Anda di halaman 1dari 33

37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Gambaran Umum Lokasi Praktikum

Menurut Zawani (2010), perairan Tambak Lorok Semarang termasuk daerah

Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat praktikum Daerah Penangkapan Ikan.

Secara geografi wilayah penentuan daerah penangkapan ikan berada pada

koordinat 06 18' LS - 06 48' LS dan 110 17' BT - 110 46' BT.

Perairan Tambak Lorok berbatasan langsung dengan :

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah selatan : TPI Tambak Lorok, Semarang

Sebelah Timur : Perairan Demak

Sebelah Barat : Pelabuhan Tanjung Mas

Pantai Perairan Tambak Lorok, Semarang seperti pada umumnya daerah

Pantai Utara Jawa merupakan pantai yang landai, dangkal, ombak relatif kecil dan

arus tidak begitu kuat. Dasar perairan terdiri dari lumpur dan banyak terdapat

sampah di dasar perairan muara, karena di sepanjang muara terdapat

perkampungan masyarakat dan terdapat dermaga bagi pemberhentian kapal sopek

masyarakat. Kebanyakan penduduk di Tambak Lorok bermukim dekat dengan

perairan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat di daerah

tersebut bekerja sebagai nelayan, selain pemukiman penduduk yang berada dekat

dengan perairan, juga terdapat kapal-kapal nelayan yang bersandar ditepi perairan.

Menurut Arum dan Puji (2010), Tambak Lorok adalah suatu dusun di mana

merupakan bagian dari Kelurahan Tanjung Mas yang sebagian besar

masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun hasil laut yang


38

berupa ikan tidak dikonsumsi tapi dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tambak Lorok Kelurahan Tanjung Mas Kota Semarang memiliki luas wilayah

kering 271.782 Ha dan tanah basah 51,5 Ha dengan curah hujan 1000 mm/thn.

Terdiri dari 16 RW dan 128 RT dengan jumlah Kepala Keluarga 6133 KK, dan

sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan (661 orang). Tambak Lorok

bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa.

IV.2. Deskripsi Kapal dan Alat Tangkap

Kapal yang digunakan merupakan kapal tradisional berbahan kayu jati, jenis

Sopek, dengan panjang total 7,5 m, dan memiliki tonasse 3 GT. Mesin yang

digunakan adalah mesin diesel berbahan solar buatan Cina dengan merek Jetman,

tipe ZS1110, dengan kapasitas daya 20 HP, 2200 RPM, dan memilki berat 180 kg.

Kapal tersebut dioperasikan pada daerah perairan yang tidak tarlalu dalam. Untuk

alat tangkap yang digunakan pada praktikum Daerah Penangkapan Ikan,

menggunakan alat tangkap trammel net pada stasiun I dan arad pada stasiun II, III,

dan IV.

Alat tangkap trammel net dioperasikan pada stasiun pertama. Alat tangkap

ini mempunyai ukuran panjang tali ris atas 40 m, diameter 3 mm, besar mata

jaring (mesh size) untuk inner adalah2 inci dan outer adalah 5 inci. Jumlah mata

jaring vertikal 100 buah sedangkan jumlah mata jaring horisontal 600. Panjang

tali ris bawah adalah 45 m. Menurut Astrini (2004), trammel net merupakan suatu

jenis jaring yang terdiri dari tiga lapis jaring sehingga trammel net sering pula

disebut jatilap (jaring tiga lapis). Tiga lapis jaring tersebut terdiri dari dua lapis

bagian luar (outer net) yang mengapit satu lapis jaring bagian dalam (inner net).
39

Dimana jaring bagian dalam memiliki ukuran mata yang lebih kecil dibanding

ukuran mata jaring bagian luar.

Alat tangkap kedua yang digunakan pada praktikum adalah arad. Alat

tangkap tersebut dioperasikan pada stasiun II, III dan IV. Mempunyai ukuran

Panjang tali sampel (a) adalah 1 m, Bukaan tali sampel (b) adalah 0.2 m, Panjang

tali selambar (c) yaitu 12 m, besarnya bukaan otter board 2.4 m, dan perkiraan

bukaan mulut jaring adalah 1.92 m, Luas sapuan jaring yaitu 8812.8 m. Menurut

Manadiyanto, et al. (2000) dalam Wahyu (2012), jaring arad adalah alat

penangkap yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu.

Pengoperasiannya dilakukan dengan ditarik oleh perahu motor membentuk luasan

sapuan tertentu. Ikan sasaran penangkapan jaring arad adalah ikanikan dasar

(demersal) termasuk udang.

IV.3. Komposisi hasil tangkapan


IV.3.1. Trammel net

Hasil tangkapan trammel net stasiun I terdapat pada Tabel.

Tabel 3. Hasil tangkapan alat tangkap trammel netpada stasiun I


J Pnjang
m B (cm)
l r
h a
N t M
Jenis tangkapan M
o ( ( a
i
e g k
n
k r s
r )
)
1. Ikan peperek (Leiognathus sp.) 1 2 1 -
40

0 0
Ikan grabak (Pristipomoides multidens) 1 1
7 0 6
2. 5
0 , ,
3 5
Ikan dorang (Carangoides 7 1
3. 1 -
caeruleopinnaius) 0 3
Ikan kembung (Rastreliger kanagurta) 1
9 7
4. 1 -
0 ,
5
2
Jumlah 8 5
0
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

Ikan peperek (Leiognathus sp.)


