Tujuan Pengobatan
1. Mencegah meluasnya trombosis dan
2. Timbulnya emboli paru
3. Mengurangi morbiditas pada serangan akut
4. Mengurangi keluhan post flebitis
5. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli
1. Mencegah meluasnya trombosis
a. Pemberian heparin standart
b. Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
c. Pemberian Oral Anti Koagulan Oral
a. Heparin
Heparin 5000 bolus ( 80 IU/kgBB) lanjut dgn drips konsitnus 1000 1400 IU/jam
(18IU/kgBB), selanjutnya tgt hasil APPT. 6 jam kemudian diperiksa APPT u/
menentukan dosis dgn target control 1,5 2,5 kontrol.
Bila APPT 1,5 2,5 x control dosis tetap
Bila APPT < 1,5 x control dinaikkan 100 150 IU/jam
Bila APPT > 2,5 x control dosis diturunkan 100 IU/jam
Dapat diberikan 7 10 hr dilanjutkan dgn heparin dosis rendah 5000
IU/subkutan, 2 kali sehari atau pemeberian antikoagulan oral, selama min. 3 bln.
Pemberian antikoagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin
karena antikoagulan oral efektif sesudah 48 jam. Mekanime dari obat ini adalah :
Low dose: Inactivates factor Xa and inhibits conversion of prothrombin to
thrombin
High dose: Inactivates factors IX, X, XI, and XII and thrombin and inhibits
conversion of fibrinogen to fibrin
Inhibits activation of factor VIII
b. Low Molekular Weight Heparin
Preparat yg tersedia di Indonesia :
Enoxaparin (Lovenox)
(Nandoparin Fraxiparin)
Enoxaparin
1 mg/kg SC q12hr
Mekanism : inhibits factor Xa by increasing inhibition rate of clotting proteases that
are activated by antithrombin III
c. Antikoagulan Oral Warfarin
Dosis : 6 8 mg (single dose) pd malam hr. Dosis dapat di naikkan/dikurangi
tergantung dari hasil INR ( International Normolized Ratio). Target INR adalah : 2,0
3,0. Lama pemberian : 3-6 bulan. Kontraindikasi dari obat ini adalah :
Hipertensi: sistolik > 200 mmHg, distolik >120 mmHg.
Perdarahan yg baru di otak
Alkoholisme
Lesi perdarahan traktus digestif
ILA
diperlukan
untuk melatih
kesadaran
dan pengetahuan
seorang
penerbang/awak pesawat dalam menghadapi bahaya penerbangan. Dibawah ini adalah beberapa
macam latihan Aerofisiologi :
1. Hypobaric chamber
Hipobarik Bertambahnya ketinggian dari permukaan laut menyebabkan penurunan
tekanan udara, konsentrasi oksigen & suhu udara. Hipobarik chamber sebuah ruangan
simulasi ketinggian dimana terdapat keadaan penurunan tekanan udara yang akan di alami
seseorang pada saat didaerah ketinggian yang jauh dari permukaan laut. Didalam ruangan ini,
nantinya para individu akan merasakan berbagai perubahan akibat perbedaan tekanan dan
volume gas, diantaranya yaitu :
Hypoxia/hyperventilation : 15.000- 25.000 feet
Trapped gas problem : gejala bends dan chokes (25.000-35.000 feet)
Evolved gas Problem : gejala berat karena emboli gas di ketinggian >35.000feet
Tujuan dilakukannya hypobaric chamber adalah :
Pengenalan terhadap gejala hipoksia
Pelatihan terhadap para penerbang untuk penyesuaian dengan ketinggian dan kondisi
darurat O2
Improve kinerja awak kapal.
2. Human centrifuge
Merupakan sarana pelatihan dan seleksi terhadap awak pesawat (penerbang) dalam hal
simulasi gaya G (G forces) yang biasa mereka hadapi dalam manuver- manuver aerobik
pesawat tempur. Prosedur dilakukan dengan memasukan penerbang kedalam ruangan yang
mirip kabin simulasi pilot, lalu ruangan tersebut nantinya akan diputar dengan cepat Alat ini
dapat menghasilkan gaya sentrifugal terhadap tubuh manusia sampai dengan 8G (8 kali gaya
tarik bumi).
Penerbangan Komersial
Pada saat melakukan penerbangan, terdapat kenaikan dan penurunan ketinggian, dimana
kenaikan atau penerunan tersebut akan memiliki berbagai dampak. Beberapa hal akibat dari tekanan
turun yaitu akan terjadi hipoksia trapped Gas (pada ear, sinus, stomach & intestine, dan gigi yang
berlubang), hipotermi, DCS, dan Noise and vibration.
Tekanan kabin dibuat seperti pada zona fisiologis manusia (sea level 10k feet) Rata-rata
tekanan kabin itu sama dengan tekanan pada ketinggian 6.500 8000 feet (0,78-0,74 atm)
Beberapa macam dari penyakit pada penerbangan komersial adalah Economy class syndrome
( Nama lain dari DVT ), trauma deselerasi aorta (terjadi karena tidak pakai sabuk pengaman dan
tidak duduk tegak saat take off atau landing), Jet lag, dan Motion sickness.
Penyakit yang dipertimbangkan jika menggunakan transpotasi udara adalah sebagai berikut :
1. Telinga tengah :
Otitis media dan sinusitis akut
Operasi telinga tengah (stapedoktomi)
2. Saluran pencernaan :
Operasi abdomen, harus melewati 10 hari setelah operasi
Perdarahan sal. cerna yang bisa dipicu oleh peregangan GI (3 weeks)
Ileostolosis dan kolostom (take extra bags and dressing)
3. Bedah thoraks :
Harus melewati 3 minggu
Pneumotoraks (dikontrol Xray)
4. Cranium
Terperangkapnya udara dalam cranium (terlihat dengan Encephalography), minimal 7
hari.
Fraktur tengkorak memanjang sampai ke sinus
Beberapa masalah yang baisanya ditemukan dalam evakuasi medik udara adalah sebagai
berikut :
1. Keterlambatan pesawat
2. Rute & cuaca
3. Alat tidak lengkap
4. Korban belum stabil/memburuk
Prosedur penanganan awal apabila ditermukan korban gawat darurat harus mengenali ciri dari
henti jantung-paru dan pemeriksaan awal pada pasien melakukan pemeriksaan secara fisik dan
segera lakukan ABC apabila pasien tidak sadar. Macam-macm alat penunjang medisnya adalah :
Resusitasi set+oksigen
Ambu bag
Set intubasi
Suction apparatus
Tensimeter
Cairan infus & infus set
IV catheter & CVP set
Alat balut membalut
Peralatan fiksasi & spalk
Vacuum matras
Alat suntik
Minor surgery set
Stomach probe
ECG portable & defibrillator
Pengungisan Medik Udara juga memiliki tim yang terbagi-bagi tugasnya, yaitu :
Tim PMU I di pangkalan awal
o Siapkan form, kartu, label
o Siapkan ambulans & rute
o Seleksi korban
o Siapkan obat/alkes
o Siapkan makanan
o Rencana penempatan pasien
o Siapkan kondisi fisik & mental pasien
o Jemput PMU II base ops
o Angkut pasien & bantu loading
o Serahkan form adm pd tim PMU II
o Buat laporan
Tim PMU II di dalam pesawat terbang selama penerbangan
o Ikut pre flight briefing
o Periksa pasien
o Rencana penempatan pasien
o Terima log & adm
o Beri obat & makanan pasien
o Tukar tandu
o Briefing pasien
o Loading pasien
o Lapor kapten pnb
o Laks rawat di udara & catatan medis
o Hub PMU I 1 jam sebelum mendarat
o Serahkan log & adm pada PMU III
o Unloading pasien
o Buat laporan
Tim PMU III di pangkalan udara tujuan
o Siapkan tempat rawat
o Siapkan ambulance & rute jalan
o Siapkan tenda AES 12 dgn alkesnya
o Terima log & adm dari PMU II
o Bantu unloading
o Stabilisasi pasien yg gawat
o Bawa pasien dgn amb ke rumah sakit
o Buat laporan
DVT terjadi ketika terbentuk gumpalan darah di vena, biasanya di kaki. Sometimes part of the
clot breaks off and travels through the bloodstream to your lungs. This is called a Pulmonary
Embolism, or PE, and can be fatal. Prevalensi dari penyakit ini sekitar 350.000 hingga 900.000
kasus per tahun.
Faktor resiko dari penyakit ini adalah
Recent serious injury such as a broken bone
Recent surgery
Sitting or lying down for long periods of time
Having active cancer
Having a family history of blood clotting disorders
Being pregnant or recently giving birth
Taking birth control that contains estrogen (such as pills, patches, or rings) or hormone
replacement therapy
Being over age 65
Being overweight
Sitting during travel longer than 4 hours
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri pada kaki dan edema dan adanya
beberapa faktor resiko terjadinya trombosis vena dalam seperti pada umur lanjut, obesitas,
infeksi, immobilisasi, penggunaan kontrasepsi, tembakau, dan perjalanan dengan pesawat terbang
serta adanya riwayat trauma. Berdasarkan pemeriksaan fisis didapatkan :
Edema yang biasanya unilateral
Nyeri dan nyeri tekan pada kaki
Distensi vena
Demam
Flegmasia cerulean dolens
Flegmasia alba dolens
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Darah
a. Tes D-dimer
Plasma D-dimer adalah spesifik turunan dari fibrin, yang dihasilkan ketika fibrin
terdegradasi oleh plasmin, jadi konsentrasinya meningkat pada pasien dengan
tromboembolisme vena. Walaupun sensitive untuk tromboembolisme vena, konsentrasi
yang tinggi D-dimer tidak cukup spesifik untuk membuat suatu diagnosis karena d-
dimer juga dapat meninggi pada kelainan seperti keganasan, kehamilan dan setelah
operasi.
2. Imaging (pencitraan)
a. Venografi
Merupakan suatu pemeriksaan gold standard untuk menegakkan diagnose
trombosis vena dalam dengan menggunakan kontras. Prosedur ini invasif tetapi
resikonya kecil terhadap suatu reaksi alergi atau trombosis vena.
b. CT-Scan dan MRI
Dengan Ct-Scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena dalam dan jaringan
lunak sekitar tungkai yang membengkak. Sedangkan MRI sangat sensitif dan dapat
mendiagnostik kecurigaan adanya trombosis pada vena iliaka atau vena cava inferior.
c. Ultrasonografi
Merupakan suatu pemeriksaan yang non invasif, tetapi ultrasonografi bukan suatu
pemeriksaan yang memuaskan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena pada
tungkai. Ultrasonografi mempunyai tiga teknik dalam penggunaannya sebagai berikut:
Kompresi ultrasound : dengan memberikan tekanan pada lumen pembuluh darah jika
tidak ada sisa lumen saat dilakukan tekanan ini mengindikasikan bahwa tidak adanya
trombosis pada vena.
Dupleks ultrasonografi : karakteristik aliran darah dinilai dengan menggunakan
pulsasi signal Doppler. Aliran darah yang normal terjadi secara spontan dan fasik
dengan pernapasan. Ketika pola fasik tidak ada, ini mengindikasikan adanya
obstruksi dari aliran vena.
Colour flow duplex : menggunakan teknik dupleks ultrasonografi tetapi dengan
tambahan warna pada Doppler sehingga dengan mudah mengidentifikasi pembuluh
darah.
Penatalaksanaan
Terapi ditujukan pada upaya menghentikan proses koagulasi darah, mencegah terjadinya
emboli paru, dan pembentukan trombus baru, diberikan heparin intravena atau trombolitik selama
beberapa hari, dan sediaan penghambat agregasi trombosit atau warfarin selama beberapa bulan.
Pencegahan terjadinya tromboemboli vena terdiri dari pemberian antikoagulan kepada penderita
risiko tinggi misalnya heparin subkutis dosis rendah. Penanganan trombosis vena dalam secara
umum terbagi atas :
a. Antikoagulan
Penanganan trombosis vena dalam tergantung atas lokasi trombus. Trombus pada vena
tungkai dapat ditangani tanpa antikoagulan, khususnya jika trombus berkembang sebagai
akibat kejadian yang tidak teridentifikasi seperti trauma atau pembedahan. Trombus vena
dalam pada daerah proksimal tungkai harus ditangani dengan antikoagulan untuk
mencegah penyebaran trombus dan emboli paru. Terapi dimulai dengan menggunakan
heparin secara intravena, dengan tujuan mencapai APTT lebih dari dua kali waktu control.
b. Pembedahan
c. Bebat stoking
Pasien dengan trombosis vena dalam harus memakai bebat stoking dan rata-rata
menurunkan angka kejadian terjadinya sindrom post trombotik. Pemakaian ini dianjurkan
karena dapat meringankan rasa nyeri dan bengkak.
Komplikasi
1. Perdarahan diakibatkan oleh penggunaan terapi antikoagulan.
2. Emboli paru
Ini dapat terjadi beberapa jam maupun hari setelah terbentuknya suatu bekuan darah pada
pembuluh darah di daerah tungkai. Gejalanya berupa nyeri dada dan pernapasan yang singkat.
3. Sindrom post trombotik
Terjadi akibat kerusakan katup pada vena sehingga seharusnya darah mengalir keatas
yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai bawah. Ini mengakibatkan nyeri,
pembengkakan dan ulkus pada kaki.
Prognosis
Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi emboli
paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi angka kematian
dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali
HIPOKSIA
Hipoksia didefinisikan sebagai keadaan berkurangnya suplai oksigen (O2) ke jaringan hingga
di bawah kadar fisiologis walaupun perfusi jaringan oleh darah masih adekuat. Berkurangnya
ketersediaan O2 ini akan mengakibatkan gangguan pada metabolisme tubuh dan homeostasis sel
serta menyebabkan kerusakan jaringan. Salah satu efek hipoksia adalah aktivasi tambahan
mekanisme produksi radikal bebas. Mekanisme tersebut berhubungan dengan gangguan fungsi
tubuh yang juga ditemui pada berbagai penyakit.
Mekanisme
Hipoksia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, di antaranya
1. Hipoksia anemik
2. Intoksikasi karbon monoksida (CO)
3. Hipoksia respiratorik
4. Hipoksia sekunder akibat ketinggian
5. Hipoksia sirkulatoris
6. Hipoksia yang spesifik organ
7. Peningkatan kebutuhan O2
CONCIOUSNESS).
Ketika kita bepergian ke daerah yang tinggi, tubuh kita mulai membentuk respon fisiologis.
Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua kali lipat walaupun saat
istirahat. Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung memompa lebih kuat untuk
mendapatkan lebih banyak oksigen. Sel darah merah dan kapiler lebih banyak diproduksi untuk
membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan bertambah ukurannya untuk memfasilitasi osmosis
oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi otot yang memperkuat transfer
gas.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses terhadap
ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru yang lebih besar
Epidemiologi
Penyakit ini bervariasi dalam frekuensi kejadian dan berat ringannya tergantung pada faktor-
faktor berikut :
1. Ketinggian, lama di ketinggian, dan kecepatan naik semakin tinggi, semakin lama di
ketinggian, dan semakin cepat naik ke ketinggian menyebabkan semakin tinggi insiden
penyakit dan semakin berat derajat penyakit.
2. Umur dan bentuk badan
Semakin tua dan semakin tinggi IMT menyebabkan semakin tinggi insiden penyakit.
3. Kegiatan fisik
Semakin banyak kegiatan fisik cenderung menyebabkan semakin mudah mengalami
penyakit ini.
4. Kepekaan individual
Kepekaan individu yang berbeda-beda menyebabkan insiden penyakit dekompresi yang
berbeda berdasarkan kepekaan individu tersebut.
Klasifikasi
Dysbarism dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Karena pengembangan gas dalam rongga tubuh (barotitis media, barosinusitis, aerodentalgia).
Golongan ini sering juga disebut : Pengaruh mekanis pengembangan gas-gas dalam rongga
tubuh atau pengaruh mekanis akibat perubahan tekanan sekitar tubuh.
2. Karena penguapan gas yang terlarut didalam darah (bends, chokes)
Kelompok ini bisa juga disebut penyakit dekompresi, sehingga kadang mengaburkan
pengertian penyakit dekompresi yang digunakan orang untuk istilah pengganti dysbarism.
2. Telinga
Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan dalam telinga tengah menjadi lebih
besar dari tekanan di luar tubuh, sehingga akan terjadi aliran udara dari telinga tengah ke luar tubuh
melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian terjadi dengan cepat, maka usaha
mengadakan keseimbangan tidak cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga
tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat merobekkan selaput gendang. Kelainan
ini disebut aerotitis atau barotitis.
Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu ketinggian berkurang, bahkan lebih sering
terjadi, karena pada waktu turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan di luar
sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah, sedang muara tuba eustachii di tenggorokan
biasanya sering tertutup sehingga menyukarkan aliran udara.
Bila ada radang di tenggorokan/ISPA, lubang tuba Eustachii makin sempit sehingga lebih
menyulitkan aliran udara melalui tempat itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya barotitis
menjadi lebih besar.
Post Flight Ear Block kejadian barotitis pada waktu selesai terbang tinggi saat sedang tidur
pada malam harinya. Terjadi karena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus selama
penerbangan sampai mendarat, sehingga udara yang masuk ke telinga tengah kaya akan oksigen.
Oksigen ini akan diserap oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup sehingga
tekanan udara luar menimbulkan rasa sakit. Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah :
a. Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar tidak terlalu besar selisih tekanan
antara udara luar dengan telinga tengah.
b. Menelan ludah pada waktu pesawat udara naik agar tuba Eustachii terbuka dan mengadakan
gerakan Valsava pada waktu pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan
hidung kemudian meniup dengan kuat.
c. Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit saluran pernapasan bagian atas.
d. Penggunaan pesawat udara dengan pressurized cabin.
Tindakan represif pada kelainan ini, bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan :
a. Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil menelan ludah berulang ulang
sampai hilang gejalanya. Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat diturunkan
kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi.
Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan :
a. Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava berulang sampai gejalanya hilang. Bila
usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali sampai rasa sakit hilang, kemudian
datar lagi untuk sementara. Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat
diturunkan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava terus menerus.
3. Sinus Paranasalia
Bila kecepatan naik atau turun sangat besar, maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga
sinus dan udara luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit sinus yang disebut
aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi
pada waktu naik maupun turun.
4. Gigi
Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam gigi, tetapi pada gigi yang rusak
kemungkinan terjadi kantong udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada proses
aerotitis dan aerosinusitis, pada kantong udara di gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit.
Rasa sakit ini disebut aerodontalgia.
gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan tubuh akan keluar sebagian dari larutannya
Patofisiologi
peningkatan ketinggian
penurunan tekanan barometer
peningkatan volume gas inert
peningkatan konsentrasi gas inert dalam jaringan yang sementara
supersaturasi sementara
tubuh berusaha membuat keseimbangan baru dengan mengirim kelebihan gas ke vena dan
Jet Lag volume gas yang berlebih keluar secara difusi melalui paru-paru
Jet lag adalah sekumpulan gejala-gejala yang dihubungkan dengan zona waktu dan irama
(gagal)
disebabkan oleh
ketidakcukupan waktu untuk membuat keseimbangan baru antara lingkungan internal
tubuh dan lingkungan eksternal tubuh
aeroembolisme
sirkadian, dan berdampak terhadap fisik,mental dan emosional. Jet lag memiliki ciri
ketidaksesuaian yang sementara antara endogen sirkardian tidur/bangun dan lingkungan fisik
eksternal yang mengarah pada perubahan waktu. Kriteria diagnostik dari jet lag disorder, Menurut
American Academy of Sleep Medicines adalah :
Adanya keluhan insomnia atau tidur yang berlebihan yan berkaitan dengan transmeridian
jet travel yang melewati sedikitnya dua daerah dengan waktu yang berbeda.
Adanya gangguan fungsi sehari-hari, lemas, gejala somatik seperti gangguan
gastrointestinal selama satu atau dua hari setelah melakukan perjalanan.
Gangguan tidur yang tidak dapat dijelaskan dengan baik dengan gangguan tidur tertentu
lainnya, kelainan medis atau neurologi, kelainan mental, penggunaan obat-obatan, atau zat
tertentu.
Penyebab
Caused by the sudden creation of a large difference between the internal clock and the external
world
Our bio-rhythms need 1 day to adjust to each time zone crossed
Pada saat terjadinya ketidaksesuaian sirkardian, perjalanan yang cukup panjang dapat
menimbulkan terjadinya rasa lelah yang menumpuk, dan ketidakcukupan tidur dari duduk selama
waktu yang panjang, biasanya karena posisi yang tidak nyaman menyebabkan keram.
Faktor resiko
Sleep can be disrupted in other ways when travelling.
Worry about the flight/trip may cause disrupted sleep the night before a journey
Long trip to get to the airport before the holiday starts
Alcohol and coffee intake
Noise, uncomfortable seating, low oxygen in the cabin and annoying passengers
Etiologi
Perbedaan sinyal yang diterima oleh otak dari mata dan organ keseimbangan lain ( Telinga &
Proprioseptiv)
Perbedaan sinyal disebabkan karena penyesuain terhadap perubahan gerakan yg terjadi oleh mata
lebih cepat dibandingkan telinga yang lebih lama sering diprovokasi oleh gerakan yang secara
tiba-tiba, seperti saat diperjalanan yang tidak rata, penerbangan yang berputar, pelayaran yang
bergelombang.
Telinga bagian dalam (sistem vestibular), berkaitan dengan keseimbangan dan posisi tubuh.
Kemungkinan besar, faktor inilah yang paling penting ketika seseorang mengalami mabuk
perjalanan. Telinga bagian dalam juga membantu kita untuk mengontrol rasa keseimbangan
(Equilibrium) dan gerakan. Yang kemudian akan mengirimkan informasi ke otak dan otak
memberitahukan bagian manakah dari tubuh kita yang harus gerakan yang kita alami untuk
menjaga keseimbangan yang tepat. Ketika telinga kita merasa seperti keluar keseimbangan,
mabuk gerakan dapat terjadi. Sistem vestibular membantu Otak kita untuk menentukan :
a. Apakah sedang bergerak maju dan mundur (seperti ketika berjalan).
b. Apakah sedang mengalami percepatan atau perlambatan (seperti ketika berada dalam mobil
yang sedang digas atau direm).
c. Apakah sedang beralih/berputar/berbelok dari satu sisi ke sisi lainnya (seperti ketika pesawat
terbang beralih dari satu sisi ke sisi lainnya).
d. Apakah Anda sedang bergerak ke atas atau ke bawah (seperti mendaki atau menuruni tangga).
e. Apakah Anda merasakan efek gravitasi atau tidak (yang Anda alami saat naik lift).
Visual
Komponen kedua yang menentukan posisi dan gerakan tubuh kita adalah mata. Mata membantu
otak kita menentukan di mana lokasi tubuh kita dengan melihat benda-benda di sekitarnya. Contoh
Ketika berada di dalam ruangan kapal yang tidak ada jendela. Telinga bagian dalam merasakan
dan memberitahukan kepada otak bahwa tubuh sedang bergerak tetapi mata memberitahukan tidak
ada pergerakan tubuh (karena tidak melihat sesuatu yang bergerak tanpa adanya jendela). Perbedaan
input inilah sebagai salah satu penyebab mabuk gerakan.
Proprioseptor (Proprioceptors/Proprioception)
Komponen ketiga yang membantu menentukan apakah tubuh kita sedang diam atapun bergerak
adalah proprioseptors. Impuls propriosepsi berasal dari tendo, otot dan rasa raba mekanis. Impuls
ini terutama didapatkan dari otot dan tendo spinal untuk menyokon postur tubuh terutama bagian
leher (mengatur posisi kepala). Contoh ketika membaca dalam mobil yang sedang melaju. Input
equilibrium mata dan propriosepsi mengatakan bahwa tubuh sedang dalam kondisi diam tapi
percepatan gerakan linear mobil membuat macula utriculus aktif dan memberikan informasi ke pusat
bahwa tubuh sedang bergerak. Perbedaan inilah yang mengganggu system equilibrium tubuh dan
menciptakan vertigo.
Faktor Resiko
Berada di mobil, kapal laut, pesawat
Mudah mual / muntah
Rasa takut dan cemas yang tinggi
Ventilasi yang sedikit dalam kendaraan
Duduk dikursi belakang atau manapun yang tdk dpat melihat jendela
Gejala & Tanda (Gejala yang dirasa dapat singkat ataupun berlangsung lama. Paling lama 72 jam)
Rasa tdk nyaman diperut
Mual, muntah
Hipersalivasi
Pucat, Keringat Dingin
Sakit kepala,
pusing (vertigo),
Rasa tegang di mata,
Malaise,
Tidak mampu bekonsentrasi,
Penglihatan kabur,
Kebingungan,
Perubahan denyut jantung& TD
Ketakutan, panik
Penatalaksanaan
1. Antikolinergik
a. Scopalamine
Obat antimuskarinik
A : diserap baik pada usus
Dapat menembus kulit
Diserap sangat cepat : dengan onset -1 jam SSP
Lebih efektif dan cocok untuk megobati gejala sedang- berat
2. Antihistamine Dimenhydrinate, Cyclizine, Meclizine, Promethazine
a. Difenhidramin
Antihistamin generasi pertama. Efeknya menghambat reseptor H1 pada reseptor perifer, dan
menekan stimulasi vestibular yang dipengaruhi oleh gerakan. Pilihan untuk motion sickness.
Dosis 50-100mg PO/ IM / IV tiap 4-6 jam kalau diperlukan. Efek sampingnya adalah Sedasi
dan mulut kering
Pencegahan
Dengan cara menghindari dan membangun adaptasi terhadap situasi yang meprovokasi motion
sickness, seperti :
Hindari membaca saat dalam perjalanan dan tidak duduk di kursi yang menghadap ke
belakang
Posisikan tubuh dimana mata selalu dapat melihat gerakan yang sama dengan yang dirasa
oleh tubuh dan telinga
Minum banyak air dan Atur ventilasi udara
Minum obat-obatan antimotion sickness 30-60 menit sebelum perjalanan
Jika terlanjur mual, makanlah biskuit atau minuman berkarbonasi