Anda di halaman 1dari 6

Pada praktikum kali ini praktikan akan melakukan percobaan Tes

Provokasi hiperventilasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana kerja sistem


pengaturan pernapasan melalui Tes Provokasi Hiperventilasi.Organ yang berperan
penting dalam proses pernafasan adalah paru-paru (pulmo). Fungsi paru-paru
ialah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.
Pada pernapasan melalui paru-paru atau externa, oksigan dipungut
melalui hidung dan mulut, pada waktu bernapas ; oksigen masuk melalui trakhea
dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat hubungan dengan darah di dalam
kapiler pulmonalis. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan
metabolisma, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli
dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinapaskan keluar melalui hidung
dan mulut.
Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau
pernapasan externa adalah :

a) Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli
dengan udara luar.

b) Arus darah melalui paru-paru

c) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat dari
setiapnya dapat mencapai semua bagian tubuh.

d) Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler.

CO2 lebih mudah berdifusi dari pada oksigen. Semua proses ini diatur
sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat
CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak darah datang di paru-paru
membawa terlalu banyak CO22 dan terlampau sedikit O2 : jumlah CO2 itu tidak
dapat dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini
merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan
dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi yang dengan demikian terjadi
mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2 .
Dalam praktikum kali ini pertama tama praktikan menyiapkan alat dan
memilih probandus. Pada tahap pertama praktikan menghitung frekuensi
pernafasan normal seorang probandus dengan menggunakan sebuah stopwatch,
pada tahap kedua probandus diminta melakukan inspirasi semaksimal mungkin
dan menahannya selama 20 detik, kemudian melakukan ekspirasi dan praktikan
akan menghitung frekuensi pernafasannya. Pada tahap ketiga, probandus
melakukan inspirasi dan ekspirasi dalam dan cepat selama sekurang-kurangnya 20
detik, dan praktikan menghitung frekuensi pernafasannya.
Selama inspirasi, tekanan di alveoli harus lebih rendah dibandingkan
tekanan atmosfer. Selama ekspirasi, tekanan di alveoli harus lebih tinggi
dibandingkan tekanan atmosfer. Melalui tes ini, terbukti bahwa tinggi rendahnya
frekuensi pernapasan dapat dipengaruhi kadar CO2 atau ion Hidrogen dalam paru-
paru.
Pada perlakuan pertama pobandus melakukan inspirasi dan ekspirasi
normal dan didapat hasil 29 kali per menit. Pada perlakuan kedua, frekuensi napas
probandus setelah menahan napas selama 20 detik, didapat hasil 37 kali per menit.
Terjadi peningkatan frekuensi napas dari nafas normal, dikarenakan oleh
menumpuknya konsentrasi CO2 dalam darah. Karena CO2 bersifat toksik pada
tubuh maka tubuh berusaha mengeluarkannya secepat-cepatnya, konsentrasi CO2
yang tinggi merangsang chemoreseptor pada aorta dan arteri carotic yang
merangsang pusat pernapasan untuk melakukan ekspirasi secepat-cepatnya.
Karena itulah frekuensi napas setelah menahan napas menjadi lebih cepat.
Pada perlakuan ketiga, frekuensi napas probandus setelah napas dalam dan
cepat selama 20 detik, adalah 36 kali per menit. Pada perlakuan ketiga udara yang
diambil atau diinspirasikan melebihi kebutuhan difusi, menyebabkan saluran
respiratoris menjadi penuh oleh udara, hal inilah yang menyebabkan udara
inspirasi berikutnya terlambat masuk karena saluran respiratorius penuh udara.
Lambatnya masuknya udara pada saluran respiratory, akhirnya membuat frekuensi
