ABSTRACT
This study discusses changes in the value system in West Sumatera, especially those in the relation-
ship between mamak and nephew in the matrilineal kinship system of the Minangkabau people, as
portrayed in Wisran Hadis novel Tamu. The findings of this research show that there are parallel
occurrences between Tamu and the condition of the Minangkabau people who are experiencing changes
in the value system, especially in terms of the role of mamak in West Sumatera. The setting of Tamu is
during the New Order around the 1990s. Political factors, i.e. development policies, during the New
Order have contributed to the changes in this value system.
Kata kunci
kunci: pergeseran, sistem nilai, matrilineal
278
Siti Fatimah - Mencermati Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau
279
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 278-285
karena pandangan dunia merupakan produk menjadi tamu Ongga yang datang silih
interaksi antara subjek kolektif dengan alam berganti. Kedua kategori itu mempunyai
sekitarnya. Dengan demikian, novel Tamu wewenang, hak, dan kewajibannya masing-
merupakan gagasan penulis yang berinteraksi masing. Sebagai mamak yang dianggap
dengan lingkungan sekitarnya. Tamu merupa- pantas untuk menjadi kepala kaum Ongga
kan karya sastra yang mengangkat perma- harus dapat menyelesaikan semua persoalan
salahan yang terjadi dalam kehidupan yang diajukan kepadanya. Di pihak yang lain
masyarakat, yaitu pergeseran sistem nilai di kaum kerabat Ongga menuntut Ongga untuk
Minangkabau. Tidak dapat disangkal bahwa dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi
ketika masyarakat Minangkabau mengalami mereka.
proses perubahan sistem nilai, perubahan yang
tidak dapat dihindari itu tercermin juga dalam PENGARUH KONDISI POLITIK DAN
Tamu. Pergeseran sistem nilai seperti yang SOSIAL BUDAYA
terlukis dalam Tamu merupakan bagian Tamu berlatar tahun 1990-an ketika Orde
kehidupan dari masyarakat Minangkabau dan Baru memegang kekuasaan. Pada saat itu,
tidak hanya terjadi dalam kisah novel saja pemerintahan bersifat sentralistis dan otoriter.
sehingga pergeseran sistem nilai itu memiliki Keamanan dan ketertiban tanpa gejolak untuk
relevansi dengan kehidupan masyarakat kestabilan dicanangkan yang mengacu pada
Minangkabau. otoritas dari pusat bagi seluruh wilayah Indo-
Dalam sistem kekerabatan matrilineal di nesia. Instruksi untuk menyeragamkan segala
Minangkabau terdapat dua kategori, yaitu sesuatu dilakukan untuk persatuan dan kesatu-
mamak dan kemenakan. Mamak, terlebih yang an bangsa, seperti pakaian safari yang dipakai
menjadi kepala kaum, diharapkan dapat para pegawai negeri, anggota DPR, maupun
mencarikan jalan keluar bila ada persoalan pejabat-pajabat pemerintah. Pakaian safari
yang dialami oleh kemenakan dan anggota merupakan simbol penguasa dan representasi
kerabatnya, seperti masalah pendidikan dan dari pemerintah yang disegani dan ditakuti.
kesejahteraan mereka. Di lain pihak, kemenak- Wisran menggambarkan kondisi masyarakat
an, baik laki-laki maupun perempuan, mempu- Minangkabau yang takut pada oknum ber-
nyai kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada pakaian safari tersebut dalam kutipan berikut
mamak-nya. ini.
Mamak merupakan pusat dan inti dari Semua orang telah menunggu di depan surau.
sistem kekerabatan matrilineal dan rumah Dua orang berpakaian seragam tentara datang,
gadang sebagai basis tempat tinggal anggota diikuti beberapa petugas dari kedua jawatan
keluarga secara luas. Di dalam rumah gadang sebagaimana yang dikatakan lurah, Teme diam-
diam menghilang ke belakang surau. Tubuhnya
inilah eksistensi mamak akan diakui oleh
menggigil melihat kedua tentara berpakaian
semua anggota keluarga. Seorang mamak lengkap. Japan pelan-pelan mundur dan berdiri
mempunyai tanggung jawab sebagai peme- menjauh. Dia berdiri di samping rumah orang
lihara dan pemberi kesejahteraan kepada tua Niyuih agar tidak langsung terlihat oleh
anggota rumah gadang tersebut. Semua petugas yang datang. Sedangkan Kicok
aktivitas yang berhubungan dengan rumah kebingungan mencari-cari Japan dan Teme.
Akhirnya diapun menghilang entah ke mana.
gadang akan selalu melibatkan mamak.
Yang tetap tinggal hanyalah Subang dan Said
Namun, peranan dan wewenang mamak serta beberapa lelaki. (Tamu: 162-163)
dalam sistem kekerabatan matrilineal di
Minangkabau ini telah mengalami pergeseran Pemerintah Orde Baru juga gencar melak-
seiring dengan berjalannya waktu. sanakan pembangunan terutama pembangun-
Dalam Tamu dua kategori itu tergambar an fisik. Banyak fasilitas umum dibangun untuk
pada Ongga dan kerabat matrilinealnya yang
280
Siti Fatimah - Mencermati Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau
281
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 278-285
Kutipan di atas menunjukkan hubungan 3.138 unit yang kemudian disebut jorong dan
antara mamak dengan kemenakan yang 406 kelurahan. Sebelumnya, jorong adalah
berubah. Guguk seharusnya mempunyai bagian dari wilayah nagari. Dengan demikian,
kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada jumlah bantuan dari pemerintah menjadi kurang
mamak-nya tetapi karena masalah tanah lebih tujuh kali lipat dari sebelumnya.
ulayat mereka berkelahi bahkan sampai terjadi Akan tetapi, pemekaran wilayah me-
pembunuhan. Begitu juga yang terjadi pada nimbulkan persoalan baru di Sumatra Barat.
Ongga (kemenakan) dengan Aji Sirene dan Kepala jorong yang disebut lurah hanya dapat
Uyue Aji (mamak). Ongga berselisih dengan berfungsi di bidang pemerintahan saja,
kedua mamak-nya juga karena rencana sedangkan di bidang adat masih dipegang oleh
penjualan tanah ulayat milik kaum mereka. penghulu (pemimpin nagari) yang biasanya
Perselisihan di antara anggota kaum ini dijabat oleh salah seorang mamak di antara
bertolak dari masalah yang mendasar dari mereka. Di sini timbul dua kepemimpinan yang
kekerabatan matrilineal Minangkabau. Tanah mengakibatkan krisis sosial pada masyarakat
merupakan harta kekayaan kaum yang paling Minangkabau. Kewibawaan ninik-mamak
pokok karena merupakan sumber kehidupan dalam memimpin nagari menjadi merosot
mereka. Selain itu, tanah merupakan identitas karena berbenturan dengan kepemimipinan
diri untuk menunjukkan asal usul seseorang formal yang dijabat oleh kepala desa. Ninik-
sehingga orang akan dianggap kurang atau mamak kehilangan otoritasnya untuk mengatur
dipandang rendah dihadapan orang lain apabila warga atau anggota kaumnya karena posisinya
tidak mengetahui asal usulnya (Navis, 1984: menjadi lemah. Wisran melukiskan keadaan
157). Dengan demikian, persoalan tanah itu pada episode ketika kaum Guci tidak
pusaka telah menyebabkan hubungan mamak mempunyai kesatuan pendapat saat surau
dengan kemenakan menjadi renggang. mereka akan diambil alih pemerintah untuk
Salah satu kebijakan yang dicanangkan dijadikan masjid. Tidak ada koordinasi dari
oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah kepala kaum (Ongga) dengan anggota kaum,
adalah dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 bahkan terkesan mudah diadu domba di antara
tentang pokok-pokok Pemerintahan Desa. mereka oleh pengurus Surau Batu (hal. 162).
Undang-undang tersebut berisi pembentukan Beralihnya fungsi surau menjadi masjid juga
pemerintah desa yang dikepalai oleh seorang menjadi sebab bergesernya fungsi mamak.
lurah di seluruh Indonesia. Ketetapan itu Karena masjid telah menjadi milik umum,
dibentuk untuk menyeragamkan struktur mamak tidak lagi memiliki otoritas di surau dan
pemerintahan agar mudah dikontrol dari pusat. kehilangan tempat untuk mendidik anak
Sejak era tahun 1970-an pemerintah mem- kemenakan yang menjadi tanggung jawabnya.
punyai dana yang harus disalurkan ke seluruh Faktor perubahan lingkungan sosial dapat
desa untuk melancarkan program pem- dilihat dari jumlah anggota kaum yang semakin
bangunan nasional. Oleh karena itu, untuk bertambah sementara tanah pertanian sebagai
mempermudah proses penyaluran dan sumber ekonomi semakin sempit menyebab-
mengontrol bantuan tersebut perlu dibentuk kan mudah terjadi konflik di antara anggota
struktur pemerintahan yang seragam. kaum. Tanah ulayat yang diambil pemerintah
Dengan lahirnya undang-undang tersebut, untuk pembangunan menyebabkan luasnya
wilayah nagari yang merupakan wilayah semakin berkurang. Keadaan ini mendorong
terkecil dari kesatuan masyarakat adat di keluarga inti untuk keluar dari rumah gadang
Sumatra Barat harus dipecah. Sebelum dan memilih untuk tinggal di rumah sendiri.
dipecah, di Sumatra Barat terdapat 543 nagari. Dalam Tamu Wisran menggambarkan keada-
Setelah undang-undang itu diberlakukan an ini pada sosok Ongga yang tidak lagi tinggal
terdapat pembengkakan jumlah desa menjadi dirumah gadang karena tanah tempat rumah
282
Siti Fatimah - Mencermati Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau
gadangnya berdiri telah tergusur (hal. 43 dan samping itu, peran mamak tergantikan oleh
44). Sebagai mamak sekaligus kepala kaum, ayah karena dalam kehidupan keluarga inti;
Ongga harus menerima segala persoalan ayahlah yang berperanan untuk memimpin
yang diajukan kaum kerabatnya di rumah keluarga. Ayahlah yang bertanggung jawab
gadangnya. Akan tetapi, persoalan penggusur- terhadap anak-anaknya baik pendidikan,
an surau dan rumah yang belum selesai kesehatan, maupun ekonomi. Dengan sendiri-
menyebabkan rumah gadang tidak nyaman nya, kehadiran mamak kurang dibutuhkan lagi
lagi untuk ditinggali. Keadaan itu memaksa dalam keluarga inti karena di dalam rumah
Ongga untuk tinggal di rumah istrinya. Di rumah sudah ada orang tua atau ayah.
istrinya itulah Ongga menerima kaum kerabat- Di dalam nagari, keputusan untuk kepen-
nya. Secara adat seharusnya keluarga Ongga tingan masyarakat selalu melalui proses yang
akan datang ke rumah gadang mereka dan demokratis. Masyarakat memercayakan
menerima mereka di rumah tersebut. Namun keputusan musyawarah itu pada tiga unsur
kini bukan ke rumah Ongga persoalan keluarga pokok dalam masyarakat yang disebut dengan
itu dibicarakan tetapi di rumah istrinya. Ongga Tigo Tungku Sajarangan (tiga tungku sejerang-
telah membuat tradisi baru. Tradisi seorang an). Tiga unsur pokok dalam masyarakat ter-
mamak apalagi sebagai figur pemimpin, sebut terdiri atas ninik mamak yang mengurusi
Ongga telah terbiasa tanpa merasa canggung masalah yang berhubungan dengan adat, alim
membicarakan persoalan keluarga di rumah ulama, dan cerdik pandai. Persoalan-persoal-
istri. an yang menyangkut kepentingan kaum atau
Merantau sebagai bagian dari sistem nagari selalu dibicarakan oleh tiga kelompok
budaya Minangkabau ternyata telah membawa tersebut.
pengaruh pada pergeseran nilai. Pada keluarga Untuk itu, pendidikan merupakan proses
Minang yang merantau, terbentuknya keluarga penting bagi siapa saja guna mencapai cita-
inti tentu tidak dapat dihindari lagi. Secara fisik, cita, karena dengan pendidikan wawasan dan
mereka akan jauh dari sanak saudaranya yang pengetahuan seseorang menjadi terbuka luas.
berada di kampung halamannya sehingga Masyarakat Minangkabau memandang pen-
tanggung jawab terhadap kemenakan dan didikan sebagai suatu hal yang dapat meng-
kerabatnya, baik secara moral maupun eko- angkat derajat hidup dalam kehidupan ber-
nomi menjadi berkurang. Sebagai mamak, masyarakat. Mereka mandapat kedudukan
mereka akan mengalami kesukaran untuk me- yang istimewa di masyarakat.
ngontrol keluarga maupun tanah pusakanya. Dalam Tamu Wisran menggambarkan
Merantau merupakan pilihan dan hal yang Ongga sebagai sosok terpelajar yang men-
penting bagi orang Minang untuk meningkatkan dapat status terhormat menjadi kepala kaum
harga diri supaya dihormati orang lain. Wisran walaupun ditolaknya. Ia cerdas dan hanya ialah
melukiskan hal itu pada sosok Ongga yang yang dipercaya untuk dapat menyelesaikan
ingin merantau untuk menghindari persoalan persoalan, baik persoalan antar-anggota kaum
keluarga karena dengan merantau ia tidak maupun yang berhubungan dengan orang di
secara langsung berada di dekat keluarga (hal. luar kaumnya. Wisran melukiskan kesulitan
8). Meskipun merantau tidak menghalangi kaum Guci yang diwakili Said untuk memberi
seseorang untuk berkomunikasi, jarak suatu penjelasan pada Pengurus Surau Batu supaya
tempat akan mengurangi intensitas komunikasi surau itu tidak diambil alih (hal. 164). Said
secara fisik. Dampak selanjutnya adalah digambarkan sebagai sosok yang hanya dapat
intensitas pertemuan antara mamak dengan bergurau dan bermain sepakbola. Di sini
kemenakan menjadi jarang dan akan me- kelihatan Ongga mendapatkan kedudukan
ngurangi peran mamak pada kemenakan. Di yang istimewa di mata kaumnya karena ia
283
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 278-285
termasuk dalam golongan kaum cendekia, menimbulkan dampak negatif pada tatanan
seperti kutipan berikut ini. masyarakat, khususnya di Minangkabau.
.... Kepandaian Said yang dibanggakan selama Undang-Undang Pemerintah No. 15/1975
ini hanya main sepakraga dan bola kaki. Or- dan Undang-Undang Pemerintah No. 5/ 1979
ang-orang yang hanya pandai mempergunakan telah membuat kegoncangan dalam masyara-
kaki, otaknya terletak pada ibu jari kakinya. kat karena telah memberi andil pada pergeser-
Kalau mau merebut posisi Ongga, otak harus an sistem nilai di Minangkabau. Pandangan
diletakkan di kepala. (Tamu, hal. 160) mereka terhadap keberadaan tanah ulayat
berubah menyebabkan perselisihan dalam
Pendidikan telah membawa mereka pada kehidupan suatu kaum sehingga hubungan
mobilitas vertikal. Banyak di antara mereka mamak dengan kemenakan beserta seluruh
yang bekerja dan memiliki jabatan. Ada juga kerabatnya menjadi longgar. Merantau,
yang berwiraswasta dan berhasil dalam bidang berkembangnya keluarga batih dan pendidikan,
jasa. Dalam hubungan mamak kemenakan, juga berperan dalam perubahan sisitem nilai
kemenakan yang lebih terpelajar dan memiliki di Sumatra Barat ini.
pengetahuan yang lebih dari mamak-nya tentu Ketegangan-ketegangan yang dimuncul-
telah mengubah pola hubungan mereka. Posisi kan oleh Wisran dalam Tamu menunjukkan
mamak dalam sistem kekerabatan ini akan adanya goncangan dalam tatanan sosial
menjadi semakin lemah di hadapan kemenak- dalam masyarakat yang sedang mengalami
an maupun kerabatnya. Gambaran itu terlukis perubahan. Suasana yang terlukis itu tidak
dalam Tamu ketika Ongga berselisih dengan lepas dari situasi yang terjadi dalam kenyataan
Aji Sirene dan Uyue Aji. Ongga dianggap lebih masyarakat Minangkabau yang sedang meng-
cerdas daripada kedua mamak-nya tersebut alami pergeseran nilai sehingga timbul kegon-
sehingga ketika Aji Sirene akan meminta ganti cangan dalam masyarakat. Tamu adalah
rugi atas penebusan tanah yang dibangun gagasan dan perasaan Wisran yang mewakili
rumah gadang ibu Ongga; ia dapat memberi- kelompok sosial tempat Wisran hidup dalam
kan argumentasi untuk menolak tindakan yang lingkungannya. Dengan begitu, terdapat kese-
bertentangan dengan adat tersebut (hal. 42- jajaran antara novel Tamu dengan keadaan
43). Demikian juga ketika Uyue Aji telah me- yang sesungguhnya dalam kehidupan masya-
malsu tanda tangan Ongga dan saudara- rakat Minangkabau.
saudaranya supaya dapat menjual tanah
kaum. Dengan cerdas, Ongga meminta bantu-
DAFTAR RUJUKAN
an temannya yang bekerja di kantor notaris
untuk menggagalkan usaha jual beli tanah Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. New York:
tersebut (hal. 75). Di sini dapat dilihat bahwa Holt, Rinehart and Winston.
Elizabeth dan Toni Burns. 1973. Sociology of Literature and
kedua mamak Ongga tidak dapat meminta
Drama. Baltimore: Penguin Books.
Ongga untuk mematuhi perintahnya. Goldmann, Lucien. 1981. Method in the Sociology of
Literatur. Oxford: Basil Blackwell
SIMPULAN Hadi, Wisran. 1996. Tamu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Novel Tamu berlatar tahun 1990-an yang Marzali. 2004. Dapatkah Matrilineal Bertahan Gidup di
Kota Metropolitan dalam Minang, Jurnal Adat Dan
merupakan periode Orde Baru. Pemerintah
Budaya Minangkabau. Edisi Ke Dua. Vol. 02/ Maret -
Orde Baru telah membuat kebijakan-kebijakan Mei, 2004.
yang sentralistis dan otoriter. Kebijakan itu Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru;Adat dan
membuat masyarakat tidak mempunyai pilihan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta. PT Temprint.
lain atas aturan-aturan pemerintah dan tidak Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Satra: Pengantar Teori Sastra.
dapat mengatur diri sendiri. Bantuan desa tidak Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
sepenuhnya berhasil karena bantuan itu justru
284
Siti Fatimah - Mencermati Perubahan Sosial Masyarakat Minangkabau
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusasteraan. Yunus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera; Persoalan Teori dan
Jakarta: PT Gramedia. Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Wolf, Janet. 1981. The Sosial Production of Art. New York: Kementerian Pelajaran Malaysia.
New York University Press.
285