Ikan grabak (Pristipomoides multidens)
Ikan kembung
8.00%
Ikan dorang (Carangoides caeruleopinnaius)
36.00% Ikan kembung (Rastreliger kanagurta)
28.00%

28.00%

Gambar 1. Hasil tangkapan trammel net pada stasiun I

Berdasarkan praktikum Daerah Penangkapan Ikan yang telah dilakukan

dengan menggunakan alat tangkap trammel net didapatkan hasil tangkapan yaitu
41

ikan peperek satu ekor dengan berat 20 gram, ikan grabak berjumlah 5 ekor

dengan berat total 70 gram, ikan dorang satu ekor dengan berat 70 gram, dan ikan

kembung satu ekor dengan berat 90 gram.

Penggunaan alat tangkap dan hasil tangkapan dapat menunjukkan gambaran

dari daerah penangkapan ikan. Hasil tangkapan berupa ikan kembung dan ikan

peperek dapat dijadikan gambaran daerah penangkapan ikan pada alat tangkap

trammel net. Ikan kembung memiliki penyebaran berada didekat daerah pantai

dengan kondisi perairan tidak terlalu dalam. Menurut Genisa (1999), Rastrelliger

kanagurta (Scombridae) atau kembung lelaki hidup diperairan pantai, lepas

pantai, bergerombol besar, pemakan plankton kasar, dapat mencapai panjang 35

cm, umumnya 20 - 25 cm. Tertangkapnya ikan peperek menujukkan bahwa ikan

ini terdapat pada perairan yang tidak terlalu dalam, karena dapat tertangkap

menggunakan trammel net yang dioperasikan pada perairan yang tidak terlalu

dalam. Menurut Rudyansyah (2013), ikan dari famili Leiognathidae terutama

hidup di laut tetapi beberapa spesies hidup di air tawar. Ikan ini biasa hidup di

perairan pesisir dangkal dan teluk pasang surut.

IV.3.2. Arad

Hasil tangkapan Arad pada stasiun II tersaji pada Tabel.

Tabel 4. Hasil tangkapan arad pada stasiun II


N Jenis ikan J B Pnjang
o m r (cm)
M M
. l a
a i
h t
k n
s
( (
e g
k r
42

o )
r
Udang putih (Panaeus marguensis) 4
1 4 1
0 6
. 0 4
0
Udang ronggeng (Harpiossquila 1 9 8
2
harpus) 9 0 , ,
.
0 5 5
3 Ikan kapasan (Glaucosoma 5 1
3 9
. buergeri) 0 0
Ikan sebelah (Perapiaguslo 8
4 5 1
bilinaata) 3 ,
. 0 2
5
Ikan peperek (Leiognathus sp.) 5
5 2
3 7 ,
. 0
5
6 Ikan jambang (Terapon therapa) 6 1 1
2
. 0 1 0
Ikan grabak (Pristipomoides 1
7 multidens) 6 4 1
8
. 0 , 0
5
7
8
Jumlah 4
6
0
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014.
43

Udang putih (Panaeus marguensis)


UdangUdang
ronggeng (Harpiossquila harpus)
putih
11.76%
Ikan Udang (Glaucosoma buergeri)
kapasan
ronggeng
Ikan sebelah
2.94% (Perapiaguslo bilinaata)
Ikan kapasan
4.41%
Ikan peperek (Leiognathus sp.)
4.41%Ikan sebelah
Ikan jambang (Terapon therapa)
4.41% Ikan petek
Ikan grabak 58.82%
(Pristipomoides multidens)
Ikan jambang
13.24%
Ikan grabak
Ikan grabak (Prinipomoides multidens)

Gambar 2. Hasil tangkapan arad pada stasiun II

Hasil tangkapan pada stasiun II, berupa crustacea yaitu udang putih

berjumlah 40 ekor dengan berat total 400 gram, udang ronggeng dengan jumlah 9

ekor dengan berat total 100 gram. Selain crustacea, diperoleh hasil berupa ikan,

yaitu ikan kapasan berjumlah 3 ekor dengan berat total 50 gram, ikan peperek

berjumlah 3 ekor dengan berat total 20 gram, dan ikan jambang 2 ekor dengan

berat total 60 gram. Jumlah keseluruhan hasil tangkapan adalah 86 ekor, dengan

jumlah tangkapan tertinggi adalah udang putih dan jumlah tangkapan terendah

adalah ikan jambang.

Hasil tangkapan yang didapat pada stasiun III tersaji pada Tabel.

Tabel 5. Hasil tangkapan arad pada stasiun III


N Jenis tangkapan J B Pnjang
o m ra (cm)
M M
. l t
a i
h (g
44

k
n
r) s
(
e
k
Udang putih (Panaeus marguensis) 3
1 3 1
7 7
. 1 3
0
Udang ronggeng (Harpiossquila 1 8
2 1
harpus) 7 2 ,
. 3
0 5
Sotong (Sephia sp.) 1
2
3 1
7 2 5
. ,
0
5
Ikan grabak (Pristipomoides 1 1
1
4 multidens) 3 1
7 0
. , ,
0
5 5
5 Ikan sebelah (Perapiaguslo 9 2
1 -
. bilinaata) 0 2
Ikan jambang (Terapon therapa) 9 8
6 6
2 , ,
. 0
5 5
Rajungan (Portunus pelagicus) 2
7 1 1
7 5
. 5 5
0
jumlah 6
1210
2
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014.
45

Udang putih (Panaeus marguensis)


Udang putih
Udang ronggeng (Harpiossquila harpus)
Udang ronggeng
3.23% 11.29%
Sotong
1.61% Sotong (Sephia sp.)
Ikan grabak
11.29% Ikan grabak 50.00%
(Pristipomoides multidens)
Ikan sebelah
11.29% Ikan sebelah (Perapiaguslo bilinaata)
Ikan jambang
11.29%
Ikan jambang (Terapon therapa)
Rajungan
Rajungan (Portunus pelagicus)

Gambar 3. Hasil tangkapan arad pada stasiun III

Hasil tangkapan yang diperoleh dari stasiun III yaitu berupa jenis crustacea,

ikan dan cephalopoda. Hasil yang didapat yaitu udang putih berjumlah 31 ekor

dengan berat total 370 gram, udang ronggeng, sotong, ikan grabak, dan rajungan

yang masing-masing berjumlah 7 ekor dengan berat total masing-masing yaitu

120 gram, 220 gram, 100 gram, dan 250 gram. Kemudian ikan sebelah satu ekor

dengan berat 90 gram dan ikan jambang 2 ekor dangan berat total 60 gram. Total

jumlah keseluruhan hasil tangkapan adalah 62 ekor, dengan hasil tangkapan

tertinggi adalah udang putih, sedangkan hasil tangkapan terendah adalah ikan

sebelah.

Hasil tangkapan yang didapat pada stasiun IV tersaji pada Tabel.

Tabel 6. Hasil tangkapan arad pada stasiun IV


N Jenis tangkapan J B Pnjang
o m r (cm)
M M
l a
a i
h t
k n
(
s
( g
e r
k )
46

r
Udang putih (Panaeus marguensis) ) 1
4
3 4
1. 1 6
3 ,
0
5
Kepiting (Scylla serrata) 1
1
2
2. 1 0 -
,
0
5
Cumi-cumi (Loligo sp.) 3
3
3. 1 , -
0
5
Ikan grabak (Pristipomoides 1 9
1
4. multidens) 3 2 ,
9
0 5
Rajungan (Portunus pelagicus) 1
1
5. 5 1 8
2
0
6. Udang ronggeng (Harpiossquila 7 9 1 9
harpus) 0 2
8
5
Jumlah 6
0
0
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014.

udang putih
Udang putih (Panaeus marguensis)
kepiting
14.00%
Kepiting (Scylla serrata)
cumi2
10.00%
Cumi-cumi (Loligo sp.)
6.00%ikan grabak
Ikan grabak
2.00% (Pristipomoides multidens)
rajungan 66.00%
2.00% (Portunus pelagicus)
Rajungan
udang ronggeng
Udang ronggeng(Harpiossquila harpus)
47

Gambar 4. Hasil tangkapan arad pada stasiun IV

Hasil tangkapan yang diperoleh pada stasiun III berupa crustacea, ikan, dan

cephalopoda. Jenis crustacea yang didapatkan yaitu udang putih berjumlah 33

ekor dengan berat total 410 gram, kepiting berjumlah satu ekor dengan berat 100

gram, rajungan berjumlah 5 ekor dengan berat total 110 gram, dan udang

ronggeng berjumlah 7 ekor dengan berat total 90 gram. Ikan yang didapat hanya

satu jenis, yaitu ikan grabak berjumlah 3 ekor dengan berat total 120 gram. Begitu

juga dengan cephalopoda yang didapat hanya satu jenis yaitu satu ekor cumi-cumi

dengan berat 30 gram. Dari hasil tangkapan yang diperoleh, total jumlah hasil

tangkapan adalah 50 ekor, dengan hasil tangkapan tertinggi adalah udang putih

dan tangkapan terendah adalah kepiting dan cumi-cumi.

Hasil tangkapan arad dengan jumlah tangkapan tertinggi dari seluruh stasiun

adalah crustacea, yaitu udang putih dan udang ronggeng yang terdapat pada

seluruh hasil tangkapan dari tiap stasiun, kemudian diikuti oleh rajungan dan

kepiting. Kemudian diikuti hasil tangkapan lainnya yaitu berupa ikan, dan

cephalopoda seperti sotong dan cumi-cumi. Banyaknya tangkapan berupa udang-

udangan pada alat tangkap arad disebabkan karena daerah pengoperasian arad

adalah daerah substrat berpasir yang merupakan habitat dari udang-udangan.

Menurut Khaerudin (2006) dalam Sirait (2008), hasil tangkapan utama jarring

arad adalah udang (Penaidae). Sedangkan hasil tangkapan sampingan berupa


48

ikan-ikan demersal yang berukuran kecil seperti peperek (Leiognathu sp.),

gulamah (Pseudosciena sp.), beloso (Sauridatumbil), tenggiri (Scomberomoru sp.)

dan lain-lain.

Hasil tangkapan berupa ikan peperekmeskipun merupakan ikan tangkapan

sampingan, namun dapat dijadikan indikator bahwa daerah penangkapan arad

merupakan daerah substrat dan dasar perairan. Hal ini dapat diketahui bahwa ikan

ini merupakan ikan demersal dan terdapat pada daerah substrat berpasir. Menurut

Wiadnya (2012), ikan peperek atau dengan nama lokal pepetek termasuk jenis

ikan demersal. Habitatnya adalah perairan pantai dengan tipe dasar lunak (pasir

halus dan campuran lumpur) dari Muara Sungai. Perairan Utara Jawa dan

Kalimantan merupakan fishing ground utama dari perikanan ini. Secara tidak

sengaja ikan ini juga menjadi hasil samping dari alat trawl dan dogol (Danish

seine). Selain ikan peperek, hasil tangkapan lainnya seperti rajungan, kepiting,

sotong dan cumi-cumi bukan merupakan tangkapan utama, namun dapat

tertangkap karena tempat hidup mereka berada didekat dasar perairan. Menurut

Mulyadi (2001) dalam Budiman (2006), biota lain yang hidup di dasar dekat perairan

meliputi jenis crustacea (udang, rajungan, kepiting) dan jenis mollusca (cumicumi,

sotong, gurita, tiram, simping, remis dan kerang dasar) dan binatang lainnya(teripang,

binatang laut).

IV.4. Kondisi Parameter Oseanografi


IV.4.1. Suhu

Hasil pengamatan suhu air dan udara pada praktikum daerah penangkapan

ikan adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Hasil pengamatan suhu perairan


49

Suhu (oC)

Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Air Udra Air Udra Air Udra Air Udra


Setting 30 31 30 31 29,8 32 32 31
Menit ke 5 - - 29,9 31 29,8 30 30,4 31
Menit ke 10 - - 29,9 31 29,7 31 29,9 31
Menit ke 15 - - 29,8 31 29,7 32 29,8 32
Menit ke 20 - - 29,8 31 29,7 32 29,8 32
Menit ke 25 - - 29,9 31 29,8 32 29,7 30
Menit ke 30 - - 29,8 31 29,8 31 29,7 31

Lanjutan Tabel 7. Hasil pengamatan suhu perairan


Suhu (oC)

Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Air Udra Air Udra Air Udra Air Udra


Hauling 30,2 31 29,9 32 29,8 32 29,7 31
x 30,1 31 29,8 31,1 29,76 31,5 30,1 31,1
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014
50

32.5

32

31.5

31

30.5
Suhu air(oC)

Stasiun I
30 Stasiun II
Stasiun III
29.5 Stasiun IV

29

28.5
g0 5e 5 10 10 15 15 2020 2525 3030 35 ng
in i
tt tk ke ke ke ke ke ul
Se en
i it it
Waktu it
(menit it
ke-) it H
a
M en en en en en
M M M M M

Gambar 5. Hasil pengamatan Suhu air


51

32.5
32
31.5
31
Suhu udara (oC)

30.5 Stasiun I
Stasiun II
30 Stasiun III
29.5 Stasiun IV
29

0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (menit ke-)

Gambar 6. Hasil pengamatan Suhu udara

Pada saat pengoperasian alat tangkap trammel net (stasiun I) dan arad

(stasiun II, III, IV) suhu perairan cenderung mengalami perubahan walaupun

sangat kecil. Suhu air pada alat tangkap trammel net pada saat setting adalah 30oC

dan pada saat hauling 30,2 oC. Sedangkan suhu air pada saat pengoperasian alat

tangkap arad (stasiun II, III, IV) rata-rata adalah 29,8oC, 29,76oC dan 30,1oC. Pada

saat pengoperasian alat tangkap trammel net (stasiun I) dan arad (stasiun II, III,

IV) suhu udara cenderung konstan. Suhu air pada alat tangkap trammel net pada
52

saat setting adalah 31oC dan pada saat hauling 31oC. Sedangkan suhu air pada saat

pengoperasian alat tangkap arad (stasiun II, III, IV) rata-rata adalah 31,1 oC,

31,5oC dan 31,1oC. Karena sifat air yang tidak mudah melepas dan menerima

panas, sehingga suhu air mengalami perubahan secara perlahan. Selain itu juga

faktor kedalaman juga mempengaruhi suhu perairan. Semakin dalam suatu

perairan maka suhu akan semakin rendah. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh

musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam

hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air.

Laevastu dan Hela (1970) dalam Suhartono dkk (2013), menyatakan bahwa

pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti

pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan

renang, serta dalam rangsangan syaraf sehingga ikan sangat peka

terhadapperubahan suhu walau hanya sebesar 0,03 oC. Meskipun suhunya relatif

tinggi, namun masih dalam batas toleransi bagi kehidupan ikan sebagaimana

dijelaskan oleh Romimohtarto (2002) bahwa suhu yang berkisar antara 27 oC 32oC

baik untuk kehidupan organisme perairan.

IV.4.2. Arus

Hasil pengamatan terhadap arus pada saat praktikum terdapat pada Tabel.

Tabel 8. Hasil pengukuran Parameter Arus


Arus (m/s)
Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Setting 0,12 0,89 0,76 0,83


Menit ke 5 - 0,62 0,83 0,66
Menit ke 10 - 0,75 0,81 0,82
Menit ke 15 - 0,58 0,8 0,8
Menit ke 20 - 0,63 0,82 0,91
Menit ke 25 - 0,73 0,83 0,59
Menit ke 30 - 0,71 0,8 0,89
53

Hauling 0,12 0,48 0,41 0,3

x 0,12 0,67 0,76 0,73


Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5 Stasiun I
Arus (m/s)

0.4
Stasiun II
0.3
Stasiun III
0.2
Stasiun IV
0.1
0

0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (menit ke-)

Gambar 7. Hasil pengamatan kecepatan Arus

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa rata-rata kecepatan arus


54

pada pengoperasian alat tangkap trammel net (stasiun I) adalah 0,12 m/s,

sedangkan rata-rata kecepatan arus pada saat pengoperasian alat tangkap arad

(Stasiun II, Stasuiun III, dan Stasiun IV) adalah 0,67 m/s, 0,76 m/s dan 0,73 m/s.

Dari hasil pengukuran diketahui, semakin jauh dari pantai kecepatan arus

cenderung semakin tinggi. Radiasi matahari merupakan faktor primer yang

menyebabkan timbulnya arus di laut. Karena adanya pemanasan yang berbeda

dari satu tempat ke tempat yang lain, akibatnya angin berhembus dari daerah

tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah.

Menurut Effendi (2003), peningkatan kecepatan arus ini dapat disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu:

1. Kecepatan angin

Umumnya makin kencang angin yang bertiup maka makin besar arus yang

terbentuk. Arus ini terbentuk karena lapisan bagian bawah angin tersebut

mengalami gaya kohesi (gaya tarik menarik antar partikel), sehingga air di

lapisan bawahnya ikut terseret, namun pengaruhnya semakin berkurang

yang pada akhirnya akan mencapai nol.

2. Waktu dimana angin sedang bertiup.

Kecepatan arus seluruhnya cenderung meningkat sesuai dengan

meningkatnya waktu pada saat angin yang membangkitkan arus mulai

bertiup. Seiring naiknya matahari terjadi pemanasan yang tidak merata

antara daratan dengan perairan. Kecepatan penyerapan panas oleh daratan

tidak diikuti oleh kecepatan penyerapan panas oleh perairan sehingga

perbedaan tekanan udara semakin tinggi.

3. Jarak tanpa rintangan dimana angin sedang bertiup (Fetch).


55

Di perairan bebas, kecepatan arus semakin tinggi, hal ini dikarenakan tidak

adanya bangunan yang mengalangi angin bertiup.

4. Pengaruh gesekan dengan dasar perairan

Semakin jauh dari pantai, kedalaman perairan semakin bertambah. Arus

yang merupakan gerakan berputar kecepatannya semakin bertambah besar

ketika semakin jauh dari pantai karena hilangnya hambatan yang terjadi

akibat gesekan dengan dasar perairan.

Kecepatan arus dapat dibedakan dalam 4 kategori yakni kecepatan arus 0 -

0,25 m/dtk yang disebut arus lambat, kecepatan arus 0,25 - 0,50 m/dtk yang

disebut arus sedang, kecepatan arus 50 - 1 m/dtk yang disebut arus cepat, dan

kecepatan arus diatas 1 m/dtk yang disebut arus sangat cepat (Harahap dalam

Ihsan, 2009) dalam Sari dan Usman (2012). Berdasarkan kategori kecepatan arus

menurut Harahap di atas maka kecepatan arus selama penelitian di perairan

Tambak Lorok digolongkan diantara arus sedang sampai arus cepat.

Menurut Sudirman dan Mallawa (2004) dalam Suhartono dkk (2013),

bahwa dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring

seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan rambo dan gillnet, faktor arus sangat

mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan dengan toleransi terhadap

kecepatan arus sampai kecepatan 3 knot. Menurut Budiman (2006), daerah

penangkapan (fishing ground) dari alat tangkap trammel net adalah perairan pantai

yang mempunyai dasar perairan lumpur, pasir atau campuran lumpur dan pasir,

topografi dasar perairan relatif datar. Dasar perairan tidak terdapat penghalang

seperti karang, tonggak bekas bagan, rongsokan kapal dan lain-lain. Kedalaman

perairan berkisar antara 3 sampai 21 meter. Perairan mempunyai arus dan


56

gelombang yang tidak terlalu besar, sehingga pembukaan mulut jaring dapat

sempurna. Laevastu dan Hayes (1990) dalam Suhartono dkk (2013), menyatakan

bahwa arus dan perubahannya sangat penting dalam operasi penangkapan,

perubahan dalam kelimpahan dan keberadaan ikan.


IV.4.3. Salinitas

Hasil pengamatan terhadap nilai salinitas pada saat praktikum terdapat pada

Tabel.

Tabel 9. Hasil pengamatan nilai Salinitas


Salinitas ()
Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
Setting 26 27 27 30
Menit ke 5 - 27 27 30
Menit ke 10 - 27 27 30
Menit ke 15 - 27 29 30
Menit ke 20 - 28 30 30
Menit ke 25 - 28 30 30
Lanjutan Tabel 9. Hasil pengamatan nilai Salinitas
Salinitas ()
Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Menit ke 30 - 28 30 30
Hauling 30 28 30 30
x 28 27,5 28,75 30
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014
57

31

30

29

28
Salinitas ()

Stasiun I
27
Stasiun II
26 Stasiun III
Stasiun IV
25
24

0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (menit ke-)

Gambar 8. Hasil pengamatan nilai Salinitas

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa rata-rata nilai salinitas pada

pengoperasian alat tangkap trammel net (stasiun I) adalah 0,28, sedangkan rata-

rata nilai salinitas pada saat pengoperasian alat tangkap arad (Stasiun II, Stasuiun

III, dan Stasiun IV) adalah 27,5, 28,75 dan 30. Dari hasil tersebut dapat

dilihat bahwa nilai salinitas semakin bertambah besar. Secara umum salinitas

semakin tinggi seiring dengan semakin jauhnya jarak yang ditempuh dari pantai
58

(semakin ke tengah). Hal ini dikarenakan semakin ke tengah maka semakin jauh

dari daerah estuarin.

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum daerah penangkapan ikan

yang telah kami lakukan, Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan kadar

salinitas pada saatpelaksanaan praktikum yaitu, besar kecilnya penguapan atau

evaporasi, penguapan menyebabkan bertambahnya kadar salinitas karena

penguapan menyebabkan berkurangnya volume air sedangkan kadar garam yang

terlarut dalam air tetap. Semakin besar penguapan maka semakin besar pula kadar

salinitasnya. Faktor lainnya adalah jumlah muara sungai. Semakin banyak sungai

yang bermuara ke laut maka kadar salinitasnya akan semakin rendah.

Gower dalam Zainuddin dkk (2007) dalam Suhartono dkk (2013), bahwa

suatu daerah perairan memiliki rentang tertentu dimana ikan berkumpul untuk

melakukan adaptasi fisiologis terhadap faktor lain misalnya suhu, arus, dan

salinitas yang lebih sesuai dengan yang diinginkan ikan, namun keberadaan

konsentrasi klorofil-a di atas 0,2 mg m -2 mengindikasikan keberadaan plankton

yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan ekonomis penting.

IV.4.4. Substrat dasar

Berdasarkan hasil pengamatan praktikum pada substrat dasar didapatkan

presentase fraksi pasir 0 %, fraksi lempung presentasenya 58% dan presentase

pada fraksi liat 42%. Substrat dasar perairan tempat pelaksanaan praktikum adalah

lumpur yang dapat dilihat dari lumpur yang terbawa alat tangkap arad dan jangkar

kapal. Perairan Semarang merupakan daerah estuaria yang dekat dengan muara

sungai. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur, yang sering kali

sangat lunak. Substrat berlumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa kedalam
59

estuaria baik oleh air laut maupun air tawar. Pengangkutan partikel pasir yang

lebih besar oleh angin ke dalam estuaria sering kali penting artinya di beberapa

daerah, khususnya bagi gobah pesisir pantai yang terletak di belakang pantai.

Mengenai air tawar sungai mengangkut partikel lumpur dalam bentuk suspensi.

Menurut Wibisono (2005) dalam Nugraheni (2011), substrat dasar laut

merupakan habitat berbagai ikan demersal. Beberapa ikan lebih menyukai

terumbu karang sebagai tempat hidupnya, namun ada beberapa ikan yang lebih

menyukai substrat pasir atau lumpur sebagai tempat hidupnya. Pada substrat pasir

atau lumpur terdapat berbagai jenis bentos yang hidup di dalamnya. Menurut

Laveastu dan Hayes (1987) dalam Budiman (2006), pada umumnya Ikan

Demersal melewatkan waktu siang di dasar perairan dan menyebar pada kolom

air, hal ini dilakukan untuk menghindari konsentrasi pytoplankton yang pada

waktu siang hari mengeluarkan zat beracun. Substrat dasar sangat mempengaruhi

kelimpahan populasi Ikan Demersal. Hal tersebut diperkuat oleh Budiman (2006),

habitat sebagian spesies hidup pada perairan dangkal sebagian besar spesies hidup

pada substrat lumpur, lumpur pasir, sebagian kecil spesies hidup pada permukaan

dengan dasar lumpur.

IV.4.5. Kedalaman

Hasil pengamatan terhadap kedalaman perairan pada saat praktikum terdapat

pada Tabel.

Tabel 10. Hasil pengamatan Kedalaman perairan


Kedalaman (m)
Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Setting 6,1 5,6 6 5,2


Menit ke 5 - 5,4 5,7 5,9
Menit ke 10 - 5,6 5,6 5,4
60

Menit ke 15 - 5,2 5,1 5,1


Menit ke 20 - 5,4 4,9 5,7
Menit ke 25 - 6,1 5 5,3
Lanjutan Tabel 10. Hasil pengamatan Kedalaman perairan
Kedalaman (m)
Kegiatan
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

Menit ke 30 - 6,1 5,7 5,2


Hauling 7,3 6,5 5,2 9,6
x 6,7 5,7 5,4 5,9
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

12

10

8
Kedalaman (m)

6 Stasiun I
4 Stasiun II
Stasiun III
2 Stasiun IV
0
61

0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (menit ke-)

Gambar 9. Hasil pengamatan Kedalaman perairan

Dari hasil pengamatan kedalaman pada praktikum daerah penangkapan ikan

yang dilakukan, pada stasiun I kedalaman perairan yang paling dalam adalah

sebesar 7,3 m. Stasiun II kedalaman yang paling dalam adalah sebesar 6,5 m,

sedangkan pada stasiun III kedalaman yang paling dalam adalah sebesar 6 m dan

stasiun IV kedalaman yang paling dalam adalah sebesar 9,6 m. Secara umum

didapatkan bahwa semakin ke tengah maka kedalaman laut akan semakin besar.

Namun pertambahan kedalaman pada lokasi sampling tidak rata, sehingga didapat

daerah tengah laut yang memiliki kedalaman yang dangkal.

Menurut Effendi (2003), perbedaan kedalaman ini disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu:

1. Dasar perairan yang tidak sama teksturnya dan substrat dasarnya

yang berbeda-beda yang terdiri dari batu-batu karang, pasir, dan lumpur;

dan

2. Pengaruh arus, arus merupakan massa air yang bergerak. Massa air

yang bergerak ini menyeret material-material yang dilewatinya. Akibat

penyeretan ini terjadi penimbunan material-material yang terbawa arus di

daerah-daerah tertentu.
62

Ruaya Ikan Demersal tidak didasarkan pada pengaruh suhu, salinitas. atau

makanan, tetapi untuk berpijah. Disamping itu distribusiatau sebaran Ikan Demersal

sangat dibatasi oleh kedalaman perairan, karena tiap jenis ikan hanya mampu

bertoleransi terhadap kedalaman tertentusebagai akibat perbedaan tekanan air, karena

semakin dalam suatu perairanakan semakin besar tekanan yang diterima. Menurut

Widodo (1980) dalam Budiman (2006), kedalaman suatu perairan merupakan

salahsatu faktor terpenting yang berpengaruh terhadap penyebaran Ikan Demersal.

Ikan Demersal mempunyai aktifitas rendah ruayanya tidak jauhdan gerombolannya

tidak terlalu besar. Menurut Budiman (2006), ikan Petek/Peperek (Leiognathidae)

merupakan ikan yang menggerombol di perairan dangkal. Kepadatan tertinggi

terdapat di Pantai Jawa Tengah, tenggara Pulau Laut/Kalimantan selatan, lepas Pantai

utara Jawa Timur.

IV.5. Parameter Biologi


IV.5.1. Produktivitas primer

Produtivitas primer dalam hal ini adalah kelimpahan plankton yang ada

didalam perairan tersebut. Adapun hasil plankton yang diperoleh dari praktikum

Daerah Penangkapan Ikan terdapat pada Tabel.

Tabel 11. Hasil Pengamatan Plankton


No Nama Spesies Jumlah
1. Hemiaulus indieus 1
2. Nodularia spumgena mert 1
3. Dactyla coccopsis raphidioidea hansg 1
4. Hemisinella parva 1
5. Closlerium 1
6. Phormodium sp 1
7. Jouvenil 1
8. Sphaerocyatna schrocteri 1
9. Spirulina taxissima g.swest 1
10 Cystodinium dengan zoospora 1
63

.
11. Coelospaenium kuetzingianum 2
12
Bacteriastrum varians 1
.
13
Thalassiosira 1
.
14
Caectocceros elmorei boyer 2
.
15
Capsosira brebissonii 2
.
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

Keberadaan plankton di suatu perairan merupakan suatu indikator dari

perairan itu sendiri. Banyak sedikitnya plankton yang ada di perairan dapat

dijadikan suatu penentu apakah perairan tersebut subur atau tidak. Kesuburan

perairan itulah yang pada akhirnya menentukan kelimpahan dari ikan itu sendiri.

Plankton merupakan sumber makanan bagi ikan, oleh karena itu,

pengidentifikasian mengenai plankton memang perlu dilakukan untuk membantu

dalam proses penentuan daerak penangkpan ikan itu sendiri.

Plankton dalam perairan menjadi biota yang vital, karena plankton

merupakan makanan ikan. Dalam rantai makanan, plankton berada pada posisi

pertama sehingga menjadi pemeran utama dalam siklus makanan ikan.

Kelimpahan plankton akhirnya menjadi penentu akan kelimpahan ikan tersebut.

Berdasarkan pernyataan Odum (1971) dalam Widowati (2004),

produktivitas primer adalah kecepatan penyimpanan energi radiasi matahari

melalui proses fotosintesisi dan kemosintesa oleh organisme produsen dalam

bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan makanan. Kemampuan

suatu peraian untuk menghasilkan sumberdaya hayati ditentukan oleh

produktivitas primernya. Sedangkan produktivitas primer perairan


64

diidentifikasikan dengan kelimpahan atau klorofil yang terkandung di dalamnya.

Produktivitas primer merupakan awal dari rangkaian rantai makanan sehingga

tingginya produktivitas primer di suatu perairan memungkinkan tingginya

produktivitas sekunder di perairan tersebut. Proses fotosintesis memproduksi

oksigen terlarut dalam air. Oksigen tersebut dimanfaatkan oleh bakteri untuk

melakukan respirasi dan menghasilkan CO2.

Hasil dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan berklorofil

disebut sebagai produktivitas primer. Fotosintesis yang memainkan peranan

sangat penting dalam pengaturan metabolisme komunitas, sangat dipengaruhi oleh

intensitas cahaya matahari, konsentrasi karbondioksida terlarut dan faktor

temperatur.

IV.6. Kepadatan Stok Ikan Demersal

Kepadatan stok tiap stasiun tidak teratur atau naik turun, hal ini dapat

disebabkan banyak faktor diantaranya adalah faktor oseanografi, alat tangkap,

sarana kapal, dan praktikum sendiri. Pada kenyataannya distasiun II dan III

kepadatan stok ikan demersalnya lebih rendah dibanding kepadatan stok di stasiun

II, yang seharusnya semakin dalam suatu perairan hasil tangkapan lebih banyak.

Menurut Suhariyono (2003) dalam Budiman (2006), bahwa kedalaman

faktor yang tidak hanya membatasi penyebaran tetapi juga memisah-misahkan

secara nyata pergerakan Ikan Demersal. Sehingga Ikan Demersal sangat

membutuhkan dasar perairan dengan tekstur tanah lumpur berpasir.

Kepadatan stok ikan demersal pada setiap tahun sampling per spesies

tersaji pada tabel berikut ini:


65

Tabel 12. Kepadatan stok ikan demersal per spesies


Stasi
N Kepadata
un
o Nama Spesies n Stok
Sam
. (kg/km2)
pling
1
II Udang Putih (Panaeus marguensis) 0,008
.
2 Udang Ronggeng (Harpiossquila
0,009
. haspus)
3
Ikan Kapasan (Glaucosoma baergeri) 0,014
.
4 Ikan Grabak (Priripomoides
0,006
. multidens)
5 Ikan Sebelah (Perapiagusla
0,014
. bilinaala)
6
Ikan Jambrung (Terapon therapa) 0,025
.
7
Ikan Petek (Leiognatus fasciarus) 0,005
.
1
III Udang putih (Panaeus marguensis) 0,009
.
2 Udang Ronggeng (Harpiossquila
0,014
. haspus)
3
Sotong (Sephia sp) 0,025
.
4 Ikan Grabak (Priripomoides
0,011
. multidens)
5 Ikan Sebelah (Perapiagusla
0,071
. bilinaala)
6
Ikan Jambrung (Terapon therapa) 0,024
.
7
Rajungan (Portunus pelagicus) 0,028
.
1
IV Udang putih (Panaeus marguensis) 0,008
.
2 Udang Ronggeng (Harpiossquila
0,008
. haspus)
3 Kepiting (Scylla serrata) 0,635
66

.
4
Cumi-cumi (Lolligo sp) 0,019
.
5 Ikan Grabak (Priripomoides
0,025
. multidens)
6
Rajungan (Portunus pelagicus) 0,014
.
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

Stok kepadatan per spesies tiap stasiun sampling didapatkan hasil tertinggi

adalah spesies dari ikan jambrung pada stasiun III. Pada stasiun II kepadatan stok

tertinggi didapatkan pada kelompok ikan jambrung (Terapon therapa), pada

stasiun III didapatkan kepadatan stok tertinggi adalah Ikan Sebelah (Perapiagusla

bilinaala), dan pada stasiun ke IV kepadatan stok tertinggi didapatkan pada

kelompok kepiting (Scylla serrata).

Menurut Saeger, et al. (1976) dalam Badrudin, et al. (2010), bahwa dari

tabel distribusi ikan demersal menurut kedalaman perairan tampak bahwa ada

kecenderungan bahwa sebaran ikan demersal tampak menurun sesuai dengan

bertambahnya kedalaman. Dengan kata lain bahwa makin dalam suatu perairan

kepadatan stoknya semakin kecil. Menurut Budiman (2006), pengaruh perubahan

suhu pada perairan berpengaruh terhadap sebaran ikan Demersal, sebagai efek

dari sifat material cair yang lamban melepas energi, menyebabkan antara suhu

permukaan air dan dasar air terjadi perbedaan. Meskipun permukaan perairan

suhunya turun tetapi di kolom-kolom air yang lebih dalam biasanya temperatur

nya masih hangat.

IV.7. Hubungan Faktor Oseanografi dengan Hasil Tangkapan

Parameter oseanografi dalam pengambilan sampel praktikum daerah


67

penangkapan ikan perlu diketahui sebagai informasi pendukung. Adapun hasil

pengukuran parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada table:

Tabel 13. Hasil pengukuran parameter oseanografi


Sta Stasi Stasi
N Faktor Stasi
siu un un
o. Oseanografi un II
nI III IV
30,
1 Suhu Air (oC) 29,9 29,8 30
1
2 Suhu Udara (oC) 31 31 31,5 31

Lanjutan Tabel 13. Hasil pengukuran parameter oseanografi


N Faktor Sta Stasi Stasi Stasi
o. Oseanografi siu un II un un
nI III IV
Kecepatan Arus 0,1
3 0,67 0,75 0,72
(m/s) 2
4 Kedalaman (m) 6,7 5,7 5,4 5,9
27,
5 Salinitas (0/00) 27,5 28,7 30
3
Lu
Lum Lum Lum
6 Substrat dasar mp
pur pur pur
ur
Sumber: Praktikum Daerah Penangkapan Ikan 2014

Hasil tangkapan dari semua stasiun, stasiun 2 merupakan stasiun yang

mendapatkan rata-rata hasil tangkapan terbanyak, dengan hasil tangkapannya

berupa udang putih, udang ronggeng, ikan grabak, ikan sebelah,ikan jambung, dan

rajungan. Banyak nya hasil tangkapan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

kedalaman perairan, suhu, salinitas, dan juga substrat dasar perairan. Dimana

ketiga faktor tersebut termasuk ke dalam parameter oseanografi.

Menurut Suhartono, et al. (2013), salah satu faktor yang paling besar

pengaruhnya adalah oseanografi, baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka
68

waktu panjang yang menyebabkan ikan akan memilih tempat sesuai dengan

kondisi fisiologinya sehingga mempengaruhi pola perilaku ikan, berupa gerak

pindah untuk penyesuain terhadap kondisi yang menguntungkan bagi

eksistensinya. Menurut Nahib, et al. (2010), bahwa keberadaan daerah

penangkapan ikan di perairan bersifat dinamis, selalu berubah atau berpindah

mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan memilih

habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh

kondisi atau parameter oseanografi perairan seperti suhu permukaan laut, salinitas,

konsentrasi klorofil laut, cuaca dan sebagainya, yang berpengaruh pada dinamika

atau pergerakan air laut baik secara horizontal maupun vertikal.

Pada stasiun 2 suhu airnya sebesar 29,8oC bisa dikatakan perairan tersebut

cukup hangat, menurut Rasyid (2010), bahwa kecenderungan penangkapan

optimal berada pada kisaran suhu 29oC-30oC. Menurut Reddy (1993) dalam

Rasyid (2010), ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu

menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan

mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang

memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan paa

akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.

Menurut Budiman (2006), pengaruh perubahan suhu pada perairan

berpengaruh terhadap sebaran ikan Demersal, sebagai efek dari sifat material cair

yang lamban melepas energi, menyebabkan antara suhu permukaan air dan dasar

air terjadi perbedaan. Meskipun permukaan perairan suhunya turun tetapi di

kolom-kolom air yang lebih dalam biasanya temperatur nya masih hangat.

Menurut Widodo (1980) dalam Budiman (2006), kedalaman merupakan


69

faktor yang tidak hanya membatasi penyebaran tetapi juga memisah-misahkan

secara nyata ikan demersal, sehingga ikan demersal sangat membutuhkan dasar

perairan dengan dasar lumpur berpasir yang memiliki tempat berlindung seperti

rumpon dan topografi (kemiringan) cendurung landai.

IV.8. Hubungan Parameter Biologi dengan Hasil Tangkapan

Berdasarkan praktikum daerah penangkapan ikan didapatkan hasil dari alat

tangkap trammel net yaitu Ikan peperek (Leiognathus sp), Ikan grabak

(Prinipomoides multidens), Ikan dorang (Carangoides caeruleopinnaius), Ikan

kembung (Rastreliger kanagurta). Sedangkan arad yaitu Udang putih (Panaeus

marguensis), Udang ronggeng (Horpiossquila harpus), Ikan kapasan

(Glaucosoma buergeri), Ikan sebelah (Perapiaguslo bilinaata), Ikan peperek

(Leiognathus fasciarus), Ikan jambang (Terapon therapa), Ikan grabak

(Prinipomoides multidens). Dari hasil plankton yang didapatkan dan hasil

tangkapan yang diperoleh, menandakan bahwa perairan tersebut layak sebagai

tempat daerah penangkapan ikan, karena banyak hal yang menunjang untuk

menjadikan tempat tersebeut sebagai daerah penangkapan ikan.

Parameter biologi merupakan parameter dari makhluk hidup yang dapat

menyatakan kondisi kualitas air dari suatu perairan. Parameter biologi

memberikan informasi dimana biota tersebut hidup. Semakin banyak jumlah dan

jenis biota yang ditemukan di dalam suatu perairan maka dapat diidentifikasikan

bahwa kualitas perairan tersebut masih baik (Effendi, 2003).

Anda mungkin juga menyukai