Anda di halaman 1dari 105

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebutuhan dunia akan ikan dari tahun ke tahun semakin
meningkat sebanding dengan tingkat pertumbuhan manusia, karena
ikan mengandung protein hewani yang tidak mengandung kolesterol
dan tidak ada subtitusinya. Upaya menyediakan ikan dalam jumlah
banyak diperlukan suatu cara penangkapan yang efektif dan efisien.
Cara menangkap ikan yang tidak didasari oleh pengetahuan tentang
bagaimana ikan tertangkap adalah pekerjaan yang sia-sia. Bagaimana
ikan ditangkap dapat dipelajari dalam metode penangkapan ikan.
Prinsip metode penangkapan ikan didasarkan pada tingkah laku ikan
(fish behaviour) dari ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Metode
penangkapan yang meningkatkan efisiensi penangkapan ikan tertentu
dengan satu alat penangkap ikan tidak saja didasarkan pada satu
metode penangkapan ikan, tapi didasarkan atas penggabungan
berbagai metode penangkapan ikan yang telah dikenal.
Meningkatkan jumlah hasil tangkapan tidak akan diperoleh di
perairan yang dangkal tapi harus merambah ke samudera yang luas,
dari permukaan laut hingga ke kedalaman ratusan meter di bawah
permukaan laut dengan cara menambah jumlah dan memperbesar
alat penangkapan ikan serta memperbesar ukuran kapal. Selain itu
diperlukan pula mekanisasi, otomatisasi dan bahkan mungkin
komputerisasi di bidang perikanan, yang mana ketiganya didasarkan
pada metode penangkapan ikan.
2

Penangkapan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan


ikan yang lumayan signifikan dan menjadi salah satu tumpuan untuk
mendapatkan sumberdaya ikan khususnya untuk ikan laut, karena
sampai saat ini belum banyak ikan yang mampu untuk
dibudidayakan. Indonesia merupakan negara maritim, tak mampu
dipungkiri jika potensi kelautan dan perikanan Indonesia sangat
besar. Oleh karena itu kita harus mampu memanfatkannya dengan
baik. Di sisi lain kita juga harus menjaga kelestarian dari laut yang
ada di Indonesia. Alat tangkap terbagi menjadi beberapa klasifikasi.
Menurut FAO alat tangkap terbagi menjadi beberapa jenis, seperti
jaring lingkar, pukat, pukat harimau, penggaruk berperahu, tangkul,
jala, dan jaring (net) hal yang tidak dapat kita kesampingkan adalah
pengetahuan kita tentang penentuan Daerah Penangkapan Ikan,
karena aspek ini sangat menunjang keberhasilan kita dalam
menangkap ikan.
Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan
sebesar 7,3 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah
Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar
80 persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4 juta
ton pada tahun 2013 atau baru 93% dari JTB, sementara total
produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah 5,863 juta ton
(Permen KP, 2015).
3

Menurut Baskoro dan Suherman (2007), potensi sumberdaya


laut di Indonesia sangatlah besar yang mencakup potensi sumberdaya
hayati dan non-hayati. Dan juga kenekaragaman ikan yang tinggi
khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari 1.650 jenis spesies ikan).
Sumberdaya laut tersebut sampai sekarang belum secara maksimal
dapat dieksplorasi dan dieksploitasi selain minyak dan gas bumi pada
sektor sumberdaya non hayati. Demikian pula pada sektor
sumberdaya hayati laut, eksplorasi dan eksploitasi terhadap ikan-ikan
laut dan sejenisnya membutuhkan kearifan disamping teknologi
canggih namun tidak merusak lingkungannya. Sumber daya hayati
(ikan) merupakan bagian dari sumber daya alam yang memberikan
andil sebagai penghasil devisa negara. Mengingat perikanan
indonesia terdiri dari beberapa jenis dan beragam (multi-spesies)
maka pengembangan yang mengacu pada peningkatan produksi
(perikanan tangkap) mempunyai peluang yang sangat besar untuk
dikembangkan.

2.1. Tujuan
Tujuan dari praktikum metode penangkapan ikan adalah:
1. Mengetahui klasifikasi alat tangkap Gill Net, Trammel Net,
Arad, Rawai dan Long line, Bagan dan Bubu;
2. Mengetahui cara operasi alat tangkap Gill Net, Trammel Net,
Arad, Rawai dan Long line, Bagan dan Bubu;
3. Mengetahui desain dan konstruksi alat tangkap Gill Net,
Trammel Net, Arad, Rawai dan Long line, Bagan dan Bubu;
4

4. Mengetahui jumlah dan komposisi hasil tangkapan alat tangkap


Gill Net, Trammel Net, Arad, Rawai dan Long line, Bagan dan
Bubu;
5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan
Gill Net, Trammel Net, Arad, Rawai dan Long line, Bagan dan
Bubu;
6. Mengetahui cara penentuan posisi penangkapan;
7. Mengetahui cara kerja dan fungsi alat bantu penangkapan
seperti GPS, Fish finder, dan Anemo meter; dan
8. Mengetahui alat tangkap ramah lingkungan yang dilihat dari
metode penangkapannya.
5

II. GILL NET

2.1. Pengertian
Gill net sering diterjemahkan dengan jaring insang, jaring
rahang, jaring, dan lain sebagainya. Istilah gill net didasarkan pada
pemikiran bahwa ikan yang tertangkap “ gilled-terjerat” pada sekitar
operculum-nya pada mata jaring. Dalam bahasa Jepang gill net
disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa
tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses ikan-ikan
tersebut menusukkan diri pada jaring karena menabrak jaring
(Ayodhyoa, 1981).
Menurut Maldi (2010), gill net adalah jenis alat penangkap
ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana
mata jaring dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring
ke arah panjang atau ke arah horisontal (Mesh Length (ML)) jauh
lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke
arah dalam (Mesh Dept (MD)), pada bagian atasnya dilengkapi
dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawah dilengkapi
dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dapat dipasang di
daerah penangkapan dalam keadaan tegak.

2.2. Klasifikasi
Klasifikasi gill net menurut A. Von Brandt (1984), merupakan
gilled gear karena pada umumnya ikan yang tertangkap pada bagian
tutup insangnya dalam usaha mereka untuk melewati jaring. Syarat
6

yang harus dipenuhi agar ikan-ikan tertangkap secara terjerat (gilled)


pada tubuh jaring, maka bahan yang dipergunakan sebagai berikut:
1. Benang yang dipergunakan hendaknya yang lembut, mempunyai
visibilitas yang rendah dengan ukuran mata jaring yang homogen,
dan tidak kaku terutama bagian yang ditujukkan untuk ikan yang
tertangkap secara terbelit;
2. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan besar badan ikan baik
tinggi maupun diameter tubuh ikan sasaran;
3. Kekuatan rentangan dari tubuh jaring tergantung dan berhubungan
dengan jumlah ikan yang tertangkap, terutama terpuntal. Kekuatan
rentangan tubuh jaring ditentukan oleh buoyancy dari pelampung,
berat tubuh jaring, tali-temali, dan sinking force dari pemberat;
dan
4. Warna jaring juga mempengaruhi hasil tangkapan dan pada
umumnya dipilih jenis warna yang tidak dapat terlihat oleh ikan
pada saat jaring terpasang.
Secara umum berdasarkan International Standard Statistical
Clasification of Fishing Gear (ISSCFG) dalam buku FAO
pengklasifikasian gill net adalah sebagai berikut:
Penggolongan Singkatan Kode ISSCFG
Jaring insang menetap GNS 07.1.0
Jaring insang hanyut GND 07.2.0
Jaring insang lingkar GNC 07.3.0
Jaring insang GNI 07.4.0
berpancang
7

Menurut Ayodhyoa (1981), Gill net dibagi menjadi beberapa


klasifikasi diantaranya adalah:
a. Letak Alat Tangkap
- Permukaan (surface gill net) yaitu jaring insang yang letaknya
di permukaan.
- Pertengahan (midwater gill net) yaitu jaring insang yang
letaknya di pertengahan.
- Dasar (bottom gill net) yaitu jaring insang yang letaknya di
dasar.
b. Pengoperasian
- Hanyut (drift gill net) yaitu jaring insang yang cara
pengoperasiannya dihanyutkan.
- Tetap (fixed gill net) yaitu jaring insang yang cara
pengoperasiannya tetap.
c. Pengoperasian Arah saat Operasi
- Melingkar (encircling gill net) yaitu jaring insang yang cara
pengoperasiannya arahnya tetap.
- Mendatar yaitu jaring insang yang cara pengoperasiaanya
arahnya tetap.

2.3. Konstruksi
Konstruksi Gill net secara umum adalah sebagai berikut:
1
2
3
8

7
8
Keterangan:
1. Pelampug 6. Tali Ris Bawah
2. Tali Ris Atas 7. Tali Pemberat
3. Tali Pelampung 8. Pemberat
4. Serampat Atas
5. Badan Jaring

2.4. Metode Pengoperasian


Cara pengoperasian Gill net adalah sebagai berikut:
1. Kapal dengan alat tangkap Gill net menuju fishing ground
2.

2. Kegiatan penurunan alat tangkap Gill net (setting)


9

3. Kegiatan perendaman alat tangkap Gill net (immersing)

4. Kegiatan penarikan alat tangkap Gill net (hauling)

2.5. Daerah Penangkapan Ikan


 Tidak merupakan alur pelayaran
 Tidak merupakan daerah berkarang
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan

2.6. Hasil Tangkapan


10

Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), jenis-jenis ikan yang


umumnya tertangkap dengan gill net ini ialah jenis-jenis ikan yang
berenang dekat permukaan laut (cakalang, jenis-jenis tuna, saury,
frying fish, dan lain-lain), jenis-jenis ikan demersal/bottom (flat fish,
katamba, sea bream dan lain-lain), juga jenis-jenis udang, lobster,
kepiting dan lain-lain. Mempertimbangkan sifat-sifat ikan yang akan
menjadi tujuan penangkapan, lalu menyesuaikannya dengan
dalam/dangkal dari renang ruaya ikan-ikan tersebut, dilakukan
penghadangan terhadap arah renang ikan-ikan tersebut. Adapun
empat cara tertangkapnya ikan, seperti berikut.
1. Snagged
Adalah dimana mata jaring mengelilingi tubuh ikan tepat di
belakang mata ikan (pre-opperculum)

2. Gilled
Adalah dimana ketika mata jaring mengelilingi ikan tepat di
bagian tutup insang (opperculum)

3. Wedged
11

Adalah ketika mata jaring mengelilingi ikan pada bagian


belakang tutup insang (maximum body)

4. Entangled
Adalah ketika ikan tertangkap dan masuk ke lebih dari dua
mata jaring

2.7. Kajian Teknis


a. Hanging Ratio
Menurut Prado dan Dremeire (1996), hanging ratio
didefinisikan sebagai perbandingan antara panjang tali tempat
lembaran jaring dipasang dengan panjang jaring tegang (stretch)
yang tergantung pada tali tersebut. Dengan bentuk rumus sebagai
berikut:
Lo
E
L

Keterangan:
E = Hanging Ratio
Lo = Panjang tali ris tempat jaring terpasang (panjang jaring jadi)
L = Panjang jaring dalam keadaan stretch (terenggang penuh)
12

Hanging ratio apabila digambarkan ke dalam satu mata satu mata


jaring perhitungannya adalah sebagai berikut :

Nilai dari hanging ratio apabila akan menemukan bentuk dari satu
jaring. Pada umumnya hanging ratio dari gill net adalah 0,5 sampai
0,7.

b. Shortening Ratio
Shortening atau pengerutan yaitu beda panjang tubuh jaring
dalam keadaan tegang sempurna (stretch) dengan panjang jaring
setelah diletakkan pada float line ataupun pada sinker line. Nilai dari
shortening dapat dirumuskan sebagai berikut :
13

Keterangan:
L = Panjang tali ris tempat lembaran jaring dipasang
Lo = Panjang jaring tegang mendatar
Atau
Nilai Shortening (S) = 1 – E

c. Tinggi Tegang
Tinggi tegang adalah jarak antara float line ke sinker line pada
saat jaring diukur di darat. Perhitungan tinggi tegang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi tegang = Besarnya mata jaring x

d. Tinggi Jaring
Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line
pada saat jaring terpasang di perairan. Perhitungan tinggi jaring dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi jaring  Tinggi tegang x 1 - E 2

e. Luas Jaring
Luas jaring insang bervariasi tegantung target tangkapan,
daerah tangkapan dan kecepatan arus.

Luas jaring (S)  E  1 - E 2  L  H  a 2


14

Keterangan:
E = Hanging ratio
H = Jumlah mata jaring vertikal
L = Jumlah mata jaring
A = Mesh Size
15

Kuisioner Darat Gill Net

Bagian yang Arah Jenis Jumlah Mata Mesh


Panjang Diameter Jumlah
diukur Pilinan Bahan Vertikal Horizontal Size

Pelampung

Tali pelampung

Tali ris atas

Serampat atas

Tubuh jaring

Serampat bawah

Tal ris bawah

Tali pemberat

Pemberat

Panjang Diameter Jumlah Jumlah Mata


16

Bagian yang Arah Jenis Vertikal Horizontal Mesh


diukur Pilinan Bahan Size
Jarak antar
pelampung
Jarak antar
pemberat
17

Pengamatan Kegiatan di Laut


Parameter yang diamati Gill net
Posisi
- Sudut baringan 1 terhadap UP (°)
- Sudut baringan 2 terhadap UP (°)
- Posisi GPS
Kondisi perairan
- Kedalaman air (m)
- Suhu perairan (C°)
Kondisi atmosfer
- Kondisi cuaca
(cerah, mendung,gerimis, hujan)
- Arah angin terhadap UP (°)
- Kecepatan angin (knot atau m/s)
- Suhu udara (C°)

Kapal
- L x B x D (m)
- Gross tonnage (GT)
- Mesin utama (daya max, jenis mesin)
Operasi penangkapan
- Hari/tanggal/jam
- Lama setting
- Lama immersing/dragging
- Lama hauling
Parameter yang diamati Gill net
18

Deskripsi metode dan cara operasi


penangkapan

Identifikasi ikan hasil tangkapan


- Jenis ikan
- Panjang, lebar (cm)
- Berat per jenis ikan (kg)
- Berat total ikan (kg)
- Komposisi hasil tangkapan
(ikan,krustase,cephalopod,karang,sampah,dll)
19

III. TRAMMEL NET

3.1. Pengertian
Trammel net merupakan jaring yang terdiri dari tiga lapis yaitu
dua lapis jaring yang berada di luar dan memiliki mata jaring yang
berada diluar dan memiliki mata lebih besar, sedangkan lembaran
jaring yang berada ditengah ukuran matanya lebih kecil dan
dipasangnya longgar. Jaring trammel net disebut juga jaring
gondrong, jaring tilek, jaring kantong, jaring ciker, atau lebih
mudahnya disebut jasilap atau jaring tiga lapis (Subani, 1986).
Trammel net adalah termasuk klasifikasi alat tangkap bottom
gill net (gill net dasar), trammel net ini terdiri dari tiga lembar jaring
dimana lembaran jaring bagian tengah mata jaringnya berukuran
lebih kecil, sedangkan dua lembar jaring bagian luar mempunyai
ukuran mata 4 sampai 5 kali lebih besar dan ukuran benangnyapun
lebih besar pula (Sutoyo dan Achmad, 2009).

3.2. Klasifikasi
Klasifikasi Trammel net adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan International Standard Statistical Clasification of
Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO , Trammel net termasuk
kedalam jaring puntal dengan singkatan GTR kode ISSCFG
07.6.0;
2. Klasifikasi Trammel net menurut A Von Brandt (1984)
merupakan entangled gear;
20

3. Menurut Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI),


Trammel net merupakan jaring insang berlapis (JIBL) dengan
kode KAPI 08.4.10.

3.3. Konstruksi
Konstruksi Trammel net secara umum adalah sebagai berikut:
1
2
3
4

5
6

7
8
9
10

Keterangan:
1. Pelampung 5. Outer 9. Tali pemberat
2. Tali ris atas 6. Inner 10. Pemberat
3. Tali pelampung 7. Serampat bawah
4. Serampat atas 8. Tali ris bawah

3.4. Metode Pengoperasian


21

Cara pengoperasian Trammel net adalah sebagai berikut:


1. Kapal dengan alat tangkap Trammel net dari fishing base
menuju ke fishing ground;
2. Setting: Kegiatan penurunan alat tangkap Trammel net, dengan
cara menurunkan pelampung tanda hingga penurunan jaring
dalam posisi melintang arus;
3. Immersing: Kegiatan perendaman alat tangkap Trammel net,
jaring dibiarkan hanyut di dasar perairan selama beberapa jam;
4. Hauling: Kegiatan penarikan alat tangkap Trammel net.

3.5. Daerah Penangkapan Ikan


 Tidak merupakan alur pelayaran
 Tidak merupakan daerah berkarang
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan

3.5. Hasil Tangkapan


Menurut Prasetyo et al. (2015), hasil tangkapan yang diperoleh
trammel net dan gill net berbeda, untuk trammel net memperoleh
udang Jerbung (Penaeus merguensis), udang Dogol (Metapenaeus
monoceros), ikan Lidah (Cynoglossus lingua), ikan Layur
(Trichiurus lepturus), dan ikan Kembung (Rastrelliger sp.).

3.6. Kajian Teknis


a. Hanging Ratio
22

Menurut Prado dan Dremeire (1996), hanging ratio


didefinisikan sebagai perbandingan antara panjang tali tempat
lembaran jaring dipasang dengan panjang jaring tegang (stretch)
yang tergantung pada tali tersebut. Dengan bentuk rumus sebagai
berikut:
Lo
E
L

Keterangan:
E = Hanging Ratio
Lo = Panjang tali ris tempat jaring terpasang (panjang jaring jadi)
L = Panjang jaring dalam keadaan stretch (terenggang penuh)

Hanging ratio apabila digambarkan ke dalam satu mata jaring


perhitungannya adalah sebagai berikut :

Nilai dari hanging ratio apabila akan menemukan bentuk dari satu
jaring. Pada umumnya hanging ratio dari trammel net adalah 0,4
23

sampai 0,6 dibagian jaring lapis dalamnya dan 0,6 sampai 0,8
dibagian jaring lapis luarnya.

b. Shortening Ratio
Shortening atau pengerutan yaitu beda panjang tubuh jaring
dalam keadaan tegang sempurna (stretch) dengan panjang jaring
setelah diletakkan pada float line ataupun pada sinker line. Nilai dari
shortening dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan:
L = Panjang tali ris tempat lembaran jaringdipasang
Lo = Panjang jaring tegang mendatar
Atau
Nilai Shortening (S) = 1 – E

c. Tinggi Tegang
Tinggi tegang adalah jarak antara float line ke sinker line pada
saat jaring diukur di darat. Perhitungan tinggi tegang dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi tegang = Besarnya mata jaring x

d. Tinggi Jaring
24

Tinggi jaring merupakan jarak antara float line ke sinker line


pada saat jaring terpasang di perairan. Perhitungan tinggi jaring dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Tinggi jaring  Tinggi tegang x 1 - E 2

e. Luas Jaring
Luas jaring insang bervariasi tegantung target tangkapan,
daerah tangkapan dan kecepatan arus.

Luas jaring (S)  E  1 - E 2  L  H  a 2

Keterangan:
E = Hanging ratio
H = Jumlah mata jaring vertikal
L = Jumlah mata jaring
A = Mesh Size
25

Kuisioner Darat Trammel Net

Bagian yang Arah Jenis Jumlah Mata Mesh


Panjang Diameter Jumlah Size
diukur Pilinan Bahan Vertikal Horizontal

Pelampung

Tali pelampung

Tali ris atas

Serampat atas

Inner net

Outter net

Serampat bawah

Tal ris bawah

Tali pemberat

Panjang Diameter Jumlah Jumlah Mata


26

Bagian yang Arah Jenis Vertikal Horizontal Mesh


diukur Pilinan Bahan Size
Pemberat
Jarak antar
pelampung
Jarak antar
pemberat
27

Pengamatan Kegiatan di Laut


Parameter yang diamati Trammel net
Posisi
- Sudut baringan 1 terhadap UP (°)
- Sudut baringan 2 terhadap UP (°)
- Posisi GPS
Kondisi perairan
- Kedalaman air (m)
- Suhu perairan (C°)
Kondisi atmosfer
- Kondisi cuaca
(cerah, mendung,gerimis, hujan)
- Arah angin terhadap UP (°)
- Kecepatan angin (knot atau m/s)
- Suhu udara (C°)

Kapal
- L x B x D (m)
- Gross tonnage (GT)
- Mesin utama (daya max, jenis mesin)
Operasi penangkapan
- Hari/tanggal/jam
- Lama setting
- Lama immersing/dragging
- Lama hauling
Parameter yang diamati Trammel net
28

Deskripsi metode dan cara operasi


penangkapan

Identifikasi ikan hasil tangkapan


- Jenis ikan
- Panjang, lebar (cm)
- Berat per jenis ikan (kg)
- Berat total ikan (kg)
- Komposisi hasil tangkapan
(ikan,krustase,cephalopod,karang,sampah,dll)
29

IV. ARAD (SMALL BOTTOM TRAWL)

4.1. Pengertian
Arad merupakan salah satu alat penangkap ikan dari jenis
pukat hela (trawl) yang banyak digunakan oleh para nelayan skala
kecil yang banyak dioperasikan di daerah Perairan Pantai Utara
Jawa. Arad dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu
bermesin. Alat tangkap ini biasa dioperasikan untuk perairan
demersal dengan hasil target tangkapan yang utama adalah jenis
udang. (Mahardikha, 2008).
Menurut Khaerudin (2006), jaring arad merupakan salah satu
alat penangkap yang ditujukkan untuk menangkap udang. Jaring arad
adalah alat tangkap yang dioperasikan secara aktif dengan cara
ditarik oleh perahu. Hasil tangkapan alat tangkap jaring arad dapat
dikategorikan ke dalam hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan
sampingan. Hasil tangkapan utama merupakan hasil tangkapan yang
menjadi tujuan utama nelayan, sedangkan hasil tangkap sampingan
merupakan tangkapan yang tidak sengaja tertangkap sewaktu alat
tangkap jaring arad dioperasikan. Hasil tangkapan utama dari jaring
arad ini adalah udang dan hasil tangkap sampingan berupa ikan-ikan
demersal yang berukuran kecil seperti pepetek (Leiognathus sp),
gulamah (Argyrosomus sp), beloso (Saurida tumbil), tigawaja
(Pennahia argentata), pari (Himantura gerrardi) dan lain-lain.
30

4.2. Klasifikasi Arad


1. Berdasarkan International Standard Statistical Clasification of
Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO, arad termasuk dalam
Trawl dasar berpapan dengan singkatan OTB kode ISSCFG
03.1.2; dan
2. Menurut A Von Brandt (1984), arad termasuk kedalam
Dragged Gear.
3. Menurut Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI),
Arad merupakan Trawl atau pukat hela.

4.3. Konstruksi Arad


Konstruksi dari arad adalah sebagai berikut:

Keterangan:
1. Otter board 6. Tali ris bawah (Ground rope)
2. Sayap 7. Pelampung
3. Tali ris atas (Head rope) 8. Pemberat
4. Badan jaring 9. Tali selambar
5. Kantong
31

Menurut Mahardikha (2008), bagian-bagian alat tangkap arad


terdiri atas:
1) Kantong jaring (cod end) adalah bagian jaring yang terpendek
dan terletak diujung belakang dari jaring arad
2) Badan jaring (body) adalah bagian jaring yang terletak antara
sayap dan kantong jaring
3) Sayap (wing) adalah bagian jaring yang terletak diujung depan
dari bagian jaring arad. Sayap pukat terdiri atas sayap atas
(upper wing) dan sayap bawah (lower wing)
4) Papan rentang (otter board) adalah kelengkapan arad yang
terbuat dari papan kayu berbentuk empat persegi panjang yang
dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring
5) Tali ris atas (head rope) adalah tali yang dipergunakan untuk
menggantunkan dan menghubungkan kedua sayap jaring
bagian atas melalui mulut bagian atas
6) Tali ris bawah (ground rope) adalah tali yang dipergunakan
untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap
jaring bagian bawah melalui mulut bagian bawah
7) Tali selambar (warp rope) adalah tali yang berfungsi sebagai
penghela jaring arad di belakang kapal yang sedang berjalan
dan penarik jaring arad keatas geladak kapal
8) Pelampung (float) digunakan untuk membantu membuka mulut
jaring kearah atas
9) Pemberat (sinker) berfungsi untuk membuka mulut jaring
kearah bawah
10) Tali usus berfungsi untuk menguatkan jaring trawl ketika
didalam air
11) Flapper berguna untuk mencegah ikan keluar dari jaring arad
32

4.4. Metode Pengoperasian


Menurut Triharyuni dan Trihargiyatno (2012), operasi
penangkapan ikan menggunakan jaring arad biasanya melakukan
empat tahap kegiatan, yaitu penentuan daerah penangkapan ikan,
penurunan jaring arad (setting), penarikan jaring arad (dragging),
dan pengangkatan jaring arad (hauling). Deskripsi keempat tahapan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground), yang
didasarkan atas pengalaman melaut dan informasi dari nelayan
lain;
2. Penurunan jaring arad (setting), yang diawali dari bagian
kantong (cod end), kemudian badan jaring (body), sayap
(wings) dan terakhir otter board.
3. Penarikan jaring arad (dragging), yang bertujuan untuk
menyapu dasar perairan sehingga udang dan ikan demersal
dapat keluar dari tempat persembunyian dan masuk kedalam
jaring. Penarikn jaring (dragging) dilakukan dengan cepat agar
udang dan ikan tidak mudah lolos.
4. Pangangkatan jaring arad (hauling), yang dimaksudkan untuk
mengeluarkan hasil tangkapan dari kantong, kemudian hasil
tangkapan yang diperoleh dipilih sesuai dengan jenisnya.
4.5. Daerah Penangkapan Ikan
 Peraiaran pantai dengan substrat dasar lumpur, pasir atau
lumpur berpasir
 Memiliki kedalaman yang relatif dangkal dengan topografi
dasar yang relatif datar
 Tidak merupakan daerah berbatu karang
 Tidak terdapat benda-benda yang mungkin menyangkut
ketika jaring dihela
33

4.6. Hasil Tangkapan


Hasil tangkapan yang utama dari jaring arad diantaranya adalah
udang jerbung (Penaeus merguiensis), dan beberapa jenis ikan
demersal yang tertangkap oleh jaring arad yaitu pepetek
(Leioghnatus sp), gulamah (Pseuosciena sp), beloso (Saurida
tumbil), kerapu (Epinephelus sp), kerong-kerong (Therapon theraps),
sebelah (Psettodes erumei), pari (Trygon sephen), cucut (Squalus sp),
dan gurita (Octopus sp). (Wahju, 2012).
Menurut Manadiyanto et al. (2000), beberapa jenis udang yang
tertangkap dengan jaring arad adalah udang jerbung (Penaeus
merguensis), krosok (Parapenaeopsiensis) dan udang windu
(Penaeus monodon). Jenis ikan demersal yang tertangkap adalah
pepetek (Leiognathus spp), gulamah (Pseudosciena spp), bloso
(Saurida tumbil).

4.7. Kajian Teknis


1. Pendugaan besarnya pembukaan otter board (D)
Ada dua metode dalam perhitungan pendugaan pembukaan otter
board :
a. Secara teoritis
34

D = [ (B-A) x F ] + A

Contoh cara menghitung:


Diketahui :
A = 4 m; B = 4,18 m; F = 200 m
Maka D = [ (4,18-4) x 200 ] + 4 = 400 m

b. Secara matematis
Pendugaan bukaan otter board dilakukan secara matematis
dengan menggunakan persamaan rumus :

A
D A = C
B B D

Keterangan :
A = Panjang tali sampel
C
B = Bukaan tali sampel
C = Tali cabang
35

D = Pendugaan bukaan otter board

2. Pendugaan besarnya pembukaan mulut jaring trawl


mendatar (S)

S=
Contoh cara menghitung :
Diketahui :
D = 40 m; Lt = 25 m; Ls = 50 m

Maka S = = 13,33 m

3. Metode Sapuan Dasar (Swept Area Methods)

A = C x HR x V x T

Keterangan rumus :
A : luas area yang disapu
HR : panjang head rope
C : nilai konstanta membuka mulut
jaring pada saat dioperasikan (0,5)
36

V : kecepatan perahu saat menarik jaring


T : waktu penarikan jaring

4. Perhitungan stock density


Metode swept area terutama dengan bottom trawl merupakan
satu-satunya cara yang terbaik untuk menduga besarnya stock
sumberdaya perikanan demersal di perairan tertentu. Dasar
perhitungannya melalui asumsi adanya hubungan langsung antara
CPUE dengan kepadatan stok. CPUE (catch per unit effort) yaitu
hasil tangkapan per-area yang telah dilewati/disapu oleh jaring trawl
(area swept by the gear) selama satu satuan waktu.

Rumus : Sd =

Keterangan
CPUE : Catch Per Unit Effort (jumlah ikan yang
tertangakap per hauling)
E : escaping factor (0,5)
Sd : stock density (berat atau ekor per satuan luas)
A : luas area yang disapu
37

Kuisioner Darat Arad


Arah Jenis Jumlah Mata Mesh
Bagian yang diukur Panjang Diameter Jumlah
Pilinan Bahan Vertikal Horizontal size
Tali selambar
Tali Cabang
Tali usus
Tali pelampung
(head rope)
Tali pemberat
(ground rope)
Pelampung besar
Pelampung kecil
Pemberat besar
Pemberat kecil
Bagian sayap (wing)
Arah Jenis Jumlah Mata Mesh
Bagian yang diukur Panjang Diameter Jumlah
Pilinan Bahan Vertikal Horizontal size
Ujung sayap
Sayap I
Sayap II
Bagian square
38

Bagian badan
Badan I
Badan II
Badan III
Flapper
Kantong ( cod end )
Otter board
Tali guci pendek
Tali guci panjang
39

Pengamatan Kegiatan di Laut


Parameter yang diamati Arad
Posisi
- Sudut baringan 1 terhadap UP (°)
- Sudut baringan 2 terhadap UP (°)
- Posisi GPS
Kondisi perairan
- Kedalaman air (m)
- Suhu perairan (C°)
Kondisi atmosfer
- Kondisi cuaca
(cerah, mendung,gerimis, hujan)
- Arah angin terhadap UP (°)
- Kecepatan angin (knot atau m/s)
- Suhu udara (C°)

Kapal
- L x B x D (m)
- Gross tonnage (GT)
- Mesin utama (daya max, jenis mesin)
Operasi penangkapan
- Hari/tanggal/jam
- Lama setting
- Lama immersing/dragging
- Lama hauling
Parameter yang diamati Arad
40

Deskripsi metode dan cara operasi


penangkapan

Identifikasi ikan hasil tangkapan


- Jenis ikan
- Panjang, lebar (cm)
- Berat per jenis ikan (kg)
- Berat total ikan (kg)
- Komposisi hasil tangkapan
(ikan,krustase,cephalopod,karang,sampah,dll)
41

Pengamatan Alat Bantu Penangkapan (Fish Finder) pada Arad


No Operasi Kedalaman Kehadiran Kedalaman Suhu perairan
Perairan gerombolan ikan gerombolan ikan (°C)
(m) (ada/tidak) (m)
Setting
1 Menit ke-1
2 Menit ke-2
3 Menit ke-3
4 Menit ke-4
5 Menit ke-5
Dragging
1 Menit ke-1
2 Menit ke-2
3 Menit ke-3
4 Menit ke-4
5 Menit ke-5
6 Menit ke-6
7 Menit ke-7
8 Menit ke-8
9 Menit ke-9
10 Menit ke-10
11 Menit ke-11
42

12 Menit ke-12
13 Menit ke-13
14 Menit ke-14
15 Menit ke-15
16 Menit ke-16
17 Menit ke-17
18 Menit ke-18
19 Menit ke-19
20 Menit ke-20
21 Menit ke-21
22 Menit ke-22
23 Menit ke-23
24 Menit ke-24
25 Menit ke-25
26 Menit ke-26
27 Menit ke-27
28 Menit ke-28
29 Menit ke-29
30 Menit ke-30
Hauling
1 Menit ke-1
2 Menit ke-2
3 Menit ke-3
43

4 Menit ke-4
5 Menit ke-5
44

V. PERAWAI ATAU LONG LINE

5.1. Pengertian
5.1.1 Pengertian perawai
Menurut Bahtiar et al. (2013), rawai tuna (tuna long line)
merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna. Pancing
rawai adalah alat tangkap yang efisien bahan bakar, ramah
lingkungan dan memiliki metode penangkapan paling bersih serta
dapat digunakan untuk menangkap ikan demersal maupun pelagis.
Rawai tuna bersifat pasif dalam pengoperasiannya sehingga tidak
merusak sumberdaya hayati yang ada di perairan, inilah yang
menjadikan tuna long line memiliki metode penangkapan paling
bersih.
Rawai tuna (tuna long line) merupakan salah satu alat tangkap
yang efektif untuk menangkap tuna, karena konstruksinya yang
mampu menjangkau kedalaman renang (swimming layer) tuna.
Terdapat tiga tipe tuna long line yang beroperasi di Samudera Hindia,
yaitu tuna long line permukaan (surface tuna long line), tuna long
line pertengahan (middle tuna long line) dan tuna long line laut
dalam (deep tuna long line). Hasil tangkapan tuna long line terdiri
atas hasil tangkapan utama (fish target) dan hasil tangkapan
sampingan (bycatch) dimana hasil tangkapan sampingan terdiri atas
hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomis dan yang tidak
memiliki nilai ekonomis atau dibuang kembali ke laut (discard).
Untuk mengetahui nilai suatu daerah penangkapan khususnya tuna
45

long line digunakan hook rate. Hook rate merupakan indikasi tinggi
rendahnya kelimpahan tuna di suatu perairan. (Baskoro et al., 2014).

5.1.2. Pengertian tuna long line


Menurut Saputra et al. (2011), rawai tuna atau tuna longline
adalah alat penangkap tuna yang paling banyak digunakan untuk
menangkap kelompok ikan pelagis besar. Tuna longline merupakan
rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu unit
Tuna longline biasanya mengoperasikan 1.000 – 2.000 mata pancing
untuk sekali setting. Tuna longline umumnya dioperasikan di laut
lepas atau perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, menanti
umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke
perairan, mesin kapal dimatikan, agar kapal dan alat tangkap hanyut
terbawa arus (drifting).
Alat tangkap tuna long line adalah alat tangkap untuk
menangkap ikan besar (tuna, marlin, dan lain-lain) di dalam perairan
(pelagis). Long line terdiri dari sederetan tali-tali utama dan pada tali
utama pada jarak tertentu terdapat tali cabang yang ukuran diameter
dan panjangnya lebih kecil dari tali utama. Ujung tali cabang
dikaitkan mata pancing yang diisi umpan. Tuna long line umumnya
dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat
tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran.
Setelah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan
sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arah dari
arus. (Adyas et al., 2011).
46

5.2. Klasifikasi
5.2.1. Klasifikasi perawai
1. Berdasarkan International Standard Statistical Clasification of
Fishing Gear (ISSCFG) dalam FAO, rawai termasuk dalam
klasifikasi hook and liner.
2. Menurut A Von Brandt (1984), rawai termasuk kedalam line
fishing
3. Menurut Sadhori (1985), ada berbagai macam bentuk rawai
yang secara keseluruhan dapat dikelompokkan dalam berbagai
kelompok antara lain:
a. Berdasarkan letak pemasangannya di perairan rawai adalah:
- Rawai permukaan (surface long line);
- Rawai pertengahan (midwater long line); dan
- Rawai dasar (bottom long line).
b. Berdasarkan susunan mata pancing pada tali utama:
- Rawai tegak (vertikal long line);
- Pancing ladung; dan
- Rawai mendatar (horizontal long line).
c. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang banyak tertangkap:
- Rawai Tuna (Tuna longline);
- Rawai Albacore (Albacore longline); dan
- Rawai Cucut (Shark longline).

5.3. Konstruksi
5.3.1. Konstruksi perawai
Konstruksi perawai adalah sebagai berikut:
47

Gambar rawai (long line)


Sumber: Kurnia etal, (2016).

Keterangan :
1. Tali utama (main line);
2. Tali pelampung;
3. Tali cabang (branch line);
4. Pemberat
5. Mata pancing (hook);
6. Pelampung (float).

Gambar Mata Pancing


48

Gambar konstruksi branch line dari rawai


Sumber: Kurnia etal, (2016).

5.3.2. Konstruksi tuna long line


Konstruksi tuna long line adalah sebagai berikut:
1. Tali utama (main line), berfungsi sebagai pangkal ikatan tali
cabang
2. Tali cabang (branch line), berfungsi sebagai tali mata pancing
yang terikat pada tali utama
3. Snap, berfungsi untuk menghubungkan tali cabang ketali utama
4. Adapter, berguna sebagai tali penghubung swivel dengan
armor spring
5. Sekiyama, berguna sebagai tali penghubung armor spring yang
berhubungan dengan adapter
49

6. Wire leader sebagai kawat penghubung swivel, sekiyama


dengan kail tuna
7. Swivel mempunyai fungsi untuk mencegah tali cabang agar
tidak terpuntal ketika pancing menangkap tuna
8. Armor spring, berfungsi untuk menahan saat ikan tuna
melawan
9. Klem (lock tip) berguna sebagai pengunci
10. Mata pancing (hook) sebagai tempat tertangkapnya ikan tuna

Gambar konstruksi branch line dari long line


Sumber: Purnomo, (2015).
50

5.4. Metode Pengoperasian


Menurut Sudirman dan Achmar (2004), cara pengoperasian
perawai adalah sebagai berikut:
1. Setting: pancing demi pancing ditanggalkan dari tempat
penyimpanan, kemudian mata pancing diberi umpan yaitu ikan
yang sudah terpotong-potong, setelah itu dilemparkan ke dalam
air setelah pemberat dan pelampung tanda.
2. Sementara perahu masih tetap berjalan, tali cabang diulur
sampai panjang yang dibutuhkan terpenuhi.
3. Immersing: Rangkaian pancing oleh nelayan dibiarkan hanyut
oleh arus dan angin bersama perahu dalam waktu yang tidak
ditentukan.
4. Hauling: tali cabang dengan perlahan-lahan ditarik ke dalam
perahu, setelah penarikannya sampai pada pelampung, untuk
penarikan selanjutnya dilakukan dengan cara menarik tali
utamanya dan ikan-ikan yang tertangkap dilepaskan dari
kaitannya.

5.5. Daerah Penangkapan Ikan


 Tidak merupakan alur pelayaran
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan
 Memiliki kedalaman 0-400 m

5.6. Hasil Tangkapan


51

Menurut Sudirman dan Achmar (2004), biasanya hasil


tangkapan perawai adalah ikan-ikan pelagis, seperti Tengiri
(Scomberomous Commerson), Tongkol (Euthynnus sp), Tuna
(Thunnus sp), ikan-ikan demersal seperti Kerapu (Serranidae),
Kakap Merah/Bambangan (Lutjanidae), Baronang (Siganus sp),
Lencam (Lethrinus sp) serta ikan-ikan pelagis kecil seperti: ikan Teri
(Stelephorus sp), Tembang (Sardinellafimbriata), Kembung
(Rastrelliger sp), Selar (Caranx sp), Julung-julung
(Hemirhamohussp), Alu-alu (Sphyraena sp), Belanak (Mugil sp).

5.7. Perhitungan Hook Rate


Jumlah ikan hasil tangkapan pancing rawai/perawai (long line)
setiap seratus mata pancing.
52

Kuisioner Darat Rawai Dasar

Bagian yang diukur Arah Pilinan Panjang Diameter Jenis Bahan Jumlah

Main line ( tali utama )


Branch line ( tali
cabang )
Tali pelampung

Tali pemberat

Pelampung

Pelampung tanda

Pemberat

Jarak antar pelampung

Jarak antar pemberat

Bagian yang diukur Arah Pilinan Panjang Diameter Jenis Bahan Jumlah
53

Jarak antar branch line

Jumlah mata pancing


54

Kuisioner Darat Rawai Tuna (Tuna Longline)

Bagian yang diukur Arah Pilinan Panjang Diameter Jenis Bahan Jumlah

Main line ( tali utama )


Branch line ( tali cabang
)
Snap

Sekiyama

Wire leader

Swivel

Lock tip

Adapter

Armor spring
55

Nama bagian mata pancing Ukuran ( cm )

Eye ( mata )

Shank ( tangkai/batang )

Point ( ujung kail )

Gap ( celah )

Barb ( kait balik )

Bend ( lengkung )

Throat
56

Pengamatan Kegiatan di Laut


Parameter yang diamati Rawai dasar
Posisi
- Sudut baringan 1 terhadap UP (°)
- Sudut baringan 2 terhadap UP (°)
- Posisi GPS
Kondisi perairan
- Kedalaman air (m)
- Suhu perairan (C°)
Kondisi atmosfer
- Kondisi cuaca
(cerah, mendung,gerimis, hujan)
- Arah angin terhadap UP (°)
- Kecepatan angin (knot atau m/s)
- Suhu udara (C°)

Kapal
- L x B x D (m)
- Gross tonnage (GT)
- Mesin utama (daya max, jenis mesin)
Operasi penangkapan
- Hari/tanggal/jam
- Lama setting
- Lama immersing/dragging
- Lama hauling
Parameter yang diamati Rawai dasar
57

Deskripsi metode dan cara operasi


penangkapan

Identifikasi ikan hasil tangkapan


- Jenis ikan
- Panjang, lebar (cm)
- Berat per jenis ikan (kg)
- Berat total ikan (kg)
- Komposisi hasil tangkapan
(ikan,krustase,cephalopod,karang,sampah,dll)
58

VI. BAGAN TANCAP (STATIONARY LIFT NET)

6.1. Pengertian
Menurut Subani dan Barus (1989), bagan adalah salah satu
jenis alat tangkap yang digunakan nelayan di tanah air untuk
menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh
nelayan Bugis Makassar sekitar tahun 1950-an. Berdasarkan cara
pengoperasiannya bagan dikelompokkan dalam jaring angkat (lift
net), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk
mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing.
Bagan yaitu jaring angkat yang diopersikan pada malam hari
dengan menggunakan bantuan cahaya lampu sebagai penarik untuk
mendapatkan ikan. Alat tangkap bagan tancap merupakan alat
tangkap sederhana yang memiliki ukuran rata-rata panjang 9 meter
dan lebar 9 meter yang masyarakat buat dengan kerja sama antar
sesama nelayan, adapun beberapa bahan utama yaitu kayu, bambu,
waring dan tali pengikat. (Mardjudo dan agus, 2014).

6.2. Klasifikasi
Menurut A Von Brandt (1984), bagan tancap termasuk dalam
lift net. Metode ini menarik ikan serta berbagai jenis hewan air
lainnya diusahakan untuk berada di atas alat tangkap dan kemudian
setelah mereka terkumpul alat tangkap tersebut diangkat ke atas
dengan secepatnya.
Menurut Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Indonesia (KAPI),
bagan tancap termasuk dalam klasifikasi jaring angkat atau lift net.
59

Menurut Lee (2010), menyebutkan bahwa unit penangkapan


bagan terdiri dari bagan tancap (stationary lift net), bagan rakit (raft
lift net) dan bagan perahu (boat lift net). Perbedaan antara 3 jenis unit
penangkapan bagan adalah:
1. Bagan tancap (stationary lift net)
Bagan yang posisinya tidak dapat dipindah-pindahkan, satu
kali pembuatan berlaku untuk sekali musim penangkapan.
2. Bagan rakit (raft lift net)
Bagan rakit adalah jaring angkat yang dalam pengoperasiannya
dapat dipindah-pindahkan ke tempat yang sekiranya banyak
ikan. Sebelah kanan dan kiri bagian bawah terdapat rakit dari
bambu yang berfungsi sebagai landasan dan sekaligus sebagai
alat apung.
3. Bagan perahu (boat lift net)
Bagan perahu berbentuk lebih sederhana dibandingkan bagan
rakit dan lebih ringan sehingga memudahkan dalam
pemindahannya ketempat yang dikehendaki. Bagan perahu
terbagi atas dua macam, yaitu: bagan yang menggunakan satu
perahu dan bagan yang menggunakan dua perahu. Bagian
depan dan belakang bagan dua perahu dihubungkan oleh dua
batang bambu, sehingga berbentu bujur sangkar. Bambu
tersebut berfungsi untuk menggantung jaring atau waring.

6.3. Konstruksi
60

Bagan tancap merupakan alat penangkap ikan yang terbuat dari


batang bambu atau kayu yang dirakit membentuk persegi dan
ditancapkan diperairan yang tidak terlalu dalam serta memiliki dasar
periran yang berlumpur atau berpasir. Konstruksi bagan tancap
adalah sebagai berikut:

Gambar konstruksi bagan tancap

Sumber: Boesono, (2015).

Menurut Sukandar dan Fuad (2015), bagan tancap terbuat dari


bambu, jaring yang berbentuk empat persegi yang diikatkan pada
bingkai yang terbuat dari bambu. Keempat sisi bagan diberi bambu
menyilang dan melintang yang untuk memperkuat berdirinya bagan.
Di atas bagan di bagian tengah terdapat bangunan rumah yang
berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan, dan
tempat untuk melihat ikan. Di atas bangunan terdapat roller yang
61

berfungsi untuk menarik jaring. Umumnya alat tangkap bagan tancap


berukuran 9x9 m sedangkan tinggi dari dasar perairan 8 m.

6.4. Metode Pengoperasian


Tertariknya ikan pada cahaya sering disebutkan karena
terjadinya peristiwa phototaxis positif. Antara lain hal disebutkan
bahwa cahaya merangsang ikan dan menarik (attract) ikan untuk
berkumpul pada sumber cahaya itu, atau dapat disebut juga
disebutkan karena rangsangan cahaya ikan lalu memberikan
responnya. Proses penangkapan dengan bagan meliputi beberapa
tahap, mulai dari munculnya gerombolan ikan di daerah
penangkapan, rangsangan cahaya oleh lampu, reaksi ikan saat jaring
terangkat sampai dengan tertangkapnya target tangkapan dari alat
tangkap bagan. (Sukandar dan Fuad 2015).
Pengoperasian unit penangkap bagan tancap dilakukan setelah
matahari tenggelam. Penangkapan dengan bagan tancap diawali
dengan menurunkan jaring hingga batas kedalaman tertentu.
Selajutnya lampu dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar
berkumpul di sekitar lampu yang diletakan di bawah bagan.
Kemudian lampu dimatikan satu persatu sehingga tersisa satu lampu
di bagian tengah dengan demikian ikan akan berkonsentrasi di bagian
tengah jaring bagan. Langkah selanjutnya adalah mengangkat jaring
bagan dan hasil tangkapan dipindahkan ke dalam keranjang hasil
tangkapan menggunakan serok (Subani dan Barus 1989).
62

6.5. Cahaya Sebagai Atraktor


6.5.1. Pengertian Cahaya
Cahaya merupakan suatu gelombang elektromagnetik yang
dalam kondisi tertentu dapat menjadi seperti suatu partikel.
Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang tidak
memerlukan medium untuk merambat, sehingga cahaya dapat
merambat tanpa memerlukan medium (Sunardi, 2012).
Cahaya tampak adalah salah satu jenis radiasi elektromagnetik,
yang merupakan bentuk dari energi yang menunjukkan perilaku
seperti gelombang ketika bergerak melalui ruang. Cahaya tampak
dapat dipecah menjadi warna menggunakan prisma yang dapat
menghasilkan spectrum cahaya. Cahaya tampak memiliki panjang
gelombang 400-700 nm.
Penggunaan cahaya dapat memudahkan dalam operasi
penangkapan ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon
sumber cahaya yang sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah
kecenderungan ikan untuk berkumpul di sekitar sumber cahaya.
Cahaya lampu merupakan suatu bentuk alat bantu secara optik yang
digunakan untuk menarik dan mengkonsentrasikan ikan. Sejak waktu
lama metode ini telah diketahui secara efektif di perairan air tawar
maupun di laut, untuk menangkap ikan secara individu maupun
secara bergerombol. Kegunaan cahaya lampu dalam metode
penangkapan ikan adalah untuk menarik ikan, serta
mengkonsentrasikan dan menjaga agar ikan tetap terkonsentrasi dan
mudah ditangkap. Pemanfaatan lampu sebagai alat bantu
63

penangkapan ikan telah berkembang sejak ditemukan lampu listrik.


Masing-masing ikan mempunyai respon terhadap besarnya intensitas
cahaya yang berbeda-beda (Oktafiandi et al., 2016).

6.5.2. Jenis Lampu


6.5.2.1 Lampu Tradisional
Jenis sumber cahaya yang digunakan nelayan bagan semakin
berkembang sejalan dengan kemajuan jaman. Awalnya nelayan
bagan menggunakan obor dan selanjutnya berganti dengan lampu
petromaks. Adanya kenaikan harga bahan bakar minyak tanah yang
tinggi menyebabkan nelayan beralih menggunakan lampu listrik
(Thenu et al., 2013).
Sumber cahaya atau lampu yang digunakan nelayan untuk
menangkap ikan pda mulanya masih terbatas pada daerah-daerah
tertentu dan hanya menggunakan peralatan tradisional yang
sederhana yaitu:
a. Obor
Obor terbuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak
tanah dan diberi sumbu pada bagian ujung atasnya. Dahulu alat ini
banyak digunakan untuk penangkapan di daerah Selat Bali, namun
sekarang penggunaannya sulit ditemukan lagi.
b. Lampu Petromaks
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200
lilin atau sekitar 200 watt. Di daerah Indonesia bagian timur
64

penggunaan petromaks jenis kedua biasa dilakukan untuk melakukan


penangkapan ikan di pinggiran pantai dengan cara menombak.
c. Lampu Listrik
Meskipun pemakaian lampu yang bersumber dari tenaga
listrik ini lebih mudah, efektif dan efisien, sebab penempatannya
dapat diatur sesuai dengan keinginan, namun penggunaan lampu
listrik bagi nelayan kecil di Indonesia masih sangat terbatas.

6.5.2.2 Lampu Modern


a. LED (Light Emitting Diode)
Lampu LED adalah lampu penerangan yang berbahan dasar
semi-konduktor dan berbentuk padat. Lampu ini tidak menggunakan
gas maupun zat-zat kimia sebagai sumber cahaya. Lampu LED telah
mampu mengefisienkan konversi energi listrik menjadi cahaya,
dengan demikian sangat sedikit energi listrik yang berubah menjadi
panas. Lampu konvensional seperti lampu bohlam, lampu neon atau
lampu merkuri selain memancarkan cahaya juga panas ke
sekitarnya. Teknologi lampu LED terus berkembang karena dapat
menghemat energi, umur lampu lebih lama, radiasi panas rendah,
dan tahan terhadap guncangan.
Lampu LED yang mampu menembus perairan yang lebih
dalam berindikasi juga dapat menarik perhatian ikan yang lebih jauh
sehingga dapat menarik perhatian ikan yang jaraknya jauh dari
sumber pencahayaan. Kemampuan lampu LED yang demikian
inilah menyebabkan ikan yang jaraknya jauh dapat tertarik ke
65

sumber pencahayaan. Kelebihan lampu LED yang dapat menembus


perairan yang lebih jauh, juga mempunyai kelemahan yaitu jarak
ikan jauh lebih dalam dari kedalaman bingkai jaring. Kelemahan ini
dapat diatasi dengan meredupkan lampu LED pada saat dilakukan
hauling (sulaiman et al., 2015).

6.5.2.3 Menurut Letak Dan Sumber Cahaya


Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara
lain lampu yang dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang
dipergunakan di dalam air. Menurut Ayodhyoa (1974), perbandingan
antara lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu
yang digunakan di bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang dinyalakan di atas permukaan air :
- Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menarik ikan
berkumpul.
- Kurang efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian
cahaya akan diserap oleh udara, terpantul oleh permukaan
gelombang yang berubah-ubah dan diserap oleh air sebelum
sampai ke suatu kedalaman yang dimaksud dimana swimming
layer ikan tersebut berada.
- Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke
permukaan air dan dalam masa penerangan, ikan-ikan tersebut
kemungkinan akan berserak.
- Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber
cahaya dan berada di permukaan, sulit untuk menjaga ikan
66

tetap tenang, karena pantulan cahaya pada permukaan air yang


terus bergerak.
b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
- Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih
sedikit.
- Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang
memantul ataupun diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya
dapat dipergunakan hampir seluruhnya.
- Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan
berkumpul, lebih tenang dan tidak berserakan, sehingga
kemungkinan ikan yang tertangkap lebih banyak.
Struktur lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-
lampu biasa yang digunakan di atas permukaan air. Penetrasi cahaya
pada perairan sangat bergantung sekali terhadap kondisi perairan itu
sendiri dan yang paling menentukan adalah warna laut dan tingkat
transparansi air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan jenis
warna lampu yang dipancarkan dari lampu itu sendiri. Warna lampu
yang sinarnya dapat menembus kedalaman tertinggi tentunya adalah
warna lampu yang sejenis dengan warna perairan pada waktu itu dan
juga tergantung pada kondisi perairannya. Semakin besar tingkat
transparansi perairan semakin besar pula tingkat kedalaman penetrasi
sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna
cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning
dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
67

6.6. Daerah Penangkapan Ikan


 Tidak merupakan alur pelayaran
 Tidak merupakan daerah berkarang
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan

6.7. Hasil Tangkapan


Hasil tangkapan dari bagan tancap adalah ikan pelagis kecil
dan ikan-ikan yang mempunyai sifat fototaksis positif yaitu ikan teri
(Stolephorus sp), dan avertebrata yaitu cumi-cumi (Loligo sp).
Namun tidak jarang bagan tancap juga sering menangkap hasil
sampingan seperti layur (Trichulus savala), tambang (Sardinella
fimriata), pepetek (Leiognathus sp), kembung (Rastrelliger spp),
layang (Decapterus spp), dan lain-lain (Subani dan Barus, 1989).
68

Pengamatan Kegiatan di Bagan Tancap


Nama Responden :
Alamat :
Usia :
Pengalaman melaut :
Spesifikasi ukuran alat tangkap, alat bantu penangkapan, dan kondisi lingkungan
1. Lampu petromak / lampu neon
a. Jumlah (buah)
b. Jarak terpasang dari permukaan laut (m)
c. Cara penyusunan
d. Daya masing masing lampu
2. Platform / lantai bagan
a. Panjang x lebar (m)
b. Tinggi dari permukaan laut (m)
c. Jenis bahan
69

3. Gambar dan ukuran alat bantu penarik jaring


a. Alat penarik (roller)
b. Diameter roller
c. Bahan pembuat roller
d. Diameter tali penarik (mm)
e. Bahan tali penarik
4. Jaring / Waring
a. Panjang x lebar (m)
b. Mesh size (cm)
c. Kedalaman jaring (m)
5. Posisi bagan
a. BT
b. LS
6. Operasi penangkapan
a. Hari/tanggal/jam/
b. Waktu penurunan jaring/waring (setting)
70

c. Lama penurunan jaring/waring (setting)


d. Waktu perendaman jaring/waring (immersing)
e. Lama perendaman jaring/waring (immersing)
f. Waktu penarikan jaring/waring (hauling)
g. Lama penarikan jaring/waring (hauling)
h. Jumlah operasi penangkapan
7. Kondisi perairan
a. Kedalaman (m)
b. Suhu perairan (°C)
c. Suhu udara (°C)
8. Identifikasi hasil tangkapan
a. Jenis ikan (nama spesies)
b. Panjang ikan terbesar dan panjang terkecil
c. Berat per jenis ikan
d. Berat total ikan
e. Komposisi hasil tangkapan (ikan,krustase,cephalopod,sampah,dll)
71

VII. BUBU (TRAP)

7.1. Pengertian
Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal di kalangan
nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga
disebut perangkap traps. Bubu merupakan alat tangkap pasif,
tradisional yang berupa perangkap ikan, terbuat dari rotan, kawat,
besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga
ikan yang masuk tidak dapat keluar. Prinsip dasar dari bubu adalah
menjebak penglihatan ikan sehingga ikan tersebut terperangkap di
dalamnya, alat ini sering diberi nama fishing pots atau fishing
basket. (Brandt, 1984).
Menurut Soegiri et al. (2013), Kelompok jenis alat
penangkapan ikan perangkap adalah kelompok alat penangkapan
ikan yang terbuat dari jaring, dan/atau besi, kayu, bambu, berbentuk
silinder, trapesium dan bentuk lainnya dioperasikan secara pasif pada
dasar atau permukaan perairan, dilengkapi atau tanpa umpan. Bubu
(pots) adalah perangkap berbentuk kurungan dan terbuat dari
berbagai bahan serta mempunyai satu injap (pintu bubu) atau lebih.

7.2. Klasifikasi
Menurut Nugroho (2004), mengelompokkan bubu berdasarkan
bentuk dan sasaran alat tangkap ini, seperti:
1. Klasifikasi bubu berdasarkan bentuk
a. Bubu berbentuk kerucut terpotong
72

b. Bubu berbentuk piramida terpotong


c. Bubu berbentuk silinder
d. Bubu berbentuk semi silinder.
e. Bubu berbentuk kotak
2. Klasifikasi bubu berdasarkan sasaran tangkapan
Klasifikasi ini mendasarkan pada jenis ikan atau tangkapan yang
menjadi sasaran. Sehingga nama yang diberikan adalah nama ikan
atau tangkapan yang menjadi sasaran tangkapan bubu tersebut,
diantaranya:
a. Bubu kepiting
b. Bubu Udang
c. Bubu lobster
d. Bubu ikan
e. Bubu cumi-cumi
Klasifikasi bubu menurut Partosuwiryo (2002) adalah sebagai
berikut:
1. Bubu Dasar
2. Bubu Apung
3. Bubu Hanyut

7.3. Konstruksi
Bentuk bubu bervariasi. ada yang seperti sangkar (cages),
silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi
banyak, bulat setengah lingkaran, dll. bahan bubu umumnya dari
anyaman bambu (bamboo`s splittingor-screen). Secara umum, bubu
73

terdiri dari bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeh, dan
pintu. Secara umum bagian-bagian dari bubu antara lain:
badan (body) :berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung.
mulut (funnel) :berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana
ikan dapat masuk tidak dapat keluar.
Pintu : bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.

7.3.1. Konstruksi Bubu Dasar

Sumber: Boesono etal, (2016).

Keterangan :
1. Badan bubu
2. Pintu bubu
3. Mulut bubu

7.3.2. Konstruksi Bubu Lipat

1
74

Sumber: Boesono etal, (2016).

Keterangan:
1. Badan bubu
2. Pintu bubu
3. Mulut bubu

7.4. Metode Pengoperasian


Menurut Martasuganda (2008), metode pengoperasian untuk semua
jenis Bubu pada umumnya hampir sama yaitu di samping di daerah
penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan (ikan dasar,
Rajungan, Udang, Keong, Lindung, Cumi-Cumi, Gurita atau habitat
perairan lainnya yang bisa ditangkap dengan bubu) yang akan
dijadikan target tangkapan. Pemasangan bubu ada yang dipasang satu
demi satu (pemasangan sistem tunggal), ada juga yang dipasang
secara berantai (pemasangan sistem rawai). Waktu pemasangan
(setting) dan pengangkatan (hauling) ada yang dilakukan pagi hari,
siang hari, sore hari sebelum matahari tenggelam. Lama perendaman
bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang
direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai 3 hari 3
malam dan bahkan ada yang direndam sampai 7 hari 7 malam.
75

7.5. Daerah Penangkapan Ikan


Daerah penangkapan ikan yang tepat untuk alat tangkap bubu
yaitu:
 Tidak merupakan alur pelayaran
 Merupakan daerah perairan berkarang, bebatuan atau substrat
berlumpur
 Mempunyai arus yang baik
 Merupakan daerah ruaya ikan

7.6. Hasil Tangkapan


Menurut Iskandar dan Rachmad (2013), Total hasil tangkapan
bubu lipat yang diperoleh pada penelitian ini sebanyak 240 ekor
dengan berat total 12,689 kg yang terdiri dari 6 (enam) spesies. Hasil
tangkapan dominan pada penelitian ini adalah kepiting batu
(Thalamita sp.) dengan jumlah 87 ekor atau 36% dari total hasil
tangkapan, diikuti oleh rajungan (Portunus pelagicus) sebanyak 49
ekor atau setara dengan 20% dari total hasil tangkapan. Hasil
tangkapan dominan berikutnya adalah udang peci (Penaeus indicus)
dengan jumlah 34 ekor atau setara dengan 14% dari total hasil
tangkapan.
76

Kuisioner Darat Bubu Dasar


Bagian yang Arah Mesh
Ukuran Diameter Jenis bahan Jumlah Jumlah mata
diukur pilinan size
Panjang bubu
Lebar bubu
Tinggi bubu
Bahan jaring
Material bubu
Pemberat

Kuisioner Darat Bubu Lipat


Bagian yang Arah Ukuran Diameter Jenis Jumlah Jumlah mata Mesh size
77

diukur pilinan bahan


Panjang bubu
Lebar bubu
Tinggi bubu
Bahan jaring
Material bubu
Pemberat
78

Pengamatan Kegiatan di Laut


Parameter yang diamati Bubu dasar dan
Bubu lipat
Posisi
- Sudut baringan 1 terhadap UP (°)
- Sudut baringan 2 terhadap UP (°)
- Posisi GPS
Kondisi perairan
- Kedalaman air (m)
- Suhu perairan (C°)
Kondisi atmosfer
- Kondisi cuaca
(cerah, mendung,gerimis, hujan)
- Arah angin terhadap UP (°)
- Kecepatan angin (knot atau m/s)
- Suhu udara (C°)
Kapal
- L x B x D (m)
- Gross tonnage (GT)
- Mesin utama (daya max, jenis mesin)
Operasi penangkapan
- Hari/tanggal/jam
- Lama setting
- Lama immersing/dragging
- Lama hauling
Parameter yang diamati Bubu dasar dan
79

Bubu lipat
Deskripsi metode dan cara operasi
penangkapan

Identifikasi ikan hasil tangkapan


- Jenis ikan
- Panjang, lebar (cm)
- Berat per jenis ikan (kg)
- Berat total ikan (kg)
- Komposisi hasil tangkapan
(ikan,krustase,cephalopod,karang,sampah,dll)
80

VIII. UMPAN

8.1. Pengertian Umpan


Menurut Putra et al. (2015) umpan merupakan salah satu
bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang
dapat memberikan respon bagi ikan-ikan tertentu pada proses
penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang
memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan usaha
penangkapan. Umpan yang digunakan dalam penangkapan ikan
adalah jenis ikan yang tidak cepat busuk dan rangka tulangnya kuat
sehingga disaat di rendam dalam air tidak mudah lepas dari pancing.
Menurut Boesono dan Asmara (2005), umpan merupakan
komponen penting yang harus diadakan secara khusus karena
keberhasilan usaha penangkapan ditentukan oleh jenis, mutu (tingkat
kesegaran), ukuran dan kondisi fisiknya. Umpan berfungsi sebagai
penarik ikan target agar mau memangsa sehingga ikan target dapat
terkait di mata pancing. Umpan dibagi menjadi dua yaitu umpan
alami (umpan benar) dan umpan imitasi yang terdiri dari umpan
tipuan dan umpan tiruan yang biasanya dijual di pasaran. Dalam hal
ini umpan terdiri daeri 3 jenis yaitu:
1. Umpan alami, biasanya menggunakan ikan yang masih hidup
2. Umpan tiruan ialah umpan yang dibentuk menyerupai ikan
mangsa
3. Umpan tipuan biasanya digunakan seperti bulu ayam atau ikan
palsu pada pengoperasian alat tangkap pancing.
8.2. Macam-macam Umpan
81

a. Umpan alami
Umpan alami merupakan jenis umpan yang menjadi makanan
asli ikan dihabitatnya (baik umpan hidup maupun umpan mati).
Banyak jenis umpan alami yang dapat digunakan untuk memancing
seperti udang, umpan cacing laut, ikan runcah, cumi-cumi, irisan
tongkol atau irisan ikan jenis lain.

b. Umpan Tiruan
Umpan tiruan merupakan umpan yang dibuat sedemikian rupa
sehingga memiliki bentuk dan warna yang sama dengan umpan
alami. Umpan tiruan memiliki ciri-ciri yang relatif lebih mahal, tahan
lama, sulit untuk dibuat sendiri. Contoh dari umpan tiruan yaitu:
 Metal Jig
Disebut jig karena umpan ini dimainkan dengan cara dinaik-
turunkan sekaligus digoyangkan secara cepat (jig berasal dari bahasa
Inggris yang salah satu artinya adalah menari dengan irama cepat)
Bahan yang digunakan biasanya adalah logam dan lebih khusus lagi
adalah timah yang berat jenisnya lebih besar dari besi.
82

 Konahead
Disebut konahead karena dibuat menyerupai kepala cumi-cumi,
dan biasanya digunakan untuk memancing dengan teknik trolling
dengan target ikan tuna atau layaran.Umpan terbuat dari bahan
softlure.

 Popper
Popper adalah umpan tiruan yang berjalan di permukaan air dan
jika ditarik akan mengeluarkan suara cipratan air. Popper
merupakan umpan buatan, biasanya terbuat dari bahan kayu.

c. Umpan Tipuan
Umpan tipuan merupakan umpan yang dibuat menyerupai
bentuk dan warna dari umpan alami, sehingga dapat mengelabui
83

target tangkapan. Umapan tipuan memiliki ciri-ciri yang relatif lebih


murah, dapat dibuat sendiri, dan rentan rusak. Contoh dari umpan
tipuan yaitu:
 Spinner
Disebut demikian karena umpan ini dibuat dengan bagian utama
sebagai daya tarik ikannya berupa logam atau benda lain yang
berputar (spin). Spinner dibuat dengan tubuh utama berupa mata kail
yang diberi spoon/blade (logam tipis yang berputar) dan bulu-bulu.
Putaran dari blade menimbulkan getaran atau dengung suara yang
membuat ikan-ikan tertarik untuk mendekat dan menyambarnya.

 Spoon Lure
Umpan tipuan yang terbuat dari bahan logam atau metal ini
adalah salah satu jenis umpan tipuan yang sedikit mudah dalam
pembuatannya karena kita hanya bermodalkan sebuah sendok
berbahan metal atau logam stainless steel sudah cukup untuk
membuat 1 atau 2 jenis umpan spoon lure. Spoon Lure memiliki
bentuk yang cekung biasanya dipergunakan untuk memikat perhatian
84

ikan predator dengan cara pantulan cahaya sekitar umpan dengan


gerakan acak.

8.3. Syarat Umpan


Umpan yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Tahan lama (tidak cepat busuk);
2. Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan
menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan;
3. Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang;
4. Harga terjangkau;
5. Mempunyai ukuran memadai; dan
6. Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
85

IX. ALAT BANTU PENANGKAPAN

8.1. Penentuan Posisi Penangkapan


Penentuan posisi penangkapan dapat dilakukan dengan :
1. Penggunaan GPS
GPS (Global Positioning System) adalah perangkat navigasi
satelit yang digunakan untuk mengetahui posisi kapal secara tiga
dimensi yaitu latitude, longitude, dan altitude di atas permukaan air.
Menurut Prasetyo et al. (2015), Global Positioning System (GPS)
adalah sistem untuk menentukan posisi di permukaan bumi dengan
bantuan sinkronisasi sinyal satelit. Sistem ini menggunakan 24 satelit
yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini
diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk
menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu.
Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi
atau penentu posisi berbasis satelit. Sistem ini didesain untuk
86

memberikan posisi dan informasi mengenai waktu, secara kontinyu


di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca. Penentuan posisi
GPS digambarkan dengan menggunakan nilai koordinat X dan Y
atau garis bujur dan garis lintang (longitude/latitude). Sistem ini
digunakan untuk menentukan posisi pada permukaan bumi dengan
bantuan sinkronisasi sinyal satelit. Sistem ini menggunakan 24 satelit
yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke bumi. Sinyal ini
diterima oleh alat penerima yang ada di bumi, dan digunakan untuk
menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu. GPS Tracker atau
sering disebut dengan GPS Tracking adalah teknologi AVL
(Automated Vehicle Locater) yang memungkinkan pengguna untuk
melacak posisi kendaraan, armada ataupun mobil dalam keadaan
Real-Time. GPS Tracking memanfaatkan kombinasi teknologi GSM
dan GPS untuk menentukan koordinat sebuah obyek, lalu
menerjemahkannya dalam bentuk peta digital.
87

Gambar GPS (Global Positioning System)

1. Pembaringan
Membaring adalah salah satu cara untuk menentukan posisi
suatu tempat berdasarkan koordinat garis lintang dan garis bujur
bumi. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menentukan arah atau
sudut suatu benda dari kapal dengan mempergunakan pedoman
(kompas baring). Dengan cara membaring ini akan diperoleh sudut
baringan dari dua target baringan yang dikenal dan terdapat di peta
laut dan dapat dilihat secara visual dengan atau alat bantu. Dengan
mencari titik potong dari perpanjangan kedua sudut tersebut
diperoleh posisi kapal pada peta.
88

Dalam melakukan pembaringan perlu memperhatikan hal-hal


sebagai berikut:
1. Benda yang akan dibaring adalah benda yang dikenal dan
terdapat dalam peta (mercusuar, tanjung, puncak gunung, dsb);
2. Sudut potong antara garis baringan tidak lebih kecil dari 30
derajat, sedangkan sudut potong yang baik adalah 90 derajat;
3. Pembaringan dilakukan dengan cepat antara target baringan
satu dengan yang lainnya, sehinggga akan diperoleh posisi yang
akurat.
Baringan yang diperoleh (Bp) selanjutnya dijabarkan menjadi
baringan sejati (Bs) sehingga dapat diplot ke peta laut dengan
bantuan mawar pedoman dipeta. Lebih lanjut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Bs = Bp = sembir
= Bp + (variasi + deviasi)
Hp = Hm – deviasi jadi Bs = Bm – deviasi
Karena kapal yang dipergunakan adalah kapal kayu, maka deviasi =
0 sehingga:
Hp = Hm jadi Bp = Bm
Hs = Hm + variasi jadi Bs = Bm + variasi
Annual increase (perubahan tahunan) = 0030’00”
Variasi peta (Vp) = 0030’00” (pada tahun 1995)
Variasi (V) = Vp + An
= {0°30’00’’ + ( 0°30’00’’x (2016 – 1995))}
= {0°30’00’’ + (0°30’00’’ x 21)}
= {0°30’00’’ + 10°30’00”}
= 11°
89

Gambar Kompas Baring

8.2. Fish Finder

Fish finder merupakan alat akustik yang digunakan untuk


menentukan suatu gerombolan ikan yang berada di wilayah perairan.
Fish finder juga dapat memberikan informasi mengenai bentuk
dasaran laut. Biasanya alat ini digunakan untuk alat tangkap Trawl
90

yang bekerja pada wilayah dasaran. Penentuan gerombolan ikan ini


dilakukan secara vertikal. Alat ini juga bisa menentukan suatu
kedalaman dan suhu permukaan di dalam suatu perairan. Menurut
Kail Pancing Community menerangkan bahwa Selain topografi dasar
perairan, gelombang suara yang dipancarkan oleh transduser
terkadang mengenai benda-benda yang melayang dalam air, karena
benda tersebut juga memantulkan gelombang. Benda yang melayang
itu pun bisa terbaca dalam monitor fish finder.
Fish Finder ialah perangkat elektronik yang bekerja deengan
cara memancarkan gelombang ultrasonik dan menangkap kembali
pantulannya. Perangkat fish finder yang digunakan untuk
memancarkan gelombang dan menangkap gelombang yang kembali
disebut dengan nama transduser. Proses gelombang pantulan yang
berulang-ulang itu ditangkap transduser kemudian diterjemahkan
dalam monitor dalam bentuk titik-titik sehingga menimbulkan
topografi dasar perairan (Mahardiansyah, 2012).
Fish finder merupakan alat pemindai ikan yang mengguanakan
sonar (Sound Navigation Ranging). Secara fisik, alat ini terbagi
menjadi dua komponen utama, yaitu Transducer dan Modul
handheld. Tranducer berfungsi untuk memancarkan gelombang suara
dan handheld modul berfungsi untuk mengamati ada atau tidaknya
objek yang dikenai oleh gelombang tersebut. Prinsip kerjanya adalah
sebagai berikut:
Tranducer akan memancarkan gelombang untrasonik kearah
dasar laut, kemudian terdapat sensor pada tranducer yang dapat
menangkap gelombang yang dipantulkan balik jika gelombang
91

mengenai suatu objek. Sensor akan mengirimkan informasi ke


handheld yang akan memproses dan menampilkan kedalaman dari
objek tersebut.
Dari hasil pembacaan gambar topografikita bisa membedakan
kekerasan dari topografi struktur dasar perairan. Biasanya bila
keadaan dasar perairan benda yang keras maka warna di monitor
gambarnya lebih pekat. Sebaliknya jika topografi lembek maka
gambar di monitor pun tidak pekat. Komponen dari fish finder antara
lain transmitter, transduser, receiver dan recorder. Selain topografi
dasar perairan, gelombang suara yang dipancarkan oleh transduser
terkadang mengenai benda-benda yang melayang dalam air, karena
benda tersebut juga memantulkan gelombang (Budi, 2012).

8.3. Anemo Meter

Anemo meter adalah alat untuk mengukur kecepatan angin.


Anemo meter juga bisa digunakan untuk mengetahui suhu udara.
92

Sistem kerja Anemo meter terdapat baling-baling yang akan berputar


setelah terkena tiupan angin, setelah itu dapat dilihat kecepatan
anginnya.
Anemo meter memiliki fungsi sebagai perangkat atau alat yang
digunakan untuk mengukur kecepatan angin. Dengan anemometer
kita dapat memperkirakaan cuaca pada hari itu. Selain itu
anemometer juga dapat difungsikan sebagai alat pendeteksi cuaca
buruk seperi angin topan ataupun badai. Pada dasarnya anemometer
adalah alat untuk mengukur kecepatan udara atau kecepatan gas
dalam femonema terjadinya hembusan angin, contohnya untuk
mengukur aliran udara di dalam saluran, atau juga pengukuran arus
terbatas, seperti angin atmosfer.
Penggunaan anemometer harus ditempatkan di daerah terbuka.
Pada saat tertiup angin, baling-baling atau mangkok yang terdapat
pada anemometer akan bergerak sesuai arah angin. Semakin besar
kecepatan angin meniup mangkok-mangkok tersebut, semakin cepat
pula kecepatan berputarnya piringan mangkok-mangkok. Dari
jumlah putaran dalam satu detik maka dapat diketahui kecepatan
anginnya, karena di dalam anemometer terdapat alat pencacah yang
akan menghitung kecepatan angin.
93

IX. ALAT TANGKAP RAMAH LINGKUNGAN

Menurut Sumardi et al. (2014) Kegiatan penangkapan ikan


yang ramah lingkungan sebagai acuan dalam penggunaan teknologi
dan alat penangkapan ikan ramah lingkungan. Kondisi tersebut dapat
dilihat dari segi metode pengoperasian, bahan dan kontruksi alat,
daerah penagkapan serta ketersedian sumberdaya ikan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan. Harapannya adalah
nelayan dan semua pihak yang bergerak dibidang perikanan
diseluruh perairan Indonesia dapat mematuhi peraturan dalam
mengoperasikan alat tangkap dengan tetap menjaga lingkungan dan
kelestarian sumber daya ikan.
Kriteria alat tangkap ramag lingkungan berdasarkan Food
Agriculture Organization (FAO) dalam (Code of Conduct for
Resposible Fisheries- CCRF), FAO menetapkan berbagai kriteria
bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Sembilan
kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
94

1. Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi


Artinya, alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat
menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan
saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu
selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub kriteria ini terdiri dari
(yang paling rendah hingga yang paling tinggi):
1. Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang
berbeda jauh;
2. Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh;
3. Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang
kurang lebih sama; dan
4. Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang
lebih sama.

2. Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat,


tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme
lainnya
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang
ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan
alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari
yang rendah hingga yang tinggi):
1. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas;
2. Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit;
95

3. Menyebabkan kerusakan sebagian habiat pada wilayah yang


sempit; dan
4. Aman bagi habitat (tidak merusak habitat).

3. Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan).


Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan,
karena bagaimana pun, manusia merupakan bagian yang penting bagi
keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko
diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang
mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi):
1. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat
kematian pada nelayan;
2. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat
menetap (permanen) pada nelayan;
3. Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat
gangguan kesehatan yang sifatnya sementara; dan
4. Alat tangkap aman bagi nelayan.

4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik.


Jumlah ikan yang banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut
dalam kondisi buruk. Dalam menentukan tingkat kualitas ikan
digunakan kondisi hasil tangkapan secara morfologis (bentuknya).
Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Ikan mati dan busuk;
2. Ikan mati, segar, dan cacat fisik;
3. Ikan mati dan segar; dan
4. Ikan hidup.
96

5. Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen.


Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya
yang mungkin dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan
adalah (dari rendah hingga tinggi):
1. Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen;
2. Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen;
3. Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen;
dan
4. Aman bagi konsumen.

6. Hasil tangkapan yang terbuang minimum.


Dengan alat yang tidak selektif, hasil tangkapan yang terbuang
akan meningkat, karena banyaknya jenis non-target yang turut
tertangkap. Hasil tangkapan non target, ada yang bisa dimanfaatkan
dan ada yang tidak. Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan
pada hal berikut (dari rendah hingga tinggi):
1. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa
jenis (spesies) yang tidak laku dijual di pasar;
2. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa
jenis dan ada yang laku dijual di pasar;
3. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis
dan laku dijual di pasar; dan
4. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis
dan berharga tinggi di pasar.
97

7. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak


minimum terhadap keanekaan sumberdaya hayati
(biodiversity)
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal
berikut (dari rendah hingga tinggi):
1. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua
mahluk hidup dan merusak habitat;
2. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies dan merusak habitat;
3. Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa
spesies tetapi tidak merusak habitat; dan
4. Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati.

8. Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang


atau terancam punah
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi
undangundang ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
1. Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat;
2. Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat;
3. Ikan yang dilindungi pernah tertangkap; dan
4. Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap.

9. Diterima secara sosial


Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap, akan
sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di suatu
tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
v biaya investasi murah,
v menguntungkan secara ekonomi,
98

v tidak bertentangan dengan budaya setempat,


v tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

Hasil identifikasi alat tangkap ikan ramah lingkungan menurut


petunjuk teknis Dirjen Perikanan Tangkap (2005):
1. Sangat Ramah lingkungan (Memenuhi 9 indikator)
2. ramah lingkungan (memenuhi 6-8 indikator)
3. Merusak (memenuhi 4-5 indikator)
4. Sangat merusak (memenuhi 0-3 indikator).

Hasil Pengamatan Alat Tangkap Ramah Lingkungan


Tabel hasil pengamatan alat tangkap ramah lingkungan
No. Alat Tangkap Kriteria yang dipenuhi Keterangan
99
100

DAFTAR PUSTAKA

Adyas. A, Zainudin I, Yusuf M. 2011. Panduan Pengoperasian Tuna


Longline Ramah Lingkungan untuk Mengurangi Hasil
Tangkapan Sampingan (Bycatch) Versi 1. Jakarta (ID) : WWF
– Indonesia.

Ayodhyoa. 1974. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri,


Bogor.

________. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri.


Bogor.

Bahtiar. A, A. Barata, dan D. Novianto. 2013. Taktik Penangkapan


Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia
Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger. Jurnal
Literatur Perikanan Indonesia. 19 (1) : 47-53.

Baskoro. M. S, B. Nugraha, dan Budy Wiryawan. 2014. Komposisi


Hasil Tangkapan Dan Laju Pancing Rawai Tuna Yang
Berbasis Di Pelabuhan Benoa. Simposium Nasional
Pengelolaan Perikanan Tuna Berkelanjutan : 1126-1132.

Baskoro. M. S, dan A. Suherman. 2007. Teknologi Penangkapan


Ikan Dengan Cahaya. Badan Penerbit UNDIP-Semarang.
Bogor.
101

Brandt. A. V. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing


News Books Ltd, 23 Rosemount Avenue West by Fleet,
Surrey and 110 Fleet Street. London Ec4.

Budi. S. 2012. Sistem Kerja Radar (Radio Detecting and Ranging).

Boesono. H. 2015. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penangkapan


Ikan. Universitas Diponegoro. (tidak dipublikasikan).

Boesono. H, dan Y. Asmara. 2005. Menangkap Ikan Cendre dengan


Pancing Layang-layang.

Boesono. H, Sansan, A. Suherman. 2016. The Influence Analysis Of


Differrently Constructed Folded Traps And Types Of Baits To
Catch Crabs (Portunus pelagicus, (Linnaeus,1758)] In
Rembang Sea Waters.. Jurnal Teknologi. 78(4):69–76.

Iskandar. D., R. Caerasio. 2013. Pengaruh Posisi s terhadap Hasil


Tangkapan Bubu Lipat. Buletin PSP. 21 (1) : 1-9.

Khaeruddin, dan Asep. 2006. Proporsi Hasil Tangkap Sampingan


Jaring Arad (Mini Trawl) yang Berbasis di Pesisir Utara, Kota
Cirebon. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Lee. J. W. 2010. Pengaruh Periode Hari Bulan Terhadap Hasil


Tangkapan dan Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di
Kabupaten Serang. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mahardiansyah. 2012. Fungsi GPS dan Cara Kerjanya.


102

Maldi. 2010. Analisis Kelayakan Usaha Alat Tangkap Gill Net Dasar
Dan Prospek Pengembangannya Di Nagari Gasan Gadang
Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman.
Jurnal perikanan dan kelautan.
Manadiyanto. H, H. Latif dan S. Iriandi. 2000. Status dan
Pemanfaatan Udang Penaeid Pasca Pukat harimau di Perairan
Laut Jawa, Jakarta: Balai Penelitian Perikanan laut. 26 hal.

Mardjudo. A, R. Agus, dan R. Ambo. 2014. Usaha Perikanan Ikan


Teri (Stolephorus, spp) Dengan Alat Tangkap Bagan Tancap
di Desa Bukit Aru Indah Kecamatan Sebatik Timur
Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Jurnal
Ilmiah AgrIBA. (2):198-199.
Martasuganda. S. 2008. Bubu (Traps). Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
Dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nugroho. S. 2004. Pengaruh Perbedaan Jenis Bubu dan Jenis Umpan


Terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Rawa Pening
Kabupaten Semarang. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Diponegoro, Semarang, 9 hlm.

Oktafiandi. H, Asriyanto, dan Sardiyatmo. 2016. Analisis


Penggunaan Lampu Led Dan Lama Perendaman Jaring
Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Teri (Stolephorus Spp.)
Bagan Tancap (Lift Net) Di Perairan Morodemak. Journal of
Fisheries Resources Utilization Management and Technology.
5(1) :94–101.
Prado. J, dan P.Y Dremire. 1996. Panduan Teknis Usaha
Penangkapan Ikan. BBPPI, Semarang.
103

Prasetya.W, A. Rosyid, dan Dian. A. N. N. D. 2015. Perbedaan Hasil


Tangkapan dan Tingkat Keuntungan Nelayan Trammel Net
dan Nelayan Gill Net Di Perairan Pantai Pasir, Kecamatan
Ayah, Kabupaten Kebumen. 4(4):116-124.

Putra. B. B, Pramonowibowo, I. Setiyanto. 2015. Pengaruh


Perbedaan Umpan Dan Waktu Penangkapan Bubu Lipat
Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Gabus (Ophiocephalus
Striatus) Di Rawa Jombor, Klaten. Journal of Fisheries
Resources Utilization Management and Technology Volume.
4(1):43-51

Sadhori, N. 1985. Teknik Penangkapan Ikan. Bandung: Angkasa. 182


hlm.

Saputra. S. W, A. Solichin, D. Wijayanto, F. Kurohman. 2011.


Produktivitas dan Kelayakan Usaha Tuna Longliner di
Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan. 6
(2) : 84-91.

Soegiri. B, B. C. Pratiwi, dan Z. Wassahua. 2013. Laporan Uji Coba


Alat Tangkap Bubu Rajungan di Kabupaten Jepara. BBPI.
Semarang.

Subani. W dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut
di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta :
Departemen Pertanian.
Sudirman dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta.
104

Sukandar dan Fuad. 2014. Pengoperasian Lampu Celup Bawah Air


Pada Bagan Tancap Di Perairan Lekok. Journal Of Innovation
and Applied Technology. 1(2):101-105.

Sulaiman. 2015. Pengembangan Lampu Light Emitting Diode (Led)


Sebagai Pemikat Ikan Pada Perikanan Bagan Petepete Di
Sulawesi Selatan.

Sumardi. M, A. Sarong ,M. Nasir. 2014. Alat Penangkapan Ikan


Yang Ramah Lingkungan Berbasis Code of Conduct For
Responsible Fisheries di Kota Banda Aceh. Agrisep. 15(2):10-
18.

Sutoyo. A, Dan A. Kusyairi. 2009. Studi Perbedaan Cara Operasi


Penangkapan Ikan Dengan Alat Tangkap Trammel Net
Terhadap Hasil Tangkapan Di Perairan Brondong. Jurnal
Perikanan dan Kelautan.
Thenu. I. M, Gondo Puspito, Sulaeman, Martasuganda. 2013.
Penggunaan Light Emitting Diode Pada Lampu Celup Bagan.
Marine Fisheries. 4(2):141-151.
Triharyuni. S, dan I. Trihargiyatno . 2012. Model produksi jaring
arad di pantai utara Jawa yang berbasis di Pekalongan.
Jakarta [ID]. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 18(4).213-
219.
Wahju, R. I. 2012. Kajian Perikanan Trawl Demersal : Evaluasi Tiga
Jenis Bycatch Reduction Device (brd). Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
105

Nilai Modul Praktikum Darat dan Laut


Metode Penangkapan Ikan, 2018
Nilai
Alat Rata-
No Praktikum Praktikum
Tangkap Rata
Darat Laut
1 Gill net
2 Trammel net
3 Arad
4 Rawai
5 Bagan
6 Bubu
Total Nilai

Paraf Asisten

( )

Anda mungkin juga menyukai