Nim : PO7124322063
HIPEREMISIS GRAVIDARUM
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang terjadi secara berlebihan selama hamil.
Mual dan muntah (morning sickness) pada kehamilan trimester awal sebenarnya normal.
Namun, pada hiperemesis gravidarum, mual dan muntah dapat terjadi sepanjang hari dan berisiko
menyebabkan dehidrasi. Tidak hanya dehidrasi, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan ibu
hamil mengalami gangguan elektrolit dan penurunan berat badan. Kondisi ini perlu segera
ditangani untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan pada ibu hamil dan janinnya.
Gejala utama hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah saat hamil, yang bisa terjadi
hingga lebih dari 3–4 kali sehari. Kondisi ini bisa sampai mengakibatkan hilang nafsu makan dan
penurunan berat badan. Muntah yang berlebihan juga dapat menyebabkan ibu hamil mengalami
pusing, lemas, dan dehidrasi. Selain mual dan muntah secara berlebihan, penderita hiperemesis
gravidarum juga dapat mengalami gejala tambahan berupa:
Sakit kepala
Konstipasi
Sangat sensitif terhadap bau
Inkontinensia urine
Produksi air liur berlebihan
Jantung berdebar
Gejala hiperemesis gravidarum biasanya muncul di usia kehamilan 4–6 minggu dan mulai
mereda pada usia kehamilan 14–20 minggu.
Malnutrisi
Gangguan fungsi hati dan ginjal
Sindrom Mallory-Weiss, yaitu terjadinya robekan pada dinding dalam kerongkongan
(esofagus)
Muntah darah, yang disebabkan oleh perdarahan dari robekan di kerongkongan
Cemas dan depresi
Jika tidak segera ditangani, hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan organ-organ tubuh ibu
hamil gagal berfungsi dan bayi terlahir prematur.
PREEKLAMSI
Preeklamsia adalah tekanan darah tinggi yang berkembang selama kehamilan,masalah
kesehatan ini biasanya berkembang setelah Minggu ke-20 kehamilan.seorang ibu hamil bisa
dikatakan mengalami preeklamsia bila memiliki tekanan darah sistolik 140 mmhg atau lebih atau
tekanan darah diastolik 90 mmhg atau lebih pada dua kali pemeriksaan dengan garam minimal 4
jam. Preeklamsia bisa mempengaruhi organ lain dalam tubuh dan berbahaya bagi ibu dan janin
yang sedang berkembang.
Penyebab Preeklamsia
Penyebab preeklamsia masih belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini diduga terjadi
akibat kelainan perkembangan dan fungsi plasenta, yaitu organ yang berfungsi menyalurkan darah
dan nutrisi untuk janin. Kelainan tersebut menyebabkan pembuluh darah menyempit dan muncul
reaksi yang berbeda dari tubuh ibu hamil terhadap perubahan hormon. Akibatnya, terjadi
gangguan pada ibu hamil dan janin. Meski penyebabnya belum diketahui, ada beberapa faktor
yang diduga memicu preeklamsia, yaitu:
Riwayat penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, dan gangguan darah
Riwayat preeklamsia sebelumnya
Riwayat preeklamsia dalam keluarga
Kehamilan pertama
Kehamilan selanjutnya setelah jeda kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
Hamil di usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun
Mengandung bayi kembar
Obesitas saat hamil
Kehamilan yang sedang dijalani merupakan hasil metode bayi tabung (in vitro fertilization)
Gejala Preeklamsia
Gejala utama preeklamsia adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan adanya protein dalam
urine (proteinuria). Gejala tersebut umumnya bisa terdeteksi saat pemeriksaan kehamilan rutin.
Gejala lain preeklamsia yang umum terjadi adalah:
Sakit-kepala berat
Gangguan penglihatan, seperti pandangan kabur atau sensitif terhadap cahaya
Nyeri di ulu hati atau perut kanan atas
Pusing dan lemas
Sesak napas
Frekuensi buang air kecil dan volume urine menurun
Mual dan muntah
Bengkak pada tungkai, tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain
Berat badan naik secara tiba-tiba.
Diagnosis Preeklamsia
Dokter akan melakukan tanya jawab seputar keluhan yang dialami, serta riwayat kesehatan
pada ibu hamil dan keluarganya. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh, termasuk tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh,
pembengkakan pada tungkai, kaki, dan tangan, serta kondisi kandungan. Jika tekanan darah ibu
hamil lebih dari 140/90 mmHg pada dua kali pemeriksaan dalam jeda waktu 4 jam, dokter akan
melakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis preeklamsia.Pemeriksaan
tersebut meliputi:
Tes urine, untuk mengetahui kadar protein dalam urine
Tes darah, untuk memeriksa fungsi hati, ginjal, dan jumlah trombosit darah
Ultrasonografi (USG), untuk melihat pertumbuhan janin
USG Doppler, untuk mengukur efisiensi aliran darah ke plasenta
Nonstress test (NST) dengan cardiotocography atau CTG, untuk mengukur detak jantung
janin saat bergerak di dalam kandungan.
Komplikasi Preeklamsia
Preeklamsia yang tidak tertangani dapat menyebabkan komplikasi pada ibu hamil, seperti:
Eklamsia
Solusio plasenta
Kerusakan organ, seperti edema paru, gagal ginjal, dan gagal hati
Stroke hemoragik
Penyakit jantung
Gangguan pembekuan darah
Sindrom HELLP
Selain ibu, janin juga dapat mengalami sejumlah komplikasi, seperti:
Pertumbuhan janin terhambat
Lahir prematur
Lahir dengan berat badan rendah
Neonatal respiratory distress syndrome (NRDS)
Pencegahan Preeklamsia
Tidak ada cara khusus untuk mencegah preeklamsia. Namun, ada beberapa upaya yang bias
dilakukan oleh calon ibu dan ibu hamil untuk menurunkan risiko terjadinya preeklamsia, yaitu:
Melakukan kontrol rutin selama kehamilan
Mengontrol tekanan darah dan gula darah jika menderita hipertensi dan diabetes
Menjaga berat badan ideal sebelum dan selama kehamilan
Mengonsumsi makanan bergizi lengkap dan seimbang
Membatasi konsumsi makanan tinggi garam
Berolahraga rutin, baik sebelum maupun selama hamil
Tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol
Mengonsumsi suplemen vitamin dan mineral untuk ibu hamil sesuai saran dokter.
b. Abortus provokatus
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi
dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28 minggu,
atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan
berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Terdiri dari :
Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan
disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu.
Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obatobat
tertentu.
KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rahim. Tergantung lokasi menempelnya sel
telur, gejala kehamilan ektopik dapat menyerupai gejala pada penyakit usus buntu. Apabila tidak segera
ditangani, kehamilan ektopik dapat berakibat fatal bagi ibu. Kehamilan berawal dari sel telur yang
telah dibuahi oleh sel sperma. Pada proses kehamilan normal, sel telur yang telah dibuahi akan
menetap di saluran indung telur (tuba falopi) sebelum dilepaskan ke rahim. Selanjutnya, sel telur
akan menempel di rahim dan terus berkembang hingga masa persalinan tiba.Sementara pada
kehamilan ektopik atau hamil di luar kandungan, sel telur yang telah dibuahi tidak menempel di
rahim. Kehamilan ektopik sering terjadi di tuba falopi. Selain itu, kondisi ini juga bisa terjadi di
indung telur, leher rahim (serviks) atau rongga perut.
Plasenta previa
Plasenta previa terjadi saat plasenta menutup sebagian atau seluruh bagian mulut rahim.
Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan parah pada vagina sebelum waktu bersalin.Hal ini
lebih sering terjadi di masa awal kehamilan dan dapat berkembang seiring dengan perkembangan
rahim. Tindakan operasi caesar adalah satu-satunya metode persalinan yang disarankan untuk ibu
dengan gangguan plasenta previa.
Plasenta akreta
Plasenta akreta adalah situasi saat jaringan plasenta tumbuh terlalu dalam pada dinding rahim.
Kondisi ini dapat menyebabkan wanita hamil mengalami perdarahan pada trimester ketiga dan
kehilangan banyak darah setelah bersalin.Kondisi yang lebih serius bisa terjadi saat plasenta
melekat di otot rahim (plasenta inkreta), dan saat plasenta tumbuh melewati dinding rahim
(plasenta perkreta).Situasi ini biasanya ditangani dengan operasi caesar dan pada sebagian besar
kasus dilanjutkan dengan pengangkatan rahim.