D es k r i p s i
P e t a
E k o r e g i o n
L a u t
I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut
k e r jas am a :
I ND ON ESIA k e r j asama :
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
Pada tahun 2013
Oleh Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup
Jl. D.I. Panjaitan Kav. 24
Kebon Nanas, Jakarta Timur 13410
Telepon/Fax : 021-85904930
Email: ekoregion_indonesia@yahoo.com
Website: www.menlh.go.id
ISBN: 978-602-8773-10-2
ii
Kata Pengantar
Syukur
alhamdulillah
kami
panjatkan
kehadirat
Allah
SWT,
karena
hanya
atas
berkah
dan
rahmat-Nya
penyusunan
Peta
dan
Deskripsi
Ekoregion
Laut
Indonesia
dapat
diselesaikan
dengan
baik.
Buku
ekoregion
laut
ini
merupakan
buku
kedua
sebagai
lanjutan
dari
buku
pertama
tentang
ekoregion
pulau/kepulauan.
Proses
penyusunan
Peta
dan
Deskripsi
Ekoregion
Laut
Indonesia
ini
melibatkan
lintas
instansi
terkait,
para
pakar
di
bidang
kelautan
baik
dari
perguruan
tinggi
maupun
lembaga
swadaya
masyarakat
melalui
diskusi
kelompok,
pertemuan
teknis
maupun
lokakarya.
Berbagai
perbedaan
pendapat
dari
para
pakar,
nara
sumber
atau
pihak
lain,
pada
akhirnya
dapat
diakomodasi
dalam
suatu
konsensus.
Secara
khusus
kami
sampaikan
terima
kasih
kepada
Badan
Informasi
Geospasial
sebagai
lembaga
pemerintah
yang
mempunyai
tugas
dan
fungsi
penyelenggaraan
informasi
geospasial
di
tingkat
nasional
yang
telah
bekerjasama
dan
mendukung
penuh
dalam
penyusunan
.
Tak
lupa
pula
kami
sampaikan
rasa
terima
kasih
dan
penghargaan
yang
sebesar-besarnya
kepada
seluruh
unsur
yang
tergabung
di
dalam
Tim
Penyusun
Peta
dan
Deskripsi
Ekoregion
Laut
Indonesia
yang
telah
dengan
penuh
dedikasi
dan
komitmen
yang
tinggi
menyumbangkan
tenaga
dan
pemikirannya
demi
terselesaikannya
dokumen
yang
sangat
bermanfaat
ini.
Sangat
dimaklumi
bahwa
untuk
menghasilkan
ekoregion
laut
ini
tentunya
menghadapi
berbagai
keterbatasan,
termasuk
data
dan
informasi.
Dengan
demikian,
langkah
ke
depan,
hal
utama
yang
perlu
dilengkapi
di
18
ekoregion
laut
adalah
kelengkapan
data
dan
informasinya
secara
terus
menerus.
Status
deskripsi
saat
ini
bisa
dijadikan
landasan
kerjasama
antar
pihak
untuk
melengkapinya
dengan
berbagai
riset,
penelitian,
atau
pemantauan.
Di
sinilah
sinergi
antar
pihak
akan
dibangun
secara
lebih
jelas
tema
atau
fokusnya
sesuai
dengan
fungsi
masing-masing
pemangku
kepentingan.
Harapan
kami
semoga
buku
Peta
dan
Deskripsi
Ekoregion
Laut
ini
selain
digunakan
sebagai
dasar
pertimbangan
dalam
penyusunan
RPPLH,
juga
dapat
bermanfaat
bagi
para
pihak
untuk
memperkuat
perencanaan
dan
penerapan
pembangunan
secara
berkelanjutan.
Jakarta,
Mei
2013
Deputi
Tata
Lingkungan,
Kementerian
Lingkungan
Hidup
iii
Pelindung
:
Prof.
Dr.
Balthasar
Kambuaya,
MBA,
Menteri
Lingkungan
Hidup
Dr.
Asep
Karsidi,
Kepala
Badan
Informasi
Geospasial
Pengarah
:
Drs.
Imam
Hendargo
Abu
Ismoyo,
MA,
Kementerian
Lingkungan
Hidup
Dr.
Priyadi
Kardono,
M.Sc,
Badan
Informasi
Geospasial
Penanggung
Jawab
:
Ir.
Wahyu
Indraningsih,
Kementerian
Lingkungan
Hidup
Dr.
Nurwadjedi,
MSc,
Badan
Informasi
Geospasial
Tim
Penyusun:
Kementerian
Lingkungan
Hidup
:
Dra.
Lien
Rosalina,
MM,
Hendaryanto,
ST,
M.Si,
Endah
Tri
Kurniawaty,
ME,
MPA,
Farid
Mohammad,
M.Sc,
Nurmala
Eka
Putri,
S.Sos,
MSi,
Badan
Informasi
Geospasial
:
Dr.
Gatot
H.
Pramono,
Dheny
Trie
W.S.,
M.Sc,
Yoniar
Hufan
Ramadhani,
S.
Kel,
Kementerian
Kelautan
dan
:
Dr.-Ing.Widodo
Pranowo,
Dr.
Ifan
Ridlo
Suhelmi,
S.Si,
Dr.
Dini
Purbani,
Perikanan
Dr.
Hendra
Yusran
Siry,
Ir.
Mahdan,
iv
Ringkasan Eksekutif
I NDONESIA
P E TA E K O R E G I O N
T
H
A
I
L
A
N
D
SE
LA LAUT CINA SELATAN
T
M
AL
AK
A
M
EL-4
A
L
EL-3 I A
A
S
Y
Y
S
A
I
L
A
A
M
S
A EL-6
M
U LAUT JAWA
D
E
R
A
H JAWA
I N
D
I A
EL-2
0 250
500 1.000 Km
S A
M
EL-7 U
EL-11 D
LAUT SULAWESI E
R
A
LAUT HALMAHERA EL-16 PA
SI
EL-10 FI
LAUT MALUKU K
R
SA
AS
AK
TM
S U LAW E S I
SE
EL-12
EL-8 PA P U A
EL-13
LAUT FLORES EL-18
ST
E LAUT ARAFURA
LE
OR
TIM
LAUT SAWU
EL-9
LAUT TIMOR
A U S T R A L I A
Menurut
UU
nomor
32
tahun
2009
tentang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
ekoregion
merupakan
wilayah
geografis
yang
memiliki
kesamaan
ciri
iklim,
tanah,
air,
flora,
dan
fauna
asli,
serta
pola
interaksi
manusia
dengan
alam
yang
menggambarkan
integritas
sistem
alam
dan
lingkungan
hidup.
Ekoregion
laut
adalah
wilayah
perairan
laut
dengan
komposisi
spesies
yang
relatif
homogen,
yang
jelas
berbeda
dari
sistem
yang
berdekatan
(Spalding
et
al.,
2007).
Faktor
pembeda
dalam
mendefinisikan
ekoregion
bervariasi
dari
lokasi
ke
lokasi
antara
lain
tingkat
isolasi,
upwelling,
masukan
nutrien,
pengaruh
air
tawar,
rezim
suhu,
morfostruktur,
sedimen,
arus,
dan
kompleksitas
batimetri
atau
tipe
pantai.
Secara
umum
tujuan
dari
pewilayahan
ekoregion
laut
Indonesia
adalah
sebagai
dasar
pertimbangan
dalam
penetapan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(RPPLH)
agar
sesuai
dengan
karakter
wilayah
ekoregion,
termasuk
karakteristik
sumberdaya
alam,
ekosistem,
kondisi
geografis,
budaya
masyarakat
setempat,
dan
kearifan
lokal.
Dengan
dasar
tersebut,
diharapkan
dapat
dicapai
keseimbangan
antara
pemanfaatan
dan
pelestarian
sumber
daya
alam
untuk
mengoptimalkan
produktivitas
sumberdaya
alam
laut
serta
dicapai
perlindungan
lingkungan
secara
efektif,
yang
pada
akhirnya
dapat
dicapai
pembangunan
yang
berkelanjutan.
Tujuan
dari
pewilayahan
ekoregion
laut
Indonesia
adalah
untuk
memberikan
arah
dalam
penetapan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(RPPLH)
yang
disesuaikan
dengan
karakter
wilayah,
sehingga
dapat
dicapai
keseimbangan
antara
pemanfaatan
dan
pelestarian
dalam
rangka
mengoptimalkan
produktivitas
sumberdaya
alam
laut
yang
pada
akhirnya
dapat
dicapai
pembangunan
yang
berkelanjutan.
Ekoregion
merupakan
salah
satu
asas
dalam
implementasi
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Artinya
bahwa
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
harus
memperhatikan
karakteristik
sumberdaya
alam,
ekosistem,
kondisi
geografis,
budaya
masyarakat
setempat,
dan
kearifan
lokal.
Penyusunan
ekoregion
laut
melibatkan
para
pakar
lintas
keilmuan
di
bidang
kelautan
dan
perikanan
baik
dari
kementerian/lembaga
pemerintah,
perguruan
tinggi
maupun
lembaga
swadaya
masyarakat
(LSM).
Proses
penyusunan
ekoregion
laut
meliputi
pengumpulan
data,
penentuan
parameter,
penyusunan
hirarki,
sintesis
antar
data,
delineasi
batas
ekoregion,
diskusi
kelompok
terfokus,
visualisasi
kartografis,
dan
penyusunan
deskripsi.
Penyusun
tergabung
dalam
tim
kerja
yang
melakukan
kajian
literatur,
melakukan
diskusi
kelompok
terfokus,
dan
mengkompilasi
masukan
dari
para
ahli.
Masukan
dari
para
ahli
kelautan
dan
perikanan
yang
didapat
pada
saat
diskusi
kelompok
terfokus
digunakan
untuk
memperbaiki
parameter
dan
delineasi
ekoregion
laut.
Proses delineasi ekoregion laut dilakukan berdasarkan empat parameter utama yaitu:
Setelah
melalui
12
kali
forum
diskusi
terfokus
dan
beberapa
kali
perbaikan,
maka
tersusunlah
18
ekoregion
laut
2
di
perairan
Indonesia.
Ekoregion
Teluk
Tomini
merupakan
ekoregion
terkecil
dengan
luas
70.020
km ,
seangkan
2
ekoregion
Samudera
Hindia
Sebelah
Barat
Sumatera
memiliki
area
terluas
(782.861
km ).
Setiap
ekoregion
laut
viii
dideskipsikan
dalam
enam
aspek
yaitu
geologi
dan
morfologi
dasar
laut,
oseanografi,
keanekaragaman
hayati,
pemanfaatan,
kerawanan
bencana,
dan
pencemaran.
ix
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
x
Geomorfologi Bencana
Potensi perikanan laut
dalam
Kondisi pemanfaatan :
Udang = over exploited,
kakap merah dan kerapu
= over exploited
kurisi, kuniran, swanggi, Potensi pencemaran oleh kegiatan
Keragaman habitat pesisir bloso dan gulamah = fully rumah tangga,
sirkulasi arus dan massa
laut tinggi. Habitat hiu mulut exploited, pelabuhan,transportasi,
Samudera Hindia air yang terbentuk karena
lebar,dugong atau duyung, layur = moderate, Rawan gempa dan pertanian/perkebunan dan
1 Sebelah Barat Zona subduksi kondisi batimetri yang
penyu hijau, penyu Ikan pelagis kecil spesies tsunami industri, jalur kapal tanker
kontras, yakni oleh palung
Sumatera banyar = over exploited Bahan pencemar : logam berat,
terusan dari Java Trench belimbing, penyu sisik
tuna mata besar = over persistent organic pollutants
Wyrtki Jet dan Coastally buaya muara exploited (POPs), poly aromatic
Trapped Kelvin Waves
Spesies madidihang = hydrocarbon (PAH), Tributyltin
fully exploited (TBT), pestisida.
Spesies cakalang =
moderate
Migas di Pantai Timur Aceh,
wisata bahari di Pulau Weh,
Pulau Simelue, Pulau Nias,
dan Pulau Mentawai.
Potensi perikanan laut
dalam
Kondisi pemanfaatan ikan :
udang, lemuru, tuna mata
besar, tuna sirip biru = Potensi pencemaran oleh kegiatan
over exploited pertanian, rumah tangga dan
sirkulasi arus dan massa air Penyu (pangumbahan,
kerapu merah, kuwe industri
Samudera Hindia yang terbentuk oleh kondisi alas purwo)
madidihang, albakora = Rawan gempa dan berpotensi untuk tercemari oleh
2 Sebelah Selatan Zona subduksi batimetri yang kontras, yakni Mangrove di cilacap
fully exploited tsunami logam berat, PAH dan POPs jika
Gumuk pasir (satu-satunya yang ada
Jawa oleh palung bernama Java layur, layang, cumi-cumi, terjadi tumpahan minyak karena
parangtritis di selatan jawa)
Trench dan cakalang = moderate. merupakan jalur kapal tanker yang
Terumbu karang
deep sea water di membawa minyak mentah ke
endemik samudra hindia
Pelabuhan Ratu industri Pengolahan Minyak
Energi terbarukan dari arus Pertamina di Cilacap.
dan angin
Wisata bahari di di Pantai
Pangandaran dan Pantai
Parang Teritis.
Bagian dari Paparan laut dangkal yang lebih Mangrove karena Potensi migas Potensi pecemaran oleh kegiatan
3 Selat Malaka Relatif aman dari
Sunda bersifat sebagai pesisir sungai besar bermuara Jalur pelayaran rumah tangga,
tsunami
karena sangat dipengaruhi di selat malaka internasional pertanian/perkebunan dan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
oleh sifat daratan, yakni oleh Burung-burung air Kondisi pemanfaatan ikan : industri; maupun yang berasal dari
banyaknya sungai yang migrasi udang, ikan kurau laut seperti perkapalan,
bermuara di ekoregion Keragaman spesies ,manyung, kakap banyar transportasi laut dan kegiatan
tersebut lamun yang tinggi di ,kembung = over migas.
Kepulauan Riau exploited Bahan pencemar yang berpotensi
kurisi ,kuniran, swanggi, untuk mencemari adalah bahan
gulamah, layang = fully organik dan bahan anorganik.
exploited terdapat 4 (empat) titik sumber
golok-golok, dan cakalang pencemar yang berasal dari
= moderate kegiatan migas
Pariwisata bahari (P.Bintan) Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
394.418 m3
Potensi pencemaran oleh kegiatan
dipengaruhi oleh angin
migas, lalu lintas kapal tanker dan
Monsun dan massa air
Potensi Migas pelayaran internasional
dari Laut China Selatan
Tempat peneluran penyu Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman dari potensi bahan pencemar yang
fenomena fisik arus unik
sisik dan penyu hijau udang, kurau = over tsunami mungkin mencemari ekoregion ini
yang bernama Natuna-
Bagian dari Paparan Terumbu karang exploited Ancaman utama adalah bahan organik dan
4 Laut Natuna Off-Shelf-Current dan
Sunda manyun,g banya, kembung, adalah anorganik, terutama PAHs, POPs
arus eddy (arus memutar) keragaman tinggi untuk di
layang = fully exploited perubahan iklim dan logam berat.
yang membawa nutrien Indonesia Barat
cumi-cumi = moderate dan kenaikan terdapat 3 (tiga) titik izin
dari pesisir pantai
muka air laut pembuangan limbah ke laut dari
terdekat ke arah laut
(sea level rise). KLH berasal dari kegiatan migas,
sehingga ekoregion ini
Jumlah total volume limbah yang
adalah sangat kaya akan
masuk ke ekoregion ini adalah
ikan.
114.957 m3
Potensi pencemaran oleh kegiatan
kondisi oseanografi yang rumah tangga, pelabuhan,
potensi timah
sangat dipengaruhi oleh Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman dari transportasi,
pasang surut bertipe diurnal, Hutan mangrove kondisi pelagis kecil = over dan fully tsunami pertanian/perkebunan, aktivitas
Bagian dari Paparan yang secara geografis unik relativ baik di pesisir exploited Ancaman utama perkotaan, pertambangan, migas,
5 Selat Karimata Sumatera Selatan dan adalah dan lalu lintas kapal internasional
Sunda karena diapit oleh tipe Pariwisata bahari
Kalimantan Barat perubahan iklim Terdapat 1 (satu titik ) izin
campuran cenderung diurnal BMKT (Benda Muatan Asal
Tempat peneluran penyu dan kenaikan pembuangan limbah ke laut dari
di Laut Jawa dan Laut Kapal Tenggelam)
sisik di pulau tambelan muka air laut KLH berasal dari kegiatan migas
Natuna (sea level Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
24.742 m3
Keanekaragaman hayati Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman Potensi pencemaran oleh dari
laut dangkal yang kondisi dan endemisitas rendah Udang , kerapu, kakap dari tsunami kegiatan rumah
Paparan sunda yang oseanografinya sangat Ekosistem mangrove merah Abrasi di pantai tangga,pelabuhan,transportasi,
6 Laut Jawa
dangkal dipengaruhi oleh pasang yang kondisinya baik di banyar,kembung,ikan intens pertambangan,pertanian/perkebu
surut bertipe campuran pesisir pantai Kalimantan terbang, layang = over Potensi letusan nan, perkotaan dan berbagai jenis
xi
cenderung diurnal di Laut Selatan. exploited, gunung api di industri
Spesies langka Ikan Hiu Bloso, uniran = fully selat sunda terdapat 16 (enam belas) titik izin
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Jawa, dan juga monsun air tawar, dugong. exploited), pembuangan limbah ke laut dari
xii
Kurisi, swanggi = KLH yang berasal dari kegiatan
moderate. energi dan migas, serta 1 titik izin
BMKT (Perairan Terawang, pembuangan limbah ke laut dari
Jepara, Cirebon), Sumsel, KLH dari kegiatan industri kimia
L.Jawa, Kep.Seribu. Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
115.071.199 m3
Zona subduksi
memiliki satu
cekungan terdapatnya perairan basin
(Cekungan dalam (lebih dari 6.000 Kondisi pemanfaatan ikan : Potensi pencemaran oleh
Karang di Berau dan
Sulawesi) dan tiga meter) yang dibatasi di manyung kakap kerapu dan kegiatan rumah tangga, industri
Bunaken,
7 Laut Sulawesi parit (Parit bagian Timur oleh kuwe layang cakalang = lokal, akuakultur, timber,
penyu hijau terbesar di Rawan
Makassar Utara, moderate. pariwisata, tambang batubara dan
Kepulauan Sangihe Talaud Asia Tenggara di Berau Tsunami
Parit Sulawesi dan tuna mata besa = over perkapalan.
Parit Selat yang terbentuk dari aktivitas Ikan purba Latimeria
exploited, Abrasi pantai di kepulauan
Makassar). tektonik Manadoensis
madidihang = fully exploited Sangihe Talaud
Gunung Berapi
Raksasa Bawah
Laut
sesar Palikoro yang
berarah Tenggara- Kondisi pemanfaatan ikan
Baratlaut dan adalah :
udang = over exploited, pencemaran yang berasal dari
terkenal sangat aktif
terdapatnya kondisi batimetri kerapu kakap merah = kegiatan rumah tangga,
sehingga seringkali
moderate. pelabuhan, perkebunan, aktivitas
menimbulkan yang dalam yang terhubung rawan terhadap
ikan terbang , madidihang perkotaan dan industri
gempa-gempa dengan basin Terumbu karang tsunami di
Terdapat lima titik izin
tektonik Sulawesi/Sangihe Talaud di Spermonde dan = over exploited. pantai bagian
8 Selat Makassar spesies tuna mata besar = pembuangan limbah ke laut dari
memiliki tiga Kapoposang barat yang
bagian Utara, yang kegiatan migas dan satu titik
cekungan Ikan terbang fully exploited, berhadapan
kemudian menyempit di cakalang = moderate. pembuangan limbah daeri
(Cekungan Makasar Mangrove di bagian timur dengan
Kanal Labani membentuk kegiatan pertambangan yang
Utara, Cekungan kalimantan wisata bahari di Taka Bone Kalimantan
leher botol dikeluarkan oleh KLH
Makasar Selatan, Rate, serta air mineral laut Timur.
Jumlah total volume limbah yang
dan Cekungan dalam (deep sea water) di
Makassar masuk ke ekoregion ini adalah
Spermonde) dan
6.539.449 m3
satu dataran
(Dataran Doang
Supermonde).
Zona subduksi terdapatnya beberapa pintu Daerah penting Paus (14 Wisata bahari Rawan tsunami pencemaran yang berasal dari
Perairan Bali dan Terdapat enam jenis paus) Kondisi pemanfaaan ikan potensi bahaya kegiatan pertanian, rumah
9 keluar bagi Arus Lintas
Nusa Tenggara cekungan Terumbu karang tinggi udang sudah letusan dari tangga, pariwisata dan
Indonesia (Indonesian
(Cekungan Bali, Taman nasional dan dimanfaatkan melebihi gunung api pertambangan Pencemaran
Through-Flow) seperti Selat limbah domestik (Bali, Lombok,
Cekungan Flores, kawasan konservasi kapasitas (over exploited), bawah laut yang
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Lombok, Lombok, Selat Ombai dan perairan paling luas Ikan demersal seperti masih aktif, Timor)
Cekungan Sumba, terusan Timor spesies kerapu yaitu Baruna Berdasarkan izin pembuangan
Cekungan Sawu, (Cephalophodis boenack) Komba, Anak limbah ke laut di wilayah ini,
dan Cekungan dan kuwe (Caranx Komba, dan Ibu terdapat satu titik sumber
Wetar) dan satu sexfasciatus yang sudah Komba. pencemar yang berasal dari
parit (Parit Lombok). fully exploited, kegiatan pertambangan yang
spesies layur (Trichiurus berlokasi di Kabupaten Sumbawa
spp) masih taraf Barat dan menghasilkan limbah
moderate. dengan volume sebesar 36.750
Ikan pelagis kecil seperti m3/hari (KLH, 2009b).
spesies lemuru (Sardinella
lemuru) sudah over
exploited,
spesies layang
Decapterus kuroides
masih taraf moderate.
Tingkat pemanfaatan ikan
pelagis besar seperti tuna
mata besar (Thunnus
obesus) dan tuna sirip biru
(Thunnus maccoyii) sudah
over exploited,
spesies madidihang
(Thunnus albacares) dan
albakora (Thunnus
alalunga) sudah fully
exploited,
dan spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate.
Untuk cumi-cumi masih
(Loligo spp) dimanfaatkan
dalam taraf normal
(moderate).
xiii
pelagis kecil seperti
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
spesies ikan terbang
xiv
(Hirundichthys
oxycephalus) dan layang
(Decapterus kuroides)
sudah fully exploited, dan
spesies layang
(Decapterus macarellus)
masih moderate. Tingkat
pemanfaatan Ikan pelagis
besar seperti spesies tuna
mata besar (Thunnus
obesus) sudah over
exploited, spesies
madidihang (Thunnus
albacares) sudah fully
exploited dan spesies
cakalang (Katsuwonus
pelamis) masih taraf
moderate.
Wisata bahanri Pulau
Togean
Kondisi pemanfaatan ikan :
Pemanfaatan
sumberdaya perikanan
Zona subduksi
di WPP 715 seperti
sebelah barat
udang sudah over
lima cekungan
exploited, ikan demersal
(Cekungan
spesies kerapu
Morotai,
(Cephalophodis
Cekungan Biodiversitas endemic Sumber pencemar utama adalah
boenack) dan kakap
Khaterina, di selat lembeh (Pigmy dari kegiatan rumah tangga dan
merah (Lutjanus
Cekungan struktur Kepulauan sea horse) industri pertambangan, terutama
bitaeniatus dan Lutjanus
Taliabu, Halmahera yang dapat Padang lamun luas di pertambangan emas. Namun di
11 Laut Halmahera malabaricus) sudah fully Gempa dan tsunami
Cekungan menimbulkan Halmahera selat Lembeh lokasi tersebut juga terdapat
exploited. Kondisi di
Mangale dan Kelompok Hiu Paus kegiatan lainnya yakni kegiatan
Eddy WPP 716 ikan demersal
Cekungan Datan), pertanian/perkebunan dan
musiman di Teluk Kao spesies manyung
dua plato (Plato kegiatan perikanan tangkap.
Terumbu karang (Ariidae spp), kerapu
Morotai Timur, Blooming algae di Teluk Kao
(Cephalophodis
dan Plato setiap tahun
boenack) dan kakap
Waigea), dan tiga
merah (Lutjanus
parit (Parit
bitaeniatus dan Lutjanus
Sangihe, Parit
malabaricus), kuwe
Ternate, dan Parit
(Caranx sexfasciatus)
Utara Morotai).
masih taraf moderate.
Ikan pelagis kecil di
WPP 715 jenis ikan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
terbang (Hirundichthys
oxycephalus) dan
layang (Decapterus
kuroides) sudah fully
exploited sedangkan
layang spesies
Decapterus macarellus
masih moderate. Ikan
pelagis kecil di WPP 716
antara lain layang
(Decapterus kuroides
dan Decapterus
macarellus)masih
moderate. Ikan pelagis
besar di WPP 715
spesies tuna mata besar
(Thunnus obesus)
sudah over exploited,
spesies madidihang
(Thunnus albacares)
sudah fully exploited dan
spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih moderate. Ikan
pelagis besar di WPP
716 antara lain spesies
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
sudah over exploited,
madidihang (Thunnus
albacares) (Katsuwonus
pelamis) sudah fully
exploited dan cakalang
masih moderate.
Migas di Halmahera
timur, Pertambangan di
pulau pulau kecil (nikel)
BMKT di perairan tidore
Potensi energy
terbarukan (arus) selat
Talibo dan Manguale
Zona subduksi struktur batimetri yang Ikan pelagis kecil spesies Potensi pencemaran dari
Laut Banda
memiliki lima menyebabkan Arus Lintas Biodiversitas endemic layang (Decapterus macarellus Gempa dan kegiatan pemukiman, industri,
12 Sebelah Timur
cekungan Indonesia melewati (Banggai Cardinal fish) dan Decapterus macrosoma) Tsunami pertambangan
Sulawesi
(Cekungan Banggai, ekoregion ini melalui salah Terumbu karang baik kondisi sudah fully exploited Racun ikan (potassium)
xv
Cekungan Sula, satu pintu masuk (inlet) hingga taraf moderate. Ikan Pengeboman ikan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Buru bernama Terusan pelagis besar seperti spesies
xvi
Utara, Cekungan Lifamatola, massa air ke cakalang (Katsuwonus pelamis)
Seram, dan Laut Banda dari Samudra masih taraf moderate, spesies
Cekungan Wahai), Pasifik tuna mata besar (Thunnus
satu dataran
obesus) sudah over exploited,
(Dataran Banggai
Sula), satu paparan spesies madidihang sudah fully
(Paparan Sula), dua exploited, dan cumi-cumi (Loligo
punggungan spp) masih taraf moderate.
(Punggungan
Tampomas), serta
dua parit (Parit Tala,
dan Parit Buton).
Kondisi pemanfaatan
ikan
Ikan pelagis kecil
spesies layang
(Decapterus
macarellus dan
Decapterus
macrosoma) kondisi
memiliki empat sudah fully exploited
cekungan yaitu Keanekaragaman Hayati hingga taraf
Cekungan Bone, massa air Samudera Pasifik Terumbu Karang moderate. Ikan Potensi pencemaran berasaldari
Laut Banda Cekungan Buton, tinggi pelagis besar seperti rumah tangga, pertanian, dan
yang dibawa oleh Arus Relatif aman
13 Sebelah Selatan Cekungan Banda Wakatobi (atoll spesies cakalang perkebunan, pertambangan nikel
Lintas Indonesia menuju terhadap tsunami
Sulawesi Selatan, dan terpanjang di dunia) (Katsuwonus pelamis) Ilegal Fishing
Cekungan Tukang pusat Laut Banda
Takabonerate (atol masih taraf moderate, Racun ikan (potassium)
Besi. terluas ketiga di spesies tuna mata Pengeboman ikan
dunia) besar (Thunnus
obesus) sudah over
exploited,spesies
madidihang sudah
fully exploited, dan
cumi-cumi (Loligo
spp) masih taraf
moderate.
Pariwisata (wakatobi,
Takabonerate)
Tipe pasut di ekoregion Laut Keanekaragaman Kondisi pemanfaatan ikan Potensi pencemaran dari
Zona subduksi
Laut Seram dan Seram dan Teluk Bintuni ini hayati Terumbu ; Udang sudah over Rawan Gempa dan berbagai kegiatan baik di darat
14 2 cekungan, yaitu
Teluk Bintuni adalah campuran cenderung karang di Raja exploited, Tsunami maupun di Teluk Bintuni seperti,
: Cekungan
semidiurnal. Ampat=tertinggi di Ikan demersal: Spesies eksplorasi dan produksi minyak
Salawati, dan dunia kerapu (Cephalophodis dan gas bumi, industri kayu lapis
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Berau; Mangrove yang luas boenack) dan kakap serta perikanan (Brotoisworo,
1 paparan, yaitu di T.Bintuni kawasan merah (Lutjanus 1991). Berbagai industri migas
Paparan Sayang; bitaeniatus dan Lutjanus dan timber telah dilaporkan
1 plato, yaitu malabaricus) sudah fully beroperasi di Teluk Bintuni
exploited, semenjak sebelum 1987. Lebih
Plato Wagea; dan
Ikan pelagis kecil: Spesies lanjut, berdasarkan data izin
1 dataran yaitu ikan terbang pembuangan limbah ke laut (KLH,
Dataran Wagea. (Hirundichthys 2009b) terdapat 7 (tujuh) titik
oxycephalus) dan layang sumber pencemar yang berasal
(Decapterus kuroides) dari kegiatan migas, yang
sudah fully exploited berlokasi di Kabupaten Sorong
sedangkan layang spesies dan Kabupaten Teluk Bintuni
(Decapterus macarellus) Jumlah total volume limbah yang
masih taraf moderate. masuk ke ekoregion ini adalah
Ikan pelagis besar: 304.433 m3
Spesies tuna mata besar
(Thunnus obesus) sudah
over exploited,
Spesies madidihang
(Thunnus albacares)
sudah fully exploited dan
Spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate.
Potensi migas (T.Bintuni
Nikel (P.Gebe, Waigeo)
Demersal=moderate,
pelagis kecil=moderate,
pelagis besar (mata
besar)=over
habitat terumbu Kondisi pemanfaatan ikan:
Struktur batimetri tersebut
karang unik, perairan Ikan pelagis kecil
menyebabkan terjadinya spesies layang berasal dari kegiatan rumah
percampuran massa air yang laut dalam dan air
(Decapterus macarellus tangga dan aktivitas perkapalan
Zona subduksi yang jernih, yang
mentransformasi dan Decapterus ijin pembuangan limbah (KLH,
memiliki struktur tidak terdapat di
karakteristik massa air macrosoma) kondisi 2009c), disebutkan bahwa pada
geologi berupa perairan lain di
Samudera Pasifik yang sudah fully exploited Gempa dan wilayah ini terdapat potensi
Indonesia. Pulau-
15 Laut Banda Busur Banda hingga taraf moderate. pencemaran yang berasal dari
dibawa oleh Arus Lintas pulau karang kecil di Tsunami
(Banda Arc). Ikan pelagis besar : kegiatan migas.
Indonesia menjadi Banda Busur Banda Luar
Spesies cakalang Jumlah total volume limbah yang
Sea Intermediate Water dan Busur Banda
Besar merupakan (Katsuwonus pelamis) masuk ke ekoregion ini adalah
(BSIW) atau dikenal juga masih taraf moderate 5.102 m3
karakteristik habitat di
sebagai Indonesian ekoregion ini. Spesies tuna mata besar
Intermediate Water (IIW). (Thunnus obesus) sudah
over exploited
xvii
Spesies madidihang
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
(Thunnus albacares)
xviii
sudah fully exploited
Spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate
Cumi-cumi juga (Loligo
spp) masih taraf
moderate.
Potensi sumberdaya
yang tidak terbarukan
adalah migas yang
terdapat di Seram Timur.
Kondisi pemanfaatan ikan :
Udang sudah over
exploited. pencemaran Ekoregion Laut 16
Ikan demersal masih taraf dapat berasal dari Provinsi
Zona subduksi moderate namun spesies Papua Barat (Kabupaten
memiliki satu lokasi peneluran utama tidak diketahui. Sorong dan Kabupaten
fenomena arus Halmahera
cekungan, dan terbesar untuk Ikan pelagis kecil juga Manowari) dan Provinsi Papua
Eddy, yang terbentuk akibat masih taraf (Kabupaten Sarmi, Kabupaten
Samudera Pasifik yaitu: spesies penyu belimbing
struktur batimetri dan moderatenamun spesies Gempa dan Jayapura, dan Kabupaten
16 Sebelah Utara Cekungan Ayu; (Dermochelys coreacea)
topografi Papua Utara tidak diketahui. Tsunami Keerom).
Papua dan satu parit, di dunia.
hingga Kepulauan Ikan pelagis besar antara pertanian transportasi perairan
yaitu Parit Ayu. terdapat enam jenis lain spesies madidihang laut penebangan hutan,
Halmahera
kima dari delapan jenis (Thunnus albacares), tuna pertambangan dan operasi
kima di dunia, mata besar (Thunnus pengolahan minyak bumi
obesus) sudah over Ilegal Fishing
exploited sedangkan Racun ikan (potassium)
spesies cakalang masih Pengeboman ikan
taraf moderate.
xvii
Potensi migas
Daftar Istilah
Aliran
genetik
Merupakan
transfer
alel
gen
dari
satu
populasi
ke
populasi
lainnya
(juga
dikenal
sebagai
migrasi
gen).
Migrasi
ke
dalam
atau
keluar
suatu
populasi
dapat
bertanggungjawab
terhadap
perubahan
frekuensi
alel
(proporsi
anggota
yang
membawa
varian
gen
tertentu).
Imigrasi
juga
dapat
menyebabkan
penambahan
varian
genetika
baru
ke
dalam
lungkang
gen
spesies
atau
populasi
tertentu
yang
telah
ada.
Anemon
Hewan
dari
tingkat
takson
Kelas
Anthozoa
yang
sekilas
terlihat
seperti
tumbuhan,
tapi
jika
diamati
lebih
jauh,
anemon
laut
merupakan
jenis
hewan.
Bentuk
tubuh
anemon
seperti
bunga,
sehingga
juga
disebut
mawar
laut.
Appendiks
1
Lampiran
1
dari
dokumen
CITES
(
Convention
on
International
Trade
in
Endangered
Spesies
of
Wild
Fauna
and
Flora)
yang
menunjukkan
tingkat
keterancaman
tinggi
bagi
satu
spesies.
Konvensi
ini
merupakan
upaya
internasional
melindungi
spesies
terancam
punah
melalui
regulasi
perdagangan
individu
spesies
maupun
bagian-bagiaannya.
Konvensi
mempunyai
tiga
apendiks
yang
memperlihatkan
tingkat
keterancaman
spesies
menuju
kepunahan.
Api-api
Nama
sekelompok
tumbuhan
bagian
dari
komunitas
hutan
mangrove,
dari
marga
Avicennia,
suku
Acanthaceae.
Api-api
memiliki
beberapa
ciri
yang
merupakan
bagian
dari
adaptasi
pada
lingkungan
berlumpur
dan
bergaram
di
antaranya
adalah
akar
napas
serupa
paku
yang
panjang
dan
rapat.
Daun-daun
dengan
kelenjar
garam
di
permukaan
bawahnya.
Biji
api-api
berkecambah
tatkala
buahnya
belum
gugur,
masih
melekat
di
rantingnya.
Nama
lain
api-api
di
beberapa
daerah
di
Indonesia
di
antaranya
adalah
mangi-mangi,
sia-sia,
boak,
koak,
marahu,
pejapi,
papi,
nyapi
dan
lain-lain.
Atol
Terumbu
karang
di
tengah
samudera
yang
terbentuk
karena
penurunan
dasar
pulau
dan/atau
kenaikan
muka
laut.
Atol
sering
juga
dinamakan
terumbu
karang
cincin
karena
rangkaian
pulau-pulau
yang
terbentuk
dapat
berupa
bulatan
yang
di
tengahnya
ada
goba
(lagoon)
yang
dalam.
Bahan
Berbahaya
dan
Bahan
yang
karena
sifat
dan
atau
konsentrasinya
dan
atau
jumlahnya,
baik
secara
Beracun
(B3)
langsung
maupun
tidak
langsung
dapat
mencemarkan
dan
atau
merusak
lingkungan
hidup,
dan
atau
dapat
membahayakan
lingkungan
hidup,
kesehatan,
kelangsungan
hidup
manusia
serta
makhluk
hidup
lainnya
Bakau
Sekelompok
tumbuhan
dari
genus
Rhizophora,
famili
Rhizophoraceae.
Tumbuhan
ini
memiliki
ciri-ciri
yang
menyolok
berupa
akar
tunjang
yang
besar
dan
berkayu,
pucuk
yang
tertutup
daun
penumpu
yang
meruncing,
serta
buah
yang
berkecambah
serta
berakar
ketika
masih
di
pohon
(vivipar).
Pohon
bakau
juga
memiliki
banyak
nama
lain
seperti
tancang,
tanjang,
tinjang,
bangko,
kawoka,
wako,
jangkar
dan
lain-lain.
Bentang
laut
Lokasi
atau
wilayah
laut
yang
mencerminkan
karakteristik
interaksi
alam
dan
manusia.
Bentang
laut
(seascape)
bukan
sekedar
pemandangan
dengan
berbagai
atribut
fisiknya,
tetapi
tampilan
visual
berupa
permukaan
yang
terlihat
tersebut
merupakan
cerminan
interaksi
manusia
dan
alam
yang
kompleks
dari
waktu
ke
waktu.
Atribut
fisik
dapat
berupa
pemandangan,
kondisi
alam
dan
warisan
sejarah
dengan
nilai-nilai
sosial
dan
ekonominya.
Billfish
Kelompok
ikan
yang
termasuk
ikan
yang
hidup
di
laut
lepas
(samudera)
termasuk
dalam
Famili
Istiophoridae
dan
Xiphiidae.
Ada
3
spesies
ikan
kelompok
ini:
Ikan
xxi
Setuhuk
Loreng
(Tetrapturus
audax),
Ikan
layar
(Istiphorus
orientalis)
dan
Ikan
Todak
(Xiphias
gladius).
Biota
asosiasi
Merupakan
kelompok
biota
yang
memiliki
hubungan
yang
erat
dan
berinteraksi
dengan
hewan/tumbuhan
inangnya
maupun
lingkungannya.
Blooming
plankton
Meningkatnya
jumlah
konsentrasi
phytoplankton
secara
berlebihan
di
suatu
perairan
disebabkan
oleh
meningkatnya
konsentarsi
zat
hara
di
perairan.
BOD
(Biological
Oxygen
Salah
satu
parameter
ukuran
tingkat
pencemar
organik
yang
diukur
dan
Demand)
menunjukkan
jumlah
oksigen
yang
dibutuhkan
untuk
mengurai
bahan
organik
secara
biologi
di
dalam
air
dalam
satuan
mg
O 2/l.
Burung
Air
Pesisir
Merupakan
burung
yang
telah
beradaptasi
dengan
kehidupan
lingkungan
pesisir.
Secara
umum,
burung
laut
hidup
lebih
lama,
lebih
lambat
berkembang
biak,
dan
memiliki
jumlah
anak
lebih
sedikit
dibanding
jenis
burung
lain.
Kebanyakan
spesies
membuat
sarang
dalam
koloni
mereka.
Beberapa
koloni
ada
yang
hanya
terdiri
dari
belasan
burung,
namun
ada
juga
yang
sampai
jutaan
burung.
Banyak
spesies
yang
melakukan
migrasi
tahunan.
Cekungan
Merupakan
cekungan
di
dasar
laut
yang
bentuknya
sama
dengan
danau
di
daratan.
Cetacea(n)
Kelompok
mamalia
laut
Ordo
Cetacea
yang
anggotanya
paus
dan
lumba-lumba.
Kedua
kelompok
hewan
ini
melahirkan
dan
menyusui
anaknya.
Citra
(satelit)
Kombinasi
antara
titik,
garis,
bidang,
dan
warna
untuk
menciptakan
suatu
imitasi
dari
suatu
obyekbiasanya
obyek
fisik
atau
manusia.
Citra
bisa
berwujud
gambar
(picture)
dua
dimensi,
seperti
lukisan,
foto,
dan
berwujud
tiga
dimensi,
seperti
patung.
COD
(Chemical
Oxygen
Salah
satu
parameter
pencemar
organic
yang
biasa
diukur
dan
menunjukkan
Demand)
jumlah
oksigen
yang
dibutuhkan
untuk
mengoksidasi
semua
bahan
organic
di
3
dalam
air
dalam
satuan
mg/l
atau
g/m .
Coelacanth
(ikan)
Nama
ordo
(bangsa)
ikan
yang
diperkirakan
sudah
punah
sejak
akhir
masa
Cretaceous
65
juta
tahun
yang
lalu
dan
ditemukan
kembali
untuk
pertama
kali
di
perairan
Pulau
Komoro,
Afrika
Timur
pada
tahun
1938.
Ikan
tersebut
diberi
nama
ilmiah
Latimeria
chalumnae.
Kemudian
pada
tahun
1998
ditemukan
ikan
sejenis
di
Pulau
Manado
Tua
,
Sulawesi
Utara
dan
diberi
nama
ilmiah
Latimeria
menadoensis.
Spesies
ini
oleh
masyarakat
dinamakan
ikan
raja
laut.
Cryptic
spesies
Spesies
hewan
laut
yang
sulit
dilihat
karena
tinggal
di
celah-celah
karang.
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
Suatu
wilayah
daratan
yang
merupakan
satu
kesatuan
dengan
sungai
dan
anak-
anak
sungainya,
yang
berfungsi
menampung,
menyimpan,
dan
mengalirkan
air
yang
berasal
dari
curah
hujan
ke
danau
atau
ke
laut
secara
alami,
yang
batas
di
darat
merupakan
pemisah
topografis
dan
batas
di
laut
sampai
dengan
daerah
perairan
yang
masih
terpengaruh
aktivitas
daratan
(PP
No.
26
tahun
2007
tentang
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Nasional).
Dampak
besar
Terjadinya
perubahan
negatif
fungsi
lingkungan
dalam
skala
yang
luas
dan
intensitas
lama
yang
diakibatkan
oleh
suatu
usaha
dan/atau
kegiatan.
Dataran
abisal
Adalah
dasar
laut
yang
luas
setelah
tebing
benua,
dan
mengarah
ke
laut
lepas,
merupakan
bagian
dari
paparan
benua,
dengan
kenampakan
topografi
yang
sangat
datar,
dan
kemungkinan
kawasan
ini
merupakan
tempat
yang
paling
datar
pada
permukaan
bumi.
Topografi
yang
datar
ini
kadang-kadang
di
selingi
dengan
puncak-puncak
gunung
bawah
laut
yang
tertimbun.
DDE
Senyawa
turunan
dari
DDT
akibat
proses
degradasi
di
lingkungan
dan
makhluk
hidup.
DDE
bersifat
sangat
bioakumulatif
dan
persisten
sehingga
merupakan
salah
satu
senyawa
POPs
yang
paling
sering
ditemukan
di
jaringan
tubuh
makhluk
hidup,
bersifat
karsinogen
dan
dilaporkan
sebagai
salah
satu
bahan
pencemar
yang
bertanggung
jawab
dalam
penurunan
populasi
burung.
DDT
Bahan
kimia
organik
anthropogenik
yang
telah
digunakan
sebagai
pestisida
dalam
xxii
xxiii
tersebut
sebenarnya
muncul
secara
alami,
tetapi
juga
dapat
ditimbulkan
oleh
akibat
aktivitas
manusia.
Gas
rumah
kaca
yang
paling
banyak
adalah
uap
air
yang
mencapai
atmosfer
akibat
penguapan
air
dari
laut,
danau
dan
sungai.
Sedangkan
gas
rumah
kaca
yang
terbesar
kedua
adalah
karbondioksida
yang
timbul
dari
proses
alami
seperti
letusan
gunung
api,
hasil
pernapasan
makhluk
hidup,
pembakaran
bahan
organic,
dsb.
Beberapa
gas
rumah
kaca
lainnya
diantaranya
adalah
metan,
nitrogen
oksida,
dsb.
Gempa
Peristiwa
alam
berupa
getaran
atau
gerakan
bergelombang
pada
kulit
bumi
yg
ditimbulkan
oleh
tenaga
asal
dalam.
Genetic
Drift
Perubahan
frekuensi
alel
dari
satu
generasi
ke
generasi
selanjutnya
yang
terjadi
karena
alel
pada
suatu
keturunan
merupakan
sampel
acak
(random
sample)
dari
orang
tuanya;
selain
itu
juga
terjadi
karena
peranan
probabilitas
dalam
penentuan
apakah
suatu
individu
akan
bertahan
hidup
dan
bereproduksi
atau
tidak.
Genotip
(genotipe)
Istilah
yang
dipakai
untuk
menyatakan
keadaan
genetik
dari
suatu
individu
atau
sekumpulan
individu
populasi.
Gorgonian
Merupakan
jenis
lamun
yang
berbentuk
seperti
kipas,
memiliki
nama
lokal
yaitu
Akar
Bahar.
Gosong
Merupakan
bentukan
daratan
yang
terkurung
atau
menjorok
pada
suatu
perairan,
biasanya
terbentuk
dari
pasir,
geluh,
dan
atau
kerikil.
Bentukan
geografi
ini
terjadi
akibat
adanya
aliran
dangkal
dan
sempit
sehingga
memungkinkan
pengendapan
material
ringan
dan
mengarah
pada
pendangkalan
tubuh
air.
Gosong
dapat
terbentuk
di
laut
maupun
danau.
Daerah
muara
dan
perairan
dangkal,
seperti
pantai-pantai
di
Laut
Jawa,
banyak
memiliki
gosong.
Habitat
Merupakan
tempat
hidup
suatu
organisme.
HCHs
Kelompok
senyawa
pencemar
organik
persisten
(POPs)
yang
digunakan
sebagai
(hexachlrocyclohexanes)
pestisida
dalam
pertanian/perkebunan,
dan
pembasmi
kutu
rambut
pada
hewan
dan
manusia.
Heavy
metal
Logam
yang
dikategorikan
sebagai
bahan
beracun.
Tidak
ada
definisi
yang
baku
mengenai
heavy
metal.
Beberapa
metal
yang
ringan
dan
metalloid
adalah
beracun
sehingga
disebut
juga
heavy
metal.
Tetapi
beberapa
heavy
metal
seperti
emas
adalah
tidak
beracun.
Sebagian
besar
heavy
metal
mempunyai
jumlah
nomor
atom
yang
tinggi,
berat
atom
dan
graffiti
khusus
lebih
dari
5.0.
Heavy
metals
termasuk
di
dalamnya
adalah
metalloid,
metal
transisi,
metal
dasar,
lantanide
dan
aktinida.
Ikan
Demersal
Ikan
yang
hidup
di
bagian
dasar
perairan.
Ikan
Indikator
Merupakan
spesies
ikan
di
ekosistem
terumbu
karang
yang
menjadi
indikator
kondisi
kesehatan
terumbu
karang
di
suatu
tempat
karena
adanya
keterkaitan
khusus
antara
keduanya.
Keterkaitan
ini
dapat
terlihat
dalam
hubungan
semakin
banyak
spesies
ikan
indikator,
semakin
baik
kondisi
terumbu
karangnya.
Ikan
Laut
Dalam
Merupakan
spesies
ikan
yang
hidup
di
laut
dalam
hingga
kedalaman
ratusan
sampai
ribuan
meter.
Ikan-ikan
ini
sangat
bernilai
karena
dipercaya
sangat
bermanfaat
bagi
kebugaran
tubuh
karena
mengandung
hormon
steroid.
Ikan
pelagis
Merupakan
spesies
ikan
yang
hidup
di
zona
pelagis
laut,
yaitu
zona
permukaan
laut.
Imposex
Gangguan
pada
gastropoda
atau
siput
laut
yang
disebabkan
oleh
pengaruh
racun
dari
bahan
pencemar
tertentu,
seperti
tributyltin
(TBT).
Senyawa
ini
dapat
menyebabkan
maskulinisasi
dimana
pada
siput
laut
betina
berkembang
organ
kelamin
jantan
seperti
penis
dan
vas
deferens
sehingga
menyebabkan
siput
ini
menjadi
mandul
atau
terganggu
proses
reproduksinya.
Intrusi
Intrusi
Air
Laut
merupakan
peristiwa
masuknya
air
asin
ke
dalam
aquifer
dalam
air
tanah,
peristiwa
ini
bisa
terjadi
oleh
beberapa
hal,
antara
lain
penggunaan
air
xxiv
tanah
yang
berlebihan,
perubahan
fungsi
lahan
dan
penebangan
hutan
bakau.
Salah
satu
dampak
negatif
dari
terjadinya
intrusi
air
laut
adalah
menimbulkan
perubahan
kualitas
air
tanah,
sehingga
air
tanah
tidak
dapat
digunakan
sebagai
air
baku.
Invertebrata
Merupakan
semua
organisme
yang
tidak
memiliki
susunan
tulang
belakang.
Karakteristik
pantai
Jati
diri/cirri
khas
yang
dimiliki
di
sepanjang
daerah
pasang
surut
antara
pasang
tertinggi
dan
surut
terendah
muka
air
laut
Karsinogenik
Bahan
kimia
yang
dapat
mencetuskan
terjadinya
kanker
pada
makhluk
hidup.
Kemosintesis
Merupakan
proses
pembentukan
suatu
senyawa
kimia
(alami
maupun
tidak
alami)
dengan
menggunakan
atau
memanfaatkan
sumber
energi
kimiawi
(senyawa
kimia).
Kerentanan
Peka/mudah
menghasilkan
akibat
yang
tidak
dapat
diduga.
KMA
kelas
I
Kriteria
air
yang
dapat
digunakan
untuk
air
baku
air
minum,
dan
atau
peruntukan
lain
yang
mempersyaratkan
mutu
air
yang
sama
dengan
kegunaan
tersebut
berdasarkan
PP
82/2001.
KMA
kelas
II
Kriteria
air
yang
peruntukkannya
dapat
digunakan
untuk
prasarana/sarana
rekreasi
air,
budidaya
ikan
air
tawar,
peternakan,
air
untuk
mengairi
pertamanan,
dan
atau
peruntukan
lain
yang
mempersyaratkan
mutu
air
yang
sama
dengan
kegunaan
tersebut
berdasarkan
PP
82/2001.
Kolonisasi
laut
Merupakan
proses
pembentukan
kelompok-kelompok
individu
yang
terjadi
di
wilayah
perairan
laut.
Komunitas
Merupakan
kumpulan
dari
beberapa
populasi
organisme
yang
menempati
ruang
dan
waktu
tertentu.
Konektivitas
Merupakan
hubungan
keterkaitan
antara
2
organisme
baik
secara
mikro
(tingkat
gen)
maupun
makro
(tingkat
individu).
Koridor
Mengacu
pada
jalur.
Langka
Merupakan
suatu
kondisi
dimana
suatu
spesies
sudah
jarang
ditemukan
secara
alami
di
habitatnya
Larva
Merupakan
suatu
fase
pertumbuhan
mahluk
hidup
sebelum
menjadi
juvenile
(muda)
dan
mature
(dewasa).
Lereng
benua
Merupakan
kelanjutan
dari
continental
shelf
dengan
kemiringan
antara
4
%
sampai
6
%.
Kedalaman
lereng
benua
lebih
dari
200
meter.
Longsor
Gugur
dan
meluncur
ke
bawah
(tt
tanah)
Mangrove
Merupakan
semua
kelompok
tumbuhan
yang
teradaptasi
oleh
lingkungan
pesisir
termasuk
didalamnya
bakau
dan
tumbuhan
asosiasi
lainnya.
Manta
Merupakan
spesies
ikan
pari
terbesar
dari
famili
Mobulidae.
Ukuran
panjang
maksimal
yang
pernah
ditemukan
adalah
670
cm
(22
kaki).
Massive
Bersifat
padat.
Migrasi
Merupakan
proses
perpindahan
suatu
organisme
atau
kelompok
organisme
dari
satu
wilayah
ke
wilayah
lain.
Perpindahan
ini
dalam
usaha
mempertahankan
kehidupannya,
atau
untuk
mencari
sumber
cadangan
makanan
yang
baru,
atau
untuk
menghindari
kelangkaan
makanan
yang
mungkin
terjadi
karena
datangnya
musim
dingin,
atau
karena
overpopulasi.
Mintakat
abisal
Mintakat
dasar
laut
pada
kedalaman
antara
2000
5000
m;
merupakan
unit
ekologis
dasar
laut
paling
luas.
Morfologi
dasar
laut
Gambaran
dasar
laut,
umumnya
berkaitan
dengan
proses-proses
geologi
dari
pembentukan
dan
perkembangannya
baik
secara
sendiri-sendiri
maupun
secara
kelompok.
Mushroom
(Bentuknya)
menyerupai
jamur.
Mutagenik
Bahan
kimia
yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya
mutasi
pada
DNA.
Mutasi
Genetik
Merupakan
proses
yang
terjadi
pada
bahan
atau
susunan
materi
genetik
(DNA
maupun
RNA),
baik
pada
taraf
urutan
gen
(disebut
mutasi
titik)
maupun
pada
xxv
xxvi
sifat
laut
seperti
pasang
surut,
angin
laut,
dan
perembesan
air
asin;
sedangkan
ke
arah
laut
meliputi
bagian
laut
yang
masih
dipengaruhi
oleh
proses-proses
alami
yang
terjadi
di
darat
seperti
sedimentasi
dan
aliran
air
tawar,
maupun
yang
disebabkan
oleh
kegiatan
manusia
di
darat
seperti
penggundulan
hutan
dan
pencemaran
Pigmy
seahorse
Spesies
ikan
kuda
laut
berukuran
kecil
(Hippocampus
denise)
yang
termasuk
dalam
Famili
Syngnathidae.
Ikan
ini
keberadaannya
jarang
dan
dilaporkan
ditemukan
di
Selat
Lembeh
dan
perairan
Raja
Ampat.
Plasma
Nutfah
Merupakan
substansi
pembawa
sifat
keturunan
yang
dapat
berupa
organ
utuh
atau
bagian
dari
tumbuhan
atau
hewan
serta
mikroorganisme.
Plasma
nutfah
merupakan
kekayaan
alam
yang
sangat
berharga
bagi
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
untuk
mendukung
pembangunan
nasional.
Plato
Dataran
tinggi
yg
luas
dengan
lembah
dan
bukit
di
sana-sini
akibat
pengikisan.
Populasi
Merupakan
kumpulan
dari
beberapa
individu
dari
beberapa
spesies
yang
menempati
ruang
dan
waktu
tertentu.
Potensi
tumbukan
lempeng
Kemampuan/kekuatan/kesanggupan/
daya
yang
mempunyai
kemungkinan
untuk
dikembangkan
saat
terjadi
tumbukan
lempeng.
Rawan
Mudah
menimbulkan
gangguan
keamanan
atau
bahaya;
gawat.
Red
tide
Istilah
umum
yang
digunakan
untuk
menyatakan
blooming
alga
(meningkatnya
konsentrasi
mikroorganisme
perairan)
khususnya
spesies
tertentu
dari
dinoflagelata
dimana
blooming
ini
menyebabkan
warna
perairan
nampak
merah.
Relief
Perbedaan
ketinggian
pada
bagian
permukaan
bumi.
Remote
Sensing
Merupakan
ilmu
dan
seni
untuk
memperoleh
informasi
tentang
suatu
objek
daerah,
atau
fenomena
melalui
analisis
data
yang
diperoleh
dengan
suatu
alat
tanpa
kontak
langsung
dengan
objek,
daerah,
atau
fenomena
yang
dikaji
yang
memanfaatkan
energi
yang
berasal
dari
gelombang
elektromagnetik
dan
mewujudkan
hasil
perekaman
tersebut
dalam
bentuk
citra.
Sedimentasi
Merupakan
suatu
proses
pengendapan
material
yang
ditransport
oleh
media
air,
angin,
es,
atau
gletser
di
suatu
cekungan.
Delta
yang
terdapat
di
mulut-mulut
sungai
adalah
hasil
dan
proses
pengendapan
material-material
yang
diangkut
oleh
air
sungai,
sedangkan
bukit
pasir
(sand
dunes)
yang
terdapat
di
gurun
dan
di
tepi
pantai
adalah
pengendapan
dari
material-material
yang
diangkut
oleh
angin.
Selective
Breeding
Merupakan
proses
penangkaran
tumbuhan
atau
hewan
untuk
suatu
sifat
genetik
tertentu
melalui
seleksi
secara
bertahap
dan
sistematik.
Penangkaran
selektif
telah
sangat
lama
diterapkan
dan
merupakan
bagian
dari
program
pemuliaan
klasik.
Beberapa
cara
seleksi
yang
digunakan
antara
lain
seleksi
individu/spesies,
seleksi
famili
(baik
dalam
famili
maupun
antarfamili),
atau
kombinasi
keduanya.
Hingga
kini
selective
breeding
masih
tetap
diterapkan,
baik
sebagai
awal
pelaksanaan
suatu
program
pemuliaan
maupun
sebagai
tahap
lanjutan
dari
suatu
program
bioteknologi
sebagai
cara
untuk
menguji
kestabilan
ekspresi
gen
yang
direkayasa.
Di
Indonesia
sendiri,
pengembangan
selektif
ini
telah
diterapkan
pada
ikan
nila
yang
digarap
secara
serius
sejak
tahun
2002.
Sensus
Visual
Merupakan
suatu
metode
yang
digunakan
untuk
mengamati
kelimpahan
spesies
(contoh:
ikan)
di
suatu
ekosistem
dengan
menggunakan
pengamatan
mata
pada
objek
yang
menjadi
terget.
Metode
ini
sangat
sering
dan
umum
digunakan
untuk
mengamati
kelimpahan
ikan
di
ekosistem
terumbu
karang
dengan
menggunakan
alat
selam
(skuba).
Sero
Merupakan
salah
satu
alat
tangkap
ikan
yang
bersifat
menetap
dan
berfungsi
sebagai
perangkap
ikan
dan
biasanya
dioperasikan
di
perairan
pantai.
Ikan
yang
telah
masuk
ke
dalam
kantong
umumnya
akan
mengalami
kesulitan
u ntuk
keluar
lagi
sehingga
ikan
tersebut
akan
mudah
untuk
ditangkap
dengan
cara
mengangkat
jaring
kantong.
Satu
unit
set
net
terdiri
dari
beberapa
bagian
yakni
xxvii
penaju
(leader
net),
serambi
(trap/play
ground),
ijeb-ijeb
(entrance)
dan
kantong
(bag/crib).
Sistematik
Mengacu
pada
kondisi
yang
tersusun
secara
rapi,
jelas
dan
terfokus.
Spesies
Merupakan
suatu
tingkat
takson
yang
dipakai
dalam
taksonomi
untuk
menunjuk
pada
satu
atau
beberapa
kelompok
individu
(populasi)
yang
serupa
dan
dapat
saling
membuahi
satu
sama
lain
di
dalam
kelompoknya
(saling
membagi
gen)
namun
tidak
dapat
dengan
anggota
kelompok
yang
lain.
Anggota-anggota
dalam
suatu
spesies
jika
saling
berkawin
dapat
menghasilkan
keturunan
yang
fertil
tanpa
hambatan
reproduktif.
Dapat
terjadi,
sejumlah
kelompok
dalam
suatu
spesies
tidak
saling
berkawin
karena
hambatan
geografis
namun
bila
dipertemukan
dan
dikawinkan
dapat
menghasilkan
keturunan
fertil.
Dua
spesies
yang
berbeda
jika
saling
berkawin
akan
menghadapi
masalah
hambatan
biologis;
apabila
menghasilkan
keturunan
yang
sehat,
keturunan
ini
biasanya
steril/mandul.
Sponges
Merupakan
hewan
dari
filum
Porifera.
Tubuh
mereka
terdiri
dari
jelly,
terjepit
di
antara
dua
lapisan
tipis
sel.
Sementara
semua
hewan
memiliki
sel
terspesialisasi
yang
dapat
berubah
menjadi
sel-sel
khusus,
spons
yang
unik
memiliki
beberapa
sel-sel
khusus
yang
dapat
berubah
menjadi
jenis
lain
yang
sering
bermigrasi
antara
lapisan
sel
utama.
Spons
tidak
memiliki
saraf,
pencernaan
atau
sistem
peredaran
darah.
Sebaliknya,
sebagian
besar
mengandalkan
mempertahankan
aliran
air
konstan
melalui
badan
mereka
untuk
mendapatkan
makanan
dan
oksigen
dan
untuk
menghilangkan
limbah.
Bentuk
tubuh
mereka
yang
teradaptasi
untuk
memaksimalkan
efisiensi
dari
aliran
air.
Status
genting
Status
keterancaman
suatu
spesies
yang
tercantum
dalam
apendiks
dokumen
CITES
yang
berada
pada
status
genting
terancam
kepunahan
karena
eksploitasi
dan
kegiatan
manusia
lainnya
(near
threatened).
Status
kritis
Status
keterancaman
suatu
spesies
yang
tercantum
dalam
apendiks
dokumen
CITES
yang
berada
pada
status
kritis
terancam
kepunahan
karena
eksploitasi
dan
kegiatan
manusia
lainnya
(endangered).
Suksesi
Merupakan
suatu
proses
perubahan
yang
berlangsung
satu
arah
secara
teratur
yang
terjadi
pada
suatu
komunitas
biologis
dalam
jangka
waktu
tertentu
hingga
terbentuk
komunitas
baru
yang
berbeda
dengan
komunitas
semula.
Dengan
perkataan
lain.
suksesi
dapat
diartikan
sebagai
perkembangan
ekosistem
tidak
seimbang
menuju
ekosistem
seimbang.
Suksesi
terjadi
sebagai
akibat
modifikasi
lingkungan
fisik
dalam
komunitas
atau
ekosistem.
Proses
suksesi
berakhir
dengan
sebuah
ekosistem
klimaks
atau
telah
tercapai
keadaan
seimbang
( homeostasis).
Taksonomi
Merupakan
cabang
ilmu
biologi
yang
mempelajari
tentang
penggolongan
atau
sistematika
makhluk
hidup.
Sistem
yang
dipakai
adalah
penamaan
dengan
dua
sebutan,
yang
dikenal
sebagai
tata
nama
binomial
atau
binomial
nomenclature,
yang
diusulkan
oleh
Carl
von
Linne
(Latin:
Carolus
Linnaeus),
seorang
naturalis
berkebangsaan
Swedia.
Secara
umum,
taksonomi
diartikan
sebagai
pengelompokan
suatu
hal
berdasarkan
hierarki
(tingkatan)
tertentu.
Di
mana
taksonomi
yang
lebih
tinggi
bersifat
lebih
umum
dan
taksonomi
yang
lebih
rendah
bersifat
lebih
spesifik.
Teratogenik
Bahan
kimia
yang
dapat
mengakibatkan
cacat
bawaan
pada
embrio.
Terestrial
Merupakan
sifat
yang
terkait
dengan
tanah
atau
permukaan
tanah
(terra,
tanah).
Sebagai
contoh,
hewan
terestrial
adalah
hewan-hewan
yang
biasa
berkeliaran
di
atas
tanah,
seperti
harimau,
biawak
dan
lain-lain.
Tumbuhan
terestrial
adalah
tumbuhan
yang
hidup
di
permukaan
tanah,
seperti
kebanyakan
jenis
tanaman
serta
pohon.
Terumbu
karang
Terumbu
karang
yang
tumbuh
di
tengah
laut
yang
dipisah
dengan
pulau
oleh
penghalang
goba
yang
dalam
(barrier
reef).
xxviii
Terumbu
karang
tepi
Terumbu
karang
yang
tumbuh
di
tepi
pulau
(fringing
reefs).
Tributyltin
(TBT)
Bahan
kimia
organic
anthropogenic
yang
telah
digunakan
sebagai
bahan
aktif
dalam
cat
antifouling
pada
kapal
dan
jarring
akuakultur
untuk
mencegah
timbulnya
organism
penempel,
bersifat
sangat
beracun
dan
telah
menimbulkan
peristiwa
pemandulan
pada
gastropoda
di
laut
atau
biasa
disebut
imposex,
sehingga
menggangu
proses
reproduksi.
Tsunami
Gelombang
laut
pasang
yang
dahsyat
dan
berkecepatan
tinggi
yang
terjadi
karena
gempa
bumi,
letusan
gunung
berapi,
atau
longsoran
di
dasar
laut.
Tutupan
karang
Merupakan
luasan
area
yang
tertutup
oleh
berbagai
jenis
karang
yang
pada
umumnya
membentuk
terumbu
karang.
Luasan
tersebut
biasanya
dinyatakan
dalam
satuan
persen.
Upwelling
Merupakan
suatu
proses
penaikan
massa
air
laut
dari
bawah
menuju
kepermukaan
laut
yang
menyebabkan
terjadinya
mekanisme
pemupukan
air
laut
secara
alami
karena
zat-zat
hara
yang
terendapkan
di
dasar
laut
naik
dan
menyebabkan
akumulasi
plankton
pada
bagian
permukaan.
Vertebrata
Merupakan
semua
organisme
yang
memiliki
susunan
tulang
belakang
yang
disebut
dengan
vertebra.
Vu
(vulnerable)
Tingkat
keterancaman
suatu
biota
yang
dicantumkan
dalam
apendiks
dokumen
CITES.
Walking
shark
Spesies
ikan
hiu
berukuran
kecil
termasuk
Famili
Hemiscyllidae.
Ikan
ini
penghuni
perairan
terumbu
karang
dan
sebagaian
besar
waktunya
berada
di
dasar
perairan.
Bentuknya
yang
khas
dengan
sirip
dada
yang
relatif
kecil
dan
gerakannya
mirip
berjalan
di
dasar
perairan.
Zoanthiads
Merupakan
sebuah
ordo
dari
kelompok
Cnidaria
yang
secara
umum
dapat
ditemukan
di
terumbu
karang,
laut
dalam,
dan
di
banyak
lingkungan
laut
lainnya
di
penjuru
dunia.
Hewan
ini
terdapat
dalam
berbagai
formasi
kolonial
yang
berbeda
dan
dalam
berbagai
warna.
Mereka
dapat
ditemukan
sebagai
polip
individu,
melekat
pada
stolon
berdaging
atau
substrat
yang
dapat
terbuat
dari
potongan-potongan
kecil
sedimen,
pasir
dan
batu.
Istilah
zoanthid
mengacu
pada
semua
hewan
dalam
kelompok
Zoantharia,
dan
tidak
harus
bingung
dengan
Zoanthus,
yang
merupakan
salah
satu
genus
dalam
Zoantharia.
Zona
subduksi
Ruang
yang
penggunaannya
disepakati
bersama
antara
berbagai
pemangku
kepentingan
dan
telah
ditetapkan
status
hukumnya
terjadi
subduksi.
xxix
Daftar Singkatan
BOD
Biological
Oxygen
Demand
BSIW
Banda
Sea
Intermediate
Water
xxx
Daftar Isi
Pendahuluan ............................................................................................................................................................ 1
xxxii
Ekoregion Laut 13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone ........................................................ 131
xxxiii
Pendahuluan
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
mengamanatkan
bahwa
penyelenggaraan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dilakukan
melalui
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan,
pengawasan
dan
penegakan
hukum.
Perencanaan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dimaksudkan
untuk
memadukan
pengelolaan
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
hidup
sebagai
suatu
kebijakan
yang
utuh,
terpadu
dan
komperhensif
yang
selanjutnya
menjadi
acuan
untuk
pengendalian
kerusakan
lingkungan
dan
pencemaran
serta
arahan
pemanfaatan
sumberdaya
alam.
Tahapan
yang
dilakukan
dalam
perencanaan
tersebut
terdiri
dari
inventarisasi
lingkungan
hidup,
penetapan
wilayah
ekoregion,
dan
penyusunan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(RPPLH)
dan
selanjutnya
diartikan
sebagai
perencanaan
tertulis
yang
memuat
potensi,
masalah
lingkungan
hidup,
dan
upaya
perlindungan
dan
pengelolaannya
dalam
kurun
waktu
tertentu.
Proses
inventarisasi,
penetapan
ekoregion
dan
penyusunan
RPPLH
Berdasarkan
hal
di
atas,
maka
penetapan
ekoregion
akan
menghasilkan
batas
(boundary)
sebagai
satuan
unit
analisis
yang
menjadi
dasar
dan
memiliki
peran
yang
sangat
penting
dalam
melaksanakan
inventarisasi
lingkungan
hidup,
menentukan
daya
dukung
dan
daya
tampung
lingkungan
serta
mengelola
keterkaitan,
interaksi,
interdependensi
dan
dinamika
pemanfaatan
dan
kondisi
berbagai
sumberdaya
alam
di
wilayah
ekoregion
tersebut
untuk
menyusun
RPPLH.
Dalam
UU
nomor
32
tahun
2009,
ekoregion
didefinisikan
sebagai
wilayah
geografis
yang
memiliki
kesamaan
ciri
iklim,
tanah,
air,
flora,
dan
fauna
asli,
serta
pola
interaksi
manusia
dengan
alam
yang
menggambarkan
integritas
sistem
alam
dan
lingkungan
hidup.
Disamping
itu,
ekoregion
merupakan
geografi
ekosistem
yang
mempunyai
pola
susunan
berbagai
ekosistem
dan
proses
di
antara
ekosistem
tersebut
yang
terikat
dalam
suatu
satuan
geografis.
Sesuai
dengan
definisi
tersebut,
maka
penetapan
batas
ekoregion
tidak
berdasarkan
pada
batas
wilayah
administrasi.
Terkait
dengan
wilayah
laut,
maka
Spalding
et
al.
(2007)
mendefinisikan
ekoregion
laut
sebagai
wilayah
perairan
laut
dengan
komposisi
spesies
yang
relatif
homogen,
yang
jelas
berbeda
dari
sistem
yang
berdekatan.
Faktor
pembeda
dalam
mendefinisikan
ekoregion
laut
bervariasi
dari
lokasi
ke
lokasi
termasuk
tingkat
isolasi,
upwelling,
masukan
nutrien,
pengaruh
air
tawar,
rezim
suhu,
morfostruktur,
sedimen,
arus,
dan
kompleksitas
batimetri
atau
tipe
pantai.
2
|pendahuluan
Memperhatikan
data
dan
informasi
yang
disajikan
dalam
Peta
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
Indonesia
(NKRI)
dari
Badan
Informasi
Geospasial,
Indonesia
adalah
negara
kepulauan
terbesar
di
dunia
dengan
jumlah
2 2
pulau
13.466,
luas
daratan
1.922.570
km
dan
luas
perairan
6.376.744
km .
Oleh
karena
itu,
dalam
penetapan
wilayah
ekoregion
memperhatikan
cakupan
wilayah
darat
dan
laut.
Buku
ekoregion
laut
ini
merupakan
seri
kedua
sebagai
lanjutan
dari
buku
pertama
tentang
ekoregion
pulau.
Penyusunan
ekoregion
laut
ini
merupakan
hasil
kerjasama
Kementerian
Lingkungan
Hidup
dengan
Badan
Informasi
Geospasial
dan
didukung
oleh
para
ahli
kelautan
dan
perikanan
dari
kementerian/lembaga,
perguruan
tinggi,
dan
lembaga
swadaya
masyarakat.
Penetapan
ekoregion
tersebut
dilaksanakan
oleh
Menteri
Lingkungan
Hidup
setelah
berkoordinasi
dengan
intansi
terkait.
Penyusunan
dokumen
ini
bertujuan
agar
ekoregion
laut
dapat
digunakan
sebagai:
1. Unit
analisis
dalam
menetapkan
daya
dukung
dan
daya
tampung
lingkungan,
2. Dasar
dalam
memberikan
arah
untuk
penetapan
RPPLH
dan
merencanakan
pembangunan
yang
disesuaikan
dengan
karakter
wilayah,
3. Memperkuat
kerjasama
dalam
pengelolaan
dan
perlindungan
lingkungan
hidup
yang
mengandung
persoalan
pemanfaatan,
pencadangan
sumber
daya
alam
maupun
permasalahan
lingkungan
hidup
yang
sifatnya
lintas
batas
administrasi,
4. Acuan
untuk
pengendalian
dan
pelestarian
jasa
ekosistem/lingkungan
yang
mempertimbangkan
keterkaitan
antar
ekosistem
yang
satu
dengan
ekosistem
yang
lain
dalam
suatu
ekoregion,
sehingga
dapat
dicapai
produktivitas
optimal
untuk
mendukung
pembangunan
yang
berkelanjutan.
Secara
geografis,
Indonesia
terletak
pada
posisi
antara
608
Lintang
Utara
dan
1115
Lintang
Selatan,
dan
antara
9445
Bujur
Timur
dan
14105
Bujur
Timur.
Indonesia
merupakan
negara
kepulauan
terbesar
di
dunia
dengan
13.466
pulau
dan
garis
pantai
sepanjang
95.181
km,
membentang
dari
Barat
ke
Timur
sepanjang
5.120
2
km
serta
dari
Utara
ke
Selatan
sepanjang
1.760
km.
Luas
seluruh
wilayah
Indonesia
sekitar
7,73
juta
km ,
terdiri
2 2 2
dari
1,93
juta
km
wilayah
dataran,
3,1
juta
km
perairan
teritorial,
dan
2,7
juta
km
Zona
Economi
Eksklusif
(ZEE).
Negara
kepulauan
Indonesia
yang
dikenal
sebagai
Nusantara
terletak
di
antara
dua
samudera
besar,
yakni
Samudera
Hindia
di
tenggara
hingga
barat
Nusantara,
dan
Samudera
Pasifik
di
timurlaut
hingga
timur
Nusantara.
Sementara
itu
di
utara
Nusantara
berbatasan
dengan
Laut
China
Selatan.
Nusantara
ini
dilalui
oleh
garis
khatulistiwa
(ekuator)
dan
dipadu
dengan
kondisi
batimetrinya
yang
kompleks,
menjadikan
fenomena
interaksi
laut
dan
atmosfer
di
Indonesia
adalah
sangat
unik
dan
dinamis.
Perbedaan
tekanan
permukaan
laut
yang
besar
dari
Samudera
Hindia
dan
Pasifik
merupakan
penggerak
utama
dari
sirkulasi
arus
atau
massa
air
di
Laut
Nusantara.
Dinamika
pasang
surut
(pasut)
sangat
dipengaruhi
oleh
periodisitas
bulan,
matahari
dan
efek
rotasi
bumi.
Secara
umum
ada
empat
tipe
pasut
di
Laut
Nusantara,
yakni
pasang
surut
diurnal,
semidiurnal,
campuran
cenderung
diurnal,
dan
campuran
cenderung
semi
diurnal.
Sirkulasi
arus
atau
massa
air
utama
berasal
dari
Samudera
Pasifik
yang
masuk
ke
Laut
Nusantara
melalui
Selat
Lifamatola,
Laut
Sulawesi
dan
Selat
Makassar
di
Utara,
dan
keluar
melalui
Selat
Lombok,
Selat
Ombai,
Laut
Sawu
dan
Laut
Timor
di
Selatan
(Gordon
et
al.,
2010).
Massa
air
Samudera
Pasifik
bagian
utara
disinyalir
masuk
ke
Laut
Nusantara
setelah
melewati
Laut
China
Selatan
dan
Selat
Karimata.
Sirkulasi
tersebut
menjadikan
wilayah
ini
menjadi
sangat
subur
dengan
banyaknya
daerah
upwelling
dan
kelimpahan
klorofil
yang
tinggi.
Kondisi
batimetri
Laut
Nusantara
secara
umum
digambarkan
kedalam
dua
paparan
besar
yang
terbentuk
akibat
tumbukan
antara
Lempeng
Samudera
Hindia-Australia
dengan
Lempeng
Eurasia-Pasifik.
Kedua
paparan
tersebut
adalah
Paparan
Sunda
dan
Paparan
Sahul.
Paparan
Sunda
meliputi
pulau-pulau
seperti
Sumatera,
Kalimantan,
Jawa
yang
dicirikan
sebagai
perairan
yang
dangkal
dengan
kedalaman
kurang
dari
200
m.
Paparan
Sahul
sebagian
besar
merupakan
wilayah
timur
Indonesia
seperti
Sulawesi,
Ambon,
dan
Papua
yang
dicirikan
dengan
kedalaman
lebih
dari
200
m.
Diantara
dua
paparan
tersebut
dijumpai
palung-palung
laut
yang
sangat
dalam
yaitu
palung
Laut
Banda
(sekitar
7.440
m)
dan
palung
Laut
Sulawesi
(6.220
m).
Kondisi
ini
berpadukan
dengan
kondisi
geomorfologi
pantai
yang
beragam
memberikan
berbagai
potensi
pemanfaatan
maupun
kerentanan
pesisir.
Kerentanan
pesisir
dapat
diakibatkan
oleh
bencana
geologi
dan
geodinamika,
serta
akibat
variabilitas
dan
perubahan
iklim-laut.
Variabilitas
dan
perubahan
iklim
di
Laut
Nusantara
banyak
dipengaruhi
oleh
variasi
periodik
seperti
Madden
Julian
Oscillation
(MJO)
dari
Pusat
Samudera
Hindia
dan
El
Nino
Southern
Oscillation
(ENSO)
dari
Pusat
Samudera
Pasifik,
variasi
non
periodik
seperti
Indian
Ocean
Dipole
Mode
(IOD),
dan
juga
oleh
sistem
Monsun
(Aldrian
dan
Susanto,
2003;
Black
et
al.,
2003;
Wheeler
dan
McBride,
2005).
Dengan
berbagai
kondisi
lingkungan
strategis
seperti
yang
dipaparkan
di
atas,
Indonesia
dikaruniai
keanekaragaman
hayati
laut
yang
tinggi
serta
sumberdaya
pesisir
dan
lautan
yang
melimpah.
Beberapa
sumberdaya
hayati
laut
yang
penting
diantaranya
ekosistem
terumbu
karang,
padang
lamun,
dan
mangrove
(Dahuri,
2003).
pasut
air
laut.
Istilah
lain
yang
juga
melengkapi
definisi
di
atas
adalah
komunitas
tumbuhan
pantai
tropis
yang
didominasi
oleh
pohon
dan
semak
yang
tumbuh
pada
perairan
asin
(Nontji,
2007).
Jadi
ekosistem
mangrove
adalah
sistem
hubungan
timbal
balik
antara
berbagai
biota
dan
antara
biota
dan
lingkungannya
yang
ada
di
suatu
hutan
mangrove
tertentu.
Saat
ini
luas
mangrove
Indonesia
diperkirakan
sekitar
4,25
juta
ha
dengan
lokasi
dominan
di
pesisir
timur
Sumatera,
pesisir
Kalimantan,
dan
pesisir
selatan
Papua.
Luasan
tersebut
mencakup
19%
dari
luas
mangrove
di
dunia,
melebihi
luas
mangrove
Australia
(10%)
dan
Brasil
(7%)
(KLH,
2008).
Mangrove
di
Indonesia
dikenal
mempunyai
keragaman
jenis
yang
tinggi,
seluruhnya
tercatat
sebanyak
89
jenis,
dimana
35
jenis
diantaranya
berupa
pohon
(Nontji,
2007).
Namun
demikian,
luasan
mangrove
Indonesia
terus
berkurang
dari
tahun
ke
tahun.
Konversi
mangrove
menjadi
lahan
tambak
terus
meningkat
sejak
terjadinya
krisis
ekonomi
pada
tahun
1998.
Pembukaan
pemukiman
baru
di
wilayah
pesisir
dan
pengambilan
kayu
mangrove
juga
memicu
degradasi
ekosistem
mangrove
di
Indonesia.
Kerusakan
mangrove
di
pesisir
utara
sudah
sangat
parah
terutama
dikonversi
menjadi
tambak
dan
menghilangkan
lebih
dari
90%
mangrove
yang
pernah
ada
(Tirtakusumah,
1994).
Wilayah
Laut
Nusantara
juga
merupakan
lintasan
utama
berbagai
macam
kapal
laut,
mulai
dari
kapal
niaga,
kapal
tanker,
kapal
ikan,
sampai
dengan
kapal
perang
yang
berlayar
baik
melalui
Selat
Malaka
maupun
tiga
Alur
Laut
Kepulauan
Indonesia
(ALKI).
Lebih
dari
40%
total
barang
dan
komoditas
perdagangan
antar
bangsa
di
dunia
dengan
nilai
US$
1.500
triliun/tahun
diangkut
oleh
kapal-kapal
niaga
melalui
laut
Indonesia
(Dahuri,
2003).
Lamun
(seagrass)
adalah
tumbuhan
tinggi
yang
sudah
sepenuhnya
menyesuaikan
diri
hidup
terbenam
di
dalam
laut.
Tumbuhan
ini
mempunyai
batang
yang
tumbuh
mendatar
dan
terbenam
di
dasar
perairan
dan
disebut
rhizome
atau
rimpang.
Lamun
tumbuh
subur
terutama
di
daerah
terbuka
pasang
surut
dan
perairan
pantai
atau
goba
yang
dasarnya
berupa
lumpur,
pasir,
kerikil,
dan
patahan
karang
mati,
dengan
kedalaman
sampai
dengan
4
meter.
Dalam
perairan
yang
sangat
jernih,
beberapa
jenis
lamun
bahkan
ditemukan
tumbuh
sampai
kedalaman
8
15
meter
dan
40
meter
(Den
Hartog,
1970;
dan
Allen,
1993).
Padang
lamun
dengan
vegetasi
campuran
(atas)
dan
monospesifik
(bawah)
(Foto:
Trismades)
Lokasi
penelitian
lamun
dan
keberadaannya
di
Indonesia
(Kiswara
et
al.,
2011)
Dari
20
jenis
lamun
yang
dijumpai
di
perairan
Asia
Tenggara,
paling
sedikit
13
jenis
lamun
yang
dijumpai
di
perairan
di
Indonesia
(Soegiarto
dan
Polunin,
1981;
Kiswara
dan
Hutomo,
1985;
Kuriandewa
et
al.,
2003).
Padang
lamun
tersebar
luas
di
perairan
Indonesia
mulai
dari
Pulau
Weh
sampai
pantai
utara
Papua
di
Samudera
Pasifik.
Fungsi
terumbu
karang
dalam
pendukung
kehidupan
dan
sebagai
pelindung
alami
dari
gelombang
lautan
(gambar:
change.nature.org)
Ekoregion
laut
disusun
dalam
beberapa
tahapan
yang
melibatkan
para
pakar
dari
kementerian/lembaga
pemerintah,
perguruan
tinggi
dan
lembaga
swadaya
masyarakat
(LSM)
yang
folus
pada
isu
pengelolaan
lingkungan
hidup
di
Indonesia.
Secara
umum,
penyusunan
ekoregion
laut
ini
dilakukan
melalui
proses
pertemuan
tim
penyusun
dan
pertemuan
pakar
melalui
diskusi
kelompok
terfokus.
Pada
prinsipnya
fungsi
dari
tim
penyusun
ini
adalah
sebagai
kelompok
kerja
yang
bertugas
terhadap
segala
sesuatu
yang
bersifat
teknis,
baik
dari
aspek
pemetaan
maupun
dari
aspek
deskripsi.
Tim
penyusun
didukung
oleh
kelompok
kerja
bidang
Sistem
Informasi
Geografi
untuk
aspek
pemetaan.
Sedangkan
para
pakar
bertugas
memberi
masukan,
baik
untuk
aspek
pemetaan
maupun
aspek
deskripsi.
1. Pengumpulan
data:
Data-data
yang
diperlukan
dalam
penyusunan
ekoregion
laut
didapatkan
dari
beberapa
kegiatan
pengumpulan
data
dan
hasil
penelitian
di
perairan
Indonesia.
Pada
tahap
awal
ini,
semua
data
yang
dimiliki
oleh
kementerian/lembaga,
perguruan
tinggi
dan
LSM
dikumpulkan
untuk
mendapatkan
gambaran
yang
komprehensif
terhadap
lingkungan
laut
Indonesia.
2. Penentuan
parameter:
Parameter
ditetapkan
dari
hasil
diskusi
pakar
dan
literatur
terkait
penyusunan
ekoregion
laut
di
negara
lain.
Penyusunan
parameter
juga
mempertimbangkan
ketersediaan
data.
Data
yang
sudah
terkumpul
kemudian
dipilah
agar
menjadi
parameter
yang
digunakan
dalam
penyusunan
ekoregion
laut.
Beberapa
data
yang
kurang
relevan
atau
kurang
valid
tidak
digunakan
sebagai
parameter.
3. Penyusunan
hirarki:
Parameter
yang
telah
ditetapkan
kemudian
dikelompokkan
dan
disusun
hirarkinya
untuk
menentukan
urutan
tingkat
kepentingan
suatu
parameter
terhadap
parameter
yang
lain.
4. Sintesis
antar
data:
Pada
tahap
ini,
data
yang
masih
belum
dalam
format
geospasial
seperti
gambar,
tabel
atau
uraian
tertulis
diubah
ke
format
geospasial.
Sintesis
atau
overlay
antar
data
geospasial
kelautan
dilakukan
dengan
menggunakan
Sistem
Informasi
Geospasial
(SIG).
Hasil
dari
sintesis
data
digunakan
untuk
mengevaluasi
parameter
yang
sudah
disusun
sebelumnya.
5. Delineasi
batas
ekoregion:
Delineasi
batas
suatu
ekoregion
dilakukan
secara
geospasial
dengan
memperhatikan
parameter
yang
ada.
Delineasi
awal
adalah
pembagian
perairan
Indonesia
menjadi
tiga
bagian
besar
berdasarkan
morfologi
dasar
laut
yaitu
Paparan
Sunda,
Perairan
Dalam
dan
Paparan
Sahul.
Berikutnya
beberapa
parameter
lain
digunakan
untuk
mendelineasi
batas
ekoregion
yang
lain.
6. Diskusi
kelompok
terfokus:
Hasil
delineasi
batas
ekoregion
kemudian
dikonsultasikan
ke
para
pakar
kelautan
dalam
suatu
diskusi
kelompok
terfokus.
Tercatat
sebanyak
12
rapat
pembahasan
dengan
pakar
dari
kementerian/lembaga,
perguruan
tinggi
dan
LSM.
Penyusunan
ekoregion
mendapat
masukan
juga
dari
pakar
di
daerah
yaitu
ahli
kelautan
di
Sumatera
Barat,
Sulawesi
Utara,
Sulawesi
Selatan,
Bali
dan
Nusa
Tenggara
Barat.
Hasil
dari
diskusi
kelompok
terfokus
digunakan
untuk
mengevaluasi
parameter
dan
batas
ekoregion.
7. Visualisasi
kartografis:
Pada
tahapan
ini
disusun
tampilan
peta
ekoregion
laut.
Selain
itu,
penomeran
dan
penamaan
ekoregion
juga
ditentukan.
Penomeran
ekoregion
disusun
dari
barat
ke
timur.
Sedang
penamaan
ekoregion
ditentukan
berdasarkan
toponimi
atau
nama
perairan.
Untuk
perairan
yang
besar
maka
ditambah
dengan
posisi
perairan
relatif
dengan
pulau
disekitarnya
seperti
ekoregion
Laut
Banda
Sebelah
Timur
Sulawesi.
8. Penyusunan
deskripsi:
Setelah
area
dan
batas
ekoregion
laut
ditetapkan,
deskripsi
untuk
setiap
ekoregion
disusun
berdasarkan
lima
aspek
yaitu
geologi
dan
morfologi
dasar
laut,
oseanografi,
keanekaragaman
hayati,
pemanfaatan,
kerawanan
bencana,
dan
pencemaran.
Data yang digunakan dalam penyusunan ekoregion dikelompokan menjadi empat bagian yaitu:
1. Morfologi
dasar
laut:
bentuk
dari
dasar
laut
merupakan
salah
satu
hal
penting
dalam
penentuan
delineasi
ekoregion
laut.
Morfologi
dasar
laut
dapat
dilihat
dalam
dua
data:
a. Geomorfologi:
peta
geomorfologi
Indonesia
(Verstappen,
2010)
b. Batimetri:
data
Etopo-1
(Amante
dan
Eakins,
2009)
2. Oseanografi:
kondisi
fisik
kelautan
setiap
ekoregion
dapat
dilihat
dari
parameter:
a. Arus
laut:
peta
arus
laut
(Gordon,
2005)
b. Pasang
surut:
peta
pasang
surut
(Wyrtki,
1961)
c. Upwelling:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2010)
d. Suhu:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2012)
e. Salinitas:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2012)
f. Derajat
keasaman:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2012)
g. Klorofil:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2012)
h. Nutrien:
data
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP
2012)
3. Keanekaragaman
hayati:
a. Mangrove
b. Lamun
c. Karang:
data
dari
Veron
et
al.
(2008
dan
2010)
d. Ikan:
data
dari
Allen
(2000
dan
2008),
Allen
dan
Adrim
(2003),
dan
Allen
dan
Erdman
(2012)
4. Batas:
a. Batas
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI):
peta
Badan
Informasi
Geospasial
(2012)
b. Ekoregion
laut
dunia:
peta
Marine
Ecoregion
of
the
World
(Spalding
et
al.,
2007)
Penyusunan
ekoregion
laut
Indonesia
juga
memperhatikan
beberapa
klasifikasi
perencanaan
wilayah
perairan
yang
ada
di
Indonesia,
diantaranya
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
(WPP)
dan
Marine
Ecoregion
of
the
World
(MEOW).
Perairan
Indonesia
dibagi
dalam
11
WPP
yang
telah
disahkan
melalui
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor.
Per.01/MEN/2009
tentang
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Republik
Indonesia.
Sementara
itu,
MEOW
yang
ditulis
oleh
Spalding
et
al.
(2007)
membagi
wilayah
Indonesia
menjadi
12
ekoregion
laut.
Ekoregion
laut
Indonesia
lebih
memfokuskan
wilayah
laut
Indonesia
dari
aspek
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Klasifikasi
lain
No
Ekoregion
laut
WPP
Ekoregion
laut
dunia
1
Samudera
Hindia
Sebelah
WPP
571,
WPP
Andaman
and
Nicobar
islands,
Andaman
Sea
Coral
Barat
Sumatera
572
Coast,
Malacca
Strait,
Southern
Java,
Western
Sumatera
2
Samudera
Hindia
Sebelah
WPP
572,
WPP
Cocos-Keeling/Christmas
island,
Lesser
Sunda,
Selatan
Jawa
573
Southern
Java
3
Selat
Malaka
WPP
571,
WPP
Malacca
Strait,
Southern
Java
711
4
Laut
Natuna
WPP
711
Malacca
Strait,
South
China
Sea
Oceanic
Islands,
Sunda
Shelf/Java
Sea,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait,
Southern
Java
5
Selat
Karimata
WPP
711,
WPP
Malacca
Strait,
Sunda
Shelf/Java
Sea,
Sulawesi
712
Sea/Makassar
Strait,
Southern
Java
6
Laut
Jawa
WPP
571,
WPP
Lesser
Sunda,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait,
572,
WPP
711,
Southern
Java,
Southern
Java,
Sunda
Shelf/Java
Sea
WPP
712,
WPP
713
7
Laut
Sulawesi
WPP
713,
WPP
Eastern
Philippines,
Halmahera,
Palawan/North
716
Borneo,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait
8
Selat
Makassar
WPP
713
Banda
Sea,
Lesser
Sunda,
Palawan/North
Borneo,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait
9
Perairan
Bali
dan
Nusa
WPP
712,
WPP
Banda
Sea,
Bonaparte
Coast,
Exmouth
to
Broome,
Tenggara
713,
WPP
714,
Lesser
Sunda,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait,
WPP
718,
WPP573
Southern
Java,
Sunda
Shelf/Java
Sea
10
Teluk
Tomini
WPP
715
Banda
Sea,
Northeast
Sulawesi
11
Laut
Halmahera
WPP
715,
WPP
Banda
Sea,
Eastern
Philippines,
Halmahera,
716,
WPP
717
Northeast
Sulawesi,
Papua,
Sulawesi
Sea/Makassar
Strait,
West
Caroline
Islands
12
Laut
Banda
Sebelah
Timur
WPP
714,
WPP
Banda
Sea,
Halmahera,
Northeast
Sulawesi
Sulawesi
715
13
Laut
Banda
Sebelah
Selatan
WPP
713,
WPP
Banda
Sea,
Lesser
Sunda
Sulawesi
714
14
Laut
Seram
dan
Teluk
WPP
715,
WPP
Arafura
Sea,
Banda
Sea,
Halmahera,
Papua,
West
Bintuni
717,
WPP
718
Caroline
Islands
15
Laut
Banda
WPP
714,
WPP
Amhem
Coast
o
Gulf
of
Carpenteria,
Arafura
Sea,
715,
WPP
718
Banda
Sea,
Bonaparte
Coast,
Halmahera,
Papua,
Lesser
Sunda
16
Samudera
Pasifik
Sebelah
WPP
717
Papua,
West
Caroline
Islands
Utara
Papua
17
Teluk
Cendrawasih
WPP
717
Papua
18
Laut
Arafura
WPP
718
Amhem
Coast
o
Gulf
of
Carpenteria,
Arafura
Sea,
Papua
Kawasan
konservasi
No
Ekoregion
Laut
Kategori
Luas
(ha)
1
EL
1
KKP,
TWAL,
TWP
1.348.269,89
2
EL
2
CAL,
KKLD,
SML
98.480,25
3
EL
3
KKP
68.178,46
4
EL
4
KKP
142.997,14
5
EL
5
CAL,
KKLD
92.701,66
TNL,
KKP,
CAL,
TWAL,
6
EL
6
238.986,05
SML,
KKP
7
EL
7
KKP,
TNL,
TWAL,
SML
1.361.314,00
8
EL
8
TWP
50.000,00
9
EL
9
KKP,
TWAL,
TNP,
TWP
4.101.599,31
Kawasan
konservasi
No
Ekoregion
Laut
Kategori
Luas
(ha)
10
EL
10
KKP,
TNL,
TWAL,
SML
365.065,00
11
EL
11
-
-
12
EL
12
TNL,
TWAL
102.650,00
13
EL
13
TWAL,
TNL,
KKLD,
29.136.057,31
14
EL
14
KKP,
SML,
CAL,
SAP
1.562.487,81
15
EL
15
TWAL,
TWP
15.598,00
16
EL
16
KKP,
SML,
CAL
22.445,52
17
EL
17
TNL,
KKLD,TWAL
1.478.410,00
18
EL
18
KKP,
CAL,
SAP
116.757,45
1
EL
1
KKP,
TWAL,
TWP
1.348.269,89
Kawasan
Ekoregion
Laut
yang
memiliki
titik
potensi
sebaran
limbah
(sumber
:
Potensi
Pencemar
Kegiatan
migas,
energi,
tambang)
Volume
limbah
No
Ekoregion
Laut
(m3/hari)
Samudera
Hindia
Sebelah
Barat
-
1
Sumatera
Samudera
Hindia
Sebelah
Selatan
-
2
Jawa
3
Selat
Malaka
394.418
4
Laut
Natuna
114.957
5
Selat
Karimata
24.742
7 Laut Sulawesi -
A
S
N
Y
D
A
L
A
M
NANGGROE
ACEH DARUSSALAM
M
EL-3
A
L
A
Y
S
I A
SUMATERA UTARA
RIAU KEPULAU
S U MATE RA
JAMBI
BENGKULU SUMATERA SE
S
A
LA
M
U
D
E
R
EL-2
A
H
I
N
D
I
A
Ekoregion Laut 1
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera
Ekoregion
Laut
1
meliputi
Samudera
Hindia
dan
sebagian
Selat
Malaka
di
Provinsi
Aceh.
Ekoregion
ini
terletak
di
2
Pantai
Barat
Sumatera
dan
Provinsi
Aceh
dengan
luas
sebesar
782.861
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
memiliki
sirkulasi
arus
dan
massa
air
yang
terbentuk
karena
kondisi
batimetri
yang
kontras,
yakni
oleh
palung
terusan
dari
Java
Trench
yang
terhubung
dengan
Samudera
Hindia
bagian
Barat
dan
perairan
basin
di
pesisir
Barat
Sumatra.
Terdapat
fenomena
unik
propagasi
Wyrtki
Jet
dan
Coastally
Trapped
Kelvin
Waves
akibat
pengaruh
dari
angin
monsun
Samudera
Hindia.
Hal
ini
sangat
berhubungan
erat
dengan
periodisitas
upwelling
dan
downwelling
pada
ekoregion
ini.
Pada
monsun
Timur,
angin
Tenggara
yang
bergerak
sejajar
dengan
Pantai
Barat
Sumatera
akan
menyebabkan
fenomena
upwelling.
Pada
monsun
peralihan
(Maret-Mei
dan
September-
November),
gelombang
Kelvin
dari
Samudera
Hindia
Timur
yang
dibangkitkan
oleh
angin
Barat
di
khatulistiwa
bergerak
menumbuk
bagian
Barat
Sumatera.
Angin
tersebut
terpecah
menuju
ke
Barat
Daya
(Teluk
Benggala)
dan
menuju
ke
Tenggara
menyusuri
Pantai
Barat
Sumatera
hingga
ke
Selatan
Jawa
dan
Nusa
Tenggara.
a. Selat
Malaka
karena
perbedaan
batimetri.
Samudera
Hindia
Sebelah
Barat
Sumatera
memiliki
rata-rata
kedalaman
lebih
dari
200
m
sedangkan
Selat
Malaka
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda
dengan
kedalaman
kurang
dari
200
meter;
b. Samudera
Hindia
Sebelah
Selatan
Jawa
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
karang,
pola
temperatur
dan
salinitas
perairan.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
ini
terbentuk
sekitar
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
ekoregion
ini
terdiri
dari
paparan
benua
(continental
shelf),
lereng
benua
(continental
slope),
dan
paparan
laut
dalam
(Abyssal
Plain)
dengan
kedalaman
sampai
dengan
5.500
m.
Ekoregion
ini
merupakan
bagian
dari
paparan
Sunda.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
ekoregion
ini
memiliki
kemiringan
o o o
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
o
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut,
ekoregion
ini
memiliki
6
cekungan
yaitu
Cekungan
Mergui-Sumatera,
Cekungan
Meulaboh,
Cekungan
Tanjung
dewa,
Cekungan
Simeuleu,
Cekungan
Nias,
dan
Cekungan
Mentawai.
Parit
yang
terdapat
di
ekoregion
ini
adalah
parit
Sabang.
OSEANOGRAFI
Kecepatan
angin
mencapai
maksimum
pada
ekoregion
laut
ini
ketika
Monsun
Timur
dan
Monsun
Tenggara,
dimana
angin
dari
arah
Samudera
Hindia
Tenggara
bergerak
ke
arah
barat
laut.
Pada
Monsun
Barat
angin
bergerak
sebaliknya
yakni
menuju
tenggara.
Pada
Monsun
Peralihan
II,
pergerakan
cenderung
seperti
pada
periode
Monsun
Timur
tetapi
dengan
intensitas
kekuatan
yang
lebih
rendah.
Demikian
juga
dengan
angin
pada
periode
Monsun
Peralihan
I
yang
polanya
cenderung
sama
dengan
Monsun
Barat
(Wyrtki,
1961;
Putri,
2005).
Tipe
pasang
surut
dari
ekoregion
ini
umumnya
bertipe
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961).
Arus
di
ujung
atas
Pantai
Barat
Sumatera
pada
bulan
Januari
sebagian
bergerak
ke
arah
barat
laut
ketika
pasang
surut
berasosiasi
dengan
angin
untuk
membangkitkan
arus.
Namun,
sebagian
arus
yang
lainnya
bergerak
ke
arah
barat
daya.
Arus
yang
bergerak
ke
barat
daya
terus
membelok
ke
selatan
lalu
ke
timur.
Sementara
arus
dari
daerah
lepas
Pantai
Barat
Sumatera
di
selatan
khatulistiwa
bergerak
ke
timurlaut
kemudian
membelok
ke
timur.
Sementara
itu
arus
di
dekat
Pantai
Barat
Sumatera
cenderung
mengarah
ke
selatan
menyusur
pantai.
Pola
arus
di
dekat
pantai
ini
mengikuti
arah
angin
yang
juga
bertiup
menyusuri
pantai.
Pada
bulan
Februari,
pola
arus
yang
terbentuk
relatif
sama
dengan
bulan
Januari.
Kecepatan
arus
juga
melemah
pada
bulan
Februari
seiring
dengan
melemahnya
angin
di
daerah
tersebut.
Saat
Monsun
Peralihan
I,
arus
di
ujung
atas
pantai
barat
Sumatera
berbalik
arah
menuju
tenggara
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Saat
Monsun
Timur,
arus
di
pantai
Barat
Sumatera
bergerak
ke
arah
barat
laut
terus
ke
utara
dan
berbelok
ke
timur
laut
di
ujung
atas
Pantai
Barat
Sumatera.
Arus
di
dekat
pantai
cenderung
bergerak
meninggalkan
pantai
dan
menuju
utara.
Variabilitas
arus
pada
Musim
Peralihan
I
terjadi
pada
kedalaman
16,
34,
88,
106,
160
dan
300
m.
Secara
umum
arah
arus
dari
Samudera
Hindia
sebelah
timur
bergerak
menuju
perairan
Barat
Sumatera
(Arindi
et
al.,
2010).
Kejadian
upwelling
akibat
divergensi
massa
air
pada
perairan
barat
Sumatera
diduga
hanya
ditemukan
pada
Musim
Peralihan
I
di
posisi
sekitar
10LS
95BT.
Pusat
upwelling
berada
di
sekitar
Pulau
Enggano
antara
bulan
Agustus
dan
Oktober.
Upwelling
di
daerah
ini
merupakan
kelanjutan
dari
daerah
upwelling
di
Pantai
Selatan
Jawa
yang
bergerak
ke
Barat
(Adi
et
al.,
2004).
Variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
massa
air
laut
pada
ekoregion
ini
di
lapisan
permukaan
dilihat
dari
suhu
(27
30C),
salinitas
(32,4
-
34,4
PSU),
konsentrasi
oksigen
terlarut
(4
7
ml/liter),
dan
pH
(7,9
8,25)
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009).
Kondisi
nutrien
dilihat
dari
konsentrasi
fosfat
(0,05
0,25
mol/liter),
24
|ekoregion laut 1
konsentrasi
silikat
(0,25
10,0
mol/liter),
konsentrasi
nitrat
(0,5
8,0
mol/liter),
dan
klorofil
(0,05-15,0
gram/liter)
(Baumgart
et
al.
2005;
Boyer
et
al.,
2009).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
1
adalah
memiliki
tingkat
keragaman
habitat
pesisir
dan
laut
tinggi.
Wilayah
ini
secara
khusus
juga
diduga
memiliki
hubungan
yang
kuat
dengan
Kepulauan
Nicobar
dan
Andaman.
Selain
itu,
beberapa
jenis
karang
Samudera
Pasifik
tercatat
berasal
dari
kawasan
Phuket
di
Thailand
dan
tidak
ditemukan
di
tempat
lain
selain
di
Samudera
Hindia.
Keunikan
taksonomi
biota
laut
ekoregion
ini
terletak
pada
perannya
sebagai
perwakilan
fauna
Samudera
Hindia
yang
tidak
ditemukan
di
tempat
lain
di
Indonesia
(Huffard
et
al.,
2012).
Tegakan
bakau
di
Pulau
Siberut
(Teluk
Siberut)
yang
masuk
dalam
wilayah
ekoregion
ini
merupakan
tempat
penting
untuk
pembesaran
kepiting
bakau
(Scylla
serrata)
dan
berfungsi
sebagai
daerah
penyedia
kepiting
terbesar
untuk
pemasok
di
Padang,
Sibolga
dan
Medan
(Hutomo
2006,
komunikasi
pribadi,).
Habitat
padang
lamun
di
ekoregion
ini
memiliki
luasan
yang
sempit
karena
bentuk
pantai
yang
curam
dan
pengaruh
gelombang
Samudera
Hindia
yang
besar.
Informasi
habitat
padang
lamun
di
daerah
ini
masih
perlu
pengkajian
lebih
lanjut.
Beberapa
spesies
yang
telah
diidentifikasi
di
ekoregion
ini
meliputi
Cymodocea
serrulata,
Enhalus
acoroides,
Halophila
ovalis,
Halodule
pinifolia,
Haloduel
uninervis,
dan
Thalassia
hemprichii
(KLH,
2008).
Keragaman
karang
di
ekoregion
ini
mencapai
387
spesies
dengan
dua
spesies
karang
yang
endemik.
Salah
satu
keunikan
ekoregion
ini
adalah
Teluk
Sarabua
(Siberut),
sebuah
teluk
yang
masuk
jauh
ke
daratan
dengan
kumpulan
karang
yang
unik
dan
memiliki
habitat
terbaik
fauna
Samudera
Hindia
yang
ada
di
Indonesia
(Wallace
et
al.,
2001).
Teluk
Sarabua
(Siberut)
merupakan
salah
satu
tempat
bagi
enam
jenis
penyu
bertelur
di
ekoregion
laut
ini.
Namun
demikian,
perilaku
migrasi
penyu
setelah
bertelur
masih
belum
banyak
diketahui.
Pulau
Weh
dan
pantai
di
dekat
ujung
Sumatera
bagian
utara
merupakan
tempat
mencari
makan
Penyu
Sisik
yang
bermigrasi
dari
Thailand.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
lebih
banyak
data
untuk
memastikan
perilaku
penyu
di
wilayah
ini.
Beberapa
lokasi
lainnya
juga
berpotensi
sebagai
lokasi
tempat
penyu
bertelur
seperti
Pulau
Banyak,
Bengkaru,
dan
Simelue.
Ironisnya,
pengambilan
telur
penyu
masih
ekstensif
dilakukan
di
daerah
ini
untuk
mendukung
penjualan
lokal
di
Padang
(Putra,
2005).
Sekitar
85%
jenis
ikan
karang
yang
ditemukan
di
Pulau
Weh
merupakan
jenis
yang
sama
dengan
yang
terdapat
di
Kepulauan
Maladewa
di
tengah
Samudera
Hindia
(Huffard
et
al.,
2012).
Samudera
Hindia
sebelah
Barat
Sumatera
nampaknya
juga
menjadi
koridor
migrasi
untuk
spesies
paus
besar
dan
secara
keseluruhan
berfungsi
sebagai
habitat
penting
bagi
lumba-lumba
dan
paus
oseanik.
Terdamparnya
Paus
Biru
memastikan
keberadaan
jenis
ini
di
Sumatera
bagian
Barat,
selain
terdapat
kemungkinan
Paus
sperma
dan
jenis
lainnya
juga
melimpah
di
ekoregion
ini
(Salm
dan
Halim,
1984).
Ekoregion
ini
juga
diperkirakan
sebagai
koridor
aliran
genetik
(gene
flow)
yang
penting
untuk
beberapa
jenis
biota
laut
Samudera
Hindia
dengan
rentang
jauh
ke
arah
timur
sampai
ke
Jawa,
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Berdasarkan
kajian
genetik
ikan
pari,
terdapat
6
garis
keturunan
yang
sangat
berbeda
dari
spesies
Neotrygon
kuhlii,
yang
dipengaruhi
oleh
habitat
yang
terpisah.
Dari
pohon
filogeni,
nenek
moyang
spesies
ini
cenderung
berasal
dari
Pasifik
Barat
daripada
wilayah
segitiga
karang
(Arlyza
and
Borsa,
2010).
Keberadaan
clade
yang
berbeda
dengan
jumlah
yang
tinggi
dari
famili
Tridacnidae
(Kima)
menunjukkan
adanya
gen
yang
tersembunyi
dan
karenanya
kawasan
ini
merupakan
kawasan
unik
yang
perlu
dipertimbangkan
untuk
upaya
konservasi
di
Indonesia
(DeBoer
et
al,
2008).
Sumberdaya
ikan
laut
dalam
di
Samudera
Hindia
yang
terletak
di
Barat
Sumatera
dan
Selatan
Jawa
tercatat
sebanyak
599
spesies
(415
spesies
ikan,
68
udang/kepiting,
dan
46
spesies
cumi-
cumi).
26
|ekoregion laut 1
Kawasan
konservasi
yang
berada
dalam
ekoregion
ini
meliputi
areas
seluas
1.348.269,89
ha.
Terdapat
beberapa
kawasan
konservasi
laut
yaitu
Taman
Wisata
Alam
Laut
(TWAL)
dan
Kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
(KKPD).
TWAL
merupakan
kawasan
konservasi
laut
dengan
peringkat
V
pada
IUCN
(Protected
landscape/seascape),
sedangkan
KKPD
merupakan
kawasan
konservasi
laut
dengan
peringkat
VI
pada
IUCN
(Protected
Area
area
with
sustainable
use
of
natural
resources).
Kawasan
konservasi
tersebut
adalah:
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
1
berada
pada
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
(WPP)
572.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
KEP.45/MEN/2011
tentang
Estimasi
Potensi
Sumberdaya
Ikan
di
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Negara
Republik
Indonesia,
potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain:
ikan
pelagis
besar
(164,8
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(315,9
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(68,9
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(4,8
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(8,4
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,6
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(1,7
ribu
ton/tahun).
Pada
ekoregion
laut
ini,
potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
seluas
40.264
ha
yang
tersebar
di
sekitar
Pulau
Simelue,
Mentawai,
Nias
Sipora
dan
Siberut,
(ii)
padang
lamun
seluas
6.290
ha
tersebar
di
Pesisir
Barat
Aceh,
Simelue,
Nias,
Mentawai,
Siberut,
(iii)
terumbu
karang
memiliki
luas
sebesar
32.454
ha
yang
tersebar
di
beberapa
kawasan
ekoregion
ini.
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011
tersebut
di
atas,
saat
ini
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
1
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut:
a. Udang
sudah
over
exploited,
b. Ikan
demersal
seperti:
1 kakap
merah
dan
kerapu
over
exploited
2 Spesies
kurisi,
kuniran,
swanggi,
bloso
dan
gulamah
sudah
fully
exploited,
3 Spesies
layur
masih
moderate,
c. Ikan
pelagis
kecil
spesies
banyar
over
exploited
d. Ikan
pelagis
besar:
1 spesies
tuna
mata
besar
sudah
over
exploited
2 Spesies
madidihang
sudah
fully
exploited
3 Spesies
cakalang
masih
moderate
Selain
itu,
ekoregion
ini
memiliki
potensi
perikanan
laut
dalam
seprti
hasil
ekspedisi
baru-baru
ini
di
Pulau
Enggano,
Simeulue,
dan
bagian
barat
Aceh.
Di
sekitar
Pulau
Enggano
atau
lokasi
S1
ditemukan
ikan
pari
jenis
Plesiobatis
sp.pada
kedalaman
200-500
m,
sedangkan
kedalaman
500-750
m
terdapat
ikan
jenis
Setarches
guentheri
dan
kedalaman
750-1000
m
dijumpai
ikan
pari
jenis
Hexatrigon
longirostra.
Potensi
udang
laut
didominasi
oleh
Aristeus
virilis
yang
hidup
pada
kedalaman
350-970
m.
Distribusi
perikanan
laut
dalam
di
perairan
sekitar
Pulau
Enggano
(gambar:
BRKP-OFCF
2005)
Berbagai
jenis
ikan
ekonomis
penting
di
Pulau
Enggano,
Pari
jenis
Plesiobatis
sp,
Ikan
Setarches
guentheri,
Pari
Hexatrigon
longirostra,
Udang
Aristeus
virilis
(peta:
BRKP-
OFCF
2005)
28
|ekoregion laut 1
Potensi
perikanan
laut
dalam
di
selatan
Pulau
Enggano
adalah
spesies
ikan
Caelorinchus
divergens
di
kedalaman
500-750
m.
Di
kedalaman
750-1000
m
ditemukan
spesies
Ophidiidae
sp..
Untuk
udang
jenis
Heterocarpus
sp.
terdapat
di
kedalaman
260-950
m.
Distribusi
perikanan
laut
dalam
di
Selatan
Pulau
Enggano
(gambar:
BRKP-
OFCF
2006)
Ikan
Caelorinchus
divergens
Ikan
Ophidiidae
sp.
Udang
Heterocarpus
sp.
Potensi perikanan laut dalam di Selatan Pulau Enggano atau perairan S2 (fotor: BRKP-OFCF 2005)
Potensi
ikan
laut
dalam
di
sekitar
Barat
Laut
Simeulue
didominasi
oleh
jenis
ikan
Ostracoberyx
dorygenis
yang
berada
di
kedalaman
200-500
m.
Jenis
udang
didominasi
oleh
Aristeus
virilis
yang
hidup
pada
kedalaman
350-
970
m.
Distribusi
perikanan
laut
dalam
di
sekitar
Barat
Simeulue
(gambar:
BRKP-OFCF
2005)
Jenis
ikan
Ostracoberyx
dorygenis
di
sekitar
Barat
Simeulue
(foto:
BRKP-OFCF
2005)
Potensi
laut
dalam
di
Barat
Banda
Aceh
didominasi
oleh
jenis
ikan
Hoplostethus
rubellopterus
pada
kedalaman
500-1000
m.
Jenis
udang
didominasi
oleh
Aristeus
virilis
yang
hidup
pada
kedalaman
350-970
m.
30
|ekoregion laut 1
Distribusi
perikanan
laut
dalam
di
sekitar
Barat
Banda
Aceh
atau
perairan
S
5
( gambar:
BRKP-OFCF
2005)
Salah satu jenis ikan Hoplostethus rubellopterus di sekitar Barat Banda Aceh (foto: BRKP-OFCF 2005)
a. Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
atau
sumberdaya
mineral
yaitu
migas
di
Pantai
Timur
Aceh,
Bengkulu,
endapan
placer
emas
dan
endapan
placer
pasir
besi,
b. BMKT
di
Pantai
Timur
Aceh,
Bengkulu
Potensi
jasa
lingkungan
berupa
wisata
bahari
di
Pulau
Weh,
Pulau
Simelue,
Pulau
Nias,
dan
Pulau
Mentawai.
KERAWANAN BENCANA
Pada
umumnya
pesisir
barat
Sumatera
yang
menghadap
Samudera
Hindia
memiliki
potensi
tumbukan
lempeng
di
sepanjang
zona
subduksi.
Akibat
adanya
pertemuan
Lempeng
Samudera
Hindia
dengan
Lempeng
Eurasia
mengakibatkan
kerentanan
yang
tinggi
terhadap
gempa
dan
tsunami.
Pantai
utara
Pulau
Sumatera
merupakan
daerah
yang
sangat
rawan
terhadap
tsunami
karena
adanya
sesar
aktif.
Aktivitas
tektonik
perpanjangan
zona
subduksi
barat
Sumatera
ke
arah
Laut
Andaman
dapat
pula
menjadi
pembangkit
gempa
tektonik
yang
besar.
Hal
ini
dapat
menimbulkan
tsunami
di
pantai
Utara
Pulau
Sumatera.
Kejadian
tsunami
besar
yang
melanda
Banda
Aceh
pada
tanggal
26
Desember
2004
tidak
terlepas
dari
kondisi
geologi
wilayah
ini.
Peta
kerentanan
bencana
tsunami
Budiono
et
al.
(2003)
memetakan
bahwa
pada
ekoregion
ini
termasuk
pada
kelas
kerentanan
tsunami
tinggi.
Kriteria
pantai
rawan
tsunami
dengan
resiko
tinggi
adalah
daerah
yang
pernah
terjadi
tsunami
dan
mencapai
daratan,
dengan
tinggi
gelombang
berdiri
lebih
dari
6
meter
serta
menimbulkan
kerusakan
dan
korban
jiwa,
memiliki
morfologi
pantai
landai,
berteluk,
sempit,
pantai
halus
tersusun
dari
endapan
aluvial
pantai
berukuran
sedang
dan
tidak
terdapat
vegetasi
pelindung.
Letak
episentrum
gempa
bumi
dekat
dengan
pantai,
mekanisme
patahan
normal
atau
naik.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
1
merupakan
wilayah
laut
yang
berpotensi
untuk
menerima
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga,
pelabuhan,
transportasi,
pertanian/perkebunan
dan
industri
melalui
limpasan
air
DAS
yang
bermuara
ke
kawasan
ini.
Berdasarkan
kegiatan
tersebut,
maka
bahan
pencemar
yang
mungkin
mencemari
kawasan
ini
adalah
bahan
organik
dan
bahan
anorganik.
Wilayah
laut
ini
dapat
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
mengalami
blooming
plankton
dan
menjadi
sumber
karbon
yang
akan
menyumbang
gas
rumah
kaca
(GRK).
Berdasarkan
kegiatan
yang
ada,
maka
jenis
bahan
anorganik
dan
organic
yang
dapat
mencemari
wilayah
ini
antara
lain
adalah
bahan
berbahaya
dan
beracun
(B3)
seperti
logam
berat,
persistent
organic
pollutants
(POPs),
poly
aromatic
hydrocarbon
(PAH),
Tributyltin
(TBT),
pestisida,
dan
sebagainya.
Konsentrasi
B3
yang
ada
di
lokasi
ini
berpotensi
untuk
mengkontaminasi
mahluk
hidup
yang
ada
di
dalamnya,
sehingga
dapat
menghasilkan
sumberdaya
perikanan
yang
tidak
aman
untuk
dikonsumsi,
bahkan
dapat
berpotensi
untuk
menurunkan
populasi
dan
menurunkan
keanekaragaman
hayati.
Sumber
utama
pencemar
pada
ekoregion
laut
1
diduga
berasal
dari
2
(dua)
teluk
utama,
yaitu
Teluk
Bayur
dan
Teluk
Bungus.
Di
kawasan
pantai
ke
dua
teluk
ini
terdapat
banyak
kegiatan
antropogenik
yang
berpotensi
untuk
menghasilkan
bahan
pencemar
dalam
jumlah
yang
tinggi
yakni
kegiatan
pelabuhan
dan
berbagai
aktivitas
32
|ekoregion laut 1
Sejumlah
dinoflagelata
ditemukan
di
kedua
teluk
tersebut,
seperti
Ceratium
furca,
C.
focus,
C.
macroceros,
C.
massilensis,
C.
tripos,
Dinophysis
miles
dan
Protoperinidium
conicum.
Tingginya
nutrien
yang
berasal
dari
kegiatan
antropogenik
tersebut
juga
berpotensi
memunculkan
terjadinya
blooming
plankton.
Sumber
pencemaran
ekoregion
ini
juga
dapat
berasal
dari
kegiatan
sekitar
pantai
di
Aceh
dan
perairan
Pulau
Weh.
Perairan
di
sekitar
Pulau
Weh
(Kota
Sabang)
merupakan
bagian
dari
pelayaran
internasional
karena
letaknya
yang
strategis
di
ujung
barat
Selat
Malaka.
Kapal
angkut
penumpang
dan
barang
khususnya
kapal
peti
kemas
dan
kapal
tanker
raksasa
jenis
Very
Large
Crude
Carrier
(VLCC)
dengan
bobot
mati
200.000
319.999
DWT
dan
Ultra
Large
Crude
Carrier
(ULCC)
dengan
bobot
mati
di
atas
320.000
DWT
melayari
perairan
ini
setiap
hari,
dengan
frekuensi
lebih
dari
250
kapal
melintas
setiap
harinya
dan
lebih
dari
25
kapal
diantaranya
adalah
kapal-kapal
tanker
raksasa
tersebut
(Edyanto,
2008).
Selain
itu,
wilayah
ini
juga
merupakan
jalur
pelayaran
tanker
minyak
disamping
yang
utama
adalah
Selat
Malaka
dan
Laut
China
Selatan
(Alino
dan
Gomez,
2001).
Ekoregion
ini
juga
mempunyai
potensi
dicemari
oleh
tumpahan
minyak
dari
aktivitas
kegiatan
pelayaran
tersebut
(Morton
dan
Blackmore
2001),
dan
berpotensi
untuk
tercemar
oleh
logam
berat,
PAH
dan
POPs
dalam
jumlah
yang
juga
tinggi.
Alur
utama
pergerakan
tanker
minyak
di
Laut
China
Selatan
dan
Samudera
Hindia
(lebar
panah
menggambarkan
perkiraan
volume
relatif)
dan
distribusi
pencemaran
minyak
(lingkaran
terisi
menunjukkan
sedikit
pencemaran
dan
sebaliknya
relatif
banyak
ditunjukkan
oleh
lingkaran
kosong)
(Morton
dan
Blackmore,
2001).
34
|ekoregion laut 1
Pantai Pelabuhan ratu (foto : Youniar Hufan-BIG)
L-3S
LAUT CINA SELATAN
M
EL
A
AT I A
EL-4
L
A
M S
Y
AL Y
S
AK A
L
I
A A
A
ATERA UTARA M
KALIMANTA
RIAU KEPULAUAN-RIAU
KALIMANTAN BARAT
SEL
KALI MAN TAN
AT
EL-5
KA
SUMATERA BARAT
R
IM
KALIMANTAN TENGAH
JAMBI
ATA
S U MATE RA
BANGKA-BELITUNG
KALIMANTAN SEL
BENGKULU SUMATERA SELATAN
EL-1
LAMPUNG EL-6 LAUT JAWA
DKI JAKARTA
BANTEN
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA
DIY JAWA TIMUR
EL-2
BALI
N
S A
M U
D E
R A
H I
N D
I A
0 125
250 500 Km
Ekoregion Laut 2
Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa
Ekoregion
Laut
2
meliputi
Samudera
Hindia
di
sebelah
Selatan
pada
sebagian
kecil
Pulau
Sumatera
dan
seluruh
2
bagian
Pulau
jawa.
Ekoregion
ini
memiliki
luas
655.549
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
memiliki
sirkulasi
arus
dan
massa
air
yang
terbentuk
oleh
kondisi
batimetri
yang
kontras,
yakni
oleh
palung
bernama
Java
Trench
yang
terhubung
dengan
Samudra
Hindia
bagian
Tenggara.
Ekoregion
ini
mendapatkan
ekstensi
fenomena
unik
dari
pesisir
Barat
Sumatera
berupa
propagasi
Wyrtki
Jet
dan
Coastally
Trapped
Kelvin
Waves.
Kondisi
memungkinkan
terjadinya
upwelling
dan
downwelling
pada
kawasan
ini.
Fenomena
upwelling
dibangkitkan
oleh
Monsun
Timur
pada
saat
angin
Tenggara
bergerak
sejajar
dengan
Pantai
Selatan
Jawa.
Perairan
sekitar
Banyuwangi
adalah
lokasi
awal
terbentuknya
pusat
upwelling
sebelum
kemudian
propagasi
zona
upwelling
meluas
ke
arah
barat
hingga
menyusur
Barat
Sumatra.
