Nutrisi Pda Pasien Krtis Dan Stemi
Nutrisi Pda Pasien Krtis Dan Stemi
karena sebagian pasien telah mengalami suatu periode sakit dengan asupan nutrisi yang buruk
dan terjadi penurunan berat badan. Pada hampir semua pasien yang sakit kritis, dijumpai
anoreksia atau ketidak mampuan makan karena kesadaran yang terganggu, sedasi, ataupun
karena intubasi jalan nafas bagian atas. Tujuan sokongan nutrisi bagi pasien sakit kritis (The
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition) adalah :
1. Menyediakan sokongan nutrisi yang konsisten dengan kondisi medis pasien dan
ketersediaan rute pemberian nutrient
2. Mencegah dan mengatasi defisiensi makro dan mikronutrien.
3. Menyediakan dosis nutrien yang sesuai dengan metabolism yang telah ada.
4. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan teknik pemberian nutrisi.
5. Meningkatkan outcome pasien; mengurangi morbiditas, mortalitas dan waktu penyembuhan
Sokongan nutrisi bagi pasien sakit kritis dapat secara enteral maupun parenteral. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga penentuannya harus melihat dan
mempertimbangkan semua aspek yang ada kasus per kasus. Selain itu jumlah, perhitungan
kalori, jenis nutrien, serta saat pemberian juga mempengaruhi keadaan pasien secara
keseluruhan.
Nutrisi Parenteral
Nutrisi total atau tambahan melalui rute vena pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi
kebutuhan nutrisi sehari-hari melalui rute enteral.
Indikasi
Kegagalan percobaan nutrisi enteral dengan feeding tube usus halus dan kondisi saluran cerna
seperti yang tercantum dalam kontraindikasi nutrisi enteral
Kontraindikasi
Hiperglikemi berat, azotemi, ensefalopati, hiperosmolalitas, dan abnormalitas berat cairan dan
elektrolit.
Komplikasi
Hiperglikemi (mungkin karena fungsi imunitas yang terganggu), komplikasi akses vena (segera:
pneumothoraks, trauma vaskuler, hemothoraks; lambat: infeksi, sepsis).
Etiologi
Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
Penyempitan aterorosklerotik
Trombus
Plak aterosklerotike
Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak
Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
Penurunan darah koroner melalui yang menyempit
Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.
Gejala klinis
Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih
benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung 20
menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat,
pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.
Bisa atipik: Pada manula: bisa kolaps atau bingung. Pada pasien diabetes: perburukan
status metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada. Sebagian besar
pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung koroner yang diketahui . 50% tanpa
disertai angina.
Komplikasi
Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses inidisebut remodeling
ventikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami
dilatasi.
Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark : slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya, terjadi pula
pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang didisprosional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan
lokasi infark, dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks ventikrel kiri yang yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat
dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi < 40 %
tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus diberikan.
Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal ( 10 hari infark ) dan sesudahnya. Tanda klinis
yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.
Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
Gagal jantung
Syok kardiogenik
Perluasan IM
Emboli sitemik/pilmonal
Perikardiatis
Ruptur
Ventrikrel
Otot papilar
Kelainan septal ventrikel
Disfungsi katup
Aneurisma ventrikel
Sindroma infark pascamiokardias
PENATALAKSANAAN
Infark Miokard Akut (IMA) dibagi 2 berdasar gambaran EKG yaitu IMA dengan elevasi
segmen ST dan IMA dengan non elevasi segmen ST. Pada IMA dengan elevasi ST
mempunyai indikasi untuk dilakukan obat trombolitik sedangkan yang non elevasi ST obat
trombolitik tidak indikasi
Terapi Trombolitik
Obat intravena trombolitik mempunyai keuntungan karena dapat diberikan melaluin
veana perifer. Sehingga terapi ini dapat diberikan seawal mungkin, dikerjakan
dimanapun (rumah, mobil ambulan, helikopter dan unit gawat darurat) dan relatif
murah.
Mekanisme kerja obat trombolitik melalui konversi inactive plasmin zymogen
(plasminogen) menjadi enzim fibrinolitik (plasmin). Plasmin mempunyai spesifitas
lemah terhadap fibrin dan dapat melakukan degradasi terhadap beberapa protein yang
mempunyai ikatan arginyl-lysyl seperti fibrinogen. Karena itu plasmin dapat
menyebabkan fibrin (nogen) lisis (systemic lytic state) yang menyebabkan
kecenderungan perdarahan sistemik. Dalam pengembangan obat trombolitik dibuat obat
trombolitik generasi kedua yang mempunyai sifat spesifik terhadap fibrin yang bekerja
pada permukaan fibrin. Plasmin hanya bekerja pada klot fibrin dengan melalui
hambatan alpha2-antiplasmin.
Direkomendasikan penderita infark miokard akut <12 jam yang mempunyai
elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB) deberikan IV fibrinolitik jika
tanpa kontra indikasi. Sedangkan penderita yang mempunyai riwayat perdarahan intra
kranial, stroke atau perdarahan aktif tidak diberikan terapi fibrinolitik. Dosis
streptokinase diberikan 1,5 juta IU diberikan dalam tempo 30-60 menit.
PTCA Primer
Pada penderita IMA, angioplasty primer secara khusus dengan stenting koroner dan
pemberian glikoprotein IIb/IIIa inhibitor akan memberikan hasil baik. Beberapa
penelitian random, kontrol mendukung bahwa PTCA primer lebih efektif dibanding
trombolitik. Rekomendasi PTCA primer sebagai alternatif terhadap terapi trombolitik
dilakukan pada pusat PTCA yang lengkap dan didukung ahli dalam prosedur PTCA
primer dengan pengalaman mencukupi.
Terapi Antiplatelet
Aspirin
Aspirin mempunyai efek menghambat siklooksigenase platelet secara ireversibel.
Proses tersebut mencegah formasi tomboksan A2. Pemberian aspirin untuk
penghambatan agregasi platelet diberikan dosis awal paling sedikit 160 mg dan
dilanjutkan dosis 80-325 mg per hari. pemberian dosis aspirin yang lebih besar akan
mengakibatkan perdarahan pada gastrointestinal. Aspirin mempunyai keterbatasan
pada agregasi platelet karena lemah menghambat aktivasi platelet oleh adenosine
dipospat dan kolagen.
Tiklopidin
Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin yang efektif sebagai pengganti aspirin
untuk pengobatan angina tidak stabil. Mekanismenya berbeda dengan aspirin.
Tiklopidin menghambat agregasi platelet yang dirangsang ADP dan menghambat
transformasi reseptor fibrinogen platelet menjadi bentuk afinitas tinggi.
Clopidogrel
Clopidrogel merupakan derivat tienopiridin baru. Clopidogrel mempunyai efek
menghambat agregasi platelet melalui hambatan aktivasi ADP dependent pada
kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Efek samping clopidogrel lebih sedikit dibanding
tiklopidin dan tidak pernah dilaporkan menyebabkan neutropenia.
Antagonis Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Antagonis glikoprotein IIb/IIIa menghambat reseptor yang berinteraksi dengan
protein-protein seperti fibrinogen dan faktor von willebrand. Secara maksimal
menghambat jalur akhir dari proses adesi, aktivasi dan agregasi platelet. Telah
dikembangkan tiga kelas penghambat glikoprotein IIb/IIIa yaitu antibodi murine-
human chimeric (abciximab), bentuk synthetic peptide (eptifibatide) dan bentuk
synthetic nonpeptide (tirofiban dan lamifiban).
Asuhan keperawatan
Diagnosa
o Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai dengan keluhan
nyeri dada.
o Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan
ketakutan, gelisah dan perilaku takut
Intervensi
Intervensi untuk diagnose gangguan nyeri.
Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari.
o Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari.
o Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam waktu 3
hari.
Intervensi:
o Kaji lokasi, karakter, dura durasi, dan intensitas, nyeri, dengan menggunakan
skala nyeri 0 (tidak nyeri) sampai 10 (nyeri hebat). Kaji gejala berkaitan, seperti
mual dan diaporesis.
o Kaji dan catat TD dan FJ dengan episode nyeri. TD dan Fj dapat meningkat
karena randsang simpatis atau menurun karena iskemia dan fungsi jantung
menurun.
o Berikan obat nyeri yang diprogramkan (biasanya morfin sulfat): catat kualitas
pengurangan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, dan tentukan interval
waktu danri pemberian sampai penghilangan nyeri.
o Tenangkan pasien selama episode nyeri; temani pasien bila mungkin.
o Observasi dan laporkan efek samping dari obat nyeri: hipotensi, FP lambat, sulit
miksi.
o Berikan O2 sesuai program, biasanya 2-4 L/menit per kanula nasal.
o Siapkan pasien untuk pindah UPK. (Unit Perawatan Kritis)