Anda di halaman 1dari 133

TESIS

PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANG


WILAYAH DI KOTA DENPASAR

ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS

PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANG


WILAYAH DI KOTA DENPASAR

ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJA


NIM. 0891861011

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANG
WILAYAH DI KOTA DENPASAR

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister Program Studi Arsitektur
Program Pascasarjana Universitas Udayana

ARYA BAGUS MAHADWIJATI WIJAATMAJA


NIM. 0891861011

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

ii
LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 30 Maret 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., Ph.D. Dr. Ir. Widiastuti, MT.
NIP. 19691018 199412 2 001 NIP. 19681120 199503 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Arsitektur Direktur


Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc. Ph. D. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S(K).
NIP. 19691018 199412 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai pada


Tanggal 29 Januari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana


Nomor 351/UN 14.4/HK/2015
Tanggal 26 Januari 2015

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah:

Ketua : Dr. Gusti Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc.

Anggota :

1. Dr. Ir. Widiastuti, MT.

2. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, M.Si.

3. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP.

4. Ni Ketut Pande Jayanti, ST., M.Eng.Sc., PhD

iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja


NIM : 089 186 1011
Program Studi : Program Magister Arsitektur
Judul Tesis : Pendekatan Perencanaan Tata Ruang Wilayah di Kota
Denpasar

Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas
dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.

Denpasar, 30 Maret 2015


Yang Membuat Pernyataan,

Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja

v
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan tuntunan-Nya, sehingga tesis

ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Gusti Ayu Made Suartika, S.T.,

MEng.Sc., Ph. D. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah

memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti

program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang

sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Widiastuti, MT. selaku

pembimbing II, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan

bimbingan kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S

(K) selaku Ketua Program Pasca Sarjana atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister

di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga disampaikan kepada Gusti

Ayu Made Suartika, S.T., MEng.Sc., Ph. D selaku Ketua Program Studi Magister

Arsitektur yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian

tesis ini.

Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di

Program Studi Magister Arsitektur Program Pasacasarjana Universitas Udayana

vi
yang telah memberikan ilmu kepada penulis, bapak dan Ibu seluruh staf dan

karyawan di Sekretariat Program Studi Magister Arsitektur yang telah membantu

penulis dalam proses administrasi.

Terima kasih juga penulis tujukan kepada Ayah tercinta Dr. Gede

Marhaendra Wija Atmaja, SH., M. Hum., dan Ibu tercinta Dra. Ida Ayu Komang

Arniati, M. Ag., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses

penyusunan ini. Terimakasih kepada adik-adik tercinta, Arya Ngurah

Mahadyatmika Wijaatmaja, ST., dan Arya Ngurah Mahaiswara Wijaatmaja, S.

Kom., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses

penyusunan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan yang diberikan kepada penulis

hingga penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Maret 2015

Penulis

vii
ABSTRAK

PENDEKATAN PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH


DI KOTA DENPASAR

Aktivitas perencanaan kota mempunyai peran penting dalam membentuk


lingkungan perkotaan dan juga gaya hidup bagi masyarakat pada lingkungan
tersebut. Perencanaan kota pada awalnya muncul sebagai respon terhadap kota
industri modern, yang menghasilkan urbanisasi yang pesat pada abad XIX,
terutama di Eropa dan Amerika Utara. Ada sebuah kepercayaan bahwa masalah
sosial bisa diselesaikan dengan cara mendesain ulang kota.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses perencanaan
tata ruang wilayah di Kota Denpasar, pihak-pihak dan kepentingan yang
berpengaruh serta pendekatan dalam perencanaan tata ruang wilayah di Kota
Denpasar. Dengan pendekatan kualitatif penelitian memfokuskan kajiannya pada:
para aktor kebijakan, jaringan kebijakan dan pendekatan perencanaan. Data
diperoleh dengan studi dokumen dan wawancara.
Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dilakukan melalui
beberapa tahapan yaitu: Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; Pembahasan
Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar;
Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar; Pembahasan Materi Ranperda
RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar Sinkronisasi
dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;
Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali
dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar;
Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda
Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum;
Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta Persetujuan Penetapan
Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Para pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-
2031 adalah Bappeda Kota Denpasar, Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota
Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badung
dan Bappeda Kabupaten Gianyar, Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Bali, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali, serta Menteri Pekerjaan Umum.
Berdasarkan lima uraian mengenai perbandingan perencanaan, yaitu:
karakteristik perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkup
perencanaan dan metode perencanaan, maka pendekatan yang diterapkan dalam
perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar adalah pendekatan rasional
komprehensif.

Kata kunci: perencanaan kota, tata ruang wilayah, Kota Denpasar

viii
ABSTRACT

APPROACH TO REGIONAL SPATIAL PLANNING


IN DENPASAR CITY

Activity of the planning of a city has a important role both in forming city
environment and societys life style in it. At first, the planning of city emerged as
a response toward modern industry city which results fast urbanization in XIX
century especially in Europe and North America. There is a belief that social
issues can be overcome by redesigning the city.
This research aims at knowing the process of regional layout planning in
Denpasar city, the parties and the importance that influence it, and the approach in
regional layout planning in Denpasar city as well. Through qualitative approach,
the research focuses its concern on: the policy actors, policy network and planning
approach. Data obtained through document study and interview.
The planning of territory layout of Denpasar city is conducted through
several stages namely: RTRW (Planning of Territory Layout) Evaluation of
Denpasar city in 2009-2029; Discussion of Structured Database Arrangement
Report and RTRW (Planning of Territory Layout)of Denpasar city; the RTRW
(Planning of Territory Layout) of Technical Material Arrangement of Denpasar
city; the RTRW of Ranperda (Design of Regional Rule) Material discussion of
Denpasar city in Special Committee I of Denpasar Regional Peoples
Representative Council (DPRD); Technical Substance Synchronization and
Harmonization of Denpasar RTRW (Planning of Territory Layout) with the
RTRW (Planning of Territory Layout) of Badung and Gianyar regency;
Coordination of BKPRD layout planning Work Group of Bali province in
Ranperda (Design of Regional Rule) discussion of Denpasar city about Denpasar
city RTRW (Planning of Territory Layout); The Recommendation of Balis
Governor about Ranperda (Design of Regional Rule) Substance Agreement
Giving of Denpasar city about RTRW (Planning of Territory Layout) in Denpasar
city to the Ministry of Public Occupation; The Substance Agreement toward
Ranperda (Design of Regional Rule) of Denpasar city about RTRW (Planning of
Territory Layout) of Denpasar city in 2010-2030 by the Ministry of Public
Occupation; and The Agreement of Ranperda (Design of Regional Rule)
determination to be the Regional Rule (Perda) of Denpasar city about RTRW
(Planning of Territory Layout) in Denpasar.
All the parties involved in RTRW (Planning of Territory Layout)
agreement of Denpasar city in 2011-2031 are Bappeda (Department of Regional
Planning and Developing) of Denpasar city, all village chiefs of Denpasar city,
DPRD (Regional Peoples Representative Council) of Denpasar city, Profession
Association, Bappeda (Department of Regional Planning and Developing) of
Badung and Gianyar regency, Bappeda (Department of Regional Planning and
Developing) of Bali province, Department of Public Occupation of Bali Province,
Department of Ecology of Bali province, Department of Ocean and Fishery of
Bali province, Bali Governor, along with the Ministry of Public Occupation.

ix
Based on 5 explanations about planning comparative such as planning
characteristic, country role, planning purpose, planning range space, and planning
method, thus the approach applied in the planning of Denpasar city territory
layout is Comprehensive Rational Approach.

Keywords: urban planning, regional spatial planning, Denpasar City

x
RINGKASAN

Tesis ini menganalisis mengenai pendekatan perencanaan tata ruang


wilayah di Kota Denpasar yang diwujudkan dengan Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-
2031. Penulisan tesis ini terdiri dari 5 bab, dimana masing-masing bab membahas
pokok bahasan yang berbeda, guna memahami pembahasan dan penyelesaian
akan rumusan masalah yang dibahas dalam penulisan tesis ini.
Bab I menguraikan mengenai latar belakang masalah yang berawal dari
adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang ideal sebagai aktivitas teknis
yang rasional dan netral dengan praktek perencanaan kota secara empiris sebagai
fungsi negara yang diformulasikan melalui proses politik dan kebijakan publik.
Bab II menguraikan mengenai landasan teori dan konsep perencanaan
kota, perencanaan tata ruang wilayah kota dan pendekatan perencanaan kota.
Penguraian tersebut merupakan landasan untuk memahami dan menganalisis
pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan pada Bab I.
Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data untuk menjawab permasalaham yang telah
diuraikan pada Bab I. Bab ini diuraikan dalam beberapa pokok bahasan, antara
lain: rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyajian
hasil analisis data.
Bab IV merupakan pembahasan untuk menjawab permasalahan yang
tertulis pada Bab I. pada bab ini dibahas mengenai proses penyusunan Perda No.
27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, pihak-pihak dan
kepentingan yang berpengaruh dalam penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011
tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, dan pendekatan yang diterapkan dalam
perencanaan tata ruang wilayah di Kota Denpasar serta produk kebijakan yang
dihasilkan.
Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dan saran.
Adapun kesimpulan dari rumusan masalah pertama, proses perencanaan meliputi
beberapa tahapan yaitu: Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; Pembahasan
Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar;
Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar; Pembahasan Materi Ranperda
RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar Sinkronisasi
dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;
Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali
dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar;
Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda
Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum;
Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta Persetujuan Penetapan
Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.
Kesimpulan rumusan masalah kedua mengenai para pihak yang terlibat dalam
penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-2031 adalah Bappeda Kota Denpasar,

xi
Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar, DPRD Kota Denpasar,
Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar,
Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali,
serta Menteri Pekerjaan Umum. Kesimpulan rumusan masalah ketiga mengenai
pendekatan perencanaan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang wilayah
Kota Denpasar adalah pendekatan rasional komprehensif.

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
PRASYARAT GELAR........................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA UJIAN........................................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................................... ix
RINGKASAN ........................................................................................................ xi
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN .......................................................................................... 8
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 8
2.2 Konsep ............................................................................................................ 11
2.2.1 Pendekatan perencanaan kota .................................................................. 11
2.2.2 Rencana tata ruang wilayah ..................................................................... 15
2.2.2.1 Tata ruang ................................................................................... 15
2.2.3.2 Rencana tata ruang wilayah ........................................................ 16
2.3 Landasan Teori................................................................................................ 20
2.3.1 Perubahan kebijakan ................................................................................ 20
2.3.2 Konfigurasi subsistem kebijakan ............................................................. 22

xiii
2.3.3 Pendekatan prosedural ............................................................................. 24
2.3.3.1 Perencanaan rasional komprehensif............................................ 24
2.3.3.2 Perencanaan inkremental ............................................................ 29
2.3.3.3 Mixed scanning ........................................................................... 32
2.3.3.4 Perencanaan advokasi ................................................................. 34
2.3.3.5 Equity planning........................................................................... 35
2.3.3.6 Perencanaan adaptif .................................................................... 36
2.3.3.7 Perencanaan transaktif ................................................................ 37
2.3.3.8 Consensus building ..................................................................... 37
2.3.4 Pendekatan substantif............................................................................... 41
2.3.4.1 Pendekatan berdasarkan basis (pijakan) ..................................... 41
2.3.4.2 Pendekatan sistem kegiatan ........................................................ 41
2.4 Model Penelitian ............................................................................................. 42
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 44
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................................... 44
3.2 Lokasi Penelitian............................................................................................. 45
3.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................................... 45
3.4 Instrumen Penelitian........................................................................................ 46
3.4.1 Pedoman wawancara................................................................................ 46
3.4.2 Daftar para pihak dan tahapan kegiatan ................................................... 47
3.4.3 Tabel perbandingan pendekatan perencanaan.......................................... 47
3.5 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................. 48
3.6 Teknik Analisis Data....................................................................................... 48
3.7 Teknik Penyajian Data .................................................................................... 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 50
4.1 Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar Tahun 2011 -2031 ...................... 50
4.1.1 Rapat Evaluasi RTRW ............................................................................. 50
4.1.2 Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 53
4.1.3 Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar ................................. 54
4.1.3.1 Analisis pengembangan wilayah................................................. 54

xiv
4.1.3.2 Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah ...... 56
4.1.3.3 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota........................ 56
4.1.3.4 Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah ........................ 71
4.1.4.5 Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang........... 72
4.1.4 Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang
Pansus I DPRD Kota Denpasar............................................................... 73
4.1.5 Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar........................................... 76
4.1.6 Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD
Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 77
4.1.7 Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi
Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri
Pekerjaan Umum..................................................................................... 79
4.1.8 Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota
Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum............................. 80
4.1.9 Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang
RTRW Kota Denpasar ............................................................................ 80
4.1.10 Rangkuman Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar ...................... 81
4.2 Para Pihak dan Kepentingan yang Berpengaruh dalam Penyusunan RTRW
Kota Denpasar....................................................................................................... 82
4.2.1 Bappeda Kota Denpasar .......................................................................... 82
4.2.2 Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar................................. 83
4.2.3 DPRD Kota Denpasar ............................................................................. 84
4.2.4 Asosiasi Profesi ....................................................................................... 84
4.2.5 Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar ............. 85
4.2.6 Bappeda Provinsi Bali ............................................................................. 85
4.2.7 Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali..................................................... 86
4.2.8 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali ................................................. 87
4.2.9 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali .......................................... 87

xv
4.2.10 Gubernur Bali ........................................................................................ 88
4.2.11 Menteri Pekerjaan Umum ..................................................................... 88
4.2.12 Jaringan dan Taksonomi Kebijakan ...................................................... 88
4.3 Pendekatan yang Diterapkan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah di Kota
Denpasar................................................................................................................ 90
4.3.1 Perubahan Kebijakan Publik .................................................................... 91
4.3.1.1 Keadaan agenda setting............................................................... 91
4.3.1.2 Arena konflik .............................................................................. 96
4.3.2 Pendekatan Perencanaan Berdasarkan Teori Perencanaan ...................... 96
4.3.2.1 Karakteristik perencanaan........................................................... 97
4.3.2.2 Peran negara dalam perencanaan tata ruang wilayah ................. 98
4.3.2.3 Tujuan perencanaan .................................................................... 98
4.3.2.4 Ruang lingkup perencanaan ........................................................ 99
4.3.2.5 Metode perencanaan ................................................................. 101
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 105
4.1 Simpulan ................................................................................................... 105
4.2 Saran.......................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 109
LAMPIRAN........................................................................................................ 114

xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Taksonomi Policy Networks ........................................................... 22
Tabel 2.2 Taksonomi dari Komunitas Kebijakan ........................................... 23
Tabel 2.3 Taksonomi Taksonomi dari Perubahan Kebijakan ......................... 23
Tabel 2.4 Dampak Perubahan Ide dan Kepentingan pada Perubahan
Kebijakan........................................................................................ 24
Tabel 2.5 Perbandingan Pendekatan Rasional Komprehensif dengan
Pendekatan Inkremental ................................................................. 31
Tabel 2.6 Perbandingan Pendekatan Perencanaan .......................................... 39
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian................................................... 55
Tabel 3.2 Teknik Analisis Data....................................................................... 46

xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Ekonomi Politik dari Perubahan Kebijakan ...................................... 21
Gambar 2.2 Model Penelitian ............................................................................... 43
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 44
Gambar 4.1 Rencana Struktur Ruang.................................................................... 61
Gambar 4.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar .................................. 64
Gambar 4.3 Skema Penetapan dan Pencapaian Target Proporsi RTHK 35% ...... 68
Gambar 4.4 Sebaran Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) ................................... 69
Gambar 4.5 Penetapan Kawasan Strategis Kota ................................................... 71

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari

pusat-pusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah memiliki

adat istiadat, sistem Subak dan pemerintahan sendiri. Struktur masyarakat di tiap-

tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai wilayah dengan

karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan keagamaan,

melainkan juga persoalan sosial dan budaya.

Keadaan yang demikian bisa dilihat dari kondisi yang ada di Denpasar.

Secara geografis, Kota Denpasar mempunyai luas 12.398 km2. Tanahnya

merupakan endapan alluvial, yaitu terdiri dari endapan-endapan sungai dan

lapukan tanah vulkanik. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat

pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik,

namun juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan untuk

menjadi kota administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah

Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini mengingat dari jumlah penduduk Kota

Denpasar saat itu yang mencapai 150.000 jiwa, sehingga Kabupaten Badung yang

semula hanya memiliki 6 kecamatan sekarang menjadi 7 kecamatan. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1978, Kota Denpasar diubah statusnya

menjadi Kota Administratif Denpasar yang membawahi tiga kecamatan yakni:

Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Denpasar Timur dengan luas 27,73 km2

1
2

dan Denpasar Selatan yang memiliki luas 46,19 km2. Apabila dilihat letak

strategis dengan daerah pusat kota, masing-masing kecamatan memiliki jarak

yang relatif sama ke pusat kota antara 4-5 km. Kota Denpasar terdapat 16 wilayah

kelurahan dan 27 wilayah desa. Selain itu, masih terdapat 35 desa adat dimana

desa adat ini dapat meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya yang meliputi

dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibukota propinsi

dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia Bagian Tengah (Warsilah

dalam Ardhana, 2004: 2).

Di era modern ini, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Bali Selatan

seperti Tabanan atau Gianyar, tampaknya Denpasar mengalami perkembangan

yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di sektor

perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai pusat

pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah

mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti

urbanisasi.

Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada

umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalan-

persoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari tidak tertatanya dengan baik

masalah infrastruktur kota. Dengan demikian diperlukan suatu upaya perencanaan

kota untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut.

Aktivitas perencanaan kota mempunyai peran penting dalam membentuk

lingkungan perkotaan dan juga gaya hidup bagi masyarakat pada lingkungan

tersebut. Perencanaan kota pada awalnya muncul sebagai respon terhadap kota
3

industri modern, yang menghasilkan urbanisasi yang pesat pada abad XIX,

terutama di Eropa dan Amerika Utara. Ada sebuah kepercayaan bahwa masalah

sosial bisa diselesaikan dengan cara mendesain ulang kota (Rydin, 1993: 17;

Krueckeberg, 1997: 3; Yewlett, 2001: 1304; Thorns, 2002: 180; UN-Habitat,

2009: 49).

Hal ini membawa perencanaan berkesinambungan untuk menemukan

paradigma yang lebih baik untuk menghadapi kompleksitas lingkungan perkotaan.

Dari sinilah kemudian mulai berkembang teori perencanaan sebagai kerangka

panduan dalam melakukan perencanaan. Program pada lembaga pendidikan

perencanaan secara tipikal mengetengahkan dua model teori perencanaan yaitu

teori tentang proses perencanaan dan teori tentang konteks atau konten (substansi)

perencanaan misalkan teori tentang struktur ruang kota (Fainstein, 2005: 121).

Dapat dikatakan teori perencanaan terdiri atas dua unsur, yaitu unsur hal yang

ingin dicapai dan unsur cara untuk mencapainya (Rustiadi, 2009: 336) atau

komponen prosedural dan substantif (Klaasen, 2003: 73).

Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir telah muncul paradigma

baru mengenai perencanaan dalam memandu perencana dalam dunia praktis atau

profesional (Innes, 1983: 35; Pallagst, 2006: 7). Muncul berbagai pertanyaan

bagaimana seharusnya perencana terlibat dalam perencanaan. Bagaimana

perencana menempatkan diri, apakah sebagai analis yang bebas nilai atau sebagai

aktor politik yang efektif dan berkomitmen (pada klien, masyarakat)?

Permasalahan tersebut semakin tajam ketika perencanaan kota

berkembang menjadi suatu sistem birokratis yang diatur oleh pemerintahan lokal
4

dan diperjelas dengan perangkat peraturan tentang perencanaan kota/wilayah

(Thorns, 2002: 179-180). Perkembangan institusionalisasi perencanaan seperti itu

telah menyebabkan hadirnya politik sebagai kekuatan dominan dalam membentuk

kota (Brooks, 1993: 143). Konsekuensinya, perencanaan tidak lagi menjadi suatu

aktivitas mandiri oleh perencana, melainkan sebagai sebuah sistem kegiatan yang

melibatkan multi-aktor.

Dalam prakteknya tidak mungkin membicarakan perencanaan terpisah dari

konteks institusional dan politik, serta adanya kesulitan dalam memadankan relasi

kekuasaan dalam diskursus perencanaan (Friedmann, 1998, 245). Serta proses

perencanaan yang seiring dengan perumusan kebijakan publik dan memiliki

stereotipe sebagai sebuah proses yang kental dengan nuansa teknokratis dan

prosedural. Kepentingan para pihak dalam proses memegang peranan yang besar

dalam menentukan substansi dan hasil perencanaan (Mukhlis, 2009: 2).

Praktek perencanaan kota sebagai sebuah kebijakan publik juga telah

terjadi di Bali sejak tahun 1965, yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang untuk pertama kalinya direncanakan tata ruang wilayahnya. Dalam

memenuhi tuntutan perkembangan kota, sejak tahun 1986, Pemerintah Bali

menerapkan program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) atau Bali

Urban Infrastructure Programme (BUIP). Khusus untuk Kota Denpasar,

kemudian memiliki beberapa dokumen perencanaan, antara lain: Peraturan Daerah

(yang selanjutnya disebut Perda) No.11 tahun 1992 tentang Rencana Umum Tata

Ruang Kota Denpasar, Peraturan Daerah No.10 tahun 1999 tentang Rencana Tata

Ruang Kota Denpasar (Suarca, 2010: VIII.3-1 - VIII.3-4).


5

Rencana Pemerintah Kota (yang selanjutnya disebut Pemkot) Denpasar

untuk merevisi Perda No 10 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Denpasar sejatinya sudah muncul sejak tahun 2007. Pasalnya, Perda

RTRW dimaksud dinilai sudah kadaluwarsa dan kondisi di lapangan sudah

banyak yang berubah. Berdasarkan fakta tersebut, Bappeda Kota Denpasar telah

merancang revisi Perda RTRW yang akan diberlakukan dalam menata ruang di

kota yang berwawasan budaya ini. Sejauh mana proses revisi RTRW Denpasar

kini? Pembahasan ranperda RTRW Denpasar ini dipastikan memerlukan waktu

yang paling panjang di antara perda-perda yang dikeluarkan Pemkot Denpasar.

Pembahasan awal ranperda RTRW ini sudah berlangsung sejak

tahun 2007 lalu yang dimotori Bappeda Kota Denpasar (Balipost, 16 Nopember

2009). Ranperda tersebut kemudian baru disahkan pada tahun 2011 menjadi

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 2031.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan suatu kajian dalam

rangka memperoleh pemahaman tentang proses perencanaan RTRW Kota

Denpasar sebagai sebuah proses kebijakan publik. Melalui penelitian ini

diharapkan muncul pengetahuan atau pemahaman baru mengenai bagaimana

praktek perencanaan kota dilakukan dalam lingkungan kebijakan publik, dalam

situasi dan kondisi tertentu di Kota Denpasar, sehingga nantinya dapat menjadi

bahan kajian dan pertimbangan dalam menghadapi perencanaan ke depan.


6

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan sejumlah rumusan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota

Denpasar 2011-2031?

2. Pihak-pihak dan kepentingan manakah yang berpengaruh dalam penyusunan

Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031?

3. Bagaimana pendekatan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang wilayah

di Kota Denpasar serta produk kebijakan yang dihasilkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang

RTRW Kota Denpasar 2011-2031.

2. Untuk mengetahui pihak-pihak dan kepentingan yang berpengaruh dalam

penyusunan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-

2031.

3. Untuk mengetahui pendekatan yang diterapkan dalam perencanaan tata ruang

wilayah di Kota Denpasar serta produk kebijakan yang dihasilkan.


7

1.4 Manfaat Penelitian

Secara ringkas manfaat penelitian ini ke depan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat akademis, penelitian ini dimaksud sebagai upaya pendekatan ilmiah

dan analisis akademis terhadap praktek perencanaan kota, sehingga dapat

memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang teori dan praktek perencanaan kota.

2. Manfaat praktis, hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan dapat

menambah referensi sebagai bahan refleksi dan antisipasi dalam melakukan

perencanaan ke depan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pada sub bahasan ini akan dibahas penelitian-penelitian yang relevan

dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian pertama, berjudul Nilai-nilai

Budaya Bali dalam Produksi Tata Ruang di Kota Denpasar (Studi Kasus Jl. Gatot

Subroto Timur, Denpasar oleh Pratiwi (2006). Penelitian ini dilatarbelakangi

oleh adanya Jalan Gatot Subroto Timur yang dibangun tahun 1980-an sebagai

kawasan bisnis baru Kota Denpasar, yang diciptakan dari sebuah konsep baru

yaitu konsolidasi tanah perkotaan, suatu konsep pembentukan wilayah yang bukan

berasal dari konsep tradisional tata ruang Bali.

Fokus penelitian pada proses perencanaan Jalan Gatot Subroto dan kondisi

tata ruang sesudahnya, namun bukan dari sisi teori perencanaan. Teori yang

digunakan mengacu pada teori Lefebvre, yaitu bahwa pembentukan ruang secara

sosial mempunyai tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu spatial practice

(praktek keruangan), representations of space (ruang tergagas), representational

spaces (ruang terhuni).

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif khususnya

pendekatan studi kasus, dengan mempertimbangkan bahwa perubahan tata ruang

dan produksi tata ruang yang diteliti, yang meliputi aspek internal dan eksternal.

Penelitian dilakukan kepada informan yang merupakan pihak-pihak yang berperan

dalam produksi ruang yang diteliti, yaitu pemerintah, pemerhati kota ahli

8
9

budayawan, serta penghuni dan pemakai jalan. Sedangkan pengambilan sumber

data primer dilakukan dengan wawancara terarah.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa spatial

practice (praktek keruangan) Jalan Gatot Subroto Timur memang bernuansa

campuran; campuran permukiman dan tempat usaha serta campuran antara yang

menggunakan konsep-konsep ruang Bali maupun tidak, baik di dalam

representational spaces maupun representations of space sehingga menghasilkan

suatu pola tata ruang yang tanggung atau setengah-setengah. Walaupun demikian

pemerintah tampaknya tidak berkeberatan dengan adanya praktek keruangan

semacam ini, terbukti dengan tidak dipersulitnya memperoleh perijinan bangunan.

Penelitian kedua berjudul Analisis Kebijakan dalam Perencanaan Kota

Baru Lampung di Natar oleh Mukhlis (2009). Penelitian ini dilatarbelakangi

kebijakan dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk memindahkan kantor

pemerintahan Provinsi Lampung dengan membangun Kota Baru Lampung di

Natar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi proses formulasi

lahirnya kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung di Natar berdasarkan Perda

13 Tahun 2007. Ada asumsi bahwa proses formulasi tidak dilakukan secara ideal

sehingga menjadi permasalahan utama mengapa kebijakan tersebut belum

diimplementasikan hingga saat ini.

Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif murni dengan

mempergunakan teori kelayakan isu publik sebagai agenda setting, teori formulasi

kebijakan dalam sebuah sistem politik, teori dimensi politik dan kekuasaan dalam

proses perencanaan, serta teori kelayakan implementasi kebijakan terhadap


10

kriteria teknis, keuangan dan ekonomi, administratif dan kelayakan politis

menjadi beberapa landasan teori yang dipergunakan sebagai alat analisis.

Beberapa sumber data yang dipergunakan adalah sebagai berikut: pertama,

diperoleh dari sumber primer, yaitu berupa data pengalaman, pemahaman dan

pengetahuan informan (narasumber) yang mewakili informasi bukan responden

yang mewakili populasi. Data pengalaman dimaksudkan sebagai data yang

diperoleh langsung dari para pihak, elit serta stakeholders lain yang teridentifikasi

dalam proses perencanaan Kota Baru Lampung di Natar; atau para pakar yang

sengaja diminta oleh peneliti untuk memberikan penguatan terhadap analisis yang

dilakukan.

Selain wawancara, dokumen-dokumen yang secara deskriptif menjelaskan

komentar dan pernyataan dari para narasumber dalam berbagai kesempatan

maupun pemberitaan yang terkait masuk dalam kategori sumber data primer.

Sementara data sekunder terdiri dari literatur dan dokumen-dokumen lain baik

berupa tulisan yang dimuat di surat kabar, majalah yang sudah maupun belum

dipublikasikan juga hasil penelitian orang lain yang mempunyai korelasi erat

dengan substansi penelitian; termasuk berbagai dokumen yang ada di Provinsi

Lampung yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian.

Berdasarkan sumber data primer dan sekunder dapat dijelaskan bahwa

sebagai sebuah kebijakan, menunjukkan bahwa persoalan atau problem perkotaan

yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung memiliki relevansi untuk dijadikan

sebagai latar belakang lahirnya Kota Baru Lampung di Natar. Bagi pengambil

kebijakan problem perkotaan tersebut layak dijadikan sebagai agenda setting. Di


11

sisi lain, berdasarkan teori kelayakan kebijakan yakni technical feasibility,

economic dan financial possibility, administrative operability dan political

viability sulit untuk mengatakan bahwa kebijakan pembangunan Kota Baru

Lampung di Natar telah memenuhi unsur rasionalitas tersebut.

Kedua penelitian ini meneliti tentang praktek perencanaan di dua lokasi

berbeda, dengan perspektif yang berbeda pula. Analisis pada penelitian pertama

menggunakan teori produksi ruang secara sosial, sedangkan penelitian kedua

menggunakan teori kebijakan publik. Namun kedua penelitian di atas

menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode pengumpulan data yang

serupa, yaitu melalui wawancara terhadap para pihak yang terlibat langsung, para

pakar dan praktisi untuk memperoleh sumber data primer. Sedangkan data

sekunder diperoleh melalui tulisan-tulisan pada media massa dan dokumen lain

yang relevan dengan penelitian tersebut di atas.

2.2 Konsep

Sub-bab ini akan membahas tentang konsep yang merupakan hasil

abstraksi dan sistesis teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang

dihadapi. Konsep memberikan batasan atas peristilahan dalam penelitian ini.

2.2.1 Pendekatan perencanaan kota

Istilah perencanaan telah muncul dalam berbagai literatur. Dalam

pemberian definisi terlihat berbagai pihak sering mengartikan perencanaan secara

berbeda, namun pengertian yang paling sederhana adalah suatu cara rasional

untuk mempersiapkan masa depan, atau apa yang ingin dicapai di masa depan.
12

Artinya, perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di

masa depan serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk

mencapainya. Pendekatan perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah

pencapaian serta mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kapasitas

untuk mencapainya, kemudian memilih arah-arah terbaik untuk mencapainya

(Kay dan Alder dalam Rustiadi dkk, 2009: 335).

Mendefinisikan lingkup perencanaan ternyata tidak mudah karena sifatnya

sangat terkait dengan berbagai bidang kajian, sehingga hampir tidak mungkin

dieksklusifkan sebagai suatu teori atau kajian yang bersifat khusus dan sulit untuk

mempelajarinya terpisah dengan bidang lainnya. Kesulitan itu antara lain

disebabkan:

1. Perencanaan muncul bersamaan dengan semua aspek disiplin ilmu sosial,


sehingga sulit untuk membuat batasan;
2. Batasan profesi antara perencana dengan profesi-profesi terkait (real estate
developer, arsitek, pemerintah dan lain-lain) tidaklah jelas. Tidak ada
perencana yang hanya melakukan perencanaan, sebaliknya para non-
perencana juga melakukan perencanaan,
3. Bidang perencanaan ada yang dibagi berdasarkan atas obyek perencanaan
(perencanaan guna lahan, perencanaan transportasi, perencanaan kota dan
lain-lain) dan ada pula yang didasarkan atas metode (cara mengambil
keputusan) (Campbell dan Fainstein dalam Rustadi, et. al, 2009: 336).

Friedmann (1998: 245) menyatakan kesulitan dalam merumuskan

perencanaan dikarenakan:

1. Masalah dalam mendefinisikan perencanaan sebagai suatu objek yang


diteorikan,
2. Ketidakmungkinan membicarakan perencanaan terpisah dari konteks
institusional dan politik aktual,
3. Ada beberapa model perencanaan dan dilema untuk memilih salah satu di
antaranya; dan
4. Kesulitan mempersatukan relasi kekuasaan ke dalam diskursus perencanaan.
13

Definisi perencanaan kemudian mengalami perubahan dari waktu ke

waktu dan tidak seragam di seluruh dunia. Pandangan awal mendefinsikan

perencanaan kota sebagai perancangan fisik, yang dilaksanakan dengan kontrol

guna lahan dan berpusat pada negara, sebagai respon terhadap pertumbuhan pesat,

kekacauan, pertumbuhan populasi serta urbanisasi dari kota-kota di Eropa barat

pada abad ke 19 sebagai akibat revolusi industri (Rydin, 1993: 17; Krueckeberg,

1997: 3; Yewlett, 2001: 1304; Thorns, 2002: 180; UN-Habitat, 2009: 49).

Perencanaan pada masa kini merupakan suatu pendekatan yang dinamis yang

bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya dengan

menciptakan tempat yang lebih nyaman, adil, sehat, efisien dan atraktif untuk

generasi sekarang dan masa yang akan datang (American Planning Association,

2009).

Karena peranannya yang meluas, perencanaan kota dipandang sebagai

suatu pendekatan kesadaran kolektif (sosial) untuk membayangkan ulang suatu

kota. Dalam hal ini perencanaan berperan sebagai social reform, analisis

kebijakan, pembelajaran sosial dan mobilasi sosial (Friedmann, 1996: 20).

Perencanaan karenanya tidak hanya melibatkan perencana kota profesional, hal ini

merujuk pada perencanaan sebagai sebuah sistem daripada sebagai suatu aktivitas

mandiri oleh perencana. Meskipun demikian, perencanaan kota (atau wilayah)

memiliki perhatian khusus yang dipisahkan dari bidang lain, contohnya

perencanaan ekonomi atau perencanaan kesehatan. Inti dari perencanaan kota

adalah perhatian pada ruang. Perencanaan juga menonjolkan gerakan

pembangunan dari masa lalu ke masa depan. Hal ini berdampak pada
14

kemungkinan untuk memutuskan tindakan yang tepat terhadap dampak potensial

dalam membentuk relasi sosio-spasial perkotaan (Healey dalam UN-Habitat,

2009: 19).

Istilah perencanaan dapat juga merupakan bagian instrumental dan aspek

institusional dari negara yang mengandung arti cara kepemerintahan (suatu bentuk

politik) yang dikendalikan oleh kebijakan melalui beberapa proses bahasan dan

keputusan tindakan kolektif dalam relasinya dengan kebijakan tersebut (Harvey,

1985: 174; Bolan, 1996: 497, Yone, 2007: 320). Perencanaan karenanya bukan

kegiatan teknis yang netral tapi dibentuk oleh nilai yang harus dibuat eksplisit,

dan perencana sendiri secara fundamental terlibat dengan membuat keputusan

etis.

Dari berbagai pendapat dan definisi, perencanaan sebagai suatu profesi

dan seperangkat praktek terdiri atas dua hal yaitu unsur hal yang ingin dicapai

dan unsur cara untuk mencapainya (Rustiadi, 2009: 336); atau proses dan isi

(Brooks, 1993: 142) atau dimensi prosedural dan substantif (Klaasen, 2003: 73).

Dalam ranah teoritis, Fainstein mengemukakan bahwa teori perencanaan atau

planning theory lebih banyak membahas tentang dimensi prosedural perencanaan

dan teori urban atau urban theory serta teori dalam perencanaan atau theory in

planning membahas tentang dimensi substantif dari perencanaan (Fainstein, 2005:

121). Teori perencanaan, lebih banyak memuat teori pengambilan keputusan,

manajemen dan organisasi. Teori urban atau teori dalam perencanaan, terbentuk

dari berbagai pendekatan multidisiplin, seperti arsitektur, geografi, transportasi,

ekonomi dan sebagainya. Karena luasnya ruang lingkup perencanaan, maka


15

perencanaan dilakukan berdasarkan berbagai kombinasi pendekatan (Rustiadi,

2009: 342).

2.2.2 Rencana tata ruang wilayah

2.2.2.1 Tata ruang

Tata Ruang merupakan wujud dari pola ruang dan struktur ruang

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26

Tahun 2007. Pola ruang erat kaitannya dengan istilah-istilah kunci seperti

pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, serta posisi/lokasi dan lain-

lain. Istilah pola pemanfaatan ruang (atau pola ruang) berkaitan dengan aspek-

aspek distribusi (sebaran) spasial sumberdaya dan aktivitas pemanfaatannya

menurut lokasi. Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya

digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Peta land use (penggunaan lahan) dan

peta land cover (penutupan lahan) adalah bentuk deskripsi terbaik di dalam

menggambarkan pola pemanfaatan ruang. Struktur ruang merupakan gambaran

mengenai linkages (hubungan keterkaitan) antara aspek-aspek aktivitas

pemanfaatan ruang dan hubungan antar komponen-komponen yang ada pada

suatu wilayah. Di dalam interaksi spasial di daratan, secara spasial aspek

keterkaitan digambarkan dengan unsur jaringan prasarananya, sarana angkutan,

obyek yang dialirkan, besaran aliran, hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi

yang dituju. Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah

aspek struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Pada akhirnya, gambaran

mengenai kapasitas atau hirarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada

kebutuhan sarana dan prasarana (Rustiadi dkk, 2009: 389, 390).


16

2.2.2.2 Rencana tata ruang wilayah

Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang

dilakukan agar terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif dan

berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan

keseimbanganantar wilayah. Proses perencanaan tata ruang sendiri dapat

dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses, output. Input

yang digunakan adalah keadaan fisik yang diproses dengan analisis secara

integral, baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata

ruang nasional, provinsi maupun kabupaten/kota sehingga menghasilkan output

berupa Rencana Tata Ruang yang menyeluruh, yaitu Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota.

Khusus untuk RTRW Kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang skala

kabupaten/kota dengan muatan kelengkapan infrastruktur dasar di tingkat lokal

atau regional yang disesuaikan dengan karakteristik zona-zona pengembangan

kawasan yang ada. Pada tataran operasional, RTRW tersebut perlu dikembangkan

lagi menjadi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dilengkapi dengan aturan

pemanfaatan lahan yang dapat dijadikan dasar dalam pemberian izin dan

pengendalian pemanfaatan ruang yang ada (Supriyatno, 2009: 57-58).

Produk Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, adalah sebagai berikut

1. Tujuan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota

2. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; muatan yang

diatur adalah:

a. Rencana Struktur Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; terdiri atas


17

1) Arahan Pengembangan dan Distribusi Penduduk; Arahan distribusi

penduduk merupakan perkiraan jumlah dan kepadatan penduduk wilayah

kota hingga akhir tahun perencanaan yang selanjutnya dirinci dalam

distribusi pada setiap kawasan, sesuai dengan daya dukungnya.

2) Rencana Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan; merupakan susunan yang

diharapkan dari unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam perkotaan,

lingkungan sosial perkotaan, dan lingkungan buatan perkotaan yang secara

hirarkis dan struktural berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang

wilayah kota yang meliputi distribusi penduduk per unit permukiman

perkotaan, dan sebaran pusat-pusat pelayanan perkotaan (fungsi primer dan

sekunder).

3) Rencana Sistem Jaringan Transportasi; Sistem jaringan pergerakan dan

prasarana penunjang bagi angkutan jalan raya, angkutan kereta api,

angkutan laut, angkutan sungai, danau dan penyeberangan serta angkutan

udara.

4) Rencana Sistem Jaringan Utilitas (telekomunikasi, energi, pengairan,

prasarana pengelolaan lingkungan); Sistem jaringan utilitas dalam Wilayah

Kota/Kawasan Perkotaan sampai dengan akhir tahun perencanaan.

b. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota; merupakan bentuk

pemanfaatan ruang wilayah kota yang menggambarkan ukuran, fungsi serta

karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam. Materi yang diatur

meliputi kawasan budidaya perkotaan dan kawasan lindung.


18

3. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung, Budidaya Perkotaan, dan Kawasan

Tertentu; meliputi:

a. Rencana Pengelolaan Kawasan Perkotaan; mencakup rencana penanganan

lingkungan perkotaan, arahan kepadatan bangunan, dan arahan ketinggian

bangunan.

1) Rencana Penanganan Lingkungan Kota; Jenis penanganan lingkungan

dan jaringan pergerakan serta utilitas untuk tiap unit lingkungan dan

atau kawasan yang akan dilaksanakan dalam kota.

2) Arahan Kepadatan Bangunan; Perbandingan luas lahan yang tertutup

(bangunan dan prasarana serta lainnya seperti : jalan, perparkiran, dll)

dalam tiap unit lingkungan dan atau kawasan dengan luas kawasan (land

coverage).

3) Arahan Ketinggian Bangunan; ketinggian bangunan untuk setiap

kawasan kota, sesuai dengan daya dukung kawasan yang dirinci untuk

setiap unit lingkungan dan atau kawasan.

4) Rencana Penatagunaan Tanah, Air, Udara dan Sumber Daya lainnya

dengan memperhatikan keterpaduan sumber daya alam dengan sumber

daya buatan; mencakup penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya yang berwujud

konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam

lainnya (termasuk arahan baku mutu udara, air; pemanfaatan udara bagi

jalur penebangan dan komunikasi; pemanfaatan air dan penggunaannya)


19

b. Rencana pengelolaan kawasan tertentu di perkotaan; mencakup penanganan

lingkungan dan pengaturan bangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan

pengelolaan kawasan tertentu dengan tetap menjamin keserasiannya dengan

pengelolaan kawasan perkotaan lainnya.

4. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang; merupakan kegiatan pengawasan

dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan,

pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme

pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme

pengenaan sanksi.

5. Legalisasi; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ditetapkan dengan Peraturan

Daerah Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Rencana Tata Ruang

yang telah diperdalam merupakan dokumen peraturan perundangan yang

mengikat secara hukum bagi masyarakat.

Perencanaan tata ruang dalam penelitian ini adalah perencanaan RTRW

tingkat kabupaten/kota. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kota

Denpasar telah memiliki beberapa dokumen perencanaan, antara lain: Dokumen

RIK tahun 1971, Dokumen RIK tahun 1981, Perda RUTR Kota No.11 tahun

1992, Dokumen RTRWK tahun 1993, dan Perda RTRWK No.10 tahun 1999.
20

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Perubahan kebijakan

Proses kebijakan yang sebenarnya juga merupakan proses politik yang

terlalu kompleks untuk dipandang sebagai proses linier formulasi-implementasi-

evaluasi semata. Dalam kacamata pandang proses politik ini, bahkan, evaluasi

hanyalah merupakan bahan tambahan dalam kancah politik sebagai penyeimbang

pertarungan kepentingan yang dialektis untuk kemudian terjadi keputusan-

keputusan politik tertentu (Parsons, 1997: 569).

Grindle dan Thomas mengembangkan sebuah kerangka untuk

mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang perubahan kebijakan. Kerangka yang

mereka gagas pada dasarnya bersifat analitis, karena berusaha memetakan proses

dan mengidentifikasi faktor-faktor penting yang mempengaruhi hasil pengenalan

pembaharuan. Kerangka kerja ini membuat sistemastisasi pemikiran mengenai

bagaimana konteks bias mempengaruhi situasi-situasi tertentu, bagaimana situasi-

situasi tersebut membentuk pilihan-pilihan, bagaimana opsi-opsi dijelaskan dalam

batasan politik, teknis, birokratik dan implikasinya dan bagaimana karakteristik

kebijakan mempengaruhi konflik dan sumber-sumber yang diperlukan untuk

mengatur upaya pengenalan perubahan kebijakan yang reformatif. Jadi, kerangka

ini semata-semata mencerminkan pengetahuan intuitif dari pembuat kebijakan

yang bermanuver dalam situasi kompleks untuk mencapai tujuan tertentu.


21

I. Konteks Lingkungan II Keadaan Agenda Setting

Persepsi
KARAKTERISTIK
INDIVIDU DARI ELIT
SITUASI KRISIS POLITIK SEPERTI
KEBIJAKAN
Tekanan kuat untuk BIASANYA
Ideologi
perubahan Persoalan telah
Keahlian professional
Tingkat pertaruhan dipilih
Memori dan kesamaan
tinggi Tingkat pertaruhan
situasi kebijakan
Pengambilan rendah
Posisi dan sumber-sumber
keputusan tingkat Pengambilan
kekuasaan
tinggi keputusan tingkat
Komitmen institusional
Perubahan inovatif rendah
dan politik
Tekanan untuk Perubahan
Tujuan dan atribut
mengambil tindakan incremental
personal
secepatnya Waktu yang fleksibel
FOKUS PERHATIAN
KONTEKS PILIHAN PEMBUATAN KEPUTUSAN
KEBIJAKAN
Tekanan sosial Pembuatan kebijakan Pembuatan kebijakan
Konteks historis cenderung didominasi cenderung didominasi
Kondisi ekonomi oleh relasi politik oleh relasi politik
Kapasitas administrasi makro mikro dan hubungan
Kebijakan lainnya birokratik

III Keadaan Agenda Setting


`
ARENA KONFLIK
PUBLIK BIROKRATIK
Dampak langsung luas, Tidak berdampak langsung
memilliki kecepatan luas, tidak visibel bagi
dan kelayakan yang publik
tinggi bagi publik
SUMBER-SUMBER UNTUK
IMPLEMENTASI DAN KELANJUTAN
Legitimasi
Tradisi stabilitas politk
Reformasi individual atau sistemik
Otonomi
Derajat konsensus
Tingkat dukungan politik
Otoritas organisasi
Gambar 2.1 Ekonomi Politik dari Perubahan Kebijakan
Sumber: Grindle dan Thomas, 1991
22

2.3.2 Konfigurasi subsistem kebijakan

Dalam studi kebijakan publik, dimensi politik mau tidak mau harus

menjadi fokus perhatian. Karena sesungguhnya kebijakan publik itu adalah

sebuah kompleksitas Tarik menarik pengaruh dari berbagai pihak yang begitu

beragam.

Politik juga mampu menggambarkan dan mengintegrasikan apa

sesungguhnya persoalan kebijakan yang ada. Persoalan kebijakan muncul ke

permukaan dengan cara yang sangat kompleks, yaitu melalui dinamika

masyarakat yang di situ melibatkan aspirasinya, konsep diri, kepercayaan dan

kemudian mengkonstruksi persoalan-persoalan tertentu. (Howlett dan Ramsesh,

1998: 468).

Untuk melihat lebih dalam tipe dari sebuah subsistem yang ada, maka kita

harus mencermati dua aspek penting yaitu jaringan kebijakan dan komunitas

kebijakan. Ada dua variable yang harus dilihat, yaitu pihak-pihak dominan. Dua

pihak tersebut dikonstruksi pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1
Taksonomi Policy Networks

Pihak-pihak dominan Jumlah anggota


Sedikit Banyak
Negara Birokratis, sistem klien atau Jaringan pluralis
jaringan korporatis
Masyarakat Parsipatori, menangkap Jaringan isu
semua elemen

Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 470

Demikian pula bila akan memahami keadaan komunitas kebijakan di suatu

tempat maka juga menggunakan dua variable yaitu apakah ada ide-ide yang
23

dominan dan berapa banyak bangunan ide yang ada. Untuk lebih jelas bias dilihat

pada Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2
Taksonomi dari Komunitas Kebijakan

Adanya dominasi ide Banyaknya ide


Sedikit Banyak
Ada Hegemonik Perpecahan
Tidak ada Perlombaan Kekacauan

Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 471

Setelah kita tahu tipe dari subsistem kebijakan di atas, maka berikutnya

kita juga harus mengetahui lebih lanjut tentang tipe dari perubahan kebijakan itu

sendiri. Ada dua tipe perubahan kebijakan, yaitu inkremental dan rasional

komprehensif. Tapi tidak bisa hanya dilihat tipe perubahan kebijakan dari kedua

kategori tersebut, namun juga harus dilihat dari aspek tempo atau kecepatan

perubahan itu terjadi. Kedua dimensi di atas (model perubahan dan kecepatan

perubahan) dikonstruksikan pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3
Taksonomi dari Perubahan Kebijakan

Model perubahan Kecepatan perubahan


Cepat Lambat
Paradigmatik Paradigmatik cepat Paradigmatik gradual
Normal Inkremental cepat Inkremental gradual

Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 472

Kendati demikian tabel di atas masih belum mampu menjelaskan sampai

pada saat mana perubahan itu menjadi cepat atau lambat. Dalam hal ini apa yang

menyebabkan terjadinya kecepatan atau kelambatan dari sebuah perubahan

tersebut. Untuk melihat kecepatan perubahan kebijakan kita juga harus melihat

aspek ide. Kita harus melihat perubahan pada tingkat ide ini. Bila tidak ada
24

perubahan pada tingkat ini maka bisa dipastikan bahwa perubahan yang terjadi

akan inkremental. Untuk lebih jelas bias dilihat pada Tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4
Dampak Perubahan Ide dan Kepentingan pada Perubahan Kebijakan

Adanya perubahan tingkat Adanya perubahan aktor/kepentingan


ide Ya Tidak
Ya Paradigmatik cepat Paradigmatik lambat
Tidak Inkremental cepat Inkremental lambat

Sumber: Howlett dan Ramesh, 1998: 473

Perencanaan memiliki ruang lingkup yang luas, oleh karena itu

perencanaan umumnya dilaksanakan dengan berbagai pendekatan. Dalam

landasan teori berikut ini, pendekatan perencanaan akan dibedakan menjadi dua

pendekatan, yaitu: pendekatan prosedural dan pendekatan substantif.

2.3.3 Pendekatan perencanaan

Berdasarkan prosesnya, perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi

perencanaan rasional komprehensif, perencanaan inkremental, mixed scanning,

perencanaan strategis, perencanaan advokasi, Equity planning, perencanaan

adaptif, perencanaan transaktif, dan pembangunan konsensus.

2.3.3.1 Perencanaan rasional komprehensif

Rational comprehensive planning (pendekatan rasional komprehensif) atau

disebut juga synoptic planning (perencanaan sinoptis) (Hoogerwerf 1983, 28;)

merupakan tradisi perencanaan yang dominan dan paling luas diterima (Winarno,

2002: 74) serta menjadi titik permulaan bagi sebagian besar pendekatan-
25

pendekatan perencanaan yang muncul kemudian sebagai modifikasi atau reaksi

atas pendekatan rasional komprehensif-sinoptis ini (Hudson, 1979: 388).

Seperti arti namanya, yaitu komprehensif, yang berarti menyeluruh,

analisis dalam perencanaan komprehensif dilakukan dari semua aspek kehidupan

perkotaan (kependudukan, perekonomian, sosial, fisik dan sebagainya) (Djunaedi,

2000: 3) dan sangat menekankan pada rasionalitas dengan bermodalkan

komprehensivitas informasi dan keahlian pembuatan keputusan (Islamy, 1992:

50). Dalam pendekatan ini, permasalahan dipandang sebagai suatu sistem yang

terintegrasi (satu sudut pandang sistem) menggunakan konsep dan model

matematika untuk mempertimbangkan sumber daya dan kendala dengan

ketergantungan yang besar terhadap jumlah dan analisis kuantitatif (Hudson,

1979: 389; Paturusi, 2008: 32).

Berikut ini adalah merupakan ciri-ciri atau karakteristik dari model

rasional-komprehensif menurut Lindblom (Hoogerwerf, 1983: 25; Islamy, 1988:

4.4):

1. Penentuan nilai-nilai dan tujuan-tujuan dibedakan dari dan umumnya


merupakan persyaratan bagi analisis empiris (menurut pengalaman)
dari alternatif-alternatif kebijaksanaan,
2. Perumusan kebijaksanaan oleh karena itu dapat didekati melalui
analisis cara dan tujuan. Terlebih dahulu tujuan dipisahkan dari cara-
cara untuk mencapai tujuan tersebut,
3. Suatu kebijakan disebut baik apabila didasarkan atas pemilihan
cara-cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
4. Analisis harus lengkap (komprehensif), setiap faktor yang penting
dan relevan diperhatikan,
5. Landasan teori sangat penting.
26

Berdasarkan karakteristik di atas, menurut Yehezkel Dror, untuk membuat

keputusan rasional, maka pembuat keputusan harus (Islamy, 1988: 4.4; Islamy,

1992: 50):

1. Mengetahui semua nilai-nilai utama yang ada pada masyarakat;


2. Mengetahui semua alternatif-alternatif yang tersedia;
3. Mengetahui semua konsekuensi-konsekuensi dari setiap alternatif;
4. Menghitung rasio antara tujuan-tujuan dan nilai-nilai sosial yang
dikorbankan bagi setiap alternatif dan
5. Memilih alternatif yang paling efisien.

Pendekatan rasional komprehensif dilakukan secara sekuensial (urut)

sebagai berikut: (1) penentuan tujuan, (2) identifikasi alternatif kebijakan, (3)

evaluasi cara mencapai tujuan dan (4) implementasi kebijakan. Proses ini tidak

selalu kaku mengikuti urutan ini, setiap tahap bisa mengalami pengulangan

beragam, umpan balik dan elaborasi pada setiap sub-proses (Hudson, 1979: 388).

Beberapa elaborasi terhadap proses ini seperti: (1) Perumusan masalah; (2)

Perumusan tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang diurutkan berdasarkan

nilai pentingnya, (3) menyusun alternatif untuk mencapai tujuan, nilai-nilai atau

sasaran tadi, (4) Penilaian konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari setiap

alternatif, (5) Setiap alternatif dan konsekuensi dibandingkan satu sama lain untuk

kemudian, (6) diputuskan alternatif terbaik yang memiliki nilai konsekuensi-

konsekuensi yang paling cocok (rasional) dengan tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan (Islamy 1988: 4.5; Islamy, 1992: 50; Winarno: 2002: 74).

Alternatif lain: (1) pengumpulan dan pengolahan data, (2) analisis, (3)

Perumusan tujuan dan sasaran perencanaan, (4) pengembangan alternatif rencana,

(5) evaluasi dan seleksi alternatif rencana dan (6) penyusunan dokumen rencana
27

(Djunaedi, 2000: 3). Atau (1) rumusan tujuan dan sasaran, (2) identifikasi dan

rancangan alternatif, (3) prediksi dampak yang akan ditimbulkan pada setiap

alternatif, (4) evaluasi dan penilaian terhadap alternatif berdasarkan tujuan dan

sasaran, (5) penentuan alternatif terbaik, (6) implementasi perencanaan, dan (7)

umpan balik hasil perencanaan untuk memperbaiki rencana berikutnya (Paturusi,

2008: 33).

Sebagai suatu model, pendekatan ini tentunya memiliki kelebihan dan

kelemahan (Paturusi, 2008: 32). Kelebihan pendekatan ini antara lain:

1. Spesifikasi perangkat tujuannya lengkap, menyeluruh, dan terpadu


2. Perumusan tingkat kepentingannya relatif sesuai dengan informasi
sumber daya dan prioritasnya. Produk akhir perencanaan sangat
ditentukan oleh kualitas informasi sebagai masukan awal,
3. Informasinya kontinu, akurat dan waktunya ketat. Keakuratan data
menjadi tumpuan utama pendekatan ini, sehingga diperlukan waktu,
kecermatan dan ketelitian untuk memilah dan memilih informasi
yang memang dibutuhkan dalam perencanaan,
4. Peramalan yang tepat dan rinci, dengan dukungan data yang akurat
disertai analisis rencana yang baik.

Kekurangan pendekatan ini antara lain:

1. Diperlukan survei yang rinci mencakup informasi fisik geografis,


data sosial kependudukan dan data sosial ekonomi. Untuk itu butuh
waktu yang banyak dan dana yang besar,
2. Dibutuhkan cara analisis yang rumit dan spesifik dengan data yang
baik, sesuai bidang masing-masing,
3. Hasil analisis yang canggih seringkali tidak sesuai dengan kenyataan
aktual. Karena pendekatannya sangat teoritis ilmiah, berbagai
prediksi dan analisis terlalu tinggi sehingga nyaris ke utopis (non-
implementability), dan
4. Sering mengabaikan kenyataan politik dan menggunakan anggapan
bahwa koordinasi selalu berjalan dengan baik.
28

Model rasional komprehensif yang sangat mengutamakan proses berpikir

rasional murni yang berorientasi pada pencapaian tujuan secara ekonomis dan

efisien jelas mengabaikan aspek emosional dan kekuasaan. Di mana kedua aspek

tersebut juga ikut berperan dalam praktek perencanaan (Forester, 1996a: 204;

Forester, 1996b: 241; Hoch, 1996: 30). Kritik paling gencar datang dari penganjur

teori inkremental yaitu Charles E. Lindblom. Ia mengatakan bahwa penerapan

model rasional komprehensif akan banyak mengalami hambatan/kekurangan

(Islamy, 1988: 4.11) karena:

1. Tidak akan ada nilai-nilai masyarakat yang sepenuhnya disepakati


oleh anggota-anggotanya, tetapi hanya beberapa nilai dari
kelompok-kelompok masyarakat dan individu-individu tertentu
saja yang disepakati dan itupun banyak yang bertentangan satu
sama lain.
2. Nilai-nilai yang saling bertentangan itu tidak dapat
diperbandingkan atau dinilai bobotnya, misalnya, adalah tidak
mungkin membandingkan dan menimbang nilai-nilai kemuliaan
seseorang terhadap peningkatan pembayaran pajaknya.
3. Lingkungan para pembuat kebijakan khususnya sistem kekuasaan
dan sistem kepemimpinan, menyebabkan mereka tidak mungkin
melihat atau menilai bobot nilai-nilai masyarakat secara tepat,
khususnya nilai-nilai yang tidak memiliki lawan (oposisi) yang
aktif atau sangat kuat.
4. Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk membuat
keputusan-keputusan atas dasar tujuan-tujuan masyarakat, tetapi
hanya untuk sebesar mungkin keuntungan mereka sendiri.
5. Para pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk memaksimumkan
pencapaian-pencapaian tujuan tetapi semata-mata untuk
memuaskan/memenuhi tuntutan-tuntutan untuk tetap maju;
mereka tidak berusaha menemukan suatu cara terbaik, tetapi
mereka telah menghentikan usahanya ketika mereka telah
menemukan alternatif yang dapat bekerja atau yang dapat dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut.
6. Banyak investasi-investasi besar yang terdapat pada program-
program dan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan sehingga
menghalangi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan
kembali alternatif-alternatif yang pernah dipilih pada pembuatan
kebijakan sebelumnya.
29

7. Terdapat sejumlah besar hambatan-hambatan untuk


mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk
mengenali semua alternatif kebijakan yang memungkinkan dan
akibat-akibat masing-masing alternatif tersebut termasuk biaya
pengumpulan informasi dan waktu yang dibutuhkannya.
8. Tidak adanya kemampuan meramal yang cukup baik pada ilmu-
ilmu sosial dan perilaku, maupun ilmu-ilmu fisika dan biologi
sehingga memungkinkan para pembuat kebijakan dapat
memahami semua konsekuensi-konsekuensi setiap alternatif.
9. Para pembuat kebijakan kendatipun dibantu dengan teknik-teknik
analisis komputer yang paling maju pun tidak akan mampu
menghitung secara tepat rasio biaya keuntungan bilamana
terdapat sejumlah besar nilai-nilai politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang berbeda.
10. Para pembuat kebijakan memiliki kebutuhan-kebutuhan pribadi,
keterbatasan-keterbatasan, penyimpangan-penyimpangan yang
dapat menghalangi mereka melakukan sesuatu secara rasional.
11. Ketidakpastian tentang akibat-akibat pelbagai macam alternatif
kebijakan memaksa para pembuat kebijakan berhenti berusaha
setelah menemukan alternatif-alternatif yang mendekati atau
mirip dengan alternatif kebijakan sebelumnya untuk mengurangi
akibat-akibat yang tidak diinginkan.
12. Sifat pembuat kebijakan yang berjenjang dan berbeda-beda dalam
birokrasi yang besar telah menyebabkan timbulnya kesulitan
dalam mengkoordinasikan pembuatan keputusan sehingga
masukan-masukan dan pelbagai macam spesialis perlu
dipertemukan untuk sampai kepada keputusan yang diinginkan.

2.3.3.2 Perencanaan inkremental

Setelah melihat kelemahan-kelemahan pada model rasional komprehensif,

Herbert A. Simon menawarkan model lain yang disebut prinsip rasional

terikat/terbatas. Simon menganggap model ini lebih realistis, karena mengakui

akan keterbatasan-keterbatasan yang ada perencana, seperti keterbatasan

pengetahuan, keahlian, waktu, dana, tenaga dan sebagainya, sehingga perencana

sebagai pembuat kebijakan tidak mampu mempertimbangkan semua nilai-nilai

sosial dan dampaknya secara detail. Oleh karena itu dalam membuat kebijakan,
30

perencana cukup memuaskan diri dengan hanya memilih satu alternatif yang

cukup baik yang dijumpai pertama kali dengan tanpa bersusah payah mencari

alternatif-alternatif yang paling baik (Islamy, 1988: 4.18; Parsons, 2005: 276).

Lebih lanjut Charles E Lindblom, mengemukakan bahwa perumusan

kebijakan analitis tidak dapat disangkal lagi punya keterbatasan dan harus

menyediakan ruang bagi politik sampai pada tingkat bahwa:

1. analisis bisa salah, dan masyarakat menyadari hal itu,

2. analisis tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik nilai dan kepentingan,

3. prosesnya lambat dan mahal, dan

4. analisis tidak dapat menunjukkan secara tegas masalah mana yang harus

ditangani (Linblom, 1986: 22).

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka Lindblom memperkenalkan

model incremental atau disebut The Science of Muddling Through.

Karakteristik pembuatan keputusan, dalam term muddling through adalah

sebagai berikut:

1. pembuatan keputusan berjalan melalui perubahan bertahap,


2. pembuatan keputusan melibatkan penyesuaian dan negosiasi mutual,
3. kelalaian pembuatan keputusan lebih disebabkan oleh eksklusif aksidental
ketimbang eksklusif yang sistematis atau disengaja,
4. pembuatan keputusan tidak dibuat sekali untuk semua,
5. pembuatan keputusan tidak dipandu oleh teori,
6. pembuatan keputusan lebih baik ketimbang usaha si manusia untuk
memahami segala hal,
7. ukuran keputusan yang baik adalah pada kesepakatan dan proses ketimbang
pada pencapaian tujuan dan sasaran, dan
8. pembuatan keputusan melibatkan upaya trial and error (Parsons, 2005: 289).
Secara sederhana perbedaan karakteristik antara kedua pendekatan tersebut

dapat dilihat pada Tabel 2.5.


31

Tabel 2.5
Perbandingan Pendekatan Rasional Komprehensif dengan Pendekatan Inkremental
Rasional komprehensif Inkremental
1. Klarifikasi nilai-nilai atau tujuan 1. Pemilihan nilai-nilai/tujuan-tujuan dan
berbeda dari dan biasanya merupakan analisis empiris terhadap tindakan yang
prasayarat untuk analisis empiris diperlukan tidak berbeda satu sama lain
terhadap alternatif-alternatif kebijakan tetapi saling berkaitan
2. Perumusan kebijakan oleh karenanya 2. Karena cara dan tujuan tidak berbeda,
melalui pendekatan analisis cara-tujuan. maka analisis cara-tujuan seringkali
Pertama tujuan ditentukan kemudian tidak tepat atau terbatas.
dicari cara-cara untuk mencapai tujuan
itu
3. Penentuan suatu kebijakan disebut 3. Penentuan kebijakan disebut baik bila
baik ditentukan atas dasar pemilihan berbagai pembuat keputusan itu
cara-cara yang paling tepat untuk melakukan, memberikan kesepakatan
pencapaian tujuan yang diinginkan secara langsung terhadap kebijakan
yang dibuat
4. Analisis dilakukan secara 4. Analisis dibatasi secara drastis:
komprehensif; setiap faktor yang
i. Kemungkinan-kemungkinan hasil
penting dan relevan dipertimbangkan
yang penting tidak/kurang
secara seksama
diperhatikan
ii. Alternatif-alternatif kebijakan yang
potensial tidak/kurang diperhatikan
iii. Nilai-nilai penting yang
berpengaruh tidak/kurang
diperhatikan
Sumber: Lindblom, 1959: 81
Dalam karyanya yang lebih baru (1963), Lindblom berusaha memperluas

dan memperbaiki ide-idenya: hasilnya adalah pengenalan gagasan disjointed

incrementalism (inkrementalisme yang terputus-putus). Dalam pendekatan ini

pembuatan keputusan dilakukan melalui perbandingan antara kebijakan yang

hanya memiliki sedikit perbedaan dengan kebijakan lain dan tidak ada tujuan atau

visi besar yang mesti dikejar selain mengatasi problem dan memperbaiki keadaan.

Tujuan ditetapkan menurut sarana dan sumber daya yang tersedia. Ia bersifat
32

terputus-putus karena keputusan tidak dibuat di bawah rencana yang menyeluruh,

kontrol lengkap atau koordinasi (Parsons, 2005: 289).

Pendekatan inkremental sendiri juga dikritik sebagai terlalu khawatir

dan konservatif, karena mengingkari kekuatan perubahan sosial yang revolusioner

(perubahan besar dan dalam waktu relatif singkat), sehingga pendekatan ini

kadang dianggap sebagai pendekatan yang pro-interia dan anti-inovasi, sesuai

dengan lingkupnya yang relatif sempit dan parsial. (Dror dalam Ham dan Hill,

1993: 88). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya dalam

berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka pendek

dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori (Djunaedi, 2000: 5;

Rustiadi, dkk, 2009: 343).

2.3.3.3 Mixed scanning

Sebagai tanggapan atas pendekatan rasional dan inkremental, Etzioni

(1967, 1986) menyatakan bahwa pendekatan rasionalitas dalam pembuatan

keputusan membutuhkan sumber daya yang lebih besar daripada apa yang dapat

dimanfaatkan oleh pembuat keputusan. Sedangkan strategi inkremental, yang

mempertimbangkan kapasitas aktor yang terbatas, telah menciptakan keputusan

yang mengabaikan inovasi sosial dasar masyarakat. Etzioni kemudian

mengemukakan pendekatan ketiga yang disebut mixed scanning (pengamatan

campuran).

Mixed scanning mereduksi aspek yang tidak realistis dalam pendekatan

rasional dengan membatasi detail yang dibutuhkan dalam membuat keputusan

fundamental dan membantu mengatasi kecenderungan konservatif


33

inkrementalisme dengan mengeksplorasi alternatif jangka panjang. Model mixed

scanning ini membuat dualisme tersebut menjadi eksplisit dengan

mengombinasikan (a) proses pembuatan kebijakan fundamental yang menentukan

arah dasar, dan (b) proses inkremental yang disiapkan untuk keputusan

fundamental dan untuk melaksanakannya setelah keputusan itu tercapai.

Mixed scanning memiliki dua kelebihan daripada inkremantalisme, yaitu

menyediakan suatu strategi untuk evaluasi. Fleksibilitas dari tingkat pengamatan

yang berbeda membuat mixed scanning sebagai suatu strategi yang berguna untuk

pembuatan keputusan dalam lingkungan dengan stabilitas beragam dan oleh

pihak-pihak dengan kontrol beragam serta kapasitas untuk pembangunan

konsensus (Etzioni, 1967: 385).