Pada
monsun
peralihan
(Maret-Mei
dan
September-November),
Coastally
Trapped
Downwelling
Kelvin
Waves
menyusuri
pesisir
Barat
Sumatra
menuju
ke
Tenggara
kemudian
menyusuri
pantai
Selatan
Jawa
dan
Nusa
Tenggara.
Ekoregion
Laut
2
terbentuk
sekitar
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
2
terdiri
paparan
benua
(continental
shelf),
lereng
benua
(continental
slope),
dan
pematang
samudera
(sub
marine
ridge),
dengan
kedalaman
sampai
dengan
7.235
m.
Ekoregion
Laut
2
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Suyono,
2009),
hampir
seluruh
kawasan
ini
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Suyono,
2009),
kawasan
ini
memiliki
empat
cekungan
yaitu
Cekungan
Enggano,
Cekungan
Bengkulu,
Cekungan
Nusakambangan,
dan
Cekungan
Nusabarong.
Arus
yang
dibangkitkan
oleh
angin
pada
Monsun
Barat
di
perairan
pantai
selatan
Jawa
bergerak
ke
arah
timur.
Sementara
di
lepas
pantai
selatan
Jawa
arus
bergerak
ke
barat.
Arus
yang
bergerak
ke
arah
barat
ini
adalah
arus
ekuator
selatan
yang
permanen
sepanjang
tahun.
Saat
Monsun
Timur
dan
Musim
Peralihan
II,
angin
yang
bertiup
dari
tenggara
membangkitkan
pergerakan
arus
menuju
ke
arah
barat.
Arus
di
sekitar
pantai
bergerak
dengan
arah
menyusur
pantai,
sementara
arus
di
lepas
pantai
bergerak
ke
arah
barat
daya.
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
bertipe
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961).
Pembentukan
pusat
upwelling
terjadi
pertama
kali
pada
sekitar
Juni
di
Selatan
Jawa
kemudian
meluas
areanya
hingga
mencapai
Barat
Sumatera
pada
Agustus
(Susanto
et
al.,
2001).
Variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
ekoregion
terdiri
dari
suhu
air
laut
(27
29C);
salinitas
(32
-34
PSU);
konsentrasi
oksigen
terlarut
(4,0
4,7
ml/liter);
dan
pH
(8,0
8,75)
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009).
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
(0,25
0,35
mol/liter),
konsentrasi
silikat
(2,5
12,5
mol/liter),
konsentrasi
nitrat
(0,5
5,0
mol/liter),
dan
klorofil
(0,25
0,50
gram/liter)
(Baumgart
et
al.,
2005;
Boyer
et
al.
2009).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
2
adalah
adanya
keanekaragaman
hayati
ikan
endemik
di
Samudera
Hindia
yang
teradaptasi
oleh
kondisi
geografi
yang
khas.
Pantai
Selatan
Jawa
merupakan
tempat
peneluran
empat
spesies
penyu
dari
enam
spesies
yang
ditemukan
di
Indonesia.
Perairan
di
sekitar
Selat
Bali
yang
berdekatan
dengan
Alas
Purwo
juga
merupakan
habitat
ikan
pelagis
penting
yang
menunjang
salah
satu
kegiatan
perikanan
lemuru
(Sardinella
lemuru)
yang
paling
produktif
di
Indonesia.
Mangrove
di
Segara
Anakan
(Cilacap)
merupakan
satu-satunya
hutan
mangrove
yang
terluas
di
selatan
Pulau
Jawa
yang
masih
tersisa.
Kawasan
Segara
Anakan
merupakan
tempat
persinggahan
penting
untuk
burung-
burung
yang
bermigrasi
(Putra,
2005).
Mangrove
ini
kaya
dengan
keragaman
jenis
burung.
Beberapa
burung
air
pesisir
merupakan
jenis
langka
dan
terancam
punah,
termasuk
bangau
bluwok
(Mycteria
cinerea)
dan
bangau
tongtong
(Leptoptilos
javanicus)
(Huffard
et
al.,
2012).
Komunitas
karang
di
sebagian
besar
pantai
di
selatan
Jawa
dan
selatan
Sumatera
mengalami
hambatan
pertumbuhan.
Tingginya
terpaan
gelombang
besar
oseanik
dan
upwelling
di
sekitar
Samudera
Hindia
menjadi
faktor
penghambat
pertumbuhan
38
|ekoregion laut 2
Dalam
penelitian
Borsa
et
al.,
(2012)
menyebutkan
perbedaan
genetik
ikan
pari
antara
dua
sub-spesies
diduga
kuat
diantara
tiga
spesies
yang
diteliti.
Salah
satunya
adalah
spesies
Neotrygon
kuhlii
yang
menunjukkan
pola
peningkatan
perbedaan
genetik
sejalan
dengan
peningkatan
jarak
wilayah
pemisahnya.
Selain
itu,
populasi
ikan
pari
yang
terpisah
dengan
jarak
sejauh
3000
km
berbeda
secara
genetik
berdasarkan
persamaan
Weir
and
Cockerhams
(1984)
~
0.375.
Pada
ekoregion
ini
terdapat
tiga
jenis
kawasan
konservasi,
yaitu
Cagar
Alam
Laut
(CAL),
Kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
(KKPD),
dan
Suaka
Margasatwa
Laut
(SML).
CAL
termasuk
kedalam
peringkat
IA/IB
(Strict
Nature
Reserve/Wilderness
protection
area),
sedangkan
SML
termasuk
kedalam
peringkat
IV
(Habitat/Spesies
Management
Area).
Kawasan
konservasi
tersebut
adalah:
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
2
memiliki
potensi
perikanan
laut
dalam
dan
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
seperti
(i)
mangrove
seluas
14.933
ha,
(ii)
padang
lamun
seluas
5.855
ha
yang
tersebar
di
pesisir
selatan
Banten,
Jabar
dan
Jatim,
(iii)
terumbu
karang
seluas
5.045
ha.
Ekoregion
laut
2
dan
9
berada
pada
WPP
573.
Potensi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
ini
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(201.400
ton/tahun),
pelagis
kecil
(210.600
ton/tahun),
demersal
(66.200
ton/tahun),
udang
penaid
(5.900
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(4.500
ton/tahun),
lobster
(1.000
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(2.100
ton/tahun).
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011,
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
2
yang
sudah
mengalami
over
exploited
adalah
udang,
ikan
pelagis
kecil
seperti
lemuru
(Sardinella
lemuru),
ikan
pelagis
besar
seperti
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
dan
tuna
sirip
biru
(Thunnus
maccoyii).
Spesies
ikan
demersal
seperti
kerapu
merah
(Lutjanus
malabaricus
dan
L.
erythropteru)
dan
kuwe
(Caranx
sexfasciatus),
serta
ikan
pelagis
besar
seperti
madidihang
(Thunnus
albacares)
dan
albakora
(Thunnus
alalunga)
sudah
fully
exploited.
Kategori
pemanfaatan
moderate
pada
jenis
ikan
demersal
seperti
layur
(Trichiurus
lepturus),
ikan
pelagis
kecil
seperti
layang
(Decapterus
kuroides),
cumi-cumi,
dan
ikan
pelagis
besar
seperti
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
moderate.
Potensi
perikanan
laut
dalam
di
lokasi
Selatan
Jawa
didominasi
ikan
pari
(Plesiobatis
sp.)
pada
kedalaman
200-
500
m.
Spesies
udang
yang
ditemukan
adalah
Heterocarpus
sp.
yang
terdapat
pada
kedalaman
260-950
m.
40
|ekoregion laut 2
Distribusi
perikanan
laut
dalam
di
perairan
sekitar
Luat
Jawa
Selatan
atau
J2
( gambar:
BRKP-OFCF
2005)
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
atau
sumberdaya
mineral
yang
terdapat
di
ekoregion
laut
2
berupa
satu
lokasi
cekungan
sedimen
sudah
dibor,
satu
lokasi
mengandung
thorium,
satu
lokasi
area
potensial
distibusi
endapan
iron
titanifferous,
dan
dua
lokasi
area
potensial
distibusi
endapan
placer
emas.
Potensi
lainnya
adalah
air
mineral
laut
dalam
(deep
sea
water)
yang
terdapat
di
Pelabuhan
Ratu
dan
digunakan
untuk
air
minum
melalui
proses
destilasi.
Kawasan
ini
juga
memiliki
potensi
jasa
lingkungan
berupa
wisata
bahari
di
Pantai
Pangandaran
dan
Pantai
Parang
Teritis.
KERAWANAN BENCANA
Berdasarkan
aspek
geologi,
wilayah
ini
merupakan
zona
subduksi
lempeng
tektonik,
sehingga
rawan
terhadap
bencana
gempa
dan
tsunami.
Pada
pesisir
Pulau
Sumatera
dan
Pantai
Jawa
bagian
Barat
yang
berbatasan
dengan
Selat
Sunda
memiliki
tingkat
kerentanan
yang
tinggi
terhadap
tsunami.
Hal
ini
disebabkan
pantai
tersebut
memiliki
kriteria
terbuka
dan
berhadapan
langsung
dengan
sumber
gempa.
Sepanjang
Pantai
Selatan
Pulau
Jawa
dikategorikan
memiliki
kerentanan
sedang
terhadap
tsunami.
Pantai
rawan
tsunami
dengan
resiko
sedang
memiliki
kriteria
pernah
terjadi
tsunami
dan
mencapai
daratan,
dengan
tinggi
gelombang
berdiri
lebih
dari
2-6
m
serta
menimbulkan
kerusakan
dan
korban
jiwa,
memiliki
morfologi
pantai
memanjang
tanpa
lekukan
dan
tingkat
kekasaran
pantai
sedang.
Letak
episentrum
gempa
bumi
agak
jauh
dengan
pantai,
mekanisme
patahan
normal
atau
naik
(Budiono
et
al.,
2003).
Beberapa
lokasi
di
sepanjang
Pantai
Selatan
Jawa
memiliki
tipe
pantai
yang
bertebing.
Berdasarkan
Peta
Rawan
Tsunami
(Sulistyo
dan
Suyono,
2009),
daerah
rawan
tsunami
terdapat
di
pantai
selatan
Pulau
Jawa,
terutama
pantai
perbatasan
Jawa
Tengah
dan
Jawa
Barat.
Kondisi
ini
seperti
pada
daerah
yang
bermorfologi
teluk
antara
lain
di
Teluk
Pangandaran
Jawa
Barat,
Teluk
Penyu
dan
Segara
Anakan
di
Cilacap,
Jawa
Tengah.
Dampak
tsunami
paling
besar
terjadi
di
Segara
Anakan
karena
memiliki
relief
yang
datar
pada
morfologi
dataran
aluvial
yang
luas.
Keberadaan
Pulau
Nusakambangan
secara
geografis
menguntungkan
Kota
Cilacap
karena
menjadi
barrier
utama
terhadap
gelombang
tinggi
tsunami.
Teluk
Penyu
ke
arah
timur
juga
memiliki
kerawanan
yang
cukup
tinggi
karena
topografi
wilayahnya.
Semakin
ke
arah
timur
hingga
kerawanan
menurun
karena
adanya
morfologi
beting
pantai
tidak
aktif
atau
inactive
beach
rigde
di
sepanjang
pantainya
hingga
di
perbatasan
antara
Jawa
Tengah
dan
Daerah
Istimiwa
Yogyakarta
(DIY)
bagian
barat.
Pantai
selatan
DIY
memiliki
kerawanan
tsunami
cukup
tinggi
pada
pantainya
sehingga
daerah
belakang
pantai
yang
bermorfologi
swale.
Pantai
Selatan
Jawa
bagian
timur
yang
rawan
terhadap
tsunami
terutama
pada
teluk-teluk
yang
pantainya
merupakan
pocket
beach
dengan
latar
belakang
berupa
perbukitan
berlereng
terjal
hingga
curam.
Pantai
Pengambengan
di
bagian
Selatan
Jawa
Timur
dengan
bentuk
lahan
berupa
fluviovolcanic
plain
dan
relief
miring
merupakan
daerah
yang
rawan
tsunami.
Begitu
pula
yang
terjadi
di
daerah
ujung
selatan
paling
timur
pantai
Jawa
Timur
yang
memiliki
lereng
datar
hingga
miring
rawan
terhadap
dampak
tsunami.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
2
merupakan
wilayah
laut
yang
berpotensi
untuk
menerima
pencemaran
yang
berasal
dari
limpasan
air
yang
berasal
dari
kegiatan
di
darat
seperti
pertanian,
rumah
tangga
dan
industri.
Oleh
karena
itu
kawasan
ini
berpotensi
untuk
tercemar
oleh
limbah
yang
mengandung
bahan
organik,
bahan
anorganik
dan
B3.
Bahan
tercemar
ini
masuk
melalui
limpasan
beberapa
sungai
yang
bermuara
ke
wilayah
ini.
Wilayah
laut
ini
berpotensi
untuk
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
yang
pada
akhirnya
juga
berpotensi
untuk
mengalami
blooming
plankton
dan
berpotensi
untuk
menjadi
source
carbon
yang
akan
menyumbang
GRK.
Hal
ini
sesuai
dengan
hasil
pemantauan
parameter
kualitas
air
terutama
ditinjau
dari
kandungan
bahan
organiknya
yang
memperlihatkan
nilai
BOD,
COD,
DO
dan
TSS
di
beberapa
DAS
yang
berada
di
atas
ambang
batas,
baik
menurut
Kriteria
Mutu
Air
(KMA)
kelas
I
maupun
II
(KLH,
2009a).
Sebagai
contoh,
Sungai
Progo,
Sungai
Opak
dan
Sungai
Serang
yang
bermuara
pada
laut
di
daerah
Bantul
dan
Kulon
Progo,
serta
Sungai
Cintandui
yang
bermuara
di
Segara
Anakan
Cilacap
miliki
status
tercemar
berat
(KLH,
2009a).
Selain
itu,
perairan
Segara
Anakan
yang
terhubung
dengan
ekoregion
ini
juga
telah
terdeteksi
mengandung
berbagai
bahan
organik
yang
berasal
dari
kegiatan
anthropogenik
seperti
rumah
tangga,
pertanian,
akuakultur,
industri
dan
perkapalan
(Sudaryanto,
2001;
Dsikowitzky
et
al.,
2011).
Lebih
dari
50
jenis
bahan
organik
antroropogenik
ditemukan
di
berbagai
macam
sampel
seperti
air,
sedimen
dan
terakumulasi
pada
organisme
bentos
dan
ikan
demersal
yakni
ikan
yang
hidup
di
dasar
perairan
(Dsikowitzky
et
al.,
2011).
Hal
ini
sesuai
dengan
hasil
penelitian
Riani
et
al.
(2013,
belum
dipublikasikan)
yang
memperlihatkan
adanya
akumulasi
logam
berat
pada
organisme
benthos.
Di
wilayah
ini
juga
berpotensi
untuk
tercemar
B3
jenis
lain
seperti
POPs,
PAH,
dan
pestisida.
Limbah
B3
yang
masuk
ke
wilayah
ini
berpotensi
untuk
mengkontaminasi
mahluk
hidup
yang
ada
di
dalamnya,
sehingga
dapat
menghasilkan
sumberdaya
perairan
yang
tidak
aman
untuk
dikonsumsi,
dapat
menurunkan
populasi,
bahkan
mengganggu
kelestarian
mahluk
hidup
yang
ada
di
dalamnya.
Kawasan
ekoregion
ini
juga
berpotensi
dicemari
oleh
tumpahan
minyak
dari
lalu
lintas
perkapalan
(Morton
dan
Blackmore,
2001),
terutama
kapal
tanker
yang
membawa
minyak
mentah
ke
industri
Pengolahan
Minyak
Pertamina
di
Cilacap.
Kondisi
ini
berpotensi
untuk
tercemari
oleh
logam
berat,
PAH
dan
POPs
yang
berasal
baik
dari
ceceran
maupun
dari
tumpahan
minyak.
Hal
ini
sesuai
dengan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Dsikowitzky
et
al.
(2011)
di
perairan
Segara
Anakan,
terutama
di
Sungai
Donan
yang
menunjukkan
adanya
dominasi
bahan
organik
polisiklik
aromatik
hidrokarbon
(PAHs),
khususnya
alkylated
PAHs
yang
biasa
terdapat
di
minyak
mentah.
Penelitian
Riani
et
al.
(2013
belum
dipublikasikan)
di
Sungai
Donan
juga
menunjukkan
bahwa
Sungai
Donan
juga
telah
tercemar
oleh
logam
berat
Hg,
Pb
dan
Cd.
42
|ekoregion laut 2
Nelayan Tanjung Pinang Kep Riau (foto : Handoko)
T
H
A
I L
A
0 75 150 300 Km
N
D
NGGROE
H DARUSSALAM
M
EL-3
A
L
A
EL-4
Y
S
I A
SUMATERA UTARA
RIAU KEPULAUAN-RIAU
S U MAT E RA
EL-1 EL-5
S
A
SUMATERA BARAT
M
U
JAMBI
D
E
R
B
A
H
I
Ekoregion Laut 3
Selat Malaka
Ekoregion
Laut
3
meliputi
perairan
laut
di
sebelah
Timur
Pulau
Sumatera.
Ekoregion
ini
memiliki
luas
111.343
2
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
laut
dangkal
yang
lebih
bersifat
sebagai
pesisir
karena
sangat
dipengaruhi
oleh
sifat
daratan,
yakni
oleh
banyaknya
sungai
yang
bermuara
di
ekoregion
tersebut.
Massa
air
dari
sungai-
sungai
di
pesisir
tersebut
membawa
nutrien,
sedimen,
salinitas
rendah
ataupun
massa
air
dengan
pH
rendah
yang
berasal
dari
sungai
lahan
gambut.
Kondisi
fisik
tersebut
menyebabkan
ekosistem
mangrove,
lamun,
dan
terumbu
karang
di
ekoregion
ini
dapat
hidup
dengan
baik
dan
memiliki
keanekaragaman
hayati
unik
tertentu.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
3
terbentuk
sebelum
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
kawasan
ini
adalah
paparan
benua
(continental
shelf)
dengan
kedalaman
sampai
258
m.
Ekoregion
Laut
3
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
seluruh
ekoregion
laut
ini
memiliki
o
dominasi
kemiringan
kelas
lereng
miring
(1-3 )
walaupun
ada
sebagian
pesisir
yang
memiliki
kelas
lereng
datar
o
agak
miring
(0-1 ).
OSEANOGRAFI
Pengaruh
Monsun
dari
Asia
sangat
kental
mewarnai
ekoregion
ini.
Pada
saat
Angin
Monsun
Barat,
angin
dari
arah
Laut
China
Selatan
berbelok
ke
arah
tenggara
membawa
banyak
hujan
yang
terjadi
antara
Bulan
Desember
hingga
Januari.
Hal
ini
mengakibatkan
banyak
volume
air
sungai
yang
bersalinitas
rendah
masuk
ke
ekoregion
ini.
Kondisi
sebaliknya
terjadi
pada
saat
Angin
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
sebagian
besar
bertipe
semidiurnal.
Hal
ini
sebagai
pengaruh
dari
Teluk
Benggala
yakni
di
bagian
utara
selat
hingga
sebelum
wilayah
perairan
Kepulauan
Riau
yang
memiliki
tipe
campuran
cenderung
semidiurnal.
Tipe
campuran
tersebut
dimungkinkan
terjadi
di
wilayah
tersebut
adalah
persimpangan
perbedaan
tekanan
muka
laut
dari
arah
Teluk
Benggala,
Selat
Karimata
dan
Laut
China
Selatan
yang
melalui
Laut
Natuna.
Sirkulasi
arus
di
ekoregion
ini
secara
umum
lebih
dipengaruhi
oleh
pasang
surut.
Arus
terkuat
terjadi
pada
saat
menuju
surut,
dengan
polanya
yang
sama
dengan
pada
saat
air
surut
terendah,
sirkulasi
masuk
ke
ekoregion
ini
sebagian
besar
berasal
dari
arah
Teluk
Benggala
dan
sebagian
lagi
dari
arah
Kepulauan
Riau.
Pada
saat
menuju
pasang
dan
saat
air
pasang
tertinggi,
arus
sebagian
bergerak
dari
Selat
Malaka
menuju
ke
Teluk
Benggala
dan
sebagian
lagi
bergerak
ke
arah
Kepulauan
Riau
(Wyrtki,
1961;
Pranowo
dan
Husrin,
2003;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Pranowo
dan
Husrin,
2003;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
(29,0
29,5C),
salinitas
(30-
32
PSU),
konsentrasi
oksigen
terlarut
(4,2
4,5
ml/liter),
dan
pH
(6,5
8,5).
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
(0,35
0,85
mol/liter),
konsentrasi
silikat
(2,5
25,0
mol/liter),
konsentrasi
nitrat
(2
10
mol/liter),
dan
klorofil
(0,05
0,50
gram/liter)
(Boyer
et
al.
2009).
Salah
satu
wilayah
yang
unik
di
ekoregion
ini
adalah
wilayah
perairan
Bintan
sebagai
tempat
pariwisata
memancing
ikan
di
laut
bagi
turis
terutama
dari
Malaysia
dan
Singapura
hampir
sepanjang
tahun.
Menurut
Pranowo
dan
Husrin
(2003),
pola
arus
pasang
surut
secara
umum
menunjukkan
bahwa
arus
di
sebelah
Selatan
dari
Perairan
Bintan
Timur
lebih
dinamis
dibanding
arus
di
sebelah
Utara.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
3
adalah
sebagai
koridor
konektivitas
ekosistem
dari
Laut
Andaman
ke
Laut
Natuna/Laut
Cina
Selatan.
Koridor
ini
memiliki
habitat
unik
dan
merupakan
koridor
potensial
untuk
penyebaran
larva
perairan
pedalaman
Indonesia
dan
Samudera
Hindia
bagian
timur.
46
|ekoregion laut 3
Di
pantai
timur
dan
utara
Pulau
Bintan
ditemukan
Pertumbuhan
berbagai
spesies
lamun
di
padang
lamun
pesisir
padang
lamun
yang
luas
(2.600
ha)
dengan
kerapatan
timur
P.
Bintan.
(foto:
Trismades)
dan
keragaman
spesies
yang
tinggi.
Dari
13
spesies
lamun
di
Indonesia,
10
spesies
ditemukan
di
pesisir
timur
Pulau
Bintan.
Spesies
lamun
tersebut
adalah
Cymodocea
rotundata,
C.
serrulata,
Enhalus
acoroides,
Halophila
spinulosa,
Halophila
ovalis,
Halodule
pinifolia,
Syringodium
isoetifolium,
Thalassodendron
ciliatum,dan
Thalassia
hemprichii.
Spesies
Thallassodendron
ciliatum
yang
biasanya
didapatkan
di
perairan
timur
Indonesia
mempunyai
tingkat
pertumbuhan
yang
cukup
bagus
di
ekoregion
ini.
Gambar
di
bawah
memperlihatkan
berbagai
spesies
lamun
di
pesisir
timur
Pulau
Bintan.
Selain
pertumbuhannya
yang
cukup
baik,
padang
lamun
di
Bintan
ini
dihuni
oleh
biota
asosiasi
yang
cukup
beragam
dan
menjadi
salah
satu
daerah
perikanan
tradisional
yang
cukup
produktif
(Wothuyzen
et
al.,
2008).
Biota
asosiasi
padang
lamun
di
Pesisir
timur
Pulau
Bintan
.
(foto:
Trismades)
Padang
lamun
di
Bintan
ini,
terutama
di
Desa
Berakit
dan
Pengudang,
juga
menjadi
habitat
duyung
(Dugong
dugon).
Beberapa
kali
binatang
langka
ini
terperangkap
di
alat
tangkap
sero
(kelong
darat)
penduduk
(Wothuyzen
et
al.,
2008).
Duyung
di
padang
lamun
Desa
Berakit
dan
Pengudang,
Pulau
Bintan.
(foto:
Trismades)
Sedimentasi
sangat
mempengaruhi
sebagian
besar
habitat
terumbu
karang
di
kawasan
ini,
karena
banyak
sungai-sungai
besar
yang
masuk
ke
Selat
Malaka.
Terumbu
karang
memiliki
keragaman
jenis
yang
relatif
rendah,
kecuali
di
beberapa
lokasi
seperti
Batam,
Bintan,
Senayang
dan
Lingga.
Persentase
tutupan
karang
di
Batam
mencapai
60%,
Bintan
55%,
dan
Senayang
Lingga
62%
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009).
Ekoregion
ini
diduga
menjadi
koridor
migrasi
dangkal
yang
penting
untuk
Cetacea
(Putra,
2005),
serta
bagi
beberapa
vertebrata
karismatik,
seperti
burung
laut
dan
penyu.
Sumatera
bagian
timur
dan
Selat
Malaka
merupakan
salah
satu
tempat
persinggahan
yang
penting
bagi
burung
air
yang
bermigrasi,
terutama
dari
suku
Charadriidae
dan
Scolopacidae.
Burung-burung
tersebut
melakukan
migrasi
tahunan
dari
lokasi
bersarang
mereka
di
belahan
bumi
utara
melalui
Asia
Timur
dan
Australia
menuju
belahan
bumi
selatan.
Berdasar
data
IUCN,
beberapa
burung
ini
merupakan
jenis
langka
dan
terancam
punah,
termasuk
trinil-lumpur
asia
(Limnodromus
semipalmatus),
trinil
nordmann
(Tringa
guttifer)
berstatus
genting,
dan
kuntul
cina
(Egretta
eulophotes).
Selat
Malaka
juga
merupakan
jalur
migrasi
penting
yang
digunakan
oleh
penyu
sisik
dan
penyu
hijau,
yang
beberapa
diantaranya
bergerak
dari
Kepulauan
Upeh-Malaysia
untuk
mencari
makan
di
Riau.
Selat
Malaka
secara
global
sangat
penting
bagi
sejumlah
vertebrata
pesisir.
Buaya
muara
Crocodylus
porosus
(status
IUCN:
rentan)
menghuni
hutan
bakau
di
Delta
Banyuasin-Sungai
Musi,
Taman
Nasional
Sembilang,
dan
Selat
Dumai.
Reptil
terbesar
di
dunia
yang
masih
hidup
ini,
berbiak
di
kawasan
bakau
Muara
Kampar,
Riau.
Ekoregion
Selat
Malaka
merupakan
habitat
yang
paling
penting
di
dunia
untuk
bangau
bluwok
Mycteria
cinerea,
salah
satu
burung
yang
paling
terancam
punah
di
dunia.
Selama
tahun
1990-an
total
populasinya
di
seluruh
dunia
hanya
mencapai
5.000-6.000
ekor,
dimana
lebih
dari
90%
di
antaranya
terdapat
di
hutan-hutan
bakau
di
pesisir
timur
Sumatera
dan
di
pantai
utara
dan
selatan
Jawa
(Segara
Anakan).
Bangau
bluwok
dapat
ditemukan
secara
eksklusif
di
hutan
bakau
Pantai
Timur
Jambi,
Tanjung
Koyan,
Tanjung
Selokan
dan
Semenanjung
Banyuasin
di
Sumatera
Selatan.
Bangau
tongtong
Leptoptilos
javanicus
(Lesser
Adjutant),
yang
berstatus
rentan
(IUCN)
dan
Chitra
indica
(status
IUCN:
kritis)
bersarang
di
bakau
yang
ada
di
Selat
Malaka,
dengan
sebagian
besar
populasinya
dapat
ditemukan
di
pantai
timur
Sumatera
(Sumatera
Selatan,
Jambi,
Riau,
Sumatera
Utara),
pantai
utara
Jawa
(Delta
S.
Brantas
dan
Bengawan
Solo)
dan
di
pantai
selatan
Jawa
(Segara
Boneka).
48
|ekoregion laut 3
Kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
(KKPD)
di
ekoregion
ini
meliputi:
1.
KKPD
di
Kabupaten
Bintan,
Kepulauan
Riau
.
2.
KKPD
di
Kabupaten
Serdang
Bedagai,
Sumatera
Utara.
3.
KKPD
di
Kota
Batam,
Kepulauan
Riau.
4.
KKPD
di
Senayang
Lingga,
Kepulauan
Riau.
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
3
berada
pada
WPP
571.
Merujuk
Keputusan
Menteri
KP
Nomor
45/2011,
potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
sumberdaya
ikan
pelagis
besar
(27.700
ton/tahun),
pelagis
kecil
(147.300
ton/tahun),
demersal
(82.400
ton/tahun),
udang
penaid
(11.400
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(5.000
ribu
ton/tahun),
lobster
(400
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(1.900
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
meliputi:
(i)
mangrove
dengan
luas
3.641
ha
tersebar
di
Pulau
Natuna,
Pulau
Subi
Besar
dan
Pulau
Panjang,
(ii)
padang
lamun
luas
5.976
ha
tersebar
di
pesisir
Natuna,
dan
Pulau
Subi,
dan
(iii)
terumbu
karang
luas
37.775
ha
yang
tersebar
di
beberapa
kawasan
ekoregion
ini.
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
KP
Nomor
45/2011
ditetapkan
status
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
3.
Pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
yang
sudah
over
exploited
termasuk
udang,
ikan
demersal
seperti
Spesies
kurau
(Eleutheronema
tetradactylum),
manyung
(Ariidae
spp)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus/Lutjanus
malabaricus),
dan
ikan
pelagis
kecil
seperti
Spesies
banyar
(Rastrelliger
kanagurta)
dan
kembung
(Rastrelliger
brachysoma).
Tingkat
pemanfaatan
yang
sudah
fully
exploited
pada
ikan
demersal
seperti
Spesies
kurisi
(Nemimterus
spp),
kuniran
swanggi
(Priacanthus
tayenus),
bloso
(Saurida
tumbil)
dan
gulamah
(Nibea
albiflora),
ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
layang
(Decapterus
macarellus,
Decapterus
macrosoma,
Decapterus
ruselli).
Beberapa
spesies
lainnya
dalam
tingkat
moderate
pemanfaatannya
seperti
ikan
pelagis
kecil
(golok-golok
Chirocentrus
dorab)
dan
ikan
pelagis
besar
(cakalang
Katsuwonus
pelamis)
sebagai
berikut:
Potensi
sumberdaya
tidak
terbaharukan
di
ekoregion
ini
adalah
sumberdaya
mineral
berupa
satu
cekungan
migas
yang
masih
berproduksi.
Ekoregion
ini
juga
mempunyai
satu
lokasi
jalur
granit
di
sekitar
Kepulauan
Riau
hingga
Singkep.
Satu
kawasan
yang
memiliki
potensi
endapan
placer
spekulatif
yang
mengandung
mineral
radioaktif
berupa
Thorium
(Th)
sampai
30m
dibawah
laut.
Terdapat
satu
lokasi
yang
memiliki
potensi
endapan
pasir
berukuran
gravel.
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
energi
terbarukan
dengan
memanfaatkan
arus
dari
Selat
Batam
sebagai
pembangkit
listrik.
KERAWANAN BENCANA
Secara
geologi,
Ekoregion
Laut
3
relatif
aman
terhadap
bencana
tsunami.
Hal
ini
disebabkan
wilayah
ini
bukan
merupakan
jalur
subduksi
lempeng
benua.
Karakteristik
selat
ini
memiliki
kedalaman
yang
relatif
dangkal.
Jenis
kebencanaan
yang
banyak
terjadi
di
wilayah
ini
bukan
merupakan
bencana
alam
seperti
tsunami,
namun
kerentanan
tinggi
terhadap
kebencanaan
yang
berasal
dari
faktor
manusia
atau
bencana
antropogenik.
Karena
merupakan
lalu
lintas
kapal
yang
padat,
wilayah
ini
rentan
terhadap
tumpahan
minyak
(Muarif,
2002),
perompakan,
dan
konflik
perbatasan
(Djalal,
2006).
PENCEMARAN
Perairan
Selat
Malaka
berpotensi
menerima
berbagai
bahan
pencemar,
dan
selanjutnya
akan
berakibat
pada
terjadinya
degradasi
lingkungan.
Selat
Malaka
merupakan
salah
satu
perairan
yang
dilaporkan
mengalami
degradasi
(Chua
et
al.
2000).
Sumber
pencemaran
yang
dapat
mencemari
kawasan
ini
adalah
kegiatan
yang
berasal
baik
dari
darat
seperti
rumah
tangga,
pertanian/perkebunan
dan
industri;
maupun
yang
berasal
dari
laut
seperti
perkapalan,
transportasi
laut
dan
kegiatan
migas.
Bahan
pencemar
yang
berpotensi
untuk
mencemari
adalah
bahan
organik
dan
bahan
anorganik.
Kondisi
ini
memungkinkan
tingginya
nilai
BOD
dan
COD
serta
TSS,
yang
pada
akhirnya
dapat
menyebabkan
terjadinya
ledakan
populasi
plankton
dan
akan
menyumbang
terjadinya
GRK
ke
atmosfir.
Adanya
potensi
pencemaran
B3
di
lokasi
ini
juga
akan
memberikan
potensi
untuk
terkontaminasinya
mahluk
hidup
yang
hidup
di
dalam
wilayah
perairan
tersebut,
sehingga
berpotensi
untuk
menjadi
ancaman
terhadap
kelestariannya,
sekaligus
dapat
berakibat
pada
tidak
amannya
sumberdaya
perairan
yang
terdapat
di
lokasi
tersebut.
Berbagai
DAS
yang
bermuara
ke
timur
Sumatera
dan
kepulauan
Riau
membawa
berbagai
limbah
dari
aktivitas
di
darat
dan
dapat
menyumbang
pencemaran
di
kawasan
ini.
Dari
hasil
pemantauan
parameter
kualitas
air
seperti
BOD,
COD,
DO,
TSS,
nitrit,
ammonia,
total
fosfor,
fenol,
parameter
deterjen,
fecal
coli
dan
total
coliform
di
Sungai
Lawe
Alas
(Aceh),
Batahan
(Sumatera
Utara),
Sungai
Kampar
(Riau)
dan
Sungai
Batanghari
(Jambi)
menunjukkan
nilai
di
bawah
ambang
batas,
baik
menurut
KMA
kelas
I
maupun
II
(KLH,
2009a).
Menurut
KLH
(2009a),
sungai-sungai
yang
bermuara
ke
Selat
Malaka
memiliki
status
mutu
air
tercemar
sedang
sampai
berat.
Demikian
juga
sungai-sungai
di
Lhokseumawe,
Deli,
Belawan
dan
Asahan,
juga
sudah
dilaporkan
cukup
tercemar
(Chua
et
al.,
2000).
Sebagai
contoh,
kandungan
beberapa
logam
berat
seperti
Hg,
Pb,
Cu
dan
Cd
dalam
air
di
beberapa
lokasi
tersebut
telah
melampaui
nilai
ambang
batas
baku
mutu
(Dahuri
dan
Pahlevi,
1996,
dalam
Chua
et
al.,
2000).
Logam
berat
adalah
parameter
pencemar
yang
biasa
dilaporkan
ada
di
Selat
Malaka.
Hal
ini
berhubungan
dengan
pelabuhan,
penyulingan
minyak,
eksploitasi
minyak
lepas
pantai
dan
transportasi
(Amin,
2002;
Nasution
dan
Siska,
2011,
Chua
et
al.,
2000).
Konsentrasi
tinggi
dari
tembaga,
kadmium,
kobalt,
nikel,
timah
dan
seng
juga
ditemukan
di
perairan
lepas
pantai
selatan
Singapura
dan
beberapa
lokasi
di
Malaysia
(Chua
et
al.,
2000).
Nilai
BOD
di
pantai
timur
Sumatera
Utara
berkisar
antara
3.3
56.6
mg/l,
sedangkan
nilai
COD
berkisar
antara
10.8
766.1
mg/l
(Chua
et
al.,
2000).
Kawasan
ini
juga
menerima
limbah
yang
berasal
dari
limpasan
air
sungai
dari
Malaysia
dan
Singapura.
Perkiraan
loading
BOD
dari
pembuangan
limbah
domestik
di
wilayah
pesisir
Indonesia,
Malaysia
dan
Singapura
pada
tahun
1998
mencapai
5014
ton/hari
dan
meningkat
menjadi
lebih
dari
6000
ton
perhari
pada
tahun
2000
(Chua
et
al.,
2000).
Beberapa
bahan
organik
anthropogenik
beracun,
seperti
POPs,
PAH,
TBT
juga
dilaporkan
terdapat
di
perairan
ini.
Penggunaan
bahan
kimia
pertanian
yang
tinggi
setiap
tahun
di
kawasan
Pulau
Sumatera,
seperti
insektisida
(3780
ton),
fungisida
(110
ton),
rodentisida
(291
ton)
dan
herbisida
(22
ton),
maka
pestisida
organoklorin
terdeteksi
di
lokasi
tersebut,
seperti
pada
sedimen
dari
muara
Sungai
Siak
(Munawir,
1996;
Sudaryanto
et
al.,
2007)
dan
Sungai
Asahan
(Munawir,
2002;
Sudaryanto
et
al.,
2007).
Demikian
juga
halnya
dari
sisi
negara
tetangga
Malaysia,
residu
pestisida
organoklorin
khususnya
DDE,
DDT
dan
heptaklor
umumnya
terdeteksi
dihampir
semua
sungai
Semenanjung
Malaysia
(Abdullah
et
al.,
1998
dalam
Chua
et
al.,
2000).
Selain
itu,
TBT
yang
digunakan
sebagai
cat
antifouling
pada
kapal
dan
jaring
akuakultur
terdeteksi
relatif
tinggi
di
sepanjang
50
|ekoregion laut 3
jalur
pelayaran
Selat
Malaka
(Hashimoto
et
al.,
1998).
Konsentrasi
TBT
yang
tinggi
juga
umum
ditemukan
di
sedimen,
kerang
dan
ikan
dari
perairan
yang
berhubungan
dengan
aktivitas
perkapalan,
seperti
Pelabuhan
Belawan
(Sudaryanto
et
al.,
2003)
dan
di
sepanjang
sisi
pantai
barat
Malaysia
(Sudaryanto
et
al.,
2004).
Lebih
lanjut,
dampak
dari
pencemaran
TBT
ini
telah
menyebabkan
kejadian
imposex
(pemandulan)
di
hewan
gastropod
di
perairan
Selat
Malaka
(Swennen
et
al.,
1997).
Hal
ini
mengindikasikan
ancaman,
tidak
hanya
terhadap
keanekaragaman
hayati
tetapi
juga
keamanan
pangan
dan
kesehatan
manusia.
Selat
Malaka
juga
berfungsi
sebagai
jalur
laut
utama
untuk
kapal
tanker
dan
kapal
kargo
yang
menghubungkan
antara
Samudera
Hindia
dan
Laut
China
Selatan
(Alino
dan
Gomez,
2001).
Jumlah
pengangkutan
minyak
dengan
tanker
melewati
selat
ini
diperkirakan
mencapai
lebih
dari
3
juta
barrel
per
hari
(Alino
dan
Gomez,
2001).
Karakter
hidrografi
selat
yang
sempit
dan
dangkal,
terutama
di
bagian
selatan,
menyebabkan
daerah
ini
sangat
rentan
terhadap
kecelakaan
kapal
tanker
yang
dapat
menyebabkan
pencemaran
oleh
tumpahan
minyak
ke
laut
(Nedi
et
al.
2010).
Dari
tahun
1978-1994,
telah
dilaporkan
terjadi
sekitar
476
kecelakaan
kapal
di
Selat
Malaka
yang
menyebabkan
tumpahan
minyak
(Chua
et
al.,
2000).
Sedangkan
Tabel
di
bawah
menunjukkan
berbagai
kecelakan
kapal
tanker
yang
terjadi
di
Selat
Malaka
dari
sisi
wilayah
perairan
Indonesia.
Kecelakaan
tersebut
menimbulkan
dampak
pada
lingkungan
pesisir,
produksi
perikanan
dan
kehidupan
nelayan
di
daerah-daerah.
10. 1997 Kepulauan Riau Pipa transfer minyak Caltex, bocor (minyak mentah)
11. 1999 Batam Mighty Serent II, tenggelam, limbah minyak
12. 2000 Batam MT Natuna Sea kandas (4000 ton minyak)
13. 2002 Bengkalis, Riau TKG. Bumindo, tenggelam, MFO
MV. Kamimasen Hyundai, Tongkang Cargo,
14. 2004 Selat Malaka tabrakan (minyak)
15. 1999 Batam Mighty Serent II, tenggelam, minyak
Tanjung Balai,
16. 2004 Karimun Tanker, MT. Vista Mariner, tenggelam, minyak
17. 2004 Pekanbaru Tanker MT. Maulana, terbakar, minyak
18. 2004 Batu Ampar, Batam Kapal Motor, KM. Swadaya Lestari, limbah minyak
Sumber:
Kementerian
Perhubungan
dalam
BOBLME
(2011)
Seperti
terlihat
pada
gambar
di
bawah
ini,
Ekoregion
Laut
3
juga
memiliki
potensi
pencemaran
yang
ditimbulkan
dari
kegiatan
migas.
Sekitar
21
perusahaan
minyak
dan
gas
beroperasi
di
wilayah
pantai
Pulau
Sumatera
yang
menghadap
ke
Selat
Malaka.
Berdasarkan
data
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
yang
ditunjukkan
pada
gambar
di
bawah
(KLH,
2009b),
terdapat
4
(empat)
titik
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
kegiatan
migas
dan
berlokasi
di
Lhokseumawe
dan
Riau.
Dan
1
(satu)
sumber
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
industri
kimia
di
Batam
Peta
sumber
potensi
pencemar
dari
kegiatan
industri
yang
dibuang
ke
laut
(gambar
:
KLH,
2009b)
Sebagai
akibat
penurunan
kualitas
perairan,
berbagai
indikator
menunjukkan
bahwa
terjadi
penurunan
stok
ikan
di
Selat
Malaka
(Chua
et
al.,
2000).
Sehingga
lebih
banyak
upaya
diperlukan
untuk
menangkap
ikan
pelagis
di
Selat
Malaka,
atau
nelayan
berpindah
kegiatan
ke
perairan
lain.
Selain
itu,
telah
dilaporkan
pula
bahwa
industri
akuakultur
dari
kerang
dan
tiram,
juga
rentan
terhadap
kerusakan
dari
tumpahan
minyak.
Misalnya,
industri
akuakultur
di
Malaysia
diperkirakan
kehilangan
RM
66,5
juta
(US
$
26
juta)
sebagai
akibat
dari
tumpahan
minyak
di
Johor
(Tahir,
1996
dalam
Chua
et
al.,
2000).
52
|ekoregion laut 3
Terumbu karang di kawasan Selat Malaka (foto : Handoko)
0 75
150 300 Km
EL-4
M
A
L
A
Y
S
S
Y
A
I A
L
A
M
KEPULAUAN-RIAU
KALIMANTAN BARA
MAT E RA
AT
KA
AMBI
R
IM
ATA
Ekoregion Laut 4
Laut Natuna
Ekoregion
Laut
4
meliputi
perairan
laut
dan
gugus
kepulauan
di
sebelah
Barat
laut
Kalimantan
dan
memiliki
luas
2
360.402
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
sangat
dipengaruhi
oleh
angin
monsun
dan
massa
air
dari
Laut
China
Selatan.
Kondisi
variabilitas
angin,
dan
perbedaan
antara
suhu
permukaan
laut
dengan
suhu
udara
diatasnya
seringkali
menimbulkan
benih
siklon
tropis
yang
kemudian
tumbuh
besar
ke
arah
lintang
yang
lebih
tinggi.
Terdapat
fenomena
fisik
arus
unik
yang
bernama
Natuna-Off-Shelf-Current
dan
arus
eddy
(arus
memutar)
yang
membawa
nutrien
dari
pesisir
pantai
terdekat
ke
arah
laut
sehingga
ekoregion
ini
adalah
sangat
kaya
akan
ikan.
Ekoregion
Laut
4
berbatasan
dengan
2
ekoregion
laut
yaitu
Selat
Malaka
dan
Selat
Karimata
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
dan
perbedaan
batimetri
pada
kedalaman
50
m.
Secara
geologi,
Ekoregion
Laut
4
terbentuk
sebelum
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
4
adalah
paparan
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
sampai
dengan
1.879
m.
Ekoregion
ini
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
o
2009).
Pada
Kawasan
ini
kemiringan
kelas
lereng
miring
(1-3 )
mendominasi
walaupun
ada
sebagian
pesisir
yang
o
memiliki
kelas
lereng
datar
agak
miring
(0-1 ).
Peta
Karakteristik
Pantai
Pulau
Senoa,
salah
satu
pulau
di
Kepulauan
Natuna,
Provinsi
Kepulauan
Riau
sebagai
salah
satu
Pulau
Terdepan
NKRI
(Sumber
:
Puslitbang
Geologi
Kelautan,
KESDM,
2010)
(kiri)
Salah
satu
patok
titik
dasar
(TD-032)
yang
terdapat
di
Pulau
Subi
Kecil
(Gugusan
Pulau
Serasan)
Kabupaten
Natuna
Propinsi
Kepulauan
Riau
sebagai
pulau
terdepan
berbatasan
dengan
Malaysia
(gambar
:
Puslitbang
Geologi
Kelautan,
KESDM,
2010)
(kanan)
OSEANOGRAFI
Ekoregion
Laut
Natuna
sangat
dipengaruhi
oleh
monsun.
Pola
sirkulasi
arus
sangat
dominan
pada
Monsun
Barat
yang
dibangkitkan
oleh
angin
Timur
Laut
dari
arah
Laut
China
Selatan,
dan
juga
kuat
pada
saat
Monsun
Timur
dimana
arus
dibangkitkan
oleh
Angin
Barat
Daya
menuju
ke
arah
Laut
China
Selatan.
Pada
saat
Monsun
Peralihan,
kekuatan
angin
berhembus
lemah,
arah
angin
tidak
menentu
yang
menyebabkan
pola
sirkulasi
lokal
juga
sangat
kurang
dari
60
cm/detik
(Wyrtki
1961;
Fang
et
al.,
2002;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Pada
Monsun
Peralihan
terdapat
fenomena
fisik
arus
unik
yang
bernama
Natuna-Off-Shelf-Current
yang
merupakan
perpanjangan
dari
arus
Southern-China-Sea-Cyclonic-Eddy
yang
memutar
balik
ke
arah
Laut
China
Selatan
di
Laut
Natuna,
dengan
arah
putaran
berlawanan
arah
jarum
jam
(Wyrtki,
1961;
Xue
et
al.,
2004).
56
|ekoregion laut 4
Laut
Natuna
memiliki
tipe
pasang
surut
campuran
cenderung
diurnal
yang
merupakan
pengaruh
dari
Laut
China
Selatan
(Wyrtki,
1961).
Selanjutnya
kopling
antara
atmosfer
dengan
laut
adanya
transpor
pertukaran
massa
air
antara
perairan
Indonesia
dengan
massa
air
Laut
China
Selatan
yang
melalui/di
Laut
Natuna.
Perairan
di
ekoregion
ini
termasuk
bukan
area
upwelling.
Tetapi
daerah
ini
disuplai
oleh
cukup
nutrien
melalui
upwelling
yang
terjadi
di
sekitar
Vietnam
(Juni-Agustus)
dan
Pesisir
Malaysia
di
Pulau
Kalimantan
bagian
Utara
(Maret-Mei)
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Secara
umum
kisaran
komponen
fisik
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
adalah
suhu
air
laut
cukup
tinggi
(27,5
29,5C),
salinitas
(32,5-33,5
PSU),
konsentrasi
oksigen
terlarut
(4,0
4,6
ml/liter);
pH
(8,0
8,75)
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009).
Di
kawasan
ini
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,05
0,35
mol/liter;
konsentrasi
silikat
7,5
30,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1,0
5,0
mol/liter;
dan
klorofil
0,05
5,0
gram/liter
(Pranowo
et
al.
2012c;
Boyer
et
al.
2009).
Pada
musim
Monsun
Timur,
ekoregion
ini
mencapai
suhu
terendah
diseluruh
perairan
Indonesia
dengan
kisaran
26
27C.
Pada
saat
Monsun
Barat
mencapai
suhu
tertinggi
di
seluruh
perairan
Indonesia
dengan
rerata
suhu
berkisar
29
30C.
Menurut
Pranowo
et
al.
(2012c),
suhu
rerata
pada
Monsun
Barat
di
lapisan
kedalaman
0-20
m
(permukaan)
berkisar
26,52
27,30C,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
26,28-26,68C,
di
lapisan
50-100
mberkisar
antara
24,32-26,05C;
suhu
rerata
pada
Monsun
Peralihan
I,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
28,01
29,51C,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
27,15-27,77C,
di
lapisan
50-100
m
24,67-
25,65C.
Selanjutnya
suhu
rerata
pada
Monsun
Timur
di
lapisan
permukaan
berkisar
antara
28,59
29,46C,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
27,77-28,92C,
di
lapisan
50-100
m
berkisar
antara
25,95-28,94
C;
suhu
rerata
pada
Monsun
Peralihan
II,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
28,65
29,11C,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
28,53-28,81
C,
dan
pada
lapisan
50-100
m
berkisar
antara
26,30-26,44C.
Variabilitas
salinitas
menurut
Pranowo
et
al.
(2012c)
adalah
salinitas
rerata
pada
Monsun
Barat,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
32,98
33,46
PSU,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
33,26
33,51
PSU,
di
lapisan
50-100
m
berkisar
antara
33,53
33,57
PSU;
salinitas
rerata
pada
Monsun
Peralihan
I,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
33,58
33,83
PSU,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
33,54
33,85
PSU,
di
lapisan
50-100
m
berkisar
antara
33,85
34,04
PSU;
salinitas
rerata
pada
Monsun
Timur,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
32,87
33,35
PSU,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
33,12
33,33
PSU,
di
lapisan
50-100
mberkisar
antara
33,74
33,87
PSU;
salinitas
rerata
pada
Monsun
Peralihan
II,
di
lapisan
kedalaman
permukaan
berkisar
antara
32,71
33,16
PSU,
di
lapisan
20-50
m
berkisar
antara
32,98
33,37
PSU,
di
lapisan
50-100
m
berkisar
antara
33,63
33,71
PSU.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakter
utama
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
4
yang
meliputi
wilayah
Laut
Natuna
dan
Anambas
adalah
terumbu
karang
yang
merupakan
wakil
dari
habitat
karang
Indonesia
di
Laut
Cina
Selatan.
Karang
ini
umumnya
mengelilingi
pulau-pulau
kecil
di
Kepulauan
Natuna
dan
Anambas.
Selain
terumbu
karang
juga
terdapat
mangrove,
padang
lamun
dan
sejumlah
biota
laut
penting
seperti
napoleon
dan
penyu.
Berdasarkan
analisis
penginderaan
jauh
dari
citra
satelit,
luas
mangrove
di
Natuna
dan
Anambas
sebesar
2.208
ha
(Suhendra,
2010).
Mangrove
tumbuh
pada
pulau-pulau
utama
dalam
kondisi
jumlah
populasi
yang
sangat
sedikit
dan
luasan
habitat
yang
sempit.
Sedikitnya
populasi
dan
sempitnya
habitat
tersebut
dikarenakan
oleh
pantai-pantainya
yang
terjal
dan
berbatu,
tidak
adanya
sungai,
serta
substrat
dasarnya
karang
dan
berpasir
putih.
Keadaan
pantai
seperti
ini
bukanlah
kawasan
yang
optimal
untuk
tempat
hidup
mangrove.
Ekspedisi
Anambas
yang
dilaksanakan
pada
tahun
2002
menemukan
tiga
spesies
lamun
(seagrass)
di
Kepulauan
Natuna
-
Anambas
yang
termasuk
dalam
dua
famili
yaitu
Hydrocharitaceae
dan
Potamogetonaceae.
Ketiga
spesies
tersebut
adalah
Halophila
ovalis,
Halodule
pinifolia,
dan
Halodule
uninervis.
Lebih
lanjut,
di
dalam
ekspedisi
tersebut
juga
diidentifikasi
74
spesies
seaweed
(macrophyte),
yang
terdiri
dari
23
spesies
alga
merah
(Rhodophyceae),
22
spesies
alga
coklat
(Phaeophyceae),
dan
29
spesies
dari
alga
hijau
(Chlorophyceae)
(Liao,
2004).
Berdasarkan
analisis
penginderaan
jauh
dari
citra
Satelit,
luas
padang
lamun
dan
seaweed
di
Natuna
dan
Anambas
adalah
5.352
ha
(Suhendra,
2010).
Tipe
terumbu
karang
yang
banyak
ditemui
adalah
terumbu
karang
tepi
(fringing
reef),
serta
sedikit
dari
karang
penghalang
(barrier
reef)
dan
karang
atol
(patch
reef).
Dominannya
karang
pantai
karena
ekoregion
ini
terdiri
dari
pulau-pulau
kecil
yang
tidak
memiliki
sungai-sungai
besar,
seperti
di
Natuna
dan
Anambas.
Bentuk
karang
yang
dominan
berjumlah
13
bentuk
yang
terdiri
dari
karang-karang
meja,
lunak,
bercabang,
foliase,
mushroom,
encrusting,
masive,
sponges,
clam,
zoanthiads,
gorgonian,
anemon,
dan
patahan
karang.
Karang
tersebut
terhampar
di
sepanjang
pantai
sekitar
pesisir
pulau-pulau,
dan
mencapai
kedalaman
laut
yang
tidak
lebih
dari
40
meter.
Persen
tutupan
karang
berkisar
antara
25%
-
85%,
dan
rata-rata
mencapai
40%
-
65%
(P2O-LIPI,
2011).
Dalam
survei
tersebut
ditemukan
sebanyak
55
genera,
dengan
spesies
dominan
adalah
Porites
cylindrica,
Porites
nigrescens,
Porites
rus,
dan
Montipora
spumosa.
Kepulauan
Natuna
-
Anambas
hmemiliki
luas
terumbu
karang
seluas
92.788
ha
berdasarkan
analisis
penginderaan
jauh
dari
satelit
(P2O-LIPI,
2011).
Kajian
cepat
kondisi
kelautan
di
perairan
Anambas
tahun
2012
mencatat
339
spesies
karang
keras
(hard
coral),
dan
667
spesies
ikan
karang
(Allen
dan
Erdmann,
2012).
58
|ekoregion laut 4
Ikan
Pari
listrik,
Temerahardwickii.
(foto:
P2O-LIPI
2012)
(kanan
atas)
Ikan
Pari
Mangrove,
Himantura
granulata
(P2O-LIPI
2012)
(kanan
bawah)
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
4
berada
pada
WPP
711.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
sumberdaya
ikan
pelagis
besar
(66,1
ribu
ton/tahun),
ikan
pelagis
kecil
(621,5
ribu
ton/tahun),
ikan
demersal
(334,8
ribu
ton/tahun),
udang
Penaid
(11,9
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(21,6
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,4
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(2,7
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
mangrove
dengan
luas
3.640,52
ha
di
sekitar
Pulau
Natuna,
Pulau
Subi
Besar
dan
Pulau
Panjang,
padang
lamun
seluas
5.976,09
ha
di
Pesisir
Natuna,
dan
Subi,
dan
terumbu
karang
seluas
37.774,68
ha
di
beberapa
kawasan
ekoregion
ini.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
4
memiliki
beberapa
tingkat
pemanfaatan.
Sumberdaya
perikanan
yang
sudah
over
exploited
adalah
udang,
ikan
demersal
seperti
Spesies
kurau
(Eleutheronema
tetradactylum).
Sumberdaya
perikanan
yang
berkategori
fully
exploited
adalah
Spesies
manyung
(Ariidae
spp)
dan
Spesies
banyar
(Rastrelliger
kanagurta),
kembung
(Rastrelliger
brachysoma),
layang
(Decapterus
macrosoma
dan
Decapterus
ruselli).
Tingkat
pemanfaatan
moderate
pada
spesies
cumi-cumi
(Loligo
spp).
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
dari
ekoregion
ini
adalah
sumberdaya
mineral
berupa
satu
cekungan
migas
berproduksi,
serta
satu
cekungan
migas
yang
sudah
ada
penemuan.
Potensi
migas
di
ekoregion
ini
berupa
cadangan
minyak
14
juta
barel
dan
gas
45
triliun
feet
cubic.
Sebagian
besar
dari
ekoregion
ini
memiliki
potensi
endapan
pasir
berukuran
gravel.
Potensi
jasa
lingkungan
dari
ekoregion
ini
adalah
sebagai
alur
pelayaran
internasional.
KERAWANAN BENCANA
Secara
geologis,
Laut
Natuna
terletak
di
luar
pertemuan
lempeng
tektonik.
Dengan
karakteristik
yang
demikian
maka
ekoregion
laut
Natuna
relatif
terbebas
dari
bencana
gempa
dan
tsunami.
Ekoregion
Laut
4
terdapat
pulau-
pulau
kecil
seperti
Kepulauan
Natuna
dan
Kepulauan
Anambas.
Dengan
karakteristik
yang
demikian,
maka
potensi
bencana
yang
dihadapi
bukan
gempa
ataupun
tsunami,
namun
ancaman
utama
adalah
perubahan
iklim
dan
kenaikan
muka
air
laut
(sea
level
rise).
Pulau-pulau
kecil
merupakan
salah
satu
daerah
yang
paling
rentan
terhadap
kenaikan
muka
laut
(Mimura,
1999).
Pelling
dan
Uitto
(2001)
juga
mengemukakan
beberapa
karakteristik
yang
menjadi
alasan
mengapa
suatu
pulau-pulau
kecil
rentan,
yaitu
(1)
ukuran
kecil
yang
berimplikasi
pada
keterbatasan
sumberdaya
berbasis
daratan,
(2)
insularity
dan
remoteness
yang
berimplikasi
pada
biaya
transportasi
yang
mahal
dan
memerlukan
waktu
yang
lebih
lama,
(3)
masalah
faktor
lingkungan
seperti
ketersingkapan
terhadap
gangguan,
(4)
kapasitas
mitigasi
terhadap
bencana
yang
terbatas,
(5)
faktor
penduduk
yang
memiliki
kualitas
sumberdaya
manusia
(SDM)
yang
rendah,
tingkat
pertumbuhan
penduduk
yang
tinggi,
dan
(6)
faktor
ekonomi
seperti
ketergantungan
pada
pembiayaan
eksternal,
pasar
internal
yang
terbatas.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
Natuna
merupakan
wilayah
laut
yang
berpotensi
untuk
menerima
pencemaran
yang
terutama
berasal
dari
kegiatan
minyak
dan
gas.
Ladang
gas
Natuna
(D-Alpha)
yang
terletak
225
km
di
sebelah
utara
Pulau
Natuna
dengan
total
cadangan
222
TCF
dan
gas
hidrokarbon
yang
bisa
diperoleh
sebesar
46
TCF
adalah
merupakan
salah
satu
sumber
terbesar
di
Asia.
Sementara
itu,
Pulau
Matak
di
Anambas,
saat
ini
menjadi
pangkalan
eksplorasi
minyak.
Cadangan
minyak
bumi
Natuna
diperkirakan
mencapai
14.386.470
barel.
Selanjutnya,
berdasarkan
data
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
(KLH,
2009b),
terdapat
3
(tiga)
titik
sumber
pencemar
ke
wilayah
ini
berasal
dari
kegiatan
migas,
yang
berlokasi
di
Kab.
Natuna.
Total
volume
limbah
yang
3
dihasilkan
dari
kegiatan
ini
diperkirakan
sebesar
114.955,43
m /hari.
Dari
kegiatan
tersebut,
maka
potensi
bahan
pencemar
yang
mungkin
mencemari
ekoregion
ini
adalah
bahan
organik
dan
anorganik,
terutama
PAHs,
POPs
dan
logam
berat.
Selain
itu,
kawasan
ini
menjadi
perlintasan
yang
penting
bagi
kapal-kapal
perdagangan
yang
melintas
di
kawasan
selatan
Asia
termasuk
Jepang,
Eropa,
Amerika,
Vietnam,
Kamboja,
Cina
dan
kapal-kapal
asing
lainnya
yang
melintasi
perairan
internasional
menuju
Selat
Malaka.
Karena
itu,
kawasan
ini
juga
memiliki
kerentanan
terhadap
pencemaran
yang
disebabkan
oleh
tumpahan
minyak.
Jumlah
minyak
mentah
yang
diangkut
oleh
kapal
tanker
melalui
jalur
distribusi
minyak
internasional
ini
diperkirakan
mencapai
>
3
juta
barrel
per
hari
(Alino
dan
Gomez,
2001).
Kawasan
ini
juga
berpotensi
untuk
dapat
tercemar
oleh
senyawa
TBT,
sebagaimana
diindikasikan
oleh
Hashimoto
et
al.
(1998).
Bila
terjadi
tumpahan
minyak
maka
dapat
mengakibatkan
terganggu
atau
bahkan
gagalnya
kegiatan
budidaya
perikanan,
seperti
ikan,
krustase
tiram,
dan
sebagainya.
Sedangkan
pencemaran
oleh
TBT
dapat
mengakibatkan
terjadinya
gangguan
reproduksi
gastropod
sebagai
akibat
terjadinya
imposex
seperti
yang
umum
ditemukan
di
Selat
Malaka
dan
Teluk
Thailand
yang
padat
aktivitas
perkapalannya
(Swennen
et
al.,
1997).
60
|ekoregion laut 4
Terumbu karang diantara jalur perjalanan di wilayah Belitung (foto : Yoniar Hufan-BIG)
LAUT CINA SELATAN
0 62.5 125 250 Km
M
EL-4
A
L
A
Y
S
I A
I A
S
Y
A
L
A
M
KEPULAUAN-RIAU
KALIMANTAN BAR
KALI MAN TAN
JAMBI
EL-5
SE
L
AT
KA
R
IM
S U MAT E RA
AT
BANGKA-BELITUNG
A
LU SUMATERA SELATAN
LAMPUNG
EL-6
LAUT JAWA
Ekoregion Laut 5
Selat Karimata
Ekoregion
Laut
5
meliputi
perairan
laut
di
antara
Pulau
Sumatera
dan
Pulau
Kalimantan
dengan
luas
270.859
2
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
kondisi
oseanografi
yang
sangat
dipengaruhi
oleh
pasang
surut
bertipe
diurnal,
yang
secara
geografis
unik
karena
diapit
oleh
tipe
campuran
cenderung
diurnal
di
Laut
Jawa
dan
Laut
Natuna.
Selain
itu
Arus
Monsun
Indonesia
(ARMONDO)
juga
masih
berpengaruh
disini.
Secara
geologi,
ekoregion
laut
5
terbentuk
sebelum
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
ekoregion
5
adalah
paparan
benua
(continental
shelf)
dengan
kedalaman
sampai
53
m.
Ekoregion
Laut
5
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda.
Berdasarkan
peta
kemiringan
lereng
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
o
2009),
kawasan
ini
didominasi
dengan
kemiringan
kelas
lereng
miring
(1-3 )
walaupun
ada
sebagian
pesisir
yang
o
memiliki
kelas
lereng
datar
agak
miring
(0-1 ).
OSEANOGRAFI
Angin
yang
bertiup
diatas
ekoregion
ini
adalah
ekstensi
dari
angin
yang
berhembus
di
Ekoregion
Laut
Natuna.
Pada
saat
Monsun
Barat,
angin
bergerak
ke
tenggara,
dan
kondisi
sebaliknya
terjadi
pada
saat
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Putri,
2005).
Menurut
Adi
et
al.
(2004),
pola
arus
Monsun
di
Selat
Karimata
dan
Laut
Jawa
adalah
pada
Monsun
Barat
di
Selat
Karimata,
arus
bergerak
ke
arah
selatan
memasuki
Laut
Jawa
dan
selanjutnya
membelok
ke
arah
timur.
Arus
di
Laut
Jawa
pada
Monsun
Timur
bergerak
ke
arah
barat
selanjutnya
membelok
ke
utara
memasuki
Selat
Karimata.
Pada
Monsun
Peralihan
arah
arus
tidak
menentu,
dan
banyak
terjadi
Putaran
arus
(eddy).
Umumnya
pada
Monsun
Peralihan
terdapat
arus
dari
Selat
Karimata
yang
mengalir
ke
Timur
di
lepas
Pantai
Jawa,
dan
juga
terdapat
arus
mengalir
ke
Barat
di
lepas
Pantai
Barat
Kalimantan.
Pada
tahun
1400
1900
terdapat
banyak
kecelakaan
kapal
akibat
badai
laut/gelombang
tinggi
yang
menenggelamkan
kapal-kapal
dagang
di
sekitar
ekoregion
ini
(Pranowo
et
al.,
2012b).
Kondisi
oseanografi
yang
sangat
dipengaruhi
oleh
pasang
surut
bertipe
diurnal,
secara
geografis
unik
karena
diapit
oleh
tipe
campuran
cenderung
diurnal
di
Laut
Jawa
dan
Laut
Natuna
(Wyrtki,
1961).
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
cukup
tinggi
(27,5
29,0C),
salinitas
(31,0-33,5
PSU),
konsentrasi
oksigen
terlarut
(4,1
4,3
ml/liter),
dan
pH
(7,0
8,25).
Untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
(Boyer
et
al.,
2009)
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,05
0,35
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
30
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
2,5
10,0
mol/liter;
dan
klorofil
0,05
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
64
|ekoregion laut 5
Kawasan
konservasi
di
Ekoregion
Laut
5
terdapat
dua
jenis
kawasan
konservasi,
yaitu
KKPD
dan
CAL.
Kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
antara
lain
KKPD
Bengkayang,
Kalimantan
Barat;
KKPD
Kabupaten
Bintan,
Kepulauan
Riau;
dan
KKPD
Senayang
Lingga,
Kepulauan
Riau.
Sedangkan
kawasan
CAL
terdapat
di
Kepulauan
Karimata,
Kalimantan
Barat.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
5
berada
pada
zona
WPP
711.
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
mangrove
dengan
luas
355.645,69
ha
tersebar
di
sekitar
Pesisir
Barat
Kalimantan,
Pesisir
Sumatera
Selatan
dan
Pesisir
Bangka-Belitung,
lamun
dengan
luas
3.575,07
ha
tersebar
di
Pesisir
Natuna,
dan
Pulau
Subi.
Terumbu
Karang
dengan
luas
10.558,52
ha
tersebar
di
Ekoregion
Laut
5.
Untuk
potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan,
ekoregion
ini
mempunyai
potensi
sumberdaya
energi
berupa
satu
lokasi
jalur
granit
sekitar
Kepulauan
Bangka
dan
Belitung,
juga
terdapat
daerah
spekulatif
mengandung
mineral
radioaktif
berupa
Thorium
(Th)
sampai
30
m
di
bawah
laut,
satu
lokasi
area
berpotensi
endapan
placer
emas,
serta
sebagian
besar
berpotensi
pasir
dan
gravel.
Terdapat
Benda
Muatan
Asal
Kapal
Tenggelam
(BMKT)
di
Perairan
Belitung
Timur,
Selat
Karimata,
Pulau
Bangka
dan
Kalimantan
Barat.
KERAWANAN BENCANA
Selat
Karimata
merupakan
perairan
pedalaman
di
Indonesia.
Selat
ini
relatif
aman
terhadap
bencana
tsunami
dan
gempa
(Budiono
et
al.,
2003).
Berdasarkan
aspek
morfologi
pantai
disini
terbentuk
pantai
yang
landai
atau
datar.
Karakteristik
jenis
pantai
ini
menurut
Hantoro
(2005)
adalah
pesisir
datar
hingga
landai.
Sedimentasi
kuat
terjadi
di
perairan
bila
di
hulu
mengalami
erosi.
Kompaksi
sedimen
diiringi
penurunan
permukaan
tanah,
sementara
air
tanah
tawar
sulit
ditemukan.
Kerentanan
yang
terjadi
adalah
kenaikan
muka
air
laut
dan
perubahan
iklim.
Ancaman
kenaikan
muka
air
laut
tidak
hanya
mengancam
pulau-pulau
kecil,
namun
juga
terhadap
wilayah
dengan
karakteristik
pantai
datar.
Hal
ini
akan
berakibat
pada
perubahan
tutupan
vegetasi.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
5
berpotensi
menerima
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga,
pelabuhan,
transportasi,
pertanian/perkebunan,
aktivitas
perkotaan
dan
industri
melalui
limpasan
air
DAS
yang
bermuara
ke
kawasan
ini.
Selain
itu,
sebagai
akibat
proses
geologi
batuan,
air
tanah
di
dataran
rendah
delta
pantai
timur
Sumatera
juga
dapat
menjadi
sumber
pencemaran
unsur-unsur
tertentu
(Winkel
et
al.,
2008).
Lebih
lanjut,
wilayah
ini
juga
memiliki
kerentanan
terhadap
pencemaran
tumpahan
minyak
karena
merupakan
jalur
distribusi
minyak
internasional,
dengan
jumlah
pengangkutan
sekitar
0,2
-
1
juta
barrel
per
hari
(Alino
dan
Gomez,
2001).
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
pencemaran
yang
ditimbulkan
dari
kegiatan
migas.
Berdasarkan
data
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
(KLH,
2009b),
terdapat
satu
titik
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
kegiatan
pertambangan
yang
berlokasi
di
Kabupaten
Bangka
Barat.
Total
volume
limbah
yang
dihasilkan
dari
kegiatan
ini
3
adalah
sebesar
24.742
m /hari.
Dari
berbagai
kegiatan
tersebut,
maka
bahan
pencemar
organik
dan
anorganik
berpotensi
untuk
mencemari
kawasan
ini.
Dari
hasil
pengukuran
parameter
kualitas
air
seperti
pH,
BOD,
COD,
DO,
TSS,
nitrit,
ammonia,
total
fosfor,
fenol,
fecal
coli,
dan
total
coliform
di
beberapa
titik
pantau
DAS
utama
umumnya
telah
melebihi
ambang
batas
KBM
kelas
I
maupun
kelas
II
(KLH,
2009a).
Berdasarkan
parameter
tersebut,
sungai-sungai,
seperti
Sungai
Batanghari
(Jambi),
Sungai
Musi
(Sumatera
Selatan),
Sungai
Baturusa
(Bangka
Belitung)
dan
Sungai
Duriangkang
(Kepulauan
Riau)
telah
digolongkan
mempunyai
status
tercemar
sedang
sampai
berat
(KLH,
2009a).
Adanya
66
|ekoregion laut 5
input
nutrien
dari
DAS
yang
telah
tercemar,
berpotensi
untuk
terjadinya
ledakan
populasi
plankton
dan
menjadi
source
carbon
yang
dapat
menyumbang
terjadinya
GRK.
Selain
itu,
air
tanah
dari
endapan
termuda
(Holocane)
lapisan
gambut
dan
lapisan
sedimentasi
alluvial
di
pantai
timur
Sumatera
Selatan
mempunyai
konsentrasi
As
yang
tinggi
melebihi
nilai
pedoman
WHO
untuk
air
minum
(>
10
mg/l)
dengan
nilai
maksimum
65
g/l
(Winkel
et
al.,
2008).
Demikian
juga
dengan
unsur-unsur
logam
lain
seperti
B,
Mn,
dan
Se
juga
melebihi
nilai
pedoman
WHO
air
minum
(Winkel
et
al.,
2008).
Bahan
anthropogenik
organik
B3
seperti
POPs
pestisida,
terutama
HCHs
(hexachlrocyclohexanes)
dan
DDTs
adalah
umum
dilaporkan
di
air
dan
sedimen
muara
sungai
dan
pantai
di
kawasan
ini
(lihat
Sudaryanto
et
al.,
2007).
Hal
ini
dideteksi
di
lokasi
seperti
Kuala
Tungkal
(Jambi),
Kuala
Jambi
(Jambi),
dan
Sungai
Musi
(Palembang).
TBT
juga
ditemukan
di
sedimen
dari
Kuala
Tungkal
(Sudaryanto
et
al.,
2005;
Sudaryanto
et
al.,
2007).
Namun
demikian,
konsentrasi
dari
senyawa
B3
ini
masih
lebih
rendah
dari
beberapa
wilayah
pantai
di
Pulau
Jawa,
seperti
Teluk
Jakarta,
Surabaya
dan
Cirebon
(Sudaryanto
et
al.,
2007).
Senyawa
POPs
dan
TBT
di
perairan
ini
berpotensi
untuk
mengkontaminasi
makhluk
hidup
di
dalamnya.
Senyawa
TBT
dan
POPs
lain,
seperti
PCBs,
DDT,
CHLs,
HCHs
telah
dilaporkan
terdeteksi
di
kerang
hijau
(Perna
viridis)
di
kawasan
ini
meskipun
konsentrasinya
juga
lebih
rendah
bila
dibanding
biota
yang
sama
di
Teluk
Jakarta,
Surabaya
dan
Cirebon
(Sudaryanto
et
al.,
2005;
Monirith
et
al.,
2003).
Bioakumulasi
POPs
di
biota
telah
menjadi
perhatian
karena
potensi
daya
racunnya,
sehingga
dapat
menghasilkan
sumberdaya
perikanan
yang
tidak
aman
untuk
dikonsumsi,
bahkan
dapat
berpotensi
untuk
menurunkan
populasi
dan
menurunkan
keanekaragaman
hayati.
KALIMANTAN TIMUR
LAUAN-RIAU
KALIMANTAN BARAT
AK
AT
TM
KA
LA
SE
IMR
BANGKA-BELITUNG
ATA
KALIMANTAN SELATAN
EL-8
A SELATAN
ATE RA
EL-6
EL-8
LAMPUNG LAUT JAWA
DKI JAKARTA
BANTEN
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA
DIY JAWA TIMUR
EL-2
BALI
NUSA TENGGARA
S A
M U
EL-9
D E
R A
H I
N D
I A
0 100 200 400 Km
Ekoregion Laut 6
Laut Jawa
Ekoregion
Laut
6
meliputi
perairan
laut
disebelah
Utara
Pulau
Jawa
dan
sebelah
Selatan
Pulau
Kalimantan
2
dengan
luas
437.978
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
berupa
laut
dangkal
yang
kondisi
oseanografinya
sangat
dipengaruhi
oleh
pasang
surut
bertipe
campuran
cenderung
diurnal
di
Laut
Jawa,
dan
juga
monsun.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
6
terbentuk
sekitar
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001).
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
6
adalah
paparan
benua
(continental
shelf),
dengan
kedalaman
sampai
992
m.
Ekoregion
ini
merupakan
bagian
dari
Paparan
Sunda.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
ekoregion
ini
memiliki
dominasi
o
kemiringan
kelas
lereng
miring
(1-3 )
walaupun
ada
sebagian
pesisir
yang
memiliki
kelas
lereng
agak
terjal
(3-
o
10 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut,
ekoregion
Laut
6
memiliki
2
dataran
yaitu:
Dataran
Seribu
dan
Dataran
Sunda;
serta
1
cekungan,
yaitu
Cekungan
Madura
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009).
OSEANOGRAFI
Pada
Ekoregion
Laut
6,
angin
Monsun
yang
bertiup
di
atas
Laut
Jawa
ini
adalah
angin
bergerak
dari
arah
barat
dan
barat
laut
menuju
ke
timur
(Monsun
Barat),
angin
dari
timur
dan
tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
(Monsun
Timur).
Pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
kekuatan
kurang
dari
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Putri,
2005).
Menurut
Putri
(2005)
dan
Mustikasari
et
al.(2010),
pola
sirkulasi
arus
akibat
angin
Monsun
di
Laut
Jawa
adalah
pada
Monsun
Barat,
arus
bergerak
dari
Selat
Karimata
ke
arah
selatan
dan
selanjutnya
membelok
ke
arah
timur
memasuki
Laut
Jawa.
Arus
pada
Monsun
Timur
bergerak
ke
arah
barat
selanjutnya
membelok
ke
utara
memasuki
Selat
Karimata.
Pada
Monsun
Peralihan,
arah
arus
tidak
beraturan,
dan
banyak
terjadi
putaran
arus
(eddy).
Biasanya
pada
monsun
ini
di
lepas
Pantai
Jawa
arus
mengalir
ke
timur
sedangkan
di
lepas
Pantai
Kalimantan
arus
mengalir
ke
barat.
Tipe
pasang
surut
di
Laut
jawa
adalah
campuran
cenderung
diurnal
(Wyrtki,
1961).
Untuk
arus
permukaan
akibat
pasang
surut,
misalkan
di
Utara
Jawa
Tengah
(Pranowo
et
al.,
2003)
secara
umum
pola
arus
pada
kondisi
pasut
Perbani
(neap
tide
condition)
bergerak
ke
arah
timur
dari
saat
air
menuju
surut
(ebb
tide)
hingga
saat
air
tersurut
(lowest
water
condition)
dengan
kecepatan
maksimum
0,110
m/detik.
Sebaliknya
bergerak
ke
arah
barat
dari
saat
air
menuju
pasang
(flood
tide)
hingga
saat
air
tertinggi
(highest
water
condition)
dengan
kecepatan
maksimum
0,160
m/detik.
Pola
arus
pasut
pada
kondisi
pasut
purnama
(spring
tide
condition)
menunjukkan
bahwa
arus
bergerak
ke
arah
timur
dari
saat
air
menuju
surut
hingga
saat
air
tersurut
dengan
kecepatan
maksimum
0,630
m/detik.
Sebaliknya
bergerak
ke
arah
barat
dari
saat
air
menuju
pasang
hingga
saat
air
tertinggi
dengan
kecepatan
maksimum
0,400
m/detik.
Apabila
pengamatan
difokuskan
kepada
area
sekitar
perairan
Semarang
dan
sekitarnya,
maka
pola
arus
bergerak
ke
arah
timur
laut
dari
saat
air
menuju
surut
hingga
saat
air
tersurut,
dan
sebaliknya
bergerak
ke
arah
barat
daya
dari
saat
menuju
pasang
hingga
saat
air
tertinggi.
Pola
arus
tersebut
terjadi
baik
pada
kondisi
pasut
Perbani
maupun
Purnama.
Selat
Sunda
pernah
mengalami
suksesi
secara
besar-besaran.
Ekosistem
laut
dan
pesisirnya
terpengaruh
akibat
meletusnya
Gunung
Krakatau
pada
1883.
Kejadian
tersebut
dimungkinkan
memiliki
keanekaragaman
yang
unik.
Kecepatan
arus
maksimum
di
Selat
Sunda
terjadi
pada
Monsun
Timur
dan
Monsun
Barat
(Brodjonegoro
et
al.
2004).
Pola
arus
yang
dibangkitkan
oleh
angin,
menunjukkan
bahwa
arus
umumnya
bergerak
dari
Laut
Jawa
ke
Samudera
Hindia,
kecuali
pada
Musim
Barat
arus
bergerak
masuk
ke
Laut
Jawa.
Kecepatan
maksimum
arus
pada
Monsun
Timur
terjadi
pada
bulan
Juni.
Saat
air
menjelang
pasang,
arus
berbalik
arah,
yaitu
dari
Laut
Jawa
menuju
Samudera
Hindia.
Saat
air
pasang,
arus
bergerak
dari
Samudera
Hindia
memasuki
Laut
Jawa
(ke
Timur
dan
Timur
Laut).
Saat
air
menjelang
surut,
arus
bergerak
dari
Selat
Sunda
menuju
Laut
Jawa
namun
dengan
kecepatan
yang
mulai
melemah.
Saat
air
surut,
pola
arus
berbalik
arah
dari
Laut
Jawa
menuju
Selat
Sunda.
72
|ekoregion laut 6
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Pranowo,
2002;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
cukup
tinggi
dan
mencapai
kisaran
27
29C;
salinitas
berkisar
antara
31,75
PSU
hingga
33
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,15
4,30
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
8,0
8,25.
Untuk
kondisi
sebaran
nutrien
berdasarkan
Pranowo
et
al.
(2005)
dan
Boyer
et
al.
(2009)
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,40
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
10,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
0,2
6,0
mol/liter;
klorofil
0,5
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
ekoregion
ini
adalah
kondisi
habitat
mangrove,
lamun,
dan
karang
yang
telah
mengalami
banyak
kerusakan.
Pesisir
timur
Lampung
banyak
mengalami
abrasi
sejak
tahun
90-an
dan
mangrove
pantai
utara
Jawa
hamper
semuanya
telah
hilang.
Pulau
Sebesi
yang
berada
di
Selat
Sunda
memiliki
luas
area
sekitar
2620
ha
dengan
panjang
pantai
19.55
km,
memiliki
ekosistem
perairan
tropis
yang
terdiri
dari
ekosistem
hutan
bakau,
lamun
dan
terumbu
karang
(Madduppa
et
al.
2005).
Selain
itu,
banyak
lahan
tambak
di
pantai
utara
Jawa
dan
pantai
timur
Lampung
yang
tebengkalai
akibat
ditinggalkan
pemiliknya.
Ekosistem
mangrove
yang
kondisinya
masih
terlihat
baik
terdapat
di
pesisir
pantai
Kalimantan
Selatan.
Hutan
mangrove
di
pantai
ini
mempunyai
zonasi
yang
jelas
dari
arah
laut
ke
daratan
berupa
tegakan
mangrove
yang
dapat
mencapai
tinggi
15
m.
Lebih
dari
90%
mangrove
di
pantai
utara
Jawa
telah
hilang
karena
telah
dialih
fungsikan
sebagai
tambak,
sawah
dan
pemukiman.
Meskipun
demikian,
kawasan
mangrove
pantai
utara
Jawa
merupakan
rumah
bagi
sejumlah
jenis
burung
yang
terancam
punah,
seperti
jenis
Cikalang
Christmas
Fregata
andrewsi
(status:
rentan
Appendix
I),
Pedendang
kaki-sirip
Heliopais
personata
(status:
rentan),
Bangau
bluwok
Mycteria
cinerea
(status:
rentan
Appendix
I),
Bangau
tongtong
Leptoptilos
javanicus
(status:
rentan).
Jenis
yang
terakhir
didata
sebagai
jenis
dalam
status
rentan,
umumnya
bersarang
di
pohon
bakau.
Populasinya
telah
ditemukan
di
pantai
Timur
Sumatera
(Sumatera
Selatan,
Jambi
dan
Riau),
pantai
Utara
Jawa
(Delta
Sungai
Brantas
dan
Bengawan
Solo)
dan
pantai
Selatan
Jawa
(Segara
Anakan).
Beberapa
tempat
di
Jawa
Tengah
dan
Jawa
Timur
memiliki
hutan
mangrove
yang
masih
baik
sebagai
ekosistem
alami
dan
hasil
rehabilitasi.
Padang
lamun
di
wilayah
ekoregion
ini
telah
banyak
mengalami
kerusakan,
sebagai
contoh
di
Teluk
Banten
dan
Pulau
Pari
di
Kepulauan
Seribu.
Padang
lamun
Teluk
Banten
sebenarnya
mempunyai
arti
sejarah
penting
dalam
penamaan
lamun.
Lamun
adalah
nama
lokal
untuk
seagrass
yang
diadopsi
oleh
Hutomo
(1985)
dalam
disertasinya
yang
mempelajari
aspek
ekologi
komunitas
ikan
di
padang
lamun.
Salah
satu
spesies
lamun
(Syringodium
isoetifolium)
di
padang
lamun
Teluk
Banten
ini
dipanen
untuk
memberi
makan
duyung
yang
dipelihara
di
Sea
World
Indonesia.
Di
padang
lamun
Pulau
Kangean
didapatkan
spesies
Thalassodendron
ciliatum
dengan
hamparan
yang
luas.
Keberadaan
spesies
ini
menunjukkan
adanya
keterkaitannya
dengan
komunitas
lamun
di
perairan
Indonesia
bagian
timur
dimana
spesies
ini
lazim
didapatkan.
Terumbu
karang
yang
kondisinya
masih
bagus
di
P.
Kayu
Angin
Genting
(atas)
dan
P.
Peteloran
Timur,
Kepulauan
Seribu.
(Foto:
Siringoringo)
Hiu
muara/air
tawar
yang
didapatkan
di
muara
Sungai
Sampit.
(foto:
Fahmi
&
Adrim,
2009)
74
|ekoregion laut 6
Dugong
masih
didapatkan
di
Selat
Sunda
dan
sekitarnya.
Pulau-pulau
di
sekitar
Krakatau
merupakan
laboratorium
alam
untuk
mempelajari
suksesi
hayati
bahari
dan
terestrial.
Pulau-pulau
di
sekitar
Gunung
Krakatau
merupakan
laboratorium
alam
untuk
mempelajari
suksesi
hayati
bahari
dan
terestrial.
Pulau
Anak
Krakatau
dan
Rakata
merupakan
lokasi
alami
untuk
meneliti
proses
kolonisasi
laut
dan
penyebaran
larva.
Situasi
unik
yang
sangat
ekstrim
ini
harus
dijaga
agar
tidak
terganggu.
Ada
dua
marga,
yaitu
Periclemenes
dan
Tridacna
memiliki
clade
yang
sangat
berbeda
di
Kepulauan
Krakatau.
Meskipun
telah
dilakukan
survei
di
tempat
lain,
namun
tidak
ada
populasi
serupa
yang
ditemukan
di
tempat
lain
di
kawasan
segitiga
karang
(coral
triangle).
Namun
demikian,
perlu
dipertimbangkan
bahwa
wilayah
ini
sangat
jarang
dilakukan
pengambilan
sampel,
sehingga
hasilnya
lebih
mencerminkan
adanya
bias
pengambilan
sampel
dari
pada
kurangnya
keragaman
yang
unik.
Pada
bulan
Februari
2002
telah
dibentuk
Daerah
Perlindungan
Laut
Pulau
Sebesi
(DPLPS)
berdasarkan
kesepakatan
masyarakat.
DPLPS
disahkan
menurut
Surat
Keputusan
Kepala
Desa
Tejang
Pulau
Sebesi
Nomor
140/02/KD-TPS/16.01/I/2002
tentang
Aturan
Daerah
Perlindungan
Laut
oleh
oleh
Kepala
Desa
serta
disetujui
oleh
Ketua
Badan
Perwakilan
Desa
Tejang
(Madduppa
et
al.
2005).
Pada
Ekoregion
Laut
6
terdapat
lima
jenis
kawasan
konservasi,
yaitu
Taman
Nasional
Laut
(TNL),
Kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
(KKPD),
Cagar
Alam
Laut
(CAL),
Taman
Wisata
Alam
Laut
(TWAL),
dan
Suaka
Margasatwa
Laut
(SML).
TNL
tersebar
di
dua
lokasi,
yaitu
TNL
Karimun
Jawa,
Jawa
Tengah
dan
TNL
Kepulauan
Seribu,
DKI
Jakarta.
TWAL
terdapat
di
dua
lokasi,
yaitu
TWAL
Pulau
Sangiang,
Banten
dan
TWAL
Pulau
Biawak,
Jawa
Barat.
Sedangkan
KKPD
terdapat
di
Pantai
Ujungnegoro,
Jawa
Tengah,
CAL
terdapat
di
Pulau
Anak
Krakatau,
Lampung,
dan
SML
Pulau
Rambut
dan
perairan
Jakarta,
DKI
Jakarta.
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
6
berada
pada
WPP
712.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain:
sumberdaya
ikan
pelagis
besar
(55,0
ribu
ton/tahun)
ikan
pelagis
kecil
(380,0ribu
ton/tahun),
ikan
demersal
(375,2
ribu
ton/tahun),
udang
Penaid
(
11,4
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(9,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,5
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(5,0
ribu
ton/tahun.
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011,
untuk
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
6
adalah
Udang
sudah
over
exploited,
Ikan
demersal
seperti
spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus)
sudah
over
exploited,
spesies
bloso
(Saurida
tumbil)
dan
kuniran
(Upeneus
sulphureus)
sudah
fully
exploited),
dan
spesies
kurisi
(Nemimterus
spp)
dan
swanggi
(Priacanthus
tayenus)
masih
taraf
moderate.
Pada
Ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
banyar
(Rastrelliger
kanagurta),
kembung
(Rastrelliger
brachysoma),
ikan
terbang
(Hirundichthys
oxycephalus),
layang
(Decapterusmacrosoma
dan
Decapterusruselli)
sudah
over
exploited.
Potensi
sumberdaya
yang
tidak
terbarukan
di
ekoregion
ini
berupa
potensi
sumberdaya
energi
yang
terdiri
atas
dua
lokasi
cekungan
migas
sudah
dibor,
empat
lokasi
cekungan
migas
berproduksi,
empat
lokasi
migas
berproduksi,
satu
lokasi
mengandung
logam
berat
rutile,
satu
lokasi
mengandung
logam
berat
zirconium,
satu
lokasi
potensial
distibusi
endapan
placer
chromite
dan
magnetite,
serta
satu
lokasi
potensial
distibusi
endapan
placer
emas.
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
energi
terbarukan
dengan
memanfaatkan
arus
dari
Selat
Sunda
sebagai
pembangkit
listrik.
Kandungan
migas
dapat
ditemui
di
bagian
utara
Banten,
Jawa
Barat,
utara
Jawa
Timur-
Madura.
BMKT
tersebar
di
perairan
Karawang,
Jepara,
Cirebon,
Sumatra
Selatan,
Laut
Jawa
dan
Kepulauan
Seribu.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
6
terletak
pada
paparan
benua
dengan
kedalaman
sekitar
60
m.
Laut
Jawa
relatif
aman
terhadap
bencana
gempa
dan
tsunami
karena
terletak
di
bagian
dalam
wilayah
Indonesia.
Budiono
et
al.
(2003)
mengkelaskan
Laut
Jawa
tidak
rentan
terhadap
tsunami.
Sebagaimana
Selat
Karimata,
potensi
bahaya
terkait
aspek
kelautan
adalah
perubahan
iklim
dan
kenaikan
muka
air
laut.
Berdasarkan
analisis
kerentanan
lingkungan
pesisir
oleh
Wibowo
dan
Supriatna
(2011)
maka
seluruh
Ibu
Kota
Provinsi
yang
terletak
di
Pantai
Utara
Pulau
Jawa
memiliki
kerentanan
lingkungan
yang
tinggi.
Selain
itu
Ekoregion
Laut
6
memiliki
kerawanan
bencana
berupa
potensi
bahaya
letusan
dari
Gunung
Anak
Krakatau
yang
masih
aktif.
Berbagai
kondisi
lingkungan
seperti
penurunan
tanah,
penggenangan
akibat
banjir
dan
banjir
rob
menjadi
persoalan
yang
dihadapi
kota-kota
di
pesisir
Utara
Pulau
Jawa.
Hal
ini
disebabkan
oleh
tekanan
lingkungan
yang
terjadi
di
wilayah
pesisir.
Suhelmi
et
al.
(2011)
mengemukakan
bahwa
banjir
rob
semakin
meluas
seiring
dengan
kenaikan
muka
air
laut
dan
akan
diperparah
dengan
adanya
fenomena
amblesan
tanah
di
kota
pesisir
Utara
Pulau
Jawa.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
6
merupakan
wilayah
laut
yang
berpotensi
menerima
pencemaran
lebih
besar
bahkan
paling
tercemar
dibanding
wilayah
ekoregion
laut
lainnya.
Hal
ini
disebabkan
kedalam
ekoregion
laut
bermuara
lebih
banyak
sungai.
Selain
itu
kawasan
ini
juga
merupakan
wilayah
laut
yang
berhadapan
langsung
dengan
pusat
pemerintahan
sekaligus
pusat
perekonomian
Indonesia,
serta
berbagai
kota
besar
Indonesia
yang
umumnya
berada
di
wilayah
utara
Pulau
Jawa.
Limbah
cair
yang
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga,
pelabuhan,
transportasi,
pertambangan,
pertanian/perkebunan,
perkotaan
dan
berbagai
jenis
industri
yang
jumlahnya
sangat
banyak,
melalui
limpasan
air
sungai
berpotensi
mencemari
ekoregion
ini.
Sungai-sungai
yang
tercemar
yang
bermuara
diantaranya
adalah
Sungai
Citarum
yang
tercemar
berat
hingga
sangat
berat
(KLH,
2009a;
Riani
2006),
dan
Sungai
Ciliwung
yang
juga
memiliki
status
mutu
air
tercemar
berat
(KLH,
2009a).
3
Berdasarkan
data
dari
BPLHD
Jakarta,
13
sungai
yang
bermuara
ke
teluk
Jakarta
membawa
14.000
m limbah
3
sampah
rumah
tangga
setiap
hari,
atau
sekitar
setengah
dari
total
sampah
rumah
tangga
(28.435
m )
yang
mencemari
Laut
Jawa.
Sekitar
54
%
sampah
yang
mencemari
Teluk
Jakarta
adalah
berupa
plastik
dan
akan
terus
bertambah
seiring
dengan
limpasan
dari
13
sungai
(Nagara
et
al.,
2007).
Selanjutnya
Cordova
(2008)
menjelaskan
bahwa
pada
limbah
rumah
tangga
tersebut
selain
terdapat
bahan
organik
yang
mudah
urai,
pada
limbah
cairnya
juga
terdapat
bahan
pencemar
yang
masuk
pada
kategori
B3.
Limbah
rumah
tangga,
effluen
dari
industri
dan
urban
runoff
dari
kota-kota
besar
di
utara
Pulau
Jawa
akan
terus
memberi
dampak
ke
perairan
Laut
Jawa.
Hasil
penelitian
Riani
et
al.
(2004)
memperlihatkan
bahwa
Teluk
Jakarta
menerima
beban
pencemaran
baik
organik
maupun
anorganik
yang
sangat
tinggi,
sehingga
telah
jauh
melewati
kapasitas
asimilasinya.
Berdasarkan
kegiatan
tersebut
di
atas,
maka
bahan
pencemar
yang
berpotensi
untuk
mencemari
adalah
berbagai
jenis
bahan
organik
dan
bahan
anorganik.
Ekoregion
Laut
6
merupakan
wilayah
laut
yang
menerima
limbah
dari
kegiatan
antropogenik
dari
kota-kota
besar
seperti
DKI
Jakarta,
Surabaya,
dan
Semarang
sehingga
wilayah
ini
mempunyai
potensi
tercemar
bahan
organik
sangat
besar
dibandingkan
wilayah
lainnya,
yang
ditunjukkan
oleh
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
berpotensi
untuk
mengalami
blooming
plankton
serta
terjadinya
red
tide
dan
berpotensi
untuk
menyumbang
gas
rumah
kaca
dalam
jumlah
yang
besar.
Potensi
76
|ekoregion laut 6
terjadinya
blooming
plankton
dan
red
tide
juga
cukup
besar
di
Teluk
Lampung,
mengingat
di
lokasi
ini
terdapat
banyak
siste
Dinophyceae
di
dasar
perairan
terutama
yang
mengandung
banyak
bahan
organik
dengan
kedalaman
lebih
dari
10
m,
selain
itu
di
lokasi
tersebut
juga
terdapat
bahan
organik
yang
tinggi,
konsentrasi
zat
besi
(Fe)
dan
silikat
juga
cukup
tinggi
(Riani,
2013
belum
dipublikasikan).
Jenis
bahan
anorganik
yang
dibawa
oleh
sungai-sungai
yang
bermuara
dan
mencemari
wilayah
ini
umumnya
berasal
dari
kegiatan
pertanian
dan
industri
di
wilayah
daratan,
terutama
di
Pulau
Jawa
(Sudaryanto
et
al.,
2007).
Bahan
anorganik
dari
kegiatan
tersebut
antara
lain
adalah
bahan
berbahaya
dan
beracun
(B3)
seperti
berbagai
jenis
logam
berat
yang
akhirnya
terakumulasi
dalam
berbagai
biota
yang
hidup
di
dalamnya
seperti
pada
berbagai
jenis
ikan
dan
kerang
hijau
(Cordova
2008,
Riani
2009
dan
2010).
Jenis
logam
berat
yang
dilaporkan
mencemari
dan
mengkontaminasi
di
beberapa
pantai
di
Ekoregion
Laut
Jawa,
diantaranya
adalah
Hg,
Pb,
Cd
(Cordova
2008,
Riani
2004,
2005,
2009
dan
2010),
Cr
dan
Sn
(Riani
2004).
Bahkan
menurut
Arifin
et
al.
(2011),
konsentrasi
Pb
dan
Cu
dalam
sedimen
di
beberapa
lokasi
seperti
di
pantai
Teluk
Jakarta,
Semarang
dan
Surabaya
juga
lebih
tinggi
daripada
perairan
lain
di
Manado,
Buyat,
Ambon
dan
Memberamo.
Selain
kegiatan
tersebut
di
atas,
ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
pencemaran
yang
ditimbulkan
dari
kegiatan
energi
dan
migas.
Berdasarkan
data
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
(KLH,
2009b),
terdapat
16
(enam
belas)
titik
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
kegiatan
energi
dan
migas,
yang
berlokasi
di
Kabupaten
Lampung
Selatan
(Lampung),
Pesisir
Utara
Pulau
Jawa,
dan
utara
Madura,
dengan
total
volume
limbah
sebesar
3
115.071.198,98
m /hari.
Selain
itu
juga
terdapat
titik
sumber
pencemar
lain
berupa
limbah
cair
yang
berasal
3
dari
13
industri
kimia
dengan
total
volume
limbah
sebesar
2.298.410
m /hari
dan
3
industri
non
kimia
dengan
3
total
volume
limbah
sebesar
320.156
m /hari.
Disamping
hal
tersebut,
di
daerah
hulu
dan
hilir
ekoregion
ini
juga
mempunyai
daerah
tangkapan
air
yang
sangat
terbatas
sebagai
akibat
tingginya
alih
fungsi
lahan
hutan
di
daratan,
terutama
di
hulu,
sehingga
mengakibatkan
tingginya
run-off
sedimen.
Di
perairan
Laut
Jawa,
sejumlah
sedimen
terbawa
dan
masuk
ke
perairan
pantai,
membawa
nutrien
yang
mengakibatkan
terjadinya
pendangkalan
di
wilayah
pesisir
terutama
yang
mempunyai
muara
sungai
dan
mengakibatkan
terjadinya
pendangkalan
perairan
sehingga
dapat
mengancam
ekosistem
tersebut.
Selain
itu
tingginya
nutrien
juga
dapat
mengakibatkan
terjadinya
eutrofikasi.
Beberapa
dampak
akibat
pencemaran
terutama
di
sekitar
Pulau
Jawa
telah
terjadi
seperti
penurunan
dan
hilangnya
biodiversitas
organisme
bentik
di
Teluk
Jakarta
(van
der
Meij
et
al.,
2009
dan
Riani
et
al.
2004).
Selain
itu,
menurut
Arifin
(2004)
penurunan
jumlah
dan
keanekaragaman
hayati
biota
laut
juga
telah
teramati
di
Teluk
Jakarta,
seperti
jumlah
tutupan
dan
koloni
karang.
Sedimentasi
juga
telah
mengganggu
kegiatan
pariwisata,
penangkapan
ikan
dan
akuakultur.
Keragaman
ikan
yang
ditangkap
dari
jaring
pantai
juga
telah
mengalami
penurunan
dari
45
spesies
di
tahun
1974
ke
hanya
20
spesies
di
tahun
2003.
Hal
yang
sama
juga
terjadi
dari
hasil
tangkapan
menggunakan
bottom
trawl
(Arifin,
2004).
78
|ekoregion laut 6
Pesona ubur ubur di wilayah Pulau Kakaban, Derawan, Kalimantan Timur (foto : Yoniar Hufan-BIG)
T
F I L I P I N A
H
A
I L
A
0 87.5 175 350 Km
N
D
M
A
L
A
Y
S
I A
EL-7
LAUT SULAWESI
MAN TAN
SULAWESI TENGAH
AK
M
S U LAW E S I
LAT
SE
SULAWESI BARAT
LAUT SERAM
ATAN EL-10
EL-8 SULAWESI TENGGARA
MALUKU
SULAWESI SELATAN
LAUT BAN
EL-13 EL-15
Ekoregion Laut 7
Laut Sulawesi
Ekoregion
Laut
7
meliputi
perairan
laut
di
sebelah
utara
Pulau
Sulawesi
dan
sebelah
timur
bagian
utara
Pulau
2
Kalimantan
dengan
luas
323.866
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
terdapatnya
perairan
basin
dalam
(lebih
dari
6.000
meter)
yang
dibatasi
di
bagian
timur
oleh
Kepulauan
Sangihe
Talaud
yang
terbentuk
dari
aktivitas
tektonik.
Hal
tersebut
mengakibatkan
adanya
aktivitas
hidrotermal
di
kedalaman
600
hingga
900
m
di
perairan
kepulauan
tersebut.
Arus
Lintas
Indonesia
(Indonesian
Through-Flow)
dari
Samudera
Pasifik
Barat
melintasi
basin
ini
sebelum
memasuki
Selat
Makassar.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
7
terbentuk
sekitar
14
juta
hingga
5
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
ekoregion
ini
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
hingga
6.187
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
Ekoregion
Laut
7
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009)
Ekoregion
Laut
7
memiliki
satu
cekungan
(Cekungan
Sulawesi)
dan
tiga
parit
(Parit
Makassar
Utara,
Parit
Sulawesi
dan
Parit
Selat
Makassar).
OSEANOGRAFI
OSEANOGRAFI
Pola
angin
monsun
di
ekoregion
ini
adalah
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
(Monsun
Barat)
yang
asalnya
hasil
pembelokan
angin
dari
Samudera
Pasifik,
angin
tenggara
dari
Laut
Arafura
dan
Laut
Timor
bergerak
menuju
ke
barat
laut.
Pada
Monsun
Peralihan,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
kekuatan
kurang
dari
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004).
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961;
Brodjonegoro
et
al.,
2004).
Secara
umum,
pola
arus
permukaan
di
ekoregion
ini
berdasarkan
pola
Monsun,
yaitu
arus
memasuki
basin
Sangihe
Talaud
dari
Basin
Sulu
dan
Selat
Luzon
yang
kemudian
memutar
balik
menuju
ke
timur
kembali
ke
Samudera
Pasifik
pada
Monsun
Barat,
demikian
juga
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan,
arus
memasuki
ekoregion
ini
dari
pintu
Selat
Luzon
kemudian
sebagian
besar
dibelokkan
ke
timur
kembali
ke
Samudra
Pasifik
dan
sebagian
lagi
dibelokkan
ke
barat
laut
hingga
utara
menuju
Basin
Sulu
(Wyrtki,
1961;
Brodjonegoro
et
al.,
2004;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Secara
khusus,
salah
satu
kondisi
oseanografi
unik
yang
di
ekoregion
ini
adalah
terdapatnya
Arus
Lintas
Indonesia
(Indonesian
Through-Flow)
yang
melintasi
di
kedalaman
lebih
dari
200
m
membawa
massa
air
dari
Samudera
Pasifik
Barat
menuju
Selat
Makassar
yang
semula
dibawa
oleh
Arus
Mindanao
(Gordon
et
al.,
2008;
Susanto
et
al.,
2010).
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010),
pada
Monsun
Barat
(Desember-Februari)
upwelling
muncul
di
sekitar
Kepulauan
Talaud
dengan
intensitas
kuat
namun
sempit
areanya.
Pada
Monsun
Peralihan
I
yang
muncul
adalah
upwelling
dominan
lemah.
Sedangkan
pada
Monsun
Timur
upwelling
kuat
muncul
di
Timur
Kepulauan
Talaud.
Selain
itu
pada
Monsun
Peralihan
II,
upwelling
intensitas
lemah
muncul
di
utara
Sulawesi
Utara
tepatnya
antara
Tanjung
Kandi
sampai
Teluk
Amurang
dan
upwelling
intensitas
kuat
masih
muncul
pula
di
Kepulauan
Talaud.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentangan
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
mencapai
kisaran
27
29C,
salinitas
berkisar
antara
33,75
PSU
hingga
34,25
PSU,
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,28
4,70
ml/liter;
pH
berkisar
antara
7,65
8,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,25
mol/liter,
konsentrasi
silikat
4,5
15,0
mol/liter,
konsentrasi
nitrat
1,5
4,0
mol/liter,
dan
klorofil
0,5
5,0
gram/liter
(Boyer
et
al.
2009).
Salah
satu
kondisi
osenografi
yang
unik
dari
ekoregion
ini
adalah
terbentuknya
perairan
Kepulauan
Sangihe
Talaud
dari
aktivitas
tektonik
sehingga
banyak
gunung
api
bawah
laut
di
kedalaman
600
hingga
900
m.
Hal
82
|ekoregion laut 7
tersebut
ditunjukkan
dengan
adanya
cerobong-cerobong
yang
menunjukkan
aktivitas
hidrotermal
dan
juga
terdapat
ekosistem
organisme
non-fotosintesis
(ikan,
udang,
karang
laut
dalam,
dan
lain
sebagainya)
yang
hidup
dengan
cara
kemosintesis
seperti
terlihat
(Wirasantosa
et
al.,
2011).
Organisme
yang
hidup
di
cerobong
hidrotermal
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
ekoregion
ini
adalah
keanekaragaman
hayati
laut
yang
tinggi.
Ekoregion
Laut
Sulawesi
merupakan
bagian
dari
Sulu
Sulawesi
Marine
Ecoregion,
mencakup
perairan
Kepulauan
Derawan
di
bagian
barat
sampai
dengan
Sanger
Talaud
dan
Taman
Nasional
Bunaken
di
bagian
timur.
Wilayah
ini
juga
merupakan
jalur
migrasi
mamalia
laut
dari
Samudera
Pasifik
ke
Selat
Makassar
menuju
Samudera
Hindia.
Terdapat
26
spesies
mangrove
ditemukan
di
Kabupaten
Berau
(Tanjung
Batu,
Delta
Berau,
sampai
ke
selatan
di
Biduk-biduk).
Hutan
mangrove
dapat
ditemukan
di
beberapa
pulau,
seperti
Pulau
Panjang,
Rabu-rabu,
Semama
dan
Maratua
di
bagian
utara
pesisir
Berau,
dan
di
Pulau
Buaya-buaya
di
bagian
selatan
pesisir
Berau.
Secara
keseluruhan
luas
mangrove
di
Berau
sebesar
80.277
ha,
terdiri
dari
spesies
bakau
(Rhizophora
sp),
api-api
(Avicennia
sp),
nipah
(Nypa
fruticans),
dan
lain-lain.
Nipah
khususnya
mendominasi
di
sepanjang
Sungai
Berau,
sedangkan
bakau
dan
api-api
di
Delta
Berau
dan
di
sepanjang
pantai
(Wiryawan
et
al,
2004).
Di
Sulawesi
Utara
ditemukan
17
spesies
mangrove
dari
9
Famili.
Genus
yang
dominan
ditemukan
adalah
Rhizophora,
Bruguiera,
dan
Sonneratia.
Mangrove
terdapat
di
Taman
Nasional
Bunaken
dengan
luas
total
lebih
dari
1.800
ha.
Mangrove
tersebut
tersebar
di
Pulau
Mantehage
(1.435
ha),
di
sebagian
Pulau
Bunaken
(76
ha),
Pulau
Manado
Tua
(7.7
ha),
pulau
Siladen
dan
Pulau
Nain
(7
ha).
Selain
itu
pesisir
bagian
utara
Molas
Wori
terdapat
hutan
mangrove
seluas
235
ha,
dan
di
Pesisir
Arakan
Wawontulap
seluas
933
ha.
Desa
Sapa
dan
Boyong
Pante
yang
juga
berada
di
bagian
Utara
Minahasa
terdapat
mangrove
walaupun
dalam
jumlah
spesies
yang
relatif
sedikit
(5
spesies)
dan
jenis
dominan
Sonneratia
(Anonimous
2002).
Padang
lamun
ditemukan
tersebar
di
seluruh
pesisir
Berau
dengan
kondisi
yang
berbeda
dengan
rata-rata
luas
tutupan
kurang
dari
10
%
sampai
80
%.
Luas
tutupan
padang
lamun
yang
rendah
(<10
%)
dapat
dijumpai
pada
daerah-daerah
yang
banyak
mendapat
gangguan,
seperti
terbuka
pada
surut
terendah.
Luas
tutupan
tinggi
(20
%
-
80
%)
terdapat
pada
daerah
yang
selalu
tergenang
dan
terlindung.
Terdapat
8
spesies
lamun
yang
ditemukan
di
pesisir
Berau
yaitu:
Halodule
univervis,
H.
pinifolia,
Cyamodocea
rotundata,
Syringodium
isoetifolium,
Enhalus
acoroides,
Thalassia
hemprichii,
Halophila
ovata
dan
Halophila
ovalis
(Turak,
2004).
Padang
lamun
di
Tanjung
Merah,
Toli-Toli
dan
Arakan-Wawontulap
berada
dalam
kondisi
bagus.
Duyung
masih
ditemukan
di
padang
lamun
Arakan-Wawontulap
dan
Kepulauan
Derawan.
Keragaman
ikan
dan
invertebrata
di
padang
lamun
Tanjung
Merah
juga
cukup
beragam.
Komunitas
karang
di
ekoregion
ini
mempunyai
keanekaragaman
hayati
yang
tinggi
dengan
berbagai
tipe
baik
pada
kondisi
lereng
yang
landai
maupun
terjal
seperti
dinding.
Terumbu
karang
terdapat
di
Taman
Nasional
Bunaken
(380
spesies)
dan
Kepulauan
Derawan
(444
spesies,
Erdmann,
pers.comm).
Survei
ikan
karang
pada
Oktober
2003
di
Kepulauan
Derawan
menemukan
872
spesies
yang
terbagi
dalam
272
genus
dan
71
famili
(Allen,
2003).
84
|ekoregion laut 7
Sebaran
Lokasi
peneluran
penyu
hijau,
Chelonia
mydas.
(gambar:
Erdmann
&
Huffard,
2009)
PEMANFAATAN
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45
Tahun
2011,
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
7
berdasarkan
tingkat
pemanfaatnnya
adalah
ikan
demersal
seperti
spesies
manyung
(Ariidae
spp),
kakap
merah
(Lutjanus
malabaricus
dan
L.
erythropteru),
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kuwe
(Caranx
sexfasciatus)
masih
moderate.
Pada
ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
layang
(Decapterus
kuroides
dan
Decapterus
macarellus)
masih
moderate.
Pada
ikan
pelagis
besar
seperti
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
sudah
fully
exploited
dan
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
moderate.
Ekoregion
ini
mempunyai
potensi
sumberdaya
energi
berupa
satu
cekungan
migas
berproduksi,
satu
lokasi
potensial
distribusi
mineral
endapan
placer
emas,
satu
lokasi
potensial
distribusi
endapan
placer
chromite
dan
magnetite,
serta
tiga
gunung
api
bawah
laut.
Hasil
ekspedisi
INDEX
SATAL
2010
mengungkapkan
potensi
gunung
api
bawah
laut
di
Sangihe
Talaud
memiliki
aktivitas
hidrotermal
(Balitbang
KP.,
2010).
Gunung
api
bawah
laut
tersebut
adalah
Kawio
Barat.
Aktivitas
gunung
api
bawah
laut
tersebut
mengeluarkan
mineral,
logam
dan
sulfida.
Hasil
ekspedisi
juga
menemukan
ikan
laut
dalam
dengan
jenis
ikan
laut
dalam
yang
dominan
adalah
Synagrops
japonicus
(Acropomatidae)
pada
kedalaman
475-700
m,
udang
famili
Aristeidae
dan
cepalopoda
jenis
Histioteuthis
celetaria
pasifica
(Histioteuthidae).
Jenis
ikan
Synagrops
japonicus
(Acropomatidae)
Jenis
udang
Aristeidae
Jenis
cepalopods
Histioteuthidae/Histioteuthis
celetaria
pasifica
Gunung
api
bawah
laut
Kawio
Barat
mengeluarkan
semburan
berwarna
abu-abu
yang
mengandung
mineral,
logam
dan
sulfida.,
serta
beberapa
jenis
potensi
perikanan
yang
ditemukan
(foto:
Balitbang
KKP
dan
NOAA
2010)
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
7
terletak
di
sebelah
utara
Pulau
Sulawesi.
Laut
Sulawesi
yang
terletak
di
barat
Lautan
Pasifik
disempadani
dengan
Kepulauan
Sulu,
Laut
Sulu,
Kepulauan
Mindanao
di
Utara,
rangkaian
Kepulauan
Sangihe
di
timur,
Sulawesi
di
selatan
dan
Kalimantan
Barat
di
barat.
Laut
ini
terbentuk
dari
lembangan
besar
dengan
kedalaman
sehingga
6.200
m.
Pesisir
utara
Pulau
Sulawesi
yang
menghadap
ke
Laut
Sulawesi
memiliki
kerentanan
yang
tinggi
terhadap
tsunami
(Budiono
et
al.
2003).
Hal
ini
disebabkan
oleh
struktur
geologi
wilayah
tersebut
yang
berupa
pertemuan
lempeng,
sesar
dan
pegunungan
bawah
laut.
Pada
ekspedisi
INDEX
SATAL
yang
diselenggarakan
oleh
P3SDLP
Balitbang
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
dan
NOAA
pada
tahun
2010
telah
berhasil
mengidentifikasi
gunung
berapi
raksasa
bawah
laut
Sulawesi
dengan
ketinggian
lebih
dari
10.000
kaki
atau
3.000
meter.
86
|ekoregion laut 7
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
7
berpotensi
menerima
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga,
industri
lokal,
akuakultur,
industri
perkayuan,
pariwisata,
tambang
batubara
dan
perkapalan.
Berdasarkan
kegiatan-kegiatan
tersebut,
bahan
pencemar
yang
berpotensi
mencemari
kawasan
ini
adalah
bahan
pencemar
organik
dan
anorganik.
Bahan-bahan
pencemar
tersebut
terutama
berasal
dari
pusat
utama
daerah
urban
di
sekitar
perairan
Laut
Sulu
(UNEP,
2005).
Bahan-bahan
pencemar
masuk
ke
wilayah
ini
melalui
sungai
yang
bermuara
ke
dalamnya
sehingga
berpotensi
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi.
Sebagian
sungai
yang
bermuara
ke
kawasan
ini
telah
tercemar,
seperti
Sungai
Ongkag
yang
memiliki
status
mutu
air
tercemar
ringan
berat
(KLH,
2009a).
Penelitian
Booij
et
al.
(2006)
di
Delta
Berau,
Kalimantan
Timur,
memperoleh
hasil
di
lokasi
ini
terdapat
banyak
bahan
pencemar
organik,
bahkan
konsentrasi
bahan
organik
perylene
di
sedimen
mencapai
54-580
ng/g
berat
kering,
sedangkan
didalam
kolom
air
konsentrasinya
1-680
pg/l.
Tingginya
bahan
organik
juga
akan
berpotensi
terhadap
terjadinya
ledakan
populasi
plankton
serta
berpotensi
untuk
menyumbang
GRK.
Wilayah
ini
juga
berpotensi
untuk
tercemar
oleh
bahan
anorganik.
Bahan
tersebut
masuk
pada
kategori
bahan
berbahaya
dan
beracun
(B3)
seperti
logam
berat,
POPs,
PAH,
TBT,
dan
radioaktif.
Pencemaran
yang
berasal
dari
bahan
kimia
industri,
seperi
PCBs
dan
pestisida
pertanian
DDT
masih
sangat
rendah
(Booij
et
al.
2006).
Bahan
pencemar
tersebut
berpotensi
untuk
mengkontaminasi
mahluk
hidup
yang
ada
di
dalamnya.
Ekoregion
Laut
7
merupakan
wilayah
laut
yang
berbatasan
dengan
Philipina
dan
Malaysia.
Kawasan
ini
dapat
dipengaruhi
oleh
berbagai
aktivitas
dari
negara-negara
tetangga
tersebut.
Sungai
utama
yang
bermuara
ke
Laut
Sulawesi
diantaranya
adalah
Merotai,
Balung
dan
Tawan,
Sungai
Mindanao
(Rio
Grade
River),
Sungai
Kayan
dan
Berau
(Kalimantan
dan
Sabah),
serta
Sungai
Tundano,
Polgar
dan
Buol
dari
Pulau
Sulawesi.
Sungai-sungai
tersebut
membawa
bahan
organik,
sehingga
memberikan
dampak
terhadap
produktivitas
perairan
ekoregion
ini
yang
juga
relatif
tinggi,
karena
sungai-sungai
tersebut
membawa
nutrien
dari
aktivitas
perkebunan
sekala
besar
di
Pulau
Kalimantan
dan
industri
dari
Pulau
Mindano.
Pencemaran
logam
berat
dari
kegiatan
industri
dan
urban
di
Teluk
Batangas,
yang
merupakan
daerah
urban
di
Mindano,
Pulau
Visayan
dapat
mempengaruhi
tingkat
pencemaran
di
wilayah
ini
(MPP-EAS,
1998).
Pencemaran
yang
ditimbulkan
oleh
aktivitas
pertanian
dari
kawasan
regional
dapat
dikatakan
minor,
mengingat
di
wilayah
tersebut
kegiatan
pertaniannya
relatif
minim.
Ekoregion
ini
merupakan
jalur
tanker
minyak
diantara
Jepang
dan
wilayah
Samudera
Pasifik,
Samudera
Hindia,
Asia
Barat
dan
Eropa,
sehingga
mempunyai
potensi
untuk
terjadinya
tabrakan
dan
tumpahan
minyak
(MPP-
EAS,
1998).
Kondisi
tersebut
dapat
merugikan
apabila
sampai
terjadi
musibah
tersebut,
sehingga
biota
yang
ada
di
dalamnya
akan
dapat
terkontaminasi
B3
seperti
PAH,
POPs,
dan
logam
berat,
sehingga
dapat
mengakibatkan
biota-biota
yang
ada
di
dalamnya
menjadi
tidak
aman
untuk
dikonsumsi.
Selain
itu
adanya
musibah
tersebut
juga
akan
sangat
mengganggu
atau
bahkan
membuat
kegagalan
pada
kegiatan
budidaya
perikanan
dan
akan
menurunkan
produksi
perikanan
tangkap.
GORONTA
R
SA
AS
TENGAH
AK
SULAWESI TENGAH
TM
S U LAW E S I
LA
SE
SULAWESI BARAT
KALIMANTAN SELATAN
EL-8 SULAWESI TENGG
SULAWESI SELATAN
EL-6 EL-13
UT JAWA
LAUT FLORES
BALI
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIM
Ekoregion Laut 8
Selat Makassar
Ekoregion
8
meliputi
perairan
laut
diantara
Pulau
Kalimantan
dan
Pulau
Sulawesi
yang
memiliki
luas
288.005
2
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
terdapatnya
kondisi
batimetri
yang
dalam
yang
terhubung
dengan
basin
Sulawesi/Sangihe
Talaud
di
bagian
utara,
yang
kemudian
menyempit
di
Kanal
Labani
membentuk
leher
botol.
Massa
air
dari
Samudera
Pasifik
memasuki
perairan
Indonesia
yang
melalui
selat
ini
sering
dikenal
sebagai
Arus
Lintas
Indonesia
(Indonesian
Through-Flow).
a. Laut
Jawa
karena
perbedaan
batimetri.
Ekoregion
Laut
Jawa
pada
bagian
Paparan
Sunda
dengan
kedalaman
kurang
dari
200
m,
sedangkan
ekoregion
ini
berada
pada
kedalaman
lebih
dari
200
m,
b. Laut
Sulawesi
karena
perbedaan
pola
arus,
keanekaragaman
hayati
karang,
dan
salinitas
perairan
yang
dilengkapi
dengan
referensi
peta
IHO,
c. Perairan
Bali
dan
Nusa
Tenggara
karena
perbedaan
pola
arus
dan
batimetri
yang
dipertegas
dengan
morfostruktur
dasar
laut
batas
paparan,
d. Laut
Banda
sebelah
selatan
Sulawesi
dan
Teluk
Bone
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
8
terbentuk
sekitar
48
juta
hingga
lima
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
ekoregion
ini
berupa
paparan
benua
(continental
shelf),
lereng
benua
(continental
slope)
dan
dataran
abisal
(abyssal
plain),
dengan
kedalaman
hingga
3.188
m.
Berdasarkan
peta
kemiringan
lereng
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
ekoregion
ini
memiliki
kemiringan
o o o
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
terjal
(10-20 ),
dan
o
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
Peta
Toponimi
Dasar
Laut,
ekoregion
ini
memiliki
tiga
cekungan
(Cekungan
Makasar
Utara,
Cekungan
Makasar
Selatan,
dan
Cekungan
Spermonde)
dan
satu
dataran
(Dataran
Doang
Supermonde).
OSEANOGRAFI
Pola
angin
monsun
yang
bertiup
di
atas
ekoregion
ini
adalah
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
(Monsun
Barat)
yang
berasal
dari
hasil
pembelokan
angin
dari
Samudera
Pasifik,
angin
Tenggara
dari
Laut
Arafura
dan
Laut
Timor
bergerak
menuju
ke
barat
laut
(Monsun
Timur).
Pada
periode
Monsun
Peralihan
I
dan
II,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
kurang
dari
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Tipe
pasang
surut
yang
ada
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Arus
di
Selat
Makassar
berasal
dari
Laut
Jawa
pada
Monsun
Barat
dan
arus
berarah
tidak
menentu
pada
Monsun
Peralihan
I
(Adi
et
al.
2004).
Pada
Monsun
Timur
arus
meninggalkan
Selat
Makassar
menuju
Laut
Jawa
dan
Laut
Flores,
sedangkan
pada
Monsun
Peralihan
II
cenderung
menuju
ke
Laut
Flores
saja.
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010),
upwelling
terjadi
di
Selat
Makassar
pada
saat
Monsun
Barat
di
pesisirtimur
Kalimantan,
yang
kemudian
berpindah
ke
tengah
selat
mendekati
pesisir
Mamuju-Majene
di
Sulawesi
pada
Monsun
Peralihan.
Kemudian
area
upwelling
meluas
melingkupi
hampir
sebagian
selat
pada
Monsun
Timur,
dan
pada
Monsun
Peralihan
II,
luasan
upwelling
hanya
ada
di
sepanjang
Pesisir
Barat
Sulawesi
saja.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
cukup
tinggi
dan
mencapai
kisaran
28
29C,
salinitas
berkisar
antara
32PSu
dan
34
PSU,
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,30
4,55
ml/liter,
dan
pH
berkisar
antara
7,40
8,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
berdasarkan
Boyer
et
al.
(2009)
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,125
0,750
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
17,5
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1,0
8,5
mol/liter;
dan
klorofil
0,05
0,50
gram/liter.
Salah
satu
ekosistem
unik
yang
ada
di
ekoregion
ini
adalah
ekosistem
Delta
Mahakam
di
Kalimantan
Timur.
Delta
ini
termasuk
salah
satu
delta
terdinamis
saat
ini
yang
mendapat
perhatian
dari
kalangan
ilmuwan
internasional.
Menurut
Pranowo
et
al.
(2012a)
secara
umum
arus
permukaan
di
Muara
Pegah,
Delta
Mahakam,
Kalimantan
Timur
pada
Oktober
adalah
bergerak
dominan
dari
barat
yang
berasal
dari
Selat
Makassar
menuju
ke
timur
kemudian
bertemu
dengan
arus
dari
barat
dan
dari
utara
yang
menuju
ke
selatan.
Kecepatan
arus
permukaan
secara
horisontal
pada
setiap
2
3
jam
adalah
berbeda
dengan
kisaran
yang
bervariasi.
Kecepatan
arus
permukaan
pada
kondisi
pasang
purnama
(spring
tide)
saat
menuju
surut
(flood
to
ebb)
berkisar
0,025
-2,7
m/detik,
saat
surut
(ebb)
0,01
-
1,2
m/detik,
saat
menuju
pasang
(ebb
to
flood)
0,025
0,44
m/detik,
dan
saat
pasang
(flood)
0,1
1,7
m/detik.
92
|ekoregion laut 8
Dinamika
arus
tersebut
secara
umum
disebabkan
oleh
dinamika
elevasi
muka
laut
yang
ada
dan
juga
dipengaruhi
oleh
kondisi
kedalaman
lautnya.
Terlihat
arus
dengan
kekuatan
dominan
bergerak
di
area
yang
mempunyai
kedalaman
maksimum
(
35
m)
hingga
menyusur
area
slope
kedalaman
laut
(
15
m).
Ketika
arus
bergerak
menuju
batimetri
yang
dangkal,
terjadi
gesekan
terhadap
dasar
laut
(bottom
stress)
yang
cukup
besar
sehingga
meredam
kekuatan
arus
tersebut.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
8
adalah
sebagai
koridor
penyebaran
larva
dan
juga
jalur
migrasi
mamalia
laut
yang
melalui
Arlindo
dari
Filipina
ke
selatan
menuju
Nusa
Tenggara
Barat
dan
Nusa
Tengara
Timur.
Ekoregion
ini
merupakan
lokasi
memijah
bagi
ikan
terbang.
Ekoregion
ini
juga
kaya
akan
jenis
organisme
langka
dan
habitat
unik
(Huffard
et
al.,
2012).
Hutan
mangrove
yang
tumbuh
di
Delta
Mahakam
cukup
unik
dengan
anak-anak
sungainya
yang
cukup
banyak
sehingga
memberikan
bentuk
yang
khas.
Selain
itu,
mangrove
juga
tumbuh
cukup
baik
di
Teluk
Balikpapan
dan
sepanjang
pesisir
bagian
selatan
Kalimantan
Timur.
Meskipun
demikian,
luasan
hutan
ini
setiap
tahun
makin
berkurang
akibat
alih
fungsi
hutan.
Mangrove
menyediakan
tempat
persinggahan
dan
mencari
makan
untuk
burung-burung
di
sekitar
wilayah
Sulawesi
Selatan,
Mampie
dan
Bulukumba
hingga
Bintayung.
Sebagai
contoh,
wilayah
Bintayung
merupakan
lokasi
penting
tempat
persinggahan
terakhir
bagi
28
jenis
burung
laut
pesisir
dan
yang
bermigrasi
(Huffard
et
al.,
2012).
Mangrove
di
wilayah
ini
sangat
unik
karena
sangat
dekat
dengan
terumbu
karang.
Hal
ini
memungkinkan
terjadinya
hubungan
antara
darat
dan
laut.
Fauna
yang
termasuk
penghuni
kawasan
ini
adalah
buaya
muara
(Crocodylus
porosus)
di
Malili,
Sulawesi
Selatan.
Padang
lamun
di
Kepulauan
Spermonde
banyak
diteliti
oleh
peneliti
Belanda
dalam
aspek
dinamika
hara
di
ekosistem
ini.
Green
and
Short
(2003)
mencatat
delapan
spesies
lamun
di
Selat
Makassar,
yaitu
Cymodocea
rotundata,
C.
serrulata,
Enhalus
acoroides,
Halophila
ovalis,
Halodule
pinifolia,
H.
uninervis,
Syringodium
isoetifolium,
dan
Thalassia
hemprichii.
Namun
baru-baru
ini
telah
di
deskripsi
satu
spesies
baru
lamun
dari
Kepulauan
Spermonde,
yaitu
Halophila
sulawesii
(Supriadi,
2012).
Terumbu
karang
terdapat
di
kawasan
Kepulauan
Spermonde
dengan
pulau-pulau
kecilnya.
Kondisi
terumbu
karang
yang
dekat
dengan
daratan
kondisinya
kurang
baik
dan
akan
membaik
bila
letaknya
semakin
jauh
dari
daratan
dan
permukiman
penduduk.
Berdasarkan
penelitian
disertasi
Madduppa
(2012),
rekrutmen
lokal
ikan
nemo
(Amphiprion
ocellaris)
di
terumbu
karang
Pulau
Barranglompo
dan
Pulau
Samalona
sebesar
40-60%
yang
diuji
berdasarkan
teknik
DNA
mikrosalit.
Hal
ini
berguna
untuk
menentukan
luasan
kawasan
perlindungan
laut.
Dari
berbagai
hasil
penelitian
di
Indonesia
dari
tahun
2004-2008,
perairan
Indonesia
dihuni
oleh
13
spesies
ikan
terbang.
11
dari
13
spesies
didapatkan
di
ekoregion
ini
(Selat
Makasar)
dan
Laut
Flores.
Sudah
sejak
lama
Selat
Makasar
dikenal
sebagai
wilayah
penangkapan
ikan
terbang
terbesar
di
Indonesia.
Penangkapan
ini
terutama
untuk
diambil
telurnya.
Jenis
yang
ditangkap
dan
diambil
telurnya
adalah
Hirundichthys
oxycephalus,
yang
oleh
nelayan
disebut
Torani.
Distribusi jumlah spesies ikan terbang di perairan Indonesia. (gambar: Dirhamsyah et al., 2009)
Torani, Hirundichthys oxycephalus dan alat tangkapnya di Selat Makasar. (foto: Ali & Nessa, 2005)
Hasil
penelitian
genetik
lain
mengenai
spesies
udang
paneid
di
wilayah
Makassar
dan
Teluk
Bone
yang
mencakup
wilayah
ekoregion
ini
menunjukkan
bahwa
terdapat
empat
kelompok
utama
berdasarkan
marker
CO-I
mitokondria.
Berdasarkan
fenotif
dan
genotip
udang
penaeid,
hasil
penelitian
ini
menyarankan
untuk
menguji
ulang
karakter
genetik
dari
individu
udang
paneid
dari
wilayah
Sinjai
karena
memiliki
karakteristik
yang
layak
digunakan
sebagai
selective
breeding.
Individu
dari
udang
paneid
dari
wilayah
Sinjai,
secara
morfologi
dan
genetik
memiliki
kriteria
yang
hampir
sama
dengan
udang
tambak,
sebagai
contoh
udang
tambak
yang
berasal
dari
Tondra,
Teluk
Bone
(Arlyza
dan
Marwayana,
2012:
inpress).
94
|ekoregion laut 8
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
8
berada
pada
WPP
713.
Potensi
sumberdaya
perikanan
pada
ekoregion
ini
meliputi
ikan
pelagis
besar
(193,6ribu
ton/tahun),
dan
pelagis
kecil
(605,
4
ribu
ton/tahun),
ikan
demersal
(87,2
rbu
ton/tahun),
udang
penaeid
(4,8
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(34,1
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,7
ribu
ton/tahun),
cumi-cumi
(3,9
ribu
ton/tahun).
Kepulauan
Spermonde
yang
terletak
di
Selat
Makassar
menjadi
salah
satu
lokasi
untuk
penangkapan
ikan
dan
karang
hias.
Dari
hasil
penelitian
mengungkapkan
bahwa
ikan
Nemo
(Amphiprion
ocellaris)
menjadi
tangkapan
utama
untuk
perdagangan
ikan
hias
di
Indonesia
(Madduppa,
2012).
Penelitian
tersebut
mendata
lebih
dari
25.000
spesimen
yang
diperdagangkan
dari
pengumpul
Barranglompo
untuk
periode
waktu
tiga
bulan
(2005/2006)
dan
lebih
dari
10.000
spesimen
pada
tahun
2008.
Selain
itu,
anemon
juga
menjadi
sasaran
penangkapan.
Sekitar
650
individu
yang
diambil
pada
tahun
2005
dan
lebih
dari
7.400
pada
tahun
2008.
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
dengan
luas
192.046
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
timur
Kalimantan
Timur
dan
Kalimantan
Selatan
serta
pesisir
barat
Sulawesi
Selatan.
(ii)
padang
lamun
seluas
13.987
ha
yang
tersebar
di
pesisir
timur
Kalimantan
dan
pesisir
barat
Sulawesi
serta
(iii)
terumbu
karang
mencakup
luasan
196.235,94
ha
yang
tersebar
di
beberapa
kawasan
ekoregion
ini.
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
8
adalah
udang
sudah
over
exploited,
ikan
demersal
seperti
spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus)
masih
taraf
moderate.
Ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
ikan
terbang
(Hirundichthys
oxycephalus)
sudah
over
exploited.
Ikan
pelagis
besar
seperti
spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
sudah
over
exploited,
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
fully
exploited,
dan
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate.
Potensi
tidak
terbarukan
pada
ekoregion
ini
antara
lain
sumberdaya
mineral
berupa
satu
cekungan
migas
yang
belum
dieksploitasi
dan
adanya
BMKT
yang
berada
di
Selayar.
Potensi
jasa
lingkungan
ekoregion
ini
adalah
wisata
bahari
di
Taka
Bone
Rate,
serta
air
mineral
laut
dalam
(deep
sea
water)
di
Makassar
yang
digunakan
untuk
air
minum
melalui
proses
destilasi.
KERAWANAN BENCANA
Berdasarkan
peta
rawan
tsunami
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
Teluk
Palu
yang
berada
di
daerah
pantai
dan
pesisir
Pulau
Sulawesi
yang
rawan
terhadap
tsunami
berada
di
pantai
bagian
barat
yang
berhadapan
dengan
Kalimantan
Timur.
Pada
Ekoregion
Laut
8
terdapat
sesar
Palikoro
yang
berarah
Tenggara-Baratlaut
dan
terkenal
sangat
aktif
sehingga
seringkali
menimbulkan
gempa-gempa
tektonik.
Selat
Makassar
ini
menghubungkan
antara
Pesisir
Barat
Pulau
Sulawesi
dan
Pesisir
Timur
Pulau
Kalimantan.
Menurut
Budiono
et
al.
(2003),
ekoregion
ini
memiliki
kerentanan
rendah
terhadap
kejadian
tsunami.
Pulau
Kalimantan
tidak
rentan
kejadian
gempa,
namun
terdapat
potensi
tsunami
yang
berasal
dari
kegempaan
di
bagian
Pulau
Sulawesi.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
8
berpotensi
untuk
menerima
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga,
pelabuhan,
perkebunan,
aktivitas
perkotaan
dan
industri
melalui
limpasan
air
DAS
yang
bermuara
ke
kawasan
ini.
Berdasarkan
kegiatan
tersebut,
maka
bahan
pencemar
yang
berpotensi
untuk
mencemari
adalah
bahan
organik
dan
bahan
anorganik.
Hasil
pemantauan
DAS
utama
ditemukan
bahwa
Sungai
Mahakam
menunjukkan
bahwa
parameter
pH,
BOD,
COD,
DO,
TSS,
amonia,
fenol,
minyak
dan
lemak,
fecal
coli
dan
total
coliform
telah
melampaui
KMA
kelas
I
atau
II,
dengan
status
mutu
air
tergolong
tercemar
berat
(KLH,
2009a).
Wilayah
perairan
ini
juga
berpotensi
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi.
Ledakan
populasi
plankton
bisa
terjadi
dan
menjadi
source
carbon
yang
dapat
menyumbang
terjadinya
peningkatan
GRK.
Potensi
pencemaran
juga
bisa
ditimbulkan
dari
aktivitas
trasportasi
laut
(sebagai
jalur
pengiriman
minyak
mentah),
kegiatan
migas
dan
pertambangan.
Terdapat
lima
titik
pembuangan
limbah
migas
dan
satu
titik
pembuangan
limbah
pertambangan
ke
kawasan
ini
(KLH,
2009b).
Jenis
bahan
anorganik
dan
organik
yang
dapat
mencemari
wilayah
ini
antara
lain
adalah
logam
berat,
POPs,
PAHs,
dan
TBT.
Publikasi
mengenai
pemantauan
pencemaran
laut
di
perairan
ini
masih
jarang
ditemukan.
Dari
data
penelitian
kandungan
POPs
di
jaringan
tubuh
kerang
hijau
dari
pantai
Maros
menunjukkan
nilai
total
DDTs
dan
PCBs
masih
rendah
bila
dibandingkan
dengan
kerang
di
pantai
dari
Ekoregion
Laut
Jawa,
seperti
Teluk
Jakarta,
Panimbang,
Cirebon
dan
Surabaya
(Monirith
et
al.,
2003).
Demikian
pula
dengan
TBT
di
kerang
hijau
dan
sedimen
dari
pantai
Maros,
menunjukkan
konsentrasi
yang
sangat
rendah
bila
dibandingkan
dengan
jenis
sampel
yang
sama
dari
Ekoregion
Laut
Selat
Malaka
dan
Ekoregion
Laut
Jawa
(Sudaryanto
et
al.,
2005;
2007).
Namun
demikian,
terakumulasinya
senyawa
POPs
dan
mungkin
limbah
B3
lain
dibiota
dari
wilayah
ini
dapat
menghasilkan
sumberdaya
perikanan
yang
tidak
aman
untuk
dikonsumsi,
bahkan
dapat
berpotensi
untuk
menurunkan
populasi
dan
menurunkan
keanekaragaman
hayati.
96
|ekoregion laut 8
Spesies Nudibranch di wilayah Laut Sawu (foto : Yoniar Hufan-BIG)
KALI MAN TAN EL-10 LAUT MALUKU
EL-11
R
SA
AS
K
N TENGAH
MA
SULAWESI TENGAH
AT
S U LAW E S I
L
SE
SULAWESI BARAT
EL-12
LAUT SERAM
KALIMANTAN SELATAN
LAUT BANDA
EL-6 EL-15
EL-13
LAUT FLORES
BALI
E
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR S T
L E
O R
T I M
LAUT SAWU
EL-2
EL-9 LAUT TIMOR
S A M U
D E R A
H I N D
I A
0 100
200 400 Km
Ekoregion Laut 9
Perairan Bali dan Nusa Tenggara
Ekoregion
Laut
9
meliputi
perairan
laut
di
sebelah
utara
dan
selatan
Pulau
Bali
dan
Kepulauan
Nusa
Tenggara.
2
Ekoregion
ini
memiliki
luas
625.018
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
terdapatnya
beberapa
pintu
keluar
bagi
Arus
Lintas
Indonesia
(Indonesian
Through-Flow)
seperti
Selat
Lombok,
Selat
Ombai
dan
terusan
Timor.
Arus
ini
membawa
massa
air
dari
Samudera
Pasifik
melintasi
perairan
Indonesia
melalui
Selat
Makassar,
Terusan
Limafatola,
Laut
Banda
dan
Laut
Aru.
a. Samudera
Hindia
sebelah
selatan
Jawa
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
pola
temperatur
permukaan,
b. Laut
Jawa
karena
perbedaan
batimetri.
Ekoregion
Laut
Jawa
berada
pada
Paparan
Sunda
dengan
kedalaman
200
m,
sedangkan
mayoritas
di
ekoregion
Perairan
Bali
dan
Nusa
Tenggara
pada
kedalaman
lebih
dari
200
m
(Samudera
Hindia),
c. Selat
Makassar
karena
perbedaan
pola
arus
dan
batimetri
yang
dipertegas
dengan
morfostruktur
dasar
laut
batas
paparan,
d. Laut
Banda
sebelah
selatan
Sulawesi
dan
Teluk
Bone
karena
perbedaan
biodiveritas
ikan
karang
dan
koral
yang
batasnya
ditarik
sesuai
dengan
morfostruktur
patahan
dan
subduksi
lempeng,
e. Laut
Banda
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
koral,
pola
arus,
dan
garis
batas
ditarik
mengikuti
morfostruktur
patahan.
Secara
geologi,
Ekoregion
Laut
9
terbentuk
sebelum
15
juta
hingga
5
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
Ekoregion
9
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain),
lereng
benua
(continental
slope),
pematang
samudera
(sub
marine
ridge),
dengan
kedalaman
sampai
dengan
7.247
m.
Berdasarkan
peta
kemiringan
lereng
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
Ekoregion
Laut
9
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009)
Ekoregion
Laut
9
memiliki
enam
cekungan
(Cekungan
Bali,
Cekungan
Flores,
Cekungan
Lombok,
Cekungan
Sumba,
Cekungan
Sawu,
dan
Cekungan
Wetar)
dan
satu
parit
(Parit
Lombok).
OSEANOGRAFI
Secara
umum,
pola
angin
monsun
di
ekoregion
ini
adalah
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara,
dan
juga
angin
dari
arah
barat
daya
(Samudera
Hindia
Tenggara)
yang
membelok
ke
tenggara
(Monsun
Barat).
Angin
tenggara
dari
Laut
Arafura
dan
Laut
Timor
bergerak
menuju
ke
barat
laut
(Monsun
Timur).
Pada
Monsun
Peralihan,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lemah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961;
Mustikasari
et
al.,
2010).
Secara
umum
pola
sirkulasi
arus
permukaan
di
perairan
bagian
utara
dari
Pulau
Bali
dan
Nusa
Tenggara
mengarah
ke
timur.
Arus
bergerak
dengan
arah
kebalikan
di
selatan
kepulauan.
Selain
arus
permukaan
tersebut,
area
ini
dilalui
oleh
fenomena
unik
internasional
yaitu
Arus
Lintas
Indonesia
(Indonesian
Through
Flow),
yang
membawa
massa
air
dari
Samudera
Pasifik
menuju
ke
Samudera
Hindia
Tenggara
dan
terjadi
di
kedalaman
lebih
dari
100
m
hingga
lapisan
mendekati
dasar
perairan.
Di
samping
itu,
terdapat
beberapa
lokasi
seperti
Selat
Lombok,
Laut
Flores,
Selat
Ombai,
Laut
Sawu
dan
Laut
Timor
yang
berperan
sebagai
outlet
dari
massa
air
Samudera
Pasifik
yang
menuju
Samudera
Hindia.
Mustikasari
et
al.
(2010)
melaporkan
upwelling
terpantau
di
setiap
monsun
di
ekoregion
ini.
Untuk
Monsun
Barat
terjadi
pada
perairan
sekitar
Pulau
Bali,
upwelling
dominan
lemah
ada
di
bagian
utara,
dan
kuat
di
Selat
Balung.
Upwelling
muncul
dominan
kuat
di
utara,
barat
dan
selatan
Pulau
Lombok.
Upwelling
lemah
sampai
kuat
terdapat
di
utara
Pulau
Sumbawa
sampai
Selat
Sape.
Upwelling
dominan
kuat
juga
muncul
di
utara
Pulau
Flores,
Adonara,
Siantar,
Alor,
Sumba,
Timor.
Upwelling
lemah
muncul
di
Laut
Sawu
dengan
wilayah
relatif
luas
hingga
di
Perairan
sekitar
Pulau
Rote
dan
Pulau
Sawu.
Pada
Monsun
Peralihan
I,
upwelling
terjadi
di
sekitar
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Pada
Musim
Barat,
banyak
yang
muncul
di
sebelah
Selatan.
Upwelling
kuat
muncul
di
Selatan
Pulau
Bali
dengan
area
luas.
Lalu
muncul
pula
upwelling
lemah
sampai
kuat
di
Barat
dan
Selatan
Pulau
Lombok,
Pulau
Sumbawa
sampai
Selat
Sape,
Selatan
Pulau
Flores,
Sumba
dan
Timor.
Upwelling
dominan
kuat
muncul
di
utara
dan
selatan
Pulau
Adonara,
Siantar
dan
Alor.
Pada
Monsun
Timur,
upwelling
dominan
kuat
muncul
di
selatan
Pulau
Bali,
selatan
dan
barat
Pulau
Lombok,
selatan
Pulau
Sumbawa
sampai
Selat
Sape.
Upwelling
kuat
juga
muncul
di
selatan
Pulau
Flores,
Sumba,
Sawu,
Roti,
Timor,
Utara
dan
selatan
Pulau
Adonara,
Siantar
dan
Alor.
Pada
Monsun
Peralihan
II,
upwelling
masih
muncul
dominan
kuat
dan
luas
di
selatan
Pulau
Bali
dan
Lombok.
Sementara
upwelling
lemah
sampai
kuat
muncul
di
selatan
Pulau
Sumbawa,
Selat
Sopo,
selatan
Pulau
Flores,
utara
dan
selatan
Pulau
Andonara
sampai
Alor.
Upwelling
sangat
lemah
ditemukan
di
utara
Pulau
Timor.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rerata
rentang
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
cukup
tinggi
dan
mencapai
rata-rata
26,5
28,0C,
salinitas
berkisar
antara
33,0-34,5
PSU,
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,2
4,7
ml/liter,
dan
pH
berkisar
antara
8,0
8,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,75
mol/liter,
konsentrasi
silikat
2,50
22,50
mol/liter,
konsentrasi
nitrat
1,0
9,0
mol/liter,
dan
klorofil
0,05
0,50
gram/liter
(Boyer
et
al.
2009).
Pada
ekoregion
ini
terdapat
beberapa
lokasi
yang
mempunyai
ekosistem
laut
dan
pesisir
yang
unik,
salah
satunya
Selat
Bali
yang
berperan
sebagai
habitat
ikan
Sardinella
lemuru.
Selain
itu
terdapat
Teluk
Saleh
yang
berfungsi
sebagai
area
asuhan
ikan-ikan
ekonomis,
Laut
Flores
sebagai
jalur
migrasi
cetacean
dari
Samudera
Pasik
menuju
Samudera
Hindia,
dan
Teluk
Ekas
yang
secara
periodik
dihampiri
oleh
kelompok
ikan
paus
(Purnomo
et
al.,
2004;
Brodjonegoro
et
al.
2004).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakter
utama
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
9
adalah
terumbu
karang
yang
umumnya
mengelilingi
pulau-pulau
di
kawasan
ini.
Selain
itu
ekoregion
ini
merupakan
koridor
migrasi
dan
habitat
paus.
Hutan
mangrove
di
kawasan
ini
tidak
terlalu
luas.
Pada
umumnya
mangrove
banyak
tumbuh
di
habitat
pasir
dan
pulau
karang.
Kondisi
mangrove
dari
Pulau
Bali
kearah
timur,
kondisinya
semakin
berkurang
yang
disebabkan
wilayahnya
relatif
kering
dengan
curah
hujan
yang
rendah.
Mangrove
tumbuh
di
bagian
Utara
Pulau
Timor.
Di
Pulau
Bali,
mangrove
tumbuh
di
Bali
bagian
selatan
(Teluk
Benoa),
kemudian
di
Bali
Barat,
dan
di
Pulau
Lembongan.
Di
Pulau
Lomboh,
mangrove
dijumpai
di
sekitar
Sekotong
dan
pulau-pulau
kecilnya.
Informasi
keberadaan
padang
lamun
cukup
minim.
Berdasarkan
pemantauan
kondisi
lamun
di
empat
lokasi
di
Taman
Nasional
Komodo),
lamun
di
lokasi
ini
didominasi
oleh
jenis
Enhalus
acoroides
dan
Thalassia
hemprichii
dengan
beberapa
jenis
lainnya,
yaitu
Halophila
ovalis,
Syringodium
isoetifolium,
Halodule
sp.
dan
Cymodocea
sp
(McKenzie
et
al.,
2006
dalam
De
Iongh
et
al.,
2009).
Kemudian
kondisi
lamun
yang
ada
di
Bali
selatan
dijumpai
ada
tujuh
spesies
yaitu
Enhalus
acoroides,
Cymodocea
rotundata,
Cymodocea
serrulata,
Halophila
ovalis,
Halodule
uninervis,
Halodule
pinifolia
dan
Syringodium
isoetifolium
dengan
di
dominansi
oleh
jenis
Enhalus
acoroides
(Arthana,
2005).
Ekoregion
ini
mempunyai
terumbu
karang
yang
cukup
bagus
kondisinya
dengan
keanekaragaman
karang
jamur
(fungiid)
menduduki
peringkat
3
setelah
Papua
dan
Laut
Sulawesi.
Sama
seperti
karang,
keanekaragaman
ikan
karang
juga
menempati
peringkat
tiga
dibawah
laut
Sulawesi
dan
Laut
Banda,
tetapi
tingkat
endemisitasnya
menduduki
peringkat
2
setelah
Papua.
Penelitian
Wallace
et
al.
(2001)
mendapatkan
hasil
bahwa
beberapa
spesies
karang
genus
Acropora,
Acropora
suharsonoi
dan
A.
palmerae,
diperkirakan
menjadi
spesies
endemik
di
perairan
ini
dan
perairan
selatan
Indonesia.
Penelitian
terdahulu
menyebutkan
bahwa
komposisi
spesies
di
perairan
ini
mempunyai
hubungan
yang
kuat
dengan
perairan
dangkal
Australia
Barat.
Kajian
cepat
kondisi
kelautan
Propinsi
Bali
tahun
2011
mencatat
406
spesies
karang
keras
yang
terdiri
dari
54
genera.
Dari
13
spesies
belum
terkonfirmasi
namanya,
dan
setidaknya
1
spesies
merupakan
spesies
baru
Euphyllia
sp.
nov.
Rata-rata
tutupan
karang
hidup
28%,
sedangkan
karang
mati
rata-rata
<
4%.
Survei
menemukan
terumbu
karang
Bali
dalam
pemulihan
aktif
dari
pemutihan
karang,
perikanan
yang
merusak
dan
serangan
bintang
laut
berduri
yang
sempat
diperkirakan
menghancurkan
karang-karang
tersebut
mulai
dari
akhir
1990an
hingga
2001.
Perbandingan
karang
hidup
dan
mati
adalah
7
banding
1
yang
merupakan
bukti
kelentingan
terumbu
karang
Bali
(Mustika,
et
al.,
2012).
Kajian
ini
juga
mencatat
ikan
karang
sebanyak
977
spesies,
terdiri
dari
320
genus
dan
88
famili.
Jenis
yang
paling
sering
ditemui
di
karang
Bali
adalah
ikan
kakatua
(Labridae),
betok
(Pomacentridae),
betutu
(Gobiidae),
capungan
(Apogonidae),
kerapu
(Serranidae),
ikan
kepekepe
(Chaetodontidae),
dan
butane
(Acanthuridae).
Sebanyak
16
jenis
ikan
karang
yang
diduga
endemik
ditemukan
di
Bali
dan
ke
arah
timur
ke
pulau-pulau
Nusa
Tenggara.
Dari
hasil
kajian
ini
juga
ditemukan
13
spesies
ikan
baru
atau
yang
belum
terdeskripsikan.
Dugong
dapat
ditemukan
di
kawasan
ini.
Keberadaan
Dugong
di
Pulau
Timor
Barat
diinformasikan
saat
operasi
lapangan
oleh
PT.
Jaya
Acol
Oceanarium
yang
berhasil
menangkap
2
ekor
Dugong
di
Teluk
Kupang.
Keberadaan
Dugong
di
Pulau
Rote
telah
dikonfirmasi
sejak
tahun
1997
dan
kembali
dikonfirmasi
pada
tahun
2004
melalui
wawancara
dengan
penduduk
setempat
(De
Iongh
et
al.,
2006).
Pada
tahun
2007
terlihat
oleh
Suharsono
(komunikasi
pribadi)
saat
melakukan
survei
penyelaman.
Informasi
mutakhir
disampaikan
oleh
Kuriandewa
(komunikasi
pribadi)
yang
melihat
dugong
di
Pulau
Rote
sebelah
utara
berhadapan
dengan
Pulau
Timor
pada
tahun
2010.
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
9
berada
pada
WPP
573.
Potensi
sumberdaya
perikanan
di
kawasan
tersebut
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(201,4
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(210,6
ribu
ton/tahun),
demersal
(66,2
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(5,9
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(4,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(1,0
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-
cumi
(2,1
ribu
ton/tahun).
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45
Tahun
2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
9
adalah
udang
sudah
dimanfaatkan
melebihi
kapasitas
(over
exploited),
Ikan
demersal
seperti
spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kuwe
(Caranx
sexfasciatus
yang
sudah
fully
exploited,
spesies
layur
(Trichiurus
spp)
masih
taraf
moderate.
Ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
lemuru
(Sardinella
lemuru)
sudah
over
exploited,
spesies
layang
Decapterus
kuroides
masih
taraf
moderate.
Tingkat
pemanfaatan
ikan
pelagis
besar
seperti
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
dan
tuna
sirip
biru
(Thunnus
maccoyii)
sudah
over
exploited,
spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
dan
albakora
(Thunnus
alalunga)
sudah
fully
exploited,
dan
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate.
Untuk
cumi-cumi
masih
(Loligo
spp)
dimanfaatkan
dalam
taraf
normal
(moderate).
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
atau
sumberdaya
mineral
pada
ekoregion
ini
antara
lain
terdiri
dari
satu
cekungan
sedimen
berproduksi,
dua
cekungan
sedimen
sudah
dieksploitasi,
satu
cekungan
sedimen
belum
dieksploitasi,
satu
lokasilokasi
area
potensial
distribusi
endapan
placer
chromite
dan
magnetite.
Potensi
migas
tersebar
disekitar
daerah
utara
Bali,
Lombok
Sumbawa,
selatan
Tanimbar,
dan
selatan
Pulau
Timor.
Terdapat
potensi
hidrothermal
yang
berasal
dari
gunung
api
Baruna
Komba
yang
berada
sekitar
200
m
dari
permukaan
laut
(Sarmili
et.al,
2003).
Terdapat
juga
potensi
Jasa
lingkungan,
wisata
bahari
di
Bali
dan
Lombok
dan
potensi
air
mineral
laut
dalam
(deep
sea
water)
di
Gondol,
Jula,
Dompu,
Kupang
yang
digunakan
untuk
air
minum
melalui
proses
destilasi.
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
energi
terbarukan
dengan
memanfaatkan
arus
dari
Selat
Bali,
Selat
Lombok,
Selat
Alas,
Selat
Flores
sebagai
pembangkit
listrik.
KERAWANAN BENCANA
Selatan
Gugusan
Pulau
Bali
hingga
Nusa
Tenggara
berada
pada
zona
pertemuan
lempeng
sehingga
rentan
terhadap
gempa
yang
diikuti
dengan
tsunami
(Budiono
et
al.
2003).
Gempa
juga
sering
melanda
lokasi
ini,
baik
pada
Utara
gugusan
pulau
maupun
sebelah
Selatan
gugusan
pulau.
Potensi
tsunami
terjadi
baik
pada
sisi
Utara
maupun
Selatan
gugusan
pulau
(Budiono
et
al.
2003).
Selain
itu
ekoregion
ini
memiliki
kerawanan
bencana
berupa
potensi
bahaya
letusan
dari
gunung
api
bawah
laut
yang
masih
aktif,
yaitu
Baruna
Komba,
Anak
Komba,
dan
Ibu
Komba.
PENCEMARAN
air
tercemar
berat
(KLH,
2009a).
Menurut
Falahudin
et
al.
(2012),
pencemaran
oleh
senyawa
PAH
dalam
air
dan
sedimen
di
perairan
Timor
adalah
cukup
tinggi
bila
dibandingkan
di
beberapa
perairan
lain
di
Indonesia
seperti
Teluk
Klabat
dan
perairan
pantai
Kalimantan
Timur
(Sangata
dan
Balikpapan).
Selain
itu,
aktivitas
pertambangan
di
Sumbawa
yang
mengalirkan
limbah
tailingnya
(submarine
tailing
disposal)
berpotensi
menimbulkan
pencemaran
di
perairan
ini.
Logam
berat,
terutama
Cu
adalah
bahan
pencemar
utama
di
sekitar
STD
ini
(Edinger,
2012).
Berdasarkan
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
di
wilayah
ini,
terdapat
satu
titik
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
kegiatan
pertambangan
yang
berlokasi
di
Kabupaten
Sumbawa
Barat
dan
3
menghasilkan
limbah
dengan
volume
sebesar
36.750
m /hari
(KLH,
2009b).
Di
wilayah
ini
juga
terdapat
kegiatan
pertambangan
migas
yang
berada
di
perairan
Australia,
sehingga
berpotensi
menjadi
sumber
pencemaran.
Sebagai
contoh,
oil
spill
akibat
meledaknya
anjungan
minyak
Montara
(Australia)
pada
tanggal
21
Agustus
2009
menyebabkan
pencemaran
minyak
ke
perairan
laut
sekitarnya
(Gaol,
2009).
Berdasarkan
citra
MODIS
seperti
dalam
gambar
di
bawah
ini,
pencemaran
minyak
ini
sampai
ke
perairan
2
Indonesia
dengan
luas
perairan
yang
tertutup
oil
spill
diperkirakan
sekitar
7000
km
(Gaol,
2009).
Sementara
itu,
dampak
oil
spill
telah
terlihat
di
perairan
Indonesia
seperti
yang
dilaporkan
oleh
para
nelayan
yang
menemukan
banyak
ikan
mati
di
laut
(Gaol,
2009).
Dampak
negatif
dari
tumpahan
minyak
ini
terhadap
biota
laut
juga
telah
terlihat
di
perairan
Celah
Timor
(Watson
et
al.,
2009).
Selain
itu
adanya
musibah
tersebut
berpotensi
terhadap
terjadinya
pencemaran
berbagai
senyawa
PAH
dan
logam
berat.
LAUT SULAWESI
EL-7
SULAWESI UTARA
GORONTALO
R
SA
AS
EL-10
AK
TM
LAUT MALUKU
LA
EL-11
SE
SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I
ULAWESI BARAT
EL-12
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN
Ekoregion Laut 10
Teluk Tomini
Ekoregion
Laut
10
meliputi
perairan
laut
yang
berbatasan
perairan
Laut
Halmahera
yang
memiliki
luas
70.020
2
km .
Teluk
Tomini
adalah
salah
satu
teluk
terbesar
di
Indonesia
yang
dikelilingi
oleh
tiga
Propinsi
yaitu
Sulawesi
Utara,
Gorontalo
dan
Sulawesi
Tengah.
Ciri
khas
dari
ekoregion
ini
adalah
termasuk
teluk
yang
besar
dengan
kedalaman
yang
beragam,
dan
dibagian
tengah
teluk
terdapat
aktivitas
hidrotermal
bawah
laut.
Ekoregion
Teluk
Tomini
merupakan
salah
satu
teluk
terbesar
di
Indonesia
yang
memiliki
batas
dengan
ekoregion
Laut
Halmahera
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikang
karang
dan
karang
serta
pola
temperatur
dan
salinitas.
Secara
geologi,
ekoregion
Laut
10
ini
terbentuk
sekitar
6
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
10
terdiri
dari
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope),
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
sampai
dengan
3.854
m.
o
Ekoregion
Laut
10
memiliki
kemiringan
dasar
laut
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
o o o
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 )
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut,
ekoregion
ini
memiliki
dua
cekungan
yaitu
Cekungan
Gorontalo
dan
satu
cekungan
yang
tidak
bernama
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009).
OSEANOGRAFI
Pola
angin
Monsun
yang
bertiup
di
atas
ekoregion
ini
adalah
ekstensi
dari
angin
yang
bertiup
di
Ekoregion
Perairan
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Pergerakan
angin
Monsun
tersebut
adalah
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
(Monsun
Barat)
yang
asalnya
adalah
hasil
pembelokan
angin
dari
Samudera
Pasifik,
angin
tenggara
dari
Laut
Arafura
dan
Laut
Timor
bergerak
menuju
ke
barat
laut
(Monsun
Timur).
Sedangkan
pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lemah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Putri,
2005).
Tipe
pasang
surut
di
perairan
Teluk
Tomini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal,
dengan
tinggi
rata-rata
air
pasang
tertinggi
adalah
+2,50
m,
air
surut
terendah
-2,64
m,
dengan
tunggang
maksimum
sekitar
5,14
m
(Wyrtki
1961;
Purnomo
et
al.
2003).
Menurut
Purnomo
et
al.
(2003),
arus
yang
memasuki
Teluk
Tomini
berasal
dari
Laut
Maluku
yang
terletak
di
sebelah
timur
perairan
Teluk
Tomini.
Pola
arus
menunjukkan
bahwa
arus
bergerak
keluar
masuk
Teluk
Tomini
sesuai
dengan
pola
pasut
yang
ada.
Saat
air
surut,
arus
bergerak
dari
arah
Laut
Maluku
menuju
perairan
dalam
Teluk,
kecepatan
arus
maksimum
di
utara
Tanjung
Api
dan
Selat
Wadea.
Saat
air
menjelang
pasang,
arus
dari
arah
Laut
Maluku
bergerak
menguat
memasuki
perairan
teluk,
sebagian
arus
yang
bergerak
di
sebelah
utara
perairan
teluk
bergabung
dengan
arus
balik
di
selatan
teluk
yang
mengarah
keluar
teluk
dan
memasuki
Perairan
Kepulauan
Togean.
Saat
air
pasang
kekuatan
arus
melemah
hampir
di
seluruh
perairan
teluk
di
sekitar
Perairan
Kepulauan
Togean.
Saat
air
menjelang
surut
arus
bergerak
keluar
ke
segala
arah
dan
bergabung
dengan
arus
dari
perairan
di
sekitarnya
yang
lebih
lemah
dan
bergerak
keluar
perairan
teluk.
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010),
pada
Monsun
Barat
upwelling
intensitas
lemah
hingga
kuat
dan
relatif
luas
muncul
di
Perairan
Teluk
Tomini
bagian
Utara
dan
Barat.
Pada
Monsun
Peralihan
I,
di
Teluk
Tomini
bagian
Utara
upwelling
umumnya
lemah.
Pada
Monsun
Timur
muncul
upwelling
dominan
kuat
dan
luas
dari
utara
Tanjung
Pangkalsiang
sampai
Teluk
Poso.
Pada
Monsun
Peralihan
II,
upwelling
intensitas
kuat
muncul
di
Teluk
Tomini
bagian
Selatan
antara
Tanjung
Pangkalsiang
sampai
Teluk
Poso.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
mencapai
kisaran
29
30,5C;
salinitas
berkisar
antara
33-33,5
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,6
4,8
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
6,75
7,40.
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,25
mol/liter;
konsentrasi
silikat
5
10
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
8
9
mol/liter;
dan
klorofil
0,05
5,0
gram/liter
(Boyer
et
al.
2009).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
10
adalah
memiliki
keragaman
tinggi
dan
tingkat
keendemikan
yang
penting
karena
keterisolasian
yang
cukup
lama.
Perairan
teluk
yang
bersifat
semi-tertutup
merupakan
kawasan
yang
unik
karena
mengalami
isolasi
geografis
yang
cukup
lama.
Pesisir
utara
yang
unik
dengan
lansekap
berhutan
dan
langsung
terjal
ke
arah
laut
hingga
kedalaman
mencapai
mintakat
abisal
(abyssal
zone)
sehingga
tidak
mempunyai
paparan
benua
(continental
shelf).
Wilayah
ini
memiliki
ekosistem
pesisir
yang
lengkap
yaitu
ekosistem
mangrove,
lamun
dan
terumbu
karang.
Kondisi
ekosistem
mangrove
di
Kawasan
Teluk
Tomini
Kabupaten
Bolaang
Mongondow,
dalam
kondisi
yang
masih
baik,
walaupun
pada
beberapa
tempat
terlihat
adanya
pembukaan
lahan
untuk
tambak
serta
adanya
bekas-bekas
penebangan.
Sebagian
besar
ekosistem
mangrove
di
Pantai
Selatan
Bolaang
Mongondow
terdapat
di
daerah
tepian
pantai.
Komunitas
lamun
(seagrass)
cukup
luas
dengan
kondisi
bervariasi
mulai
kurang
hingga
baik.
Jumlah
spesies
yang
ditemukan
berkisar
5
6
spesies.
Dalam
ekosistem
mangrove
dan
ekosistm
terumbu
karang
dijumpai
terutama
dua
spesies
yang
memiliki
toleransi
besar
di
wilayah
mangrove
yaitu
Cymodocea
rotundata,
dan
Thallasia
2
hemprichii.
Jumlah
individu
berkisar
553,3
845,6
individu/m
dan
berdasarkan
tutupan
kanopi
dikategorikan
baik
(65%
-
80%).
Penelitian
dari
Pusat
Penelitian
Lingkungan
Hidup
dan
Sumberdaya
Alam
Universitas
Sam
Ratulangi
Manado
bekerjasama
dengan
Pusat
Pengelolaan
Ekoregion
Sumapapua
(2007)
menunjukkan
bahwa
kondisi
terumbu
karang
di
Kawasan
Teluk
Tomini
Sulawesi
Utara,
daerah
Kabupaten
Bolaang
Mongondow
dalam
kondisi
miskin-
cukup
didominasi
oleh
jenis
karang
batu
Montipora,
Acropora
dan
Diplostrea.
Populasi
karang
dijumpai
hingga
pada
topografi
landai
hingga
drop
dengan
jarak
pandang
10
25
m.
Degradasi
kondisi
terumbu
karang
diakibatkan
oleh
akibat
aktivitas
manusia
(penggunaan
bahan
peledak
dan
racun)
maupun
pengaruh
alami.
Sebaran keragaman spesies sidat, Anguilla spp di perairan Indonesia. (gambar: Sugeha et al., 2008)
Berdasar
analisis
struktur
genetik
Bayesian,
sampel
Neotrygon
kuhlii
yang
berasal
dari
Teluk
Tomoni
dekat
hubungannya
dengan
populasi
yang
berasal
dari
dua
wilayah
yang
berbeda
yaitu
populasi
dari
Samudera
Hindia
dan
Selat
Bali
/
Laut
Flores
meskipun
hubungan
akhirnya
terlihat
lemah.
Karena
ukuran
wilayahnya
yang
sempit,
penetapan
hubungan
struktur
genetik
populasi
di
wilayah
Teluk
Tomini
terhadap
populasi
di
Samudera
hindia
(atau
Selat
Bali
/
Laut
Flores)
dapat
dianggap
hanya
sebagai
hubungan
sementara.
Secara
umum,
dasar
perairan
samudera
yang
berbeda
dapat
memperlihatkan
populasi
Neotrygon
kuhlii
yang
berbeda
secara
genetik
(Borsa
et
al.,
2012).
Terdapat
dua
kawasan
konservasi
di
Ekoregion
Laut
10,
yaitu
KKPD
Desa
Olele,
Gorontalo
dengan
luas
2.460
ha
dan
Taman
NasionalLaut
Kepulauan
Togean,
Sulawesi
Tengah
dengan
luas
sekitar
362.065
ha.
PEMANFAATAN
Ekoregion
10
berada
pada
WPP
715.
Potensi
sumberdaya
perikanan
di
kawasan
tersebut
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(106,
5
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(379,4
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(88,8
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(0,9
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(12,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,3
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-
cumi
(7,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
non
hayati
meliputi:
(i)
mangrove
tersebar
di
sekitar
pesisir
selatan
Gorontalo,
pesisir
Kepulauan
Togean
dan
pesisir
Banggai
dan
Poso
seluas
25.700,40
ha,
(ii)
padang
lamun
seluas
1.284,10
ha
tersebar
di
pesisir
selatan
Teluk
Tomini
dan
(iii)
terumbu
karang
seluas
22.417,50
ha
yang
tersebar
di
beberapa
kawasan
ekoregion
ini.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
laut
10
meliputi
beberapa
kategori.
Tingkat
pemanfaatan
udang
sudah
over
exploited,
ikan
demersal
seperti
spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus)
sudah
fully
exploited.
Ikan
pelagis
kecil
seperti
spesies
ikan
terbang
(Hirundichthys
oxycephalus)
dan
layang
(Decapterus
kuroides)
sudah
fully
exploited,
dan
spesies
layang
(Decapterus
macarellus)
masih
moderate.
Tingkat
pemanfaatan
Ikan
pelagis
besar
seperti
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
sudah
fully
exploited
dan
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate.
Potensi
sumberdaya
lainnya
yang
berada
pada
Ekoregion
Laut
10
adalah:
a. Potensi
sumberdaya
mineral
berupa
satu
lokasi
cekungan
migas
sudah
ada
penemuan,
satu
lokasi
cekungan
migasyang
sudah
di
bor,
satu
lokasi
cekungan
migasyang
belum
dieksploitasi,
satu
lokasi
lokasi
potensial
distribusi
endapan
placer
emas,
serta
tiga
gunung
api
bawah
laut
b. Potensi
migas
terdapat
di
Banggai,
Sulawesi
Tengah.
c. Pemanfaatan
yang
dilakukan
terhadap
potensi
tersebut
adalah
sebagai
bahan
bakar
untuk
berbagai
jenis
alat
transportasi
dan
industri.
d. Potensi
jasa
lingkungan
yaitu
wisata
bahari
di
Pulau
Togean.
KERAWANAN BENCANA
Teluk
Tomini
merupakan
salah
satu
teluk
terbesar
di
Indonesia,
dengan
luas
perairan
sekitar
enam
juta
hektar,
serta
dikelilingi
oleh
tiga
propinsi
yaitu
Sulawesi
Utara,
Gorontalo,
dan
Sulawesi
Tengah.
Teluk
yang
dilewati
garis
khatulistiwa
ini
berada
pada
posisi
yang
strategis
sebagai
jantung
segitiga
terumbu
karang
dunia
atau
heart
of
coral
triangle,
yang
disepakati
pada
World
Ocean
Conference
(WOC)
dan
Coral
Triangle
Initiatives
(CTI)
Summit
pada
Mei
2009
di
Manado,
Sulawesi
Utara
(SUSCLAM,
2010).
Berdasarkan
aspek
kerentanan
dan
kebencanaan,
wilayah
Ekoregion
Laut
10
memiliki
kerentanan
terhadap
tsunami
dan
kegempaan
(Jaya
et
al.,
2001;
Budiono
et
al.
2003).
Hal
ini
harus
diwaspadai
karena
wilayah
ini
terdapat
kepulauan
Togean
yang
memiliki
potensi
wisata
bahari
yang
tinggi.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
Teluk
Tomini
memiliki
potensi
mendapat
pencemaran
dari
kegiatan
pemukiman,
hotel,
restoran,
pelabuhan
dan
pariwisata.
Berdasarkan
keseluruhan
sumber
pencemar,
pencemaran
yang
diakibatkan
oleh
kegiatan
pariwisata
relatif
lebih
kecil
dibandingkan
dengan
pencemaran
akibat
aktivitas
lainnya.
Menurut
Laapo
et
al.
(2009)
indeks
pencemaran
lingkungan
perairan
meningkat
sekitar
21%
selama
musim
puncak
kunjungan
turis
di
kawasan
wisata
gugus
Pulau
Togean.
Walaupun
status
mutu
air
di
sekitar
perairan
Pulau
Togean
masih
terbilang
baik,
wilayah
perairan
tersebut
memiliki
potensi
pencemaran
yang
meningkat
apabila
sumber
pencemar
tidak
dikelola
dengan
seharusnya.
Kawasan
wisata
lain
yang
berpotensi
mengalami
pencemaran
adalah
wilayah
Pantai
Wisata
Bahari
Bentenan
dan
Pantai
Mangkid.
Pada
Pantai
Wisata
Bahari
Bentenan
terdapat
konsentrasi
deterjen
dan
pada
pantai
Mangkid
yang
bervegetasi
mangrove
terdapat
kandungan
colitinja
yang
tidak
memenuhi
syarat
Kepmen
LH
51
Tahun
2004.
Sumber
pencemar
dari
kegiatan
pelabuhan
berasal
dari
dua
pelabuhan
yang
memiliki
status
mutu
air
berada
dalam
kondisi
tercemar
ringan
(KLH,
2009c;
2010).
Parameter
fenol
adalah
yang
umum
ditemukan
melebihi
nilai
ambang
batas
di
perairan
pelabuhan
Teluk
Tomini
(KLH,
2009c;
2010).
Sumber
pencemar
dari
permukiman,
hotel,
dan
restoran
berpotensi
mencemari
sungai-sungai
yang
bermuara
di
Teluk
Tomini,
seperti
sungai
Bone
dan
Bolango.
Kedua
sungai
tersebut
memiliki
status
mutu
air
cemar
sedang
berdasarkan
metode
indeks
pencemaran
(Keputusan
MENLH
No.
115
tahun
2003)
dengan
menggunakan
Kriteria
Mutu
Air
Kelas
I
(PP
82/2001).
Wilayah
laut
ini
berpotensi
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
dan
berpotensi
untuk
menyumbang
GRK.
Kegiatan
pertanian
dan
perikanan,
selain
berpotensi
untuk
menghasilkan
bahan
pencemar
organik,
juga
berpotensi
untuk
menghasilkan
limbah
B3
seperti
pestisida
dan
logam
berat.
Pada
prinsipnya
jenis
dan
sumber
bahan
pencemar
yang
dihasilkan
dari
berbagai
kegiatan
di
atas
dapat
mempengaruhi
kualitas
perairan
di
wilayah
ini
dan
keberlanjutan
sumberdaya
terumbu
karang
yang
dijadikan
sebagai
obyek
wisata
(Laapo
et
al.,
2009).
0 75
150 300 Km
EL-7 EL-11
SULAWESI
LAUT HALMAHERA
MALUKU
ARA
Ekoregion Laut 11
Laut Halmahera
2
Ekoregion
Laut
11
berbatasan
dengan
Samudera
Pasifik
di
sebelah
Utara
Papua
dan
memiliki
luas
451.955
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
struktur
Kepulauan
Halmahera
yang
dapat
menimbulkan
Halmahera
Eddy,
yang
merupakan
arus
putar
balik
ke
arah
Barat
dan
kembali
ke
samudra
Pasifik
yang
semula
berasal
dari
arus
susur
tepian
Papua
utara
yang
menuju
ke
barat.
Secara
geologi,
ekoregion
laut
11
ini
terbentuk
sekitar
6
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
ini
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
9.514
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
wilyah
ini
memiliki
o o
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
terjal
o o
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
ekoregion
ini
memiliki
lima
cekungan
(Cekungan
Morotai,
Cekungan
Khaterina,
Cekungan
Taliabu,
Cekungan
Mangale
dan
Cekungan
Datan),
dua
plato
(Plato
Morotai
Timur,
dan
Plato
Waigea),
dan
tiga
parit
(Parit
Sangihe,
Parit
Ternate,
dan
Parit
Utara
Morotai).
OSEANOGRAFI
Pola
angin
Monsun
di
ekoregion
ini
memiliki
pola
yang
sama
dengan
di
ekoregion
Teluk
Tomini.
Secara
umum,
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat
sebagai
hasil
pembelokan
angin
dari
Samudera
Pasifik,
dan
angin
tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Putri,
2005).
Menurut
Wyrtki
(1961),
tipe
pasut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal.
Ekoregion
ini
memiliki
fenomena
hidrodinamika
yang
unik
bernama
Halmahera
Eddy.
Arus
eddy
putar
balik
ke
arah
Barat,
kemudian
kembali
ke
Samudera
Pasifik
yang
semula
berasal
dari
arus
susur
tepian
Papua
utara
yang
menuju
ke
barat.
Arus
ini
mulai
terbentuk
pada
Monsun
Peralihan
I,
kemudian
intensitasnya
menguat
di
sepanjang
Monsun
Timur,
dan
kemudian
melemah
hingga
ketika
melewati
periode
Monsun
Peralihan
II,
dan
menghilang
ketika
Monsun
Barat.
Arus
eddy
tersebut
mengangkut
nutrien
dari
pesisir
utara
Papua
menuju
Ekoregion
Samudra
Hindia
Utara
Papua.
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010),
pada
Monsun
Barat,
upwelling
intensitas
kuat
dan
luas
muncul
di
timur
dan
selatan
Pulau
Halmahera,
yaitu
tepatnya
di
Teluk
Weda,
Teluk
Bull
sampai
sekitar
Tanjung
Perak.
Pada
Monsun
Peralihan
I,
di
sekitar
Pulau
Halmahera
muncul
upwelling
di
timur,
yaitu
sekitar
Tanjung
Perak
dengan
intensitas
kuat
dan
luas.
Sementara
itu
di
Teluk
Weda
muncul
upwelling
dominan
lemah
dan
cukup
luas
pada
Monsun
Timur.
Kemunculan
upwelling
juga
terdeteksi
di
timur
laut
Pulau
Morotai,
dan
juga
upwelling
kuat
terjadi
di
perairan
antara
Pulau
Halmahera
dan
Pulau
Waigeo.
Pada
Monsun
Peralihan,
upwelling
dominan
kuat
dan
relatif
luas
ada
di
selatan
Kepulauan
Obi
sampai
barat
Pulau
Halmahera.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
mencapai
kisaran
27
29C;
salinitas
berkisar
antara
33,0
dan
34,5
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,3
4,7
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
6,75
8,25.
Mengacu
pada
Boyer
et
al.
(2009),
untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
1,0
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
15,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1
3
mol/liter;
dan
klorofil
0,5
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakter
utama
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
11
adalah
terumbu
karang
dengan
jumlah
spesies
yang
termasuk
tinggi
di
Indonesia.
Beberapa
karang
yang
besar
terutama
Pavona
clavus
dan
Gardineroseris
planulata
dari
family
Agariciidae
dengan
umur
sangat
tua
1.000
tahun
atau
lebih
ditemukan
di
kawasan
ini
(Turak
and
DeVantier,
2008).
Adanya
aliran
arus
di
perairan
dalam
dapat
mengurangi
tekanan
panas
terhadap
karang
dari
naiknya
suhu
air
laut
yang
mungkin
menyebabkan
pemutihan
massal
(massal
coral
bleaching)
selama
perubahan
iklim.
Terdapat
468
(544)
spesies
karang
keras
yang
terdiri
dari
15
famili
dan
54
genera
(Turak
and
DeVantier,
2008).
Hampir
seluruh
spesies
karang
di
Bentang
Laut
Kepala
Burung
Papua
terdapat
di
kawasan
ini
kecuali
empat
spesies.
Terdapat
kemiripan
yang
tinggi
antara
komposisi
jenis
karang
di
Halmahera
dengan
komposisi
karang
di
kawasan
bentang
laut
Kepala
Burung
dan
bentang
laut
Laut
Sulawesi.
Namun
demikian,
terdapat
beberapa
perbedaan
penting
yang
tampak
antara
ekoregion
ini,
yaitu
pada
komunitas
karangnya.
Halmahera
menunjukkan
tingkat
ketidakmiripan
dari
sedang
sampai
tinggi
dari
kebanyakan
ekoregion
lainnya,
terutama
dari
Sangihe-Talaud
dan
Raja
Ampat.
Teluk
Kao
di
bagian
utara
tengah
Halmahera
adalah
teluk
unik
yang
luas
dan
nyaris
tertutup
pulau.
Pertumbuhan
terumbu
karang
di
teluk
ini
minimal,
namun
demikian
keanekaragaman
hayati
yang
terlihat
di
sini
dalam
beberapa
hal
sangat
unik
dengan
tingginya
keragaman
habitat
yang
dihasilkan
dari
kegiatan
tektonik
aktif
(Huffard
et
al.
2012).
Cincin
pulau
gunung
berapi
yang
bermula
dari
Ternate
sampai
Makaian
dan
selat
panjang
yang
membelah
Bacan
juga
merupakan
habitat
unik
di
Halmahera.
Pantai
Utara
Morotai
di
Indonesia
juga
unik
karena
menghadap
ke
lautan
terbuka
yang
terkena
hempasan
gelombang
besar
Samudera
Pasifik.
Craterastrea
leavis
merupakan
jenis
karang
di
perairan
dalam
yang
langka
yang
sementara
ini
hanya
diketahui
terdapat
di
Chagos
dan
Laut
Merah,
juga
tercatat
di
ekoregion
ini.
Kombinasi
hasil
kajian
cepat
kelautan
tahun
2005
dan
2008
mencatat
spesies
ikan
karang
di
Halmahera
Utara
dan
Morotai
sebanyak
991
spesies,
terdiri
dari
77
famili
dan
288
genera.
Ikan
dominan
terdiri
dari
3
genera
yaitu
Gobiidae,
Pomacentridae
dan
Labridae.
Anak-anak
nelayan
akrab
bermain
dan
bercanda
dengan
Dugong
di
Tobelo,
Halmahera
Utara.
(foto:
dokumentasi
P2O
LIPI)
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
11
berada
di
sebagian
WPP
715
dan
sebagian
lagi
WPP
716.
Potensi
sumberdaya
perikanan
di
WPP
715
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(106,
5
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(379,4
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(88,8
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(0,9
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(12,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,3
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(7,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(70.1
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(230,9
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(24,7
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(1,1
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(6,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,2
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(0,2
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
non
ikan
pada
ekoregion
ini
antara
lain:
(i)
mangrove
seluas
40.019,02
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
Halmahera
Selatan
dan
pesisir
Pulau
Obi,
(ii)
padang
lamun
seluas
5.597,12
ha
tersebar
di
pesisir
Pulau
Halmahera
dan
Pulau
Bacan
dan
(iii)
terumbu
karang
dengan
luas
35.712,38
ha.
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
budidaya
mutiara
yang
tersebar
di
sekitar
Pulau
Seram.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
11
memiliki
beberapa
kategori.
Pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
WPP
715
seperti
udang
sudah
over
exploited,
ikan
demersal
spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus)
sudah
fully
exploited.
Kondisi
di
WPP
716
ikan
demersal
spesies
manyung
(Ariidae
spp),
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus),
kuwe
(Caranx
sexfasciatus)
masih
taraf
moderate.
Ikan
pelagis
kecil
di
WPP
715
jenis
ikan
terbang
(Hirundichthys
oxycephalus)
dan
layang
(Decapterus
kuroides)
sudah
fully
exploited
sedangkan
layang
spesies
Decapterus
macarellus
masih
moderate.
Ikan
pelagis
kecil
di
WPP
716
antara
lain
layang
(Decapterus
kuroides
dan
Decapterus
macarellus)masih
moderate.
Ikan
pelagis
besar
di
WPP
715
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
sudah
fully
exploited
dan
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
moderate.
Ikan
pelagis
besar
di
WPP
716
antara
lain
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
madidihang
(Thunnus
albacares)
(Katsuwonus
pelamis)
sudah
fully
exploited
dan
cakalang
masih
moderate.
Potensi
sumberdaya
tidak
terbaharukan
di
ekoregion
ini
adalah
potensi
migas
yang
terdapat
disekitar
Halmahera
Timur
dan
nikel
di
pulau-pulau
kecil.
Ekoregion
ini
menyimpan
BMKT
yang
terdapat
di
perairan
Tidore
yang
telah
dirubah
menjadi
tempat
pariwisata
dan
edukasi.Potensi
jasa
lingkungan
ekoregion
ini
adalah
wisata
bahari
Pulau
Bunaken.
Ekoregion
ini
juga
memiliki
potensi
energi
terbarukan
dengan
memanfaatkan
arus
dari
Selat
Talibo-Manguale
(Kepulauan
Sula)
sebagai
pembangkit
listrik
.
KERAWANAN BENCANA
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
11
memiliki
potensi
dicemari
oleh
limpasan
air
yang
berasal
dari
sungai
yang
bermuara
pada
ekoregion
ini,
antara
lain
dari
Sungai
Tabobo
dan
Sungai
Lasolo
di
Pulau
Halmahera.
Menurut
Kriteria
Mutu
Air
kelas
I
dan
II,
kedua
sungai
tersebut
memiliki
status
mutu
air
tercemar
sedang
hingga
berat
(KLH,
2009a).
Sumber
pencemar
utama
adalah
dari
kegiatan
rumah
tangga
dan
industri
pertambangan,
terutama
pertambangan
emas.
Namun
di
lokasi
tersebut
juga
terdapat
kegiatan
lainnya
yakni
kegiatan
pertanian/perkebunan
dan
kegiatan
perikanan
tangkap.
Berdasarkan
kegiatan
yang
dilakukan
di
wilayah
ini,
maka
bahan
pencemar
yang
lebih
berpotensi
untuk
mencemari
adalah
bahan
pencemar
yang
masuk
kedalam
kategori
B3,
terutama
logam
berat.
Namun
demikian
kawasan
ini
juga
berpotensi
untuk
tercemar
bahan
organik.
Oleh
karena
itu
wilayah
ini
juga
berpotensi
untuk
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
sehingga
akan
menyumbang
GRK.
Di
Pulau
Halmahera
terdapat
tiga
area
pertambangan
emas
(Toguraci,
Kencana
dan
Gesowong)
dan
beberapa
pertambangan
rakyat
di
sekitarnya
yang
menggunakan
senyawa
sianida
dan
merkuri
untuk
mengekstrak
emas.
Dalam
hal
ini
pertambangan
emas
resmi
pada
umumnya
akan
menggunakan
sianida
sedangkan
pertambangan
emas
rakyat
dalam
pelaksanaan
prosesnya
akan
menggunakan
Hg.
Limbah
kegiatan
pertambangan
ini
berhubungan
dengan
Sungai
Tabobo
dan
Sungai
Kebobok
yang
bermuara
di
Teluk
Kao.
Meskipun
hasil
pemantauan
kadar
merkuri
di
air
dan
sedimen
di
Teluk
Kao
pada
tahun
2006
masih
rendah
(Edward,
2008),
namun
konsentrasinya
dalam
sedimen
di
muara
Sungai
Tabobo
sudah
mendekati
nilai
ambang
batas
baku
mutu
(Edward,
2008).
Hal
ini
menunjukkan
terdapatnya
potensi
pencemaran
merkuri
(Hg)
di
perairan
kawasan
ini.
Ekoregion
Laut
11
juga
mempunyai
potensi
dicemari
oleh
limbah
yang
berasal
dari
kegiatan
pertambangan
di
Propinsi
Sulawesi
Utara.
Dari
tahun
1996-2004,
Teluk
Buyat
yang
berada
di
EL
11
telah
menerima
tailing
melalui
submarine
tailing
disposal
(STD)
dari
kegiatan
pertambangan
emas
(Lasut
dan
Yasuda,
2008).
Hasil
penelitian
menunjukkan
deposit
emas
dengan
anomali
As-Sb-Hg-Tl
dari
pertambangan
ini
mengandung
kadar
merkuri
sebesar
6
ppm
(Edinger
et
al,
2006).
Kegiatan
ini
telah
menimbulkan
pencemaran
logam
berat
terutama
arsenik
(As),
antimony
(Sb),
merkuri
(Hg),
dan
tallium
(Tl)
serta
penyebaran
tailing
ke
perairan
dangkal
(20
m)
dan
sampai
sejauh
4
km
dari
titik
buang
STD
(Edinger
et
al.,
2006).
Kondisi
ini
akan
sangat
membahayakan
karena
logam-logam
berat
tersebut
bersifat
toksik
(Riani,
2012).
Selanjutnya
dikatakan
bahwa
logam
berat
bersifat
teratogenik,
mutagenik
dan
karsinogenik,
sehingga
logam-logam
berat
tersebut,
terutama
merkuri
(Hg)
harus
sangat
diwaspadai.
Selain
hal
tersebut,
pada
pertambangan
emas
yang
melakukan
kegiatannya
secara
sianidasi,
dari
kegiatan
tersebut
juga
berpotensi
untuk
menghasilkan
bahan
pencemar
berupa
sianida
(Riani,
2012).
Tanah
yang
terkontaminasi
merkuri
dari
pertambangan
rakyat,
selanjutnya
akan
masuk
ke
dalam
sungai
atau
terbawa
oleh
air
hujan
dan
akan
terdistribusikan
dari
daerah
Kotabunan
dan
Teluk
Totok
ke
perairan
sekitar
Teluk
Buyat.
Mengingat
merkuri
bersifat
akumulatif
dan
dapat
masuk
ke
dalam
tubuh
biota
air
dan
manusia
melalui
berbagai
cara
(Riani,
2012),
maka
selanjutnya
merkuri
akan
terakumulasi
dalam
biota
dan
menunjukkan
pelipatgandaan
kadarnya
melalui
rantai
makanan
di
ekosistem
Teluk
Buyat
(Lasut
dan
Yasuda,
2008).
Kadar
total
merkuri
di
ikan
kerapu
juga
telah
melampaui
batas
toleransi
yang
diisyaratkan
oleh
WHO
(500
g/g
berat
basah,
Lasut
dan
Yasuda,
2008).
Pencemaran
Teluk
Buyat
telah
menjadi
isu
nasional
sehubungan
dengan
klaim
pemerintah
dan
masyarakat
sekitar
akibat
dampak
yang
ditimbulkannya
terhadap
kesehatan
manusia
dan
keanekaragaman
hayati
laut
(Edinger,
2012).
EL-7
MALUKU UTAR
EL-11
SULAWESI UTARA
GORONTALO
AWESI TENGAH
T
S U LAW E S I
EL-12
LAUT SERAM
MALUKU
SULAWESI TENGGARA
LATAN
LAUT BANDA
EL-15
EL-13
Ekoregion Laut 12
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
Ekoregion
Laut
12
meliputi
Laut
Banda
Sebelah
Timur
Sulawesi
termasuk
Teluk
Tolo
dan
sebagian
Laut
Banda.
2
Ekoregion
ini
memiliki
luas
160.361
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
memiliki
struktur
batimetri
yang
menyebabkan
Arus
Lintas
Indonesia
melewati
ekoregion
ini
melalui
salah
satu
pintu
masuk
(inlet)
bernama
Terusan
Lifamatola,
massa
air
ke
Laut
Banda
dari
Samudra
Pasifik.
Ekoregion
Laut
12
terbentuk
sekitar
6
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
wilayah
ini
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
9.514
m.
Berdasarkan
peta
kemiringan
lereng
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
Ekoregion
Laut
12
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
Ekoregion
Laut
12
memiliki
lima
cekungan
(Cekungan
Banggai,
Cekungan
Sula,
Cekungan
Buru
Utara,
Cekungan
Seram,
dan
Cekungan
Wahai),
satu
dataran
(Dataran
Banggai
Sula),
satu
paparan
(Paparan
Sula),
dua
punggungan
(Punggungan
Tampomas),
serta
dua
parit
(Parit
Tala,
dan
Parit
Buton).
OSEANOGRAFI
Secara
umum
kondisi
iklim
pada
wilayah
ekoregion
ini
dipengaruhi
oleh
Angin
Monsun
yang
bertiup
dengan
pola
yang
sama
dengan
di
Ekoregion
Teluk
Tomini,
Laut
Halmahera,
dan
Laut
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat,
Angin
Tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
daya
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Putri,
2005).
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki
1961).
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010)
dan
Pranowo
(2012),
ekoregion
ini
memiliki
fenomena
hidrodinamika
yang
unik
akibat
kompleksitas
bentuk
batimetri,
berupa
arus
yang
berputar
(Eddy)
yang
searah
jarum
jam
dengan
intensitas
tertinggi
pada
Monsun
Barat.
Sedangkan
arus
Eddy
pada
Monsun
Timur
pergerakannya
melawan
arah
jarum
jam,
dengan
intensitasnya
sedikit
lebih
lemah
dibandingkan
pada
Monsun
Barat.
Kondisi
arus
pada
Monsun
Peralihan
I,
memiliki
pola
arah
tak
menentu
dengan
intensitas
yang
lebih
lemah
dari
yang
terjadi
di
Monsun
lainnya.
Kondisi
dinamika
upwelling
di
ekoregion
ini
adalah
pada
Monsun
Barat
upwelling
lemah
hingaa
kuat
dan
relatif
luas
muncul
di
Teluk
Tolo
hingga
Timur
Laut
Pulau
Butung
dan
Tanjung
Pangkalang,
Timur
Pulau
Peleng.
Pada
Monsun
Peralihan
I,
upwelling
umumnya
lemah
di
Teluk
Tolo
dan
upwelling
intensitas
kuat
muncul
antara
Pulau
Peleng
dan
Pulau
Taliabu,
dan
antara
Pulau
Wowoni
dan
Pulau
Butung.
Pada
Monsun
Timur,
upwelling
dominan
kuat
muncul
di
Timur
Pulau
Wowoni
sampai
Tanjung
Butung,
juga
ada
di
Selatan
Pulau
Butung
dan
Pulau
Muna.
Pada
Monsun
Peralihan,
upwelling
kuat
masih
muncul
di
timur
antara
Pulau
Wowoni
dan
Butung,
dan
di
Selatan
Pulau
Butung
dan
Kabaena
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
lapisan
permukaan
di
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
mencapai
kisaran
28
29C;
salinitas
berkisar
antara
33,75-34,4
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,3
4,7
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
8,0
8,25.
Mengacu
pada
Boyer
et
al.
(2009),
untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,40
mol/liter;
konsentrasi
silikat
4
10
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1,0
8,0
mol/liter;
dan
klorofil
0,5
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
ekoregion
laut
ini
adalah
bentuk
pantai
yang
kompleks
dari
Kepulauan
Banggai,
mempunyai
gugusan
karang
yang
luas
yang
disebut
karang
merpati.
Wilayah
ini
juga
dikenal
dengan
nama
Sula
Spur
Area
yang
meliputi
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
Sulawesi
Tengah,
Sula
Spur,
dan
Kepulauan
Banggai.
Sebagai
bagian
dari
kawasan
segitiga
karang,
wilayah
ini
memiliki
keanekaragaman
hayati
yang
tinggi.
Wilayah
ini
juga
berada
pada
jalur
migrasi
ikan
tuna
dan
memiliki
ekosistem
tropis
yang
lengkap.
Terdapat
danau
air
asin
dan
teluk
semi
tertutup
di
Pulau
Taliabu
dengan
dua
spesies
ikan
yang
endemik.
Berdasarkan
KLH
(2008),
habitat
mangrove
dapat
dijumpai
di
pesisir
barat
dan
selatan
Pulau
Taliabu.
Habitat
mangrove
hanya
terbatas
di
beberapa
daerah
bagian
timur
daratan
Sulawesi
dengan
luasan
yang
kecil.
Pesisir
Banggai
Kepulauan
hampir
seluruhnya
terdapat
ekosistem
mangrove.
Keberadaan
ekosistem
mangrove
di
pulau
ini
menjadi
salah
satu
aspek
yang
mengindikasikan
keberadaan
burung
endemik
pada
musim-musim
tertentu
di
kawasan
ini.
Jenis
mangrove
yang
tumbuh
dan
berkembang
sangat
bervariasi
yaitu
Avicennia,
Sonneratia,
Rhizophora,
Bruguiera,
dan
Lumnitzera.
Beberapa
jenis
lamun
di
perairan
pantai
Kabupaten
Banggai
Kepulauan
yang
dominan
antara
lain
Thalassia
hemprichi,
Halophila
ovalis,
Cymodocea
rotundata
dan
Enhalus
acoroides.
Lamun
dari
jenis
Halophila
lebih
banyak
dijumpai
pada
daerah
rataan
terumbu
dengan
substrat
pasir
halus
sampai
kasar
dan
pada
kedalaman
yang
relatif
dangkal.
Pada
daerah
yang
lebih
dalam
lebih
banyak
dijumpai
jenis
Cymodocea,
Enhalus,
dan
Thalassia,
dan
pada
daerah
rataan
tubir
dan
tubir
dijumpai
jenis
Thalassodendron
ciliatum,
Enhalus
acoroides,
dan
Thalassia
hemprichi.
Sedangkan
biota
yang
berasosiasi
dengan
lamun
yaitu
jenis-jenis
ikan
tertentu,
crustacea,
molusca
(Pinna,
Lambis,
Strombus),
echinodermata
(Holothuria
dan
Asteroidea)
dan
polychaeta
(cacing)
juga
banyak
ditemukan.
Kepulauan
Banggai
terdiri
dari
beberapa
pulau-pulau
kecil
yang
memiliki
terumbu
karang
yang
sangat
luas.
Tipe
terumbu
yang
ada
memiliki
kecenderungan
yang
sama
di
semua
pulau
yaitu
atol,
goba,
dan
fringing
reef.
Lebar
dan
dalam
terumbu
bervariasi
antara
pulau
yang
satu
dan
yang
lain.
Beberapa
pulau
memiliki
rataan
yang
sangat
luas
jika
dibandingkan
dengan
daratan.
Penutupan
Acropora
di
Banggai
Kepulauan
adalah
45.5%
dan
karang
api
2.5%.
Sementara
Non-Acropora
memiliki
penutupan
yang
tertinggi
di
Pulau
Burung
dengan
persentase
sebesar
46.0%.
Monsongan
juga
memiliki
penutupan
Non-Acropora
yang
cukup
tinggi
dengan
persentase
sebesar
37.0%.
Secara
keseluruhan,
penutupan
Non-Acropora
di
Banggai
Kepulauan
adalah
27.0
%
karena
jenis
karang
ini
hanya
menutupi
sebanyak
17.0%
kondisi
karang
di
Mbato-mbato.
Sementara
jenis
karang
lunak
tidak
ditemukan.
Hal
ini
mengindikasikan
kondisi
yang
stabil
dari
suatu
perairan
dan
tidak
mengalami
gangguan.
Hal
lain
yang
juga
menarik
adalah
ikan
ini
memiliki
fekunditas
yang
rendah,
penyebaran
alami
secara
geografis
yang
terbatas
(hanya
di
Banggai
Kepulauan),
dan
memiliki
kecenderungan
untuk
hidup
secara
berkelompok
(mencapai
500
ekor).
Sementara
itu,
Abalon
(Haliotis
sp)
merupakan
salah
satu
spesies
tingkat
tinggi
dari
gastropoda
(moluska)
yang
juga
terdapat
di
daerah
Banggai
kepulauan,
khususnya
Pulau
Sonit
sangat
terkenal
sebagai
sentra
penyedia
abalon
karena
kualitasnya
yang
baik.
Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 12 adalah TWAL Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara dengan luas 81.800 ha.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
12
terletak
WPP
714
yang
juga
merangkum
Ekoregion
Laut
13
dan
15.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(104,1
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(132,0
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(9,3
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(32,1
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,4
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(0,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
seluas
53.554,02
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
timur
Sulawesi
Tenggara,
pesisir
Banggai
Kepulauan
dan
pesisir
Sula,
(ii)
potensi
padang
lamun
mencapai
luas
5.458,88
hayang
tersebar
di
gugusan
Kepulauan
Banggai
dan
pesisir
barat
Sulawesi
Tengah,
(iii)
terumbu
karang
meliputi
luasan
58.595,10
ha
yang
tersebar
di
beberapa
wilayah
di
Ekoregion
Laut
12.
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
12
memiliki
beberapa
kategori.
Ikan
pelagis
kecil
spesies
layang
(Decapterus
macarellus
dan
Decapterus
macrosoma)
kondisi
sudah
fully
exploited
hingga
taraf
moderate.
Ikan
pelagis
besar
seperti
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate,
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
spesies
madidihang
sudah
fully
exploited,
dan
cumi-cumi
(Loligo
spp)
masih
taraf
moderate.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
Banda
Sebelah
Timur
Sulawesi
terbentuk
karena
adanya
tumbukan
intra
mikrokontinen.
Ekoregion
ini
memiliki
kerentanan
terhadap
gempa
dan
tsunami
(Jaya
et
al.,
2001).
Sedangkan
untuk
kelas
kerentanan
tsunami
menurut
Budiono
et
al.
(2003),
masuk
ke
dalam
kelas
kerentanan
tinggi.
Selain
itu
sepanjang
Pesisir
Teluk
Tolo
hingga
Kendari,
Kepulauan
Banggai
dan
Kepulauan
Sula
memiliki
kerentanan
tinggi
terhadap
tsunami.
Pantai
Timur
Pulau
Sulawesi
rawan
tsunami
akibat
adanya
zona
subdaksi
double-arc
dengan
dua
orogenesa,
yaitu
Orogenesa
Busur
Sangihe
dan
Orogenesa
Busur
Halmahera.
Pantai
dan
pesisir
timur
Pulau
Sulawesi
(Teluk
Tolo)
sebagian
merupakan
daerah
rawan
tsunami
akibat
aktivitas
tektonik
Sesar
Sorong.
Tetapi
daerah
pantai
dan
pesisir
yang
rawan
tsunami
tidak
begitu
luas
dibandingkan
dengan
seluruh
luasan
pantai
dan
pesisir
timur
Pulau
Sulawesi.
Daerah
yang
rawan
adalah
pantai
dan
pesisir
dengan
relief
datar
hingga
miring.
Namun
kebanyakan
dari
pantai
dan
pesisir
timur
Pulau
Sulawesi
berhadapan
langsung
dengan
kaki
perbukitan.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
12
memiliki
potensi
mendapat
pencemaran
dari
kegiatan
pemukiman,
industri,
dan
pelabuhan
melalui
limpasan
air
yang
berasal
dari
sungai
yang
bermuara
pada
ekoregion
tersebut.
Sungai
yang
bermuara
pada
ekoregion
ini,
antara
lain,
Sungai
Konaweha
yang
memiliki
status
mutu
air
tercemar
sedang
dan
Sungai
Lasolo
dengan
status
mutu
air
tercemar
sedang
hingga
berat
(KLH,
2009a).
Bahan
pencemar
yang
berpotensi
untuk
mencemari
wilayah
ini
adalah
bahan
pencemar
organik
dan
bahan
pencemar
anorganik.
Adanya
potensi
bahan
pencemar
organik
maka
wilayah
ini
merupakan
wilayah
laut
yang
juga
berpotensi
untuk
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
sehingga
akan
dapat
menyumbang
GRK
ke
atmosfir.
Posisi
ekoregion
ini
berdekatan
dengan
Pulau
Buton
di
Ekoregion
Laut
13
yang
memiliki
kegiatan
pertambangan.
Karena
itu,
wilayah
perairan
ini
juga
berpotensi
mendapat
pencemaran
logam
berat
yang
berasal
dari
kegiatan
tersebut.
Logam
berat
tersebut
berpotensi
mengancam
kehidupan
biota
laut.
Kondisi
tersebut
dapat
mempengaruhi
perairan
yang
sudah
ada
di
wilayah
ini,
mengingat
sudah
terdapat
kegiatan
industri
dan
pelabuhan
yang
limbahnya
bermuara
disini.
Kegiatan
yang
ada
di
wilayah
ini
berpotensi
untuk
mendapatkan
bahan
pencemar
B3
seperti
logam
berat,
PAH,
POPs,
dan
TBT.
Oleh
karenanya
maka
B3
yang
ada
di
lokasi
ini
berpotensi
untuk
mengkontaminasi
mahluk
hidup
yang
ada
di
dalamnya,
sehingga
dapat
mengakibatkan
ketidak
amanan
sumberdaya
perikanan
untuk
dikonsumsi.
Selain
itu
bahan
tersebut
juga
dapat
berpotensi
untuk
menurunkan
keanekaragaman
hayati.
S U LAW E S I
AWESI BARAT
EL-12
SULAWESI TENGGARA
ULAWESI SELATAN
EL-15
EL-8
EL-13
EL-9
T I M
Ekoregion Laut 13
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone
Ekoregion
Laut
13
meliputi
sebagian
Perairan
Laut
Banda
sebelah
Selatan
Sulawesi
dan
Teluk
Bone.
Ekoregion
2
ini
memiliki
luas
171.019
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
adanya
massa
air
Samudera
Pasifik
yang
dibawa
oleh
Arus
Lintas
Indonesia
menuju
pusat
Laut
Banda.
Massa
air
ini
datang
dari
dua
arah,
yakni
dari
Selat
Makassar
yang
membelok
ke
Timur
melewati
Laut
Flores
dan
Laut
Banda
sebelah
Selatan
Sulawesi.
Massa
air
yang
lain
datang
dari
arah
dari
Terusan
Lifamatola
yang
melewati
Ekoregion
Laut
Banda
sebelah
Timur
Sulawesi.
Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi berbatasan dengan empat ekoregion, yaitu:
1. Selat
Makassar
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang,
2. Perairan
Bali
dan
Nusa
Tenggara
karena
perbedaan
kenaekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
batasnya
ditarik
sesuai
dengan
morfostruktur
patahan
dan
subduksi
lempeng,
3. Laut
Banda
Sebelah
Timur
Sulawesi
karena
perbedaan
batimetri
dan
pola
arus
yang
batasnya
ditarik
sesuai
dengan
morfostruktur
subduksi
lempeng,
4. Laut
Banda
karena
perbedaan
pola
arus
yang
batasnya
ditarik
sesuai
dengan
morfostruktur
patahan.
Secara
geologi,
ekoregion
laut
13
terbentuk
sekitar
5
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
Ekoregion
Laut
12
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
sampai
dengan
3.700
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
ekoregion
laut
13
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Selain
itu,
berdasarkan
peta
toponimi
dasar
laut,
ekoregion
laut
ini
memiliki
empat
cekungan
yaitu
Cekungan
Bone,
Cekungan
Buton,
Cekungan
Banda
Selatan,
dan
Cekungan
Tukang
Besi.
OSEANOGRAFI
Secara
umum,
angin
monsun
yang
bertiup
di
atas
ekoregion
ini
memiliki
pola
sama
dengan
angin
yang
bertiup
di
Ekoregion
Teluk
Tomini,
Laut
Halmahera,
dan
Laut
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat,
Angin
Tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
daya
pada
Monsun
Timur.
Sedangkan
pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
rendah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Putri,
2005).
Tipe
pasang
surut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal
(Wyrtki,
1961).
Menurut
Wyrtki
(1961)
dan
Mustikasari
et
al.
(2010),
arus
permukaan
bergerak
ke
timur
pada
Monsun
Barat,
dan
arus
permukaan
bergerak
ke
barat
pada
Monsun
Timur
dengan
intensitas
sedikit
lebih
lemah
dibandingkan
pada
Monsun
Barat.
Pada
Monsun
Peralihan
di
bagian
utara
ekoregion
ini
yang
lebih
dekat
dengan
Sulawesi,
arus
bergerak
ke
Barat,
sedangkan
di
bagian
selatan
dari
ekoregion
ini,
yakni
wilayah
yang
lebih
dekat
dengan
Laut
Flores,
arus
bergerak
ke
Timur.
Intensitas
arus
ini
lebih
lemah
dibandingkan
yang
terjadi
pada
Monsun
Timur
dan
Monsun
Barat.
Ekoregion
ini
dilewati
oleh
massa
air
Samudera
Pasifik
yang
dibawa
oleh
Arus
Lintas
Indonesia
dari
dua
arah,
yakni
dari
Selat
Makassar
yang
membelok
ke
Timur
melewati
Laut
Flores
dan
Laut
Banda
sebelah
Selatan
Sulawesi
menuju
ke
pusat
Laut
Banda,
dan
dari
arah
dari
Selat
Lifamatola
yang
melewati
Ekoregion
Laut
Banda
sebelah
Timur
Sulawesi
(Pranowo
et
al.,
2006;
Susanto
et
al.,
2010).
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
di
lapisan
permukaan
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Wagey
et
al.,
2004;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
mencapai
kisaran
27,529,0C;
salinitas
berkisar
antara
31,10-34,25
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,24,5
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
88,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,050,30
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,53,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1,01,9
mol/liter;
dan
klorofil
0,55,0
gram/liter
(Boyer
et
al.
2009).
Teluk
Bone
dan
Perairan
Kepulauan
Wakatobi
merupakan
ekosistem
laut
dan
pesisir
yang
unik
dan
luas
di
ekoregion
ini.
Penjelasan
mengenai
kedua
ekosistem
tersebut
yang
didukung
oleh
kondisi
hidrodinamika,
adalah
sebagai
berikut:
Teluk
Bone
merupakan
bagian
dari
Ekoregion
Laut
Banda
Sebelah
Selatan
Sulawesi.
Arus
yang
berasal
dari
bagian
selatan
Teluk
(mulut)
bergerak
ke
barat
laut,
sedangkan
arus
dari
Pesisir
Wulu
bergerak
menyusur
Pantai
Timur
hingga
Tanjung
Tabako
(Wagey
et
al,
2004).
Arus
ini
kemudian
berbelok
ke
barat
menuju
pantai
barat
sekitar
Pesisir
Muranti
hingga
kemudian
bergabung
dengan
arus
susur
pantai
barat
yang
bergerak
dari
bagian
Selatan
yaitu
dari
Teluk
(sekitar
Tanjung
Lakalolo)
menuju
ke
utara
menyusur
menuju
Pesisir
Karang-karangan
dan
Palopo.
Sebagian
arus
yang
bergerak
dari
Tanjung
Tabako
menyusuri
sepanjang
pesisir
pantai
timur
dan
pesisir
utara,
kemudian
berbelok
menuju
barat
daya
ke
arah
Pesisir
Palopo.
Jika
meninjau
lebih
detail
di
sekitar
Tanjung
Batikala
dan
Teluk
Usu,
arus
susur
pantai
timur
ketika
sampai
di
Tanjung
Batikala
akan
terbagi
menjadi
dua
pola
aliran.
Pola
utama
akan
berbelok
ke
barat
laut
menuju
pesisir
utara
(antara
pesisir
Bubu
dan
Saluana),
sedangkan
pola
aliran
yang
lain
akan
menyusuri
Teluk
Usu
baru
kemudian
bergerak
menyusuri
pesisir
Bubu
untuk
bergabung
lagi
dengan
arus
susur
pantai
utara.
Saat
air
pasang,
pola
sirkulasi
arus
yang
terjadi
sama
dengan
yang
terjadi
pada
saat
air
menjelang
pasang.
Saat
air
menjelang
surut,
arus
bergerak
meninggalkan
bagian
utara
dari
teluk
menuju
ke
selatan,
tetapi
ada
sedikit
arus
yang
bergerak
dari
Pesisir
Wulu
lurus
menuju
ke
pesisir
barat.
Secara
lebih
detail,
sebagian
arus
yang
meninggalkan
Teluk
Usu
menyusur
pesisir
utara
kemudian
bergabung
dengan
arus
yang
meninggalkan
Pesisir
Palopo
dan
Karang-karangan,
sedangkan
sebagian
lagi
langsung
bergerak
ke
barat
daya.
Arus-arus
tersebut
kemudian
akan
bertemu
dengan
pola
arus
yang
bergerak
ke
barat
yang
meninggalkan
sepanjang
pesisir
timur
yang
dimulai
dari
Teluk
Usu
hingga
pesisir
Susua.
Sedangkan
arus
yang
meninggalkan
pesisir
Labuandata
hingga
pesisir
Wawo
dan
sekitarnya
kembali
bergerak
menuju
barat
daya
keluar
dari
mulut
teluk.
Saat
air
surut,
arus
bergerak
meninggalkan
pesisir
timur
menuju
ke
pesisir
barat
dari
teluk,
kemudian
arus
tersebut
bergabung
dengan
arus
susur
pantai
barat
menuju
ke
utara
yang
bergerak
dari
Tanjung
Lokoloko
menuju
Tanjung
Jene
yang
kemudian
menyusur
menuju
Pesisir
Palopo.
Arus
dari
pesisir
timur
yang
kemudian
menyusuri
pesisir
utara
juga
bergerak
menuju
pesisir
Palopo.
Berkaitan
dengan
upwelling,
dinamika
arus
vertikal
mulai
terlihat
pada
kedalaman
60
m
hingga
ke
lapisan
kolom
air
yang
mendekati
dasar
perairan.
Peristiwa
arus
vertikal
menuju
ke
atas
(upwelling)
terjadi
pada
jarak
sekitar
2,7
km
dari
pantai
timur,
dari
kedalaman
sekitar
140
m
menuju
ke
kedalaman
75
m
dengan
kekuatan
yang
sangat
kecil.
Peristiwa
upwelling
juga
terjadi
di
atas
basin
kecil
yang
berjarak
-3
sekitar
satu
kilometer
dari
pantai
timur,
dengan
kecepatan
arus
vertikal
ke
atas
sekitar
1x10
m/dt
-3
hingga
3,5
x10
m/dt.
Perairan
Kepulauan
Wakatobi.
Sirkulasi
arus
permukaan
pada
saat
surut
dan
menuju
pasang
adalah
bergerak
dari
barat
daya
menuju
ke
timur
laut,
dan
pola
arus
saat
pasang
menuju
surut
sebaliknya
yakni
dari
timur
laut
menuju
ke
barat
daya.
Sedangkan
untuk
kondisi
upwelling,
kemunculannya
diawali
pada
Bulan
April,
yang
kemudian
wilayahnya
semakin
meluas
seiring
dengan
waktu.
Luasan
upwelling
maksimum
terjadi
pada
saat
angin
tenggara
pada
Monsun
Timur
yang
kemudian
perlahan
mengalami
pengurangan
intensitas
luasan
saat
menuju
Monsun
Barat
(Mustikasari
et
al.,
2010).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Perairan
Kepulauan
Wakatobi
juga
merupakan
koridor
migrasi
Cetacea
besar
dari
Samudera
Pasifik
ke
Samudera
Hindia.
Perairan
tersebut
memiliki
keragaman
Cetacea
yang
tinggi,
tercatat
11
spesies
yang
terdiri
dari
lima
spesies
paus
dan
enam
spesies
lumba-lumba.
Taman
Nasional
Laut
Wakatobi
secara
khusus
telah
mendapatkan
dukungan
mitra
pemerintah
daerah
untuk
menyelamatkan
fauna
pelagis
dengan
melindungi
habitat
koridor
kritis
untuk
migrasi
paus,
lumba-lumba
dan
fauna
laut
berukuran
besar
lainnya
seperti
hiu,
penyu,
ikan
Matahari
(Mola
Mola),
tuna
dan
billfish
(ikan
predator
berukuran
besar).
Kesuksesan
taman
nasional
ini
menawarkan
suatu
potensi
ekonomi
dalam
bentuk
kegiatan
Cetacean
Watch
Ventures
dan
wisata
mamalia
laut.
Populasi
dugong
(Sirenia)
masih
tercatat
keberadaannya
di
beberapa
lokasi,
seperti
Selayar,
Buton
dan
Wakatobi.
Sebagaimana
yang
telah
dijelaskan
dalam
deskripsi
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
1,
Ekoregion
Laut
2,
dan
Ekoregion
8,
wilayah
sampling
penelitian
genetik
Ikan
pari
mencakup
wilayah
ekoregion
ini
sehingga
hasil
penelitiannya
juga
dapat
dijadikan
sebagai
tambahan
informasi
dalam
deskripsi
ekoregion
ini
(Arlyza
and
Borsa,
2010;
Arlyza
dan
Marwayana,
2012;
Arlyza
et
al.
2013).
PEMANFAATAN
Sumberdaya
perikanan
pada
ekoregion
ini
meliputi
potensi
sumberdaya
ikan
pelagis
kecil
sebesar
605.400
ton/tahun
dan
potensi
sumberdaya
ikan
demersal
sebesar
83.200
ton/tahun.
Sumberdaya
perikanan
yang
terdapat
pada
Laut
Banda
adalah
ikan
pelagis
dengan
potensi
sebesar
132.000
ton/tahun.
Bagian
lain
dari
ekoregion
ini,
Laut
Banda
sebelah
Selatan
Sulawesi
mengacu
pada
Keputusan
45/Men/2011
berada
pada
WPP
714,
sama
dengan
Ekoregion
Laut
13
dan
15.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(104,1
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(132,0
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(9,3
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(32,1
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,4
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(0,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
seluas
89.092.15
ha
tersebar
di
pesisir
sekitar
Teluk
Bone,
(ii)
pesisir
selatan
Sulawesi
Tenggara,
pesisir
Muna,
Buton
dan
Wakatobi,
(iii)
padang
lamun
seluas
21.262.68
ha
tersebar
di
pesisir
barat
Sulawesi
Selatan,
pesisir
barat
Kepulauan
Selayar,
pesisir
timur
Sulawesi
Tenggara,
pesisir
timur
Wakatobi
dan
(iv)
terumbu
karang
di
ekoregion
ini
mencakup
luas
173.587.89
ha.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
13
berada
pada
beberapa
kategori.
Ikan
pelagis
kecil
spesies
layang
(Decapterus
macarellus
dan
Decapterus
macrosoma)
kondisi
sudah
fully
exploited
hingga
taraf
moderate.
Ikan
pelagis
besar
seperti
spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate,
spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,spesies
madidihang
sudah
fully
exploited,
dan
cumi-cumi
(Loligo
spp)
masih
taraf
moderate.
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
pada
ekoregion
ini
berupa
temuan
tiga
cekungan
migas,
namun
belum
dilakukan
eksploitasi.
Pemanfaatan
migas
yang
telah
dilakukan
adalah
di
sekitar
Teluk
Bone.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
Banda
sebelah
Selatan
Sulawesi
yang
terdiri
dari
Teluk
Bone
dan
Laut
Banda
ini
tergolong
tidak
rentan
hingga
kerentanan
rendah
terhadap
gempa
dan
tsunami
dibandingkan
dengan
Ekoregion
Laut
Banda
sebelah
Timur
Sulawesi
yang
memiliki
kerentanan
tinggi
(Budiono
et
al.,
2003).
Pada
bagian
dalam
Teluk
Bone
tidak
ada
potensi
gempa
dan
tsunami,
sedangkan
pada
bagian
luar
teluk
memiliki
kelas
kerentanan
tsunami
rendah.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
ini
memiliki
potensi
mendapat
pencemaran
dari
kegiatan
rumah
tangga,
pertanian,
dan
perkebunan,
yang
dibawa
melalui
limpasan
air
yang
berasal
dari
sungai
yang
bermuara
ke
wilayah
ini.
Berdasarkan
kegiatan
tersebut,
maka
bahan
pencemar
yang
berpotensi
untuk
mencemari
adalah
bahan
organik
dan
bahan
anorganik.
Wilayah
laut
ini
berpotensi
untuk
memiliki
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi,
berpotensi
untuk
mengalami
blooming
plankton
dan
berpotensi
untuk
menjadi
source
carbon
yang
akan
menyumbang
GRK
ke
atmosfer.
Menurut
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
(KLH,
2009b),
di
wilayah
ini
terdapat
satu
titik
lokasi
pembuangan
limbah
di
Sulawesi
Selatan
yang
berasal
dari
aktivitas
kegiatan
migas.
Pencemaran
minyak
yang
dapat
ditimbulkan
oleh
kegiatan
migas
tersebut
berpotensi
memberikan
dampak
negatif
pada
organisme
permukaan
(pelagis),
maupun
pada
hewan
bentik.
Sumber
pencemar
lain
pada
berasal
dari
kegiatan
pertambangan,
khususnya
pertambangan
nikel,
yang
berada
di
Pulau
Muna,
Kabena,
dan
Buton
di
Sulawesi
Tenggara.
Oleh
karena
wilayah
ini
berpotensi
untuk
tercemar
logam
berat
(Ahmad,
2009).
Meskipun
secara
umum
kadar
logam
berat
dalam
air
laut
relatif
masih
rendah,
namun
beberapa
logam
berat,
khususnya
Ni,
di
sedimen
di
temukan
cukup
tinggi
(Ahmad,
2009).
Adanya
potensi
pencemaran
logam
berat
inidapat
menjadi
ancaman
terhadap
sumberdaya
perikanan,
yaitu
terganggunya
kehidupan
biota
serta
dapat
menurunkan
produksi
perikanan.
PAPUA BARAT
EL-14 EL-17
PAP UA
EL-15
0 50
100 200 Km
EL-18
LAUT
Ekoregion Laut 14
Laut Seram dan Teluk Bintuni
Ekoregion
Laut
14
meliputi
Laut
Seram,
Samudera
Pasifik,
dan
Laut
Banda.
Ekoregion
ini
memiliki
luas
140.620
2
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
terdapatnya
kawasan
Raja
Ampat
yang
menjadi
salah
satu
pusat
keanekaragaman
hayati
terumbu
karang
tertinggi
di
dunia.
Ekoregion
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
memiliki
batas
dengan
4
ekoregion
lain
yaitu:
1. Ekoregion
Laut
Halmahera
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
diperbaharui
dengan
studi
detail
tentang
keanekaragaman
hayati,
2. Ekoregion
Laut
Banda
karena
perbedaan
pola
arus,
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
batasnya
mengikuti
morfostruktur
subduksi
lempeng,
3. Ekoregion
Samudera
Pasifik
Sebelah
Utara
Papua
karena
perbedaan
batimetri,
4. Ekoregion
Laut
Arafura
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
mengikuti
morfostruktur
paparan.
Ekoregion
Laut
14
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
terbentuk
sekitar
3
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
ekoregion
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
4.980
m.
Demarkasi
sejarah
antara
fauna
wilayah
Indonesia
dan
Australia
(George
1964)
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
wilayah
ini
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Selain
itu
berdasarkan
Peta
Toponimi
Dasar
Laut
ekoregion
ini
memiliki
2
cekungan,
yaitu
:
Cekungan
Salawati,
dan
Cekungan
Berau;
1
paparan,
yaitu
Paparan
Sayang;
1
plato,
yaitu
Plato
Wagea;
dan
1
dataran
yaitu
Dataran
Wagea.
OSEANOGRAFI
Secara
Umum,
angin
monsun
yang
bertiup
di
atas
ekoregion
ini
memiliki
pola
yang
hampir
sama
dengan
angin
yang
bertiup
di
Ekoregion
Teluk
Tomini,
Laut
Halmahera,
dan
Laut
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat,
dan
Angin
Tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
dengan
angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Wheeler
dan
McBride,
2005).
Menurut
Wyrtki
(1961)
dan
Mustikasari
et
al.
(2010),
tipe
pasut
di
ekoregion
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
ini
adalah
campuran
cenderung
semidiurnal.
Menurut
Adi
et
al.
(2004),
Mustikasari
et
al.(2010)
dan
Pranowo
(2012),
ekoregion
ini
memiliki
fenomena
hidrodinamika
arus
permukaan
yang
cenderung
mengikuti
angin
monsun.
Arus
bergerak
menuju
tenggara
pada
Monsun
Barat,
dan
arus
bergerak
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Sedangkan
kondisi
arus
pada
Monsun
Peralihan
memiliki
pola
tak
menentu
dengan
intensitas
yang
lebih
lemah
dibandingkan
dengan
yang
terjadi
pada
monsun
yang
lain.
Apabila
ditinjau
dari
arus
pasut,
maka
kondisi
arus
kuat
terjadi
pada
saat
air
menuju
pasang
dimana
arus
bergerak
dari
Laut
Halmahera
ke
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni.
Selain
itu,
arus
kuat
juga
terjadi
pada
saat
air
menuju
surut
dimana
arus
bergerak
dari
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
ke
Laut
Halmahera.
Sedangkan
pada
saat
air
pasang
tertinggi
dan
pasang
terendah
kondisi
arus
tidak
menentu
arahnya.
Upwelling
di
ekoregion
ini
terjadi
dengan
intensitas
kuat
dan
areanya
luas
pada
Monsun
Timur,
kemudian
mulai
berkurang
luasan
dan
melemah
intensitasnya
pada
Monsun
Peralihan
II,
dan
semakin
menghilang
pada
Monsun
Barat
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Pada
Monsun
Peralihan
I,
pembentukan
upwelling
mulai
terlihat
kembali
dengan
intensitas
yang
masih
sangat
lemah.
Wilayah
pusat-pusat
upwelling
di
ekoregion
ini
adalah
di
sekitar
Kepala
Burung
Papua
seperti
di
sekitar
Raja
Ampat
dan
dekat
pintu
masuk
Teluk
Bintuni.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
lapisan
permukaan
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
adalah
sebagai
berikut;
suhu
air
laut
mencapai
kisaran
26,529,5C;
salinitas
berkisar
antara
32,0
PSU
hingga
34,4
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,24,7
ml/liter;
pH
berkisar
antara
8,28,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
yang
mengacu
pada
Boyer
et
al.
(2009)
adalah
sebagai
berikut;
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,150,40
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,53,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
0,51,0
mol/liter;
dan
klorofil
0,55,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakter
utama
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
14
adalah
keanekaragaman
terumbu
karang
yang
tinggi
di
wilayah
Laut
Seram,
Kepulauan
Raja
Ampat,
Fak-Fak
dan
Kaimana
serta
ekosistem
mangrove
di
wilayah
Laut
Bintuni
yang
luas.
Selain
itu
juga
terdapat
beberapa
biota
laut
endemik
di
ekoregion
ini
diantaranya
yaitu
hiu
berjalan
walking
shark
(Hemiscyllium
freycineti).
Mangrove
di
Teluk
Bintuni
merupakan
salah
satu
yang
terbesar
di
dunia,
yaitu
sekitar
300.000
ha
di
wilayah
daratan
dan
sekitar
60.000
ha
di
wilayah
pesisir
hingga
kedalaman
10
meter.
Mangrove
di
daerah
ini
masih
alami
dan
memiliki
tekanan
degradasi
yang
masih
tergolong
rendah.
Berdasarkan
Status
Lingkungan
Hidup
Indonesia
(2008),
ekoregion
ini
memiliki
7
spesies
padang
lamun
yaitu
Cymodocea
serrulata,
Enhalus
acoroides,
Halophila
ovalis,
Halodule
pinifolia,
Thalassodendron
ciliatum,
Thalassia
hemprichii,
dan
Syringodium
isoetifolium.
Wilayah
lamun
ini
sebagian
besar
terkonsentrasi
di
kepulauan
Raja
Ampat.
Kajian
cepat
kondisi
kelautan
(marine
rapid
assessment)
di
Fak-Fak
dan
Kaimana
tahun
2006
menemukan
471
spesies
karang
keras
dengan
rata-rata
tutupan
karang
hidup
sekitar
36.67%.
Di
Raja
Ampat
Ampat
tercatat
sebanyak
553
spesies
karang
keras
dengan
rata-rata
tutupan
karang
hidup
sekitar
31
%
(Turak
dan
DeVantier,
2006).
Terumbu
karang
Raja
Ampat
memiliki
pola
dan
komposisi
spesies
yang
membentuk
struktur
komunitas
utamanya
disebabkan
oleh
pengaruh
oseanografi
lokal-regional
yang
berbeda
dan
variasi
keterpaparan
dengan
samudera
(exposure
to
ocean
swell).
Faktor
kunci
lainnya
dari
tingginya
keragaman
spesies
karang
adalah
kesesuaian
habitat
dan
tipe
substrat.
Area
yang
sesuai
bersubstrat
keras,
yang
didukung
oleh
hempasan
gelombang
Samudera
Pasifik
dalam
jangka
waktu
yang
lama
(long
periode
ocean
swell
of
pacific
ocean)
pada
bagian
utara
berdampak
pada
garis
pantai
yang
unik
merupakan
faktor
penyebab
utama
keragaman
struktur
komunitas
dan
komposisi
spesies
karang
(DeVantier
et
al.,
2009).
Data
terbaru
jumlah
spesies
ikan
karang
di
Raja
Ampat
serta
Fak-Fak
dan
Kaimana
tercatat
masing-masing
sebanyak
1.508
dan
1.023
spesies,
terdiri
dari
116
famili
dan
484
genera
(Allen
dan
Erdmann,
2013,
komunikasi
pribadi).
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
Raja
Ampat
tidak
hanya
memiliki
keaneragaman
jenis
dan
tipe
spesies
karang
terbanyak,
tetapi
juga
memiliki
spesies
ikan
karang
yang
terbanyak
pula
di
dunia.
Allen
dan
Erdmann
(2009)
menyebutkan
bahwa
keragaman
jenis
ikan
karang
di
kawasan
Raja
Ampat
sangat
mengagumkan.
Data
yang
pernah
ada
dan
tercatat
hanya
pada
luasan
yang
relatif
kecil
kira-kira
hanya
seluas
2
50.000
km ,
yang
meliputi
pulau-pulau
dan
perairan
yang
mengelilinginya.
Allen
dan
Erdmann
(2009;
2012)
mencatat
bahwa
terdapat
sejumlah
spesies-spesies
ikan
endemik
yang
ditemukan
di
Raja
Ampat,
Kepala
Burung
Papua,
dan
Fak-Fak/Kaimana.
Sebagian
dari
spesies-spesies
endemik
dimaksud
tidak
hanya
ditemukan
pada
ketiga
wilayah
tersebut,
tetapi
juga
dijumpai
pada
wilayah
lain,
seperti
Teluk
Cendrawasih
bahkan
sampai
ke
Halmahera.
Ikan-ikan
endemik
Raja
Ampat
menurut
Allen
dan
Erdmann
sebagai
berikut:
Ikan Endemik Raja Ampat dan region lainya di Kepala Burung Papua
Melalui
bentuk
formasi
14
reefscapes
yang
dikembangkan
oleh
DeVantier
et
al.
(2009)
tercatat
tingginya
keragaman
dan
endemisme
ikan
karang
di
Raja
Ampat,
berdasarkan
habitat
terumbu
karang
dan
keragaman
jenisnya.
Perairan
Kepulauan
Raja
Ampat
memiliki
keragaman
jenis
hiu
sebanyak
22
(dua
puluh
dua)
spesies
berdasarkan
hasil
inventarisasi
keragaman
jenis
hiu
yang
dilakukan
Allen
dan
Erdmann
(2012).
Di
Raja
Ampat
spesies
hiu
yang
masuk
dalam
daftar
Red
List
IUCN
untuk
genting
(endangered)
adalah
jenis
hiu
martil
atau
hammerhead
(Sphyrna
lewini
dan
Sphyrna
mokarran),
sedangkan
ada
empat
jenis
yang
dianggap
"vulnerable",
yaitu
gorango
bintang
atau
whale
shark
(Rhincodon
typus),
tawny
nurse
shark
(Nebrius
ferrugineus),
zebra
shark
(Stegastoma
fasciatum)
dan
shortfin
mako
(Isurus
oxyrhinchus).
Adapun
satu
spesies
hiu
yang
endemik
Raja
Ampat,
yaitu
Hemiscyllium
freycineti
atau
hiu
berjalan
(Allen
dan
Erdmann,
2012),
yang
dianggap
"near
threatened.
Hampir
semua
jenis
hiu
memiliki
nama
lokal
yang
sama,
yaitu
Rumon.
Keragaman jenis hiu di Raja Ampat dan status konservasinya berdasarkan IUCN Redlist
No Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah Red List IUCN (2012) CITES (2012)
10
Wo
Wol
(Misool)
dan
Whitetip
reef
shark
Triaenodon
obesus
NT(Near
threatened)
-
Barawan
(Beser)
No Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah Red List IUCN (2012) CITES (2012)
15
Rukm
twan
,
hiu
bodoh,
Whale
shark
Rhyncodon
typus
VU
(vulnerable)
Appendix
II
gorango
bintang
Walking sharks
Ekoregion
ini
juga
berfungsi
sebagai
kawasan
perlindungan
spesies-spesies
endemik/unik.
Kawasan
konservasi
yang
ada
di
ekoregion
ini
antara
lain
Suaka
Margasatwa
Pulau
Sabuda
Tataruga
Fakfak
(5.000
Ha),
KKPD
Sorong
distrik
Abun
(26.795,53
Ha),
KKPD
Raja
Ampat
(1.125.940
Ha),
TWP
Kepulauan
Padaido
(
183.000
Ha),
dan
KKPD
Kaimana
(597.747
Ha).
Pada
tanggal
13
Oktober
2010,
Bupati
Raja
Ampat
menerbitkan
Surat
Edaran
Bupati
yang
menyatakan
bahwa
Raja
Ampat
adalah
kawasan
konservasi
atau
suaka
hiu,
serta
melarang
eksploitasi
ikan
hiu,
pari
manta,
penyu,
dan
duyung.
PEMANFAATAN
Ekoregion
laut
14
berada
pada
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
(WPP)
715.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
KEP.45/MEN/2011
tentang
Estimasi
Potensi
Sumberdaya
Ikan
di
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Negara
Republik
Indonesia,
potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain:
ikan
pelagis
besar
(106,5
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(379,4
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(88,8
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(0,9
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(12,5
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,3
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-
cumi
(7,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
pada
ekoregion
ini
antara
lain;
(i)
mangrove
seluas
520.197,53
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
Sorong,
Raja
Ampat,
Bintuni
dan
Kaimana;
(ii)
padang
lamun
seluas
22.430,99
ha;
dan
(iii)
terumbu
karang
dengan
seluas
63.450,48
ha.
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
di
ekoregion
ini
berupa
sumberdaya
migas
yang
terdapat
di
Sorong.
Menurut
Keputusan
Menteri
KP
No.
45/2011
tersebut
di
atas,
saat
ini
kondisi
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
14
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut:
a. Udang
sudah
over
exploited,
b. Ikan
demersal:
Spesies
kerapu
(Cephalophodis
boenack)
dan
kakap
merah
(Lutjanus
bitaeniatus
dan
Lutjanus
malabaricus)
sudah
fully
exploited,
c. Ikan
pelagis
kecil:
Spesies
ikan
terbang
(Hirundichthys
oxycephalus)
dan
layang
(Decapterus
kuroides)
sudah
fully
exploited
sedangkan
layang
spesies
(Decapterus
macarellus)
masih
taraf
moderate.
d. Ikan
pelagis
besar:
1 Spesies
tuna
mata
besar
(Thunnus
obesus)
sudah
over
exploited,
2 Spesies
madidihang
(Thunnus
albacares)
sudah
fully
exploited
dan
3 Spesies
cakalang
(Katsuwonus
pelamis)
masih
taraf
moderate.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
14
berdasarkan
Peta
Rawan
Tsunami
(Sulistyo
dam
Triyono,
2009)
sebagian
besar
pantai
dan
pesisir
Pulau
Papua
rawan
tsunami,
terutama
pantai
bagian
barat.
Daerah
rawan
tsunami
yang
terpengaruh
secara
luas
berada
di
pantai
barat
Pulau
Papua
bagian
selatan
dan
bagian
barat
Kepala
Burung
Papua.
Kerawanan
ini
akibat
asosiasi
posisi
dengan
Busur
Banda
yang
merupakan
pusat
tektonisme.
Hal
ini
diperkuat
oleh
adanya
informasi
tentang
kerentanan
gempa,
baik
vulkanik
maupun
tektonik
yang
kadang
disertai
dengan
tsunami
(Budiono
et
al.,
2003).
PENCEMARAN
Wilayah
daratan
Kabupaten
Sorong
dan
Teluk
Bintuni
adalah
wilayah
yang
kaya
akan
sumberdaya
alam
termasuk
kehutanan,
perikanan
serta
minyak
dan
gas
bumi.
Beberapa
sungai
yang
bermuara
pada
ekoregion
laut
ini
membawa
massa
air
yang
berpotensi
sebagai
sumber
pencemar,
baik
bahan
pencemar
organik,
maupun
bahan
pencemar
anorganik.
Kegiatan
yang
berpotensi
mencemari
ekoregion
ini
dapat
ditimbulkan
oleh
berbagai
kegiatan
baik
di
darat
maupun
di
Teluk
Bintuni
seperti,
eksplorasi
dan
produksi
minyak
dan
gas
bumi,
industri
kayu
lapis
serta
perikanan
(Brotoisworo,
1991).
Berbagai
industri
migas
dan
industri
perkayuan
telah
dilaporkan
beroperasi
di
Teluk
Bintuni
semenjak
sebelum
1987.
Lebih
lanjut,
berdasarkan
data
izin
pembuangan
limbah
ke
laut
(KLH,
2009b)
terdapat
7
(tujuh)
titik
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
kegiatan
migas,
yang
berlokasi
di
Kabupaten
Sorong
dan
Kabupaten
Teluk
Bintuni.
Jumlah
total
volume
limbah
yang
dihasilkan
dari
3
kegiatan
ini
diperkirakan
sekitar
304.433,99
m /hari.
Berdasarkan
kegiatan
yang
dilakukan
di
kawasan
tersebut,
maka
wilayah
ini
berpotensi
mempunyai
nilai
BOD
dan
COD
yang
tinggi.
Kondisi
tersebut
juga
diperkuat
oleh
hasil
penelitian
Brotoisworo
(1991)
yang
memperlihatkan
bahwa
sungai-sungai
yang
bermuara
keteluk
Bintuni
membawa
massa
air
dengan
konsentrasi
sedimen
yang
tinggi
sehingga
menyebabkan
perairan
teluk
menjadi
keruh
(Brotoisworo,
1991).
Adanya
kegiatan
industri
pertambangan
dan
kegiatan
pembuangan
limbah
di
lokasi
ini
juga
akan
menjadi
ancaman
tersendiri
bagi
kelestarian
sumberdaya,
mengingat
bahan
B3
dapat
menyebabkan
dampak
negatif
ke
biota
laut,
sehingga
akan
mengancam
keanekaragaman
hayati
perairan.
Area konsesi timber, minyak dan gas di Teluk Bintuni (modifikasi dari Brotoisworo, 1991)
EL-16
LAUT MALUKU
EL-14
PAPUA BARAT
EL-17
LAUT SERAM
PAP UA
EL-12 MALUKU
LAUT BANDA
EL-15
LAU
-13
EL-9 EL-18
E
L E
S T LAUT ARAFURA
O R
T I M
MOR
0 75 150 300 Km
A U S T R A L I A
Ekoregion Laut 15
(Laut Banda)
2
Ekoregion
Laut
15
meliputi
Laut
Banda
dan
Laut
Timor.
Ekoregion
ini
memiliki
luas
583.096
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
struktur
batimetri
yang
dibentuk
oleh
tumbukan
yang
sangat
kompleks
di
kedalaman
500
1.500
m.
Struktur
batimetri
tersebut
menyebabkan
terjadinya
percampuran
massa
air
yang
mentransformasi
karakteristik
massa
air
Samudera
Pasifik
yang
dibawa
oleh
Arus
Lintas
Indonesia
menjadi
Banda
Sea
Intermediate
Water
(BSIW)
atau
dikenal
juga
sebagai
Indonesian
Intermediate
Water
(IIW).
Morfologi
dasar
laut
di
wilayah
ekoregion
ini
mempunyai
umur
pembentukan
dua
juta
hingga
satu
juta
tahun
silam
yang
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
ekoregion
ini
berupa
dataran
laut
dalam
dan
lereng
benua,
dengan
kedalaman
antara
0
hingga
7.355
m.
OSEANOGRAFI
Pada
Ekoregion
Laut
Banda
ini
angin
monsun
memiliki
pola
hampir
sama
dengan
angin
yang
bertiup
di
Ekoregion
Teluk
Tomini,
Laut
Halmahera,
dan
Laut
Bali
dan
Nusa
Tenggara.
Angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat,
dan
angin
tenggara
bergerak
menuju
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Wheeler
dan
McBride,
2005).
Menurut
Wyrtki
(1961)
dan
Pranowo
et
al.
(2011)
tipe
pasut
di
Ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semi
diurnal.
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010)
dan
Pranowo
(2012),
ekoregion
ini
memiliki
fenomena
hidrodinamika
yang
unik
yang
diakibatkan
oleh
bentuk
batimetri
yang
kompleks,
berupa
arus
permukaan
yang
berputar
(Eddy)
yang
searah
jarum
jam
dengan
intensitas
tertinggi
pada
Monsun
Barat.
Sedangkan
arus
Eddy
pada
Monsun
Timur
pergerakannya
melawan
arah
jarum
jam
dan
intensitasnya
sedikit
lebih
lemah
dibandingkan
di
Monsun
Barat.
Sedangkan
pada
Monsun
Peralihan
I,
kondisi
pola
arusnya
memiliki
pola
tak
menentu
dengan
intensitas
yang
lebih
lemah
dibandingkan
pada
monsun
yang
lain.
Pada
kedalaman
500
1.500
meter
terdapat
Arus
Lintas
Indonesia
(Pranowo
et
al.,
2006;
Gordon
et
al.,
2010),
yang
kemudian
menyebabkan
terjadinya
percampuran
massa
air
sehingga
mentransformasi
karakteristik
massa
air
yang
berasal
dari
Samudera
Pasifik
menjadi
Banda
Sea
Intermediate
Water
(BSIW)
atau
dikenal
juga
sebagai
Indonesian
Intermediate
Water
(IIW)
(Taley
dan
Sprintall,
2005).
Laut
Nusantara
wilayah
Timor
yang
meliputi
Selat
Ombai,
Laut
Sawu,
Laut
Timor,
dan
Laut
Arafura
memiliki
fenomena
upwelling
di
sepanjang
tahun
dan
mengalami
variabilitas
temporal
mengikuti
pola
monsun.
Secara
umum
pada
Monsun
Barat,
upwelling
intensitas
lemah
terjadi
pada
Perairan
Pantai
Barat
Kepulauan
Tanimbar
dan
Pantai
Barat
Daya
Irian
Jaya
dekat
Kepulauan
Aru.
Selain
itu
ditemukan
sedikit
downwelling
dengan
intensitas
lemah
di
utara
Kepulauan
Tanimbar
dan
barat
laut
Kepulauan
Aru
(Pranowo,
2012).
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
di
lapisan
permukaan
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Taley
dan
Sprintall,
2005;
Boyer
et
al.,
2009;
Ramdhan
&
Tubalawony,
2010)
adalah
sebagai
berikut;
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
mencapai
kisaran
26
29C;
salinitas
berkisar
antara
33,75
PSU
hingga
34,60
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,2
4,8
ml/liter
(pada
kedalaman
500
meter
dapat
mencapai
2,5
ml/liter);
dan
pH
berkisar
antara
8,0
8,25.
Kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
adalah
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
2,5
9,75
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
10,0
mol/liter
(pada
kedalaman
500
meter
dapat
mencapai
70
mol/liter);
konsentrasi
nitrat
1,2
3,0
mol/liter;
dan
klorofil
5
-
20
gram/liter
yang
telah
dinyatakan
oleh
(Taley
dan
Sprintall
2005;
Boyer
et
al.
2009).
Contoh
kondisi
hidro-oseanografi
yang
cukup
terdata
mengenai
ekosistem
laut
di
ekoregion
ini
adalah
ekosistem
pada
Perairan
Seram
dan
Kepulauan
Tanimbar.
Berikut
adalah
penjelasannya:
Perairan
Seram.
Pada
perairan
ini
terjadi
pendangkalan
lapisan
termoklin
sebagai
salah
satu
indikasi
upwelling
terjadi
pada
Monsun
Peralihan
I
dan
pada
Monsun
Timur
(Sapulete,
1996).
Hal
ini
diperkuat
oleh
Tubalawony
(2000)
yang
menyatakan
bahwa
daerah
upwelling
di
perairan
selatan
Pulau
Timor
pada
Monsun
Timur
diindikasikan
dengan
mendangkalnya
lapisan
termoklin
pada
kedalaman
sekitar
75
meter.
Kepulauan
Tanimbar.
Pola
sebaran
suhu
air
laut
di
selatan
Kepulauan
Lemola-Tanimbar
pada
permukaan
kedalaman
0,25
m
dan
50
m
cenderung
homogen
(Ramdhan
dan
Tubalawony,
2010),
suhu
permukaan
laut
(0
m)
berkisar
antara
28,8629,18C
dengan
rata-rata
29,030,13C,
Suhu
pada
kedalaman
25
m
antara
28,9929,12C
dengan
rata-rata
29,080,05C.
Sedangkan
pada
kedalaman
50
m
suhu
berkisar
28,50-29,07C
dengan
rata-rata
28,860,21C.
Pada
kedalaman
75
m
dan
100
m,
suhu
perairan
mengalami
degradasi
yang
cukup
besar
dengan
pola
sebaran
yang
cukup
bervariasi.
Pada
kedalaman
75
m,
suhu
perairan
berkisar
antara
25,52-26,75C
dengan
rata-rata
26,400,50C,
sedangkan
pada
kedalaman
100
m
suhu
perairan
berkisar
21,44-23,29C
dengan
rata-rata
22,480,70C.
Secara
horisontal,
sebaran
salinitas
di
permukaan
perairan
selatan
Kepulauan
Leti
Moa
Lakor
(Lemola)
-
Tanimbar
selama
pengamatan
berkisar
33,46
33,97
PSU
dengan
kisaran
33,650,21
PSU.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
15
adalah
banyaknya
habitat
terumbu
karang
unik,
perairan
laut
dalam
dan
air
yang
jernih,
yang
tidak
terdapat
di
perairan
lain
di
Indonesia.
Pulau-pulau
karang
kecil
di
Busur
Banda
Luar
dan
Busur
Banda
Besar
merupakan
karakteristik
habitat
di
ekoregion
ini.
Keberadaan
tiga
ekosistem
laut
dangkal,
mangrove;
lamun;
dan
terumbu
karang,
yang
berdampingan
di
Teluk
Kotania
(Seram
Barat)
juga
spesifik
dan
merupakan
laboratorium
alam
untuk
mempelajari
interaksi
ketiga
ekosistem
ini.
Pulau
Watubela
merupakan
tempat
pemijshsn
terbesar
beberapa
spesies
ikan
kerapu
yang
tersisa
di
Indonesia
(spawning
aggregating
sites).
Lokasi
ini
penting
sebagai
upaya
perlindungan
populasi
ikan
karang
ekonomis
tinggi.
Ekoregion
Laut
Banda
juga
memiliki
sejumlah
lokasi
penting
untuk
jenis
reptil
dan
avifauna.
Penyu
bertelur
dan
mencari
makan
dalam
jumlah
besar
di
seluruh
wilayah
ekoregion
ini.
Penyu
Belimbing
Pasifik
bertelur
di
pantai
utara
Pulau
Seram
dan
mencari
makan
di
Kepulauan
Kei,
sementara
Penyu
Hijau
bertelur
di
Pulau
Lucipara,
Ambon,
Banggais.
Penyu
Pipih
yang
biasanya
ditemukan
di
Australia
juga
dapat
dijumpai
di
Laut
Banda.
Pulau-pulau
Moromaho,
Lucipara
dan
Penyu
sangat
penting
untuk
burung
laut,
termasuk
Dara
laut
jambul
Sterna
bergii.
Busur
Banda
Dalam
juga
memiliki
sejumlah
koloni
bersarang
ular
laut
yang
penting.
Buaya
muara
yang
dilindungi
secara
nasional
juga
dapat
dijumpai
di
Laut
Banda.
Laut
Banda
dicirikan
dengan
perairan
dalam
dengan
vulkano
aktif
yang
menghasilkan
jumlah
terumbu
karang
oseanik
yang
terisolasi,
gunung-gunung
di
bawah
permukaan
laut
dan
atol
yang
berasosiasi
dengan
lingkungan
lagunal
unik
yang
terbesar
di
Indonesia.
Keseluruhan
keragaman
habitatnya
sangat
tinggi,
mulai
sepanjang
garis
pantai
bagian
selatan
dan
barat
Sulawesi
sampai
laut
terbuka
dan
perairan
yang
sangat
dalam
di
mana
sebagian
besar
kondisi
ini
tidak
terwakili
dengan
baik
di
wilayah
manapun
di
Indonesia.
Mungkin
simbol
dari
ekoregion
ini
adalah
busur
pulau-pulau
oseanik
vulkano
aktif
yang
muncul
dari
kedalaman
lebih
dari
5.000
meter
di
bawah
Laut
Banda
Timur.
Keadaan
tersebut
dan
perairan
dangkal
lainnya
menonjolkan
pengalaman
pertukaran
terbuka
dari
perairan
di
sekitar
wilayah
ini
seperti
Laut
Sulawesi,
dan
keragaman
habitat
laut
dalam
dekat
pantai
di
dalam
jalur
lintasan
antar
pulau.
Beberapa
bagian
terdalam
laut-laut
di
Indonesia
dan
mungkin
di
dunia
dapat
ditemukan
di
sini
(kedalaman
yang
pernah
dipetakan
sampai
sedalam
7.376
m
pada
5
36,82
LS/
130
51,56
BT),
dan
kekayaan
jenis
laut
dalamnya
diyakini
sangat
tinggi.
Data
awal
dari
Ekspedisi
Alpha
Helix
menunjukkan
bahwa
kumpulan
fauna
di
Laut
Banda
termasuk
tingginya
endemisitas
atau
jenis-jenis
yang
tersembunyi
(cryptic
spesies),
mungkin
akibat
isolasi
selama
masa
menurunnya
permukaan
air
laut.
Sebagai
contoh,
ada
32
jenis
holothurian
(teripang)
endemik
yang
dapat
ditemukan
di
sini
dan
sejauh
ini
tidak
ada
di
tempat
lain.
Dari
data
stomatopoda
menunjukkan
bahwa
Busur
Banda
bagian
selatan
menjadi
sangat
penting
sebagai
batu
loncatan
yang
menghubungkan
antara
pantai
bagian
selatan
Papua
dan
Sulawesi
bagian
timur.
Dugong
dilaporkan
keberadaannya
di
Kepulauan
Lease,
Saparua,
Haruku
dan
Nusalaut.
Survei
udara
yang
dilaksanakan
di
tahun
1990
dan
1992
di
Kepulauan
Lease
mengindikasikan
bahwa
populasi
dugong
di
perairan
ini
diperkirakan
antara
22
hingga
37
ekor
(De
Iongh
et
al.,
1995).
Tetapi
Moss
dan
van
der
Wal
(1998)
memperkirakan
bahwa
jumlahnya
tidak
lebih
dari
10
ekor
lagi
yang
hidup
di
Kepuluan
Lease.
Perkiraan
ini
didasarkan
pada
observasi
feeding
tral
dugong
dan
wawancara
dengan
warga
setempat.
Nelayan
lokal
juga
menyebutkan
bahwa
dugong
dijumpai
di
pesisir
utara
dan
timur
Pulau
Seram.
Sebagaimana
yang
telah
dijelaskan
dalam
deskripsi
keanekaragaman
hayati
Ekoregion
Laut
1
wilayah
sampling
penelitian
genetik
Ikan
Pari
mencakup
wilayah
ekoregion
ini
sehingga
hasil
penelitiannya
juga
dapat
dijadikan
sebagai
tambahan
informasi
dalam
deskripsi
ekoregion
ini
(Arlyza
and
Borsa,
2010;
Borsa
et
al.,
2012;
Arlyza
et
al.
2013).
Kawasan
konservasi
yang
terdapat
dalam
ekoregion
ini
meliputi
TWAL
Pulau
Kassa,
Maluku;
TWAL
Pulau
Marsegu,
Maluku;
TWAL
Pulau
Pombo,
Maluku;
dan
TWP
Laut
Banda,
Maluku.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
15
berada
pada
WPP
714
yang
mengacu
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
45/Men/2011
meliputi
Ekoregion
Laut
12,
13
dan
15.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(104,1
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(132
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(9,3
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(32,1
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,4
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(0,1
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
non
ikan
antara
lain;
(i)
mangrove
seluas
65.155,03
ha
tersebar
di
sekitar
Pesisir
Maluku
Barat
Daya
dan
Pesisir
Seram,
(ii)
padang
lamun
seluas
35.429,45
ha
tersebar
di
sebelah
barat
Pulau
Buru,
Seram
Barat,
Seram
Timur,
Kepulauan
Kai
dan
Kepulauan
Tanimbar,
dan
(iii)
terumbu
karang
seluas
76.334,83
ha,
(iv)
potensi
mutiara
juga
ditemukan
di
ekoregion
ini
yang
berada
di
sekitar
Pulau
Seram.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
15
memiliki
struktur
geologi
yang
kompleks.
Hal
tersebut
terlihat
dari
adanya
salah
satu
struktur
geologi
berupa
Busur
Banda
(Banda
Arc).
Busur
Banda
ditandai
dengan
kepulauan
yang
memanjang
meliputi
Kepulauan
Gorong,
Kepulauan
Watubela,
Kepulauan
Tayandu
dan
Kepulauan
Tanimbar.
Karakteristik
geologi
menjadikan
pulau-pulau
yang
terbentuk
merupakan
pulau
vulkanik
(Hantoro,
2005)
dan
terletak
pada
struktur
geologi
yang
kompleks,
sehingga
menurut
Jaya
et
al.
(2001)
bahwa
ancaman
gempa
dan
tsunami
merupakan
ancaman
terbesar
yang
terjadi
di
Ekoregion
Laut
15.
Budiono
et
al.
(2003)
mengelaskan
Ekoregion
Laut
15
ke
dalam
kerentanan
tinggi
kejadian
tsunami.
PENCEMARAN
Ekoregion
Laut
15
memiliki
potensi
dicemari
oleh
limpasan
air
yang
berasal
dari
sungai
yang
bermuara
ke
Laut
Banda.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
Teluk
Ambon
merupakan
wilayah
yang
paling
tercemar
di
kawasan
ini,
dengan
sumber
pencemar
utama
berasal
dari
kegiatan
rumah
tangga
dan
aktivitas
perkapalan.
Berdasarkan
kegiatan
yang
ada,
maka
ekoregion
ini
berpotensi
untuk
tercemar
baik
bahan
organik,
maupun
bahan
anorganik.
Hal
ini
sejalan
dengan
hasil
penelitian
di
Laut
Banda
yang
memperlihatkan
bahwa
salah
satu
masalah
pencemaran
yang
ditemukan
di
Teluk
Ambon
adalah
limbah
plastik
dan
bahan
organik
(Evans
et
al.,
1995;
Uneputty
dan
Evans
1997).
Adanya
pencemaran
bahan
organik,
maka
dapat
menyebabkan
tingginya
nilai
BOD
dan
COD
yang
ada
di
wilayah
Laut
Banda
ini.
Selain
itu,
juga
akan
mempunyai
potensi
menyebabkan
terjadinya
blooming
plankton,
sekaligus
akan
menyumbang
GRK
ke
atmosfir.
Potensi
pencemaran
lainnya
yang
dapat
terjadi
adalah
tercemarnya
perairan
oleh
limbah
B3.
Hal
ini
sesuai
dengan
hasil
penelitian
di
lokasi
ini
yang
memperlihatkan
bahwa
permasalahan
pencemaran
lain
yang
ditemukan
di
kawasan
ini
adalah
pencemaran
oleh
senyawa
TBT
(yang
digunakan
untuk
cat
antifouling
kapal)
yang
mengakibatkan
peristiwa
imposex
(pemandulan)
di
biota
siput
laut
(Evans
et
al.,
1995),
sebagaimana
imposex
yang
terjadinya
pada
Thais
sp
di
Pelabuhan
Ratu
dan
Pelabuhan
Teluk
Bayur
(Riani
et
al.,
1994).
Ekoregion
Laut
15
juga
mempunyai
potensi
terhadap
terjadinya
pencemaran
akibat
logam
berat.
Hal
ini
terbukti
dari
penelitian
di
lokasi
ini
yang
memperlihatkan
tingginya
kadar
Cd
pada
sedimen
dan
tingkat
akumulasi
pada
biota
laut
di
wilayah
perairan
Pulau
Ambon
(Rumahlatu,
2011).
Apabila
ditinjau
berdasarkan
ijin
pembuangan
limbah
(KLH,
2009c),
disebutkan
bahwa
pada
wilayah
ini
terdapat
potensi
pencemaran
yang
berasal
dari
kegiatan
migas.
Pembuangan
limbah
migas
tersebut
berasal
dari
satu
titik
sumber
pencemar
yang
berlokasi
di
Kabupaten
Seram
Timur,
dengan
total
volume
limbah
sebesar
5.102
3
m /hari.
Oleh
karena
itu
wilayah
ini
mempunyai
potensi
yang
tinggi
terhadap
terjadinya
pencemaran
B3
seperti
logam
berat,
PAH
dan
POPs.
S A
M
U
D
E
R
A
PA
SI
FI
EL-11 K
EL-16
T HALMAHERA
L-14 EL-17
PAPUA BARAT
N E W G U I N E A
PAP UA PAPUA
EL-15
EL-18
P A P U A
LAUT ARU
Ekoregion Laut 16
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua
Ekoregion
Laut
16
meliputi
seluruh
perairan
di
sebelah
Utara
Pulau
Papua
kecuali
Teluk
Cenderawasih.
2
Ekoregion
ini
memiliki
luas
459.857
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
memiliki
fenomena
arus
Halmahera
Eddy,
yang
terbentuk
akibat
struktur
batimetri
dan
topografi
Papua
Utara
hingga
Kepulauan
Halmahera,
yakni
arus
putar
balik
ke
arah
Barat
kemudian
kembali
ke
Samudera
Pasifik,
yang
semula
berasal
dari
arus
susur
tepian
Papua
Utara
yang
menuju
ke
barat.
Selain
itu
fenomena
kolam
air
hangat
yang
terdapat
Samudera
Pasifik
Barat
juga
berimbas
pada
ekoregion
ini,
dimana
area
ini
adalah
sangat
disenangi
oleh
populasi
ikan
tuna.
Ekoregion
Samudera
Pasifik
Sebelah
Utara
Papua
berbatasan
dengan
3
ekoregion
lain
yaitu:
1. Ekoregion
Laut
Halmahera
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang,
2. Ekoregion
Teluk
Cendrawasih
karena
perbedaan
batimetri,
keanekaragaman
hayati
karang
dan
pola
temperatur
dan
salinitas
permukaan
air
laut,
3. Ekoregion
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
karena
perbedaan
batimetri.
Ekoregion
Laut
16
terbentuk
sekitar
9
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
Ekoregion
Laut
16
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
5.608
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
wilayah
ini
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Selain
itu
berdasarkan
Peta
Toponimi
Dasar
Laut
Ekoregion
Laut
16
memiliki
satu
cekungan,
yaitu:
Cekungan
Ayu;
dan
satu
parit,
yaitu
Parit
Ayu.
OSEANOGRAFI
Secara
umum,
angin
Monsun
yang
bertiup
di
atas
Ekoregion
Samudera
Pasifik
Utara
Papua
memiliki
pola
sebagai
berikut:
angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat
yang
berasal
dari
hasil
pembelokan
angin
dari
pusat
Samudera
Pasifik
yang
kemudian
bergerak
ke
timur
menyusur
utara
Papua.
Sebaliknya
angin
timur
yang
menyusur
utara
Papua
akan
bergerak
menuju
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Sedangkan
pada
Monsun
Peralihan,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
angin
pada
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Wheeler
&
McBride,
2005).
Menurut
Wyrtki
(1961)
tipe
pasut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semi
diurnal.
Pola
arus
permukaan
secara
umum
adalah
mengikuti
pola
angin
yang
berhembus
pada
ekoregion
ini
(Mustikasari
et
al.
2010).
Jika
arus
permukaan
ditinjau
dari
waktu
pasang
surut,
maka
pada
saat
kondisi
air
menuju
surut
arus
permukaan
cenderung
bergerak
dari
arah
barat
(Samudera
Pasifik)
menuju
ke
timur
memasuki
perairan
Indonesia.
Pada
saat
air
pasang
tertinggi,
maka
arus
dari
utara
Samudera
Pasifik
Barat
bergerak
menuju
ke
selatan
yang
kemudian
ketika
memasuki
ekoregion
ini
terpecah
menuju
ke
dua
arah
(timur
dan
barat)
di
atas
Ekoregion
Teluk
Cenderawasih.
Pada
saat
air
menuju
surut,
maka
arus
datang
dari
dua
arah
(timur
dan
barat)
kemudian
melemah
dan
membelok
ke
selatan
menuju
Ekoregion
Teluk
Cenderawasih.
Sedangkan
pada
saat
air
surut
terendah,
arus
di
ekoregion
ini
akan
bergerak
seluruhnya
ke
arah
barat
( Samudera
Pasifik).
Kemunculan
upwelling
di
ekoregion
ini
hanya
terpantau
pada
Monsun
Peralihan
I
yang
luasannya
terbentuk
dimulai
dari
sebelah
timur
Tanjung
Darwilis
sampai
utara
Jayapura
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Pada
ekoregion
ini,
terdapat
fenomena
unik
bernama
kolam
air
hangat
(WEPWP
=
Western
Equatorial
Pacific
Warm
Pool)
dengan
karakteristik
SST
28C
(Supangat
et
al.,
2004).
Di
sepanjang
Monsun
Barat
dan
Monsun
Peralihan
I,
WEPWP
muncul
di
Belahan
Bumi
Selatan
dan
bergerak
umumnya
ke
arah
utara
dimana
pergerakannya
berhubungan
dengan
pergerakan
meridional
dari
matahari.
Sementara
itu,
di
sekitar
ekuator
bagian
barat,
SST
menurun
dari
28C
menjadi
27
-
28C
pada
Monsun
Timur
hingga
Monsun
Peralihan
II,
kemudian
secara
perlahan
kisaran
SST
menjadi
26
-
27C
ketika
menuju
ke
Musim
Barat.
Fenomena
ini
belum
diketahui
secara
lebih
dalam
lagi
apakah
penurunan
suhu
ini
terkait
dengan
El
Nino
ataukah
hanya
transport
zonal
dari
massa
air
dingin
hasil
upwelling
yang
terjadi
di
Perairan
Pasifik
Khatulistiwa
Tengah
yang
kemudian
terbawa
ke
ekoregion
ini
oleh
Arus
Khatulistiwa
Selatan
yang
bergerak
ke
arah
barat.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
di
lapisan
permukaan
adalah
sebagai
berikut;
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
mencapai
kisaran
29
29,8C;
salinitas
berkisar
antara
32
PSU
hingga
34,75
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,1
4,85
ml/liter;
pH
berkisar
antara
7,25
8,25.
Berdasarkan
Boyer
et
al.
(2009),
untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini
adalah
sebagai
berikut;
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,15
0,98
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
15,0
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1
5
mol/liter;
klorofil
0,5
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
ekoregion
ini
adalah
sebagai
lokasi
peneluran
utama
dan
terbesar
untuk
spesies
penyu
belimbing
(Dermochelys
coreacea)
di
dunia.
Rata-rata
penyu
naik
(bertelur)
Distrik
Abun
sebanyak
3.000
ekor
dengan
jumlah
tertinggi
sebanyak
5.000
ekor.
Selain
itu,
di
ekoregion
ini
terdapat
enam
jenis
kima
dari
delapan
jenis
kima
di
dunia,
yaitu
kima
pasir
(Tridacna
hippopus),
kima
besar
(Tridacna
maxima),
kima
lubang
(Tridacna
derasa),
kima
raksasa
(Tridacna
gigas),
dan
kima
sisik
(Tridacna
squamosa).
Ekosistem
mangrove
sebagian
besar
yang
ditemukan
bukan
merupakan
mangrove
sejati.
Mangrove
semu
dan
vegetasi
pantai
yang
ditemukan
meliputi
jenis-jenis
Nyamplung/Bintanggur
(Calophyllum
inophyllum),
Pandan
Laut
(Pansdanus
canavalia),
Ketapang
(Terminalia
catappa),
Batatas
Laut
(Ipomoea
pescaprea),
Waru
Laut
(Hibiscus
tiliaceous),
Putat
Laut
(Baringtonia
asiatica),
Bakung
Laut
(Crinumasiaticum)
dan
lain-lain.
Ekosistem
padang
lamun
juga
hanya
ditemukan
di
beberapa
wilayah
saja
seperti
di
pantai
Kampung
Saubeba.
Menurut
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Dinas
Kelautan
dan
Perikanan
Kabupaten
Sorong
menunjukkan
jumlah
jenis
lamun
yang
ditemukan
di
wilayah
utara
Kabupaten
Sorong
sebanyak
delapan
jenis,
yaitu
Cymodocea
serrulata,
C.
tricostata,
Enhalus
acoroides,
Thalassia
hemprichii,
Halophila
ovalis,
H.
ovate,
Syringodium
filiforme,
dan
Thalassodendron
ciliatum.
Secara
umum
tidak
terdapat
ekosistem
pesisir
utama
(terumbu
karang,
padang
lamun
dan
mangrove)
yang
cukup
luas
secara
signifikan
di
ekoregion
ini.
Terumbu
karang
dapat
ditemukan
dalam
kondisi
yang
relatif
luas
di
Pulau
Dua
(Distrik
Sausapor)
yang
masuk
dalam
wilayah
Kawasan
Konservasi
Perairan
Distrik
Abun.
Namun
kondisi
terumbu
karang
relatif
buruk
dengan
penutupan
karang
sebagian
besar
berupa
pecahan
karang
(rubble)
dan
DCA
(Dead
Coral
with
Algae).
Di
kawasan
pesisir
utara
Kabupaten
Sorong
terutama
di
daerah
Distrik
Abun,
terdapat
kurang
lebih
55
jenis
burung,
12
jenis
mamalia
yang
teridentifikasi
dan
beberapa
jenis
reptil
serta
amphibi.
Jenis
reptil
yang
lazim
dilihat
adalah
jenis
penyu
belimbing
(Dermochelys
coreacea),
penyu
hijau
(Chelonia
mydas),
penyu
sisik
(Eretmchelys
imbricata),
penyu
lekang/sisik
semu
(Lepidochjelys
olivace)
dan
beberapa
jenis
biawak
serta
ular.
Jenis
jenis
mamalia
yang
di
jumpai
babi
hutan
(Sus
scrofa),
rusa
(Cervus
timorensis),
landak
irian
(Zaglossus
bruijini),
kanguru
(Dendrolagus
sp),
kus-kus
(Phalanger
sp).
Jenis
burung
yang
banyak
di
jumpai
antara
lain,
kakatua
jambul
kuning
(Cacatua
galerita),
kakatua
raja
(Probosciger
aterrimus),
gagak
hitam
(Cassicus
sp),
elang
laut
dada
putih
(Heliastus
leucogaster),
elang
bondoh
(Heliastur
indus),
cenderawasih
kuning
kecil
(Paradiseae
minor),
nuri
merah
kepala
hitam
(Lorius
lorry),
bayan
(Eclectus
roratus),
kasuari
(Casuarius
sp),
mambruk
(Goura
sp.),
maleo
irian
(Megapodius
sp),
gagak
(Schytropss
sp.),
julang
(Rithyceros
plicatus),
cikukua
(Philemon
buceroides),
jenis
merpati
(Ducula
spp)
dan
lain-lain.
Kawasan
konservasi
yang
terdapat
di
ekoregion
ini
antara
lain
KKPD
Abun/
Jamursba
Medi,
Papua
Barat
seluas
21.415,35
ha,
SML
Pantai
Jamursba
Medi,
Papua
Barat
seluas
278,25
ha,
dan
CAL
Pantai
Sausapor,
Papua
Barat
seluas
751,92
ha.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
16
berada
di
WPP
717
meliputi
Samudera
Pasifik
sebelah
Utara
Papua.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(105,2
ribu
ton/tahun),
dan
pelagis
kecil
(153,
9
ribu
ton/tahun),
ikan
demersal
(30,2
ribu
ton/tahun),
udang
penaeid
(1,4
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(8
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,2
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(0,3
ribu
ton/tahun).
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
kondisi
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
16
sebagai
berikut:
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
luas
4.252,40
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
Utara
Papua
dan
Papua
Barat,
(ii)
lamun
dengan
luas
1.314,25
ha
tersebar
di
pesisir
Utara
Papua
dan
Papua
Barat
dan
(iii)
terumbu
karang
meliputi
luas
5.025,50
ha.
Potensi
sumberdaya
yang
tidak
terbarukan
adalah
migas
yang
terdapat
di
Bintuni.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
16
merupakan
wilayah
pertemuan
lempeng
antara
Lempeng
Pasifik
dan
Lempeng
Eurasia.
Dengan
kondisi
demikian
maka
gempa
dan
tsunami
menjadi
ancaman
terhadap
Ekoregion
Laut
16.
Berdasarkan
Budiono
et
al.
(2003),
wilayah
ini
memiliki
kerentanan
yang
tinggi
terhadap
gempa
dan
tsunami.
Pantai
utara
Pulau
Papua
bagian
barat
yang
memiliki
relief
agak
datar
yang
luas
menjadi
daerah
rawan
tsunami
gempa
tektonis
dari
jalur
pertemuan
atau
subduksi
Lempeng
Pasifik
( Pacific
Plate)
dengan
Lempeng
Australia.
PENCEMARAN
Apabila
ditinjau
secara
geografis
maka
potensi
pencemaran
Ekoregion
Laut
16
dapat
berasal
dari
Provinsi
Papua
Barat
(Kabupaten
Sorong
dan
Kabupaten
Manowari)
dan
Provinsi
Papua
(Kabupaten
Sarmi,
Kabupaten
Jayapura,
dan
Kabupaten
Keerom).
Berdasarkan
Bapedalda
Provinsi
Papua
Barat
(2011),
disebutkan
bahwa
sungai
yang
bermuara
di
wilayah
ini
adalah
Sungai
Maruni
dan
Wariori
(di
daerah
Kabupaten
Manokwari),
dan
Sungai
Klabo
di
daerah
Kabupaten
Sorong.
Kualitas
perairan
di
muara
yang
berasal
dari
Sungai
Maruni
dan
Wariori
menunjukkan
bahwa
berdasarkan
parameter
fisik
masih
berada
di
bawah
ambang
batas
baku
mutu,
parameter
kimia
yang
melampaui
baku
mutu
adalah
kadar
DO,
BOD,
nitrat,
sulfida,
Cu,
Zn,
dan
Ni,
sedangkan
yang
jauh
melampaui
adalah
parameter
biologi
total
yaitu
coliform
dan
E.
coli
yang
cukup
tinggi.
Begitu
juga
halnya
dengan
muara
Sungai
Klabo
yang
menunjukkan
beberapa
parameter
kualitas
air
melebihi
baku
mutu,
seperti
parameter
DO,
total
fosfat,
dan
nitrat,
logam
berat
(Cr
dan
Cu),
total
coliform
yang
cukup
tinggi.
Oleh
karena
itu
maka
bahan
pencemar
baik
organik,
maupun
anorganik
di
lokasi
ini
perlu
diperhatikan
dengan
seksama.
Apabila
ditinjau
dari
potensi
pencemaran
yang
berasal
dari
Provinsi
Papua,
maka
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
kondisi
Danau
Sentani
dan
sungai-sungai
yang
menghubungkan
Danau
Sentani
yang
kemudian
bermuara
di
kawasan
perairan
EL16.
Hasil
penilaian
Kualitas
Air
Sungai
(KLH,
2009c)
dan
SLHD
Provinsi
Papua
(Bapedalda
Provinsi
Papua,
2011)
menunjukkan
bahwa
kawasan
DAS
Sentani
berada
pada
status
tercemar
berat
yang
diindikasikan
dari
parameter
BOD,
COD,
total
coliform,
dan
E.
coli
yang
melebihi
batas
baku
mutu.
Dengan
demikian,
berdasarkan
penelitian
yang
disebutkan
di
atas,
terlihat
bahwa
sumber
pencemar
kemungkinan
besar
berasal
dari
sumber
pencemar
domestik
berupa
polutan
organik
dan
mikroba.
EL-17
BARAT
PAP UA
PAPUA
EL-14
EL-15 EL-18 0
0
37.5
37.5
75
75
150 Km
150 Km
Ekoregion Laut 17
Teluk Cendrawasih
Ekoregion
Laut
17
meliputi
perairan
Teluk
Cendrawasih
dan
sebagian
kecil
perairan
di
Utara
Papua.
Ekoregion
2
ini
memiliki
luas
93.369
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
massa
airnya
sangat
dipengaruhi
oleh
massa
air
Samudera
Pasifik
Barat
dengan
kecerahan
yang
tinggi
(lebih
dari
30
meter).
Ekoregion
Laut
17
merupakan
habitat
yang
sangat
mendukung
berbagai
biota
lainnya
seperti
kerang
raksasa
yang
masih
hidup
dan
berumur
ratusan
tahun.
Ekoregion
Laut
17
memiliki
batas
dengan
Ekoregion
Samudera
Pasifik
Sebelah
Utara
Papua
karena
perbedaan
batimetri,
keanekaragaman
hayati
karang
dan
pola
temperatur
dan
salinitas
permukaan
air
laut.
Ekoregion
Laut
17
(Teluk
Cendrawasih)
terbentuk
sekitar
satu
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
Ekoregion
Laut
17
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
4.550
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
Ekoregion
Laut
17
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Selain
itu
berdasarkan
Peta
Toponimi
Dasar
Laut
Ekoregion
Laut
17
memiliki
satu
cekungan,
yaitu:
Cekungan
Waropen.
OSEANOGRAFI
Secara
umum,
Angin
Monsun
yang
bertiup
di
atas
Ekoregion
Teluk
Cendrawasih
ini
sama
dengan
yang
bertiup
di
atas
Samudera
Hindia
Utara
Papua.
Angin
monsun
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat
yang
berasal
dari
hasil
pembelokan
angin
dari
pusat
Samudera
Pasifik
yang
kemudian
bergerak
ke
Timur
menyusur
utara
Papua.
Sebaliknya
Angin
Timur
yang
menyusur
utara
Papua
akan
bergerak
menuju
ke
barat
laut
pada
Monsun
Timur.
Pada
Monsun
Peralihan,
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
angin
pada
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Wheeler
dan
McBride,
2005).
Tipe
pasut
di
ekoregion
ini
adalah
campuran
cenderung
semi
diurnal
(Wyrtki
1961).
Pola
arus
permukaan
secara
umum
mengikuti
pola
angin
yang
berhembus
pada
ekoregion
ini
(Mustikasari
et
al.,
2010).
Arus
permukaan
bergerak
dari
Ekoregion
Samudera
Pasifik
sebelah
Utara
Papua
masuk
ke
ekoregion
ini
pada
saat
kondisi
air
surut
terendah
dan
kondisi
air
pasang
tertinggi.
Sedangkan
pada
saat
kondisi
air
menuju
pasang
dan
kondisi
air
menuju
surut
arus
cenderung
bergerak
keluar
dari
teluk.
Pada
saat
kondisi
air
menuju
surut,
arus
permukaan
cenderung
bergerak
dari
arah
barat
(Samudera
Pasifik)
menuju
ke
timur
memasuki
perairan
Indonesia.
Pada
saat
air
pasang
tertinggi,
arus
dari
utara
Samudera
Pasifik
Barat
bergerak
menuju
ke
selatan
yang
kemudian
ketika
memasuki
ekoregion
ini
terpecah
menuju
dua
arah
(timur
dan
barat)
di
atas
Ekoregion
Teluk
Cendrawasih.
Pada
saat
air
menuju
surut,
arus
datang
dari
dua
arah
(timur
dan
barat)
kemudian
melemah
dan
membelok
ke
selatan
menuju
ke
Ekoregion
Teluk
Cendrawasih.
Sedangkan
pada
saat
air
surut
terendah,
arus
di
ekoregion
ini
akan
bergerak
seluruhnya
ke
arah
barat
menuju
Samudera
Pasifik.
Menurut
Mustikasari
et
al.
(2010),
upwelling
dominan
kuat
terjadi
di
barat
Teluk
Cendrawasih
di
sekitar
Manokwari
pada
Monsun
Barat.
Upwelling
lemah
juga
muncul
di
utara
Pulau
Biak
hingga
di
utara
Tanjung
Darwilis
pada
Monsun
Peralihan
I.
Selain
itu,
upwelling
lemah
juga
terjadi
di
Teluk
Cendrawasih,
utara
Pulau
Biak,
dan
utara
Pulau
Yapen
pada
Monsun
Timur.
Upwelling
lemah
hingga
kuat
dan
relatif
luas
muncul
di
perairan
Cendrawasih
di
selatan
Pulau
Yapen
dan
antara
Tanjung
Darwilis
dan
Pulau
Biak,
serta
timur
laut
Pulau
Biak
pada
Monsun
Peralihan
II.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
di
lapisan
permukaan
antara
lain;
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
berkisar
antara
29
dan
29,9C;
salinitas
berkisar
antara
30
PSU
dan
34
PSU;
Konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,3
4,65
ml/liter;
pH
berkisar
antara
6,7
8,25.
Untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini;
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,1
0,5
mol/liter;
konsentrasi
silikat
4
9,5
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1
2
mol/liter;
klorofil
0,5
5,0
gram/liter
(Boyer
et
al.
2009).
Kondisi
massa
air
dengan
tingkat
kecerahan
yang
tinggi
(lebih
dari
30
meter)
sangat
mendukung
kerang
raksasa
(Giant
clam)
dari
spesies
Tridacna
gigas
yang
berumur
ratusan
tahun
untuk
tetap
hidup
di
ekoregion
ini
(Ambariyanto,
2010).
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
17
adalah
terumbu
karang
dengan
sejumlah
biota
laut
endemik.
Teluk
Cenderawasih
dapat
dikatakan
sebagai
sistem
semi
tertutup
sehingga
menyebabkan
tingkat
keragaman
biota
endemiknya
tinggi.
Sebagian
ekoregion
ini
berstatus
sebagai
Taman
Nasional
Teluk
Cenderawasih
(TNTC)
dengan
luas
1.453.500
ha,
terbagi
atas
perairan/laut
seluas
1.305.300
ha
dan
daratan
68.200
ha.
Jenis
lamun
yang
terdapat
di
Teluk
Cenderawasih
terdiri
dari
Thalassia
sp.,
Enhalus
sp.,
Cymodeca
sp.,
Siringodium
sp.,
dan
Halopilla
sp.
Padang
lamun
memiliki
fungsi
untuk
menahan
bahan
endapan
organik
dan
anorganik
sehingga
membentuk
suatu
lingkungan
yang
dipenuhi
bahan
makanan
yang
cukup
bagi
sekian
banyaknya
fauna
khususnya
duyung
(Dugong
dugon).
Kajian
cepat
kondisi
kelautan
Teluk
Cenderawasih
tahun
2006
mencatat
karang
keras
sebanyak
469
spesies
dengan
20
diantaranya
sebagai
spesies
endemik.
Genera
dominan
terdiri
dari
Porites,
Acropora
dan
Montipora.
Tutupan
karang
hidup
rata-rata
sekitar
27%
dengan
perbandingan
karang
hidup
dan
mati
adalah
4
banding
1
(Turak
and
DeVantier,
2006).
Kerusakan
terumbu
karang
pada
kawasan
TNTC
mencapai
30%
yang
sebagian
besar
disebabkan
bintang
laut
berduri
(Acanthaster
planci)
dan
juga
kegiatan
penangkapan
ikan
yang
merusak
seperti
penggunaan
sianida
dan
bahan
peledak.
Berdasarkan
sejumlah
survei
dari
tahun
2006
sampai
2010
tercatat
spesies
ikan
karang
di
Teluk
Cenderawasih
sebanyak
1.006
jenis
(Allen
dan
Erdmann,
2013
komunikasi
pribadi).
Stomatopoda
tercatat
sebanyak
37
spesies
dimana
6
(enam)
spesies
dari
jumlah
tersebut
belum
dideskripsi
dan
5
(lima)
diantaranya
bersifat
endemik
di
Teluk
Cendrawasih.
Diperkirakan
4
8
spesies
ikan,
lebih
dari
11
jenis
karang
keras,
dan
1
4
jenis
stomatopoda
merupakan
jenis
endemik
Teluk
Cenderawasih.
Selama
survei
ditemukan
32
ekor
ikan
Napoleon.
Fakta
tersebut
sangat
luar
biasa
dibandingkan
daerah
lain
di
Indonesia
maupun
Asia
Tenggara.
Hiu
Paus
salah
satu
primadona
di
perairan
Teluk
Cenderawasih
,
menjadi
salah
satu
objek
wisata
air
yang
menarik
(foto:
whale
shark
asianoise.com)
Pulau-pulau
dan
pantai
dalam
kawasan
TNTC
merupakan
tempat
bersarang
dan
tempat
mencari
makanan
yang
paling
penting
bagi
berbagai
jenis
burung,
antara
lain
junai
mas
(Chaloenas
nicobarica),
dara
laut
(Sterna
sp.),
camar
laut
(Sterna
sp),
burung
gosong
(Megapodius
freicinet),
elang
laut
dada
putih
(Haliaetus
leucogaster),
kum
kum
(Ducula
bicolor),
julang
Papua
(Rhyticeros
plicatus),
nuri
bayam
(Electus
rotatus),
kakatua,
raja
udang
(Alcede
pusilla),
gagak
hitam
(Corpus
orru),
nuri
kepala
hitam
(Lorius
domicellus),
kum
kum
pinon
(Ducula
pinon),
angsa
laut
coklat
(Sola
leugaster),
burung
kasuari
(Casuari
sp)
dan
burung
kuau
(Argusianus
argus).
Khusus
daratan
lumpur
sekitar
Sungai
Wosimi
dan
Pasir
Sobei
penting
sebagai
tempat
mencari
makan
bagi
berbagai
burung
termasuk
burung-burung
undan
Australia
(Pelicanus
conspicillatus)
yang
ditemukan
pada
waktu-waktu
tetentu
selama
melakukan
migrasi
dan
kuntul
(Egretta
spp).
Beberapa
kegiatan
pengamatan
yang
dilakukan
di
kawasan
TNTC
lebih
banyak
pada
lingkungan
kehidupan
laut,
sehingga
diperlukan
penelitian
lebih
banyak
mengenai
habitat
dan
fauna
daratan
yang
terdapat
di
kawasan
tersebut
guna
memperoleh
data
dan
informasi
yang
lebih
lengkap
mengenai
kawasan
ini
(Huffard
et
al,
2012).
Di
Kawasan
TNTC
ditemukan
beberapa
jenis
reptil
dan
amfibi
antara
lain
berberapa
jenis
ular,
kadal,
buaya,
penyu
dan
katak.
Di
seluruh
dunia
terdapat
7
jenis
penyu,
6
diantaranya
terdapat
di
perairan
Indonesia,
sedangkan
dalam
kawasan
TNTC
terdapat
4
jenis
penyu
yakni,
penyu
sisik
(Eretmochelys
imbricata),
penyu
hijau
(Chelonia
mydas),
penyu
lekang
(Lephidochelys
olivacea),
dan
penyu
belimbing
(Dermochelys
coriacea).
Jenis
reptil
lain
seperti
biawak
abu-abu
(Varanus
nebolosus),
biawak
coklat
(Varanus
timorensis),
biawak
Ambon
(Varanus
amboinensis),
buaya
muara
(Crocodylus
porosus),
buaya
air
tawar
(Crocodylus
novaeguinea),
kadal
dan
ular.
Dari
jenis
amfiibi
ditemukan
katak
pohon
(Litoria
infrafrenata
).
Kawasan
konservasi
di
Ekoregion
Laut
17
antara
lain
TN
Teluk
Cendrawasih,
KKPD
Biak
Numfor,
Papua;dan
TWP
Padaido.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
17
berada
pada
WPP
717.
Potensi
sumberdaya
perikanan
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(105,2
ribu
ton/tahun),
dan
pelagis
kecil
(153,
9
ribu
ton/tahun),
ikan
demersal
(30,2
rbu
ton/tahun),
udang
penaeid
(1,4
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(8,0
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,2
ribu
ton/tahun),
cumi-cumi
(0,3
ribu
ton/tahun).
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
kondisi
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
di
Ekoregion
Laut
17
sebagai
berikut:
Potensi
sumberdaya
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
dengan
luas
209.024,80
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
Manokwari,
Teluk
Wondama,
Nabire,
Biak,
Serui,
Yapen
dan
Paniai,
(ii)
padang
lamun
dengan
luas
8.106,29
ha
tersebar
di
Pulau
Serui,
Pulau
Biak,
Pesisir
Nabire
dan
Pesisir
Teluk
Wondama
dan
(iii)
terumbu
karang
dengan
luas
58.265,56
ha.
Potensi
sumberdaya
tidak
terbarukan
di
wilayah
ekoregion
ini
antara
lain
potensi
migas
yang
tersebar
di
sekitar
Teluk
Cendrawasih.
Potensi
jasa
lingkungan,
pengembangan
wisata
bahari
yang
berada
di
Teluk
Cendrawasih
diharapkan
dapat
meningkatkan
perekonomian
lokal
dan
devisa
negara.
KERAWANAN BENCANA
Ekoregion
Laut
17
terletak
di
bagian
dalam
dari
Ekoregion
16.
Dengan
demikian
maka
karakteristik
kerentanan
dan
ancaman
bahaya
yang
dihadapi
menyerupai
dengan
Ekoregion
16
yaitu
gempa
dan
tsunami.
Hal
ini
diperkuat
berdasarkan
pemetaan
kerentanan
tsunami
yang
dilakukan
oleh
Budiono
et
al.
(2003),
bahwa
Ekoregion
Laut
17
memiliki
kerentanan
yang
tinggi
terhadap
gempa
dan
tsunami.
PENCEMARAN
Potensi
pencemaran
yang
utama
di
Ekoregion
Laut
17
diduga
berasal
dari
Sungai
Membramo,
karena
pada
dasarnya
Sungai
Membramo
merupakan
wilayah
DAS
terbesar
di
Provinsi
Papua.
Hal
ini
memungkinkan
seluruh
aktivitas
masyarakat
seperti
pembuangan
limbah
dari
kegiatan
pertanian,
rumah
tangga
dan
kehutanan
yang
masuk
ke
dalam
badan
sungai-sungai
Sungai
Membramo,
sehingga
berpotensi
untuk
mencemari
sungai
baik
bahan
organik
yang
mudah
urai
maupun
limbah
B3
yang
dapat
membahayakan
kehidupan
yang
ada
dalam
air
dan
sekaligus
akan
membahayakan
kesehatan
manusia.
Penelitian
mengenai
potensi
pencemaran
di
Sungai
Membramo
yang
telah
dilakukan
antara
lain
mengenai
kadar
pestisida
organoklorin
oleh
Munawir
(2005)
dan
penelitian
kualitas
air
berdasarkan
parameter
fisik
dan
kimia
oleh
Edward
dan
Marasabessy
(2003).
Penelitian
kadar
pestisida
organoklorin
yang
dilakukan
pada
kolom
air
dan
sedimen
muara
Sungai
Membramo
menunjukkan
kadar
yang
rendah
dan
masih
berada
di
bawah
baku
mutu.
Begitu
juga
halnya
dengan
penelitian
mengenai
kadar
kandungan
logam
berat
seperti
Pb,
Cd,
Cu,
Zn
dan
Ni
pada
kolom
kolom
air
dan
sedimen
muara
Sungai
Membramo
menunjukkan
kadar
yang
rendah
dan
masih
berada
di
bawah
nilai
baku
mutu
yang
diperbolehkan
dalam
perairan
untuk
mendukung
kehidupan
biota
laut
yang
telah
ditetapkan
oleh
KLH.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
kondisi
perairan
di
kawasan
ini
masih
mendukung
untuk
kehidupan
biota
laut.
Namun
demikian
mengingat
sifat
logam
berat
dan
pestisida
organoklorin
bersifat
akumulatif
(Riani
2012),
maka
kadar
yang
sangat
rendah
sekalipun
harus
sudah
menjadi
perhatian
yang
cukup
serius
untuk
dikelola
sebaik
mungkin,
agar
tidak
membahayakan
kehidupan
biota
dan
tidak
membahayakan
kesehatan
manusia
yang
mengkonsumsinya.
Penelitian
pendukung
lainnya
mengenai
perairan
di
Teluk
Cendrawasih
adalah
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Tarigan
et
al.
(2003)
mengenai
kondisi
fisik
kimia
di
Perairan
Teluk
Cendrawasih.
Hasil
penelitian
juga
menunjukkan
bahwa
kondisi
fisik
kimia
di
daerah
Ekoregion
Laut
17
masih
berada
di
bawah
ambang
batas
nilai
baku
mutu
yang
ditetapkan
oleh
KLH.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
kondisi
perairan
masih
mendukung
untuk
kehidupan
biota
laut.
Namun
demikian
parameter-parameter
yang
hampir
berada
di
batas
baku
mutu
dan
keberadaan
B3
harus
mendapat
perhatian
yang
serius.
PAP UA
N E W G U I N E A
PAPUA
EL-15
LAUT ARU
P A P U A
EL-18
AUT ARAFURA
0 62.5
125 250 Km
A U S T R A L I A
Ekoregion Laut 18
Laut Arafura
2
Ekoregion
Laut
18
meliputi
perairan
di
barat
daya
Papua.
Ekoregion
ini
memiliki
luas
326.793
km .
Ciri
khas
ekoregion
ini
adalah
laut
dangkal
yang
dipengaruhi
oleh
pesisir
Papua
Barat
dan
juga
Samudera
Pasifik
dari
arah
Selat
Torres.
a. Ekoregion
Laut
Seram
dan
Teluk
Bintuni
karena
perbedaan
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
mengikuti
morfostruktur
paparan,
b. Ekoregion
Laut
Banda
karena
perbedaan
pola
arus,
batimetri,
keanekaragaman
hayati
ikan
karang
dan
karang
yang
batasnya
mengikuti
morfostruktur
paparan.
Ekoregion
Laut
18
terbentuk
sekitar
54
juta
tahun
silam
(Hall,
2001)
dan
merupakan
bagian
dari
serpihan
Wallacea.
Morfologi
dasar
laut
untuk
Ekoregion
Laut
18
berupa
dataran
abisal
(abyssal
plain)
dan
lereng
benua
(continental
slope)
dengan
kedalaman
berkisar
antara
0
hingga
1.613
m.
Berdasarkan
Peta
Kemiringan
Lereng
Dasar
Laut
(Sulistyo
dan
Triyono,
2009),
hampir
seluruh
Ekoregion
Laut
18
o o
memiliki
kemiringan
yang
bervariasi
dari
kelas
lereng
miring
(1-3 ),
kelas
lereng
agak
terjal
(3-10 ),
kelas
lereng
o o
terjal
(10-20 ),
dan
kelas
lereng
curam
(>20 ).
Selain
itu
berdasarkan
Peta
Toponimi
Dasar
Laut
Ekoregion
Laut
18
memiliki
satu
paparan,
yaitu
Paparan
Sahul.
OSEANOGRAFI
Secara
umum,
Angin
Monsun
yang
bertiup
di
atas
Ekoregion
Laut
18
berpola
hampir
sama
dengan
angin
yang
bertiup
di
Ekoregion
Laut
Banda.
Angin
bergerak
dari
arah
barat
laut
menuju
ke
tenggara
pada
Monsun
Barat,
Angin
Tenggara
dari
Laut
Teluk
Carpentaria
dan
Angin
Timur
dari
Selat
Torres
bergerak
menuju
ke
ekoregion
ini
pada
Monsun
Timur.
Sedangkan
pada
Monsun
Peralihan
pola
angin
tidak
menentu
dengan
intensitas
lebih
lemah
dibandingkan
Angin
Monsun
Barat
dan
Monsun
Timur
(Wyrtki,
1961;
Chang
et
al.,
2004;
Wheeler
&
McBride,
2005).
Kondisi
hidrodinamika
Laut
Arafura
tidak
lepas
dari
kondisi
laut
sekitarnya,
seperti
Teluk
Carpentaria
dan
Selat
Torres,
Australia.
Menurut
Pranowo
dan
Wirasantosa
(2011),
tipe
pasut
di
Laut
Arafura
bertipe
campuran
cenderung
semi
diurnal
(berdasarkan
stasiun
pengamatan
pasut
di
Tanimbar
dan
Saumlaki),
sedangkan
di
Teluk
Carpentaria
pasutnya
bertipe
campuran
cenderung
diurnal
di
bagian
barat
daya
teluk
(berdasarkan
stasiun
pasut
di
Groote
Eylandt)
dan
bertipe
diurnal
di
bagian
tenggara
teluk
(berdasarkan
stasiun
pasut
di
Karumba).
Tunggang
pasang
surut
di
Laut
Arafura
secara
umum
adalah
3,00
m,
dengan
tunggang
maksimum
hasil
estimasi
sekitar
4,69
m
di
selatan
irian
jaya.
Arus
dari
barat
(yakni
dari
Samudera
Hindia
Tenggara,
Arus
Selatan
Jawa
dan
Laut
Flores)
bergerak
menuju
timur
(Laut
Timor
dan
Laut
Sawu)
searah
dengan
pergerakan
Angin
Tenggara
(Pranowo,
2012).
Arus
sebagian
dibelokkan
ke
utara
dan
timur
laut
(yakni
menuju
Laut
Banda)
akibat
adanya
gradien
muka
laut.
Sementara
arus
dari
barat
laut
yang
bergerak
dari
Laut
Halmahera
menyusur
pantai
barat
daya
Papua
kemudian
memutar
di
Laut
Arafura.
Pergerakan
arus
tersebut
menyebabkan
banyak
pertemuan
arus
yang
diindikasikan
dengan
adanya
kemunculan
arus
eddy
secara
random,
yang
polanya
searah
jarum
jam,
seperti
terjadi
di
selatan
Kepulauan
Seram
dan
di
tenggara
Kepulauan
Tanimbar.
Arus
eddy
tersebut
diduga
dapat
berperan
sebagai
pembawa
klorofil
dari
daerah
upwelling
yang
berproduktivitas
primer
tinggi
menuju
ke
daerah
lain
yang
dimungkinkan
sebagai
habitat
ikan.
Di
wilayah
Laut
Arafura
dan
Timor
(Selat
Ombai,
Laut
Sawu,
Laut
Timor,
Laut
Arafura)
memiliki
fenomena
upwelling
di
sepanjang
tahun
dan
mengalami
variabilitas
temporal
mengikuti
pola
monsun.
Upwelling
berintensitas
lemah
terjadi
pada
Monsun
Barat
di
sepanjang
perairan
pantai
Pulau
Timor,
perairan
pantai
barat
Kepulauan
Tanimbar,
dan
di
pantai
barat
daya
Irian
Jaya
dekat
Kepulauan
Aru
(Pranowo,
2012).
Ditemukan
sedikit
luasan
downwelling
intensitas
lemah
di
ujung
timur
Pulau
Timor,
utara
Kepulauan
Tanimbar
dan
Barat
Laut
Kepulauan
Aru.
Pada
masa
transisi
dari
Monsun
Barat
ke
Monsun
Timur,
area
upwelling
ada
yang
meluas
di
Selat
Ombai
dan
Sawu,
Laut
Banda,
perairan
antara
Kepulauan
Tanimbar
dan
Kepulauan
Aru.
Pada
Monsun
Timur,
upwelling
juga
terjadi
di
pantai
utara
Timor,
sedangkan
upwelling
di
Laut
Timor
meluas
hingga
Teluk
Bonaparte
di
Australia
dan
Laut
Arafura.
Peningkatan
intensitas
kekuatan
upwelling
terjadi
di
selatan
Kepala
Burung,
hingga
barat
Kepulauan
Aru.
Pada
transisi
dari
Monsun
Timur
ke
Monsun
Barat,
intensitas
upwelling
di
selatan
Kepala
Burung
Papua
hingga
barat
Kepulauan
Aru
dan
timur
laut
Kepulauan
Tanimbar
berkurang.
Adapun
variasi
komponen
fisik
di
rentang
rerata
tahunan
dari
massa
air
laut
pada
ekoregion
ini
(Wyrtki,
1961;
Boyer
et
al.,
2009)
di
lapisan
permukaan
adalah
sebagai
berikut:
suhu
air
laut
pada
ekoregion
ini
mencapai
o
kisaran
26,5
28,5
C;
salinitas
berkisar
antara
33
PSU
hingga
35,15
PSU;
konsentrasi
oksigen
terlarut
berkisar
antara
4,1
4,9
ml/liter;
dan
pH
berkisar
antara
8,15
8,25.
Untuk
kondisi
sebaran
nutrien
di
ekoregion
ini,
diturunkan
dari
Boyer
et
al.
(2009),
adalah
sebagai
berikut:
konsentrasi
fosfat
berkisar
antara
0,20
0,63
mol/liter;
konsentrasi
silikat
2,5
9
mol/liter;
konsentrasi
nitrat
1,0
3,0
mol/liter;
klorofil
0,5
5,0
gram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Karakteristik
utama
Ekoregion
Laut
18
adalah
mangrove
yang
tumbuh
disepanjang
pesisir.
Keberadaan
mangrove
ini
menjadi
pendukung
potensi
perikanan
di
Laut
Arafura.
Ekoregion
ini
merupakan
penghubung
penting
antara
banyak
populasi
taksa
laut
Indonesia
dan
Australia.
Region
ini
mungkin
menjadi
koridor
untuk:
1)
penyebaran
larva
antara
wilayah-wilayah
dengan
keragaman
tinggi
di
Papua
bagian
selatan
dan
Sulawesi,
2)
Hiu
Paus,
3)
Penyu
hijau,
Penyu
lekang,
dan
Penyu
belimbing.
Hamparan
mangrove
seluas
854.581
ha,
tersebar
di
sekitar
Kepulauan
Aru,
Boven
Digul,
Merauke
dan
Pulau
Yos
Sudarso.
Tegakan
bakau
di
sepanjang
pantai
selatan
Papua
seperti
Rawa
Biru
merupakan
paparan
luas
dengan
jenis
sangat
beragam.
Kawasan
rawa
dataran
rendah
yang
sangat
luas
dan
masih
utuh
ini
menyediakan
ruang
untuk
habitat
dan
migrasi
alami
berbagai
jenis
burung
air
dan
burung
migran,
buaya
muara
maupun
cetacean
pesisir.
Mangrove
dan
aliran
sungai
yang
bermuara
ke
laut
dari
dataran
Papua
memberikan
kesuburan
bagi
perairan
sekitarnya
sehingga
merupakan
wilayah
penangkapan
udang
terpenting
dan
terbesar
di
Indonesia.
Menurut
Noor
dan
Silvius
1997,
terdapat
16
lokasi
ditemukannya
burung
pantai
dan
burung
migran
yang
secara
global
penting.
Hutan
mangrove
dan
lahan
basah
di
Papua
merupakan
salah
satu
habitat
penting
bagi
kedua
burung
ini.
Keberadaan
terumbu
karang
di
wilayah
ini
sangat
sedikit
dengan
keanekaragaman
karang
yang
rendah.
Oleh
karena
itu,
tidak
mengherankan
jika
jumlah
spesies
ikan
karang
juga
rendah.
Terumbu
karang
didapatkan
di
Kepulauan
Aru
dengan
luasan
yang
terbatas
sebesar
50.012
ha.
Pertumbuhan
karang
di
ekoregion
ini
diperkirakan
tidak
signifikan
akibat
tingginya
masukan
air
tawar
dan
sedimen
dari
daratan
Papua.
Dengan
kondisi
ini
sangat
mungkin
terdapat
beberapa
jenis
terumbu
karang
yang
telah
beradaptasi
dengan
kondisi
salinitas
rendah
di
sepanjang
daratan
Papua
atau
di
Laut
Arafura
yang
dangkal.
Padang
lamun
dengan
luas
sekitar
9.170
ha
tersebar
di
Kepulauan
Aru.
Lamun
ini
merupakan
habitat
yang
penting
untuk
tempat
makan
dugong
dan
penyu
hijau.
Kepulauan
Aru
merupakan
wilayah
penyebaran
populasi
dugong
terbesar
di
Maluku
(De
Iongh
et
al.
1996).
Menurut
De
Iongh
et
al.
(2006),
dalam
survei
lapangan
ekologi
dugong
yang
dilakukan
pada
tahun
1990
dan
1992
di
Kepulauan
Aru,
ditemukan
jejak
makan
dugong
pada
padang
lamun
yang
mengindikasikan
adanya
rotasi
makan
yang
intensif
di
padang
Halodule
uninervis
di
paparan
pasang
surut.
Hasil
wawancara
dengan
penduduk
setempat
menyebutkan
adanya
pola
rotasi
makan
dugong
yang
berpola
musiman
bersamaan
dengan
periode
musim.
Pada
saat
survei,
juga
dijumpai
dugong
yang
sedang
melakukan
penyelaman
sambil
makan
(typical
grazing
dives)
atau
istirahat
di
sekitar
padang
Halodule
uninervis
yang
monospesifik.
Semua
padang
lamun
yang
ada
tanda-tanda
grazing
track
dugong
berada
di
sekitar
mangrove
dekat
muara
sungai
(De
Iongh,
et
al.,
1995).
Wilayah
Kepulauan
Aru
dan
Kai
merupakan
habitat
yang
penting
untuk
keenam
jenis
penyu
yang
ditemukan
di
Indonesia:
penyu
hijau
(Chelonia
mydas),
penyu
sisik
(Eretmochelys
imbricate),
penyu
tempayan
(Caretta
caretta),
penyu
lekang
(Lepidochelys
olivaceae),
penyu
pipih
(Natator
depresus)
dan
penyu
belimbing
Pasifik
(Dermochelys
coriaceas).
Yamdena
dan
Tanimbar
merupakan
lokasi
lain
yang
penting
bagi
penyu
hijau
dan
penyu
sisik.
Indonesia
mempunyai
spesies
buaya
muara
Crocodylus
porosus.
Salah
satu
habitat
penting
bagi
spesies
ini
adalah
hutan
mangrove
dan
muara
sungai.
Di
wilayah
Papua,
kedua
habitat
ini
terletak
di
pesisir
yang
luas
menghadap
ke
Laut
Arafura.
Kedua
habitat
ini
juga
merupakan
habitat
cetacean
muara
dan
pesisir.
Sebanyak
64
spesies
burung
laut
telah
diidentifikasi
di
Indonesia
dan
beberapa
jenis
tidak
selalu
terlihat
secara
reguler
(Noor
dan
Silvius,
1997).
Terdapat
14
spesies
burung
laut
yang
merupakan
penghuni
tetap
(resident)
tetapi
sebaran
wilayah
perkembangbiakannya
tidak
banyak
diketahui.
Seperti
di
wilayah
Indonesia
lainnya,
di
Kepulauan
Aru
juga
dilaporkan
adanya
penurunan
populasi
dugong.
Habitat
kehidupan
dugong
yang
berada
di
pesisir
perairan
dangkal
dan
sifat
reproduksi
yang
lambat,
menyebabkan
dugong
rawan
terhadap
kepunahan.
Hasil
wawancara
menyebutkan
bahwa
pada
tahun
1989
sekitar
59
90
ekor
dugong
telah
tertangkap,
dan
pada
tahun
1990
hanya
29
36
ekor
yang
tertangkap.
Penduduk
desa
juga
mengetahui
bahwa
sebelum
tahun
1989,
dugong
yang
tertangkap
jumlahnya
lebih
banyak.
Hasil
wawancara
tersebut
mengindikasikan
telah
terjadi
penurunan
populasi
dugong
di
sekitar
Kepulauan
Aru.
Kawasan
konservasi
pada
Ekoregion
Laut
18
antara
lain
KKPD
Kaimana,
Papua
Barat
dan
TWP
Aru
Tenggara,
Maluku.
PEMANFAATAN
Ekoregion
Laut
18
berada
pada
WPP
718.
Potensi
sumberdaya
perikanan
di
ekoregion
ini
antara
lain
ikan
pelagis
besar
(50.9
ribu
ton/tahun),
pelagis
kecil
(468.7
ribu
ton/tahun)
dan
demersal
(284,7
ribu
ton/tahun),
udang
penaid
(44,7
ribu
ton/tahun),
ikan
karang
konsumsi
(3,1
ribu
ton/tahun),
lobster
(0,1
ribu
ton/tahun)
dan
cumi-cumi
(3,4
ribu
ton/tahun).
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
luas
4252,40
ha
tersebar
di
sekitar
pesisir
utara
Papua
dan
Papua
Barat,
(ii)
lamun
dengan
luas
1314,25
ha
tersebar
di
pesisir
utara
Papua
dan
Papua
Barat
dan
(iii)
terumbu
karang
di
ekoregion
meliputi
luas
5025,50
ha.
Potensi
sumberdaya
terbarukan
non
ikan
antara
lain:
(i)
mangrove
dengan
luas
854.581,39
ha
tersebar
di
sekitar
Kepulauan
Aru,
Boven
Digul
Merauke,
dan
Pulau
Yos
Sudarso,
(ii)
padang
lamun
dengan
luas
9.170,12
ha
tersebar
di
Pesisir
Kepulauan
Aru
dan
(iii)
terumbu
karang
dengan
luas
50012,83
ha
tersebar
di
ekoregion
ini.
Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No.
45/2011,
kondisi
pemanfaatan
sumberdaya
perikanandi
Ekoregion
Laut
18
sebagai
berikut:
KERAWANAN BENCANA
PENCEMARAN
Secara
umum,
informasi
mengenai
potensi
pencemaran
di
Ekoregion
Laut
18
masih
minim.
Namun
adanya
peningkatan
kondisi
sosial
dan
ekonomi
masyarakat
di
sekitar
kawasan
ini
merupakan
salah
satu
faktor
ancaman
terhadap
kondisi
perairan.
Apabila
dibandingkan
dengan
kondisi
perairan
di
daerah
lainnya
di
Indonesia,
maka
ekoregion
ini
masih
memiliki
kondisi
perairan
yang
alami.
Kadar
total
pestisida
organoklorin
di
kolom
air
dan
sedimen
di
muara
Sungai
Digul
dan
Laut
Arafuru
masih
tergolong
rendah
(berkisar
antara
0,046
0,16
ppt
pada
kolom
air
dan
0,011
0,29
ppb
pada
sedimen)
(Munawir,
2002).
Kadar
pestisida
di
perairan
ini
jauh
lebih
rendah
bila
dibandingkan
dengan
perairan
lain
seperti
perairan
di
sekitar
Lampung,
Teluk
Jakarta,
Kuala
Tungkal,
muara
Sungai
Siak
dan
muara
Sungai
Musi,
dengan
sumber
pencemar
yang
berasal
dari
aktivitas
pertanian
(Munawir,
2002).
Adanya
aktifitas
pertanian
ini
memungkinkan
dihasilkannya
limbah
organik
mudah
urai
misalnya
yang
berasal
dari
pupuk
dan
berasal
dari
sisa
(limbah)
yang
dihasilkan
mulai
dari
persiapan,
proses
produksi
hingga
panen.
Selain
bahan
organik,
pada
limbah
pertanian
juga
dapat
dihasilkan
B3,
seperti
pestisida
yang
keberadaanya
walaupun
kecil,
namun
perlu
sangat
diwaspadai.
Selain
itu,
sumber
pencemar
yang
masuk
ke
kawasan
perairan
antara
lain
berasal
dari
aktivitas
transportasi
perairan
laut
sekitar,
limpasan
dari
air
sungai
dan
sedimen,
perkembangan
aktivitas
industri
dan
urban,
perkembangan
daerah
rural
(seperti
penebangan
hutan,
pertambangan
dan
operasi
pengolahan
minyak
bumi
dan
gas)
(Morrison
dan
Delaney,
1996).
Potensi
pencemaran
limpasan
dari
air
sungai
dan
sedimen
di
Laut
Arafura
salah
satunya
berasal
dari
Sungai
Otomona/Ajkwa.
Sumber
pencemar
yang
masuk
ke
aliran
sungai
tersebut
berasal
dari
kegiatan
penambangan
emas
di
Tembagapura.
Menurut
Morisson
dan
Delaney
(1996)
kegiatan
penambangan
tersebut
telah
membawa
material
sedimen
dalam
jumlah
besar
(lebih
dari
30
juta
ton
per
tahun)
ke
Sungai
Otomona/Ajkwa.
Kondisi
ini
cukup
mengkhawatirkan
mengingat
dari
kegiatan
insdustri
emas
akan
dihasilkan
sianida
dan
B3
lainnya,
serta
dari
kegiatan
tambang
rakyat
umumnya
akan
dihasilkan
B3
berupa
merkuri
serta
jenis
B3
lainnya.
Potensi
pencemaran
lainnya
berasal
dari
aktivitas
kapal,
karena
Laut
Arafura
secara
maritim
berbatasan
dengan
negara
Australia
dan
daerah
tersebut
merupakan
daerah
lintasan
perkapalan
yang
penting
(sebagai
penghubung
beberapa
pelabuhan
di
Australia
dengan
pelabuhan-pelabuhan
di
Asia
Tenggara,
Timur
dan
Samudera
Pasifik
sebelah
utara)
sehingga
potensi
pencemaran
mungkin
terjadi
pada
jalur
utama
pelayaran
tersebut
(Morrison
dan
Delaney,
1996).
Berbagai
kegiatan
tersebut
diatas,
maka
EL
18
ini
berpotensi
terhadap
terjadinya
pencemaran
B3,
terutama
PAH,
POPs,
dan
logam
berat
yang
semuanya
dapat
membahayakan
baik
biota
yang
hidup
di
dalamnya
maupun
kesehatan
manusia
yang
mengkonsumsinya.
Karakter
laut
di
Indonesia
ternyata
sangatlah
beragam,
baik
dari
aspek
fisik,
Keanekaragaman
Hayati
hayati,
oseanografi,
maupun
morfologi
dasar
laut.
Karakteristik
laut
Indonesia
memiliki
perbedaan
antara
laut
bagian
Barat
serta
Timur.
Laut
bagian
Barat
itu
dangkal
sedangkan
Timur
lebih
dalam.
Demikian
juga
dengan
potensi
kekayaan
laut
Indonesia
yang
begitu
besar
hanya
bisa
dimanfaatkan
saat
pemerintah
bisa
mengenali
karakteristik
wilayah
laut
yang
dimilikinya.
Selain
itu,
tegaknya
kedaulatan
pemerintah
atas
laut
menjadi
bekal
utama
dalam
pengembangan
potensi
kelautan
Indonesia
yang
kaya
akan
sumberdaya
alam.
Berdasarkan
penyusunan
Peta
dan
Deskripsi
Ekoregion
Laut
Nasional
diketahui
bahwa
perlu
pengkajian
lebih
spesifik
serta
verifikasi
lapangan
lebih
mendalam
tentang
karakterisitik
laut
di
Indonesia
tersebut.
180
|penutup
Walking Shark fakfak by david doubilet-Conservation International
Daftar Pustaka
Adi,
TR.,
A.
Supangat,
N.S.
Ningsih,
W.S.
Pranowo,
D.N.
Handiani,
B.
Hendrajana,
dan
P.A.,
Winarno.
2004.
Variabilitas
Iklim-Laut
Perairan
Indonesia
dan
Sekitarnya.
Laporan
Teknis
Pusat
Riset
Wilayah
Laut
dan
Sumberdaya
Non-Hayati,
Badan
Riset
Kelautan
dan
Perikanan.
Adrim,
M.
2007.
Komunitas
ikan
karang
di
perairan
Pulau
Enggano,
Provinsi
Bengkulu.
Oseanologi
dan
Limnologi
di
Indonesia
33:
39-58.
Ahmad,
A.
2009.
Tingkat
Pencemaran
Logam
Berat
dalam
Air
Laut
dan
Sedimen
Di
Perairan
Pulau
Muna,
Kabaena,
dan
Buton
Sulawesi
Tenggara.
Stasiun
Penelitian
Lapangan,
Pusat
Penelitian
Oseanografi,
LIPI,
Ternate
97712,
Maluku
Utara,
Indonesia.
Makara
Sains
13(2):
117-124.
Aldrian,
E.
dan
D.
Susanto.
2003.
Identification
of
Three
Dominant
Rainfall
Regions
Within
Indonesia
And
Their
Relationship
To
Sea
Surface
Temperature,
Int.
J.
Climat.
23:1435-1452.
Alino,
P.M.
dan
ED.
Gomez.
2001.
The
Marine
Ecosystems
of
South
East
Asia
and
the
East
Asian
Seas.
Report
of
th
the
15
International
Conference
on
the
Environmental
Management
of
Enclosed
Coastal
Seas:
Asian
Forum.
20
November
2001,
Kobe,
JAPAN.
Allen,
G.R.
2006.
Reef
fishes
of
The
Papuan
Birds
Head
Seascape.
Report
to
Conservation
International,
hal.
25.
Allen,
G.R.
2008.
Reef
fishes
of
Halmahera.
Report
to
Conservation
International,
hal.
16.
Allen,
G.
R.
dan
M.
V.
Erdmann.
2009.
Reef
fishes
of
the
Birds
Head
Peninsula,
West
Papua,
Indonesia.
Check
List
5:
587628.
Allen,
G.R.
dan
M.V.
Erdmann.
2012.
Reef
fishes
of
the
Anambas
Islands.
Report
to
Conservation
International,
hal.
18.
Allen,
G.R.
dan
M.V.
Erdmann.
2012.
Reef
Fishes
of
The
East
Indies
Volumes
I-III.
Tropical
Reef
Research
and
Conservation
International
Indonesia.
Perth,
Australia.
Allen,
G.R.
dan
M.V.
Erdmann.
2013.
Reef
fishes
of
The
Papuan
Birds
Head
Seascape
:
refers
to
report
in
2006.
Report
to
Conservation
International
(tidak
dipublikasikan)
Amante,
C.
and
BW
Eakins.
2009.
ETOPO1
1
Arc-Minute
Global
Relief
Model:
Procedures,
Data
Sources
and
Analysis.
NOAA
Technical
Memorandum
NESDIS
NGDC-24,
hal.
19.
Ambariyanto.
2010.
Kebijakan
Pengelolaan
Organisme
Laut
dilindungi:
Kasus
Kerang
Raksasa,
Naskah
Pidato
Pengukuhan
Guru
Besar
Universitas
Diponegoro,
hal.74
Amin,
B.
2002.
Distribusi
Logam
Berat
Pb,
Cu
dan
Zn
pada
Sedimen
di
Perairan
Telaga
Tujuh
Karimun
Kepulauan
Riau.
Jurnal
Natur
Indonesia
5(1):
9-16.
Anonimous.
2002.
Proposal
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat
Pesisir
(PEMP).
Kabupaten
Bolaang
Arifin,
Z.
2004.
Local
Millenium
Ecosystem
Assessment:
Condition
and
Trend
of
the
Greater
Jakarta
Bay
Ecosystem.
The
Ministry
of
Environment,
Republic
of
Indonesia,
Jakarta,
hal.
33.
Arifin,
Z.,
R.
Puspitasari,
N.
Miyazaki.
2011.
Heavy
Metal
Contamination
in
Indonesian
Coastal
Environment:
A
Historical
Perspective.
Coastal
Marine
Science
35(1):
227-233.
Arindi,
M.V.,
N.P.
Purba,
E.
Rochima,
WS.
Pranowo.
2010.
Dinamika
Massa
Air
Perairan
barat
Sumatera.
Prosiding
Eksporinas
2011.
hal.108-141.
Arlyza,
I.S.
dan
P.
Borsa.
2010.
Geographic
structure
of
masked
stingray
in
the
indo-malay-papua
archipelago.
The
International
Meeting
of
Association
for
Tropical
Biology
and
Conservation,
Tropical
biodiversity:
surviving
the
food,
energy,
and
climate
crisis
19-23
July
2010,
Denpasar.
Arlyza,
I.S.
dan
O.N.
Marwayana.
2012.
Eksplorasi
udang
penaeid
di
Selat
Makassar
dan
Teluk
Bone,
Sulawesi
Selatan:
Diseminarkan
di
Seminar
Nasional
Perikanan
Indonesia
2012
Sekolah
Tinggi
Perikanan
Jakarta:
Aplikasi
Teknologi
Terapan
Untuk
Mendukung
Industrialisasi
Perikanan
Indonesia.(in
press)
Arthana,
IW.
2005.
Jenis
dan
Kerapatan
Padang
Lamun
di
Pantai
Sanur
Bali.
Jurnal
Lingkungan
Hidup
Bumi
Lestari,
2.
(5):
68-76.
PPLH-Lemlit
Unud
Denpasar.
Balitbang
KKP
(Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kelautan
dan
Perikanan).
2010.
Eksplorasi
Sangihe
Talaud
Index
Satal
2010
Badan
Riset
Kelautan
dan
Perikanan
Overseas
Fishery
Cooperation
Foundation
(BRKP-OFCF).
2005.
Laporan
Kerjasama
Riset
Eksplorasi
Sumberdaya
Perikanan
Laut
Dalam
Antara
Jepang-Indonesia.
Bapedalda
Provinsi
Papua
Barat.
2011.
Laporan
Status
Lingkungan
Hidup
Daerah
Provinsi
Papua
Barat
Tahun
2011.
Papua
Barat.
Baumgart,
A.,
T.
Jennerjahn,
WS.
Pranowo.
2005.
Nutrient
distribution
in
the
Indian
Ocean
off
java
and
Sumatra,
Indonesia,
related
to
coastal
upwelling.
Proceed.
SPICE/LOICZ/ATSEF/SEACORM
(SLAS)
Southeast
Asia
Coastal
Governance
and
Management
Forum:
Science
Meets
Policy
for
Coastal
Management
and
Capacity
Building,
Bali,
14th
-
16th
November
2006
Bay
of
Bengal
Large
Marine
Ecosystem
(BOBLME).
2011.
Country
Report
on
Pollution
in
the
BOBLME
(Bay
of
Bengal
Large
Marine
Ecosystem)
Indonesia.
Black,
E.,
J.
Slingo,
KR.
Sperber.
2003.
An
Observational
Study
of
the
Relationship
between
Excessively
Strong
Short
Rains
in
Coastal
East
Africa
and
Indian
Ocean
SST,
Month.
Weath.
Rev.,
Vol.
31:
74-94.
Booij,
K.,
Z.
Arifin,
T.
Purbonegoro.
2012.
Perylene
Dominates
the
Organic
Contaminant
Profile
in
the
Berau
Delta,
East
Kalimantan,
Indonesia.
Marine
Pollution
Bulletin
64:
10491054.
Borsa
et
al,
2012
Boyer,
TP.,
JI.
Antonov,
OK.
Baranova,
HE.
Garcia,
DR.
Johnson,
RA.
Locarnini,
Av.
Mishonov,
TD.
OBrien,
D.
Seidov,
IV.
Smolyar,
MM.
Zweng.
2009.
World
Ocean
Database
2009.
Levitus,
S.
(ed.),
CD-ROM,
National
Oceanographic
Data
Center,
Ocean
Climate
Laboratory,
NOAA,
hal.
217.
Brodjonegoro,
IS.,
WS.
Pranowo,
S.
Husrin,
R.
Tisiana,
B.
Hendrajana,
E.
Widjanarko,
H.
Triwibowo,
D.
Conbul,
TR.
Adi,
IM.
Nasution,
D.
Purbani,
G.
Kusumah,
Ahmad,
UR.
Kadarwati,
H.
Prihatno,
AH.
Purnomo,
Taryono,
N.
Zahri,
TH.
Tjahyo,
A.
Hugroho,
A.
Azizi.
2004.
Daya
Dukung
Kelautan
dan
Perikanan:
Selat
sunda,
Teluk
Tomini,
Teluk
Saleh,
Teluk
Ekas.
Badan
Riset
Kelautan
dan
Perikanan.
Brotoisworo,
E.
1991.
Problems
of
Enclosed
Coastal
Seas
Development:
The
Bintuni
Case,
Irian
Jaya,
Indonesia.
Marine
Pollution
Bulletin,
23:431-435.
Budiono
K.
TA.
Suprapto,
NA.
Kristanto,
P.
Raharjo,
Y.
Noviandi.
2003.
Peta
Wilayah
Rawan
Bencana
Tsunami
Indonesia.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Geologi
Kelautan.
Bandung.
Chang,
C.-P.,
Z.
Wang,
J.
Hu,
T.
Li.
2004.
On
the
Relationship
between
Western
Maritime
Continent
Monsoon
Rainfall
and
ENSO
during
Northern
Winter.
J.
Climate,
17:
665
672.
Chua,
T-E.,
IRL.
Gorre,
SA.
Ross,
SR.
Bernad,
B.
Gervacio,
MC.
Ebarvia.
2000.
The
Malacca
Strait.
Marine
Pollution
Bulletin
41:
160-178.
Cordova,
MR.
2008.
Kajian
Limbah
Domestik
di
Perumnas
Bantar
Kemang,
Kota
Bogor
dan
Pengaruhnya
terhadap
Sungai
Ciliwung.
Institut
Pertanian
Bogor.
(Tidak
Dipublikasikan).
Dahuri,
R.
2003.
Keanekaragaman
Hayati
Laut:
Aset
Pembangunan
Berkelanjutan
Indonesia.
PT.
Gramedia
Pustaka
Utama.
Jakarta,
Indonesia.
De
Iongh,
HH.,
B.
Wenno,
E.
Mellis.
1995.
Seagrass
distribution
and
seasonal
biomass
changes
in
relation
to
dugong
grazing
in
the
Maluku,
East
Indonesia.
Aquatic
Botany
50:
1
19.
De
Iongh,
HH.
1996.
Plant-herbivore
interactions
between
dugongs
and
seagrass
in
a
tropical
small
islands
ecosystem
(Thesis).
De
Iongh,
HH.
1996.
Current
status
of
dugongs
in
Aru,
E.
Indonesia.
In:
The
Aru
Archipelago:
Plants,
Animals,
People
and
Conservation.
Publication
No.
30
of
the
Netherlands
Commission
for
International
Nature
Protection,
H.P.
Nooteboom.
Hal.
75-86.
De
Iongh,
HH.
1997.
Current
status
of
dugongs
in
Indonesia.
In:
The
ecology
of
the
Indo-nesian
seas.
Part
II.
The
Ecology
of
Indonesia
Series,
Volume
VIII
by
eds.
Tomascik,
T.,
Mali,
A.J.,
Nontji,
A.,
Moosa,
M.K.
De
Iongh,
HH.,
W.
Kiswara,
W.
Kustiawan.
2006.
Dugong
grazing
patterns
and
interaction
with
traditional
conservation
(Sasi
Laut)
Indonesia:
a
review.
Journal
of
Natural
and
Life
Sciences,
1
(1):
1-10.
DeBoer,
TS.,
MD.
Subia,
Ambariyanto,
MV.
Erdmann,
K.
Kovitvongsa,
PH.
Barber.
2008.
Phylogeography
and
limited
genetic
connectivity
inthe
endangered
boring
giant
clam
across
the
coraltriangle.
Conservation
Biology.
DOI:
10.1111/j.1523-1739.2008.00983.x.
Den
Hartog,
C.
1970.
The
Seagrasses
of
The
World.
North
Holland
Publishing
Co.
Amsterdams.
DeVantier
L,
Turak
E,
dan
Allen
G.
2009.
Raja
Ampat
Planning
Coral
Reef
Stratification:
Reef-Scapes,
Reef
Babitas,
dan
Coral
Communities
of
Raja
Ampat,
Birds
Head
Seascape,
Papua
Indonesia.
Report
to
The
Nature
Conservancy-Unpublished.
Dir.
KKJI-Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
2012.
Kajian
Cepat
Kondisi
Taman
Wisata
Perarain
Anambas.
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
P2O-LIPI,
Kabupaten
Anambas
&
Conservation
International
Indonesia.
Jakarta.
(in-press)
Dirhamsyah,
SA.,
H.
Ali,
A.
Susanto,
S.
Syahalitua,
Made.
2009.
Ikan
terbang:
Eksotis
dan
komersil,
spesies
yang
perlu
dilindungi.
Pusat
Penelitian
Oseanografi-LIPI.
Djalal,
H.
2006.
Persoalan
Selat
Malaka
dan
Singapura.Makalah
pada
seminar
mengenai
Selat
Malaka
yang
diselenggarakan
oleh
Deputi
Mensesneg
Bidang
Dukungan
Kebijakan
pada
tanggal
13
Januari
2006
di
kantor
Sekretariat
Negara
RI,
Jakarta.
http://www.setneg.go.id.
Dsikowitzky,
L.,
I.
Nordhaus,
TC.
Jennerjahn,
P.
Khrycheva,
Y.
Sivatharshan,
E.
Yuwono,
J.
Schwarzbauer.
2011.
Anthropogenic
Organic
Contaminants
in
Water,
Sediments
and
Benthic
Organisms
of
the
Mangrove-
Fringed
Segara
Anakan
Lagoon,
Java,
Indonesia.
Marine
Pollution
Bulletin
62:
851862.
Edinger,
MD.,
P.R.
Siregar,
GM.
Blackwood.
2006.
Heavy
Metal
Concentrations
in
Shallow
Marine
Sediments
Affected
by
Submarinetailing
Disposal
and
Artisanal
Gold
Ming,
Buyat-Ratatotok
District,
North
Sulawesi,
Indonesia.
Environmental
Geology,
DOI
10.1007/s00254-006-0506-8.
Edinger,
MD.
2012.
Gold
Mining
and
Sub-marine
tailing
Disposal:
Review
and
Case
Study.
Oceanography
25(2):
184-199.
Edward
dan
MD.
Marasabessy.
2003.
Kondisi
Oseanografi
Teluk
Cenderawasih,
Irian
Jaya
ditinjau
dari
Kepentingan
Perikanan.
Marine
Chimica
Acta,
4(1):
1-4.
Edward.
2008.
Pengamatan
Kadar
Merkuri
di
Perairan
Teluk
Kao
(Halmahera)
dan
Perairan
Anggai
(Pulau
Obi),
Maluku
Utara.
Makara
Sains,
12
(2):
97-101.
Edyanto,
CBH.
2008.
Penelitian
Aspek
Lingkungan
Fisik
Perairan
Sekitar
Pelabuhan
Sabang.
Jurnal
Sains
dan
Teknologi
Indonesia,
Vol.
10(2):
119-127.
Erdmann
MV.
2007.
Stomatopod
crustaceans
of
northern
Papua.
In:
Marshall
AJ
and
Beehler
B
(Eds)
The
Ecology
of
Papua.
Hal.
499502.
Erdmann,
M.V.,
dan
C.
Huffard.
2009.
Defining
Geographic
Priorities
for
Marine
Biodiversity
Conservation
in
Indonesia.
Preliminary
Results:
Workshop
on
Defining
Gegraphic
Priorities
for
Marine
Biodiversity
Conservation
in
Indonesia.
Sanur,
Bali,
16-17
Juli
2009.
Erftemeijer,
PAL
dan
GR.
Allen.
1993.
Fish
Fauna
of
Seagrass
Beds
in
South
Sulawesi,
Indonesia.
Records
of
the
Western
Australian
Museum,
16
(2):
269
277.
Evans,
SM.,
M.
Dawson,
J.
Day,
CLJ.
Frid,
ME.
Gill,
LA.
Pattisina,
J.
Porter.
1995.
Domestic
Waste
and
TBT
Pollution
in
Coastal
Areas
of
Ambon
Island
(Eastern
Indonesia).
Marine
Pollution
Bulletin.
30(2):
109-115.
Falahudin,
D.,
K.
Munawir,
Z.
Arifin,
GA.
Wagey.
2012.
Distribution
and
Sources
of
Polycyclic
Aromatic
Hydrocarbons
(PAHs)
in
Coastal
Waters
of
thetimor
Sea.
Coastal
Marine
Science
35(1):
112-121.
Fang,
W.,
G.
Fang,
P.
Shi,
Q.
Huang,
Q.
Xie.
2002.
Seasonal
structures
of
upper
layer
circulation
in
the
southern
South
China
Sea
from
in
situ
observations,
J.
Geophys.
Res.,
107:
30202,
doi:10.1029/2002JC001343.
Gaol,
JL.
2009.
Study
Oil
Spill
di
Celah
Timor
dari
Sensor
MODIS
dan
Dampaknya
Terhadap
Sumberdaya
Hayati
Laut.
Poster
Presentasi
pada
Seminar
Nasional
Pertemuan
Ilmiah
Tahunan
VI
2009,
ISOI
16-17
Nopember
di
IPB
ICC,
Bogor.
George
W.
1964.
Biologist
philosopher:
a
study
of
the
life
and
writings
of
Alfred
Russel
Wallace.
Abelard-
Schuman,
London
Green
dan
Short.
2003.
World
Atlas
of
Seagrass.
University
of
California
Press.
Berkeley,
USA.
Gordon,
A.
L.,
2005.
Oceanography
of
the
Indonesian
Seas
and
their
throughflow.
Oceanography
18
(4):
14
27.
Gordon,
AL.,
RD.
Susanto,
A.
Ffield,
BA.
Huber,
WS.
Pranowo,
S.
Wirasantosa.
2008.
Makassar
Strait
throughflow,
2004
to
2006,
Geophys.
Res.
Lett.,
35,
L24605,
doi:10.1029/2008GL036372.
Gordon,
AL,
J.
Sprintall,
HM.
Van
Aken,
D.
Susanto,
S.
Wijffels,
R.
Molcard,
A.
Field,
WS.
Pranowo,
S.
Wirasantosa.
2010.
The
Indonesian
throughflow
during
2004-2006
as
observed
by
INSTANT
program,
J.
Dynamics
of
Atmospheres
and
Oceans,
50:115-128,
doi:10.1016/j.dynatmoce.2009.12.002
Hall
R.
2001.
Cenozoic
reconstructions
of
SE
Asia
and
the
SW
Pacific:
Changing
pattern
of
land
and
sea.
In
Metcalfe
I,
Smith
JMB,
Morwood
M,
Davidson
ID.
Faunal
and
Floral
migration
and
evolution
in
SE
Asia-
Australasia.
AA
Balkema
(Swets
and
Zeitlinger
Publishers).
Lisse,
35-56
Hantoro.
2005.
Pengaruh
Karakteristik
Laut
dan
Pantai
Terhadap
Perkembangan
Kawasan
Kota
Pantai.
Proceeding
Kerugian
pada
Bangunan
dan
Kawasan
Akibat
Kenaikan
Muka
Air
Laut
pada
Kota-Kota
Pantai
di
Indonesia
Hashimoto,
S.,
M.
Watanabe,
Y.
Noda,
T.
Hayashi,
Y.
Kurita,
Y.
Takasu,
A.
Otsuki.
1998.
Concentration
and
distribution
of
butyltin
compounds
in
a
heavy
tanker
route
in
the
Strait
of
Malaccaand
in
Tokyo
Bay.
Marine
Environmental
Research
45:
169-177
Huffard,
Cl.,
MV.
Erdmann,
T.
Gunawan
(Eds).
2012.
Prioritas
Geografi
Keanekaragaman
Hayati
Laut
untuk
Pengembangan
Kawasan
Konservasi
Perairan
di
Indonesia.
Kementerian
kelautan
dan
Perikanan
dan
Marine
Protected
Areas
Governance.
Jakarta,
Indonesia.
Ibrahim,
K.,
2005.
Turtle
tagging
radio
tracking
for
determining
transboundary
movement
(Power
Point
Presentation).
Second
UNEP-GEF
Scientific
Conference,
14-16
November
2005,
Bangkok,
Thailand.
Indrajati,
D.,
A.
Suharsono,
S.
Suryadi,
SD.
Atmanto,
BA.
Wiyana.
2007.
Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
(KLHS):
Rencana
Pembangunan
Padang
Bay
City
di
Sumatera
Barat.
Direktorat
Jenderal
Bina
Pembangunan
Daerah,
Departemen
Dalam
Negeri.
IUCN,
1993.
Reef
at
Risk:
A
Programme
of
Action.
Marine
Areas
Programme
of
IUCN
The
World
Conservation
Union.
Jaya
et
al.,
2001
Kahn
B.
2007.
Marine
Mammals
of
the
Raja
Ampat
Islands:
Visual
and
Acoustic
Cetacean
Survey
&
Training
Program.
Conservation
International
Indonesia
and
APEX
Environmental.
Report
to
Conservation
International
Indonesia,
Raja
Ampat
Program.
Kamus
Terminologi
Geologi
Kelautan
dan
Pantai,
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Geologi
Kelautan,
Bandung,
http://aplikasi.mgi.esdm.go.id/kp/admin
Karim
AM,
N.
Tahir,
FT.
Sofinati,
KA.
Mohd,
W.
Hasim,
EM.
Herly.
2011.
Pusat
Pengelolaan
Ekoregion-
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
Status
Lingkungan
Hidup
Ekoregion
Papua
2011.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
Jakarta
Katili,
JA
dan
P.
Marks.
1963.
Geologi.
Departemen
Urusan
Research
Nasional.
Djakarta.
Kementerian
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP),
Surat
Keputusan
MENKP
No.
45
Tahun
2011
tentang
Estimasi
Potensi
Sumberdaya
Ikan
di
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Negara
Republik
Indonesia.
Kementerian
Lingkungan
Hidup
(KLH).
2008.
Status
Lingkungan
Hidup
Indonesia.
Kementerian
Lingkungan
Hidup
Indonesia.
Jakarta.
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(KLH).
2009a.
Laporan
Pemantauan
Kualitas
Air
Sungai
33
Propinsi
di
Indonesia.
Pusat
Sarana
Pengendalian
Dampak
Lingkungan,
Kementerian
N egara
Lingkungan
Hidup.
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(KLH).
2009b.
Peta
Sebaran
Ijin
Pembuangan
Limbah
ke
Laut
dari
Sektor
Pertambangan,
Energi
dan
Minyak
di
Ekoregion
Laut
Indonesia.
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(KLH).
2009c.
Press
Release
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup:
Pengelolaan
Teluk
Tomini
secara
Terpadu
dan
Berkelanjutan,
Manado,
13
Mei
2009.
http://xa.yimg.com/kq/
groups/23081136/1898417260/name/Agreement,
akses
9
April
2012.
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(KLH).
2010.
Pemantauan
Kualitas
Air
Laut
dan
Danau
2010.
Pusat
Sarana
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
(Pusarpedal),
Kementerian
Lingkungan
Hidup.
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP).
2009.
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
Nomor
Per.01/Men/2009
Tentang
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Republik
Indonesia.
Kiswara,
W.
dan
M
Hutomo.
1985.
Seagrass,
its
habitat
and
geographical
distribution.
Oseana
X
(1):
21-30.
Kiswara,
W.,
T.
Bouma,
MV.
Katwijk,
I.
Al
Hakim.
2003.
Preliminary
study
East
Kalimantan
Project
A
Cooperation
Program
Dutch-Indonesia
2003.
Technical
Report.
Kiswara,
W.,
HH.
De
Iongh,
M.
Hutomo,
RA.
Hanif.
2011.
Dugong
range
status
update
country
reports:
Indonesia.
Report
on
South
East
Asia
regional
meeting
on
dugongs
and
workshop
on
developing
standardized
analysis
protocols
for
dugong
questionaire
survey
project
data
for
South
East
Asia
Region.
Lawas,
Sarawak,
Malaysia:
22-56.
Kuriandewa,
TE.,
W.
Kiswara,
M.
Hutomo,
S.
Soemodihardjo.
2003.
The
seagrasses
of
Indonesia.
In:
Green,
E.P.,
Short,
F.T.
(eds.).
World
Atlas
of
Seagrasses.
University
of
California
Press,
Berkeley
USA
:
171-182.
Laapo,
A.,
A.
Fahrudin,
DG.
Bengen,
A.
Damar.
2009.
Pengaruh
Aktivitas
Wisata
Bahari
terhadap
Kualitas
Perairan
Laut
di
Kawasan
Wisata
Gugus
Pulau
Togean.
Ilmu
Kelautan.
14
(4):
1-7.
Lasut,
MT.
and
Y.
Yasuda.
2008.
Accumulation
of
Mercury
in
Marine
Biota
of
Buyat
Bay,
North
Sulawesi,
Indonesia.
Coastal
Marine
Science
32(1):
33-38.
Liao,
LM.
2004.
Macrobenthic
marine
algae
and
seagrass
of
the
Anambas
Expedition
2002.
The
Raffles
Bulletin
of
Zoology,
Supplement
No.
11:
19
23.
National
University
of
Singapore.
LPP
Mangrove.
2004.
Review
Data
and
Information
Indonesian
Mangrove
Ekosystem
in
the
South
China
Sea:
South
Sumatera
Province.
Reversing
Thailand.
Environmental
degradation
Trends
in
the
South
China
Sea
and
Gulf
of
Thailand
Madduppa,
HH.,
IS.
Alhusna,
N.
Dahl-Tacconi,
R.
Sihombing,
F.
Setiawan,
A.
Gunawan,
NA.
Muzahar,
H.
Ohoiulun.
2005.
Evaluasi
Keefektifan
Pengelolaan
Daerah
Perlindungan
Laut
Pulau
Sebesi
2002-2004
dan
rekomendasi-rekomendasi
untuk
meningkatkan
pengelolaan.
National
Oceanic
and
Atmospheric
Administration
(NOAA),
Badan
Pengelolaan
Daerah
Perlindungan
Laut,
Pulau
Sebesi,
Pusat
Kajian
Sumberdaya
Pesisir
dan
Lautan,
Institut
Pertanian
Bogor.
Madduppa,
HH.
2012.
Self-recruitment
in
anemonefish
and
the
impact
ornamental
fishery
in
Spermonde
Archipelago:
implications
for
management
and
conservation.
PhD
Dissertation.
Faculty
of
Biology
and
Chemistry.
University
of
Bremen.
Germany.
Madduppa,
HH.,
SCA.
Ferse,
U.
Aktani,
HW.
Palm.
2012.
Seasonal
trends
and
fish-habitat
associations
around
Pari
Island,
Indonesia:
setting
a
baseline
for
environmental
monitoring.
Environ
Biol
Fish.
DOI
10.1007/s10641-012-0012-7
Madduppa,
HH.,
SB.
Agus,
AR.
Farhan,
D.
Suhendra,
B.
Subhan.
2012.
Fish
biodiversity
in
coral
reefs
and
lagoon
at
the
Maratua
Island,
East
Kalimantan.
Biodiversitas
13:
145-150.
Madduppa,
HH.,
B.
Subhan,
E.
Suparyani,
AM.
Siregar,
D.
Arafat,
SA.
Tarigan,
Alimuddin,
D.
Khairudi,
F.
Rahmawati,
A.
Bramandito.
2013.
Dynamics
of
fish
diversity
across
an
environmental
gradient
in
the
Seribu
Islands
reefs
off
Jakarta.
Biodiversitas
14
(in
press).
Mangubhai
S.,
MV.
Erdmann,
JR.
Wilson,
CL.
Huffard,
F.
Ballamu,
NI.
HidayatI,
C.
Hitipeuw,
ME.
Lazuardi,
Muhajir,
D.
Pada,
G.
Purba,
C.
Rotinsulu,
L.
Rumetna,
K.
Sumolang,
W.
Wen.
2012.
Papuan
Birds
Head
Seascape:
Emerging
threats
and
challenges
in
the
global
center
of
marine
biodiversity.
Marsh
H,
Eros
C,
Penrose
H,
dan
Hugues
J.
2002.
The
Dugong
(Dugong
dugon)
Status
Reports
and
Action
Plans
for
Countries
and
Territories
in
its
Range.
IUCN,
Gland.
Masuda,
H.
and
GR.
Allen.
1987.
The
Sea
Fishes
of
the
World
(Indo-Pacific
Region).
Published
by
YAMA-KEI
Publisher
Co.
Ltd
Tokyo,
Japan.
Mimura,
N.
1999.
Vulnerability
of
island
countries
in
the
South
Pacific
to
sea
level
rise
and
climate
change.
Climate
Research.
12:137-143.
Monirith,
I.,
D.
Ueno,
S.
Takahashi,
H.
Nakata,
A.
Sudaryanto,
A.
Subramanian,
S.
Karuppiah,
A.
Ismail,
M.
Muchtar,
G.
Zheng,
BJ.
Richardson,
M.
Prudente,
ND.
Hue,
TS.
Tana,
AV.
Tkalin,
S.
Tanabe.
2003.
Asia-
Pacific
Mussel
Watch:
Monitoring
Contamination
Of
Persistent
Organochlorine
Compounds
in
Coastal
Waters
of
Asian
Countries.
Marine
Pollution
Bulletin
2003
46:
281-300.
Morrison,
RJ.
and
JR.
Delaney.
1996.
Marine
Pollution
in
the
Arafura
Sea.
Marine
Pollution
Bulletin,
32(4):
327-
343.
Morton,
B.
and
G.
Blackmore.
2001.
South
China
Sea.
Marine
Pollution
Bulletin,
Vol.
42
(12):
1236-1263.
Moss,
S.M
dan
M.
Van
Der
Wal.
1998.
Rape
and
Run
in
Maluku:
Exploitation
of
Living
Marine
Resources
in
Eastern
Indonesia.
Cakalele
9
(2)
:
85-97.
MPP-EAS.
1998.
Marine
Pollution
Management
in
the
Malacca
Strait/Singapore
Straits:
Lessons
Learned.
GEF/UNDP/IMO
Regional
Programme
for
the
Prevention
and
Management
of
Marine
Pollution
in
the
East
Asian
Seas.
Quezon
City,
Philippines.
Muarif.
S.
2002.
Analisis
Indek
Kepekaan
Lingkungan
Pesisir
Selat
Malaka
di
Wilayah
Sumatera
Utara
Terhadap
Tumpahan
Minyak
(Oil
Spill).
Sekolah
Pascasarjana
Institut
Pertanian
Bogor.
Muhajir,
Purwanto,
S.
Mangbhai,
J.
Wilson,
R.
Ardiwijaya.
2012.
Pemantauan
Pengamatan
insidentil
di
kawasan
Konservasi
Perairan
Daerah
Kofiau
dan
Misool,
Raj
Ampat,
Papua
Barat,
Indonesia
2006-2011.
Munawir,
K.
1996.
Pemantauan
Kadar
Organoklorin
di
Perairan
Muara
Sungai
Siak,
Riau.
Dalam:
Inventarisasi
dan
Evaluasi
Lingkungan
Pesisir:
Oseanografi,
Geologi,
Biologi
dan
Ekologi.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Oseanologi,
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia.
Hal.
147-152.
Munawir,
K.
2002.
Kadar
Pestisida
Organoklorin
Dalam
Air
dan
Sedimen
di
Perairan
Muara
Sungai
Digul
dan
Laut
Arafura.
Dalam:
Pesisir
dan
Pantai
VII
(Penyunting:
Nuchsin,
R.,
Muchtar,
M.,
Supangat,
I.,
dan
Sunarto).
Pusat
Penelitian
Oseanografi,
LIPI.
hal
41-48.
Munawir,
K.
2005.
Kadar
Pestisida
Organoklorin
Dalam
Air
dan
Sedimen
di
Perairan
Estuarin
Mamberamo,
Irian
Jaya.
Oseanologi
dan
Limnologi
di
Indonesia,
38:
69-78.
Mustika,
PL.,
IMJ.
Ratha,
S.
Purwanto
(Eds).
2012.
Kajian
Cepat
Kondisi
Kelautan
Propinsi
Bali
2011.
RAP
Bulletin
of
Biological
Assessment
Vol.
64.
Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
Propinsi
Bali,
Balai
Riset
dan
Observasi
Kelautan
Bali,
Universitas
Warmadewa
dan
Conservation
International
Indonesia.
Denpasar.
Mustikasari,
E.,
LC.
Dewi,
WS.
Pranowo,
S.
Makarim,
SN.
Amri,
B.
Priyono.
2010.
Pemodelan
Pola
Arus
Barotropik
Musiman
3
Dimensi
Untuk
Mensimulasikan
Fenomena
Upwelling,
Laporan
Teknis,
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Sumberdaya
Laut
dan
Pesisir,
Badan
Litbang
Kelautan
dan
Perikanan.
Nagara,
AA.,
NA.
Sasongko,
OJ.
Olakunle.
2007.
Introduction
to
Java
Sea.
University
of
Stavanger.
Nasution,
S.
dan
M.
Siska.
2011.
Kandungan
Logam
Berat
Timbal
(Pb
)
pada
Sedimen
dan
Siput
Strombus
canarium
di
Perairan
Pantai
Pulau
Bintan.
Jurnal
Ilmu
Lingkungan
5(2):
82-93.
Nedi
S.,
B.
Pramudya,
E.
Riani,
Manuwoto.
2010.
Karakteristik
Lingkungan
Perairan
Selat
Rupat.
Journal
of
Environmental
Science
4:25
-
35
Nienhuis,
PH.,
J.
Coosen,
W.
Kiswara.
1989.
Community
structure
and
biomass
distribution
of
seagrass
and
macrofauna
in
the
Flores
Sea,
Indonesia.
Neth.
J.
of
Sea
Res.
23(3):
197-214.
Nontji,
A.
2007.
Laut
Nusantara.
Penerbit
Djambatan.
Noor,
YR.
and
MJ.
Silvius.
1997.
Shore
bir
ds
in
Indonesia.
In:
Tomasick,
T.,
A.J.
Mah,
A,
Nontji,
M.K.
Moosa
1997.
The
ecology
of
the
Indonesian
Seas
Part
II.
The
Ecology
of
Indonesia
Series,
Volume
VIII.
P2O-LIPI.
2011.
Perairan
Kepulauan
Natuna.
Ekspedisi
Widya
Nusantara.
Pusat
Penelitian
Oseanografi-Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia.
Pelling
M.
and
JI.
Uitto.
2001.
Small
island
developing
states:
natural
disaster
vulnerability
and
global
change.
Environmental
Hazard
3:
49-63.
Pranowo,
WS.
2002.
Model
Numerik
Sebaran
Senyawa
Nitrogen
di
Perairan
Pantai
Jepara.
Tesis
Magister
Program
Studi
Studi
Oseanografi
dan
Sains
Atmosfer,
Jurusan
Geofisika
dan
Meteorologi,
Institut
Teknologi
Bandung.
Pranowo,
WS.
and
S.
Husrin.
2003.
Kondisi
Oseanografi
Perairan
Pulau
Bintan
dalam
Kondisi
Ekosistem
Pesisir
Pulau
Bintan.
Safri,
B.,
B.
Sulistyo,
A.
Supangat.
(eds.),
Pusat
Riset
Wilayah
Laut
&
Sumberdaya
Nonhayati,
BRKP,
Departemen
Kelautan
&
Perikanan.
Pranowo,
WS.,
NS.
Ningsih,
A.
Supangat.
2003.
Kajian
Arus
Pasut
di
Perairan
Pantai
Jepara.
Prosiding
Seminar
Riptek
Kelautan
Nasional,
Jakarta,
30-31
Juli
2003.
Pranowo,
WS.,
NS.
Ningsih,
A.
Supangat.
2005.
Modelling
of
Nitrogen
Compound
Distribution
in
Jepara
Waters,
Northern
Coast
of
Central
Java
Indonesia.
Journal
of
JTM,
Vol.
12
(2).
Pranowo,
WS.
and
BS.
Realino.
2006.
Sirkulasi
Arus
Vertikal
di
Selat
Bali
Pada
Monsun
Tenggara
2004.
Prosiding
Seminar
Nasional
Forum
Perairan
Umum
Indonesia
III.
Palembang,
27
28
November
2006.
Pranowo,
WS.,
AR.
Tisiana
Dwi
Kuswardhani,
TL.
Kepel,
UR.
Kadarwati,
S.
Makarim,
S.
Husrin.
2006.
Ekspedisi
INSTANT
2003-2005:
Menguak
Arus
Lintas
Indonesia,
editors:
Supangat,
A.,
I.
S.
Brodjonegoro,
A.
G.
Ilahude,
I.
Jaya,
T.
R.
Adi.,
Pusat
Riset
Wilayah
Laut
&
Sumberdaya
Non-hayati.
Badan
Riset
Kelautan
&
Perikanan.
Departemen
Kelautan
&
Perikanan.
Pranowo,
WS.
and
S.
Wirasantosa.
2011.
Tidal
regims
of
Arafura
and
Timor
Seas,
Journal
of
Marine
Research
in
Indonesia,
36:17-24.
Pranowo,
WS.,
S.
Wirasantosa,
SN.
Amri,
AA.
Hutahaean,
LC.
Dewi,
S.
Makarim,
RNA.
Ati,
HI.
Ratnawati,
dan
J.
Prihantono.
2011.
Karakteristik
Sumberdaya
Laut
Arafura
dan
Pesisir
Baratdaya
Papua.
B.
Sulistiyo
(Ed.).
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Sumberdaya
Laut
dan
Pesisir,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kelautan
dan
Perikanan,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
Pranowo,
WS.
2012.
Dinamika
Upwelling
dan
Downwelling
di
Laut
Arafura
dan
Timor.
J.
Widyariset,
15
:17-24.
Pranowo,
WS.,
RA.
Adi,
H.
Permana,
ND.
Hananto.
2012a.
Sirkulasi
Arus
Pasang
Surut
di
Muara
Pegah,
Delta
Mahakam,
Kalimantan
Timur,
J.
Segara,
Vol.
8
No.1,
p.53-63.
Pranowo,
WS.,
TR.
Adi,
S.
Makarim,
NN.
Hasanah.
2012b.
Marine
&
climate
research
contribution
to
the
national
program
on
climate
change
adaptation
&
mitigation,
Proceed.
The
International
Workshop
on
Climate
Change
Information
Services
in
Supporting
Mitigation
&
Adaptation
to
Cllimate
Change
in
Transportation
&
Tourism,
Jakarta,
15-16
May
2012,
(in
press).
Pranowo,
WS.,
CD.
Puspita,
RA.
Adi,
LC.
Dewi.
2012c.
Atlas
Sumberdaya
Laut
dan
Pesisir
Natuna,
draft
versi
28
Desember
2012.
B.
Sulistiyo
dan
T.R.
Adi
(Eds.),
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Sumberdaya
Laut
dan
Pesisir,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kelautan
dan
Perikanan,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia.
Purnomo,
AH.,
Taryono,
NN.
Wiyadnyana,
B.
Priono,
Tj.
Hartono,
Z.
Nasution,
N.
Aji.,
A.
Azizi,
H.E.
Irianto,
D.
Nugroho,
Suwarso,
E.
Sriyati,
Irsan,
S.B.
Gegar,
SP.
Tonny
Wagey,
N.
Radiarta,
TH.
Prihadi,
Suryanto,
WS.
Pranowo,
M.
Situmorang,
Sunoto,
J.
Ferianto,
Aminul,
PK.
Yudi,
Triyono,
W.
Erish,
RS.
Ifan,
P.
Roberto,
Yulius,
Ahmad,
B.
Hendrajana,H.
Semeidi,
S.
Makarim,
K.
Gunardi,
D.
Purbani,
E.
Edward,
IM.
Nasution,
UR.
Kadarwati.
2003.
Profil
Sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
Teluk
Tomini.
Badan
Kelautan
dan
Perikanan,
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan.
Cetakan
pertama
Oktober
2003.
Pusat
Studi
Bencana
Alam,
2000
Putra,
KS.
2005.
Brief
overview
of
the
turtle
conservation
in
Indonesia.
Paper
prepared
for
World
Bank
Mission
and
Nordeco
consultant
as
part
of
the
WB/Marginal
Fisheries
Development
Project
in
Indonesia,
Mei
2005.
Putri,
MR.
2005.
Study
of
Ocean
Climate
Variability
(1959-2002)
in
the
Eastern
Indian
Ocean,
java
Sea
and
Sunda
Strait
Using
the
HAMburg
Shelf
Ocean
Model.
Dissertation.
University
of
Hamburg.
Ramdhan,
M.
and
S.
Tubalawony.
2010.
Karakteristik
Oseanografi
Fisik
Perairan
Selatan
Keulauan
Leti
Moa
Lakor
(Lemola)-Tanimbar.
J.
Segara,
6:129-140.
Riani
E.,
A.
Samosir,
F.
Yulianda.
1994.
Imposex
pada
Neogastropoda
(Thais
sp)
sebagai
akibat
Kontaminasi
Tributyltin
(Senyawa
Sn)
dari
Cat
Pelapis
Kapal
di
Perairan
Pantai
Pelabuhan
Ratu,
Jawa
Barat
dan
Pelabuhan
Teluk
Bayur,
Padang.
Riani,
E,
SH
Sutjahjo,
I.
Firmansyah.
2004.
Analisis
Beban
Pencemaran
dan
Kapasitas
Asimilasi
Teluk
Jakarta.
Kerjasama
LPPM
IPB
dengan
Pemerintah
Provinsi
DKI
Jakarta
tahun
2004.
Riani,
E.
2004.
Melindungi
Air
Melindungi
Kepunahan.
Nuansa
Biru.
Seafood
Ecolabelling.
Edisi
4.
Yayasan
WWF
Indonesia
dan
Yayasan
Uli
Peduli.
Riani
E.
2005.
Pengaruh
Pencemaran
Logam
Berat
terhadap
Cacat
Bawaan
pada
Larva
Diptera
Chironomidae:
Dicrotendipes
simpsoni.
Riani
E.
2006.
Roadmap
for
The
Integrated
Citarum
River
Basin
Management
Program:
Strategic
Environmental
assessment
(SEA)
for
The
Citarum
Integrated
Water
Resources
Management
Roadmap
and
Environmental
Impact
Assesment
(EIA)
for
the
Proposed
West
Tarum
Canal-Subproject.
Riani
E.
2008.
Kualitas
Lingkungan
Perairan
di
Desa
Bug-bug,
Bali.
Seminar
Ilmiah
Fakultas
Perikanan
dan
Ilmu
Kelautan
IPB.
Riani,
E.
2009.
Kerang
Hijau
(Perna
viridis)
Ukuran
Kecil
sebagai
"Vacum
Cleaner"
Limbah
Cair.
.
Jurnal
Alami,
Air,
Lahan,
Lingkungan
dan
Mitigasi
Bencana.
14
(3):
24
30.
Riani,
E.
2010.
Kontaminasi
merkuri
(Hg)
dalam
Organ
Tubuh
Ikan
Petek
(Leignathus
equulus)
di
Perairan
Ancol,
Teluk
Jakarta.
Jurnal
Teknologi
Lingkungan.
BPPT.
Mei
2010.
Vol
11
(2):
313-322.
Riani,
E.
and
MR.
Cordova.
2011.
Dampak
Pencemaran
Logam
Berat
terhadap
Cacat
Bawaan
(Malformasi)
pada
Keturunan
Kerang
Hijau
yang
Dibudidaya
di
Perairan
Muara
Kamal,
Teluk
Jakarta.
Seminar
Nasional
PPLH.
Mengakrabi
Paradigma
dan
Instrumen
Baru
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
Dalam
UU
No
32
tahun
2009.
IICC
IPB,
20
Oktober
2011.
Riani,
E.
2012
Perubahan
Iklim
dan
Kehidupan
Biota
Akuatik
(Bioakumulasi
Bahan
Berbahaya
dan
Beracun
dan
Reproduksi).
Penerbit
IPB.
Riani
E,
SBW.
Ningsih,
B.
Kurniawan.
2013.
Dampak
Kualitas
Perairan
terhadap
Moluska
Endemik
Polymesoda
erosa
di
Perairan
Donan,
Cilacap
Jawa
Tengah.
(Belum
dipublikasikan)
Riani,
E.
2013.
Kondisi
Lingkungan
Perairan
Teluk
Lampung.
Belum
dipublikasikan,
Dept
MSP,
FPIK.
IPB.
Bogor.
Rinawatia,
T.
Koikea,
H.
Koike,
R.
Kurumisawa,
M.
Ito,
S.
Sakurai,
A.
Togo,
M.
Saha,
Z.
Arifin,
H.
Takada.
2012.
Distribution,
Source
Identification,
and
Historical
Trends
of
Organic
Micropollutants
in
Coastal
Sediment
in
Jakarta
Bay,
Indonesia.
Journal
of
Hazardous
Materials:
208
216.
Rumahlatu,
D.
2011.
Konsentrasi
Logam
Berat
Kadmium
Pada
Air,
Sedimen
dan
Deadema
setosum
(Echinodermata,
Echinoidea)
di
Perairan
Pulau
Ambon.
Ilmu
Kelautan
16
(2):
78-85.
Sabtaji,
A.
2010.
Peta
Tektonik
Papua.
http://agung-sabtaji.blogspot.com/2010/06/peta-tektonik-papua.html
Salm,
RV.
and
M.
Halim.
1984.
Conservation
Data
Atlas.
Planning
for
the
Survival
of
Indonesias
seas
and
coasts,
IUCN/WWF/PHPA.
Jakarta.
Sapulete,
D.
1996.
Sebaran
vertikal
temperatur
dan
salinitas
dalam
kaitannya
dengan
kemungkinan
terjadinya
upwelling
di
Teluk
Piru,
J.
Perairan
Maluku
dan
Sekitarnya
11:
139-148.
Sarmili,
L.,
P.
Halbach,
B.
Pracejus,
E.
Rahders,
S.
Burhanuddin,
D.
Purbani,
G.
Kusumah,
S.
Makarim,
J.
Soesilo,
J.
Huatabart,
SD.
Djohor,
A.
Mubandi.
2003.
A
New
Prospect
in
Hydrothermal
Mineralisation
of
The
Baruna
Komba
Submarine
Volcano
in
Flores-Wetar
Sea,
East
Indonesia.
Prosiding
International
Seminar
on
Marine
and
Fisherieis
15-16
December
2003,
hal
331-336.
Soegiarto,
A.
dan
NVC.
Polunin.
1981.
The
marine
environment
of
Indonesia.
Bogor,
Indonesia.
International
Union
for
the
Conservation
of
Nature
and
Natural
Resources/World
Wild
Fund.
Spalding,
MD.
HE.
Fox,
GR.
Allen,
N.
Davidson,
ZA.
Ferdaa,
M.
Finlayson,
BS.
Halpern,
MA.
Jorge,
A.
Lombana,
SA.
Lourie,
KD.
Martin,
E.
McManus,
J.
Molnar,
CA.
Recchia,
J.
Robertson
(2007)
Marine
ecoregions
of
the
world:
a
bioregionalization
of
coastal
and
shelf
areas.
Bioscience
57
(7):
573583.
Stewart,
BS.
2011.
Workshop
and
Monitoring
Training
for
Whale
Sharks
in
Cendrawasih
Bay
National
Park,
West
Papua
27
May
2011,
Nabire,
Papua.
Hubbs
SeaWorld
Research
Institute
Technical
Report
2011,
375:
1-27.
Sudaryanto,
A.
2001.
Struktur
Komunitas
Makrozoobenthos
dan
Kondisi
Fisiko
Kimiawi
Sedimen
di
Perairan
Donan,
Cilacap
-
Jawa
Tengah.
Jurnal
Teknologi
Lingkungan.
2(2):
119-123.
Sudaryanto,
A.,
S.
Takahashi,
H.
Iwata,
S.
Tanabe,
A.
Ismail.
2004.
Contamination
of
Butyltin
Compounds
in
Malaysian
Marine
Environments.
Environmental
Pollution
130:
347
358.
Sudaryanto,
A.,
S.
Takahashi,
H.
Iwata,
S.
Tanabe,
M.
Muchtar,
H.
Razak.
2005.
Organotin
Residues
and
the
Role
of
Anthropogenic
Tin
Sources
in
the
Coastal
Marine
Environment
of
Indonesia.
Marine
Pollution
Bulletin
50(2):
226-235.
Sudaryanto,
A.,
S.
Takahashi,
S.
Tanabe.
2007.
Persistent
Toxic
Substances
in
the
Environment
of
Indonesia.
Dalam:
Developments
in
Environmental
Science,
7:
587-627.
Sugeha,
HY.,
SR.
Suharti,
S.
Wouthuyzen,
K.
Sumadhiharga.
2008.
Biodiversity,
Distribution
and
Abundance
of
the
Tropical
Anguillid
Eels
in
the
Indonesian
Waters.
Dalam
Mar.Res.Indonesia,
33(2):129137
Suharsono,
2007.
Indonesia.
In:
UNEP,
2007.
National
Report
on
Coral
Reefs
in
the
Coastal
Waters
of
the
South
China
Sea.
UNEP/GEF/SCS
Technical
Publication
No.
11.
Suharsono.
2009.
Overview
of
the
successful
of
coral
reefs
condition
mangement
in
Indonesia.
Paper
presented
at
the
symposium
in
the
World
Ocean
Congress.
Manado,
Indonesia,
2009.
Suhelmi
IR,
A.
Fahrudin,
F.
Yulianda,
INS
Nuitja.
2011.
Pemodelan
Kerentanan
Pesisir
Kota
Semarang
Akibat
Kenaikan
Muka
Air
Laut.
Makalah
Seminar
Pascasarjana
IPB.
Bogor.
Suhendra,
D.
2010.
Profil
Kepulauan
Natuna
Anambas.
Conservation
International.
Jakarta.
Sulistyo
B
and
Triyono.
2009.
Atlas
Kelautan
dan
Atmosfer.
Balai
Riset
Kelautan
dan
Perikanan,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
Stok
Sumber
Daya
Ikan
Demersal
Laut
Dalam
Di
Perairan
Zeei
Samudera
Hindia
Sebelah
Selatan
Jawa
Suman,
Ali
dan
Nurdin,
Erfind.
2012.
Stok
Sumber
Daya
Ikan
Demersal
Laut
Dalam
Di
Perairan
ZEEI
Samudera
Hindia
Sebelah
Selatan
Jawa.
Prosiding
Seminar
Nasional
Perikanan
Tangkap.
Manado,
30-31
Oktober
2012.
143-152
Supangat,
A.,
TR.
Adi,
WS.
Pranowo,
NS.
Ningsih.
2004.
Predicting
Movement
of
the
Warm
Pool,
the
Salinity
Front,
&
the
Convergence
Zone
in
the
Western
&
Central
Part
Equatorial
Pacific
Using
a
Coupled
Hydrodynamical-Ecological
Model.
Proceeding
of
The
Twelfth
OMISAR
Worshop
on
Ocean
Models,
Dalian,
China.
Supriyadi
dan
Wouthuyzen.
2005.
Penilaian
ekonomi
Sumberdaya
Mangrove
di
Teluk
Kotania,
Seram
Barat,
Provinsi
Maluku.
Oseanologi
dan
Limnologi
di
Indonesia.
38:
1-21.
Supriyadi.
2012.
Stok
dan
Neraca
Karbon
Komunitas
Lamun
di
Pulau
Barrang
Lompo
Makassar.
Disertasi.
Institut
Pertanian
Bogor.
Susanto,
RD.,
G.
Fang,
I.
Soesilo,
Q.
Zheng,
F.
Qiao,
Z.
Wei,
B.
Sulistyo.
2010.
New
surveys
of
a
branch
of
the
Indonesian
Throughflow.
Eos
Trans.
AGU
91(30):
261-263.
Susanto,
RD.,
AL.
Gordon,
Q.
Zheng.
2001.
Upwelling
along
the
coasts
of
Java
and
Sumatra
and
its
relation
to
ENSO.
Geophys.
Res.
Lett.,
28:
1599-1602.
SUSCLAM
[Tomini
Bay
Sustainable
Coastal
Livelihoods
and
Management].
2010.
Informasi
Umum
Wilayah
Pesisir
Teluk
Tomini.
http://www.database.teluktomini.org/tampil_info_umum.php
Swennen,
C.,
N.
Guttamadakul,
S.
Ardseungnern,
HR.
Sing,
BP.
Mensink,
CC.
Hellers-Tjabbes.
1997.
Imposex
in
Sublittoral
and
Littoral
Gastropods
from
the
Gulf
of
Thailand
and
Strait
of
Malacca.
Environmental
Technology
18:
1245-1254.
Taley,
LD,
dan
J.
Sprintall.
2005.
Deep
Expression
of
Indonesian
Throughflow:
Indonesian
Intermediate
Water
in
the
South
Equatorial
Current,
Submitted
to
J.
Geophys.
Res.
Revised
March
1,
2005.
Tarigan,
Z.,
Edward,
A.
Rozak.
2003.
Kandungan
Logam
Berat
Pb,
Cd,
Cu,
Zn
dan
Ni
dalam
Air
Laut
dan
Sedimen
di
Muara
Sungai
Memberamo,
Papua
Dalam
Kaitannya
dengan
Kepentingan
Budidaya
Perikanan.
Makara
Sains,
7(3):
119-127.
Tirtakusumah,
R.
1994.
Pengelolaan
Hutan
Mangrove
Jawa
Barat
dan
beberapa
pemikiran
untuk
tindak
lanjut.
Prosiding
Seminar
V
Ekosistem
Mangrove,
Jember,
3
6
Agustus
1994:
143-149.
Tomascik,
T.,
AJ.
Mah,
A.
Nontji,
MK.
Moosa.
(eds.).
1997.
The
Ecology
of
the
Indonesian
Seas.
Part
II.
The
Ecology
of
Indonesia
Series,
Volume
VIII.
Turak
E.
2003.
Coral
Reef
Surveys
During
TNC
SEACMPA
RAP
of
Wakatobi
National
Park,
Southeast
Sulawesi,
Indonesia.
The
Nature
Conservancy
Report.
Turak
E.
2004.
Coral
Biodiversity
and
Reef
Status:
Derawan
REA
2003.
The
Nature
Conservancy
Report.
Turak,
E
and
L.
DeVantier.
2006.
Biodiversity
and
Conservation
priorities
of
reef-building
corals
in
The
Papuan
Birds
Head
Seascape.
Report
to
Conservation
International.
Turak,
E
and
L.
DeVantier.
2008.
Biodiversity
and
Conservation
priorities
of
reef-building
corals
in
North
Halmahera
Morotai.
Report
to
Conservation
International.
Turak,
E
and
L.
DeVantier.
2012.
Biodiversity
and
Conservation
priorities
of
reef-building
corals
in
Anambas
Islands.
Report
to
Conservation
International.
Tubalawony,
2000.
Karakteristik
Fisik-Kimia
dan
Klorofil-a
Laut
Timor.
Disertasi.
Institut
Pertanian
Bogor
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
27
Tahun
2007
Tentang
Pengelolaan
Wilayah
Pesisir
Dan
Pulau-
Pulau
Kecil.
UNEP.
2005.
Sulu-Celebes
(Sulawesi)
Sea,
GIWA
Regional
Assessment
56.
University
of
Kalmar,
Kalmar,
Sweden.
www.giwa.net/publications/r56.phtml.
Uneputty,
P.
dan
SM.
Evans.
1997.
The
Impact
of
Plastic
Debris
on
the
Biota
of
Tidal
Flats
in
Ambon
Bay
(Eastern
Indonesia).
Marine
Environmental
Research
44(3):
233-242.
Van
der
Meij,
SET.
RG.
Moolenbeek,
BW.
Hoeksema.
2009.
Decline
of
the
Jakarta
Bay
Molluscan
Fauna
Linked
to
Human
Impact.
Marine
Pollution
Bulletin
59:
101107.
Veron,
JEN.
2001.
Interpretation
of
the
biogeographic
classification.
Report
to
the
Nature
Conservancy.
Verstappen,
HTH.
2010.
Indonesian
Landforms
and
Plate
Tectonics.
Jurnal
Geologi
Indonesia
5
(3):
197-207.
Wagey,
T.,
A.
Suparman,
WS.
Pranowo,
ARTD.
Kuswardhani,
AA
Hutahaean,
B.
Hendrajana,
G.
Kusumah,
E.
Mustikasari,
H.
Priatno,
H.
Triwibowo,
RN.
Afiati,
RA.
Adi,
S.
Novita.
2004.
Kajian
Daya
Dukung
Lahan
Laut
di
Perairan
Teluk
Bone.
Laporan
Teknis.
Pusat
Riset
Wilayah
Laut
dan
Sumberdaya
Non-Hayati,
Badan
Riset
Kementerian
dan
Kelautan.
Wagey,
T.
and
Z.
Arifin
(Eds).
2008.
Marine
Biodiersity
Review
of
the
Arafura
and
Timor
Seas.
Published
by
the
Ministry
of
Marine
Affair
and
Fisheries
and
Indonesian
Institute
of
Sciences.
UNDL
and
CoML.
Wallace,
CC.,
C.
Richard,
Suharsono.
2001.
Regional
distribtuion
pattern
of
acropora
and
their
use
in
the
conservation
of
coral
reef
in
indonesia.
J.
Pesisir
dan
Lautan.
PKSPL-IPB.
4
(1):
40-58.
Watson,
JEM.,
LN.
Joseph,
AWT.
Watson.
2009.
A
Rapid
Assessment
of
the
Impacts
of
The
Montara
Oil
Leak
on
Birds,
Cetaceans
and
Marine
Reptiles.
Report
Commissioned
by
the
Department
of
the
Environment,
Water,
Heritage
and
theArts
(DEWHA).
Final
version
completed
October
23rd.
Wheeler,
MC.
and
JL.
McBride.
2005.
Australian-Indonesian
Monsoon.
Intraseasonal
Variability
in
the
Atmosphere-Ocean
Climate
System.
W.K.M.
Lau
&
D.E.
Waliser
(eds.)
Praxis.
Springer
Berlin
Heidelberg.
hal
126-173.
White,
WT.,
M.
Fahmi,
M.
Adrim,
K.
Sumadhiharga.
2004.
A
juvenile
megamouth
shark
Megachasma
pelagios
(Lamniformes,
Megachasmidae)
from
Northern
Sumatera,
Indonesia.
Raffles
Bulletin
of
Zoolology,
52(2):
603607.
Wibowo,
A.
and
Supriatna.
2011.
Kerentanan
Lingkungan
Pantai
Kota
Pesisir
di
Indonesia.
Winkel,
L.,
M.
Berg,
C.
Stengel,
T.
Rosenberg.
2008.
Hydrogeological
Survey
Assessing
Arsenic
and
Other
Groundwater
Contaminants
in
the
Lowlands
of
Sumatra,
Indonesia.
Applied
Geochemistry
23,
3019
3028.
Wirasantosa,
S.,
B.
Sulistiyo,
Triyono
(Eds).
2010.
Eksplorasi
Sangihe-Talaud:
Index
SATAL
2010.
Kerjasama
Penelitian
Laut
Dalam
Indonesia-Amerika
Serikat.
Diterbitkan
oleh
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kelautan
dan
Perikanan.
Wiryawan,
B.,
M.
Khazali,
M.
Knight
(eds.).
2005.
Menuju
Kawasan
Konservasi
Laut
Berau,
Kalimantan
Timur.
Status
sumberdaya
pesisir
dan
proses
pengembangannya.
Program
Bersama
Kelautan
Berau
Mitra
Pesisir/CRMP
II
USAID,
WWF
dan
TNC.
Jakarta.
Wouthuyzen,
S.,
TE.
Kuriandewa,
SP.
Ginting,
A.
Fadlal.
2008.
Riset
untuk
penyusunan
rencana
pengelolaan
sumberdaya
lamun
dan
ekosistem
terkait
di
wilayah
pesisir
Bintan
Timur,
Riau
Kepulauan.
Anggaran
Riset
Kompetitif
LIPI.
Wyrtki,
K.
1961.
Physical
Oceanography
of
the
Southeast
Asian
Waters.
NAGA
REPORT
2.
Xue,
H.,
F.
Chai,
N.
Pettigrew,
D.
Xu,
M.
Shi,
and
J.
Xu.
2004.
Kuroshio
intrusion
and
the
circulation
in
the
South
China
Sea,
J.
Geophys.
Res.,
109,
C02017,
doi:10.1029/2002JC001724.
Zamani,
NP.
And
HH.
Madduppa.
2011.
A
Standard
Criteria
for
Assesing
the
Health
of
Coral
Reefs:
Implication
for
Management
and
Conservation.
Journal
of
Indonesia
Coral
Reefs
1(2):
137-146.
D es k r i p s i
P e t a
E k o r e g i o n
L a u t
I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut
k e r jas am a :