Anda di halaman 1dari 9

Nama : Lidya Kusuma Putri

Nim : PO7124322063

Hiperemisis gravidarum , preeklamsi , kelainan dan lamanya


kehamilan,perdarahan,kehamilan ektopik dan penyakit kelainan plasenta dan selaput janin.

 HIPEREMISIS GRAVIDARUM
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang terjadi secara berlebihan selama hamil.
Mual dan muntah (morning sickness) pada kehamilan trimester awal sebenarnya normal.
Namun, pada hiperemesis gravidarum, mual dan muntah dapat terjadi sepanjang hari dan berisiko
menyebabkan dehidrasi. Tidak hanya dehidrasi, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan ibu
hamil mengalami gangguan elektrolit dan penurunan berat badan. Kondisi ini perlu segera
ditangani untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan pada ibu hamil dan janinnya.

Penyebab Hiperemesis Gravidarum


Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti, tetapi kondisi ini sering kali
dikaitkan dengan tingginya kadar hormon human chorionic gonadotropin (HCG) dalam darah.
Hormon ini dihasilkan oleh ari-ari (plasenta) sejak trimester pertama kehamilan dan kadarnya
terus meningkat sepanjang masa kehamilan. Ada beberapa kondisi yang membuat ibu hamil
lebih berisiko mengalami hiperemesis gravidarum, yaitu:
 Baru pertama kali mengandung
 Mengandung anak kembar
 Menderita obesitas
 Memiliki keluarga yang pernah mengalami hiperemesis gravidarum
 Mengalami hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya
 Mengalami hamil anggur

Gejala Hiperemesis Gravidarum

Gejala utama hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah saat hamil, yang bisa terjadi
hingga lebih dari 3–4 kali sehari. Kondisi ini bisa sampai mengakibatkan hilang nafsu makan dan
penurunan berat badan. Muntah yang berlebihan juga dapat menyebabkan ibu hamil mengalami
pusing, lemas, dan dehidrasi. Selain mual dan muntah secara berlebihan, penderita hiperemesis
gravidarum juga dapat mengalami gejala tambahan berupa:
 Sakit kepala
 Konstipasi
 Sangat sensitif terhadap bau
 Inkontinensia urine
 Produksi air liur berlebihan
 Jantung berdebar
Gejala hiperemesis gravidarum biasanya muncul di usia kehamilan 4–6 minggu dan mulai
mereda pada usia kehamilan 14–20 minggu.

Diagnosis Hiperemesis Gravidarum


Dalam mendiagnosis hiperemesis gravidarum, dokter akan menanyakan gejala dan memeriksa
riwayat kesehatan ibu hamil dan keluarganya. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk melihat
dampak dari hiperemesis gravidarum, seperti tekanan darah rendah dan denyut jantung cepat.
Dari pemeriksaan fisik , dokter dapat menentukan apakah muntah yang dialami ibu hamil masih
normal atau sudah berlebihan (hiperemesis gravidarum). Untuk melihat lebih detail akibat dari
hiperemesis gravidarum, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan
dapat dilakukan dengan tes darah dan urine. Tujuannya adalah untuk memeriksa tanda-
tanda gangguan elektrolit dan dehidrasi. USG kehamilan juga dilakukan untuk memantau kondisi
janin dan mendeteksi kelainan dalam kandungan. Selain itu, untuk memastikan gejala mual dan
muntah yang dialami ibu hamil bukan disebabkan oleh suatu penyakit, seperti penyakit liver,
dokter akan melakukan tes lanjutan, misalnya uji fungsi hati.

Pengobatan Hiperemesis Gravidarum


Berbeda dengan morning sickness yang penanganannya dapat dilakukan di rumah, penderita
hiperemesis gravidarum perlu menjalani perawatan di rumah sakit. Pengobatan yang diberikan
ditentukan berdasarkan tingkat keparahan gejala dan kondisi kesehatan ibu hamil secara
keseluruhan. Pengobatan bertujuan untuk menghentikan mual dan muntah, mengganti cairan
dan elektrolit yang hilang akibat muntah berlebihan, memenuhi kebutuhan nutrisi, dan
mengembalikan nafsu makan. Beberapa obat yang dapat diberikan oleh dokter adalah:
 Obat antimual, seperti promethazine atau pyrathiazine
 Vitamin B1 atau tiamin
 Pyridoxine atau vitamin B6
 Suplemen vitamin dan nutrisi.
Jika hiperemesis gravidarum menyebabkan ibu hamil tidak mampu menelan cairan atau makanan
sama sekali, dokter akan memberikan obat dan nutrisi melalui infus. Selain melalui infus, ibu hamil
juga dapat menerima asupan makanan melalui selang makan.

