Anda di halaman 1dari 230

BUKU II

D es k r i p s i
P e t a
E k o r e g i o n
L a u t
I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut

k e r jas am a :

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP


INDONESIA
KEMENTERIAN ENERGI DAN
SUMBERDAYA MINERAL
Deskripsi Peta Ekoregion Laut

I ND ON ESIA k e r j asama :

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KEMENTERIAN ENERGI DAN


SUMBERDAYA MINERAL




















Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
Pada tahun 2013
Oleh Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup
Jl. D.I. Panjaitan Kav. 24
Kebon Nanas, Jakarta Timur 13410
Telepon/Fax : 021-85904930
Email: ekoregion_indonesia@yahoo.com
Website: www.menlh.go.id

Kutipan yang benar:


Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup,
Deputi Tata Lingkungan. Jakarta. Indonesia.

ISBN: 978-602-8773-10-2

ii

Kata Pengantar
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
atas berkah dan rahmat-Nya penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion
Laut Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Buku ekoregion laut ini
merupakan buku kedua sebagai lanjutan dari buku pertama tentang
ekoregion pulau/kepulauan.

Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia ini disusun untuk


melaksanakan mandat dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5, yang menyatakan
bahwa perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dilaksanakan melalui tahapan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Penetapan
Wilayah Ekoregion, dan penyusunan Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).

Proses penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia ini melibatkan lintas instansi terkait, para pakar
di bidang kelautan baik dari perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat melalui diskusi kelompok,
pertemuan teknis maupun lokakarya. Berbagai perbedaan pendapat dari para pakar, nara sumber atau pihak
lain, pada akhirnya dapat diakomodasi dalam suatu konsensus.

Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada Badan Informasi Geospasial sebagai lembaga pemerintah
yang mempunyai tugas dan fungsi penyelenggaraan informasi geospasial di tingkat nasional yang telah
bekerjasama dan mendukung penuh dalam penyusunan . Tak lupa pula kami sampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada seluruh unsur yang tergabung di dalam Tim Penyusun Peta dan
Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia yang telah dengan penuh dedikasi dan komitmen yang tinggi
menyumbangkan tenaga dan pemikirannya demi terselesaikannya dokumen yang sangat bermanfaat ini.

Sangat dimaklumi bahwa untuk menghasilkan ekoregion laut ini tentunya menghadapi berbagai keterbatasan,
termasuk data dan informasi. Dengan demikian, langkah ke depan, hal utama yang perlu dilengkapi di 18
ekoregion laut adalah kelengkapan data dan informasinya secara terus menerus. Status deskripsi saat ini bisa
dijadikan landasan kerjasama antar pihak untuk melengkapinya dengan berbagai riset, penelitian, atau
pemantauan. Di sinilah sinergi antar pihak akan dibangun secara lebih jelas tema atau fokusnya sesuai dengan
fungsi masing-masing pemangku kepentingan.

Harapan kami semoga buku Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut ini selain digunakan sebagai dasar pertimbangan
dalam penyusunan RPPLH, juga dapat bermanfaat bagi para pihak untuk memperkuat perencanaan dan
penerapan pembangunan secara berkelanjutan.


Jakarta, Mei 2013
Deputi Tata Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup

Imam Hendargo Abu Ismoyo

iii

Pelindung :
Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Lingkungan Hidup
Dr. Asep Karsidi, Kepala Badan Informasi Geospasial

Pengarah :
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA, Kementerian Lingkungan Hidup
Dr. Priyadi Kardono, M.Sc, Badan Informasi Geospasial

Penanggung Jawab :
Ir. Wahyu Indraningsih, Kementerian Lingkungan Hidup
Dr. Nurwadjedi, MSc, Badan Informasi Geospasial

Tim Penyusun:
Kementerian Lingkungan Hidup : Dra. Lien Rosalina, MM, Hendaryanto, ST, M.Si, Endah Tri Kurniawaty, ME, MPA, Farid
Mohammad, M.Sc, Nurmala Eka Putri, S.Sos, MSi,
Badan Informasi Geospasial : Dr. Gatot H. Pramono, Dheny Trie W.S., M.Sc, Yoniar Hufan Ramadhani, S. Kel,
Kementerian Kelautan dan : Dr.-Ing.Widodo Pranowo, Dr. Ifan Ridlo Suhelmi, S.Si, Dr. Dini Purbani,
Perikanan Dr. Hendra Yusran Siry, Ir. Mahdan,

Lembaga Ilmu Pengetahuan : Onny Nurrahman Marwayana, S.Si,


Indonesia (Pusat Penelitian
Oseanografi)
Kementerian Energi Sumber Daya : Ir. Yudi Darlan, M.Sc, Yani Permanawati, ST
Mineral (Pusat Penelitian Geologi
Kelautan )
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi : Dr. Agus Sudaryanto
Perguruan Tinggi : Dr. Malikusworo Hutomo (UI), Dr. Handoko Adi Susanto (IPB), Dr. Etty Riani (IPB)

Conservation International : Ir. M. Khazali


Narasumber:
 Dr. Budi Sulistiyo, Kementerian Kelautan dan Perikanan  Prof. Dr. Bobby Polii, Universitas Sam Ratulangi
 Drs. Adi Rusmanto, MT, Badan Informasi Geospasial  Budi Nugraha, S.Pi, MSi, Kementerian Kelautan dan
 Dr. Zainal Arifi, P20, LIPI Perikanan
 Dra. Nurhayati, M.Sc, Badan Meteorologi Klimatologi dan  Ir. Efrizal, M.Si Universitas Andalas
Geofisika  Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Sc, Universitas Udayana
 Drs. Dwi Santosa, M.Si, Dinas Hidrografi dan Oseanografi,  Dr. Imam Bachtiar, Universitas Mataram
TNI AL  Dr. Ir. Indra Junaidi Zakaria, M.Si, Universitas Andalas
 Evi Lutfiati, S.Si, MM, Badan Meteorologi Klimatologi dan  Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, Universitas Hasanuddin
Geofisika  Prof. Dr. Ir. Janny Kusen, Universitas Sam Ratulangi
 Dr. Rer.nat Agus Setiawan, Kementerian Kelautan dan  Joko Budi Utomo,ST, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Perikanan Geofisika
 Dr. Hamzah Latief, Institut Teknologi Bandung  Lukita, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
 Dr. Akhmad Riqqi, Institut Teknologi Bandung  Dr. Muhammad Lukman, Universitas Hasanuddin
 Ir. Arlius, MS, Ph.D, Universitas Bung Hatta  Ir. Nyoman Suryadiputra, Wetlands International
 Ir. Ambar Retno Wulan, Kementerian Kelautan dan  Patra Rina Dewi, S.Si, Komunitas Siaga Tsunami
Perikanan  Rofi Alhanif,S.Pi, M.Sc, Kementerian Kelautan dan
 Agus Rusli, S.Pi, M.Si, Kementerian Lingkungan Hidup Perikanan
 Beny Bastiawan, S.Komp, M.Sc, Kementerian Lingkungan  Drs. Saroso, M.Si Dinas Hidrografi dan Oseanografi, TNI AL
Hidup  Nusa Mashita, MT
 Dra. Irma Shita Arlyza, M.Si., Pusat Penelitian
OseanografiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Editor : Dr. Hawis Maduppa, S.Pi, M.Si
Desain Grafis dan lay out : Rahmat Nugroho Proboncono, Badan Informasi Geospasial

iv
Ringkasan Eksekutif

Deskripsi Peta Ekoregion Laut

I NDONESIA
P E TA E K O R E G I O N

T
H
A
I
L
A
N
D
SE
LA LAUT CINA SELATAN
T
M
AL
AK
A

M
EL-4

A
L
EL-3 I A

A
S

Y
Y

S
A

I
L

A
A
M

EL-1 S U MATE RA KALI MAN TAN


EL-5
SE
LA
T
KA
RI
M
AT
A

S
A EL-6
M
U LAUT JAWA
D
E
R
A
H JAWA
I N
D
I A
EL-2

0 250
500 1.000 Km

EL-1 Samudera Hindia Barat Sumatera EL-7 Laut Sulawesi


EL-2 Samudera Hindia Selatan Jawa EL-8 Selat Makassar
EL-3 Selat Malaka EL-9 Perairan Bali Dan Nusa Tenggara
EL-4 Laut Natuna EL-10 Teluk Tomini
EL-5 Selat Karimata EL-11 Laut Halmahera
EL-6 Laut Jawa EL-12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
L A U T I N D O N E S I A
FILIPINA

S A
M
EL-7 U
EL-11 D
LAUT SULAWESI E
R
A
LAUT HALMAHERA EL-16 PA
SI
EL-10 FI
LAUT MALUKU K
R
SA
AS
AK
TM

LAUT SERAM EL-14 EL-17


LA

S U LAW E S I
SE

EL-12
EL-8 PA P U A

PAPUA NEW GUINEA


LAUT BANDA

EL-15 LAUT ARU

EL-13
LAUT FLORES EL-18

ST
E LAUT ARAFURA
LE
OR
TIM

LAUT SAWU

EL-9
LAUT TIMOR

A U S T R A L I A

EL-13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Dan Teluk Bone


EL-14 Laut Seram Dan Teluk Bintuni
EL-15 Laut Banda
EL-16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua
EL-17 Teluk Cendrawasih
EL-18 Laut Arafura

Menurut UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ekoregion
merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola
interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion
laut adalah wilayah perairan laut dengan komposisi spesies yang relatif homogen, yang jelas berbeda dari
sistem yang berdekatan (Spalding et al., 2007). Faktor pembeda dalam mendefinisikan ekoregion bervariasi
dari lokasi ke lokasi antara lain tingkat isolasi, upwelling, masukan nutrien, pengaruh air tawar, rezim
suhu, morfostruktur, sedimen, arus, dan kompleksitas batimetri atau tipe pantai.

Secara umum tujuan dari pewilayahan ekoregion laut Indonesia adalah sebagai dasar pertimbangan dalam
penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) agar sesuai dengan karakter
wilayah ekoregion, termasuk karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal. Dengan dasar tersebut, diharapkan dapat dicapai keseimbangan antara
pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam untuk mengoptimalkan produktivitas sumberdaya alam laut
serta dicapai perlindungan lingkungan secara efektif, yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang
berkelanjutan.

Tujuan dari pewilayahan ekoregion laut Indonesia adalah untuk memberikan arah dalam penetapan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang disesuaikan dengan karakter wilayah, sehingga
dapat dicapai keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dalam rangka mengoptimalkan produktivitas
sumberdaya alam laut yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang berkelanjutan. Ekoregion
merupakan salah satu asas dalam implementasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumberdaya alam,
ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.

Penyusunan ekoregion laut melibatkan para pakar lintas keilmuan di bidang kelautan dan perikanan baik dari
kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Proses
penyusunan ekoregion laut meliputi pengumpulan data, penentuan parameter, penyusunan hirarki, sintesis
antar data, delineasi batas ekoregion, diskusi kelompok terfokus, visualisasi kartografis, dan penyusunan
deskripsi. Penyusun tergabung dalam tim kerja yang melakukan kajian literatur, melakukan diskusi kelompok
terfokus, dan mengkompilasi masukan dari para ahli. Masukan dari para ahli kelautan dan perikanan yang
didapat pada saat diskusi kelompok terfokus digunakan untuk memperbaiki parameter dan delineasi ekoregion
laut.

Proses delineasi ekoregion laut dilakukan berdasarkan empat parameter utama yaitu:

1. Morfologi dasar laut: geomorfologi dan batimetri


2. Oseanografi: arus laut, pasang surut, upwelling, suhu, salinitas, derajat keasaman, dan klorofil
3. Keanekaragaman Hayati: mangrove, lamun, terumbu karang dan ikan
4. Batas: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ekoregion laut dunia, Wilayah Pengelolaan
Perikanan, dan toponimi laut

Setelah melalui 12 kali forum diskusi terfokus dan beberapa kali perbaikan, maka tersusunlah 18 ekoregion laut
2
di perairan Indonesia. Ekoregion Teluk Tomini merupakan ekoregion terkecil dengan luas 70.020 km , seangkan
2
ekoregion Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki area terluas (782.861 km ). Setiap ekoregion laut

viii

dideskipsikan dalam enam aspek yaitu geologi dan morfologi dasar laut, oseanografi, keanekaragaman hayati,
pemanfaatan, kerawanan bencana, dan pencemaran.

No Ekoregion Laut Luas [km2]


1 Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera 782.861
2 Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa 655.549
3 Selat Malaka 111.343
4 Laut Natuna 360.402
5 Selat Karimata 270.859
6 Laut Jawa 437.978
7 Laut Sulawesi 323.866
8 Selat Makassar 288.005
9 Perairan Bali dan Nusa Tenggara 625.018
10 Teluk Tomini 70.020
11 Laut Halmahera 451.955
12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi 160.361
13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi 169.160
14 Laut Seram dan Teluk Bintuni 140.040
15 Laut Banda 583.096
16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua 459.857
17 Teluk Cendrawasih 93.369
18 Laut Arafura 326.793

ix
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran

x
Geomorfologi Bencana
Potensi perikanan laut
dalam
Kondisi pemanfaatan :
Udang = over exploited,
kakap merah dan kerapu
= over exploited
kurisi, kuniran, swanggi, Potensi pencemaran oleh kegiatan
Keragaman habitat pesisir bloso dan gulamah = fully rumah tangga,
sirkulasi arus dan massa
laut tinggi. Habitat hiu mulut exploited, pelabuhan,transportasi,
Samudera Hindia air yang terbentuk karena
lebar,dugong atau duyung, layur = moderate, Rawan gempa dan pertanian/perkebunan dan
1 Sebelah Barat Zona subduksi kondisi batimetri yang
penyu hijau, penyu Ikan pelagis kecil spesies tsunami industri, jalur kapal tanker
kontras, yakni oleh palung
Sumatera banyar = over exploited Bahan pencemar : logam berat,
terusan dari Java Trench belimbing, penyu sisik
tuna mata besar = over persistent organic pollutants
Wyrtki Jet dan Coastally buaya muara exploited (POPs), poly aromatic
Trapped Kelvin Waves
Spesies madidihang = hydrocarbon (PAH), Tributyltin
fully exploited (TBT), pestisida.
Spesies cakalang =
moderate
Migas di Pantai Timur Aceh,
wisata bahari di Pulau Weh,
Pulau Simelue, Pulau Nias,
dan Pulau Mentawai.
Potensi perikanan laut
dalam
Kondisi pemanfaatan ikan :
udang, lemuru, tuna mata
besar, tuna sirip biru = Potensi pencemaran oleh kegiatan
over exploited pertanian, rumah tangga dan
sirkulasi arus dan massa air Penyu (pangumbahan,
kerapu merah, kuwe industri
Samudera Hindia yang terbentuk oleh kondisi alas purwo)
madidihang, albakora = Rawan gempa dan berpotensi untuk tercemari oleh
2 Sebelah Selatan Zona subduksi batimetri yang kontras, yakni Mangrove di cilacap
fully exploited tsunami logam berat, PAH dan POPs jika
Gumuk pasir (satu-satunya yang ada
Jawa oleh palung bernama Java layur, layang, cumi-cumi, terjadi tumpahan minyak karena
parangtritis di selatan jawa)
Trench dan cakalang = moderate. merupakan jalur kapal tanker yang
Terumbu karang
deep sea water di membawa minyak mentah ke
endemik samudra hindia
Pelabuhan Ratu industri Pengolahan Minyak
Energi terbarukan dari arus Pertamina di Cilacap.
dan angin
Wisata bahari di di Pantai
Pangandaran dan Pantai
Parang Teritis.
Bagian dari Paparan laut dangkal yang lebih Mangrove karena Potensi migas Potensi pecemaran oleh kegiatan
3 Selat Malaka Relatif aman dari
Sunda bersifat sebagai pesisir sungai besar bermuara Jalur pelayaran rumah tangga,
tsunami
karena sangat dipengaruhi di selat malaka internasional pertanian/perkebunan dan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
oleh sifat daratan, yakni oleh Burung-burung air Kondisi pemanfaatan ikan : industri; maupun yang berasal dari
banyaknya sungai yang migrasi udang, ikan kurau laut seperti perkapalan,
bermuara di ekoregion Keragaman spesies ,manyung, kakap banyar transportasi laut dan kegiatan
tersebut lamun yang tinggi di ,kembung = over migas.
Kepulauan Riau exploited Bahan pencemar yang berpotensi
kurisi ,kuniran, swanggi, untuk mencemari adalah bahan
gulamah, layang = fully organik dan bahan anorganik.
exploited terdapat 4 (empat) titik sumber
golok-golok, dan cakalang pencemar yang berasal dari
= moderate kegiatan migas
Pariwisata bahari (P.Bintan) Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
394.418 m3
Potensi pencemaran oleh kegiatan
dipengaruhi oleh angin
migas, lalu lintas kapal tanker dan
Monsun dan massa air
Potensi Migas pelayaran internasional
dari Laut China Selatan
Tempat peneluran penyu Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman dari potensi bahan pencemar yang
fenomena fisik arus unik
sisik dan penyu hijau udang, kurau = over tsunami mungkin mencemari ekoregion ini
yang bernama Natuna-
Bagian dari Paparan Terumbu karang exploited Ancaman utama adalah bahan organik dan
4 Laut Natuna Off-Shelf-Current dan
Sunda manyun,g banya, kembung, adalah anorganik, terutama PAHs, POPs
arus eddy (arus memutar) keragaman tinggi untuk di
layang = fully exploited perubahan iklim dan logam berat.
yang membawa nutrien Indonesia Barat
cumi-cumi = moderate dan kenaikan terdapat 3 (tiga) titik izin
dari pesisir pantai
muka air laut pembuangan limbah ke laut dari
terdekat ke arah laut
(sea level rise). KLH berasal dari kegiatan migas,
sehingga ekoregion ini
Jumlah total volume limbah yang
adalah sangat kaya akan
masuk ke ekoregion ini adalah
ikan.
114.957 m3
Potensi pencemaran oleh kegiatan
kondisi oseanografi yang rumah tangga, pelabuhan,
potensi timah
sangat dipengaruhi oleh Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman dari transportasi,
pasang surut bertipe diurnal, Hutan mangrove kondisi pelagis kecil = over dan fully tsunami pertanian/perkebunan, aktivitas
Bagian dari Paparan yang secara geografis unik relativ baik di pesisir exploited Ancaman utama perkotaan, pertambangan, migas,
5 Selat Karimata Sumatera Selatan dan adalah dan lalu lintas kapal internasional
Sunda karena diapit oleh tipe Pariwisata bahari
Kalimantan Barat perubahan iklim Terdapat 1 (satu titik ) izin
campuran cenderung diurnal BMKT (Benda Muatan Asal
Tempat peneluran penyu dan kenaikan pembuangan limbah ke laut dari
di Laut Jawa dan Laut Kapal Tenggelam)
sisik di pulau tambelan muka air laut KLH berasal dari kegiatan migas
Natuna (sea level Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
24.742 m3
Keanekaragaman hayati Kondisi pemanfaatan ikan : Relatif aman Potensi pencemaran oleh dari
laut dangkal yang kondisi dan endemisitas rendah Udang , kerapu, kakap dari tsunami kegiatan rumah
Paparan sunda yang oseanografinya sangat Ekosistem mangrove merah Abrasi di pantai tangga,pelabuhan,transportasi,
6 Laut Jawa
dangkal dipengaruhi oleh pasang yang kondisinya baik di banyar,kembung,ikan intens pertambangan,pertanian/perkebu
surut bertipe campuran pesisir pantai Kalimantan terbang, layang = over Potensi letusan nan, perkotaan dan berbagai jenis

xi
cenderung diurnal di Laut Selatan. exploited, gunung api di industri
Spesies langka Ikan Hiu Bloso, uniran = fully selat sunda terdapat 16 (enam belas) titik izin
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Jawa, dan juga monsun air tawar, dugong. exploited), pembuangan limbah ke laut dari

xii
Kurisi, swanggi = KLH yang berasal dari kegiatan
moderate. energi dan migas, serta 1 titik izin
BMKT (Perairan Terawang, pembuangan limbah ke laut dari
Jepara, Cirebon), Sumsel, KLH dari kegiatan industri kimia
L.Jawa, Kep.Seribu. Jumlah total volume limbah yang
masuk ke ekoregion ini adalah
115.071.199 m3

Zona subduksi
memiliki satu
cekungan terdapatnya perairan basin
(Cekungan dalam (lebih dari 6.000 Kondisi pemanfaatan ikan : Potensi pencemaran oleh
Karang di Berau dan
Sulawesi) dan tiga meter) yang dibatasi di manyung kakap kerapu dan kegiatan rumah tangga, industri
Bunaken,
7 Laut Sulawesi parit (Parit bagian Timur oleh kuwe layang cakalang = lokal, akuakultur, timber,
penyu hijau terbesar di Rawan
Makassar Utara, moderate. pariwisata, tambang batubara dan
Kepulauan Sangihe Talaud Asia Tenggara di Berau Tsunami
Parit Sulawesi dan tuna mata besa = over perkapalan.
Parit Selat yang terbentuk dari aktivitas Ikan purba Latimeria
exploited, Abrasi pantai di kepulauan
Makassar). tektonik Manadoensis
madidihang = fully exploited Sangihe Talaud
Gunung Berapi
Raksasa Bawah
Laut
sesar Palikoro yang
berarah Tenggara- Kondisi pemanfaatan ikan
Baratlaut dan adalah :
udang = over exploited, pencemaran yang berasal dari
terkenal sangat aktif
terdapatnya kondisi batimetri kerapu kakap merah = kegiatan rumah tangga,
sehingga seringkali
moderate. pelabuhan, perkebunan, aktivitas
menimbulkan yang dalam yang terhubung rawan terhadap
ikan terbang , madidihang perkotaan dan industri
gempa-gempa dengan basin Terumbu karang tsunami di
Terdapat lima titik izin
tektonik Sulawesi/Sangihe Talaud di Spermonde dan = over exploited. pantai bagian
8 Selat Makassar spesies tuna mata besar = pembuangan limbah ke laut dari
memiliki tiga Kapoposang barat yang
bagian Utara, yang kegiatan migas dan satu titik
cekungan Ikan terbang fully exploited, berhadapan
kemudian menyempit di cakalang = moderate. pembuangan limbah daeri
(Cekungan Makasar Mangrove di bagian timur dengan
Kanal Labani membentuk kegiatan pertambangan yang
Utara, Cekungan kalimantan wisata bahari di Taka Bone Kalimantan
leher botol dikeluarkan oleh KLH
Makasar Selatan, Rate, serta air mineral laut Timur.
Jumlah total volume limbah yang
dan Cekungan dalam (deep sea water) di
Makassar masuk ke ekoregion ini adalah
Spermonde) dan
6.539.449 m3
satu dataran
(Dataran Doang
Supermonde).
Zona subduksi terdapatnya beberapa pintu Daerah penting Paus (14 Wisata bahari Rawan tsunami pencemaran yang berasal dari
Perairan Bali dan Terdapat enam jenis paus) Kondisi pemanfaaan ikan potensi bahaya kegiatan pertanian, rumah
9 keluar bagi Arus Lintas
Nusa Tenggara cekungan Terumbu karang tinggi udang sudah letusan dari tangga, pariwisata dan
Indonesia (Indonesian
(Cekungan Bali, Taman nasional dan dimanfaatkan melebihi gunung api pertambangan Pencemaran
Through-Flow) seperti Selat limbah domestik (Bali, Lombok,
Cekungan Flores, kawasan konservasi kapasitas (over exploited), bawah laut yang
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Lombok, Lombok, Selat Ombai dan perairan paling luas Ikan demersal seperti masih aktif, Timor)
Cekungan Sumba, terusan Timor spesies kerapu yaitu Baruna Berdasarkan izin pembuangan
Cekungan Sawu, (Cephalophodis boenack) Komba, Anak limbah ke laut di wilayah ini,
dan Cekungan dan kuwe (Caranx Komba, dan Ibu terdapat satu titik sumber
Wetar) dan satu sexfasciatus yang sudah Komba. pencemar yang berasal dari
parit (Parit Lombok). fully exploited, kegiatan pertambangan yang
spesies layur (Trichiurus berlokasi di Kabupaten Sumbawa
spp) masih taraf Barat dan menghasilkan limbah
moderate. dengan volume sebesar 36.750
Ikan pelagis kecil seperti m3/hari (KLH, 2009b).
spesies lemuru (Sardinella
lemuru) sudah over
exploited,
spesies layang
Decapterus kuroides
masih taraf moderate.
Tingkat pemanfaatan ikan
pelagis besar seperti tuna
mata besar (Thunnus
obesus) dan tuna sirip biru
(Thunnus maccoyii) sudah
over exploited,
spesies madidihang
(Thunnus albacares) dan
albakora (Thunnus
alalunga) sudah fully
exploited,
dan spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate.
Untuk cumi-cumi masih
(Loligo spp) dimanfaatkan
dalam taraf normal
(moderate).

Zona subduksi Kondisi pemanfaatan ikan


Pembangunan di kawasan
: udang sudah over
teluk yang besar dengan pesisir pantai
exploited, ikan demersal
memiliki dua cekungan kedalaman yang beragam, Eksploitasi terumbu karang
Biodiversitas endimik seperti spesies kerapu Gunung api
10 Teluk Tomini yaitu Cekungan dan dibagian tengah teluk Ekploitasi perikanan tidak ramah
(karang, ikan) (Cephalophodis boenack) Tsunami lingkungan
Gorontalo dan satu terdapat aktivitas hidrotermal Potensi pemijahan dan kakap merah
Sedimentasi besar karena
cekungan yang tidak bawah laut ikan sidat (Lutjanus bitaeniatus dan
ekploitasi sumber daya hutan
bernama ( Lutjanus malabaricus)
diwilayah hulu
sudah fully exploited. Ikan

xiii
pelagis kecil seperti
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
spesies ikan terbang

xiv
(Hirundichthys
oxycephalus) dan layang
(Decapterus kuroides)
sudah fully exploited, dan
spesies layang
(Decapterus macarellus)
masih moderate. Tingkat
pemanfaatan Ikan pelagis
besar seperti spesies tuna
mata besar (Thunnus
obesus) sudah over
exploited, spesies
madidihang (Thunnus
albacares) sudah fully
exploited dan spesies
cakalang (Katsuwonus
pelamis) masih taraf
moderate.
Wisata bahanri Pulau
Togean
Kondisi pemanfaatan ikan :
Pemanfaatan
sumberdaya perikanan
Zona subduksi
di WPP 715 seperti
sebelah barat
udang sudah over
lima cekungan
exploited, ikan demersal
(Cekungan
spesies kerapu
Morotai,
(Cephalophodis
Cekungan Biodiversitas endemic Sumber pencemar utama adalah
boenack) dan kakap
Khaterina, di selat lembeh (Pigmy dari kegiatan rumah tangga dan
merah (Lutjanus
Cekungan struktur Kepulauan sea horse) industri pertambangan, terutama
bitaeniatus dan Lutjanus
Taliabu, Halmahera yang dapat Padang lamun luas di pertambangan emas. Namun di
11 Laut Halmahera malabaricus) sudah fully Gempa dan tsunami
Cekungan menimbulkan Halmahera selat Lembeh lokasi tersebut juga terdapat
exploited. Kondisi di
Mangale dan Kelompok Hiu Paus kegiatan lainnya yakni kegiatan
Eddy WPP 716 ikan demersal
Cekungan Datan), pertanian/perkebunan dan
musiman di Teluk Kao spesies manyung
dua plato (Plato kegiatan perikanan tangkap.
Terumbu karang (Ariidae spp), kerapu
Morotai Timur, Blooming algae di Teluk Kao
(Cephalophodis
dan Plato setiap tahun
boenack) dan kakap
Waigea), dan tiga
merah (Lutjanus
parit (Parit
bitaeniatus dan Lutjanus
Sangihe, Parit
malabaricus), kuwe
Ternate, dan Parit
(Caranx sexfasciatus)
Utara Morotai).
masih taraf moderate.
Ikan pelagis kecil di
WPP 715 jenis ikan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
terbang (Hirundichthys
oxycephalus) dan
layang (Decapterus
kuroides) sudah fully
exploited sedangkan
layang spesies
Decapterus macarellus
masih moderate. Ikan
pelagis kecil di WPP 716
antara lain layang
(Decapterus kuroides
dan Decapterus
macarellus)masih
moderate. Ikan pelagis
besar di WPP 715
spesies tuna mata besar
(Thunnus obesus)
sudah over exploited,
spesies madidihang
(Thunnus albacares)
sudah fully exploited dan
spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih moderate. Ikan
pelagis besar di WPP
716 antara lain spesies
tuna mata besar
(Thunnus obesus)
sudah over exploited,
madidihang (Thunnus
albacares) (Katsuwonus
pelamis) sudah fully
exploited dan cakalang
masih moderate.
Migas di Halmahera
timur, Pertambangan di
pulau pulau kecil (nikel)
BMKT di perairan tidore
Potensi energy
terbarukan (arus) selat
Talibo dan Manguale
Zona subduksi struktur batimetri yang Ikan pelagis kecil spesies Potensi pencemaran dari
Laut Banda
memiliki lima menyebabkan Arus Lintas Biodiversitas endemic layang (Decapterus macarellus Gempa dan kegiatan pemukiman, industri,
12 Sebelah Timur
cekungan Indonesia melewati (Banggai Cardinal fish) dan Decapterus macrosoma) Tsunami pertambangan
Sulawesi
(Cekungan Banggai, ekoregion ini melalui salah Terumbu karang baik kondisi sudah fully exploited Racun ikan (potassium)

xv
Cekungan Sula, satu pintu masuk (inlet) hingga taraf moderate. Ikan Pengeboman ikan
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Buru bernama Terusan pelagis besar seperti spesies

xvi
Utara, Cekungan Lifamatola, massa air ke cakalang (Katsuwonus pelamis)
Seram, dan Laut Banda dari Samudra masih taraf moderate, spesies
Cekungan Wahai), Pasifik tuna mata besar (Thunnus
satu dataran
obesus) sudah over exploited,
(Dataran Banggai
Sula), satu paparan spesies madidihang sudah fully
(Paparan Sula), dua exploited, dan cumi-cumi (Loligo
punggungan spp) masih taraf moderate.
(Punggungan
Tampomas), serta
dua parit (Parit Tala,
dan Parit Buton).

Kondisi pemanfaatan
ikan
Ikan pelagis kecil
spesies layang
(Decapterus
macarellus dan
Decapterus
macrosoma) kondisi
memiliki empat sudah fully exploited
cekungan yaitu Keanekaragaman Hayati hingga taraf
Cekungan Bone, massa air Samudera Pasifik Terumbu Karang moderate. Ikan Potensi pencemaran berasaldari
Laut Banda Cekungan Buton, tinggi pelagis besar seperti rumah tangga, pertanian, dan
yang dibawa oleh Arus Relatif aman
13 Sebelah Selatan Cekungan Banda Wakatobi (atoll spesies cakalang perkebunan, pertambangan nikel
Lintas Indonesia menuju terhadap tsunami
Sulawesi Selatan, dan terpanjang di dunia) (Katsuwonus pelamis) Ilegal Fishing
Cekungan Tukang pusat Laut Banda
Takabonerate (atol masih taraf moderate, Racun ikan (potassium)
Besi. terluas ketiga di spesies tuna mata Pengeboman ikan
dunia) besar (Thunnus
obesus) sudah over
exploited,spesies
madidihang sudah
fully exploited, dan
cumi-cumi (Loligo
spp) masih taraf
moderate.
Pariwisata (wakatobi,
Takabonerate)
Tipe pasut di ekoregion Laut Keanekaragaman Kondisi pemanfaatan ikan Potensi pencemaran dari
Zona subduksi
Laut Seram dan Seram dan Teluk Bintuni ini hayati Terumbu ; Udang sudah over Rawan Gempa dan berbagai kegiatan baik di darat
14 2 cekungan, yaitu
Teluk Bintuni adalah campuran cenderung karang di Raja exploited, Tsunami maupun di Teluk Bintuni seperti,
: Cekungan
semidiurnal. Ampat=tertinggi di Ikan demersal: Spesies eksplorasi dan produksi minyak
Salawati, dan dunia kerapu (Cephalophodis dan gas bumi, industri kayu lapis
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
Cekungan Berau; Mangrove yang luas boenack) dan kakap serta perikanan (Brotoisworo,
1 paparan, yaitu di T.Bintuni kawasan merah (Lutjanus 1991). Berbagai industri migas
Paparan Sayang; bitaeniatus dan Lutjanus dan timber telah dilaporkan
1 plato, yaitu malabaricus) sudah fully beroperasi di Teluk Bintuni
exploited, semenjak sebelum 1987. Lebih
Plato Wagea; dan
Ikan pelagis kecil: Spesies lanjut, berdasarkan data izin
1 dataran yaitu ikan terbang pembuangan limbah ke laut (KLH,
Dataran Wagea. (Hirundichthys 2009b) terdapat 7 (tujuh) titik
oxycephalus) dan layang sumber pencemar yang berasal
(Decapterus kuroides) dari kegiatan migas, yang
sudah fully exploited berlokasi di Kabupaten Sorong
sedangkan layang spesies dan Kabupaten Teluk Bintuni
(Decapterus macarellus) Jumlah total volume limbah yang
masih taraf moderate. masuk ke ekoregion ini adalah
Ikan pelagis besar: 304.433 m3
Spesies tuna mata besar
(Thunnus obesus) sudah
over exploited,
Spesies madidihang
(Thunnus albacares)
sudah fully exploited dan
Spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate.
Potensi migas (T.Bintuni
Nikel (P.Gebe, Waigeo)
Demersal=moderate,
pelagis kecil=moderate,
pelagis besar (mata
besar)=over
habitat terumbu Kondisi pemanfaatan ikan:
Struktur batimetri tersebut
karang unik, perairan Ikan pelagis kecil
menyebabkan terjadinya spesies layang berasal dari kegiatan rumah
percampuran massa air yang laut dalam dan air
(Decapterus macarellus tangga dan aktivitas perkapalan
Zona subduksi yang jernih, yang
mentransformasi dan Decapterus ijin pembuangan limbah (KLH,
memiliki struktur tidak terdapat di
karakteristik massa air macrosoma) kondisi 2009c), disebutkan bahwa pada
geologi berupa perairan lain di
Samudera Pasifik yang sudah fully exploited Gempa dan wilayah ini terdapat potensi
Indonesia. Pulau-
15 Laut Banda Busur Banda hingga taraf moderate. pencemaran yang berasal dari
dibawa oleh Arus Lintas pulau karang kecil di Tsunami
(Banda Arc). Ikan pelagis besar : kegiatan migas.
Indonesia menjadi Banda Busur Banda Luar
Spesies cakalang Jumlah total volume limbah yang
Sea Intermediate Water dan Busur Banda
Besar merupakan (Katsuwonus pelamis) masuk ke ekoregion ini adalah
(BSIW) atau dikenal juga masih taraf moderate 5.102 m3
karakteristik habitat di
sebagai Indonesian ekoregion ini. Spesies tuna mata besar
Intermediate Water (IIW). (Thunnus obesus) sudah
over exploited

xvii
Spesies madidihang
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
(Thunnus albacares)

xviii
sudah fully exploited
Spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis)
masih taraf moderate
Cumi-cumi juga (Loligo
spp) masih taraf
moderate.
Potensi sumberdaya
yang tidak terbarukan
adalah migas yang
terdapat di Seram Timur.
Kondisi pemanfaatan ikan :
Udang sudah over
exploited. pencemaran Ekoregion Laut 16
Ikan demersal masih taraf dapat berasal dari Provinsi
Zona subduksi moderate namun spesies Papua Barat (Kabupaten
memiliki satu lokasi peneluran utama tidak diketahui. Sorong dan Kabupaten
fenomena arus Halmahera
cekungan, dan terbesar untuk Ikan pelagis kecil juga Manowari) dan Provinsi Papua
Eddy, yang terbentuk akibat masih taraf (Kabupaten Sarmi, Kabupaten
Samudera Pasifik yaitu: spesies penyu belimbing
struktur batimetri dan moderatenamun spesies Gempa dan Jayapura, dan Kabupaten
16 Sebelah Utara Cekungan Ayu; (Dermochelys coreacea)
topografi Papua Utara tidak diketahui. Tsunami Keerom).
Papua dan satu parit, di dunia.
hingga Kepulauan Ikan pelagis besar antara pertanian transportasi perairan
yaitu Parit Ayu. terdapat enam jenis lain spesies madidihang laut penebangan hutan,
Halmahera
kima dari delapan jenis (Thunnus albacares), tuna pertambangan dan operasi
kima di dunia, mata besar (Thunnus pengolahan minyak bumi
obesus) sudah over Ilegal Fishing
exploited sedangkan Racun ikan (potassium)
spesies cakalang masih Pengeboman ikan
taraf moderate.

Kondisi pemanfaatan ikan :


Udang sudah over
exploited.
Terdapat cetasean Ikan demersal masih
Zona subduksi massa airnya sangat Hiu paus menjadikan taraf moderate namun
dipengaruhi oleh massa air Teluk Cenderawasih spesies tidak diketahui. Potensi pencemar dari kegiatan
Teluk sebagai habitatnya. Hiu Ikan pelagis kecil juga pertanian, rumah tangga dan
17 memiliki satu Samudera Pasifik Barat Gempa
Cendrawasih Paus ini menjadi ikon masih taraf moderate kehutanan
cekungan, yaitu: dengan kecerahan yang
bagi wilayah ini. namunspesies tidak
Cekungan Waropen. tinggi (lebih dari 30 meter) diketahui.
Merupakan habitat Hiu
Paus (merupakan Ikan pelagis besar
spesies endemik) antara lain spesies
madidihang (Thunnus
albacares) dan tuna
mata besar (Thunnus
Geologi dan Kerawanan
No Ekoregion Laut Oseanografi Keanekaragaman Hayati Pemanfaatan Pencemaran
Geomorfologi Bencana
obesus) sudah over
exploited sedangkan
spesies cakalang masih
taraf moderate.
Jasa lingkungan: wisata
bahari
(T.Cenderawasih)
Kondisi pemanfaatan ikan :
Udang sudah fully
exploited.
Ikan demersal:
Spesies manyung (Arius
thalassinus), kurisi
(Nemimterus spp), kuniran
Mangrove (Upeneus sulphureus),
paling luas swanggi (Priacanthus
(Selatan tayenus), bloso (Saurida
terbentuk akibat Papua) tumbil), gulamah (Nibea
tumbukan antara Terdapat buaya albiflora) dan kakap merah
lempeng benua muara dan (Lutjanus bitaeniatus dan
cetasean Lutjanus malabaricus)
Australia yang
laut dangkal yang Populasi sudah over exploited.
bergerak ke arah utara Spesies ikan lidah
dipengaruhi oleh pesisir dugong paling
dan lempeng (Cynoglossus spp, Ilegal Fishing
18 Laut Arafura Papua Barat dan juga besar di L.Aru
Samudera Pasifik yang Pleuronectus spp) sudah Racun ikan (potassium)
Samudera Pasifik dari arah Populasi
bergerak ke arah barat padang lamun
fully exploited. Pengeboman ikan
Selat Torres Ikan pelagis kecil masih
memiliki satu paparan, di L.Aru
yaitu Paparan Sahul. taraf normal (moderate)
Tempat
namun spesies tidak
peneluran dan
diketahui.
mencari makan
Pemanfaatan lain di
penyu hijau
Ekoregion Laut 18 adalah
(L.Aru)
budidaya mutiara untuk
perhiasan serta migas
yang terdapat di sekitar
Laut Arafura.
Wilayah penangkapan
udang terbesar (L.Arafura)
Demersal=full exploited,
pelagis kecil=moderate,
pelagis besar=over

xvii
Potensi migas

Daftar Istilah Dan Singkatan

Daftar Istilah
Aliran genetik Merupakan transfer alel gen dari satu populasi ke populasi lainnya (juga dikenal
sebagai migrasi gen). Migrasi ke dalam atau keluar suatu populasi dapat
bertanggungjawab terhadap perubahan frekuensi alel (proporsi anggota yang
membawa varian gen tertentu). Imigrasi juga dapat menyebabkan penambahan
varian genetika baru ke dalam lungkang gen spesies atau populasi tertentu yang
telah ada.
Anemon Hewan dari tingkat takson Kelas Anthozoa yang sekilas terlihat seperti tumbuhan,
tapi jika diamati lebih jauh, anemon laut merupakan jenis hewan. Bentuk tubuh
anemon seperti bunga, sehingga juga disebut mawar laut.
Appendiks 1 Lampiran 1 dari dokumen CITES ( Convention on International Trade in
Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) yang menunjukkan tingkat
keterancaman tinggi bagi satu spesies. Konvensi ini merupakan upaya
internasional melindungi spesies terancam punah melalui regulasi perdagangan
individu spesies maupun bagian-bagiaannya. Konvensi mempunyai tiga apendiks
yang memperlihatkan tingkat keterancaman spesies menuju kepunahan.
Api-api Nama sekelompok tumbuhan bagian dari komunitas hutan mangrove, dari marga
Avicennia, suku Acanthaceae. Api-api memiliki beberapa ciri yang merupakan
bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram di antaranya
adalah akar napas serupa paku yang panjang dan rapat. Daun-daun dengan
kelenjar garam di permukaan bawahnya. Biji api-api berkecambah tatkala
buahnya belum gugur, masih melekat di rantingnya. Nama lain api-api di
beberapa daerah di Indonesia di antaranya adalah mangi-mangi, sia-sia, boak,
koak, marahu, pejapi, papi, nyapi dan lain-lain.
Atol Terumbu karang di tengah samudera yang terbentuk karena penurunan dasar
pulau dan/atau kenaikan muka laut. Atol sering juga dinamakan terumbu karang
cincin karena rangkaian pulau-pulau yang terbentuk dapat berupa bulatan yang
di tengahnya ada goba (lagoon) yang dalam.
Bahan Berbahaya dan Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara
Beracun (B3) langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya
Bakau Sekelompok tumbuhan dari genus Rhizophora, famili Rhizophoraceae. Tumbuhan
ini memiliki ciri-ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu,
pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang
berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga
memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang, tinjang, bangko, kawoka,
wako, jangkar dan lain-lain.
Bentang laut Lokasi atau wilayah laut yang mencerminkan karakteristik interaksi alam dan
manusia. Bentang laut (seascape) bukan sekedar pemandangan dengan berbagai
atribut fisiknya, tetapi tampilan visual berupa permukaan yang terlihat tersebut
merupakan cerminan interaksi manusia dan alam yang kompleks dari waktu ke
waktu. Atribut fisik dapat berupa pemandangan, kondisi alam dan warisan
sejarah dengan nilai-nilai sosial dan ekonominya.
Billfish Kelompok ikan yang termasuk ikan yang hidup di laut lepas (samudera) termasuk
dalam Famili Istiophoridae dan Xiphiidae. Ada 3 spesies ikan kelompok ini: Ikan

xxi

Setuhuk Loreng (Tetrapturus audax), Ikan layar (Istiphorus orientalis) dan Ikan
Todak (Xiphias gladius).
Biota asosiasi Merupakan kelompok biota yang memiliki hubungan yang erat dan berinteraksi
dengan hewan/tumbuhan inangnya maupun lingkungannya.
Blooming plankton Meningkatnya jumlah konsentrasi phytoplankton secara berlebihan di suatu
perairan disebabkan oleh meningkatnya konsentarsi zat hara di perairan.
BOD (Biological Oxygen Salah satu parameter ukuran tingkat pencemar organik yang diukur dan
Demand) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik
secara biologi di dalam air dalam satuan mg O 2/l.
Burung Air Pesisir Merupakan burung yang telah beradaptasi dengan kehidupan lingkungan pesisir.
Secara umum, burung laut hidup lebih lama, lebih lambat berkembang biak, dan
memiliki jumlah anak lebih sedikit dibanding jenis burung lain. Kebanyakan
spesies membuat sarang dalam koloni mereka. Beberapa koloni ada yang hanya
terdiri dari belasan burung, namun ada juga yang sampai jutaan burung. Banyak
spesies yang melakukan migrasi tahunan.
Cekungan Merupakan cekungan di dasar laut yang bentuknya sama dengan danau di
daratan.
Cetacea(n) Kelompok mamalia laut Ordo Cetacea yang anggotanya paus dan lumba-lumba.
Kedua kelompok hewan ini melahirkan dan menyusui anaknya.
Citra (satelit) Kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk menciptakan suatu imitasi
dari suatu obyekbiasanya obyek fisik atau manusia. Citra bisa berwujud gambar
(picture) dua dimensi, seperti lukisan, foto, dan berwujud tiga dimensi, seperti
patung.
COD (Chemical Oxygen Salah satu parameter pencemar organic yang biasa diukur dan menunjukkan
Demand) jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organic di
3
dalam air dalam satuan mg/l atau g/m .
Coelacanth (ikan) Nama ordo (bangsa) ikan yang diperkirakan sudah punah sejak akhir masa
Cretaceous 65 juta tahun yang lalu dan ditemukan kembali untuk pertama kali di
perairan Pulau Komoro, Afrika Timur pada tahun 1938. Ikan tersebut diberi nama
ilmiah Latimeria chalumnae. Kemudian pada tahun 1998 ditemukan ikan sejenis
di Pulau Manado Tua , Sulawesi Utara dan diberi nama ilmiah Latimeria
menadoensis. Spesies ini oleh masyarakat dinamakan ikan raja laut.
Cryptic spesies Spesies hewan laut yang sulit dilihat karena tinggal di celah-celah karang.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-
anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 26 tahun 2007
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional).
Dampak besar Terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan
intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Dataran abisal Adalah dasar laut yang luas setelah tebing benua, dan mengarah ke laut lepas,
merupakan bagian dari paparan benua, dengan kenampakan topografi yang
sangat datar, dan kemungkinan kawasan ini merupakan tempat yang paling datar
pada permukaan bumi. Topografi yang datar ini kadang-kadang di selingi dengan
puncak-puncak gunung bawah laut yang tertimbun.
DDE Senyawa turunan dari DDT akibat proses degradasi di lingkungan dan makhluk
hidup. DDE bersifat sangat bioakumulatif dan persisten sehingga merupakan
salah satu senyawa POPs yang paling sering ditemukan di jaringan tubuh makhluk
hidup, bersifat karsinogen dan dilaporkan sebagai salah satu bahan pencemar
yang bertanggung jawab dalam penurunan populasi burung.
DDT Bahan kimia organik anthropogenik yang telah digunakan sebagai pestisida dalam

xxii

pertanian maupun untuk membasmi vector nyamuk dalam penanggulangan


penyakit malaria. Bahan kimia ini adalah karsinogenik dan digolongkan dalam
kelompok senyawa POPs.
DO (Dissolved Oxygen) Jumlah oksigen yang terlarut di dalam air.
Duyung Atau dugong (Dugong dugon) adalah sejenis mamalia laut yang merupakan salah
satu anggota kelompok Sirenia atau sapi laut yang masih bertahan hidup selain
manatee. Duyung bukanlah ikan karena menyusui anaknya dan masih merupakan
kerabat evolusi dari gajah. Duyung atau dugong adalah satu-satunya mamalia
laut herbivora yang makan lamun. Duyung bisa mencapai usia hingga 70 tahun
atau lebih, serta dengan angka kelahiran yang rendah yang mengancam
populasinya karena ekploitasi dan kegiatan manusia lainnya.
Ekoregion Wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna
asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup.
Elver Stadium tingkat kedewasaan ikan sidat dalam daur hidupnya yang dimulai dari
telur, menetas menjadi larva leptocephalus, kemudian berkembang menjadi
glass eel dan ikan muda yang disebut elver. Elver berkembang menjadi fase
kuning (yellow eel), fase perak (silver dan sidat dewasa yang akan kembali ke laut
untuk memijah.
EN (endangered) Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen
CITES.
Erosi Peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya)
akibat gerakan/aliran angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan
material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal
hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi.
Eksklusif Khusus, spesial, terpisah dari yang lain.
Ekstensif Menjangkau secara luas.
Encrusting Berbentuk seperti tatahan.
Endemik Keberadaan hewan dan tumbuhan yang terbatas pada suatu lokasi atau wilayah.
Endemisitas Sifat keberadaan hewan dan tumhuhan yang terbatas pada suatu lokasi atau
wilayah.
Evolusi Perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang
menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan
suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika
organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru.
Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer
gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara
seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang
dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-
perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu
populasi.
Feeding trail Jejak jalur makan dugong yang memanjang di antara vegetasi lamun.
Fekunditas Produktivitas reproduksi hewan (darat atau laut) yang ditentukan jumlah telur
yang dilepaskan saat sekali memijah (ikan) atau spesies hewan laut lain yang
dinyatakan dalam jumlah anak yang dilahirkan saat sekali melahirkan.
Fenotif (fenotipe) Suatu karakteristik gen yang dapat diamati dari ciri morfologi atau kenampakan
suatu organisme dimana karakteristik ini juga diatur oleh karakter genotipe dan
lingkungan serta interaksi keduanya.
Foliose (Bentuknya) menyerupai daun.
Gas Rumah Kaca (GRK) Gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas

xxiii

tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi juga dapat ditimbulkan oleh
akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Sedangkan
gas rumah kaca yang terbesar kedua adalah karbondioksida yang timbul dari
proses alami seperti letusan gunung api, hasil pernapasan makhluk hidup,
pembakaran bahan organic, dsb. Beberapa gas rumah kaca lainnya diantaranya
adalah metan, nitrogen oksida, dsb.
Gempa Peristiwa alam berupa getaran atau gerakan bergelombang pada kulit bumi yg
ditimbulkan oleh tenaga asal dalam.
Genetic Drift Perubahan frekuensi alel dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang terjadi
karena alel pada suatu keturunan merupakan sampel acak (random sample) dari
orang tuanya; selain itu juga terjadi karena peranan probabilitas dalam
penentuan apakah suatu individu akan bertahan hidup dan bereproduksi atau
tidak.
Genotip (genotipe) Istilah yang dipakai untuk menyatakan keadaan genetik dari suatu individu atau
sekumpulan individu populasi.
Gorgonian Merupakan jenis lamun yang berbentuk seperti kipas, memiliki nama lokal yaitu
Akar Bahar.
Gosong Merupakan bentukan daratan yang terkurung atau menjorok pada suatu
perairan, biasanya terbentuk dari pasir, geluh, dan atau kerikil. Bentukan geografi
ini terjadi akibat adanya aliran dangkal dan sempit sehingga memungkinkan
pengendapan material ringan dan mengarah pada pendangkalan tubuh air.
Gosong dapat terbentuk di laut maupun danau. Daerah muara dan perairan
dangkal, seperti pantai-pantai di Laut Jawa, banyak memiliki gosong.
Habitat Merupakan tempat hidup suatu organisme.
HCHs Kelompok senyawa pencemar organik persisten (POPs) yang digunakan sebagai
(hexachlrocyclohexanes) pestisida dalam pertanian/perkebunan, dan pembasmi kutu rambut pada hewan
dan manusia.
Heavy metal Logam yang dikategorikan sebagai bahan beracun. Tidak ada definisi yang baku
mengenai heavy metal. Beberapa metal yang ringan dan metalloid adalah
beracun sehingga disebut juga heavy metal. Tetapi beberapa heavy metal seperti
emas adalah tidak beracun. Sebagian besar heavy metal mempunyai jumlah
nomor atom yang tinggi, berat atom dan graffiti khusus lebih dari 5.0. Heavy
metals termasuk di dalamnya adalah metalloid, metal transisi, metal dasar,
lantanide dan aktinida.
Ikan Demersal Ikan yang hidup di bagian dasar perairan.
Ikan Indikator Merupakan spesies ikan di ekosistem terumbu karang yang menjadi indikator
kondisi kesehatan terumbu karang di suatu tempat karena adanya keterkaitan
khusus antara keduanya. Keterkaitan ini dapat terlihat dalam hubungan semakin
banyak spesies ikan indikator, semakin baik kondisi terumbu karangnya.
Ikan Laut Dalam Merupakan spesies ikan yang hidup di laut dalam hingga kedalaman ratusan
sampai ribuan meter. Ikan-ikan ini sangat bernilai karena dipercaya sangat
bermanfaat bagi kebugaran tubuh karena mengandung hormon steroid.
Ikan pelagis Merupakan spesies ikan yang hidup di zona pelagis laut, yaitu zona permukaan
laut.
Imposex Gangguan pada gastropoda atau siput laut yang disebabkan oleh pengaruh racun
dari bahan pencemar tertentu, seperti tributyltin (TBT). Senyawa ini dapat
menyebabkan maskulinisasi dimana pada siput laut betina berkembang organ
kelamin jantan seperti penis dan vas deferens sehingga menyebabkan siput ini
menjadi mandul atau terganggu proses reproduksinya.
Intrusi Intrusi Air Laut merupakan peristiwa masuknya air asin ke dalam aquifer dalam
air tanah, peristiwa ini bisa terjadi oleh beberapa hal, antara lain penggunaan air

xxiv

tanah yang berlebihan, perubahan fungsi lahan dan penebangan hutan bakau.
Salah satu dampak negatif dari terjadinya intrusi air laut adalah menimbulkan
perubahan kualitas air tanah, sehingga air tanah tidak dapat digunakan sebagai
air baku.
Invertebrata Merupakan semua organisme yang tidak memiliki susunan tulang belakang.
Karakteristik pantai Jati diri/cirri khas yang dimiliki di sepanjang daerah pasang surut antara pasang
tertinggi dan surut terendah muka air laut
Karsinogenik Bahan kimia yang dapat mencetuskan terjadinya kanker pada makhluk hidup.
Kemosintesis Merupakan proses pembentukan suatu senyawa kimia (alami maupun tidak
alami) dengan menggunakan atau memanfaatkan sumber energi kimiawi
(senyawa kimia).
Kerentanan Peka/mudah menghasilkan akibat yang tidak dapat diduga.
KMA kelas I Kriteria air yang dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
berdasarkan PP 82/2001.
KMA kelas II Kriteria air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut berdasarkan PP 82/2001.
Kolonisasi laut Merupakan proses pembentukan kelompok-kelompok individu yang terjadi di
wilayah perairan laut.
Komunitas Merupakan kumpulan dari beberapa populasi organisme yang menempati ruang
dan waktu tertentu.
Konektivitas Merupakan hubungan keterkaitan antara 2 organisme baik secara mikro (tingkat
gen) maupun makro (tingkat individu).
Koridor Mengacu pada jalur.
Langka Merupakan suatu kondisi dimana suatu spesies sudah jarang ditemukan secara
alami di habitatnya
Larva Merupakan suatu fase pertumbuhan mahluk hidup sebelum menjadi juvenile
(muda) dan mature (dewasa).
Lereng benua Merupakan kelanjutan dari continental shelf dengan kemiringan antara 4 %
sampai 6 %. Kedalaman lereng benua lebih dari 200 meter.
Longsor Gugur dan meluncur ke bawah (tt tanah)
Mangrove Merupakan semua kelompok tumbuhan yang teradaptasi oleh lingkungan pesisir
termasuk didalamnya bakau dan tumbuhan asosiasi lainnya.
Manta Merupakan spesies ikan pari terbesar dari famili Mobulidae. Ukuran panjang
maksimal yang pernah ditemukan adalah 670 cm (22 kaki).
Massive Bersifat padat.
Migrasi Merupakan proses perpindahan suatu organisme atau kelompok organisme dari
satu wilayah ke wilayah lain. Perpindahan ini dalam usaha mempertahankan
kehidupannya, atau untuk mencari sumber cadangan makanan yang baru, atau
untuk menghindari kelangkaan makanan yang mungkin terjadi karena datangnya
musim dingin, atau karena overpopulasi.
Mintakat abisal Mintakat dasar laut pada kedalaman antara 2000 5000 m; merupakan unit
ekologis dasar laut paling luas.
Morfologi dasar laut Gambaran dasar laut, umumnya berkaitan dengan proses-proses geologi dari
pembentukan dan perkembangannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara
kelompok.
Mushroom (Bentuknya) menyerupai jamur.
Mutagenik Bahan kimia yang dapat mengakibatkan terjadinya mutasi pada DNA.
Mutasi Genetik Merupakan proses yang terjadi pada bahan atau susunan materi genetik (DNA
maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada

xxv

taraf kromosom. Mutasi pada tingkat kromosomal biasanya disebut aberasi.


Mutasi pada gen dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar
munculnya variasi-variasi baru pada spesies.
Nibung Merupakan sejenis palma yang tumbuh di rawa-rawa Asia Tenggara, mulai dari
Indocina hingga Kalimantan dengan nama latin Oncosperma tigillarium syn. O.
filamentosum. Tumbuhan ini berupa pohon dengan bentuk khas palma. Batang
dan daunnya terlindungi oleh duri keras panjang berwarna hitam. Daunnya
tersusun majemuk menyirip tunggal (pinnatus) yang berkesan dekoratif.
Nipah Merupakan sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan atau daerah
pasang-surut dekat tepi laut. Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, dan
diketahui sebagai satu-satunya anggota marga Nypa. Tumbuhan ini merupakan
satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove. Tumbuhan ini juga dikenal
dengan banyak nama lain seperti daon, daonan, buyuk, bhunyok, bobo, boboro,
palean, dan parenga. Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan
nama (dalam bahasa Inggris) Attap Palm (Singapura), Nipa Palm atau losa
(Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm.
NT (nearthreatened) Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen
CITES.
Pantai Daerah pasang surut antara pasang tertinggi dan surut terendah muka air laut.
Paparan benua Mintakat dasar laut dari mulai batas surut terendah sampai pada batas dimana
dasar laut menurun tajam (continental shelf). Lebar rata-rata Paparan Benua
sekitar 80 km dan kedalaman sekitar 150 m. Kemiringannya biasanya cukup
rendah, pada urutan 0,5 .
Paparan Sunda Adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara.
Massa daratan utama antara lain Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di
2
sekitarnya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km . Kedalaman laut
sebagian besar kurang dari 20 meter, dan hal ini mengakibatkan kuatnya erosi
dasar laut akibat gelombang laut. Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan
Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Paparan Sahul Adalah bagian dari lempeng landas kontinen benua Sahul (benua Australia
Papua) yang terletak di lepas pantai utara Australia dan lautan selatan pulau
Papua. Paparan Sahul membentang dari Australia utara, meliputi Laut
Timor menyambung ke Timur di laut Arafura yang menyambung dengan Pulau
Papua. Kepulauan Aru menonjol di atas paparan Sahul. Paparan Sahul juga
mencakup Paparan Rowley yang terletak di sisi Samudera Hindia di Barat Laut
Australia membentang hingga tanjung di barat laut Australia.
Parit Yaitu lembah yang dalam dan memanjang di dasar laut terjadi karena ingresi
Pematang samudera Punggungan yang terbentuk akibat tenaga tektonik vertikal di tengah samudera
sehingga bentuknya memanjang.
Pemutihan karang Peristiwa karang batu dimana zooxanthella lepas dari individu-individu polip
inangnya dan koloni karang tersebut mati dan berwarna putih (coral bleaching).
Peristiwa tersebut dapat terjadi karena suhui air laut atau turun melebihi tingkat
toleransi karang batu, atau karena sedimentasi dan pengaruh air tawar dalam
jumlah besar.
Persistent Organic Bahan pencemar kelompok senyawa organik yang mempunyai sifat tidak mudah
Pollutants (POPs) terdegradasi (persisten), mudah terakumulasi dalam jaringan tubuh makhluk
hidup, dan mempunyai daya racun yang tinggi terhadap makhluk hidup/ manusia.
Diantara kelompok senyawa ini diantaranya adalan polychlorinated biphenyls
(PCBs), pestisida organoklorin (DDT, HCHs, CHLs, dsb), dioxin, dsb.
Pesisir Merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-

xxvi

sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke
arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran
Pigmy seahorse Spesies ikan kuda laut berukuran kecil (Hippocampus denise) yang termasuk
dalam Famili Syngnathidae. Ikan ini keberadaannya jarang dan dilaporkan
ditemukan di Selat Lembeh dan perairan Raja Ampat.
Plasma Nutfah Merupakan substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh
atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta mikroorganisme. Plasma nutfah
merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Plato Dataran tinggi yg luas dengan lembah dan bukit di sana-sini akibat pengikisan.
Populasi Merupakan kumpulan dari beberapa individu dari beberapa spesies yang
menempati ruang dan waktu tertentu.
Potensi tumbukan lempeng Kemampuan/kekuatan/kesanggupan/ daya yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan saat terjadi tumbukan lempeng.
Rawan Mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya; gawat.
Red tide Istilah umum yang digunakan untuk menyatakan blooming alga (meningkatnya
konsentrasi mikroorganisme perairan) khususnya spesies tertentu dari
dinoflagelata dimana blooming ini menyebabkan warna perairan nampak merah.
Relief Perbedaan ketinggian pada bagian permukaan bumi.
Remote Sensing Merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek
daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat
tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji yang
memanfaatkan energi yang berasal dari gelombang elektromagnetik dan
mewujudkan hasil perekaman tersebut dalam bentuk citra.
Sedimentasi Merupakan suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air,
angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut
sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut
oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di
tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang diangkut oleh angin.
Selective Breeding Merupakan proses penangkaran tumbuhan atau hewan untuk suatu sifat genetik
tertentu melalui seleksi secara bertahap dan sistematik. Penangkaran selektif
telah sangat lama diterapkan dan merupakan bagian dari program pemuliaan
klasik. Beberapa cara seleksi yang digunakan antara lain seleksi individu/spesies,
seleksi famili (baik dalam famili maupun antarfamili), atau kombinasi keduanya.
Hingga kini selective breeding masih tetap diterapkan, baik sebagai awal
pelaksanaan suatu program pemuliaan maupun sebagai tahap lanjutan dari suatu
program bioteknologi sebagai cara untuk menguji kestabilan ekspresi gen yang
direkayasa. Di Indonesia sendiri, pengembangan selektif ini telah diterapkan pada
ikan nila yang digarap secara serius sejak tahun 2002.
Sensus Visual Merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengamati kelimpahan spesies
(contoh: ikan) di suatu ekosistem dengan menggunakan pengamatan mata pada
objek yang menjadi terget. Metode ini sangat sering dan umum digunakan untuk
mengamati kelimpahan ikan di ekosistem terumbu karang dengan menggunakan
alat selam (skuba).
Sero Merupakan salah satu alat tangkap ikan yang bersifat menetap dan berfungsi
sebagai perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Ikan yang
telah masuk ke dalam kantong umumnya akan mengalami kesulitan u ntuk keluar
lagi sehingga ikan tersebut akan mudah untuk ditangkap dengan cara
mengangkat jaring kantong. Satu unit set net terdiri dari beberapa bagian yakni

xxvii

penaju (leader net), serambi (trap/play ground), ijeb-ijeb (entrance) dan kantong
(bag/crib).
Sistematik Mengacu pada kondisi yang tersusun secara rapi, jelas dan terfokus.
Spesies Merupakan suatu tingkat takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk
pada satu atau beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat
saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen)
namun tidak dapat dengan anggota kelompok yang lain. Anggota-anggota dalam
suatu spesies jika saling berkawin dapat menghasilkan keturunan yang fertil
tanpa hambatan reproduktif. Dapat terjadi, sejumlah kelompok dalam suatu
spesies tidak saling berkawin karena hambatan geografis namun bila
dipertemukan dan dikawinkan dapat menghasilkan keturunan fertil. Dua spesies
yang berbeda jika saling berkawin akan menghadapi masalah hambatan biologis;
apabila menghasilkan keturunan yang sehat, keturunan ini biasanya
steril/mandul.
Sponges Merupakan hewan dari filum Porifera. Tubuh mereka terdiri dari jelly, terjepit di
antara dua lapisan tipis sel. Sementara semua hewan memiliki sel terspesialisasi
yang dapat berubah menjadi sel-sel khusus, spons yang unik memiliki beberapa
sel-sel khusus yang dapat berubah menjadi jenis lain yang sering bermigrasi
antara lapisan sel utama. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem
peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan mempertahankan
aliran air konstan melalui badan mereka untuk mendapatkan makanan dan
oksigen dan untuk menghilangkan limbah. Bentuk tubuh mereka yang
teradaptasi untuk memaksimalkan efisiensi dari aliran air.
Status genting Status keterancaman suatu spesies yang tercantum dalam apendiks dokumen
CITES yang berada pada status genting terancam kepunahan karena eksploitasi
dan kegiatan manusia lainnya (near threatened).
Status kritis Status keterancaman suatu spesies yang tercantum dalam apendiks dokumen
CITES yang berada pada status kritis terancam kepunahan karena eksploitasi dan
kegiatan manusia lainnya (endangered).
Suksesi Merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung satu arah secara teratur
yang terjadi pada suatu komunitas biologis dalam jangka waktu tertentu hingga
terbentuk komunitas baru yang berbeda dengan komunitas semula. Dengan
perkataan lain. suksesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem tidak
seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi sebagai akibat modifikasi
lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan
sebuah ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang ( homeostasis).
Taksonomi Merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang penggolongan atau
sistematika makhluk hidup. Sistem yang dipakai adalah penamaan dengan dua
sebutan, yang dikenal sebagai tata nama binomial atau binomial nomenclature,
yang diusulkan oleh Carl von Linne (Latin: Carolus Linnaeus), seorang naturalis
berkebangsaan Swedia. Secara umum, taksonomi diartikan sebagai
pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana
taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih
rendah bersifat lebih spesifik.
Teratogenik Bahan kimia yang dapat mengakibatkan cacat bawaan pada embrio.
Terestrial Merupakan sifat yang terkait dengan tanah atau permukaan tanah (terra, tanah).
Sebagai contoh, hewan terestrial adalah hewan-hewan yang biasa berkeliaran di
atas tanah, seperti harimau, biawak dan lain-lain. Tumbuhan terestrial adalah
tumbuhan yang hidup di permukaan tanah, seperti kebanyakan jenis tanaman
serta pohon.
Terumbu karang Terumbu karang yang tumbuh di tengah laut yang dipisah dengan pulau oleh
penghalang goba yang dalam (barrier reef).

xxviii

Terumbu karang tepi Terumbu karang yang tumbuh di tepi pulau (fringing reefs).
Tributyltin (TBT) Bahan kimia organic anthropogenic yang telah digunakan sebagai bahan aktif
dalam cat antifouling pada kapal dan jarring akuakultur untuk mencegah
timbulnya organism penempel, bersifat sangat beracun dan telah menimbulkan
peristiwa pemandulan pada gastropoda di laut atau biasa disebut imposex,
sehingga menggangu proses reproduksi.
Tsunami Gelombang laut pasang yang dahsyat dan berkecepatan tinggi yang terjadi
karena gempa bumi, letusan gunung berapi, atau longsoran di dasar laut.
Tutupan karang Merupakan luasan area yang tertutup oleh berbagai jenis karang yang pada
umumnya membentuk terumbu karang. Luasan tersebut biasanya dinyatakan
dalam satuan persen.
Upwelling Merupakan suatu proses penaikan massa air laut dari bawah menuju
kepermukaan laut yang menyebabkan terjadinya mekanisme pemupukan air laut
secara alami karena zat-zat hara yang terendapkan di dasar laut naik dan
menyebabkan akumulasi plankton pada bagian permukaan.
Vertebrata Merupakan semua organisme yang memiliki susunan tulang belakang yang
disebut dengan vertebra.
Vu (vulnerable) Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen
CITES.
Walking shark Spesies ikan hiu berukuran kecil termasuk Famili Hemiscyllidae. Ikan ini penghuni
perairan terumbu karang dan sebagaian besar waktunya berada di dasar
perairan. Bentuknya yang khas dengan sirip dada yang relatif kecil dan
gerakannya mirip berjalan di dasar perairan.
Zoanthiads Merupakan sebuah ordo dari kelompok Cnidaria yang secara umum dapat
ditemukan di terumbu karang, laut dalam, dan di banyak lingkungan laut lainnya
di penjuru dunia. Hewan ini terdapat dalam berbagai formasi kolonial yang
berbeda dan dalam berbagai warna. Mereka dapat ditemukan sebagai polip
individu, melekat pada stolon berdaging atau substrat yang dapat terbuat dari
potongan-potongan kecil sedimen, pasir dan batu. Istilah zoanthid mengacu
pada semua hewan dalam kelompok Zoantharia, dan tidak harus bingung dengan
Zoanthus, yang merupakan salah satu genus dalam Zoantharia.
Zona subduksi Ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku
kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya terjadi subduksi.

xxix

Daftar Singkatan


BOD Biological Oxygen Demand
BSIW Banda Sea Intermediate Water

B3 bahan berbahaya dan beracun


COD Chemical Oxygen Demand
DDT Dichloro-diphenyl-trichloroethane
DDE Dichloro-diphenyl-dichloroethane
DCA Dead Coral with Algae
DO Dissolved Oxygen
GRK Gas Rumah Kaca
HCHs Hexachlrocyclohexanes
IIW Indonesian Intermediate Water

IUCN World Conservation Union

KMA Kriteria Mutu Air


KLH Kementerian Lingkungan Hidup
POPs Persistent Organic Pollutants
PAHs Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
SST Sea Surface Temperature
STD submarine tailing disposal

SIG Sistem Informasi Geospasial

TSS Total Suspended Solids


TDS Total Dissolved Solids
TNTC Taman Nasional Teluk Cenderawasih
WHO World Health Organization
ULCC Ultra Large Crude Carrier
VLCC Very Large CrudeCarrie
WEPWP Western Equatorial Pacific Warm Pool
WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan
EL Ekoregion Laut
CAL Cagar Alam Laut
KKPD Kawasan Konservasi Perairan Daerah
TCF Trillion Cubic Feet
TWP Taman Wisata Perairan
TNP Taman Nasional Perairan
SML Suaka Margasatwa Laut
TBT Tributyltin
TNL Taman Nasional Laut
TWAL Taman Wisata Alam Laut

xxx

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................................................ iii

Ringkasan Eksekutif ................................................................................................................................................. v

Daftar Istilah Dan Singkatan ................................................................................................................................. xxi

Daftar Isi ............................................................................................................................................................. xxxii

Pendahuluan ............................................................................................................................................................ 1

Lingkungan Laut Indonesia .................................................................................................................................... 5

Penyusunan Ekoregion Laut ................................................................................................................................. 13

Ekoregion Laut 1 Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera .............................................................................. 23

Ekoregion Laut 2 Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa ................................................................................... 37

Ekoregion Laut 3 Selat Malaka ............................................................................................................................. 45

Ekoregion Laut 4 Laut Natuna ............................................................................................................................. 55

Ekoregion Laut 5 Selat Karimata .......................................................................................................................... 63

Ekoregion Laut 6 Laut Jawa .................................................................................................................................. 71

Ekoregion Laut 7 Laut Sulawesi ........................................................................................................................... 81

Ekoregion Laut 8 Selat Makassar .......................................................................................................................... 91

Ekoregion Laut 9 Perairan Bali dan Nusa Tenggara ............................................................................................. 99

Ekoregion Laut 10 Teluk Tomini ....................................................................................................................... 107

Ekoregion Laut 11 Laut Halmahera ................................................................................................................... 115

Ekoregion Laut 12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi ................................................................................... 123

xxxii

Ekoregion Laut 13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone ........................................................ 131

Ekoregion Laut 14 Laut Seram dan Teluk Bintuni ............................................................................................. 139

Ekoregion Laut 15 (Laut Banda) ........................................................................................................................ 149

Ekoregion Laut 16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua ................................................................................ 157

Ekoregion Laut 17 Teluk Cendrawasih .............................................................................................................. 165

Ekoregion Laut 18 Laut Arafura ......................................................................................................................... 173

Penutup ................................................................................................................................................................ 179

Daftar Pustaka ..................................................................................................................................................... 181

xxxiii
Pendahuluan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dimaksudkan untuk memadukan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai suatu kebijakan yang utuh, terpadu dan komperhensif yang
selanjutnya menjadi acuan untuk pengendalian kerusakan lingkungan dan pencemaran serta arahan
pemanfaatan sumberdaya alam. Tahapan yang dilakukan dalam perencanaan tersebut terdiri dari inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) dan selanjutnya diartikan sebagai perencanaan tertulis yang memuat potensi,
masalah lingkungan hidup, dan upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.


Proses inventarisasi, penetapan ekoregion dan penyusunan RPPLH

Berdasarkan hal di atas, maka penetapan ekoregion akan menghasilkan batas (boundary) sebagai satuan unit
analisis yang menjadi dasar dan memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan inventarisasi
lingkungan hidup, menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mengelola keterkaitan,
interaksi, interdependensi dan dinamika pemanfaatan dan kondisi berbagai sumberdaya alam di wilayah
ekoregion tersebut untuk menyusun RPPLH.

Dalam UU nomor 32 tahun 2009, ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri
iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas
sistem alam dan lingkungan hidup. Disamping itu, ekoregion merupakan geografi ekosistem yang mempunyai
pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan
geografis. Sesuai dengan definisi tersebut, maka penetapan batas ekoregion tidak berdasarkan pada batas
wilayah administrasi.

Terkait dengan wilayah laut, maka Spalding et al. (2007) mendefinisikan ekoregion laut sebagai wilayah perairan
laut dengan komposisi spesies yang relatif homogen, yang jelas berbeda dari sistem yang berdekatan. Faktor
pembeda dalam mendefinisikan ekoregion laut bervariasi dari lokasi ke lokasi termasuk tingkat isolasi,
upwelling, masukan nutrien, pengaruh air tawar, rezim suhu, morfostruktur, sedimen, arus, dan
kompleksitas batimetri atau tipe pantai.

2 |pendahuluan

Memperhatikan data dan informasi yang disajikan dalam Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia
(NKRI) dari Badan Informasi Geospasial, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
2 2
pulau 13.466, luas daratan 1.922.570 km dan luas perairan 6.376.744 km . Oleh karena itu, dalam penetapan
wilayah ekoregion memperhatikan cakupan wilayah darat dan laut. Buku ekoregion laut ini merupakan seri
kedua sebagai lanjutan dari buku pertama tentang ekoregion pulau.

Penyusunan ekoregion laut ini merupakan hasil kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Badan
Informasi Geospasial dan didukung oleh para ahli kelautan dan perikanan dari kementerian/lembaga, perguruan
tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Penetapan ekoregion tersebut dilaksanakan oleh Menteri
Lingkungan Hidup setelah berkoordinasi dengan intansi terkait.

Penyusunan dokumen ini bertujuan agar ekoregion laut dapat digunakan sebagai:
1. Unit analisis dalam menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan,
2. Dasar dalam memberikan arah untuk penetapan RPPLH dan merencanakan pembangunan yang
disesuaikan dengan karakter wilayah,
3. Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang mengandung
persoalan pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun permasalahan lingkungan hidup yang
sifatnya lintas batas administrasi,
4. Acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem/lingkungan yang mempertimbangkan
keterkaitan antar ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain dalam suatu ekoregion, sehingga
dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 3



ikan Badut di perairan Belitung (Foto : Yuniar Hufan-BIG)
Lingkungan
Laut Indonesia

Secara geografis, Indonesia terletak pada posisi antara 608 Lintang Utara dan 1115 Lintang Selatan, dan
antara 9445 Bujur Timur dan 14105 Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan 13.466 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, membentang dari Barat ke Timur sepanjang 5.120
2
km serta dari Utara ke Selatan sepanjang 1.760 km. Luas seluruh wilayah Indonesia sekitar 7,73 juta km , terdiri
2 2 2
dari 1,93 juta km wilayah dataran, 3,1 juta km perairan teritorial, dan 2,7 juta km Zona Economi Eksklusif
(ZEE).

Negara kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai Nusantara terletak di antara dua samudera besar, yakni
Samudera Hindia di tenggara hingga barat Nusantara, dan Samudera Pasifik di timurlaut hingga timur
Nusantara. Sementara itu di utara Nusantara berbatasan dengan Laut China Selatan. Nusantara ini dilalui oleh
garis khatulistiwa (ekuator) dan dipadu dengan kondisi batimetrinya yang kompleks, menjadikan fenomena
interaksi laut dan atmosfer di Indonesia adalah sangat unik dan dinamis.

Perbedaan tekanan permukaan laut yang besar dari Samudera Hindia dan Pasifik merupakan penggerak utama
dari sirkulasi arus atau massa air di Laut Nusantara. Dinamika pasang surut (pasut) sangat dipengaruhi oleh
periodisitas bulan, matahari dan efek rotasi bumi. Secara umum ada empat tipe pasut di Laut Nusantara, yakni
pasang surut diurnal, semidiurnal, campuran cenderung diurnal, dan campuran cenderung semi diurnal.

Sirkulasi arus atau massa air utama berasal dari Samudera Pasifik yang masuk ke Laut Nusantara melalui Selat
Lifamatola, Laut Sulawesi dan Selat Makassar di Utara, dan keluar melalui Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu
dan Laut Timor di Selatan (Gordon et al., 2010). Massa air Samudera Pasifik bagian utara disinyalir masuk ke
Laut Nusantara setelah melewati Laut China Selatan dan Selat Karimata. Sirkulasi tersebut menjadikan wilayah
ini menjadi sangat subur dengan banyaknya daerah upwelling dan kelimpahan klorofil yang tinggi.

Kondisi batimetri Laut Nusantara secara umum digambarkan kedalam dua paparan besar yang terbentuk akibat
tumbukan antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia-Pasifik. Kedua paparan
tersebut adalah Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Paparan Sunda meliputi pulau-pulau seperti Sumatera,
Kalimantan, Jawa yang dicirikan sebagai perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 200 m. Paparan
Sahul sebagian besar merupakan wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Ambon, dan Papua yang dicirikan
dengan kedalaman lebih dari 200 m. Diantara dua paparan tersebut dijumpai palung-palung laut yang sangat
dalam yaitu palung Laut Banda (sekitar 7.440 m) dan palung Laut Sulawesi (6.220 m). Kondisi ini berpadukan
dengan kondisi geomorfologi pantai yang beragam memberikan berbagai potensi pemanfaatan maupun
kerentanan pesisir. Kerentanan pesisir dapat diakibatkan oleh bencana geologi dan geodinamika, serta akibat
variabilitas dan perubahan iklim-laut.

Variabilitas dan perubahan iklim di Laut Nusantara banyak dipengaruhi oleh variasi periodik seperti Madden
Julian Oscillation (MJO) dari Pusat Samudera Hindia dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari Pusat
Samudera Pasifik, variasi non periodik seperti Indian Ocean Dipole Mode (IOD), dan juga oleh sistem Monsun
(Aldrian dan Susanto, 2003; Black et al., 2003; Wheeler dan McBride, 2005).

Dengan berbagai kondisi lingkungan strategis seperti yang dipaparkan di atas, Indonesia dikaruniai
keanekaragaman hayati laut yang tinggi serta sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah. Beberapa
sumberdaya hayati laut yang penting diantaranya ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove
(Dahuri, 2003).

Hutan mangrove adalah hutan khas yang hidup di sepanjang


pantai atau estuari di daerah tropis yang dipengaruhi oleh

8 |lingkungan laut indonesia


pasut air laut. Istilah lain yang juga melengkapi definisi di atas
adalah komunitas tumbuhan pantai tropis yang didominasi
oleh pohon dan semak yang tumbuh pada perairan asin
(Nontji, 2007). Jadi ekosistem mangrove adalah sistem
hubungan timbal balik antara berbagai biota dan antara biota
dan lingkungannya yang ada di suatu hutan mangrove
tertentu.

Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan daratan, ekosistem


mangrove memiliki produktifitas primer yang tinggi. Mangrove
dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik
yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang
hidup di perairan sekitarnya. Mangrove juga merupakan
habitat bagi fauna krustasea dan moluska. Dalam ekosistem
mangrove ditemukan 80 spesies krustasea dan 65 spesies
moluska yang hidup berasosiasi di dalamnya. Selain itu,
berbagai jenis juvenil ikan, udang, kepiting, dan moluska
tersebar di perairan mangrove.

Spesies mangrove mengalami adaptasi terhadap lingkungan


hidupnya yang ekstrim seperti kadar garam yang tinggi, suhu
dan salinitas yang selalu berubah dan tempat substrat yang
lembek dan anoksik. Untuk menghalangi penguapan yang
tinggi, tumbuhan mangrove mempunyai daun yang tebal dan
mempunyai kelenjar untuk mengatur keseimbangan
kandungan garam dalam tubuhnya. Secara morfologis,
adaptasi yang jelas adalah pada bentuk perakaran agar dapat
menyangga batang tetap tegak dan juga dalam membantu Hutan mangrove yang sekarang semakin menipis
luasannya (foto : Rahmatia Susanti-BIG)
pernafasan karena substratnya yang minim oksigen.

Saat ini luas mangrove Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha dengan lokasi dominan di pesisir timur
Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pesisir selatan Papua. Luasan tersebut mencakup 19% dari luas mangrove di
dunia, melebihi luas mangrove Australia (10%) dan Brasil (7%) (KLH, 2008). Mangrove di Indonesia dikenal
mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis, dimana 35 jenis diantaranya
berupa pohon (Nontji, 2007). Namun demikian, luasan mangrove Indonesia terus berkurang dari tahun ke
tahun. Konversi mangrove menjadi lahan tambak terus meningkat sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun
1998. Pembukaan pemukiman baru di wilayah pesisir dan pengambilan kayu mangrove juga memicu degradasi
ekosistem mangrove di Indonesia. Kerusakan mangrove di pesisir utara sudah sangat parah terutama dikonversi
menjadi tambak dan menghilangkan lebih dari 90% mangrove yang pernah ada (Tirtakusumah, 1994).

Wilayah Laut Nusantara juga merupakan lintasan utama berbagai macam kapal laut, mulai dari kapal niaga,
kapal tanker, kapal ikan, sampai dengan kapal perang yang berlayar baik melalui Selat Malaka maupun tiga Alur
Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Lebih dari 40% total barang dan komoditas perdagangan antar bangsa di dunia
dengan nilai US$ 1.500 triliun/tahun diangkut oleh kapal-kapal niaga melalui laut Indonesia (Dahuri, 2003).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 9



Lamun (seagrass) adalah tumbuhan tinggi yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam
laut. Tumbuhan ini mempunyai batang yang tumbuh mendatar dan terbenam di dasar perairan dan disebut
rhizome atau rimpang. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau
goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman sampai dengan
4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai
kedalaman 8 15 meter dan 40 meter (Den Hartog, 1970; dan Allen, 1993).

Lamun dapat tumbuh menyebar luas di dasar perairan dan membentuk


suatu padang. Padang lamun dapat ditumbuhi oleh hanya satu spesies
yang disebut padang lamun monospesifik, atau ditumbuhi oleh lebih dari
satu spesies yang disebut vegetasi campuran (mixed vegetation). Spesies
lamun yang membentuk vegetasi monospesifik adalah Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halopila ovalis, Halodule pinifolia. H.
uninervis, Cymodocea rotundata dan Thalassodendron ciliatum (Nienhuis
et al., 1989; Kiswara et al., 2003). Vegetasi campuran terdiri dari dua
sampai delapan spesies di wilayah yang sama.


Padang lamun dengan vegetasi
campuran (atas) dan monospesifik

(bawah) (Foto: Trismades)


Lokasi penelitian lamun dan

keberadaannya di Indonesia
(Kiswara et al., 2011)

Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara, paling sedikit 13 jenis lamun yang dijumpai di
perairan di Indonesia (Soegiarto dan Polunin, 1981; Kiswara dan Hutomo, 1985; Kuriandewa et al., 2003).
Padang lamun tersebar luas di perairan Indonesia mulai dari Pulau Weh sampai pantai utara Papua di Samudera
Pasifik.

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir


yang mempunyai berbagai fungsi penting dalam menunjang
produktivitas perairan di sekitarnya. Lamun memfiksasi karbon
organik, dan sebagian besar memasuki rantai makanan langsung
dikonsumsi oleh hewan-hewan herbivor maupun melalui proses
dekomposisi sebagai serasah. Daun dan rimpang yang patah
sebagian hanyut ke perairan sekitarnya dan didekomposisi oleh
mikroorganisme. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang

10 |lingkungan laut indonesia


langsung dikonsumsi oleh pemakan serasah. Sedangkan serasah


yang melayang di kolom air dimakan oleh hewan-hewan pemakan
penyaring (filter feeder). Perkiraan jumlah materi lamun di Indonesia
yang diekspor ke lingkungan sekitarnya hanya sebesar 10%
(Nienhuis et al., 1989). Daun lamun yang lebat ditumbuhi oleh
berbagai jasad renik yang menjadi makan berbagai hewan-hewan
kecil dan ikan-ikan muda (juvenile). Padang lamun yang lebat dapat
menangkap sedimen dari daratan dan mendepositkan di dasar
perairan dan oleh akar lamun yang lebat sehingga perairan menjadi
jernih, jadi berfungsi memelihara kualitas air. Di sisi lain, arus dan
gelombang yang datang dari arah laut ditahan oleh daun lamun
Daun lamun yang ditumbuhi berbagai yang lebat sehingga melindungi pantai dari abrasi.
jasad renik (hal. 10) dan akar lamun
yang menagkap sedimen (bawah)
(foto: Program JSPS)

Terumbu karang adalah bangunan kapur bawah laut (CaCO2)


yang dibentuk oleh jasad hidup seperti karang batu dan alga
berkapur. Karang batu (hermatypic coral) merupakan
penyumbang bangunan kapur yang utama, dan disumbang biota
lainnya seperti algae berkapur (calcareous algae), moluska dan
berbagai spesis ekhinodermata. Karang batu merupakan koloni
ribuan hewan renik yang disebut polip. Hewan polip mempunyai
simbion alga bersel satu yang disebut zooxanthellae dan berada
di lapisan kulit dalam (endoderm). Zooxanthellae berperan
penting dalam pembentukan kapur yang membangun terumbu.

Terumbu karang merupakan lingkungan hidup yang unik, sangat


indah dan merupakan ekosistem daerah tropis yang sangat
kompleks serta mempunyai produktivitas yang tinggi seperti
hutan hujan tropis. Terumbu karang mempunyai fungsi dan
peran, baik secara biologis, ekologis dan ekonomis. Ekosistem
terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang sangat
tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang
untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai
kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Ekosistem
ini dihuni oleh berbagi biota laut dengan spesies yang paling
beragam sehingga dianggap sebagai gudang keanekaragaman
hayati laut. Berbagai biota tersebut banyak yang mempunyai
nilai ekonomis penting seperti ikan, teripang, moluska dan
rumput laut. Terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai
pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak besar, serta
sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa
Karang batu, polip dan zooxanthellae (IUCN, 1993)
bagi negara.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 11



Terumbu karang Indonesia meliputi 18%


luasan dari terumbu karang dunia.
Sampai saat ini telah diidentifkasi lebih
dari 590 spesies karang yang berasal dari
82 genera (Veron, 2001). Pemantauan
terumbu karang jangka panjang telah
dilakukann oleh Puslitbang Oseanografi-
LIPI sejak tahun 1993 sampai dengan
2008 pada 78 wilayah dengan 985 titik di
seluruh Indonesia. Berdasarkan
pemantauan tersebut, pada akhir tahun
2008 terumbu karang Indonesia 5.48 %
berada dalam kondisi sangat bagus, 25,
48% dalam kondisi bagus 37,06% dalam
kondisi sedang dan 31,98% dalam kondisi Sebaran spesies karang batu di Indonesia (modifikasi dari Suharsono, 2009)
buruk.


Fungsi terumbu karang dalam pendukung kehidupan dan sebagai pelindung alami dari gelombang lautan (gambar: change.nature.org)

12 |lingkungan laut indonesia


Penyusunan
Ekoregion Laut

Ekoregion laut disusun dalam beberapa tahapan yang melibatkan para pakar dari kementerian/lembaga
pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang folus pada isu pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Secara umum, penyusunan ekoregion laut ini dilakukan melalui proses
pertemuan tim penyusun dan pertemuan pakar melalui diskusi kelompok terfokus. Pada prinsipnya fungsi dari
tim penyusun ini adalah sebagai kelompok kerja yang bertugas terhadap segala sesuatu yang bersifat teknis,
baik dari aspek pemetaan maupun dari aspek deskripsi. Tim penyusun didukung oleh kelompok kerja bidang
Sistem Informasi Geografi untuk aspek pemetaan. Sedangkan para pakar bertugas memberi masukan, baik
untuk aspek pemetaan maupun aspek deskripsi.

Tahapan dalam penyusunan ekoregion laut adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data: Data-data yang diperlukan dalam penyusunan ekoregion laut didapatkan dari
beberapa kegiatan pengumpulan data dan hasil penelitian di perairan Indonesia. Pada tahap awal ini,
semua data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga, perguruan tinggi dan LSM dikumpulkan untuk
mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap lingkungan laut Indonesia.
2. Penentuan parameter: Parameter ditetapkan dari hasil diskusi pakar dan literatur terkait penyusunan
ekoregion laut di negara lain. Penyusunan parameter juga mempertimbangkan ketersediaan data. Data
yang sudah terkumpul kemudian dipilah agar menjadi parameter yang digunakan dalam penyusunan
ekoregion laut. Beberapa data yang kurang relevan atau kurang valid tidak digunakan sebagai
parameter.
3. Penyusunan hirarki: Parameter yang telah ditetapkan kemudian dikelompokkan dan disusun hirarkinya
untuk menentukan urutan tingkat kepentingan suatu parameter terhadap parameter yang lain.
4. Sintesis antar data: Pada tahap ini, data yang masih belum dalam format geospasial seperti gambar,
tabel atau uraian tertulis diubah ke format geospasial. Sintesis atau overlay antar data geospasial
kelautan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Hasil dari sintesis data
digunakan untuk mengevaluasi parameter yang sudah disusun sebelumnya.
5. Delineasi batas ekoregion: Delineasi batas suatu ekoregion dilakukan secara geospasial dengan
memperhatikan parameter yang ada. Delineasi awal adalah pembagian perairan Indonesia menjadi tiga
bagian besar berdasarkan morfologi dasar laut yaitu Paparan Sunda, Perairan Dalam dan Paparan
Sahul. Berikutnya beberapa parameter lain digunakan untuk mendelineasi batas ekoregion yang lain.
6. Diskusi kelompok terfokus: Hasil delineasi batas ekoregion kemudian dikonsultasikan ke para pakar
kelautan dalam suatu diskusi kelompok terfokus. Tercatat sebanyak 12 rapat pembahasan dengan
pakar dari kementerian/lembaga, perguruan tinggi dan LSM. Penyusunan ekoregion mendapat
masukan juga dari pakar di daerah yaitu ahli kelautan di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil dari diskusi kelompok terfokus digunakan untuk
mengevaluasi parameter dan batas ekoregion.
7. Visualisasi kartografis: Pada tahapan ini disusun tampilan peta ekoregion laut. Selain itu, penomeran
dan penamaan ekoregion juga ditentukan. Penomeran ekoregion disusun dari barat ke timur. Sedang
penamaan ekoregion ditentukan berdasarkan toponimi atau nama perairan. Untuk perairan yang besar
maka ditambah dengan posisi perairan relatif dengan pulau disekitarnya seperti ekoregion Laut Banda
Sebelah Timur Sulawesi.
8. Penyusunan deskripsi: Setelah area dan batas ekoregion laut ditetapkan, deskripsi untuk setiap
ekoregion disusun berdasarkan lima aspek yaitu geologi dan morfologi dasar laut, oseanografi,
keanekaragaman hayati, pemanfaatan, kerawanan bencana, dan pencemaran.

16 |lingkungan laut indonesia


Tahapan dalam penyusunan ekoregion laut

Data yang digunakan dalam penyusunan ekoregion dikelompokan menjadi empat bagian yaitu:

1. Morfologi dasar laut: bentuk dari dasar laut merupakan salah satu hal penting dalam penentuan
delineasi ekoregion laut. Morfologi dasar laut dapat dilihat dalam dua data:
a. Geomorfologi: peta geomorfologi Indonesia (Verstappen, 2010)
b. Batimetri: data Etopo-1 (Amante dan Eakins, 2009)
2. Oseanografi: kondisi fisik kelautan setiap ekoregion dapat dilihat dari parameter:
a. Arus laut: peta arus laut (Gordon, 2005)
b. Pasang surut: peta pasang surut (Wyrtki, 1961)
c. Upwelling: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2010)
d. Suhu: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012)
e. Salinitas: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012)
f. Derajat keasaman: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012)
g. Klorofil: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012)
h. Nutrien: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012)
3. Keanekaragaman hayati:
a. Mangrove
b. Lamun
c. Karang: data dari Veron et al. (2008 dan 2010)
d. Ikan: data dari Allen (2000 dan 2008), Allen dan Adrim (2003), dan Allen dan Erdman (2012)
4. Batas:
a. Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): peta Badan Informasi Geospasial (2012)
b. Ekoregion laut dunia: peta Marine Ecoregion of the World (Spalding et al., 2007)

deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 17



c. Wilayah pengelolaan perikanan: peta Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011)


d. Toponimi laut: peta toponimi laut (International Hydrographic Organization)

Parameter yang digunakan untuk mendelineasi ekoregion laut

Parameter untuk delineasi


No Ekoregion Laut Geologi & Keanekaragam
Oseanografi Batas
Morfologi an hayati
Samudera Hindia Sebelah Barat
1
Sumatera
Samudera Hindia Sebelah Selatan
2
Jawa
3 Selat Malaka
4 Laut Natuna
5 Selat Karimata -
6 Laut Jawa - -
7 Laut Sulawesi
8 Selat Makassar
9 Perairan Bali dan Nusa Tenggara
10 Teluk Tomini -
11 Laut Halmahera
12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi -
13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi -
14 Laut Seram dan Teluk Bintuni -
15 Laut Banda
Samudera Pasifik Sebelah Utara
16
Papua
17 Teluk Cendrawasih -
18 Laut Arafura

Penyusunan ekoregion laut Indonesia juga memperhatikan beberapa klasifikasi perencanaan wilayah perairan
yang ada di Indonesia, diantaranya Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan Marine Ecoregion of the World
(MEOW). Perairan Indonesia dibagi dalam 11 WPP yang telah disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor. Per.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Sementara
itu, MEOW yang ditulis oleh Spalding et al. (2007) membagi wilayah Indonesia menjadi 12 ekoregion laut.
Ekoregion laut Indonesia lebih memfokuskan wilayah laut Indonesia dari aspek perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Klasifikasi lain
No Ekoregion laut
WPP Ekoregion laut dunia
1 Samudera Hindia Sebelah WPP 571, WPP Andaman and Nicobar islands, Andaman Sea Coral
Barat Sumatera 572 Coast, Malacca Strait, Southern Java, Western
Sumatera
2 Samudera Hindia Sebelah WPP 572, WPP Cocos-Keeling/Christmas island, Lesser Sunda,
Selatan Jawa 573 Southern Java
3 Selat Malaka WPP 571, WPP Malacca Strait, Southern Java

18 |lingkungan laut indonesia


711
4 Laut Natuna WPP 711 Malacca Strait, South China Sea Oceanic Islands,
Sunda Shelf/Java Sea, Sulawesi Sea/Makassar Strait,
Southern Java
5 Selat Karimata WPP 711, WPP Malacca Strait, Sunda Shelf/Java Sea, Sulawesi
712 Sea/Makassar Strait, Southern Java
6 Laut Jawa WPP 571, WPP Lesser Sunda, Sulawesi Sea/Makassar Strait,
572, WPP 711, Southern Java, Southern Java, Sunda Shelf/Java Sea
WPP 712, WPP
713
7 Laut Sulawesi WPP 713, WPP Eastern Philippines, Halmahera, Palawan/North
716 Borneo, Sulawesi Sea/Makassar Strait
8 Selat Makassar WPP 713 Banda Sea, Lesser Sunda, Palawan/North Borneo,
Sulawesi Sea/Makassar Strait
9 Perairan Bali dan Nusa WPP 712, WPP Banda Sea, Bonaparte Coast, Exmouth to Broome,
Tenggara 713, WPP 714, Lesser Sunda, Sulawesi Sea/Makassar Strait,
WPP 718, WPP573 Southern Java, Sunda Shelf/Java Sea
10 Teluk Tomini WPP 715 Banda Sea, Northeast Sulawesi
11 Laut Halmahera WPP 715, WPP Banda Sea, Eastern Philippines, Halmahera,
716, WPP 717 Northeast Sulawesi, Papua, Sulawesi Sea/Makassar
Strait, West Caroline Islands
12 Laut Banda Sebelah Timur WPP 714, WPP Banda Sea, Halmahera, Northeast Sulawesi
Sulawesi 715
13 Laut Banda Sebelah Selatan WPP 713, WPP Banda Sea, Lesser Sunda
Sulawesi 714
14 Laut Seram dan Teluk WPP 715, WPP Arafura Sea, Banda Sea, Halmahera, Papua, West
Bintuni 717, WPP 718 Caroline Islands
15 Laut Banda WPP 714, WPP Amhem Coast o Gulf of Carpenteria, Arafura Sea,
715, WPP 718 Banda Sea, Bonaparte Coast, Halmahera, Papua,
Lesser Sunda
16 Samudera Pasifik Sebelah WPP 717 Papua, West Caroline Islands
Utara Papua
17 Teluk Cendrawasih WPP 717 Papua
18 Laut Arafura WPP 718 Amhem Coast o Gulf of Carpenteria, Arafura Sea,
Papua

Kawasan Ekoregion Laut yang memiliki kawasan Konservasi

Kawasan konservasi
No Ekoregion Laut
Kategori Luas (ha)
1 EL 1 KKP, TWAL, TWP 1.348.269,89
2 EL 2 CAL, KKLD, SML 98.480,25
3 EL 3 KKP 68.178,46
4 EL 4 KKP 142.997,14
5 EL 5 CAL, KKLD 92.701,66
TNL, KKP, CAL, TWAL,
6 EL 6 238.986,05
SML, KKP
7 EL 7 KKP, TNL, TWAL, SML 1.361.314,00
8 EL 8 TWP 50.000,00
9 EL 9 KKP, TWAL, TNP, TWP 4.101.599,31

deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 19



Kawasan konservasi
No Ekoregion Laut
Kategori Luas (ha)
10 EL 10 KKP, TNL, TWAL, SML 365.065,00
11 EL 11 - -
12 EL 12 TNL, TWAL 102.650,00
13 EL 13 TWAL, TNL, KKLD, 29.136.057,31
14 EL 14 KKP, SML, CAL, SAP 1.562.487,81
15 EL 15 TWAL, TWP 15.598,00
16 EL 16 KKP, SML, CAL 22.445,52
17 EL 17 TNL, KKLD,TWAL 1.478.410,00
18 EL 18 KKP, CAL, SAP 116.757,45
1 EL 1 KKP, TWAL, TWP 1.348.269,89

Kawasan Ekoregion Laut yang memiliki titik potensi sebaran limbah (sumber : Potensi Pencemar Kegiatan migas,
energi, tambang)
Volume limbah
No Ekoregion Laut
(m3/hari)
Samudera Hindia Sebelah Barat -
1
Sumatera
Samudera Hindia Sebelah Selatan -
2
Jawa
3 Selat Malaka 394.418
4 Laut Natuna 114.957
5 Selat Karimata 24.742

6 Laut Jawa 115.071.199

7 Laut Sulawesi -

8 Selat Makassar 6.539.449


9 Perairan Bali dan Nusa Tenggara 36.750
10 Teluk Tomini -
11 Laut Halmahera -
12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi -

13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi 1


14 Laut Seram dan Teluk Bintuni 304.433
15 Laut Banda 5.102
Samudera Pasifik Sebelah Utara -
16
Papua
17 Teluk Cendrawasih -
18 Laut Arafura -

20 |lingkungan laut indonesia


T
H
A
I L
I A

A
S

N
Y

D
A
L
A
M

NANGGROE
ACEH DARUSSALAM

M
EL-3

A
L
A
Y
S
I A
SUMATERA UTARA

RIAU KEPULAU

S U MATE RA

EL-1 SUMATERA BARAT

JAMBI

BENGKULU SUMATERA SE
S
A

LA
M
U
D
E
R

EL-2
A
H


I
N
D
I
A

0 100 200 400 Km


Ekoregion Laut 1
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera

Ekoregion Laut 1 meliputi Samudera Hindia dan sebagian Selat Malaka di Provinsi Aceh. Ekoregion ini terletak di
2
Pantai Barat Sumatera dan Provinsi Aceh dengan luas sebesar 782.861 km . Ciri khas ekoregion ini adalah
memiliki sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk karena kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung
terusan dari Java Trench yang terhubung dengan Samudera Hindia bagian Barat dan perairan basin di pesisir
Barat Sumatra. Terdapat fenomena unik propagasi Wyrtki Jet dan Coastally Trapped Kelvin Waves akibat
pengaruh dari angin monsun Samudera Hindia. Hal ini sangat berhubungan erat dengan periodisitas upwelling
dan downwelling pada ekoregion ini. Pada monsun Timur, angin Tenggara yang bergerak sejajar dengan Pantai
Barat Sumatera akan menyebabkan fenomena upwelling. Pada monsun peralihan (Maret-Mei dan September-
November), gelombang Kelvin dari Samudera Hindia Timur yang dibangkitkan oleh angin Barat di khatulistiwa
bergerak menumbuk bagian Barat Sumatera. Angin tersebut terpecah menuju ke Barat Daya (Teluk Benggala)
dan menuju ke Tenggara menyusuri Pantai Barat Sumatera hingga ke Selatan Jawa dan Nusa Tenggara.

Ekoregion Laut 1 berbatasan dengan dua ekoregion lain yaitu:

a. Selat Malaka karena perbedaan batimetri. Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki rata-rata
kedalaman lebih dari 200 m sedangkan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda dengan
kedalaman kurang dari 200 meter;
b. Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa karena perbedaan keanekaragaman hayati karang, pola temperatur
dan salinitas perairan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 23



GEOLOGI DAN MORFOLOGI DASAR LAUT

Secara geologi, ekoregion Laut ini terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut
ekoregion ini terdiri dari paparan benua (continental shelf), lereng benua (continental slope), dan paparan laut
dalam (Abyssal Plain) dengan kedalaman sampai dengan 5.500 m. Ekoregion ini merupakan bagian dari paparan
Sunda.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki kemiringan
o o o
bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng terjal (10-20 ), dan kelas
o
lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion ini memiliki 6 cekungan yaitu Cekungan
Mergui-Sumatera, Cekungan Meulaboh, Cekungan Tanjung dewa, Cekungan Simeuleu, Cekungan Nias, dan
Cekungan Mentawai. Parit yang terdapat di ekoregion ini adalah parit Sabang.

OSEANOGRAFI

Kecepatan angin mencapai maksimum pada ekoregion laut ini ketika Monsun Timur dan Monsun Tenggara,
dimana angin dari arah Samudera Hindia Tenggara bergerak ke arah barat laut. Pada Monsun Barat angin
bergerak sebaliknya yakni menuju tenggara. Pada Monsun Peralihan II, pergerakan cenderung seperti pada
periode Monsun Timur tetapi dengan intensitas kekuatan yang lebih rendah. Demikian juga dengan angin pada
periode Monsun Peralihan I yang polanya cenderung sama dengan Monsun Barat (Wyrtki, 1961; Putri, 2005).

Tipe pasang surut dari ekoregion ini umumnya bertipe campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Arus di
ujung atas Pantai Barat Sumatera pada bulan Januari sebagian bergerak ke arah barat laut ketika pasang surut
berasosiasi dengan angin untuk membangkitkan arus. Namun, sebagian arus yang lainnya bergerak ke arah
barat daya. Arus yang bergerak ke barat daya terus membelok ke selatan lalu ke timur. Sementara arus dari
daerah lepas Pantai Barat Sumatera di selatan khatulistiwa bergerak ke timurlaut kemudian membelok ke
timur. Sementara itu arus di dekat Pantai Barat Sumatera cenderung mengarah ke selatan menyusur pantai.
Pola arus di dekat pantai ini mengikuti arah angin yang juga bertiup menyusuri pantai. Pada bulan Februari, pola
arus yang terbentuk relatif sama dengan bulan Januari. Kecepatan arus juga melemah pada bulan Februari
seiring dengan melemahnya angin di daerah tersebut.

Saat Monsun Peralihan I, arus di ujung atas pantai barat Sumatera berbalik arah menuju tenggara (Mustikasari
et al., 2010). Saat Monsun Timur, arus di pantai Barat Sumatera bergerak ke arah barat laut terus ke utara dan
berbelok ke timur laut di ujung atas Pantai Barat Sumatera. Arus di dekat pantai cenderung bergerak
meninggalkan pantai dan menuju utara.

Variabilitas arus pada Musim Peralihan I terjadi pada kedalaman 16, 34, 88, 106, 160 dan 300 m. Secara umum
arah arus dari Samudera Hindia sebelah timur bergerak menuju perairan Barat Sumatera (Arindi et al., 2010).
Kejadian upwelling akibat divergensi massa air pada perairan barat Sumatera diduga hanya ditemukan pada
Musim Peralihan I di posisi sekitar 10LS 95BT. Pusat upwelling berada di sekitar Pulau Enggano antara bulan
Agustus dan Oktober. Upwelling di daerah ini merupakan kelanjutan dari daerah upwelling di Pantai Selatan
Jawa yang bergerak ke Barat (Adi et al., 2004).

Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan massa air laut pada ekoregion ini di lapisan permukaan
dilihat dari suhu (27 30C), salinitas (32,4 - 34,4 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4 7 ml/liter), dan pH (7,9
8,25) (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009). Kondisi nutrien dilihat dari konsentrasi fosfat (0,05 0,25 mol/liter),

24 |ekoregion laut 1

konsentrasi silikat (0,25 10,0 mol/liter), konsentrasi nitrat (0,5 8,0 mol/liter), dan klorofil (0,05-15,0
gram/liter) (Baumgart et al. 2005; Boyer et al., 2009).

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 1 adalah memiliki tingkat keragaman habitat pesisir dan laut tinggi. Wilayah
ini secara khusus juga diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Kepulauan Nicobar dan Andaman. Selain itu,
beberapa jenis karang Samudera Pasifik tercatat berasal dari kawasan Phuket di Thailand dan tidak ditemukan
di tempat lain selain di Samudera Hindia. Keunikan taksonomi biota laut ekoregion ini terletak pada perannya
sebagai perwakilan fauna Samudera Hindia yang tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia (Huffard et al.,
2012).

Tegakan bakau di Pulau Siberut (Teluk Siberut) yang masuk dalam wilayah ekoregion ini merupakan tempat
penting untuk pembesaran kepiting bakau (Scylla serrata) dan berfungsi sebagai daerah penyedia kepiting
terbesar untuk pemasok di Padang, Sibolga dan Medan (Hutomo 2006, komunikasi pribadi,).

Habitat padang lamun di ekoregion ini memiliki luasan yang sempit karena bentuk pantai yang curam dan
pengaruh gelombang Samudera Hindia yang besar. Informasi habitat padang lamun di daerah ini masih perlu
pengkajian lebih lanjut. Beberapa spesies yang telah diidentifikasi di ekoregion ini meliputi Cymodocea
serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Haloduel uninervis, dan Thalassia hemprichii
(KLH, 2008).

Keragaman karang di ekoregion ini mencapai 387 spesies dengan dua spesies karang yang endemik. Salah satu
keunikan ekoregion ini adalah Teluk Sarabua (Siberut), sebuah teluk yang masuk jauh ke daratan dengan
kumpulan karang yang unik dan memiliki habitat terbaik fauna Samudera Hindia yang ada di Indonesia (Wallace
et al., 2001).

Teluk Sarabua (Siberut) merupakan salah satu tempat bagi enam jenis penyu bertelur di ekoregion laut ini.
Namun demikian, perilaku migrasi penyu setelah bertelur masih belum banyak diketahui. Pulau Weh dan pantai
di dekat ujung Sumatera bagian utara merupakan tempat mencari makan Penyu Sisik yang bermigrasi dari
Thailand. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak data untuk memastikan perilaku penyu di wilayah ini.
Beberapa lokasi lainnya juga berpotensi sebagai lokasi tempat penyu bertelur seperti Pulau Banyak, Bengkaru,
dan Simelue. Ironisnya, pengambilan telur penyu masih ekstensif dilakukan di daerah ini untuk mendukung
penjualan lokal di Padang (Putra, 2005).

Sekitar 85% jenis ikan karang yang ditemukan di Pulau Weh merupakan jenis yang sama dengan yang terdapat
di Kepulauan Maladewa di tengah Samudera Hindia (Huffard et al., 2012). Samudera Hindia sebelah Barat
Sumatera nampaknya juga menjadi koridor migrasi untuk spesies paus besar dan secara keseluruhan berfungsi
sebagai habitat penting bagi lumba-lumba dan paus oseanik. Terdamparnya Paus Biru memastikan keberadaan
jenis ini di Sumatera bagian Barat, selain terdapat kemungkinan Paus sperma dan jenis lainnya juga melimpah
di ekoregion ini (Salm dan Halim, 1984).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 25



Berdasarkan data IUCN, ekoregion ini memiliki beberapa


jenis organisme yang berstatus langka dan terancam
punah seperti Megamouth shark atau hiu mulut lebar
(Megachasma pelagicos) yang berstatus langka (White et
al., 2004), dugong atau duyung (Dugong dugon) berstatus
rentan, green turtle atau penyu hijau (Chelonia mydas)
berstatus genting Appendix I, penyu belimbing
(Dermochelys coriacea) berstatus kritis, penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) berstatus kritis, dan buaya muara
(Crocodylus porosus) berstatus rentan.
Megamouth shark atau hiu mulut lebar (Megachasma
pelagicos) yang berstatus langka (White et al., 2004)

Ekoregion ini juga diperkirakan sebagai koridor aliran genetik (gene flow) yang penting untuk beberapa jenis
biota laut Samudera Hindia dengan rentang jauh ke arah timur sampai ke Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Berdasarkan kajian genetik ikan pari, terdapat 6 garis keturunan yang sangat berbeda dari spesies Neotrygon
kuhlii, yang dipengaruhi oleh habitat yang terpisah. Dari pohon filogeni, nenek moyang spesies ini cenderung
berasal dari Pasifik Barat daripada wilayah segitiga karang (Arlyza and Borsa, 2010). Keberadaan clade yang
berbeda dengan jumlah yang tinggi dari famili Tridacnidae (Kima) menunjukkan adanya gen yang tersembunyi
dan karenanya kawasan ini merupakan kawasan unik yang perlu dipertimbangkan untuk upaya konservasi di
Indonesia (DeBoer et al, 2008). Sumberdaya ikan laut dalam di Samudera Hindia yang terletak di Barat Sumatera
dan Selatan Jawa tercatat sebanyak 599 spesies (415 spesies ikan, 68 udang/kepiting, dan 46 spesies cumi-
cumi).

Enam Garis Keturunan dari jenis Neotrygon


kuhlii yang dipengaruhi oleh habitat yang
terpisah (Arlyza and Borsa, 2010).

26 |ekoregion laut 1

Kawasan konservasi yang berada dalam ekoregion ini meliputi areas seluas 1.348.269,89 ha. Terdapat beberapa
kawasan konservasi laut yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD). TWAL merupakan kawasan konservasi laut dengan peringkat V pada IUCN (Protected
landscape/seascape), sedangkan KKPD merupakan kawasan konservasi laut dengan peringkat VI pada IUCN
(Protected Area area with sustainable use of natural resources). Kawasan konservasi tersebut adalah:

1. TWAL Kepulauan Banyak di Kabupaten Singkil, Aceh


2. TWAL Pulau Pieh di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
3. TWAL Pulau Weh di Kabupaten Kota Sabang, Aceh
4. KKPD Jorongmaligi di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat
5. KKPD Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
6. KKPD Kabupaten Nias, Sumatera Utara
7. KKPD Kabupaten Simuelue, Aceh
8. KKPD P. Ujung, P. Tengah, P. Angsa, P. Kasiak, Sumatera Barat
9. KKPD Pulau Penyu, Sumatera Barat
10. KKPD Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 1 berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 572. Menurut Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya perikanan antara lain: ikan pelagis besar (164,8 ribu
ton/tahun), pelagis kecil (315,9 ribu ton/tahun) dan demersal (68,9 ribu ton/tahun), udang penaid (4,8 ribu
ton/tahun), ikan karang konsumsi (8,4 ribu ton/tahun), lobster (0,6 ribu ton/tahun) dan cumi-cumi (1,7 ribu
ton/tahun).

Pada ekoregion laut ini, potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 40.264 ha
yang tersebar di sekitar Pulau Simelue, Mentawai, Nias Sipora dan Siberut, (ii) padang lamun seluas 6.290 ha
tersebar di Pesisir Barat Aceh, Simelue, Nias, Mentawai, Siberut, (iii) terumbu karang memiliki luas sebesar
32.454 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini.

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011 tersebut di atas, saat ini kondisi sumberdaya perikanan di
Ekoregion Laut 1 dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Udang sudah over exploited,
b. Ikan demersal seperti:
1 kakap merah dan kerapu over exploited
2 Spesies kurisi, kuniran, swanggi, bloso dan gulamah sudah fully exploited,
3 Spesies layur masih moderate,
c. Ikan pelagis kecil spesies banyar over exploited
d. Ikan pelagis besar:
1 spesies tuna mata besar sudah over exploited
2 Spesies madidihang sudah fully exploited
3 Spesies cakalang masih moderate

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 27



Selain itu, ekoregion ini memiliki potensi perikanan laut dalam seprti hasil ekspedisi baru-baru ini di Pulau
Enggano, Simeulue, dan bagian barat Aceh. Di sekitar Pulau Enggano atau lokasi S1 ditemukan ikan pari jenis
Plesiobatis sp.pada kedalaman 200-500 m, sedangkan kedalaman 500-750 m terdapat ikan jenis Setarches
guentheri dan kedalaman 750-1000 m dijumpai ikan pari jenis Hexatrigon longirostra. Potensi udang laut
didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-970 m.


Distribusi perikanan laut dalam di perairan sekitar
Pulau Enggano (gambar: BRKP-OFCF 2005)


Berbagai jenis ikan ekonomis penting di Pulau Enggano, Pari

jenis Plesiobatis sp, Ikan Setarches guentheri, Pari
Hexatrigon longirostra, Udang Aristeus virilis (peta: BRKP-
OFCF
2005)

28 |ekoregion laut 1

Potensi perikanan laut dalam di selatan Pulau Enggano adalah spesies ikan Caelorinchus divergens di kedalaman
500-750 m. Di kedalaman 750-1000 m ditemukan spesies Ophidiidae sp.. Untuk udang jenis Heterocarpus sp.
terdapat di kedalaman 260-950 m.

Distribusi
perikanan laut
dalam di Selatan
Pulau Enggano
(gambar: BRKP-
OFCF 2006)


Ikan Caelorinchus divergens Ikan Ophidiidae sp.


Udang Heterocarpus sp.

Potensi perikanan laut dalam di Selatan Pulau Enggano atau perairan S2 (fotor: BRKP-OFCF 2005)

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 29



Potensi ikan laut dalam di sekitar Barat Laut Simeulue didominasi oleh jenis ikan Ostracoberyx dorygenis yang
berada di kedalaman 200-500 m. Jenis udang didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-
970 m.


Distribusi perikanan laut dalam di sekitar Barat Simeulue (gambar: BRKP-OFCF 2005)







Jenis ikan Ostracoberyx dorygenis di sekitar Barat Simeulue (foto: BRKP-OFCF 2005)

Potensi laut dalam di Barat Banda Aceh didominasi oleh jenis ikan Hoplostethus rubellopterus pada kedalaman
500-1000 m. Jenis udang didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-970 m.

30 |ekoregion laut 1


Distribusi perikanan laut dalam di sekitar Barat Banda Aceh atau perairan S 5 ( gambar: BRKP-OFCF 2005)

Salah satu jenis ikan Hoplostethus rubellopterus di sekitar Barat Banda Aceh (foto: BRKP-OFCF 2005)

Potensi pemanfaatan lain di ekoregion laut 1 antara lain:

a. Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral yaitu migas di Pantai Timur Aceh,
Bengkulu, endapan placer emas dan endapan placer pasir besi,
b. BMKT di Pantai Timur Aceh, Bengkulu
Potensi jasa lingkungan berupa wisata bahari di Pulau Weh, Pulau Simelue, Pulau Nias, dan Pulau
Mentawai.

KERAWANAN BENCANA

Pada umumnya pesisir barat Sumatera yang menghadap Samudera Hindia memiliki potensi tumbukan lempeng
di sepanjang zona subduksi. Akibat adanya pertemuan Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia
mengakibatkan kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Pantai utara Pulau Sumatera merupakan
daerah yang sangat rawan terhadap tsunami karena adanya sesar aktif. Aktivitas tektonik perpanjangan zona
subduksi barat Sumatera ke arah Laut Andaman dapat pula menjadi pembangkit gempa tektonik yang besar.
Hal ini dapat menimbulkan tsunami di pantai Utara Pulau Sumatera. Kejadian tsunami besar yang melanda
Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 tidak terlepas dari kondisi geologi wilayah ini.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 31




Peta kerentanan bencana tsunami

Budiono et al. (2003) memetakan bahwa pada ekoregion ini termasuk pada kelas kerentanan tsunami tinggi.
Kriteria pantai rawan tsunami dengan resiko tinggi adalah daerah yang pernah terjadi tsunami dan mencapai
daratan, dengan tinggi gelombang berdiri lebih dari 6 meter serta menimbulkan kerusakan dan korban jiwa,
memiliki morfologi pantai landai, berteluk, sempit, pantai halus tersusun dari endapan aluvial pantai berukuran
sedang dan tidak terdapat vegetasi pelindung. Letak episentrum gempa bumi dekat dengan pantai, mekanisme
patahan normal atau naik.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 1 merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari
kegiatan rumah tangga, pelabuhan, transportasi, pertanian/perkebunan dan industri melalui limpasan air DAS
yang bermuara ke kawasan ini. Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang mungkin
mencemari kawasan ini adalah bahan organik dan bahan anorganik. Wilayah laut ini dapat memiliki nilai BOD
dan COD yang tinggi, mengalami blooming plankton dan menjadi sumber karbon yang akan menyumbang gas
rumah kaca (GRK).

Berdasarkan kegiatan yang ada, maka jenis bahan anorganik dan organic yang dapat mencemari wilayah ini
antara lain adalah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam berat, persistent organic pollutants (POPs),
poly aromatic hydrocarbon (PAH), Tributyltin (TBT), pestisida, dan sebagainya. Konsentrasi B3 yang ada di lokasi
ini berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat menghasilkan
sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk menurunkan
populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati.

Sumber utama pencemar pada ekoregion laut 1 diduga berasal dari 2 (dua) teluk utama, yaitu Teluk Bayur dan
Teluk Bungus. Di kawasan pantai ke dua teluk ini terdapat banyak kegiatan antropogenik yang berpotensi untuk
menghasilkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi yakni kegiatan pelabuhan dan berbagai aktivitas

32 |ekoregion laut 1

industri seperti tanker, perkapalan dan kontainer yang


mengangkut batubara, semen dan minyak. Wilayah Teluk
Bayur dan sekitarnya telah dilaporkan terjadi imposex
pada Neogastropoda (Thais sp.) sebagai akibat terjadinya
kontaminasi TBT yang berasal dari cat pelapis kapal (Riani
et al., 1994). Selain itu, berbagai sungai telah secara
signifikan menyumbang bahan organik dan anorganik ke
perairan ini (Indrajati et al., 2007). Studi dari Direktorat
Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam
Negeri menunjukkan adanya penurunan kualitas perairan
pantai, diantaranya parameter TSS (Total Suspended
Solids) telah melampaui nilai ambang baku mutu air laut
(Indrajati et., 2007). Demikian juga, sebagian besar sungai
yang bermuara ke pantai Kota Padang telah mengalami
penurunan kualitas, seperti nilai TSS dan TDS (Total
Dissolved Solids) melebihi 1000 ppm. Di muara Sungai
Batang Kandis nilai parameter ini mencapai 5400 ppm
pada tahun 2002 (Bapedalda Kota Padang 2003 dalam
Indrajati et al., 2007). Nilai tersebut jauh dari nilai baku
mutu air (1000 ppm). Masuknya unsur hara ke Teluk Bayur, Jalur pelayaran yang mengangkut minyak mentah ke Asia
khususnya pada musim penghujan, juga menyumbang Timur (gambar: modifikasi dari Alino dan Gomez, 2001).
nutrient dalam jumlah banyak, sehingga mengakibatkan
tingginya kelimpahan fitoplankton.

Sejumlah dinoflagelata ditemukan di kedua teluk tersebut, seperti Ceratium furca, C. focus, C. macroceros, C.
massilensis, C. tripos, Dinophysis miles dan Protoperinidium conicum. Tingginya nutrien yang berasal dari
kegiatan antropogenik tersebut juga berpotensi memunculkan terjadinya blooming plankton.

Sumber pencemaran ekoregion ini juga dapat berasal dari kegiatan sekitar pantai di Aceh dan perairan Pulau
Weh. Perairan di sekitar Pulau Weh (Kota Sabang) merupakan bagian dari pelayaran internasional karena
letaknya yang strategis di ujung barat Selat Malaka. Kapal angkut penumpang dan barang khususnya kapal peti
kemas dan kapal tanker raksasa jenis Very Large Crude Carrier (VLCC) dengan bobot mati 200.000 319.999
DWT dan Ultra Large Crude Carrier (ULCC) dengan bobot mati di atas 320.000 DWT melayari perairan ini setiap
hari, dengan frekuensi lebih dari 250 kapal melintas setiap harinya dan lebih dari 25 kapal diantaranya adalah
kapal-kapal tanker raksasa tersebut (Edyanto, 2008). Selain itu, wilayah ini juga merupakan jalur pelayaran
tanker minyak disamping yang utama adalah Selat Malaka dan Laut China Selatan (Alino dan Gomez, 2001).
Ekoregion ini juga mempunyai potensi dicemari oleh tumpahan minyak dari aktivitas kegiatan pelayaran
tersebut (Morton dan Blackmore 2001), dan berpotensi untuk tercemar oleh logam berat, PAH dan POPs dalam
jumlah yang juga tinggi.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 33



Alur utama pergerakan tanker minyak di Laut China Selatan dan Samudera Hindia (lebar panah
menggambarkan perkiraan volume relatif) dan distribusi pencemaran minyak (lingkaran terisi
menunjukkan sedikit pencemaran dan sebaliknya relatif banyak ditunjukkan oleh lingkaran
kosong) (Morton dan Blackmore, 2001).

34 |ekoregion laut 1
Pantai Pelabuhan ratu (foto : Youniar Hufan-BIG)
L-3S
LAUT CINA SELATAN

M
EL

A
AT I A
EL-4

L
A
M S

Y
AL Y

S
AK A
L

I
A A

A
ATERA UTARA M

KALIMANTA
RIAU KEPULAUAN-RIAU

KALIMANTAN BARAT

SEL
KALI MAN TAN

AT
EL-5

KA
SUMATERA BARAT

R
IM
KALIMANTAN TENGAH
JAMBI

ATA
S U MATE RA
BANGKA-BELITUNG
KALIMANTAN SEL
BENGKULU SUMATERA SELATAN

EL-1
LAMPUNG EL-6 LAUT JAWA

DKI JAKARTA
BANTEN
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA
DIY JAWA TIMUR

EL-2
BALI
N

S A
M U
D E
R A
H I
N D
I A

0 125
250 500 Km

Ekoregion Laut 2
Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa
Ekoregion Laut 2 meliputi Samudera Hindia di sebelah Selatan pada sebagian kecil Pulau Sumatera dan seluruh
2
bagian Pulau jawa. Ekoregion ini memiliki luas 655.549 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki sirkulasi arus
dan massa air yang terbentuk oleh kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung bernama Java Trench yang
terhubung dengan Samudra Hindia bagian Tenggara. Ekoregion ini mendapatkan ekstensi fenomena unik dari
pesisir Barat Sumatera berupa propagasi Wyrtki Jet dan Coastally Trapped Kelvin Waves. Kondisi memungkinkan
terjadinya upwelling dan downwelling pada kawasan ini. Fenomena upwelling dibangkitkan oleh Monsun Timur
pada saat angin Tenggara bergerak sejajar dengan Pantai Selatan Jawa. Perairan sekitar Banyuwangi adalah
lokasi awal terbentuknya pusat upwelling sebelum kemudian propagasi zona upwelling meluas ke arah barat
hingga menyusur Barat Sumatra. Pada monsun peralihan (Maret-Mei dan September-November), Coastally
Trapped Downwelling Kelvin Waves menyusuri pesisir Barat Sumatra menuju ke Tenggara kemudian menyusuri
pantai Selatan Jawa dan Nusa Tenggara.

Ekoregion Laut 2 berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu:


a. Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa berada pada
kedalaman lebih dari 200 m, sedangkan ekoregion Laut Jawa berada pada bagian Paparan Sunda dengan
kedalaman kurang dari 200 m,
b. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan pola
temperatur permukaan,
c. Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera karena perbedaan keanekaragaman hayati karang dan pola
temperatur dan salinitas perairan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 37



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 2 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk ekoregion 2
terdiri paparan benua (continental shelf), lereng benua (continental slope), dan pematang samudera (sub
marine ridge), dengan kedalaman sampai dengan 7.235 m. Ekoregion Laut 2 merupakan bagian dari Paparan
Sunda.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Suyono, 2009), hampir seluruh kawasan ini
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Suyono,
2009), kawasan ini memiliki empat cekungan yaitu Cekungan Enggano, Cekungan Bengkulu, Cekungan
Nusakambangan, dan Cekungan Nusabarong.

Arus yang dibangkitkan oleh angin pada Monsun Barat di perairan pantai selatan Jawa bergerak ke arah timur.
Sementara di lepas pantai selatan Jawa arus bergerak ke barat. Arus yang bergerak ke arah barat ini adalah arus
ekuator selatan yang permanen sepanjang tahun. Saat Monsun Timur dan Musim Peralihan II, angin yang
bertiup dari tenggara membangkitkan pergerakan arus menuju ke arah barat. Arus di sekitar pantai bergerak
dengan arah menyusur pantai, sementara arus di lepas pantai bergerak ke arah barat daya.

Tipe pasang surut di ekoregion ini bertipe campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Pembentukan pusat
upwelling terjadi pertama kali pada sekitar Juni di Selatan Jawa kemudian meluas areanya hingga mencapai
Barat Sumatera pada Agustus (Susanto et al., 2001).

Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion terdiri dari suhu air laut
(27 29C); salinitas (32 -34 PSU); konsentrasi oksigen terlarut (4,0 4,7 ml/liter); dan pH (8,0 8,75) (Wyrtki,
1961; Boyer et al., 2009). Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat (0,25 0,35
mol/liter), konsentrasi silikat (2,5 12,5 mol/liter), konsentrasi nitrat (0,5 5,0 mol/liter), dan klorofil (0,25
0,50 gram/liter) (Baumgart et al., 2005; Boyer et al. 2009).

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 2 adalah adanya keanekaragaman hayati ikan endemik di Samudera Hindia
yang teradaptasi oleh kondisi geografi yang khas. Pantai Selatan Jawa merupakan tempat peneluran empat
spesies penyu dari enam spesies yang ditemukan di Indonesia. Perairan di sekitar Selat Bali yang berdekatan
dengan Alas Purwo juga merupakan habitat ikan pelagis penting yang menunjang salah satu kegiatan perikanan
lemuru (Sardinella lemuru) yang paling produktif di Indonesia.

Mangrove di Segara Anakan (Cilacap) merupakan satu-satunya hutan mangrove yang terluas di selatan Pulau
Jawa yang masih tersisa. Kawasan Segara Anakan merupakan tempat persinggahan penting untuk burung-
burung yang bermigrasi (Putra, 2005). Mangrove ini kaya dengan keragaman jenis burung. Beberapa burung air
pesisir merupakan jenis langka dan terancam punah, termasuk bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau
tongtong (Leptoptilos javanicus) (Huffard et al., 2012).

Komunitas karang di sebagian besar pantai di selatan Jawa dan selatan Sumatera mengalami hambatan
pertumbuhan. Tingginya terpaan gelombang besar oseanik dan upwelling di sekitar Samudera Hindia menjadi
faktor penghambat pertumbuhan

38 |ekoregion laut 2

karang di ekoregion ini. Di beberapa lokasi terdapat


terumbu karang dengan tutupan rendah meskipun
tidak mendapat gangguan manusia (Adrim, 2007). Hal
ini sebenarnya tidak menjadi masalah, karena kondisi
penutupan karang rendah belum tentu tidak sehat.
Penutupan karang hidup rendah disebabkan oleh
kondisi alami di suatu perairan tetap dikatakan sehat
(Zamani dan Madduppa, 2011).
Ikan endemik di
Komunitas ikan karang di perairan Pulau Enggano Perairan Pulau Enggano:
memperlihatkan keragaman ikan indikator yang tinggi Chaetodon triangulum
mencapai 30 spesies. Dari 30 spesies tersebut, tiga (kiri), C. f alcula (tengah)
spesies merupakan spesies endemik yaitu Chaetodon dan C. guttatissimus
guttatissimus, C. triangulum,dan C. falcula (Adrim (kanan) (Masuda dan
Allen, 1987; A llen, 2012)
2007) .

Pantai Selatan Jawa merupakan tempat peneluran


penyu yang luas. Jenis penyu yang biasa bertelur di
tempat ini adalah penyu sisik, penyu hijau, penyu
lekang, dan penyu belimbing. Penyu tersebut bertelur
mulai dari Pangumbahan (Sukabumi), Sumamade
Fam. MASTIGOTEUTHIDAE (Meru Betiri) sampai di Alas Purwo (Banyuwangi).
Mastigoteuthis cordiformis
Depth 710 m ; ML 45 cm ; W 4.05 kg
CHAUNALIDAE Chaunax abei depth 500 m
Ujung kawasan Plengkung di wilayah Alas Purwo
merupakan tempat mencari makan bagi penyu
belimbing pasifik saat ubur-ubur sedang melimpah.
Data terakhir menunjukkan bahwa penyu hijau yang
Beberapa jenis
telah bertelur dari Taman Nasional Alas Purwo juga
sumberdaya perikanan
bermigrasi menyeberangi Samudera Hindia menuju
laut dalam di perairan
Samudera Hindia pantai barat Australia. Perairan dalam di atas
selatan Jawa. (foto: Mintakat abbysal yang berada pada tepi paparan
Suman, 2012) PENAEIDAE Plesiopenaeus edwardsianus depth 814 m
W 117gr CL 77.4 mm benua potensial untuk pengembangan perikanan laut
dalam. Keragaman yang tinggi dari beberapa spesies
biota laut dalam (ikan, krustasea dan cumi) berpotensi
sebagai sumber makanan laut sehat.

Dalam penelitian Borsa et al., (2012) menyebutkan perbedaan genetik ikan pari antara dua sub-spesies diduga
kuat diantara tiga spesies yang diteliti. Salah satunya adalah spesies Neotrygon kuhlii yang menunjukkan pola
peningkatan perbedaan genetik sejalan dengan peningkatan jarak wilayah pemisahnya. Selain itu, populasi ikan
pari yang terpisah dengan jarak sejauh 3000 km berbeda secara genetik berdasarkan persamaan Weir and
Cockerhams (1984) ~ 0.375.

Pada ekoregion ini terdapat tiga jenis kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Laut (CAL), Kawasan Konservasi
Perairan Daerah (KKPD), dan Suaka Margasatwa Laut (SML). CAL termasuk kedalam peringkat IA/IB (Strict

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 39



Nature Reserve/Wilderness protection area), sedangkan SML termasuk kedalam peringkat IV (Habitat/Spesies
Management Area). Kawasan konservasi tersebut adalah:

1. CAL LeuwengSancang, Jawa Barat


2. CAL PananjungPangandaran, Jawa Barat
3. KKPD Ciamis,Jawa Barat
4. KabupatenKaur, Bengkulu.
5. Kabupaten Lampung Barat, Lampung
6. Pangumbahan, KabupatenSukabumi, Jawa Barat
7. SML Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa Barat

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 2 memiliki potensi perikanan laut dalam dan sumberdaya terbarukan non ikan seperti (i)
mangrove seluas 14.933 ha, (ii) padang lamun seluas 5.855 ha yang tersebar di pesisir selatan Banten, Jabar dan
Jatim, (iii) terumbu karang seluas 5.045 ha. Ekoregion laut 2 dan 9 berada pada WPP 573. Potensi sumberdaya
perikanan di ekoregion laut ini antara lain ikan pelagis besar (201.400 ton/tahun), pelagis kecil (210.600
ton/tahun), demersal (66.200 ton/tahun), udang penaid (5.900 ton/tahun), ikan karang konsumsi (4.500
ton/tahun), lobster (1.000 ton/tahun) dan cumi-cumi (2.100 ton/tahun).

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 2 yang sudah
mengalami over exploited adalah udang, ikan pelagis kecil seperti lemuru (Sardinella lemuru), ikan pelagis besar
seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Spesies ikan demersal seperti
kerapu merah (Lutjanus malabaricus dan L. erythropteru) dan kuwe (Caranx sexfasciatus), serta ikan pelagis
besar seperti madidihang (Thunnus albacares) dan albakora (Thunnus alalunga) sudah fully exploited. Kategori
pemanfaatan moderate pada jenis ikan demersal seperti layur (Trichiurus lepturus), ikan pelagis kecil seperti
layang (Decapterus kuroides), cumi-cumi, dan ikan pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus pelamis) masih
moderate.

Potensi perikanan laut dalam di lokasi Selatan Jawa didominasi ikan pari (Plesiobatis sp.) pada kedalaman 200-
500 m. Spesies udang yang ditemukan adalah Heterocarpus sp. yang terdapat pada kedalaman 260-950 m.

40 |ekoregion laut 2

Distribusi perikanan laut dalam di perairan sekitar Luat Jawa Selatan atau J2 ( gambar: BRKP-OFCF 2005)

Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral yang terdapat di ekoregion laut 2 berupa satu
lokasi cekungan sedimen sudah dibor, satu lokasi mengandung thorium, satu lokasi area potensial distibusi
endapan iron titanifferous, dan dua lokasi area potensial distibusi endapan placer emas. Potensi lainnya adalah
air mineral laut dalam (deep sea water) yang terdapat di Pelabuhan Ratu dan digunakan untuk air minum
melalui proses destilasi. Kawasan ini juga memiliki potensi jasa lingkungan berupa wisata bahari di Pantai
Pangandaran dan Pantai Parang Teritis.

KERAWANAN BENCANA

Berdasarkan aspek geologi, wilayah ini merupakan zona subduksi lempeng tektonik, sehingga rawan terhadap
bencana gempa dan tsunami. Pada pesisir Pulau Sumatera dan Pantai Jawa bagian Barat yang berbatasan
dengan Selat Sunda memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap tsunami. Hal ini disebabkan pantai
tersebut memiliki kriteria terbuka dan berhadapan langsung dengan sumber gempa.

Sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa dikategorikan memiliki kerentanan sedang terhadap tsunami. Pantai
rawan tsunami dengan resiko sedang memiliki kriteria pernah terjadi tsunami dan mencapai daratan, dengan
tinggi gelombang berdiri lebih dari 2-6 m serta menimbulkan kerusakan dan korban jiwa, memiliki morfologi
pantai memanjang tanpa lekukan dan tingkat kekasaran pantai sedang. Letak episentrum gempa bumi agak
jauh dengan pantai, mekanisme patahan normal atau naik (Budiono et al., 2003). Beberapa lokasi di sepanjang
Pantai Selatan Jawa memiliki tipe pantai yang bertebing.

Berdasarkan Peta Rawan Tsunami (Sulistyo dan Suyono, 2009), daerah rawan tsunami terdapat di pantai selatan
Pulau Jawa, terutama pantai perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kondisi ini seperti pada daerah yang
bermorfologi teluk antara lain di Teluk Pangandaran Jawa Barat, Teluk Penyu dan Segara Anakan di Cilacap,
Jawa Tengah. Dampak tsunami paling besar terjadi di Segara Anakan karena memiliki relief yang datar pada
morfologi dataran aluvial yang luas. Keberadaan Pulau Nusakambangan secara geografis menguntungkan Kota
Cilacap karena menjadi barrier utama terhadap gelombang tinggi tsunami. Teluk Penyu ke arah timur juga
memiliki kerawanan yang cukup tinggi karena topografi wilayahnya. Semakin ke arah timur hingga kerawanan

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 41



menurun karena adanya morfologi beting pantai tidak aktif atau inactive beach rigde di sepanjang pantainya
hingga di perbatasan antara Jawa Tengah dan Daerah Istimiwa Yogyakarta (DIY) bagian barat. Pantai selatan DIY
memiliki kerawanan tsunami cukup tinggi pada pantainya sehingga daerah belakang pantai yang bermorfologi
swale. Pantai Selatan Jawa bagian timur yang rawan terhadap tsunami terutama pada teluk-teluk yang
pantainya merupakan pocket beach dengan latar belakang berupa perbukitan berlereng terjal hingga curam.
Pantai Pengambengan di bagian Selatan Jawa Timur dengan bentuk lahan berupa fluviovolcanic plain dan relief
miring merupakan daerah yang rawan tsunami. Begitu pula yang terjadi di daerah ujung selatan paling timur
pantai Jawa Timur yang memiliki lereng datar hingga miring rawan terhadap dampak tsunami.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 2 merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari
limpasan air yang berasal dari kegiatan di darat seperti pertanian, rumah tangga dan industri. Oleh karena itu
kawasan ini berpotensi untuk tercemar oleh limbah yang mengandung bahan organik, bahan anorganik dan B3.
Bahan tercemar ini masuk melalui limpasan beberapa sungai yang bermuara ke wilayah ini. Wilayah laut ini
berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, yang pada akhirnya juga berpotensi untuk mengalami
blooming plankton dan berpotensi untuk menjadi source carbon yang akan menyumbang GRK. Hal ini sesuai
dengan hasil pemantauan parameter kualitas air terutama ditinjau dari kandungan bahan organiknya yang
memperlihatkan nilai BOD, COD, DO dan TSS di beberapa DAS yang berada di atas ambang batas, baik menurut
Kriteria Mutu Air (KMA) kelas I maupun II (KLH, 2009a). Sebagai contoh, Sungai Progo, Sungai Opak dan Sungai
Serang yang bermuara pada laut di daerah Bantul dan Kulon Progo, serta Sungai Cintandui yang bermuara di
Segara Anakan Cilacap miliki status tercemar berat (KLH, 2009a). Selain itu, perairan Segara Anakan yang
terhubung dengan ekoregion ini juga telah terdeteksi mengandung berbagai bahan organik yang berasal dari
kegiatan anthropogenik seperti rumah tangga, pertanian, akuakultur, industri dan perkapalan (Sudaryanto,
2001; Dsikowitzky et al., 2011). Lebih dari 50 jenis bahan organik antroropogenik ditemukan di berbagai macam
sampel seperti air, sedimen dan terakumulasi pada organisme bentos dan ikan demersal yakni ikan yang hidup
di dasar perairan (Dsikowitzky et al., 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani et al. (2013, belum
dipublikasikan) yang memperlihatkan adanya akumulasi logam berat pada organisme benthos.

Di wilayah ini juga berpotensi untuk tercemar B3 jenis lain seperti POPs, PAH, dan pestisida. Limbah B3 yang
masuk ke wilayah ini berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat
menghasilkan sumberdaya perairan yang tidak aman untuk dikonsumsi, dapat menurunkan populasi, bahkan
mengganggu kelestarian mahluk hidup yang ada di dalamnya.

Kawasan ekoregion ini juga berpotensi dicemari oleh tumpahan minyak dari lalu lintas perkapalan (Morton dan
Blackmore, 2001), terutama kapal tanker yang membawa minyak mentah ke industri Pengolahan Minyak
Pertamina di Cilacap. Kondisi ini berpotensi untuk tercemari oleh logam berat, PAH dan POPs yang berasal baik
dari ceceran maupun dari tumpahan minyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dsikowitzky et al. (2011) di perairan Segara Anakan, terutama di Sungai Donan yang menunjukkan adanya
dominasi bahan organik polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs), khususnya alkylated PAHs yang biasa terdapat
di minyak mentah. Penelitian Riani et al. (2013 belum dipublikasikan) di Sungai Donan juga menunjukkan
bahwa Sungai Donan juga telah tercemar oleh logam berat Hg, Pb dan Cd.

42 |ekoregion laut 2
Nelayan Tanjung Pinang Kep Riau (foto : Handoko)

T
H
A
I L
A
0 75 150 300 Km

N
D
NGGROE
H DARUSSALAM

M
EL-3

A
L
A
EL-4

Y
S
I A
SUMATERA UTARA

RIAU KEPULAUAN-RIAU

S U MAT E RA
EL-1 EL-5
S
A

SUMATERA BARAT
M
U

JAMBI
D
E
R

B
A
H
I

BENGKULU SUMATERA SELATAN


N
D
I
A

Ekoregion Laut 3
Selat Malaka
Ekoregion Laut 3 meliputi perairan laut di sebelah Timur Pulau Sumatera. Ekoregion ini memiliki luas 111.343
2
km . Ciri khas ekoregion ini adalah laut dangkal yang lebih bersifat sebagai pesisir karena sangat dipengaruhi
oleh sifat daratan, yakni oleh banyaknya sungai yang bermuara di ekoregion tersebut. Massa air dari sungai-
sungai di pesisir tersebut membawa nutrien, sedimen, salinitas rendah ataupun massa air dengan pH rendah
yang berasal dari sungai lahan gambut. Kondisi fisik tersebut menyebabkan ekosistem mangrove, lamun, dan
terumbu karang di ekoregion ini dapat hidup dengan baik dan memiliki keanekaragaman hayati unik tertentu.

Ekoregion Laut 3 berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu:


a. Laut Natuna karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang,
b. Selat Karimata karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Selat Malaka memiliki sistem pasang
surut semi diurnal sedangkan ekoregion Selat Karimata memiliki sistem pasang surut diurnal (Wyrtki, 1961),
c. Samudera Hindia karena perbedaan batimetri. Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda dengan
kedalaman <200 m sedangkan Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki rata-rata kedalaman
>200 m.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |45



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion Laut 3 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut
kawasan ini adalah paparan benua (continental shelf) dengan kedalaman sampai 258 m. Ekoregion Laut 3
merupakan bagian dari Paparan Sunda.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), seluruh ekoregion laut ini memiliki
o
dominasi kemiringan kelas lereng miring (1-3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang memiliki kelas lereng datar
o
agak miring (0-1 ).

OSEANOGRAFI

Pengaruh Monsun dari Asia sangat kental mewarnai ekoregion ini. Pada saat Angin Monsun Barat, angin dari
arah Laut China Selatan berbelok ke arah tenggara membawa banyak hujan yang terjadi antara Bulan Desember
hingga Januari. Hal ini mengakibatkan banyak volume air sungai yang bersalinitas rendah masuk ke ekoregion
ini. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat Angin Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010).

Tipe pasang surut di ekoregion ini sebagian besar bertipe semidiurnal. Hal ini sebagai pengaruh dari Teluk
Benggala yakni di bagian utara selat hingga sebelum wilayah perairan Kepulauan Riau yang memiliki tipe
campuran cenderung semidiurnal. Tipe campuran tersebut dimungkinkan terjadi di wilayah tersebut adalah
persimpangan perbedaan tekanan muka laut dari arah Teluk Benggala, Selat Karimata dan Laut China Selatan
yang melalui Laut Natuna.

Sirkulasi arus di ekoregion ini secara umum lebih dipengaruhi oleh pasang surut. Arus terkuat terjadi pada saat
menuju surut, dengan polanya yang sama dengan pada saat air surut terendah, sirkulasi masuk ke ekoregion ini
sebagian besar berasal dari arah Teluk Benggala dan sebagian lagi dari arah Kepulauan Riau. Pada saat menuju
pasang dan saat air pasang tertinggi, arus sebagian bergerak dari Selat Malaka menuju ke Teluk Benggala dan
sebagian lagi bergerak ke arah Kepulauan Riau (Wyrtki, 1961; Pranowo dan Husrin, 2003; Mustikasari et al.,
2010).

Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini
(Wyrtki, 1961; Pranowo dan Husrin, 2003; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut (29,0 29,5C), salinitas (30-
32 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4,2 4,5 ml/liter), dan pH (6,5 8,5). Kondisi sebaran nutrien di
ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat (0,35 0,85 mol/liter), konsentrasi silikat (2,5 25,0 mol/liter),
konsentrasi nitrat (2 10 mol/liter), dan klorofil (0,05 0,50 gram/liter) (Boyer et al. 2009).

Salah satu wilayah yang unik di ekoregion ini adalah wilayah perairan Bintan sebagai tempat pariwisata
memancing ikan di laut bagi turis terutama dari Malaysia dan Singapura hampir sepanjang tahun. Menurut
Pranowo dan Husrin (2003), pola arus pasang surut secara umum menunjukkan bahwa arus di sebelah Selatan
dari Perairan Bintan Timur lebih dinamis dibanding arus di sebelah Utara.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 3 adalah sebagai koridor konektivitas ekosistem dari Laut Andaman ke Laut
Natuna/Laut Cina Selatan. Koridor ini memiliki habitat unik dan merupakan koridor potensial untuk penyebaran
larva perairan pedalaman Indonesia dan Samudera Hindia bagian timur.

46 |ekoregion laut 3

Rawa payau dataran rendah di pantai timur Sumatera


ditumbuhi oleh mangrove yang cukup lebat. Salah satu
wilayah mangrove dan rawa payau yang penting berada
di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan dengan
luas sekitar 200.000 hektar, yang telah dikukuhkan sejak
tahun 2003. Berbagai produk dari bakau yang menjadi
sumber mata pencaharian masyarakat setempat antara
lain untuk bahan bangunan (Rhizopora apiculata,
Bruguiera gymnorrhiza), arang (Sonneratia sp., Avicennia
sp.), bahan pembuatan kapal (Avicennia sp., Sonneratia
sp), produk makanan dan minuman jus/sirup (Avicennia
sp., Sonneratia sp.), dan madu. Fungsi tersebut termasuk
sebagai plasma nutfah alami untuk obat-obatan,
pelindung pesisir dari erosi gelombang dan intrusi air
laut, serta penghasil ikan, udang dan kepiting.

Di pantai timur dan utara Pulau Bintan ditemukan Pertumbuhan berbagai spesies lamun di padang lamun pesisir
padang lamun yang luas (2.600 ha) dengan kerapatan timur P. Bintan. (foto: Trismades)
dan keragaman spesies yang tinggi. Dari 13 spesies
lamun di Indonesia, 10 spesies ditemukan di pesisir timur
Pulau Bintan. Spesies lamun tersebut adalah Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Halophila
spinulosa, Halophila ovalis, Halodule pinifolia,
Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum,dan
Thalassia hemprichii. Spesies Thallassodendron ciliatum
yang biasanya didapatkan di perairan timur Indonesia
mempunyai tingkat pertumbuhan yang cukup bagus di
ekoregion ini. Gambar di bawah memperlihatkan
berbagai spesies lamun di pesisir timur Pulau Bintan.
Selain pertumbuhannya yang cukup baik, padang lamun
di Bintan ini dihuni oleh biota asosiasi yang cukup
beragam dan menjadi salah satu daerah perikanan
tradisional yang cukup produktif (Wothuyzen et al.,
2008).


Biota asosiasi padang lamun di Pesisir timur Pulau Bintan .

(foto: Trismades)

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |47



Padang lamun di Bintan ini, terutama di Desa Berakit dan Pengudang, juga menjadi habitat duyung (Dugong
dugon). Beberapa kali binatang langka ini terperangkap di alat tangkap sero (kelong darat) penduduk
(Wothuyzen et al., 2008).


Duyung di padang lamun Desa Berakit dan Pengudang, Pulau Bintan. (foto: Trismades)
Sedimentasi sangat mempengaruhi sebagian besar habitat terumbu karang di kawasan ini, karena banyak
sungai-sungai besar yang masuk ke Selat Malaka. Terumbu karang memiliki keragaman jenis yang relatif rendah,
kecuali di beberapa lokasi seperti Batam, Bintan, Senayang dan Lingga. Persentase tutupan karang di Batam
mencapai 60%, Bintan 55%, dan Senayang Lingga 62% (Sulistyo dan Triyono, 2009).

Ekoregion ini diduga menjadi koridor migrasi dangkal yang penting untuk Cetacea (Putra, 2005), serta bagi
beberapa vertebrata karismatik, seperti burung laut dan penyu. Sumatera bagian timur dan Selat Malaka
merupakan salah satu tempat persinggahan yang penting bagi burung air yang bermigrasi, terutama dari suku
Charadriidae dan Scolopacidae. Burung-burung tersebut melakukan migrasi tahunan dari lokasi bersarang
mereka di belahan bumi utara melalui Asia Timur dan Australia menuju belahan bumi selatan. Berdasar data
IUCN, beberapa burung ini merupakan jenis langka dan terancam punah, termasuk trinil-lumpur asia
(Limnodromus semipalmatus), trinil nordmann (Tringa guttifer) berstatus genting, dan kuntul cina (Egretta
eulophotes). Selat Malaka juga merupakan jalur migrasi penting yang digunakan oleh penyu sisik dan penyu
hijau, yang beberapa diantaranya bergerak dari Kepulauan Upeh-Malaysia untuk mencari makan di Riau.

Selat Malaka secara global sangat penting bagi sejumlah vertebrata pesisir. Buaya muara Crocodylus porosus
(status IUCN: rentan) menghuni hutan bakau di Delta Banyuasin-Sungai Musi, Taman Nasional Sembilang, dan
Selat Dumai. Reptil terbesar di dunia yang masih hidup ini, berbiak di kawasan bakau Muara Kampar, Riau.
Ekoregion Selat Malaka merupakan habitat yang paling penting di dunia untuk bangau bluwok Mycteria cinerea,
salah satu burung yang paling terancam punah di dunia. Selama tahun 1990-an total populasinya di seluruh
dunia hanya mencapai 5.000-6.000 ekor, dimana lebih dari 90% di antaranya terdapat di hutan-hutan bakau di
pesisir timur Sumatera dan di pantai utara dan selatan Jawa (Segara Anakan). Bangau bluwok dapat ditemukan
secara eksklusif di hutan bakau Pantai Timur Jambi, Tanjung Koyan, Tanjung Selokan dan Semenanjung
Banyuasin di Sumatera Selatan. Bangau tongtong Leptoptilos javanicus (Lesser Adjutant), yang berstatus rentan
(IUCN) dan Chitra indica (status IUCN: kritis) bersarang di bakau yang ada di Selat Malaka, dengan sebagian
besar populasinya dapat ditemukan di pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Utara),
pantai utara Jawa (Delta S. Brantas dan Bengawan Solo) dan di pantai selatan Jawa (Segara Boneka).

48 |ekoregion laut 3



Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di ekoregion ini meliputi:
1. KKPD di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau .
2. KKPD di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
3. KKPD di Kota Batam, Kepulauan Riau.
4. KKPD di Senayang Lingga, Kepulauan Riau.

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 3 berada pada WPP 571. Merujuk Keputusan Menteri KP Nomor 45/2011, potensi sumberdaya
perikanan antara lain sumberdaya ikan pelagis besar (27.700 ton/tahun), pelagis kecil (147.300 ton/tahun),
demersal (82.400 ton/tahun), udang penaid (11.400 ton/tahun), ikan karang konsumsi (5.000 ribu ton/tahun),
lobster (400 ton/tahun) dan cumi-cumi (1.900 ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan meliputi: (i) mangrove dengan luas 3.641 ha tersebar di Pulau
Natuna, Pulau Subi Besar dan Pulau Panjang, (ii) padang lamun luas 5.976 ha tersebar di pesisir Natuna, dan
Pulau Subi, dan (iii) terumbu karang luas 37.775 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini.

Berdasarkan Keputusan Menteri KP Nomor 45/2011 ditetapkan status pemanfaatan sumberdaya perikanan di
Ekoregion Laut 3. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah over exploited termasuk udang, ikan
demersal seperti Spesies kurau (Eleutheronema tetradactylum), manyung (Ariidae spp) dan kakap merah
(Lutjanus bitaeniatus/Lutjanus malabaricus), dan ikan pelagis kecil seperti Spesies banyar (Rastrelliger
kanagurta) dan kembung (Rastrelliger brachysoma). Tingkat pemanfaatan yang sudah fully exploited pada ikan
demersal seperti Spesies kurisi (Nemimterus spp), kuniran swanggi (Priacanthus tayenus), bloso (Saurida
tumbil) dan gulamah (Nibea albiflora), ikan pelagis kecil seperti spesies layang (Decapterus macarellus,
Decapterus macrosoma, Decapterus ruselli). Beberapa spesies lainnya dalam tingkat moderate pemanfaatannya
seperti ikan pelagis kecil (golok-golok Chirocentrus dorab) dan ikan pelagis besar (cakalang Katsuwonus pelamis)
sebagai berikut:

Potensi sumberdaya tidak terbaharukan di ekoregion ini adalah sumberdaya mineral berupa satu cekungan
migas yang masih berproduksi. Ekoregion ini juga mempunyai satu lokasi jalur granit di sekitar Kepulauan Riau
hingga Singkep. Satu kawasan yang memiliki potensi endapan placer spekulatif yang mengandung mineral
radioaktif berupa Thorium (Th) sampai 30m dibawah laut. Terdapat satu lokasi yang memiliki potensi endapan
pasir berukuran gravel. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari
Selat Batam sebagai pembangkit listrik.

KERAWANAN BENCANA

Secara geologi, Ekoregion Laut 3 relatif aman terhadap bencana tsunami. Hal ini disebabkan wilayah ini bukan
merupakan jalur subduksi lempeng benua. Karakteristik selat ini memiliki kedalaman yang relatif dangkal. Jenis
kebencanaan yang banyak terjadi di wilayah ini bukan merupakan bencana alam seperti tsunami, namun
kerentanan tinggi terhadap kebencanaan yang berasal dari faktor manusia atau bencana antropogenik. Karena
merupakan lalu lintas kapal yang padat, wilayah ini rentan terhadap tumpahan minyak (Muarif, 2002),
perompakan, dan konflik perbatasan (Djalal, 2006).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |49



PENCEMARAN

Perairan Selat Malaka berpotensi menerima berbagai bahan pencemar, dan selanjutnya akan berakibat pada
terjadinya degradasi lingkungan. Selat Malaka merupakan salah satu perairan yang dilaporkan mengalami
degradasi (Chua et al. 2000). Sumber pencemaran yang dapat mencemari kawasan ini adalah kegiatan yang
berasal baik dari darat seperti rumah tangga, pertanian/perkebunan dan industri; maupun yang berasal dari
laut seperti perkapalan, transportasi laut dan kegiatan migas. Bahan pencemar yang berpotensi untuk
mencemari adalah bahan organik dan bahan anorganik. Kondisi ini memungkinkan tingginya nilai BOD dan COD
serta TSS, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi plankton dan akan menyumbang
terjadinya GRK ke atmosfir. Adanya potensi pencemaran B3 di lokasi ini juga akan memberikan potensi untuk
terkontaminasinya mahluk hidup yang hidup di dalam wilayah perairan tersebut, sehingga berpotensi untuk
menjadi ancaman terhadap kelestariannya, sekaligus dapat berakibat pada tidak amannya sumberdaya perairan
yang terdapat di lokasi tersebut.

Berbagai DAS yang bermuara ke timur Sumatera dan kepulauan Riau membawa berbagai limbah dari aktivitas di
darat dan dapat menyumbang pencemaran di kawasan ini. Dari hasil pemantauan parameter kualitas air seperti
BOD, COD, DO, TSS, nitrit, ammonia, total fosfor, fenol, parameter deterjen, fecal coli dan total coliform di
Sungai Lawe Alas (Aceh), Batahan (Sumatera Utara), Sungai Kampar (Riau) dan Sungai Batanghari (Jambi)
menunjukkan nilai di bawah ambang batas, baik menurut KMA kelas I maupun II (KLH, 2009a). Menurut KLH
(2009a), sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka memiliki status mutu air tercemar sedang sampai berat.
Demikian juga sungai-sungai di Lhokseumawe, Deli, Belawan dan Asahan, juga sudah dilaporkan cukup tercemar
(Chua et al., 2000). Sebagai contoh, kandungan beberapa logam berat seperti Hg, Pb, Cu dan Cd dalam air di
beberapa lokasi tersebut telah melampaui nilai ambang batas baku mutu (Dahuri dan Pahlevi, 1996, dalam Chua
et al., 2000).

Logam berat adalah parameter pencemar yang biasa dilaporkan ada di Selat Malaka. Hal ini berhubungan
dengan pelabuhan, penyulingan minyak, eksploitasi minyak lepas pantai dan transportasi (Amin, 2002; Nasution
dan Siska, 2011, Chua et al., 2000). Konsentrasi tinggi dari tembaga, kadmium, kobalt, nikel, timah dan seng
juga ditemukan di perairan lepas pantai selatan Singapura dan beberapa lokasi di Malaysia (Chua et al., 2000).

Nilai BOD di pantai timur Sumatera Utara berkisar antara 3.3 56.6 mg/l, sedangkan nilai COD berkisar antara
10.8 766.1 mg/l (Chua et al., 2000). Kawasan ini juga menerima limbah yang berasal dari limpasan air sungai
dari Malaysia dan Singapura. Perkiraan loading BOD dari pembuangan limbah domestik di wilayah pesisir
Indonesia, Malaysia dan Singapura pada tahun 1998 mencapai 5014 ton/hari dan meningkat menjadi lebih dari
6000 ton perhari pada tahun 2000 (Chua et al., 2000).

Beberapa bahan organik anthropogenik beracun, seperti POPs, PAH, TBT juga dilaporkan terdapat di perairan ini.
Penggunaan bahan kimia pertanian yang tinggi setiap tahun di kawasan Pulau Sumatera, seperti insektisida
(3780 ton), fungisida (110 ton), rodentisida (291 ton) dan herbisida (22 ton), maka pestisida organoklorin
terdeteksi di lokasi tersebut, seperti pada sedimen dari muara Sungai Siak (Munawir, 1996; Sudaryanto et al.,
2007) dan Sungai Asahan (Munawir, 2002; Sudaryanto et al., 2007). Demikian juga halnya dari sisi negara
tetangga Malaysia, residu pestisida organoklorin khususnya DDE, DDT dan heptaklor umumnya terdeteksi
dihampir semua sungai Semenanjung Malaysia (Abdullah et al., 1998 dalam Chua et al., 2000). Selain itu, TBT
yang digunakan sebagai cat antifouling pada kapal dan jaring akuakultur terdeteksi relatif tinggi di sepanjang

50 |ekoregion laut 3

jalur pelayaran Selat Malaka (Hashimoto et al., 1998). Konsentrasi TBT yang tinggi juga umum ditemukan di
sedimen, kerang dan ikan dari perairan yang berhubungan dengan aktivitas perkapalan, seperti Pelabuhan
Belawan (Sudaryanto et al., 2003) dan di sepanjang sisi pantai barat Malaysia (Sudaryanto et al., 2004). Lebih
lanjut, dampak dari pencemaran TBT ini telah menyebabkan kejadian imposex (pemandulan) di hewan
gastropod di perairan Selat Malaka (Swennen et al., 1997). Hal ini mengindikasikan ancaman, tidak hanya
terhadap keanekaragaman hayati tetapi juga keamanan pangan dan kesehatan manusia.

Selat Malaka juga berfungsi sebagai jalur laut utama untuk kapal tanker dan kapal kargo yang menghubungkan
antara Samudera Hindia dan Laut China Selatan (Alino dan Gomez, 2001). Jumlah pengangkutan minyak dengan
tanker melewati selat ini diperkirakan mencapai lebih dari 3 juta barrel per hari (Alino dan Gomez, 2001).
Karakter hidrografi selat yang sempit dan dangkal, terutama di bagian selatan, menyebabkan daerah ini sangat
rentan terhadap kecelakaan kapal tanker yang dapat menyebabkan pencemaran oleh tumpahan minyak ke laut
(Nedi et al. 2010). Dari tahun 1978-1994, telah dilaporkan terjadi sekitar 476 kecelakaan kapal di Selat Malaka
yang menyebabkan tumpahan minyak (Chua et al., 2000). Sedangkan Tabel di bawah menunjukkan berbagai
kecelakan kapal tanker yang terjadi di Selat Malaka dari sisi wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan tersebut
menimbulkan dampak pada lingkungan pesisir, produksi perikanan dan kehidupan nelayan di daerah-daerah.

Kejadian tumpahan minyak di Ekoregion Laut Selat Malaka, 1975-2004

No Tahun Tahun Kejadian, Tipe/Volume Oill Spill


1. 1975 Selat Malaka Showa Maru tenggelam (1 juta barel solar)
2. 1975 Selat Malaka Tabrakan Isugawa Maru dan Silver Palace
3. 1979 Lhokseumawe Golden Win bocor (1500 kl minyak tanah)
Tabrakan MT Ocean Blessing dan MT Nagasaki
4. 1992 Selat Malaka Spirit (5000 barrel oil)
5. 1993 Selat Malaka Tanker Moersk bertabrakan
6. 1996 Natuna KM Batamas Sentosa II tenggelam (MFO)
Tanker MT. Kuala Berkah, tenggelam Jenis minyak
7. 1996 Kepulauan Riau LSWR
8. 1996 Belawan MT. Pan Oil , tenggelam, CPO
9. 1997 Kepulauan Riau Orapin Global dan Evoikos, tabrakan

10. 1997 Kepulauan Riau Pipa transfer minyak Caltex, bocor (minyak mentah)
11. 1999 Batam Mighty Serent II, tenggelam, limbah minyak
12. 2000 Batam MT Natuna Sea kandas (4000 ton minyak)
13. 2002 Bengkalis, Riau TKG. Bumindo, tenggelam, MFO
MV. Kamimasen Hyundai, Tongkang Cargo,
14. 2004 Selat Malaka tabrakan (minyak)
15. 1999 Batam Mighty Serent II, tenggelam, minyak
Tanjung Balai,
16. 2004 Karimun Tanker, MT. Vista Mariner, tenggelam, minyak
17. 2004 Pekanbaru Tanker MT. Maulana, terbakar, minyak

18. 2004 Batu Ampar, Batam Kapal Motor, KM. Swadaya Lestari, limbah minyak
Sumber: Kementerian Perhubungan dalam BOBLME (2011)

Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, Ekoregion Laut 3 juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan
dari kegiatan migas. Sekitar 21 perusahaan minyak dan gas beroperasi di wilayah pantai Pulau Sumatera yang
menghadap ke Selat Malaka. Berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut yang ditunjukkan pada gambar
di bawah (KLH, 2009b), terdapat 4 (empat) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas dan
berlokasi di Lhokseumawe dan Riau. Dan 1 (satu) sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan industri kimia
di Batam

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |51



Sebaran Ladang dan Kilang Minyak, serta Gas di Indonesia.


Peta sumber potensi pencemar dari kegiatan industri yang dibuang ke laut (gambar : KLH, 2009b)

Sebagai akibat penurunan kualitas perairan, berbagai indikator menunjukkan bahwa terjadi penurunan stok
ikan di Selat Malaka (Chua et al., 2000). Sehingga lebih banyak upaya diperlukan untuk menangkap ikan pelagis
di Selat Malaka, atau nelayan berpindah kegiatan ke perairan lain. Selain itu, telah dilaporkan pula bahwa
industri akuakultur dari kerang dan tiram, juga rentan terhadap kerusakan dari tumpahan minyak. Misalnya,
industri akuakultur di Malaysia diperkirakan kehilangan RM 66,5 juta (US $ 26 juta) sebagai akibat dari
tumpahan minyak di Johor (Tahir, 1996 dalam Chua et al., 2000).

52 |ekoregion laut 3
Terumbu karang di kawasan Selat Malaka (foto : Handoko)
0 75

150 300 Km

LAUT CINA SELATAN

EL-4
M
A
L
A
Y

S
S

Y
A
I A

L
A
M

KEPULAUAN-RIAU

KALIMANTAN BARA

EL-5 KALI MAN TAN


SEL

MAT E RA
AT
KA

AMBI
R
IM
ATA

Ekoregion Laut 4
Laut Natuna
Ekoregion Laut 4 meliputi perairan laut dan gugus kepulauan di sebelah Barat laut Kalimantan dan memiliki luas
2
360.402 km . Ciri khas ekoregion ini adalah sangat dipengaruhi oleh angin monsun dan massa air dari Laut China
Selatan. Kondisi variabilitas angin, dan perbedaan antara suhu permukaan laut dengan suhu udara diatasnya
seringkali menimbulkan benih siklon tropis yang kemudian tumbuh besar ke arah lintang yang lebih tinggi.
Terdapat fenomena fisik arus unik yang bernama Natuna-Off-Shelf-Current dan arus eddy (arus memutar) yang
membawa nutrien dari pesisir pantai terdekat ke arah laut sehingga ekoregion ini adalah sangat kaya akan ikan.

Ekoregion Laut 4 berbatasan dengan 2 ekoregion laut yaitu Selat Malaka dan Selat Karimata karena perbedaan
keanekaragaman hayati dan perbedaan batimetri pada kedalaman 50 m.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 55



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, Ekoregion Laut 4 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk
ekoregion 4 adalah paparan benua (continental slope) dengan kedalaman sampai dengan 1.879 m. Ekoregion ini
merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono,
o
2009). Pada Kawasan ini kemiringan kelas lereng miring (1-3 ) mendominasi walaupun ada sebagian pesisir yang
o
memiliki kelas lereng datar agak miring (0-1 ).

Peta Karakteristik Pantai Pulau Senoa, salah satu pulau di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau sebagai salah satu
Pulau Terdepan NKRI (Sumber : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2010) (kiri) Salah satu patok titik dasar (TD-032) yang
terdapat di Pulau Subi Kecil (Gugusan Pulau Serasan) Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau sebagai pulau terdepan
berbatasan dengan Malaysia (gambar : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2010) (kanan)

OSEANOGRAFI

Ekoregion Laut Natuna sangat dipengaruhi oleh monsun. Pola sirkulasi arus sangat dominan pada Monsun Barat
yang dibangkitkan oleh angin Timur Laut dari arah Laut China Selatan, dan juga kuat pada saat Monsun Timur
dimana arus dibangkitkan oleh Angin Barat Daya menuju ke arah Laut China Selatan. Pada saat Monsun
Peralihan, kekuatan angin berhembus lemah, arah angin tidak menentu yang menyebabkan pola sirkulasi lokal
juga sangat kurang dari 60 cm/detik (Wyrtki 1961; Fang et al., 2002; Mustikasari et al., 2010). Pada Monsun
Peralihan terdapat fenomena fisik arus unik yang bernama Natuna-Off-Shelf-Current yang merupakan
perpanjangan dari arus Southern-China-Sea-Cyclonic-Eddy yang memutar balik ke arah Laut China Selatan di
Laut Natuna, dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam (Wyrtki, 1961; Xue et al., 2004).

56 |ekoregion laut 4

Laut Natuna memiliki tipe pasang surut campuran cenderung diurnal yang merupakan pengaruh dari Laut China
Selatan (Wyrtki, 1961). Selanjutnya kopling antara atmosfer dengan laut adanya transpor pertukaran massa air
antara perairan Indonesia dengan massa air Laut China Selatan yang melalui/di Laut Natuna.

Perairan di ekoregion ini termasuk bukan area upwelling. Tetapi daerah ini disuplai oleh cukup nutrien melalui
upwelling yang terjadi di sekitar Vietnam (Juni-Agustus) dan Pesisir Malaysia di Pulau Kalimantan bagian Utara
(Maret-Mei) (Mustikasari et al., 2010).

Secara umum kisaran komponen fisik dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini adalah suhu
air laut cukup tinggi (27,5 29,5C), salinitas (32,5-33,5 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4,0 4,6 ml/liter); pH
(8,0 8,75) (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009). Di kawasan ini konsentrasi fosfat berkisar antara 0,05 0,35
mol/liter; konsentrasi silikat 7,5 30,0 mol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 5,0 mol/liter; dan klorofil 0,05 5,0
gram/liter (Pranowo et al. 2012c; Boyer et al. 2009).

Pada musim Monsun Timur, ekoregion ini mencapai suhu terendah diseluruh perairan Indonesia dengan kisaran
26 27C. Pada saat Monsun Barat mencapai suhu tertinggi di seluruh perairan Indonesia dengan rerata suhu
berkisar 29 30C. Menurut Pranowo et al. (2012c), suhu rerata pada Monsun Barat di lapisan kedalaman 0-20
m (permukaan) berkisar 26,52 27,30C, di lapisan 20-50 m berkisar antara 26,28-26,68C, di lapisan 50-100
mberkisar antara 24,32-26,05C; suhu rerata pada Monsun Peralihan I, di lapisan kedalaman permukaan
berkisar antara 28,01 29,51C, di lapisan 20-50 m berkisar antara 27,15-27,77C, di lapisan 50-100 m 24,67-
25,65C. Selanjutnya suhu rerata pada Monsun Timur di lapisan permukaan berkisar antara 28,59 29,46C, di
lapisan 20-50 m berkisar antara 27,77-28,92C, di lapisan 50-100 m berkisar antara 25,95-28,94 C; suhu rerata
pada Monsun Peralihan II, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 28,65 29,11C, di lapisan 20-50 m
berkisar antara 28,53-28,81 C, dan pada lapisan 50-100 m berkisar antara 26,30-26,44C.

Variabilitas salinitas menurut Pranowo et al. (2012c) adalah salinitas rerata pada Monsun Barat, di lapisan
kedalaman permukaan berkisar antara 32,98 33,46 PSU, di lapisan 20-50 m berkisar antara 33,26 33,51 PSU,
di lapisan 50-100 m berkisar antara 33,53 33,57 PSU; salinitas rerata pada Monsun Peralihan I, di lapisan
kedalaman permukaan berkisar antara 33,58 33,83 PSU, di lapisan 20-50 m berkisar antara 33,54 33,85 PSU,
di lapisan 50-100 m berkisar antara 33,85 34,04 PSU; salinitas rerata pada Monsun Timur, di lapisan
kedalaman permukaan berkisar antara 32,87 33,35 PSU, di lapisan 20-50 m berkisar antara 33,12 33,33 PSU,
di lapisan 50-100 mberkisar antara 33,74 33,87 PSU; salinitas rerata pada Monsun Peralihan II, di lapisan
kedalaman permukaan berkisar antara 32,71 33,16 PSU, di lapisan 20-50 m berkisar antara 32,98 33,37 PSU,
di lapisan 50-100 m berkisar antara 33,63 33,71 PSU.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 4 yang meliputi wilayah Laut Natuna dan Anambas
adalah terumbu karang yang merupakan wakil dari habitat karang Indonesia di Laut Cina Selatan. Karang ini
umumnya mengelilingi pulau-pulau kecil di Kepulauan Natuna dan Anambas. Selain terumbu karang juga
terdapat mangrove, padang lamun dan sejumlah biota laut penting seperti napoleon dan penyu.

Berdasarkan analisis penginderaan jauh dari citra satelit, luas mangrove di Natuna dan Anambas sebesar 2.208
ha (Suhendra, 2010). Mangrove tumbuh pada pulau-pulau utama dalam kondisi jumlah populasi yang sangat
sedikit dan luasan habitat yang sempit. Sedikitnya populasi dan sempitnya habitat tersebut dikarenakan oleh
pantai-pantainya yang terjal dan berbatu, tidak adanya sungai, serta substrat dasarnya karang dan berpasir
putih. Keadaan pantai seperti ini bukanlah kawasan yang optimal untuk tempat hidup mangrove.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 57



Ekspedisi Anambas yang dilaksanakan pada tahun 2002 menemukan tiga spesies lamun (seagrass) di Kepulauan
Natuna - Anambas yang termasuk dalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae. Ketiga
spesies tersebut adalah Halophila ovalis, Halodule pinifolia, dan Halodule uninervis. Lebih lanjut, di dalam
ekspedisi tersebut juga diidentifikasi 74 spesies seaweed (macrophyte), yang terdiri dari 23 spesies alga merah
(Rhodophyceae), 22 spesies alga coklat (Phaeophyceae), dan 29 spesies dari alga hijau (Chlorophyceae) (Liao,
2004). Berdasarkan analisis penginderaan jauh dari citra Satelit, luas padang lamun dan seaweed di Natuna dan
Anambas adalah 5.352 ha (Suhendra, 2010).

Tipe terumbu karang yang banyak ditemui adalah terumbu karang tepi (fringing reef), serta sedikit dari karang
penghalang (barrier reef) dan karang atol (patch reef). Dominannya karang pantai karena ekoregion ini terdiri
dari pulau-pulau kecil yang tidak memiliki sungai-sungai besar, seperti di Natuna dan Anambas.

Bentuk karang yang dominan berjumlah 13 bentuk yang terdiri dari karang-karang meja, lunak, bercabang,
foliase, mushroom, encrusting, masive, sponges, clam, zoanthiads, gorgonian, anemon, dan patahan karang.
Karang tersebut terhampar di sepanjang pantai sekitar pesisir pulau-pulau, dan mencapai kedalaman laut yang
tidak lebih dari 40 meter.

Persen tutupan karang berkisar antara 25% - 85%, dan rata-rata mencapai 40% - 65% (P2O-LIPI, 2011). Dalam
survei tersebut ditemukan sebanyak 55 genera, dengan spesies dominan adalah Porites cylindrica, Porites
nigrescens, Porites rus, dan Montipora spumosa. Kepulauan Natuna - Anambas hmemiliki luas terumbu karang
seluas 92.788 ha berdasarkan analisis penginderaan jauh dari satelit (P2O-LIPI, 2011). Kajian cepat kondisi
kelautan di perairan Anambas tahun 2012 mencatat 339 spesies karang keras (hard coral), dan 667 spesies ikan
karang (Allen dan Erdmann, 2012).

Perairan Natuna dan Anambas merupakan habitat dan


jalur migrasi penting untuk penyu di Kawasan Laut Cina
Selatan. Kepulauan Natuna - Anambas sampai Pulau
Tambelan dan Bangka-Belitung merupakan jalur
migrasi lintas batas negara Penyu Hijau dari Pulau
Redang, Malaysia (Ibrahim, 2005). Setidaknya di
kawasan ini ditemukan 2 jenis penyu, yakni penyu hijau
(Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata). Sejumlah pantai peneluran penyu di
Anambas diduga menjadi habitat penyu sisik yang
sangat penting di Indonesia bagian barat.

Ikan Napoleon (Cheilinus undulates) mudah ditemukan


di ekoregion ini karena pada umumnya dibudidayakan
masyarakat melalui pembesaran dalam karamba
sekitar rumah. Upaya budidaya ikan Napoleon telah
dilakukan sejak lama dan menjadi sumber mata Migrasi lintas batas negara penyu hijau. (gambar: Ibrahim, 2005)
pencaharian utama masyarakat di beberapa tempat.

58 |ekoregion laut 4

Ditemukan Ikan Pari Listrik dari jenis Temera hardwickiidi


perairan Natuna sebagai catatan baru terhadap sebarannya
di wilayah Indonesia (P2O LIPI, 2011). Selama ini ikan Pari
Listrik tercatat ditemukan di wilayah Pasifik Barat hingga
perairan semenanjung Malaysia dan utara Sabah. Penemuan
di perairan Natuna membuktikan bahwa sebaran ikan ini
mencapai perairan Natuna yang masih dipengaruhi oleh Laut
Cina Selatan. Ditemukan juga sebuah jenis Himantura
granulata (Ikan Pari Mangrove) yang selama ini hanya
tercatat sebarannya berada di wilayah Indonesia Timur,
mulai dari timur Kalimantan hingga Jawa.


Ikan Pari listrik, Temerahardwickii. (foto:

P2O-LIPI 2012) (kanan atas) Ikan Pari
Mangrove, Himantura granulata (P2O-LIPI

2012) (kanan bawah)

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 4 berada pada WPP 711. Potensi sumberdaya perikanan antara lain sumberdaya ikan pelagis
besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), ikan demersal (334,8 ribu ton/tahun),
udang Penaid (11,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (21,6 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun)
dan cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: mangrove dengan luas 3.640,52 ha di sekitar Pulau
Natuna, Pulau Subi Besar dan Pulau Panjang, padang lamun seluas 5.976,09 ha di Pesisir Natuna, dan Subi, dan
terumbu karang seluas 37.774,68 ha di beberapa kawasan ekoregion ini.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011 kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion
laut 4 memiliki beberapa tingkat pemanfaatan. Sumberdaya perikanan yang sudah over exploited adalah udang,
ikan demersal seperti Spesies kurau (Eleutheronema tetradactylum). Sumberdaya perikanan yang berkategori
fully exploited adalah Spesies manyung (Ariidae spp) dan Spesies banyar (Rastrelliger kanagurta), kembung
(Rastrelliger brachysoma), layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus ruselli). Tingkat pemanfaatan
moderate pada spesies cumi-cumi (Loligo spp).

Potensi sumberdaya tidak terbarukan dari ekoregion ini adalah sumberdaya mineral berupa satu cekungan
migas berproduksi, serta satu cekungan migas yang sudah ada penemuan. Potensi migas di ekoregion ini berupa
cadangan minyak 14 juta barel dan gas 45 triliun feet cubic. Sebagian besar dari ekoregion ini memiliki potensi
endapan pasir berukuran gravel. Potensi jasa lingkungan dari ekoregion ini adalah sebagai alur pelayaran
internasional.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 59



KERAWANAN BENCANA

Secara geologis, Laut Natuna terletak di luar pertemuan lempeng tektonik. Dengan karakteristik yang demikian
maka ekoregion laut Natuna relatif terbebas dari bencana gempa dan tsunami. Ekoregion Laut 4 terdapat pulau-
pulau kecil seperti Kepulauan Natuna dan Kepulauan Anambas. Dengan karakteristik yang demikian, maka
potensi bencana yang dihadapi bukan gempa ataupun tsunami, namun ancaman utama adalah perubahan iklim
dan kenaikan muka air laut (sea level rise).

Pulau-pulau kecil merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura,
1999). Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu
pulau-pulau kecil rentan, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis
daratan, (2) insularity dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan
waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, (4) kapasitas
mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia
(SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan
pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut Natuna merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang terutama
berasal dari kegiatan minyak dan gas. Ladang gas Natuna (D-Alpha) yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau
Natuna dengan total cadangan 222 TCF dan gas hidrokarbon yang bisa diperoleh sebesar 46 TCF adalah
merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Sementara itu, Pulau Matak di Anambas, saat ini menjadi
pangkalan eksplorasi minyak. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel.
Selanjutnya, berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat 3 (tiga) titik sumber
pencemar ke wilayah ini berasal dari kegiatan migas, yang berlokasi di Kab. Natuna. Total volume limbah yang
3
dihasilkan dari kegiatan ini diperkirakan sebesar 114.955,43 m /hari. Dari kegiatan tersebut, maka potensi
bahan pencemar yang mungkin mencemari ekoregion ini adalah bahan organik dan anorganik, terutama PAHs,
POPs dan logam berat.

Selain itu, kawasan ini menjadi perlintasan yang penting bagi kapal-kapal perdagangan yang melintas di
kawasan selatan Asia termasuk Jepang, Eropa, Amerika, Vietnam, Kamboja, Cina dan kapal-kapal asing lainnya
yang melintasi perairan internasional menuju Selat Malaka. Karena itu, kawasan ini juga memiliki kerentanan
terhadap pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak. Jumlah minyak mentah yang diangkut oleh
kapal tanker melalui jalur distribusi minyak internasional ini diperkirakan mencapai > 3 juta barrel per hari
(Alino dan Gomez, 2001). Kawasan ini juga berpotensi untuk dapat tercemar oleh senyawa TBT, sebagaimana
diindikasikan oleh Hashimoto et al. (1998). Bila terjadi tumpahan minyak maka dapat mengakibatkan terganggu
atau bahkan gagalnya kegiatan budidaya perikanan, seperti ikan, krustase tiram, dan sebagainya. Sedangkan
pencemaran oleh TBT dapat mengakibatkan terjadinya gangguan reproduksi gastropod sebagai akibat
terjadinya imposex seperti yang umum ditemukan di Selat Malaka dan Teluk Thailand yang padat aktivitas
perkapalannya (Swennen et al., 1997).

60 |ekoregion laut 4
Terumbu karang diantara jalur perjalanan di wilayah Belitung (foto : Yoniar Hufan-BIG)
LAUT CINA SELATAN


0 62.5 125 250 Km
M

EL-4
A
L
A
Y
S

I A
I A

S
Y
A
L
A
M

KEPULAUAN-RIAU

KALIMANTAN BAR
KALI MAN TAN

JAMBI
EL-5
SE
L
AT
KA
R
IM

S U MAT E RA
AT

BANGKA-BELITUNG
A

LU SUMATERA SELATAN

LAMPUNG
EL-6
LAUT JAWA

EL-2 DKI JAKARTA


BANTEN JAWA
JAWA BARAT

Ekoregion Laut 5
Selat Karimata
Ekoregion Laut 5 meliputi perairan laut di antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan dengan luas 270.859
2
km . Ciri khas ekoregion ini adalah kondisi oseanografi yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe
diurnal, yang secara geografis unik karena diapit oleh tipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa dan Laut
Natuna. Selain itu Arus Monsun Indonesia (ARMONDO) juga masih berpengaruh disini.

Ekoregion Laut 5 berbatasan dengan 3 ekoregion laut lain yaitu:


a. Laut Natuna karena perbedaan keanekaragaman hayati dan batimetri pada kisaran kedalaman 50 m,
b. Laut Jawa karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Selat Karimata mempunyai sistem pasang
surut diurnal, sedangkan ekoregion Laut Jawa memiliki sistem pasang surut mixed tide prevailing diurnal,
c. Selat Malaka karena perbedaan keanekaragaman hayati dan batimetri pada kisaran kedalaman 50 m.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 63



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion laut 5 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut
ekoregion 5 adalah paparan benua (continental shelf) dengan kedalaman sampai 53 m. Ekoregion Laut 5
merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono,
o
2009), kawasan ini didominasi dengan kemiringan kelas lereng miring (1-3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang
o
memiliki kelas lereng datar agak miring (0-1 ).

OSEANOGRAFI

Angin yang bertiup diatas ekoregion ini adalah ekstensi dari angin yang berhembus di Ekoregion Laut Natuna.
Pada saat Monsun Barat, angin bergerak ke tenggara, dan kondisi sebaliknya terjadi pada saat Monsun Timur
(Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Menurut Adi et al. (2004), pola arus Monsun di Selat Karimata dan Laut Jawa adalah
pada Monsun Barat di Selat Karimata, arus bergerak ke arah selatan memasuki Laut Jawa dan selanjutnya
membelok ke arah timur. Arus di Laut Jawa pada Monsun Timur bergerak ke arah barat selanjutnya membelok
ke utara memasuki Selat Karimata. Pada Monsun Peralihan arah arus tidak menentu, dan banyak terjadi
Putaran arus (eddy). Umumnya pada Monsun Peralihan terdapat arus dari Selat Karimata yang mengalir ke
Timur di lepas Pantai Jawa, dan juga terdapat arus mengalir ke Barat di lepas Pantai Barat Kalimantan. Pada
tahun 1400 1900 terdapat banyak kecelakaan kapal akibat badai laut/gelombang tinggi yang
menenggelamkan kapal-kapal dagang di sekitar ekoregion ini (Pranowo et al., 2012b).

Kondisi oseanografi yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe diurnal, secara geografis unik karena
diapit oleh tipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa dan Laut Natuna (Wyrtki, 1961). Adapun variasi
komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini
(Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi (27,5 29,0C), salinitas (31,0-33,5 PSU),
konsentrasi oksigen terlarut (4,1 4,3 ml/liter), dan pH (7,0 8,25). Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion
ini (Boyer et al., 2009) adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,05 0,35 mol/liter; konsentrasi silikat 2,5
30 mol/liter; konsentrasi nitrat 2,5 10,0 mol/liter; dan klorofil 0,05 5,0 gram/liter.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama dari ekoregion ini adalah sebaran ekosistem


mangrove yang besar yang terdapat di pesisir Sumatera Selatan
dan pesisir Kalimantan Barat. Ekosistem mangrove di pesisir
Sumatera Selatan yang menonjol meliputi Musi Banyuasin dan
Ogan Komering Ilir dengan luas masing-masing 458,062.19 ha
dan 429,811.55 ha (LPP Mangrove, 2004) serta tercatat 17
spesies mangrove sejati (true mangrove). Hutan mangrove
dalam ekoregion ini merupakan habitat burung air maupun
burung migran dan reptilia payau seperti biawak, buaya muara
dan ular.

Mangrove di pesisir Kalimantan Barat tumbuh subur di


beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Kapuas. Mangrove di Kalimantan Barat (Foto: M. Hutomo)
Dinamika fisik perairan DAS sangat berpengaruh pada
produktivitas dan kesehatan mangrove yang akhirnya

64 |ekoregion laut 5

menyumbang produktivitas perairan Selat Karimata dan Laut


Natuna yang merupakan bagian paling selatan dari Laut Cina
Selatan. Komunitas mangrove di pesisir Kalimantan Barat ini
memperlihatkan salah satu tipe mangrove di Indonesia
dengan zonasi yang jelas. Sebagai contoh adalah hutan
mangrove di Taman Nasional Gunung Palung (Ketapang)
dengan luas 7000 ha yang merupakan hutan magrove terluas
di Indonesia dengan zonasi yang jelas. Spesies Rhizophora sp.
dan Bruguiera sp. di sisi daratannya dan spesies Sonneratia sp.
dan Avicennia sp. di sisi lautnya.

Di ekoregion ini ditemukan 9 (Sembilan) spesies lamun yang


tersebar di Kepulauan Bangka-Belitung. Kesembilan spesies
Hutan mangrove yang masih asli, seperti di Cagar Alam
lamun tersebut adalah Cymodocea serrulata, Enhalus
Muara Kendawangan, dapat ditemui tegakan mangrove
acoroides, Halophila ovalis, H. spinulosa, Halodule pinifolia, H.
yang tingginya sampai mencapai 20 m. (foto:
uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, LPPMangrove, 2004c).
dan Thalassia hemprichii. Padang lamun di Pulau Bangka
merupakan habitat duyung yang terancam oleh manusia
karena aktifitas penangkapan.

Terumbu karang di ekoregion ini umumnya berkembang pada


lereng zona subtidal yang landai dan dangkal, kurang dari
kedalaman 10 m. Pada umumnya kondisinya kurang baik,
kecuali di Pulau Belitung dan Pulau Karimata. Terumbu karang
di lokasi yang menghadap ke laut lepas kondisinya lebih baik
daripada yang berada di perairan dekat dengan daratan
(Suharsono, 2007). Selat Nasik di Pulau Belitung merupakan
salah satu lokasi terumbu karang terbaik dan telah
dikembangkan menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL)
berbasis masyarakat.
Tegakan Rhizophora apiculata pada hutan mangrove
Perairan di sekitar Pulau Karimata cukup jernih. Hal ini yang masih asli (gambar kiri; foto: LPP Mangrove,
2004c) dibanding tegakan spesies yang sama saat
memungkinkan terumbu karang berkembang baik dengan
masih muda (gambar kanan; Foto: M. Hutomo)
persen tutupan karang berkisar antara 31,28-76,2%.
Komunitas karang di Pulau Busung didominasi oleh koloni
besar Acropora hyacinthus yang tumbuh sampai kedalaman 20
m (P2O-LIPI, 2002). Sementara itu, komunitas karang di Pulau
Tanjung Barat didominasi oleh spesies non-Acropora,
termasuk Diploastrea heliopora, dengan diameter 380 cm, dan
karang lunak Sarcophyton spp.

Pesisir Pulau Tambelan juga merupakan salah satu lokasi


peneluran Penyu Sisik yang terbesar di Indonesia. Selain itu,
pulau ini bersama Pulau Bangka dan Pulau Belitung
merupakan jalur migrasi Penyu Hijau dari Malaysia. Duyung yang diperjual belikan di lokasi pendaratan
ikan di Bangka (Foto: M. Adrim).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 65



Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 5 terdapat dua jenis kawasan konservasi, yaitu KKPD dan CAL. Kawasan
Konservasi Perairan Daerah antara lain KKPD Bengkayang, Kalimantan Barat; KKPD Kabupaten Bintan,
Kepulauan Riau; dan KKPD Senayang Lingga, Kepulauan Riau. Sedangkan kawasan CAL terdapat di Kepulauan
Karimata, Kalimantan Barat.

PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 5 berada pada zona WPP 711. Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: mangrove
dengan luas 355.645,69 ha tersebar di sekitar Pesisir Barat Kalimantan, Pesisir Sumatera Selatan dan Pesisir
Bangka-Belitung, lamun dengan luas 3.575,07 ha tersebar di Pesisir Natuna, dan Pulau Subi. Terumbu Karang
dengan luas 10.558,52 ha tersebar di Ekoregion Laut 5.

Untuk potensi sumberdaya tidak terbarukan, ekoregion ini mempunyai potensi sumberdaya energi berupa satu
lokasi jalur granit sekitar Kepulauan Bangka dan Belitung, juga terdapat daerah spekulatif mengandung mineral
radioaktif berupa Thorium (Th) sampai 30 m di bawah laut, satu lokasi area berpotensi endapan placer emas,
serta sebagian besar berpotensi pasir dan gravel. Terdapat Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam (BMKT) di
Perairan Belitung Timur, Selat Karimata, Pulau Bangka dan Kalimantan Barat.

KERAWANAN BENCANA

Selat Karimata merupakan perairan pedalaman di Indonesia. Selat ini relatif aman terhadap bencana tsunami
dan gempa (Budiono et al., 2003). Berdasarkan aspek morfologi pantai disini terbentuk pantai yang landai atau
datar. Karakteristik jenis pantai ini menurut Hantoro (2005) adalah pesisir datar hingga landai. Sedimentasi kuat
terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah,
sementara air tanah tawar sulit ditemukan. Kerentanan yang terjadi adalah kenaikan muka air laut dan
perubahan iklim. Ancaman kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pulau-pulau kecil, namun juga
terhadap wilayah dengan karakteristik pantai datar. Hal ini akan berakibat pada perubahan tutupan vegetasi.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 5 berpotensi menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan,
transportasi, pertanian/perkebunan, aktivitas perkotaan dan industri melalui limpasan air DAS yang bermuara
ke kawasan ini. Selain itu, sebagai akibat proses geologi batuan, air tanah di dataran rendah delta pantai timur
Sumatera juga dapat menjadi sumber pencemaran unsur-unsur tertentu (Winkel et al., 2008). Lebih lanjut,
wilayah ini juga memiliki kerentanan terhadap pencemaran tumpahan minyak karena merupakan jalur distribusi
minyak internasional, dengan jumlah pengangkutan sekitar 0,2 - 1 juta barrel per hari (Alino dan Gomez, 2001).
Ekoregion ini juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan migas. Berdasarkan data izin
pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat satu titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan
pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Bangka Barat. Total volume limbah yang dihasilkan dari kegiatan ini
3
adalah sebesar 24.742 m /hari.

Dari berbagai kegiatan tersebut, maka bahan pencemar organik dan anorganik berpotensi untuk mencemari
kawasan ini. Dari hasil pengukuran parameter kualitas air seperti pH, BOD, COD, DO, TSS, nitrit, ammonia, total
fosfor, fenol, fecal coli, dan total coliform di beberapa titik pantau DAS utama umumnya telah melebihi ambang
batas KBM kelas I maupun kelas II (KLH, 2009a). Berdasarkan parameter tersebut, sungai-sungai, seperti Sungai
Batanghari (Jambi), Sungai Musi (Sumatera Selatan), Sungai Baturusa (Bangka Belitung) dan Sungai Duriangkang
(Kepulauan Riau) telah digolongkan mempunyai status tercemar sedang sampai berat (KLH, 2009a). Adanya

66 |ekoregion laut 5

input nutrien dari DAS yang telah tercemar, berpotensi untuk terjadinya ledakan populasi plankton dan menjadi
source carbon yang dapat menyumbang terjadinya GRK.

Selain itu, air tanah dari endapan termuda (Holocane) lapisan gambut dan lapisan sedimentasi alluvial di pantai
timur Sumatera Selatan mempunyai konsentrasi As yang tinggi melebihi nilai pedoman WHO untuk air minum
(> 10 mg/l) dengan nilai maksimum 65 g/l (Winkel et al., 2008). Demikian juga dengan unsur-unsur logam lain
seperti B, Mn, dan Se juga melebihi nilai pedoman WHO air minum (Winkel et al., 2008).

Bahan anthropogenik organik B3 seperti POPs pestisida, terutama HCHs (hexachlrocyclohexanes) dan DDTs
adalah umum dilaporkan di air dan sedimen muara sungai dan pantai di kawasan ini (lihat Sudaryanto et al.,
2007). Hal ini dideteksi di lokasi seperti Kuala Tungkal (Jambi), Kuala Jambi (Jambi), dan Sungai Musi
(Palembang). TBT juga ditemukan di sedimen dari Kuala Tungkal (Sudaryanto et al., 2005; Sudaryanto et al.,
2007). Namun demikian, konsentrasi dari senyawa B3 ini masih lebih rendah dari beberapa wilayah pantai di
Pulau Jawa, seperti Teluk Jakarta, Surabaya dan Cirebon (Sudaryanto et al., 2007). Senyawa POPs dan TBT di
perairan ini berpotensi untuk mengkontaminasi makhluk hidup di dalamnya. Senyawa TBT dan POPs lain,
seperti PCBs, DDT, CHLs, HCHs telah dilaporkan terdeteksi di kerang hijau (Perna viridis) di kawasan ini meskipun
konsentrasinya juga lebih rendah bila dibanding biota yang sama di Teluk Jakarta, Surabaya dan Cirebon
(Sudaryanto et al., 2005; Monirith et al., 2003). Bioakumulasi POPs di biota telah menjadi perhatian karena
potensi daya racunnya, sehingga dapat menghasilkan sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk
dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk menurunkan populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 67



Mangrove di Selatan Jawa (foto : Youniar Hufan-BIG)
EL-4
A
Y S I
L A
M A

KALIMANTAN TIMUR
LAUAN-RIAU

KALIMANTAN BARAT

KALI MAN TAN

EL-5 KALIMANTAN TENGAH


SEL

AK
AT

TM
KA

LA
SE
IMR

BANGKA-BELITUNG
ATA

KALIMANTAN SELATAN

EL-8
A SELATAN

ATE RA

EL-6
EL-8
LAMPUNG LAUT JAWA

DKI JAKARTA
BANTEN
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA
DIY JAWA TIMUR

EL-2
BALI
NUSA TENGGARA

S A
M U
EL-9
D E


R A
H I
N D
I A
0 100 200 400 Km

Ekoregion Laut 6
Laut Jawa
Ekoregion Laut 6 meliputi perairan laut disebelah Utara Pulau Jawa dan sebelah Selatan Pulau Kalimantan
2
dengan luas 437.978 km . Ciri khas ekoregion ini adalah berupa laut dangkal yang kondisi oseanografinya sangat
dipengaruhi oleh pasang surut bertipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa, dan juga monsun.

Ekoregion Laut 6 memiliki batas dengan 4 ekoregion lain yaitu:


a. Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa pada bagian
Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Samudera Hindia Sebelah
Selatan Jawa berada pada Samudera Hindia,
b. Selat Karimata karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Laut Jawa memiliki sistem pasang surut
mixed tide prevailing diurnal, sedangkan ekoregion Selat Karimata mempunyai sistem pasang surut diurnal
tide,
c. Selat Makassar karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada bagian Paparan Sunda
dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Selat Makassar berada pada kedalaman lebih
dari 200 m,
d. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada bagian
Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Perairan Bali dan Nusa
Tenggara berada pada kedalaman lebih dari 200 m.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |71



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion Laut 6 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk
ekoregion 6 adalah paparan benua (continental shelf), dengan kedalaman sampai 992 m. Ekoregion ini
merupakan bagian dari Paparan Sunda.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki dominasi
o
kemiringan kelas lereng miring (1-3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang memiliki kelas lereng agak terjal (3-
o
10 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion Laut 6 memiliki 2 dataran yaitu: Dataran Seribu dan
Dataran Sunda; serta 1 cekungan, yaitu Cekungan Madura (Sulistyo dan Triyono, 2009).

OSEANOGRAFI

Pada Ekoregion Laut 6, angin Monsun yang bertiup di atas Laut Jawa ini adalah angin bergerak dari arah barat
dan barat laut menuju ke timur (Monsun Barat), angin dari timur dan tenggara bergerak menuju ke barat
(Monsun Timur). Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan kekuatan kurang dari Angin Monsun
Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Putri, 2005).

Menurut Putri (2005) dan Mustikasari et al.(2010), pola sirkulasi arus akibat angin Monsun di Laut Jawa adalah
pada Monsun Barat, arus bergerak dari Selat Karimata ke arah selatan dan selanjutnya membelok ke arah timur
memasuki Laut Jawa. Arus pada Monsun Timur bergerak ke arah barat selanjutnya membelok ke utara
memasuki Selat Karimata. Pada Monsun Peralihan, arah arus tidak beraturan, dan banyak terjadi putaran arus
(eddy). Biasanya pada monsun ini di lepas Pantai Jawa arus mengalir ke timur sedangkan di lepas Pantai
Kalimantan arus mengalir ke barat.

Tipe pasang surut di Laut jawa adalah campuran cenderung diurnal (Wyrtki, 1961). Untuk arus permukaan
akibat pasang surut, misalkan di Utara Jawa Tengah (Pranowo et al., 2003) secara umum pola arus pada kondisi
pasut Perbani (neap tide condition) bergerak ke arah timur dari saat air menuju surut (ebb tide) hingga saat air
tersurut (lowest water condition) dengan kecepatan maksimum 0,110 m/detik. Sebaliknya bergerak ke arah
barat dari saat air menuju pasang (flood tide) hingga saat air tertinggi (highest water condition) dengan
kecepatan maksimum 0,160 m/detik. Pola arus pasut pada kondisi pasut purnama (spring tide condition)
menunjukkan bahwa arus bergerak ke arah timur dari saat air menuju surut hingga saat air tersurut dengan
kecepatan maksimum 0,630 m/detik. Sebaliknya bergerak ke arah barat dari saat air menuju pasang hingga saat
air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,400 m/detik. Apabila pengamatan difokuskan kepada area sekitar
perairan Semarang dan sekitarnya, maka pola arus bergerak ke arah timur laut dari saat air menuju surut hingga
saat air tersurut, dan sebaliknya bergerak ke arah barat daya dari saat menuju pasang hingga saat air tertinggi.
Pola arus tersebut terjadi baik pada kondisi pasut Perbani maupun Purnama.

Selat Sunda pernah mengalami suksesi secara besar-besaran. Ekosistem laut dan pesisirnya terpengaruh akibat
meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Kejadian tersebut dimungkinkan memiliki keanekaragaman yang unik.
Kecepatan arus maksimum di Selat Sunda terjadi pada Monsun Timur dan Monsun Barat (Brodjonegoro et al.
2004). Pola arus yang dibangkitkan oleh angin, menunjukkan bahwa arus umumnya bergerak dari Laut Jawa ke
Samudera Hindia, kecuali pada Musim Barat arus bergerak masuk ke Laut Jawa. Kecepatan maksimum arus
pada Monsun Timur terjadi pada bulan Juni. Saat air menjelang pasang, arus berbalik arah, yaitu dari Laut Jawa
menuju Samudera Hindia. Saat air pasang, arus bergerak dari Samudera Hindia memasuki Laut Jawa (ke Timur
dan Timur Laut). Saat air menjelang surut, arus bergerak dari Selat Sunda menuju Laut Jawa namun dengan
kecepatan yang mulai melemah. Saat air surut, pola arus berbalik arah dari Laut Jawa menuju Selat Sunda.

72 |ekoregion laut 6

Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Pranowo, 2002; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut pada ekoregion ini cukup
tinggi dan mencapai kisaran 27 29C; salinitas berkisar antara 31,75 PSU hingga 33 PSU; konsentrasi oksigen
terlarut berkisar antara 4,15 4,30 ml/liter; dan pH berkisar antara 8,0 8,25. Untuk kondisi sebaran nutrien
berdasarkan Pranowo et al. (2005) dan Boyer et al. (2009) adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 0,40
mol/liter; konsentrasi silikat 2,5 10,0 mol/liter; konsentrasi nitrat 0,2 6,0 mol/liter; klorofil 0,5 5,0
gram/liter.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama ekoregion ini adalah kondisi habitat mangrove, lamun, dan karang yang telah mengalami
banyak kerusakan. Pesisir timur Lampung banyak mengalami abrasi sejak tahun 90-an dan mangrove pantai
utara Jawa hamper semuanya telah hilang. Pulau Sebesi yang berada di Selat Sunda memiliki luas area sekitar
2620 ha dengan panjang pantai 19.55 km, memiliki ekosistem perairan tropis yang terdiri dari ekosistem hutan
bakau, lamun dan terumbu karang (Madduppa et al. 2005). Selain itu, banyak lahan tambak di pantai utara Jawa
dan pantai timur Lampung yang tebengkalai akibat ditinggalkan pemiliknya.

Ekosistem mangrove yang kondisinya masih terlihat baik terdapat di pesisir pantai Kalimantan Selatan. Hutan
mangrove di pantai ini mempunyai zonasi yang jelas dari arah laut ke daratan berupa tegakan mangrove yang
dapat mencapai tinggi 15 m. Lebih dari 90% mangrove di pantai utara Jawa telah hilang karena telah dialih
fungsikan sebagai tambak, sawah dan pemukiman. Meskipun demikian, kawasan mangrove pantai utara Jawa
merupakan rumah bagi sejumlah jenis burung yang terancam punah, seperti jenis Cikalang Christmas Fregata
andrewsi (status: rentan Appendix I), Pedendang kaki-sirip Heliopais personata (status: rentan), Bangau
bluwok Mycteria cinerea (status: rentan Appendix I), Bangau tongtong Leptoptilos javanicus (status: rentan).
Jenis yang terakhir didata sebagai jenis dalam status rentan, umumnya bersarang di pohon bakau. Populasinya
telah ditemukan di pantai Timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi dan Riau), pantai Utara Jawa (Delta Sungai
Brantas dan Bengawan Solo) dan pantai Selatan Jawa (Segara Anakan). Beberapa tempat di Jawa Tengah dan
Jawa Timur memiliki hutan mangrove yang masih baik sebagai ekosistem alami dan hasil rehabilitasi.

Padang lamun di wilayah ekoregion ini telah banyak mengalami kerusakan, sebagai contoh di Teluk Banten dan
Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Padang lamun Teluk Banten sebenarnya mempunyai arti sejarah penting dalam
penamaan lamun. Lamun adalah nama lokal untuk seagrass yang diadopsi oleh Hutomo (1985) dalam
disertasinya yang mempelajari aspek ekologi komunitas ikan di padang lamun. Salah satu spesies lamun
(Syringodium isoetifolium) di padang lamun Teluk Banten ini dipanen untuk memberi makan duyung yang
dipelihara di Sea World Indonesia. Di padang lamun Pulau Kangean didapatkan spesies Thalassodendron
ciliatum dengan hamparan yang luas. Keberadaan spesies ini menunjukkan adanya keterkaitannya dengan
komunitas lamun di perairan Indonesia bagian timur dimana spesies ini lazim didapatkan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |73



Terumbu karang di ekoregion ini merupakan terumbu karang


marjinal yang terbentuk sejak akhir masa glasial dan
merupakan terumbu karang unik yang telah beradaptasi
terhadap sedimentasi tinggi. Terumbu karang di Taman
Nasional Kepulauan Seribu, terutama yang menghadap Teluk
Jakarta, merupakan contoh ekosistem terumbu karang yang
sudah kolaps terutama karena dampak kegiatan manusia di
daratan. Sedangkan pulau-pulau yang terletak di bagian utara
terumbu karangnya masih bagus, terutama di zona inti dan
zona perlindungan. Penelitian terbaru memperlihatkan ada
gradasi dari kondisi ikan terumbu dari Teluk Jakarta sampai ke
Kepulauan Seribu, semakin ke utara jumlah individu dan
spesies ikan semakin bertambah (Madduppa et al. 2013).
Kondisi terumbu karang juga akan mempengaruhi struktur
komunitas ikan karena hubungan yang sangat erat antara
keduanya (Madduppa et al. 2012). Terumbu karang yang
masih relatif bagus juga terdapat di Kepulauan Karimun Jawa
dan Kangean.

Secara umum keanekaragaman hayati dan endemisitas


rendah. Spesies langka Ikan Hiu air tawar, Gliphis sp,
didapatkan di muara Sungai Sampit, Kalimantan Selatan.
Spesies ini untuk pertama kali tercatat didapatkan di Indonesia
oleh tim kerjasama Indonesia dan Australia. Sebelumnya
genus ini tercatat didapatkan di Sabah dan Serawak.


Terumbu karang yang kondisinya masih bagus di P.
Kayu Angin Genting (atas) dan P. Peteloran Timur,
Kepulauan Seribu. (Foto: Siringoringo)


Hiu muara/air tawar yang didapatkan di muara Sungai

Sampit. (foto: Fahmi & Adrim, 2009)

74 |ekoregion laut 6

Dugong masih didapatkan di Selat Sunda dan sekitarnya. Pulau-pulau di sekitar Krakatau merupakan
laboratorium alam untuk mempelajari suksesi hayati bahari dan terestrial. Pulau-pulau di sekitar Gunung
Krakatau merupakan laboratorium alam untuk mempelajari suksesi hayati bahari dan terestrial. Pulau Anak
Krakatau dan Rakata merupakan lokasi alami untuk meneliti proses kolonisasi laut dan penyebaran larva. Situasi
unik yang sangat ekstrim ini harus dijaga agar tidak terganggu. Ada dua marga, yaitu Periclemenes dan Tridacna
memiliki clade yang sangat berbeda di Kepulauan Krakatau. Meskipun telah dilakukan survei di tempat lain,
namun tidak ada populasi serupa yang ditemukan di tempat lain di kawasan segitiga karang (coral triangle).
Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa wilayah ini sangat jarang dilakukan pengambilan sampel,
sehingga hasilnya lebih mencerminkan adanya bias pengambilan sampel dari pada kurangnya keragaman yang
unik.

Pada bulan Februari 2002 telah dibentuk Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi (DPLPS) berdasarkan
kesepakatan masyarakat. DPLPS disahkan menurut Surat Keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Nomor
140/02/KD-TPS/16.01/I/2002 tentang Aturan Daerah Perlindungan Laut oleh oleh Kepala Desa serta disetujui
oleh Ketua Badan Perwakilan Desa Tejang (Madduppa et al. 2005).

Pada Ekoregion Laut 6 terdapat lima jenis kawasan konservasi, yaitu Taman Nasional Laut (TNL), Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD), Cagar Alam Laut (CAL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), dan Suaka
Margasatwa Laut (SML). TNL tersebar di dua lokasi, yaitu TNL Karimun Jawa, Jawa Tengah dan TNL Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. TWAL terdapat di dua lokasi, yaitu TWAL Pulau Sangiang, Banten dan TWAL Pulau Biawak,
Jawa Barat. Sedangkan KKPD terdapat di Pantai Ujungnegoro, Jawa Tengah, CAL terdapat di Pulau Anak
Krakatau, Lampung, dan SML Pulau Rambut dan perairan Jakarta, DKI Jakarta.

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 6 berada pada WPP 712. Potensi sumberdaya perikanan antara lain: sumberdaya ikan pelagis
besar (55,0 ribu ton/tahun) ikan pelagis kecil (380,0ribu ton/tahun), ikan demersal (375,2 ribu ton/tahun),
udang Penaid ( 11,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (9,5 ribu ton/tahun), lobster (0,5 ribu ton/tahun)
dan cumi-cumi (5,0 ribu ton/tahun.

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, untuk kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 6 adalah
Udang sudah over exploited, Ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah
(Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah over exploited, spesies bloso (Saurida tumbil) dan
kuniran (Upeneus sulphureus) sudah fully exploited), dan spesies kurisi (Nemimterus spp) dan swanggi
(Priacanthus tayenus) masih taraf moderate. Pada Ikan pelagis kecil seperti spesies banyar (Rastrelliger
kanagurta), kembung (Rastrelliger brachysoma), ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus), layang
(Decapterusmacrosoma dan Decapterusruselli) sudah over exploited.

Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan di ekoregion ini berupa potensi sumberdaya energi yang terdiri atas
dua lokasi cekungan migas sudah dibor, empat lokasi cekungan migas berproduksi, empat lokasi migas
berproduksi, satu lokasi mengandung logam berat rutile, satu lokasi mengandung logam berat zirconium, satu
lokasi potensial distibusi endapan placer chromite dan magnetite, serta satu lokasi potensial distibusi endapan
placer emas.

Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari Selat Sunda sebagai
pembangkit listrik. Kandungan migas dapat ditemui di bagian utara Banten, Jawa Barat, utara Jawa Timur-

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |75



Madura. BMKT tersebar di perairan Karawang, Jepara, Cirebon, Sumatra Selatan, Laut Jawa dan Kepulauan
Seribu.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 6 terletak pada paparan benua dengan kedalaman sekitar 60 m. Laut Jawa relatif aman
terhadap bencana gempa dan tsunami karena terletak di bagian dalam wilayah Indonesia. Budiono et al. (2003)
mengkelaskan Laut Jawa tidak rentan terhadap tsunami. Sebagaimana Selat Karimata, potensi bahaya terkait
aspek kelautan adalah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut. Berdasarkan analisis kerentanan lingkungan
pesisir oleh Wibowo dan Supriatna (2011) maka seluruh Ibu Kota Provinsi yang terletak di Pantai Utara Pulau
Jawa memiliki kerentanan lingkungan yang tinggi. Selain itu Ekoregion Laut 6 memiliki kerawanan bencana
berupa potensi bahaya letusan dari Gunung Anak Krakatau yang masih aktif.

Berbagai kondisi lingkungan seperti penurunan tanah, penggenangan akibat banjir dan banjir rob menjadi
persoalan yang dihadapi kota-kota di pesisir Utara Pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh tekanan lingkungan yang
terjadi di wilayah pesisir. Suhelmi et al. (2011) mengemukakan bahwa banjir rob semakin meluas seiring dengan
kenaikan muka air laut dan akan diperparah dengan adanya fenomena amblesan tanah di kota pesisir Utara
Pulau Jawa.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 6 merupakan wilayah laut yang berpotensi menerima pencemaran lebih besar bahkan paling
tercemar dibanding wilayah ekoregion laut lainnya. Hal ini disebabkan kedalam ekoregion laut bermuara lebih
banyak sungai. Selain itu kawasan ini juga merupakan wilayah laut yang berhadapan langsung dengan pusat
pemerintahan sekaligus pusat perekonomian Indonesia, serta berbagai kota besar Indonesia yang umumnya
berada di wilayah utara Pulau Jawa. Limbah cair yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan,
transportasi, pertambangan, pertanian/perkebunan, perkotaan dan berbagai jenis industri yang jumlahnya
sangat banyak, melalui limpasan air sungai berpotensi mencemari ekoregion ini. Sungai-sungai yang tercemar
yang bermuara diantaranya adalah Sungai Citarum yang tercemar berat hingga sangat berat (KLH, 2009a; Riani
2006), dan Sungai Ciliwung yang juga memiliki status mutu air tercemar berat (KLH, 2009a).
3
Berdasarkan data dari BPLHD Jakarta, 13 sungai yang bermuara ke teluk Jakarta membawa 14.000 m limbah
3
sampah rumah tangga setiap hari, atau sekitar setengah dari total sampah rumah tangga (28.435 m ) yang
mencemari Laut Jawa. Sekitar 54 % sampah yang mencemari Teluk Jakarta adalah berupa plastik dan akan terus
bertambah seiring dengan limpasan dari 13 sungai (Nagara et al., 2007). Selanjutnya Cordova (2008)
menjelaskan bahwa pada limbah rumah tangga tersebut selain terdapat bahan organik yang mudah urai, pada
limbah cairnya juga terdapat bahan pencemar yang masuk pada kategori B3. Limbah rumah tangga, effluen dari
industri dan urban runoff dari kota-kota besar di utara Pulau Jawa akan terus memberi dampak ke perairan Laut
Jawa. Hasil penelitian Riani et al. (2004) memperlihatkan bahwa Teluk Jakarta menerima beban pencemaran
baik organik maupun anorganik yang sangat tinggi, sehingga telah jauh melewati kapasitas asimilasinya.

Berdasarkan kegiatan tersebut di atas, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah
berbagai jenis bahan organik dan bahan anorganik. Ekoregion Laut 6 merupakan wilayah laut yang menerima
limbah dari kegiatan antropogenik dari kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Semarang sehingga
wilayah ini mempunyai potensi tercemar bahan organik sangat besar dibandingkan wilayah lainnya, yang
ditunjukkan oleh nilai BOD dan COD yang tinggi, berpotensi untuk mengalami blooming plankton serta
terjadinya red tide dan berpotensi untuk menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Potensi

76 |ekoregion laut 6

terjadinya blooming plankton dan red tide juga cukup besar di Teluk Lampung, mengingat di lokasi ini terdapat
banyak siste Dinophyceae di dasar perairan terutama yang mengandung banyak bahan organik dengan
kedalaman lebih dari 10 m, selain itu di lokasi tersebut juga terdapat bahan organik yang tinggi, konsentrasi zat
besi (Fe) dan silikat juga cukup tinggi (Riani, 2013 belum dipublikasikan).

Jenis bahan anorganik yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara dan mencemari wilayah ini umumnya
berasal dari kegiatan pertanian dan industri di wilayah daratan, terutama di Pulau Jawa (Sudaryanto et al.,
2007). Bahan anorganik dari kegiatan tersebut antara lain adalah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti
berbagai jenis logam berat yang akhirnya terakumulasi dalam berbagai biota yang hidup di dalamnya seperti
pada berbagai jenis ikan dan kerang hijau (Cordova 2008, Riani 2009 dan 2010). Jenis logam berat yang
dilaporkan mencemari dan mengkontaminasi di beberapa pantai di Ekoregion Laut Jawa, diantaranya adalah
Hg, Pb, Cd (Cordova 2008, Riani 2004, 2005, 2009 dan 2010), Cr dan Sn (Riani 2004). Bahkan menurut Arifin et
al. (2011), konsentrasi Pb dan Cu dalam sedimen di beberapa lokasi seperti di pantai Teluk Jakarta, Semarang
dan Surabaya juga lebih tinggi daripada perairan lain di Manado, Buyat, Ambon dan Memberamo.

Konsentrasi Pb dan Cd di sedimen


dari berbagai perairan kota pantai
di Indonesia antara tahun 1980an-
2000 (gambar: Arifin et al., 2008).

Bahan berbahaya dan beracun seperti tributyltin juga dilaporkan


tinggi dalam sedimen, kerang dan ikan, terutama dari Teluk
Jakarta dibandingkan dengan Kuala Tungkal dan Maros
(Sudaryanto et al., 2007). Hasil pengamatan dari core sedimen
menunjukkan bahwa PAHs telah menunjukkan peningkatan di
Teluk Jakarta dimana konsentrasinya dalam rentang yang sama
ditemukan di Teluk Tokyo, Jepang (Rinawati et al., 2012).

Sumber pencemar dari kegiatan pertanian yang masuk ke wilayah


ini antara lain adalah senyawa pestisida organoklorin terutama
DDTs dan HCHs yang tinggi dalam air dan sedimen dibandingkan
dengan kawasan lain di Indonesia (Sudaryanto et al., 2007). Sifat
pestisida tersebut juga akumulatif, sehingga akan mudah
terakumulasi dalam berbagai jenis biota air yang hidup di
dalamnya. Sebagaimana gambar di bawah ini, terjadinya Distribusi PCBs dan Organoklorin dalam Kerang dan Ikan
akumulasi B3 pada biota air ini bukan hanya terjadi di Teluk di Beberapa Pantai di Indonesia (gambar: Sudaryanto et
Jakarta, namun juga terjadi di berbagai wilayah seperti Cirebon, al., 2007).

Teluk Hurun, Panimbang dan Kenjeran, yang mengakumulasi


senyawa PCBs dan pestisida organoklorin lebih tinggi dibanding
perairan lain di Indonesia (Sudaryanto et al., 2007).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |77



Selain kegiatan tersebut di atas, ekoregion ini juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan
energi dan migas. Berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat 16 (enam belas)
titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan energi dan migas, yang berlokasi di Kabupaten Lampung
Selatan (Lampung), Pesisir Utara Pulau Jawa, dan utara Madura, dengan total volume limbah sebesar
3
115.071.198,98 m /hari. Selain itu juga terdapat titik sumber pencemar lain berupa limbah cair yang berasal
3
dari 13 industri kimia dengan total volume limbah sebesar 2.298.410 m /hari dan 3 industri non kimia dengan
3
total volume limbah sebesar 320.156 m /hari.

Disamping hal tersebut, di daerah hulu dan hilir ekoregion ini juga mempunyai daerah tangkapan air yang
sangat terbatas sebagai akibat tingginya alih fungsi lahan hutan di daratan, terutama di hulu, sehingga
mengakibatkan tingginya run-off sedimen. Di perairan Laut Jawa, sejumlah sedimen terbawa dan masuk ke
perairan pantai, membawa nutrien yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan di wilayah pesisir terutama
yang mempunyai muara sungai dan mengakibatkan terjadinya pendangkalan perairan sehingga dapat
mengancam ekosistem tersebut. Selain itu tingginya nutrien juga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi.

Beberapa dampak akibat pencemaran terutama di sekitar Pulau Jawa telah terjadi seperti penurunan dan
hilangnya biodiversitas organisme bentik di Teluk Jakarta (van der Meij et al., 2009 dan Riani et al. 2004). Selain
itu, menurut Arifin (2004) penurunan jumlah dan keanekaragaman hayati biota laut juga telah teramati di Teluk
Jakarta, seperti jumlah tutupan dan koloni karang. Sedimentasi juga telah mengganggu kegiatan pariwisata,
penangkapan ikan dan akuakultur. Keragaman ikan yang ditangkap dari jaring pantai juga telah mengalami
penurunan dari 45 spesies di tahun 1974 ke hanya 20 spesies di tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi dari
hasil tangkapan menggunakan bottom trawl (Arifin, 2004).

Selain terjadi kehilangan keanekaragaman


hayati, Teluk Jakarta yang mengalami
pencemaran B3 telah mengakibatkan
berbagai biota seperti ikan dan moluska
mengalami kerusakan pada organ
tubuhnya seperti insang, hati, limpa dan
ginjalnya (Riani 2009 dan 2010), serta telah
mengakibatkan terjadinya kecacatan pada
kerang hijau (Riani dan Cordova, 2011).
Akumulasi logam berat juga telah terjadi di
Perairan Teluk Lampung, terutama logam
Sebaran resiko kerusakan karang oleh f aktor sedimentasi di perairan Indonesia berat Pb, namun demikian logam berat
(gambar: Evans, 2000).
tersebut belum sampai mengakibatkan
kerusakan pada organ tubuhnya (Riani,
2013 belum dipublikasikan).

78 |ekoregion laut 6
Pesona ubur ubur di wilayah Pulau Kakaban, Derawan, Kalimantan Timur (foto : Yoniar Hufan-BIG)

T
F I L I P I N A

H
A
I L
A
0 87.5 175 350 Km

N
D
M
A
L
A
Y
S
I A

EL-7
LAUT SULAWESI

MAN TAN

N TIMUR SULAWESI UTARA MALUK


GORONTALO
EL-11
EL-10 LAUT MALUKU
R
SA
AS

SULAWESI TENGAH
AK
M

S U LAW E S I
LAT
SE

SULAWESI BARAT
LAUT SERAM

ATAN EL-10
EL-8 SULAWESI TENGGARA
MALUKU

SULAWESI SELATAN

LAUT BAN

EL-13 EL-15

Ekoregion Laut 7
Laut Sulawesi
Ekoregion Laut 7 meliputi perairan laut di sebelah utara Pulau Sulawesi dan sebelah timur bagian utara Pulau
2
Kalimantan dengan luas 323.866 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya perairan basin dalam (lebih
dari 6.000 meter) yang dibatasi di bagian timur oleh Kepulauan Sangihe Talaud yang terbentuk dari aktivitas
tektonik. Hal tersebut mengakibatkan adanya aktivitas hidrotermal di kedalaman 600 hingga 900 m di perairan
kepulauan tersebut. Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow) dari Samudera Pasifik Barat melintasi
basin ini sebelum memasuki Selat Makassar.

Ekoregion Laut 7 berbatasan dengan dua ekoregion lain yaitu:


a. Selat Makassar karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati karang, dan salinitas perairan yang
dilengkapi dengan referensi peta IHO,
b. Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang yang disempurnakan dengan
morfostruktur dasar laut yang mengikuti adanya subduksi lempeng.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |81



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion Laut 7 terbentuk sekitar 14 juta hingga 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan
bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan
lereng benua (continental slope) dengan kedalaman hingga 6.187 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 7
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009)
Ekoregion Laut 7 memiliki satu cekungan (Cekungan Sulawesi) dan tiga parit (Parit Makassar Utara, Parit
Sulawesi dan Parit Selat Makassar).

OSEANOGRAFI

OSEANOGRAFI

Pola angin monsun di ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara (Monsun
Barat) yang asalnya hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin tenggara dari Laut Arafura dan Laut
Timor bergerak menuju ke barat laut. Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan kekuatan
kurang dari Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004).

Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Brodjonegoro et al.,
2004). Secara umum, pola arus permukaan di ekoregion ini berdasarkan pola Monsun, yaitu arus memasuki
basin Sangihe Talaud dari Basin Sulu dan Selat Luzon yang kemudian memutar balik menuju ke timur kembali ke
Samudera Pasifik pada Monsun Barat, demikian juga pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan, arus
memasuki ekoregion ini dari pintu Selat Luzon kemudian sebagian besar dibelokkan ke timur kembali ke
Samudra Pasifik dan sebagian lagi dibelokkan ke barat laut hingga utara menuju Basin Sulu (Wyrtki, 1961;
Brodjonegoro et al., 2004; Mustikasari et al., 2010). Secara khusus, salah satu kondisi oseanografi unik yang di
ekoregion ini adalah terdapatnya Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow) yang melintasi di kedalaman
lebih dari 200 m membawa massa air dari Samudera Pasifik Barat menuju Selat Makassar yang semula dibawa
oleh Arus Mindanao (Gordon et al., 2008; Susanto et al., 2010).

Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat (Desember-Februari) upwelling muncul di sekitar
Kepulauan Talaud dengan intensitas kuat namun sempit areanya. Pada Monsun Peralihan I yang muncul adalah
upwelling dominan lemah. Sedangkan pada Monsun Timur upwelling kuat muncul di Timur Kepulauan Talaud.
Selain itu pada Monsun Peralihan II, upwelling intensitas lemah muncul di utara Sulawesi Utara tepatnya antara
Tanjung Kandi sampai Teluk Amurang dan upwelling intensitas kuat masih muncul pula di Kepulauan Talaud.

Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 27 29C, salinitas
berkisar antara 33,75 PSU hingga 34,25 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,28 4,70 ml/liter;
pH berkisar antara 7,65 8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar
antara 0,15 0,25 mol/liter, konsentrasi silikat 4,5 15,0 mol/liter, konsentrasi nitrat 1,5 4,0 mol/liter,
dan klorofil 0,5 5,0 gram/liter (Boyer et al. 2009).

Salah satu kondisi osenografi yang unik dari ekoregion ini adalah terbentuknya perairan Kepulauan Sangihe
Talaud dari aktivitas tektonik sehingga banyak gunung api bawah laut di kedalaman 600 hingga 900 m. Hal

82 |ekoregion laut 7

tersebut ditunjukkan dengan adanya cerobong-cerobong yang menunjukkan aktivitas hidrotermal dan juga
terdapat ekosistem organisme non-fotosintesis (ikan, udang, karang laut dalam, dan lain sebagainya) yang
hidup dengan cara kemosintesis seperti terlihat (Wirasantosa et al., 2011).


Organisme yang hidup di cerobong hidrotermal

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama ekoregion ini adalah keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Ekoregion Laut Sulawesi
merupakan bagian dari Sulu Sulawesi Marine Ecoregion, mencakup perairan Kepulauan Derawan di bagian barat
sampai dengan Sanger Talaud dan Taman Nasional Bunaken di bagian timur. Wilayah ini juga merupakan jalur
migrasi mamalia laut dari Samudera Pasifik ke Selat Makassar menuju Samudera Hindia.

Terdapat 26 spesies mangrove ditemukan di Kabupaten Berau (Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di
Biduk-biduk). Hutan mangrove dapat ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-rabu, Semama
dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan pesisir Berau. Secara
keseluruhan luas mangrove di Berau sebesar 80.277 ha, terdiri dari spesies bakau (Rhizophora sp), api-api
(Avicennia sp), nipah (Nypa fruticans), dan lain-lain. Nipah khususnya mendominasi di sepanjang Sungai Berau,
sedangkan bakau dan api-api di Delta Berau dan di sepanjang pantai (Wiryawan et al, 2004).

Di Sulawesi Utara ditemukan 17 spesies mangrove dari 9 Famili. Genus yang dominan ditemukan adalah
Rhizophora, Bruguiera, dan Sonneratia. Mangrove terdapat di Taman Nasional Bunaken dengan luas total lebih
dari 1.800 ha. Mangrove tersebut tersebar di Pulau Mantehage (1.435 ha), di sebagian Pulau Bunaken (76 ha),
Pulau Manado Tua (7.7 ha), pulau Siladen dan Pulau Nain (7 ha). Selain itu pesisir bagian utara Molas Wori
terdapat hutan mangrove seluas 235 ha, dan di Pesisir Arakan Wawontulap seluas 933 ha. Desa Sapa dan
Boyong Pante yang juga berada di bagian Utara Minahasa terdapat mangrove walaupun dalam jumlah spesies
yang relatif sedikit (5 spesies) dan jenis dominan Sonneratia (Anonimous 2002).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |83



Padang lamun ditemukan tersebar di seluruh pesisir Berau dengan kondisi yang berbeda dengan rata-rata luas
tutupan kurang dari 10 % sampai 80 %. Luas tutupan padang lamun yang rendah (<10 %) dapat dijumpai pada
daerah-daerah yang banyak mendapat gangguan, seperti terbuka pada surut terendah. Luas tutupan tinggi (20
% - 80 %) terdapat pada daerah yang selalu tergenang dan terlindung. Terdapat 8 spesies lamun yang
ditemukan di pesisir Berau yaitu: Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium
isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis (Turak, 2004).

Padang lamun di Tanjung Merah, Toli-Toli dan Arakan-Wawontulap berada dalam kondisi bagus. Duyung masih
ditemukan di padang lamun Arakan-Wawontulap dan Kepulauan Derawan. Keragaman ikan dan invertebrata di
padang lamun Tanjung Merah juga cukup beragam.

Komunitas karang di ekoregion ini mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dengan berbagai tipe baik
pada kondisi lereng yang landai maupun terjal seperti dinding. Terumbu karang terdapat di Taman Nasional
Bunaken (380 spesies) dan Kepulauan Derawan (444 spesies, Erdmann, pers.comm). Survei ikan karang pada
Oktober 2003 di Kepulauan Derawan menemukan 872 spesies yang terbagi dalam 272 genus dan 71 famili
(Allen, 2003).

Terumbu karang di pesisir Berau tersebar luas pada seluruh pulau


dan gosong yang ada di bagian utara dan selatan. Gosong-gosong
yang ada di bagian utara pesisir Berau adalah Gosong Mangkalasa,
Gosong Masimbung, Gosong Buliulin, Gosong Pinaka, Gosong
Tababinga, Gosong Lintang, Gosong Muaras dan Gosong
Malalungun. Sedangkan gosong yang ada di bagian selatan adalah
Gosong Besar/Sapitan, Gosong Dangalahan dan Gosong Paninsinan.
Tipe terumbu karang di pesisir Berau terdiri dari karang tepi, karang
penghalang dan atol. Beberapa atol ada yang telah terbentuk
menjadi pulau dan ada yang terbentuk menjadi danau air asin. Atol
yang ada di pesisir Berau hanya ada dibagian utara yaitu Pulau
Kakaban, Pulau Maratua dan Gosong Muaras. Luas atol Kakaban
adalah 19 km2, Atol Maratua 690 km2, Atol Muaras 288 km2
(Wiryawan et al., 2005). Penelitian dari Madduppa et al. (2012)
menemukan total 159 spesies ikan berasal dari 30 famili yang
diobservasi di daerah terumbu karang dan laguna di Pulau Maratua.
Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa jenis ikan terumbu
lebih tinggi di daerah terumbu karang (121 spesies) dibandingkan
dengan di daerah laguna (47 spesies).

Ekoregion Laut Sulawesi kaya akan jenis organisme langka dan


habitat unik seperti pesut Irrawaddy, paus sperma, paus pilot dan
ikan coelacanth (Latimeria menadoensis) yang terancam punah dan
Ikan Raja Laut, Latimeria menadoensis. tertangkap oleh
penyebarannya sangat terbatas. Ikan coelacanth selain sebagai ikan
nelayan, Octavianus Coan Kawalo, pada 21 Juli 2011, di
purba juga sangat berharga karena menjadi mata rantai evolusi
Amurang, Minahasa, Sulawesi Utara. Foto diambil oleh
makhluk hidup dari air ke darat. Di Indonesia, ikan coelacanth Hentje Lumentut, jurnalis Manado Pos. (foto:
hanya ditemukan di Teluk Manado (Sulawesi Utara). Di Manado www.dinofish.com)
Tua, ikan ini sering disebut sebagai ikan raja laut (king of the sea).

84 |ekoregion laut 7

Kawasan Laut Sulawesi sangat penting bagi


banyak jenis Cetacean. Sebagai contoh paus
sperma membesarkan anaknya di bagian utara
Sulawesi. Menurut sejarah, di Selat Lembeh
pernah terdapat kumpulan besar cetacean
seperti manta dan Hiu Paus. Kepulauan
Derawan dikenal sebagai lokasi peneluran
penyu hijau terbesar di Asia Tenggara, pantai
bagian utara Sulawesi memiliki sejumlah lokasi
peneluran penyu hijau, sementara di Pulau
Bira, Sambar lokasi bertelur penyu hijau dan
penyu sisik.


Sebaran Lokasi peneluran penyu hijau, Chelonia mydas. (gambar: Erdmann &

Huffard, 2009)

Keberadaan gunung bawah laut di Sangir Talaud


memperlihatkan keunikan habitat di ekoregion ini. Pada
habitat sekitar kawah gunung bawah laut tersebut terdapat
lingkungan yang cukup produktif karena adanya proses
kemosintesis oleh aktivitas bakteri dan mikroganisme lainnya.
Beberapa sumberdaya laut dalam di salah satu gunung bawah
laut di pulau-pulau Sangihe-Talaud seperti pada gambar
disamping ini.

Terdapat empat kawasan konservasi di Ekoregion Laut 7,


antara lain KKPD Berau, TWAL Pulau Sangalaki dan SML Pulau
Semama di Kalimantan Timur serta TNL Bunaken di Sulawesi
Utara.

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 7 berada pada WPP 716. Potensi sumberdaya


perikanan antara lain ikan pelagis besar (70.1 ribu ton/tahun),
pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun) dan demersal (24,7 ribu
ton/tahun), udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), ikan karang
Kehidupan laut dalam di sekitar hidrotermal di wilayah
konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun)
Sangihe-Talaud.
dan cumi-cumi (0,2 ribu ton/tahun).

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2011, kondisi sumberdaya perikanan di
ekoregion laut 7 berdasarkan tingkat pemanfaatnnya adalah ikan demersal seperti spesies manyung (Ariidae
spp), kakap merah (Lutjanus malabaricus dan L. erythropteru), kerapu (Cephalophodis boenack) dan kuwe
(Caranx sexfasciatus) masih moderate. Pada ikan pelagis kecil seperti spesies layang (Decapterus kuroides dan
Decapterus macarellus) masih moderate. Pada ikan pelagis besar seperti spesies tuna mata besar (Thunnus
obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies
cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |85




Ekoregion ini mempunyai potensi sumberdaya energi berupa satu cekungan migas berproduksi, satu lokasi
potensial distribusi mineral endapan placer emas, satu lokasi potensial distribusi endapan placer chromite dan
magnetite, serta tiga gunung api bawah laut. Hasil ekspedisi INDEX SATAL 2010 mengungkapkan potensi
gunung api bawah laut di Sangihe Talaud memiliki aktivitas hidrotermal (Balitbang KP., 2010). Gunung api
bawah laut tersebut adalah Kawio Barat. Aktivitas gunung api bawah laut tersebut mengeluarkan mineral,
logam dan sulfida.

Hasil ekspedisi juga menemukan ikan laut dalam dengan jenis ikan laut dalam yang dominan adalah Synagrops
japonicus (Acropomatidae) pada kedalaman 475-700 m, udang famili Aristeidae dan cepalopoda jenis
Histioteuthis celetaria pasifica (Histioteuthidae).



Jenis ikan Synagrops japonicus (Acropomatidae)


Jenis udang Aristeidae Jenis cepalopods Histioteuthidae/Histioteuthis
celetaria pasifica

Gunung api bawah laut Kawio Barat mengeluarkan semburan berwarna abu-abu yang mengandung mineral,
logam dan sulfida., serta beberapa jenis potensi perikanan yang ditemukan (foto: Balitbang KKP dan NOAA 2010)

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 7 terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi. Laut Sulawesi yang terletak di barat Lautan Pasifik
disempadani dengan Kepulauan Sulu, Laut Sulu, Kepulauan Mindanao di Utara, rangkaian Kepulauan Sangihe di
timur, Sulawesi di selatan dan Kalimantan Barat di barat. Laut ini terbentuk dari lembangan besar dengan
kedalaman sehingga 6.200 m. Pesisir utara Pulau Sulawesi yang menghadap ke Laut Sulawesi memiliki
kerentanan yang tinggi terhadap tsunami (Budiono et al. 2003). Hal ini disebabkan oleh struktur geologi wilayah
tersebut yang berupa pertemuan lempeng, sesar dan pegunungan bawah laut. Pada ekspedisi INDEX SATAL
yang diselenggarakan oleh P3SDLP Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan dan NOAA pada tahun 2010
telah berhasil mengidentifikasi gunung berapi raksasa bawah laut Sulawesi dengan ketinggian lebih dari 10.000
kaki atau 3.000 meter.

86 |ekoregion laut 7

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 7 berpotensi menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, industri lokal,
akuakultur, industri perkayuan, pariwisata, tambang batubara dan perkapalan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan
tersebut, bahan pencemar yang berpotensi mencemari kawasan ini adalah bahan pencemar organik dan
anorganik. Bahan-bahan pencemar tersebut terutama berasal dari pusat utama daerah urban di sekitar
perairan Laut Sulu (UNEP, 2005). Bahan-bahan pencemar masuk ke wilayah ini melalui sungai yang bermuara
ke dalamnya sehingga berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi.

Sebagian sungai yang bermuara ke kawasan ini telah tercemar, seperti Sungai Ongkag yang memiliki status
mutu air tercemar ringan berat (KLH, 2009a). Penelitian Booij et al. (2006) di Delta Berau, Kalimantan Timur,
memperoleh hasil di lokasi ini terdapat banyak bahan pencemar organik, bahkan konsentrasi bahan organik
perylene di sedimen mencapai 54-580 ng/g berat kering, sedangkan didalam kolom air konsentrasinya 1-680
pg/l. Tingginya bahan organik juga akan berpotensi terhadap terjadinya ledakan populasi plankton serta
berpotensi untuk menyumbang GRK.

Wilayah ini juga berpotensi untuk tercemar oleh bahan anorganik. Bahan tersebut masuk pada kategori bahan
berbahaya dan beracun (B3) seperti logam berat, POPs, PAH, TBT, dan radioaktif. Pencemaran yang berasal dari
bahan kimia industri, seperi PCBs dan pestisida pertanian DDT masih sangat rendah (Booij et al. 2006). Bahan
pencemar tersebut berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya.

Ekoregion Laut 7 merupakan wilayah laut yang berbatasan dengan Philipina dan Malaysia. Kawasan ini dapat
dipengaruhi oleh berbagai aktivitas dari negara-negara tetangga tersebut. Sungai utama yang bermuara ke Laut
Sulawesi diantaranya adalah Merotai, Balung dan Tawan, Sungai Mindanao (Rio Grade River), Sungai Kayan dan
Berau (Kalimantan dan Sabah), serta Sungai Tundano, Polgar dan Buol dari Pulau Sulawesi. Sungai-sungai
tersebut membawa bahan organik, sehingga memberikan dampak terhadap produktivitas perairan ekoregion
ini yang juga relatif tinggi, karena sungai-sungai tersebut membawa nutrien dari aktivitas perkebunan sekala
besar di Pulau Kalimantan dan industri dari Pulau Mindano. Pencemaran logam berat dari kegiatan industri dan
urban di Teluk Batangas, yang merupakan daerah urban di Mindano, Pulau Visayan dapat mempengaruhi
tingkat pencemaran di wilayah ini (MPP-EAS, 1998). Pencemaran yang ditimbulkan oleh aktivitas pertanian dari
kawasan regional dapat dikatakan minor, mengingat di wilayah tersebut kegiatan pertaniannya relatif minim.

Ekoregion ini merupakan jalur tanker minyak diantara Jepang dan wilayah Samudera Pasifik, Samudera Hindia,
Asia Barat dan Eropa, sehingga mempunyai potensi untuk terjadinya tabrakan dan tumpahan minyak (MPP-
EAS, 1998). Kondisi tersebut dapat merugikan apabila sampai terjadi musibah tersebut, sehingga biota yang
ada di dalamnya akan dapat terkontaminasi B3 seperti PAH, POPs, dan logam berat, sehingga dapat
mengakibatkan biota-biota yang ada di dalamnya menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Selain itu adanya
musibah tersebut juga akan sangat mengganggu atau bahkan membuat kegagalan pada kegiatan budidaya
perikanan dan akan menurunkan produksi perikanan tangkap.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |87



Terumbu Karang di perairan Kapoposan (foto: sumarjito)
0 65

KALIMANTAN
130 TIMUR
260 Km
EL-7 LAUT SULAWESI

GORONTA

KALI MANTAN EL-10

R
SA
AS
TENGAH

AK
SULAWESI TENGAH
TM
S U LAW E S I
LA
SE

SULAWESI BARAT

KALIMANTAN SELATAN
EL-8 SULAWESI TENGG

SULAWESI SELATAN

EL-6 EL-13
UT JAWA

LAUT FLORES

BALI
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIM

Ekoregion Laut 8
Selat Makassar
Ekoregion 8 meliputi perairan laut diantara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang memiliki luas 288.005
2
km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya kondisi batimetri yang dalam yang terhubung dengan basin
Sulawesi/Sangihe Talaud di bagian utara, yang kemudian menyempit di Kanal Labani membentuk leher botol.
Massa air dari Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia yang melalui selat ini sering dikenal sebagai Arus
Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow).

Ekoregion Laut 8 berbatasan dengan empat ekoregion lain yaitu:

a. Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa pada bagian Paparan Sunda dengan
kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion ini berada pada kedalaman lebih dari 200 m,
b. Laut Sulawesi karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati karang, dan salinitas perairan yang
dilengkapi dengan referensi peta IHO,
c. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan pola arus dan batimetri yang dipertegas dengan
morfostruktur dasar laut batas paparan,
d. Laut Banda sebelah selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang
dan karang.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |91



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion Laut 8 terbentuk sekitar 48 juta hingga lima juta tahun silam (Hall, 2001) dan
merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion ini berupa paparan benua
(continental shelf), lereng benua (continental slope) dan dataran abisal (abyssal plain), dengan kedalaman
hingga 3.188 m.

Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki kemiringan
o o o
yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng terjal (10-20 ), dan
o
kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut, ekoregion ini memiliki tiga cekungan
(Cekungan Makasar Utara, Cekungan Makasar Selatan, dan Cekungan Spermonde) dan satu dataran (Dataran
Doang Supermonde).

OSEANOGRAFI

Pola angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke
tenggara (Monsun Barat) yang berasal dari hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin Tenggara dari
Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun Timur). Pada periode Monsun Peralihan I
dan II, pola angin tidak menentu dengan intensitas kurang dari Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki,
1961; Mustikasari et al., 2010).

Tipe pasang surut yang ada di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Mustikasari
et al., 2010). Arus di Selat Makassar berasal dari Laut Jawa pada Monsun Barat dan arus berarah tidak menentu
pada Monsun Peralihan I (Adi et al. 2004). Pada Monsun Timur arus meninggalkan Selat Makassar menuju Laut
Jawa dan Laut Flores, sedangkan pada Monsun Peralihan II cenderung menuju ke Laut Flores saja.

Menurut Mustikasari et al. (2010), upwelling terjadi di Selat Makassar pada saat Monsun Barat di pesisirtimur
Kalimantan, yang kemudian berpindah ke tengah selat mendekati pesisir Mamuju-Majene di Sulawesi pada
Monsun Peralihan. Kemudian area upwelling meluas melingkupi hampir sebagian selat pada Monsun Timur, dan
pada Monsun Peralihan II, luasan upwelling hanya ada di sepanjang Pesisir Barat Sulawesi saja.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi dan mencapai kisaran 28
29C, salinitas berkisar antara 32PSu dan 34 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,30 4,55
ml/liter, dan pH berkisar antara 7,40 8,25. Kondisi sebaran nutrien berdasarkan Boyer et al. (2009) adalah
konsentrasi fosfat berkisar antara 0,125 0,750 mol/liter; konsentrasi silikat 2,5 17,5 mol/liter; konsentrasi
nitrat 1,0 8,5 mol/liter; dan klorofil 0,05 0,50 gram/liter.

Salah satu ekosistem unik yang ada di ekoregion ini adalah ekosistem Delta Mahakam di Kalimantan Timur.
Delta ini termasuk salah satu delta terdinamis saat ini yang mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan
internasional. Menurut Pranowo et al. (2012a) secara umum arus permukaan di Muara Pegah, Delta Mahakam,
Kalimantan Timur pada Oktober adalah bergerak dominan dari barat yang berasal dari Selat Makassar menuju
ke timur kemudian bertemu dengan arus dari barat dan dari utara yang menuju ke selatan. Kecepatan arus
permukaan secara horisontal pada setiap 2 3 jam adalah berbeda dengan kisaran yang bervariasi. Kecepatan
arus permukaan pada kondisi pasang purnama (spring tide) saat menuju surut (flood to ebb) berkisar 0,025 -2,7
m/detik, saat surut (ebb) 0,01 - 1,2 m/detik, saat menuju pasang (ebb to flood) 0,025 0,44 m/detik, dan saat
pasang (flood) 0,1 1,7 m/detik.

92 |ekoregion laut 8

Dinamika arus tersebut secara umum disebabkan oleh dinamika elevasi muka laut yang ada dan juga
dipengaruhi oleh kondisi kedalaman lautnya. Terlihat arus dengan kekuatan dominan bergerak di area yang
mempunyai kedalaman maksimum ( 35 m) hingga menyusur area slope kedalaman laut ( 15 m). Ketika arus
bergerak menuju batimetri yang dangkal, terjadi gesekan terhadap dasar laut (bottom stress) yang cukup besar
sehingga meredam kekuatan arus tersebut.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 8 adalah sebagai koridor penyebaran larva dan juga jalur migrasi mamalia
laut yang melalui Arlindo dari Filipina ke selatan menuju Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur.
Ekoregion ini merupakan lokasi memijah bagi ikan terbang. Ekoregion ini juga kaya akan jenis organisme langka
dan habitat unik (Huffard et al., 2012).

Hutan mangrove yang tumbuh di Delta Mahakam cukup unik dengan anak-anak sungainya yang cukup banyak
sehingga memberikan bentuk yang khas. Selain itu, mangrove juga tumbuh cukup baik di Teluk Balikpapan dan
sepanjang pesisir bagian selatan Kalimantan Timur. Meskipun demikian, luasan hutan ini setiap tahun makin
berkurang akibat alih fungsi hutan.

Mangrove menyediakan tempat persinggahan dan mencari makan untuk burung-burung di sekitar wilayah
Sulawesi Selatan, Mampie dan Bulukumba hingga Bintayung. Sebagai contoh, wilayah Bintayung merupakan
lokasi penting tempat persinggahan terakhir bagi 28 jenis burung laut pesisir dan yang bermigrasi (Huffard et
al., 2012).

Mangrove di wilayah ini sangat unik karena sangat dekat dengan terumbu karang. Hal ini memungkinkan
terjadinya hubungan antara darat dan laut. Fauna yang termasuk penghuni kawasan ini adalah buaya muara
(Crocodylus porosus) di Malili, Sulawesi Selatan.

Padang lamun di Kepulauan Spermonde banyak diteliti oleh peneliti Belanda dalam aspek dinamika hara di
ekosistem ini. Green and Short (2003) mencatat delapan spesies lamun di Selat Makassar, yaitu Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, H. uninervis, Syringodium
isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Namun baru-baru ini telah di deskripsi satu spesies baru lamun dari
Kepulauan Spermonde, yaitu Halophila sulawesii (Supriadi, 2012).

Terumbu karang terdapat di kawasan Kepulauan Spermonde dengan pulau-pulau kecilnya. Kondisi terumbu
karang yang dekat dengan daratan kondisinya kurang baik dan akan membaik bila letaknya semakin jauh dari
daratan dan permukiman penduduk. Berdasarkan penelitian disertasi Madduppa (2012), rekrutmen lokal ikan
nemo (Amphiprion ocellaris) di terumbu karang Pulau Barranglompo dan Pulau Samalona sebesar 40-60% yang
diuji berdasarkan teknik DNA mikrosalit. Hal ini berguna untuk menentukan luasan kawasan perlindungan laut.

Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia dari tahun 2004-2008, perairan Indonesia dihuni oleh 13 spesies ikan
terbang. 11 dari 13 spesies didapatkan di ekoregion ini (Selat Makasar) dan Laut Flores. Sudah sejak lama Selat
Makasar dikenal sebagai wilayah penangkapan ikan terbang terbesar di Indonesia. Penangkapan ini terutama
untuk diambil telurnya. Jenis yang ditangkap dan diambil telurnya adalah Hirundichthys oxycephalus, yang oleh
nelayan disebut Torani.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |93



Distribusi jumlah spesies ikan terbang di perairan Indonesia. (gambar: Dirhamsyah et al., 2009)

Torani, Hirundichthys oxycephalus dan alat tangkapnya di Selat Makasar. (foto: Ali & Nessa, 2005)

Hasil penelitian genetik lain mengenai spesies udang paneid di wilayah Makassar dan Teluk Bone yang
mencakup wilayah ekoregion ini menunjukkan bahwa terdapat empat kelompok utama berdasarkan marker
CO-I mitokondria. Berdasarkan fenotif dan genotip udang penaeid, hasil penelitian ini menyarankan untuk
menguji ulang karakter genetik dari individu udang paneid dari wilayah Sinjai karena memiliki karakteristik yang
layak digunakan sebagai selective breeding. Individu dari udang paneid dari wilayah Sinjai, secara morfologi dan
genetik memiliki kriteria yang hampir sama dengan udang tambak, sebagai contoh udang tambak yang berasal
dari Tondra, Teluk Bone (Arlyza dan Marwayana, 2012: inpress).

94 |ekoregion laut 8

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 8 berada pada WPP 713. Potensi sumberdaya perikanan pada ekoregion ini meliputi ikan pelagis
besar (193,6ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (605, 4 ribu ton/tahun), ikan demersal (87,2 rbu ton/tahun),
udang penaeid (4,8 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (34,1 ribu ton/tahun), lobster (0,7 ribu ton/tahun),
cumi-cumi (3,9 ribu ton/tahun).

Kepulauan Spermonde yang terletak di Selat Makassar menjadi salah satu lokasi untuk penangkapan ikan dan
karang hias. Dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa ikan Nemo (Amphiprion ocellaris) menjadi tangkapan
utama untuk perdagangan ikan hias di Indonesia (Madduppa, 2012). Penelitian tersebut mendata lebih dari
25.000 spesimen yang diperdagangkan dari pengumpul Barranglompo untuk periode waktu tiga bulan
(2005/2006) dan lebih dari 10.000 spesimen pada tahun 2008. Selain itu, anemon juga menjadi sasaran
penangkapan. Sekitar 650 individu yang diambil pada tahun 2005 dan lebih dari 7.400 pada tahun 2008.

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 192.046 ha tersebar di sekitar
pesisir timur Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan serta pesisir barat Sulawesi Selatan. (ii) padang lamun
seluas 13.987 ha yang tersebar di pesisir timur Kalimantan dan pesisir barat Sulawesi serta (iii) terumbu karang
mencakup luasan 196.235,94 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini.

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 8
adalah udang sudah over exploited, ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap
merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil seperti spesies
ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) sudah over exploited. Ikan pelagis besar seperti spesies madidihang
(Thunnus albacares) sudah over exploited, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah fully exploited, dan
spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate.

Potensi tidak terbarukan pada ekoregion ini antara lain sumberdaya mineral berupa satu cekungan migas yang
belum dieksploitasi dan adanya BMKT yang berada di Selayar. Potensi jasa lingkungan ekoregion ini adalah
wisata bahari di Taka Bone Rate, serta air mineral laut dalam (deep sea water) di Makassar yang digunakan
untuk air minum melalui proses destilasi.

KERAWANAN BENCANA

Berdasarkan peta rawan tsunami (Sulistyo dan Triyono, 2009), Teluk Palu yang berada di daerah pantai dan
pesisir Pulau Sulawesi yang rawan terhadap tsunami berada di pantai bagian barat yang berhadapan dengan
Kalimantan Timur. Pada Ekoregion Laut 8 terdapat sesar Palikoro yang berarah Tenggara-Baratlaut dan terkenal
sangat aktif sehingga seringkali menimbulkan gempa-gempa tektonik.

Selat Makassar ini menghubungkan antara Pesisir Barat Pulau Sulawesi dan Pesisir Timur Pulau Kalimantan.
Menurut Budiono et al. (2003), ekoregion ini memiliki kerentanan rendah terhadap kejadian tsunami. Pulau
Kalimantan tidak rentan kejadian gempa, namun terdapat potensi tsunami yang berasal dari kegempaan di
bagian Pulau Sulawesi.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 8 berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan,
perkebunan, aktivitas perkotaan dan industri melalui limpasan air DAS yang bermuara ke kawasan ini.
Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik

deskripsi peta ekoregion laut indonesia |95



dan bahan anorganik. Hasil pemantauan DAS utama ditemukan bahwa Sungai Mahakam menunjukkan bahwa
parameter pH, BOD, COD, DO, TSS, amonia, fenol, minyak dan lemak, fecal coli dan total coliform telah
melampaui KMA kelas I atau II, dengan status mutu air tergolong tercemar berat (KLH, 2009a). Wilayah perairan
ini juga berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi. Ledakan populasi plankton bisa terjadi dan menjadi
source carbon yang dapat menyumbang terjadinya peningkatan GRK.

Potensi pencemaran juga bisa ditimbulkan dari aktivitas trasportasi laut (sebagai jalur pengiriman minyak
mentah), kegiatan migas dan pertambangan. Terdapat lima titik pembuangan limbah migas dan satu titik
pembuangan limbah pertambangan ke kawasan ini (KLH, 2009b).

Jenis bahan anorganik dan organik yang dapat mencemari wilayah ini antara lain adalah logam berat, POPs,
PAHs, dan TBT. Publikasi mengenai pemantauan pencemaran laut di perairan ini masih jarang ditemukan. Dari
data penelitian kandungan POPs di jaringan tubuh kerang hijau dari pantai Maros menunjukkan nilai total DDTs
dan PCBs masih rendah bila dibandingkan dengan kerang di pantai dari Ekoregion Laut Jawa, seperti Teluk
Jakarta, Panimbang, Cirebon dan Surabaya (Monirith et al., 2003). Demikian pula dengan TBT di kerang hijau
dan sedimen dari pantai Maros, menunjukkan konsentrasi yang sangat rendah bila dibandingkan dengan jenis
sampel yang sama dari Ekoregion Laut Selat Malaka dan Ekoregion Laut Jawa (Sudaryanto et al., 2005; 2007).
Namun demikian, terakumulasinya senyawa POPs dan mungkin limbah B3 lain dibiota dari wilayah ini dapat
menghasilkan sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk
menurunkan populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati.

96 |ekoregion laut 8
Spesies Nudibranch di wilayah Laut Sawu (foto : Yoniar Hufan-BIG)
KALI MAN TAN EL-10 LAUT MALUKU

EL-11

R
SA
AS
K
N TENGAH

MA
SULAWESI TENGAH

AT
S U LAW E S I

L
SE
SULAWESI BARAT

EL-12
LAUT SERAM

KALIMANTAN SELATAN

EL-8 SULAWESI TENGGARA


MALUKU

EL-8 SULAWESI SELATAN

LAUT BANDA

EL-6 EL-15
EL-13
LAUT FLORES

BALI
E
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR S T
L E
O R
T I M

LAUT SAWU

EL-2
EL-9 LAUT TIMOR

S A M U
D E R A
H I N D
I A

0 100
200 400 Km

Ekoregion Laut 9
Perairan Bali dan Nusa Tenggara
Ekoregion Laut 9 meliputi perairan laut di sebelah utara dan selatan Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara.
2
Ekoregion ini memiliki luas 625.018 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya beberapa pintu keluar bagi
Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow) seperti Selat Lombok, Selat Ombai dan terusan Timor. Arus ini
membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Makassar, Terusan
Limafatola, Laut Banda dan Laut Aru.

Ekoregion ini memiliki batas dengan lima ekoregion lain yaitu:

a. Samudera Hindia sebelah selatan Jawa karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan pola
temperatur permukaan,
b. Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada Paparan Sunda dengan
kedalaman 200 m, sedangkan mayoritas di ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara pada kedalaman
lebih dari 200 m (Samudera Hindia),
c. Selat Makassar karena perbedaan pola arus dan batimetri yang dipertegas dengan morfostruktur dasar laut
batas paparan,
d. Laut Banda sebelah selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan biodiveritas ikan karang dan koral
yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan dan subduksi lempeng,
e. Laut Banda karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan koral, pola arus, dan garis batas
ditarik mengikuti morfostruktur patahan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 99



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, Ekoregion Laut 9 terbentuk sebelum 15 juta hingga 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan
merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion 9 berupa dataran abisal
(abyssal plain), lereng benua (continental slope), pematang samudera (sub marine ridge), dengan kedalaman
sampai dengan 7.247 m.

Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 9
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009)
Ekoregion Laut 9 memiliki enam cekungan (Cekungan Bali, Cekungan Flores, Cekungan Lombok, Cekungan
Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan Wetar) dan satu parit (Parit Lombok).

OSEANOGRAFI

Secara umum, pola angin monsun di ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke
tenggara, dan juga angin dari arah barat daya (Samudera Hindia Tenggara) yang membelok ke tenggara
(Monsun Barat). Angin tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun
Timur). Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lemah dibandingkan Angin
Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010).

Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al.,
2010). Secara umum pola sirkulasi arus permukaan di perairan bagian utara dari Pulau Bali dan Nusa Tenggara
mengarah ke timur. Arus bergerak dengan arah kebalikan di selatan kepulauan. Selain arus permukaan
tersebut, area ini dilalui oleh fenomena unik internasional yaitu Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through
Flow), yang membawa massa air dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia Tenggara dan terjadi di
kedalaman lebih dari 100 m hingga lapisan mendekati dasar perairan. Di samping itu, terdapat beberapa lokasi
seperti Selat Lombok, Laut Flores, Selat Ombai, Laut Sawu dan Laut Timor yang berperan sebagai outlet dari
massa air Samudera Pasifik yang menuju Samudera Hindia.

Mustikasari et al. (2010) melaporkan upwelling terpantau di setiap monsun di ekoregion ini. Untuk Monsun
Barat terjadi pada perairan sekitar Pulau Bali, upwelling dominan lemah ada di bagian utara, dan kuat di Selat
Balung. Upwelling muncul dominan kuat di utara, barat dan selatan Pulau Lombok. Upwelling lemah sampai
kuat terdapat di utara Pulau Sumbawa sampai Selat Sape. Upwelling dominan kuat juga muncul di utara Pulau
Flores, Adonara, Siantar, Alor, Sumba, Timor. Upwelling lemah muncul di Laut Sawu dengan wilayah relatif luas
hingga di Perairan sekitar Pulau Rote dan Pulau Sawu.

Pada Monsun Peralihan I, upwelling terjadi di sekitar Bali dan Nusa Tenggara. Pada Musim Barat, banyak yang
muncul di sebelah Selatan. Upwelling kuat muncul di Selatan Pulau Bali dengan area luas. Lalu muncul pula
upwelling lemah sampai kuat di Barat dan Selatan Pulau Lombok, Pulau Sumbawa sampai Selat Sape, Selatan
Pulau Flores, Sumba dan Timor. Upwelling dominan kuat muncul di utara dan selatan Pulau Adonara, Siantar
dan Alor.

Pada Monsun Timur, upwelling dominan kuat muncul di selatan Pulau Bali, selatan dan barat Pulau Lombok,
selatan Pulau Sumbawa sampai Selat Sape. Upwelling kuat juga muncul di selatan Pulau Flores, Sumba, Sawu,
Roti, Timor, Utara dan selatan Pulau Adonara, Siantar dan Alor.

100 |ekoregion laut 9


Pada Monsun Peralihan II, upwelling masih muncul dominan kuat dan luas di selatan Pulau Bali dan Lombok.
Sementara upwelling lemah sampai kuat muncul di selatan Pulau Sumbawa, Selat Sopo, selatan Pulau Flores,
utara dan selatan Pulau Andonara sampai Alor. Upwelling sangat lemah ditemukan di utara Pulau Timor.

Adapun variasi komponen fisik di rerata rentang tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi dan mencapai rata-rata 26,5
28,0C, salinitas berkisar antara 33,0-34,5 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2 4,7 ml/liter,
dan pH berkisar antara 8,0 8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar
antara 0,15 0,75 mol/liter, konsentrasi silikat 2,50 22,50 mol/liter, konsentrasi nitrat 1,0 9,0 mol/liter,
dan klorofil 0,05 0,50 gram/liter (Boyer et al. 2009).

Pada ekoregion ini terdapat beberapa lokasi yang mempunyai ekosistem laut dan pesisir yang unik, salah
satunya Selat Bali yang berperan sebagai habitat ikan Sardinella lemuru. Selain itu terdapat Teluk Saleh yang
berfungsi sebagai area asuhan ikan-ikan ekonomis, Laut Flores sebagai jalur migrasi cetacean dari Samudera
Pasik menuju Samudera Hindia, dan Teluk Ekas yang secara periodik dihampiri oleh kelompok ikan paus
(Purnomo et al., 2004; Brodjonegoro et al. 2004).

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 9 adalah terumbu karang yang umumnya mengelilingi
pulau-pulau di kawasan ini. Selain itu ekoregion ini merupakan koridor migrasi dan habitat paus. Hutan
mangrove di kawasan ini tidak terlalu luas. Pada umumnya mangrove banyak tumbuh di habitat pasir dan pulau
karang. Kondisi mangrove dari Pulau Bali kearah timur, kondisinya semakin berkurang yang disebabkan wilayahnya
relatif kering dengan curah hujan yang rendah. Mangrove tumbuh di bagian Utara Pulau Timor. Di Pulau Bali,
mangrove tumbuh di Bali bagian selatan (Teluk Benoa), kemudian di Bali Barat, dan di Pulau Lembongan.
Di Pulau Lomboh, mangrove dijumpai di sekitar Sekotong dan pulau-pulau kecilnya.

Informasi keberadaan padang lamun cukup minim. Berdasarkan pemantauan kondisi lamun di empat lokasi di
Taman Nasional Komodo), lamun di lokasi ini didominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
dengan beberapa jenis lainnya, yaitu Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule sp. dan Cymodocea sp
(McKenzie et al., 2006 dalam De Iongh et al., 2009). Kemudian kondisi lamun yang ada di Bali selatan dijumpai
ada tujuh spesies yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis,
Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium dengan di dominansi oleh jenis Enhalus
acoroides (Arthana, 2005).

Ekoregion ini mempunyai terumbu karang yang cukup bagus kondisinya dengan keanekaragaman karang jamur
(fungiid) menduduki peringkat 3 setelah Papua dan Laut Sulawesi. Sama seperti karang, keanekaragaman ikan
karang juga menempati peringkat tiga dibawah laut Sulawesi dan Laut Banda, tetapi tingkat endemisitasnya
menduduki peringkat 2 setelah Papua. Penelitian Wallace et al. (2001) mendapatkan hasil bahwa beberapa
spesies karang genus Acropora, Acropora suharsonoi dan A. palmerae, diperkirakan menjadi spesies endemik di
perairan ini dan perairan selatan Indonesia. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa komposisi spesies di
perairan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan perairan dangkal Australia Barat.

Kajian cepat kondisi kelautan Propinsi Bali tahun 2011 mencatat 406 spesies karang keras yang terdiri dari 54
genera. Dari 13 spesies belum terkonfirmasi namanya, dan setidaknya 1 spesies merupakan spesies baru
Euphyllia sp. nov. Rata-rata tutupan karang hidup 28%, sedangkan karang mati rata-rata < 4%. Survei

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 101



menemukan terumbu karang Bali dalam pemulihan aktif dari pemutihan karang, perikanan yang merusak dan
serangan bintang laut berduri yang sempat diperkirakan menghancurkan karang-karang tersebut mulai dari
akhir 1990an hingga 2001. Perbandingan karang hidup dan mati adalah 7 banding 1 yang merupakan bukti
kelentingan terumbu karang Bali (Mustika, et al., 2012). Kajian ini juga mencatat ikan karang sebanyak 977
spesies, terdiri dari 320 genus dan 88 famili. Jenis yang paling sering ditemui di karang Bali adalah ikan kakatua
(Labridae), betok (Pomacentridae), betutu (Gobiidae), capungan (Apogonidae), kerapu (Serranidae), ikan
kepekepe (Chaetodontidae), dan butane (Acanthuridae). Sebanyak 16 jenis ikan karang yang diduga endemik
ditemukan di Bali dan ke arah timur ke pulau-pulau Nusa Tenggara. Dari hasil kajian ini juga ditemukan 13
spesies ikan baru atau yang belum terdeskripsikan.

Dugong dapat ditemukan di kawasan ini. Keberadaan Dugong di Pulau Timor Barat diinformasikan saat operasi
lapangan oleh PT. Jaya Acol Oceanarium yang berhasil menangkap 2 ekor Dugong di Teluk Kupang. Keberadaan
Dugong di Pulau Rote telah dikonfirmasi sejak tahun 1997 dan kembali dikonfirmasi pada tahun 2004 melalui
wawancara dengan penduduk setempat (De Iongh et al., 2006). Pada tahun 2007 terlihat oleh Suharsono
(komunikasi pribadi) saat melakukan survei penyelaman. Informasi mutakhir disampaikan oleh Kuriandewa
(komunikasi pribadi) yang melihat dugong di Pulau Rote sebelah utara berhadapan dengan Pulau Timor pada
tahun 2010.

Laut Timor dan selat-selat yang berada di


antara pulau-pulau di sekitar wilayah tersebut
merupakan koridor migrasi utama mamalia
besar dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia. Spesies mamalia besar tersebut adalah
paus bongkok (Megaptera novaeangliae), paus
sirip (Balaenoptera physalis), paus sei
(Balaenoptera borealis), dan paus sperma
(Physater catodon). Selain itu, terjadinya
fenomena upwelling menjadikan perairan ini
produktif sehingga dapat menyediakan
makanan yang cukup untuk mendukung
populasi mamalia besar ini. Laut Sawu
diperkirakan merupakan lokasi mencari makan,
pemijahan dan pembesaran anak (calving) dari
Jalur migrasi paus di perairan Maluku dan Nusa Tenggara. (gambar: Monk et Paus Sperma. Wilayah Kepulauan Alor-Solor
al., 1997 dalam Wagey & Arifin 2008) merupakan salah satu habitat cetacea oseanik
terpenting di Indonesia (Wagey & Arifin, 2008)

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 9 berada pada WPP 573. Potensi sumberdaya perikanan di kawasan tersebut antara lain ikan
pelagis besar (201,4 ribu ton/tahun), pelagis kecil (210,6 ribu ton/tahun), demersal (66,2 ribu ton/tahun), udang
penaid (5,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (4,5 ribu ton/tahun), lobster (1,0 ribu ton/tahun) dan cumi-
cumi (2,1 ribu ton/tahun).
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya
perikanan di Ekoregion Laut 9 adalah udang sudah dimanfaatkan melebihi kapasitas (over exploited), Ikan
demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kuwe (Caranx sexfasciatus yang sudah fully

102 |ekoregion laut 9


exploited, spesies layur (Trichiurus spp) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil seperti spesies lemuru
(Sardinella lemuru) sudah over exploited, spesies layang Decapterus kuroides masih taraf moderate. Tingkat
pemanfaatan ikan pelagis besar seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru (Thunnus
maccoyii) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) dan albakora (Thunnus alalunga) sudah
fully exploited, dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Untuk cumi-cumi masih
(Loligo spp) dimanfaatkan dalam taraf normal (moderate).

Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral pada ekoregion ini antara lain terdiri dari satu
cekungan sedimen berproduksi, dua cekungan sedimen sudah dieksploitasi, satu cekungan sedimen belum
dieksploitasi, satu lokasilokasi area potensial distribusi endapan placer chromite dan magnetite.

Potensi migas tersebar disekitar daerah utara Bali, Lombok Sumbawa, selatan Tanimbar, dan selatan Pulau
Timor. Terdapat potensi hidrothermal yang berasal dari gunung api Baruna Komba yang berada sekitar 200 m
dari permukaan laut (Sarmili et.al, 2003). Terdapat juga potensi Jasa lingkungan, wisata bahari di Bali dan
Lombok dan potensi air mineral laut dalam (deep sea water) di Gondol, Jula, Dompu, Kupang yang digunakan
untuk air minum melalui proses destilasi. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan
memanfaatkan arus dari Selat Bali, Selat Lombok, Selat Alas, Selat Flores sebagai pembangkit listrik.

KERAWANAN BENCANA

Selatan Gugusan Pulau Bali hingga Nusa Tenggara berada pada zona
pertemuan lempeng sehingga rentan terhadap gempa yang diikuti
dengan tsunami (Budiono et al. 2003). Gempa juga sering melanda lokasi
ini, baik pada Utara gugusan pulau maupun sebelah Selatan gugusan
pulau. Potensi tsunami terjadi baik pada sisi Utara maupun Selatan
gugusan pulau (Budiono et al. 2003). Selain itu ekoregion ini memiliki
kerawanan bencana berupa potensi bahaya letusan dari gunung api
bawah laut yang masih aktif, yaitu Baruna Komba, Anak Komba, dan Ibu
Komba.

Pulau-pulau Nusa Tenggara yang paling rawan tsunami berada di pulau-


pulau Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Timor pantai timur yang
berada di subduksi Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia. Teluk Salah satu karakter pantai yang ada di Pulau Rote,
Nusa Tenggara Timur yang bersifat landai dan
Kupang termasuk daerah yang agak rawan tsunami meskipun posisinya
tebuka sehingga rawan terhadap bencana tsunami
relatif aman dengan adanya Pulau Semau di bagian baratnya. Pantai
(foto : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2013).
utara pulau-pulau Nusa Tenggara terutama Sumba dan Flores rawan
terhadap tsunami akibat adanya sesar Flores dengan potensi seismisitas
dan longsor dasar laut serta gejala aktivitas volkanisme bawah laut.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 103



PENCEMARAN

Ekoregion Laut 9 merupakan wilayah laut yang berpotensi


untuk menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan
pertanian, rumah tangga, pariwisata dan pertambangan
melalui limpasan air sungai yang bermuara ke kawasan ini.
Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang
berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik dan bahan
anorganik. Ekoregion ini juga berpotensi tercemar bahan
organik, sehingga berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan
COD yang tinggi, berpotensi untuk mengalami blooming
plankton dan berpotensi untuk menjadi menyumbang
terjadinya perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan hasil survai
Riani (2008) di Bali yang memperlihatkan BOD dan COD yang
berada di luar ambang batas yang diperbolehkan untuk
kehidupan biota laut.

Sebagian sungai yang bermuara ke wilayah ini telah tercemar


baik oleh bahan organik maupun bahan anorganik, seperti
Distribusi oil spill dari citra MODIS di Celah Timor, Agustus-
Sungai Meninting yang memiliki status mutu air tercemar
Oktober 2009 (gambar: Gaol, 2009)
sedang berat dan sungai Jangkok yang memiliki status mutu

air tercemar berat (KLH, 2009a). Menurut Falahudin et al. (2012), pencemaran oleh senyawa PAH dalam air dan
sedimen di perairan Timor adalah cukup tinggi bila dibandingkan di beberapa perairan lain di Indonesia seperti
Teluk Klabat dan perairan pantai Kalimantan Timur (Sangata dan Balikpapan). Selain itu, aktivitas pertambangan
di Sumbawa yang mengalirkan limbah tailingnya (submarine tailing disposal) berpotensi menimbulkan
pencemaran di perairan ini. Logam berat, terutama Cu adalah bahan pencemar utama di sekitar STD ini
(Edinger, 2012). Berdasarkan izin pembuangan limbah ke laut di wilayah ini, terdapat satu titik sumber
pencemar yang berasal dari kegiatan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat dan
3
menghasilkan limbah dengan volume sebesar 36.750 m /hari (KLH, 2009b).

Di wilayah ini juga terdapat kegiatan pertambangan migas yang berada di perairan Australia, sehingga
berpotensi menjadi sumber pencemaran. Sebagai contoh, oil spill akibat meledaknya anjungan minyak Montara
(Australia) pada tanggal 21 Agustus 2009 menyebabkan pencemaran minyak ke perairan laut sekitarnya (Gaol,
2009). Berdasarkan citra MODIS seperti dalam gambar di bawah ini, pencemaran minyak ini sampai ke perairan
2
Indonesia dengan luas perairan yang tertutup oil spill diperkirakan sekitar 7000 km (Gaol, 2009). Sementara itu,
dampak oil spill telah terlihat di perairan Indonesia seperti yang dilaporkan oleh para nelayan yang menemukan
banyak ikan mati di laut (Gaol, 2009). Dampak negatif dari tumpahan minyak ini terhadap biota laut juga telah
terlihat di perairan Celah Timor (Watson et al., 2009). Selain itu adanya musibah tersebut berpotensi terhadap
terjadinya pencemaran berbagai senyawa PAH dan logam berat.

104 |ekoregion laut 9


Sponge di perairan Teluk Tomini, kadang disebut Salvador Dalli (foto: Erick)
0 50

100 200 Km

LAUT SULAWESI

EL-7

SULAWESI UTARA
GORONTALO
R
SA
AS

EL-10
AK
TM

LAUT MALUKU
LA

EL-11
SE

SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I
ULAWESI BARAT
EL-12

SULAWESI TENGGARA

SULAWESI SELATAN

Ekoregion Laut 10
Teluk Tomini
Ekoregion Laut 10 meliputi perairan laut yang berbatasan perairan Laut Halmahera yang memiliki luas 70.020
2
km . Teluk Tomini adalah salah satu teluk terbesar di Indonesia yang dikelilingi oleh tiga Propinsi yaitu Sulawesi
Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Ciri khas dari ekoregion ini adalah termasuk teluk yang besar dengan
kedalaman yang beragam, dan dibagian tengah teluk terdapat aktivitas hidrotermal bawah laut.

Ekoregion Teluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia yang memiliki batas dengan ekoregion
Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikang karang dan karang serta pola temperatur dan
salinitas.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 107



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion Laut 10 ini terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian
dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion 10 terdiri dari dataran abisal (abyssal plain) dan
lereng benua (continental slope), dengan kedalaman berkisar antara 0 sampai dengan 3.854 m.
o
Ekoregion Laut 10 memiliki kemiringan dasar laut yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng
o o o
agak terjal (3-10 ), kelas lereng terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ) (Sulistyo dan Triyono, 2009).
Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion ini memiliki dua cekungan yaitu Cekungan Gorontalo dan satu
cekungan yang tidak bernama (Sulistyo dan Triyono, 2009).

OSEANOGRAFI

Pola angin Monsun yang bertiup di atas ekoregion ini adalah ekstensi dari angin yang bertiup di Ekoregion
Perairan Bali dan Nusa Tenggara. Pergerakan angin Monsun tersebut adalah angin bergerak dari arah barat laut
menuju ke tenggara (Monsun Barat) yang asalnya adalah hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin
tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun Timur). Sedangkan pada
Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan
Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Tipe pasang surut di perairan Teluk Tomini adalah campuran
cenderung semidiurnal, dengan tinggi rata-rata air pasang tertinggi adalah +2,50 m, air surut terendah -2,64 m,
dengan tunggang maksimum sekitar 5,14 m (Wyrtki 1961; Purnomo et al. 2003).

Menurut Purnomo et al. (2003), arus yang memasuki Teluk Tomini berasal dari Laut Maluku yang terletak di
sebelah timur perairan Teluk Tomini. Pola arus menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk Teluk Tomini
sesuai dengan pola pasut yang ada. Saat air surut, arus bergerak dari arah Laut Maluku menuju perairan dalam
Teluk, kecepatan arus maksimum di utara Tanjung Api dan Selat Wadea. Saat air menjelang pasang, arus dari
arah Laut Maluku bergerak menguat memasuki perairan teluk, sebagian arus yang bergerak di sebelah utara
perairan teluk bergabung dengan arus balik di selatan teluk yang mengarah keluar teluk dan memasuki Perairan
Kepulauan Togean. Saat air pasang kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk di sekitar Perairan
Kepulauan Togean. Saat air menjelang surut arus bergerak keluar ke segala arah dan bergabung dengan arus
dari perairan di sekitarnya yang lebih lemah dan bergerak keluar perairan teluk.

Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat upwelling intensitas lemah hingga kuat dan relatif luas
muncul di Perairan Teluk Tomini bagian Utara dan Barat. Pada Monsun Peralihan I, di Teluk Tomini bagian Utara
upwelling umumnya lemah. Pada Monsun Timur muncul upwelling dominan kuat dan luas dari utara Tanjung
Pangkalsiang sampai Teluk Poso. Pada Monsun Peralihan II, upwelling intensitas kuat muncul di Teluk Tomini
bagian Selatan antara Tanjung Pangkalsiang sampai Teluk Poso.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 29 30,5C; salinitas
berkisar antara 33-33,5 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,6 4,8 ml/liter; dan pH berkisar
antara 6,75 7,40. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 0,25
mol/liter; konsentrasi silikat 5 10 mol/liter; konsentrasi nitrat 8 9 mol/liter; dan klorofil 0,05 5,0
gram/liter (Boyer et al. 2009).

108 |ekoregion laut 10


KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 10 adalah memiliki keragaman tinggi dan tingkat keendemikan yang penting
karena keterisolasian yang cukup lama. Perairan teluk yang bersifat semi-tertutup merupakan kawasan yang
unik karena mengalami isolasi geografis yang cukup lama. Pesisir utara yang unik dengan lansekap berhutan dan
langsung terjal ke arah laut hingga kedalaman mencapai mintakat abisal (abyssal zone) sehingga tidak
mempunyai paparan benua (continental shelf). Wilayah ini memiliki ekosistem pesisir yang lengkap yaitu
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.

Kondisi ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Tomini Kabupaten Bolaang Mongondow, dalam kondisi yang
masih baik, walaupun pada beberapa tempat terlihat adanya pembukaan lahan untuk tambak serta adanya
bekas-bekas penebangan. Sebagian besar ekosistem mangrove di Pantai Selatan Bolaang Mongondow terdapat
di daerah tepian pantai.

Komunitas lamun (seagrass) cukup luas dengan kondisi bervariasi mulai kurang hingga baik. Jumlah spesies yang
ditemukan berkisar 5 6 spesies. Dalam ekosistem mangrove dan ekosistm terumbu karang dijumpai terutama
dua spesies yang memiliki toleransi besar di wilayah mangrove yaitu Cymodocea rotundata, dan Thallasia
2
hemprichii. Jumlah individu berkisar 553,3 845,6 individu/m dan berdasarkan tutupan kanopi dikategorikan
baik (65% - 80%).

Terumbu karang tumbuh cukup baik di


Kepulauan Togean. Terumbu karang Teluk
Tomini mempunyai keragaman karang
genus Acropora yang paling tinggi di
Indonesia. Terdapat 5 (lima) spesies
Acropora di Indonesia yang tidak terdapat
wilayah lain, dan dari 5 spesies tersebut
dua spesies termasuk endemik di Teluk
Tomini yaitu Acropora togeanensis dan A.
suharsonii. Endemisitas dan isolasi genetik
yang mengindikasikan (hipotesis) sebagai
akibat proses pembentukan spesies
(speciation). Hal ini terjadi karena isolasi
serta peninggalan (relic) elemen fauna
Tethys yang terjebak saat lengan-lengan
Sulawesi bertumbukan sehingga
membentuk teluk yang dalam dan terusan
Laut Tethys hilang. Sejarah geologi yang
kaya telah memberikan endemisitas dan
Sponge dengan ukuran yang sangat besar di temui di wilayah Teluk Tomini dan ini
merupakan spesies yang hanya ada satu-satunya di dunia dan hanya dapat di keanekaragaman yang sangat tinggi untuk
temui disini, beberapa kalangan menjulukinya sebagai Salvador Dali karena kawasan sekecil itu, termasuk berbagai
bentuknya yang menyerupai aliran lukisan dari Dali sendiri (foto: Koleksi Pribadi jenis ikan dan stomatopoda yang
Erick) berasosiasi dengan terumbu karang.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 109



Penelitian dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Universitas Sam Ratulangi Manado
bekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumapapua (2007) menunjukkan bahwa kondisi terumbu
karang di Kawasan Teluk Tomini Sulawesi Utara, daerah Kabupaten Bolaang Mongondow dalam kondisi miskin-
cukup didominasi oleh jenis karang batu Montipora, Acropora dan Diplostrea. Populasi karang dijumpai hingga
pada topografi landai hingga drop dengan jarak pandang 10 25 m. Degradasi kondisi terumbu karang
diakibatkan oleh akibat aktivitas manusia (penggunaan bahan peledak dan racun) maupun pengaruh alami.

Pantai berpasir putih Bakiriang, Teluk Towari,


Sulawesi Tengah sangat penting bagi kehidupan
Burung Maleo, Macrocephalon maleo. Penyu Hijau
(Chelonia mydas) berstatus genting Appendix I
dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) berstatus
kritis bertelur di Kepulauan Togean. Jenis Isopora
togianensis yang langka dapat ditemukan di wilayah
ini dan di Teluk Cenderwasih. Terakhir, sejumlah
Cetacea yang terancam punah juga diketahui
mengunjungi perairan dalam di Teluk Tomini.

Keragaman larva ikan sidat, Anguillidae, juga cukup


tinggi dan termasuk yang tertinggi di samping Laut
Sulawesi (Sugeha et al., 2008). Elver (ikan muda)
sidat ini memasuki perairan tawar sungai Poso dan Burung maleo merupakan burung khas diwilayah Sulawesi Tengah
Danau Poso. Setelah dewasa di danau tersebut ikan terutama di teluk tomini.
ini kembali ke laut untuk memijah, dan Teluk Tomini
diperkirakan sebagai salah satu daerah pemijahan
ikan ini.

Sebaran keragaman spesies sidat, Anguilla spp di perairan Indonesia. (gambar: Sugeha et al., 2008)

110 |ekoregion laut 10


Berdasar analisis struktur genetik Bayesian, sampel Neotrygon kuhlii yang berasal dari Teluk Tomoni dekat
hubungannya dengan populasi yang berasal dari dua wilayah yang berbeda yaitu populasi dari Samudera Hindia
dan Selat Bali / Laut Flores meskipun hubungan akhirnya terlihat lemah. Karena ukuran wilayahnya yang sempit,
penetapan hubungan struktur genetik populasi di wilayah Teluk Tomini terhadap populasi di Samudera hindia
(atau Selat Bali / Laut Flores) dapat dianggap hanya sebagai hubungan sementara. Secara umum, dasar perairan
samudera yang berbeda dapat memperlihatkan populasi Neotrygon kuhlii yang berbeda secara genetik (Borsa
et al., 2012).

Terdapat dua kawasan konservasi di Ekoregion Laut 10, yaitu KKPD Desa Olele, Gorontalo dengan luas 2.460 ha
dan Taman NasionalLaut Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah dengan luas sekitar 362.065 ha.

PEMANFAATAN

Ekoregion 10 berada pada WPP 715. Potensi sumberdaya perikanan di kawasan tersebut antara lain ikan pelagis
besar (106, 5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang
penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun), lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-
cumi (7,1 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya non hayati meliputi: (i) mangrove tersebar di sekitar pesisir selatan Gorontalo, pesisir
Kepulauan Togean dan pesisir Banggai dan Poso seluas 25.700,40 ha, (ii) padang lamun seluas 1.284,10 ha
tersebar di pesisir selatan Teluk Tomini dan (iii) terumbu karang seluas 22.417,50 ha yang tersebar di beberapa
kawasan ekoregion ini.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan
di ekoregion laut 10 meliputi beberapa kategori. Tingkat pemanfaatan udang sudah over exploited, ikan
demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus
malabaricus) sudah fully exploited. Ikan pelagis kecil seperti spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus)
dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited, dan spesies layang (Decapterus macarellus) masih
moderate. Tingkat pemanfaatan Ikan pelagis besar seperti spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over
exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus
pelamis) masih taraf moderate.


Potensi sumberdaya lainnya yang berada pada Ekoregion Laut 10 adalah:
a. Potensi sumberdaya mineral berupa satu lokasi cekungan migas sudah ada penemuan, satu lokasi cekungan
migasyang sudah di bor, satu lokasi cekungan migasyang belum dieksploitasi, satu lokasi lokasi potensial
distribusi endapan placer emas, serta tiga gunung api bawah laut
b. Potensi migas terdapat di Banggai, Sulawesi Tengah.
c. Pemanfaatan yang dilakukan terhadap potensi tersebut adalah sebagai bahan bakar untuk berbagai jenis
alat transportasi dan industri.
d. Potensi jasa lingkungan yaitu wisata bahari di Pulau Togean.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 111



KERAWANAN BENCANA

Teluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia, dengan luas perairan sekitar enam juta hektar,
serta dikelilingi oleh tiga propinsi yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Teluk yang dilewati
garis khatulistiwa ini berada pada posisi yang strategis sebagai jantung segitiga terumbu karang dunia atau
heart of coral triangle, yang disepakati pada World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiatives (CTI)
Summit pada Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara (SUSCLAM, 2010).

Berdasarkan aspek kerentanan dan kebencanaan, wilayah Ekoregion Laut 10 memiliki kerentanan terhadap
tsunami dan kegempaan (Jaya et al., 2001; Budiono et al. 2003). Hal ini harus diwaspadai karena wilayah ini
terdapat kepulauan Togean yang memiliki potensi wisata bahari yang tinggi.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut Teluk Tomini memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan pemukiman, hotel, restoran,
pelabuhan dan pariwisata. Berdasarkan keseluruhan sumber pencemar, pencemaran yang diakibatkan oleh
kegiatan pariwisata relatif lebih kecil dibandingkan dengan pencemaran akibat aktivitas lainnya. Menurut Laapo
et al. (2009) indeks pencemaran lingkungan perairan meningkat sekitar 21% selama musim puncak kunjungan
turis di kawasan wisata gugus Pulau Togean. Walaupun status mutu air di sekitar perairan Pulau Togean masih
terbilang baik, wilayah perairan tersebut memiliki potensi pencemaran yang meningkat apabila sumber
pencemar tidak dikelola dengan seharusnya. Kawasan wisata lain yang berpotensi mengalami pencemaran
adalah wilayah Pantai Wisata Bahari Bentenan dan Pantai Mangkid. Pada Pantai Wisata Bahari Bentenan
terdapat konsentrasi deterjen dan pada pantai Mangkid yang bervegetasi mangrove terdapat kandungan
colitinja yang tidak memenuhi syarat Kepmen LH 51 Tahun 2004.

Sumber pencemar dari kegiatan pelabuhan berasal dari dua pelabuhan yang memiliki status mutu air berada
dalam kondisi tercemar ringan (KLH, 2009c; 2010). Parameter fenol adalah yang umum ditemukan melebihi nilai
ambang batas di perairan pelabuhan Teluk Tomini (KLH, 2009c; 2010). Sumber pencemar dari permukiman,
hotel, dan restoran berpotensi mencemari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Tomini, seperti sungai Bone
dan Bolango. Kedua sungai tersebut memiliki status mutu air cemar sedang berdasarkan metode indeks
pencemaran (Keputusan MENLH No. 115 tahun 2003) dengan menggunakan Kriteria Mutu Air Kelas I (PP
82/2001).

Wilayah laut ini berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, dan berpotensi untuk menyumbang GRK.
Kegiatan pertanian dan perikanan, selain berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar organik, juga
berpotensi untuk menghasilkan limbah B3 seperti pestisida dan logam berat. Pada prinsipnya jenis dan sumber
bahan pencemar yang dihasilkan dari berbagai kegiatan di atas dapat mempengaruhi kualitas perairan di
wilayah ini dan keberlanjutan sumberdaya terumbu karang yang dijadikan sebagai obyek wisata (Laapo et al.,
2009).

112 |ekoregion laut 10


Pigmy Seahorse di Selat Lembeh, Bitung (foto: Davide Lopresti)
F I L I P I N A

0 75

150 300 Km

EL-7 EL-11
SULAWESI
LAUT HALMAHERA

SULAWESI UTARA MALUKU UTARA


LO

EL-10 LAUT MALUKU


EL-14 PAP

EL-12 LAUT SERAM

MALUKU
ARA

Ekoregion Laut 11
Laut Halmahera
2
Ekoregion Laut 11 berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah Utara Papua dan memiliki luas 451.955 km .
Ciri khas ekoregion ini adalah struktur Kepulauan Halmahera yang dapat menimbulkan Halmahera Eddy, yang
merupakan arus putar balik ke arah Barat dan kembali ke samudra Pasifik yang semula berasal dari arus susur
tepian Papua utara yang menuju ke barat.

Ekoregion Laut Halmahera bersebelahan dengan enam ekoregion lain yaitu:


1. Laut Sulawesi karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang yang disempurnakan dengan
morfostruktur dasar laut yang mengikuti adanya subduksi lempeng,
2. Teluk Tomini karena perbedaan keanekaragaman hayati ikang karang dan terumbu karang serta pola
temperatur dan salinitas,
3. Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan garis ditarik
dengan morfostruktur patahan,
4. Laut Banda karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti morfostuktur
patahan,
5. Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang
diperbaharui dengan studi detail tentang keanekaragaman hayati.
6. Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 115



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion laut 11 ini terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian
dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan
lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 9.514 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilyah ini memiliki
o o
kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng terjal
o o
(10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009),
ekoregion ini memiliki lima cekungan (Cekungan Morotai, Cekungan Khaterina, Cekungan Taliabu, Cekungan
Mangale dan Cekungan Datan), dua plato (Plato Morotai Timur, dan Plato Waigea), dan tiga parit (Parit Sangihe,
Parit Ternate, dan Parit Utara Morotai).

OSEANOGRAFI

Pola angin Monsun di ekoregion ini memiliki pola yang sama dengan di ekoregion Teluk Tomini. Secara umum,
angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat sebagai hasil pembelokan angin
dari Samudera Pasifik, dan angin tenggara bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun
Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan
Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005).

Menurut Wyrtki (1961), tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal. Ekoregion ini
memiliki fenomena hidrodinamika yang unik bernama Halmahera Eddy. Arus eddy putar balik ke arah Barat,
kemudian kembali ke Samudera Pasifik yang semula berasal dari arus susur tepian Papua utara yang menuju ke
barat. Arus ini mulai terbentuk pada Monsun Peralihan I, kemudian intensitasnya menguat di sepanjang
Monsun Timur, dan kemudian melemah hingga ketika melewati periode Monsun Peralihan II, dan menghilang
ketika Monsun Barat. Arus eddy tersebut mengangkut nutrien dari pesisir utara Papua menuju Ekoregion
Samudra Hindia Utara Papua.

Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat, upwelling intensitas kuat dan luas muncul di timur dan
selatan Pulau Halmahera, yaitu tepatnya di Teluk Weda, Teluk Bull sampai sekitar Tanjung Perak. Pada Monsun
Peralihan I, di sekitar Pulau Halmahera muncul upwelling di timur, yaitu sekitar Tanjung Perak dengan intensitas
kuat dan luas. Sementara itu di Teluk Weda muncul upwelling dominan lemah dan cukup luas pada Monsun
Timur. Kemunculan upwelling juga terdeteksi di timur laut Pulau Morotai, dan juga upwelling kuat terjadi di
perairan antara Pulau Halmahera dan Pulau Waigeo. Pada Monsun Peralihan, upwelling dominan kuat dan
relatif luas ada di selatan Kepulauan Obi sampai barat Pulau Halmahera.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 27 29C; salinitas
berkisar antara 33,0 dan 34,5 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 4,7 ml/liter; dan pH
berkisar antara 6,75 8,25.

Mengacu pada Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat
berkisar antara 0,15 1,0 mol/liter; konsentrasi silikat 2,5 15,0 mol/liter; konsentrasi nitrat 1 3 mol/liter;
dan klorofil 0,5 5,0 gram/liter.

116 |ekoregion laut 11


KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 11 adalah terumbu karang dengan jumlah spesies yang
termasuk tinggi di Indonesia. Beberapa karang yang besar terutama Pavona clavus dan Gardineroseris
planulata dari family Agariciidae dengan umur sangat tua 1.000 tahun atau lebih ditemukan di kawasan ini
(Turak and DeVantier, 2008). Adanya aliran arus di perairan dalam dapat mengurangi tekanan panas terhadap
karang dari naiknya suhu air laut yang mungkin menyebabkan pemutihan massal (massal coral bleaching)
selama perubahan iklim.

Terdapat 468 (544) spesies karang keras yang terdiri dari 15 famili dan 54 genera (Turak and DeVantier, 2008).
Hampir seluruh spesies karang di Bentang Laut Kepala Burung Papua terdapat di kawasan ini kecuali empat
spesies. Terdapat kemiripan yang tinggi antara komposisi jenis karang di Halmahera dengan komposisi karang
di kawasan bentang laut Kepala Burung dan bentang laut Laut Sulawesi. Namun demikian, terdapat beberapa
perbedaan penting yang tampak antara ekoregion ini, yaitu pada komunitas karangnya. Halmahera
menunjukkan tingkat ketidakmiripan dari sedang sampai tinggi dari kebanyakan ekoregion lainnya, terutama
dari Sangihe-Talaud dan Raja Ampat.

Teluk Kao di bagian utara tengah Halmahera adalah teluk unik yang luas dan nyaris tertutup pulau.
Pertumbuhan terumbu karang di teluk ini minimal, namun demikian keanekaragaman hayati yang terlihat di sini
dalam beberapa hal sangat unik dengan tingginya keragaman habitat yang dihasilkan dari kegiatan tektonik aktif
(Huffard et al. 2012).

Cincin pulau gunung berapi yang bermula dari Ternate sampai Makaian dan selat panjang yang membelah
Bacan juga merupakan habitat unik di Halmahera. Pantai Utara Morotai di Indonesia juga unik karena
menghadap ke lautan terbuka yang terkena hempasan gelombang besar Samudera Pasifik. Craterastrea leavis
merupakan jenis karang di perairan dalam yang langka yang sementara ini hanya diketahui terdapat di Chagos
dan Laut Merah, juga tercatat di ekoregion ini.

Kombinasi hasil kajian cepat kelautan tahun 2005 dan 2008 mencatat spesies ikan karang di Halmahera Utara
dan Morotai sebanyak 991 spesies, terdiri dari 77 famili dan 288 genera. Ikan dominan terdiri dari 3 genera
yaitu Gobiidae, Pomacentridae dan Labridae.

Kawasan penting lain di ekoregion ini


adalah Selat Lembeh. Selat Lembeh
dikenal sebagai habitat unik yang memiliki
spesies langka seperti Pigmy Seahorse.
Menurut sejarah, di Selat Lembeh pernah
terdapat kumpulan besar Cetacean, manta
dan Hiu Paus. Menurut Marsh et al. (2002)
dan De Iongh (1997), Dugong juga
dilaporkan terdapat di Halmahera.
Sementara itu survei yang dilaksanakan Pigmy seahorse, Hippocampus denise. Kiri: foto diambil oleh Novice di Vanuatu
pada Januari 2006; Kanan: f oto diambil oleh Neville Coleman di Papua New Guinea
oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
berasosiasi dengan Gorgonian Sea-fan. (foto: underwater.com.au)
menemukan dugong di Tobelo (Halmahera
Utara) yang sering akrab bermain dengan
anak-anak nelayan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 117










Anak-anak nelayan akrab bermain dan bercanda dengan Dugong di Tobelo,
Halmahera Utara. (foto: dokumentasi P2O LIPI)

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 11 berada di sebagian WPP 715 dan sebagian lagi WPP 716. Potensi sumberdaya perikanan di
WPP 715 antara lain ikan pelagis besar (106, 5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan
demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun),
lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-cumi (7,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan
pelagis besar (70.1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun) dan demersal (24,7 ribu ton/tahun),
udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun) dan
cumi-cumi (0,2 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya non ikan pada ekoregion ini antara lain: (i) mangrove seluas 40.019,02 ha tersebar di
sekitar pesisir Halmahera Selatan dan pesisir Pulau Obi, (ii) padang lamun seluas 5.597,12 ha tersebar di pesisir
Pulau Halmahera dan Pulau Bacan dan (iii) terumbu karang dengan luas 35.712,38 ha. Ekoregion ini juga
memiliki potensi budidaya mutiara yang tersebar di sekitar Pulau Seram.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan
di Ekoregion Laut 11 memiliki beberapa kategori. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP 715 seperti
udang sudah over exploited, ikan demersal spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus
bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited. Kondisi di WPP 716 ikan demersal spesies manyung
(Ariidae spp), kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus
malabaricus), kuwe (Caranx sexfasciatus) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 715 jenis ikan terbang
(Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited sedangkan layang spesies
Decapterus macarellus masih moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 716 antara lain layang (Decapterus kuroides
dan Decapterus macarellus)masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 715 spesies tuna mata besar (Thunnus
obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies
cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 716 antara lain spesies tuna mata
besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, madidihang (Thunnus albacares) (Katsuwonus pelamis) sudah
fully exploited dan cakalang masih moderate.

Potensi sumberdaya tidak terbaharukan di ekoregion ini adalah potensi migas yang terdapat disekitar
Halmahera Timur dan nikel di pulau-pulau kecil. Ekoregion ini menyimpan BMKT yang terdapat di perairan

118 |ekoregion laut 11


Tidore yang telah dirubah menjadi tempat pariwisata dan edukasi.Potensi jasa lingkungan ekoregion ini adalah
wisata bahari Pulau Bunaken. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus
dari Selat Talibo-Manguale (Kepulauan Sula) sebagai pembangkit listrik .

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 11 terletak pada struktur geologi


Busur Halmahera (Halmahera Arc). Berdasarkan Peta
Rawan Tsunami (Sulistyo dan Triyono, 2009),
ekoregion ini pada kondisi geologi tersebut banyak
muncul gunung api, termasuk gunung api bawah laut
yang dikenal dengan nama Ring of Fire. Ancaman
kebencanaan yang ada di ekoregion ini adalah gempa
dan tsunami karena berada pada jalur Ring of Fire
dan sub-plate Banda. Selain itu pengaruh gerak dari
perpanjangan Lempeng Pasifik. Budiono et al. (2003)
dan Jaya et al. (2001) mengemukakan bahwa
ekoregion ini memiliki kerentanan terhadap tsunami.
Namun pada bagian luar Busur Halmahera yang tidak
berhadapan dengan busur dan pertemuan tektonik
Busur Halmahera (Halmahera Arc)
memiliki kerentanan yang rendah sehingga memiliki

lereng yang terjal dan curam di sebagian besar


pantainya, maka sebagian besar daratan pulau-pulau
ini relatif aman terhadap tsunami.

Tetapi lain halnya untuk Maluku bagian utara, daerah


yang rawan tsunami karena berdekatan dengan
sumber tektonik gempa bawah laut di Laut Seram. Di
Pulau Halmahera Maluku Utara, daerah rawan
tsunami terdapat di daerah-daerah dengan morfologi
teluk, seperti Teluk Kao dan Teluk Buli serta bagian
barat Pulau Halmahera pada morfologi teluknya.

Salah satu karakter pantai yang ada di Pulau Halmahera. Gambar



diambil di daerah Batjan, Kab. Halmahera Selatan, Prov. Maluku Utara

(foto : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2013).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 119



PENCEMARAN

Ekoregion Laut 11 memiliki potensi dicemari oleh limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara pada
ekoregion ini, antara lain dari Sungai Tabobo dan Sungai Lasolo di Pulau Halmahera. Menurut Kriteria Mutu Air
kelas I dan II, kedua sungai tersebut memiliki status mutu air tercemar sedang hingga berat (KLH, 2009a).
Sumber pencemar utama adalah dari kegiatan rumah tangga dan industri pertambangan, terutama
pertambangan emas. Namun di lokasi tersebut juga terdapat kegiatan lainnya yakni kegiatan
pertanian/perkebunan dan kegiatan perikanan tangkap.

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan di wilayah ini, maka bahan pencemar yang lebih berpotensi untuk
mencemari adalah bahan pencemar yang masuk kedalam kategori B3, terutama logam berat. Namun demikian
kawasan ini juga berpotensi untuk tercemar bahan organik. Oleh karena itu wilayah ini juga berpotensi untuk
memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, sehingga akan menyumbang GRK.

Di Pulau Halmahera terdapat tiga area pertambangan emas (Toguraci, Kencana dan Gesowong) dan beberapa
pertambangan rakyat di sekitarnya yang menggunakan senyawa sianida dan merkuri untuk mengekstrak emas.
Dalam hal ini pertambangan emas resmi pada umumnya akan menggunakan sianida sedangkan pertambangan
emas rakyat dalam pelaksanaan prosesnya akan menggunakan Hg. Limbah kegiatan pertambangan ini
berhubungan dengan Sungai Tabobo dan Sungai Kebobok yang bermuara di Teluk Kao. Meskipun hasil
pemantauan kadar merkuri di air dan sedimen di Teluk Kao pada tahun 2006 masih rendah (Edward, 2008),
namun konsentrasinya dalam sedimen di muara Sungai Tabobo sudah mendekati nilai ambang batas baku mutu
(Edward, 2008). Hal ini menunjukkan terdapatnya potensi pencemaran merkuri (Hg) di perairan kawasan ini.

Ekoregion Laut 11 juga mempunyai potensi dicemari oleh limbah yang berasal dari kegiatan pertambangan di
Propinsi Sulawesi Utara. Dari tahun 1996-2004, Teluk Buyat yang berada di EL 11 telah menerima tailing melalui
submarine tailing disposal (STD) dari kegiatan pertambangan emas (Lasut dan Yasuda, 2008). Hasil penelitian
menunjukkan deposit emas dengan anomali As-Sb-Hg-Tl dari pertambangan ini mengandung kadar merkuri
sebesar 6 ppm (Edinger et al, 2006). Kegiatan ini telah menimbulkan pencemaran logam berat terutama arsenik
(As), antimony (Sb), merkuri (Hg), dan tallium (Tl) serta penyebaran tailing ke perairan dangkal (20 m) dan
sampai sejauh 4 km dari titik buang STD (Edinger et al., 2006). Kondisi ini akan sangat membahayakan karena
logam-logam berat tersebut bersifat toksik (Riani, 2012). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat bersifat
teratogenik, mutagenik dan karsinogenik, sehingga logam-logam berat tersebut, terutama merkuri (Hg) harus
sangat diwaspadai. Selain hal tersebut, pada pertambangan emas yang melakukan kegiatannya secara sianidasi,
dari kegiatan tersebut juga berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar berupa sianida (Riani, 2012). Tanah
yang terkontaminasi merkuri dari pertambangan rakyat, selanjutnya akan masuk ke dalam sungai atau terbawa
oleh air hujan dan akan terdistribusikan dari daerah Kotabunan dan Teluk Totok ke perairan sekitar Teluk Buyat.
Mengingat merkuri bersifat akumulatif dan dapat masuk ke dalam tubuh biota air dan manusia melalui berbagai
cara (Riani, 2012), maka selanjutnya merkuri akan terakumulasi dalam biota dan menunjukkan pelipatgandaan
kadarnya melalui rantai makanan di ekosistem Teluk Buyat (Lasut dan Yasuda, 2008). Kadar total merkuri di ikan
kerapu juga telah melampaui batas toleransi yang diisyaratkan oleh WHO (500 g/g berat basah, Lasut dan
Yasuda, 2008). Pencemaran Teluk Buyat telah menjadi isu nasional sehubungan dengan klaim pemerintah dan
masyarakat sekitar akibat dampak yang ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan keanekaragaman
hayati laut (Edinger, 2012).

120 |ekoregion laut 11


Spesies bintang laut di perairan Morowali, Sulawesi Tengah (foto : Yoniar Hufan-BIG)
LAUT SULAWESI
0 62.5

125 250 Km

EL-7
MALUKU UTAR
EL-11
SULAWESI UTARA
GORONTALO

EL-10 LAUT MALUKU

AWESI TENGAH

T
S U LAW E S I

EL-12
LAUT SERAM

MALUKU
SULAWESI TENGGARA

LATAN

LAUT BANDA

EL-15
EL-13

Ekoregion Laut 12
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
Ekoregion Laut 12 meliputi Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi termasuk Teluk Tolo dan sebagian Laut Banda.
2
Ekoregion ini memiliki luas 160.361 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki struktur batimetri yang
menyebabkan Arus Lintas Indonesia melewati ekoregion ini melalui salah satu pintu masuk (inlet) bernama
Terusan Lifamatola, massa air ke Laut Banda dari Samudra Pasifik.

Ekoregion Laut Banda berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu:


1. Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti morfostuktur
patahan,
2. Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan pola arus yang batasnya ditarik
sesuai dengan morfostruktur patahan,
3. Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 123



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 12 terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan
Wallacea. Morfologi dasar laut untuk wilayah ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua
(continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 9.514 m.

Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 12
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono,
2009), Ekoregion Laut 12 memiliki lima cekungan (Cekungan Banggai, Cekungan Sula, Cekungan Buru Utara,
Cekungan Seram, dan Cekungan Wahai), satu dataran (Dataran Banggai Sula), satu paparan (Paparan Sula), dua
punggungan (Punggungan Tampomas), serta dua parit (Parit Tala, dan Parit Buton).

OSEANOGRAFI

Secara umum kondisi iklim pada wilayah ekoregion ini dipengaruhi oleh Angin Monsun yang bertiup dengan
pola yang sama dengan di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin
bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, Angin Tenggara bergerak menuju ke
barat daya pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih
lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005).
Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki 1961). Menurut Mustikasari
et al. (2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika yang unik akibat
kompleksitas bentuk batimetri, berupa arus yang berputar (Eddy) yang searah jarum jam dengan intensitas
tertinggi pada Monsun Barat. Sedangkan arus Eddy pada Monsun Timur pergerakannya melawan arah jarum
jam, dengan intensitasnya sedikit lebih lemah dibandingkan pada Monsun Barat. Kondisi arus pada Monsun
Peralihan I, memiliki pola arah tak menentu dengan intensitas yang lebih lemah dari yang terjadi di Monsun
lainnya.

Kondisi dinamika upwelling di ekoregion ini adalah pada Monsun Barat upwelling lemah hingaa kuat dan relatif
luas muncul di Teluk Tolo hingga Timur Laut Pulau Butung dan Tanjung Pangkalang, Timur Pulau Peleng. Pada
Monsun Peralihan I, upwelling umumnya lemah di Teluk Tolo dan upwelling intensitas kuat muncul antara Pulau
Peleng dan Pulau Taliabu, dan antara Pulau Wowoni dan Pulau Butung. Pada Monsun Timur, upwelling dominan
kuat muncul di Timur Pulau Wowoni sampai Tanjung Butung, juga ada di Selatan Pulau Butung dan Pulau Muna.
Pada Monsun Peralihan, upwelling kuat masih muncul di timur antara Pulau Wowoni dan Butung, dan di Selatan
Pulau Butung dan Kabaena (Mustikasari et al., 2010).

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 28 29C; salinitas
berkisar antara 33,75-34,4 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 4,7 ml/liter; dan pH berkisar
antara 8,0 8,25.

Mengacu pada Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat
berkisar antara 0,15 0,40 mol/liter; konsentrasi silikat 4 10 mol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 8,0
mol/liter; dan klorofil 0,5 5,0 gram/liter.

124 |ekoregion laut 12


KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama ekoregion laut ini adalah bentuk pantai yang kompleks dari Kepulauan Banggai, mempunyai
gugusan karang yang luas yang disebut karang merpati. Wilayah ini juga dikenal dengan nama Sula Spur Area
yang meliputi pesisir dan pulau-pulau kecil Sulawesi Tengah, Sula Spur, dan Kepulauan Banggai. Sebagai bagian
dari kawasan segitiga karang, wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Wilayah ini juga berada
pada jalur migrasi ikan tuna dan memiliki ekosistem tropis yang lengkap. Terdapat danau air asin dan teluk semi
tertutup di Pulau Taliabu dengan dua spesies ikan yang endemik.

Berdasarkan KLH (2008), habitat mangrove dapat dijumpai di pesisir barat dan selatan Pulau Taliabu. Habitat
mangrove hanya terbatas di beberapa daerah bagian timur daratan Sulawesi dengan luasan yang kecil. Pesisir
Banggai Kepulauan hampir seluruhnya terdapat ekosistem mangrove. Keberadaan ekosistem mangrove di pulau
ini menjadi salah satu aspek yang mengindikasikan keberadaan burung endemik pada musim-musim tertentu di
kawasan ini. Jenis mangrove yang tumbuh dan berkembang sangat bervariasi yaitu Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, dan Lumnitzera.

Beberapa jenis lamun di perairan pantai Kabupaten Banggai Kepulauan yang dominan antara lain Thalassia
hemprichi, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides. Lamun dari jenis Halophila lebih
banyak dijumpai pada daerah rataan terumbu dengan substrat pasir halus sampai kasar dan pada kedalaman
yang relatif dangkal. Pada daerah yang lebih dalam lebih banyak dijumpai jenis Cymodocea, Enhalus, dan
Thalassia, dan pada daerah rataan tubir dan tubir dijumpai jenis Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoroides,
dan Thalassia hemprichi. Sedangkan biota yang berasosiasi dengan lamun yaitu jenis-jenis ikan tertentu,
crustacea, molusca (Pinna, Lambis, Strombus), echinodermata (Holothuria dan Asteroidea) dan polychaeta
(cacing) juga banyak ditemukan.

Kepulauan Banggai terdiri dari beberapa pulau-pulau kecil yang memiliki terumbu karang yang sangat luas. Tipe
terumbu yang ada memiliki kecenderungan yang sama di semua pulau yaitu atol, goba, dan fringing reef. Lebar
dan dalam terumbu bervariasi antara pulau yang satu dan yang lain. Beberapa pulau memiliki rataan yang
sangat luas jika dibandingkan dengan daratan. Penutupan Acropora di Banggai Kepulauan adalah 45.5% dan
karang api 2.5%. Sementara Non-Acropora memiliki penutupan yang tertinggi di Pulau Burung dengan
persentase sebesar 46.0%. Monsongan juga memiliki penutupan Non-Acropora yang cukup tinggi dengan
persentase sebesar 37.0%. Secara keseluruhan, penutupan Non-Acropora di Banggai Kepulauan adalah 27.0 %
karena jenis karang ini hanya menutupi sebanyak 17.0% kondisi karang di Mbato-mbato. Sementara jenis
karang lunak tidak ditemukan. Hal ini mengindikasikan kondisi yang stabil dari suatu perairan dan tidak
mengalami gangguan.

Ikan Karang yang teridentifikasi di Banggai Kepulauan terdiri


dari 33 famili dan 132 jenis. Jenis- jenis ikan ini cukup beragam
dan ikan indikator dari famili Chaetodontidae sering di jumpai di
semua wilayah perairan. Salah satu spesies ikan hias endemik
yang ada di Banggai Kepulauan adalah Banggai Cardinal Fish
(Pteropogon kauderni). Morfologi ikan ini sangat menarik
karena memiliki bentuk sirip dan ekor yang indah. Selain itu juga
ikan ini memiliki tingkah laku yang unik dalam proses
reproduksinya yaitu bertelur, menetas, dan memelihara anak-
anaknya di dalam mulut untuk sementara waktu.
Banggai Cardinalfish

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 125



Hal lain yang juga menarik adalah ikan ini memiliki fekunditas yang rendah, penyebaran alami secara geografis
yang terbatas (hanya di Banggai Kepulauan), dan memiliki kecenderungan untuk hidup secara berkelompok
(mencapai 500 ekor). Sementara itu, Abalon (Haliotis sp) merupakan salah satu spesies tingkat tinggi dari
gastropoda (moluska) yang juga terdapat di daerah Banggai kepulauan, khususnya Pulau Sonit sangat terkenal
sebagai sentra penyedia abalon karena kualitasnya yang baik.

Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 12 adalah TWAL Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara dengan luas 81.800 ha.

PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 12 terletak WPP 714 yang juga merangkum Ekoregion Laut 13 dan 15. Potensi sumberdaya
perikanan antara lain ikan pelagis besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132,0 ribu ton/tahun) dan
demersal (9,3 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan
cumi-cumi (0,1 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 53.554,02 ha tersebar di sekitar
pesisir timur Sulawesi Tenggara, pesisir Banggai Kepulauan dan pesisir Sula, (ii) potensi padang lamun mencapai
luas 5.458,88 hayang tersebar di gugusan Kepulauan Banggai dan pesisir barat Sulawesi Tengah, (iii) terumbu
karang meliputi luasan 58.595,10 ha yang tersebar di beberapa wilayah di Ekoregion Laut 12.

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 12
memiliki beberapa kategori. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus
macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar seperti spesies cakalang
(Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited,
spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-cumi (Loligo spp) masih taraf moderate.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi terbentuk karena adanya tumbukan intra mikrokontinen.
Ekoregion ini memiliki kerentanan terhadap gempa dan tsunami (Jaya et al., 2001). Sedangkan untuk kelas
kerentanan tsunami menurut Budiono et al. (2003), masuk ke dalam kelas kerentanan tinggi. Selain itu
sepanjang Pesisir Teluk Tolo hingga Kendari, Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula memiliki kerentanan tinggi
terhadap tsunami. Pantai Timur Pulau Sulawesi rawan tsunami akibat adanya zona subdaksi double-arc dengan
dua orogenesa, yaitu Orogenesa Busur Sangihe dan Orogenesa Busur Halmahera. Pantai dan pesisir timur Pulau
Sulawesi (Teluk Tolo) sebagian merupakan daerah rawan tsunami akibat aktivitas tektonik Sesar Sorong. Tetapi
daerah pantai dan pesisir yang rawan tsunami tidak begitu luas dibandingkan dengan seluruh luasan pantai dan
pesisir timur Pulau Sulawesi. Daerah yang rawan adalah pantai dan pesisir dengan relief datar hingga miring.
Namun kebanyakan dari pantai dan pesisir timur Pulau Sulawesi berhadapan langsung dengan kaki perbukitan.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 12 memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan pemukiman, industri, dan pelabuhan
melalui limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara pada ekoregion tersebut. Sungai yang bermuara
pada ekoregion ini, antara lain, Sungai Konaweha yang memiliki status mutu air tercemar sedang dan Sungai
Lasolo dengan status mutu air tercemar sedang hingga berat (KLH, 2009a).

126 |ekoregion laut 12


Bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari wilayah ini adalah bahan pencemar organik dan bahan
pencemar anorganik. Adanya potensi bahan pencemar organik maka wilayah ini merupakan wilayah laut yang
juga berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, sehingga akan dapat menyumbang GRK ke
atmosfir.

Posisi ekoregion ini berdekatan dengan Pulau Buton di Ekoregion Laut 13 yang memiliki kegiatan pertambangan.
Karena itu, wilayah perairan ini juga berpotensi mendapat pencemaran logam berat yang berasal dari kegiatan
tersebut. Logam berat tersebut berpotensi mengancam kehidupan biota laut. Kondisi tersebut dapat
mempengaruhi perairan yang sudah ada di wilayah ini, mengingat sudah terdapat kegiatan industri dan
pelabuhan yang limbahnya bermuara disini. Kegiatan yang ada di wilayah ini berpotensi untuk mendapatkan
bahan pencemar B3 seperti logam berat, PAH, POPs, dan TBT. Oleh karenanya maka B3 yang ada di lokasi ini
berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat mengakibatkan
ketidak amanan sumberdaya perikanan untuk dikonsumsi. Selain itu bahan tersebut juga dapat berpotensi
untuk menurunkan keanekaragaman hayati.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 127



Habitat lamun di perairan Laut Banda (foto: Hutomo)
SULAWESI TENGAH 0 50

100 200 Km

S U LAW E S I
AWESI BARAT

EL-12
SULAWESI TENGGARA

ULAWESI SELATAN

EL-15
EL-8

EL-13

NUSA TENGGARA TIMUR


O R

EL-9
T I M

Ekoregion Laut 13
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone
Ekoregion Laut 13 meliputi sebagian Perairan Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone. Ekoregion
2
ini memiliki luas 171.019 km . Ciri khas ekoregion ini adalah adanya massa air Samudera Pasifik yang dibawa
oleh Arus Lintas Indonesia menuju pusat Laut Banda. Massa air ini datang dari dua arah, yakni dari Selat
Makassar yang membelok ke Timur melewati Laut Flores dan Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi. Massa air
yang lain datang dari arah dari Terusan Lifamatola yang melewati Ekoregion Laut Banda sebelah Timur Sulawesi.

Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi berbatasan dengan empat ekoregion, yaitu:

1. Selat Makassar karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang,
2. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan kenaekaragaman hayati ikan karang dan karang yang
batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan dan subduksi lempeng,
3. Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan batimetri dan pola arus yang batasnya ditarik sesuai
dengan morfostruktur subduksi lempeng,
4. Laut Banda karena perbedaan pola arus yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 131



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Secara geologi, ekoregion laut 13 terbentuk sekitar 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari
serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 12 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan
lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 sampai dengan 3.700 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh ekoregion laut 13
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu, berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion laut
ini memiliki empat cekungan yaitu Cekungan Bone, Cekungan Buton, Cekungan Banda Selatan, dan Cekungan
Tukang Besi.

OSEANOGRAFI

Secara umum, angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini memiliki pola sama dengan angin yang bertiup
di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat
laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, Angin Tenggara bergerak menuju ke barat daya pada Monsun
Timur. Sedangkan pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih rendah
dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005).

Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Menurut Wyrtki
(1961) dan Mustikasari et al. (2010), arus permukaan bergerak ke timur pada Monsun Barat, dan arus
permukaan bergerak ke barat pada Monsun Timur dengan intensitas sedikit lebih lemah dibandingkan pada
Monsun Barat. Pada Monsun Peralihan di bagian utara ekoregion ini yang lebih dekat dengan Sulawesi, arus
bergerak ke Barat, sedangkan di bagian selatan dari ekoregion ini, yakni wilayah yang lebih dekat dengan Laut
Flores, arus bergerak ke Timur. Intensitas arus ini lebih lemah dibandingkan yang terjadi pada Monsun Timur
dan Monsun Barat. Ekoregion ini dilewati oleh massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas
Indonesia dari dua arah, yakni dari Selat Makassar yang membelok ke Timur melewati Laut Flores dan Laut
Banda sebelah Selatan Sulawesi menuju ke pusat Laut Banda, dan dari arah dari Selat Lifamatola yang melewati
Ekoregion Laut Banda sebelah Timur Sulawesi (Pranowo et al., 2006; Susanto et al., 2010).

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut di lapisan permukaan pada
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Wagey et al., 2004; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut pada ekoregion ini
mencapai kisaran 27,529,0C; salinitas berkisar antara 31,10-34,25 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar
antara 4,24,5 ml/liter; dan pH berkisar antara 88,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah
konsentrasi fosfat berkisar antara 0,050,30 mol/liter; konsentrasi silikat 2,53,0 mol/liter; konsentrasi nitrat
1,01,9 mol/liter; dan klorofil 0,55,0 gram/liter (Boyer et al. 2009).

Teluk Bone dan Perairan Kepulauan Wakatobi merupakan ekosistem laut dan pesisir yang unik dan luas di
ekoregion ini. Penjelasan mengenai kedua ekosistem tersebut yang didukung oleh kondisi hidrodinamika,
adalah sebagai berikut:

 Teluk Bone merupakan bagian dari Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi. Arus yang berasal
dari bagian selatan Teluk (mulut) bergerak ke barat laut, sedangkan arus dari Pesisir Wulu bergerak
menyusur Pantai Timur hingga Tanjung Tabako (Wagey et al, 2004). Arus ini kemudian berbelok ke
barat menuju pantai barat sekitar Pesisir Muranti hingga kemudian bergabung dengan arus susur
pantai barat yang bergerak dari bagian Selatan yaitu dari Teluk (sekitar Tanjung Lakalolo) menuju ke

132 |ekoregion laut 13


utara menyusur menuju Pesisir Karang-karangan dan Palopo. Sebagian arus yang bergerak dari Tanjung
Tabako menyusuri sepanjang pesisir pantai timur dan pesisir utara, kemudian berbelok menuju barat
daya ke arah Pesisir Palopo. Jika meninjau lebih detail di sekitar Tanjung Batikala dan Teluk Usu, arus
susur pantai timur ketika sampai di Tanjung Batikala akan terbagi menjadi dua pola aliran. Pola utama
akan berbelok ke barat laut menuju pesisir utara (antara pesisir Bubu dan Saluana), sedangkan pola
aliran yang lain akan menyusuri Teluk Usu baru kemudian bergerak menyusuri pesisir Bubu untuk
bergabung lagi dengan arus susur pantai utara.

Saat air pasang, pola sirkulasi arus yang terjadi sama dengan yang terjadi pada saat air menjelang
pasang. Saat air menjelang surut, arus bergerak meninggalkan bagian utara dari teluk menuju ke selatan,
tetapi ada sedikit arus yang bergerak dari Pesisir Wulu lurus menuju ke pesisir barat. Secara lebih detail,
sebagian arus yang meninggalkan Teluk Usu menyusur pesisir utara kemudian bergabung dengan arus
yang meninggalkan Pesisir Palopo dan Karang-karangan, sedangkan sebagian lagi langsung bergerak ke
barat daya. Arus-arus tersebut kemudian akan bertemu dengan pola arus yang bergerak ke barat yang
meninggalkan sepanjang pesisir timur yang dimulai dari Teluk Usu hingga pesisir Susua. Sedangkan arus
yang meninggalkan pesisir Labuandata hingga pesisir Wawo dan sekitarnya kembali bergerak menuju
barat daya keluar dari mulut teluk.
Saat air surut, arus bergerak meninggalkan pesisir timur menuju ke pesisir barat dari teluk, kemudian
arus tersebut bergabung dengan arus susur pantai barat menuju ke utara yang bergerak dari Tanjung
Lokoloko menuju Tanjung Jene yang kemudian menyusur menuju Pesisir Palopo. Arus dari pesisir timur
yang kemudian menyusuri pesisir utara juga bergerak menuju pesisir Palopo.

Berkaitan dengan upwelling, dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 m hingga ke
lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling)
terjadi pada jarak sekitar 2,7 km dari pantai timur, dari kedalaman sekitar 140 m menuju ke kedalaman
75 m dengan kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi di atas basin kecil yang berjarak
-3
sekitar satu kilometer dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10 m/dt
-3
hingga 3,5 x10 m/dt.

 Perairan Kepulauan Wakatobi. Sirkulasi arus permukaan pada saat surut dan menuju pasang adalah
bergerak dari barat daya menuju ke timur laut, dan pola arus saat pasang menuju surut sebaliknya
yakni dari timur laut menuju ke barat daya. Sedangkan untuk kondisi upwelling, kemunculannya
diawali pada Bulan April, yang kemudian wilayahnya semakin meluas seiring dengan waktu. Luasan
upwelling maksimum terjadi pada saat angin tenggara pada Monsun Timur yang kemudian perlahan
mengalami pengurangan intensitas luasan saat menuju Monsun Barat (Mustikasari et al., 2010).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 133



KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 8 adalah keanekaragaman


hayati karang yang tertinggi di dunia. Terumbu karang di
ekoregion ini dicirikan oleh tipe terumbu karang yang sangat
beragam. Atol Taka Bone Rate merupakan atol terbesar ketiga
di dunia. Atol Kaledupa yag terletak di Kepulauan Wakatobi
merupakan atol yang terpanjang di dunia (48 km). Terumbu
karang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu terumbu
karang di Indonesia yang kaya akan spesies karang batunya.
Terumbu karang Wakatobi memiliki luas wilayah 118.000 ha
dengan keragaman 387 spesies karang yang termasuk dalam
68 genera dan 13 famili serta 942 spesies ikan (Turak, 2003;
Suharsono, 2009). Terjadinya upwelling secara musiman di
Laut Banda dan Flores yang membawa massa air dengan suhu
rendah dari perairan dalam ke perairan dangkal
memungkinkan terumbu karang dan ekosistem lainnya tahan
terhadap dampak perubahan iklim.

Rendahnya kepadatan populasi manusia dan kepercayaan


umum untuk melakukan kegiatan perikanan pelagis
(berlawanan dengan perikanan karang) membuatnya sebagai
wilayah yang paling menarik dari sudut pandang peluang
konservasi. Infrastruktur konservasi yang dimulai di Wakatobi
Terumbu karang di wilayah perairan wakatobi (foto: Yoniar
dan Taka Bone Rate, menawarkan titik awal untuk kegiatan
Hufan-BIG) konservasi tambahan.

Perairan Kepulauan Wakatobi juga merupakan koridor migrasi Cetacea besar dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia. Perairan tersebut memiliki keragaman Cetacea yang tinggi, tercatat 11 spesies yang terdiri
dari lima spesies paus dan enam spesies lumba-lumba. Taman Nasional Laut Wakatobi secara khusus telah
mendapatkan dukungan mitra pemerintah daerah untuk menyelamatkan fauna pelagis dengan melindungi
habitat koridor kritis untuk migrasi paus, lumba-lumba dan fauna laut berukuran besar lainnya seperti hiu,
penyu, ikan Matahari (Mola Mola), tuna dan billfish (ikan predator berukuran besar). Kesuksesan taman
nasional ini menawarkan suatu potensi ekonomi dalam bentuk kegiatan Cetacean Watch Ventures dan wisata
mamalia laut. Populasi dugong (Sirenia) masih tercatat keberadaannya di beberapa lokasi, seperti Selayar,
Buton dan Wakatobi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam deskripsi keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 1, Ekoregion Laut 2,
dan Ekoregion 8, wilayah sampling penelitian genetik Ikan pari mencakup wilayah ekoregion ini sehingga hasil
penelitiannya juga dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dalam deskripsi ekoregion ini (Arlyza and Borsa,
2010; Arlyza dan Marwayana, 2012; Arlyza et al. 2013).

Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 13 meliputi:

1. KKPD Pulau Kayu Adi, Sulawesi Selatan


2. KKPD Pulau Selayar, Sulawesi Selatan

134 |ekoregion laut 13


3. Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara


4. Taman Nasional Takabonerate, Sulawesi Selatan
5. Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padamarang, Sulawesi Tenggara
6. Taman Wisata Alam Laut Selat Tiworo, Sulawesi Tenggara
7. Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padamaran
8. KKPD Selat Tiworo
9. KKPD Buton
10. KKPD Luwuk Utara

PEMANFAATAN

Sumberdaya perikanan pada ekoregion ini meliputi potensi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 605.400
ton/tahun dan potensi sumberdaya ikan demersal sebesar 83.200 ton/tahun. Sumberdaya perikanan yang
terdapat pada Laut Banda adalah ikan pelagis dengan potensi sebesar 132.000 ton/tahun.

Bagian lain dari ekoregion ini, Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi mengacu pada Keputusan 45/Men/2011
berada pada WPP 714, sama dengan Ekoregion Laut 13 dan 15. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan
pelagis besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132,0 ribu ton/tahun) dan demersal (9,3 ribu ton/tahun),
ikan karang konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-cumi (0,1 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 89.092.15 ha tersebar di pesisir
sekitar Teluk Bone, (ii) pesisir selatan Sulawesi Tenggara, pesisir Muna, Buton dan Wakatobi, (iii) padang lamun
seluas 21.262.68 ha tersebar di pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir barat Kepulauan Selayar, pesisir timur
Sulawesi Tenggara, pesisir timur Wakatobi dan (iv) terumbu karang di ekoregion ini mencakup luas 173.587.89
ha.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan
di Ekoregion Laut 13 berada pada beberapa kategori. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus
dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar seperti
spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah
over exploited,spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-cumi (Loligo spp) masih taraf moderate.

Potensi sumberdaya tidak terbarukan pada ekoregion ini berupa temuan tiga cekungan migas, namun belum
dilakukan eksploitasi. Pemanfaatan migas yang telah dilakukan adalah di sekitar Teluk Bone.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi yang terdiri dari Teluk Bone dan Laut Banda ini tergolong tidak
rentan hingga kerentanan rendah terhadap gempa dan tsunami dibandingkan dengan Ekoregion Laut Banda
sebelah Timur Sulawesi yang memiliki kerentanan tinggi (Budiono et al., 2003). Pada bagian dalam Teluk Bone
tidak ada potensi gempa dan tsunami, sedangkan pada bagian luar teluk memiliki kelas kerentanan tsunami
rendah.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut ini memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan rumah tangga, pertanian, dan
perkebunan, yang dibawa melalui limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara ke wilayah ini.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 135



Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik
dan bahan anorganik. Wilayah laut ini berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, berpotensi
untuk mengalami blooming plankton dan berpotensi untuk menjadi source carbon yang akan menyumbang GRK
ke atmosfer.

Menurut izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), di wilayah ini terdapat satu titik lokasi pembuangan
limbah di Sulawesi Selatan yang berasal dari aktivitas kegiatan migas. Pencemaran minyak yang dapat
ditimbulkan oleh kegiatan migas tersebut berpotensi memberikan dampak negatif pada organisme permukaan
(pelagis), maupun pada hewan bentik.

Sumber pencemar lain pada berasal dari kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan nikel, yang berada
di Pulau Muna, Kabena, dan Buton di Sulawesi Tenggara. Oleh karena wilayah ini berpotensi untuk tercemar
logam berat (Ahmad, 2009). Meskipun secara umum kadar logam berat dalam air laut relatif masih rendah,
namun beberapa logam berat, khususnya Ni, di sedimen di temukan cukup tinggi (Ahmad, 2009). Adanya
potensi pencemaran logam berat inidapat menjadi ancaman terhadap sumberdaya perikanan, yaitu
terganggunya kehidupan biota serta dapat menurunkan produksi perikanan.

136 |ekoregion laut 13


Pesona alam nan memukau di wilayah Wayag , Raja Ampat (foto: Handoko)
EL-11 S A
M
LAUT HALMAHERA U
D
E
R
A
UTARA PA
EL-16

PAPUA BARAT
EL-14 EL-17
PAP UA

EL-15
0 50

100 200 Km
EL-18

LAUT

Ekoregion Laut 14
Laut Seram dan Teluk Bintuni
Ekoregion Laut 14 meliputi Laut Seram, Samudera Pasifik, dan Laut Banda. Ekoregion ini memiliki luas 140.620
2
km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya kawasan Raja Ampat yang menjadi salah satu pusat
keanekaragaman hayati terumbu karang tertinggi di dunia.

Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni memiliki batas dengan 4 ekoregion lain yaitu:
1. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang
diperbaharui dengan studi detail tentang keanekaragaman hayati,
2. Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang
batasnya mengikuti morfostruktur subduksi lempeng,
3. Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan batimetri,
4. Ekoregion Laut Arafura karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang mengikuti
morfostruktur paparan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 139



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 14 Laut Seram dan Teluk Bintuni terbentuk sekitar 3 juta tahun silam (Hall, 2001) dan
merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion berupa dataran abisal (abyssal plain)
dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 4.980 m.

Demarkasi sejarah antara fauna wilayah Indonesia dan Australia (George 1964)

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilayah ini
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut ekoregion ini
memiliki 2 cekungan, yaitu : Cekungan Salawati, dan Cekungan Berau; 1 paparan, yaitu Paparan Sayang; 1 plato,
yaitu Plato Wagea; dan 1 dataran yaitu Dataran Wagea.

OSEANOGRAFI

Secara Umum, angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini memiliki pola yang hampir sama dengan angin
yang bertiup di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari
arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, dan Angin Tenggara bergerak menuju ke barat laut
pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah
dibandingkan dengan angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Wheeler dan McBride, 2005).

Menurut Wyrtki (1961) dan Mustikasari et al. (2010), tipe pasut di ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni ini
adalah campuran cenderung semidiurnal.

Menurut Adi et al. (2004), Mustikasari et al.(2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena
hidrodinamika arus permukaan yang cenderung mengikuti angin monsun. Arus bergerak menuju tenggara pada
Monsun Barat, dan arus bergerak ke barat laut pada Monsun Timur. Sedangkan kondisi arus pada Monsun
Peralihan memiliki pola tak menentu dengan intensitas yang lebih lemah dibandingkan dengan yang terjadi
pada monsun yang lain. Apabila ditinjau dari arus pasut, maka kondisi arus kuat terjadi pada saat air menuju
pasang dimana arus bergerak dari Laut Halmahera ke Laut Seram dan Teluk Bintuni. Selain itu, arus kuat juga
terjadi pada saat air menuju surut dimana arus bergerak dari Laut Seram dan Teluk Bintuni ke Laut Halmahera.
Sedangkan pada saat air pasang tertinggi dan pasang terendah kondisi arus tidak menentu arahnya.

140 |ekoregion laut 14


Upwelling di ekoregion ini terjadi dengan intensitas kuat dan areanya luas pada Monsun Timur, kemudian mulai
berkurang luasan dan melemah intensitasnya pada Monsun Peralihan II, dan semakin menghilang pada Monsun
Barat (Mustikasari et al., 2010). Pada Monsun Peralihan I, pembentukan upwelling mulai terlihat kembali
dengan intensitas yang masih sangat lemah. Wilayah pusat-pusat upwelling di ekoregion ini adalah di sekitar
Kepala Burung Papua seperti di sekitar Raja Ampat dan dekat pintu masuk Teluk Bintuni.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut lapisan permukaan pada ekoregion
ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah sebagai berikut; suhu air laut mencapai kisaran 26,529,5C;
salinitas berkisar antara 32,0 PSU hingga 34,4 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,24,7 ml/liter;
pH berkisar antara 8,28,25.

Kondisi sebaran nutrien yang mengacu pada Boyer et al. (2009) adalah sebagai berikut; konsentrasi fosfat
berkisar antara 0,150,40 mol/liter; konsentrasi silikat 2,53,0 mol/liter; konsentrasi nitrat 0,51,0
mol/liter; dan klorofil 0,55,0 gram/liter.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 14 adalah keanekaragaman terumbu karang yang tinggi
di wilayah Laut Seram, Kepulauan Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana serta ekosistem mangrove di wilayah Laut
Bintuni yang luas. Selain itu juga terdapat beberapa biota laut endemik di ekoregion ini diantaranya yaitu hiu
berjalan walking shark (Hemiscyllium freycineti).

Mangrove di Teluk Bintuni merupakan salah satu yang terbesar di dunia, yaitu sekitar 300.000 ha di wilayah
daratan dan sekitar 60.000 ha di wilayah pesisir hingga kedalaman 10 meter. Mangrove di daerah ini masih
alami dan memiliki tekanan degradasi yang masih tergolong rendah.

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia (2008), ekoregion ini memiliki 7 spesies padang lamun yaitu
Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Thalassodendron ciliatum,
Thalassia hemprichii, dan Syringodium isoetifolium. Wilayah lamun ini sebagian besar terkonsentrasi di
kepulauan Raja Ampat.

Kajian cepat kondisi kelautan (marine rapid assessment) di Fak-Fak dan Kaimana tahun 2006 menemukan 471
spesies karang keras dengan rata-rata tutupan karang hidup sekitar 36.67%. Di Raja Ampat Ampat tercatat
sebanyak 553 spesies karang keras dengan rata-rata tutupan karang hidup sekitar 31 % (Turak dan DeVantier,
2006). Terumbu karang Raja Ampat memiliki pola dan komposisi spesies yang membentuk struktur komunitas
utamanya disebabkan oleh pengaruh oseanografi lokal-regional yang berbeda dan variasi keterpaparan dengan
samudera (exposure to ocean swell). Faktor kunci lainnya dari tingginya keragaman spesies karang adalah
kesesuaian habitat dan tipe substrat. Area yang sesuai bersubstrat keras, yang didukung oleh hempasan
gelombang Samudera Pasifik dalam jangka waktu yang lama (long periode ocean swell of pacific ocean) pada
bagian utara berdampak pada garis pantai yang unik merupakan faktor penyebab utama keragaman struktur
komunitas dan komposisi spesies karang (DeVantier et al., 2009).

Data terbaru jumlah spesies ikan karang di Raja Ampat serta Fak-Fak dan Kaimana tercatat masing-masing
sebanyak 1.508 dan 1.023 spesies, terdiri dari 116 famili dan 484 genera (Allen dan Erdmann, 2013, komunikasi
pribadi). Hal ini menunjukkan bahwa Raja Ampat tidak hanya memiliki keaneragaman jenis dan tipe spesies
karang terbanyak, tetapi juga memiliki spesies ikan karang yang terbanyak pula di dunia.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 141



Allen dan Erdmann (2009) menyebutkan bahwa keragaman jenis ikan karang di kawasan Raja Ampat sangat
mengagumkan. Data yang pernah ada dan tercatat hanya pada luasan yang relatif kecil kira-kira hanya seluas
2
50.000 km , yang meliputi pulau-pulau dan perairan yang mengelilinginya.

Allen dan Erdmann (2009; 2012) mencatat bahwa terdapat sejumlah spesies-spesies ikan endemik yang
ditemukan di Raja Ampat, Kepala Burung Papua, dan Fak-Fak/Kaimana. Sebagian dari spesies-spesies endemik
dimaksud tidak hanya ditemukan pada ketiga wilayah tersebut, tetapi juga dijumpai pada wilayah lain, seperti
Teluk Cendrawasih bahkan sampai ke Halmahera. Ikan-ikan endemik Raja Ampat menurut Allen dan Erdmann
sebagai berikut:

Ikan Endemik Raja Ampat dan region lainya di Kepala Burung Papua

No Famili Spesies Lokasi endemic Lokasi perjumpaan selain


Raja Ampat

1 Hemiscyllidae Hemiscyllium freycineti Raja Ampat -

2 Bythidtidae Diancistrus niger Raja Ampat -

3 Telmatherindae Kalyptatherina helodes Raja Ampat -

4 Pseudochromidae Manonichthys jamali Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana

Pseudochromis ammeri Raja Ampat Halmahera

Pseudochromis erdmanni Fak-Fak/Kaimana dan Raja Fak-Fak/Kaimana,


Ampat Halmahera, dan Lembeh

Pseudochromis jace Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana

Pseudochromis matahari Raja Ampat Halmahera

Pseudochromis sp Raja Ampat -

5 Opistognathidae Stalix sp Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana

6 Apogonidae Apogon oxygrammus Kepala Burung Teluk Cenderawasih

Apogon leptofasciatus Raja Ampat -

Apogonichthyoides erdmanni Raja Ampat -

Siphamia sp. Raja Ampat -

7 Malacanthidae Hoaplolatilus erdmanni Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana, Teluk


Cendrawasih

8 Nemipteridae Pentapodus numberii Kepala Burung Fak/Kaimana, Teluk


Cendrawasih, Halmahera
Timur

9 Pomacentridae Chromis Athena Raja Ampat -

10 Labridae Paracheilinus nursalim Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana

12 Eleotridae Calumia papuaensis Kepala Burung Teluk Cenderawasih dan Fak-


Fak/Kaimana

13 Gobiidae Eviota raja Raja Ampat

Trimma habrum Kepala Burung Fak-Fak/Kaimana, Teluk


Cendrawasih

Vanderhorstia wayag Raja Ampat -

Sumber: Allen dan Erdmann (2009; 2012)

142 |ekoregion laut 14


Melalui bentuk formasi 14 reefscapes yang dikembangkan oleh DeVantier et al. (2009) tercatat tingginya
keragaman dan endemisme ikan karang di Raja Ampat, berdasarkan habitat terumbu karang dan keragaman
jenisnya.

Perairan Kepulauan Raja Ampat memiliki keragaman jenis hiu sebanyak 22 (dua puluh dua) spesies berdasarkan
hasil inventarisasi keragaman jenis hiu yang dilakukan Allen dan Erdmann (2012). Di Raja Ampat spesies hiu
yang masuk dalam daftar Red List IUCN untuk genting (endangered) adalah jenis hiu martil atau hammerhead
(Sphyrna lewini dan Sphyrna mokarran), sedangkan ada empat jenis yang dianggap "vulnerable", yaitu gorango
bintang atau whale shark (Rhincodon typus), tawny nurse shark (Nebrius ferrugineus), zebra shark (Stegastoma
fasciatum) dan shortfin mako (Isurus oxyrhinchus). Adapun satu spesies hiu yang endemik Raja Ampat, yaitu
Hemiscyllium freycineti atau hiu berjalan (Allen dan Erdmann, 2012), yang dianggap "near threatened. Hampir
semua jenis hiu memiliki nama lokal yang sama, yaitu Rumon.

Keragaman jenis hiu di Raja Ampat dan status konservasinya berdasarkan IUCN Redlist

No Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah Red List IUCN (2012) CITES (2012)

1 Romun dan Romun Blacktip reef Shark Carcharhinus Belum dikaji -


boten (Beser) melanopterus

2 Wo Wol (Misool) dan Silvertip shark Carcharinus Belum dikaji -


Romun toren (Beser) albimarginatus

3 Wo Wol (Misool) Grey reef shark Carcharinus Belum dikaji -


amblyrhynchos

4 Wo Wol (Misool) Bull shark Carcharinus leucas Belum dikaji -

5 Wo Wol (Misool) Blacktip shark Carcharinus limbatus Belum dikaji -

6 Wo Wol (Misool) Oceanic whitetip shark Carcharinus longimanus Belum dikaji -

7 Wo Wol (Misool) Spot-tail shark Carcharinus sorrah Belum dikaji -

8 Wo Wol (Misool) Tiger shark Galeocerdo cuvier NT(Near threatened) -

9 Wo Wol (Misool) Blue shark Prionace glauca NT(Near threatened) -

10 Wo Wol (Misool) dan Whitetip reef shark Triaenodon obesus NT(Near threatened) -
Barawan (Beser)

11 Wo Fananga (Misool) Scalloped hammerhead Sphyrna lewini EN (Endangered) Appendix I


dan Mambarayup
(Beser)

12 Wo Fananga (Misool) Great hammerhead Sphyrna mokarran EN (Endangered) -


dan Mambarayup

(Beser)

13 Wo Wol (Misool) Pelagic thresher shark Alopias pelagicus VU (Vulnerable) -

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 143



No Nama Lokal Nama Inggris Nama Ilmiah Red List IUCN (2012) CITES (2012)

14 Wo Wol (Misool) Shortfin mako Isurus oxyrinchus VU (Vulnerable) -

15 Rukm twan , hiu bodoh, Whale shark Rhyncodon typus VU (vulnerable) Appendix II
gorango bintang

16 Hiu katpet / bunga Tasseled wobbegongs Eucrossorhinus dasypogon NT (Near Threatened) -


(Indonesia) dan
Arwaem (Beser)

17 Hiu katpet / bunga Ornate wobbegong Orectolobus ornatus NT (Near Threatened) -


(Indonesia) dan
Arwaem (Beser)

18 Hiu bambu (Indonesia) Brown-banded bamboo Chiloscyllium punctatum NT (Near Threatened) -


shark

19 Hiu pengasuh Tawny nurse shark Nebrius ferrugineus VU (Vulnerable) -


(Indonesia) dan
Manukboten (Beser)

20 Hiu zebra (Indonesia) Zebra shark Stegostoma fasciatum VU (Vulnerable) -


dan Barawan (Beser)

21 Kalabia Raja cat sharks Atelomycterus sp. Belum dikaji -

22 Mandemor/ Kalabia Epaulette atau Hemiscyllium freycineti NT (Near Threatened) -

Walking sharks

Sumber: Allen dan Erdmann (2012);

Ekoregion ini juga berfungsi sebagai kawasan perlindungan spesies-spesies endemik/unik. Kawasan konservasi
yang ada di ekoregion ini antara lain Suaka Margasatwa Pulau Sabuda Tataruga Fakfak (5.000 Ha), KKPD Sorong
distrik Abun (26.795,53 Ha), KKPD Raja Ampat (1.125.940 Ha), TWP Kepulauan Padaido ( 183.000 Ha), dan KKPD
Kaimana (597.747 Ha). Pada tanggal 13 Oktober 2010, Bupati Raja Ampat menerbitkan Surat Edaran Bupati
yang menyatakan bahwa Raja Ampat adalah kawasan konservasi atau suaka hiu, serta melarang eksploitasi ikan
hiu, pari manta, penyu, dan duyung.

PEMANFAATAN

Ekoregion laut 14 berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715. Menurut Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya perikanan antara lain: ikan pelagis
besar (106,5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang
penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun), lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-
cumi (7,1 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan pada ekoregion ini antara lain; (i) mangrove seluas 520.197,53 ha
tersebar di sekitar pesisir Sorong, Raja Ampat, Bintuni dan Kaimana; (ii) padang lamun seluas 22.430,99 ha; dan

144 |ekoregion laut 14


(iii) terumbu karang dengan seluas 63.450,48 ha. Potensi sumberdaya tidak terbarukan di ekoregion ini berupa
sumberdaya migas yang terdapat di Sorong.

Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011 tersebut di atas, saat ini kondisi sumberdaya perikanan di
Ekoregion Laut 14 dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Udang sudah over exploited,
b. Ikan demersal: Spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus
malabaricus) sudah fully exploited,
c. Ikan pelagis kecil: Spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah
fully exploited sedangkan layang spesies (Decapterus macarellus) masih taraf moderate.
d. Ikan pelagis besar:
1 Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited,
2 Spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan
3 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 14 berdasarkan Peta Rawan Tsunami (Sulistyo dam Triyono, 2009) sebagian besar pantai dan
pesisir Pulau Papua rawan tsunami, terutama pantai bagian barat. Daerah rawan tsunami yang terpengaruh
secara luas berada di pantai barat Pulau Papua bagian selatan dan bagian barat Kepala Burung Papua.
Kerawanan ini akibat asosiasi posisi dengan Busur Banda yang merupakan pusat tektonisme. Hal ini diperkuat
oleh adanya informasi tentang kerentanan gempa, baik vulkanik maupun tektonik yang kadang disertai dengan
tsunami (Budiono et al., 2003).

PENCEMARAN

Wilayah daratan Kabupaten Sorong dan Teluk Bintuni adalah wilayah yang kaya akan sumberdaya alam
termasuk kehutanan, perikanan serta minyak dan gas bumi. Beberapa sungai yang bermuara pada ekoregion
laut ini membawa massa air yang berpotensi sebagai sumber pencemar, baik bahan pencemar organik, maupun
bahan pencemar anorganik. Kegiatan yang berpotensi mencemari ekoregion ini dapat ditimbulkan oleh
berbagai kegiatan baik di darat maupun di Teluk Bintuni seperti, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi,
industri kayu lapis serta perikanan (Brotoisworo, 1991). Berbagai industri migas dan industri perkayuan telah
dilaporkan beroperasi di Teluk Bintuni semenjak sebelum 1987. Lebih lanjut, berdasarkan data izin pembuangan
limbah ke laut (KLH, 2009b) terdapat 7 (tujuh) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas, yang
berlokasi di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni. Jumlah total volume limbah yang dihasilkan dari
3
kegiatan ini diperkirakan sekitar 304.433,99 m /hari.

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, maka wilayah ini berpotensi mempunyai nilai BOD
dan COD yang tinggi. Kondisi tersebut juga diperkuat oleh hasil penelitian Brotoisworo (1991) yang
memperlihatkan bahwa sungai-sungai yang bermuara keteluk Bintuni membawa massa air dengan konsentrasi
sedimen yang tinggi sehingga menyebabkan perairan teluk menjadi keruh (Brotoisworo, 1991). Adanya
kegiatan industri pertambangan dan kegiatan pembuangan limbah di lokasi ini juga akan menjadi ancaman
tersendiri bagi kelestarian sumberdaya, mengingat bahan B3 dapat menyebabkan dampak negatif ke biota laut,
sehingga akan mengancam keanekaragaman hayati perairan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 145



Area konsesi timber, minyak dan gas di Teluk Bintuni (modifikasi dari Brotoisworo, 1991)

146 |ekoregion laut 14


S A
LAUT HALMAHERA M
U
D
LAWESI UTARA MALUKU UTARA E

EL-16
LAUT MALUKU

EL-14
PAPUA BARAT

EL-17
LAUT SERAM
PAP UA
EL-12 MALUKU

LAUT BANDA

EL-15
LAU

-13
EL-9 EL-18
E
L E
S T LAUT ARAFURA
O R
T I M


MOR

0 75 150 300 Km
A U S T R A L I A

Ekoregion Laut 15
(Laut Banda)
2
Ekoregion Laut 15 meliputi Laut Banda dan Laut Timor. Ekoregion ini memiliki luas 583.096 km . Ciri khas
ekoregion ini adalah struktur batimetri yang dibentuk oleh tumbukan yang sangat kompleks di kedalaman 500
1.500 m. Struktur batimetri tersebut menyebabkan terjadinya percampuran massa air yang mentransformasi
karakteristik massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia menjadi Banda Sea
Intermediate Water (BSIW) atau dikenal juga sebagai Indonesian Intermediate Water (IIW).

Ekoregion Laut 15 memiliki batas dengan 6 ekoregion lain, yaitu:


1. Ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan
karang, pola arus, dan garis batas ditarik mengikuti morfostruktur patahan,
2. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti
morfostruktur patahan,
3. Ekoregion Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan pola arus,
4. Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan pola arus yang batasnya
ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan,
5. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati ikan karang
dan karang yang garisnya mengikuti morfostruktur subduksi lempeng,
6. Ekoregion Laut Arafura karena perbedaan pola arus, batimetri, keanekaragaman hayati ikan karang dan
karang yang garisnya mengikuti morfostruktur paparan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 149



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Morfologi dasar laut di wilayah ekoregion ini mempunyai umur pembentukan dua juta hingga satu juta tahun
silam yang merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion ini berupa dataran
laut dalam dan lereng benua, dengan kedalaman antara 0 hingga 7.355 m.

OSEANOGRAFI

Pada Ekoregion Laut Banda ini angin monsun memiliki pola hampir sama dengan angin yang bertiup di
Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat laut
menuju ke tenggara pada Monsun Barat, dan angin tenggara bergerak menuju ke barat laut pada Monsun
Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan angin
Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Wheeler dan McBride, 2005). Menurut Wyrtki (1961) dan
Pranowo et al. (2011) tipe pasut di Ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal.

Menurut Mustikasari et al. (2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika yang
unik yang diakibatkan oleh bentuk batimetri yang kompleks, berupa arus permukaan yang berputar (Eddy) yang
searah jarum jam dengan intensitas tertinggi pada Monsun Barat. Sedangkan arus Eddy pada Monsun Timur
pergerakannya melawan arah jarum jam dan intensitasnya sedikit lebih lemah dibandingkan di Monsun Barat.
Sedangkan pada Monsun Peralihan I, kondisi pola arusnya memiliki pola tak menentu dengan intensitas yang
lebih lemah dibandingkan pada monsun yang lain.

Pada kedalaman 500 1.500 meter terdapat Arus Lintas Indonesia (Pranowo et al., 2006; Gordon et al., 2010),
yang kemudian menyebabkan terjadinya percampuran massa air sehingga mentransformasi karakteristik massa
air yang berasal dari Samudera Pasifik menjadi Banda Sea Intermediate Water (BSIW) atau dikenal juga sebagai
Indonesian Intermediate Water (IIW) (Taley dan Sprintall, 2005).

Laut Nusantara wilayah Timor yang meliputi Selat Ombai, Laut Sawu, Laut Timor, dan Laut Arafura memiliki
fenomena upwelling di sepanjang tahun dan mengalami variabilitas temporal mengikuti pola monsun. Secara
umum pada Monsun Barat, upwelling intensitas lemah terjadi pada Perairan Pantai Barat Kepulauan Tanimbar
dan Pantai Barat Daya Irian Jaya dekat Kepulauan Aru. Selain itu ditemukan sedikit downwelling dengan
intensitas lemah di utara Kepulauan Tanimbar dan barat laut Kepulauan Aru (Pranowo, 2012).

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut di lapisan permukaan pada
ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Taley dan Sprintall, 2005; Boyer et al., 2009; Ramdhan & Tubalawony, 2010) adalah
sebagai berikut; suhu air laut pada ekoregion ini mencapai kisaran 26 29C; salinitas berkisar antara 33,75 PSU
hingga 34,60 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2 4,8 ml/liter (pada kedalaman 500 meter
dapat mencapai 2,5 ml/liter); dan pH berkisar antara 8,0 8,25.

Kondisi sebaran nutrien di ekoregion adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 2,5 9,75 mol/liter; konsentrasi
silikat 2,5 10,0 mol/liter (pada kedalaman 500 meter dapat mencapai 70 mol/liter); konsentrasi nitrat 1,2
3,0 mol/liter; dan klorofil 5 - 20 gram/liter yang telah dinyatakan oleh (Taley dan Sprintall 2005; Boyer et al.
2009).

Contoh kondisi hidro-oseanografi yang cukup terdata mengenai ekosistem laut di ekoregion ini adalah
ekosistem pada Perairan Seram dan Kepulauan Tanimbar. Berikut adalah penjelasannya:

150 |ekoregion laut 15


 Perairan Seram. Pada perairan ini terjadi pendangkalan lapisan termoklin sebagai salah satu indikasi
upwelling terjadi pada Monsun Peralihan I dan pada Monsun Timur (Sapulete, 1996). Hal ini
diperkuat oleh Tubalawony (2000) yang menyatakan bahwa daerah upwelling di perairan selatan
Pulau Timor pada Monsun Timur diindikasikan dengan mendangkalnya lapisan termoklin pada
kedalaman sekitar 75 meter.
 Kepulauan Tanimbar. Pola sebaran suhu air laut di selatan Kepulauan Lemola-Tanimbar pada
permukaan kedalaman 0,25 m dan 50 m cenderung homogen (Ramdhan dan Tubalawony, 2010),
suhu permukaan laut (0 m) berkisar antara 28,8629,18C dengan rata-rata 29,030,13C, Suhu
pada kedalaman 25 m antara 28,9929,12C dengan rata-rata 29,080,05C. Sedangkan pada
kedalaman 50 m suhu berkisar 28,50-29,07C dengan rata-rata 28,860,21C. Pada kedalaman 75 m
dan 100 m, suhu perairan mengalami degradasi yang cukup besar dengan pola sebaran yang cukup
bervariasi. Pada kedalaman 75 m, suhu perairan berkisar antara 25,52-26,75C dengan rata-rata
26,400,50C, sedangkan pada kedalaman 100 m suhu perairan berkisar 21,44-23,29C dengan
rata-rata 22,480,70C. Secara horisontal, sebaran salinitas di permukaan perairan selatan
Kepulauan Leti Moa Lakor (Lemola) - Tanimbar selama pengamatan berkisar 33,46 33,97 PSU
dengan kisaran 33,650,21 PSU.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 15 adalah banyaknya habitat terumbu karang unik, perairan laut dalam dan
air yang jernih, yang tidak terdapat di perairan lain di Indonesia. Pulau-pulau karang kecil di Busur Banda Luar
dan Busur Banda Besar merupakan karakteristik habitat di ekoregion ini.

Keberadaan tiga ekosistem laut dangkal, mangrove; lamun; dan terumbu karang, yang berdampingan di Teluk
Kotania (Seram Barat) juga spesifik dan merupakan laboratorium alam untuk mempelajari interaksi ketiga
ekosistem ini.

Laut Banda berada di persimpangan wilayah penyebaran


fauna Indonesia dan Papua, dan tidak diragukan juga
menyediakan koridor yang penting untuk migrasi berbagai
biota laut. Laut Banda membentuk jalur migrasi dari Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia untuk banyak spesies hewan laut
terancam punah, termasuk paus (Monk et al., 1997, dalam
Wagey dan Arifin, 2008) dan dugong duyung di Kepulauan
Lease (Haruku, Saparua Nusa Laut; De Iongh et al., 2009).

Jenis lumba-lumba oseanik dan jenis paus termasuk paus


sperma terdapat dalam jumlah yang sangat melimpah di
Wakatobi dan di seluruh perairan dalam di ekoregion ini. Paus
biru yang biasanya soliter, terlihat berkumpul di wilayah
Ambon, Buru, Seram Barat, dan seluruhnya menghabiskan
waktu sekitar tiga bulan dalam setahun di perairan Laut
Banda. Paus biru yang ditemukan di Pulau Yamdena mungkin
juga penting secara global.

Barat:
Sebaran tiga ekosistem di Teluk Kotania, Seram
mangrove (merah), padang lamun (hijau), dan terumbu karang
(biru) (gambar: Supriyadi dan Wouthuyzen et al., 2005)

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 151



Pulau Watubela merupakan tempat pemijshsn terbesar beberapa spesies ikan kerapu yang tersisa di Indonesia
(spawning aggregating sites). Lokasi ini penting sebagai upaya perlindungan populasi ikan karang ekonomis
tinggi.

Ekoregion Laut Banda juga memiliki sejumlah lokasi penting untuk jenis reptil dan avifauna. Penyu bertelur dan
mencari makan dalam jumlah besar di seluruh wilayah ekoregion ini. Penyu Belimbing Pasifik bertelur di pantai
utara Pulau Seram dan mencari makan di Kepulauan Kei, sementara Penyu Hijau bertelur di Pulau Lucipara,
Ambon, Banggais. Penyu Pipih yang biasanya ditemukan di Australia juga dapat dijumpai di Laut Banda.

Pulau-pulau Moromaho, Lucipara dan Penyu sangat penting untuk burung laut, termasuk Dara laut jambul
Sterna bergii. Busur Banda Dalam juga memiliki sejumlah koloni bersarang ular laut yang penting. Buaya muara
yang dilindungi secara nasional juga dapat dijumpai di Laut Banda.

Laut Banda dicirikan dengan perairan dalam dengan vulkano aktif yang menghasilkan jumlah terumbu karang
oseanik yang terisolasi, gunung-gunung di bawah permukaan laut dan atol yang berasosiasi dengan lingkungan
lagunal unik yang terbesar di Indonesia. Keseluruhan keragaman habitatnya sangat tinggi, mulai sepanjang garis
pantai bagian selatan dan barat Sulawesi sampai laut terbuka dan perairan yang sangat dalam di mana sebagian
besar kondisi ini tidak terwakili dengan baik di wilayah manapun di Indonesia.

Mungkin simbol dari ekoregion ini adalah busur pulau-pulau oseanik vulkano aktif yang muncul dari kedalaman
lebih dari 5.000 meter di bawah Laut Banda Timur. Keadaan tersebut dan perairan dangkal lainnya menonjolkan
pengalaman pertukaran terbuka dari perairan di sekitar wilayah ini seperti Laut Sulawesi, dan keragaman
habitat laut dalam dekat pantai di dalam jalur lintasan antar pulau. Beberapa bagian terdalam laut-laut di
Indonesia dan mungkin di dunia dapat ditemukan di sini (kedalaman yang pernah dipetakan sampai sedalam
7.376 m pada 5 36,82 LS/ 130 51,56 BT), dan kekayaan jenis laut dalamnya diyakini sangat tinggi.

Data awal dari Ekspedisi Alpha Helix menunjukkan bahwa kumpulan fauna di Laut Banda termasuk tingginya
endemisitas atau jenis-jenis yang tersembunyi (cryptic spesies), mungkin akibat isolasi selama masa
menurunnya permukaan air laut. Sebagai contoh, ada 32 jenis holothurian (teripang) endemik yang dapat
ditemukan di sini dan sejauh ini tidak ada di tempat lain. Dari data stomatopoda menunjukkan bahwa Busur
Banda bagian selatan menjadi sangat penting sebagai batu loncatan yang menghubungkan antara pantai bagian
selatan Papua dan Sulawesi bagian timur.

Dugong dilaporkan keberadaannya di Kepulauan Lease, Saparua, Haruku dan Nusalaut. Survei udara yang
dilaksanakan di tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Lease mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan
ini diperkirakan antara 22 hingga 37 ekor (De Iongh et al., 1995). Tetapi Moss dan van der Wal (1998)
memperkirakan bahwa jumlahnya tidak lebih dari 10 ekor lagi yang hidup di Kepuluan Lease. Perkiraan ini
didasarkan pada observasi feeding tral dugong dan wawancara dengan warga setempat. Nelayan lokal juga
menyebutkan bahwa dugong dijumpai di pesisir utara dan timur Pulau Seram.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam deskripsi keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 1 wilayah sampling
penelitian genetik Ikan Pari mencakup wilayah ekoregion ini sehingga hasil penelitiannya juga dapat dijadikan
sebagai tambahan informasi dalam deskripsi ekoregion ini (Arlyza and Borsa, 2010; Borsa et al., 2012; Arlyza et
al. 2013).

152 |ekoregion laut 15


Kawasan konservasi yang terdapat dalam ekoregion ini meliputi TWAL Pulau Kassa, Maluku; TWAL Pulau
Marsegu, Maluku; TWAL Pulau Pombo, Maluku; dan TWP Laut Banda, Maluku.

PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 15 berada pada WPP 714 yang mengacu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
45/Men/2011 meliputi Ekoregion Laut 12, 13 dan 15. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis
besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132 ribu ton/tahun) dan demersal (9,3 ribu ton/tahun), ikan karang
konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-cumi (0,1 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya non ikan antara lain; (i) mangrove seluas 65.155,03 ha tersebar di sekitar Pesisir Maluku
Barat Daya dan Pesisir Seram, (ii) padang lamun seluas 35.429,45 ha tersebar di sebelah barat Pulau Buru,
Seram Barat, Seram Timur, Kepulauan Kai dan Kepulauan Tanimbar, dan (iii) terumbu karang seluas 76.334,83
ha, (iv) potensi mutiara juga ditemukan di ekoregion ini yang berada di sekitar Pulau Seram.

Kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan pada wilayah ini diketahui bahwa:


a. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully
exploited hingga taraf moderate.
b. Ikan pelagis besar :
1 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate
2 Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited
3 Spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited
4 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate
5 Cumi-cumi (Loligo spp) masih taraf moderate.
Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan adalah migas yang terdapat di Seram Timur.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 15 memiliki struktur geologi yang kompleks. Hal tersebut terlihat dari adanya salah satu struktur
geologi berupa Busur Banda (Banda Arc). Busur Banda ditandai dengan kepulauan yang memanjang meliputi
Kepulauan Gorong, Kepulauan Watubela, Kepulauan Tayandu dan Kepulauan Tanimbar. Karakteristik geologi
menjadikan pulau-pulau yang terbentuk merupakan pulau vulkanik (Hantoro, 2005) dan terletak pada struktur
geologi yang kompleks, sehingga menurut Jaya et al. (2001) bahwa ancaman gempa dan tsunami merupakan
ancaman terbesar yang terjadi di Ekoregion Laut 15. Budiono et al. (2003) mengelaskan Ekoregion Laut 15 ke
dalam kerentanan tinggi kejadian tsunami.

PENCEMARAN

Ekoregion Laut 15 memiliki potensi dicemari oleh limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara ke Laut
Banda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Teluk Ambon merupakan wilayah yang paling tercemar di kawasan
ini, dengan sumber pencemar utama berasal dari kegiatan rumah tangga dan aktivitas perkapalan. Berdasarkan
kegiatan yang ada, maka ekoregion ini berpotensi untuk tercemar baik bahan organik, maupun bahan
anorganik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Laut Banda yang memperlihatkan bahwa salah satu
masalah pencemaran yang ditemukan di Teluk Ambon adalah limbah plastik dan bahan organik (Evans et al.,
1995; Uneputty dan Evans 1997). Adanya pencemaran bahan organik, maka dapat menyebabkan tingginya nilai
BOD dan COD yang ada di wilayah Laut Banda ini. Selain itu, juga akan mempunyai potensi menyebabkan
terjadinya blooming plankton, sekaligus akan menyumbang GRK ke atmosfir.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 153



Potensi pencemaran lainnya yang dapat terjadi adalah tercemarnya perairan oleh limbah B3. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian di lokasi ini yang memperlihatkan bahwa permasalahan pencemaran lain yang
ditemukan di kawasan ini adalah pencemaran oleh senyawa TBT (yang digunakan untuk cat antifouling kapal)
yang mengakibatkan peristiwa imposex (pemandulan) di biota siput laut (Evans et al., 1995), sebagaimana
imposex yang terjadinya pada Thais sp di Pelabuhan Ratu dan Pelabuhan Teluk Bayur (Riani et al., 1994).
Ekoregion Laut 15 juga mempunyai potensi terhadap terjadinya pencemaran akibat logam berat. Hal ini
terbukti dari penelitian di lokasi ini yang memperlihatkan tingginya kadar Cd pada sedimen dan tingkat
akumulasi pada biota laut di wilayah perairan Pulau Ambon (Rumahlatu, 2011).

Apabila ditinjau berdasarkan ijin pembuangan limbah (KLH, 2009c), disebutkan bahwa pada wilayah ini terdapat
potensi pencemaran yang berasal dari kegiatan migas. Pembuangan limbah migas tersebut berasal dari satu
titik sumber pencemar yang berlokasi di Kabupaten Seram Timur, dengan total volume limbah sebesar 5.102
3
m /hari. Oleh karena itu wilayah ini mempunyai potensi yang tinggi terhadap terjadinya pencemaran B3 seperti
logam berat, PAH dan POPs.

154 |ekoregion laut 15


Tukik dari penyu Belimbing (foto: Handoko)
0 75

150 300 Km

S A
M
U
D
E
R
A
PA
SI
FI
EL-11 K

EL-16
T HALMAHERA

L-14 EL-17
PAPUA BARAT

N E W G U I N E A
PAP UA PAPUA

EL-15
EL-18
P A P U A

LAUT ARU

Ekoregion Laut 16
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua
Ekoregion Laut 16 meliputi seluruh perairan di sebelah Utara Pulau Papua kecuali Teluk Cenderawasih.
2
Ekoregion ini memiliki luas 459.857 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki fenomena arus Halmahera
Eddy, yang terbentuk akibat struktur batimetri dan topografi Papua Utara hingga Kepulauan Halmahera, yakni
arus putar balik ke arah Barat kemudian kembali ke Samudera Pasifik, yang semula berasal dari arus susur
tepian Papua Utara yang menuju ke barat. Selain itu fenomena kolam air hangat yang terdapat Samudera
Pasifik Barat juga berimbas pada ekoregion ini, dimana area ini adalah sangat disenangi oleh populasi ikan tuna.

Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu:
1. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang,
2. Ekoregion Teluk Cendrawasih karena perbedaan batimetri, keanekaragaman hayati karang dan pola
temperatur dan salinitas permukaan air laut,
3. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan batimetri.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 157



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 16 terbentuk sekitar 9 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan
Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 16 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua
(continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 5.608 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilayah ini
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut
16 memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Ayu; dan satu parit, yaitu Parit Ayu.

OSEANOGRAFI

Secara umum, angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Samudera Pasifik Utara Papua memiliki pola
sebagai berikut: angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat yang berasal dari
hasil pembelokan angin dari pusat Samudera Pasifik yang kemudian bergerak ke timur menyusur utara Papua.
Sebaliknya angin timur yang menyusur utara Papua akan bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur.
Sedangkan pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan
angin pada Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler & McBride, 2005).

Menurut Wyrtki (1961) tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal. Pola arus
permukaan secara umum adalah mengikuti pola angin yang berhembus pada ekoregion ini (Mustikasari et al.
2010). Jika arus permukaan ditinjau dari waktu pasang surut, maka pada saat kondisi air menuju surut arus
permukaan cenderung bergerak dari arah barat (Samudera Pasifik) menuju ke timur memasuki perairan
Indonesia. Pada saat air pasang tertinggi, maka arus dari utara Samudera Pasifik Barat bergerak menuju ke
selatan yang kemudian ketika memasuki ekoregion ini terpecah menuju ke dua arah (timur dan barat) di atas
Ekoregion Teluk Cenderawasih. Pada saat air menuju surut, maka arus datang dari dua arah (timur dan barat)
kemudian melemah dan membelok ke selatan menuju Ekoregion Teluk Cenderawasih. Sedangkan pada saat air
surut terendah, arus di ekoregion ini akan bergerak seluruhnya ke arah barat ( Samudera Pasifik).

Kemunculan upwelling di ekoregion ini hanya terpantau pada Monsun Peralihan I yang luasannya terbentuk
dimulai dari sebelah timur Tanjung Darwilis sampai utara Jayapura (Mustikasari et al., 2010).

Pada ekoregion ini, terdapat fenomena unik bernama kolam air hangat (WEPWP = Western Equatorial Pacific
Warm Pool) dengan karakteristik SST 28C (Supangat et al., 2004). Di sepanjang Monsun Barat dan Monsun
Peralihan I, WEPWP muncul di Belahan Bumi Selatan dan bergerak umumnya ke arah utara dimana
pergerakannya berhubungan dengan pergerakan meridional dari matahari. Sementara itu, di sekitar ekuator
bagian barat, SST menurun dari 28C menjadi 27 - 28C pada Monsun Timur hingga Monsun Peralihan II,
kemudian secara perlahan kisaran SST menjadi 26 - 27C ketika menuju ke Musim Barat. Fenomena ini belum
diketahui secara lebih dalam lagi apakah penurunan suhu ini terkait dengan El Nino ataukah hanya transport
zonal dari massa air dingin hasil upwelling yang terjadi di Perairan Pasifik Khatulistiwa Tengah yang kemudian
terbawa ke ekoregion ini oleh Arus Khatulistiwa Selatan yang bergerak ke arah barat.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961;
Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan adalah sebagai berikut; suhu air laut pada ekoregion ini mencapai
kisaran 29 29,8C; salinitas berkisar antara 32 PSU hingga 34,75 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar
antara 4,1 4,85 ml/liter; pH berkisar antara 7,25 8,25.

158 |ekoregion laut 16


Berdasarkan Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah sebagai berikut;
konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 0,98 mol/liter; konsentrasi silikat 2,5 15,0 mol/liter; konsentrasi
nitrat 1 5 mol/liter; klorofil 0,5 5,0 gram/liter.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama ekoregion ini adalah sebagai lokasi peneluran utama dan terbesar untuk spesies penyu
belimbing (Dermochelys coreacea) di dunia. Rata-rata penyu naik (bertelur) Distrik Abun sebanyak 3.000 ekor
dengan jumlah tertinggi sebanyak 5.000 ekor. Selain itu, di ekoregion ini terdapat enam jenis kima dari delapan
jenis kima di dunia, yaitu kima pasir (Tridacna hippopus), kima besar (Tridacna maxima), kima lubang (Tridacna
derasa), kima raksasa (Tridacna gigas), dan kima sisik (Tridacna squamosa).

Ekosistem mangrove sebagian besar yang ditemukan bukan merupakan mangrove sejati. Mangrove semu dan
vegetasi pantai yang ditemukan meliputi jenis-jenis Nyamplung/Bintanggur (Calophyllum inophyllum), Pandan
Laut (Pansdanus canavalia), Ketapang (Terminalia catappa), Batatas Laut (Ipomoea pescaprea), Waru Laut
(Hibiscus tiliaceous), Putat Laut (Baringtonia asiatica), Bakung Laut (Crinumasiaticum) dan lain-lain.

Ekosistem padang lamun juga hanya ditemukan di beberapa wilayah saja seperti di pantai Kampung Saubeba.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong menunjukkan
jumlah jenis lamun yang ditemukan di wilayah utara Kabupaten Sorong sebanyak delapan jenis, yaitu
Cymodocea serrulata, C. tricostata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. ovate,
Syringodium filiforme, dan Thalassodendron ciliatum.

Secara umum tidak terdapat ekosistem pesisir utama (terumbu karang, padang lamun dan mangrove) yang
cukup luas secara signifikan di ekoregion ini. Terumbu karang dapat ditemukan dalam kondisi yang relatif luas
di Pulau Dua (Distrik Sausapor) yang masuk dalam wilayah Kawasan Konservasi Perairan Distrik Abun. Namun
kondisi terumbu karang relatif buruk dengan penutupan karang sebagian besar berupa pecahan karang (rubble)
dan DCA (Dead Coral with Algae).

Di kawasan pesisir utara Kabupaten Sorong terutama di daerah Distrik Abun, terdapat kurang lebih 55 jenis
burung, 12 jenis mamalia yang teridentifikasi dan beberapa jenis reptil serta amphibi. Jenis reptil yang lazim
dilihat adalah jenis penyu belimbing (Dermochelys coreacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik
(Eretmchelys imbricata), penyu lekang/sisik semu (Lepidochjelys olivace) dan beberapa jenis biawak serta ular.
Jenis jenis mamalia yang di jumpai babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus timorensis), landak irian (Zaglossus
bruijini), kanguru (Dendrolagus sp), kus-kus (Phalanger sp). Jenis burung yang banyak di jumpai antara lain,
kakatua jambul kuning (Cacatua galerita), kakatua raja (Probosciger aterrimus), gagak hitam (Cassicus sp), elang
laut dada putih (Heliastus leucogaster), elang bondoh (Heliastur indus), cenderawasih kuning kecil (Paradiseae
minor), nuri merah kepala hitam (Lorius lorry), bayan (Eclectus roratus), kasuari (Casuarius sp), mambruk (Goura
sp.), maleo irian (Megapodius sp), gagak (Schytropss sp.), julang (Rithyceros plicatus), cikukua (Philemon
buceroides), jenis merpati (Ducula spp) dan lain-lain.

Kawasan konservasi yang terdapat di ekoregion ini antara lain KKPD Abun/ Jamursba Medi, Papua Barat seluas
21.415,35 ha, SML Pantai Jamursba Medi, Papua Barat seluas 278,25 ha, dan CAL Pantai Sausapor, Papua Barat
seluas 751,92 ha.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 159



PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 16 berada di WPP 717 meliputi Samudera Pasifik sebelah Utara Papua. Potensi sumberdaya
perikanan antara lain ikan pelagis besar (105,2 ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (153, 9 ribu ton/tahun), ikan
demersal (30,2 ribu ton/tahun), udang penaeid (1,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (8 ribu ton/tahun),
lobster (0,2 ribu ton/tahun) dan cumi-cumi (0,3 ribu ton/tahun).

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan
di Ekoregion Laut 16 sebagai berikut:

a. Udang sudah over exploited.


b. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui.
c. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderatenamun spesies tidak diketahui.
d. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus)
sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate.

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove luas 4.252,40 ha tersebar di sekitar pesisir
Utara Papua dan Papua Barat, (ii) lamun dengan luas 1.314,25 ha tersebar di pesisir Utara Papua dan Papua
Barat dan (iii) terumbu karang meliputi luas 5.025,50 ha. Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan adalah
migas yang terdapat di Bintuni.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 16 merupakan wilayah pertemuan lempeng antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia.
Dengan kondisi demikian maka gempa dan tsunami menjadi ancaman terhadap Ekoregion Laut 16. Berdasarkan
Budiono et al. (2003), wilayah ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Pantai utara
Pulau Papua bagian barat yang memiliki relief agak datar yang luas menjadi daerah rawan tsunami gempa
tektonis dari jalur pertemuan atau subduksi Lempeng Pasifik ( Pacific Plate) dengan Lempeng Australia.

PENCEMARAN

Apabila ditinjau secara geografis maka potensi pencemaran Ekoregion Laut 16 dapat berasal dari Provinsi Papua
Barat (Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manowari) dan Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Jayapura,
dan Kabupaten Keerom). Berdasarkan Bapedalda Provinsi Papua Barat (2011), disebutkan bahwa sungai yang
bermuara di wilayah ini adalah Sungai Maruni dan Wariori (di daerah Kabupaten Manokwari), dan Sungai Klabo
di daerah Kabupaten Sorong. Kualitas perairan di muara yang berasal dari Sungai Maruni dan Wariori
menunjukkan bahwa berdasarkan parameter fisik masih berada di bawah ambang batas baku mutu, parameter
kimia yang melampaui baku mutu adalah kadar DO, BOD, nitrat, sulfida, Cu, Zn, dan Ni, sedangkan yang jauh
melampaui adalah parameter biologi total yaitu coliform dan E. coli yang cukup tinggi.

Begitu juga halnya dengan muara Sungai Klabo yang menunjukkan beberapa parameter kualitas air melebihi
baku mutu, seperti parameter DO, total fosfat, dan nitrat, logam berat (Cr dan Cu), total coliform yang cukup
tinggi. Oleh karena itu maka bahan pencemar baik organik, maupun anorganik di lokasi ini perlu diperhatikan
dengan seksama.

160 |ekoregion laut 16


Apabila ditinjau dari potensi pencemaran yang berasal dari Provinsi Papua, maka tidak dapat dipisahkan dengan
kondisi Danau Sentani dan sungai-sungai yang menghubungkan Danau Sentani yang kemudian bermuara di
kawasan perairan EL16. Hasil penilaian Kualitas Air Sungai (KLH, 2009c) dan SLHD Provinsi Papua (Bapedalda
Provinsi Papua, 2011) menunjukkan bahwa kawasan DAS Sentani berada pada status tercemar berat yang
diindikasikan dari parameter BOD, COD, total coliform, dan E. coli yang melebihi batas baku mutu. Dengan
demikian, berdasarkan penelitian yang disebutkan di atas, terlihat bahwa sumber pencemar kemungkinan besar
berasal dari sumber pencemar domestik berupa polutan organik dan mikroba.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 161



S A
M U
D E
R A EL-16
PA
SIF
IK

EL-17
BARAT

PAP UA
PAPUA

EL-14

EL-15 EL-18 0

0
37.5

37.5

75

75
150 Km

150 Km

Ekoregion Laut 17
Teluk Cendrawasih
Ekoregion Laut 17 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan sebagian kecil perairan di Utara Papua. Ekoregion
2
ini memiliki luas 93.369 km . Ciri khas ekoregion ini adalah massa airnya sangat dipengaruhi oleh massa air
Samudera Pasifik Barat dengan kecerahan yang tinggi (lebih dari 30 meter). Ekoregion Laut 17 merupakan
habitat yang sangat mendukung berbagai biota lainnya seperti kerang raksasa yang masih hidup dan berumur
ratusan tahun.

Ekoregion Laut 17 memiliki batas dengan Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan
batimetri, keanekaragaman hayati karang dan pola temperatur dan salinitas permukaan air laut.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 165



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 17 (Teluk Cendrawasih) terbentuk sekitar satu juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan
bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 17 berupa dataran abisal (abyssal
plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 4.550 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 17
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut
17 memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Waropen.

OSEANOGRAFI

Secara umum, Angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Teluk Cendrawasih ini sama dengan yang bertiup di
atas Samudera Hindia Utara Papua. Angin monsun bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada
Monsun Barat yang berasal dari hasil pembelokan angin dari pusat Samudera Pasifik yang kemudian bergerak
ke Timur menyusur utara Papua. Sebaliknya Angin Timur yang menyusur utara Papua akan bergerak menuju ke
barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih
lemah dibandingkan angin pada Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler
dan McBride, 2005).

Tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal (Wyrtki 1961). Pola arus permukaan secara
umum mengikuti pola angin yang berhembus pada ekoregion ini (Mustikasari et al., 2010). Arus permukaan
bergerak dari Ekoregion Samudera Pasifik sebelah Utara Papua masuk ke ekoregion ini pada saat kondisi air
surut terendah dan kondisi air pasang tertinggi. Sedangkan pada saat kondisi air menuju pasang dan kondisi air
menuju surut arus cenderung bergerak keluar dari teluk.

Pada saat kondisi air menuju surut, arus permukaan cenderung bergerak dari arah barat (Samudera Pasifik)
menuju ke timur memasuki perairan Indonesia. Pada saat air pasang tertinggi, arus dari utara Samudera Pasifik
Barat bergerak menuju ke selatan yang kemudian ketika memasuki ekoregion ini terpecah menuju dua arah
(timur dan barat) di atas Ekoregion Teluk Cendrawasih. Pada saat air menuju surut, arus datang dari dua arah
(timur dan barat) kemudian melemah dan membelok ke selatan menuju ke Ekoregion Teluk Cendrawasih.
Sedangkan pada saat air surut terendah, arus di ekoregion ini akan bergerak seluruhnya ke arah barat menuju
Samudera Pasifik.

Menurut Mustikasari et al. (2010), upwelling dominan kuat terjadi di barat Teluk Cendrawasih di sekitar
Manokwari pada Monsun Barat. Upwelling lemah juga muncul di utara Pulau Biak hingga di utara Tanjung
Darwilis pada Monsun Peralihan I. Selain itu, upwelling lemah juga terjadi di Teluk Cendrawasih, utara Pulau
Biak, dan utara Pulau Yapen pada Monsun Timur. Upwelling lemah hingga kuat dan relatif luas muncul di
perairan Cendrawasih di selatan Pulau Yapen dan antara Tanjung Darwilis dan Pulau Biak, serta timur laut Pulau
Biak pada Monsun Peralihan II.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961;
Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan antara lain; suhu air laut pada ekoregion ini berkisar antara 29 dan
29,9C; salinitas berkisar antara 30 PSU dan 34 PSU; Konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 4,65
ml/liter; pH berkisar antara 6,7 8,25.

Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini; konsentrasi fosfat berkisar antara 0,1 0,5 mol/liter;
konsentrasi silikat 4 9,5 mol/liter; konsentrasi nitrat 1 2 mol/liter; klorofil 0,5 5,0 gram/liter (Boyer et

166 |ekoregion laut 17


al. 2009). Kondisi massa air dengan tingkat kecerahan yang tinggi (lebih dari 30 meter) sangat mendukung
kerang raksasa (Giant clam) dari spesies Tridacna gigas yang berumur ratusan tahun untuk tetap hidup di
ekoregion ini (Ambariyanto, 2010).

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 17 adalah terumbu karang dengan sejumlah biota laut endemik. Teluk
Cenderawasih dapat dikatakan sebagai sistem semi tertutup sehingga menyebabkan tingkat keragaman biota
endemiknya tinggi. Sebagian ekoregion ini berstatus sebagai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC)
dengan luas 1.453.500 ha, terbagi atas perairan/laut seluas 1.305.300 ha dan daratan 68.200 ha.

Jenis lamun yang terdapat di Teluk Cenderawasih terdiri dari Thalassia sp., Enhalus sp., Cymodeca sp.,
Siringodium sp., dan Halopilla sp. Padang lamun memiliki fungsi untuk menahan bahan endapan organik dan
anorganik sehingga membentuk suatu lingkungan yang dipenuhi bahan makanan yang cukup bagi sekian
banyaknya fauna khususnya duyung (Dugong dugon).

Kajian cepat kondisi kelautan Teluk Cenderawasih tahun 2006 mencatat karang keras sebanyak 469 spesies
dengan 20 diantaranya sebagai spesies endemik. Genera dominan terdiri dari Porites, Acropora dan Montipora.
Tutupan karang hidup rata-rata sekitar 27% dengan perbandingan karang hidup dan mati adalah 4 banding 1
(Turak and DeVantier, 2006). Kerusakan terumbu karang pada kawasan TNTC mencapai 30% yang sebagian
besar disebabkan bintang laut berduri (Acanthaster planci) dan juga kegiatan penangkapan ikan yang merusak
seperti penggunaan sianida dan bahan peledak.

Berdasarkan sejumlah survei dari tahun 2006 sampai 2010 tercatat spesies ikan karang di Teluk Cenderawasih
sebanyak 1.006 jenis (Allen dan Erdmann, 2013 komunikasi pribadi). Stomatopoda tercatat sebanyak 37
spesies dimana 6 (enam) spesies dari jumlah tersebut belum dideskripsi dan 5 (lima) diantaranya bersifat
endemik di Teluk Cendrawasih. Diperkirakan 4 8 spesies ikan, lebih dari 11 jenis karang keras, dan 1 4 jenis
stomatopoda merupakan jenis endemik Teluk Cenderawasih. Selama survei ditemukan 32 ekor ikan Napoleon.
Fakta tersebut sangat luar biasa dibandingkan daerah lain di Indonesia maupun Asia Tenggara.

Hiu Paus menjadikan Teluk Cenderawasih


sebagai habitatnya. Hiu Paus ini menjadi
ikon bagi wilayah ini. Penampakan Hiu
Paus konsisten terlihat di daerah ini, dan
berasosiasi dengan bagan nelayan yang
menargetkan ikan kecil (anchovy) yang
menjadi salah satu target makanan Hiu
Paus. Kelimpahan, komposisi umur dan
kelamin, dinamika musiman, serta
keberadaannya di Teluk Cenderawasih
belum diketahui sehingga perlu banyak
kajian lanjutan (Stewart 2011).

Hiu Paus salah satu primadona di perairan Teluk Cenderawasih , menjadi salah satu
objek wisata air yang menarik (foto: whale shark asianoise.com)

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 167



Pulau-pulau dan pantai dalam kawasan TNTC merupakan tempat bersarang dan tempat mencari makanan yang
paling penting bagi berbagai jenis burung, antara lain junai mas (Chaloenas nicobarica), dara laut (Sterna sp.),
camar laut (Sterna sp), burung gosong (Megapodius freicinet), elang laut dada putih (Haliaetus leucogaster),
kum kum (Ducula bicolor), julang Papua (Rhyticeros plicatus), nuri bayam (Electus rotatus), kakatua, raja udang
(Alcede pusilla), gagak hitam (Corpus orru), nuri kepala hitam (Lorius domicellus), kum kum pinon (Ducula
pinon), angsa laut coklat (Sola leugaster), burung kasuari (Casuari sp) dan burung kuau (Argusianus argus).
Khusus daratan lumpur sekitar Sungai Wosimi dan Pasir Sobei penting sebagai tempat mencari makan bagi
berbagai burung termasuk burung-burung undan Australia (Pelicanus conspicillatus) yang ditemukan pada
waktu-waktu tetentu selama melakukan migrasi dan kuntul (Egretta spp). Beberapa kegiatan pengamatan yang
dilakukan di kawasan TNTC lebih banyak pada lingkungan kehidupan laut, sehingga diperlukan penelitian lebih
banyak mengenai habitat dan fauna daratan yang terdapat di kawasan tersebut guna memperoleh data dan
informasi yang lebih lengkap mengenai kawasan ini (Huffard et al, 2012).

Di Kawasan TNTC ditemukan beberapa jenis reptil dan amfibi antara lain berberapa jenis ular, kadal, buaya,
penyu dan katak. Di seluruh dunia terdapat 7 jenis penyu, 6 diantaranya terdapat di perairan Indonesia,
sedangkan dalam kawasan TNTC terdapat 4 jenis penyu yakni, penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu lekang (Lephidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Jenis
reptil lain seperti biawak abu-abu (Varanus nebolosus), biawak coklat (Varanus timorensis), biawak Ambon
(Varanus amboinensis), buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus novaeguinea), kadal
dan ular. Dari jenis amfiibi ditemukan katak pohon (Litoria infrafrenata ).

Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 17 antara lain TN Teluk Cendrawasih, KKPD Biak Numfor, Papua;dan TWP
Padaido.

PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 17 berada pada WPP 717. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (105,2
ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (153, 9 ribu ton/tahun), ikan demersal (30,2 rbu ton/tahun), udang penaeid
(1,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (8,0 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun), cumi-cumi (0,3
ribu ton/tahun).

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan
di Ekoregion Laut 17 sebagai berikut:

a. Udang sudah over exploited.


b. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui.
c. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderate namunspesies tidak diketahui.
d. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus
obesus) sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate.

Potensi sumberdaya non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 209.024,80 ha tersebar di sekitar pesisir
Manokwari, Teluk Wondama, Nabire, Biak, Serui, Yapen dan Paniai, (ii) padang lamun dengan luas 8.106,29 ha
tersebar di Pulau Serui, Pulau Biak, Pesisir Nabire dan Pesisir Teluk Wondama dan (iii) terumbu karang dengan
luas 58.265,56 ha.

Potensi sumberdaya tidak terbarukan di wilayah ekoregion ini antara lain potensi migas yang tersebar di sekitar
Teluk Cendrawasih. Potensi jasa lingkungan, pengembangan wisata bahari yang berada di Teluk Cendrawasih
diharapkan dapat meningkatkan perekonomian lokal dan devisa negara.

168 |ekoregion laut 17


KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 17 terletak di bagian dalam dari Ekoregion 16. Dengan demikian maka karakteristik kerentanan
dan ancaman bahaya yang dihadapi menyerupai dengan Ekoregion 16 yaitu gempa dan tsunami. Hal ini
diperkuat berdasarkan pemetaan kerentanan tsunami yang dilakukan oleh Budiono et al. (2003), bahwa
Ekoregion Laut 17 memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami.

PENCEMARAN

Potensi pencemaran yang utama di Ekoregion Laut 17 diduga berasal dari Sungai Membramo, karena pada
dasarnya Sungai Membramo merupakan wilayah DAS terbesar di Provinsi Papua. Hal ini memungkinkan seluruh
aktivitas masyarakat seperti pembuangan limbah dari kegiatan pertanian, rumah tangga dan kehutanan yang
masuk ke dalam badan sungai-sungai Sungai Membramo, sehingga berpotensi untuk mencemari sungai baik
bahan organik yang mudah urai maupun limbah B3 yang dapat membahayakan kehidupan yang ada dalam air
dan sekaligus akan membahayakan kesehatan manusia.

Penelitian mengenai potensi pencemaran di Sungai Membramo yang telah dilakukan antara lain mengenai
kadar pestisida organoklorin oleh Munawir (2005) dan penelitian kualitas air berdasarkan parameter fisik dan
kimia oleh Edward dan Marasabessy (2003). Penelitian kadar pestisida organoklorin yang dilakukan pada kolom
air dan sedimen muara Sungai Membramo menunjukkan kadar yang rendah dan masih berada di bawah baku
mutu. Begitu juga halnya dengan penelitian mengenai kadar kandungan logam berat seperti Pb, Cd, Cu, Zn dan
Ni pada kolom kolom air dan sedimen muara Sungai Membramo menunjukkan kadar yang rendah dan masih
berada di bawah nilai baku mutu yang diperbolehkan dalam perairan untuk mendukung kehidupan biota laut
yang telah ditetapkan oleh KLH. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan di kawasan ini masih mendukung
untuk kehidupan biota laut. Namun demikian mengingat sifat logam berat dan pestisida organoklorin bersifat
akumulatif (Riani 2012), maka kadar yang sangat rendah sekalipun harus sudah menjadi perhatian yang cukup
serius untuk dikelola sebaik mungkin, agar tidak membahayakan kehidupan biota dan tidak membahayakan
kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

Penelitian pendukung lainnya mengenai perairan di Teluk Cendrawasih adalah penelitian yang dilakukan oleh
Tarigan et al. (2003) mengenai kondisi fisik kimia di Perairan Teluk Cendrawasih. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kondisi fisik kimia di daerah Ekoregion Laut 17 masih berada di bawah ambang batas nilai
baku mutu yang ditetapkan oleh KLH. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan masih mendukung untuk
kehidupan biota laut. Namun demikian parameter-parameter yang hampir berada di batas baku mutu dan
keberadaan B3 harus mendapat perhatian yang serius.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 169



EL-16
EL-17
PAPUA BARAT

PAP UA

N E W G U I N E A
PAPUA

EL-15
LAUT ARU

P A P U A
EL-18
AUT ARAFURA

0 62.5

125 250 Km

A U S T R A L I A

Ekoregion Laut 18
Laut Arafura
2
Ekoregion Laut 18 meliputi perairan di barat daya Papua. Ekoregion ini memiliki luas 326.793 km . Ciri khas
ekoregion ini adalah laut dangkal yang dipengaruhi oleh pesisir Papua Barat dan juga Samudera Pasifik dari arah
Selat Torres.

Ekoregion Laut 18 berbatasan dengan 2 ekoregion lain yaitu:

a. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang
yang mengikuti morfostruktur paparan,
b. Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus, batimetri, keanekaragaman hayati ikan karang dan
karang yang batasnya mengikuti morfostruktur paparan.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 173



GEOLOGI DAN MORFOLOGI

Ekoregion Laut 18 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan
Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 18 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua
(continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 1.613 m.

Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 18
o o
memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-3 ), kelas lereng agak terjal (3-10 ), kelas lereng
o o
terjal (10-20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut
18 memiliki satu paparan, yaitu Paparan Sahul.

OSEANOGRAFI

Secara umum, Angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Laut 18 berpola hampir sama dengan angin yang
bertiup di Ekoregion Laut Banda. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat,
Angin Tenggara dari Laut Teluk Carpentaria dan Angin Timur dari Selat Torres bergerak menuju ke ekoregion ini
pada Monsun Timur. Sedangkan pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih
lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler &
McBride, 2005).

Kondisi hidrodinamika Laut Arafura tidak lepas dari kondisi laut sekitarnya, seperti Teluk Carpentaria dan Selat
Torres, Australia. Menurut Pranowo dan Wirasantosa (2011), tipe pasut di Laut Arafura bertipe campuran
cenderung semi diurnal (berdasarkan stasiun pengamatan pasut di Tanimbar dan Saumlaki), sedangkan di Teluk
Carpentaria pasutnya bertipe campuran cenderung diurnal di bagian barat daya teluk (berdasarkan stasiun
pasut di Groote Eylandt) dan bertipe diurnal di bagian tenggara teluk (berdasarkan stasiun pasut di Karumba).
Tunggang pasang surut di Laut Arafura secara umum adalah 3,00 m, dengan tunggang maksimum hasil estimasi
sekitar 4,69 m di selatan irian jaya.

Arus dari barat (yakni dari Samudera Hindia Tenggara, Arus Selatan Jawa dan Laut Flores) bergerak menuju
timur (Laut Timor dan Laut Sawu) searah dengan pergerakan Angin Tenggara (Pranowo, 2012). Arus sebagian
dibelokkan ke utara dan timur laut (yakni menuju Laut Banda) akibat adanya gradien muka laut. Sementara arus
dari barat laut yang bergerak dari Laut Halmahera menyusur pantai barat daya Papua kemudian memutar di
Laut Arafura. Pergerakan arus tersebut menyebabkan banyak pertemuan arus yang diindikasikan dengan
adanya kemunculan arus eddy secara random, yang polanya searah jarum jam, seperti terjadi di selatan
Kepulauan Seram dan di tenggara Kepulauan Tanimbar. Arus eddy tersebut diduga dapat berperan sebagai
pembawa klorofil dari daerah upwelling yang berproduktivitas primer tinggi menuju ke daerah lain yang
dimungkinkan sebagai habitat ikan. Di wilayah Laut Arafura dan Timor (Selat Ombai, Laut Sawu, Laut Timor, Laut
Arafura) memiliki fenomena upwelling di sepanjang tahun dan mengalami variabilitas temporal mengikuti pola
monsun.

Upwelling berintensitas lemah terjadi pada Monsun Barat di sepanjang perairan pantai Pulau Timor, perairan
pantai barat Kepulauan Tanimbar, dan di pantai barat daya Irian Jaya dekat Kepulauan Aru (Pranowo, 2012).
Ditemukan sedikit luasan downwelling intensitas lemah di ujung timur Pulau Timor, utara Kepulauan Tanimbar
dan Barat Laut Kepulauan Aru. Pada masa transisi dari Monsun Barat ke Monsun Timur, area upwelling ada
yang meluas di Selat Ombai dan Sawu, Laut Banda, perairan antara Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru.
Pada Monsun Timur, upwelling juga terjadi di pantai utara Timor, sedangkan upwelling di Laut Timor meluas

174 |ekoregion laut 18


hingga Teluk Bonaparte di Australia dan Laut Arafura. Peningkatan intensitas kekuatan upwelling terjadi di
selatan Kepala Burung, hingga barat Kepulauan Aru. Pada transisi dari Monsun Timur ke Monsun Barat,
intensitas upwelling di selatan Kepala Burung Papua hingga barat Kepulauan Aru dan timur laut Kepulauan
Tanimbar berkurang.

Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961;
Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan adalah sebagai berikut: suhu air laut pada ekoregion ini mencapai
o
kisaran 26,5 28,5 C; salinitas berkisar antara 33 PSU hingga 35,15 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar
antara 4,1 4,9 ml/liter; dan pH berkisar antara 8,15 8,25.

Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini, diturunkan dari Boyer et al. (2009), adalah sebagai berikut:
konsentrasi fosfat berkisar antara 0,20 0,63 mol/liter; konsentrasi silikat 2,5 9 mol/liter; konsentrasi nitrat
1,0 3,0 mol/liter; klorofil 0,5 5,0 gram/liter.

KEANEKARAGAMAN HAYATI

Karakteristik utama Ekoregion Laut 18 adalah mangrove yang tumbuh disepanjang pesisir. Keberadaan
mangrove ini menjadi pendukung potensi perikanan di Laut Arafura. Ekoregion ini merupakan penghubung
penting antara banyak populasi taksa laut Indonesia dan Australia. Region ini mungkin menjadi koridor untuk: 1)
penyebaran larva antara wilayah-wilayah dengan keragaman tinggi di Papua bagian selatan dan Sulawesi, 2) Hiu
Paus, 3) Penyu hijau, Penyu lekang, dan Penyu belimbing.

Hamparan mangrove seluas 854.581 ha, tersebar di sekitar Kepulauan Aru, Boven Digul, Merauke dan Pulau Yos
Sudarso. Tegakan bakau di sepanjang pantai selatan Papua seperti Rawa Biru merupakan paparan luas dengan
jenis sangat beragam. Kawasan rawa dataran rendah yang sangat luas dan masih utuh ini menyediakan ruang
untuk habitat dan migrasi alami berbagai jenis burung air dan burung migran, buaya muara maupun cetacean
pesisir. Mangrove dan aliran sungai yang bermuara ke laut dari dataran Papua memberikan kesuburan bagi
perairan sekitarnya sehingga merupakan wilayah penangkapan udang terpenting dan terbesar di Indonesia.
Menurut Noor dan Silvius 1997, terdapat 16 lokasi ditemukannya burung pantai dan burung migran yang secara
global penting. Hutan mangrove dan lahan basah di Papua merupakan salah satu habitat penting bagi kedua
burung ini.

Keberadaan terumbu karang di wilayah ini sangat sedikit dengan keanekaragaman karang yang rendah. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika jumlah spesies ikan karang juga rendah. Terumbu karang didapatkan di
Kepulauan Aru dengan luasan yang terbatas sebesar 50.012 ha. Pertumbuhan karang di ekoregion ini
diperkirakan tidak signifikan akibat tingginya masukan air tawar dan sedimen dari daratan Papua. Dengan
kondisi ini sangat mungkin terdapat beberapa jenis terumbu karang yang telah beradaptasi dengan kondisi
salinitas rendah di sepanjang daratan Papua atau di Laut Arafura yang dangkal.

Padang lamun dengan luas sekitar 9.170 ha tersebar di Kepulauan Aru. Lamun ini merupakan habitat yang
penting untuk tempat makan dugong dan penyu hijau. Kepulauan Aru merupakan wilayah penyebaran populasi
dugong terbesar di Maluku (De Iongh et al. 1996). Menurut De Iongh et al. (2006), dalam survei lapangan
ekologi dugong yang dilakukan pada tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Aru, ditemukan jejak makan dugong
pada padang lamun yang mengindikasikan adanya rotasi makan yang intensif di padang Halodule uninervis di
paparan pasang surut. Hasil wawancara dengan penduduk setempat menyebutkan adanya pola rotasi makan
dugong yang berpola musiman bersamaan dengan periode musim. Pada saat survei, juga dijumpai dugong yang

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 175



sedang melakukan penyelaman sambil makan (typical grazing dives) atau istirahat di sekitar padang Halodule
uninervis yang monospesifik. Semua padang lamun yang ada tanda-tanda grazing track dugong berada di
sekitar mangrove dekat muara sungai (De Iongh, et al., 1995).

Wilayah Kepulauan Aru dan Kai merupakan habitat yang penting untuk keenam jenis penyu yang ditemukan di
Indonesia: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu tempayan (Caretta
caretta), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), penyu pipih (Natator depresus) dan penyu belimbing Pasifik
(Dermochelys coriaceas). Yamdena dan Tanimbar merupakan lokasi lain yang penting bagi penyu hijau dan
penyu sisik.

Indonesia mempunyai spesies buaya muara Crocodylus porosus. Salah satu habitat penting bagi spesies ini
adalah hutan mangrove dan muara sungai. Di wilayah Papua, kedua habitat ini terletak di pesisir yang luas
menghadap ke Laut Arafura. Kedua habitat ini juga merupakan habitat cetacean muara dan pesisir.

Sebanyak 64 spesies burung laut telah diidentifikasi di Indonesia dan beberapa jenis tidak selalu terlihat secara
reguler (Noor dan Silvius, 1997). Terdapat 14 spesies burung laut yang merupakan penghuni tetap (resident)
tetapi sebaran wilayah perkembangbiakannya tidak banyak diketahui.

Seperti di wilayah Indonesia lainnya, di Kepulauan Aru juga dilaporkan adanya penurunan populasi dugong.
Habitat kehidupan dugong yang berada di pesisir perairan dangkal dan sifat reproduksi yang lambat,
menyebabkan dugong rawan terhadap kepunahan. Hasil wawancara menyebutkan bahwa pada tahun 1989
sekitar 59 90 ekor dugong telah tertangkap, dan pada tahun 1990 hanya 29 36 ekor yang tertangkap.
Penduduk desa juga mengetahui bahwa sebelum tahun 1989, dugong yang tertangkap jumlahnya lebih banyak.
Hasil wawancara tersebut mengindikasikan telah terjadi penurunan populasi dugong di sekitar Kepulauan Aru.

Kawasan konservasi pada Ekoregion Laut 18 antara lain KKPD Kaimana, Papua Barat dan TWP Aru Tenggara,
Maluku.

PEMANFAATAN

Ekoregion Laut 18 berada pada WPP 718. Potensi sumberdaya perikanan di ekoregion ini antara lain ikan
pelagis besar (50.9 ribu ton/tahun), pelagis kecil (468.7 ribu ton/tahun) dan demersal (284,7 ribu ton/tahun),
udang penaid (44,7 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (3,1 ribu ton/tahun), lobster (0,1 ribu ton/tahun) dan
cumi-cumi (3,4 ribu ton/tahun).

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove luas 4252,40 ha tersebar di sekitar pesisir
utara Papua dan Papua Barat, (ii) lamun dengan luas 1314,25 ha tersebar di pesisir utara Papua dan Papua
Barat dan (iii) terumbu karang di ekoregion meliputi luas 5025,50 ha.

Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 854.581,39 ha tersebar di
sekitar Kepulauan Aru, Boven Digul Merauke, dan Pulau Yos Sudarso, (ii) padang lamun dengan luas 9.170,12
ha tersebar di Pesisir Kepulauan Aru dan (iii) terumbu karang dengan luas 50012,83 ha tersebar di ekoregion ini.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya
perikanandi Ekoregion Laut 18 sebagai berikut:

176 |ekoregion laut 18


a. Udang sudah fully exploited.


b. Ikan demersal:
1 Spesies manyung (Arius thalassinus), kurisi (Nemimterus spp), kuniran (Upeneus sulphureus), swanggi
(Priacanthus tayenus), bloso (Saurida tumbil), gulamah (Nibea albiflora) dan kakap merah (Lutjanus
bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah over exploited.
2 Spesies ikan lidah (Cynoglossus spp, Pleuronectus spp) sudah fully exploited.

c. Ikan pelagis kecil masih taraf normal (moderate) namun spesies tidak diketahui.

Pemanfaatan lain di Ekoregion Laut 18 adalah budidaya mutiara untuk perhiasan serta migas yang terdapat di
sekitar Laut Arafura.

KERAWANAN BENCANA

Ekoregion Laut 18 terbentuk akibat tumbukan


antara lempeng benua Australia yang bergerak ke
arah utara dan lempeng Samudera Pasifik yang
bergerak ke arah barat. Karakteristik Ekoregion Laut
18 dipengaruhi oleh tumbukan antar lempeng
tersebut sehingga memiliki struktur geologi yang
kompleks yang dapat ditunjukkan pada gambar
dibawah ini.

Meskipun pada wilayah daratan memiliki


karakteristik potensi gempa, namun berdasarkan
aspek potensi tsunami, wilayah ekoregion ini tidak
memiliki potensi tsunami (Budiono et al., 2003).
Namun demikian, Kepulauan Aru bagian barat
memiliki kerentanan terhadap tsunami (Jaya et al.,
2001). Jalur-jalur patahan tersebut berpotensi Peta Seismisitas Indonesia Periode 19732004 (BMKG)
untuk menimbulkan gempa.

Delineasi Patahan di Pulau Papua (Sabtaji, 2010).

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 177



PENCEMARAN

Secara umum, informasi mengenai potensi pencemaran di Ekoregion Laut 18 masih minim. Namun adanya
peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan ini merupakan salah satu faktor
ancaman terhadap kondisi perairan. Apabila dibandingkan dengan kondisi perairan di daerah lainnya di
Indonesia, maka ekoregion ini masih memiliki kondisi perairan yang alami. Kadar total pestisida organoklorin di
kolom air dan sedimen di muara Sungai Digul dan Laut Arafuru masih tergolong rendah (berkisar antara 0,046
0,16 ppt pada kolom air dan 0,011 0,29 ppb pada sedimen) (Munawir, 2002). Kadar pestisida di perairan ini
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan perairan lain seperti perairan di sekitar Lampung, Teluk Jakarta,
Kuala Tungkal, muara Sungai Siak dan muara Sungai Musi, dengan sumber pencemar yang berasal dari aktivitas
pertanian (Munawir, 2002). Adanya aktifitas pertanian ini memungkinkan dihasilkannya limbah organik mudah
urai misalnya yang berasal dari pupuk dan berasal dari sisa (limbah) yang dihasilkan mulai dari persiapan, proses
produksi hingga panen. Selain bahan organik, pada limbah pertanian juga dapat dihasilkan B3, seperti pestisida
yang keberadaanya walaupun kecil, namun perlu sangat diwaspadai.

Selain itu, sumber pencemar yang masuk ke kawasan perairan antara lain berasal dari aktivitas transportasi
perairan laut sekitar, limpasan dari air sungai dan sedimen, perkembangan aktivitas industri dan urban,
perkembangan daerah rural (seperti penebangan hutan, pertambangan dan operasi pengolahan minyak bumi
dan gas) (Morrison dan Delaney, 1996).

Potensi pencemaran limpasan dari air sungai dan sedimen di Laut Arafura salah satunya berasal dari Sungai
Otomona/Ajkwa. Sumber pencemar yang masuk ke aliran sungai tersebut berasal dari kegiatan penambangan
emas di Tembagapura. Menurut Morisson dan Delaney (1996) kegiatan penambangan tersebut telah membawa
material sedimen dalam jumlah besar (lebih dari 30 juta ton per tahun) ke Sungai Otomona/Ajkwa. Kondisi ini
cukup mengkhawatirkan mengingat dari kegiatan insdustri emas akan dihasilkan sianida dan B3 lainnya, serta
dari kegiatan tambang rakyat umumnya akan dihasilkan B3 berupa merkuri serta jenis B3 lainnya.

Potensi pencemaran lainnya berasal dari aktivitas kapal, karena Laut Arafura secara maritim berbatasan dengan
negara Australia dan daerah tersebut merupakan daerah lintasan perkapalan yang penting (sebagai
penghubung beberapa pelabuhan di Australia dengan pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara, Timur dan
Samudera Pasifik sebelah utara) sehingga potensi pencemaran mungkin terjadi pada jalur utama pelayaran
tersebut (Morrison dan Delaney, 1996). Berbagai kegiatan tersebut diatas, maka EL 18 ini berpotensi terhadap
terjadinya pencemaran B3, terutama PAH, POPs, dan logam berat yang semuanya dapat membahayakan baik
biota yang hidup di dalamnya maupun kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

178 |ekoregion laut 18


Penutup

Karakter laut di Indonesia ternyata sangatlah beragam, baik dari aspek fisik, Keanekaragaman Hayati
hayati, oseanografi, maupun morfologi dasar laut. Karakteristik laut Indonesia memiliki perbedaan antara
laut bagian Barat serta Timur. Laut bagian Barat itu dangkal sedangkan Timur lebih dalam.

Demikian juga dengan potensi kekayaan laut Indonesia yang begitu besar hanya bisa dimanfaatkan saat
pemerintah bisa mengenali karakteristik wilayah laut yang dimilikinya. Selain itu, tegaknya kedaulatan
pemerintah atas laut menjadi bekal utama dalam pengembangan potensi kelautan Indonesia yang kaya
akan sumberdaya alam.

Berdasarkan penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Nasional diketahui bahwa perlu pengkajian
lebih spesifik serta verifikasi lapangan lebih mendalam tentang karakterisitik laut di Indonesia tersebut.

180 |penutup
Walking Shark fakfak by david doubilet-Conservation International

Daftar Pustaka

Adi, TR., A. Supangat, N.S. Ningsih, W.S. Pranowo, D.N. Handiani, B. Hendrajana, dan P.A., Winarno. 2004.
Variabilitas Iklim-Laut Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Laporan Teknis Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Adrim, M. 2007. Komunitas ikan karang di perairan Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu. Oseanologi dan Limnologi
di Indonesia 33: 39-58.
Ahmad, A. 2009. Tingkat Pencemaran Logam Berat dalam Air Laut dan Sedimen Di Perairan Pulau Muna,
Kabaena, dan Buton Sulawesi Tenggara. Stasiun Penelitian Lapangan, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI,
Ternate 97712, Maluku Utara, Indonesia. Makara Sains 13(2): 117-124.
Aldrian, E. dan D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their
Relationship To Sea Surface Temperature, Int. J. Climat. 23:1435-1452.
Alino, P.M. dan ED. Gomez. 2001. The Marine Ecosystems of South East Asia and the East Asian Seas. Report of
th
the 15 International Conference on the Environmental Management of Enclosed Coastal Seas: Asian
Forum. 20 November 2001, Kobe, JAPAN.
Allen, G.R. 2006. Reef fishes of The Papuan Birds Head Seascape. Report to Conservation International, hal.
25.
Allen, G.R. 2008. Reef fishes of Halmahera. Report to Conservation International, hal. 16.

Allen, G. R. dan M. V. Erdmann. 2009. Reef fishes of the Birds Head Peninsula, West Papua, Indonesia. Check
List 5: 587628.
Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2012. Reef fishes of the Anambas Islands. Report to Conservation International,
hal. 18.
Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2012. Reef Fishes of The East Indies Volumes I-III. Tropical Reef Research and
Conservation International Indonesia. Perth, Australia.
Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2013. Reef fishes of The Papuan Birds Head Seascape : refers to report in 2006.
Report to Conservation International (tidak dipublikasikan)
Amante, C. and BW Eakins. 2009. ETOPO1 1 Arc-Minute Global Relief Model: Procedures, Data Sources and
Analysis. NOAA Technical Memorandum NESDIS NGDC-24, hal. 19.
Ambariyanto. 2010. Kebijakan Pengelolaan Organisme Laut dilindungi: Kasus Kerang Raksasa, Naskah Pidato
Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, hal.74
Amin, B. 2002. Distribusi Logam Berat Pb, Cu dan Zn pada Sedimen di Perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan
Riau. Jurnal Natur Indonesia 5(1): 9-16.
Anonimous. 2002. Proposal Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kabupaten Bolaang
Arifin, Z. 2004. Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay
Ecosystem. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta, hal. 33.
Arifin, Z., R. Puspitasari, N. Miyazaki. 2011. Heavy Metal Contamination in Indonesian Coastal Environment: A
Historical Perspective. Coastal Marine Science 35(1): 227-233.
Arindi, M.V., N.P. Purba, E. Rochima, WS. Pranowo. 2010. Dinamika Massa Air Perairan barat Sumatera.
Prosiding Eksporinas 2011. hal.108-141.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 181



Arlyza, I.S. dan P. Borsa. 2010. Geographic structure of masked stingray in the indo-malay-papua archipelago.
The International Meeting of Association for Tropical Biology and Conservation, Tropical biodiversity:
surviving the food, energy, and climate crisis 19-23 July 2010, Denpasar.
Arlyza, I.S. dan O.N. Marwayana. 2012. Eksplorasi udang penaeid di Selat Makassar dan Teluk Bone, Sulawesi
Selatan: Diseminarkan di Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2012 Sekolah Tinggi Perikanan
Jakarta: Aplikasi Teknologi Terapan Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan Indonesia.(in press)
Arthana, IW. 2005. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi
Lestari, 2. (5): 68-76. PPLH-Lemlit Unud Denpasar.
Balitbang KKP (Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan). 2010. Eksplorasi Sangihe Talaud
Index Satal 2010
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Overseas Fishery Cooperation Foundation (BRKP-OFCF). 2005. Laporan
Kerjasama Riset Eksplorasi Sumberdaya Perikanan Laut Dalam Antara Jepang-Indonesia.
Bapedalda Provinsi Papua Barat. 2011. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Papua Barat Tahun
2011. Papua Barat.
Baumgart, A., T. Jennerjahn, WS. Pranowo. 2005. Nutrient distribution in the Indian Ocean off java and Sumatra,
Indonesia, related to coastal upwelling. Proceed. SPICE/LOICZ/ATSEF/SEACORM (SLAS) Southeast Asia
Coastal Governance and Management Forum: Science Meets Policy for Coastal Management and
Capacity Building, Bali, 14th - 16th November 2006
Bay of Bengal Large Marine Ecosystem (BOBLME). 2011. Country Report on Pollution in the BOBLME (Bay of
Bengal Large Marine Ecosystem) Indonesia.
Black, E., J. Slingo, KR. Sperber. 2003. An Observational Study of the Relationship between Excessively Strong
Short Rains in Coastal East Africa and Indian Ocean SST, Month. Weath. Rev., Vol. 31: 74-94.
Booij, K., Z. Arifin, T. Purbonegoro. 2012. Perylene Dominates the Organic Contaminant Profile in the Berau
Delta, East Kalimantan, Indonesia. Marine Pollution Bulletin 64: 10491054.
Borsa et al, 2012
Boyer, TP., JI. Antonov, OK. Baranova, HE. Garcia, DR. Johnson, RA. Locarnini, Av. Mishonov, TD. OBrien, D.
Seidov, IV. Smolyar, MM. Zweng. 2009. World Ocean Database 2009. Levitus, S. (ed.), CD-ROM,
National Oceanographic Data Center, Ocean Climate Laboratory, NOAA, hal. 217.
Brodjonegoro, IS., WS. Pranowo, S. Husrin, R. Tisiana, B. Hendrajana, E. Widjanarko, H. Triwibowo, D. Conbul,
TR. Adi, IM. Nasution, D. Purbani, G. Kusumah, Ahmad, UR. Kadarwati, H. Prihatno, AH. Purnomo,
Taryono, N. Zahri, TH. Tjahyo, A. Hugroho, A. Azizi. 2004. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan: Selat
sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh, Teluk Ekas. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Brotoisworo, E. 1991. Problems of Enclosed Coastal Seas Development: The Bintuni Case, Irian Jaya, Indonesia.
Marine Pollution Bulletin, 23:431-435.
Budiono K. TA. Suprapto, NA. Kristanto, P. Raharjo, Y. Noviandi. 2003. Peta Wilayah Rawan Bencana Tsunami
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung.
Chang, C.-P., Z. Wang, J. Hu, T. Li. 2004. On the Relationship between Western Maritime Continent Monsoon
Rainfall and ENSO during Northern Winter. J. Climate, 17: 665 672.
Chua, T-E., IRL. Gorre, SA. Ross, SR. Bernad, B. Gervacio, MC. Ebarvia. 2000. The Malacca Strait. Marine Pollution
Bulletin 41: 160-178.
Cordova, MR. 2008. Kajian Limbah Domestik di Perumnas Bantar Kemang, Kota Bogor dan Pengaruhnya
terhadap Sungai Ciliwung. Institut Pertanian Bogor. (Tidak Dipublikasikan).

182 |daftar pustaka


Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
De Iongh, HH., B. Wenno, E. Mellis. 1995. Seagrass distribution and seasonal biomass changes in relation to
dugong grazing in the Maluku, East Indonesia. Aquatic Botany 50: 1 19.
De Iongh, HH. 1996. Plant-herbivore interactions between dugongs and seagrass in a tropical small islands
ecosystem (Thesis).
De Iongh, HH. 1996. Current status of dugongs in Aru, E. Indonesia. In: The Aru Archipelago: Plants, Animals,
People and Conservation. Publication No. 30 of the Netherlands Commission for International Nature
Protection, H.P. Nooteboom. Hal. 75-86.
De Iongh, HH. 1997. Current status of dugongs in Indonesia. In: The ecology of the Indo-nesian seas. Part II. The
Ecology of Indonesia Series, Volume VIII by eds. Tomascik, T., Mali, A.J., Nontji, A., Moosa, M.K.
De Iongh, HH., W. Kiswara, W. Kustiawan. 2006. Dugong grazing patterns and interaction with traditional
conservation (Sasi Laut) Indonesia: a review. Journal of Natural and Life Sciences, 1 (1): 1-10.
DeBoer, TS., MD. Subia, Ambariyanto, MV. Erdmann, K. Kovitvongsa, PH. Barber. 2008. Phylogeography and
limited genetic connectivity inthe endangered boring giant clam across the coraltriangle. Conservation
Biology. DOI: 10.1111/j.1523-1739.2008.00983.x.
Den Hartog, C. 1970. The Seagrasses of The World. North Holland Publishing Co. Amsterdams.
DeVantier L, Turak E, dan Allen G. 2009. Raja Ampat Planning Coral Reef Stratification: Reef-Scapes, Reef
Babitas, dan Coral Communities of Raja Ampat, Birds Head Seascape, Papua Indonesia. Report to The
Nature Conservancy-Unpublished.
Dir. KKJI-Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kajian Cepat Kondisi Taman Wisata Perarain Anambas.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, P2O-LIPI, Kabupaten Anambas & Conservation International
Indonesia. Jakarta. (in-press)
Dirhamsyah, SA., H. Ali, A. Susanto, S. Syahalitua, Made. 2009. Ikan terbang: Eksotis dan komersil, spesies yang
perlu dilindungi. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI.
Djalal, H. 2006. Persoalan Selat Malaka dan Singapura.Makalah pada seminar mengenai Selat Malaka yang
diselenggarakan oleh Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan pada tanggal 13 Januari 2006 di
kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta. http://www.setneg.go.id.
Dsikowitzky, L., I. Nordhaus, TC. Jennerjahn, P. Khrycheva, Y. Sivatharshan, E. Yuwono, J. Schwarzbauer. 2011.
Anthropogenic Organic Contaminants in Water, Sediments and Benthic Organisms of the Mangrove-
Fringed Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Marine Pollution Bulletin 62: 851862.
Edinger, MD., P.R. Siregar, GM. Blackwood. 2006. Heavy Metal Concentrations in Shallow Marine Sediments
Affected by Submarinetailing Disposal and Artisanal Gold Ming, Buyat-Ratatotok District, North Sulawesi,
Indonesia. Environmental Geology, DOI 10.1007/s00254-006-0506-8.
Edinger, MD. 2012. Gold Mining and Sub-marine tailing Disposal: Review and Case Study. Oceanography 25(2):
184-199.
Edward dan MD. Marasabessy. 2003. Kondisi Oseanografi Teluk Cenderawasih, Irian Jaya ditinjau dari
Kepentingan Perikanan. Marine Chimica Acta, 4(1): 1-4.
Edward. 2008. Pengamatan Kadar Merkuri di Perairan Teluk Kao (Halmahera) dan Perairan Anggai (Pulau Obi),
Maluku Utara. Makara Sains, 12 (2): 97-101.
Edyanto, CBH. 2008. Penelitian Aspek Lingkungan Fisik Perairan Sekitar Pelabuhan Sabang. Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia, Vol. 10(2): 119-127.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 183



Erdmann MV. 2007. Stomatopod crustaceans of northern Papua. In: Marshall AJ and Beehler B (Eds) The
Ecology of Papua. Hal. 499502.
Erdmann, M.V., dan C. Huffard. 2009. Defining Geographic Priorities for Marine Biodiversity Conservation in
Indonesia. Preliminary Results: Workshop on Defining Gegraphic Priorities for Marine Biodiversity
Conservation in Indonesia. Sanur, Bali, 16-17 Juli 2009.
Erftemeijer, PAL dan GR. Allen. 1993. Fish Fauna of Seagrass Beds in South Sulawesi, Indonesia. Records of the
Western Australian Museum, 16 (2): 269 277.
Evans, SM., M. Dawson, J. Day, CLJ. Frid, ME. Gill, LA. Pattisina, J. Porter. 1995. Domestic Waste and TBT
Pollution in Coastal Areas of Ambon Island (Eastern Indonesia). Marine Pollution Bulletin. 30(2): 109-115.
Falahudin, D., K. Munawir, Z. Arifin, GA. Wagey. 2012. Distribution and Sources of Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) in Coastal Waters of thetimor Sea. Coastal Marine Science 35(1): 112-121.
Fang, W., G. Fang, P. Shi, Q. Huang, Q. Xie. 2002. Seasonal structures of upper layer circulation in the southern
South China Sea from in situ observations, J. Geophys. Res., 107: 30202, doi:10.1029/2002JC001343.
Gaol, JL. 2009. Study Oil Spill di Celah Timor dari Sensor MODIS dan Dampaknya Terhadap Sumberdaya Hayati
Laut. Poster Presentasi pada Seminar Nasional Pertemuan Ilmiah Tahunan VI 2009, ISOI 16-17 Nopember
di IPB ICC, Bogor.
George W. 1964. Biologist philosopher: a study of the life and writings of Alfred Russel Wallace. Abelard-
Schuman, London
Green dan Short. 2003. World Atlas of Seagrass. University of California Press. Berkeley, USA.
Gordon, A. L., 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow. Oceanography 18 (4): 14
27.
Gordon, AL., RD. Susanto, A. Ffield, BA. Huber, WS. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait
throughflow, 2004 to 2006, Geophys. Res. Lett., 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372.
Gordon, AL, J. Sprintall, HM. Van Aken, D. Susanto, S. Wijffels, R. Molcard, A. Field, WS. Pranowo, S.
Wirasantosa. 2010. The Indonesian throughflow during 2004-2006 as observed by INSTANT program, J.
Dynamics of Atmospheres and Oceans, 50:115-128, doi:10.1016/j.dynatmoce.2009.12.002
Hall R. 2001. Cenozoic reconstructions of SE Asia and the SW Pacific: Changing pattern of land and sea. In
Metcalfe I, Smith JMB, Morwood M, Davidson ID. Faunal and Floral migration and evolution in SE Asia-
Australasia. AA Balkema (Swets and Zeitlinger Publishers). Lisse, 35-56
Hantoro. 2005. Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai Terhadap Perkembangan Kawasan Kota Pantai.
Proceeding Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota
Pantai di Indonesia
Hashimoto, S., M. Watanabe, Y. Noda, T. Hayashi, Y. Kurita, Y. Takasu, A. Otsuki. 1998. Concentration and
distribution of butyltin compounds in a heavy tanker route in the Strait of Malaccaand in Tokyo Bay.
Marine Environmental Research 45: 169-177
Huffard, Cl., MV. Erdmann, T. Gunawan (Eds). 2012. Prioritas Geografi Keanekaragaman Hayati Laut untuk
Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kementerian kelautan dan Perikanan dan
Marine Protected Areas Governance. Jakarta, Indonesia.
Ibrahim, K., 2005. Turtle tagging radio tracking for determining transboundary movement (Power Point
Presentation). Second UNEP-GEF Scientific Conference, 14-16 November 2005, Bangkok, Thailand.
Indrajati, D., A. Suharsono, S. Suryadi, SD. Atmanto, BA. Wiyana. 2007. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS): Rencana Pembangunan Padang Bay City di Sumatera Barat. Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri.

184 |daftar pustaka


IUCN, 1993. Reef at Risk: A Programme of Action. Marine Areas Programme of IUCN The World Conservation
Union.
Jaya et al., 2001
Kahn B. 2007. Marine Mammals of the Raja Ampat Islands: Visual and Acoustic Cetacean Survey & Training
Program. Conservation International Indonesia and APEX Environmental. Report to Conservation
International Indonesia, Raja Ampat Program.
Kamus Terminologi Geologi Kelautan dan Pantai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan,
Bandung, http://aplikasi.mgi.esdm.go.id/kp/admin
Karim AM, N. Tahir, FT. Sofinati, KA. Mohd, W. Hasim, EM. Herly. 2011. Pusat Pengelolaan Ekoregion-
Kementerian Lingkungan Hidup. Status Lingkungan Hidup Ekoregion Papua 2011. Kementerian
Lingkungan Hidup. Jakarta
Katili, JA dan P. Marks. 1963. Geologi. Departemen Urusan Research Nasional. Djakarta.
Kementerian Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Surat Keputusan MENKP No. 45 Tahun 2011 tentang
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Kementerian Lingkungan
Hidup Indonesia. Jakarta.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009a. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai 33 Propinsi di
Indonesia. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Kementerian N egara Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009b. Peta Sebaran Ijin Pembuangan Limbah ke Laut dari Sektor
Pertambangan, Energi dan Minyak di Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009c. Press Release Kementerian Negara Lingkungan Hidup:
Pengelolaan Teluk Tomini secara Terpadu dan Berkelanjutan, Manado, 13 Mei 2009.
http://xa.yimg.com/kq/ groups/23081136/1898417260/name/Agreement, akses 9 April 2012.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2010. Pemantauan Kualitas Air Laut dan Danau 2010. Pusat
Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal), Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.01/Men/2009 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Kiswara, W. dan M Hutomo. 1985. Seagrass, its habitat and geographical distribution. Oseana X (1): 21-30.
Kiswara, W., T. Bouma, MV. Katwijk, I. Al Hakim. 2003. Preliminary study East Kalimantan Project A Cooperation
Program Dutch-Indonesia 2003. Technical Report.
Kiswara, W., HH. De Iongh, M. Hutomo, RA. Hanif. 2011. Dugong range status update country reports:
Indonesia. Report on South East Asia regional meeting on dugongs and workshop on developing
standardized analysis protocols for dugong questionaire survey project data for South East Asia Region.
Lawas, Sarawak, Malaysia: 22-56.
Kuriandewa, TE., W. Kiswara, M. Hutomo, S. Soemodihardjo. 2003. The seagrasses of Indonesia. In: Green,
E.P., Short, F.T. (eds.). World Atlas of Seagrasses. University of California Press, Berkeley USA : 171-182.
Laapo, A., A. Fahrudin, DG. Bengen, A. Damar. 2009. Pengaruh Aktivitas Wisata Bahari terhadap Kualitas
Perairan Laut di Kawasan Wisata Gugus Pulau Togean. Ilmu Kelautan. 14 (4): 1-7.
Lasut, MT. and Y. Yasuda. 2008. Accumulation of Mercury in Marine Biota of Buyat Bay, North Sulawesi,
Indonesia. Coastal Marine Science 32(1): 33-38.
Liao, LM. 2004. Macrobenthic marine algae and seagrass of the Anambas Expedition 2002. The Raffles Bulletin
of Zoology, Supplement No. 11: 19 23. National University of Singapore.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 185




LPP Mangrove. 2004. Review Data and Information Indonesian Mangrove Ekosystem in the South China Sea:
South Sumatera Province. Reversing Thailand. Environmental degradation Trends in the South China
Sea and Gulf of Thailand
Madduppa, HH., IS. Alhusna, N. Dahl-Tacconi, R. Sihombing, F. Setiawan, A. Gunawan, NA. Muzahar, H.
Ohoiulun. 2005. Evaluasi Keefektifan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi 2002-2004
dan rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan pengelolaan. National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA), Badan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut, Pulau Sebesi, Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Madduppa, HH. 2012. Self-recruitment in anemonefish and the impact ornamental fishery in Spermonde
Archipelago: implications for management and conservation. PhD Dissertation. Faculty of Biology and
Chemistry. University of Bremen. Germany.
Madduppa, HH., SCA. Ferse, U. Aktani, HW. Palm. 2012. Seasonal trends and fish-habitat associations around
Pari Island, Indonesia: setting a baseline for environmental monitoring. Environ Biol Fish. DOI
10.1007/s10641-012-0012-7
Madduppa, HH., SB. Agus, AR. Farhan, D. Suhendra, B. Subhan. 2012. Fish biodiversity in coral reefs and lagoon
at the Maratua Island, East Kalimantan. Biodiversitas 13: 145-150.
Madduppa, HH., B. Subhan, E. Suparyani, AM. Siregar, D. Arafat, SA. Tarigan, Alimuddin, D. Khairudi, F.
Rahmawati, A. Bramandito. 2013. Dynamics of fish diversity across an environmental gradient in the
Seribu Islands reefs off Jakarta. Biodiversitas 14 (in press).
Mangubhai S., MV. Erdmann, JR. Wilson, CL. Huffard, F. Ballamu, NI. HidayatI, C. Hitipeuw, ME. Lazuardi,
Muhajir, D. Pada, G. Purba, C. Rotinsulu, L. Rumetna, K. Sumolang, W. Wen. 2012. Papuan Birds Head
Seascape: Emerging threats and challenges in the global center of marine biodiversity.
Marsh H, Eros C, Penrose H, dan Hugues J. 2002. The Dugong (Dugong dugon) Status Reports and Action Plans
for Countries and Territories in its Range. IUCN, Gland.

Masuda, H. and GR. Allen. 1987. The Sea Fishes of the World (Indo-Pacific Region). Published by YAMA-KEI
Publisher Co. Ltd Tokyo, Japan.
Mimura, N. 1999. Vulnerability of island countries in the South Pacific to sea level rise and climate change.
Climate Research. 12:137-143.
Monirith, I., D. Ueno, S. Takahashi, H. Nakata, A. Sudaryanto, A. Subramanian, S. Karuppiah, A. Ismail, M.
Muchtar, G. Zheng, BJ. Richardson, M. Prudente, ND. Hue, TS. Tana, AV. Tkalin, S. Tanabe. 2003. Asia-
Pacific Mussel Watch: Monitoring Contamination Of Persistent Organochlorine Compounds in Coastal
Waters of Asian Countries. Marine Pollution Bulletin 2003 46: 281-300.
Morrison, RJ. and JR. Delaney. 1996. Marine Pollution in the Arafura Sea. Marine Pollution Bulletin, 32(4): 327-
343.
Morton, B. and G. Blackmore. 2001. South China Sea. Marine Pollution Bulletin, Vol. 42 (12): 1236-1263.
Moss, S.M dan M. Van Der Wal. 1998. Rape and Run in Maluku: Exploitation of Living Marine Resources in
Eastern Indonesia. Cakalele 9 (2) : 85-97.
MPP-EAS. 1998. Marine Pollution Management in the Malacca Strait/Singapore Straits: Lessons Learned.
GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East
Asian Seas. Quezon City, Philippines.
Muarif. S. 2002. Analisis Indek Kepekaan Lingkungan Pesisir Selat Malaka di Wilayah Sumatera Utara Terhadap
Tumpahan Minyak (Oil Spill). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

186 |daftar pustaka


Muhajir, Purwanto, S. Mangbhai, J. Wilson, R. Ardiwijaya. 2012. Pemantauan Pengamatan insidentil di kawasan
Konservasi Perairan Daerah Kofiau dan Misool, Raj Ampat, Papua Barat, Indonesia 2006-2011.
Munawir, K. 1996. Pemantauan Kadar Organoklorin di Perairan Muara Sungai Siak, Riau. Dalam: Inventarisasi
dan Evaluasi Lingkungan Pesisir: Oseanografi, Geologi, Biologi dan Ekologi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal. 147-152.
Munawir, K. 2002. Kadar Pestisida Organoklorin Dalam Air dan Sedimen di Perairan Muara Sungai Digul dan
Laut Arafura. Dalam: Pesisir dan Pantai VII (Penyunting: Nuchsin, R., Muchtar, M., Supangat, I., dan
Sunarto). Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. hal 41-48.
Munawir, K. 2005. Kadar Pestisida Organoklorin Dalam Air dan Sedimen di Perairan Estuarin Mamberamo, Irian
Jaya. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38: 69-78.
Mustika, PL., IMJ. Ratha, S. Purwanto (Eds). 2012. Kajian Cepat Kondisi Kelautan Propinsi Bali 2011. RAP Bulletin
of Biological Assessment Vol. 64. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali, Balai Riset dan Observasi
Kelautan Bali, Universitas Warmadewa dan Conservation International Indonesia. Denpasar.
Mustikasari, E., LC. Dewi, WS. Pranowo, S. Makarim, SN. Amri, B. Priyono. 2010. Pemodelan Pola Arus
Barotropik Musiman 3 Dimensi Untuk Mensimulasikan Fenomena Upwelling, Laporan Teknis, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan.
Nagara, AA., NA. Sasongko, OJ. Olakunle. 2007. Introduction to Java Sea. University of Stavanger.
Nasution, S. dan M. Siska. 2011. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb ) pada Sedimen dan Siput Strombus
canarium di Perairan Pantai Pulau Bintan. Jurnal Ilmu Lingkungan 5(2): 82-93.
Nedi S., B. Pramudya, E. Riani, Manuwoto. 2010. Karakteristik Lingkungan Perairan Selat Rupat. Journal of
Environmental Science 4:25 - 35
Nienhuis, PH., J. Coosen, W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and
macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Neth. J. of Sea Res. 23(3): 197-214.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
Noor, YR. and MJ. Silvius. 1997. Shore bir ds in Indonesia. In: Tomasick, T., A.J. Mah, A, Nontji, M.K. Moosa 1997.
The ecology of the Indonesian Seas Part II. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII.
P2O-LIPI. 2011. Perairan Kepulauan Natuna. Ekspedisi Widya Nusantara. Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pelling M. and JI. Uitto. 2001. Small island developing states: natural disaster vulnerability and global change.
Environmental Hazard 3: 49-63.
Pranowo, WS. 2002. Model Numerik Sebaran Senyawa Nitrogen di Perairan Pantai Jepara. Tesis Magister
Program Studi Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut
Teknologi Bandung.
Pranowo, WS. and S. Husrin. 2003. Kondisi Oseanografi Perairan Pulau Bintan dalam Kondisi Ekosistem Pesisir
Pulau Bintan. Safri, B., B. Sulistyo, A. Supangat. (eds.), Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya
Nonhayati, BRKP, Departemen Kelautan & Perikanan.
Pranowo, WS., NS. Ningsih, A. Supangat. 2003. Kajian Arus Pasut di Perairan Pantai Jepara. Prosiding Seminar
Riptek Kelautan Nasional, Jakarta, 30-31 Juli 2003.
Pranowo, WS., NS. Ningsih, A. Supangat. 2005. Modelling of Nitrogen Compound Distribution in Jepara Waters,
Northern Coast of Central Java Indonesia. Journal of JTM, Vol. 12 (2).
Pranowo, WS. and BS. Realino. 2006. Sirkulasi Arus Vertikal di Selat Bali Pada Monsun Tenggara 2004. Prosiding
Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia III. Palembang, 27 28 November 2006.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 187



Pranowo, WS., AR. Tisiana Dwi Kuswardhani, TL. Kepel, UR. Kadarwati, S. Makarim, S. Husrin. 2006. Ekspedisi
INSTANT 2003-2005: Menguak Arus Lintas Indonesia, editors: Supangat, A., I. S. Brodjonegoro, A. G.
Ilahude, I. Jaya, T. R. Adi., Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya Non-hayati. Badan Riset Kelautan &
Perikanan. Departemen Kelautan & Perikanan.
Pranowo, WS. and S. Wirasantosa. 2011. Tidal regims of Arafura and Timor Seas, Journal of Marine Research in
Indonesia, 36:17-24.
Pranowo, WS., S. Wirasantosa, SN. Amri, AA. Hutahaean, LC. Dewi, S. Makarim, RNA. Ati, HI. Ratnawati, dan J.
Prihantono. 2011. Karakteristik Sumberdaya Laut Arafura dan Pesisir Baratdaya Papua. B. Sulistiyo
(Ed.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pranowo, WS. 2012. Dinamika Upwelling dan Downwelling di Laut Arafura dan Timor. J. Widyariset, 15 :17-24.
Pranowo, WS., RA. Adi, H. Permana, ND. Hananto. 2012a. Sirkulasi Arus Pasang Surut di Muara Pegah, Delta
Mahakam, Kalimantan Timur, J. Segara, Vol. 8 No.1, p.53-63.
Pranowo, WS., TR. Adi, S. Makarim, NN. Hasanah. 2012b. Marine & climate research contribution to the
national program on climate change adaptation & mitigation, Proceed. The International Workshop on
Climate Change Information Services in Supporting Mitigation & Adaptation to Cllimate Change in
Transportation & Tourism, Jakarta, 15-16 May 2012, (in press).
Pranowo, WS., CD. Puspita, RA. Adi, LC. Dewi. 2012c. Atlas Sumberdaya Laut dan Pesisir Natuna, draft versi 28
Desember 2012. B. Sulistiyo dan T.R. Adi (Eds.), Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut
dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia.
Purnomo, AH., Taryono, NN. Wiyadnyana, B. Priono, Tj. Hartono, Z. Nasution, N. Aji., A. Azizi, H.E. Irianto, D.
Nugroho, Suwarso, E. Sriyati, Irsan, S.B. Gegar, SP. Tonny Wagey, N. Radiarta, TH. Prihadi, Suryanto,
WS. Pranowo, M. Situmorang, Sunoto, J. Ferianto, Aminul, PK. Yudi, Triyono, W. Erish, RS. Ifan, P.
Roberto, Yulius, Ahmad, B. Hendrajana,H. Semeidi, S. Makarim, K. Gunardi, D. Purbani, E. Edward, IM.
Nasution, UR. Kadarwati. 2003. Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Teluk Tomini. Badan
Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Cetakan pertama Oktober 2003.
Pusat Studi Bencana Alam, 2000
Putra, KS. 2005. Brief overview of the turtle conservation in Indonesia. Paper prepared for World Bank Mission
and Nordeco consultant as part of the WB/Marginal Fisheries Development Project in Indonesia, Mei
2005.
Putri, MR. 2005. Study of Ocean Climate Variability (1959-2002) in the Eastern Indian Ocean, java Sea and Sunda
Strait Using the HAMburg Shelf Ocean Model. Dissertation. University of Hamburg.
Ramdhan, M. and S. Tubalawony. 2010. Karakteristik Oseanografi Fisik Perairan Selatan Keulauan Leti Moa
Lakor (Lemola)-Tanimbar. J. Segara, 6:129-140.
Riani E., A. Samosir, F. Yulianda. 1994. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp) sebagai akibat Kontaminasi
Tributyltin (Senyawa Sn) dari Cat Pelapis Kapal di Perairan Pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat dan
Pelabuhan Teluk Bayur, Padang.
Riani, E, SH Sutjahjo, I. Firmansyah. 2004. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta.
Kerjasama LPPM IPB dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2004.
Riani, E. 2004. Melindungi Air Melindungi Kepunahan. Nuansa Biru. Seafood Ecolabelling. Edisi 4. Yayasan
WWF Indonesia dan Yayasan Uli Peduli.
Riani E. 2005. Pengaruh Pencemaran Logam Berat terhadap Cacat Bawaan pada Larva Diptera Chironomidae:
Dicrotendipes simpsoni.

188 |daftar pustaka


Riani E. 2006. Roadmap for The Integrated Citarum River Basin Management Program: Strategic
Environmental assessment (SEA) for The Citarum Integrated Water Resources Management Roadmap and
Environmental Impact Assesment (EIA) for the Proposed West Tarum Canal-Subproject.
Riani E. 2008. Kualitas Lingkungan Perairan di Desa Bug-bug, Bali. Seminar Ilmiah Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB.
Riani, E. 2009. Kerang Hijau (Perna viridis) Ukuran Kecil sebagai "Vacum Cleaner" Limbah Cair. . Jurnal Alami,
Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 14 (3): 24 30.
Riani, E. 2010. Kontaminasi merkuri (Hg) dalam Organ Tubuh Ikan Petek (Leignathus equulus) di Perairan Ancol,
Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Lingkungan. BPPT. Mei 2010. Vol 11 (2): 313-322.
Riani, E. and MR. Cordova. 2011. Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Cacat Bawaan (Malformasi) pada
Keturunan Kerang Hijau yang Dibudidaya di Perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta. Seminar Nasional
PPLH. Mengakrabi Paradigma dan Instrumen Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam UU No 32 tahun
2009. IICC IPB, 20 Oktober 2011.
Riani, E. 2012 Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik (Bioakumulasi Bahan Berbahaya dan Beracun dan
Reproduksi). Penerbit IPB.
Riani E, SBW. Ningsih, B. Kurniawan. 2013. Dampak Kualitas Perairan terhadap Moluska Endemik Polymesoda
erosa di Perairan Donan, Cilacap Jawa Tengah. (Belum dipublikasikan)
Riani, E. 2013. Kondisi Lingkungan Perairan Teluk Lampung. Belum dipublikasikan, Dept MSP, FPIK. IPB. Bogor.
Rinawatia, T. Koikea, H. Koike, R. Kurumisawa, M. Ito, S. Sakurai, A. Togo, M. Saha, Z. Arifin, H. Takada. 2012.
Distribution, Source Identification, and Historical Trends of Organic Micropollutants in Coastal Sediment in
Jakarta Bay, Indonesia. Journal of Hazardous Materials: 208 216.
Rumahlatu, D. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air, Sedimen dan Deadema setosum
(Echinodermata, Echinoidea) di Perairan Pulau Ambon. Ilmu Kelautan 16 (2): 78-85.
Sabtaji, A. 2010. Peta Tektonik Papua. http://agung-sabtaji.blogspot.com/2010/06/peta-tektonik-papua.html
Salm, RV. and M. Halim. 1984. Conservation Data Atlas. Planning for the Survival of Indonesias seas and coasts,
IUCN/WWF/PHPA. Jakarta.
Sapulete, D. 1996. Sebaran vertikal temperatur dan salinitas dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya
upwelling di Teluk Piru, J. Perairan Maluku dan Sekitarnya 11: 139-148.
Sarmili, L., P. Halbach, B. Pracejus, E. Rahders, S. Burhanuddin, D. Purbani, G. Kusumah, S. Makarim, J. Soesilo, J.
Huatabart, SD. Djohor, A. Mubandi. 2003. A New Prospect in Hydrothermal Mineralisation of The
Baruna Komba Submarine Volcano in Flores-Wetar Sea, East Indonesia. Prosiding International Seminar
on Marine and Fisherieis 15-16 December 2003, hal 331-336.
Soegiarto, A. dan NVC. Polunin. 1981. The marine environment of Indonesia. Bogor, Indonesia. International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources/World Wild Fund.
Spalding, MD. HE. Fox, GR. Allen, N. Davidson, ZA. Ferdaa, M. Finlayson, BS. Halpern, MA. Jorge, A. Lombana,
SA. Lourie, KD. Martin, E. McManus, J. Molnar, CA. Recchia, J. Robertson (2007) Marine ecoregions of
the world: a bioregionalization of coastal and shelf areas. Bioscience 57 (7): 573583.
Stewart, BS. 2011. Workshop and Monitoring Training for Whale Sharks in Cendrawasih Bay National Park, West
Papua 27 May 2011, Nabire, Papua. Hubbs SeaWorld Research Institute Technical Report 2011, 375:
1-27.
Sudaryanto, A. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Kondisi Fisiko Kimiawi Sedimen di Perairan
Donan, Cilacap - Jawa Tengah. Jurnal Teknologi Lingkungan. 2(2): 119-123.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 189



Sudaryanto, A., S. Takahashi, H. Iwata, S. Tanabe, A. Ismail. 2004. Contamination of Butyltin Compounds in
Malaysian Marine Environments. Environmental Pollution 130: 347 358.
Sudaryanto, A., S. Takahashi, H. Iwata, S. Tanabe, M. Muchtar, H. Razak. 2005. Organotin Residues and the Role
of Anthropogenic Tin Sources in the Coastal Marine Environment of Indonesia. Marine Pollution Bulletin
50(2): 226-235.
Sudaryanto, A., S. Takahashi, S. Tanabe. 2007. Persistent Toxic Substances in the Environment of Indonesia.
Dalam: Developments in Environmental Science, 7: 587-627.
Sugeha, HY., SR. Suharti, S. Wouthuyzen, K. Sumadhiharga. 2008. Biodiversity, Distribution and Abundance of
the Tropical Anguillid Eels in the Indonesian Waters. Dalam Mar.Res.Indonesia, 33(2):129137
Suharsono, 2007. Indonesia. In: UNEP, 2007. National Report on Coral Reefs in the Coastal Waters of the South
China Sea. UNEP/GEF/SCS Technical Publication No. 11.
Suharsono. 2009. Overview of the successful of coral reefs condition mangement in Indonesia. Paper presented
at the symposium in the World Ocean Congress. Manado, Indonesia, 2009.
Suhelmi IR, A. Fahrudin, F. Yulianda, INS Nuitja. 2011. Pemodelan Kerentanan Pesisir Kota Semarang Akibat
Kenaikan Muka Air Laut. Makalah Seminar Pascasarjana IPB. Bogor.
Suhendra, D. 2010. Profil Kepulauan Natuna Anambas. Conservation International. Jakarta.

Sulistyo B and Triyono. 2009. Atlas Kelautan dan Atmosfer. Balai Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Stok Sumber Daya Ikan Demersal Laut Dalam Di Perairan Zeei Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa
Suman, Ali dan Nurdin, Erfind. 2012. Stok Sumber Daya Ikan Demersal Laut Dalam Di Perairan ZEEI Samudera
Hindia Sebelah Selatan Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Manado, 30-31 Oktober
2012. 143-152
Supangat, A., TR. Adi, WS. Pranowo, NS. Ningsih. 2004. Predicting Movement of the Warm Pool, the Salinity
Front, & the Convergence Zone in the Western & Central Part Equatorial Pacific Using a Coupled
Hydrodynamical-Ecological Model. Proceeding of The Twelfth OMISAR Worshop on Ocean Models,
Dalian, China.
Supriyadi dan Wouthuyzen. 2005. Penilaian ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat,
Provinsi Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 38: 1-21.
Supriyadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau Barrang Lompo Makassar. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor.
Susanto, RD., G. Fang, I. Soesilo, Q. Zheng, F. Qiao, Z. Wei, B. Sulistyo. 2010. New surveys of a branch of the
Indonesian Throughflow. Eos Trans. AGU 91(30): 261-263.
Susanto, RD., AL. Gordon, Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to
ENSO. Geophys. Res. Lett., 28: 1599-1602.
SUSCLAM [Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods and Management]. 2010. Informasi Umum Wilayah
Pesisir Teluk Tomini. http://www.database.teluktomini.org/tampil_info_umum.php
Swennen, C., N. Guttamadakul, S. Ardseungnern, HR. Sing, BP. Mensink, CC. Hellers-Tjabbes. 1997. Imposex in
Sublittoral and Littoral Gastropods from the Gulf of Thailand and Strait of Malacca. Environmental
Technology 18: 1245-1254.
Taley, LD, dan J. Sprintall. 2005. Deep Expression of Indonesian Throughflow: Indonesian Intermediate Water in
the South Equatorial Current, Submitted to J. Geophys. Res. Revised March 1, 2005.

190 |daftar pustaka


Tarigan, Z., Edward, A. Rozak. 2003. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni dalam Air Laut dan Sedimen
di Muara Sungai Memberamo, Papua Dalam Kaitannya dengan Kepentingan Budidaya Perikanan. Makara
Sains, 7(3): 119-127.
Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan beberapa pemikiran untuk tindak lanjut.
Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove, Jember, 3 6 Agustus 1994: 143-149.
Tomascik, T., AJ. Mah, A. Nontji, MK. Moosa. (eds.). 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. The
Ecology of Indonesia Series, Volume VIII.
Turak E. 2003. Coral Reef Surveys During TNC SEACMPA RAP of Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi,
Indonesia. The Nature Conservancy Report.
Turak E. 2004. Coral Biodiversity and Reef Status: Derawan REA 2003. The Nature Conservancy Report.
Turak, E and L. DeVantier. 2006. Biodiversity and Conservation priorities of reef-building corals in The Papuan
Birds Head Seascape. Report to Conservation International.
Turak, E and L. DeVantier. 2008. Biodiversity and Conservation priorities of reef-building corals in North
Halmahera Morotai. Report to Conservation International.
Turak, E and L. DeVantier. 2012. Biodiversity and Conservation priorities of reef-building corals in Anambas
Islands. Report to Conservation International.
Tubalawony, 2000. Karakteristik Fisik-Kimia dan Klorofil-a Laut Timor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-
Pulau Kecil.
UNEP. 2005. Sulu-Celebes (Sulawesi) Sea, GIWA Regional Assessment 56. University of Kalmar, Kalmar, Sweden.
www.giwa.net/publications/r56.phtml.
Uneputty, P. dan SM. Evans. 1997. The Impact of Plastic Debris on the Biota of Tidal Flats in Ambon Bay
(Eastern Indonesia). Marine Environmental Research 44(3): 233-242.
Van der Meij, SET. RG. Moolenbeek, BW. Hoeksema. 2009. Decline of the Jakarta Bay Molluscan Fauna Linked to
Human Impact. Marine Pollution Bulletin 59: 101107.
Veron, JEN. 2001. Interpretation of the biogeographic classification. Report to the Nature Conservancy.
Verstappen, HTH. 2010. Indonesian Landforms and Plate Tectonics. Jurnal Geologi Indonesia 5 (3): 197-207.
Wagey, T., A. Suparman, WS. Pranowo, ARTD. Kuswardhani, AA Hutahaean, B. Hendrajana, G. Kusumah, E.
Mustikasari, H. Priatno, H. Triwibowo, RN. Afiati, RA. Adi, S. Novita. 2004. Kajian Daya Dukung Lahan
Laut di Perairan Teluk Bone. Laporan Teknis. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati,
Badan Riset Kementerian dan Kelautan.
Wagey, T. and Z. Arifin (Eds). 2008. Marine Biodiersity Review of the Arafura and Timor Seas. Published by the
Ministry of Marine Affair and Fisheries and Indonesian Institute of Sciences. UNDL and CoML.
Wallace, CC., C. Richard, Suharsono. 2001. Regional distribtuion pattern of acropora and their use in the
conservation of coral reef in indonesia. J. Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB. 4 (1): 40-58.
Watson, JEM., LN. Joseph, AWT. Watson. 2009. A Rapid Assessment of the Impacts of The Montara Oil Leak on
Birds, Cetaceans and Marine Reptiles. Report Commissioned by the Department of the Environment,
Water, Heritage and theArts (DEWHA). Final version completed October 23rd.
Wheeler, MC. and JL. McBride. 2005. Australian-Indonesian Monsoon. Intraseasonal Variability in the
Atmosphere-Ocean Climate System. W.K.M. Lau & D.E. Waliser (eds.) Praxis. Springer Berlin Heidelberg.
hal 126-173.

deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 191



White, WT., M. Fahmi, M. Adrim, K. Sumadhiharga. 2004. A juvenile megamouth shark Megachasma pelagios
(Lamniformes, Megachasmidae) from Northern Sumatera, Indonesia. Raffles Bulletin of Zoolology,
52(2): 603607.
Wibowo, A. and Supriatna. 2011. Kerentanan Lingkungan Pantai Kota Pesisir di Indonesia.
Winkel, L., M. Berg, C. Stengel, T. Rosenberg. 2008. Hydrogeological Survey Assessing Arsenic and Other
Groundwater Contaminants in the Lowlands of Sumatra, Indonesia. Applied Geochemistry 23, 3019
3028.
Wirasantosa, S., B. Sulistiyo, Triyono (Eds). 2010. Eksplorasi Sangihe-Talaud: Index SATAL 2010. Kerjasama
Penelitian Laut Dalam Indonesia-Amerika Serikat. Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Wiryawan, B., M. Khazali, M. Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur.
Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau Mitra
Pesisir/CRMP II USAID, WWF dan TNC. Jakarta.
Wouthuyzen, S., TE. Kuriandewa, SP. Ginting, A. Fadlal. 2008. Riset untuk penyusunan rencana pengelolaan
sumberdaya lamun dan ekosistem terkait di wilayah pesisir Bintan Timur, Riau Kepulauan. Anggaran
Riset Kompetitif LIPI.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA REPORT 2.
Xue, H., F. Chai, N. Pettigrew, D. Xu, M. Shi, and J. Xu. 2004. Kuroshio intrusion and the circulation in the South
China Sea, J. Geophys. Res., 109, C02017, doi:10.1029/2002JC001724.
Zamani, NP. And HH. Madduppa. 2011. A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication
for Management and Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2): 137-146.

192 |daftar pustaka


BUKU II

D es k r i p s i
P e t a
E k o r e g i o n
L a u t
I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut

k e r jas am a :

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP


INDONESIA
KEMENTERIAN ENERGI DAN
SUMBERDAYA MINERAL

Anda mungkin juga menyukai