Dengan demikian model ini mengakui bahwa para pembuat keputusan

harus mempertimbangkan biaya pengetahuan: tak semuanya bisa diamati, jadi

para pembuat keputusan berusaha (atau harus berusaha) untuk mengamati area-

area utama secara penuh dan secara rasional, sedangkan area lainnya hanya

akan diamati secara sepotong-sepotong (Parsons, 2005: 301).

Ham dan Hill mencatat bahwa ada problem dalam model Etzioni, yaitu

apakah keputusan fundamental memang signifikan seperti yang diungkapkan

Etzioni. Meski dalam beberapa situasi keputusan fundamental memang penting,

namun dalam situasi lainnya pembuatan keputusan dilakukan secara kurang

terstruktur. Dalam beberapa area organisasi dan kebijakan, tindakan dijustifikasi

karena sesuatu selalu telah terlaksana, daripada harus merujuk pada keputusan

fundamental yang berperan sebagai konteks bagi tindakan tersebut. Ketika ini
34

terjadi, hal-hal yang tidak direncanakan lebih banyak muncul daripada rancangan

kebijakan yang mencirikan proses kebijakan. Kesulitan lain adalah bagaimana

membedakan keputusan fundamental dengan keputusan inkremental (Ham dan

Hill, 1993: 91).

2.3.3.4 Perencanaan advokasi

Advocacy planning (perencanaan advokasi) dikembangkan pertama kali

oleh Paul Davidoff (1965). Perencanaan advokasi muncul sebagai tanggapan atas

praktek perencaaan yang dilakukan satu lembaga perencanaan tunggal yang

dikontrol pemerintah tanpa akuntabilitas publik dan dikelola oleh perencana tanpa

pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekonomi, dengan mengabaikan pluralisme

nilai-nilai masyarakat serta eksklusi terhadap masyarakat miskin dan minoritas.

(Checkoway, 1994: 141; Clavel, 1994: 146).

Perencanaan advokasi menolak adanya asumsi bahwa hanya ada satu nilai

atau satu kepentingan umum tunggal, tetapi mengakui adanya pluralisme nilai-

nilai atau kepentingan dari dan dalam kelompok masyarakat yang sebagian besar

tidak mampu diakomodasi dalam perencanaan formal. Karenanya perencana harus

mampu berperan sebagai advokat dalam proses politik untuk mempertemukan

kepentingan pemerintah dan kelompok masyarakat seperti itu, organisasi atau

individu yang menaruh perhatian dalam mengajukan kebijakan untuk

pembangunan masa depan komunitas (Davidoff, 2000 [1965] : 425).

Dalam pendekatan ini perencana dituntut meliki kemampuan khusus,

seperti: keahlian diplomatik dalam mendengarkan, negosiasi, mediasi,


35

penyelidikan, inovasi, rekonsiliasi, fasilitasi atau organisasi dan banyak lagi

(Forester, 1994: 154).

Perencanaan advokasi telah berhasil dalam mencegah munculnya rencana

yang tidak sensitif dan menantang pandangan tradisional tentang kepentingan

umum yang tunggal. Perencanaan advokasi juga dianggap berhasil dalam

menjembatani antara unsur profesional dan politis (Marris, 1994: 143) serta

memberi pengaruh pada perkembangan suatu bentuk pendekatan perencanaan

berikutnya yaitu equity planning (Krumholz, 1994: 150).

Namun, pendekatan ini juga tidak terlepas dari kritik, bahkan pada konsep

pluralism yang diusungnya. Perencanaan advokasi dianggap terlalu

menyederhanakan bahwa suatu komunitas/kelompok masyarakat memiliki satu

kepentingan, daripada terdiri dari berbagai kepentingan dan sering kali

bertentangan satu sama lain; mengesampingkan kekuatan politik (kekuatan politik

tersembunyi seperti kelompok lobby) bila dibandingkan dengan analisis

rasional, serta memandang terlalu tinggi terhadap peran perencana-advokat

sebagai formulator dan generator isu (Hayden, 1994: 160; Peattie, 1994: 152).

2.3.3.5 Equity planning

Equity planning atau perencanaan (berdasarkan) keadilan, terinspirasi dari

perencanaan advokasi yang dikemukakan Davidoff. Equity planning mengikuti

pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-akar ketidakadilan sosial ekonomis

perkotaan perlu diatasi, tapi tidak sependapat bahwa perencana mempunyai

tanggung jawab eksplisit untuk membantu pihak-pihak yang tidak beruntung

(Djunaedi, 2000: 4). Equity planning berusaha untuk mencapai redistribusi


36

kekuasaan, sumber daya atau partisipasi yang semula berpusat pada elit lokal

menuju pada penduduk miskin (Krumholz, 1994: 150).

2.3.3.6 Perencanaan adaptif

Perencanaan adaptif didasarkan pada ide untuk menghasilkan kesempatan

pembelajaran tentang pelaksanaan menyeluruh, pemantauan dan re-evaluasi pada

tahap rencana. Dalam satu pengertian, pendekatan adaptif mencerminkan

peleburan perencanaan dengan manajemen yang menekankan pentingnya

fleksibilitas dan responsivitas pada level pembuatan keputusan dan rancangan

(Dempster, 1998: 132).

Pendekatan ini dilakukan apabila diperoleh informasi baru maka segera

dilakukan review atas suatu pengelolaan yang sedang berjalan sehingga

dirumuskan pendekatan-pendekatan baru. Perencanaan adaptif hanya dapat

dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan luas yang biasanya hanya

dimiliki oleh pucuk-pucuk pimpinan. Namun pendekatan adaptif menghadapi

kendala, terutama akibat adanya penolakan lembaga pengelola atau pihak-pihak

yang memanfaatkan sumberdaya untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal

yang bagi mereka penuh ketidakpastian. Selain itu, perencanaan adaptif yang

terlalu longgar, akan banyak menimbulkan inkonsistensi dalam perspektif jangka

panjang yang berpengaruh pada kesinambungan kebijakan perencanaan dan

program-program antar waktu yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan-

tujuan strategis jangka panjang (Rustiadi, dkk, 2009: 344).


37

2.3.3.7 Perencanaan transaktif

Perencanaan transaktif dikembangkan oleh Friedmann sebagai respon

terhadap permasalahan yang timbul akibat sentralisasi dalam perencanaan sosial

yang didasarkan model rasional komprehensif yang abai pada proses (McAvoy,

dkk, 1991: 45). Menurut Friedmann, perencanaan dalam prosesnya haruslah:

normatif, politis, transaktif, inovatif dan berdasarkan pembelajaran sosial

(Friedmann, 1993: 483).

Perencanaan transaktif menempatkan isu keterlibatan para pihak dengan

menempatkan komunitas perencanaan dalam suatu diskusi. Menurut pendekatan

ini, pengetahuan akan bermanfaat dengan baik ketika menghasilkan tindakan yang

berkontribusi dalam mempertemukan kebutuhan kelompok masyarakat yang

berkepentingan. Prinsip utama perencanaan transaktif adalah pembelajaran

bersama melalui kontak langsung dengan para pihak yang dipengaruhi oleh

implementasi dari suatu rencana (Sharma, 2008: 83).

Perencanaan transaktif menempatkan para pihak yang terpengaruhi

tersebut dalam proses perencanaan, bersifat partisipatif. Dalam beberapa situasi

hal ini secara nyata menguntungkan ketika isu-isu lokal langsung diperoleh dari

semua kelompok yang hadir, dan interaksi tatap muka dengan mereka atau

kelompok perwakilan mengalami kecocokan. (Alexander, 1994: 375).

2.3.3.8 Consensus building

Munculnya consensus building (pembangunan konsensus) sebagai suatu

pendekatan dalam perencanaan telah membuka peluang untuk memformulasi

ulang perencanaan komprehensif. Consensus building muncul secara pararel


38

dengan pemikiran rasionalitas komunikatif dalam pengertian bahwa suatu

keputusan dikatakan rasional pada derajat dimana keputusan tersebut dicapai

dengan persetujuan melalui diskusi yang melibatkan semua stakeholder dalam

kedudukan yang setara (Innes, 1996: 461).

Consensus building berperan sebagai suatu cara dalam menemukan

strategi yang layak untuk menghadapi perencanaan dan kebijakan yang tidak

pasti, kompleks dan kontroversial. Karena melalui konsensus akan muncul

pengetahuan, ide dan aksi bersama yang lebih baik untuk menghadapi kondisi

tersebut. Melalui proses konsensus, para stakeholder akan mampu belajar, secara

bersama memperoleh pemahaman baru dan membangun kepercayaan dan

menciptakan solusi yang efektif (Innes dan Booher, 1999: 421).


Tabel 2.6
Perbandingan Pendekatan Perencanaan

Pendekatan perencanaan Rasional Komprehensif Inkremental Mixed Scanning Perencanaan Advokasi

Karakteristik Netral Sama seperti rasional Sama seperti rasional Advokasi dalam proses
Perencanaan Aktivitas teknis yang berpusat komprehensif komprehensif politik untuk
pada negara mempertemukan
kepentingan pemerintah
dan kelompok masyarakat
Peran negara Sebagai perantara netral yang Sama seperti rasional Sama seperti rasional Mendengarkan dan
ingin mencapai masyarakat komprehensif komprehensif menerima aspirasi
yang stabil dengan masyarakat
pengetahuan teknis
Tujuan Peningkatan kualitas Sama seperti rasional Sama seperti rasional Keadilan sosial terutama
lingkungan komprehensif komprehensif bagi masyarakat yang
termajinalkan
Ruang lingkup Fisik/spasial dan sosial Fisik/spasial dan sosial Fisik/spasial dan sosial Permasalahan dari
ekonomi ekonomi ekonomi masyarakat yang
termajinalkan
Metode Perumusan masalah Sama seperti rasional Sama seperti inkremental, Advokasi kelompok yang
Pengumpulan data komprehensif, namun namun tetap terpinggirkan agar dapat
Analisis hanya memfokuskan untuk memperhatikan tujuan diakomodasi pemerintah.
Tujuan dan sasaran melanjutkan kondisi yang jangka panjang
Perencanaan telah ada dalam jangka
Pengambilan keputusan pendek (setahap demi
Implementasi setahap)
Sumber: Shetawy, 2002: 81

39
Tabel 2.6 (Lanjutan)
Perbandingan Pendekatan Perencanaan
Pendekatan Equity Planning Perencanaan Adaptif Perencanaan Transaktif Consensus building
perencanaan
Karakteristik Merepresentasikan semua kelas Perubahan dilakukan dengan Pembelajaran bersama Pembelajaran bersama
Perencanaan sosial cepat sesuai kondisi yang dengan para pihak yang dengan para pihak yang
telah ada dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh
implementasi dari suatu implementasi dari suatu
rencana rencana
Peran negara Mengakomodasi kepentingan Dominan, keputusan diamnil Negara sebagai pengatur Negara sebagai fasilitator
semua kelas sosial oleh pihak-pihak yang umum dan regulator, terbuka melibatkan semua
memiliki kewenangan untuk dominasi salah satu stakeholder dalam
pihak atau menekan pihak kedudukan yang setara
lain.
Tujuan Keadilan sosial, kesetaraan kelas Perubahan dalam waktu Kompromi Persetujuan yang melibatkan
singkat semua stakeholder dalam
kedudukan yang setara
Ruang lingkup Kepentingan semua kelompok Rencana yang sedang Kelompok kepentingan Kelompok kepentingan
berjalan
Metode Diskusi yang melibatkan semua Review atas suatu Diskusi yang melibatkan Diskusi yang melibatkan
stakeholder dalam kedudukan yang pengelolaan yang sedang semua stakeholder semua stakeholder dalam
setara berjalan sehingga kedudukan yang setara
dirumuskan pendekatan-
pendekatan baru
Sumber: Shetawy, 2002: 81

40
41

2.4 Model Penelitian

Model penelitian dimulai dari kajian pustaka terkait dengan topik

penelitian yaitu tentang pendekatan perencanaan. Konsep yang sudah ditentukan

akan menjadi sebuah penjelasan tentang apa saja yang dicari dalam penelitian ini.

Rumusan masalah merupakan indikator untuk menentukan teori yang akan

digunakan untuk menganalisisnya.

Perencanaan tata ruang dapat dipahami dengan teori pendekatan

perencanaan, namun prakteknya tidak mungkin membicarakan perencanaan

terpisah dari konteks institusional dan politik, serta adanya kesulitan dalam

memadankan relasi kekuasaan dalam diskursus perencanaan, sehingga diperlukan

juga teori perubahan kebijakan publik untuk memahami proses perencanaan tata

ruang wilayah sebagai bagian dari proses perumusan kebijakan publik yang

bersifat birokratis.

Dengan demikian untuk mengetahui pendekatan perencanaan yang

diterepkan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar, perlu diketahui

terlebih dahulu proses dan pihak-pihak dan kepentingan-kepentingan yang terlibat

dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar. Untuk lebih jelas model perencanaan

dapat dilihat pada Gambar 2.2


42

Perencanaan Kota sebagai aktivitas Perencanaan Kota sebagai fungsi


teknis yang rasional dan netral negara yang diformulasikan melalui
proses politik dan kebijakan publik

Proses penyusunan Siapa dan bagaimana Pendekatan


pihak-pihak Perencanaan
berpengaruh

Teori perubahan kebijakan Teori pendekatan perencanaan:


konfigurasi subsistem Karakteristik perencanaan
kebijakan Proses analisis Tujuan
Ruang Lingkup
Metode
Kesimpulan dan saran

Gambar 2.2BAB IIIPenelitian


Model
BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis

dan sumber data yang digunakan, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,

teknik analisis data, serta teknik penyampaian hasil analisis.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui integrasi teori dan praktek

perencanaan yang mencakup proses dan substansi perencanaan kota dalam

tingkatan rencana tata ruang wilayah kota serta dampak rencana tersebut pada

struktur dan pola ruang. Berdasarkan hal yang ingin dicapai tersebut, maka

penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Format kualitatif dimanfaatkan

untuk keperluan meneliti sesuatu dari segi prosesnya. Serta data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka

(Moleong,2008:7).

Penelitian ini menggunakan pendekatan penulisan deskriptif. Penelitian

deskriptif mempunyai bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai

kondisi, situasi atau fenomena realitas yang menjadi obyek penelitian dan

berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,

model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu

(Bungin, 2008: 68).

Rancangan penelitian yang dilakukan ini melalui beberapa tahapan, yakni

diawali dengan menentukan permasalahan, menentukan instrumen penelitian,

menentukan metode yang dipergunakan mencakup wawancara dan studi

43
44

dokumentasi. Selanjutnya, tahapan menganalisis data yang sudah terkumpul.

Tahap terakhir merupakan kesimpulan serta rekomendasi. Keseluruhan rangkaian

proses tersebut disusun dan kemudian disajikan dalam wujud tesis.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat di Kota Denpasar dengan ruang lingkup

penelitian pada kasus perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar. Karena

perencanaan merupakan salah satu fungsi pemerintahan maka penelitian juga

dilakukan pada lingkungan birokrasi Pemerintah Kota Denpasar yang

membidangi perencanaan kota.

Tabel 3.1
Peta Lokasi Penelitian/Orientasi Perencanaan

3.3 Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan pendekatan penelitian maka jenis data yang akan diperoleh

adalah data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian.

Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data
45

sekunder. Sumber data primer bersumber dari informasi dari para stakeholder

yang terlibat dalam proses dan memahami substansi perencanaan tata ruang Kota

Denpasar, meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar dan

Dewan Perwakilan Rakyat Kota Denpasar.

Sumber data sekunder utama berupa peraturan daerah tentang rencana tata

ruang yang mencakup Perda RUTR Kota No.11 tahun 1992, Dokumen RTRWK

tahun 1993, dan Perda RTRWK No.10 tahun 1999,notulen rapat dan berita acara

rapat. Sumber data sekunder lainnya berupa bahan-bahan informasi mengenai

proses rencana tata ruang yang dikeluarkan instansi yang membidangi perencanan

kota, seperti majalah, buletin, berita-berita media massa, pengumuman, atau

pemberitahuan. Penjabaran jenis dan sumber data dalam penelitian ini dapat

dilihat melalui tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1
Jenis dan Sumber Data

N Tujuan Data Jenis Data Sumber Perolehan


o Data
1 Mengetahui proses Laporan Panitia Khusus Kualitatif Wawanc Bappeda
penyusunan Perda No. 27 RTRW. ara Kota
Tahun 2011 tentang Notulendan berita acara Studi Denpasar
RTRW Kota Denpasar rapat dokumen DPRD
2011-2031 serta produk Media massa. Kota
kebijakan yang dihasilkan Denpasar
2. Mengetahui pihak-pihak Laporan Panitia Khusus Kualitatif Studi Bappeda
dan kepentingan yang RTRW. dokumen Kota
berpengaruh dalam Notulendan berita acara Denpasar
penyusunan Perda No. 27 rapat DPRD
Tahun 2011 tentang Naskah RTRW. Kota
RTRW Kota Denpasar Materi teknis RTRW Denpasar
2011-2031. Peraturan perundang-
undangan.
3. Mengetahui pendekatan Laporan Panitia Khusus Kualitatif Studi Bappeda
yang diterapkan dalam RTRW. dokumen Kota
perencanaan tata ruang Media massa. Denpasar
wilayah di Kota Denpasar. Naskah RTRW. DPRD
Peraturan perundang- Kota
undangan. Denpasar
46

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan

data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpulan data.

Hal ini disebabkan oleh sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan

diteliti. Di samping itu, orang sebagai suatu instrumen dapat mengambil

keputusan secara luwes. Ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan

(Moleong, 1988:19).

Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang dipakai untuk mengum-

pulkan data adalah pedoman wawancara, seperangkat komputer dan alat tulis.

3.4.1 Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan pada metode wawancara yang dilakukan

pada orang-orang yang terlibat dalam proses perencanaan RTRW Kota Denpasar,

serta para pakar dan praktisi yang berkompoten dalam bidang perencanaan. Di

dalamnya termuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan rumusan masalah

dan sasaran pada penelitian yang dilaksanakan. Pertanyaan yang diberikan lebih

terfokus pada proses perencanaan RTRW Kota Denpasar serta dampaknya pada

struktur dan pola ruang Kota Denpasar (pedoman wawancara terlampir).

3.4.2 Daftar para pihak dan tahapan kegiatan

Daftar tahapan kegiatan digunakan untuk mengelompokkan pihak-pihak

yang terlibat berserta gagasan masing-masing, serta untuk menyusun tahapan-

tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar.

Tahapan-tahapan kegiatan tersebut disusun berdasarkan urutan kronologis.


47

3.4.3 Tabel perbandingan pendekatan perencanaan

Tabel perbandingan pendekatan perencanaan digunakan untuk

mencocokkan proses perencanaan yang terjadi dengan teori pendekatan

perencanaan seperti yang tertulis pada Tabel 2.6

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan teknik

kepustakaan. Wawancara dilakukan terhadap Bappeda Kota Denpasar dan DPRD

Kota Denpasar. Teknik wawancara menggunakan petunjuk umum atau prosedur

wawancara. Jenis wawancara ini menggunakan petunjuk umum atau prosedur

wawancara tanpa perlu dilakukan secara berurutan. Demikian pula penggunaan

dan pemilihan kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak dirumuskan secara

baku. Petunjuk wawancara berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan

isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat

seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan

disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang

sebenarnya. Arahan wawancara ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai

proses dan substansi perencanaan serta dampaknya terhadap tata ruang wilayah.

Teknik studi dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder

berupa dokumen-dokumen resmi maupun tidak resmi, seperti yang telah

disebutkan pada bagian jenis dan sumber data. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah teknik perekaman dan pencatatan baik untuk wawancara

maupun dokumentasi, serta teknik penelurusan data secara online melalui internet.
48

3.6 Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, reduksi data yaitu melakukan

penyusunan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan sumber data sekunder,

kemudian ditentukan data atau informasi yang sesuai fokus penelitian. Sementara

data yang kurang relevan dikesampingkan.

Kedua, pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan pada persoalan

atau rumusan masalah penelitian. Pada tahap inilah pendekatan-pendekatan teori

yakni teori-teori yang relevan dijadikan teori untuk memahami, meneliti serta

menganalisis fokus dalam penelitian.

Tabel 3.2
Teknik Analisis Data
No Tujuan Instrumen Teknik analisis
Data
Penelitian
1 Mengetahui proses Laporan Panitia Daftar para Data dianalisis
penyusunan Perda No. Khusus RTRW. pihak dan berdasarkan urutan
27 Tahun 2011 tentang Media massa. tahapan kronologi proses
RTRW Kota Denpasar kegiatan perencanaan RTRW
2011-2031 Pedoman dengan teori perubahan
wawancara kebijakan, dengan
penekanan pada:
Keadaan agenda
setting
Arena Konflik
2. Mengetahui pihak- Laporan Panitia Daftar para
pihak dan kepentingan Khusus RTRW. pihak dan Para pihak yang ada
yang berpengaruh Media massa. tahapan dianalisis dengan teori
dalam penyusunan Naskah RTRW. kegiatan konfigurasi subsitem
Perda No. 27 Tahun Peraturan kebijakan.
2011 tentang RTRW perundang-
Kota Denpasar 2011- undangan.
2031.
3. Mengetahui Laporan Panitia Tabel Menguraikan proses dan
pendekatan yang Khusus RTRW. perbandingan produk kebijakan yang
diterapkan dalam Media massa. pendekatan dihasilkan dalam poin-
perencanaan tata ruang Naskah RTRW. perencanaan point berikut:
wilayah di Kota Peraturan Tujuan
Denpasar serta produk perundang- Metode
kebijakan yang undangan.
dihasilkan.
49

3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang dapat

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Penyajian informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif yang

memperlihatkan adanya proses perencanaan serta pihak-pihak yang terlibat dalam

proses perencanaan

Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi

yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan

mendalam terhadap data-data yang diperoleh. Simpulan yang didapat harus

mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan

dalam rumusan permasalahan penelitian ini.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar Tahun 2011 -2031

Maksud Penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah merevisi Perda Nomor

10 tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar sesuai amanat Pasal 78 UU. Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perda RTRW Kota Denpasar harus

disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 16 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN serta Perda Provinsi

Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali, agar terjadi kesinambungan dan

integrasi sistem penataan ruang nasional, provinsi dan daerah kota.

Penyusunan RTRW dimaksud diinisiasi oleh Bappeda Kota Denpasar

dalam sebuah proses yang melibatkan beberapa pihak. Proses tersebut diuraikan

dalam uraian di bawah ini.

4.1.1. Rapat Evaluasi RTRW

Dalam rangka revisi Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW Kota

Denpasar, maka diadakan rapat untuk membahas evaluasi RTRW Kota Denpasar

(Perda Nomor 10 Tahun 1999) bertempat di Bappeda Kota Denpasar pada 19 Mei

2006. Rapat dihadiri seluruh kepala desa/lurah Kota Denpsar. Rapat ini bertujuan

memperoleh informasi atau masukan sebagai bahan kajian dalam rangka evaluasi

RTRW.

50
51

Beberapa informasi yang diterima Bappeda Kota Denpasar, antara lain

informasi dari Lurah Serangan, bahwa perumahanan masyarakat di Serangan sudah

ada sejak lama, dan kondisi sempadan pantai tidak lagi memenuhi ketentuan (Jarak

dari pantai rata-rata mencapai lima meter, bahkan kurang). Kepala Desa Sanur Kaja

menyampaikan bahwa permasalahan kawasan jalur hijau di Jalan Sedap Malam

yang mengalami pembangunan secara masif, sehingga semakin mengurangi

kawasan jalur hijau. Lurah Sesetan menyatakan bahwa warga Sesetan yang

memiliki lahan di kawasan hutan bakau mengusulkan untuk merubah ketentuan

penggunaan lahan di kawasan tersebut. Kepala Desa Kesiman Petilan

menyampaikan bahwa masih menginginkan adanya jalur hijau di wilayahnya

karena di wilayahnya terdapat Subak Delod Sema yang masih berfungsi hingga kini

(Notulen Rapat dalam Rangka Evaluasi dan Revisi RTRW Kota Denpasar, 2006).

4.1.2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi

RTRW Kota Denpasar

Rapat pembahasan ini bertujuan untuk memperoleh masukan dan informasi

terhadap Laporan Pendahuluan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi

RTRW Kota Denpasar. Rapat diselenggarakan di Kantor Bappeda Kota Denpasar

pada 27 Juli 2006, dan dihadiri Kepala Bappeda Provinsi Bali, Kepala PU Provinsi

Bali, Pimpinan Komisi DPRD Kota Denpasar, Kepala SKPD yang terkait

lingkungan Kota Denpasar, institusi pendidikan, asosiasi profesi, PHDI, seluruh

bidang di lingkungan Bappeda Kota Denpasar dan seluruh camat di Kota Denpasar.

Evaluasi terhadap Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW Kota

Denpasar dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: Pertama, evaluasi data, yakni
52

mengumpulkan berbagai data pemanfaatan ruang yang terjadi, selanjutnya

dibandingkan dengan strategi dan rencana pemanfaatan ruang yang termuat dalam

RTRW Kota Denpasar Tahun 1999, serta mengumpulkan data mengenai kebijakan-

kebijkan dan strategi yang ada saat ini dibandingkan dengan kebijakan dan strategi

pembangunan yang dijadikan dasar dalam RTRW Kota Denpasar Tahun 1999.

Kedua, penentuan perlu tidaknya peninjauan kembali RTRW Kota Denpasar

karena terjadinya perubahan kebijakan pemerintah, terjadinya simpangan-

simpangan yang besar terhadap struktur dan pemanfaatan ruang. Ketiga, tipologi

peninjauan kembali RTRW Kota Denpasar, dimana dalam hal ini akan dilihat

besarnya simpangan yang terjadi dan perubahan-perubahan faktor eksternal

(Bappeda Kota Denpasar, 2006: I-8).

Pemaparan yang disampaikan dalam rapat antara lain, terjadinya

pelanggaran jalur hijau, sempadan dan pemanfaatan lahan. Kurun waktu

pelaksanaan Perda Nomor 10 Tahun 1999 tentang RTRW yang sudah berlangsung

lebih dari lima tahun dan harus disesuaikan dengan peraturan di atasnya.

Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa daerah terbangun di Kota Denpasar telah

mencapai 64% dari luas Kota Denpasar.

Dalam pemaran juga disampaikan mengenai tinjauan kebijakan

pembangunan dari Provinsi Bali dan Kota Denpasar. Tinjauan kebijakan

pembangunan Provinsi Bali yang dimaksud meliputi Rencana Strategis Provinsi

Bali yang mencakup visi dan misi pembangunan Provinsi Bali, yaitu: Terwujudnya

Bali Dwipa Jaya berdasarkan Tri Hita Karana. Tinjauan kebijakan pembangunan

Kota Denpasar meliputi Visi dan Misi Pembangunan Kota Denpasar, yaitu:
53

Mewujudkan Pembangunan Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya yang

Dijiwai oleh Agama Hindu dan Dilandasi Tri Hita Karana.

Terhadap pemaparan laporan pendahuluan tersebut muncul beberapa

masukan, antara lain dari Kepala Bappeda Kota Denpasar koreksi terhadap luas

wilayah, batas-batas administrasi, jumlah kecamatan dan penyesuaian Visi dan Misi

Kota Denpasar sesuai RPJM 2006. Kelompok ahli Pemkot Denpasar mengusulkan

perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan tata ruang nasional, provinsi dan kota.

Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan agar laporan yang disusun fokus pada

tata ruang dan menampilkan data yang akurat. Perwakilan dari REI dan IAI

mempertanyakan tolak ukur dalam menentukan lahan terbangun mencapai 64%.

DPRD Kota Denpasar menyampaikan agar dibuat jadwal mengenai tahapan-

tahapan penyusunan RTRW yang akan dilakukan (Notulen Rapat Pembahasan

Laporan Pendahuluan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota

Denpasar, 2006)

Kepala Bappeda Kota Denpasar menyatakan bahwa penyusunan RTRW

telah digunakan dasar yang jelas sebagai acuan. Setidaknya ada tiga poin penting

yang bisa dijadikan landasan dalam melakukan revisi Perda RTRW Tahun 1999.

Disebutkan, landasan pertama, yakni masa peraturan perundang-undangan (Perda)

dapat ditinjau kembali bila sudah berlaku lima tahun atau lebih. Selain itu, kondisi

di lapangan juga menjadi dasar pertimbangan dalam perubahan ini.


54

4.1.3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar

Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar dilakukan oleh Bappeda

Kota Denpasar setelah proses pengolahan data menjadi database terstruktur

dilakukan.

4.1.3.1. Analisis pengembangan wilayah

Data yang terkumpul dianalisis menjadi beberapa poin analisis, yang

selanjutnya diuraikan dalam uraian berikut. Analisis fisik wilayah, yang meliputi

letak dan administrasi wilayah kota denpasar, landform, relief dan topografi, iklim,

geologi, litologi dan jenis, hidrologi, analisis kesesuaian lahan, analisis ekosistem

wilayah dan analisis kawasan rawan bencana (tsunami, banjir, abrasi, intrusi laut ).

Pola ruang wilayah Kota Denpasar yang meliputi: pemanfaatan ruang

daratan, penggunaan ruang perairan/lautan dan pemanfaatan ruang udara. Kondisi

dan analisis sosial kependudukan, yang meliputi jumlah dan perkembangan,

kepadatan penduduk, komposisi penduduk, mobilitas penduduk, proyeksi jumlah

dan penyebaran penduduk.

Kondisi dan analisis sosial budaya yang meliputi: sejarah Kota Denpasar,

kondisi sistem sosial Budaya Bali di Kota Denpasar, komponen superstruktur

sosiokultural Bali, struktur sosial budaya masyarakat Denpasar, infrastruktur sosial

budaya, analisis Kota Denpasar Berwawasan Budaya Bali, analisis sosial budaya

sebagai landasan tata ruang Kota Denpasar serta analisis perwujudan Kota

Denpasar yang beridentitas Budaya Bali.


55

Analisis perekonomian Kota Denpasar yang meliputi: pertumbuhan

ekonomi kota, sektor basis dan sektor unggulan, sektor basis dan sektor unggulan,

identifikasi kegiatan perekonomian perkotaan dan perekonomian sektor informal

kota.

Analisis kondisi dan kebutuhan sistem transportasi yang meliputi: sistem

dan struktur jaringan jalan, kondisi dan pelayanan jaringan jalan, sistem

perangkutan dan terminal, headway angkutan umum, kondisi Pelabuhan Benoa,

analisis pengembangan Pelabuhan Benoa, dan usulan perbaikan dan peningkatan

sistem transportasi.

Kondisi dan analisis sistem infrastruktur wilayah, jaringan air bersih,

jaringan listrik dan sumber daya energi lainnya, jaringan telekomunikasi, jaringan

drainase, jaringan air limbah, pengelolaan persampahan dan jaringan irigasi.

Analisis kebutuhan fasilitas, yang meliputi: analisis fasilitas perumahan,

analisis fasilitas perkantoran pemerintahan, analisis kebutuhan fasilitas pendidikan,

analisis kebutuhan fasilitas kesehatan, analisis kebutuhan fasilitas peribadatan,

analisis kebutuhan fasilitas perdagangan dan jasa, serta fasilitas ruang terbuka,

rekreasi dan olah raga.

Analisis Kecenderungan Pola Ruang Wilayah yang meliputi :Analisis Pola

Penyebaran Aktivitas Penduduk; Kecencerungan Pola Ruang yang meliputi:

Analisis kecenderungan perkembangan kawasan perumahan dan permukiman,

analisis kecenderungan perkembangan kawasan perdagangan dan jasa, analisis

kecenderungan alih fungsi kawasan pertanian; analisis kawasan lindung yang

meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan


56

perlindungan setempat, analisis kawasan cagar budaya, analisis kawasan suaka

alam; analisis daya tampung ruang dan daya dukung prasarana yang meliputi

analisis daya tampung ruang, analisis daya dukung prasarana air bersih, analisis

pemanfaatan ruang perairan dan analisis pemanfaatan ruang udara.

Analisis struktur ruang wilayah yang meliputi analisis keterkaitan kota

denpasar dengan wilayah sekitar, analisis struktur jaringan jalan utama, analisis

sistem pusat-pusat kegiatan dan pelayanan serta potensi dan permasalahan

pengembangan.

4.1.3.2. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah

Setelah melalui tahapan analisis, tahapan yang dilakukan berikutnya adalah

penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah, yang meliputi: tinjauan

visi dan misi pembangunan Kota Denpasar, perumusan tujuan dan sasaran penataan

ruang wilayah, kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan kebijakan

dan strategi pengembangan pola ruang.

4.1.3.3. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Tahap berikutnya adalah penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota,

yang meliputi: Rencana Struktur Ruang, Rencana Pola Ruang Wilayah Kota,

Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dan Rencana Pengembangan kawasan

Strategis Kota.

1. Rencana Struktur Ruang

Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar merupakan kerangka tata

ruang wilayah Kota Denpasar yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan
57

yang berhierarki satu sama lain yang dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana

wilayah kota.

Rencana struktur ruang wilayah kota berfungsi: sebagai arahan pembentuk

sistem pusat kegiatan wilayah kota yang memberikan layanan bagi bagian wilayah

kota dan kawasan di sekitarnya yang berada dalam wilayah kota; dan sistem

perletakan jaringan prasarana wilayah kota yang menunjang keterkaitannya serta

memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada dalam wilayah kota, terutama

pada pusat-pusat kegiatan yang ada.

Rencana struktur ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan : kebijakan

dan strategi penataan ruang wilayah kota, kebutuhan pengembangan dan pelayanan

wilayah kota dalam rangka mendukung kegiatan sosial ekonomi, daya dukung dan

daya tampung lingkungan hidup wilayah kota dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar memperhatikan dan

mengadopsi kebijakan pengembangan sistem perkotaan berdasarkan arahan

RTRWN dan RTRWP Bali, yang selanjutnya diintegrasikan dengan penetapan

sistem perkotaan dan sistem prasarana wilayah kota. Kebijakan ini dimaksudkan

untuk menjamin keterpaduan struktur ruang pada tingkat nasional, Provinsi Bali

dan Kota Denpasar.

Rencana struktur ruang wilayah Kota Denpasar akan ditinjau sesuai

kedudukan Kota Denpasar dalam lingkup makro (keterkaitan antar wilayah) dan

dalam lingkup mikro (keterkaitan antar kawasan/kecamatan di dalam wilayah Kota

Denpasar.
58

Dalam lingkup makro, Rencana Struktur Tata Ruang Kota Denpasar

diarahkan untuk meningkatkan integrasi dan keterkaitan Kota Denpasar dengan

wilayah yang lebih luas yaitu :

Keterkaitan dalam lingkup Wilayah Nasional, bahwa Kota Denpasar

merupakan Kota Inti dari PKN (Pusat Kegiatan Nasiona) yaitu Kawasan Perkotaan

Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan yang sekaligus KSN (Kawasan Strategis

Nasional) yaitu Kawasan Metropolitan Sarbagita, berfungsi sebagai pusat

pengembangan perekonomian nasional.

Keterkaitan dalam lingkup Wilayah Provinsi Bali, bahwa Kota Denpasar

merupakan Ibukota Provins Bali, pusat system perkotaan Bali dan Bali Bagian

Selatan, sehingga perlu dikembangkan aksesibilitas yang tinggi ke masing-masing

kota-kota fungsi PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) seperti Kota Singaraja, Kota

Semarapura dan Kota Negara serta kota-kota fungsi PKL (Pusat Kegiatan Lokal)

seperti Kota Bangli, Kota Amlapura, Kota Seririt.

Keterkaitan dalam lingkup Kawasan Metropolitan Sarbagita, bahwa Kota

Denpasar sebagai Kota Inti Kawasan Metropolitan Sarbagita membutuhkan

koordinasi dan integrasi pengembangan sistem prasarana kota yang terpadu dengan

Kota-Kota Satelit di sekitarnya (Kawasan Perkotaan Badung/Mangupura, Gianyar,

Tabanan, Jimbaran) beserta pusat-pusat kegiatan lainnya seperti ibukota kecamatan

(Kediri, Blahkiuh, Kerobokan, Sukawati, Blahbatuh) dan pusat-pusat kegiatan

pariwisata (Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Tuban, Kuta, Sanur, Lebih, Ubud, dan

Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus Tanah Lot).


59

Dalam lingkup mikro, Rencana Struktur Tata Ruang Kota Denpasar

diarahkan untuk meningkatkan pemerataan dan hirarki pusat-pusat pelayanan kota,

Bagian Wilayah Kota, lingkungan Permukiman yang didukung sistam prasarana

kota yang efisein dan efektif.

Dengan demikian Rencana Struktur Ruang Kota Denpasar pada dasarnya

merupakan Rencana Struktur Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan Kota Denpasar.

Rencana ini merupakan kerangka dasar pembentuk wujud tata ruang wilayah Kota

Denpasar yang terdiri atas: sistem pusat pelayanan kota; pengembangan distribusi

kependudukan; dan sistem prasarana wilayah kota.

Sistem pusat pelayanan kota, sebagaimana dimaksud di atas, mencakup:

sistem perwilayahan pengembangan kota; sistem pusat-pusat pelayanan kota yang

berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan atau pemerintahan;

dan sistem hirarki pelayanan kegiatan kota.

Sedangkan pengembangan sistem prasarana wilayah kota, mencakup:

sistem jaringan transportasi sebagai jaringan prasarana utama; sistem jaringan

energi; sistem jaringan telekomunikasi; sistem jaringan sumber daya air; sistem

jaringan air minum; sistem jaringan air limbah; sistem persampahan; sistem

jaringan drainase; sistem penanggulangan bencana. Peta rencana struktur ruang

wilayah Kota Denpasar, dapat dilihat pada Gambar 4.1.


60

Gambar 4.1 Rencana Struktur Ruang


Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
61

2. Rencana Pola Ruang Wilayah Kota

Rencana pola ruang wilayah merupakan rencana distribusi peruntukan

ruang dalam wilayah Kota Denpasar yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk

fungsi lindung dan fungsi budidaya. Ukuran atau luasan fungsi fungsi lindung dan

fungsi budidaya ditentukan berdasarkan kebutuhan ruang untuk berbagai kegiatan

serta target proporsi pemanfaatan ruang terbangun yang diharapkan. Berdasarkan

misi penataan ruang Kota Denpasar yaitu untuk mencapai kebutuhan ruang terbuka

yang ingin dituju adalah 35% yang terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat, maka

komposisi pemanfaatan uang harus dikelola sedemikian rupa untuk dapat

mewujudkannya.

Rencana pola ruang wilayah kota berfungsi: sebagai alokasi ruang untuk

berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan

dalam wilayah kota; mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;

sebagai dasar penyusunan indikasi program pembangunan; dan sebagai dasar

pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kota.

Rencana pola ruang wilayah dirumuskan berdasarkan: kebijakan dan

strategi penataan ruang wilayah kota; daya dukung dan daya tampung lingkungan

hidup wilayah kota; kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi

dan lingkungan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Rencana pola ruang wilayah Kota Denpasar merujuk pada rencana pola

ruang yang ditetapkan dalam RTRWN, RTRWP Bali, serta diserasikan dengan

RTRW Kabupaten yang berbatasan yang terdiri dari Kawasan Lindung dan

Kawasan Budidaya.
62

Hirarki fungsi ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di Kota

Denpasar terdiri dari: Kawasan lindung, mencakup: kawasan yang memberikan

perlindungan kawasan bawahannya; kawasan perlindungan setempat; kawasan

pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan; kawasan rawan bencana;

dan ruang terbuka hijau kota.

Kawasan budidaya, mencakup: kawasan peruntukan perumahan dan

permukiman; kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; kawasan peruntukan

perkantoran pemerintahan; kawasan peruntukkan fasilitas pendidikan; kawasan

peruntukkan fasilitas kesehatan; kawasan peruntukkan fasilitas rekreasi, taman dan

olah raga; kawasan peruntukkan fasilitas peribadatan; kawasan peruntukan

pariwisata; kawasan peruntukkan industri dan pergudangan; kawasan peruntukkan

kegiatan pertahanan dan keamanan; kawasan peruntukkan prasarana transportasi

kawasan peruntukan prasarana infrastruktur kota; kawasan peruntukan setra dan

kuburan; kawasan ruang terbuka non hijau; kawasan peruntukan pertanian;

kawasan peruntukan perikanan; dan peruntukan kawasan pesisir dan laut.

Rencana pengembangan kawasan lindung wilayah kota diarahkan seluas

1.200,1 Ha atau 8,39% dari luas wilayah Kota. Rencana pengembangan kawasan

budidaya diarahkan seluas 11.577,9 Ha atau 90,61% dari total luas wilayah kota.

Peta rencana pola ruang wilayah kota dapat dilihat pada Gambar 4.2.
63

Gambar 4.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar


Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011
64

3. Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota

Ruang terbuka hijau menurut Per-Mendagri No. 1 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan adalah : ruang-ruang dalam

kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam

bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka

yang pada dasarnya tanpa bangunan.

Ruang Terbuka Hijau menurut Per-MenPU No. 05/PRT/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

adalah RTH adalah area memanjang/ jalur dan/ atau mengelompok, yang

penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh

secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ruang Terbuka Hijau Kota adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat

ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.

Menurut Pasal 28 dan Pasal 29, UU. No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, disebutkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah kota, harus menyediakan

rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang terdiri dari ruang

terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat, yaitu: Ruang terbuka hijau

publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang

digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Ruang terbuka hijau privat,

adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya

untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik

masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang Terbuka Hijau Privat


65

penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta,

perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang.

Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga

puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan proporsi ruang terbuka hijau publik

pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Berdasarkan Rencana Pola Ruang, sebaran beberapa fungsi kawasan yang

menjadi komponen pola ruang, serta jenis fungsi ruang yang dapat dikategorikan

termasuk dapat berfungsi sebgai RTHK, maka target Pengembangan Ruang

Terbuka Hijau Kota (RTHK) di Kota Denpasar 20 tahun mendatang sesuai

kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan adalah minimal 35% dari luas wilayah

kota, sehingga melebihi 5% dari target minimal sebesar 30% yang telah ditetapkan

UU. No. 26 Tahun 2007, maupun PP. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN serta Perda

Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali.

Tata cara pencapaian angka minimal RTHK 35% adalah :

a. RTHK disadari terdapat baik pada ruang Kawasan Lindung maupun ruang

Kawasan Budidaya, dalam bentuk ruang terbuka maupun dalam bentuk

ruang terbangun. Didapatkan komposisi rencana pola ruang Kawasan

Lindung dan Kawasan Budidaya di Kota Denpasar adalah 9,39% dan

90,61%, sedangkan perbandingan ruang terbuka dan ruang terbangun

adalah 32,10% dan 67,90%.

b. Komposisi RTHK pada ruang terbangun baik hunian maupun non hunian

merupakan komponen Koefisen Daerah Hijau (KDH) Minimum dari Ruang

Terbangun Kota yaitu jumlah proporsi ruang dalam satu kapling yang tidak
66

tertutup bangunan atau tutupan lahan lainnya. KDH Minimum adalah sisa

ruang kapling setelah dikurangi luas Koefisien Tapak Bangunan (KTB)

maksimum. KTB terdiri dari ruang untuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

dan % luas prasarana yang diperkeras. KDH minimum juga dapat

disetarakan dengan taman permukiman, atau bangunan lainnya yang tidak

tertutup perkerasan.

KDH Minimum diasumsikan sebagai berikut :

Minimal 20% untuk perumahan, perkantoran pemerintahan, kawasan

efektif pariwisata, pernidustrian dan pergudangan, fasilitas pendidikan,

fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan dan fasilitas pertahanan dan

keamanan

Minimal 15% untuk perdagangan dan jasa

c. Penetapan Kawasan Lindung yang terdiri dari Tahura Ngurah Rai,

sempadan pantai, sempadan sungai dan hutan kota seluas 1.200,1 Ha atau

9,39% luas wilayah kota seluruhnya menjadi RTHK.

d. Penetapan taman-taman kota, lapangan olah raga dan taman rekreasi lainnya

sebagai RTHK dengan asumsi komposisi 90% berupa bukaan yang ditanami

tanaman maupun rerumputan. Perlu upaya mendorong pengembangan

taman-taman terbuka, ruang terbuka di lingkungan permukiman, pusat

kawasan dan skala kota yang baru.

e. Penetapan taman-taman median, ruang terbuka di pinggir jalan, telajakan,

dan bahu jalan pada seluruh jaringan jalan dengan asumsi 10% dari luas

seluruh jaringan jalan


67

f. Penetapan sawah yang merupakan komponen sabuk hijau kota sebagai

RTHK, walalupun tidak seluruh masa waktu setahun merupakan masa

tanam, namun sawah yang dipertahankan berkelanjutan di Kota Denpasar

merupakan sawah yang dikelola subak, sebagai wujud kota yang berjatidiri

budaya Bali.

g. Penetapan KDH dari lokasi infrastruktur kota seperti Pelabuhan, terminal,

TPA, IPAL dan lainnya yang diasumsikan 10%.

Gambar 4.3 Skema Penetapan dan Pencapaian Target Proporsi RTHK 35%

Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011


68

Gambar 4.4 Sebaran Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)

Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011


69

4. Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Kota

UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 memberikan perhatian khusus

terhadap Kawasan Strategis dan memasukkannya sebagai Kawasan yang harus

diprioritaskan penataan ruangnya.

Kawasan strategis Kota atau kawasan lainya dapat menjadi bagian dari

kawasan strategis nasional atau kawasan strategis provinsi, dan bagi kawasan-

kawasan tersebut penataan ruangnya memerlukan koordinasi dengan Pemerintah

atau Pemerintah Provinsi Bali atau Pemerintah Kabupaten yang berbatasan;

Berdasarkan kriteria Kawasan Strategis Kota Denpasar, maka penetapan

kawasan strategsi adalah: Kawasan strategis yang memiliki kepentingan signifikan

dalam perekonomian kota atau wilayah, mencakup: Kawasan Pusat Kota, Kawasan

Sanur, Kawasan Ubung Kaja, Kawasan Pulau Serangan, Kawasan Pelabuhan

Benoa, Kawasan Pengembangan LC Margaya.

Kawasan strategis yang memiliki kepentingan pelestarian nilai historis dan

budaya yang menjadi jati diri kota, mencakup: Kawasan Pusat Kota, Kawasan

Taman Budaya (Art Centre). Kawasan strategis yang memiliki kepentingan untuk

pelayanan sosial dan publik yang tinggi, mencakup : Kawasan Pusat Pemerintahan

Provinsi Bali; Kawasan Pusat Perkantoran Pemerintahan Kota; dan Kawasan

Sanglah.

Kawasan strategis yang memiliki kepentingan perlindungan keragaman

sumber daya hayati dan perlindungan terhadap bencana, mencakup Kawasan

Tahura Ngurah Rai. Peta penetapan kawasan strategis kota dapat dilihat pada

Gambar 4.5.
70

Gambar 4.5 Penetapan Kawasan Strategis Kota

Sumber: Bappeda Kota Denpasar, 2011


71

4.1.3.4. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah

Pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan

pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Arahan pemanfaatan ruang

dilaksanakan melalui penyusunan indikasi program pemanfaatan ruang, rencana

indikasi pembiayaan beserta pengembangan penatagunaan tanah, penatagunaan air,

penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya;

Arahan pengembangan struktur ruang dan pola ruang dilakukan

berdasarkan arahan pengembangan struktur ruang beserta komponen

pembentuknya yang dituangkan dalam indikasi program jangka panjang dan

indikasi program utama jangka menengah lima tahunan.

Pemanfaatan ruang diselenggarakan dengan kegiatan penyusunan dan

penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air,

neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lainnya.

Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan

prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama

bagi pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang

hak atas tanah. Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung,

diberikan prioritas pertama bagi pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak

atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan

haknya.

Dalam penyelenggaraan penatagunaan, dikembangkan peta dasar wilayah

atau kawasan yang bersumber dari data peta citra satelit terkini dengan koordinat
72

terpadu antara peta dasar kota dengan peta dasar provinsi dan kabupaten sekitar,

yang selanjutnya dimutakhirkan setiap lima tahun.

4.1.3.5. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang

Tujuan pengendalian pemanfaatan ruang adalah untuk menjamin

tercapainya konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang telah

ditetapkan. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan ruang merupakan perangkat

untuk memastikan perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya

telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dengan demikian

penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan ruang dapat dihindari.

Pengendalian pemanfaatan ruang dapat berjalan dengan cukup efektif dan

efisien apabila mempunyai dasar perencanaan tata ruang yang baik dan berkualitas

serta informasi yang akurat terhadap praktek-pratek pemanfaatan ruang yang

berlangsung.

Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota termuat dalam

Pasal 28, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang berlaku mutatis

mutandis sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1), yang merupakan bagian

dari muatan yang harus ada dalam sebuah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

(RTRWK).

Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota berisi: ketentuan

umum peraturan zonasi; ketentuan perizinan; ketentuan insentif dan disinsentif; dan

arahan sanksi.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui mekanisme perizinan

pemanfaatan ruang, dengan berpedoman pada rencana tata ruang yang lebih rinci
73

(RDTR, RRTR dan ketentuan peraturan zonasi), dengan memperhatikan ketentuan,

standar teknis, kelengkapan prasarana, kualitas ruang, dan standar kinerja kegiatan

yang ditetapkan. Untuk mendukung pelaksanan pengendalian pemanfaatan ruang

dibutuhkan kegiatan pengawasan dan penertiban. Pengendalian pemanfaatan ruang

wilayah kota dilakukan oleh Walikota melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang

Daerah (BKPRD) Kota.

4.1.4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang

Pansus I DPRD Kota Denpasar

Pembahasan dilakukan antara Bappeda Kota Denpasar, Bagian Hukum

Setda Kota Denpasar bersama dengan Panitia Khusus (Pansus) I RTRW Kota

Denpasar pada tanggal 15 Oktober 2008 dan 3 November 2008. Pembahasan

mengalami jeda waktu yang cukup lama karena baru disahkannya beberapa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perda RTRW, seperti UU

Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Perda RTRW Provinsi Bali

sebagai payung RTRW Denpasar.

Pada rapat pembahasan bersama Pansus RTRW muncul beberapa

pertanyaan dan usul terhadap Ranperda RTRW Kota Denpasar, antara lain tentang

berapa persen ruang terbuka di Kota Denpasar dan kondisi hutan mangrove.

Berdasarkan data pada tahun 2006, persentase ruang terbuka adalah 45,46% dan

luas hutan mangrove di Kota Denpasar adalah 564,01 atau 4,41%. Syarat minimal

Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Kawasan Perkotaan menurut Pasal 28 dan 29

UU Nomor 26 Tahun 2007 adalah 30% yang meliputi RTH Publik 20% dan RTH

Privat 10%.
74

Berdasarkan Rencana Pola Ruang Kota Denpasar Tahun 2026 dan

Komposisi Fungsi Ruang Terbuka Hijau di Kota Denpasar, maka proporsi target

pencapaian Ruang Terbuka Hijau di Kota Denpasar sampai pada tahun 2026 adalah

minimal 35%, dengan uraian sebagai berikut: Koefision Wilayah Terbangun Kota

Denpasar adalah 67,19% (dihitung berdasarkan luas kawasan terbangun berbanding

luas wilayah kota), sehingga proporsi Ruang Terbuka adalah kebalikannya yaitu

32,18%, masih di bawah target 35% sesuai dengan yang tertuang dalam Kebijakan

dan Strategi Pengembangan Ruang Terbangun dan Terbuka Kota.

Terkait pertanyaan mengenai mekanisme disinsentif untuk mengendalikan

perkembangan yang tidak sesuai. Bappeda Kota Denpasar menjawab: Pengendalian

rencana tata ruang dilakukan dengan menyusun mekanisme dan perangkat

disinsentif untuk mengendalikan perkembangan yang tidak sesuai dengan rencana

tata ruang, berupa: pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya

biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat

pemanfaatan ruang dan/atau pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan

kompensasi dan pengenaan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sanksi-sanksi yang dimaksud antara lain: peringatan dan/atau teguran,

penghentiuan sementara pelayanan administratif, penghentian sementara kegiatan

pembangunan dan atau pemanfaaatan ruang, pencabutan ijin yang berkaitan dengan

pemanfaatan ruang, pemullihan fungsi atau rehabilitasi fungsi ruang,

pembongkaran bagi bangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,

pemutihan perijinan dan pengenaan denda.


75

Terkait pertanyaan mengenai pengembangan Kawasan Margaya, jawaban

yang diberikan adalah: Pengelolaan Kawasan Pengembangan Margaya yang

merupakan kawasan pengembangan baru pada perbatasan wilayah Kota Denpasar

dengan Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, didasarkan atas: Kebutuhan

pengembangan terusan jaringan jalan linglar barat Kota Denpasar untuk

mengurangi kemacetan di wilayah Kota Denpasar yang terkoneksi langsung dengan

Jalan Sunset di Kabupaten badung yang berfungsi sebagai jalan antar wilayah (jalan

kolektor primer); Adanya keinginan masyarakat untuk mengalihkan fungsi

kawasan tersebut menjadi kawasan budidaya (permukiman) dengan proses Land

Consolidation (LC): Pada kawasan ini diarahkan akan menjadi pusat kegiatan

perdagangan dan jasa serta kegiatan sosial budaya Kota Denpasar di bagian barat.

Terkait pertanyaan mengenai kewenangan Badan Koordinasi Penataan

Ruang, jawaban yang diberikan adalah: Kewenangan Badan Koordinasi Penataan

Ruang Daerah Kota (BKPRD) adalah bersifat ad-hoc untuk membantu pelaksanaan

tugas koordinasi penataan ruang di daerah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang.

BKPRD Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan BKPRD Kabupaten/Kota

ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Berita Acara Pembahasan Materi Ranperda

RTRW Denpasar dalam Sidang Pansus I (RTRW Kota Denpasar) DPRD Kota

Denpasar, 2006).
76

4.1.5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

Rapat sinkronisasi dihadiri oleh Kepala Bappeda Kota Denpasar, Kepala

Litbang Bappeda Kabupaten Badung, Kepala Bappeda Kabupaten Gianyar, DPRD

Kota Denpasar, DPRD Kabupaten Badung, DPRD Kabupaten Gianyar, Tim

BKPRD Kota Denpasar, BKPRD Kabupaten Badung, serta BKPRD Kabupaten

Gianyar, dan diselenggarakan pada tanggal 9 Februari 2010.

Rapat sinkronisasi menghasilkan kesimpulan dan kesepakatan, antara lain:

Kebijakan pengembangan struktur ruang makro antar wilayah Kota Denpasar

ditetapkan dengan pemanfaatan fungsi Kota sebagai Ibu Kota Provinsi Bali,

kawasan perkotaan inti dari Pusat Kegiatan Nasional, Kawasan Strategis Nasional

dan Kawasan Metro Sarbagita. Kebijakan dan strategi pengembangan sistem

infrastruktur dirancang secara terpadu antar Kota Denpasar dengan kabupaten

penyanding beserta sub-sistemnya.

Rencana struktur ruang wilayah kota yang mencakup sistem pusat

pelayanan, prasarana wilayah dan pengembangan distribusi kependudukan

dirancang dengan memperhatikan dan mengarahkan pada wilayah sekitar

Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar sebagai daerah (kota) satelit. Pola ruang

meliputi kawasan lindung dan budidaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan

Gianyar sepakat untuk saling mensinkronkan peruntukan pada kawasan-kawasan

yang berbatasan, terutama pada daerah yang mempunyai fungsi lindung.


77

Kawasan strategis kota yang didasarkan pada peran yang signifikan dalam

perekonomian, yang memiliki nilai historis dan budaya, serta kawasan yang

memiliki tingkat pelayanan sosial dan publik yang tinggi, dirancang sebanyak 12

Kawasan Strategis Kota Denpasar. Kawasan Strategis Kota yang menyatu dengan

Kawasan Strategis Nasional, kawasan Strategis Provinsi atau menjadi bagian

kawasan strategis lainnya, penataan ruangnya dikoordinasikan dengan Pemerintah,

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten yang berbatasan, sedangkan untuk

Kawasan Strategis yang menyatu dengan Kawasan Strategis lainnya dirancang

lebih detail dalam RDTR Metropolitan Sarbagita dan RDTR Teluk Benoa.

Arahan pemanfaatan ruang khususnya pada daerah perbatasan dilakukan

sinkronisasi peruntukan, sehingga terjadi harmonisasi dalam pemanfaatannya.

Untuk batas wilayah akan dilakukan penegasan dengan pematokan yang akan

difasilitasi oleh Provinsi Bali. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan secara

sinergis antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten

Gianyar (Berita Acara Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, 2010).

4.1.6. Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD

Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang

RTRW Kota Denpasar

Rapat koordinasi diselenggarakan di Kantor bappeda Provinsi Bali pada

tanggal 11 Maret 2010 dan 19 Mei 2010, dengan kegiatan penilaian kelengkapan

dokumen materi teknis Ranperda tentang RTRW Kota Denpasar dan penilaian
78

substansi kelengkapan materi teknis Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar terhadap Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 dan Kebijakan

Provinsi Bali.

Dalam rapat Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan dan koreksi,

antara lain mengenai kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, yaitu:

Kebijakan dan strategi penataan ruang kota harus mencantumkan kawasan strategis

Kota Denpasar. Kebijakan pengembangan kawasan budidaya prioritas yang

mencakup kebijakan pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-

Kintamani (Bali Selatan), serta pengembangan pertanian organik dalam kebijakan

dan strategi penataan ruang Kota Denpasar.

Bappeda Provinsi Bali juga memberikan masukan mengenai rencana

struktur ruang wilayah kota, antara lain: Perlu dicantumkan kawasan perkotaan

Metropolitan Sarbagita, disamping PKN, KSN juga kawasan strategis Provinsi

Bali, lokasi helipad untuk pendaratan helikopter sebagai transportasi udara,

Pelabuhan Benoa tidak perlu menyediakan lokasi akomodasi perlu disesuaikan

dengan dokumen RDTR Teluk Benoa.

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali mengkoreksi tentang kesesuaian

prosentase RTHK sebesar 35% yang belum sesuai dengan hasil penjumlahan

RTHK Publik 15,75% dan RTHK Privat sebesar 15%. Koreksi lain adalah

pencantuman ketinggian bangunan yakni 5 level agar dikoreksi menjadi 15 meter

sehingga tidak multitafsir. Dinas PU Provinsi Bali menyarankan untuk mengatur

arahan insentif dan bentuk-bentuk insentif dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.
79

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali mempertanyakan RTH

mininmal 35% dari luas wilayah kota apakah sudah realitis, mengingat dalam

perhitungan memasukkan komponen lahan sawah sebagai komponen RTH yang

rawan mengalami alih fungsi lahan. Untuk menambah luas RTHK perlu dihitung

RTHK sepanjang ruas jalan.

Dinas Kelautan dan Perikanan mengkoreksi tentang jarak perairan

kabupaten/kota sepanjang 4 mil dirubah menjadi sepertiga wilayah kewenangan

provinsi, serta lokasi Marina Serangan yang sedang diusulkan perlu dimasukkan

dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.

4.1.7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan

Substansi Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar

kepada Menteri Pekerjaan Umum

Sekretaris Daerah Kota Denpasar mengirim surat permohnan rekomendasi

gubernur untuk persetujuan substansi terhadap Ranperda Kota Denpasar tengang

RTRW Wilayah Kota Denpasar pada tanggal 9 Februari 2010. Atas surat tersebut

Gubernur Bali kemudian mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum pada

tanggan 24 Mei 2010, yang menyatakan bahwa Rancangan Perda Kota Denpasar

tentang RTRW telah dikonsultasikan dan dibahas dalam Rapat Koordinasi

Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dan Rapat Pleno

BKPRD Provinsi Bali di Kantor Bappeda Provinsi Bali pada tanggal 11 Maret 2010

dan 19 Mei 2010.

Berdasarkan hasil konsultasi dan pembahasan, Gubernur Bali memberikan

rekomendasi bahwa Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar dapat
80

diproses lebih lanjut untuk dilakukan evaluasi materi muatan teknis oleh instansi

Pemerintah anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) untuk

selanjutnya mendapat persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum

(Rekomendasi Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda Kota Denpasar tentang

RTRW Kota Denpasar, 2010).

4.1.8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW

Kota Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum

Menteri Pekerjaan Umum pada prinsipnya menyetujui Ranperda Kota

Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar untuk segera diproses lebih lanjut sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan beberapa catatan, yaitu

mengingat Kota Denpasar memiliki RTH seluas 24,12 % dari luas wilayah kota,

maka untuk memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang, Pemerintah Kota Denpasar agar mengupayakan

perwujudan RTH seluas 31,14% dari luas wilayah kota pada akhir tahun rencana

sebagaimana tercantum dalam Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar.

4.1.9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar

tentang RTRW Kota Denpasar

Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Ke-10 masa persidangan ketiga DPRD

Kota Denpasar pada tanggal 28 November 2011 telah menyetujui 13 Ranperda Kota

Denpasar termasuk di dalamnya Ranperda tentang RTRW menjadi Perda Kota


81

Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031

(Keputusan DPRD Kota Denpasar Nomor 07 Tahun 2011).

4.1.10. Rangkuman Proses Penyusunan RTRW Kota Denpasar

Berdasarkan uraikan di atas, maka proses penyusunan RTRW Kota

Denpasar secara garis besar, melalui tahapan sebagai berikut:

1. Evaluasi RTRW

2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi

RTRW Kota Denpasar

3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan

sebagai berikut:

a. Analisis pengembangan wilayah

b. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah

c. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

d. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah

e. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang

4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus

I DPRD Kota Denpasar

5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Badung dan Kabupaten Gianyar

6. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi

Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar
82

7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi

Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri

Pekerjaan Umum

8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum

9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang

RTRW Kota Denpasar

4.2. Para Pihak dan Kepentingan yang Berpengaruh dalam Penyusunan

RTRW Kota Denpasar

Terdapat dua aspek utama dalam proses pembahasan Ranperda RTRW Kota

Denpasar. Yaitu, pertama, adalah pihak yang terlibat dalam kebijakan, di mana

yang dimaksud di sini adalah orang atau institusi yang mempengaruhi kebijakan

tertentu. Kedua, jaringan kebijakan, yaitu bagaimana masing-masing pihak degan

gagasan-gagasannya menjalin hubungan (bisa saling mendukung atau bertolak

belakang) dalam mempengaruhi kebijakan.

Berdasarkan proses penyusunan RTRW Kota Denpasar seperti yang telah

diuraikan di atas, maka dapat ditentukan para pihak dan kepentingan yang

berpengaruh dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah sebagai berikut.

4.2.1. Bappeda Kota Denpasar

Bappeda Kota Denpasar memiliki tugas membuat perumusan kebijakan

teknis bidang Perencanaan Pembangunan Daerah yang meliputi bidang Sosial


83

Budaya, perekonomian, sarana dan prasarana wilayah, pemerintahan dan aparatur,

pendataan dan pelaporan, serta bidang penelitian dan pengembangan, termasuk

dalam bidang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar. Bappeda Kota

Denpasar terlibat dalam semua proses penyususnan RTRW, mulai dari tahapan

evaluasi hingga pembahasan materi atau substansi RTRW.

4.2.2. Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota Denpasar

Kepala desa dan lurah dilibatkan dalam tahap evaluasi RTRW Kota

Denpasar. Beberapa gagasan yang disampaikan antai lain:

Lurah Serangan menyampaikan bahwa perumahanan masyarakat di

Serangan sudah ada sejak lama, dan kondisi sempadan pantai tidak lagi memenuhi

ketentuan (Jarak dari pantai rata-rata mencapai lima meter, bahkan kurang).

Gagasan mengenai sempadan pantai yang dapat kurang dari lima meter tidak

diakomodasi dalam RTRW, sebab dalam Pasal 83 Ayat (3) huruf a, ditulis bahwa

sempada pantai dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air

laut tertinggi ke arah darat.

Kepala Desa Sanur Kaja menyampaikan bahwa permasalahan kawasan jalur

hijau di Jalan Sedap Malam yang mengalami pembangunan secara masif, sehingga

semakin mengurangi kawasan jalur hijau. Gagasan ini diakomodasi secara parsial

dalam Pasal 50 huruf a bahwa Jalan Sedap Malam termasuk dalam kawasan

peruntukan kegiatan sektor informal, yaitu: pedagang bunga dan tanaman hias,

tanpa mendirikan bangunan permanen.

Lurah Sesetan menyatakan bahwa warga Sesetan yang memiliki lahan di

kawasan hutan bakau mengusulkan untuk merubah ketentuan penggunaan lahan di


84

kawasan tersebut. Usul ini tidak diakomodasi dalam RTRW, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf c bahwa memantapkan hutan bakau di

Kawasan Denpasar Selatan sebagai kawasan taman hutan raya.

4.2.3. DPRD Kota Denpasar

DPRD Kota Denpasar berperan sebagai badan legislatif yang memberikan

persetujuan dan pengesahan dari Ranperda menjadi Perda RTRW. DPRD Kota

Denpasar dilibatkan dalam tahapan penyusunan berikut ini: Pembahasan Laporan

Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar,

Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD

Kota Denpasar, Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Badung dan Kabupaten Gianyar; dan Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi

Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar. Pada Rapat Pembahasan

Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota

Denpasar, disampaikan beberapa usul dan pertanyaan, yang semuanya sudah

dijawab dalam rapat tersebut.

4.2.4. Asosiasi Profesi

Perwakilan dari REI dan IAI mempertanyakan tolak ukur dalam

menentukan lahan terbangun mencapai 64% pada Pembahasan Laporan

Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar, yang sudah

dijawab melalui Materi Teknis RTRW Kota Denpasar.


85

4.2.5. Bappeda Kabupaten Badung dan Bappeda Kabupaten Gianyar

Bappeda Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar terlibat dalam tahap

Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten

Gianyar. Masing-masing institusi berperan sebagai perwakilan dari masing-masing

kabupaten/kota. Hasil dari sinkronisasi adalah kesepakatan bersama antara

Walikota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabuaten Gianyar tentang Sinkronisasi

dan Harmonisasi Substansi RTRW Kota Denpasar dengan Kabupaten Badung dan

Kabupaten Gianyar.

4.2.6. Bappeda Provinsi Bali

Bappeda Provinsi Bali terlibat dalam tahapan Pembahasan Laporan

Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar; serta Rapat

Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam

Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.

Dalam Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang

BKPRD Provinsi Bali, Bappeda Provinsi Bali memberikan masukan dan koreksi,

antara lain mengenai kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, yaitu:

Kebijakan dan strategi penataan ruang kota harus mencantumkan kawasan strategis

Kota Denpasar. Kebijakan pengembangan kawasan budidaya prioritas yang

mencakup kebijakan pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-

Kintamani (Bali Selatan), serta pengembangan pertanian organik dalam kebijakan

dan strategi penataan ruang Kota Denpasar.


86

Usulan mengenai penentuan kawasan strategis Kota Denpasar diakomodasi

dalam Bab VI Penetapan Kawasan Strategis Kota. Usulan tentang kebijakan

pengembangan kawasan budidaya prioritas yang mencakup kebijakan

pengembangan kawasan andalan di kawasan Denpasar-Ubud-Kintamani (Bali

Selatan) diakomodasi dalam Pasal 11 Ayat (4) Huruf b, bahwa: Strategi

pengembangan kawasan budidaya kreatif dan unggulan adalah dengan

menyelaraskan fungsi-fungsi kegiatan pariwisata, pertanian, industri kecil

unggulan untuk mendukung kawasan andalan nasional pada poros pengembangan

Kawasan Denpasar Ubud Kintamani.

4.2.7. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat Koordinasi

Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam

Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali mengkoreksi tentang kesesuaian

prosentase RTHK sebesar 35% yang belum sesuai dengan hasil penjumlahan

RTHK Publik 15,75% dan RTHK Privat sebesar 15%. Koreksi lain adalah

pencantuman ketinggian bangunan yakni 5 level agar dikoreksi menjadi 15 meter

sehingga tidak multitafsir. Dinas PU Provinsi Bali menyarankan untuk mengatur

arahan insentif dan bentuk-bentuk insentif dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.

Koreksi atas jumlah RTHK telah diakomodasi dalam Pasal 42 Ayat (4) dan

(5) yang menyatakan bahwa RTHK mencapai 36% dari luas wilayah Kota

Denpasar, dengan perincian RTHK publik sebesar 20% dan RTHK Privat sebesar

16%. Koreksi atas ketinggian bangunan diakomodasi dalam Pasal 68 Ayat (2)
87

huruf b, bahwa ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara di atas

permukaan tanah dibatasi maksimal 15 m.

4.2.8. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat

Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam

Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali mempertanyakan RTH

mininmal 35% dari luas wilayah kota apakah sudah realitis, mengingat dalam

perhitungan memasukkan komponen lahan sawah sebagai komponen RTH yang

rawan mengalami alih fungsi lahan. Untuk menambah luas RTHK perlu dihitung

RTHK sepanjang ruas jalan. Usulan ini diakomodasi dalam Pasal 42 Ayat (2) huruf

c, yang mengikutsertakan jalur hijau jalan sebagai komponen RTHK.

4.2.9. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali terlibat dalam tahap Rapat

Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali dalam

Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar.

Dinas Kelautan dan Perikanan dalam rapat tersebut di atas mengkoreksi

tentang jarak perairan kabupaten/kota sepanjang 4 mil dirubah menjadi sepertiga

wilayah kewenangan provinsi, serta lokasi Marina Serangan yang sedang diusulkan

perlu dimasukkan dalam Ranperda RTRW Kota Denpasar.

Koreksi tentang ruang laut tidak diakomodasi dalam RTRW Kota Denpasar,

Pasal 4 Ayat (2) menyatakan bahwa Ruang laut terdiri atas wilayah laut paling jauh
88

4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan

kepulauan dan sejauh jarak garis tengah antar wilayah laut kabupaten yang

berdekatan. Usulan mengenai Marina di Serangan diakomodasi dalam Pasal 47 ayat

(4) huruf a.

4.2.10. Gubernur Bali

Gubernur Bali berperan dalam pemberian persetujuan substansi Ranperda

Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum

setelah melalui Rapat Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang

BKPRD Provinsi Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW

Kota Denpasar.

4.2.11. Menteri Pekerjaan Umum

Menteri Pekerjaan Umum terlibat dalam pemberian persetujuan Ranperda

Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar untuk segera diproses lebih lanjut

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.2.12. Jaringan dan Taksonomi Kebijakan

Merujuk pada taksonomi dari policy networks yang dikemukakan Howlett

dan Ramesh (1998: 470) ada dua kelompok pelaku kebijakan yaitu negara dan

masyarakat, serta ada empat model jaringan kebijakan, yaitu birokratik,

partisipatori, jaringan isu dan jaringan pluralis.

Dari pembahasan di atas maka pelaku negara adalah: Bappeda Kota

Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Gubernur Bali, dan BKPRN, sedangkan pelaku
89

masyarakat/non-negara adalah asosiasi profesi komponen dan masyarakat

khususnya, jajaran kepala desa dan lurah se-Denpasar. Melihat dari gagasan dan

argumentasi dari para pihak yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa

pihak yang paling dominan dalam mempengaruhi jaringan kebijakan adalah

lembaga negara.

Fakta ini sejalan dengan pandangan Gramscian tentang hegemoni bahwa

kekuasaan dari kelas penguasa lebih halus ketimbang dominasi fisik dari satu kelas

atau kelas lainnya. Kelas penguasa punya hegemoni atas proses mental dari pihak

yang dikuasai. Kekuasaan riil dari kelas dominan adalah kekuasaan mereka dalam

membuat pandangan mereka tentang dunia mendominasi orang lain (Parsons, 2005:

149). Dari sini dapat dilihat bahwa DPRD tidak sekedar mengontrol agenda atau

definisi problem dari Ranperda tentang RTRW ini tetapi juga mempunyai kapasitas

untuk mengontrol cara orang untuk memandang realitas tentang permasalahan yang

akan ditanggulangi dalam Ranperda tentang RTRW ini.

Secara kuantitas para pihak yang ada dalam jaringan kebijakan ini relatif

sedikit dan dengan dominannya lembaga negara, maka model jaringan kebijakan

yang terjadi adalah jaringan birokratis, yang bercirikan sistem klien atau jaringan

korporatis. Jaringan birokratis ini terjadi dari kelompok kecil anggota DPRD

(Pansus RTRW), dan instansi pemerintah, yang sering bekerja sangat erat bersama-

sama untuk waktu yang lama. Mereka mengembangkan hubungan pribadi dan

saling memiliki ketergantungan sistemik, sehingga "menutup" proses kebijakan

dari kontrol populer/masyarakat. Selain itu jaringan birokratis ini juga terjadi secara
90

vertikal, antara Pemerintah Kota Denpasar dan DPRD Kota Denpasar dengan

Gubernur Bali dan BKPRN.

Dari sudut pandang taksonomi komunitas kebijakan ada empat model

komunitas kebijakan, yaitu, hegemonik, perlombaan, perpecahan dan kekacauan.

Walaupun negara menjadi pihak yang dominan, serta adanya sedikit gagasan/ide

yang berseberangan dari masing-masing pihak, namun tidak ada dominasi ide atau

gagasan yang mewarnai proses pembahasan Ranperda RTRW Denpasar ini.

Dengan demikian, maka model taksonomi komunitas kebijakan yang terjadi adalah

model perlombaan.

Sedangkan dari aspek taksonomi perubahan kebijakan ada empat model

perubahan kebijakan yaitu pradigmatik cepat, inkremental cepat, paradigmatik

gradual dan inkremental gradual. Bila dilihat dari waktu pembahasan yang

memakan waktu selama empat tahun dari tahun 2006 sampai 2011. Maka kecepatan

perubahan kebijakan yang terjadi adalah perubahan secara lambat. Sedangkan

model perubahan yang terjadi tidak bersifat pragmatik, terlihat dari tidak adanya

perubahan isu mendasar yang mengakibatkan perubahan substansi Ranperda secara

mendasar. Perubahannya terjadi secara bertahap dalam tempo yang lama, sehingga

model perubahan kebijakan yang terjadi adalah perubahan inkremental gradual.

4.3. Pendekatan yang Diterapkan dalam Perencanaan Tata Ruang

Wilayah di Kota Denpasar

Perencanaan tata ruang wilayah kota merupakan aktivitas yang bersifat

teknis, namun sekaligus merupakan fungsi negara yang diformulasikan dalam


91

kebijakan publik, sehingga untuk menentukan pendekatan yang diterapkan dapat

dilihat melalui dua sudut pandang, yaitu: perubahan kebijakan publik dan

pendekatan berdasarkan atas teori perencanaan.

4.3.1. Perubahan Kebijakan Publik

Penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-2031 berawal dari evaluasi

terhadap RTRW Kota Denpasar Tahun 2009, sehingga untuk memahami

perubahan kebijakan yang terjadi perlu diketahui agenda setting dan arena konflik

dari proses kebijakan RTRW ini.

4.3.1.1. Keadaan agenda setting

Dalam menganalisis agenda setting, ada dua aspek yang menjadi perhatian

utama yaitu persepsi dan fokus perhatian kebijakan.

1. Persepsi

Bila melihat alat analisis yang diajukan Grindle dan Thomas (1991) tentang

aspek ekonomi politik dari perubahan kebijakan, dapat dilihat bahwa dalam situasi

ini keadaan agenda settingnya berada pada garis situasi politik seperti biasanya.

Keadaan agenda setting yang membentuk persepsi pada politik seperti

biasanya dapat dilihat dari lima variabel, yaitu adanya persoalan yang telah dipilih,

tingkat pertaruhan rendah, pengambilan keputusan tingkat rendah, perubahan

inkremental dan waktu yang fleksibel. Kelima variabel ini ditemukan dalam proses

perubahan Perda tentang RTRW ini.


92

a. Persoalan yang dipilih;

Rencana Pemerintah Kota Denpasar untuk melakukan perubahan Perda No.

10 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Denpasar sejatinya

sudah muncul sejak tahun 2006. Perubahan ini dilandasi pertimbangan bahwa Perda

No. 10 tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar dinilai sudah kadaluwarsa dan

kondisi di lapangan sudah banyak yang berubah. Berdasarkan fakta tersebut,

Bappeda Kota Denpasar telah merancang revisi Perda RTRW yang akan

diberlakukan dalam menata ruang di Kota Denpasar. Pembahasan awal ranperda

RTRW ini diprakarsai Bappeda Kota Denpasar yang melibatkan konsultan

perencana untuk Secara garis besar permasalahan tata ruang yang dialami Kota

Denpasar adalah sebagai berikut:

1) Terus bertambahnya kebutuhan lahan baru untuk permukiman dalam rangka

menampung pertumbuhan penduduk yang demikian cepat dan hal ini

menimbulkan meningkatnya kepadatan di Kota Denpasar serta adanya

proses densifikasi permukiman ke kawasan pinggiran kota (urban sprawl);

2) Tingginya pertambahan jumlah penduduk terutama pendatang,

membutuhkan tambahan sarana dan prasarana perkotaan serta lapangan

kerja yang mencukupi;

3) Besarnya potensi alih fungsi lahan sawah irigasi, akibat tuntutan

permukiman dan kegiatan produktif lainnya yang membutuhkan ruang,

namun di sisi lain banyak terdapat lahan tidur yang belum termanfaatkan;

4) Kemacetan lalu lintas pada beberapa ruas jalan utama yang disebabkan

kurangnya dukungan sistem infrastruktur terutama jaringan jalan dan terus


93

menambahnya kepemilikan kendaraan serta bercampurnya arus lalu lintas

regional dan lokal pada kawasan perkotaan di Kota Denpasar dan

sekitarnya;

5) Makin mendominasinya kawasan perdagangan dan jasa pada jalan-jalan

utama di Kota Denpasar, sehingga Kota Denpasar terkesan lebih cenderung

menjadi kota perdagangan ketimbang kota budaya;

6) Maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan-kawasan

perlindungan setempat seperti kawasan sempadan pantai, Ruang Terbuka

Hijau (RTH), sempadan jalan, sempadan sungai, dan radius kawasan suci

dan tempat suci;

7) Mulai berkurangnya kualitas pelayanan air bersih, persampahan, air limbah,

drainase akibat daya tampung jaringan yang ada beberapa diantaranya telah

mencapai kapasitasnya;

8) Kurang terintegrasinya pola pemanfaatan ruang terutama di wilayah-

wilayah perbatasan antar Kawasan Metropolitan Sarbagita;

9) Makin memudarnya wajah tata ruang bernuansa budaya Bali baik tata

lingkungan, konsep catuspatha, tata bangunan maupun wajah arsitektur Bali

yang merupakan jati diri unik kota-kota di Bali;

10) Belum terintegrasinya Struktur Tata Ruang Kawasan Metropolitan

Sarbagita, yang dapat mendorong keserasian hubungan fungsional antara

Kota Denpasar sebagai kota inti dengan ibukota kabupaten/kecamatan atau

pusat-pusat kegiatan lainnya yang berdekatan;


94

11) Belum adanya pengaturan tentang pemanfaatan ruang wilayah perairan dan

laut sesuai batas kewenangan 4 mil laut untuk pemerintah Kota/Kabupaten;

dan

12) Belum tertuangnya penerapan konsep-konsep mitigasi bencana dalam

penataan ruang wilayah Kota Denpasar.

mengawali revisi Perda RTRW sebelumnya.

Dari fakta di atas, tampak bahwa inisiatif awal dari perubahan Perda No. 10

tahun 1999 tentang RTRW Kota Denpasar datang dari keinginan untuk melakukan

perubahan bukan karena tekanan publik untuk melakukan perubahan. Latar

belakang perubahan Perda RTRW ini adalah persoalan yang dipilih bersama antara

eksekutif dan legislatif, dalam hal ini Pemerintah Kota Denpasar dan DPRD Kota

Denpasar.

b. Tingkat pertaruhan yang rendah

Tidak adanya tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan menyebabkan

terjadinya tingkat pertaruhan yang rendah. Hal ini tampak dari perubahan legal

drafting sebanyak enam kali untuk mengakomodasi baik perubahan-perubahan di

lapangan maupun penyesuaian dengan peraturan-peraturan baru yang secara

hirarkis berada di atas Perda, yaitu Perda No. 16 Tahun 2009 tentang RTRW

Provinsi Bali 2009-2029 dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

c. Pengambilan keputusan tingkat rendah

Tidak nampak pengambilan keputusan dari level tertinggi, yakni Walikota

Denpasar dan pimpinan DPRD dalam pengambilan keputusan, dikarenakan tidak


95

ada situasi krisis dan tekanan yang mendesak pengambilalihan keputusan pada level

tertinggi. Pengambilan keputusan dilakukan pada level SKPD dan Pansus RTRW.

d. Perubahan inkremental

Perubahan secara inkremental memiliki karakteristik konservatif, karena

cenderung menisbikan perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan

dalam waktu relatif singkat), sehingga pendekatan ini kadang dianggap sebagai

pendekatan yang pro-interia dan anti-inovasi, sesuai dengan lingkupnya yang relatif

sempit dan parsial.

Seperti telah diungkapkan dalam poin analisis sebelumnya, bahwa

perubahan yang terjadi adalah perubahan secara inkremental. Perubahan kebijakan

dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan Perda No. 16 Tahun 2009

tentang RTRW Provinsi Bali 2009-2029 dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang.

e. Waktu yang fleksibel

Tidak adanya tekanan dalam mengesahkan Perda RTRW dengan segera

membuat waktu pembahasan Perda RTRW ini bersifat fleksibel. Hal ini terlihat dari

waktu pembahasan yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2011.

2. Fokus perhatian pembuatan kebijakan

Pada bagian analisis mengenai pihak kebijakan sebelumnya dijelaskan

bahwa model taksonomi jaringan kebijakan yang terhadi adalah jaringan birokratis

yang dihegemoni oleh lembaga negara. Dalam proses pembahasan Ranperda


96

RTRW ini, tidak ditemukan adanya pengaruh politik makro yang dapat merubah

substansi dari Ranperda RTRW ini. Pembuatan kebijakan cenderung didominasi

oleh relasi politik mikro dan hubungan birokratik. Hal ini tampak dari kurangnya

partisipasi publik dalam pembahasan Ranperda ini. Relasi yang terjadi adalah relasi

antar instansi dalam domain lembaga negara. Sehingga proses pembahasan

Ranperda ini cenderung tertutup dari kontrol dan tekanan publik.

4.3.1.2. Arena konflik

Situasi politik seperti biasanya membawa kebijakan ini pada arena konflik

di tingkat birokratik. Seperti telah diuraikan dalam analisis mengenai taksonomi

komunitas kebijakan yang terjadi adalah perlombaan ide di dalam komunitas.

Perlombaan ide yang terjadi hanya terbatas pada jaringan birokratik yang terbentuk

dan tidak meluas kepada pertentangan ide dalam masyarakat.

4.3.2. Pendekatan Perencanaan Berdasarkan Teori Perencanaan

Untuk mengetahui pendekatan perencanaan yang diterapkan dalam

Penyusnan RTRW Kota Denpasar, digunakan Perbandingan Pendekatan

Perencanaan, yang diuraikan ke dalam pokok-pokok uraian: karakteristik

perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkup perencanaan dan

metode perencanaan.

4.3.2.1. Karakteristik perencanaan

Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dipelopori oleh Bappeda

Kota Denpasar yang berperan sebagai lembaga teknis daerah yang bertanggung
97

jawab terhadap perencanaan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam pasal

14 , ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah

urusan perencanaan dan pengendalian pembangunan. Kewenangan perencanaan

pengendalian tersebut kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,

dari 26 (dua puluh enam) urusan sesuai dengan pasal 7, ayat (2), Bappeda sebagai

salah satu lembaga teknis daerah yang merupakan unsur pendukung tugas kepala

daerah, mengemban 3 (tiga) urusan wajib yang wajib dilaksanakan, yaitu urusan

penataan ruang, perencanaan pembangunan dan urusan statistik.

Aktivitas perencanaan yang dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota

Denpasar berpusat pada Bappeda sebagai institusi yang merencanakan sejak awal

hingga melakukan pembahasan substansi dari RTRW Kota Denpasar. Karena sifat

perencanaannya yang bersifat teknis dan berpusat pada lembaga negara, yakni

Bappeda Kota Denpasar, maka pendekatan perencanaan yang sesuai dengan Teori

Pendekatan Perencanaan adalah Pendekatan Rasional Komprehensif.

4.3.2.2. Peran negara dalam perencanaan tata ruang wilayah

Dalam rangka penyusunan RTRW, Bappeda Denpasar melakukan revisi

terhadap Perda No. 10 tahun 1999 tentang RTRW, dengan melalui beberapa

tahapan, yang melibatkan perwakilan masyarakat, asosiasi profesi dan instansi

terkait. Dalam setiap tahapan muncul berbagai usulan dan masukan yang diterima

oleh Bappeda Kota Denpasar dan diakomodasi ke dalam RTRW Kota Denpasar.
98

Dalam hal ini Bappeda Kota Denpasar sebagai perwakilan negara berperan

sebagai perantara netral yang ingin mencapai masyarakat yang stabil dengan

pengetahuan teknis, mendengarkan dan menerima aspirasi masyarakat, melakukan

pembelajaran bersama dengan para pihak yang dipengaruhi oleh implementasi dari

suatu rencana. Berdasarkan peran ini, maka pendekatan yang diterapkan dari sudut

pandang peran negara adalah rasional komprehensif, pendekatan advokasi,

transaktif dan consensus building.

4.3.2.3. Tujuan perencanaan

Tujuan Penyusunan RTRW Kota Denpasar adalah dalam rangka

mewujudkan RTRW sebagai pedoman penataan ruang dan pembangunan bagi

pemerintah Kota Denpasar dan pihak-pihak lainnya.

Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar

adalah :

a. Terwujudnya keterpaduan rencana tata ruang wilayah kota dengan rencana

tata ruang wilayah nasional, provinsi serta rencana jangka panjang daerah

b. Terarahnya pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah kota yang

terintegrasi dengan wilayah yang lebih luas

c. Terkendalinya pembangunan di Kota Denpasar baik yang dilakukan oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat;

d. Terciptanya keserasian pemanfaatan ruang antara kawasan lindung dan

kawasan budidaya perkotaan ;

e. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan di

Kota Denpasar;
99

f. Terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha.

g. Terkoordinasinya pembangunan antar kawasan dan antar sektor

pembangunan.

Tujuan perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar yang ingin dicapai

secara garis besar adalah peningkatan kualitas lingkungan, yang sejalan dengan

tujuan dari pendekatan rasional komprehensif.

4.3.2.4. Ruang lingkup perencanaan

Ruang lingkup perencanaan adalah Wilayah Kota Denpasar dengan luas

daratan keseluruhan 12.778 Ha yang terletak pada koordinat 0836'20 - 0844'48

LS dan 11510'00 - 11516'26 BT, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara: Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)

2. Sebelah Timur: Kecamatan Sukawati ( Kabupaten Gianyar ) dan Selat Badung

3. Sebelah Selatan: Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk

Benoa

4. Sebelah Barat: Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)

Ruang wilayah juga mencakup ruang perairan, sehingga lingkup ruang

perairan adalah sejauh batas kewenangan pemerintah Kota/Kabupaten yaitu sejauh

4 mil laut. Sedangkan ruang udara dibahas sampai batas tertentu yang berpengaruh.

Selain itu batas pengamatan wilayah daratan juga memperhatikan keterkaitan

fungsional dengan wilayah di sekitarnya, terutama Kawasan Metropolitan

Sarbagita.
100

Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar sesuai

arahan ayat 1, Pasal 26 dan Pasal 28 UU. No. 26 Tahun 2007, menghasilkan output

sebagai berikut :

a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota;

b. rencana struktur ruang wilayah kota yang meliputi sistem permukiman

perkotaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kota;

c. Rencana pola ruang wilayah kotayang meliputi kawasan lindung kota dan

kawasan budi daya kota;

d. penetapan kawasan strategis kota;

e. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;

f. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan

g. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan

kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi

bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai

pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.

h. arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama

jangka menengah lima tahunan; dan

i. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi

ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif

dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Secara garis besar ruang lingkup perencanaan tata ruang wilayah Kota

Denpasar mencakup aspek fisik, spasial dan sosial ekonomi, sesuai dengan ruang

lingkup dari perencanaan rasional komprehensif.


101

4.3.2.5. Metode perencanaan

Penyusunan perencanaan RTRW dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Evaluasi RTRW

2. Pembahasan Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi

RTRW Kota Denpasar

3. Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan

sebagai berikut:

a. Analisis pengembangan wilayah

b. Penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah

c. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

d. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah

e. Penyusunan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang

4. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang Pansus

I DPRD Kota Denpasar

5. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Badung dan Kabupaten Gianyar

6. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi

Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar

7. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi

Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri

Pekerjaan Umum
102

8. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum

9. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang

RTRW Kota Denpasar

Tahapan-tahapan di atas dapat dikelompokkan ke dalam metode dari

pendekatan komprehensif.

1. Perumusan masalah; dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap

RTRW Kota Denpasar Tahun 2009-2029, dari evaluasi ini kemudian

ditemukan beberapa permasalahan, yang mendorong terjadinya penyusunan

RTRW Kota Denpasar Tahun 2011-2031.

2. Pengumpulan data, dilakukan melalui tahapan Penyusunan Database

Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar, yang menghasilkan

berbagai data yang diperlukan termasuk masukan dan usulan dari lembaga

dan instansi terkait.

3. Analisis, dilakukan dalam tahapan Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota

Denpasar, yang meliputi: Kondisi Dan Analisis Fisik Wilayah, Analisis Pola

Ruang Wilayah Kota Denpasar, Analisis Sosial Kependudukan, Analisis

Sosial Budaya, Analisis Perekonomian Kota Denpasar, Analisis Kondisi

dan Kebutuhan Sistem Transportasi, Analisis Sistem Infrastruktur Wilayah,

Analisis Kebutuhan Fasilitas, Analisis Kecenderungan Pola Ruang

Wilayah, Analisis Struktur Ruang Wilayah


103

4. Penentuan tujuan dan sasaran, Secara umum tujuan penataan ruang wilayah

Kota Denpasar adalah untuk mewujudkan Kota Denpasar yang berwawasan

budaya, nyaman, aman, kreatif, produktif dan berdaya saing, dan

berkelanjutan, sejalan dengan rencana pembangunan jangka panjang Kota,

Provinsi dan Nasional. Selanjutnya secara khusus Penataan ruang wilayah

kota bertujuan untuk mewujudkan:

a. ruang wilayah kota yang nyaman, aman, produktif, kreatif,

berkelanjutan dan mencerminkan jatidiri budaya Bali;

b. keterpaduan struktur ruang kota dengan Kawasan Metropolitan

Sarbagita, wilayah Provinsi Bali dan sistem perkotaan nasional;

c. keterpaduan dan optimalisasi pola ruang kawasan lindung, kawasan

budidaya beserta ruang terbuka hijau kota

d. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan kota yang berwawasan budaya Bali akibat

pemanfaatan ruang;

e. keseimbangan dan keserasian perkembangan antar bagian wilayah

kota;

f. keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan

g. ruang wilayah kota yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi

bencana.

5. Perencanaan, dilakukan dalam tahapan Penyusunan Materi Teknis RTRW

Kota Denpasar, yang meliputi Rencana Struktur Ruang, Rencana Pola


104

Ruang Wilayah Kota, Rencana Ruang Terbuka Hijau (RTHK), Rencana

Pengembangan Kawasan Strategis Kota.

6. Pengambilan keputusan, dilakukan melalui tahapan

a. Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota Denpasar dalam Sidang

Pansus I DPRD Kota Denpasar

b. Sinkronisasi dan Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Denpasar dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar

c. Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi

Bali dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar

d. Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi

Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri

Pekerjaan Umum

e. Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar 2010-2030 oleh Menteri Pekerjaan Umum

f. Persetujuan Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang

RTRW Kota Denpasar


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar dilakukan melalui beberapa

tahapan yaitu: (1) Evaluasi RTRW Kota Denpasar 2009-2029; (2) Pembahasan

Laporan Penyusunan Database Terstruktur dan Evaluasi RTRW Kota Denpasar; (3)

Penyusunan Materi Teknis RTRW Kota Denpasar, yang meliputi tahapan sebagai

berikut: (a) Analisis pengembangan wilayah, (b) Penyusunan kebijakan dan strategi

pengembangan wilayah, (c) Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, (d)

Penyusunan arahan pemanfaatan ruang wilayah, (e) Penyusunan ketentuan

pengendalian pemanfaatan ruang;

Tahapan berikutnya adalah (4) Pembahasan Materi Ranperda RTRW Kota

Denpasar dalam Sidang Pansus I DPRD Kota Denpasar (5) Sinkronisasi dan

Harmonisasi Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar;

(6) Koordinasi Kelompok Kerja perencanaan Tata Ruang BKPRD Provinsi Bali

dalam Pembahasan Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar (7)

Rekomendasi Gubernur Bali tentang Pemberian Persetujuan Substansi Ranperda

Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar kepada Menteri Pekerjaan Umum

(8) Persetujuan Substansi atas Ranperda Kota Denpasar tentang RTRW Kota

Denpasar 2010-2030 oleh menteri Pekerjaan Umum; serta (9) Persetujuan

Penetapan Ranperda Menjadi Perda Kota Denpasar tentang RTRW Kota Denpasar

105
106

Para pihak yang terlibat dalam penyusunan RTRW Kota Denpasar 2011-

2031 adalah Bappeda Kota Denpasar, Seluruh Kepala Desa dan Lurah se Kota

Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Asosiasi Profesi, Bappeda Kabupaten Badung

dan Bappeda Kabupaten Gianyar, Bappeda Provinsi Bali, Dinas Pekerjaan Umum

Provinsi Bali, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Dinas Kelautan dan

Perikanan Provinsi Bali, Gubernur Bali, serta Menteri Pekerjaan Umum.

Masing-masing pihak memiliki gagasan dan usulan yang disampaikan

selama proses penyusunan RTRW Kota Denpasar. Beberapa gagasan tersebut ada

yang telah diakomodasi dalam RTRW Kota Denpasar 2011-2031, dan ada beberapa

gagasan yang tidak diakomodasi.

Model jaringan kebijakan yang terjadi adalah jaringan birokratis, yang

bercirikan sistem klien atau jaringan korporatis. Jaringan birokratis ini terjadi dari

kelompok kecil anggota DPRD (Pansus RTRW), dan instansi pemerintah.

Walaupun negara menjadi pihak yang dominan, serta adanya sedikit gagasan/ide

yang berseberangan dari masing-masing pihak, namun tidak ada dominasi ide atau

gagasan yang mewarnai proses pembahasan Ranperda RTRW Denpasar ini.

Dengan demikian, maka model taksonomi komunitas kebijakan yang terjadi adalah

model perlombaan atau kompetisi gagasan.

Dalam situasi ini keadaan agenda settingnya berada pada garis situasi

politik seperti biasanya, hal ini dapat dilihat dari lima variabel, yaitu adanya

persoalan yang telah dipilih, tingkat pertaruhan rendah, pengambilan keputusan

tingkat rendah, perubahan inkremental dan waktu yang fleksibel. Relasi yang
107

terjadi adalah relasi antar instansi dalam domain aktor negara. Sehingga proses

penyusunan RTRW Kota Denpasar ini cenderung tertutup dari kontrol dan tekanan

publik.

Berdasarkan lima uraian mengenai perbandingan perencanaan, yaitu:

karakteristik perencanaan, peran negara, tujuan perencanaan, ruang lingkup

perencanaan dan metode perencanaan, maka pendekatan yang diterapkan dalam

perencanaan tata ruang wilayah Kota Denpasar adalah pendekatan rasional

komprehensif.

5.2 Saran

Dengan model jaringan birokratis dan relasi yang terjadi adalah antar

instansi dalam domain negara, penyusunan RTRW Kota Denpasar ini cenderung

tertutup dari kontrol dan tekanan publik. Kepada lembaga pemerintah yang terlibat

dalam penyusunan RTRW disarankan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam perencanaan tata ruang untuk menjaga transparansi dalam pemanfaatan

ruang dan memenuhi prinsip partisipasi dan berkeadilan. Partisipasi yang dimaksud

bukan hanya bersifat keterwakilan oleh kepala desa atau lurah, namun partisipasi

secara langsung dalam diskusi publik dalam proses perencanaan tata ruang

berikutnya.

Walaupun dalam proses penyusunan RTRW Kota Denpasar ini terjadi

konsensus di antara pengambil kebijakan, namun konsenseus tersebut tidak

melibatkan masyarakat secara aktif. Pembangunan konsensus berperan sebagai

suatu cara dalam menemukan strategi yang layak untuk menghadapi perencanaan
108

dan kebijakan yang tidak pasti, kompleks dan kontroversial. Karena melalui

konsensus akan muncul pengetahuan, ide dan aksi bersama yang lebih baik untuk

menghadapi kondisi tersebut. Melalui proses konsensus, para stakeholder akan

mampu belajar, secara bersama memperoleh pemahaman baru, menembus

penghalang mental dan emosional, membangun kepercayaan dan menciptakan

solusi yang efektif.

Masyarakat yang saat ini cenderung dikecualikan dari proses perencanaan

tata ruang, harus diikutsertakan di masa depan, bukan hanya demi formalitas tetapi

juga secara aktif dalam kegiatan penataan ruang. Ini adalah strategi dimana

masyarakat bergabung dalam menentukan bagaimana informasi dibagi, tujuan dan

kebijakan ditetapkan, sumber daya yang dialokasikan, program-program yang

dioperasikan, dan manfaat yang diperoleh. Partisipasi adalah sarana bagi

masyarakat yang memungkinkan untuk berbagi manfaat dari masyarakat yang

makmur dan berkeadilan sesuai asas penataan ruang, untuk itu diharapkan juga

kepedulian masyarakat agar terlibat secara pro-aktif dalam perencanaan tata ruang.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adisasmita, R. 2008. Pengembangan Wilayah-Konsep dan Teori. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Barker, C. 2008. Cultural Studies-Teori dan Praktik, Edisi Keempat. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Bolan, R.S. 1996. Planning and Institusional Design. In: Mandelbaum, S.J, Mazza,
L., Burchell, R.W., editors. Explorations in Planning Theory. New Jersey:
Center for Urban Policy Research The State University of New Jersey. p. 497-
513.
Bungin, M. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Davidoff, P. 2000[1965]: Advocacy and Pluralism in Planning. In: Legates, R.T.
dan Stout, F., editors. The City Reader. London: Routledge. p. 423-33.
Forester, J. 1996a. The Rationality of Listening, Emotional Sensitivity, and Moral
Vision. In: Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorations
in Planning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The State
University of New Jersey. p. 204-44.
________. 1996b. Argument, Power, and Passion in Planning Practice. In:
Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorations in
Planning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The State
University of New Jersey. p. 241-62.
Friedmann, J. 1996. Two Centuries of Planning Theory: An Overview. In:
Mandelbaum, S.J, Mazza, L., Burchell, R.W., editors. Explorations in
Planning Theory. New Jersey: Center for Urban Policy Research The State
University of New Jersey. p. 10-29.
Gottdiener, M. dan L. Budd. 2005. Key Concepts in Urban Studies. London: SAGE
Publications Ltd.
Grindle, M.S. and J.W. Thomas .1991. Public Choices and Policy Change: The
Political Economy Of Reform In Developing Countries. Baltimore: John
Hopkins University Press.
Ham, C., dan M. Hill. 1993. The Policy Prosess in the Modern Capitalist State. 2nd
edition. New York: Harvestey Wheatsheaf.
Harvey, D. 1985. The Urbanization of Capital. Maryland: The Johns Hopkins
University Press.
Hoogerwerf. A. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Howlett, Michael, M. Ramesh, 1998. Policy Subsystem Configurations and Policy
Change: Operationalizing the Postpositivist Analysis of the Politics of the
Policy Process, Policy Studies Journal, Vol. 26, No. 3

Islamy, M. I. 1988. Materi Pokok Kebijakan Publik. Jakarta: Penerbit Karunika.


Universitas Terbuka.
___________. 1992. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.

109
110

Klaasen, I.T., 2003. Knowledge- Based Design: Developing Urban & Regional
Design Into A Science. Armsterdam: Delf University Press.
Krueckeberg, D.A. 1997. The Culture of Planning. In: Krueckeberg, D.A., editor.
Introduction to Planning History in the United States. New Jersey: Center for
Urban Policy Research The State University of New Jersey. p.1-12.
Lindblom, C.E. 1986. Proses Penetapan Kebijaksanaan Edisi Kedua. (Ardian
Syamsudin, Pentj). Jakarta: Erlangga.
Moleong, L. J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Parsons, W. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.
(Tri Wibowo Budi Santoso, Pentj). Jakarta: Prenada Media.
Paturusi, S.A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar: Udayana
University Press.
Purdom, C. B. 1921. An Introductory Chapter. In: Purdom, C. B., editor. Town
Theory and Practice. London: Benn Brothers Limited.
Rustiadi, E, dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Rydin, Y. 1993. The British Planning System An Introduction. London:
Macmillan.
Soetomo, S. 2009. Urbanisasi dan Morfologi Proses Perkembangan Peradaban
dan Wadah Ruang Fisiknya: Menuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Supriyatno, B. 2009. Manajemen Tata Ruang. Tangerang: CV. Media Berlian.
Tarigan, R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Thorns, D. C., 2002. The Transformation of Cities Urban Theory and Urban Life.
New York: Palgrave Macmillan.
UN-Habitat. 2009. Planning Sustainable Cities. London: Earthscan.
United Nations Human Settlements Programme. 2007. Inclusive and Sustainable
Urban Planning: A Guide for Municipalities, Volume 1: An Introduction to
Urban Strategic Planning. Nairobi: United Nations Human Settlements
Programme.
Winarno, B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Media
Press.
Yunus, H. B. 2008 Struktur Tata Ruang Kota, Edisi VII. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 tahun 1999 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Denpasar 1999-2019.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 2031
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Bali 2009-2029
111

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan


Ruang.

Tesis dan Disertasi

Dempster, M. B. 1998. A Self-Organizing Systems Perspective on Planning for


Sustainability (tesis). Ontario: University Waterloo.
Mukhlis, M. 2009. Analisis Kebijakan dalam Perencanaan Kota Baru Lampung di
Natar (tesis). Lampung: Universitas Lampung.
Pratiwi, I.A.T. 2006. Nilai-nilai Budaya Bali dalam Produksi Tata Ruang di Kota
Denpasar (Studi Kasus Jl. Gatot Subroto Timur, Denpasar) (tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Sharma, V. 2008. Planning for Holistic Sustainability: A Study of Process in
Kerala (India) and Sweden (disertasi). Adelaide: The University of Adeilade.
Shetawy , Ahmed Adel Amin. 2004. The Politics Of Physical Planning Practice:
The Case Of The Industrial Areas In Tenth Of Ramadan City Egypt
(disertasi). London: The Development Planning Unit The Bartlett School Of
Architecture And Planning University College London University Of London.
Stefan, A. M. 2004. The New Urbanism Movement: the Case of Sweden (tesis).
Sweden: Blekinge Tekniska Hgskola International Masters Programme in
European Spatial Planning.

Jurnal, Makalah dan Paper


Alexander, E. R. 1994. The Non-Euclidean Mode of Planning: What is It to Be.
Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.3 (Summer 1994):
372-76.
Almandoz, A. 2004. The Garden City in Early Twentieth-Century Latin America.
Urban History, 31, 3: 437-52.
Ardhana, I Ketut. 2004. Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga Kota
Wisata. Konferensi International I Sejarah Kota (The First International
Conference on Urban History) di Universitas Airlangga, Surabaya 23-25
Agustus 2004.
Brooks, M. 1993. A Plethora of Paradigms? Journal of the American Planning
Association, Vol. 59, No .2: 142-45.
Bryson, J. M., dan R. C. Einsweiler. 2000 [1988]. Masa Depan Perencanaan
Strategis untuk Publik. (Achmad Djunaedi, Pentj). Tulisan Asli: Bryson, John
M.; dan Robert C. Einsweiler. 1988. The Future of Strategic Planning for
Public Purpose, dalam buku J. M. Bryson dan R.C. Einsweiler (eds.),
Strategic Planning: Threats and Opportunities for Planners. Planners Press,
American Planning Association, Chicago, Illinois. Hal. 216-230.
Diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk bahan kuliah MPKD UGM.
Carlino, G. A., dan A. Saiz. 2008. City Beautiful. IZA Discussion Paper No. 3778.
Bonn: The Institute for the Study of Labor.
Checkoway, B. 1994. Paul Davidoff and Advocacy Planning in Retrospect. Journal
of the American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 142-45.
112

Clavel, P. 1994. The Evolution of Advocay Planning. Journal of the American


Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 146-49.
Djunaedi, A. 1995. Perencanaan Stratejik Untuk Perkotaan: Belajar dari
Pengalaman Negara Lain. Jurnal PWK, Nomor 19/Juni 1995: 20-25.
_________ . 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Styles) untuk
Mendukung Kebijakan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Seminar
dan Temu Alumni MKPD 2000. Sanur. 27-30 Agustus.
Etzioni, A. 1967. Mixed-Scanning: A Third Approach to Decision-Making.
Public Administration Review, Vol. 27, No.5 (Dec., 1967): 385-92.
_________. 1986. Mixed Scanning Revisited. Public Administration Review, Vol.
46, No. 1 (Jan. - Feb., 1986): 8-14.
Fainstein, S.S. 2005. Planning Theory and the City. Journal of Planning Education
and Research, Vol.25: 121-30.
Forester, J. 1994. Bridging Interest and Community Planning and the Challenges of
Deliberative Democracy. Journal of the American Planning Association, Vol.
60, No.2 (Spring 1994): 153-58.
Friedmann, J. 1993. Toward a Non-Euclidian Mode of Planning. Journal of the
American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 160-61.
__________. 1998. Planning Theory Revisited. European Planning Studies,
Vol.59, No.4: 482-85.
Hayden, D. 1994. Who Plans the USA? A Comment on Advocacy and Pluralism
in Planning. Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.2
(Spring 1994): 160-61.
Hudson, B. M. 1979. Comparison of Current Planning Theories: Counterparts and
Contradictions. Journal of the American Planning Association, Vol.45, No.4:
387-98.
Innes, J. E. 1983. Planning Theory and Practice: Bridging the Gap. Journal of
Planning Education and Research, Vol. 3, No. 1 (Summer 1983): 35-45.
________. 1996. Planning Through Consensus Building: A New View of the
Comprehensive Planning Ideal. Journal of the American Planning Association,
Vol. 62, No.4 (Autumn 1996): 460-72.
________. dan D. E. Booher. 1999. Consensus Building and Complex Adaptive
Systems: A Framework for Evaluating Collaborative Planning. Journal of the
American Planning Association, Vol. 65, No.4 (Autumn 1999): 412-23.
Kaufman, J.L, dan H.M. Jacobs. 2000 [1996]. Perencanaan Strategis: Kajian dari
Perspektif Perencanaan Publik. (Achmad Djunaedi, Pentj). Tulisan Asli:
Kaufman ,J.L.; dan Jacobs, H.M. 1996. A Public Planning Perspective on
Strategic Planning, dalam Journal of the American Planning Association, Vol
. 53, No. 1, 1987. Diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk bahan
kuliah MPKD UGM.
Krumholz, N. 1994. Advocacy Planning: Can it Move the Center? Journal of the
American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 150-51.
Lindblom, C. E. 1959. The Science of Muddling Through. Public Administration
Review, Vol.19, No.2 (Spring 1959): 79-88.
113

Marris, P. 1994. Advocacy Planning As a Bridge Between the Professional and the
Political. Journal of the American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring
1994): 143-46.
Pallagst, K. 2006. Growth Management in the San Francisco Bay Area:
Interdependence of Theory and Practice. IURD Working Paper Series 02,
Institute of Urban and Regional Development, UC Berkeley.
Peattie, L. R. 1994. Communities and Interests in Advocacy Planning. Journal of
the American Planning Association, Vol. 60, No.2 (Spring 1994): 151-53.
Yewlett, CJL. 2001. Theory and Practice in Operational Research and Town
Planning: a Continuing Creative Strategy? Journal of the Operational
Research Society, Vol.52: 1304-314.
Yone, H.L. 2007. Another Planning Theory? Rewriting the Meta-Narrative.
Planning Theory, Vol 6, No.3: 31526.

Website

American Planning Association. 2009. What is Planning? [cited 2010 Feb. 11].
Available from URL: http://www.planning.org/aboutplanning/whatisplanning
.htm.
_________________________. 2010. New Urbanism. [cited 2010 Jun. 26].
Available from URL: http://www.planning.org/divisions/newurbanism/
Avena, C. 2010. City Beautiful Movement in the Progressive Age. [cited 2010 Feb.
20]. Available from URL: http://www.fordham.edu/academics/colleges
__graduate_s/undergraduate_colleg/fordham_college_at_l/special_programs/
honors_program/honors_history/homepage/progressive_movement/index.asp.
Cambridge Dictionary, 2010. [cited 2010 Jun. 25]. Available from URL:
http://dictionary.cambridge.org/
Doxiadis, C. A. 1970. Ekistics, the Science of Human Settlements. [cited 2010 Feb.
20]. Available from URL: http://www.doxiadis.org/files/pdf/ecistics _the
_science_of_human_settlements.pdf
Rose, J.K. 2010. The City Beautiful Movement. [cited 2010 Feb. 20]. Available
from URL: http://xroads.virginia.edu/~CAP/CITYBEAUTIFUL/city.html.
Savage, C. 2010. City Beautiful Movement. [cited 2010 Feb. 20]. Available from
URL: http://digital.library.okstate.edu/encyclopedia/entries/C/CI007.html.
Suarca. I. N. 2010. Tata Ruang di Propinsi Bali. In: Direktorat Jenderal Penataan
Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Sejarah Penataan Ruang Indonesia.
[cited 2010 Feb 06]. Available from URL: http://www.penataanruang.net/
taru/sejarah/
Suardana, I.N.G. 2009. Denpasar, Ketika Pertumbuhannya tak Terkendali. [cited
2009 Nov. 28]. Available from URL: http://ingsuardana.blogspot.com/ 2009/
07/denpasar-ketika-pertumbuhannya-tak.html.
Winarno, H. 2010. Teori Ekistics dan Penataan Ruang di Indonesia. In: Direktorat
Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Sejarah Penataan
Ruang Indonesia. [cited 2010 Feb 06]. Available from URL:
http://www.penataanruang.net/ taru/sejarah/
LAMPIRAN

Pedoman wawancara kepada Bappeda Kota Denpasar


1. Apa yang melatarbelakangi revisi RTRW Kota Denpasar 2009 2029?
2. Bagaimana proses perencanaan RTRW Kota Denpasar tahap demi tahap?
3. Bagaimana prosedur perencanaan RTRW Kota Denpasar?
4. Siapa saja pihak yang terlibat dalam perencanaan RTRW?
5. Bagaimana substansi atau materi teknis RTRW disusun?

Pedoman wawancara kepada para pihak yang terlibat dalam proses perencanaan
RTRW.
1. Pada tahap apa anda terlibat dalam proses perencanaan RTRW?
2. Bagaimana proses perencanaan RTRW Kota Denpasar tahap demi tahap
yang anda ikuti?
3. Apa masukan, saran atau pendapat yang anda sampaikan pada setiap tahap?

114

Anda mungkin juga menyukai