Komplikasi Hiperemesis Gravidarum


Hiperemesis gravidarum dapat membahayakan kondisi ibu hamil dan janin. Mual dan muntah
yang berlebihan akan menyebabkan tubuh kehilangan banyak cairan sehingga berisiko memicu
dehidrasi dan gangguan elektrolit. Jika dibiarkan, kedua kondisi tersebut dapat menyebabkan deep
vein thrombosis pada ibu hamil. Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:

 Malnutrisi
 Gangguan fungsi hati dan ginjal
 Sindrom Mallory-Weiss, yaitu terjadinya robekan pada dinding dalam kerongkongan
(esofagus)
 Muntah darah, yang disebabkan oleh perdarahan dari robekan di kerongkongan
 Cemas dan depresi

Jika tidak segera ditangani, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan organ-organ tubuh ibu
hamil gagal berfungsi dan bayi terlahir prematur.

Pencegahan Hiperemesis Gravidarum


Belum diketahui bagaimana cara untuk mencegah hiperemesis gravidarum. Meski begitu, ada
beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk meredakan morning sickness sehingga tidak
berkembang menjadi hiperemesis gravidarum, yaitu:
 Mencukupi waktu istirahat untuk meredakan stres dan menghilangkan lelah
 Mengonsumsi makanan tinggi protein, rendah lemak, dan bertekstur halus agar mudah
ditelan dan dicerna
 Mengonsumsi makanan dalam porsi kecil tetapi sering, serta menghindari makanan
berminyak, pedas, atau berbau tajam, yang dapat memicu rasa mual
 Memperbanyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi
 Mengonsumsi minuman yang mengandung jahe untuk meredakan mual dan
menghangatkan tubuh
 Mengonsumsi suplemen kehamilan untuk mencukupi kebutuhan vitamin dan zat besi
selama hamil
 Menggunakan aromaterapi untuk mengurangi mual di pagi hari
Menjaga kesehatan kehamilan selama trimester pertama juga penting dilakukan untuk mencegah
hiperemesis gravidarum, salah satunya adalah dengan menjalani pemeriksaan kehamilan secara
rutin.Pemeriksaan kehamilan umumnya dilakukan sejak usia kehamilan 4 minggu, untuk
memantau perkembangan janin dan mendeteksi dini bila ada kelainan yang mungkin terjadi pada
janin.

 PREEKLAMSI
Preeklamsia adalah tekanan darah tinggi yang berkembang selama kehamilan,masalah
kesehatan ini biasanya berkembang setelah Minggu ke-20 kehamilan.seorang ibu hamil bisa
dikatakan mengalami preeklamsia bila memiliki tekanan darah sistolik 140 mmhg atau lebih atau
tekanan darah diastolik 90 mmhg atau lebih pada dua kali pemeriksaan dengan garam minimal 4
jam. Preeklamsia bisa mempengaruhi organ lain dalam tubuh dan berbahaya bagi ibu dan janin
yang sedang berkembang.
Penyebab Preeklamsia
Penyebab preeklamsia masih belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini diduga terjadi
akibat kelainan perkembangan dan fungsi plasenta, yaitu organ yang berfungsi menyalurkan darah
dan nutrisi untuk janin. Kelainan tersebut menyebabkan pembuluh darah menyempit dan muncul
reaksi yang berbeda dari tubuh ibu hamil terhadap perubahan hormon. Akibatnya, terjadi
gangguan pada ibu hamil dan janin. Meski penyebabnya belum diketahui, ada beberapa faktor
yang diduga memicu preeklamsia, yaitu:
 Riwayat penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, dan gangguan darah
 Riwayat preeklamsia sebelumnya
 Riwayat preeklamsia dalam keluarga
 Kehamilan pertama
 Kehamilan selanjutnya setelah jeda kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
 Hamil di usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun
 Mengandung bayi kembar
 Obesitas saat hamil
 Kehamilan yang sedang dijalani merupakan hasil metode bayi tabung (in vitro fertilization)

Gejala Preeklamsia
Gejala utama preeklamsia adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan adanya protein dalam
urine (proteinuria). Gejala tersebut umumnya bisa terdeteksi saat pemeriksaan kehamilan rutin.
Gejala lain preeklamsia yang umum terjadi adalah:
 Sakit-kepala berat
 Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
 Nyeri di ulu hati atau perut kanan atas
 Pusing dan lemas
 Sesak napas
 Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
 Mual dan muntah
 Bengkak pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain
 Berat badan naik secara tiba-tiba.

Diagnosis Preeklamsia
Dokter akan melakukan tanya jawab seputar keluhan yang dialami, serta riwayat kesehatan
pada ibu hamil dan keluarganya. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh, termasuk tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh,
pembengkakan pada tungkai, kaki, dan tangan, serta kondisi kandungan. Jika tekanan darah ibu
hamil lebih dari 140/90 mmHg pada dua kali pemeriksaan dalam jeda waktu 4 jam, dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis preeklamsia.Pemeriksaan
tersebut meliputi:
 Tes urine, untuk mengetahui kadar protein dalam urine
 Tes darah, untuk memeriksa fungsi hati, ginjal, dan jumlah trombosit darah
 Ultrasonografi (USG), untuk melihat pertumbuhan janin
 USG Doppler, untuk mengukur efisiensi aliran darah ke plasenta
 Nonstress test (NST) dengan cardiotocography atau CTG, untuk mengukur detak jantung
janin saat bergerak di dalam kandungan.

Komplikasi Preeklamsia
Preeklamsia yang tidak tertangani dapat menyebabkan komplikasi pada ibu hamil, seperti:
 Eklamsia
 Solusio plasenta
 Kerusakan organ, seperti edema paru, gagal ginjal, dan gagal hati
 Stroke hemoragik
 Penyakit jantung
 Gangguan pembekuan darah
 Sindrom HELLP
Selain ibu, janin juga dapat mengalami sejumlah komplikasi, seperti:
 Pertumbuhan janin terhambat
 Lahir prematur
 Lahir dengan berat badan rendah
 Neonatal respiratory distress syndrome (NRDS)

Pencegahan Preeklamsia
Tidak ada cara khusus untuk mencegah preeklamsia. Namun, ada beberapa upaya yang bias
dilakukan oleh calon ibu dan ibu hamil untuk menurunkan risiko terjadinya preeklamsia, yaitu:
 Melakukan kontrol rutin selama kehamilan
 Mengontrol tekanan darah dan gula darah jika menderita hipertensi dan diabetes
 Menjaga berat badan ideal sebelum dan selama kehamilan
 Mengonsumsi makanan bergizi lengkap dan seimbang
 Membatasi konsumsi makanan tinggi garam
 Berolahraga rutin, baik sebelum maupun selama hamil
 Tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol
 Mengonsumsi suplemen vitamin dan mineral untuk ibu hamil sesuai saran dokter.

 KELAINAN DALAM LAMANYA KEHAMILAN


a. Abortus spontanea
Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan
sebagai berikut:
 Abortus imminens, Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum
20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
 Abortus insipiens, Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
 Abortus inkomplitus , Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
 Abortus komplitus, semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.

b. Abortus provokatus
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi
dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28 minggu,
atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan
berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Terdiri dari :
 Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan
disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu.
 Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obatobat
tertentu.

