Anda di halaman 1dari 3

Kepulauan Tanakeke, sebuah gugusan kepulauan yang terdiri dari 12 pulau-pulau kecil yang terletak

disebelah barat daya Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kepulauan Tanakeke terkenal dengan
(green belt) bentangan sabuk hijau mangrove nya, yang membentang ratusan hektare mengelilingi pulau-
pulau di Tanakeke. Bahkan pada tahun 1990, terdapat kawasan mangrove seluas 3.166,7 hektare di
Kepulauan Tanakeke1. Namun akibat semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan juga kebutuhan
hidup disana, kawasan mangrove di Kepulauan Tanakeke juga ikut terancam.

Informasi dari Yayasan Hutan Biru (YHB) / Blueforest, hutan mangrove di kawasan ini banyak berkurang
karena penebangan liar untuk kayu bakar/arang kayu, konversi lahan mangrove menjadi tambak yang
dimulai sejak era 1980-an yang didukung program Intensifikasi Tambak (Intam) oleh pemerintah serta
ancaman terbaru yang secara tidak langsung juga ikut mengancam kesatuan ekosistem di Tanakeke yaitu
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang sedang di dorong Pemda Sulsel yang
menjadikan kawasan laut di sekitar Tanakeke dan pesisir Kabupaten Takalar sebagai tambang pasir laut
untuk mega proyek reklamasi CPI (Center Point of Indonesia) di Makassar. Menurut Direktur YHB Yusran
Nurdin Massa, 60% rusaknya kawasan mangrove di Sulsel dan khususnya di Tanakeke akibat dari konversi
lahan menjadi tambak. Ironisnya tambak-tambak yang saat ini sudah tidak produktif lagi ditelantarkan
begitu saja, padahal sudah mengorbankan kawasan mangrove dengan cukup besar.

Gambar 1. Foto Kawasan Mangrove di Kepulauan Tanakeke, dokumentasi YHB pada 6 Desember 2016

Banyak program yang sudah masuk untuk tujuan merestorasi kawasan mangrove, tidak hanya di Tanakeke
tetapi juga di banyak wilayah di Indonesia. Pola pikir yang banyak berkembang di program restorasi
mangrove di Indonesia adalah dengan penanaman, padahal dengan hanya melakukan penanaman maka

1
Chandra AP Sihotang, Analisis Luasan Hutan Mangrove di Kepulauan Tanakeke Propinsi Sulawesi Selatan
Menggunakan Citra Landsat- FMIPA UNSRI (diakses dari https://www.scribd.com/doc/97148486/Analisis-Luasan-
Hutan-Mangrove-Di-Kepulauan-Tanakeke# 17 September 2017)
masalah rusaknya kawasan mangrove tidak serta merta terselesaikan. Dari diskusi dengan YHB di
Makassar, beberapa cerita kesuksesan restorasi di kawasan mangrove di Tanakeke justru dengan program
peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir nya. Dengan mengajak serta masyarakat setempat,
memberikan pelatihan praktik-praktik budidaya yang baik dan organik, serta mencarikan alternatif
pengasilan bagi masyarakat setempat selain dengan mengkorversi mangrove menjadi tambak dan arang
kayu. Dengan adanya program ini, paling tidak masyarakat tidak berkeinginan lagi untuk ekspansi lebih
luas lagi kawasan mangrove nya. Dan sembari program ini berjalan, restorasi kawasan mangrove juga
dilakukan, tentunya dengan pendekatan lingkungan. Pendekatan yang dimaksud adalah, merestorasi
lahan tambak terlantar untuk dijadikan hutan mangrove lagi namun tidak langsung ditanam bibit
mangrove begitu saja. Campur tangan manusia disini hanya sebatas pembuatan parit atau kanal tempat
air pasang surut mengalir. Bibit mangrove akan secara alami tumbuh seiring terbawa arus pasang surut
yang berasala dari pohon induknya. Proses yang sejatinya berjalan alami ini malah akan meningkatkan
survival rate bibit mangrove karena sudah tumbuh di zona/areal yang seusai dengan habitatnya. Berbeda
jika penanaman dilakukan secara konvensional dengan tidak melihat zonasi pasang surut air laut, bibit
mangrove tidak akan tumbuh dengan baik bahkan mati kemudian karena dipaksakan untuk ditaman di
wilayah yang bukan zonasinya.

Gambar 2. Proses Restorasi Mangrove Secara Alami, dan pembuatan parit/kanal arus pasang surut air laut. Dok.YHB 2016

Selain akibat tambak, kawasan mangrove di Tanakeke juga terancam akibat aktivitas pabrik arang kayu
yang dimiliki segelintir warga. Menurut penelusuran YHB, saat ini terdapat paling tidak 7 pabrik
pengolahan kayu mangrove menjadi arang. Padahal, di Tanakeke terdapat kearifian lokal maupun Perdes
yang sudah disahkan sejak 2015. Perdes ini menjadi rambu-rambu bagi masyarakat setempat maupun
luar daerah untuk tidak merusak dan mengambil pohon mangrove di Tanakeke. Kearifan lokal yang ada
disana juga memiliki aturan tersendiri, yang mengaruskan pembayaran pajak jiwa atau sima yang wajib
dibayarkan setiap orang yang terpaksa mengambil kayu mangrove kepada gallarang2. Mangrove yang
ditebang pun yang terletak dibagian tengah kelompok mangrove, sehingga lambat laun akan tumbuh
kembali karena adanya pohon induk disekitarnya.

Gambar 3. Aktivitas Penebangan Mangrove, dijual untuk kayu bakar dan pabrik arang kayu. Dok. Wahyu Chandra/Mongabay
2013

Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk penyelamatan kawasan mangrove yaitu:

Stop Konversi hutan mangrove (tambak, kayu bakar/arang)


Mendorong pemerintah untuk menjalankan kebijakan green belt mangrove
Mengupayakan rehabilitasi mangrove yang tepat zona, spesies dan habitatnya serta melibatkan
masyarakat
Perbaikan tatakelola kawasan konservasi mangrove (TN, suaka marga satwa dan cagar alam)
Restorasi tambak terlantar untuk dijadikan hutan mangrove kembali

2
Gallarang merupakan sebutan untuk pemerintah lokal setempat, saat ini setingkat dengan pemerintah
kecamatan

Anda mungkin juga menyukai