Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 2
2.1 Identitas Pasien.......................................................................... 2
2.2 Anamnesis ................................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 3
2.4 Status Neurologis ...................................................................... 5
2.5 Diagnosis ................................................................................... 9
2.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 9
2.7 Terapi ........................................................................................ 9
2.8 Prognosis ................................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 10
3.1 Anatomi Lower Motor Neuron.................................................. 10
3.2 Etiologi Sindroma Guillain Barre............................................. 13
3.3 Etiologi Sindroma Guillain Barre............................................. 13
3.4 Patogenesis Sindroma Guillain Barre....................................... 14
3.5 Gejala Klinis Sindroma Guillain Barre .................................... 14
3.6 Tatalaksana................................................................................ 15
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17


1 BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre merupakan polineuropati akut yang disebabkan


oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB ditandai dengan gejala dan tanda
paralisis lower motor neuron (LMN) akut disertai disosiasi sitoalbumin pada
cairan serebrospinal (CSS). Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan klinis
hingga mencapai titik nadir biasanya tidak lebih dari 28 hari.(1)
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang
semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000
orang pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga
dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal
napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah
gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa
kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami
relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi
kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk
Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai
saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan

perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.(2)


Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insiden
Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi
pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur
tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa
muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di

negara maju atau berkembang seperti Indonesia. (3)

1
2 BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : AS
Tanggal lahir : 22-05-2000
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Peukan Bada, Aceh Besar
Agama : Islam
Suku : Aceh
Jaminan : BPJS
Tanggal Pemeriksaan : 8 Agustus 2017

2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama

Kelemahan anggota gerak sejak 4 hari SMRS

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak sejak 4 hari SMRS,
6 hari yll pasien mengeluhkan sakit kepala, lemas, mual,dan muntah.
Terdapat demam tinggi sejak 6 hari yll. Terdapat pilek dan hidung
tersumbat sejak 8 hari yll. Sejak 4 hari yll, pasien mengeluhkan tidak dapat
berjalan.Kelemahan mulai dirasakan dari ujung kaki yang naik ke atas.
Pasien juga mulai berbicara pelo sejak 2 hari yll. Bicara pelo dialami secara
tiba-tiba.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Trauma Kepala pada tahun 2015

2.2.4 Riwayat Penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki gejala serupa.


2.2.5 Riwayat Pemakaian Obat

Tidak ada.

2
3

2.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial

Riwayat merokok sejak 3 tahun yll


2.3 Vital Sign
KeadaanUmum :Baik
Tekanandarah : 160/110 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernapasan : 30x/menit
Suhu :37,3oC
2.4 Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Cepat kembali (kurang dari 3 detik)
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Kering : (+)
Kepala
Bentuk : Kesan normocephali
Rambut : Tersebar rata, sukar dicabut, berwarna hitam
Mata : Cekung (-), refleks cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-),
konj. palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-), gigi tanggal (-)
Lidah : Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
4

Kel. Getah Bening : Kesan simetris, pembesaran (-)


Peningkatan TVJ : (-), R-2 cmH2O
Axilla
Pembesaran KGB : (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
- Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
- Tipe Pernafasan : Abdominal thoracal
- Retraksi : (-)
2. Palpasi
- Pergerakan dada simetris
- Nyeri tekan (-/-)
- Suara fremitus taktil kanan = suara fremitus taktil kiri
3. Perkusi
- Sonor (+/+)
- Redup (-/-)
4. Auskultasi
- Vesikuler (+/+)
- Ronkhi (-/-)
- Wheezing (-/-)
Thorak dan Tulang Belakang
Tidak dilakukan penilaian
Tulang Belakang
Tidak dilakukan penilaian
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V sekitar satu cm lateral linea
axilaris anterior sinistra
Perkusi : Batas jantung atas : di hemithorax sinistra ICS III
Batas jantung kanan : di linea parasternalis dektra ICS V
5

Batas jantung kiri : di ICS V sekitar satu cm lateral dari


linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Pucat - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Kurang Kurang Kurang Kurang
Tonus otot Hipotonus Hipotonus Hipotonus Hipotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -
Akral dingin - - - -
Luka - - - -

Status Neurologis
1.5 Status Neurologis
GCS : E4 M6 V5
Pupil : Isokor, bulat, ukuran 3 mm/3 mm
Reflek Cahaya : Langsung (+ /+), tidak langsung (+/+)
Rangsang meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Laseque : (-)
Tanda brudzinski I : (-)
Tanda brudzinski II : (-)
6

Tanda brudzinski III : (-)


Tanda brudzinski IV : (-)

Peningkatan tekanan intrakranial


Muntah : (-)
Sakit kepala : (-)
Kejang : (-)
Pemeriksaan Nervus Cranialis
Kelompok Optik Kanan Kiri
Nervus II (visual)
- Visus dalam batas normal dalam batas normal
- Lapangan pandang dalam batas normal dalam batas normal
- Melihat warna dalam batas normal dalam batas normal
Nervus III (otonom)
- Ukuran 3 mm 3 mm
- Bentuk Pupil bulat bulat
- Reflek cahaya positif positif
- Nistagmus negatif negatif
- Strabismus negatif negatif
Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)
- Lateral dalam batas normal dalam batas normal
- Atas dalam batas normal dalam batas normal
- Bawah dalam batas normal dalam batas normal
- Medial dalam batas normal dalam batas normal
Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
- Inspeksi kening dan pipi : tidak ada atrofi dan otot massater dan temporalis
- Menyuruh pasien mengigit touge depressor : dalam batas normal
- Menyuruh membuka mulut : dalam batas normal
- Menggerakkan rahang : dalam batas normal
Nervus VII (fungsi motorik)
- Mengerutkan dahi : dapat mengerutkan kedua dahi
- Menutup Mata : simetris
7

- Menggembungkan pipi : simetris


- Memperlihatkan gigi : Simetris
- Sudut bibir : Dalam batas normal
Nervus IX dan X (fungsi motorik)
- Pasien diminta menyebutkan aaaa : dalam batas normal
- Menelan air : bisa tertelan
- Membuka mulut : arkus faring, palatum mole dan uvula
dalam batas normal
Nervus XI (fungsi motorik)
- Mengangkat bahu : dalam batas normal
- Memutar kepala : dalam batas normal

Nervus XII (fungsi motorik)


Menyuruh pasien membuka mulut dan menilai lidah saat istirahat: pasien
dapat membuka mulut dengan lebar.
Menyuruh pasien menekan lidah ke bagian dalam pipi: pasien sulit untuk
melakukannya
Kelompok Sensoris
- Nervus I (penciuman) : dalam batas normal
- Nervus V (sensasi wilayah) : dalam batas normal
- Nervus VII (pengecapan) : dalam batas normal
- Nervus VIII (pendengaran) : dalam batas normal
Sensibilitas
- Rasa Suhu : dalam batas normal
- Rasa nyeri : sensasi nyeri berkurang
- Rasa Raba : sensasi raba berkurang

Anggota Gerak Atas


Refleks Kanan Kiri
- Bisceps hiporeflek hiporeflek
- Trisceps hiporeflek hiporeflek
8

Anggota Gerak Bawah


Refleks Kanan Kiri
- Patella hiporeflek hiporeflek
- Achilles hiporeflek hiporeflek
- Babinski negatif negatif
- Chaddok negatif negatif
- Gordon negatif negatif
- Oppenheim negatif negatif
- Schaefer negatif negatif
- Hoffman-Tromner negatif negatif

Motorik

3322 3322
1111 1111

Sensibilitas
- Rasa Suhu : dalam batas normal
- Rasa nyeri : dalam batas normal
- Rasa Raba : dalam batas normal

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Kesan : Dalam batas normal


9

2.6 Hasil Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium Hasil Nilai Normal


Darah Rutin
Hb 14,2 gr/dl 12,0-15,0 gr/dl
Ht 41 % 37-47 %
Leukosit 4,9/mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 17,3 x 106 /L 4,2-5,4 jt/ L
Trombosit 580.000 / mm3 150.000-450.000/mm3
Elektrolit- Serum
Natrium (Na) 132 132-146 mmol/L
Kalium (K) 3,9 3,7-5,4 mmol/L
Clorida (Cl) 92 98-106 mmol/L
Kalsium (Ca) 9,1 8,6 10,3 mg/dl
Magnesium (Mg) 1,5 1,6 2,6 mg/ dl

2.7 Diagnosis Kerja


Diagnosis Klinis : Tetraparase LMN ec Syndroma Guillian Barre
Dianosa Topis : Poli Radikulo neuropati inflamasi akut
Diagnosa etiologi : Reaksi autoimun
Diagnosa Banding :
- Poliomielitis
- Myositis Akut
- Myastenia Gravis
-Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradial
Neurophaty
2.8 Tata Laksana
IVFD RL 20 gtt/i
Mecobalamin 3 x 500 mg
Citicolin 3 x 1000 mg
Piracetam 3 x 1000 mg
10

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
3 BAB III
4 PEMBAHASAN
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 17 tahun dengan kelemahan
seluruh anggota gerak. Kelemahan anggotaa gerak dirasakan secara perlahan-
lahan. Awalnya kelemahan dirasakan pada bagian ektremitas bawah lalu ke
bagian ektremitas atas. Pasien sempat mengalami gagal nafas dan telah dilakukan
trakeostomi di ICU RSUD Zainoel Abidin. Dua minggu sebelum kelemahan
anggota gerak, pasien sempat mengalami demam dan sakit tenggorokan. Keluhan
semacam ini adalah gejala khas dari Sindroma Guillian Barre.

Secara teori, Sindroma Guillian Barre, dapat ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala dan tanda SGB diantaranya adalah
kelemahan yang ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian
bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal
mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak
napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan
sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi. Selain itu, terdapat tanda
hiporefleksia atau arefleksia.(4)
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan
tungkai yang terkena. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh.
Gangguan sensorik juga dapat timbul, kebanyakan pasien mengeluh parestesia,
mati rasa, atau perubahan. Selain itu terdapat gangguan nyeri, Gejala dysesthetic
diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka.
Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi
shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis
dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom
dapat mencakup sebagai berikut; takikardia, bradikardia, Facial flushing,
Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter
urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.(4)

17
12

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa SGB


diantaranya adalah pemeriksaan LCS, EMG, dan MRI. Dari pemeriksaan LCS
didapatkan adanya kenaikan kadar protein (1 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan
jumlah sel. Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. MRI
akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.(5)
3.1 Diagnosa Banding Sindroma Guliilian Barre.
1. Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak
ditemukan gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan
cerebrospinal pada fase awal tidal normal dan didapatkan peningkatan
jumlah sel.(6)
2. Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal,
didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan
serebrospinal normal.(6)
3. Myastenia gravis
Pada penyakit ini (didapatkan infiltrate pada motor end plate,
kelumpuhan tidak bersifat ascending).(6)
4. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy).
Gejala yang didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat.
Juga ditemukan adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu
keempat tidak ada perbaikan.(6)
3.2 Etiologi Sindroma Guillian Barre
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan
bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun.(7) Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini:
- Infeksi virus: Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
- Infeksi bakteri: Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
13

- Pasca pembedahan dan Vaksinasi.


- Sekitar 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran
Pencernaan.
3.3 Patologi Sindroma Guillian Barre
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat,
kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari
kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari
kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin,
akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
mielin dari sel schwan dan akson.(8)

Gambar 1. Ilustrasi perbedaan saraf normal dan saraf yang mengalami kerusakan

3.4 Patogenesis Sindroma Guillian Barre


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah:
a. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
14

b. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.


c. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.(8)

Gambar 2. Ilustrasi patogenesis SGB.


15

3.5 Klasifikasi Sindroma Guillian Barre


Berikut terdapat klasifikasi dari SGB, yaitu:
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.(4)
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya
cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.(4)
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan.(4)
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.(4)
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimpatis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salivasi dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.(4)
16

3.6 Tata Laksana Sindroma Guillian Barre


Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk
terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus
segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah(6)
a. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
o Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam
waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
o Imunoglobulin IV
Intravenous infusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
17

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan


dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/ komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
o Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
3.7 Komplikasi Sindroma Guillian Barre
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.
3.8 Prognosis Sindroma Guillian Barre
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita
SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu sampai beberapa tahun. (9)
18

5 BAB V
6 KESIMPULAN

7 Telah dibahas suatu laporan kasus penderita Sindroma Guillian Barre.


Sindroma Guillian Barre merupakan suatu penyakit polineuropati akut yang
disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. Etiologi penyakit ini
belum diketahui secara pasti. Dua pertiga kasus SGB didahului penyakit
infeksi,baik infeksi pada saluran napas atas dan gastrointestinal.
8 Defisit neurologis yang terjadi pada SGB terjadi perlahan-lahan. Defisit
neurologis akan terjadi perburukan hingga mencapai puncaknya tidak lebih dari
28 hari. Defisit neurologis yang terjadi diantaranya adalah kelemahan motorik tipe
LMN ( tetraparesis atau tetraplegi), gangguan sensorik berupa parastesia,
gangguan saraf otonom, kelemahan otot bantu pernafasan, gangguan nervus
cranialis dan hiporefleksia atau arefleksia.
9 Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Fase pemulihan dapat berangsur beberapa minggu,
bulan, bahkan baertahun-tahun, tergantung proses patologi yang terjadi. Lesi
demielinasi (AIDP) mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan
degenerasi aksonal (AMAN). Pemulihan SGB tipe demielinasi dan degenerasi
akan terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan terapi yang
adekuat.
10
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G dkk. 2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta :
kedokteran egc
2. Yuki N. Hartung H-P. Guillain Barre Syndrome. N Eng Med. 2012 : 366
(24) : 2294-304
3. WHO. Indonesia launches countrys largest ever immunization campaign to
tackle expanding polio epidemic.2005
4. Wakerley BR, Unchini A, Yuki N. Guillain-Barreand Miiller Fishr
syndrome-new diagnostic classification.
5. Bae JS, Yuki N, Kuwabara S, Kim JK, Vusic S, Lin CS, et al.Guillian-
Barre Syndrome in Asia. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2014;85 (8):907-13
6. Van den Berg, Walgard C, Drenthen J, Fokke drome : patogenesis,
diagnosis, treatment and prognosis.Nat Rev Neurol. 2014: 85(8): 469-62
7. Ho Tw, Mishu B, Li CY, Gao CY, Cornbalth DR, Griffin JW,dkk. Guilllain
Barre syndrome in north era China. Relationship to campylobacter jejuni
infection and anti glycopid antibodies. Brain. 1995;118(Pt 3):597 605.
8. Van Doorn PA, Ruts L, Jacob BC, Clinical feature, pathogenesis, and
treatment of Guillain Barre Syndrome. Lancet Neurol. 2008 ; 7(10) : 939-50
9. Van Koningsveld R, Steyeberg EW, Hughes RA, Swan AV, van doorn PA,
Jacobs BC. A clinical prognostic scoring system for Guillain Barre
syndrome. Lancet Neurol.2007;6(7)589-94.

Anda mungkin juga menyukai