Anda di halaman 1dari 26

Pengertian Atonia Uteri

Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam
15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri(plasenta telah
lahir). Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium
uterus untuk berkontraksi dan memendek. Atonia Uteri adalah suatu
kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi
maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi
tidak terkendali.

Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri


Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca
persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
1. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya
:
Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
Kehamilan gemelli
Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang
pada preeklamsia atau eklamsia.
8. umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam
usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus.

Manifestasi Klinis
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Tanda dan gejala atonia uteri
1. perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes.
Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai
gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai
anti pembeku darah
2. konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya
3. fundus uteri naik
4. terdapat tanda-tanda syok
a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. pucat
d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)

Diagnosis Atonia Uteri


Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi
yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000
cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap
dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah
pengganti.

Pencegahan Atonia Uteri


Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan
kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu
onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah
atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling
bermanfaat untuk mencegah atonia uteri.

Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah


bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus
atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan
pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset
kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan
oksitosin 4-10 menit.

Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus


IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

TINDAKAN SEGERA
Pantau keadaan ibu dan tanda- tanda vital ibu untuk mencegah
terjadinya tanda dan gejala syok
Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara
IM,IV,atau SC
Memberikan drivat prostaglandin F2a ( carboprost tromethamine ) yang
kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual
muntah, febris, dan taki kardia.
Pemberian misoprostol 800-1000ug per rectal
Lakukan kompresi bimanual internal
Ajarkan keluraga cara Kompresi bimanual eksternal
Kompresi aorta abdominalis
Pasang infuse RL untuk mencegah dehidrasi pada ibu akibat perdarahan
yang di alami
Jika perdarahan tidak berhenti segera rujuk pasien ke fasilitas yang lebih
memadai untuk menghidari terjadinya komplikasi yang lebih berat yang
akan berujung pada kematian, disertai inform consent.

HEG (HIPEREMESIS GRAVIDARUM)

Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah di masa kehamilan dengan frekuensi serta
gejala yang jauh lebih parah daripada morning sickness.
Pada morning sickness, mual dan muntah biasanya hanya berlangsung dalam 14 minggu pertama
periode kehamilan dan umumnya dialami di pagi hari. Namun pada kasus hiperemesis
gravidarum, mual atau muntah bisa terus berlangsung lebih dari 14 minggu atau bahkan hingga
bayi lahir. Gejalanya pun bisa muncul sepanjang hari dan bukan di pagi hari saja. Tercatat ada
beberapa penderita hiperemesis gravidarum yang mengalami mual hingga 50 kali dalam sehari.

Hiperemesis gravidarum tidak boleh diabaikan dan harus ditangani secara medis. Selain dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, kondisi ini juga dapat berpengaruh buruk pada kesehatan fisik
dan psikologis penderitanya, serta pertumbuhan bayi di dalam kandungan.
Gejala Hiperemesis Gravidarum
Berikut ini beberapa gejala hiperemesis gravidarum, di antaranya:
Mual dan muntah parah secara berkepanjangan.

Pusing.

Sakit kepala.

Jantung berdebar.

Sulit menelan makanan atau minuman.

Mengeluarkan air liur secara berlebihan.

Sangat sensitif terhadap aroma.


Jika tidak ditangani secara baik atau diabaikan, gejala hiperemesis gravidarum bisa memburuk
dan berisiko tinggi menyebabkan komplikasi, seperti:
Berat badan menurun.

Dehidrasi.

Konstipasi.

Ketosis atau peningkatan kadar asam keton yang bersifat toksik di dalam darah dan urine.

Hipotensi atau tekanan darah rendah.

Deep Vein Thrombosis (DVT) atau penggumpalan darah di dalam pembuluh vena.
Berat badan bayi rendah.
Selain berdampak pada fisik, gejala hiperemesis gravidarum juga dapat mengarah pada masalah
lainnya, seperti:
Menurunnya kualitas hidup penderita akibat aktivitas sehari-hari yang terganggu, baik di dalam
kehidupan keluarga, sosial, maupun pekerjaan.

Masalah psikologis, seperti stres, bingung, cemas, bahkan putus asa.


Segera temui dokter apabila mengalami gejala mual dan muntah parah secara berkepanjangan
pada kehamilan. Walau tidak membahayakan janin, diagnosis yang sedini mungkin dilakukan
dapat membantu Anda meredakan gejala hiperemesis gravidarum dan menurunkan risiko terkena
komplikasi melalui pemberian obat-obatan yang tepat dari dokter. Diagnosis juga diperlukan
untuk mendeteksi adanya kondisi lain yang menyebabkan mual dan muntah selain hiperemesis
gravidarum.
Penyebab Hiperemesis Gravidarum
Diperkirakan sekitar satu hingga tiga persen wanita hamil menderita hiperemesis gravidum.
Meski begitu, para ahli hingga kini belum bisa mengetahui secara pasti penyebabnya, walau
perubahan hormon seperti hormon glikoprotein atau Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
dalam darah kerap menjadi alasan utama.
Ada beberapa hal yang diyakini ahli berkaitan erat dengan kemunculan hiperemesis gravidarum
atau dalam kata lain dapat meningkatkan risiko seorang wanita terkena kondisi ini.

Pernah mengalami hiperemesis gravidarum di kehamilan sebelumnya.

Memiliki keluarga dekat (misalnya ibu, kakak, atau adik) yang pernah menderita hiperemesis
gravidarum.

Mengandung anak perempuan atau anak kembar.

Menderita mola hidatidosa (hamil anggur).

Diagnosis Hiperemesis Gravidarum


Gejala hiperemesis gravidarum berupa intensitas mual dan muntah yang sangat tinggi memang
mudah dikenali. Namun terkadang dokter perlu melakukan pemeriksaan lebih detail, seperti
pemeriksaan darah, urine, elektrolit, atau USG untuk memastikan pasien benar-benar menderita
hiperemesis gravidarum dan bukan kondisi lainnya yang juga menyebabkan gejala yang sama.
Beberapa contoh kondisi selain hiperemesis gravidarum dengan gejala mual dan muntah parah
adalah gangguan lambung, gangguan hati, serta penyakit usus buntu.

Pengobatan Hiperemesis Gravidarum


Pengobatan gejala hiperemesis gravidarum harus dilakukan sedini mungkin agar hasilnya efektif.
Karena itu Anda disarankan untuk segera menemui dokter atau ke rumah sakit jika merasakan
mual atau muntah yang berkepanjangan.
Jika gejala hiperemesis gravidarum belum terlalu parah, kemungkinan dokter akan meresepkan
obat-obatan berikut ini untuk Anda konsumsi di rumah:

Obat-obatan steroid.

Vitamin B6 dan B12.

Obat antiemitik atau antimual.


Selain dengan obat-obatan, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk meringankan gejala
hiperemesis gravidarum, di antaranya:
Menghindarkan diri dari aroma-aroma, suara bising, dan kedipan cahaya berlebih yang dapat
memicu mual.
Banyak istirahat dan kurangi gerak.

Menggunakan pakaian longgar.

Minum air jahe atau soda ketika merasa mual.

Mengonsumsi kudapan kering (misalnya biskuit) secara berkala.

Mengonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi namun rendah lemak.


Untuk kasus hiperemesis gravidarum yang parah, biasanya penanganan harus dilakukan di rumah
sakit untuk mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut yang dapat membahayakan kesehatan
penderita serta bayi yang dikandungnya.
Dalam kasus seperti ini, biasanya obat-obatan antimual akan disuntikkan
langsung oleh dokter ke dalam otot atau pembuluh vena pasien. Selain
itu. pemasangan infus juga akan dilakukan untuk menjaga asupan cairan
yang dibutuhkan oleh pasien agar terhindar dari dehidrasi.

Komplikasi Hiperemesis Gravidarum


Walau jarang terjadi, penderita hiperemesis gravidarum dapat
mengalami komplikasi seperti dehidrasi hingga perdarahan pada
kerongkongan dikarenakan muntah berkepanjangan. Kondisi ini juga
dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Pencegahan Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum dapat terjadi jika penderita pernah
mengalaminya di kehamilan sebelumnya atau memiliki keluarga dekat
dengan kondisi yang sama. Jika Anda berpotensi mengalaminya,
disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter saat merencanakan
kehamilan dan menghindari faktor-faktor pemicunya.

iperemesis gravidarum adalah kondisi mual muntah yang berlebihan


pada masa kehamilan. Selain dapat mengganggu aktivitas sehari-hari,
kondisi ini dapat juga mengganggu kondisi fisik dan psikologis ibu. Hal
tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat berbahaya bagi ibu dan
janin. Istilah Hiperemesis gravidarum berasal dari kata hyper yang
berarti berlebihan, emesis yang berarti muntah, dan gravidarum yang
berarti proses kehamilan. Pada kondisi ini ibu mengalami mual dan
muntah terus menerus, bisa mencapai lebih dari 50 kali dalam sehari.
Hiperemesis gravidarum yang berat terjadi hampir sekitar 0.3 2 % dari
kehamilan sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Sebenarnya kondisi mual dan muntah selama kehamilan adalah hal yang
wajar, umumnya terjadi pada pagi hari sehingga sering disebut morning
sickness, walaupun dapat terjadi kapan saja. Hampir 50 90% wanita
hamil mengalami morning sickness. Mual dan muntah ini diyakini
sebagai suatu mekanisme pertahanan tubuh pada wanita hamil dan
janinnya terhadap makanan-makanan berbahaya yang mengandung
bakteri atau racun, sehingga tidak mengganggu proses perkembangan
janin. Mual dan muntah biasanya dimulai sejak kehamilan memasuki
usia 9 10 minggu, mencapai puncaknya pada usia kehamilan 11 13
minggu, dan mulai berkurang pada usia kehamilan 12 14 minggu.
Hanya sebagian kecil yang berlanjut sampai usia kehamilan 20 22
minggu. Gejala Hiperemesis Garvidarum Selain timbul gangguan pada
sistem saluran pencernaan hingga menimbulkan mual dan muntah yang
hebat, pasien hiperemesis gravidarum juga dapat merasakan berbagai
keluhan lain, seperti : Penurunan berat badan > 5% dari berat badan
sebelum hamil Produksi air liur berlebih Volume urin berkurang Lemas
Pusing Gangguan tidur Indera penciuman menjadi sangat sensitive
Gangguan indera pengecapan Depresi Cemas Mudah tersinggung Mood
yang mudah berubah-ubah Sulit konsentrasi Penyebab Hiperemesis
Gravidarum Penyebab utama terjadinya hyperemesis gravidarum masih
belum diketahui secara pasti. Mengapa ada wanita hamil yang
mengalaminya dan ada juga yang tidak, padahal perubahan fisiologis
selama kehamilan adalah sama. Faktor utama penyebab timbulnya
hiperemesis gravidarum diduga berkaitan dengan perubahan hormon
selama kehamilan. Dimana terjadi kenaikan hormon Human Chorionic
Gonadotropin (HCG) yang dihasilkan oleh plasenta selama kehamilan.
Selain itu dapat juga dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron.
Adanya gangguan fungsi hati, gerak peristaltik dari sistem pencernaan,
dan infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya hiperemesis gravidarum.
Siapa yang lebih beresiko? Walaupun misalnya seorang wanita memiliki
faktor resiko untuk mengalami hiperemesis grvidarum, namun belum
tentu wanita tersebut akan benar-benar mengalaminya, tergantung lagi
dari masing-masing individu. Adapun faktor yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya hiperemesis gravidarum pada wanita hamil, antara lain
:
Sumber: Hiperemesis Gravidarum : Gejala, Penyebab, Pengobatan -
Mediskus
Riwayat kehamilan sebelumnya dengan hyperemesis gravidarum
Riwayat keluarga. Baik orang tua atau saudara kandung perempuan yang
pernah mengalami hiperemesis gravidarum selama kehamilan akan turut
mempengaruhi. Berat badan berlebih Adanya penyakit trofoblas atau
penyakit lain dalam rahim Mengandung bayi kembar. Semakin banyak
bayi kembar yang dikandung (kembar 2,3, atau lebih) maka semakin
besar resikonya. Kehamilan pertama. Diduga karena belum terbiasa
dengan janin, dan kemungkinannya akan berkurang pada saat kehamilan
ke-2, 3, dan seterusnya. Pengobatan Hiperemesis Gravidarum Pada
umumnya kondisi ini dapat sembuh dengan sendirinya ketika kehamilan
memasuki usia 20 22 minggu tanpa mengonsumsi obat-obatan apapun.
Oleh karena itu penanganan pasien hiperemesis gravidarum masih
bersifat konservatif, dimana meliputi terapi psikis dan suportif agar ibu
tetap semangat dan tidak stress, serta mengatur pola makan yang
dikonsumsi untuk mengurangi mual dan muntah. Obat-obatan anti mual-
muntah tidak boleh sembarangan dikonsumsi, harus yang benar-benar
aman dan dianjurkan oleh dokter. Beberapa golongan obat yang dapat
digunakan untuk mengatasi mual muntah selama kehamilan antara lain :
Obat anti muntah, seperti metoclopramide, ondansetron, dan sebagainya
Obat-obatan herbal, seperti jahe Vitamin B6 atau pyridoxine
Kortikosteroid, yaitu methylprednisolone Antihistamin, seperti
diphenhydramine Apabila dengan penggunaan obat-obatan tersebut,
pasien masih mengalami hiperemesis gravidarum, dapat disarankan agar
pasien dirawat untuk mengembalikan semua cairan tubuh yang sudah
terbuang melalui pemberian cairan infus. Karena jika terus dibiarkan,
kondisi tersebut dapat mengancam keselamatan ibu dan janinnya. Pada
sebagian kecil kasus hiperemesis gravidarum yang sangat berat
(walaupun sangat jarang terjadi), dapat saja dokter menyarankan untuk
operasi terminasi (penghentian) kehamilan. Hal ini menjadi
pertimbangan karena kondisi ibu sudah sangat kritis sehingga tidak
mampu lagi melanjutkan proses kehamilan. Beberapa hal lain yang perlu
diperhatikan antara lain : Edukasi ibu mengenai tanda dan gejala yang
mungkin timbul selama kehamilan, sehingga ibu memiliki persiapan
mental dan tidak stress. Bedrest total Makan dalam porsi kecil dan lebih
sering Jangan menahan lapar Hindari makanan yang terlalu berlemak
dan pedas Hindari faktor pemicu yang dapat menimbulkan mual, seperti
bau-bauan menyengat, suara bising, menyetir mobil, dan sebagainya
Acupressure dan hipnotis dapat dicoba sebagai alternatif pengobatan.
Baca juga: Cara Aman Mengatasi Mual Muntah Saat Hamil Komplikasi
Apabila hiperemesis gravidarum terus berlanjut dan tidak dapat
ditangani dengan baik, maka dapat menimbulkan komplikasi yang serius
bagi ibu dan janin. Contoh beberapa komplikasi yang dapat terjadi
antara lain : Dehidrasi atau kekurangan cairan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam-basa kekurangan nutrisi bayi lahir prematur atau
berat badan bayi lahir rendah ketosis yaitu peningkatan kadar asam
keton yang berbahaya bagi tubuh tekanan darah ibu rendah kematian ibu
dan janinnya.
Sumber: Hiperemesis Gravidarum : Gejala, Penyebab, Pengobatan - Mediskus

Induksi dan Akselerasi persalinan


Induksi dan Akselerasi persalinan
2.3.1. Definisi
Induksi persalinan adalah merangsang uterus untuk memulai terjadinya
persalinan
Akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan
kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan

2.3.2. Tujuan
Tujuan tindakan tersebut adalah mencapai his 3x dalam 10 menit,
lamanya 40 detik

2.3.3.Metode Induksi dan Akselerasi


a. Oksitosin
Prasyarat
Diberikan ketika proses kehamilan telah berada dalam fase aktif
Keadaan jalan lahir ibu memungkinkan bayi dapat lahir dengan
perhitungan: (1)Konjugata diagonalis normal, (2) Dinding dalam pelvis
parallel, (3) Spina ishiadika tidak prominen, (4) Sakrum tidak mendatar,
(5) Sudut subpubik tidak sempit, (6) Kepala bayi telah melewati pintu
atas panggul atau telah turun dengan tekanan dari fundus.

Indikasi
Induksi atau augmentasi
Pemantauan selama tindakan
Pemantauan denyut nadi, tekanan darah, dan kontraksi ibu hamil, dan
periksa denyut jantung janin (DJJ)
Catat semua pengamatan pada partograf tiap 30 menit : (1) kecepatan
infus oksitosin, (2) frekuensi dan lamanya kontraksi, (3) Denyut jantung
janin (DJJ). Dengar DJJ tiap 30 menit dan selalu langsung setelah
kontraksi. Apbila DJJ kurang dari 100 menit/menit, segera hentikan
infuse

Metode pemberian oksitosin


Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau garam fisiologik)
mulai dengan 10 tetes per menit
Naikkan kecepatan infuse 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai
kontraksi adekuat (3x tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) dan
pertahankan sampai terjadi kelahiran
Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau
lebih dari 4 kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infuse dan kurangi
hiperstimulasi dengan: (1) Terbutalin 250 mcg IV pelan pelan selama
5 menit, atau (2) Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (gram fisiologis
atau Ringer laktat) 10 tetes/menit
Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan
lama lebih dari 40 detik) setelah pemberian infuse oksitosin mencapai 60
tetes/menit: (1) Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500
ml dekstrose (atau garam fisologis) dan sesuaikan kecepatan infuse
sampai 30 tetes/menit (15 mIU/menit), (2)Naikkan kecepatan infuse 10
tetes per menit tap 30 menit sampai kontraksi adekuat (3x tiap 10 menit
dengan lama lebih dari 40 detik) atau setelah infuse oksitosin mencapai
60 tetes per menit
Jika masih tidak tercapai kontraksi yang adekuat dengan konsentrasi
yang lebih tinggi:
(1) Pada multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan seksio sesarea
(2) Pada Primigravida, infuse oksitosin bisa dinaikkan konsentrasinya
yaitu: 10 unit dalam 500 ml dekstrose (atau garam fisiologik) 30 tetes
per menit. Kemudian naikkan 10 tetes tiap 30 menit sampai kontraksi
adekuat. Jika kontraksi tetap tidak adekuat setelah 60 tetes per menit (60
mIU per menit, lakukan seksio sesarea)
Jangan berikan oksitosin 10 unit dalam 500 ml pada multigravida dan
pada bekas seksio sesarea

b. Prostaglandin
Indikasi:
Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi
persalinan
Pemantauan selama pemberian:
Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil, dan periksa
denyut jantung janin (DJJ). Catat semua pengamatan pada partograf
Metode pemberian:
Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau gel 2 3 mg
ditempatkan pada forniks posterior vagina dan dapat diulangi 6 jam
kemudian (jika his tidak timbul)
Hentikan pemberian prostaglandin dan mulailah infuse oksitosin jika:
(1) Ketuban pecah, (2) Pematangan serviks telah tercapai, (3) Proses
persalinan telah berlangsung, (4) atau pemakaian prostaglandin telah 24
jam.
c. Misoprostol
Indikasi:
Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks hanya pada kasus
kasus tertentu misalnya : (1) Preeklampsia berat / eklampsia dan serviks
belum matang sedangkan seksio sesarea belum dapat segera dilakukan
atau bayi terlalu premature untuk bisa hidup, (2) Kematian janin dalam
rahim lebih dari 4 minggu belum in partu, dan terdapat tanda tanda
ganguan pembekuan darah
Metode pemberian:
Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks posterior vagina dan
jika his tidak timbul dapat diulangi setelah 6 jam
Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25 mcg, naikkan dosis
menjadi 50 mcg tiap 6 jam
Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali pakai, dan jangan lebih dari 4
dosis atau 200 mcg
Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian rupture uteri.
Oleh karena itu, hanya dikerjakan di pelayanan kesehatan yang lengkap
Jangan memberikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian
misoprostol

d. Amniotomi
Indikasi:
Induksi atau augmentasi
Dari hasil pemeriksaan monitoring denyut jantung janin, diambil
tindakan yang dapat mencegah terjadinya janin jeopardy
Dari pemeriksaan kontraksi intrauterus, ketika dalam proses persalinan
kontraksi tidak memenuhi syarat
Elektif amniotomi dapat dilakukan untuk mendeteksi mekonium
Pemantauan selama tindakan:
Periksa denyut jantung janin
Lakukan pemeriksaan serviks dan catat konsistensi , posisi, penipisan,
dan bukaan serviks dengan menggunakan sarung tangan DTT
Tekhnik tindakan
Masukkan kokher yang dipegang tangan kiri dengan bimbingan
telunjuk dan jari tengah tangan kanan hingga menyentuh selaput ketuban
Gerakkan kedua ujung jari tangan dalam untuk menorehkan gigi
kokher hingga merobek selaput ketuban
Cairan ketuban akan mengalir perlahan. Catat warnanya, kejernihan,
pewarnaan, mekonium,jumlahya. Jika ada pewarnaan mekoneum,
suspek gawat janin
Pertahankan jari tangan dalam vagina agar cairan ketuban mengalir
perlahan dan ykin tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat yang
menumbung
Setelah amniotomi, periksa DJJ pada saat kontraksi dan sesudah
kontraksi uterus. Apabila ada kelainan DJJ (kurang dari 100 atau lebih
dari 180 DJJ/menit) suspek gawat janin
Jika kelahiran diperkirakan tidak terjadi dalam 18 jam, berikan
antibiotka pencegahan: PenisilinG 2 juta unit IV atau ampisilin 2g IV
(ulangi tiap 6 jam sapai kelahiran). Jika pasien tidak ada tanda tanda
infeksi sesudah kelahiran, antibiotik dihentikan
Jika proses persalinan yang baik tidak terjadi dalam 1 jam setelah
amniotomi, mulailah dengan infuse oksitosin
Pada persalinan dengan masalah misalnya sepsis atau eklampsia,infus
oksitosin dilakukan bersamaan dengan amniotomi
e. Kateter Foley
Indikasi:
Kateter foley merupakan alternative lain di samping pemberian
prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan
Jangan lakukan kateter Foley jika ada riwayat perdarahan, ifeksi
vaginal, ketuban pecah, pertumbuhan janin terhambat
Metode tindakan
Pasang speculum DTT di vagina
Masukkan kateter Foley pelan pelan melalui serviks dengan
menggunakan forsps DTT. Pastikan ujung kateter telah melewati ostium
uteri internum
Gelumbangkan balon kateter dengan menggunakan 10 ml air
Gulung sisa kateter dan letakkan di vagina
Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau
sampai 12 jam
Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkan kateter, kemudian
lanjutkan dengan infuse oksitosin
f. Laminaria
Dengan menggunakan laminaria dapat tercapai pematangan cerviks.
Dapat dipasang saat malam hari sebelum dilakukan kelahiran pada
keesokan harinya
g. Stripping Membranes
Metode tindakan:
Memasukkan tangan telunjuk ke dalam ostium sedalam mungkin dan
kemudian memutari ostium 360 derajat hingga 2 x putaran.
Komplikasi:
Dapat berpotensi menimbulkan infeksi, perdarahan dari plasenta previa
yang tidak terdiagnosa sebelumnya atau plasenta letak rendah, dan
resiko rupture membrane

Tetesan oksitosin pada persalinan adalah pemberian Oksitosin secara


tetes melalui infus dengan tujuan untuk menimbulkan atau memperkuat
HIS (kontraksi rahim) Indikasi : Mengakhiri kehamilan Memperkuat
kontraksi rahim selama persalinan Kontraindikasi : Sama dengan
kontraindikasi induksi persalinan secara umum yaitu : Malposisi dan
malpresentase janin Insufisiensi plasenta Disproporsi sefalopelvik Bekas
seksio sesaria atau miomektomi Ibu menderita penyakit jantung
Grandemultipara Plasenta previa Gamelli (kehamilan kembar) Distensi
rahim yang berlebihan seperti akibat hidramnion

Cara pemberian : Oksitosin tidak diberikan secara oral karena dapat


dirusak di dalam lambung oleh Enzym Trypsin. Oksitosin diberikan
secara bucal, nasal spray, intramuskular atau intravena. Pemakaian
secara intravena (drips/tetesan) adalah paling banyak digunakan oleh
karena dengan cara ini uterus dirangsang sedikit demi sedikit secara
kontinyu dan bila perlu infus dapat dihentikan dengan segera. Pemberian
tetesan oksitosin harus diberikan dibawah pengawasan yang ketat
dengan pengamatan pada his dan denyut jantung janin. Pada janin hidup
5 IU oksitosin dalam 500 cc dekstrose 5 %. Ini berarti 2 tetesan
mengandung 1 mIU Dosis awal 1-2 mIU (2-4 tetes) permenit Dosis
dinaikkan 2mIU (4 tetes) permenit setiap 30 menit. Dosis maksimal 20-
40 mIU permenit Untuk meningkatkan keberhasilan dengan cara ini bisa
dilakukan amniotomi, striping of the membrane ataupun menggunakan
balon kateter.

Pada janin mati Teknik 1 Menggunakan 500 cc Ringer laktat (1 botol)


Mula-mula dipakai 10 IU oksitosin dalam 500 cc ringer laktat ecepatan
tetesan 20 tetes permenit Bila tidak timbul kontraksi yang adekuat, dosis
dinaikkan 10 IU tiap 30 menit, tanpa mengubah kecepatan tetesan
sampai timbul kontraksi yang adekuat dan ini dipertahankan. Dosis
tertinggi yang dipakai adalah 140 IU Bila dengan jumlah cairan tersebut
(500 cc Ringer Laktat) tidak berhasil maka induksi dianggap gagal
Teknik 2 Botol I Mulai dengan dosis 10 IU oksitosin dalam 500 cc
Ringer laktat Kecepatan tetesan 20 tetes per menit Bila belum timbul
kontraksi adekuat, maka dosis dinaikkan 10 IU setiap habis 100 cc tanpa
mengubah keceptan tetesan sampai timbul kontraksi adekuat dan ini
dipertahankan. Dosis tertinggi yang dipakai dalam botol II ialah 50 IU
oksitosin, bila timbul kontraksi adekuat langsung dilanjutkan dnegan
botol II Botol II Mulai dengan dosis 50 IU oksitosin dalam 500 cc
Ringer laktat Kecepatan tetesan 20 tetes per menit Bila belum timbul
kontraksi adekuat, maka dosis dinaikkan 20 IU setiap habis 100 cc tanpa
mengubah keceptan tetesan sampai timbul kontraksi adekuat dan ini
dipertahankan. Dosis tertinggi yang dipakai dalam botol II ialah 130 IU
oksitosin, bila setelah kedua botol tersebut kontraksi belum adekuat
maka induksi dianggap gagal. Untuk meningkatkan keberhasilan maka
dianjurkan : Pemasangan laminaria sebelumnya (untuk dilatasi serviks)
Melakukan amniotomi (bila memungkinkan) Bila gagal, penderita
diistirahatkan dan induksi diulangi lagi pada keesokan harinya. Pada
janin mati dengan umur kehamilan di atas 28 minggu, maka digunakan
tetesan oksitosin dosis rendah : Persiapan maupun cara pemberian sama
dengan tetesan oksitosin dosis tinggi (Teknik 1), hanya disini dimulai
dengan dosis oksitosin 5 IU dan bila timbul kontraksi uterus yang
adekuat, dosis dinaikkan 5 IU setiap 30 menit, maksimal 70 IU. Catatan
Bila ditemukan water intoxication dengan gejala-gejala : kebingungan,
stupor, kejang dan koma, maka tindakannya adalah : Tetesan segera
dihentikan Mengusahakan diuresis secepat dan sebanyak mungkin
Sebelum melakukan pemberian tetesan oksitosin terutama pada janin
mati, perlu dilakukan pemeriksaan tentang poroses pembekuan darah.
2. Akses vena dan arteri umbilikal pada neonatus
Vena dan arteri umbilikal adalah pembuluh darah yang digunakan fetus
sebagai peredaran darah dalam kandungan. Menutupnya vena umbilikal
biasanya setalah menutupnya arteri umbilikus. Arteri umbilikus mulai
konstriksi beberapa detik setelahlahir dan menutup beberapa menit
setelah bayi lahir. Tetapi arteri umbilkus masih bisa didilatasi dan di
pasang kanula dalam beberapa hari setelah lahir.memasukkan IV
catheter bisa dilakukan selama umbilikus belum lepas, lebih baik pada
usia bayi 3-4 hari. Setelah 24 jam, pemasangn IV catheter dapat lebih
mudah dilakukan dengan mengompres umbilius menggunakan NaCl
0,9% selama kurang lebih 1 jam. Vena umbilikus lebih sering digunakan
karena berukuran lebih besar.
Metoda ini menjadi prosedur tetap di NICU/PICU, karena akses vena
perifer sangat susah didapat pada neonatus terutama pada BBLR atau
prematur. Kefektifan dan keamanan metoda ini telah dibuktikan dengan
berbagai penelitian dan evidence based di lapangan. Walaupun demikian
beberapa laporan kasus dimana terjadi ekstravasasi cairan ke liver dan
peritoneum akibat dari posisi kanula yang salah, sehingga untuk dapat
melakukan prosedur ini seorang perawat dituntut untuk benar-benar
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup.
a. Indikasi
1) BBL sakit berat yang membutuhkan pengambilan darah berulang,
atau perlu monitoring gas darah dan saturasi O2 invasif, seperti pada
keadaan gagal nafas, syok, PPHN serta extreme prematury.
2) Pengukuran tekanan darah arterial secara langsung
3) Pengambilan sampel darah berulang
4) Angiografi
5) Transfusi tukar
6) Infus cairan glukosa (carian hipertonik), untuk elektrolit
maintenance atau pemberian obat-obatan jika tidak ada tempat lain
b. Kontra Indikasi
1) Terdapat gangguan vaskuler di daerah panggul atau ekstremitas
bawah
2) Enterokolitis nekrotikans, kecuali pada keadaan darurat dan akses
lain tidak memungkinkan
3) Peritonitis
4) Omfalitis dan omfalokel
5) Perdarahan atau kecenderungan thrombosis merupakan kontra
indikasi relative
c. Hal-hal yang Harus Diperhatikan
1) Kateter arteri terpasang hanya selama ada indikasi primer.
2) Jangan menggunakana pipa lambung (feeding tubes) sebagai
kateter. Pipa lambung dikaitkan dengan insiden thrombosis yang lebih
tinggi, selain itu tidak radio opak sehingga tidak terlihat pada foto
rontgen.
3) Pada bayi yang sangat premature, cairan pemeliharaan NaCl 0,9%-
heparin 1 Ui/cc bias menimbulkan hipernatremia, sehingga pada pasien
ini direkomendasikan cairan dengan konsentrasi 0,5UI/cc
4) Jangan menutup umbilicus dengan kasa atau plester setelah
pemasangan kateter. Penutupan menyebabkan komplikasi seperti
perdarahan, dislokasi kateter atau infeksi, terlambat diketahui.
d. Komplikasi
1) Perdarahan
2) Vasospasme arteri
3) Emboli karena bekuan darah atau udara
4) Thrombosis
5) Perforasi arteri menyebabkan perdarahan retrograde dan hematom
intra abdominal
6) Infeksi
7) Ekstravasasi/perembesan
e. Kompetensi yang Harus Dimiliki Perawat
1) Infenction control
2) Anatomi dan fisiologi khususnya neonatus
3) Bantuan hidup dasar (minimal) lebih baik ACLS
4) Sertifikasi NICU/PICU
5) Tehnik pemasangan infus umbilikus dengan berbagai alat yang
tersedia
6) Komunikasi terapetik
7) Pendokumentasian
Tuberkulosis (Tuberculosis, disingkat Tbc), atau Tb (singkatan dari "Tubercle bacillus") merupakan
penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan
oleh berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis (disingkat "MTb" atau
"MTbc").[1] Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru, namun juga bisa berdampak pada bagian
tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB aktif batuk,
bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui udara.[2] Infeksi TB umumnya bersifat
asimtomatikdan laten. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang berkembang menjadi
penyakit aktif. Bila Tuberkulosis tidak diobati maka lebih dari 50% orang yang terinfeksi bisa meninggal.

Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dengan bercak darah sputum atau dahak, demam,
berkeringat di malam hari, dan berat badan turun. (dahulu TB disebut penyakit "konsumsi" karena
orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami kemerosotan berat badan.) Infeksi pada organ lain
menimbulkan gejala yang bermacam-macam. Diagnosis TB aktif bergantung pada hasil radiologi
(biasanya melalui sinar-X dada) serta pemeriksaan mikroskopis dan pembuatan kultur mikrobiologis
cairan tubuh. Sementara itu, diagnosis TB laten bergantung pada tes tuberkulin kulit/tuberculin skin test
(TST) dan tes darah. Pengobatan sulit dilakukan dan memerlukan pemberian banyak macam antibiotik
dalam jangka waktu lama. Orang-orang yang melakukan kontak juga harus menjalani tes penapisan dan
diobati bila perlu. Resistensi antibiotik merupakan masalah yang bertambah besar pada infeksi
tuberkulosis resisten multi-obat (TB MDR). Untuk mencegah TB, semua orang harus menjalani tes
penapisan penyakit tersebut dan mendapatkan vaksinasi basil CalmetteGurin.

Para ahli percaya bahwa sepertiga populasi dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,[3] dan infeksi
baru terjadi dengan kecepatan satu orang per satu detik.[3] Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7 juta
kasus kronis yang aktif di tingkat global.[4] Pada tahun 2010, diperkirakan terjadi pertambahan kasus
baru sebanyak 8.8 juta kasus, dan 1,5 juta kematian yang mayoritas terjadi di negara berkembang.[5]
Angka mutlak kasus Tuberkulosis mulai menurun semenjak tahun 2006, sementara kasus baru mulai
menurun sejak tahun 2002.[5] Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Dari populasi
di berbagai negara di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80%-nya menunjukkan hasil positif,
sementara di Amerika Serikat, hanya 510% saja yang menunjukkan hasil positif.[1] Masyarakat di dunia
berkembang semakin banyak yang menderita Tuberkulosis karena kekebalan tubuh mereka yang lemah.
Biasanya, mereka mengidap Tuberkulosis akibat terinfeksi virus HIV dan berkembang menjadi AIDS.[6]
Pada tahun 1990-an Indonesia berada pada peringkat-3 dunia penderita TB, tetapi keadaan telah
membaik dan pada tahun 2013 menjadi peringkat-5 dunia.
Tuberkulosis (TB) yang juga dikenal dengan singkatan TBC, adalah penyakit menular paru-paru yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan dari penderita TB aktif yang
batuk dan mengeluarkan titik-titik kecil air liur dan terinhalasi oleh orang sehat yang tidak memiliki
kekebalan tubuh terhadap penyakit ini.

TB termasuk dalam 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian di dunia. Data WHO menunjukkan
bahwa pada tahun 2015, Indonesia termasuk dalam 6 besar negara dengan kasus baru TB terbanyak.

alodokter-tuberkulosis2

Gejala dan Jenis Tuberkulosis

TB paling sering menyerang paru-paru dengan gejala klasik berupa batuk, berat badan turun, tidak nafsu
makan, demam, keringat di malam hari, batuk berdarah, nyeri dada, dan lemah. Jenis batuk juga bisa
berdahak yang berlangsung selama lebih dari 21 hari.

Saat tubuh kita sehat, sistem kekebalan tubuh dapat memberantas basil TB yang masuk ke dalam tubuh.
Tapi, sistem kekebalan tubuh juga terkadang bisa gagal melindungi kita.

Basil TB yang gagal diberantas sepenuhnya bisa bersifat tidak aktif untuk beberapa waktu sebelum
kemudian menyebabkan gejala-gejala TB. Kondisi ini dikenal sebagai tuberkulosis laten. Sementara basil
TB yang sudah berkembang, merusak jaringan paru-paru, dan menimbulkan gejala dikenal dengan istilah
tuberkulosis aktif.

Penyebab dan Faktor Risiko Tuberkulosis

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil tersebut menyebar di udara melalui
semburan titik-titik air liur dari batuk pengidap TB aktif.
Terdapat sejumlah orang yang memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Kelompok-kelompok
tersebut meliputi:

Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pengidap HIV/AIDS, diabetes, atau orang
yang sedang menjalani kemoterapi.

Orang yang mengalami malnutrisi atau kekurangan gizi.

Perokok.

Pecandu narkoba.

Orang yang sering berhubungan dengan pengidap TB aktif, misalnya petugas medis atau keluarga
pengidap.

Proses Diagnosis Tuberkulosis

Tuberkulosis termasuk penyakit yang sulit untuk terdeteksi. Dokter biasanya menggunakan beberapa
cara untuk mendiagnosis penyakit ini, antara lain:

Rontgen dada.

Tes Mantoux.

Tes darah.

Tes dahak.

Pengobatan dan Pencegahan Tuberkulosis

Penyakit yang tergolong serius ini dapat disembuhkan jika diobati dengan benar. Langkah pengobatan
yang dibutuhkan adalah dengan mengonsumsi beberapa jenis antibiotik dalam jangka waktu tertentu.

Sementara langkah utama untuk mencegah TB adalah dengan menerima vaksin BCG (Bacillus Calmette-
Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi
berusia 2 bulan.
Risiko Komplikasi Tuberkulosis

Apabila tidak diobati, bakteri TB dapat menyebar ke bagian tubuh lain dan berpotensi mengancam jiwa
pengidap. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah:

Nyeri tulang punggung.

Meningitis.

Kerusakan sendi.

Gangguan hati, ginjal, atau jantung.

TB memiliki gejala-gejala klasik yang umumnya berupa:

Batuk-batuk yang bisa menjadi batuk berdahak. Batuk ini berlangsung selama 21 hari atau lebih.

Batuk yang mengeluarkan darah.

Dada yang terasa sakit saat bernapas atau batuk.

Tidak nafsu makan.

Penurunan berat badan.

Demam dan menggigil.

Berkeringat secara berlebihan pada malam hari.

Kelelahan.

Segera hubungi dokter jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut. TB bisa disembuhkan jika diobati
dengan seksama dan tepat.

Tidak semua basil TB yang masuk ke tubuh langsung menyebabkan gejala (tuberkulosis aktif). Ada juga
kasus di mana basil TB bersembunyi tanpa memicu gejala sampai suatu hari berubah aktif. Kondisi ini
dikenal sebagai tuberkulosis laten. Selain tidak mengalami gejala, pengidap tuberkulosis laten juga tidak
menular. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia mengidap TB laten.

Sementara TB yang berkembang, merusak jaringan paru, dan menimbulkan gejala-gejala dalam
beberapa minggu setelah terinfeksi dikenal dengan istilah tuberkulosis aktif. Sangat penting agar TB
jenis ini diobati karena termasuk penyakit menular.

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Basil ini menyebar di udara melalui
semburan titik-titik air liur dari batuk pengidap tuberkulosis aktif.

Meski demikian, penularan TB tidaklah semudah penyebaran pilek atau flu karena umumnya
membutuhkan beberapa waktu. Makin lama seseorang terpapar atau berinteraksi dengan penderita TB,
risiko penularan akan makin tinggi. Misalnya, anak yang tinggal serumah dengan pengidap TB akan
memiliki risiko tinggi untuk tertular.

Risiko penularan TB juga berpotensi meningkat bagi kelompok-kelompok orang tertentu, di antaranya
adalah:

Orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh.

Petugas medis yang sering berhubungan dengan pengidap TB.

Manula serta anak-anak.

Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya pengidap HIV, diabetes, kanker, serta
orang yang kekurangan gizi.

Pengguna obat-obatan terlarang.

Orang yang kecanduan minuman keras.

Pengguna tembakau, misalnya dalam bentuk rokok. Hampir 20 persen kasus TB dipicu oleh merokok.

Selain paru-paru, basil TB juga bisa menyerang tulang, otak, sistem pencernaan, kelenjar getah bening,
sistem saluran kemih, serta sistem saraf.

Anda mungkin juga menyukai