napas berikutnya menjadi melambat.
Dari praktikum ini, praktikan diharapkan mampu memahami aspek mekanik
dan fisiologik pernapasan, sebagai dasar untuk memahami berbagai kelainan yang
timbul pada sistem pernapasan akibat gangguan aspek tersebut, memahami
pengertian berbagai fungsi statik dan dinamik paru, mekanisme yang mendasari
proses terjadinya difusi gas antara udara alveoli dan darah kapiler paru,
mekanisme pengendalian pernapasan normal serta berbagai faktor yang
mempengaruhi.
Pada pernapasan biasa, pusat saraf dorsal akan melepaskan sinyal inspirasi
ritimis (yang teratur). Pelepasan sinyal2 inspirasi ritmis ini belum diketahui
penyebabnya. Sinyal inspirasi yang dilepaskannya ini berupa sinyal yang landai
(ramp signal), gunanya supaya inspirasi terjadi secara perlahan dan dapat
meningkatkan volume paru dengan mantap, sehingga kita tidak bernapas
terengah-engah. Perlu diingat lagi bahwa sinyal-sinyal ini akan dihantarkan ke
paru dan otot2 diafragma melalui saraf2 motorik pernapasan
Setelah pusat dorsal melepaskan sinyal inspirasi yang landai tersebut, pusat
pneumotaksik akan mentransmisikan sinyal ke area inspirasi. Efek utama di sini
adalah mengatur titik penghentian inspirasi landai, dengan demikian mengatur
lamanya proses inspirasi. Kalau sinyal pneumotaksik ini kuat, inspirasi dapat
berlangsung hanya dalam 0,5 detik, akibatnya volume inspirasi juga sedikit; kalau
sinyal pneumotaksik ini lemah, inspirasi dapat berlangsung terus selama 5 detik
bahkan bisa lebih, akibatnya volume inspirasi menjadi banyak sekali
Kalau sinyal inspirasi landai itu telah berhenti, maka paru secara otomatis
akan mengalami fase ekspirasi. Paru-paru kita mempunyai suatu sifat istimewa
yakni elastis dan punya daya lenting. Jadi ekspirasi ini terjadi sebagai imbas dari
inspirasi, dimana disini udara yang keluar tentunya telah bertukar dengan CO2.
Tegasnya, ekspirasi tenang yang normal, murni disebabkan akibat sifat elastis
daya lenting paru dan rangka toraks
Kalau kita bernapas lebih dalam, disini baru terjadi peranan dari kelompok
saraf pernapasan bagian ventral. Sedangkan pada pernapasan tenang yang normal,
kelompok saraf ventral ini inaktif. Bila rangsangan pernapasan guna
meningkatkan ventilasi paru menjadi lebih besar dari normal, sinyal respirasi yang
berasal dari mekanisme getaran dasar di area pernapasan dorsal akan tercurah ke
neuron pernapasan ventral
Akibatnya, area pernapasan ventral turut membantu merangsang pernapasan
ekstra. Rangsangan area ventral ini berupa rangsangan listrik yang menyebabkan
inspirasi dan juga ekspirasi. Tetapi yang paling penting disini adalah sinyal untuk
ekspirasi, karena sinyal2 ini langsung dihantarkan dengan kuat ke otot-otot
abdomen selama ekspirasi yang sangat sulit. Intinya, pernapasan ventral ini
gunanya sebagai pendorong bila dibutuhkan ventilasi paru yang lebih besar,
khususnya selama latihan fisik berat .
Ada berbagai penyakit pernafasan yang kita jumpai saat ini.
Penyakitpernapasan telah menimpa umat manusia dari zaman awal. Informasi
tentang transmisi dan evaluasi mereka pro- vided oleh data historis dan studi
paleopathological. Penilaian jenis penyakit cukup sulit karena penyakit terutama
terkait dengan jaringan lunak, yang hancur dalam sampel arkeologi. Namun, jejak
jaringan paru dapat diawetkan dengan mumifikasi. [4]
Analisis bahan dari mumi Mesir telah menunjukkan, misalnya,
pneumoconiosis yang disebabkan oleh pekerjaan di dusty mines (Roberts, 2007).
Namun, bahan skeletal lebih sering dianalisis dari sisa-sisa mumi. Dalam hal ini,
mation informal dapat diperoleh dari jejak berbagai penyakit tersisa di fragmen
tulang. Temuan termasuk malformasi di kandang dada yang mempengaruhi fungsi
sistem pernafasan ini, tulang rusuk dan patah tulang num ster- yang bisa
berpotensi menyebabkan cedera jaringan paru, dan tanda-tanda TBC maju. Bukti
tuberkulosis telah ditemukan dalam bahan sangat tua dari kerangka Neolitik
tanggal untuk 4500 SM, pada mumi Mesir tanggal untuk 2000. [4]
Kelainan dan penyakit tertentu pada saluran pernapasan bagian atas dapat
diidentifikasi oleh penilaian tengkorak makroskopik, dan pemeriksaan radiologi
dan endoskopi sinus paranasal. Nasal septum kelengkungan adalah salah satu
kelainan yang paling umum. Ini telah didiagnosis dengan frekuensi yang sama di
kontemporer dan lebih tua populasi (Takahashi, 1977; Mays, 2012). [4]
Studi pada kembar identik telah menunjukkan bahwa posisi septum hidung
sangat ditentukan oleh faktor genetik (Grymer et al., 1991), tetapi frekuensi
meningkat septum kelengkungan dari bayi menuju masa dewasa, sering sebagai
akibat dari cedera (al Qudah, 2008;. Reitzen et al, 2011). Hubungan antara hidung
septum kelengkungan dan sinusitis paranasal, terutama di sinus maksilaris, telah
ditemukan pada populasi kontemporer. [4]
Hubungan-kapal ini juga telah dipelajari untuk populasi sejarah (Mays,
2012). Kondisi peradangan dapat menyebabkan berkurangnya pneumatisasi sinus
dan perubahan struktur elemen tulang mereka. Itis Sinus- dikaitkan dengan
kerusakan tulang dan pembentukan neoplastik proses tulang dan lubang-lubang.
Luas proliferasi tulang juga dapat dideteksi gambar X-ray konvensional dan CT
scan, tetapi dalam gen- eral teknik ini memiliki nilai diagnostik yang terbatas.
Penilaian makroskopik dari sinus terbuka atau penilaian endoskopi dinding sinus
memiliki peran yang menentukan di sini (Roberts, 2007). Kombinasi berbagai
teknik investigasi ketika organ-organ sistem paru tidak tersedia, seperti halnya
dengan analisis bahan tulang, memungkinkan untuk penilaian parsial
kondisinya.[4]
Banyak hal yang menyebabkan penyakit pernafasan misalnya Kondisi
lingkungan tertentu, seperti panas, dingin, tinggi-ketinggian, iklim gurun, serta
polusi kimia dan biologis dari kedua atmosfer dan tanah, bersama-sama dengan
over-tenaga, pembatasan makanan, kurang tidur, dan stres psikologis dapat semua
hasil di perubahan dalam sistem kekebalan tubuh dan terjadinya penyakit yang
berhubungan. [5]
Penyakit pernapasan adalah salah satu masalah kesehatan yang paling
umum di antara personil militer berpartisipasi dalam pelatihan tempur atau
dikerahkan untuk operasi di daerah-daerah yang ditandai dengan kondisi iklim
dan sanitasi sulit. Mereka adalah, oleh karena itu, salah satu alasan utama untuk
personil militer yang memerlukan perawatan penyandang dan rumah sakit. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk membahas pengaruh faktor lingkungan dan
kondisi di mana tugas aktif dilakukan pada perubahan sistem kekebalan tubuh dan
terjadinya penyakit saluran pernapasan di lingkungan militer. [5]
Personel Militer dikerahkan untuk operasi di medan perang dan
berpartisipasi dalam pelatihan tempur beresiko tertular gejala pernapasan, serta
penyakit akut dan kronis. Penyakit pernapasan akut adalah alasan prinsip untuk
perawatan pasien keluar-dan rawat inap di antara personil militer, dengan kejadian
yang melebihi penduduk sipil dewasa hingga tiga kali lipat. [5]
Adenovirus, influenza A dan B virus, Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus pyogenes, coronavirus dan rhinovirus telah diidentifikasi sebagai
penyebab utama infeksi ratory respi- akut di antara penduduk militer (Wang et al,
2010;. Gray et al, 1999. ). Meskipun agen infektif telah extension sively
dipelajari, proporsi yang signifikan dari penyakit (lebih dari 40%) telah
disebabkan oleh agen penyebab yang tidak diketahui (O'Shea et al., 2007).
Kemampuan diagnostik terbatas di dalam area operasi membuat sulit untuk secara
akurat memperkirakan jumlah yang tepat dari penyakit pernapasan (VonFeldt et
al, 2012;.. Helmer et al, 2007). [5]

Anda mungkin juga menyukai