Anda di halaman 1dari 101

TUGAS KEPERAWATAN TRAUMA

TRAUMA ANGGOTA GERAK

Disusun Oleh Kelompok 5:

1. Intang Sulistiani Zen


2. Ahmad Saparwadi
3. Diah Fitriani
4. Harumi Rayi Pangestika
5. Hayyan Ardiman
6. M. Irfan Anshory
7. Ria Tri Oktaviani
8. Tran Utami Rizky
9. Yuni Setiawati
10. Nindya Atika Putri

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan
rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Trauma
Anggota Gerak. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah
Keperawatan Trauma. Karena makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa
bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Agus Supinganto, Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.
2. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan STIKES
YARSI Mataram.
3. Bq. Rully Fatmawati, Ners., selaku dosen pembimbing akademik.
4. Aluh Eka Novianti S. Kep., Ners., selaku dosen Mata Kuliah Keperawatan Trauma.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa yang
jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang penulis
miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar pembuatan
makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, November 2016

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh
salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Di Indonesia kematian akibat
kecelakaan lalu lintas lebih kurang 12 ribu per tahun.Banyak dari korban trauma
tersebut mengalami cedera musculoskeletal berupa fraktur, dislokasi, dan cedera
jaringan lunak. Cedera system musculoskeletal cenderung meningkat dan terus
meningkat dan akan mengancam kehidupan kita. (Rasjad C,2003)
Menurut National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip dari
data kepolisian RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban
sekitar 16.000 jiwa dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di
Indonesia.
Trauma yang tidak diperkirakan, atau bunuh diri maupun akibat pembunuhan
merupakan penyebab kematian yang terbanyak antara umur 1 sampai 44 tahun
dan merupakan urutan ketiga dari angka kematian di Amerika bahkan urutan
nomor satu di Asia. Menurut penelitian pada tahun 1995 diperkirakan 150.000
kematian sebagai akibat dari trauma dengan 2,6 juta penderita harus dirawat di
rumah sakit dari 37 juta orang yang datang berobat ke Bagian Gawat Darurat
yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Amerika, tapi di Asia
merupakan penyebab kematian pada trauma karena jatuh dari pohon. Pada umur
kurang dari 5 tahun yang datang ke bagian gawat darurat akibat kecelakaan jatuh
dari ketinggian; 95% tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, lain halnya
pada anak diatas 5 tahun umumnya akibat kecelakaan bermain, umur dewasa
akibat jatuh dari pekerjaan, tapi umur tua (di atas 65 tahun) kecelakaan akibat
trauma dan didominasi oleh kecelakaan naik sepeda motor sebagai penyebab
kematian serta merupakan urutan kedua kecelakaan nonfatal. Faktor utama
adalah kecepatan kendaraan, pengendara peminum alkohol atau karena
intoksikasi obat.
Kecelakaan jatuh dari ketinggian akibat memperbaiki atap rumah merupakan
faktor utama kecelakaan nonfatal jatuh merupakan penyebab utama kematian.
Kecelakan nonfatal pada orang ini umumya terjadi fraktur pada sendi panggul
dan radius distal. Fraktur sendi panggul akan menurunkan kualitas hidup
penderita tersebut. Anda harus memikirkan faktor penderita seperti kelemahan
otot, penglihatan kabur (gangguan visus), status mental dan lingkungan seperti
penerangan kurang, lantai yang licin akan meningkatkan angka kejadian fraktur
tersebut.
Perlu Anda diketahui bahwa trauma pada sistem muskuloskeletal dapat
terjadi pada tulang seperti fraktur, pada sendi sehingga menimbulkan subluksasi-
dislokasi, fraktur-dislokasi, fraktur intra-artikular dan instabilitas sendi, pada
jaringan lunak otot, tendo, ligamen, meniskus dan pada neurovaskuler.

Rumusan Masalah

Bagaimanakah Konsep Dasar Trauma Anggota Gerak (Muskuloskletal)

Tujuan Umum dan Khusus


Tujuan umum penyusunan ini adalah :
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan laporan ini adalah penulis dapat mempelajari anatomi dan fisiologi
muskuloskletal, konsep dasar trauma anggota gerak (muskuloskletal) seperti fraktur,
dislokasi, sprain dan strain, manajemen trauma dan asuhan keperawatan pada
trauma anggota gerak.
Tujuan Khusus
Pada tujuan khusus ini penulis mampu :
1. Menjelaskan Tentang Konsep Anatomi Dan Fisiologi Sistem Muskuloskletal.
2. Menjelaskan Tentang Konsep Dasar Sprain.
3. Menjelaskan Tentang Konsep Dasar Strain.
4. Menjelaskan Tentang Konsep Dasar Dislokasi.
5. Menjelaskan Tentang Konsep Dasar Fraktur.
6. Menjelaskan Tentang Konsep Manajemen Trauma
7. Menjelaskan Tentang Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Trauma Anggota
Gerak (Muskuloskletal)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM MUSKULOSKLETAL

Muskuloskeletal terdiri atas :

1. Muskuler/Otot : Otot, tendon,dan ligament


2. Skeletal/Rangka : Tulang dan sendi

A. Muskuler/Otot

Otot yaitu musculus, berasal dari kata latin, yang artinya little mouse. Otot
adalah alatgerak aktif karena otot dapat menggerakkan bagian bagian tubuh yang
lain. Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk berkontraksi.Terdapat
lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Sebagian besar otot-otot tersebut
dilekatkan pada tulang-tulang kerangka tubuh oleh tendon, dan sebagiankecil ada
yang melekat di bawah permukaan kulit.

1. Sarkolema
Sarkolema adalah membran yang melapisi suatu sel otot yang fungsinya
sebagai pelindungotot.
2. Sarkoplasma
Sarkoplasma adalah cairan sel otot yang fungsinya untuk tempat dimana
miofibril danmiofilamen berada.
3. Miofibril
Miofibril merupakan serat-serat pada otot.
4. Miofilamen
Miofilamen adalah benang-benang/filamen halus yang berasal dari myofibril,
terbagi atas 2 macam, yakni :
a) Miofilamen homogen (terdapat pada otot polos).
b) Miofilamen heterogen (terdapat pada otot jantung/otot cardiak dan
pada otot rangka/ototlurik)
a. Fungsi sistem muskuler/otot:
1. Pergerakan
Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebutmelekat dan
bergerak dalam bagian organ internal tubuh.
2. Penopang tubuh dan mempertahankan postur.
Otot menopang rangka danmempertahankan tubuh saat berada dalam
posisi berdiri atau saat duduk terhadap gaya gravitasi.
3. Produksi panas.
Kontraksi otot-otot secara metabolis menghasilkan panasuntuk
mepertahankan suhu tubuh normal.
b. Ciri-ciri sistem muskuler/otot:
1. Kontrakstilitas.
Serabut otot berkontraksi dan menegang, yang dapat atau tidak melibatkan
pemendekan otot.
2. Eksitabilitas.
Serabut otot akan merespons dengan kuat jika distimulasi oleh impuls
saraf.
3. Ekstensibilitas.
Serabut otot memiliki kemampuan untuk menegang melebihipanjang otot
saat rileks.
4. Elastisitas
Serabut otot dapat kembali ke ukuran semula setelah berkontraksiatau
meregang.

c. Jenis-jenis Otot
1. Otot rangka,

Merupakan otot lurik, volunter, dan melekat pada rangka. Serabut otot sangat
panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris denganlebar berkisar antara 10 mikron
sampai 100 mikron. Setiap serabut memiliki banyak inti yang tersusun di bagian
perifer. Kontraksinya sangat cepat dan kuat.

a. Struktur Mikroskopis Otot Skelet/Rangka:


Otot skelet disusun oleh bundel-bundel paralel yang terdiri dari serabut-serabut
berbentuk silinder yang panjang, disebut myofiber /serabut otot. Setiap serabut otot
sesungguhnya adalah sebuah sel yang mempunyaibanyak nukleus ditepinya.
Cytoplasma dari sel otot disebut sarcoplasma yang penuh denganbermacam-macam
organella, kebanyakan berbentuk silinder yang panjangdisebut dengan myofibril.
Myofibril disusun oleh myofilament-myofilament yang berbeda-bedaukurannya :
yang kasar terdiri dari protein myosin, yang halus terdiri dari protein aktin/actin.
Otot rangka merupakan jenis otot yang melekat pada seluruh rangka, cara
kerjanya disadari /sesuai kehendak ( voluntary ), bentuknya memanjang
dengan banyak lurik-lurik,memiliki nukleus banyak yang terletak di tepi sel. Otot
lurik terdiri dari sel sel serabutotot yang dilindungi membran yang dapat dirangsang
listrik yang disebut sarkolemma.Sel serabut otot terdiri dari miofibril ( terdapat dalam
cairan intraselular/ Sarkoplasma).

2. Otot Polos

Merupakan otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini dapatditemukan pada
dinding berongga seperti kandung kemih dan uterus, sertapada dinding tuba, seperti
pada sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi,urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
Serabut otot berbentuk spindel dengan nukleus sentral. Serabut ini berukuran kecil,
berkisar antara 20 mikron (melapisi pembuluh darah) sampai 0,5 mm pada uterus
wanita hamil. Kontraksinya kuat dan lamban.S arcoplasmanya terdiri dari myofibril
yang disusun oleh myofilamen-myofilamen. Otot polos adalah salah satu otot yang
mempunyai bentuk yang polos dan bergelondong.Cara kerjanya tidak disadari (tidak
sesuai kehendak) / involuntary, memiliki satu nukleusyang terletak di tengah sel. Otot
ini biasanya terdapat pada saluran pencernaanseperti : lambung dan usus.
3. Otot Jantung

Merupakan otot lurik, Disebut juga otot seran lintang involunter. Bekerja terus-
menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung jugamempunyai masa istirahat, yaitu
setiap kali berdenyut. Otot jantung hanya terdapat pada jantung. Otot ini
merupakan otot paling istimewa karena memiliki bentuk yang hampir sama dengan
otot lurik, yakni mempunyai lurik-lurik tapi bedanya dengan otot lurik yaitu bahwa otot
lirik memiliki satu atau dua nucleus yang terletak di tengah/tepi sel. Dan otot jantung
adalah satu-satunya otot yang memiliki percabangan yang disebut duskus interkalaris.
Otot ini juga memiliki kesamaan denganotot polos dalam hal cara kerjanya yakni
involuntary (tidak disadari).

B. Tendon

Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang terbuat
dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang dengan otot atau
otot dengan otot.
C. Ligamen

Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan jaringan


elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus tulang dengan
tulang yang diikat oleh sendi.
Beberapa tipe ligamen :
1. Ligamen Tipis
Ligamen pembungkus tulang dan kartilago. Merupakan ligament
kolateralyang ada di siku dan lutut. Ligamen ini memungkinkan
terjadinya pergerakan.
2. Ligamen jaringan elastik kuning.
Merupakan ligamen yang dipererat oleh jaringan yang membungkus
danmemperkuat sendi, seperti pada tulang bahu dengan tulang lengan
atas.
D. Anatomi Tulang
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus
pergerakan. Komponen utama sistem meskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sitem ini
terdiri atas tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, dan jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini.
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam :
1. Tulang panjang : misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus.
Didaerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena
daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung
pembuluh darah.
2. Tulang pendek : misalnya tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih : misalnya tulang parietal, iga, skapula dan pelvis.
4. Tulang tak beraturan : misalnya tulang vertebra.
5. Tulang sesamoid : misalnya tulang patella
6. Tulang sutura : ada di atap tengkorak.
Histologi tulang :
1. Tulang imatur : terbentuknya pada perkembangan embrional dan tidak
terlihat lagi pada usia 1 tahun. Tulang imatur mengandung jaringan
kolagen.
2. Tulang matur : ada dua jenis, yaitu tulang kortikal (compact bone) dan
tulang trabekular (spongiosa).
Secara histologi, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam
jumlah sel, dan jaringan kolagen.

Fisiologi Sel Tulang :


Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel :
osteoblas, osteosit, osteoklas.
1. Osteoblas, membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan
proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu
proses yang disebut osifikasi.
2. Osteosit, sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
3. Osteoklas, sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit,
osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang
memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang
sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran darah.
Dalam keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan absorpsi
pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-
kanak yang lebih banyak terjadi pembentukan dari pada absorpsi tulang.
Proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan ini membuat tulang
dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan mencegah terjadi
patah tulang.
Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk menanggung kekuatan mekanis
yang semakin meningkat. Perubahan membantu mempertahankan kekuatan
tulang pada proses penuaan. Matriks organi yang sudah tua berdegenerasi
sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan
tulang yang baru memerlukan matriks organik baru sehingga memberi
tambahan kekuatan pada tulang.
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Peningkatan kadar
hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral
tulang,yang menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak
memasuki serum. Peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan
meneyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteklas sehingga terjadi
demineralisasi. Metabaolisme kalsium dan fosfat sangat berkaitan erat.
Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh
fosfat tubuh.
Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D
dalam jumlah besar dapat menyebabkan absropsi tulang seperti yang terlihat
pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D,hormon
paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah
yang sedikit membantu klasifikasi tulang,antara lain dengan meningkatkan
absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.

E. Anatomi Sendi
Sendi adalah tempat pertemuan dua tulang atau lebih. Tulang-tulang ini
dipadukan dengan berbagai cara,misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen,
tendon, fasia, atau otot. Ada 3 tipe sendi sebagai berikut :
1. Sendi fibrosa (sinartrodial),merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa
tidak memiliki lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya
dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa.
2. Sendi kartilaginosa (amfiartrodia), merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak.
Sendi kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh tulang
rawan hialin, disokong oleh ligamen, dan hanya dapat sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas.
Sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam
yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak, serta sinovium
yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi dan membungkus
tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat
kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening , tidak
membeku, dan tidak berwarna, jumlah yang ditimbulkan dalam tiap-tiap sendi relatif
kecil (1-3ml).
Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe,atau
persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang
membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen dan pembentukan
proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau ketika usia bertambah.beberapa kolagen
baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe satu yang lebih fibrosa.
Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan ini
berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila
diberi beban berat.
Aliran darah kesendi banyak yang menuju sinovium. Pembuluh darah mulai
masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat
tebal dibagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini
memungkinkan bahan-bahan didalam plasma berdifusi dengan mudah kedalam ruang
sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol disinovium karena didaerah tersebut
banyak mendapat aliran darah dan juga terdapat banyak sel mast dan sel lain serta zat
kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respon
peradangan.
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah yang berdekatan terutama
adalah jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua
macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak
dibuat dan tetap berada pada jaringan penyambung (seperti sel mast, sel palsma,
limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear).
Serat- serat yang terdapat pada substansi dasar adalah kolagen dan elastin.
Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Serat-serat elastin memiliki sifat
elastis, serat ini terdapat dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit.
Elastin dipecahkan oleh enzim yang disebut elastase.

II. KONSEP DASAR SPRAIN


Pengertian.
1. Sprain adalah cedera pada sendi, dengan terjadinya robekan pada ligamentum.
2. Sprain adalah cedera struktur ligament di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit
serta memutar.
3. Sprain trauma pada sendi biasanya berkaitan dengan cedera ligament.
Etiologi
1. Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan
jaringan. Misalnya pada umur tiga puluh sampai empat puluh tahun kekuatan otot
akan relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia tiga
puluh tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan
Sprain dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut
mengalami sprain.
3. Pukulan
Sprain knee dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan
menyebabkan sprain.
4. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi sprain karena kurangnya pemanasan.

Manifestasi Klinis
1. Merasakan nyeri pada lutut
2. Adanya bengkak / oedem
3. Mengalami keterbatasan gerak
4. Adanya spasme otot.
5. Kulit tampak kemerahan.
Derajat Sprain
1. Sprain Tingkat I (Gambar A)
Pada cedera ini terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa
serabut yang putus. Cedera menimbulkan rasa nyeri tekan, pembengkatan dan rasa
sakit pada daerah tersebut.
2. Sprain Tingkat II (Gambar B)
Pada cedera ini lebih banyak serabut dari ligamentum yang putus, tetapi lebih
separuh serabut ligamentum yang utuh. Cedera menimbulkan rasa sakit, nyeri
tekan, pembengkakan, efusi, (cairan yang keluar) dan biasanya tidak dapat
menggerakkan persendian tersebut.
3. Sprain Tingkat III (Gambar C)
Pada cedera ini seluruh ligamentum putus, sehinnga kedua ujungya terpisah.
Persendian yang bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam
persendian, pembekakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan
gerakan yang abnormal.
4. Sprain Tingkat IV (Gambar D)
Robekan yang parah pada ligamen. Biasanyua ligamennya putus sehingga tulang-
tulang yang dihubungkan olah ligamen akan terpisah.

Patofisiologi
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang
disebut dengan sprain yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami
kerusakan serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total ligamen akan
mengalami robek dan ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya.
Hal tersebut akan membuat pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema ; sendi
mengalami nyeri dan gerakan sendi terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri
terus meningkat selama 2 sampai 3 jam setelah cedera akibat membengkaan dan
pendarahan yang terjadi maka menimbulkan masalah yang disebut dengan sprain.

Komplikasi
1. Plica Syndrome
Sindrom plica disebabkan oleh adanya penebalan pada lapisan persediaan lutut.
Biasanya terjadi pada bagian dalam tepat pada perbatasan patella bagian
atas.Lapisan-lapisan persendian tersebut tersebut tersusun dari jaringan yang
dinamakan synovium. Jaringan synovium ini memproduksi cairan pelumas yang
disebut cairan synovial. Jika terjadi penebalan pada lapisan ini lapisan akan
menggesek pada bagian-bagian lutut lainnya, khususnya bagian dalam femural
condyle (ujung bagian bawah dari tulang paha) sehingga menimbulkan rasa sakit dan
iritasi.
2. Compartment Syndrome
Para atlet pada umumnya sering mengalami permasalahan (gangguan rasa nyeri atau
sakit) yang terjadi pada kaki bawah (meliputi daerah antara lutut dan pergelangan
kaki). Terkadang rasa sakit/nyeri tersebut terjadi karena adanya suatu sindrom
kompartemen. Diagnosa terhadap sindrom tersebut dilakukan dengan cara perkiraan,
karena pola karakteristik (gejala) dan rasa sakit tersebut dan ukuran tekanan
kompartemennya. Diantara beberapa penyakit yang menyertai sindrom ini dapat
diatasi dengan pembedahan (operasi).
3. Shin Splints
Istilah shin splints kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan adanya rasa
sakit (cedera pada kaki bagian bawah yang seringkali terjadi akibat melakukan
berbagai aktivitas olahraga, termasuk olahraga lari. Shin splints tersebut dibedakan
menjadi dua jenis menurut lokasi rasa sakitnya. Anterior Shin Splints, yaitu rasa sakit
yang terjadi pada bagian depan (anterior) dari tibia. Dan yang kedua adalah Posterior
Shin Splints, rasa sakit tersebut terasa pada bagian dalam (medial) kaki pada tulang
tibia. Shin splints disebabkan oleh adanya robekan sangat kecil pada otot-otot kaki
bagian bawah yang berhubungan erat dengan tibia. Pertama-tama akan mengalami
rasa sakit yang menarik-narik setelah melakukan lari. Apabila keadaan ini dibiarkan
dan terjadi terus, maka akan semakin parah, bahkan dapat juga terasa sakit meskipun
pada saat kita berjalan kaki. Rasa sakit tersebut biasanya terasa seperti adanya satu /
beberapa benjolan kecil pada sepanjang sisi tulang tibia.

Pemeriksaan Diagnostic
1. Foto Rontgen

Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur. Selain itu, dapat pula dilihat
kondisi fraktur, seperti adanya tulang yang tumpang-tindih, retak, dan sebagainya.
2. X-Ray

Prosedur ini penting untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan musculoskeletal.


Berikut beberapa jenis X Ray :
a. X-Ray tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang.
b. X-Ray multiple diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang
diperiksa
c. X-Ray korteks tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas.
d. X-Ray sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas, spur,
penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
3. CT-Scan
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan
tumor jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon. Digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi
dengan cara menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
4. Artrografi
Penyuntikan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat
struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam kisaran
pergerakannya sementara itu diambil gambar sinar-X serial. Artrogram sangat
berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau
ligament penyangga lutut, bahu, tumit, panggul, dan pergelangan tangan.

Penatalaksanaan Medis
a. Penanganannya dapat dilakukan dengan RICE :

R Rest : diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk mencegah


kerusakan jaringan lebih lanjut.
I Ice : terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa nyeri.
C Compression : membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan
jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
E Elevasi : peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema
(pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin :
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1. Kompres dingin
Teknik : potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air lalu
kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh tiga puluh
menit dengan interval kira-kira sepuluh menit.
2. Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus dengan
lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh
menit.
3. Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air
dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh dua puluh menit.
4. Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke bagian
tubuh yang cedera.
c. Pembedahan
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
d. Latihan ROM : Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat danperdarahan,
latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringanyang sakit.

Pencegahan
1. saat melakukan aktivitas olahraga memakai peralatan yang sesuai seperti sepatu
yang sesuai, misalnya sepatu yang bisa melindungi pergelangan kaki selama
aktivitas.
2. Selalu melakukan pemanasan atau stretching sebelum melakukan aktivitas atletik,
serta latihan yang tidak berlebihan.
3. Cedera olahraga terutama dapat dicegah dengan pemanasan dan pemakaian
perlengkapan olahraga yang sesuai.
II. KONSEP DASAR STRAIN

Pengertian
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung
(overloading). Pada cidera strain rasa sakit adalah nyeri yang menusuk pada saat terjadi
cedera, terlebih jika otot berkontraks).
Strain adaalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan, atau
stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan
perdarahan ke dalam jaringan. Pasien mengalami rasa sakit dan nyeri mendadak dengan
nyeri tekan local pada pemakaian otot dan kontraksi isometric. (Brunner & suddarth,
2001).
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strain adalah
kerusakan pada jaringan otot yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung
akibat dari peregangangan atau penggunaan yang berlebihan.
Cedera strain terbagi menjadi derajat satu, dua dan tiga.
1. Strain derajat pertama, peregangan ringan dari otot/tendon menghasilkan
ketegangan pada saat dipalpitasi, memungkinkan ketegangan otot, tetapi tidak
mengalami kehilangan rentang gerak sendi ( ROM), edema, atau ekimosis.
Penangannannya adalah mengukur kenyamanan dengan tindakan pengompresan
dingin secara intermitten pada 24 jam pertama, kemudian pengompresan hangat,
relaksan otot, analgesic ringan dan obat anti imflamasi.
2. Strain derajat kedua, peregangan sedang atau sobekan pada otot atau tendon yang
mengasilkan spasme otot yang berat, nyeripada gerakan yang pasif, dan edema
segera setelah luka, diikuti dengan ekimosis. Penangannannya sama dengan strain
derajat pertama, kecuali pada penggunaan es digunakan secara intermediet selama
lebih dari 48 jam, setelah kompres hangat dilakukan. Mobilitas dibatasi selama 4-6
minggu, kemudian diikuti latihan yang bertahap. Tindakan pembedahan diperlukan
pada kasus berat.
3. Strain derajat ketiga, peregangan berat dan penggerusan komplit dari tendon/ otot
yang menyebabkan spasme otot, ketegangan, edema, dan kehilangan pergerakan.
Penanganannya sama dengan derajat kedua.
Strain ringan ditandai dengan kontraksi otot terhambat karena nyeri dan teraba
pada bagian otot yang mengaku. Strain total didiagnosa sebagai otot tidak bisa
berkontraksi dan terbentuk benjolan. Cidera strain membuat daerah sekitar cedera
memar dan membengkak. Setelah 24 jam, pada bagian memar terjadi perubahan
warna, ada tanda-tanda perdarahan pada otot yang sobek, dan otot mengalami
kekejangan.

Etiologi
Sebagai penyebabnya adalah persendian tulang dipaksa melakukan suatu gerak yang
melebihi jelajah sendi atau range of movement normalnya. Trauma langsung ke persendian
tulang, yang menyebabkan persendian bergeser ke posisi persendian yang tidak dapat
bergerak.

Manifestasi Klinis
1. Memar.
2. Bengkak di sekitar persendian tulang yang terkena cedera, termasuk perubahan
warna kulit.
3. Terjadi haemarthrosis atau perdarahan sendi.
4. Nyeri pada persendian tulang.
5. Nyeri bila anggota badan digerakkan atau diberi beban.
6. Fungsi persendian terganggu.
7. Terjadi kekakuan sendi, ketidakstabilan persendian tergantung jenis cederanya.
Penatalaksanaan
Terapi yang harus dilakukan adalah rest atau istirahat, ice atau mendinginkan
area cedera, compression atau balut bagian yang cedera, elevasi atau meninggikan, dan
membebaskan dari beban. Jika nyeri dan bengkak berkurang 48 jam setelah cedera,
gerakkan persendian tulang ke seluruh arah. Hindari tekanan pada daerah cedera
sampai nyeri hilang (biasanya 7 sampai 10 hari untuk cedera ringan dan 3 sampai 5
minggu untuk cedera berat). Jika dibutuhkan, gunakan tongkat penopang ketika
berjalan.
Es mengurangi nyeri dan pembengkakan melalui beberapa cara. Daerah yang
mengalami cedera mengalami pembengkakan karena cairan merembes dari dalam
pembuluh darah. Dengan menyebabkan mengkerutnya pembuluh darah, maka dingin
akan mengurangi kecenderungan merembesnya cairan sehingga mengurangi jumlah
cairan dan pembengkakan di daerah yang terkena. Menurunkan suhu kulit di sekitar
daerah yang terkena bisa mengurangi nyeri dan kejang otot. Dingin juga akan
mengurangi kerusakan jaringan karena proses seluler yang lambat.
Pengompresan dengan es batu terlalu lama bisa merusak jaringan. Jika suhu
sangat rendah (sampai sekitar 15 derajat Celsius), kulit akan memberikan reaksi
sebaliknya, yaitu menyebabkan melebarkan pembuluh darah. Kulit tampak merah,
teraba hangat dan gatal, juga bisa terluka. Efek tersebut biasanya terjadi dalam waktu
9-16 menit setelah dilakukan pengompresan dan akan berkurang dalam waktu sekitar
4-8 menit setelah es diangkat.
Apabila terjadi cedera otot, sering kali ditemukan kasus-kasus ini ditangani
dengan pengurutan. Padahal, tidak selalu harus demikian. Orang yang mengalami
cedera, bisa saja ada pembuluh darah pada jaringan otot yang robek sehingga timbul
perdarahan. Sebaiknya, dalam kasus ini bagian yang cedera jangan diurut atau diberi
param karena cedera justru akan semakin parah.
Pengurutan hanya akan menimbulkan inflamasi yang pada akhirnya malah
menjadi bengkak karena pembuluh darah yang robek makin melebar dan biasanya
menjadi lama sembuhnya. Padahal, jika dikompres dengan es, pembuluh darah yang
pecah pun tidak semakin pecah, justru bisa makin kuat karena terjadi pembekuan. Bila
cedera otot ini sudah cukup berat maka tindakan dokter adalah memberikan gips,
karena biasanya cedera sudah mengarah pada keretakan tulang dan sendi.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi:
1. CT scan
2. MRI
3. Artroskopi
4. Elektromiografi
5. Pemeriksaan dengan bantuan komputer lainnya untuk menilai fungsi otot dan sendi.

Pencegahan
Sebagai upaya pencegahan, saat melakukan aktivitas olahraga memakai sepatu
yang sesuai, misalnya sepatu yang bisa melindungi pergelangan kaki selama aktivitas.
Selalu melakukan pemanasan atau stretching sebelum melakukan aktivitas atletik, serta
latihan yang tidak berlebihan. Cedera dapat terjadi pada setiap orang yang melakukan
olahraga dengan jenis yang paling sering adalah strain dan sprain dengan derajat dari
yang ringan sampai berat. Cedera olahraga terutama dapat dicegah dengan pemanasan
dan pemakaian perlengkapan olahraga yang sesuai.
III. KONSEP DASAR DISLOKASI
Pengertian
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulangnya saja yang bergeser
atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari
mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali
sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya
seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka
mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain:
sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Beberapa pengertian dislokasi :
1. Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan,secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner & Suddarth)
2. Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu
kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.(Arif Mansyur, dkk. 2000)
3. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dis lokasi.( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal
1138)
4. Berpindahnya ujung tulang patah, karena tonus otot, kontraksi cedera dan
tarikan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi sering di temukan pada orang dewasas dan jarang di temukan pada anak
anak, biasanya klien jatuh dengan ekerasa dalam keadaan tangan out streched .
bagian distal humerus terdorong ke depan melalui kapsul anterior .misalkan oada
radius dan ulna mengalami dislokasi pada posterior oleh karna itu brakhialis yang
mengalmi robekan pada proseus karanoid.
5. Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner&Suddarth)
6. Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif
Mansyur, dkk. 2000)

Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang
c. Dislokasi traumatic.
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat,
kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi
karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system
vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
a. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi
b. Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang
berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya
terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering
dikaitkan dengan patah tulang atau fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya
ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan
tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya :
a. Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
- Menguap atau terlalu lebar.
- Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak
dapat menutup mulutnya kembali.
-
b. Dislokasi Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial
glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid
(dislokasi inferior).

c. Dislokasi Sendi Siku


Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yang dapat
menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah
bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
d. Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi
tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah
telapak tangan atau punggung tangan.

e. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal dan Interphalangeal


Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperekstensi-ekstensi persendian.
f. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas
acetabulum (dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan
caput femur menembus acetabulum (dislokasi sentra).
g. Dislokasi Patella
- Paling sering terjadi ke arah lateral.
- Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella
sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
- Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
- Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan
oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.

Etiologi
Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang
berpindah dari posisinya yang normnal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh
faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir
(kongenital).
Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan
oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan. Dan biasanya disebabkan oleh :
a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
b. Trauma akibat kecelakaan
c. Trauma akibat pembedahan ortopedi
d. Terjadi infeksi di sekitar sendi
e. Cedera olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki,
serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam,
volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi
pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.
Patofisiologi
Cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal seperti tidak melakukan exercise
sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi, dimana cedera olahraga
menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat
merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan selanjutnya terjadinya kompresi jaringan
tulang yang terdorong ke depan sehingga merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid
teravulsi akibatnya tulang berpindah dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan
sebagai dislokasi.
Begitu pula dengan trauma kecelakaan karena kurang kehati-hatian dalam melakukan
suatu tindakan atau saat berkendara tidak menggunakan helm dan sabuk pengaman
memungkinkan terjadi dislokasi. Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan selanjutnya
terjadinya kompres jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga merobek
kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya tulang berpindah dari posisi normal
yang menyebabkan dislokasi.

Manifestasi Klinis
Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan
segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau
pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.
a. Nyeri
b. perubahan kontur sendi
c. perubahan panjang ekstremitas
d. kehilangan mobilitas normal
e. perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f. deformitas
g. kekakuan

Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya perubahan kontur sendi pada ekstremitas yang mengalami dislokasi
b. Tampak perubahan panjang ekstremitas pada daerah yang mengalami dislokasi
c. Adanya nyeri tekan pada daerah dislokasi
d. Tampak adanya lebam pad dislokasi sendi

Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap dapat dilihat adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan
leukosit.
2. Pemeriksaan radiologi
a. foto X-ray
Untuk menentukan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur
b. foto rontgen
Menentukan luasnya degenerasi dan mengesampingkan malignasi
c. Pemeriksaan radiologi
Tampak tulang lepas dari sendi
Diagnosis atau Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa :
a. Ada trauma
b. Mekanisme trauma yang sesuai, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada
dislokasi anterior sendi bahu
c. Ada rasa sendi keluar

Penatalaksanaan
Dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang memerlukan pertolongan pada
tempat kejadian. Dislokasi dapat direposisi tanpa anastesi, misalnya pada sendi bahu atau
siku. Reposisi dapat diadakan dengan gerakan atau perasat yang barlawanan dengan gaya
trauma dan kontraksi atau tonus otot. Reposisi tidak boleh dilakukan dengan kekuatan,
sebab mungkin sekali mengakibatkan patah tulang. Untuk mengendurkan kontraksi dan
spasme otot perlu diberikan anastesi setempat atau umum. Kekenduran otot memudahkan
reposisi.
a. Lakukan reposisi segera.
Dengan manipulasi secara hati-hati permukaan sendi diluruskan kembali.
Tindakan ini sering dilakukan anestesi umum untuk melemaskan otot-ototnya.
b. Dislokasi sendi :
Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anestesi. Misalnya
dislokasi jari ( pada fase shock ), dislokasi siku, dislokasi bahu.
c. Dislokasi sendi besar. Misalnya panggul memerlukan anestesi umum
Fisioterapi harus segera mulai untuk mempertahankan fungsi otot dan latihan yang
aktif dapat diawali secara dini untuk mendorong gerakan sendi yang penuh,
khususnya pada sendi bahu.
d. Tindakan pembedahan harus dilakukan bila terdapat tanda-tanda gangguan
neumuskular yang berat atau jika tetap ada gangguan vaskuler setelah reposisi
tertutup berhasil dilakukan secara lembut. Pembedahan terbuka mungkin
diperlukan, khususnya kalau jaringan lunak terjepit diantara permukaan sendi.
e. Persendian tersebut disangga dengan pembedahan, dengan pemasangan gips,
misalnya pada sendi panngkal paha, untuk memberikan kesembuhan pada
ligamentum yang teregang.
f. Dislokasi reduksi: dikembalikan ke tempat semula dengan menggunakan anastesi
jika dislokasi berat.
g. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga
sendi.
h. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga
agar tetap dalam posisi stabil.
i. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4x
sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.
j. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.
Medis :
a. Farmakologi (ISO Indonesia 2011-2012)
1) Pemberian obat-obatan : analgesik non narkotik
a) Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot, sendi, sakit kepala, nyeri
pinggang. Efek samping dari obat ini adalah agranulositosis. Dosis: sesudah
makan, dewasa: sehari 31 kapsul, anak: sehari 31/2 kapsul.
b) Bimastan yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri ringan atau sedang,
kondisi akut atau kronik termasuk nyeri persendian, nyeri otot, nyeri setelah
melahirkan. Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah, agranulositosis,
aeukopenia. Dosis: dewasa; dosis awal 500mg lalu 250mg tiap 6 jam.
b. Pembedahan
1) Operasi ortopedi
Operasi ortopedi merupakan spesialisasi medis yang mengkhususkan pada
pengendalian medis dan bedah para pasien yang memiliki kondisi-kondisi arthritis
yang mempengaruhi persendian utama, pinggul, lutut dan bahu melalui bedah
invasif minimal dan bedah penggantian sendi. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF
(Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan
ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan :
a. Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
b. Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plat, paku dan pin logam.
c. Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
d. Amputasi : penghilangan bagian tubuh.
e. Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop(suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)
atau melalui pembedahan sendi terbuka.
f. Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g. Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis.
h. Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler dalam
sendidengan logam atau sintetis.
1. Non medis
a. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi
jika dislokasi berat.
b. RICE
1) R : Rest (istirahat)
2) I : Ice (kompres dengan es)
3) C : Compression (kompresi/ pemasangan pembalut tekan)
4) E : Elevasi (meninggikan bagian dislokasi)

Pencegahan
1) Cedera akibat olahraga
- Gunakan peralatan yang diperlukan seperti sepatu untuk lari
- Latihan atau exercise
- Conditioning
2) Trauma kecelakaan
- Kurangi kecepatan
- Memakai alat pelindung diri seperti helm, sabuk pengaman
- Patuhi peraturan lalu lintas

Komplikasi
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan
mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
b. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
c. Fraktur disloksi
Komplikasi lanjut :
1) Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi
bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi
2) Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari
bagian depan leher glenoid
3) Kelemahan otot

Penanggulangan
a. Rahang ditekan kebawah dengan mempergunakan ibu jari yang sudah dilindungi balutan,
ibu jari tersebut diletakkan pada geraham paling belakang, tekanan tersebut harusmantap
tetapi pelan-pelan bersamaan dengan penekanan jari-jari yang lain mengangkat
dagu penderita keatas. Tindakan dikatakan berhasil bila rahang tersebut menutup dengan
cepat dankeras. Untuk beberapa saat penderita tidak boleh membuka mulut lebar.
b. Dislokasi sendi bahu, tanda-tanda korban yang mengalami Dislokasi sendi bahu
yaitu:Sendi bahu tidak dapat digerakakkan, korban mengendong tangan yang sakit
denganyang lain, korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan, kontur bahu
hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya.
c. Teknik Hennipen secara perlahan dielevasikan sehingga bongkol sendi masuk kedalam
mangkok sendi. Pasien duduk atau tidur dengan posisi 450, siku pasien ditahan oleh
tangan kanan penolong dan tangan kiri penolong melakukan rotasi arah keluar
(eksterna)sampai 900 dengan lembut dan perlahan, jika korban merasa nyeri, rotasi
eksterna sementaradihentikan sampai terjadi relaksasi otot, kemudian dilanjutkan.
Sesudah relaksasi eksterna mencapai 900 maka reposisi akan terjadi, jika reposisi tidak
terjadi, maka;Teknik Stimson pasien tidur tengkurap, kemudian tangan yang dislokasi
digantungtempat tidur diberi beban 10-15 pound selama 30 menit biasanya akan terjadi
reposisi jikatidak berhasil dapatditolong dengan pergerakan rotasi dan kemudian interna.
d. Dislokasi sendi panggul, tanda-tanda klinis terjadinya dislokasi panggul: Kaki
pendek dibandingkan dengan kaki yang tidak mengalami dislokasi kaput femur dapat
diraba pada tanggul. Setiap usaha menggerakkan pinggul akan mendatangkan rasa nyeri
IV. KONSEP DASAR FRAKTUR

Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa
patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak
robek) tanpa komplikasi.
Ada beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:
a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung dengan benda keras seperti
dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan yang tidak langsung
seperti frkatur pelpis yang disebabkan oleh lutut membentur dashboard mobil pada saat
terjadi tabrakan.
c. Twisting injury
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada pemain sepak bola dan
pemain sky, yaitu bagian distal kaki tertinggal ketika seseorang menahan kaki ke tanah
sementara kekuatan bagian proksimal kaki meningkat sehingga kekuatan yang dihasilkan
menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek otot dari tulang atau
bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya terjadi pada telapak kaki
setelah berjalan terlalu lama atau berjalan dengan jarak yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang seperti
kanker yang sudah metastase.

Klasifikasi Fraktur
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya integritas
kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya perdarahan internal
kekompartemen jaringan dan dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 500 cc tiap
fraktur. Setiap sisi patahan memiliki potensi untuk menyebabkan kehilangan darah dalam
jumlah besar akibat laserasi pembuluh darah di dekat sisi patahan.
Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan hematom. Strain dan
sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup. Dan karena diagnosis
pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi, maka berilah
penanganan strain dan sprain seperti penanganan tehadap fraktur tertutup.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.
2)Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai gangguan integritas kulit.
Hal ini biasanya disebabkan oleh ujung tulang yang menembus kulit atau akibat laserasi
kulit yang terkena benda-benda dari luar pada saat cedera.
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka adalah perdarahan eksternal,
kerusakan lebih lanjut pada otot-otot dan saraf serta terjadinya kontaminasi. Sangat
penting untuk mengenal adanya luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu masuk dari
kontaminasi kuman.
Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita trauma. Adanya
luka terbuka didekat daerah yang diduga terjadi fraktur, harus dipertimbangkan sebagai
fraktur terbuka dan harus diberikan penanganan seperti fraktur terbuka. Denyut nadi,
pergerakan, sensasi dan warna kulit harus segera dinilai dan terus dilakukan penilaian
ulang secara berkala.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur :
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Greenstick
3) Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan yang
masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar dari tulang
perpendicular sampai batas tengah tulang
4) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
5) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
6) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
7) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
8) Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen,
terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Manifestasi Klinik
Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang terlokalisir pada bagian fraktur.
Biasanya pasien mengatakan ada yang menggigitnya atau merasakan ada tulang yang patah. Apa yang
dikatakan pasien merupakan sumber informasi yang akurat.
Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling nyata dan dramatis juga
hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan primary survey dan lakukan tindakan penanganan
trauma dan lakukan stabilisasi jika memungkinkan.
a. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari pembuluh darah yang telah rupture
pada fraktur pangkal tulang.

b. Deformitas
Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal.
c. Tenderness
Sampai palpitasi biasanya terlokalisir pada trauma skeletal yang dapat dirasakan dengan
penekanan secara halus di sepanjang tulang.
d. Krepitasi
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang lainnya. Hal ini dapat dikaji
selama pemasangan splint. Jangan berusaha untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri
trauma lebih lanjut.
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien dengan fraktur akan berusaha
menahan lokasi trauma tetap pada posisi yang nyaman dan akan menolak menggerakannya.
Bahkan pada pasien dengan dislokasi akan menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang
mengalami dislokasi.
f. Exposed bone ends
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa pulsasi, gerakan dan sensori di
bagian distal pada setiap pasien dengan trauma musculoskeletal.

Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram,
scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah
hati.

Penatalaksanaan Medik
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan
yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap.
dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Rekognisi
dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat
kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa
yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode
tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus,
roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur;
harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui
apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x.
Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi
Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan
logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. - Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik
dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi
dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas
yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung
patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk
fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler


Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.

4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara
fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun,
pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk
ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
V. KONSEP MANAJEMEN TRAUMA

Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu.
Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai
penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey

2. Resuscitation

3. History

4. Secondary survey

5. Definitive care

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009)
:
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika
langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary
survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci
untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh
pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR
(assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., DSouza., &
Pletz, 2009) :
a) General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust (tindakan mengangkat dagu/tindakan mengangkat sudut
rahang bawah)
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan
telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :

Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien
mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat
masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau
orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena
akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra
lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
S : Sign and symptom (tanda dan gejala yang diobservasi dan dirasakan klien).
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa
pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get
rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi
alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association, 2007):
Hurt you physically?
Insulted or talked down to you?
Threathened you with physical harm?
Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya
lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan
saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi
di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri
dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama
nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan
nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Akronim DCAP BTLS ini digunakan ketika melakukan pemeriksaan fisik dari ujung
kepala sampai dengan ujung kaki (head to toes) pada saat terjadinya cedera atau langkah
langkah dasar yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan pasien yang mengalami
trauma/ kecelakaan sehingga pasien dapat diselamatkan mulai dari tempat kejadian,
dalam perjalanan kerumah sakit dan dilanjutkan dirumah sakit /tempat yang dituju.

Deformity : Kelainan Bentuk


Contusions : Memar
Abrasions : Lecet
Penetrations, Punctures Or Paradoxical Movement : Luka Penetrasi, Tusukan.

Burns : Luka Bakar


Tenderness (Pain On Pressing/Touching) : Nyeri
Lacerations : Luka Sobek
Swelling : Pembengkakan

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri
tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit.
Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
Nilai membuka mata
membuka mata sendiri secara spontan =4
membuka mata bila diajak bicara =3
membuka mata bila dirangsang nyeri =2
tidak membuka mata dengan rangsang apapun. =1
Nilai kemampuan motorik
dapat melakukan gerak sesuai dengan perintah =6
ada gerakan menghindar terhadap rangsangan pada = 5
beberapa tempat
gerakan fleksi disertai gerakan abduksi bahu =4
fleksi lengan disertai aduksi bahu =3
ektensi lengan disertai aduksi bahu =2
endorotasi bahu dan pronasi lengan bawah.
Tak ada gerakan dengan rangsangan cukup kuat =1
Nilai kemampuan berkomunikasi

- Berorientasi baik terhadap tempat, waktu dan orang = 5


- Jawaban kacau terhadap pertanyaan kita =4
- Seperti berteriak dan tidak menanggapi pembicaraan =3
- Suara rintihan/erangan =2
- Tak bersuara =1

Skor koma (coma score) adalah jumlah E + M + V, jumlah 15


adalah baik, 13 14 adalah mild, 8 12 adalah moderate, dan kurang dari 7 adalah
sereve, hal ini perlu dipikirkan hematoma untuk dilakukan pembedahan.

1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,
gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan
suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian
otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema
subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga
imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)

e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites,
luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka ,
dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas
(ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang
hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan
DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi
organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer
penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema,
atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita,
walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi,
kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali
mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan
minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi,
hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk
analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah),
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam,
lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,
kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15
detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum
dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok
yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita
mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet,
luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.

i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status
neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan
oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai
terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk
melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih
dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan
intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon
sensori

C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to
toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam
pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa
Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah
Definitive Assessment (Okeefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling
banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau
bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan
definitif.

D. Reassessment

Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment)


yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
Pemasangan cateter vena central
Pemeriksaan analisa gas darah
Balance cairan
Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
USG abdomen atau pelvis

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita
dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary
survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan
dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang
terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan
dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)
(Djumhana, 2011).
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat
menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang
memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai
penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra
bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening,
yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening
subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti
emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan
dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara
jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk
menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat
mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis
stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan
seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada
dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan
pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan
gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-
20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk
diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau
probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian
akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan
ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya.
Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga
dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak
(Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu
katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien
dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi
menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak
berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film
maksimal sehingga film nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini,
penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu.
Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi
penyakit degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi
penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di
departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan
mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak,
2012).
6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru,
udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang
memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang
memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).
Pengkajian kegawatdaruratan pada orang dewasa akan berbeda dengan pengkajian yang
dilakukan pada anak-anak dan lanjut usia yang membutuhkan kekhususan dalam pengkajian
maupun penanganannya. Menurut Pedoman The National Institue for Health and Clinical
Excellence (2007) menyatakan orang dewasa berusia sekitar 16 tahun atau lebih. Hasil survey
tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa 20% orang dewasa (18-64 tahun) di Amerika Serikat
menggunakan unit gawat darurat (UGD) dan 12 bulan terakhir sekitar 66,0% orang dewasa
memiliki alasan mengunjungi UGD karena mengalami masalah medis yang serius (Gindhi,
Cohen, dan Kirzinger, 2012).
Unit gawat darurat harus selalu dalam keadaan siap siaga. Perawat gawat darurat harus
siap mengenali adanya abnormalitas pada sistem dan berpartisipasi dalam penatalaksanaan
pasien dengan tepat. Berbagai kondisi bisa saja terjadi, sehingga tidak ada alasan bagi perawat
yang tidak dapat mengkaji pasiennya dengan tepat. Mengikuti pendekatan pengkajian
terorganisasi merupakan hal yang sangat penting, tetapi yang paling penting adalah gagasan
bahwa setiap perawat harus membuat dan menggunakan secara konsisten pendekatan yang
bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan respirasi.
Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada semua perawat
gawat darurat untuk dilakukan pada semua pasien. Tanda vital merupakan indikator yang
signifikan dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh memiliki mekanisme luar biasa,
dan tanda vital berperan sebagai indikator yang menunjukkan fungsi nmekanisme kompensasi
tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi tren (diulang dari waktu ke waktu) dan sering
direkomendasikan di lingkungan gawat darurat sehingga dapat menggambarkan status pasien
secara akurat dan dapat memperkirakan hasil secara efektif (Lyer, P.W., Camp, N.H.,2005).
Pada pasien injury diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana pengkajian,
diagnose, dan tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada pengkajian awal pada
pasien dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka dilakukan pemeriksaan head to
toe secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera lakukan focused assesment,
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan utama,
seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan tampilan umum. Satu aspek
yang penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan terapeutik. Perawat harus
memberikan privasi ketika berbicara dengan pasien, dan ia harus menggunakan sentuhan dan
penjelasan verbal untuk meyakinkan pasien sebelum melakukan pemeriksaan dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan perawat utama yang
bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada di UGD. Yang harus dimasukkan
dalam perawatan dan harus dilakukan oleh perawat utama adalah pengkajian pasien yang tepat
waktu dan penetapan bukti tertulis pengkajian fisik lengkap pada setiap pasien. Tetapi, hal ini
tidak berarti bahwa perawat harus melakukan pengkajian fisik lengkap pada pasien. Eksplorasi
patofisiologi terkait dan riwayat sebelumnya, selanjutnya dokumentasikan juga keluhan utama
dan pengkajian tanda vital.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma. Pemeriksaan utama
ABCD (airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji dan didokumentasikan pada saat
kedatangan sebagai data dasar dan harus mencerminkan konsistensi di semua pengkajian medis
dan keperawatan. Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal yang sangat penting.
Dalam hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini akan sangat menghemat
waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan fokus klinis ke struktur internal
dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis cedera tertentu (Lyer, P.W., Camp,
N.H.,2005). Pengkajian di UGD dirancang untuk mengenali kegawatdaruratan yang
mengancam kehidupan dan mengumpulkan cukup data untuk menentukan prioritas perawatan
dalam waktu yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk setiap pasien, perawat gawat darurat
diharapkan untuk memperoleh dan mengkomunikasikan temuan yang tepat, termasuk
abnormalitas, pemburukan gejala, atau perubahan tingkat keakutan agar dapat dilakukan
penatalaksanaan pasien lebih lanjut
Perawat gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi termasuk orang
dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba, potensial, mengancam
kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang dalam dan pengalaman klinik dalam memberikan perawatan
dalam seluruh rentang kehidupan dan mengelola situasi kegawatdaruratan walaupun dalam
situasi yang ramai dan memerlukan penggunaan teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009) memberikan gambaran mengenai
penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien yang mengalami injuri, antara lain; primary
survey, resusitasi, history dan secondary survey. Pada secondary survey yang membedakan
antara trauma dan non trauma adalah isi atau content dari prtanyaan yang ditanyakan atau
dikaji, contohnya pada pemeriksaan thoraks jika non trauma maka kita mengkaji adakah jejas?,
adakah krepitasi sedangkan pada non trauma yang kita kaji adalah adakah suara nafas
tambahan, suara bising jantung, adakah penggunaan pace maker. Sedangkan Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis (2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan pendekatan yang sistematis
dalam melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat, antara lain; pengkajian riwayat
kesehatan (history), potensial bendera merah (potensi kritis), pemeriksaan fisik, investigasi
dan intervensi keperawatan. Pada gambar 1 dapat dilihat model pendekatan sistematik pada
pengkajian pasien dan manajemen di UGD. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan
bersamaan dan evaluasi disertai pengkajian ulang sangat penting dilakukan sebagai kunci
dalam proses keperawatan (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009).
Gambar 1. Pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD (Curtis,
Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009)
Pendekatan sistematis yang digunakan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) dalam
pengkajian pasien dewasa di UGD akan memberikan data yang tepat dan cepat. Langkah
pertama kali adalah pengkajian riwayat kesehatan akan meliputi; riwayat nyeri, gejala yang
berhubungan, riwayat medis terdahulu/riwayat pembedahan sebelumnya, pengobatan, alergi,
periode menstruasi terakhir, kejadian yang signifikan selama 24 jam sebelum sakit/ mekanisme
dari cedera, tindakan saat ini untuk mengatasi masalah, dan riwayat sosial. Langkah kedua
adalah pengkajian kritis (potential red flag) yang bertujuan menentukan keakutan dari penyakit
pasien dan kebutuhan tindakan yang segera berdasarkan kombinasi tanda klinis dan faktor
riwayat. Langkah ketiga adalah pengkajian klinis yang mengikuti mnemonic ABCD (Airway,
Breathing, Circulation dan Disability/Neurological function). Pada langkah ketika ini,
intervensi dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman kematian pada salah satu elemen
pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan ketidakadekuatan pernafasan yang diperlukan
ventilator maka akan difokuskan pada pengkajian pernafasan sebelum dilanjutkan ke
pengkajian sirkulasi. Selanjutnya tahap keempat adalah investigasi yang merupakan suatu
tindakan dalam pemeriksaan diagnostik dan tes laboratorium untuk mengidentifikasi perawatan
definitive yang tepat. Langkah kelima sebagi langkah terakhir adalah intervensi keperawatan
yang dilakukan bersamaan dengan pengkajian keperawatan. Hal tersebut didasarkan pada
proses keperawatan yang interaktif dan non linear dimana banyak tindakan yang akan terjadi
secara simultan, misalnya ketika mengkaji pasien yang baru tiba di UGD, sambil menggunakan
pakaian pelindung dan alat pelindung diri lainnya maka akan dilakukan juga pengkajian
riwayat penyakit yang dialami (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Pengkajian ulang
dilakukan sebagai respon pasien terhadap intervensi keperawatan yang diberikan dan potensial
kerusakan yang akan terjadi melalui komunikasi secara tertulis dan verbal dari langkah
pertama.
Berdasarkan dari berbagai format pengkajian yang disampaikan diatas dan tinjaun teori,
kami merangkum bentuk pengkajian keperawatan gawat darurat untuk orang dewasa.
Pengkajian keperawatan gawat darurat ini dapat dilakukan oleh perawat UGD dengan mudah
dan singkat dalam situasi UGD yang krodit. Pengkajian ini dilengkapi dengan diagnosa
keperawatan dan intervensi keperawatan yang akan dilakukan pada situasi kegawatdaruratan.
Pada lampiran 1 dapat dilihat pengkajian keperawatan gawat darurat pada orang dewasa
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA ANGGOTA GERAK

Dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien digunakan metode proses

Keperawatan yang merupakan suatu pendekatan sistematis untuk mengenal dan

memecahkan masalah-masalah kebutuhan, khususnya klien yang dinamis sampai taraf

maksimum.

Konsep pendekatan pemecahan masalah keperawatan menggunakan proses

keperawatan yaitu suatu metode yang sistematis untuk mengkaji respon manusia terhadap

masalah-masalah kesehatan dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk

mengatasi masalah-masalah tersebut (Allen, 2001).

Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang

sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien (Smeltzer, 2001). Tahap pengkajian merupakan dasar utama

dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu

pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam

merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan

respon individu, sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik keperaswatan dari ANA

(American Nursing Association) (Nursalam, 2001).

Dalam pengkajian klien dengan patah tulang, yang perlu dikaji adalah:

1. Biodata klien dan penanggung jawab


Meliputi Nama, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,

alamat, tanggal dan jam masuk, diagnosa medis dan nomor registrasi. Sedangkan identitas

penanggung jawab yang perlu dikaji adalah nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

alamat dan hubungannya dengan klien.

2. Keluhan Utama

Keluhan utama yang sering terjadi adalah nyeri bekas operasi atau pada bagian yang mengalami

patah tulang.

3. Riwayat penyakit sekarang

Berisikan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh klien. Trauma fisik adalah penyebab utama

terjadinya patah tulang, trauma bisa karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja ataupun

kecelakaan olahraga. Trauma ini bisa menimbulkan Fraktur karena data trauma melebihi elastisitas

tulang sehingga terjadi kerusakan jaringan.

4. Riwayat penyakit terdahulu

Pada klien dapat terjadi fraktur karena sebelumnya ada riwayat penyakit infeksi mengenai tulang

yang disebut dengan fraktur patologi dimana trauma yang kecil sudah menimbulkan fraktur.

5. Riwayat penyakit keluarga

Terjadi fraktur tidak dipengaruhi oleh penyakit keluarga akan tetapi pada fraktur patologis dapat

disebabkan karena adanya riwayat penyakit infeksi misalnya pada TBC tulang yang disebabkan

karena kuman TBC. Sedangkan riwayat penyakit menurun, misalnya diabetes akan mempengaruhi

proses penyembuhan.

6. Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual

Pada keluhan ini penulis menggunakan dasar yang dikemukakan oleh Virginia Handerson, yaitu

sebagai berikut:
Riwayat biologis:

Pada pengkajian riwayat biologis ini penulis menggunakan pengkajian tentang pemenuhan kebutuhan

untuk mempertahankan hidup, antara lain:

a. Kebutuhan oksigen

Pada umumnya klien dengan patah tulang jarang mengalami gangguan dalam bernapas, klien

bernapas dengan normal.

b. Kebutuhan nutrisi

Pada klien dengan patah tulang jarang mengalami penurunan nafsu makan secara berlebihan, begitu

juga dalam hal minum tidak mengalami keluhan.

c. Eliminasi

Klien patah tulang biasanya mengalami gangguan dalam buang air besar (konstipasi) karena

pengaruh immobilisasi lama dan adanya pemesanan traksi atau fiksasi.

d. Gerak dan keseimbangan tubuh

Klien dengan patah tulang biasanya mengalami gangguan aktivitas karena immobilisasi atau adanya

nyeri yang hebat, sehingga dalam bergerak klien mengalami keterbatasan.

e. Kebutuhan istirahat

Klien patah tulang biasanya sering terbangun saat tidur karena adanya rasa nyeri dan respon
emosional, tetapi hal ini terjadi bila nyeri yang hebat.
f. Kebutuhan berpakaian

Klien dengan patah tulang tidak pernah mengalami gangguan dalam kebutuhan berpakaian.
g. Mempertahankan suhu tubuh

Pertahanan suhu tubuh klien dengan patah tulang biasanya masih dalam batas normal, akan tetapi bila
terjadi infeksi akibat patah tulang, maka akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
h. Kebutuhan personal hygiene
Adanya ketidakmampuan merawat diri, namun biasanya dalam hal ini pemenuhan kebutuhan
personal hygiene dibantu oleh keluarga dan perawat karena keterbatasan aktivitas.
i. Kebutuhan berkomunikasi

Klien patah tulang masih dapat berkomunikasi dengan orang sekitarnya seperti biasa.
j. Kebutuhan rasa aman dan nyaman

Biasanya mengalami gangguan karena rasa nyeri yang hebat dan akibat pergeseran fragmen tulang
pada darah fraktur . Tingkat nyeri dibagi menjadi 3 yaitu nyeri ringan (1-3), nyeri sedang (4-6) dan
nyeri berat (7-10). Adapun cara pengakajian nyeri dengan P, Q, R, S, dan T.
P (paliatif) :yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri.
Q (qualitas) :kualitas nyeri itu sendiri.
R (regio) :lokasi nyeri.
S (skala) :tingkat nyeri, adapun skala nyeri itu bisa
menggunakn skala nyeri 0-5 dan 0-10
T (waktu) :waktu terjadinya nyeri.
k. Kebutuhan bekerja

Karena keterbatasan aktivitas mengakibatkan klien dengan patah tulang tidak mampu bekerja
secara maksimal.
l. Kebutuhan spiritual

Klien dengan patah tulang biasanya hanya mampu melakukan ibadah sesuai dengan kemampuan
bergeraknya dan hanya mampu berdoa.

m. Kebutuhan bermain dan rekreasi

Selama perawatan klien tidak dapat berekreasi.

n. Kebutuhan belajar

Kebutuhan belajar klien patah tulang tidak akan mengalami gangguan.


7. Pemeriksaan fisik

Kesadaran :

a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua

pertanyaan tentang keadaan lingkungan.

b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh.

c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,

berhalusinasi, kadang berhayal.

d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,respon psikomotor yang lambat, mudah

tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,

mampu memberi jawaban verbal.

e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak

ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

8. Pemeriksaan fisik (Head to Toes)

9. Analisa Data

Analisa data adalah kemampuan kognitif dalam mengembangkan daya pikir dan

penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu pengetahuan dan pengetahuan

keperawatan (Allen, 2001).

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul maka dapat dianalisa dan mencari

kemungkinan penyebab timbulnya masalah dan merumuskan diagnosa yang ada pada pasien

baik aktual maupun potensial.


No Symptom Etiology Problem

1 Ds : Trauma (langsung atau tidak Nyeri akut


langsung), patologi
P: pasien
mengatakan nyeri yang
Fraktur (terbuka atau tertutup)
dirasakan timbul apabila
pasien mencoba
Kehilangan integritas tulang
menggerakkan kakinya.
Q : pasien mengatakan
Ketidakstabilan posisi fraktur,
nyeri yang dirasakan apabila organ fraktur digerakkan
seperti ditusuk-tusuk.
R: pasien Fragmen tulang yang patah
menusuk organ sekitar
mengatakan nyeri yang
dirasakan terdapat di kaki
sebelah kirinya.
S : skala nyeri 4 (0-5)
T: pasien
mengatakan nyeri yang
dirasakan hilang timbul
dan berlangsung selama
15 menit bahkan lebih.
Do :

Keadaan Umum :
Sakit sedang
Kesadaran :
Compos Mentis, GCS
E4V5M6
Airway : tidak ada
gangguan jalan nafas
Breathing :
Pernafasan 20 x/mnt
Circulation : tekanan
darah 130/80 mmHg,
Nadi 90 x/mnt
Disability : GCS E4
V5 M6
Exposure : Suhu
37C
Feel : Nyeri tekan
setempat (+), sensibilitas
(+), suhu rabaan hangat,
AVN distal Normal,
arteri dorsalis pedis
teraba lemah
dibandingkan bagian
yang sehat.
2 Ds : Trauma (langsung atau tidak Gangguan mobilitas fisik
langsung), patologi
Kebutuhan personal hygiene
pasien dibantu oleh
Fraktur (terbuka atau tertutup)
keluarganya, dan pasien
belum mampu untuk pergi ke Perubahan fragmen tulang
kamar mandi karena patah kerusakan pada jaringan dan
pembuluh darah
tulang pada kaki kirinya.
Pasien mengatakan tidak bisa
Perdarahan lokal
berjalan karena kaki sebelah
kirinya mengalami luka dan
Hematoma pada daerah fraktur
patah tulang sehingga
mobilisasi pasien sangat Aliran darah ke daerah distal
terbatas. berkurang atau terhambat
Do: (warna jaringan pucat, nadi
lemas, cianosis, kesemutan)
1. Status Lokalis : Regio
cruris sinistra
Kerusakan neuromuskuler
Look : luka terbuka
3x4cm,fragmen tulang
Gangguan fungsi organ distal
terekspose, bleeding (+)
Move : Gerakan aktif
dan pasif terhambat,
Gerakan abduksi tungkai
kiri terhambat, gerakan
adduksi tungkai kiri
terhambat, sakit bila
digerakkan, gangguan
persarafan tidak ada,
tampak gerakan terbatas,
keterbatasan pergerakan
sendi-sendi distal (karena
terasa nyeri saat
digerakkan).
2. Foto X-ray
Terdapat Fraktur
cominutif tibia dan fibula
(S)
3 Ds : Trauma (langsung atau tidak Resiko infeksi
a. Klien mengeluh terasa panas di langsung), patologi
sekitar luka pada kaki kanan

Do : Fraktur (terbuka atau tertutup)


- Adanya luka terbuka 15 cm
- Adanya kemerahan pada Fraktur terbuka ujung tulang
daerah luka menembus otot dan kulit
- Suhu : 370C
- Luka masih basah
Luka

Kuman mudah masuk

1. Nyeri akut berhubungan dengan cedera pada jaringan ditandai dengan pasien mengatakan
nyeri yang dirasakan timbul apabila pasien mencoba menggerakkan kakinya, pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk, pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan terdapat di kaki sebelah kirinya, skala nyeri 4 (0-5), pasien mengatakan nyeri
yang dirasakan hilang timbul dan berlangsung selama 15 menit bahkan lebih. Keadaan
Umum : Sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, Airway: tidak ada
gangguan jalan nafas, Breathing : Pernafasan 20 x/mnt, Circulation : tekanan darah
130/80 mmHg, Nadi 90 x/mnt, Disability : GCS E4 V5 M6, Exposure : Suhu
37C, Feel : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, AVN
distal Normal, arteri dorsalis pedis teraba lemah dibandingkan bagian yang sehat.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular,
imobilisasi tungkai ditandai dengan pasien mengatakan kebutuhan personal hygiene pasien
dibantu oleh keluarganya, dan pasien belum mampu untuk pergi ke kamar mandi karena
patah tulang pada kaki kirinya, pasien mengatakan tidak bisa berjalan karena kaki sebelah
kirinya mengalami luka dan patah tulang sehingga mobilisasi pasien sangat terbatas. Status
Lokalis : Regio cruris sinistra, Look : luka terbuka 3x4cm,fragmen tulang terekspose,
bleeding (+), Move : Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi tungkai kiri
terhambat, gerakan adduksi tungkai kiri terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan
persarafan tidak ada, tampak gerakan terbatas, keterbatasan pergerakan sendi-sendi distal
(karena terasa nyeri saat digerakkan). Foto X-ray terdapat Fraktur cominutif tibia dan fibula
(S)
3. Risiko terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya kerusakan kulit, trauma jaringan,
terpejam pada lingkungan.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien trauma anggota gerak adalah:
1. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya kerusakan kulit, trauma jaringan, terpejam
pada lingkungan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera pada jaringan ditandai dengan pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan timbul apabila pasien mencoba menggerakkan
kakinya, pasien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk, pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan terdapat di kaki sebelah kirinya, skala nyeri 4 (0-5),
pasien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul dan berlangsung selama 15
menit bahkan lebih. Keadaan Umum : Sakit sedang, kesadaran compos mentis,
GCS E4V5M6, Airway: tidak ada gangguan jalan nafas, Breathing : Pernafasan 20
x/mnt, Circulation : tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 90 x/mnt, Disability : GCS
E4 V5 M6, Exposure : Suhu 37C, Feel : Nyeri tekan setempat (+),
sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, AVN distal Normal, arteri dorsalis pedis teraba
lemah dibandingkan bagian yang sehat.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular,
imobilisasi tungkai ditandai dengan pasien mengatakan kebutuhan personal hygiene
pasien dibantu oleh keluarganya, dan pasien belum mampu untuk pergi ke kamar
mandi karena patah tulang pada kaki kirinya, pasien mengatakan tidak bisa berjalan
karena kaki sebelah kirinya mengalami luka dan patah tulang sehingga mobilisasi
pasien sangat terbatas. Status Lokalis : Regio cruris sinistra, Look : luka terbuka
3x4cm,fragmen tulang terekspose, bleeding (+), Move : Gerakan aktif dan pasif
terhambat, Gerakan abduksi tungkai kiri terhambat, gerakan adduksi tungkai kiri
terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan persarafan tidak ada, tampak gerakan
terbatas, keterbatasan pergerakan sendi-sendi distal (karena terasa nyeri saat
digerakkan). Foto X-ray terdapat Fraktur cominutif tibia dan fibula (S)
Tabel Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)


keperawatan (NOC)
1. Resiko Setelah dilakukan tindakan NIC :
terjadinya keperawatan selama 2x60 a. Infection Control (Kontrol infeksi)
infeksi diharapkan status imun 1. Bersihkan lingkungan setelah
pasien meningkat dan dipakai pasien lain
resiko infeksi menurun, 2. Pertahankan teknik isolasi
dengan kriteria Hasil : 3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Klien bebas dari tanda 4. Instruksikan pada pengunjung
dan gejala infeksi untuk mencuci tangan saat
2. Menunjukkan berkunjung dan setelah
kemampuan untuk berkunjung meninggalkan pasien
mencegah timbulnya 5. Gunakan sabun antimikrobia
infeksi untuk cuci tangan
3. Jumlah leukosit dalam 6. Cuci tangan setiap sebelum dan
batas normal sesudah tindakan kperawtan
Menunjukkan perilaku 7. Gunakan baju, sarung tangan
hidup sehat sebagai alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

b. Infection Protection (proteksi terhadap


infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan local
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
Laporkan kultur positif
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan a. Pain Management
keperawatan selama 2x60 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
menit jam nyeri yang komprehensif termasuk lokasi,
dirasakan pasien hilang atau karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
terkontrol dengan kriteria dan faktor presipitasi
hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal dari
1. Mampu mengontrol ketidaknyamanan
nyeri (tahu penyebab 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
nyeri, mampu untuk mengetahui pengalaman nyeri
menggunakan tehnik pasien
nonfarmakologi untuk 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
mengurangi nyeri, nyeri
mencari bantuan) 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
2. Melaporkan bahwa 6. Evaluasi bersama pasien dan tim
nyeri berkurang dengan kesehatan lain tentang ketidakefektifan
menggunakan kontrol nyeri masa lampau
manajemen nyeri 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
3. Mampu mengenali nyeri dan menemukan dukungan
(skala, intensitas, 8. Kontrol lingkungan yang dapat
frekuensi dan tanda mempengaruhi nyeri seperti suhu
nyeri) ruangan, pencahayaan dan kebisingan
4. Menyatakan rasa 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyaman setelah nyeri 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
berkurang (farmakologi, non farmakologi dan inter
5. Tanda vital dalam personal)
rentang normal 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
13. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
a. Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama
saat nyeri hebat.
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik keperawatan selama 2x60 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan
menit hambatan mobilitas dan lihat respon pasien saat latihan
hilang / berkurang / 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
teradaptasi dengan kriteria rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
hasil : 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
1. Klien meningkat dalam berjalan dan cegah terhadap cedera
aktivitas fisik 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
2. Mengerti tujuan dari tentang teknik ambulasi
peningkatan mobilitas 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
3. Memverbalisasikan 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
perasaan dalam ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
meningkatkan kekuatan 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
dan kemampuan dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
berpindah 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
4. Memperagakan 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
penggunaan alat Bantu dan berikan bantuan jika diperlukan
untuk mobilisasi
(walker)

Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik yaitu
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan pada dasarnya harus disesuaikan
dengan intervensi yang ada pada tahap perencanaan. Namun, tidak selamanya hal tersebut dapat
dilakukan, tergantung pada faktor-faktor tertentu. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan
perawatan dan harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan antara lain: keadaan klien, fasilitas atau alat
yang ada, pengorganisasian pekerjaan perawat, ketersediaan waktu serta lingkungan fisik dimana asuhan
keperawatan tersebut dilakukan.

Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus proses keperawatan apabila kriteria hasil telah dicapai.
Klien akan masuk kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil belum dicapai.
Evaluasi merupakan tahap proses keperawatan yang terakhir. Tahap ini merupakan kunci
keberhasilan yang dinamis dari perawatan di dalam evaluasi mempunyai empat kemungkinan yang
menentukan perawatan selanjutnya yaitu: masalah klien post pemasangan pent yang dapat dipecahkan
atau timbul masalah baru, bila masalah sudah teratasi separuhnya, perlu dimodifikasi rencana
perawatannya, begitu pula timbul masalah baru, dibuat rencana perawatan yang baru pula.

BAB II

PENUTUP

Simpulan
Sprain adalah cedera struktur ligament di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit serta memutar.
(Keperawatan Medikal Bedah)
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak
langsung (overloading). Pada cidera strain rasa sakit adalah nyeri yang menusuk pada saat terjadi
cedera, terlebih jika otot berkontraks).

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya
seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang
tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi
rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Dimana fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan
tempat, komplit atau ketidakkomplitan fraktur, bentuk dan jumlah garis patah, posisi fragmen,
sifat fraktur, bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma, kedudukan tulangnya,
posisi frakur, fraktur kelelahan dan fraktur patologis. Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna.

Komplikasi fraktur dibagi menjadi 2, yaitu komplikasi awal terdiri dari Kerusakan Arteri,
Kompartement Syndrom, Fat Embolism Syndrom, Infeksi, Avaskuler Nekrosis, Shock,
Osteomyelitis. Dan komplikasi dalam waktu lama terdiri dari Delayed Union (Penyatuan
tertunda), Non union (tak menyatu), Malunion. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu
Stadium Satu-Pembentukan Hematoma, Stadium Dua-Proliferasi Seluler, Stadium Tiga-
Pembentukan Kallus, Stadium Empat-Konsolidasi dan Stadium Lima-Remodelling.
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah untuk menghilangkan rasa nyeri, untuk
menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, agar terjadi penyatuan tulang
kembali dan untuk mengembalikan fungsi seperti semula.
Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat
lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan
pembuatan makalah trauma anggota gerak selanjutnya dan mahasiswa memahami Konsep Dasar
Trauma Anggota Gerak sehingga dapat mengaplikasikannya dalam praktik keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD Dinkes Provinsi DKI
Jakarta.

Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan(Edisi 3) Jakarta: EGC.
Brunner & Suddart. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

http://zillyannurse.blogspot.com/2011/11/askep-trauma-muskuloskeletal.htm

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment
process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency
Nursing Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai