ANEMIA
2. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) klasifikasi anemia yaitu :
a. Anemia Mikrositik Hipokrom
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di
Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang
(ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang pada seseorang dengan
makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai
malnutrisi, baru akan terjadi anemia.
2. Anemia Penyakit Kronik.
Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi,
seperti infeksi ginjal, paru-paru (abses, empiema dll), inflamasi
kronik (artritis reumatoid) dan neoplasma.
b. Anemia Makrositik
1. Defisiensi Vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik terjadi karena
gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter
autoimun, namun di Indonesia penyebab anemia ini adalah karena
kekurangan masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak
berat.
2. Defisiensi Asam Folat
Anemia defisiensi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi
terjadi di seluruh saluran cerna. Gejalanya yaitu perubahan
megaloblastik pada mukosa, mungkin dapat ditemukan gejala-gejala
neurologis, seperti gangguan kepribadian.
c. Anemia karena perdarahan
1. Perdarahan akut akan timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup
banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari
kemudian.
2. Perdarahan Kronik biasanya sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui
pasien. Penyebab yang sering adalah ulkus peptikum dan perdarahan
saluran cerna karena pemakian analgesik.
d. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunn usia sel darah merah ( normal
120/hari). Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu
mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek.
3. Etiologi
Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1. Kehilangan sel darah merah
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah
trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan
lain-lain.
b. Hemolisis yang berlebihan
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah
(kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada
keadaan :
1) Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell
anemia)
2) Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
3) Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada
sferositosis herediter dan eliptositosis
4) Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase (Price,
2006).
2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
c. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum
tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan
toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.
Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi)
pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat
beberapa faktor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel
darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem
fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan
limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk
dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel
darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan
bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5
mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera (Smeltzer & Bare. 2002 : 935 ).
d. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari
berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan
neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku,
anorexia (badan kurus), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal
pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi
epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia
dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini,
bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya
sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga
dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa
menyebabkan stroke atau serangan jantung (Price, 2000).
Area Manifestasi klinis
Keadaan umum Pucat , penurunan kesadaran, keletihan
berat , kelemahan, nyeri kepala, demam,
dipsnea, vertigo, sensitive terhadap
dingin, BB turun.
Kulit Jaundice (anemia hemolitik), warna kulit
pucat, sianosis, kulit kering, kuku rapuh,
koylonychia, clubbing finger, CRT > 2
detik, elastisitas kulit munurun,
perdarahan kulit atau mukosa (anemia
aplastik)
Mata Penglihatan kabur, jaundice sclera,
konjungtiva pucat.
Telinga Vertigo, tinnitus
Mulut Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis,
perdarahan gusi, atrofi papil lidah,
glossitis, lidah merah (anemia deficiency
asam folat)
Paru paru Dipsneu, takipnea, dan orthopnea
Kardiovaskuler Takikardia, lesu, cepat lelah, palpitasi,
sesak waktu kerja, angina pectoris dan
bunyi jantung murmur, hipotensi,
kardiomegali, gagal jantung
Gastrointestinal Anoreksia, mual-muntah,
hepatospleenomegali (pada anemia
hemolitik)
Muskuloskletal Nyeri pinggang, sendi
System persyarafan Sakit kepala, pusing, tinnitus, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot,
irritable, lesu perasaan dingin pada
ekstremitas.
(Bakta, 2003)
e. WOC (Terlampir)
f. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa anemia antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.
b. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak
langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi
hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100
fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom <
27 pg dan makrositik > 31 pg. \
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat
pada kolom morfology flag.
d. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka
dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV
rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan
dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
e. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
f. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin
jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi
serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran
mutlak status besi yang spesifik.
g. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai
besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan
terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun
pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada
studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya.
Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin
dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa
diikat secara khusus oleh plasma.
i. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara
luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum
feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap
sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum
feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan
jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah
pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah
pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat
sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada
wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/ l
selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan
suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat
juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit
hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau
Essay immunoabsorben (Elisa).
2. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis
sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-
sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak
ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya
sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang
memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang
adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk
mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.
g. Komplikasi
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang.
Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-
pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung
juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada
kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan
dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir
dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan
organ-organ tubuh, termasuk otak. Anemia berat, gagal jantung kongesti
dapat terjadi karena otot jantung yang anoksik tidak dapat beradaptasi
terhadap beban kerja jantung yang meningkat. Selain itu dispnea, nafas
pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan
manifestasi berkurangnya pengurangan oksigen (Price &Wilson, 2006).
h. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Memberikan diet TKTP
b) Memberikan diet gizi serat, dan buah buahan yang cukup
c) Mengawasi kegiatan anak
d) Memberikan oksigen
e) Memonitor hasil laborat (Hb dan Ht)
f) Memberikan transfusi (setelah kolaborasi dengan dokter)
2. Penatalaksanaan Medis
1) Anemia mikrositik hipokrom
a. Anemia defisiensi besi
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada
ankilotostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat fe:
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia meliputi :
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan dipsneu, takikardia
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
O2 ke otak ditandai dengan penurunan kesadaran, nyeri kepala
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (asam laktat)
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan
/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
ditandai dengan mual-muntah, anoreksia, penurunan BB
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan
6. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau
penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)
7. Konstipasi berhubungan dengan perubahan proses pencernaan