Anda di halaman 1dari 97

PEMBERIAN MASSAGE PUNGGUNG DAN TEKNIK RELAKSASI

NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI


PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. S DENGAN POST
APPENDIKTOMI HARI KE-2 DI RUANG MAWAR
RSUDdr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI

DISUSUN OLEH :

SILVIA SETYOWATI
NIM.P.12050

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
PEMBERIAN MASSAGE PUNGGUNG DAN TEKNIK RELAKSASI
NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. S DENGAN POST
APPENDIKTOMIHARI KE-2 DI RUANG MAWAR
RSUDdr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
WONOGIRI

Karya Tulis Ilmiah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam MenyelesaikanProgram Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH :

SILVIA SETYOWATI
NIM.P.12050

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015

i
ii
iii
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :


Nama : Silvia Setyowati
NIM : P.12 050
Program Studi : DIII Keperawatan
Judul : Pemberian Massage Punggung dan Teknik Relaksasi
Nafas Dalam terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada
Asuhan Keperawatan Tn. S dengan Post Appendiktomi
Hari ke-2 di Ruang Mawar RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri

Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di : Surakarta
Hari/ Tanggal : Jumat/ 19 Juni 2015

DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Atiek Murharyati, S.Kep.Ns.,M.Kep ( )
NIK.200680021
Penguji I : Joko Kismanto, S.Kep.Ns ( )
NIK.200670020
Penguji II : Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep.Ns.,M.Kep ( )
NIK.201086057
Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta

Atiek Murharyati, S.Kep.Ns.,M.Kep


NIK.200680021

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan judul Pemberian Massage Punggung dan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Asuhan Keperawatan Tn.S
dengan Post Appendiktomi Hari ke-2 di Ruang Mawar Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi
kasus ini.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Joko Kismanto, S.Kep.,Ns, selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.

v
6. Kedua Orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, 22 Mei 2015

Penulis

vi
PERSEMBAHAN

Syukur alhamdulillah kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat


dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir dengan segala kekuranganku.
Karya Tulis Ilmiah ini ku persembahkan untuk :
1. Kedua Orangtuaku Ibunda Lasmi tercinta terimakasih atas semua doa,
dukungan, kasih sayang dan semangatnya dan Almarhum Ayahanda
terimakasih untuk kekuatan penuh cinta dan tanggung jawabnya semasa
hidupnya.
2. Kakakku tersayang Aisyah Diliati dan adikku Ragil Oktantya, terimakasih atas
dukungan dan doa untuk kesuksesanku.
3. Keluarga besar terimakasih atas dukungan dan doa untuk kesuksesanku.
4. Yang terkasih Dwi Panggo Kuncoro terimakasih telah memberikan semangat,
kasih sayang, perhatian, dukungan, dan doa.
5. Sahabatku tersayang dikampus Windiantika, Diah Kusumaningtyas, Yunita
Kartika Candra Dewi dan Ratna Putri terimakasih untuk keceriaannya karena
kalian aku tak sendiri dan karena kalian aku selalu siap menampung air mata,
tawaku dan tempat sharing dan terimakasih untuk motivasinya.
6. Untuk teman-teman almamaterku dan teman-teman senasip dan seperjuangan
terutama kelas 3A angkatan 2012/2013 yang tak bisa ku sebutkan satu persatu
terimakasih kalian telah membantu hingga ujian ini terlewati, perjuangan ini
memang menyenangkan dan mari kita lanjutkan perjuangan kita diluar sana Be
Professional Nurse, mengabdi kepada masyarakat.
7. B 6291 KVS dan my leppy (laptop) terimakasih yang selalu setia temani setiap
langkahku.

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIASTISME .......................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah .................................................... 1
B. Tujuan penulisan .............................................................. 4
C. Manfaat penulisan ............................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Appendiksitis ................................................................ 7
2. Appendiktomi ............................................................... 12
3. Luka ............................................................................. 13
4. Asuhan keperawatan .................................................... 23
5. Nyeri ............................................................................ 27
6. Teknik relaksasi nafas dalam ....................................... 34
7. Massage ....................................................................... 35
B. Kerangka teori .................................................................. 38
C. Kerangka konsep .............................................................. 39
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek aplikasi riset ........................................................ 40
B. Tempat dan waktu ............................................................ 40
C. Media dan alat yang digunakan........................................ 40

viii
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ................... 40
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasakan riset 42
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas klien ................................................................... 43
B. Pengkajian ........................................................................ 43
C. Daftar perumusan masalah ............................................... 50
D. Perencanaan...................................................................... 51
E. Implementasi .................................................................... 53
F. Evaluasi ............................................................................ 59
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ........................................................................ 62
B. Diagnosa keperawatan ..................................................... 65
C. Intervensi keperawatan..................................................... 69
D. Implementasi keperawatan ............................................... 72
E. Evaluasi keperawatan ....................................................... 76
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................... 80
B. Saran ................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ix
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Kerangka Teori.. 38


2. Gambar 2.2 Kerangka Konsep.. 39
3. Gambar 3.1 Numerical Rating Scale 42
4. Gambar 4.1 Genogram. 44

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Usulan Judul


Lampiran 2. Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 3. Surat Pernyataan
Lampiran 4. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 5. Jurnal
Lampiran 6. Asuhan Keperawatan (fotocopy)
Lampiran 7. Lembar Log Book Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 8. Lembar Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 9. Lembar Observasi
Lampiran 10. SAP & leaflet

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Tujuh persen penduduk di negara Barat menderita appendisitis dan

terdapat lebih dari 200.000 appendiktomi dilakukan di Amerika Serikat setiap

tahunnya. WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi

appendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6%

penduduk dari total populasi (WHO, 2004). Menurut Departemen Kesehatan RI

pada tahun 2006, appendisitis menempati urutan keempat penyakit terbanyak

di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistem

cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 (Depkes RI, 2006).

Dinkes Jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus appendisitis di Jawa

Tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan

kematian (Taufik, 2011). Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

menyebutkan pada tahun 2014 jumlah kasus bedah sebanyak 8.965 penderita

(RSUD Wonogiri, 2014).

Pembedahan atau operasi adalah semua tindak pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh

yang akan ditangani (Sjamsuhidajat, 2005).Appendiktomi adalah pembedahan

dengan cara pengangkatan appendiks. Appendisitis merupakan indikasi

tersering pengangkatan appendiks, walaupun pembedahan ini dapat juga

dilakukan untuk tumor, misalnya karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia A.

1
2

Price, 2006). Tindakan operasi appendiktomi merupakan suatu ancaman

potensial atau actual kepada integritas seseorang baik bio-psiko-sosial yang

dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Rasa nyeri tersebut biasanya timbul

setelah operasi. Nyeri merupakan sensasi objektif, rasa yang tidak nyaman

biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan actual dan potensial (Smeltzer,

2002).

Nyeri menurut beberapa ahli, sebagai suatu fenomena misterius yang

tidak dapat didefinisikan secara khusus. Nyeri adalah sensasi yang muncul

akibat stimulasi nyeri yang berupa biologis, zat kimia, panas, listrik, serta

mekanik (Prasetyo, 2010). Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak

menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang

berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah

yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Azis,

2009).

Tindakan untuk menurunkan rasa nyeri pada pasien post appendiktomi,

maka perlu dilakukan beberapa terapi seperti teknik massage punggung dan

relaksasi nafas dalam. Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering

digunakan adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan

jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik-titik

pemicu miofasial diseluruh tubuh. Cara untuk mengurangi gesekan digunakan

minyak atau lotion. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan

sirkulasi. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan, apabila
3

dilakukan oleh orang lain yang penuh perhatian sehingga dapat memberikan

rasa nyaman (Wilson, 2006).

Selain massage, relaksasi nafas dalam juga sangat bermanfaat bagi

pasien untuk mengurangi setelah operasi dan dapat membantu pasien relaks dan

juga dapat meningkatkan kualitas tidur. Pasien diletakkan dalam posisi duduk

untuk memberikan ekspansi paru yang maksimum dan memudahkan latihan

nafas dalam beberapa kali, pasien diinstruksikan untuk bernafas dalam-dalam

dan menghembuskan melalui mulut (Smeltzer, 2002).

Menurut jurnal dr. Irwan Wirya, M.Kes& dr. Margareth Duma Sari,

M.Kes (2011) menyebutkan bahwa pengukuran rata-rata intensitas nyeri

sebelum pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam pada

pasien post appendiktomi dari 12 responden, 3 orang (25%) mengalami nyeri

ringan, 8 orang (66,7%) mengalami nyeri sedang, dan 1 orang (8,3%)

mengalami nyeri berat. Hasil pengukuran rata-rata intensitas nyeri setelah

pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien

post appendiktomi dari 12 responden, 7 orang (58,3%) mengalami nyeri ringan,

5 orang (41,7%) mengalami nyeri sedang. Ada perbedaan yang signifikan

sebelum dan sesudah pemberian massage punggung dan relaksasi nafas dalam

pada pasien post appendiktomi.

Diruang mawar RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri 5 dari

7 perawat sudah mengetahui tujuan dari pemberian massage punggung dan

teknik relaksasi nafas dalam sedangkan 2 diantaranya masih belum mengetahui

sepenuhnya tentang tujuan pemberian massage punggung pada pasien post


4

appendiktomi. Pada Tn. S dengan post appendiktomi saat dilakukan pengkajian

oleh penulis kondisinya sedang mengalami nyeri. Berdasarkan latar belakang

tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan kasus asuhan

keperawatan dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah dengan judul Pemberian

Massage Punggung dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan

Intensitas Nyeri pada Asuhan Keperawatan Tn. S dengan Post Appendiktomi

hari ke-2 di Ruang Mawar RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.

B. Tujuan penulisan

1. Tujuan umum

Mengaplikasikan tindakan pemberian massage punggung dan teknik

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada Tn. S

dengan post appendiktomi hari ke-2 di ruang mawar RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri.

2. Tujuan khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. S dengan post

appendiktomi.

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. S dengan

post appendiktomi.

c. Penulis mampu menyusun intervensi pada Tn. S dengan post

appendiktomi.

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. S dengan post

appendiktomi.
5

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. S dengan post

appendiktomi.

f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian massage punggung dan

teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada

Tn. S dengan post appendiktomi.

C. Manfaat penulisan

1. Bagi profesi keperawatan

Memberi tambahan sumber informasi dalam pemberian massage punggung

dan relaksasi nafas dalam terhadap nyeri sehingga dapat dijadikan sebagai

suatu intervensi keperawatan untuk menurunkan nyeri pada pasien post

appendiktomi.

2. Bagi penulis

Memberi tambahan wawasan ilmu pengetahuan dibidang ilmu keperawatan.

3. Bagi institusi/ pendidikan

Sebagai sumber informasi serta dasar pengetahuan bagi mahasiswa dan

dapat dijadikan sebagai materi dalam menangani pasien post appendiktomi.

4. Bagi rumah sakit

Sebagai tambahan referensi dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada

pasien post appendiktomi dalam penurunan intensitas nyeri.

5. Bagi masyarakat
6

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang cara menurunkan

intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
7

1. Appendiksitis

a. Definisi Appendiksitis

Appendisitis adalah suatu proses obstruksi/ ( hiperplasi limpo

nodi submokosa, fecolith, benda asing, tumor ), kemudian diikuti proses

infeksi dan disusul oleh peradangan dari appendiks veniformis.

(Nugroho, 2011). Appendisitis merupakan peradangan pada apendiks

yang berbahaya jika tidak ditangani segera dimana terjadi infeksi berat

yang bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins,

2011). Appendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks yang

berbentuk cacing yang berlokasi dekat katup ileosekal (Reksoprojo,

2005).

Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu

atau umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum

(cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga

memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang

umumnya berbahaya (Wim de Jong et al, 2005).

b. Klasifikasi

Menurut Wim de Jong et al (2005), klasifikasi appendisitis terbagi atas

3 yaitu :
8

1) Appendisitis akut radang mendadak umbai cacing yang memberikan

tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan

peritoneum local.

2) Appendisitis rekrens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut

kanan bawah yang mendorong dilakukannya appendiktomi.

Kelainan ini terjadi bila serangan appendisitis akut pertama kali

sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali kebentuk

aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.

3) Appendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan

bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara

makroskopik dan mikroskopik (fibrosis menyeluruh didinding

apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan

parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik),

dan keluhan menghilang setelah appendiktomi.

c. Etiologi

Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal

berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen appendiks

merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di samping

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris

dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain diduga dapat

menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa appendiks karena parasit

seperti E.histolytica (Sjamsuhidajat, 2005).

d. Manifestasi Klinis
9

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik

appendisitis nyeri samar (nyeri tumpul) didaerah epigastrium disekitar

umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan

mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan

menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran

kanan bawah ke titik Mc Burney. Dititik ini nyeri terasa lebih tajam dan

jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun

terkadang tidak dirasakan nyeri di daerah epigastrium tetapi terdapat

konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya

perforasi. Terkadang appendisitis juga disertai dengan demam derajat

rendah sekitar 37,5-38,5 C. Selain gejala klasik, ada beberapa gejala

lain yang dapat timbul sebagai akibat dari appendisitis. Timbulnya

gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut

gejala yang timbul tersebut :

1) Bila letak appendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang

sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak

begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri

lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan

gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan mengedan.

Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang

menegang dari dorsal.

2) Bila appendiks terletak di rongga pelvis


10

Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan

timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga

peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih

cepat dan berulang-ulang (diare).

3) Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung

kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena

rangsangannya dindingnya (Nurarif, Kusuma, 2013).

e. Patofisiologi

Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen

yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini

sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa appendisitis

berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah. Pada

stadium awal appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.

Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan

muskulatr dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta

terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaaan

peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen

menyebabkan peritonitis lokal. Dalam stadium ini mukosa glandular

yang nekrosis terkelupas kedalam lumen yang menjadi distensi dengan

pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai appendiks menjadi bertrombosit

dan appendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.

Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika


11

perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi.

(Burkitt, Quick, Reed, 2007).

f. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik

berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah

mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas

kumpulan appendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De

Jong, 2005). Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka,

perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali

dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).

g. Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan menurut Sjamsuhidajat, 2005 yaitu bila diagnosa

klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya

pilihan yang baik adalah appendiktomi. Pada appendisitis tanpa

komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada

appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforata. Penundaan

tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan

abses atau perforasi.

2) Penatalaksanaan medik menurut Nugroho, 2011 berdasarkan

kriteria diagnosa antara lain :


12

a) Appendiksitis akut : sakit mendadak mulai disekitar pusar baru

menetap dikanan bawah, mual muntah, nyeri tekan, nyeri ketok,

nyeri lepas, demam dan lekositosis.

b) Appendiksitis infiltrat : sakit perut kanan bawah lebih dari 48

jam, ditemukan massa tumor didaerah Mc Burney yang jelas

pada USG.

c) Appendiksitis perforasi : sakit perut mulai terasa dikanan bawah

lebih lama dari 60 jam, tanda peritonitis sudah menyebar ke

seluruh perut, menderita tampak sepsis, dapat disertai diare

akibat peritonitis.

d) Appendiksitis kronis : pernah sakit appendiksitis akut dan

sembuh, timbul sikatrik/ perlengketan dengan jaringan disekitar

akibatnya aliran isi lumen appendiksitis terganggu sehingga

menimbulkan sakit perut berulang, pada keadaan ini dapat

timbul eksaserbasi akut dengan gejala sama seperti appendiksitis

akut.

2. Appendiktomi

a. Definisi appendiktomi

Appendiktomi adalah suatu tindakan invasive untuk membuang

appendiks yang lebih meradang (Arrasid, 2007). Appendiktomi adalah

pembedahan dengan cara pengangkatan appendiks.

Appendisitismerupakan indikasi tersering pengangkatan appendiks,


13

walaupun pembedahan ini dapat juga dilakukan untuk tumor, misalnya

karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia A. Price, 2006).

b. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendisitis telah

ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan

dilakukan, analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.

Appendiktomi (pembedahan untuk mengangkat appendiks) dilakukan

sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Appendiktomi

dapat dilakukan dibawaha anastesi umum atau spinal dengan insisi

abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode

terbaru yang sangat efektif(Sugeng, 2012).

3. Luka

a. Definisi luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan

(Sjamsuhidajat, 2005). Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi

anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal

maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Lazarus et al, 1994

dalam Potter & Perry, 2006).

b. Jenis luka
14

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara

mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 1997

dalam Chistopher, 2012).

1) Berdasarkan tingkat kontaminasi

a) Clean wounds (luka bersih), yaitu luka bersih tak terinfeksi yang

mana tidak terjadi proses peradangan/ inflamasi dan infeksi pada

sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi.

b) Clean contamined wounds (luka bersih terkontaminasi),

merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi,

pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,

kotaminasi tidak selalu terjadi.

c) Contamined wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka

terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan

kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari

saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut,

inflamasi nonpurulen.

d) Dirty or infected wounds (luka kotor atau infeksi), yaitu

terdapatnya mikroorganisme pada luka.

2) Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a) Stadium I : luka superfisial (non-blanching erithema) yaitu luka

yang terjadi pada lapisan epidermis kulit

b) Stadium II : luka partial thickness yaitu hilangnya lapisan kulit

pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan


15

luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister

atau lubang yang dangkal

c) Stadium III : luka full thickness yaitu hilangnya kulit

keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan

yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan

yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,

dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara

klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa

merusak jaringan sekitarnya

d) Stadium IV : luka full thickness yaitu luka yang telah mencapai

lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/

kerusakan yang luas.

3) Berdasarkan waktu penyembuhan luka

a) Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan

konsep penyembuhan yang telah disepakati.

b) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

c. Mekanisme terjadinya luka

Menurut Sjamsuhidajat, 2005 mekanisme terjadinya luka antara lain :


16

1) Luka insisi/ incised wounds, terjadi karena teriris oleh instrumen

yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih

(aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh

darah yang luka diikat (ligasi).

2) Luka memar/ contusion wound, terjadi akibat benturan oleh suatu

tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,

perdarahan dan bengkak.

3) Luka lecet/ abraded wound, terjadi akibat kulit bergesekan dengan

benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.

4) Luka tusuk/ punctured wound, terjadi akibat adanya benda, seperti

peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang

kecil.

5) Luka gores/ lacerated wound, terjadi akibat benda yang tajam

seperti oleh kaca atau oleh kawat.

6) Luka tembus/ penetrating wound, yaitu luka yang menembus organ

tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil

tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

d. Fase penyembuhan luka


17

Menurut Sjamsuhidajat (2005), penyembuhan luka dibagi menjadi 3

fase yaitu :

1) Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira

hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha meng-

hentikannya dengan vasokon-striksi, pengerutan ujung pembuluh

darah yang putus (retraksi), dan reaksi hemostatis. Hemostatis

terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling

melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan

darah yang keluar dari pembuluh darah (kelainan darah dan

perdarahan bedah). Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi. Sel mast

dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang

meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi,

penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang

menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis

reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena

kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan

pembengkakan (tumor).

2) Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol

adlaha proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir

fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast


18

berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan

bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada

fase firoplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibrolast, dan kolagen,

membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang

berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka

yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah

mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru

yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke

arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini berhenti setelah epitel

saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan

tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan

pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah

proses pematangan dalam fase penyudahan.

3) Fase penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya

gravitasi dan akhirnya perupaaan kembali jaringan yang baru

terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan

berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha

menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses

penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi

matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang


19

berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang

ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis,

dan lemas, serta mudah digerakkan dari dasar.terlihat pengeerutan

maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu

menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini

tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

e. Klasifikasi penyembuhan luka

Menurut Sjamsuhidajat (2005), klasifikasi penyembuhan luka dibagi 3

antara lain :

1) Penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem

adalah luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup

jaringan epitel. Cara ini makan waktu cukup lama dan meninggalkan

parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar.

2) Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang

terjadi bila luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan

jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil.

3) Penyembuhan primer tertunda yaitu penjahitan luka tidak dapat

langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat dan/atau

tidak berbatas tegas. Luka yang compang camping seperti luka

tembak, sering meninggalkan jaringan yang tidka dapta hidup yang

pada pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan

akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang

demikian sebaiknya dibersihkan dan dieksisi (debridemen) dahulu


20

dan kemudian dibiarkan selama 4-7hari. Baru selanjutnya dijahit dan

akan sembuh secara primer.

f. Cara pengkajian luka

Menurut Leong, M (2012) cara pengkajian luka antara lain :

1) Lokasi

Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak

semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama.

Ditinjau dari prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki

pembuluh darah yang banyak akan mendapatkan aliran darah yang

banyak. Hal ini mendukung penyembuhan luka cepat dibandingkan

dari bagian tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah.

2) Ukuran luka

Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat

dengan sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar

trasparan yang telah dicatat berpola kotak-kotak berukuran

sentimeter.

3) Kedalaman luka

Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah

dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati

kedalam luka dengan posisi tegak lurus (90) hingga kedasar luka.

Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka.

Ukur dengan sentimeter.

4) Gowa atau terowongan


21

Gowa dan terowongan dapat diketahui dengan melakukan palpasi

jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/

perlukaan. Masukan saline melalui mulut lubang kedasar luka/ ujung

terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit

disekitar luka. Beri tekanan/ palpasi dengna hati-hati dan kaji

saluran yang abnormal tersebut.

5) Warna dasar luka

Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhubungan dengan

penentuan tetapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa

macam warna dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik

terhadap masing-masing sesuai warna dasar tersebut antara lain :

a) Nekrotik

Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut

keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak

terinfeksi atau tidak ada eksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa

dilakukan palpasi terlebih dahulu.

b) Sloughy

Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau

tampak berair/ basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan

luka karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik,


22

dengan demikian pada dasar luka akan tumbuh jaringan

granulasi bentuk proses penyembuhan.

c) Granulasi

Warna dasar luka ini merah. Perlu diketahui bahwa ini

merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapat

dibiarkan tanpa pembalut. Tetap harus diberi pelindung sebagai

pengganti kulit untuk mencegha kontaminasi dari dunia luar dan

menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk

pertumbuhan sel granulasi tersebut.

d) Epitelisasi

Warna dasarnya dalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini

masih dalam proses glanulasi. Untuk itu perlu pemilihan balutan

yang dapat mendukung mutasi sel yaitu duoderm tipis (extra

thin). Balutan ini berbentuk wafer/ padat, tidak terbentuk seruk,

namun cukup lunak dan nyaman diletakkan diatas permukaan

luka dan tidak menimbulkan trauma terhadap luka, dapat juga

menyerap eksudat yang minimal melindungi luka dari

kontaminasi.

4. Asuhan keperawatan

a. Pengkajian

1) Identitas pasien
23

Identitas pasien meliputi nama, umut, jenis kelamin, status

perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,

pendapatan, alamat, dan nomor registrasi.

2) Riwayat keperawatan

a) Riwayat kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi

appendiktomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh,

peningkatan leukosit.

b) Riwayat kesehatan masa lalu.

3) Pemeriksaan fisik

a) Sistem kardiovaskuler

Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya vena

jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung. Takikardi

dapat ditemuakan pada pasien appendiktomi karena sirkulasi

darah yang tidak teratur.

b) Sistem hematologi

Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang

merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.

c) Sistem gastrointestinal

Distensi abdomen dan penurunan atau tidak adanya bising usus

dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam

efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus

menjadi menurun. Dehidrasi disebabkan karena pembatasan

pemberian cairan dalam hal ini pasien dalam keadaan puasa,


24

pasien mendapatkan cairan hanya melalui pemasangan infus.

Mual muntah terjadi karena mucus yang diproduksi mukosa

terus menerus dan meningkatkan tekanan gastrointestinal

sehingga terjadi distensi abdomen yang menimbulkan rasa mual.

b. Diagnosa keperawatan

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya

kontuinuitas jaringan karena insisi pembedahan).

2) Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan faktor

mekanik (insisi pembedahan).

3) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kesalahan dalam

memahami informasi yang ada (kurangnya informasi tentang nutrisi

post operasi dan cara merawat luka).

c. Intervensi keperawatan

1) Diagnosa 1

Tujuan : nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil : skala nyeri 2, tampak rileks, mampu mengontrol rasa

nyeri, tanda tanda vital dalam batas normal tekanan darah 140/80

mmHg, nadi 60-70 kali / menit, respirasi 16-20 kali/ menit.

Intervensi :

a) Kaji nyeri (P, Q, R, S, T).

Rasional : mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi.

b) Observasi tanda-tanda vital.


25

Rasional : untuk mengetahui tekanan darah, nadi, respirasi.

c) Berikan massage punggung dengan menggunakan minyak atau

lotion.

Rasional : untuk mengurangi intensitas nyeri.

d) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

Rasional : meningkatkan kemampuan koping dalam

management nyeri.

e) Libatkan keluarga dalam pemberian dukungan.

Rasional : untuk mempermudah proses keperawatan.

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(ketorolac 2x30mg)

Rasional : untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri.

2) Diagnosa 2

Tujuan : tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil : integritas kulit yang baik bisa dipertahankan, tidak

ada tanda infeksi, tanda-tanda vital dalam batas normal suhu 36,5-

37,5C.

Intervensi :

a) Pantau area insisi.

Rasional : memberikan deteksi dini.

b) Observasi tanda-tanda vital.


26

Rasional : untuk menegtahuisuhu.

c) Lakukan perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan

antiseptik (cuci tangan 6 langkah dengan sabun).

Rasional : menurunkan resiko penyebaran bakteri.

d) Kolaborasi dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar

luka.

Rasional : menurunkan resiko penyebaran bakteri.

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(cefoparazone 3x500mg, metronidazole 3x500mg).

Rasional : menurunkan resiko penyebaran bakteri.

3) Diagnosa 3

Tujuan : pengetahuan pasien bertambah

Kriteria hasil : mengerti nutrisi post operasi dan cara merawat luka,

dapat menjawab pertanyaan dengan benar.

Intervensi :

a) Kaji pengetahuan klien tentang nutrisi post operasi dan cara

merawat luka.

Rasional : untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien.

b) Beri penkes tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka.

Rasional : agar pasien mengetahui tentang nutrisi dan cara

merawat luka dengan benar.

c) Berikan evaluasi tentang materi yang diberikan.


27

Rasional : melihat sejauh mana pasien memahami informasi

yang telah diberikan.

d. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dalam masalah status

kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan (Potter & Perry, 2002 ).

e. Evaluasi keperawatan

Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan

keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah

ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil (Craven dan

Hirnle, 2007).

5. Nyeri

a. Definisi Nyeri

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi

tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif

dan bersifat individual. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang

bersifat fisik dan/ atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada

jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang individu (Mahon, 1995;

Potter & Perry, 2006). Nyeri adalah sensori yang muncul akibat stimulus

nyeri yang berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik

(Prasetyo, 2010). Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman, sangat


28

subjektif, dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan

dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak, W. I., 2007).

b. Klasifikasi Nyeri

Menurut Monahan, dkk (2007), nyeri diklasifikasikan menjadi 2 antara

lain :

1) Nyeri akut didefinisikan sebagai suatu nyeri yang dapat dikenali

penyebabnya, waktunya pendek, dan diikuti oleh peningkatan

tegangan otot, serta kecemasan. Ketegangan otot dan kecemasan

tersebut dapat meningkatkan persepsi nyeri. Contohnya ada luka

karena cedera atau operasi.

2) Nyeri kronis didefinisikan sebagai suatu nyeri yang tidak dapat

dikenali dengan jelas penyebabnya. Nyeri ini kerapkali berpengaruh

pada gaya hidup klien. Nyeri kronis biasanya terjadi pada rentang

waktu 3-6 bulan.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri

Menurut Tamsuri (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi respon

nyeri adalah sebagai berikut :

1) Usia
29

Respon nyeri pada semua umur berbeda-beda dimana pada anak

masih belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus

mengkaji respon nyeri pada anak.

2) Jenis kelamin

Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam

merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (tidak pantas

kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada

nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap

nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya


30

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik

relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan

saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah

mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri

tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri

dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.

d. Penatalaksanaan nyeri

Menurut Tamsuri (2006), penatalaksanaan nyeri adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan farmakologis
31

Analgetik Opioid (narkotik), Nonopioid/ NSAIDs (Nonsteroid Anti-

Inflamation Drugs) dan adjuvant, dan Ko- Analgesik.

2) Pendekatan non farmakologis

Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya mempunyai resiko

yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan

pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan

atau tidak sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang

berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini

terutama saat nyeri hebat yang berlangsung berjam-jam atu berhari-

hari, mengkombinasikan teknik non farmakologis dengan obat-

obatan mungkin cara yang paling efektif untuk menghilangkan

nyeri.

Stimulus fisik :

1) Massage kulit, memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase ini dipercaya akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok

atau menurunkan impuls nyeri.

2) Stimulasi kontralateral, memberi stimulasi pada daerah kuliy disisi

yang berlawanan dari daerah yang terjadi nyeri.

3) AcuPressure/ Pijat refleksi , dengan menggunakan system

akupuntur, tetapi member tekanan jari-jari pada berbagai titik organ.


32

4) Range of Motion, untuk melemaskan otot-otot, memperbaiki

sirkulasi darah, dam mencegah nyeri yang berkaitan dengan

kekakuan dan immobilitas.

Intervensi kognitif perilaku :

1) Distraksi

Pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri ke stimulus lain,

missal melihat pertandingan, menonton televise, membaca Koran,

melihat pemandangan, gambar termasuk distraksi visual sedangkan

distraksi pendengaran diantaranya mendengarkan music yang

disukai serta gemercik air.

2) Relaksasi dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri.

3) Umpan balik tubuh (biofeedback) adalah mengatasi nyeri dengan

memberikan informasi kepada klien tentang respon fisiologis

terhadap nyeri yang dialami.

4) Sentuhan terapeutik.

e. Penilaian respons intensitas nyeri

Menurut Potter & Perry (2006), penilaian intensitas nyeri dapat

dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut :


33

1) Skala deskritif

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri

yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor

Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai

limakata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama

disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa

nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat

menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih

intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh

nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan

klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter

& Perry, 2006)

2) Skala numerik

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling

efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah

intervensi teraupetik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,

maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam

Potter & Perry, 2006). Contoh pasien post appendiktomi hari

pertama menunjukkan skala nyerinya 8, setelah dilakukan intervensi


34

keperawatan, hari ketiga perawatan pasien menunjukkan skala

nyerinya 4.

3) Skala analog fisual

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah suatu garis

lurus/ horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri

yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pasa ssetiap ujungnya.

Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan

letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung kiri biasanya

menandakan tidak ada atau tidak nyeri, sedangkan ujung kanan

biasanya menandakan berat atau nyeri yang paling buruk. Untuk

menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak

yang dibuat pasien pada garis dari tidak ada nyeri diukur dan

ditulis dalam centimeter (Smeltzer, 2002 dalam Andarmoyo, 2013).

Wong dan Baker (1988) dalam Potter & Perrry (2006)

mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak-anak.

6. Teknik relaksasi nafas dalam

a. Definisi Relaksasi

Relaksasi adalah status hilang dari ketegangan otot rangka

dimana individu mencapainya melalui praktek teknik yang disengaja

(Smeltzer, 2002). Pernafasan dalam adalah pernafasan melalui hidung,

pernafasan dada rendah serta pernafasan abdominal dimana perut

meluas secara perlahan saat menarik nafas dan mengeluarkan nafas

(Smith, 2007).Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk


35

asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada

klien atau pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat

(menahan inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare, 2002).

b. Tujuan Relaksasi

Relaksasi bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi

kecemasan, menurunkan ketegangan otot dan tulang, serta secara tidak

langsung dapat mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan yang

berhubungan dengan fisiologis tubuh (Kozier, 2010).

c. Jenis Relaksasi

Menurut Smeltzer & Bare (2002) beberapa jenis relaksasi antara lain :

Relaksasi nafas dalam, gambaran dan fikiran (Imagery), regangan,

senaman, progressive muscular relaxation, bertafakur, yoga.

7. Massage

a. Definisi Massage

Massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan

lunak, biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan

pergeseran atau perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri,

menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi (Kusyati dkk,

2003). Pengertian dari remedial massage (pijat penyembuhan) adalah

suatu pijatan yang dilakukan untuk membantu mempercepat proses

pemulihan beberapa macam penyakit dengan menggunakan sentuhan

tangan dan tanpa masukan obat ke dalam tubuh yang bertujuan untuk
36

meringankan atau mengurangi keluhan atau gejala pada beberapa

macam penyakit yang merupakan indikasi untuk dipijat (Wiyoto, 2011).

Cara massage adalah tindakan keperawatan dengan cara

memberikan massage pada klien dalam memenuhi kebutuhan rasa

nyaman (nyeri) pada daerah superfisial atau pada otot/tulang. Tindakan

massage ini hanya untuk mengurangi rangsangan nyeri akibat

terganggunaya sirkulasi (Hidayat, 2005).

Massage adalah melakukan tekanan tangan jaringan lunak,

biasanya otot, tendon, atau ligamentum, tanpa menyebabkan gerakan

atau perubahan posisi sendi untuk meredakan nyeri, menghasilkan

relaksasi, dan/ atau memperbaiki sirkulasi (Mander, 2004 dalam

Andarmoyo 2013).

b. Manfaat massage

Menurut Pupung (2009), manfaat atau efek masase adalah sebagai

berikut :

1) Memperlancar peredaran darah.

2) Membantu pembentukan penerapan dan pembuangan sisa-sisa

pembakaran dalam jaringan-jaringan.

3) Massage juga membantu pengaliran cairan lympa lebih cepat.

4) Membantu kelancaran pengaliran cairan lympa didalam pembuluh.

5) Pembuluh lympa kecil ke lympa yang lebih besar yang dapat

menurunkan intensitas nyeri.

c. Teknik remedial massage


37

Teknik remedial massage dengan metode sweden massage meliputi :

Eflaurage/ gosokan, petrisage/ pijatan, shacking/ goncangan,

tapotemen/ pukulan, friction/ gerusan, vibration/ getaran, stroking/

mengurut, skin roliing/ melipat dan menggeser kulit.

B. Kerangka teori
Idiopatik, makan tak teratur, kerja fisik yang keras

Penatalaksanaan
Massa keras feses non farmakologi

Obstruksi lumen

Massage punggung Teknikrelaksasinafas


Suplai alirandarah menurun mukosa terkikis
dalam

Serabut A beta
Appendisitis
Sistem saraf otonom
38

Sumber : Potter & Perry, 2005

Guyton, 2005

Gambar 2.1 Kerangka Teori

C. Kerangka konsep

MassagePunggung dan Teknik


Nyeri Akut
RelaksasiNafas Dalam
39

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

BAB III

METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET


40

A. Subyek aplikasi riset

Subyek aplikasi riset adalah Tn. S dengan post appendiktomi hari ke-2.

B. Tempat dan waktu

Tempat : diruang mawar RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

Waktu : dilakukan selama 3hari

Tanggal : 12-14 Maret 2015

C. Media dan alat yang digunakan

1. Media : bolpoin, lembar observasi.

2. Alat yang digunakan : minyak atau lotion.

D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset

1. Menurut Hidayat (2004), prosedur tindakan massage punggung sebagai

berikut :

a. Cuci tangan

b. Lakukan massage selama 5-10 menit

c. Lakukan massage dengan menggunakan telapak tangan dan jari dengan

tekanan halus.

d. Teknik massage dengan gerakan selang-seling (tekanan pendek, cepat,

dan bergantian tangan) dengan menggunakan telapak tangan dan jari

dengan memberikan tekanan ringan.


41

e. Teknik massage dengan gerakan menggesek dengan menggunakan ibu

jari dan gerakan memutar.

f. Teknik eflurasi dengan kedua tangan.

g. Teknik petrisasi dengan menekan punggung secara horizontal.

h. Teknik tekanan menyikat dengan menggunakan ujung jari.

2. Menurut Priharjo (2003), langkah-langkah teknik relaksasi nafas

dalamsebagai berikut :

a. Ciptakan lingkungan yang tenang, usahakan tetap rileks dan tenang.

b. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara

melalui hitungan 1,2,3, perlahan-lahan udara dihembuskan melalui

mulut sambil merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks.

c. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali, menarik nafas lagi

melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-

lahan.

d. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks, usahakan agar tetap

konsentrasi/ mata sambil terpejam, Pada saat konsentrasi pusatkan pada

daerah yang nyeri.

e. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang.

f. Ulangi sampai 15kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.

g. Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan

cepat.

E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset


42

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi teraupetik. Apabila digunakan

skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,

1992 dalam Potter & Perry, 2006). Contoh pasien post appendiktomi hari

pertama menunjukkan skala nyerinya 5, setelah dilakukan intervensi

keperawatan, hari ketiga perawatan pasien menunjukkan skala nyerinya 2.

Gambar 3.1 Numerical Rating Scale

BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Identitas klien
43

Pasien bernama Tn. S, berjenis kelamin laki-laki, berumur 65 tahun,

beragama islam, pendidikan terakhir Tn. S adalah SD dan pekerjaannya sebagai

petani. Tn. S bertempat tinggal di Pundung, Sidoarjo, Wonogiri. Diagnosa

medis Tn. S Suspect Apendicitis. Penanggung jawab Tn. S adalah Tn. W. Tn.

W adalah anak Tn. S. Tn. W berumur 34 tahun, pendidikan terakhir Tn. W

adalah SMA dan pekerjaannnya swasta. Tn. W bertempat tinggal di Pundung,

Sidoarjo, Wonogiri.

B. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 pukul 07.30 WIB,

pengkajian dilakukan dengan menggunakan metode autoanamnesa dan

alloanamnesa. Keluhan utama yang dirasakan Tn. S adalah nyeri luka operasi.

Dalam riwayat penyakit sekarang Tn. S mengatakan 2 bulan merasakan nyeri

diperut kanan bawah kemudian dirumah diobati dengan cara dikeroki,

kemudian sembuh. Setelah itu kambuh lagi dan dibawa ke dokter pada tanggal

07 Maret 2015 selanjutnya disarankan dokter dan diberi surat rujukan untuk ke

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Pada tanggal 08 Maret 2015

pukul 15.00 WIB pasien datang ke IGD. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital

tekanan darah 160/ 80 mmHg, nadi 80 kali/ menit, respirasi 18 kali/ menit, suhu

36,5C. Di IGD diberikan infus RL 20 tpm dan injeksi amoxcillin 3x1gr,

ranitidine 2x50mg dan ketorolac 2x30mg. Hasil laboratorium Tn. S yaitu Hb :

13,7; AL : 8,6; GDP : 151 ; GD2PP : 141 ; ureum : 24 ; creatinin : 1.05. Pada

tanggal 08 Maret 2015 pukul 16.00 WIB pasien dipindahkan ke ruang mawar
44

dan selajutnya pada tanggal 10 Maret 2015 pasien dilakukan

operasiappendiktomi.

Riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan sebelumnya pernah

dirawat dirumah sakit karena operasi hemoroid. Pasien tidak memiliki alergi

obat dan makanan.Riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan didalam

keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit keturunan seperti asma,

diabetes mellitus dan penyakit menular seperti TBC.

Genogram :

Tn.S
Ny.

Tn.W Ny.

Gambar 4.1 Genogram

Keterangan :

: laki-laki : meninggal perempuan

: perempuan : Tn. S/ pasien

: meninggal laki-laki

: tinggal dalam satu rumah

: garis keturunan : garis hubungan


45

Pasien merupakan anak ke-3 dari 9 bersaudara, sedangkan istrinya

merupakan anak ke-2 dari 4 bersaudara. Kedua orang tua Tn. S dan istrinya

sudah meninggal. Tn. S memiliki 2 orang anak yaitu laki-laki dan perempuan,

serta tinggal bersama kedua anaknya.Riwayat kesehatan lingkungan, pasien

mengatakan lingkungan rumahnya bersih berada di pedesaan yang banyak

ditumbuhi pepohonan, ventilasi rumah selalu terbuka, udara tempat tinggal

pasien masih sejuk dan bebas dari polusi udara.

Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan bahwa

sehat itu penting. Pasien menjaga kesehatan keluarganya dengan cara

mewajibkan anggota keluarganya untuk selalu sarapan pagi. Saat ada anggota

keluarga yang sakit, pasien selalu membawa ke pusat pelayanan kesehatan

terdekat seperti puskesmas, bidan atau dokter jika memungkinkan. Pola nutrisi

dan metabolisme, sebelum sakit pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan

komposisi nasi, lauk, sayur, air putih dan air teh, habis 1 porsi. Selama sakit

pasien makan 3 kali sehari dengan komposisi bubur, buah, sayur, air putih habis

porsi. Pola eliminasi, pasien mengatakan tidak ada masalah dalam pola BAK

dan BAB, pasien mengatakan sebelum sakit ia buang air kecil 7-8 kali sehari,

jumlah urin 350 sekali BAK berwarna kuning jernih dan berbau khas. Selama

sakit pasien BAK 4-5 kali sehari 300 sekali BAK berwarna pekat dan berbau

khas. Pasien mengatakan sebelum sakit buang air besar 2 kali sehari konsistensi

lunak berbentuk bau khas berwarna kuning kecoklatan selama sakit pasienBAB

1 kali sehari konsistensi lunak bau khas berwarna kuning kecoklatan.


46

Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit dan selama

sakit pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan makan/ minum, berpakaian,

mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi/ ROM dilakukan secara

mandiri.Pola istirahat tidur, pasien mengatakan sebelum sakit tidur siang selama

1-2 jam dan tidur malam selama 8 jam, tidak ada gangguan saat tidur. Namun

selama sakit pasien tidur siang selama 3 jam dan tidur malam selama 8 jam,

terkadang pasien terbangun saat nyeri kambuh.

Pola kognitif-perseptual pasien dapat berbicara dengan lancar, tidak ada

gangguan pendengaran, penciuman, penglihatan maupun alat indera

lainnya.Pasien mengatakan nyeri pada luka operasi, (P) nyeri karena luka insisi

pembedahan, (Q) nyeri seperti tertusuk-tusuk, (R) nyeri perut kanan bawah

disekitar luka, (S) skala nyeri 5, (T) nyeri saat digerakkan, durasi 10 menit.

Pola persepsi konsep diri meliputi, gambaran diri : pasien mengatakan

mensyukuri seluruh anggota tubuhnya, harga diri : pasien mengatakan bahwa

selama sakit pasien selalu mendapat dukungan dari istri, anak, dan keluarganya

ditandai dengan saling komunikasi yang bersifat positif, peran diri : pasien

mengatakan selama sakit tidak dapat melakukan aktifitasnya dirumah sebagai

kepala keluarga, identitas diri : pasien adalah seorang laki-laki merupakan

kepala keluarga, ideal diri : pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan ingin

cepat pulang kerumah agar dapat melakukan aktifitasnya kembali sebagai

petani.Pola hubungan peran, pasien mengatakan bahwa hubungan dengan

keluarga dan lingkungannya terjalin baik. Pola seksualitas reproduksi, pasien

mengatakan berumur 65 tahun, sudah menikah, mempunyai 2 anak berjenis


47

kelamin laki-laki dan perempuan.Pola mekanisme koping, pasien mengatakan

sebelum sakit jika ada masalah dengan keluarga dan pengambilan keputusan

dilakukan secara bermusyawarah. Selama sakit pasien mengatakan ketika ada

masalah dirinya selalu bercerita dengan anggota keluarga. Pola nilai dan

keyakinan, pasien beragama islam selama sakit pasien tidak bisa menjalankan

sholat 5 waktu dengan baik. Tingkat pengetahuan, pasien mengatakan takut

makan telur dan daging karena memperlambat penyembuhan luka.

Dalam pemeriksaan fisik hasil pengkajian yang didapatkan pada Tn. S

antara lain keadaan/ penampilan umum Tn. S sedang, Tn. S dalam kesadaran

composmentis/ sadar penuh. Saat pengukuran tanda tanda vital didapatkan hasil

tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 80 kali/ menit dengan irama teratur dan

kekuatan kuat, respirasi 18 kali/ menit dengan irama teratur, suhu 36,5C.

Bentuk kepala pasien mesochepal, kulit kepala bersih dan penyebaran

merata, rambut beruban. Pada mata palbebra pasien tidak udem, tidak

ditemukan konjungtiva anemis dan sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter

kanan/kiri pada mata 2mm, reflek mata pasien terhadap cahaya positif. Pasien

tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Bentuk hidung pasien simetris, tidak

ada sekret, tidak ada nafas cuping hidung, tidak ada polip.

Kebersihan mulut pasien terjaga, mukosa bibir tidak kering, lidah bersih.

Gigi pasien bersih, tidak ada caries gigi dan tidak ada perdarahan gusi. Telinga

pasien simetris, tidak ada serumen, tidak mengalami gangguan pendengaran.

Pada leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar

limfe, dan tidak ada kaku kuduk.


48

Daerah dada paru-paru pasien simetris dan tidak ada jejas. Pemeriksaan

paru- paru teraba vokal fremitus kanan kiri sama. Pada perkusi paru-paru kanan

kiri sonor saat diauskultasi bunyi paru-paru vesikuler (tidak ada suara

tambahan). Pemeriksaan jantung ictus cordis tidak nampak, ictus cordis teraba

di ICS V mid clavikula sinistra, perkusi pada area jantung pekak, saat

diauskultasi bunyi jantung 1-2 normal dan tidak ada bunti tambahan.

Pemeriksaan abdomen diinspeksi tampak luka postappendiktomi,

tampak kemerahan disekitar luka, agak bengkak, tidak ada pus, luka bersih,

panjang luka 15 cm, bising usus 12 kali/ menit, diperkusi tidak kembung/

timpani, dipalpasi tidak teraba adanya benjolan, nyeri disekitar luka bila

disentuh/ diraba/ ditekan pada perut kanan bawah (kuadran 4).

Area genetalia pasien bersih dan tidak terpasang DC (dower catheter)

dan pada area rektum tidak ada hemoroid dan kebersihan terjaga. Pada

ekstremitas atas tangan kanan terpasang infus RL danpergerakan terbatas,

kekuatan otot kanan/kiri (4/5), Rom kanan/kiri (pasif/aktif), capilary refile 2

detik, tidak ada perubahan bentuk tulang dan perabaan akral hangat.

Ekstremitas bawah kekuatan otot kanan/kiri (5/5), Rom kanan/kiri aktif,

capilary refile 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang dan perabaan akral

hangat.

Pemeriksaan laboratorium dan data penunjang pasien sebelum dilakukan

operasi antara lain hasil laboratorium tanggal 08 Maret 2015 pukul 18.46 WIB

yaitu WBC 8.6 k/uL, LYM 1.4 %L, MID 0.5 %M, GRAN 6.7 %G, RBC 4.43

M/uL, HGB 13.7 g/dL, HCT 42.3 %, MCV 95.5 fL , MCH 30.9 pg, MCHC
49

32.4 g/dL, RDW 14.5 %, PLT 19.8 k/uL, MPV 6.2 fL. Hasil USG abdomen

tanggal 09 Maret 2015 sebelum operasi kesan : apendicitis infiltrat. Hasil

pemeriksaan radiologi tanggal 09 maret 2015 adalah besar cor dalam batas

normal, pulmo dalam batas normal, diafragma kanan letak tinggi mengarah

hepatomegali, BNO : fekal material prominent, tak tampak batu opaq sepanjang

tractus urinarius.

Jenis terapi yang digunakan setelah post operasi pada tanggal 12 Maret

29 Maret 2015 yaitu infus RL (Ringer Laktat) 20 tpm untuk mengembalikan

cairan dan elektrolit yang hilang (dehidrasi), terapi obat cefoparazone 3x500mg

untuk mengobati infeksi bakteri tertentu, metronidazole 3x500 mg mencegah

dan mengobati berbagai macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme

protozoa dan bakteri anaerob misalnya pencegahan infeksi setelah operasi,

infeksi ulkus kaki, ranitidine 2x50 mg untuk terapi tukak lambung, tukak

duodenum, hipersekresi paska bedah, ketorolac 2x30 mg untuk nyeri akut,

sedang sampai berat setelah operasi.

C. Daftar perumusan masalah

Pada hari kamis, 12 Maret 2015, pukul 07.35 WIB ditemukan masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya

kontinuitas jaringan karena insisi pembedahan). Data subyektif pasien

mengatakan nyeri pada luka operasi, (P) : nyeri karena luka insisi pembedahan,

(Q) : nyeri seperti tertusuk-tusuk, (R) : nyeri perut kanan bawah disekitar luka,
50

(S) : skala nyeri 5, (T) : nyeri saat digerakkan, durasi 10 menit. Data obyektif

pasien tampak meringis kesakitan saat bergerak, tekanan darah 160/80 mmHg,

nadi 80 kali/ menit, respirasi : 18kali/ menit, suhu 36,5C.

Pada hari kamis, 12 Maret 2015, pukul 07.40 WIB ditemukan masalah

keperawatan kerusakan intregitas jaringan kulit berhubungan dengan faktor

mekanik (insisi pembedahan). Data subyektif pasien mengatakan ada luka post

operasi. Data obyektif tampak luka post appendiktomi, tampak kemerahan

disekitar luka, panjang luka 15 cm, tidak ada pus, agak bengkak.

Pada hari kamis, 12 Maret 2015, pukul 07.45 WIB ditemukan masalah

keperawatan defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kesalahan dalam

memahami informasi yang ada (kurangnya informasi tentang nutrisi post

operasi dan cara merawat luka). Data subyektif pasien mengatakan takut makan

telur dan daging karena memperlambat penyembuhan luka.Data obyektif pasien

tampak bertanya-tanya makanan pantangan post operasi.

Berdasarkan pengumpulan data, prioritas diagnosa keperawatan pertama

yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas

jaringan karena insisi pembedahan). Diagnosa kedua yaitu kerusakan intregitas

jaringan kulit berhubungan dengan faktor mekanik (insisi pembedahan).

Diagnosa ketiga yaitu defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kesalahan

dalam memahami informasi yang ada (kurangnya informasi tentang nutrisi post

operasi dan cara merawat luka).

D. Perencanaan
51

Diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

(terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi pembedahan), tujuan dari

tindakan yang dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

3x24 jam nyeri berkurang dengan kriteria hasil : skala nyeri 2, tampak rileks,

mampu mengontrol rasa nyeri, tanda-tanda vital dalam batas normal tekanan

darah 140/80 mmHg, nadi 60-70 kali/ menit, respirasi 16-20 kali/ menit.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa pertama adalah kaji nyeri (P,

Q, R, S, T) dengan rasional mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi.

Observasi tanda-tanda vital rasional untuk mengetahui tekanan darah, nadi,

respirasi, suhu. Berikan massage punggung dengan menggunakan minyak atau

lotion rasional untuk menurunkan rasa nyeri, melemaskan ketegangan otot dan

meningkatkan sirkulasi, meningkatkan relaksasi. Ajarkan teknik relaksasi nafas

dalam rasional mengurangi nyeri, membantu pasien relaks, dan meningkatkan

kualitas tidur. Libatkan keluarga dalam pemberian dukungan rasional untuk

mempermudah proses keperawatan. Kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian terapi obat (ketorolac 2x30 mg) rasional untuk menurunkan atau

menghilangkan nyeri.

Diagnosa kedua yaitu kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan

dengan faktor mekanik (insisi pembedahan), tujuan dari tindakan yang

dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

kerusakan integritas jaringan kulit teratasi dengan kriteria hasil : integritas kulit

yang baik bisa dipertahankan, tidak ada tanda infeksi, tanda-tanda vital dalam

batas normal suhu 36,5-37,5C.


52

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa kedua adalah pantau area insisi

rasional memberikan deteksi dini. Observasi tanda-tanda vital rasional untuk

mengetahuisuhu. Lakukan perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan

antiseptik (cuci tangan 6 langkah dengan sabun) rasional menurunkan resiko

penyebaran bakteri. Kolaborasi dengan keluarga agar menjaga kebersihan

disekitar luka rasional menurunkan resiko penyebaran bakteri. Kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian terapi obat (cefoparazone 3x500mg,

metronidazole 3x500mg) rasional mengobati infeksi bakteri tertentu.

Diagnosa ketiga yaitu defisiensi pengetahuan berhubungan dengan

kesalahan dalam memahami informasi yang ada (kurangnya informasi tentang

nutrisi post operasi dan cara merawat luka), tujuan dari tindakan yang dilakukan

adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pengetahuan

pasien bertambah dengan kriteria hasil : mengerti nutrisi post operasi dan cara

merawat luka, dapat menjawab pertanyaan dengan benar.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ketiga adalah kaji pengetahuan

klien tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka rasional untuk

mengetahui tingkat pengetahuan pasien. Beri penkes tentang nutrisi post operasi

dan cara merawat lukarasional agar pasien mengetahui tentang nutrisipost

operasi dan cara merawat luka dengan benar. Berikan evaluasi tentang

materiyangdiberikanrasional melihat sejauh mana pasien memahami informasi

yang telah diberikan.

E. Implementasi
53

Implementasi yang dilakukan penulis untuk diagnosa pertama nyeri akut

berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena

insisi pembedahan) pada hari kamis, 12 Maret 2015 pukul 07.48 WIB adalah

mengkaji nyeri (P, Q, R, S, T)data subyektif : pasien mengatakan nyeri pada

luka operasi, (P) : nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri seperti

tertusuk-tusuk, (R) : nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 5,

(T) : nyeri saat digerakkan, durasi 10 menit, data obyektif : pasien tampak

meringis kesakitan saat bergerak, tekanan darah 160/80 mmHg, nadi

80kali/menit, respirasi 18kali/menit. Pada pukul 07.55 WIB memberikan

massage punggung dengan menggunakan minyak atau lotion data subyektif :

pasien mengatakan bersedia diberikan massage punggung, data obyektif pasien

tampak nyaman. Pukul 08.05 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam

data subyektif : pasien mengatakan bersedia diajarkan teknik relaksasi nafas

dalam, data obyektif : pasien tampak menirukan cara teknik relaksasi nafas

dalam.

Pada pukul 08.35 WIB mengkaji nyeri (P, Q, R, S, T) data subyektif :

(P) : nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri seperti kram atau kaku,

(R) : nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 4, (T) : nyeri saat

miring, durasi 10 menit, data obyektif : pasien tampak memegangi perut saat

miring. Pukul 09.35 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat (ketorolac 2x30mg) data subyektif : pasien mengatakan bersedia diberikan

obat lewat selang infus, data obyektif : injeksi ketorolac masuk melalui

intravena.
54

Implementasi untuk diagnosa yang kedua pada hari kamis, 12 Maret

2015 kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan faktor mekanik

(insisi pemedahan) pukul 09.35 WIB adalah berkolaborasi dengan dokter dalam

pemberian terapi obat (cefoparazone 3x500mg, metronidazole 3x500mg) data

subyektif : pasien mengatakan bersedia diberikan injeksi obat lewat selang

infus, data obyektif : injeksi cefoparazone, metronidazolemasuk melalui

intravena. Mencuci tangan 6 langkah pukul 09.58 WIB data subyektif : - , data

obyektif : cuci tangan 6 langkah dengan sabun. Pada pukul 10.00 WIB

melakukan perawatan luka data subyektif : pasien mengatakan bersedia lukanya

dibersihkan, data obyektif : tampak luka post appendiktomi, panjang luka 15

cm, tampak kemerahan disekitar luka, tidak ada pus, agak bengkak. Pukul 10.10

WIB memantau area insisi data subyektif: pasien mengatakan ada luka, data

obyektif : tampak kemerahan, agak bengkak. Pada pukul 10.15 WIB mencuci

tangan 6 langkah data subyektif : - , data obyektif : cuci tangan 6 langkah dengan

sabun. Pada pukul 10.25 WIB berkolaborasi dengaan keluarga agar menjaga

kebersihan disekitar luka data subyektif : keluarga pasien mengatakan bersedia

untuk menjaga kebersihan disekitar luka, data obyektif : istri pasien tampak

mengganti kemeja suami yang tampak kotor.

Implementasi untuk diagnosa ketiga defisiensi pengetahuan pada hari

kamis, 12 Maret 2015 pukul 09.15 WIB mengkaji pengetahuan pasien tentang

nutrisi post operasi dan cara merawat lukadata subyektif : pasien mengatakan

takut makan telur dan daging karena memperlambat penyembuhan luka, data

obyektif : pasien tampak bertanya-tanya makanan pantangan post operasi.


55

Implementasi yang dilakukan penulis untuk diagnosa pertama pada hari

jumat, 13 Maret 2015 pukul 07.30 WIB adalah mengobservasi tanda-tanda

vital data subyektif : pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda-

tanda vital, data obyektif : tekanan darah 150/80 mmHg, nadi 80kali/menit,

respirasi 20kali/menit, suhu 37C. Pukul 07.35 mengkaji nyeri (P, Q, R, S, T)

data subyektif : pasien mengatakanluka operasi masih nyeri, (P) : nyeri karena

luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri seperti kram atau kaku, (R) : nyeri perut

kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 4, (T) : nyeri saat miring, durasi 5

menit, data obyektif : pasien tampak memegangi perut saat miring. Pada pukul

07.45 WIB memberikan massage punggung dengan menggunakan minyak atau

lotion data subyektif : pasien mengatakan bersedia diberikan massage

punggung, data obyektif pasien tampak nyaman. Pukul 07.50 WIB mengajarkan

teknik relaksasi nafas dalam data subyektif : pasien mengatakan bersedia

melakukan teknik relaksasi nafas dalam, data obyektif : pasien tampak nyaman

setelah latihan relaksasi nafas dalam. Pada pukul 08.30 WIB mengkaji nyeri (P,

Q, R, S, T) data subyektif : (P) : nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri

melilit mules, (R) : nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 3,

(T) : nyeri hilang timbul, durasi 5 menit, data obyektif : pasien tampak lebih

nyaman. Pukul 09.35 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat (ketorolac 2x30mg) data subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan

obat lewat selang infus, data obyektif : injeksi ketorolac masuk melalui

intravena. Libatkan keluarga dalam pemberian dukungan data subyektif : pasien


56

mengatakan keluarga selalu memberi dukungan untuk kesembuhannya, data

obyektif : istrinya menyibin pasien dengan penuh kasih sayang.

Implementasi untuk diagnosa kedua pada hari jumat, 13 Maret 2015

pukul 09.35 WIB adalah berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat (cefoparazone 3x500mg, metronidazole 3x500mg) data subyektif : pasien

mengatakan bersedia diberikan obat lewat selang infus, data obyektif : injeksi

cefoparazone, metronidazolemasuk melalui intravena. Pukul 09.55 WIB

berkolaborasi dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka data

subyektif : keluarga mengatakan bersedia menjaga kebersihan disekitar luka

dengan mengganti baju pasien dan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak

dengan pasien, data obyektif : tampak istrinya mengganti baju pasien. Pukul

10.00 WIB mencuci tangan 6 langkah data subyektif : - , data obyektif : cuci

tangan 6 langkah dengan sabun. Pada pukul 10.02 WIB melakukan perawatan

luka data subyektif : pasien mengatakan bersedia lukanya dibersihkan, data

obyektif : tampak luka post appendiktomi, panjang luka 15 cm, luka kering.

Pukul 10.15 WIB memantau area insisi data subyektif : pasien mengatakan ada

luka, data obyektif : tanda kemerahan berkurang, bengkak berkurang. Pada

pukul 10.17 WIB mencuci tangan 6 langkah data subyektif : - , data obyektif :

cuci tangan 6 langkah dengan sabun.

Implementasi untuk diagnosa ketiga pada hari jumat, 13 Maret 2015

pukul 09.40 WIB memberikan penkes tentang nutrisi post operasi dan cara

merawat lukadata subyektif:pasien mengatakan bersedia diberikan penyuluhan


57

tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka, data obyektif : pasien

bertanya dan sedikit sudah mengerti penjelasan perawat.

Implementasi yang dilakukan penulis untuk diagnosa pertama pada hari

sabtu, 14 Maret 2015 pukul 07.30 WIB adalah mengkaji nyeri (P, Q, R, S, T)

dan mengobservasi tanda-tanda vital data subyektif : pasien mengatakan nyeri

luka operasi sedikit berkurang, (P) : nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) :

nyeri melilit, (R) : nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 3,

(T) : nyeri hilang timbul, durasi 5 menit, data obyektif : pasien tampak lebih

nyaman. Mengobservasi tanda-tanda vital pukul 07.40 WIB data obyektif :

pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, data

obyektif : tekanan darah 150/80 mmHg, nadi 70kali/menit, respirasi

20kali/menit, suhu 36,5C . Pada pukul 07.45 WIB memberikan massage

punggung dengan menggunakan minyak atau lotion data subyektif : pasien

mengatakan bersedia diberikan massage punggung, data obyektif pasien

tampak nyaman. Pukul 08.00 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam

data subyektif : pasien mengatakan bersedia melakukan teknik relaksasi nafas

dalam, data obyektif : pasien tampak nyaman setelah latihan relaksasi nafas

dalam. Pada pukul 08.05WIB mengkaji nyeri (P, Q, R, S, T) data subyektif : (P)

: nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri seperti digaruk (R) : nyeri

perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 2, (T) : nyeri hilang timbul,

durasi 5 menit, data obyektif : pasien tampak lebih rileks dan berhati-hati saat

bergerak. Pukul 09.35 WIB berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian

terapi obat (ketorolac 2x30mg) data subyektif : pasien mengatakan bersedia


58

diberikan obat lewat selang infus, data obyektif : injeksi ketorolac masuk

melalui intravena.

Implementasi untuk diagnosa kedua pada hari sabtu, 14 Maret 2015

pukul 10.00 WIB mencuci tangan 6 langkah data subyektif : - , data obyektif :

cuci tangan 6 langkah dengan sabun. Pada pukul 10.01 WIB melakukan

perawatan luka data subyektif : pasien mengatakan bersedia lukanya

dibersihkan, data obyektif : tampak luka post appendiktomi, panjang luka 15

cm, luka kering. Pukul 10.10 WIB memantau area insisi data subyektif : pasien

mengatakan luka kering, data obyektif : tampak luka kering, panjang 15cm,

tidak ada tanda-tanda infeksi (seperti dolor, rubor, kalor, tumor, fungsio laesa).

Pada pukul 10.12 WIB mencuci tangan 6 langkah data subyektif : - , data

obyektif : cuci tangan 6 langkah dengan sabun.

Implementasi untuk diagnosa ketiga pada hari sabtu, 14 Maret 2015

pukul 10.15 WIB memberikan evaluasi tentang materi yang diberikan data

subyektif : pasien mengatakan sudah mengerti tentang materi yang diberikan,

data obyektif : pasien kooperatif menjawab pertanyaan perawat tentang

nutrisipost operasi dan cara merawat luka.

F. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa pertama pada hari kamis, 12

Maret 2015 pukul 13.00 WIB pasien mengatakan nyeri pada luka operasi, (P)

nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) nyeri seperti kram atau kaku, (R) nyeri

perut kanan bawah disekitar luka, (S) skala nyeri 4, (T) nyeri saat bergerak,
59

durasi 10 menit, pasien tampak memegangi perut saat bergerak, tekanan darah

160/80 mmHg, nadi 80kali/menit, respirasi 18kali/menit, suhu 36,5C. Masalah

belum teratasi. Lanjutkan intervensi kaji nyeri (P, Q, R, S, T), berikan massage

punggungdengan menggunakan minyak atau lotion, ajarkan teknik relaksasi

nafas dalam, libatkan keluarga dalam pemberian dukungan, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian terapi obat (ketorolac).

Evaluasi diagnosa kedua pada hari kamis, 12 Maret 2015 pukul 13.05

WIB pasien mengatakan lukanya sudah dibersihkan, tampak luka post

appendiktomi, panjang luka 15 cm, tidak ada pus, agak bengkak, tampak

kemerahan disekitar luka. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi pantau

area insisi, lakukan perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan antiseptik,

kolaborasi dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian obat (cefoparazone, metronidazole).

Evaluasi diagnosa ketiga pada hari kamis, 12 Maret 2015 pukul 13.10

WIB pasien mengatakan takut makan telur dan daging karena memperlambat

penyembuhan luka. Pasien tampak bertanya-tanya makanan pantangan post

operasi. Masalah belum teratasi. Lanjutkan intervensi berikan penkes tentang

nutrisi post operasi dan cara merawat dan berikan evaluasi tentang nutrisi post

operasi dan cara merawat luka.

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa pertama pada hari jumat 13

Maret 2015 pukul 13.30 WIB pasien mengatakan luka operasi masih nyeri, (P)

nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) nyeri melilit mules, (R) nyeri perut

kanan bawah disekitar luka, (S) skala nyeri 3, (T) nyeri hilang timbul, pasien
60

tampak sedikit lebih nyaman, durasi 5 menit. Masalah teratasi sebagian.

Lanjutkan intervensi kaji nyeri (P, Q, R, S, T), berikan massage punggung

dengan menggunakan minyak atau lotion, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam,

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat (ketorolac).

Evaluasi diagnosa kedua pada hari jumat, 13 Maret 2015 pukul 13.35

WIB pasien mengatakan lukanya sudah dibersihkan, tampak luka kering,

panjang luka 15 cm, tanda kemerahan sudah berkurang, bengkak berkurang,

tekanan darah 150/80 mmHg, nadi 70kali/menit, respirasi 20kali/menit, suhu

36,5C. Masalah teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi pantau area insisi,

lakukan perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan antiseptik, kolaborasi

dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka, kolaborasi dengan

dokter dalam pemberian obat (cefoparazone, metronidazole).

Evaluasi diagnosa ketiga pada hari jumat, 13 Maret 2015 pukul 13.40

WIB pasien mengatakan bersedia diberikan penyuluhan tentang nutrisi post

operasi dan cara merawat luka. Pasien tampak bertanya dan sedikit sudah

mengerti tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka. Masalahteratasi

sebagian. Lanjutkan intervensi berikan evaluasi tentang nutrisi post operasi dan

cara merawat luka.

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa pertama pada hari sabtu, 14

Maret 2015 pukul 13.30 WIB pasien mengatakan nyeri luka operasi berkurang,

(P) nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) nyeri seperti digaruk, (R) nyeri

perut kanan bawah disekitar luka operasi, (S) skala nyeri 2, (T) nyeri hilang

timbul, durasi 5 menit. Pasien tampak lebih rileks dan berhati-hati saat bergerak,
61

tekanan darah150/80 mmHg, nadi 70kali/menit, respirasi 20kali/menit, suhu

36,5C. Masalah teratasi sebagian. Intervensi dipertahankan.

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa kedua pada hari sabtu, 14 Maret

2015 pukul 13.35 WIB pasien mengatakan lukanya kering, tampak luka kering

panjang luka 15 cm, tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, rubor, kalor, tumor,

fungsio laesa). Masalah teratasi. Intervensi dipertahankan.

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa ketiga pada hari sabtu, 14 Maret

2015 pukul 13.40 WIB pasien mengatakan sudah mengerti nutrisi post operasi

dan cara merawat luka. Pasien kooperatif menjawab pertanyaan perawat.

Masalah teratasi. Intervensi dipertahankan.

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian massage punggung

dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan

keperawatan Tn. S dengan post appendiktomi hari ke-2 di ruang mawar RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Selain itu penulis akan membahas tentang

kesesuaian dan kesenjangan antara teori dan kenyataan pada pasien post

appendiktomi yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawaatan, intervensi

keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Pembahasan

akan lebih ditekankan pada diagnosa nyeri akut karena diagnosa nyeri akut
62

berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena

insisi pembedahan), dimana menurut jurnal dr.Irwan Wirya, M.Kes dkk (2011)

bahwa nyeri dapat berkurang dengan pemberian massage punggung dan teknik

relaksasi nafas dalam.

A. Pengkajian

Menurut Carpenito, (2005) dalam Potter & Perry, (2005) pengkajian

adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk

menentukan status kesehatan dan fungsional pada saat ini dan waktu

sebelumnya.

Pasien masuk tanggal 08 Maret 2015 pukul 15.00 WIB. Penulis

melakukan pengkajian tanggal 12 Maret 2015 pukul 07.30 WIB.Diagnosa

medis Suspect Apendicitis.Suspect Apendicitisadalah suatu peradangan pada

apendiks yang berbentuk cacing yang berlokasi dekat katup ileosekal

(Reksoprojo, 2005).Keluhan utama adalah nyeri luka operasi. Data tersebut

telah sesuai dengan teori yang menyebutkan setiap pembedahan selalu

berhubungan dengan insisi atau sayatan yang merupakan trauma atau kekerasan

bagi penderita yang menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Salah satu

keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 2005).

Hasil pengkajian pola kognitif-perseptual pasien dapat berbicara dengan

lancar, tidak ada gangguan pendengaran, penciuman, penglihatan maupun alat

indera lainnya.Pasien mengatakan nyeri pada luka operasi, (P) nyeri karena luka

insisi pembedahan, (Q) nyeri seperti tertusuk- tusuk, (R) nyeri perut kanan
63

bawah disekitar luka, (S) skala nyeri 5, (T) nyeri saat digerakkan, durasi 10

menit. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena pada pasien post operasi akan

mengalami nyeri akibat pembedahan. Pengkajian yang bisa dilakukan perawat

untuk mengkaji karakteristik nyeri dilakukan dengan menggunakan pendekatan

analisis symptom. Komponen analisis symptom meliputi (PQRST) meliputi

paliatif/ provokatifyaitu yang menyebabkan timbulnya masalah, quality/

quantity yaitu kualitas/ kuantitas nyeri yang dirasakan, apakah nyeri bersifat

tumpul, seperti terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk, region yaitu lokasi

nyeri yang dirasakan klien, scaleyaitu keparahan, misalnya skala nyeri 0 tidak

ada nyeri, skala nyeri 1-3 yaitu nyeri ringan, skala 4-6 yaitu nyeri sedang, skala

nyeri 7-10 yaitu nyeri berat, time yaitu berapa lama nyeri berlangsung, kapan,

apakah ada waktu-waktu tertentu yang menambah nyeri. Pada Tn. S skala nyeri

5 termasuk nyeri sedang (Andarmoyo, 2013).

Hasil pemeriksaan fisikpada Tn. S antara lain keadaan/ penampilan

umum Tn. S sedang, Tn. S dalam kesadaran composmentis/ sadar penuh. Saat

pengukuran tanda-tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 160/80 mmHg,

nadi 80 kali/ menit dengan irama teratur dan kekuatan kuat, respirasi 18 kali/

menit dengan irama teratur, suhu 36,5C. Berdasarkan teori nyeri, pada awal

awitan nyeri akut menyebabkan respon fisiologis meliputi peningkatan tekanan

darah, nadi, dan pernafasan, diaforesis, serta dilatasi pupil akibat

terstimulasinya sistem saraf simpatis (Mubarak, 2007). Sesuai dengan hasil

pemeriksaan pada klien terdapat kesenjangan dengan teori dimana hasil

pemeriksaan tanda-tanda vital pada Tn.S cenderung stabil. Setiap individu


64

mempunyai koping berbeda-beda, psikis dan sikap seseorang sangat

berpengaruh terhadap respon nyeri yang menyebabkan peningkatan tanda-tanda

vital (Potter & Perry, 2005).

Pemeriksaan abdomen diinspeksi tampak luka post appendiktomi,

tampak kemerahan disekitar luka, agak bengkak, tidak ada pus, luka bersih,

panjang luka 15 cm, bising usus 12 kali/ menit, diperkusi tidak kembung/

timpani, dipalpasi tidak teraba adanya benjolan, nyeri disekitar luka bila

disentuh/ diraba/ ditekan pada perut kanan bawah (kuadaran 4). Data yang

didapatkan telah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa perawat

memerlukan pengkajian fisik dan neurologis berdasarkan riwayat nyeri klien.

Daerah yang sangat harus diperiksa untuk melihat apakah palpasi atau

manipulasi pada daerah tersebut meningkatkan sensasi nyeri. Selama

melakukan pemeriksaan umum, perawat memperhatikan adanya petunjuk-

petunjuk yang mengindikasi nyeri (Potter & Perry, 2005). Luka insisi post

operasi apendisitis itulah yang menyebabkan nyeri dimana secara anatomis luka

apendisitis pada kuadran kanan bawah (Sjamsuhidajat, 2005).

Hasil USG abdomen tanggal 09 Maret 2015 sebelum operasi kesan

appendicitis infiltrat.Appendicitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum

disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya

massaapendiks pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi

peritonitis umum (Lugo, 2004). Data yang didapatkan telah sesuai dengan teori

yaitu secara umum kegunaan USG adalah untuk menilai inflamasi dari
65

apendiks. USG pada kasus apendiksitis akut adalah bagian kiri yaitu sonogram

secara sagital menggambarkan inflamasi apendiks, bagian kanan yaitu kompresi

transabdomial secara tranversal didapatkan akumulasi cairan dari apendiks

(Muttaqin, 2011).

B. Diagnosa keperawatan

Nanda (2009) menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah

keputusan klinis tentang respons individu, keluarga dan masyarakat atau

komunitas terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, atau proses

kehidupan (Nanda, 2009). Diagnosa yang mungkin muncul pada penderita

appendiksitis adalah nyeri akut, ansietas, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh, kekurangan volume cairan, resiko infeksi, kerusakan

integritas jaringan (Nanda, 2013).

Diagnosa pertama yang diangkat penulis adalah nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi

pembedahan). Nyeri akut adalah nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari

enam bulan. Awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi

nyeri sudah diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot

dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri (Mubarak, 2007).

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan

istilah seperti (International Association for the Study of Pain) awitan yang tiba-

tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
66

dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan

(Wilkinson, dkk. 2012). Batasan karakteristik nyeri akut subyektif :

mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat, obyektif :

posisi untuk menghindari nyeri, perubahan tonus otot (dengan rentang dari

lemas tidak bertenaga sampai kaku), respon autonimik (misalnya diaforesis,

perubahan tekanan darah, pernafasan, nadi, dilatasi pupil), perubahan selera

makan, perilaku distraksi (misalnya mondar-mandir, mencari aktivitas lain,

aktivitas berulang), perilaku menjaga atau sikap melindungi (Wilkinson, dkk.

2012)

Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut dengan mengacu dari hasil

analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan nyeri pada luka operasi,

(P) : nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) : nyeri seperti tertusuk-tusuk, (R)

: nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) : skala nyeri 5, (T) : nyeri saat

digerakkan, durasi 10 menit. Sedangkan data obyektif pasien tampak meringis

kesakitan saat bergerak, tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 80 kali/ menit,

respirasi : 18kali/ menit, suhu 36,5C. Batasan karakteristik nyeri akut yaitu

perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi

pernafasan, mengekspresikan perilaku misalnya gelisah, merengek, menangis,

mendesah (Nanda, 2011).

Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi

pembedahan) sebagai prioritas utama didasarkan pada teori hierarki Maslow

(fisiologis, rasa aman nyaman, mencintai dan memiliki, harga diri dan
67

aktualisasi diri) (Setiadi, 2012).Dimana nyeri memberikan efek

ketidaknyamanan pada tubuh. Nyeri dapat mengganggu aktivitas sehari-hari

seperti istirahat tidur, pola perilaku, dan psikososial. Oleh karena itu nyeri harus

segera ditangani atau dibebaskan, terbebas dari nyeri merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia secara fisiologis (Andarmoyo, 2013).

Diagnosa kedua yang diangkat penulis adalah kerusakan integritas

jaringan kulit berhubungan dengan faktor mekanik (insisi pembedahan).

Kerusakan integritas jaringan kulit adalah kerusakan pada membran mukosa,

jaringan kornea, integumen atau subkutan, perubahan pada dermis dan

epidermis (Wilkinson, 2012).

Penulis mengangkat diagnosa kerusakan integritas jaringan kulit dengan

mengacu dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan ada

luka post operasi. Sedangkan data obyektif tampak luka postappendiktomi,

tampak kemerahan disekitar luka, panjang luka 15 cm, tidak ada pus, agak

bengkak, skala nyeri 5.Batasan karakteristik kerusakan integritas jaringan kulit

yaitu kerusakan atau kehancuran jaringan misalnya kornea, membran mukosa,

integumen, subkutan (Wilkinson, 2012).

Penulis mengangkat diagnosa kerusakan integritas jaringan kulit sebagai

prioritas kedua dikarenakan adanya luka post operasi yang mengganggu

aktivitas (Carpenito, 2006).

Diagnosa ketiga yang diangkat penulis adalah defisiensi pengetahuan

berhubungan dengan kesalahan dalam memahami informasi yang ada

(kurangnya informasi tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka).
68

Defisiensi pengetahuan adalah tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang

topik tertentu (Wilkinson, 2012).

Penulis mengangkat diagnosa defisiensi pengetahuan dengan mengacu

dari hasil analisa data dimana data subyektif pasien mengatakan takut makan

telur dan daging karena memperlambat proses penyembuhan luka. Sedangkan

data obyektif pasien tampak bertanya-tanya makanan pantangan post operasi.

Batasan karakteristik defisiensi pengetahuan yaitusubyektif :mengungkapkan

masalah secara verbal, obyektif : tidak mengikuti instruksi yang diberikan

secara akurat, performa uji tidak adekuat, perilaku yang tidak sesuai atau terlalu

berlebihan (sebagai contoh : histeris, bermusuhan, agitasi, apatis) (Wilkinson,

2012).

Penulis mengangkat diagnosa defisiensi pengetahuan sebagai prioritas

ketiga dikarenakan defisiensi pengetahuan dapat mendukung respon-respon

yang bervariasi seperti ansietas, kurangnya perawatan diri, ketidakpatuhan

(Carpenito, 2006).

C. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan adalah suatu tindakan langsung kepada klien

yang dilaksanakan oleh perawat, yang ditujukan kepada kegiatan yang

berhubungan dengan promosi, mempertahankan kesehatan klien (Setiadi,

2012).

Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnosa keperawatan nyeri

akut, kerusakan integritas jaringan dan defisiensi pengetahuan berdasarkan NIC


69

(Nursing Intervention Classification) dengan menggunakan metode ONEC

(Observasi, Nursing Intervention, Education, Collaboration).Tujuan dan

kriteria hasil disusun berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification)

dengan menggunakan metode SMART (specific, measurable, achievable,

realistic, time) (Dermawan, 2012).

Pada diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera

fisik (terputusnya kontinuitas jaringan karena insisi pembedahan), tujuan dari

tindakan yang dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama

3x24 jam nyeri berkurang dengan kriteria hasil : skala nyeri 2, tampak rileks,

mampu mengontrol rasa nyeri, tanda-tanda vital dalam batas normal tekanan

darah 140/80 mmHg, nadi 60-70 kali/ menit, respirasi 16-20 kali/ menit.

Intervensi yang dilakukan pada diagnosa pertama adalah kaji nyeri (P, Q, R, S,

T) dengan rasional mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi. Observasi

tanda-tanda vital rasional untuk mengetahui tekanan darah, nadi, respirasi.

Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan karena tanda-tanda vital

menggambarkan status nyeri untuk mendukung diagnosa dan membantu dalam

memberikan terapi yang tepat (Prasetyo, 2010). Berikan massage punggung

dengan menggunakan minyak atau lotion rasional untuk menurunkan rasa nyeri,

melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi, meningkatkan

relaksasi (Hidayat, 2005).

Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam rasional mengurangi nyeri,

membantu pasien relaks, dan meningkatkan kualitas tidur. Teknik relaksasi

nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini
70

perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam,

nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana

menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas

nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare 2002 dalam Trullyen, 2013).

Libatkan keluarga dalam pemberian dukungan rasional untuk mempermudah

proses keperawatan. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(ketorolac 2x30 mg) rasional untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri

(Muttaqin, 2011).

Pada diagnosa kedua yaitu kerusakan integritas jaringan kulit

berhubungan dengan faktor mekanik (insisi pembedahan), tujuan dari tindakan

yang dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam kerusakan integritas jaringan kulit teratasi dengan kriteria hasil : integritas

kulit yang baik bisa dipertahankan, tidak ada tanda infeksi, skala nyeri 2, tanda-

tanda vital dalam batas normal suhu 36,5-37,5C. Intervensi yang dilakukan

pada diagnosa kedua adalah pantau area insisi rasional memberikan deteksi dini.

Observasi tanda-tanda vital rasional untuk mengetahuisuhu. Lakukan

perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan antiseptik (cuci tangan 6 langkah

dengan sabun) rasional menurunkan resiko penyebaran bakteri. Kolaborasi

dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka rasional menurunkan

resiko penyebaran bakteri. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi

obat (cefoparazone 3x500mg, metronidazole 3x500mg) menurunkan resiko

penyebaran bakteri (Wilkinson, 2012).


71

Pada diagnosa ketiga yaitu defisiensi pengetahuan berhubungan dengan

kesalahan dalam memahami informasi yang ada (kurangnya informasi tentang

nutrisi post operasi dan cara merawat luka), tujuan dari tindakan yang dilakukan

adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pengetahuan

pasien bertambah dengan kriteria hasil : mengerti nutrisi post operasi dan cara

merawat luka, dapat menjawab dengan benar. Intervensi yang dilakukan pada

diagnosa ketiga adalah kaji pengetahuan klien tentang nutrisi post operasi dan

cara merawat luka rasional untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien. Beri

penkes tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka rasional agar pasien

mengetahui tentang nutrisi dan cara merawat luka dengan benar. Berikan

evaluasi tentang materi yang diberikan rasional melihat sejauh mana pasien

memahami informasi yang telah diberikan (Wilkinson, 2012).

D. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses

keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana

tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan

dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005).

Tindakan keperawatan yang dilakukan perawat untuk mengatasi

diagnosa pertama yaitu nyeri akut dilakukan selama 3 hari mulai tanggal 12 -

14 Maret 2015. Tindakan yang dilakukan perawat adalah mengkaji nyeri

(PQRST) untuk mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi, mengobservasi

tanda-tanda vital untuk mengetahui tekanan darah, nadi, respirasi, tindakan ini
72

juga dilakukan pada diagnosa kedua (Hawari, 2011). Memberikan massage

punggung dengan menggunakan minyak atau lotion untuk menurunkan rasa

nyeri, melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi, meningkatkan

relaksasi, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri,

membantu pasien relaks, dan meningkatkan kualitas tidur (Irwan, 2011).

Melibatkan keluarga dalam pemberian dukungan untuk mempermudah proses

keperawatan, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(ketorolac 2x30 mg) untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri (ISO, 2010).

Penulis berani melakukan tindakan massage punggung dan teknik

relaksasi nafas dalam atas dasar penelitian yang dilakukan oleh dr. Irwan

Wijaya, dkk (2011) yang menyebutkan bahwa ada pengaruh yang signifikan

terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi. Respon

adaptasi nyeri yang dimaksudkan dalam penelitian tersebut adalah skala nyeri.

Skala nyeri responden pada penelitian tersebut mengalami penurunan 3 poin

setelah perlakuaan. Pada pasien yang dikelola penulis, skala nyeri turun dari

skala nyeri 5 menjadi skala nyeri 2 setelah perlakuan.

Menurut Guyton & Hall, 2007 dalam Thomas K & Arina, dengan

pemberian terapi back massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak

terdapat di kulit dan berespon terhadap massage ringan pada kulit sehingga

impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan

impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup

dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk

diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2007). Disamping itu, sistem
73

kontrol desenden juga akan bereaksi dengan melepaskan endorphin yang

merupakan morfin alami tubuh sehingga memblok transmisi nyeri dan persepsi

nyeri tidak terjasi (Potter & Perry, 2005).

Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri,

membantu pasien relaks, dan meningkatkan kualitas tidur (Andarmoyo,

2013).Menurut Henderson (2005) dalam Rini (2013) teknik relaksasi dapat

dilakukan untuk mengendalikan rasa nyeri dengan meminimalkan aktifitas

simpatik dalam sistem saraf otonom (Rini, 2013).Teknik relaksasi nafas dalam

adalah teknik yang dilakukan untuk menekan nyeri pada thalamus yang

dihantarkan ke korteks cerebri dimana sebagai pusat nyeri, yang bertujuan agar

pasien dapat mengurangi nyeri selama nyeri timbul. Adapun hal-hal yang perlu

diperhatikan saat relaksasi adalah pasien harus dalam keadaan nyaman, pikiran

pasien harus tenang dan lingkungan yang tenang. Suasana yang relaks dapat

meningkatkan hormon endorphin yang berfungsi menghambat transmisi impuls

nyeri sepanjang saraf sensoris dan nosiseptor saraf perifer ke kornu dorsalis

kemudian ke thalamus, serebri dan akhirnya berdampak pada menurunnya

persepsi nyeri, secara klinis apabila pasien dalam keadaaan rileks akan

menyebabkan meningkatnya kadar serotonin yang merupakan salah satu

neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus

serta berperan dalam analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron

local medulla spinalis mensekresi enkafalin, karena enkafalin dianggap dapat

menimbulkan presineptik dan post neptik pada serabut-serabut nyeri tipe C

sehingga sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada dan A tempat
74

masuknya ke medulla spinalis dan memiliki andil dalam memodulasi pada

susunan saraf pusat (Guyton, 2005).

Teknik relaksasi nafas dalam yang baik dan benar akan memberi efek

yang berharga bagi tubuh, efek tersebut yaitu penurunan nadi, tekanan darah,

pernafasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot,

penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global, kurang

perhatian terhadap stimulasi lingkungan, tidak ada perubahan posisi yang

volunteer, perasaan damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai,

terjaga dan dalam (Andarmoyo, 2013).Setelah pengelolaan asuhan keperawatan

selama 3 hari dengan memberikan massage punggung dan mengajarkan teknik

relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri 2.

Tindakan keperawatan dengan diagnosa kedua kerusakan integritas

jaringan kulit adalah memantau area insisi untuk memberikan deteksi dini.

Mengobservasi tanda-tanda vital untuk mengetahui suhu, melakukan perawatan

luka dan lakukan teknik aseptik dan antiseptik (cuci tangan 6 langkah dengan

sabun) untuk menurunkan resiko penyebaran bakteri. Berkolaborasi dengan

keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka untuk menurunkan resiko

penyebaran bakteri. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(cefoparazone 3x500mg, metronidazole 3x500mg) untuk menurunkan resiko

penyebaran bakteri (Wilkinson,2012).

Tindakan keperawatan dengan diagnosa ketiga defisiensi pengetahuan

adalah mengkaji pengetahuan klien tentang nutrisi postoperasi dan cara

merawat luka untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien, memberi penkes


75

tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka rasional agar pasien

mengetahui tentang nutrisi dan cara merawat luka dengan benar, memberikan

evaluasi tentang materi yang diberikan untuk melihat sejauh mana pasien

memahami informasi yang telah diberikan. Materi penkes yang diberikan

adalah tentang pengertian nutrisi, diet post operasi, sumber nutrisi post operasi,

dan cara merawat luka (Wilkinson, 2012).

E. Evaluasi keperawatan

Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan

terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,

dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan

tenaga kesehatan lainnya (Setiadi, 2012).

Evaluasi pada diagnosa pertama adalah nyeri akut dihari pertama, kamis

12 Maret 2015 dilakukan pukul pukul 13.00 WIB pasien mengatakan nyeri

karena luka operasi, (P) nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) nyeri seperti

kram atau kaku, (R) nyeri perut kanan bawah disekitar luka, (S) skala nyeri 4,(T)

nyeri saat bergerak, durasi 10 menit, pasien tampak memegangi perut saat

bergerak, tanda-tanda vital : tekanan darah 160/ 80 mmHg, nadi : 80 kali/ menit,

respirasi : 18 kali/ menit, suhu 36,5C. Masalah belum teratasi dan lanjutkan

intervensi.Intervensi yang dilanjutkan adalah kaji nyeri (P, Q, R, S, T), berikan

massage punggung dengan menggunakan minyak atau lotion, ajarkan teknik

relaksasi nafas dalam, libatkan keluarga, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian terapi obat (ketorolac).


76

Evaluasi pada diagnosa pertama dihari kedua, jumat 13 Maret 2015

pukul 13.30 WIB pasien mengatakan luka operasi masih nyeri, (P) nyeri karena

luka insisi pembedahan, (Q) nyeri melilit mules, (R) nyeri perut kanan bawah

disekitar luka, (S) skala nyeri 3, (T) nyeri hilang timbul, durasi 5 menit, pasien

tampak sedikit lebih nyaman. Masalah teratasi sebagian dan lanjutkan

intervensi.Intervensi yang dilanjutkan adalah kaji nyeri (P, Q, R, S, T), berikan

massage punggung dengan menggunakan minyak atau lotion, ajarkan teknik

relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(ketorolac).

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa pertama dihari ketiga, sabtu 14

Maret 2015 pukul 13.30 WIB pasien mengatakan nyeri luka operasi berkurang,

(P) nyeri karena luka insisi pembedahan, (Q) nyeri seperti digaruk, (R) nyeri

perut kanan bawah disekitar luka operasi, (S) skala nyeri 2, (T) nyeri hilang

timbul, durasi 5 menit. Pasien tampak lebih rileks dan berhati-hati saat bergerak,

tanda-tanda vital : tekanan darah 150/ 80 mmHg, nadi : 70 kali/ menit, respirasi

: 20 kali/ menit, suhu : 36,5C. Masalah teratasi sebagian. Intervensi

dipertahankan. Maka dapat disimpukan skala nyeri sebelum dilakukan tindakan

massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam selama 3 hari adalah skala

nyeri 5 dan setelah dilakukan tindakan massage punggung dan teknik relaksasi

nafas dalam adalah skala nyeri 2. Hal ini sama dengan teori yang dijelaskan

dalam jurnal dr. Irwan & dr. Margareth (2011), dengan penelitian pengaruh

pemberian masase punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi di Zaal C RS HKHB


77

Balige tahun 2011 distribusi nyeri yang dialami responden sebelum dilakukan

terapi (sebelum perlakuan) rata-rata nyeri ringan sebanyak 3 orang (25%), nyeri

sedang sebanyak 8 orang (66,7%), nyeri berat sebanyak 1 orang (8,3%),maka

mayoritas responden merasakan intensitas nyeri sedang yaitu sebanyak 8 orang

(66,7%) dan sesudah menerima terapi (sesudah perlakuan) nyeri ringan

sebanyak 7 orang (58,3%), nyeri sedang sebanyak 5 orang (41,7), dan yang

merasakan nyeri berat tidak ada (0%), maka mayoritas responden merasakan

intensitas nyeri ringan sebanyak 7 orang (58,3%). Hasil kesimpulan

menjelaskan bahwa ada pengaruh pemberian masase punggung dan teknik

relaksasi nafas dalam yang signifikan terhadap penurunan intensitas nyeri pada

pasien post appendiktomi di Zaal C RS HKHB Balige tahun 2011 (dr. Irwan &

dr. Margareth, 2011).

Evaluasi pada diagnosa kedua adalah kerusakan integritas jaringan kulit

dihari pertamakamis, 12 Maret 2015 pukul 13.05 WIB pasien mengatakan

lukanya sudah dibersihkan, tampak luka post appendiktomi, panjang luka 15

cm, tidak ada pus, agak bengkak, tampak kemerahan disekitar luka. Masalah

belum teratasi dan lanjutkan intervensi.Intervensi yang dilanjutkan adalah

pantau area insisi, lakukan perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan

antiseptik, kolaborasi dengan keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka,

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat (cefoparazone, metronidazole).

Evaluasi yang dilakukan pada diagnosa kedua dihari kedua, jumat 13

Maret 2015 pukul 13.35 WIB pasien mengatakan lukanya sudah dibersihkan,

tampak luka kering, panjang luka 15 cm, tanda kemerahan sudah berkurang,
78

bengkak berkurang, tanda-tanda vital : tekanan darah 150/ 80 mmHg, nadi : 80

kali/ menit, respirasi : 20 kali/ menit, S : 36,5C. Masalah teratasi sebagian dan

lanjutkan intervensi.Intervensi yang dilanjutkan pantau area insisi, lakukan

perawatan luka dan lakukan teknik aseptik dan antiseptik, kolaborasi dengan

keluarga agar menjaga kebersihan disekitar luka, kolaborasi dengan dokter

dalam pemberian obat (cefoparazone, metronidazole).

Evaluasi yang dilakukan pada diagnosa kedua dihari ketiga, sabtu 14

Maret 2015 pukul 13.35 WIB pasien mengatakan lukanya kering, tampak luka

kering, panjang luka 15 cm, tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, rubor, kalor,

tumor, fungsio laesa), S : 36,5C. Masalah teratasi.Intervensi dipertahankan.

Evaluasi diagnosa ketiga adalah defisiensi pengetahuan dihari pertama,

kamis 12 Maret 2015 pukul 13.10 WIB pasien mengatakan takut makan telur

dan daging karena menghambat penyembuhan luka. Pasien bertanya-tanya

makanan pantangan post operasi. Masalah belum teratasi dan lanjutkan

intervensi. Intervensi yang dilanjutkan adalah berikan penkes tentang

nutrisipost operasi dan cara merawat lukadan berikan evaluasi tentang materi

yang diberikan.

Evaluasi diagnosa ketiga dihari kedua, jumat 13 Maret 2015 pukul

13.40 WIB pasien mengatakan bersedia diberikan penyuluhan tentang nutrisi

post operasi dan cara merawat luka. Pasien tampak bertanya dan sedikit

mengerti tentang nutrisi post operasi dan cara merawat luka. Masalahteratasi

sebagian dan lanjutkan intervensi. Intervensi yang dilakukan adalah berikan

evaluasi tentang materi yang diberikan.


79

Evaluasi yang dilakukan untuk diagnosa ketiga dihari ketiga, sabtu 14

Maret 2015 pukul 13.40 WIB pasien mengatakan sudah mengerti nutrisi post

operasi dan cara merawat luka. Pasien kooperatif menjawab pertanyaan

perawat. Masalah teratasi. Intervensi dipertahankan.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan yang meliputi

pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi

keperawatan, dan evaluasi serta mengaplikasikan pemberian massage

punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri

pada asuhan keperawatan Tn. S dengan post appendiktomi hari ke-2 diruang

mawar RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa :

1. Pengkajian

Keluhan utama yang dirasakan Tn. S adalah nyeri luka operasi.

Pasien mengatakan nyeri pada luka operasi, (P) nyeri karena luka insisi

pembedahan, (Q) nyeri seperti tertusuk- tusuk, (R) nyeri perut kanan bawah

disekitar luka, (S) skala nyeri 5, (T) nyeri saat digerakkan, durasi 10 menit.

Pemeriksaan abdomen diinspeksi tampak luka post appendiktomi, tampak

kemerahan disekitar luka, agak bengkak, tidak ada pus, luka bersih, panjang
80

luka 15 cm, bising usus 12 kali/ menit, diperkusi tidak kembung/ timpani,

dipalpasi tidak teraba adanya benjolan, nyeri disekitar luka bila disentuh/

diraba/ ditekan pada perut kanan bawah (kuadran 4).

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S berdasarkan

pengumpulam data, penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan yaitu

nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya kontinuitas

jaringan karena insisi pembedahan).

3. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Tn. S dengan diagnosa

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (terputusnya

kontinuitas jaringan karena insisi pembedahan), tujuan dari tindakan yang

dilakukan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

nyeri berkurang dengan kriteria hasil : skala nyeri 2, tampak rileks, mampu

mengontrol rasa nyeri, tanda-tanda vital dalam batas normal tekanan darah

140/80 mmHg, nadi 60-70 kali / menit, respirasi 16-20 kali/ menit.

4. Implementasi keperawatan

Implementasi yang dilakukan penulis tanggal 12 14 Maret 2015

pada Tn.S adalah kaji nyeri (P, Q, R, S, T) untuk mempengaruhi pilihan

keefektifan intervensi. Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui

tekanan darah, nadi, respirasi, suhu. Berikan massage punggung dengan

menggunakan minyak atau lotionuntuk menurunkan rasa nyeri,


81

melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi, meningkatkan

relaksasi. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri,

membantu pasien relaks, dan meningkatkan kualitas tidur. Libatkan

keluarga dalam pemberian dukungan untuk mempermudah proses

keperawatan. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

(ketorolac 2x30 mg) untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri.

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi keperawatan yang didapatkan selama 3 hari didapatkan

hasil masalah teratasi sebagian.

6. Aplikasi pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam

Pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam

terhadap penurunan intensitas nyeri pada Tn. S dengan post appendiktomi

hari ke-2 mampu mengurangi intensitas nyeri pada pasien yaitu skala nyeri

sebelum dilakukan tindakan massage punggung dan teknik relaksasi nafas

dalam selama 3 hari adalah skala nyeri 5 dan setelah dilakukan tindakan

massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam adalah skala nyeri 2.

B. Saran

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn. S dengan post

appendiktomi, penulis akan memberikan usulan dan masukan positif,

khususnya dibidang keperawatan antara lain :

1. Bagi profesi keperawatan


82

Diharapkan perawat dapat berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya

dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien agar lebih maksimal,

khususnya pada klien post appendiktomi menggunakan terapi

nonfarmakologi pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas

dalam untuk memberikan pelayanan yang profesional dan komprehensif.

2. Bagi penulis

Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien post appendiktomi

diharapkan penulis lebih mengetahui cara massage punggung dan teknik

relaksasi nafas dalam yang baik dan benar terutama pada pasien post

appendiktomi terhadap dalam penurunan intensitas nyeri dan dapat memberi

tambahan wawasan ilmu pengetahuan dalam menangani masalah

keperawatan.

3. Bagi institusi/ pendidikan

Diharapkan ada penelitian untuk menyusun artikel ilmiah tentang

pemberian massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan intensitas nyeri dan diadakannya praktek untuk pemberian

massage punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan

intensitas nyeri dengan benar sehingga dapat tercipta perawat profesional,

inovatif, terampil, dan bermutu dalam pemberian asuhan keperawatan

secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.

4. Bagi rumah sakit

Diharapkan rumah sakit mampu meningkatkan asuhan keperawatan secara

komprehensif melalui terapi nonfarmakologi dengan pemberian massage


83

punggung dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas

nyeri pada pasien post appendiktomi.

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media

A. Aziz Alimul Hidayat. 2004. Buku saku praktikum kebutuhan dasar manusia.
Monica Ester. Jakarta : EGC

Burkitt, H.G, Quick, C R G, and Reed, J B. 2007. Appendicitis In : Essential


Surgery Problems, Diagnosis & Management Fourth Edition London
Elsevier, 389-398

Carpenito, L J. 2006. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian Keperawatan (Edisi


2).Alih Bahasa Monica Ester.Jakarta : EGC

Craig, S , 2011. Appendicitis Treatment & Management. Available From


:http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment.Diakses pada
tanggal 18 Februari 2015 (14:30).

Craven, R. F. & Hirnle, C. J. 2007. Fundamentals of Nursing. Fith


Edition,Philadelphia Lippincot Williams & Wilkins

Departemen kesehatan RI. 2006. Pedoman Teknis Perawatan Dasar. Jakarta.


Ganesia

Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Konsep dan Kerangka Kerja. Jilid
1.Yogyakarta : Gosyen Publising.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Profil Kesehatan, Data Angka Kejadian
Appendiksitis. Dikutip dalam Taufik 2011. Jawa Tengah

dr. Irwan Wirya, M.Kes & dr. Margareth Duma Sari, M.Kes.PengaruhPemberian
Masase Punggung Dan Teknik RelaksasiNafas Dalam
TerhadapPenurunan Intensitas Nyeri Pada PasienPost Appendiktomi Di
Zaal C RS HKBP. http://www.akperhkhb.ac.id/wp-content/uploads
/2013/07/Jurnal-Keperawatan-Akper-HKBP-Balige-Vol-1-No-1.pdf
Diakses pada tanggal 18 Februari 2015 (12:30).

dr. Taufan Nugroho. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah,


Penyakit Dalam. Yogyakarta. Nuha Medika

Guyton & Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Kozier, B. 2010. Fundamental of Nursing : Concept, process and pratice. New


Jersey : Prentice Hall

LeMone, P. and Burke, K. 2008. Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in


Client Care. 4th ed. New Jersey : Prentice Hall Health

Monahan, F. D., Neighbors, M., Sands, J. K., Marek, J.F. & Green, C. J. 2007.
Phipps Medical-Surgical Nursing : Health and Illness Perspectivess. 8th
ed. Philadelphia : Mosby Inc

Mubarak, W. I. 2007. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 1.Jakarta : Salemba Medika

Nanda. 2011. Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta : EGC

Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Noviarizki.2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan


Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur.
http://ejournal.unstrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2243. Diakses
pada tanggal 18 Februari 2015 (13:00)

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis Nanda NIC NOC. Yogyakarta : MedAction

Pasero, C. P. & McCaffery, M. 2005. Pain Control : No Self Report Means No Pain
Intensity Rating. America Journal of Nursing. 105(10): 50-53.

Potter, PA & Perry, AG. 2002. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses, Praktek. EGC. Jakarta,

Potter, PA & Perry, AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses, Praktek. Edisi 4.EGC. Jakarta.
Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Edisi 1.
Yogyakarta : Graha Ilmu

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi ; Konsep Klinis


Proses-proses Penyakit, Vol 1. Jakarta. EGC.

Priharjo, R. 2003. Perawatan Nyeri. Jakarta. EGC

Reksoprojo. 2005. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI. Jakarta. Binarupa Aksara

Rini Fitriani. 2013. Pengaruh Teknik relaksasi nafas dalam terhadap respon
adaptasi nyeri pada pasien inpartu kala 1 fase laten di RSKDIA Siti
Fatimah Makassar Tahun 2013. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/kesehatan/article/download/62/35. Diakses 18
Februari 2015 (12:40).

Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan ; Teori dan
Praktik. Edisi Pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sirait, Midian. 2010. ISO :Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta : PT. ISFI

Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 1, EGC. Jakarta

Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2, EGC. Jakarta

Smith D. 2007. Terapi Pernafasan untuk Penderita Asma. Prestasi Pustaka

Tamsuri A. 2006. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta. EGC

Tamsuri A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta. EGC

Thomas Kristanto & Arina Maliya.Pengaruh Terapi Back Massage Terhadap


Intensitas Nyeri Reumatik Pada Lansia Di wilayah Puskesmas Pembantu
Karangasem. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitsream/handle/ Diakses
18 Februari 2015 (12:50)

Wilkinson, Judith. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai