

pernikahan agar para saksi dan pihak keluarga mengetahuinya dengan jelas.

B. Analisis Terhadap Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Penentuan Nominal

Mahar di Desa Mororejo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal

Suatu masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang

warga-warganya hidup dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga

menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan satu sistem sosial, yang

menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan internasional

maupun hubungan antar kelompok sosial.21 Perkawinan/pernikahan juga

terlahir dari proses interaksi sosial, di mana laki-laki dan perempuan disatukan

dalam satu ikatan yang mengharuskan mereka untuk bersama-sama

membangun sebuah keluarga yang berlandaskan cinta dan kasih sayang.

21
Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH., MA, Soleman b. Taneko SH. Hukum Adat Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pers, 1981, hlm. 106
75

Dalam pasal 26 Bugerlijk Wetboek, Perkawinan adalah pertalian yang sah

antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.22

Dapat dikatakan, bahwa menurut hukum adat maka perkawinan adalah urusan

kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan

pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda. Dalam

masyarakat hukum yang merupakan satu kesatuan susunan rakyat, ialah

masyarakat-masyarakat dusun dan wilayah, maka perkawinan anggota-

anggotanya itu adalah salah satu peristiwa penting dalam prosesnya masuk

menjadi inti sosial daripada masyarakat itu, maka pribadi masyarakat yang

termasuk dalam ikatan masyarakat hukum akan mematuhi kebiasaan dan

aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. 23

Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu cara untuk

membentengi seseorang supaya tidak terjerumus dalam lembah kehinaan,

disamping itu untuk menjaga dan memelihara keturunan. Selanjutnya,

pernikahan juga merupakan perjanjian suci atau jalinan yang hakiki antara

pasangan suami istri. Hanya melalui pernikahan perbuatan yang sebelumnya

diharamkan bisa menjadi halal, yang maksiat menjadi sebuah ibadah dan yang

lepas bebas menjadi tanggung jawab.24

Suatu perkawinan baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun

dan syarat-syaratnya. Apabila salah satu rukun atau syarat tersebut tidak

22
Prof. Subekti, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1995, Cet.
Ke-27, hlm. 23
23
Mr. B. Ter Haar Bzn. Diterjemahkan oleh: K.Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas Dan
Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001, Cet. Ke-13, hlm 159.
24
Dr. Nurjannah, op. cit., hlm. 13
76

dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap batal. Sedangkan diantara salah

satu syarat tersebut adalah mahar (maskawin), dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dijelaskan bahwa Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh

kedua belah pihak25, dan mahar adalah salah satu dari hak istri yang harus

dipenuhi oleh suaminya selain nafkah lahir maupun batin.

Mahar yang diberikan pada acara akad nikah tersebut dapat juga dinilai

sebagai bukti pendahuluan bahwa setelah berumah tangga nanti, sang suami

akan senantiasa memenuhi tanggung jawabnya, memberi nafkah bagi sang

istri dan keluarganya yang ditunjukkan pada awal pernikahannya dengan rela

hati memberikan sebagian dari hartanya kepada calon yang bakal menjadi

istrinya. Demikian pula sebaliknya, calon istri, dengan kesediaanya menerima

mahar dari calon suami, membuktikan bahwa ia dengan rela hati bersedia

untuk menjadi istri dari calon suaminya, atau ia rela menerima kekuasaan dan

kepemimpinan suami terhadap dirinya26

Praktek penentuan nominal mahar di Desa Mororejo dengan ketentuan

bahwa jumlah mahar adalah sepuluh kali (10 x) lipat dari jumlah peningset

yang diberikan pada waktu lamaran tentunya tidak lepas dari faktor-faktor

yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor ekonomi, pendidikan dan prestise;

25 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998, hlm. 92
26 Ibid, hlm. 26
77

Tinggi rendahnya tingkat perekonomian seseorang tentunya dapat

mempengaruhi segala sesuatu tentang kehidupannya. Dengan

perekonomian yang cukup kuat, maka tentu masyarakat akan lebih mudah

dalam mengakses dunia pendidikan, perekonomian masyarakat desa

Mororejo tergolong maju dan ratarata penduduk Desa Mororejo sudah

mengenyam pendidikan yang cukup. Walau masih ada warga masyarakat

yang masih sangat minim pendidikannya, bahkan tidak pernah

mengenyam bangku pendidikan, mereka adalah orang-orang tua yang

berusia sekitar 50-60 tahun, karena untuk mengakses pendidikan pada

zaman mereka dahulu tidaklah semudah seperti saat ini. Tinggi rendahnya

tingkat pendidikan juga mempengaruhi proses kreatifitas manusia dalam

menjalani kehidupannya, dan tentunya ini berimbas pada kesejahteraan

hidup dan taraf ekonomi. Begitu sebaliknya dengan masalah ekonomi,

dengan perekonomian yang hanya pas-pas-an tidaklah mungkin

masyarakat dapat mampu merasakan pendidikan yang cukup, karena

biaya pendidikan terlalu tinggi bagi mereka. Semakin tinggi pendidikan

seseorang maka semakin luas pula wawasannya tentang segala sesuatu

dan semakin rendah pendidikan seseorang maka wawasannya-pun jelas

sangat kurang.27

Pada pribadi masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah

terdapat hal-hal yang membedakan dengan masyarakat yang cukup

pendidikannya, semisal: pola hidup atau gaya hidup cenderung tidak

27 Wawancara dengan bapak Sugiarto D.J yang Menjabat sebagai Kepala Desa, 20 Mei
2006.
78

modernis. Mereka akan lebih nyaman hidup dalam nuansa adat dan

budaya setempat, daripada harus mengikuti budaya-budaya baru yang

sedikit demi sedikit mulai mengikis kebudayaan asli mereka. Pendirian

dan keyakinan mereka tentang segala sesuatu cenderung kolot dan

patuh terhadap aturan-aturan yang selama ini berlaku pada

masyarakatnya.

Masalah tradisi penentuan nominal mahar bagi mereka adalah

tidak bisa ditinggalkan. Pada masyarakat yang tingkat pendidikannya

rendah tetapi taraf kesejahteraan hidupnya sudah lebih dari cukup,

kebanyakan dari mereka tidak mempermasalahkan besar kecilnya

peningset yang menentukan nominal mahar yang akan diterima oleh

anaknya, bagi mereka yang lebih penting adalah tradisi tersebut tetap

dilaksanakan, bukan besar kecilnya nilai mahar.

Sedangkan pada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah

dan taraf kehidupannya pas-pasan, masalah penentuan mahar ini sering

dijadikan sarana untuk mendapat sesuatu yang lebih. Semisal dengan

meminta mahar dengan nominal yang cukup besar, karena pihak wanita

memang mempunyai hak untuk mengajukan permintaan tentang jumlah

mahar yang nantinya akan ia terima dan mahar sering dijadikan sebagai

hal yang berorientasi pada keuntungan. Hal tersebut tidak berarti bahwa

yang meminta mahar dengan jumlah banyak hanyalah dari masyarakat

yang taraf kehidupannya pas-pasan. Begitu juga yang terjadi pada calon

mempelai perempuan berasal dari keluarga mampu dan berpendidikan


79

cukup tinggi, biasanya mahar yang nantinya akan ia terima lebih tinggi

jumlahnya dari perempuan yang berasal dari keluarga biasa dan

berpendidikan pas-pasan, dan orientasi mereka lebih dari sekedar

mendapat mahar dengan jumlah banyak, melainkan juga untuk

mempertahankan gengsi. Walau tidak semua individu dari masyarakat

bertujuan ingin mendapatkan mahar yang banyak dalam sebuah

pernikahan. 28

Dengan diterimanya mahar dengan jumlah yang cukup banyak,

akan dapat menjadi sebuah kebanggaan (prestise) tersendiri bagi orang

tua pihak wanita dan dari pihak laki-laki-pun akan turut merasa bangga

karena ia mampu memberikan mahar dengan jumlah yang banyak. Bila

pihak laki-laki merasa keberatan dengan jumlah mahar yang diajukan

pihak perempuan, maka masalah besar-kecilnya nilai mahar ini dapatlah

diselesaikan secara kekeluargaan dengan berembug (musyawarah) dan

saling menyatukan kesepakatan yang tentunya bertujuan agar tidak

mengecewakan kedua belah pihak.29

2. Faktor agama dan kebudayaan;

Mas kawin yang dikemas dengan harga mahal kini telah

membudaya di kalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan karena

kebodohan dan kesalahan para orang tua yang menganggap mas kawin

adalah sebagai dasar dalam membangun kehidupan bersuami istri. Karena

28
Sugiarto, Wawancara, ibid.,
29 Wawancara dengan bapak Masrur yang menjabat sebagai Pembantu Modin, 16 Mei
2006.
80

itu, siapa yang lebih besar mas kawinnya, maka dialah yang paling berhak

menikahi anak gadisnya. Dalam masalah keagamaan, masyarakat Desa

Mororejo adalah termasuk masyarakat yang patuh terhadap aturan-aturan

keagamaan. Hal itu dapat terlihat dari ramainya tempat ibadah dan

pengajian-pengajian agama di Desa Mororejo. Dalam masalah penentuan

mas kawin atau mahar, mereka-pun berpegang pada aturan syari yang

mensyaratkan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang tidak bertentangan

dari syariat Islam, baik berupa benda atau materi maupun jasa. Karena

memang tidak ada ketentuan dalam agama yang mengatur bagaimana cara

penentuan mahar, mereka-pun berani memegang adat tentang masalah

jumlah mahar yang ditentukan tersebut, karena agama memang

menyerahkan masalah mahar kepada masing-masing orang sesuai

kemampuan, kebiasaan dan kesepakatan kedua pihak.

Terkait dengan masalah keagamaan, faktor budaya-pun sangat

mempengaruhi mereka dalam masalah mahar dan tradisi yang berlaku di

dalamnya. Menurut salah satu responden, jumlah mahar yang banyak

tidaklah menjadi keharusan, melainkan kelipatan sepuluh (10) dari jumlah

uang peningset itulah yang diharuskan, karena hal tersebut sesuai dengan

kepercayaan mereka, bahwa dengan menetapkan jumlah mahar 10 x

(sepuluh kali) lipat dari jumlah uang peningset, maka kelak bila sudah

berkeluarga maka rezekinya pun akan berlipat,30 tentunya siapa saja

menginginkan kehidupannya dalam kecukupan dan bahagia. Kepercayaan

30 Wawancara dengan bapak Nurkholis, 18 Mei 2006.


81

ini sudah menyatu dengan begitu lekat dalam masyarakat, maka

masyarakat akan mematuhi dan tidak akan meninggalkannya.

Tapi bagi orang tua yang memanfaatkan moment pernikahan

anaknya agar mendapatkan mahar dengan jumlah yang cukup banyak,

mereka akan menyuruh anaknya agar meminta mahar dengan jumlah

yang banyak, maka akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka,

karena anak perempuan mereka bisa mendapatkan mahar lebih banyak

daripada anak perempuan yang lain.31 Seharusnya para orang tua mengerti

dengan benar maksud diwajibkannya membayar maskawin dalam

pernikahan, niscaya mereka tidak akan meminta persyaratan-persyaratan

yang memberatkan yang tidak ada keterangan dan penjelasan dari agama.

Misalnya meminta biaya persiapan pesta pernikahan, baju pengantin,

bekal memasuki rumah tangga, juga termasuk jumlah nominal mahar

dengan ketetapan 10 kali lipat dari uang peningset. Dengan cara

demikian, berarti mereka telah menjerat dan mencekik leher pemuda-

pemuda yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.32 Ketika pihak

laki-laki yang dimintai mahar dengan jumlah yang cukup banyak adalah

berasal dari keluarga yang mampu, jumlah mahar yang banyak tidaklah

menjadi suatu masalah. Bahkan ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri

bagi laki-laki yang sanggup membayar mahar sesuai nominal yang

diminta oleh pihak wanita tanpa harus tawar menawar, dengan begitu ia

31 Wawancara dengan bapak Khozin, 8 Mei 2006.


32 Ahmad Mudjab Mahalli, op. cit., hlm. 158
82

dapat menunjukkan pada keluarga si wanita dan juga kepada masyarakat

bahwa ia akan benar-benar bisa membahagiakan si wanita bila telah

menjadi istrinya kelak.

Sebaliknya bila pihak laki-laki berasal dari keluarga yang pas-

pas-an bahkan tidak mampu, maka jelaslah hal ini dapat membebani

mereka. Hal ini bertentangan dengan pensyariatan pemberian mahar

yang menghendaki kemudahan.

... )(

Artinya: Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang


paling murah maharnya...33

Juga dalam firman Allah, surat al-Baqarah ayat 185 :

185 :

Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak


menghendaki kesulitan bagimu.34

Dari uraian masalah penentuan nominal mahar di Desa Mororejo

dan faktor-faktor terkait di dalamnya yang ditinjau dari hukum Islam,

dengan ketentuan yang berlaku di dalamnya (bahwa mahar harus

berjumlah 10 X lipat dari nominal pemberian peningset). Maka

kesimpulan yang dapat diambil menurut penulis adalah:

33
Sayyid Sabiq, op.cit, hlm 58-59
34
Ibid, hlm. 45
83

a. Praktek penentuan nominal mahar tersebut adalah salah satu bentuk

pengaktualan sebuah kepercayaan dalam hukum adat yang berlaku di

Desa Mororejo, dan tujuan utamanya bukanlah untuk mendapatkan

mahar dengan jumlah yang besar. Mahar yang besar tidaklah menjadi

hal yang utama, melainkan hanya keharusan melipat gandakan 10x

dari jumlah uang yang dijadikan peningset. Seandainya nominal

mahar yang diminta oleh pihak perempuan cukup besar dan pihak

laki-laki merasa keberatan, maka masalah tersebut masih bisa

dibicarakan antara kedua pihak. Walau masalah tersebut dapat

dimusyawarahkan, biasanya pertimbangan dari pihak perempuan-lah

yang seringkali mendominasi hasil musyawarah.

b. Masyarakat Desa Mororejo mempunyai sugesti/keyakinan bahwa

dengan melipatkan jumlah mahar 10 x lipat dari jumlah uang

peningset yang diserahkan pada saat pihak laki-laki melamar, maka

keberuntungan dan rezeki yang nantinya akan diperoleh oleh kedua

mempelai bila sudah hidup bersama dalam kehidupan berumah tangga

akan berlipat-lipat pula. Keyakinan ini nampaknya sudah tertanam

dengan begitu kuat, bahwa dengan tetap menjalankan adat tersebut

maka keselamatan, rezeki yang berlipat dan keberuntungan akan

selalu menyertai kehidupan rumah tangga mereka.

c. Praktek penentuan nominal mahar tersebut tidak bertentangan dengan

pensyariatan mahar dalam Islam, karena Islam tidak menetapkan

kadar atau besar kecilnya mahar karena adanya perbedaan dalam


84

kemampuan, kaya dan miskin, lapang dan sempitnya kehidupan atau

banyak sedikitnya penghasilan. Selain itu, tiap masyarakat

mempunyai adat sendiri-sendiri atau tradisi yang berbeda-beda. Oleh

karena itu Islam menyerahkan masalah kadar mahar tersebut kepada

kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi

keluarganya. Semua nash yang memberikan dalil tentang mahar hanya

bermaksud untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa

menentukan tentang besar kecilnya jumlah.

d. Praktek penentuan nominal mahar di Desa Mororejo yang dapat

menimbulkan permasalahan adalah ketika pihak perempuan meminta

peningset dengan nominal yang cukup banyak, karena jumlah

peningset yang cukup banyak akan mengakibatkan jumlah mahar

yang harus dibayarkan juga banyak, hal tersebut menimbulkan kesan

seakan mas kawin menjadi tujuan pokok dari sebuah pernikahan. Hal

ini jelas sekali bertentangan dengan konsep mahar dalam Islam yang

menghendaki suatu kemudahan dan keikhlasan, mudahnya mahar

tersebut juga bertujuan supaya tidak menyulitkan untuk bersatunya

antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan. Hal

tersebut juga bertentangan dengan isi dari pasal 31 Kompilasi Hukum

Islam yang berbunyi : Penentuan mahar berdasarkan atas asas

kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh Islam.

Anda mungkin juga menyukai