Istilah Abortus yang lain :


 Missed abortion : Kematian janin dan nekrosis jaringan konsepsi tanpa ada pengeluaran
selama lebih dari4 minggu atau lebih (beberapa buku 8 minggu) .
 Abortus habitualis : adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih.
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, namun kehamilannya berakhir
sebelum 28 minggu, dan umumnya disebabkan karena kelainan anatomic uterus, atau
kelainan factor imunologi.
 Abortus servicalis : keluarnya konsepsi dihalangi oleh osteum uteri eksternum yang tidak
membuka sehingga semua terkumpul didalam canalis servikalis , servix menjadi besar
dengan dinding yang tipis
 Abortus infekttiosus , abortus septik Tindakan pengakhiran kehamilan dikarenakan sepsis
akibat tindakan abortus yang terinfeksi (misalnya dilakukan oleh dukun, atau awam).
Bahaya terbesar adalah kematuan ibu.
 Komplikasi abortus Perdarahan : Harus segera diatasi karena dapat menimbulkan
kematian, Perforasi : Perforasi uterus akibat kerokan/curetage, terutama pada posisi
uterus hiper retro fleksi. Infeksi, Syok bisa terjadi karena perdarahan syok hemoragik atau
Karena infeksi berat syok endoseptik .

 KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rahim. Tergantung lokasi menempelnya sel
telur, gejala kehamilan ektopik dapat menyerupai gejala pada penyakit usus buntu. Apabila tidak segera
ditangani, kehamilan ektopik dapat berakibat fatal bagi ibu. Kehamilan berawal dari sel telur yang
telah dibuahi oleh sel sperma. Pada proses kehamilan normal, sel telur yang telah dibuahi akan
menetap di saluran indung telur (tuba falopi) sebelum dilepaskan ke rahim. Selanjutnya, sel telur
akan menempel di rahim dan terus berkembang hingga masa persalinan tiba.Sementara pada
kehamilan ektopik atau hamil di luar kandungan, sel telur yang telah dibuahi tidak menempel di
rahim. Kehamilan ektopik sering terjadi di tuba falopi. Selain itu, kondisi ini juga bisa terjadi di
indung telur, leher rahim (serviks) atau rongga perut.

Penyebab Kehamilan Ektopik


Kehamilan ektopik umumnya terjadi akibat kerusakan pada tuba falopi. Kerusakan ini membuat
tuba falopi menyempit atau tersumbat sehingga pergerakan sel telur ke rahim terhambat.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kerusakan pada tuba falopi adalah:
 Endometriosis
 Penyakit radang panggul
 Gangguan keseimbangan hormon
 Kelainan bawaan lahir pada tuba falopi
 Terbentuknya jaringan parut akibat prosedur medis pada kandungan.

Faktor Risiko Kehamilan Ektopik


Kehamilan ektopik dapat dialami oleh setiap wanita yang aktif secara seksual. Namun, ada
faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik, yaitu:
 Hamil di usia 35 tahun atau lebih
 Penyakit menular seksual, seperti gonore dan chlamydia
 Hamil di luar kandungan sebelumnya
 Riwayat operasi, seperti aborsi, sterilisasi pada wanita, dan operasi di area panggul atau
perut
 Program bayi tabung
 Penggunaan alat kontrasepsi spiral (IUD)
 Kebiasaan merokok

Gejala Kehamilan Ektopik


Kehamilan ektopik cenderung tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Tanda awal
kehamilan ektopik serupa dengan kehamilan biasa, seperti mual, payudara mengeras,
dan menstruasi terhenti. Sedangkan pada tahap lanjut, penderita kehamilan ektopik umumnya
mengalami nyeri perut dan perdarahan dari vagina. Gejala-gejala tersebut akan terasa makin
parah seiring waktu. Terkadang, gejala nyeri perut akibat kehamilan ektopik juga hampir sama
dengan gejala usus buntu.

Pencegahan Kehamilan Ektopik


Tidak ada cara untuk mencegah kehamilan ektopik. Meski demikian, ada upaya yang bisa
dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya hamil di luar kandungan pada kehamilan
berikutnya, antara lain:
 Berhenti merokok
 Menjaga berat badan ideal
 Menghindari perilaku yang meningkatkan risiko terkena penyakit menular seksual
 Menjalani pemeriksaan kesehatan kandungan secara rutin.

 PENYAKIT KELAINAN PLASENTA DAN SELAPUT JANIN


Abrupsi plasenta (placental abruption)
Abrupsi plasenta adalah adalah kondisi luruhnya plasenta, baik sebagian maupun seluruhnya,
dari dinding rahim yang terjadi sebelum waktu persalinan tiba. Kondisi ini menyebabkan
terputusnya ketersediaan nutrisi dan oksigen untuk bayi.Abrupsi plasenta umumnya terjadi di
trimester ketiga kehamilan, atau setelah melewati 20 minggu. Gejalanya berupa, perdarahan
vagina, kontraksi ataupun kram perut pada ibu hamil. Pada beberapa kasus, kondisi ini juga dapat
menyebabkan persalinan prematur.

Plasenta previa
Plasenta previa terjadi saat plasenta menutup sebagian atau seluruh bagian mulut rahim.
Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan parah pada vagina sebelum waktu bersalin.Hal ini
lebih sering terjadi di masa awal kehamilan dan dapat berkembang seiring dengan perkembangan
rahim. Tindakan operasi caesar adalah satu-satunya metode persalinan yang disarankan untuk ibu
dengan gangguan plasenta previa.

Plasenta akreta
Plasenta akreta adalah situasi saat jaringan plasenta tumbuh terlalu dalam pada dinding rahim.
Kondisi ini dapat menyebabkan wanita hamil mengalami perdarahan pada trimester ketiga dan
kehilangan banyak darah setelah bersalin.Kondisi yang lebih serius bisa terjadi saat plasenta
melekat di otot rahim (plasenta inkreta), dan saat plasenta tumbuh melewati dinding rahim
(plasenta perkreta).Situasi ini biasanya ditangani dengan operasi caesar dan pada sebagian besar
kasus dilanjutkan dengan pengangkatan rahim.

Retensi plasenta (retensio placenta)


Pada proses persalinan, normalnya dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir plasenta akan ikut
dikeluarkan dari rahim.Plasenta disebut tertahan jika organ ini masih menempel pada dinding
rahim dan terjebak di belakang mulut rahim yang setengah tertutup, hingga 30 menit atau satu
jam setelah persalinan.Jika tidak segera ditangani, retensi plasenta dapat membuat ibu kehilangan
banyak darah yang dapat membahayakan nyawa.

Insufisiensi plasenta (placental insufficiency)


Plasenta yang tidak berkembang dengan sempurna atau rusak (insufisiensi plasenta)
merupakan komplikasi serius pada kehamilan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh aliran darah dari
sang ibu tidak mencukupi di masa kehamilan. Plasenta yang tidak berkembang menyebabkan janin
juga tidak dapat berkembang sehingga mengalami kelainan (cacat bawaan lahir), persalinan
prematur, hingga berat badan rendah saat lahir.Kondisi ini dapat disebabkan oleh
anemia, diabetes, hipertensi, kebiasaan merokok, efek samping obat-obatan, dan gangguan
pembekuan darah pada ibu.
Faktor Risiko Gangguan Plasenta
Berbagai gangguan plasenta dapat disebabkan oleh banyak hal, namun pada kebanyakan kasus
gangguan plasenta ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Akan tetapi, ada beberapa
faktor risiko yang dapat memperbesar kemungkinan ibu hamil terkena gangguan plasenta, di
antaranya:
 Tekanan darah tinggi
 Hamil di atas usia 40
 Ketuban pecah dini sebelum waktu bersalin
 Gangguan pembekuan darah
 Mengandung bayi kembar
 Menggunakan narkoba
 Pernah menjalani prosedur medis pada rahim
 Pernah mengalami cedera pada perut, seperti terjatuh atau perut terbentur
 Pernah mengalami gangguan plasenta pada kehamilan sebelumnya
Segera periksakan diri ke dokter kandungan jika Anda mengalami gejala yang mengacu pada /
gangguan plasenta, seperti sakit perut, nyeri punggung yang tidak tertahankan, perdarahan
vagina, dan kontraksi rahim terus-menerus sebelum waktu bersalin.
Selain karena gangguan plasenta, periksakan juga kehamilan Anda ketika Anda mengalami cedera
perut, seperti karena terjatuh atau kecelakaan. Tujuannya agar segala kelainan yang mungkin
terjadi bisa diantisipasi sejak dini.

Anda mungkin juga menyukai