PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Utilitarianisme berasal dari Bahasa latin utilis, yang berarti berguna, berfaedah,
menguntungkan. Menurut aliran ini prinsip pokok yang harus dikedepankan dalam berbuat
adalah asas manfaat atau keuntungan. The greatest happiness of the greatest number. Sumber
kesenangan diukur menurut intensitas dan lamanya perasaan tersebut, akibatnya, dan lain-lain.
Kegunaan atau keuntungan menjadi prinsip, norma, kriteria, dan cita-cita moral. Perilaku dan
perbuatan manusia dikatakan baik jika mendatangkan keuntungan dan kegunaan. Dengan
demikian, utulitarianisme merupakan sebuah istilah umum untuk semua pandangan yang
menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya
yang dibebankan kepada masyarakat.
Banyak analisis yang meyakini bahwa cara terbaik untuk mengevaluasi kelayakan suatu
keputusan bisnis adalah dengan mengandalkan pada analisis biaya-biaya keuntungan utilitarian.
Tindakan bisnis yang secara social bertanggungjawab adalah tindakan yang mampu memberikan
keuntungan terbesar atau biaya terendah bagi masyarakat. Lembaga-lembaga pemerintah, ahli
teori hokum, kaum moralis dan sejumlah analisis bisnis mendukung utilitarisme.
Prinsip utilitarianisme adalah suatu tindakan yang dianggap benar dari sudut pandang etis
jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas
total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Prinsip utilitarian mengasumsikan
bahwa kita bisa mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu
tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut dan selanjutnya
menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya paling kecil.
Prinsip utilitarian menyatakan bahwa tindakan yang benar dalam suatu situasi adalah
tindakan yang menghasilkan utilitas besar dibandingkan kemungkinan tindakan lainnya. Namun,
ini tidak berarti tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan utilitas paling besar
bagi orang yang melakukan tindakan tersebut. Tetapi, suatu tindakan dianggap benar jika
menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang terpengaruh oleh tindakan tersebut.
Demikian juga prinsip utilitarian tidak menyatakan bahwa suatu tindakan benar sejauh
keuntungan dari tindakan tersebut lebih besar dari biayanya. Dalam analisis terakhit utilitarian
meyakini bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan keuntungan paling besar
dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari semua tindakan
alternatif lainnya.
Dengan demikian, untuk memastikan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu,
perlu dilakukan tiga hal, yaitu:
1. Tentukan tindakan-tindakan alternatif apa yang harus dilakukan dalam situasi tersebut.
2. Utnuk setiap tindakan alternatif ditentukan keuntungan, dan biaya langsung, serta tidak
langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut pada masa yang akan dating.
3. Alternatif yang memberikan utilitas paling besar wajib dipilih sebagai tindakan yang
secara etis tepat.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kriteria prinsip etika
utilitarianisme (Keraf, 1998:94):
1. Manfaat, yaitu bahwa kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau
kegunaan tertentu. Suatu kebijakan atau tindakan adalah baik dan tepat secara moral
jika kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau keuntungan.
2. Manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat
terbesar dibandingkan dengan alternatif lainnya. Di antara berbagai kebijakan atau
tindakan yang sama baiknya, kebijaksanaan atau tindakan yang mendatangkan
manfaat terbesar adalah tindakan yang baik.
3. Manfaat terbesar diterima oleh sebanyak mungkin orang. Di antara berbagai
kebijakan atau tindakan yang sama-sama mendatangkan manfaat terbesar, kebijakan
atau tindakan yang baik adalah kebijakan atau tindakan yang bermanfaat bagi lebih
banyak orang. Jadi, suatu tindakan dikatakan baik, apabila tidak hanya mendatangkan
manfaat terbesar, tetapi juga manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
2.2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
Sampai sekarang, etika utilitarianisme mempunyai daya Tarik tersendiri, yang bahkan
melebihi daya tarik etika deontologis. Etika utilitarianisme ini tidak memaksakan atas sesuatu
yang asing. Etika ini menggambarkan apa yang sesungguhnya dilakukann oleh orang yang
rasional dalam menggambil keputusan, khususnya keputusan moral, termasuk dalam bidang
bisnis.
Menurut Keraf (1998:96) terdapat 3 (tiga) nilai positif etika utilitarianisme, yaitu:
1. Rasional
Prinsip moral yang diajukan etika utilitarianisme tidak didasarkan pada peraturan-
peraturan kaku yang tidak dipahami atau tidak diketahui keabsahannya. Etika
utilitarianisme ini memberikan kriteria yang objektif dan rasional.
2. Otonom
Etika utilitarianisme ini sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral untuk berpikir
dan bertindak dengan hanya memperhatikan 3 (tiga) kriteria objektif dan rasional seperti
yang sudah diuraikan sebelumnya. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak
dengan cara tertentu yang tidak diketahui alasannya.
3. Universal
Etika utilitarianisme ini sangat mengutamakan manfaat atau akibat dari suatu tindakan
bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai bermoral apabila tindakan tersebut memberi
manfaat terbesar bagi banyak orang.
Secara umum etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, yaitu:
Sebagaimana telah disinggung, etika utilitarianisme sangat cocok dan sering dipakai
untuk membuat perencanaan dan evaluasi bagi tindakan atau kebijaksanaan yang berkaitan
dengan kepentinganbanyak orang. Karena itu, ia banyak dipakai, secara sadar atau tidak, dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik, ekonomi, sosial, dan semancamnya yang menyangkut
kepentingan umum. Dalam pengembangan industri, peningkatan ekspor, bahkan pemberian
monopoli, dan banyak kebijakan serupa sering secara disadari atau tidak selalu digunakan dasar
pemikiran kepentingan banyak orang. Kepentingan banyak orang ini dirumuskan dalam berbagai
bentuk sesuai dengan lingkup kebijaksanaan itu: peningkatan devisa negara, penciptaan lapangan
kerja, penurunan harga, dan sebagainya.
Dalam bidang ekonomi, etika utilitarianisme punya relevansi yang kuat dan dapat
ditemukan dalam beberapa teori ekonomi yang popular. Sebut saja misalnya prinsip optimalitas
dari Pareto, yang menilai lebih baik kalau dalam sistem itu paling kurang satu orang menjadi
lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya dibandingkan
dengan sistem lainnya. Berdasarkan prinsip ini, pasar misalnya dianggap paling baik karena
memungkinkan konsumen memperoleh keuntungan secara maksimal. Dengan kata lain, suatu
sistem dinilai lebih baik karena mendatangkan manfaat lebih besar (paling kurang satu orang
menjadi lebih baik keadaannya dan tidak ada orang yang menjadi lebih buruk keadaannya)
dibandingkan dengan sistem alternatif lainnya.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi ekonomi.
Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya (input) sekecil mungkin
dapat dihasilkan produk (output) sebesar mungkin. Dengan menggunakan sumber daya secara
hemat harus bisa dicapai hasil yang maksimal. Karena itu, semua perangkat ekonomi harus
dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa mencapai hasil terbesar dengan menggunakan sumber
data sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.
Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang sangat kuat.
Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam apa yang dikenal dalam
perusahaan sebagai the cost and benefit analysis (analisis biaya dan keuntungan). Yang intinya
berarti etika ini pun digunakan dalam perencanaan dan evaluasi (atau reevaluasi) kegiatan bisnis
suatu perusahaan, dalam segala aspek: produksi, promosi, penjualan, diversifikasi, pembukaan
cabang, penambahan tenaga, penambahan modal, dan seterusnya.
Satu hal pokok yang perlu dicatat sejak awal adalah bahwa baik etika utilitarianisme
maupun analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya menyangkut kalkulasi manfaat. Karena
itu, etika utilitarianisme sangat sejalan dengan hakikat dan tujuan bisnis untuk mencari
keuntungan. Hanya saja, apa yang dikenal dalam etika utilitarianisme sebagai manfaat (utility),
dalam bisnis lebih sering diterjemahkan secara lurus sebagai keuntungan. Maka, prinsip
maksimalisasi manfaat ditransfer menjadi maksimalisasi keuntungan yang tidak lain diukur
dalam kerangka finansial. Sasaran akhir yang hendak dicapai lalu tidak lain adalah the greatest
net benefit atau the lower net cost. Intinya, kebijaksanaan ataupun tindakan apa pun yang akan
diambil oleh sebuah perusahaan harus punya sasaran akhir: dalam batas-batas yang bisa diukur,
mendatangkan keuntungan keseluruhan paling besar dengan menekan biaya keseluruhan sekecil
mungkin. Sebaliknya, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang telah diambil perusahaan dinilai
baik kalau dan hanya kalau kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan kerugian keseluruhan
sekecil mungkin.
Persoalan pokok baru timbul menyangkut pertanyaan tujuan keuntungan untuk siapa?
Sering kali analisis keuntungan dan kerugian terlalu menitikberatkan keuntungan bagi
perusahaan. Bahkan De George ini yang menjadi inti perbedaan antara etika utilitarianisme dan
analisis keuntungan dan kerugian yang dipakai dalam bisnis. Dalam analisis keuntungan dan
kerugian, manfaat dan kerugian selalu atau terutama dikaitkan dengan perusahaan. Sedangkan
pada etika utilitarianisme, manfaat dan kerugian itu dikaitkan, dengan semua orang yang terkait.
Tentu saja sebagaimana telah dikatakan, ini tidak salah. Namun, kalau kita boleh menggunakan
kembali argument-argumen yang telah dikatakan pada bab sebelumnya, termasuk pendekatan
stakeholder, kini analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pada
keuntungan bagi perusahaan. Atau, kalaupun betul bahwa sasaran pokok dalam analisis
keuntungan dan kerugian adalah meningkatkan dan mempertahankan keuntungan perusahaan
dan meminimalisisasi kerugian sebisa mungkin, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat
perhatian, terutama jika analisis keuntungan dan kerugian ini ditempatkan dalam kerangka etika
bisnis.
Pertama, keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yang dianalisis jangan semata-mata
dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan, kendati benar bahwa ini sasaran
akhir. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak
lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi, dalam
analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu kebijaksanaan dan kegiatan
bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan bagi kreditor,
konsumen, pemasok, penyalur, karyawan, masyarakat luas, dan seterusnya. Ini berarti etika
utilitarianisme sangat sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder.
Kalau dipikirkan secara mendalam, pertimbangan ini bukan hanya demi kepentingan
kelompok terkait yang berkepentingan, melainkan justru pada akhirnya demi kepentingan
(keuntungan) perusahaan itu sendiri. Karena, bisa saja suatu kebijaksanaan dan kegiatan bisnis
terlihat sangat menguntungkan bagi perusahaan tetapi ternyata merugikan pihak tertentu, yang
pada akhirnya, dengan satu dan lain cara, khususnya dalam jangka panjang, akan secara negative
mempengaruhi keuntungan dan kelangsungan bisnis perusahaan tersebut. Karena itu, tetap dalam
semangat etika utilitarianisme, adalah hal yang niscaya bahwa analisis keuntungan dan kerugian
itu tetap dilakukan dalam semangat kriteria ketiga: bagi sebanyak mungkin pihak terkait yang
berkepentingan, yang berarti juga bagi keuntungan dan kepentingan perusahaan tersebut.
Kedua, sering kali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam
kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasikan). Tentu saja ini tidak ada salahnya.
Namun, dari segi etika dan demi kepentingan bisnis yang berhasil dan tahan lama,
kecenderungan ini tidak memadai. Yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa
keuntungan dan kerugian di sini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan juga aspek-
aspek moral: hak dan kepentingan konsumen, hak karyawan, kepuasan konsumen, dan
sebagainya. Jadi, dalam kerangka klasik etika utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara
luas dalam kerangka kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihak terkait
yang berkepentingan.
Ketiga, bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis
keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini pentung
karena bisa saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis tertentu sangat
menguntungkan, tetapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau paling kurang tidak
memungkinkan perusahaan itu bertahan lama. Karena itu, benefits yang menjadi sasaran utama
semua perusahaan adalah long term net benefits.
Biasanya unsur kedua dan ketiga sangat terkait erat. Aspek moral biasanya baru terlihat
menguntungkan dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek dirasakan sebagai
merugikan. Membangun nama, reputasi, citra, brand memang tidak hanya didasarkan pada aspek
keunggulan finansial, tapi terutama juga aspek moral. Ini biasanya tidak terjadi dalam semalam,
tetapi melalui sebuah sejarah yang panjang. Hanya dalam jangka panjang menempatkan
kejujuran, mutu, pelayanan, disiplin, dan semacamnya sebagai keunggulan suatu perusahaan baik
ke dalam maupun ke luar masyarakat, lalu mempercayai perusahaan tersebut sebagai perusahaan
yang hebat dan punya nama yang dipertaruhkan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada satu
hal: keuntungan yang akan dating dengan sendirinya karena kepentingan dan hak semua
kelompok terkait yang berkepentingan diperhatikan, karena aspek-aspek moral diperhatikan,
dank arena yang diutamakan adalah kepentingan jangka panjang dan bukan keuntungan sesaat.
Untuk apa mengeruk keuntungan sesaat dengan menekan gaji karyawan di bawah standar yang
wajar, tetapi pada akhirnya seluruh produk perusahaan itu diboikot dalam pasar internasional,
karena diproduksi dengan mengeksploitasi manusia, yaitu buruh? Untuk apa merugikan
kepentingan konsumen dengan menawarkan barang yang tidak sesuai dengan apa yang
diiklankan, kendati mendatangkan keuntungan besar, tapi dalam jangka panjang diprotes oleh
konsumen, tidak hanya dalam negeri tetapi juga secara internasional? Demikian pila, lebih baik
membayar gaji dan menjamin hak-hak karyawan secara maksimal, dengan akibat mereka bisa
berkonsentrasi penuh demi mengembangkan perusahaan, dari pada menekan gaji dan hak
karyawan demi keuntungan sesaat, tapi malah membuat karyawan tidak punya komitmen yang
baik dank arena itu bekerja seenaknya yang malah akan merugikan perusahaan.
Dalam kaitan dengan ketiga hal tersebut di atas (keuntungan bagi semua pihak terkait,
keuntungan dalam kaitang dengan aspek-aspek moral, dan keuntungan jangka panjang), menjadi
jelas bagi kita bahwa kendati etika utilitarianisme dapat membenarkan semua dan segala macam
tindakan menipu dalam bisnis. Karena, pada akhirnya harus dipersoalkan apakah manfaat dari
tindakan menipu itu juga untuk semua pihak terkait. Apakah tidak satu pun stakeholdes, primer
dan sekunder, tidak merugikan? Kalau ternyata keuntungan itu hanya bagi perusahaan, tindakan
menipu tersebut tidak bisa dibenarkan berdasarkan kriteria sebanyak mungkin pihak terkait harus
mendapat manfaat dari tindakan itu. Kedua, apakah manfaat atau keuntungan itu juga
menyangkut aspek-aspek moral ataukah hanya finansial? Kalau ternyata tindakan itu hanya
menguntungkan secara finansial tetapi merugikan secara moral pihak tertentu, tindakan itu akan
ditolak oleh etika utilitarianisme. Ketiga, apakah dalam jangka panjang tindakan itu juga
menguntungkan, tidak hanya bagi semua pihak terkait, tapi juga bagi perusahaan tersebut? Kalau
seandainya tindakan menipu itu, kendati dalam jangka pendek menguntungkan perusahaan,
dalam jangka panjang merugikan perusahaan secara jauh lebih besar, maka dari sudut pandang
etika utilitarianisme akan tidak diterima sebagai tindakan yang baik dan etis.
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut, langkah kongret yng perlu dilakukan dalam
membuat sebuah kebijaksanaan bisnis adalah mengumpulkan dan mempertimbangkan alternatif
kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sebanyak-banyaknya. Semua alternatif kebijaksanaan dan
kegiatan itu terutama dipertimbangkan dan dinilai dalam kaitan dengan manfaat bagi kelompok-
kelompok terkait yang berkepentingan-atau paling kurang, alternatif yang tidak merugikan
kepentingan semua kelompok terkait yang berkepentingan. Kedua, semua alternatif pilihan itu
perlu dinilai berdasarkan keuntungan yang dihasilkannya dalam kerangka luas menyangkut
aspek-aspek moral. Ketiga, neraca keuntungan dibandingkan dengan kerugian, dalam segala
aspek itu, perlu dipertimbangkan dalam kerangka jangka panjang. Kalau ini bisa dilakukan, pada
akhirnya ada kemungkinan besar sekali bahwa kebijaksanaan atau kegiatan yang dilakukan suatu
perusahaan tidak hanya menguntungkan secara finansial, melainkan juga baik dan etis.
Ini berarti setiap kebijaksanaa atau kegiatan bisnis yang pada akhrinya dalam jangka
panjnag akan merugikan salah satu kelompok terkait yang berkepentingan dan juga kendati
secara finansial menguntungkan diperkirakan dalam jangka panjang merugikan perusahaan
tersebut secara keseluruhan, harus dihindari. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan
kebijaksanaanatau kegiatan yang ternyata dalam jangka panjang tidak hanya menguntungkan
perusahaan tersebut melainkan juga sebagian kelompok terkait? Jawaban atas pertanyaan ini
akan diberikan di bawah ini dalam kaitan dengan jalan keluar atas berbagai kelemahan etika
utilitarianisme ini.
1. Bagaimana nilai utilitas dari berbagai tindakan yang berbeda pada orang-orang yang
berbeda dapat diukur dan dibandingkan. Jika kita tidak tahu tindakan-tindakan apa saja
yang memberikan nilai utilitas paling tinggi, maka kita juga tidak dapat menerapkan
prinsip-prinsip utilitarian.
2. Sejumlah biaya dan keuntungan tertentu tampak sangat sulit dinilai, misalnya,
bagaimana menilai nyawa atau kesehatan seseorang.
3. Banyak biaya dan keuntungan dari suatu tindakan tidak dapat diprediksi dengan baik,
maka penilaian juga tidak dapat dilakukan dengan baik. Misalnya, akibat yang
menguntungkan atau merugikan dari sebuah ilmu pengetahuan yang sangat sulit
diprediksi.
4. Sampai saat ini masih belum jelas apa yang bisa dihitung sebagai biaya. Tidak ada
kejelasan ini sangat problematik khususnya berkaitan dengan masalah-masalah sosial
yang dinilai sangat berbeda oleh berbagai kelompok budaya.
5. Asumsi utilitarian yang menyatakan bahwa semua barang dapat diukur atau dinilai
mengimplikasikan bahwa semua barang dapat diperdagangkan. Jadi, untuk barang
tertentu dinilai sebanding, satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah-masalah
tersebut adalah menerima penilaian dari suatu kelompok sosial atau kelompok lain.
Namun, hal ini berarti mendasarkan analisis biaya-keuntungan pada bisnis dan
kecenderungan subjektif dari kelompok bersangkutan.
2.5.2. Tanggapan Utilitarian Terhadap Masalah Penilaian
Untuk menangani keberatan dalam contoh-contoh yang diajukan oleh para kritikus
utilitarianisme tradisional, kaum utilitarian mengajukan satu versi utilitarianisme alternatif yang
cukup penting dan berpengaruh, yang disebut rule-utilitarianism (peraturan utilitarianism).
Menurut rule-utilitarianism, saat menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap etis, kita
tidak perlu mempertanyakan apakah tindakan tersebut diwajibkan oleh peraturan modal yang
harus dipatuhi oleh semua orang.
Jadi teori rule-utilitarianism memiliki pertimbangan yang dapat diringkas kedalam dua
prinsip berikut:
1. Suatu tindakan dikatakan benar dari sudut pandang etis, hanya jika tindakan tersebut
dinyatakan dalam peraturan moral yang benar.
2. Sebuah peraturan moral dikatakan benar jika jumlah utilitas total yang dihasilkannya
dan jika semua orang yang mengikuti peraturan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas
total yang diperoleh serta jika semua orang mengikuti peraturan moral alternatif
lainnya.
Sampai saat ini, Bali belum memiliki pembangkit listrik yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat. Bali masih menerima pasokan dari rangkaian Listrik Jawa-Bali yang dialirkan
melalui kabel bawah laut. Apabila Bali tidak memiliki pembangkit sendiri diprediksi lima tahun
ke depan Bali akan gelap gulita dan industri pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Bali
terancam terganggu. Pasokan Jawa-Bali tidak mampu memenuhi kebutuhan yang semakin
meningkat dari jaringan kabel bawah laut sudah hampir habis manfaat ekonomisnya. Dari
analisis terhadap beberapa alternatif pembangkit listrik yang memungkinkan di Bali, akhirnya
diputuskan untuk menggunakan pembangkit tenaga panas bumi (geothermal). Ketika proyek
sudah mulai dilaksanakan, ternyata banyak menuai penolakan dari beberapa unsur masyarakat.
Penolakan seperti ini terjadi di hampir setiap proyek pembangkit listrik di Bali.
Pertanyaan: