Anda di halaman 1dari 7

Reviewer Sayyida Islamiya Laksmi Puteri [17800020]

Judul Money, money, money how do attitudes toward money impact vanity and
materialism? the case of young Chinese consumers
Penulis Srinivas Durvasula and Steven Lysonski
Tujuan Untuk memahami sikap terhadap uang di China dan bagaimana sikap
tersebut mempengaruhi unsur-unsur perilaku konsumen seperti
materialisme dan kesombongan.
Rumusan Bagaimana sikap terhadap uang mempengaruhi materialisme dan
Masalah kesombongan.
Pembahasan Simmel (1997) dalam bukunya The Philosophy of Money
menggambarkan secara detail bagaimana uang membentuk mentalitas
konsumen baik dalam tindakan mereka dan dalam jiwa mereka. Menurut
Simmel, uang memainkan peran sosiologis besar pada interaksi sosial dan
budaya suatu masyarakat. Saat ini di China, uang memiliki peran penting
dalam perkembangan hedonisme (Johansson, 2001).
Uang dapat membuat seseorang menjadi lebih berkembang dan ada
kemungkinan terjadinya pemborosan yang disebabkan oleh gengsi pemilik
uang tersebut yang mana hal tersebut membuat uang memiliki lebih dari
sekedar arti ekonomi seperti memiliki makna sosial yang memungkinkan
konsumen untuk meniru satu sama lain dalam pemilihan dan penggunaan
barang-barang konsumsi mereka (Doyle, 1999).
China mengalami metamorfosis pasar yang telah direncanakan oleh
pemerintah yaitu pasar yang berorientasi pada konsumen. Hal tersebut dapat
berpengaruh pada cara berpikir konsumen. Rosen (2004) mengatakan dalam
suatu penelitian hampir 50% orang China merasa uang sama pentingnya
atau bahkan lebih penting dari persahabatan dan uang sama pentingnya atau
bahkan lebih penting dari sebuah ide. Orang dengan pendapatan tinggi
memiliki daya beli yang sangat besar yang memungkinkan mereka untuk
membeli apapun yang mereka inginkan dari mobil mahal sampai apartemen
mewah. Orang-orang kaya tersebut menjadi panutan pemuda China untuk
memiliki gaya hidup yang mewah dan hedonisme. Rosen (2004)
menyatakan, hal tersebut membuat pemuda China termotivasi untuk
mencari uang, mendapatkannya, kemudian memamerkannya.
The Psychology of Money
Sebanyak 75% dari remaja menyatakan dengan tegas bahwa alasan
terpenting mereka belajar di perguruan tinggiadlah untuk menghasilkan
uang yang lebih banyak (Roberts dan Jones, 2001). Menjadi sangat mampu
secara finansial telah menjadi pola pikir utama mahasiswa. Meskipun
beberapa konsumen beranggapan bahwa uang adalah hal negatif yang dapat
merusak, banyak konsumen lain yang menginginkan uang dan
mengaguminnya (Freud, 1959). Bagi pengagum uang, kekurangan uang
menjadi ancama bagi keselamatan mereka, sehingga menimbulkan depresi
dan kekosogan (Abraham, 1965).
Memahami sikap uang menjadi penting karena hal tersebut membentuk
perilaku manusia, terutama pada kebiasaan konsumen belanja, ideologi
politik, dan sika mereka terhadap lingkungan (Roberts, 1999). Menurut
Tang (1992), sikap orang terhadap uang dapat mempengaruhi kinerja
mereka, sistem penghargaan, dan motivasi intrinsik mereka dalam
melakukan tugas apapun. Sikap uang juga berdampak pada kepuasan gaji
bagi karyawan yang dibayar rendah dan tinggi (Thozhur, 2006). Sikap uang
juga mepengaruhi motivasi masyarakat, kesejahteraan, dan hubungan
interpersonal. Contohnya pengusaha menggunakan uang sebagai alat untuk
memotivasi karyawan mereka karena uang secara signidikan mempengaruhi
perilaku karyawan, kinerja dan efektivitas organisasi (Tang, 2000).
Konsumen China berhubungan positif dengan pembelian kompulsif.
Konsumen yang paling rentan terhadap pembelian kompulsif adalah orang
dewasa muda saat ini. Mereka dibesarkan dalam budaya hutang dan
kepuasan instan seperti pengajuan kartu kredit. Di luar pembelian
kompulsif, sikap uang juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi
kecenderungan psikologis lain di kalangan konsumen. Uang tidak hanya
sebagai simbol kekayaan karena dapat memungkinkan seseorang untuk
memuaskan motif-motif lain. Secara khusus sikap uang derkait dengan
tingkat materialisme seseorang. Materialisme adalag keyakinan akan
pentingnya materi untuk identitas, tujuan, dan tujuan dalam hidup.
Money Attitudes.
Konseptualisasi terbaik dan pengukuran sikap uang adalah skala yang
dikembangkan oleh Yamuchi dan Templer (1982). Mereka menangkap
esensi dari berbagai makna uang dalam skala sikap uang mereka (money
attitude scale / MAS). Skala ini telah divalidasi sebagai skala multidimensi
dengan empat dimensi penting sebagai berikut:
1. Power prestige : penilaian tertinggi pada dimensi adalah penggunaan
uang sebagai alat untuk mempengaruhi dan mengesankan orang lain
dan sebagai simbol kesuksesan;
2. Retention time : penilaian tertinggi pada dimensi ini adalah
merencanakan keuangan masa depan dan memantau kondisi
keuangan dengan teliti.
3. Distrust : penilaian tertinggi pada dimensi ini adalah curiga dan ragu-
ragu mengenai situasi yang melibatkan uang dan memiliki
kurangnya kepercayaan dalam kemampuan mereka untuk membuat
efisien keputusan pembelian.
4. Anxiety : penilaian tertinggi pada dimensi ini adalah mereka menilai
uang adalah sumber kecemasan atau sumber perlindungan dari
kecemasan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur sikap uang menggunakan
MAS yang valid dalam literatur. Karena fokus penelitian terhadap orang
dewasa muda, maka retention time yang berhubungan dengan
perencanaan tidak relevan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian
ini hanya memeriksa power prestige, distust, dan dimensi enxiety dari sekala
MAS. Penelitian ini mengklasifikasikan konsumen menjadi tiga kelompok :
1. Orang-orang yang melihat uang sebagai alat untuk mendapatkan
kekuasaan.
Konsumen ini tanpa ragu mengunakan uang untuk mengesankan atau
mendominasi orang (Goldberg dan Lewis, 1978). Salah satu caranya adalah
dengan membeli barang-barang material yang mana membuat status sosial
mereka menjadi kuat. Roberts (1998) menemukan hubungan yang kuat
antara status sosial yang terkait dengan pembelian kompulsif.
2. Orang-orang yang menunjukan kecurigaan dan ketidakpercayaan
ketika berhadapan dengan uang
Konsumen ini cenderung memiliki ketrampilan terbatas dalam
melakukan pembelian. Konsumen ini biasanya sensitif dengan harga.
3. Orang-orang yang menganggap uang sebagai sumber kecemasan
dan sebagai pelindung dari kecemasan
Konsumen ini terlibat dalam pembelian kompulsif untuk meringankan
kecemasan mereka secepatnya. Melarikan diri dari kecemasan adalah
motivator utama kosumen yang menunjukan perilaku pembelian adiktif.
Materialism and Money Attitudes
Materialisme dapat dikonsepkan dengan berbagai cara, termasuk
pengabdian kepada kebutuhan materi dan keinginan sebagai pola pikir yang
terfokus pada mendapatkan sesuatu. Terdapat penelitian yang menunjukan
bahwa konsumen yang menggunakan uang sebagai alat kekuasaan lebih
memilih barang-barang material untuk menunjukan kekuatan sosial mereka.
Konsumen tipe 1 menggunakan uang untuk menampilkan gengsi mereka
melalui harta yang mereka miliki seperti rumah mahal, mobil, perhiasan,
dan sejnisnya. Selain itu, konsumen dengan orientasi seperti itu juga dapat
memanjakan cita-cita materialistis mereka karena uang merupakan sarana
untuk akuisisi material. Konsumen tipe 2, mereka yang materialistis tetapi
tidak memiliki cukup uang untuk memanjakan diri atau memuaskan
kecenderungan materialistis measa tidak memadai dan cemas bahwa mereka
tidak dapat membeli apa yang mereka ingin miliki. Sebaliknya, konsumen
tipe 3 tidak mungkin menghabiskan sebagian besar uang mereka untuk
pembelian. Mereka adalah konsumen yang cenderung curiga dan meragukan
mengenai situasi yang melibatkan uang dan tidak percaya bahwa
menghabiskan uang adalah hal yang baik.
Achievment Vanity and Money Attitude
Kesombongan dapat dengan mudah dilihat ketika konsumen
mengginakan konsumsi sebagai cara untuk menunjukan status dan
keberhasilan. Konsumen ini menampilkan keberhasilan atau status dengan
mengkonsumsi produk atau jasa dengan cara mencolok. Di China, banyak
orang yang beranggapan bahwa keinginan untuk memiliki status sosial
adalah hal yang bagus dan keberhasilannya ditandai dengan mengkonsumsi
barang mewah. Uang dipandang sebagai tanda keberhasilan.
Populasi dan Data dari penelitian ini adalah konsumen muda di China. Sebanyak 127
Sampel konsumen menjadi sampel dalam penelitian ini. Rata-rata usia 20,5 tahun
dan 55% adalah laki-laki.
Hasil Sikap terhadap uang di China tidak monolitik; Sebaliknya ada variasi
kalangan muda China. Materialisme dipengaruhi oleh dimensi kekuatan-
prestise dan kecemasan, tetapi tidak dipengaruhi oleh dimensi
ketidakpercayaan sikap uang. Pencapaian kesombongan dipengaruhi oleh
dimensi kekuatan-prestise sikap uang.
Implikasi Besar pengaruh uang terhadap materialisme dan kesombongan
seseorang berbeda-beda. Hal tersebut bergantung pada perilaku konsumen
dalam melakukan pembelian. Swastha dan Handoko (2000:27) membagi
teori perilaku konsumen menjadi empat jenis, yaitu :
1. Teori ekonomi mikro
Dalam teori ini menjelaskan bahwa keputusan untuk membeli
merupakan perhitungan ekonomis rasional yang sadar. Pembeli
individual berusaha menggunakan barang-barang yang akan
memberikan kegunaan/kepuasan paling banyak, sesuai dengan
selera dan harga-harga relatif.
2. Teori psikologis
Teori ini mendasari faktor-faktor psikologis individu untuk selalu
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lingkungan, yang merupakan
penerapan dari teori-teori bidang psikologis dalam menganalisa
perilaku konsumen.
3. Teori sosiologis
Teori ini lebih menitik beratkan pada hubungan dan pengaruh
antara individu-individu yang dikaitkan dengan perilaku mereka
yang jadi lebih mengutamakan perilaku kelompok daripada
perilaku individu.
4. Teori anthropologis
Teori ini menekankan pada tingkah laku pembelian dari suatu
kelompok tetapi kelompok yang diteliti adalah kelompok
masyarakat luas antara lain kebudayaan, subkultur, dan kelas-kelas
sosial.
Perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian yang
dilakukan oleh konsumen elewati lima tahapan yaitu pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi informasi, pembelian dan pasca pembelian.
Menurut Kotler (2000), faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku
pembelian konsumen adalah faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor
personal, dan faktor psikologi :
1. Faktor kebudayaan
Fsktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan
mendalam terhadap perilaku konsumen. Seperti kelompok ras,
agama, dan daerah geografis. Sebagai contoh konsumen yang
beragama islam, dalam islam sifat materialisme, kesombongan dan
hedonisme sangat dilarang. Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat
7-8 :





Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak
percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan
dunia serta merasa tentram dengan kehidupan dunia itu dan orang-orang
yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah Neraka,
disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.
2. Faktor sosial
Perilaku seorang konsumen yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial seperti keluarga, serta status sosial konsumen tersebut.
3. Faktor pribadi
Keputusan seorang konsumen juga dipengaruhi oleh karakteristik
pribadi seperti usia, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya hidup, dan
kepribadian konsumen tersebut.
4. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang utama adalah motivasi, persepsi,
pengetahuan serta keyakinan dan sikap seseorang.
DAFTAR PUSTAKA

Alquran dan Terjemahan

Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Swastha, Basu dan Handoko. 2000. Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai