Anda di halaman 1dari 24

I.

JUDUL KASUS
Dilema Etik Bedah Mulut Dengan Komplikasi Operasi dan Pemberian Konsul
Lanjutan Gratis.

II. KRONOLOGI KASUS

Seorang bapak (Tn.M) datang berkonsultasi ke salah satu dokter spesialis bedah
mulut (dr.G) di rumah sakit tersebut untuk mencabut gigi. Pada waktu Tn.M sudah
selesai melakukan operasi giginya, pasien pulang dan disarankan kontrol setelahnya.
Beberapa waktu kemudian Tn.M datang untuk kontrol pasca operasi. Saat itu Tn.M
mengeluhkan mulutnya sudah sejak operasi itu dilakukan dirasanya baal (paresthesia) dan
tidak hilang sampai hari beliau kontrol tersebut.
Pada saat itu dr.G menyatakan bahwa hal itu biasa terjadi, efek paresthesia itu
akan hilang dengan sendirinya seiiring waktu, yang berbeda-beda pada tiap-tiap orang
dan tidak perlu dikhawatirkan. Tn.M pun pulang dengan membawa obat tambahan untuk
keluhannya. Kemudian beberapa waktu setelah itu Tn.M datang kembali dan masih
mengeluhkan hal yang sama. Saat itu, dr.G mulai menyadari bahwa komplikasi operasi
mungkin sudah terjadi pada Tn.M dan komplikasinya mungkin irreversible. Namun dr.G
tidak menyatakan apapun mengenai hal tersebut dan Tn.M boleh datang kembali ke RS
dengan biaya gratis apabila masih mengalami hal yang sama. Pada saat itu Tn.M
menganggap bahwa dr.G sungguh berbaik hati karena menggratiskan biaya pengobatan
beliau (dan terjadi selama 3 tahun)

III. TINJAUAN PUSTAKA


Komplikasi akibat pencabutan gigi dapat terjadi oleh berbagai sebab dan
bervariasi pula dalam akibat yang ditimbulkannya. Komplikasi tersebut kadang-kadang
tidak dapat dihindarkan tanpa memandang operator, kesempurnaan persiapan dan
keterampilan operator. Pada situasi perawatan tertentu sekalipun persiapan pra operasi
telah direncanakan sebaik mungkin untuk mencegah atau mengatasi kemungkinan
timbulnya kesulitan melalui hasil diagnosis secara cermat dan operator telah
melaksanakan prinsip-prinsip bedah dengan baik selama pencabutan gigi. Maka pada
makalah ini akan dibahas secara garis besar mengenai bagaimana mengenali secara dini,
mencegah dan mengatasi komplikasi yang akan terjadi akibat pencabutan gigi (Riawan,
Lucky. 2002).
Pencabutan gigi adalah suatu proses pengeluaran gigi dari alveolus, dimana pada
gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi. Pencabutan gigi juga
merupakan tindakan bedah minor pada bidang kedokteran gigi yang melibatkan jaringan
keras dan jaringan lunak pada rongga mulut.1 Pencabutan gigi adalah pengeluaran suatu
gigi yang utuh atau sisa akar tanpa menyebabkan rasa sakit dan trauma.2 Pada tindakan
pencabutan gigi harus memerhatikan keadaan lokal maupun keadaan umum penderita dan
memastikan penderita dalam keadaan sehat.
Seluruh rencana perawatan pada tindakan pencabutan gigi harus didasari dengan
ketelitian dalam memeriksa keadaan umum pasien sebelum melakukan tahap perawatan.
Dalam melakukan tindakan pencabutan gigi akan dijumpai beberapa masalah kesehatan
yang sama dan terdapat pada masing-masing pasien pencabutan gigi. Hal demikian yang
akan menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi pencabutan gigi. Beberapa faktor resiko
yang biasanya menjadi penyebab komplikasi pencabutan gigi antara lain penyakit
sistemik, umur pasien, keadaan akar gigi, dan adanya gangguan pada sendi
temporomandibula (Landel, Kapel, Siagian, 2015).

The Oxford English Dictionary, mendefinisikan istilah consent sebagai


voluntary agreement to, or acquiescence in, what another proposes or desires;
compliance, concurrence, permission. 4 Dengan informed consent dimaksudkan
persetujuan bebas yang diberikan oleh pasien terhadap suatu tindakan medis, setelah ia
memperoleh semua informasi penting mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut.
Prinsip informed consent berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas
pribadi pasien harus dilindungi. Integritas manusia menuntut bahwa setiap orang
bertindak menurut apa yang diketahuinya dan berdasarkan pilihan bebasnya. Pilihan
sedemikian secara personal bersumber dari dalam diri sendiri, dan bukan dari dorongan
internal buta atau karena tekanan eksternal.3, 4 Prinsip informed consent merupakan hak
dan kewajiban setiap individu yang kompeten untuk meningkatkan kehidupan
spiritualnya dan kesejahteraan jasmaninya melalui persetujuan bebasnya, atau dengan
menolak memberi persetujuan atas tindakan medis tertentu berdasarkan pengetahuan
yang cukup tentang keuntungan, kerugian dan resiko yang terkait. Bagi individu yang
tidak kompeten, hak dan kewajiban ini harus diinterpretasi oleh penjamin individu
tersebut (pasien) yang sah sesuai pengetahuannya atau keinginannya yang rasional.
Fungsi-fungsi informed consentdalah melindungi dan meningkatkan otonomi
pasien, melindungi pasien dan subyek peserta penelitian, mencegah tindakan manipulatif
dan pemaksaan, meningkatkan sikap mawas diri dari tim medis, meningkatkan
pengambilan keputusan rasional, dan melibatkan publik dalam pengembangan otonomi
sebagai nilai sosial dan kontrol terhadap penelitian biomedis.1,10 Fungsi-fungsi ini
dibuat berdasarkan beberapa prinsip moral, yaitu prinsip autonomi, beneficentia,
nonmaleficentia, dan utilitas. Prinsip autonomi adalah melindungi dan meningkatkan
otonomi individu. Hubungan baik antara dokter dan pasien akan mencegah terjadinya
ketidaktahuan yang justru menghambat otonomi pasien dan/atau keluarga untuk
memutuskan, ketidaktahuan mana dapat berasal dari kekurangan informasi atau karena
kurang paham.
Prinsip beneficentia adalah melindungi pasien serta subyek peserta penelitian,
sedangkan prinsip nonmaleficentia mencegah timbulnya kerugian atas pasien, terutama
pasien tidak sadar, anak-anak, mental terbelakang, dan sebagainya. Dalam hal ini, orang
tua atau keluarga pasien atau orang lain yang secara legal dapat diterima untuk mewakili
pasien, dapat memberi persetujuan. Prinsip utilitas adalah meningkatkan sikap mawas diri
tim medis dalam melakukan tindakan yang menguntungkan setiap orang dalam
masyarakat, termasuk tenaga kesehatan sendiri, pasien-pasien dan para peneliti sehingga
dapat tetap terbina sikap saling percaya
IV. PEMBAHASAN
a. Dari Perspektif Etik
Patients autonomy
Ketika berbicara mengenai patients autonomy pada kasus ini, Tn.M
sepertinya tidak diberikan informed consent yang jelas sebelum prosedur
ekstraksi gigi dilaksanakan. Informed consent yang seharusnya diberikan ke
Tn.M adalah langkah-langkah penatalaksanaan ekxtraksi gigi yang akan
dilakukan. Efek samping yang terjadi dari pemberian obat anestesi pada
penatalaksanaan pencabutan gigi tersebut, dan komplikasi yang mungkin saja
terjadi dari proses tersebut.
Tn.M sebenarnya memiliki hak untuk memilih intervensi anestesi terhadap
tindakan ekstraksi giginya. Tiga pilihan anesthesia yang seharusnya
dijabarkan kepada Tn.M:
1. Anestesi lokal
2. Anestesi sedasi
3. Anestesi umum

Beneficence
Ada empat kondisi yang biasanya digunakan dalam prinsip double effect:
1. Alamiah yang terjadi dari penatalaksaan. Penatalaksanaan itu sendiri
tidak boleh salah; haruslah sesuatu hal yang memiliki niat baik atau
bersifat netral secara moral.
2. Niat dari pemberian agent. Agent yang diberikan harus hanya memiliki
efek baik, bukan buruk, walaupun sudah tampak sebelumnya.
3. Perbedaan antara rata-rata dan efek. Efek buruk tidak boleh berarti rata-
rata dari efek baik.
4. Proporsional antara efek baik dan buruk. Efek baik harus melebihi
kejahatan yang diperbolehkan, dalam kata lain, efek buruk.
Non-maleficence
Walau mekanisme terjadinya kerusakan pada saraf lingual belum
sepenuhnya diketahui, namun ada kemungkinan hal ini terjadi selama
prosedur dilakukan, dimana ujung jarum yg berisi anestesi local berkontak
dengan tulang dan patah, atau apabila ujung jarum suntik tersebut mengenai
saraf lingual pada proses penyuntikan, hal ini dapat menyebabkan signifikan
trauma fisik begitu jarum suntik tersebut ditarik keluar dari gusi.
Suntikan yang digunakan dalam procedural gigi berdiameter .45mm.
dalam perbandingan, saraf yang paling sering rusak dan terkena berukuran 4
sampai 7 kali lebih besar. Selain karena trauma fisik pada saraf, bisa juga
terjadi formasi hematom yang disebabkan pergerakan jarum suntik melewati
jaringan lunak yang mungkin merusak pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan. Konstriksi hematom yang terbentuk akan menekan saraf yang
melewatinya.

Justice
Tn.M dalam hal mungkin adalah pasien yang memakai asuransi kesehatan
(askes). Dari pengamatan yang telah dilakukan seblumnya, pada rumah sakit
lainnya, beberapa dokter memang membedakan antara pasien umum dengan
pasien askes. Apa yang terjadi pada Tn.M adalah contoh nyata suatu injustice
yang dilakukan karena status pasien (status ekonomi dan social).
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk
terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Honesty
Kerusakan saraf lingual yang terjadi pada Tn.M tidak pernah dinyatakan
kepada Tn.M secara terang-terangan. Sudah sekitar 3 tahun Tn.M terus
menerus menemui dr.G tanpa mengetahui komplikasi yang sebenarnya ia
alami. Ketidakjujuran dokter G telah menjadi suatu masalah etik yang serius
karena melanggar prinsip dari honesty (kejujuran).
Dalam etika kedokteran, diperlukan suatu bentuk kejujuran baik dari
pasien terlebih dari dokter. Pasien memiliki hak dan kewajiban dalam proses
menerima dan mengeathui kondisi dan segala potensi secara jujur dan terbuka
akan dirinya dan kondisi kesehatannya. Penerapan kejujuran dan pemahaman
akan hal tersebut perlu diwadahi oleh rumah sakit, sehingga konsep dan
prinsip dasar etik dapat dilaksanakan,

b. Dari Perspektif Kedokteran


Dari sisi medis, pasien ini seharusnya diberi acknowledgement mengenai
tindakan yang akan dilakukan (ekstraksi gigi) dan tindakan pendukung lainnya
(contoh: anestesi), indikasi untuk dilakukannya ekstraksi gigi, keuntungan dari
tindakan yang dilakukan, risiko dan komplikasi tindakan yang akan dilakukan,
risiko jika tindakan tidak dilakukan, efek samping dari tindakan yang akan
dilakukan maupun tindakan pendukung yang dilakukan (contoh: tindakan
anestesi), dan apa yang dapat dilakukan dari efek samping tersebut.
Acknowledgement ini dilanjutkan dengan penandatanganan informed
consent oleh pasien atau keluarga pasien, dimana informed consent yang sidah
ditandatangani ini menjadi bukti bahwa pasien telah diberitahu dan mengerti
tentang keadaan dan tindakan yang akan dilakukan.
Hal ini sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.
HK. 00.04.7.3.3725 melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989
tentang Informed Consent, bahwa dokter yang ingin melakukan operasi lebih
dahulu harus memberikan informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan,
apa manfaatnya, apa risikonya, alternatif lain (jika ada), dan apa yang mungkin
terjadi apabila tidak dilakukan.
Keterangan tersebut harus diberikan secara jelas, dengan menggunakan
bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien, sesuai dengan tingkat
pendidikan dan intelektualnya. Informed Consent menjadi salah satu dasar
pertimbangan dokter dalam mengambil tindakan medik untuk menyelamatkan
nyawa seseorang termasuk dalam tindakan operasi bedah caesar. Informasi
mengenai tindakan yang dilakukan, manfaat dan risikonya menjadi hak pasien
karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Aktivitas seseorang dapat
dilakukan dan berlangsung dengan baik jika kondisi seseorang tersebut sehat.
Pembangunan juga dapat berlangsung dengan baik jika masyarakat memiliki
derajat kesehatan yang tinggi.
Permasalahan kesehatan harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya
sehingga masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik tanpa
gangguan kesehatan yang berarti. Selanjutnya untuk menangani masalah-masalah
kesehatan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan
kesehatan masyarakat, baik melalui pembangunan fasilitas kesehatan, pemberian
pelayanan kesehatan secara cumacuma maupun produk hukumnya. Seperti
dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan,
bahwa Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Dokter saat menangani pasien di rumah sakit tidak
bertindak atas nama pribadi melainkan bertindak atas nama rumah sakit.
Dalam prakteknya dokter melaksanakan pelayanan kesehatan di rumah
sakit untuk menjalankan tugas yang dibebankan rumah sakit kepadanya.
Hubungan yang terbentuk antara dokter dan rumah sakit dalam lingkup hubungan
perburuhan adalah dokter bekerja sebagai karyawan dari rumah sakit. Dalam hal
ini rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakan dokter tersebut
(Primatama, Edward. 2016). Salah satu poin penting yang dibahas dalam
Informed Consent adalah :
1. Risiko dari tindakan kedokteran pada; Menurut Pasal 5 ayat 1 Permenkes
Nomor 585 Tahun 1989 menyatakan bahwa informasi yang diberikan mencakup
keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan baik diagnosis
maupun terapeutik.
Risiko tersebut harus dijelaskan secara lengkap dan jelas kepada pasien.
Adapun risiko yang harus dijelaskan tersebut meliputi berat ringannya risiko,
kemungkinan risiko tersebut timbul, dan kapan risiko tersebut timbul seandainya
tindakan tersebut dilakukan (Ridun dalam Primatama 2016)

c. Dari Perspektif Keperawatan


Dari sisi keperawatan, dalam kasus ini dapat dilihat bahwa dr.G merasa
bersalah atas komplikasi yang terjadi walaupun keadaan itu bukan keadaan yang
mengancam jiwa. Pada keadaan ini, dr.G memberikan perawatan gratis kepada
Tn.M karena perasaan bersalah. Dalam Buku Panduan Etik Keperawatan RS
Stella Maris Makassar, etika perawat terhadap teman sejawat adalah etika dalam
interkasi antara sesama perawat dan profesi lainnya dalam lingkungan rumah sakit
sesuai dengan Undang Undang, sumpah, janji, norma, aturan dan kode etik
keperawatan sehingga tercipta keserasian suasana lingkungan kerja yang
mendukung peningkatan mutu dan keselamatan.
Bentuk bentuk perawatan yang dilakukan dokter G kepada Tn.M juga
akan melibatkan perawat yang bertugas dalam unit tersebut, proses keterlibatan
perawat dalam kasus ini juga akan memberi dilema etis tersendiri bagi perawat,
yang mana perawat akan memahami situasi yang terjadi dan juga akan berpotensi
memiliki perasaan bersalah. Dalam hal ini sebagai bentuk etika keperewatan
dalam hubungannya dengan teman sejawat dan profesi lainnya, maka yang harus
diuatamakan adalah mutu dan keselamatan terhadap pasien, untuk mendukung itu
perawat dalam hal ini dapat memberikan masukan kepada dokter terkait jalan dan
solusi yang tepat dalam kasus yang terjadi, untuk diselesaikan oleh dokter itu
dengan baik.
V. MASUKAN DAN SARAN
Dari kasus tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dipelajari dan diterapkan di RS
Stella Maris Makassar, antara lain:
Mengkaji situasi
Kasus kasus etis yang terjadi di rumah sakit memerlukan suatu langkah
pengkajian situasi. Dalam hal ini jika terjadi kejadian serupa di RS Stella
Maris Makassar, diharapkan dokter ybs dapat segera berkoordinasi dengan
Wadir Medis dan Direktur RSSM. Koordinasi lanjutan kemuadian akan
dimediasi melalui panitia etik rumah sakit. Proses pengkajian bersama akan
membantu memberi informasi yang jelas bagi apsien dan menjaga
profesionalisme dokter dalma bertugas.
Diagnosa Masalah Etik Moral
Kasus kasus yang terjadi di rumah sakit setelah dibicarakan perlu didiagnosa
akankah menimbulkan permasalahan etik moral, apa penyebabnya,
bagaimana kronologis kasusnya dan langkah penyelesaian serta
pencegahannya. Semua pihak terlibat harus memahami kembali dan
menetapkan lebih lanjut bagaimana penanganan secara etis pada kasus yang
mana juga termuat dalam panduang terkait etika (baik etika dalam bekerja,
terhadap pasien, masyarakat, rekan, dll). Pemahaman etika terkait
pelaksanaan tugas dapat selalu dipahami dengan membaca panduan panduan
etik yang disediakan. Implementasi nyata dari panduan yang ada dapat
diterapkan dalam mencegah dan menangani masalah etika di rumah sakit.
Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh
dokter, perawat bersama tim medis yang lain dalam mengatasi permasalahan
dilema etik seperti ini. Adapun alternatif rencana yang bisa dilakukan antara
lain :
o Sebaiknya sebelum tindakan dilakukan terhadap pasien, lembaran
informed consent dilengkapi setelah pemberian informasi kepada
pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan.
o Pemberian informasi yang jelas juga seharusnya dilakukan dan
dipikirkan oleg dr.G sejak awal, semua potensi yang mungkin dialami
pasien harus dijelaskan agar pasien/keluarga pasien memiliki
pertimbangan dan pengetahuan dalam menghadapi keadaan tersebut.
o Selanjutnya dr. G tidak bisa terus menerus memberikan konsultasi
secara gratis kepada pasien tanpa menayatakan kondisinya. Dalam
kasus ini dr.G harus nya sejak awal menjalaskan kelemahan nya, yang
tidak menyampaikan risiko komplikasi yang terjadi pada pasien.
Pemberian konsultasi lanjutan gratis mungkin dianggap baik oleh
pasien, namun jika keadaannya tidak kunjung membaik maka pasien
bisa memiliki perspektif berbeda dan akan muncul dilema dilema etis
lainnya.
Pemberian Pemahaman
Pemahaman mengenai informed consent perlu ditanamkan kepada para
dokter, te-naga medis maupun mahasiswa kedokteran sedini mungkin untuk
terciptanya komu-nikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat.
Sangat diharapkan bahwa hal ini dapat mengurangi atau bahkan men-cegah
terjadinya malpraktek beserta segala konsekwensinya.
VI. KESIMPULAN

1. Informed consent mutlak diperoleh ter-utama dalam tindakan medis yang dikategorikan
sebagai extraordinary means, sebagai ungkapan hormat akan otonomi dan integritas
pribadi pasien.
2. Informed consent diperoleh dari pasien sendiri, tetapi bila pasien tidak kompeten, maka
dapat diperoleh dari keluarga atau wali sah yang mampu memberikan persetujuan
rasional. Jika keluarga dan/atau wali hadir namun tidak kompeten juga, maka tenaga
medis dapat memutuskan sendiri untuk bertindak sesuai kondisi pasien demi kepentingan
terbaik pasien (prinsip beneficentia).
3. Berdasarkan informasi yang diberikan tenaga medis, pasien dan atau keluarga dapat saja
menolak memberikan persetujuan atas tindakan medis tertentu (informed refusal).
Menghadapi hal sedemikian tenaga medis harus bersikap rasional sebagai seorang
medikus seka-ligus etikusmoralis, dengan mempertimbangkan kompetensi penolakan
tersebut dan kondisi pasien yakni entah tindakan medis masih bermanfaat baginya
ataukah sudah menjadi sia-sia belaka.
4. Informed consent tidak dibutuhkan da-lam kasus darurat (emergency) atau kri-tis di mana
tindakan medis harus segera diambil demi keselamatan pasien. Tindakan ini diambil atas
dasar prinsip beneficentia.
5. Informed consent dan the professional practice standard sangat penting diper-hatikan,
karena setiap kelalaian atau ke-salahan tindakan medis akan membawa konsekuensi
hukum yuridis.
6. Dalam pelayanan kesehatan di Indonesia untuk dilakukannya suatu operasi misalnya,
informasi disampaikan kepada keluarga dan keluarga yang menandatangani surat
persetujuan, bukan oleh pasien sendiri walaupun ia kompeten, maka hal ini hanya
merupakan perbeda-an budaya saja yang umum berlaku di Asia.
7. Pemahaman dan sosialisasi kepada seluruh tenaga medis, non medis dan keperawatan
sangat dibutuhkan. Mind set terkait pemberian pelayanan aman dan beretika menjadi
suatu hal yang mencagah kerugian baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima
pelayanan
VII. JUDUL KASUS
Dilema Etik Kasus Persalinan tanpa Penjaminan dan Informasi Media Massa

VIII. KRONOLOGI KASUS

Pasien Ny.S (20 tahun), tanggal 22 Juli jam 04.45 WIB datang ke UGD RSUD dengan
keluhan : hamil 9 bulan, mules-mules, ketuban sudah pecah di rumah. Diperiksa dokter
jaga di UGD, kesimpulan : Pasien sudah dalam proses persalinan (inpartu). Saat itu UGD
sangat sibuk; fasilitas tempat di UGD terbatas; kamar bersalin sedang penuh. Pasien
menolak untuk dirujuk ke RS lain dengan alasan biaya; pasien mengaku tidak mampu,
tetapi tidak memiliki surat keterangan tidak mampu, Kartu JKN dan atau sejenisnya.
Tanpa didampingi perawat, dengan dituntun suami, pasien berjalan ke Kamar bersalin,
yang berada pada jarak 30 meter dari UGD. Dalam perjalanan, pasien mendadak merasa
mules hebat, jatuh terkulai dilantai, mengejang kuat sehingga bayi lahir spontan.
Kebetulan saat itu lewat seorang perawat yang segera memberikan pertolongan, bayi
dibersihkan mulut dan hidungnya, dan bayi segera menangis kuat. Salah seorang perawat
lain memanggil bidan jaga dari kamar bersalin, yang segera datang dan memotong tali
pusat dan melahirkan placenta. Selanjutnya ibu dan bayi dibawa ke kamar bersalin, dan
mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Keadaan ibu pasca melahirkan baik, jalan
lahir utuh (tidak ada robekan), perdarahan berhenti. Bayi normal,bb 2800 kg, panjang
badan 48 kg. Sehari sesudah melahirkan ibu dan bayi diperbolehkan pulang dalam
keadaan baik.

Bayi diberi nama : LADILLA (lahir di lantai).

Esok harinya, hampir semua surat kabar lokal memuat berita tersebut yang cukup
membuat heboh masyarakat ibu Kota/Kabupaten tersebut. Ternyata ayah Ladilla adalah
seorang wartawan surat kabar lokal di kota tersebut!
IX. TINJAUAN PUSTAKA
Media Massa (Mass Media) adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau
alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang
diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication). Komunikasi massa
sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media massa (communicate with
media).Yang termasuk media massa terutama adalah suratkabar, majalah, radio, televisi,
dan film sebagai The Big Five of Mass Media (Lima Besar Media Massa), juga internet
(cybermedia, media online).
Surat Pembaca (SP) adalah opini yang ditulis pendek dan singkat oleh pembaca
berdasarkan fakta memiliki kekuatan tersendiri dalam membentuk opini khalayak, begitu
pula dengan informasi media massa lainnya. Karena dianggap mampu mempengaruhi
khalayak, banyak pembaca memanfaatkann surat pembaca, inormasi melalui media
(social media, mass media dll) untuk menyampaikan keluhan, protes, ketidakpuasan,
maupun informasi lainnya yang biasanya berupa unek-unek dari jelek atau buruknya
pelayanan suatu perusahaan. Karena diinformasikan lewat media massa pula, perusahaan
yang diprotes itu biasanya langsung memberikan tanggapan, bisa langsung ke penulis SP,
atau bisa pula melakukan hak jawab lewat halaman SP yang sama, konferensi perss dan
bentuk tanggapan lainnya.
Bagi Public Relations, SP dan keluhan keluhan melalui media massa haruslah
merupakan santapan sehari-hari yang disikapi bijak. Mengabaikan SP yang bermuatan
keluhan di sebuah media cetak sama halnya merusak citra perusahaan, begitu pula
dengan berita atau informasi lainnya yang berupa keluhan/ekspresi ketidakpuasan.

X. PEMBAHASAN
a. Secara Umum
Kasus diatas merupakan kasus yang seharusnya tidak boleh terjadi di sebuah
Rumah Sakit. Analisa dan buat penilaian mengenai peristiwa ini, hal-hal apa yang
perlu dipertanyakan dalam hal peristiwa ini, secara sistematis:
1. Pelayanan UGD untuk pasien kebidanan di RS
2. Kondisi pasien saat datang di UGD
3. Tingkat sosial ekonomi pasien, apakah pasien menjalani prenatal care?
dimana? dsb
4. Keadaan di UGD saat itu sedang ekstra sibuk
5. Fasilitas UGD, sarana/prasarana dan SDM-nya
6. Siapa yang bertanggungjawab mengenai peristiwa di UGD
7. Seberapa jauh pimpinan RS turut bertanggungjawab menghadapi keadaan
ini
8. Seberapa jauh pihak PEMDA (selaku Pemilik RS) turut bertanggungjawab
mengenai peristiwa iini
9. Secara makro kejadian ini menggambarkan adanya sesuatu yang tidak
beres dalam hal organisasi & manajemen dari RS ini. Apa kira-kira inti
dan akar permasalahannya?

1. Pelayanan UGD Untuk Pasien Kebidanan Di R.S


Kasus kegawat daruratan kebidanan memerlukan penanganan segera.
Pelayanannya harus khusus karena situasinya gawat dan darurat, agar pasien bisa
tertolong. Karena itu rumah sakit membuka Unit Gawat Darurat (UGD) atau
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Standar minimal petugas gawat darurat, terdiri
seorang dokter yang selalu siaga di tempat dengan 4-5 orang perawat / bidan di
tambah dokter konsulen. Untuk dokter konseling hanya jika dibutuhkan. Semua
yang bertugas di gawat darurat baik dokter maupun perawat harus bersertifikat
memiliki keahlian mampu menangani gawat darurat jantung dan gawat darurat
trauma dan lain-lainnya. Komposisi 1 dokter dengan 4 perawat ini merupakan
standar minimal. Jika keadaannya gawat, semakin banyak petugasnya semakin
baik.

Jadi jika Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut memang sudah
kewalahan dalam menangani pasien kegawat daruratan, sebaiknya pihak
manajemen Rumah Sakit perlu segera mengadakan perubahan manajemen di
Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut.
2. Kondisi Pasien Saat Datang Di UGD
Pasien dalam keadaan inpartu tetapi di UGD tidak ada bidan hanya ada
dokter jaga dan perawat yang sibuk. Pada saat itu juga UGD sangat sibuk dan
fasilitas tempat di UGD juga terbatas serta kamar bersalin sedang penuh, sehingga
pasien tidak terpantau. Seharusnya Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit
tersebut sudah selayaknya mempunyai ruang Triase, dimana jika memang harus
ditangani sesegera mungkin seperti ibu yang akan melahirkan, seharusnya dapat
ditolong persalinannya pada ruang triase tersebut.

3. Tingkat Sosial Ekonomi Pasien, Apakah Pasien Menjalani Prenatal Care ?


Dimana ?
Pasien tergolong tidak mampu seharusnya masuk jamkesmas / SKTM dan
sudah terdata oleh Puskesmas di wilayah tinggal pasien dan pasien menolak untuk
dirujuk ke RS lain (swasta), pasien mengaku tidak mampu, tapi tidak memiliki
surat keterangan tidak mampu, ASKESKIN, JAMKESMAS atau sejenisnya, bila
pasien memang tidak mampu, seharusnya pasien mempunyai kartu
JAMKESMAS atau minimal surat keterangan tidak mampu dan biasanya pasien
yang tidak mampu dan memerlukan pertolongan segera (dalam kasus ini
pertolongan kegawat daruratan kebidanan) perlu didampingi oleh bidan / kader
yang selama ini memantau kehamilannya.
Seharusnya juga pihak medis Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit
tersebut melihat kondisi pasien yang sudah dalm keadaan inpartu, tidak begitu
saja menyarankan pasien untuk dirujuk, tetapi harus melihat apakah pasien
tersebut tidak bermasalah dalam perjalanan ke Rumah Sakit Swasta atau apakah
pihak Rumah Sakit dalam merujuk pasien disediakan fasilitas dalam merujuk
(Ambulance, perawat / bidan yang mendampingi di dalam ambulance)
4. Keadaan UGD Pada Saat Itu Sedang Ekstra Sibuk
Sesibuk apapun kondisi UGD adalah melihat fungsi dari dengan
diselenggarakannya pelayanan UGD berarti aktor-aktor yang ada harus selalu
berorientasi untuk pelayanan kepada masyarakat, karena ini merupakan kondisi
dimana harus ada faktor resiko. Seberapapun sibuk ruangan tersebut seharusnya
ada sistem yang mampu mengatur tingkat kesibukan di UGD tersebut antara lain :
Terselenggaranya jumlah SDM yang memadai
Ketersediaan fasilitas pelayanan yang optimal
Adanya sistem yang terintegrasi agar para aktor yang berperan dapat
menjalani pekerjaan yang seharusnya dilakukan
Tempat sangat menentukan lalu lintas pekerjaan yang kondusif

5. Fasilitas UGD, Sarana/Prasarana Dan SDM


Peningkatan angka kunjungan ini jika tidak disertai dengan pembenahan UGD
baik dari sisi manajemen maupun sarana dan prasarana, tentu akan mempengaruhi
mutu pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Ditambah lagi dengan
tingginya iklim kompetisi dalam bidang pelayanan kesehatan di sekitar rumah
sakit. UGD juga merupakan ujung tombak pelayanan RS yang melibatkan semua
instalasi dan unit lainnya dari rumah sakit, dengan demikian pelayanan yang
terdapat di UGD akan mencerminkan pelayanan di dalam RS. Berdasarkan hal-
hal tersebut, maka pengembangan UGD mutlak diperlukan.

Perencanaan SDM kesehatan adalah proses estimasi terhadap jumlah SDM


berdasarkan tempat, keterampilan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan. Secara garis besar perencanaan kebutuhan
SDM kesehatan dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok yaitu :

Perencanaan kebutuhan SDM pada tingkat institusi


Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat wilayah
Perencanaan kebutuhan SDM untuk bencana
6. Siapa Yang Bertanggung Jawab Mengenai Peristiwa Ini Di UGD Adalah :
Petugas jaga pada saat itu dan secara otomatis maka kepala IGD Rumah Sakit
tersebut juga terlibat, lalu yang tak kalah pentingnya adalah bagian Pelayanan
Mediknya karena tidak memperhatikan kualitas pelayanan sehingga direktur
Rumah Sakit itu sendiri pun ikut terlibat dan dalam kapasitas yang besar maka
Pemda terkait selaku pemilk Rumah Sakit tersebut juga harus bertanggung jawab.

7. Seberapa Jauh Pimpinan Rumah Sakit Harus Bertanggung Jawab


Menghadapi Keadaan Ini
Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan kemampuan memahami masalah etika,
melakukan diskusi multidisiplin tentang kasus medik legal dan dilema etika
biomedis dan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan
ini. Keberlangsungan pelayanan sesuai standar akan menjadi tanggungan
pimpinan di RS, pimpinan yang baik itu harus melakukan pembinaan terhadap
petugas, dalam hal ini petugas medis dan paramedis yang bertugas di UGD
Rumah Sakit tersebut, pimpinan wajib mempunyai pengaruh terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan RS antara lain dengan mengeluarkan kebijakan
tentang manajemen pelayanan dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Hal yang
paling terpenting adalah bagaimana mengemas koordinasi Pimpinan Rumah Sakit
dengan pengambil kebijakan seperti halnya tidak ada nya koordinasi antara
Pimpinan Rumah Sakit dengan Dinkes, Puskesmas dan RS

8. Seberapa Jauh Pihak Governing Board (Selaku Pemilik R.S) Turut


Bertanggung Jawab Atas Peristiwa Ini
Governing Board selaku badan pengelola dari RS tersebut akan secara langsung
bertanggungjawab dengan adanya permasalahan ini, kewenangan RS itu berada
dibawah tanggungjawabnya. Oleh karena itu perlunya adanya pendidikan etika
yang tidak terbatas pada pimpinan dan staf rumah sakit saja Governing Board
selaku badan pengelola dan anggota RS, pasien, keluarga pasien, dan masyarakat
dapat diikutsertakan dalam pendidikan etika. Pemahaman akan permasalahan
etika akan menambah kepercayaan masyarakat dan membuka wawasan mereka
bahwa rumah sakit bekerja untuk kepentingan pasien dan masyarakat pada
umumnya. Tanggungjawab Governing Board selaku badan pengelola oleh karena
kebijakannya mulai dari pembuat keputusan dan kebijakan yang ada pada RS,
pembuatan komitmen pada RS, penempatan dan pengangkatan sumber daya
manusia yang bertugas di RS dan sarana prasarana yang ada di RS tersebut.

9. Secara Makro Kejadian Ini Menggambarkan Adanya Sesuatu Yang Tidak


Beres Dalam Hal Organisasi Dan Manajemen Dari R.S Ini, Apa Kira-Kira
Inti Dan Akar Permasalahannya?
Adalah seberapa jauh Governing Board selaku badan pengelola mengatur regulasi
terhadap RS setempat dan Rumah sakit merupakan suatu institusi yang komplek,
dinamis, kompetitif, padat modal dan padat karya yang multidisiplin serta
dipengaruhi oleh lingkungan yang selalu berubah. Namun rumah sakit selalu
konsisten tetap untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial,
dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat banyak dan harus selalu
memperhatikan etika pelayanan. Konsekuensi logis diberlakukanya otonomi
daerah, pemerintah daerah harus siap menanggung beban dan tanggung jawab
untuk mengatur sumber dana dan daya yang ada, untuk melaksanakan
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Sehingga dalam jangka panjang mampu mewujudkan Good Governance, dalam


jangka pendek mampu melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dalam
rangka membangun dan memberi pelayanan umum di daerah, serta mendorong
partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan umum.
b. Dari Perspektif Etik
1. Autonomy
Dalam prinsip ini tim medis telah berusaha menghargai keputusan
pasien, namun kondisi saat itu tidak kondusif untuk memeberikan
pelayanan pada pasien (sesuai apa yang diinginkannya). Dengan tidak
adanya jaminan asuransi dan surat keterangan tidak mampu, juga menjadi
dilemma tersendiri bagi rumah sakit. Rumah sakit dalam menjalankan
tugas dan fungsi memiliki SOP dalam pemberian pelayanan. Ketiadaan
penjamin dan kondisi kondisi serupa akan membuat rumah sakit
mengalami suatu dilemma etik. Untuk rumah sakit swasta hal ini dapat
menimbulkan sejumlah kerugian, namun pada prinsipnya pelayanan tetap
harus diberikan, karena rumah sakit adalah usaha not for profit.
Prioritas utama rumah sakit adalah melayani pasien apapun resiko
nya, namun dalam kasus ini pasien juga memiliki sejumlah perilaku yang
tidak tepat: tidak memiliki jaminan/asuransi, tidak ingin dirujuk dan
mengambil keputusan sendiri untuk berjalan ke ruang bersalin (tanpa
instruksi). Dalam hal ini pengawasan dari rumah sakit juga kurang, pasien
dan suami bisa berjalan menuju ke ruang bersalin tanpa adanya
pengawasan.

2. Benefesience / Kemurahan Hati


Dalam hal ini kemurahan hati tetap ditunjukan dalam pelayanan,
saat pasien berjalan dan mengalami kontraksi maka perawat langsung
melakukan tindakan tanpa meminta pasien/keluarga untuk pengurusan
administrasi dan lainnya. Perawat juga langsung memanggil bidan dalam
melakukan tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan kompeten nya
untuk menolong proses persalinan si Ibu (Ny.S). Ibu dan bayi dalam
konteks diatas juga dibawa ke kamar bersalin dan dirawat sebagaimana
mustinya. Ibu dan bayi juga tidak ditahan karena tidak dapat membayar
dll, dalam kasus diatas diveritakan bahwa sehari sesudah bersalin ibu dan
bayi diperbolehkan pulang.
Dalam hal ini, jika seperti tadi dijelaskan bahwa pasien tidak
memiliki jaminan asuransi, pasien mengaku tidak mampu berarti ada
beberapa hal yang mungkin timbul: pasien tidak dapat membayar sehingga
rumah sakit memberi toleransi khusus; pasien dijelaskan untuk membayar
dengan toleransi biaya dari rumah sakit.
Hal ini menunjukkan adanya peran perandari manjerial rumah sakit, badan
pengelola dll untuk mengambil keputusan yang bijak.

3. Justice / Keadilan
Dari cerita kasus Ny.S diatas dapat terlihat bahwa rumah sakit
telah bertindak adil, karena adanya keadaan yang cukup padat (ruang
bersalin penuh, IGD sangat sibuk dll), proses merujuk pasien menjadi
suatu jalan yang baik untuk menghindari proses yang tidak diinginkan
(kebijakan dalam merujuk dari rumah sakit tersebut telah cukup baik,
karena kondisi saat itu tidak optimal untuk memberikan pelayanan bagi
pasien)
Kasus ini menjadi bahan pembelajaran, bahwa dalam proses
merujuk dan menerima pasien tanpa jaminan dibutuhkan sejumlah
pemahaman dari para pengambil keputusan, tenaga pelaksana medis dan
non medis; sehingga tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Pasien
menerma pelayanan aman dan bermutu, rumah sakit juga tidak mengalami
permasalahan dalam memberi pelayanan.
c. Dari Perspektif Kedokteran
Penanganan dokter jaga di UGD dalam hal ini seharusnya juga tetap
memberi perhatian pada pasien. Terkait kondisi pasien tanpa penjamin dan
kelengkapan administrasi harus menjadi suatu informasi untuk mengambil
keputusan secara cepat dalam memberikan pelayanan (dengan dikonsultasikan
bersama pihak manejerial rumah sakit). Keadaan sibuk UGD tidak bisa menjadi
suatu alasan, pengaturan akan jumlah SDM dan lainnya harus cepat dan tepat.
Kecakapan seorang dokter dalam hal ethicomedicolegal reasoning
membutuhkan penguasaan yang memadai terhadap konsep-konsep teori bioetika.
Sedangkan untuk pendekatan bioetika sebagai disiplin ilmu, yang paling mendasar
adalah penelaahan filosofis yang dimaksudkan untuk mendapatkan alasan yang
logis (logical reasoning), kejelasan konsep, koherensi dan justifi kasi yang
rasional.
Beberapa permasalahan pembahasan etik dalam kehidupan sehari-hari
terkait persalinan adalah sebagai berikut: a. Persetujuan dalam proses melahirkan.
b. Memilih dan mengambil keputusan dalam persalinan. c. Kegagalan dalam
proses persalinan. d. Pelaksanaan (Ultrasonogarfi) USG dalam kehamilan; hal ini
memerlukan pemahaman dari dan oleh para dokter, perawat dan bidan di rumah
sakit.

d. Dari Perspektif Keperawatan


Mengingat pentingnya peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
maka pada tanggal 12 Oktober 2000 pemerintah telah mencanangkan Gerakan
Nasional Kehamilan dan Persalinan Yang Aman atau Making Pregnancy Safer
(MPS) yang merupakan bagian dari program Safe Motherhood. Sebagai Strategi
Pembangunan Kesehatan Masyarakat menuju Indonesia sehat 2010, MPS
bertujuan melindungi hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan cara
mengurangi beban kesakitan ,kecacatan dan kematian yang berhubungan dengan
kehamilan dan persalinan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Standar pelayanan / asuhan kebidanan di atas merupakan pedoman bagi
bidan di Indonesia dalam melaksanakan tugas, peran dan fungsinya sesuai dengan
kompetensi dan kewenangan yang diberikan. Standar ini dilaksanakan oleh bidan
di setiap tingkat pelayanan kesehatan baik di Rumah Sakit, Puskesmas maupun
tatanan pelayanan kesehatan lain di masyarakat. Standar Asuhan Persalinan
Normal (APN) merupakan bagian dari Standar Pelayanan /Asuhan Kebidanan.
Ketersediaan bidan di IGD harus menjadi suatu bahan pertimbangan,
jumlah SDM yang mumpuni dan pembagian tugas dan tanggung jawab yang
diatur dengan sitematis akan memudahkan pemberian pelayanan. Dalam kasus di
atas sangat baik bahwa kondisi ibu dan baik selamat setelah melalui proses
persalinan, jika terjadi suatu yang tidak diinginkan maka rumah sakit akan
mengalami suatu masalah serius dan standar asuhan pelayanan kebidanan, Standar
ketercapian MPS tidak tercapai di rumah sakit tersebut. Hal ini akan sangat parah,
karena kasus diblow up di media massa dan akan menimbulkan suatu dilema etis
yang berpotensi masalah hukum.

XI. MASUKAN DAN SARAN


Terkait dengan Profesionalisme Pelayanan:
Perawat, dokter dan seluruh kompnen rumah sakit seharusnya mampu melayani
pasien dengan baik dan jika dirujuk memberikan alasan dan kejelasan terkait
proses rujukan, dan bilamana pasien bertahan dengan keputusannya untuk tidak
dirujuk segera dialakukan pembahasan bersama manajemen rumah sakit.
Kelemahan Pengawasan
Kelemahan pengawasan yang terjadi sehingga pasien dapat berjalan sendiri ke
ruang bersalin juga merupakan permasalahn tersendiri (yang mana berarti terjadi
proses kelemahan komponen mutu dan keselamatan pasien. Seharusnya, perawat
memberi perhatian pada seluruh pasien di lingkungan rumah sakit, begitupul
dengan dokter dan staff non medis. Proses keluarnya pasien dari IGD ke ruang
bersalin seharusnya dapat diawasi oleh pihak security rumah sakit dan staff
lainnya sehingga hal demikian tidak perlu terjadi.
Terkait dengan pemberitaan di media massa, maka masukan dan saran yang dapat
diberikan antara lain:
1. Pilih orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah, the right man behind the
gun. Selesaikan masalah oleh Public Relations (PR) perusahaan melalui
komunikasi yang intensif nan manusiawi dengan orang yang merasa menjadi
korban. Dengan penjelasan yang mendetil, argumentatif, rasional dan didasari
itikad baik, masalah bisa diselesaikan secara elegan. Pada kasus yang saya
alami, jangan kedepankan sekuriti untuk menyelesaikan masalah, apalagi hanya
staf yang tidak bisa mengambil keputusan.

2. pilih cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Perusahaan yang dikomplain
melalui media seperti pada surat pembaca atau milis di dunia maya tidak usah
bereaksi berlebihan seperti kebakaran jenggot. Melalui PR, perusahaan dapat
menggunakan hak jawab di media. Hindari menyatakan keluhan publik di media
sebagai pencemaran nama baik, lalu mengajukan tuntutan pada korban untuk
mencabut pernyataan, apalagi sampai ke pengadilan. Untuk menjawab atau
menyanggah sebuah SP atau informasi media massa lainnya maka dibutuhkan
keahlian berbahasa dan berdiplomasi sehingga jawaban atau sanggahan yang
dibuat tidak memperburuk suasana.

3. bila dipilih jalur hukum, dibutuhkan perimbangan yang matang; apakah ihal
tersebut merupakan solusi terbaik. Nama baik lembaga yang terpuruk jauh lebih
sulit diperbaiki dibanding mempertahankannya, hasilnya, publik malah enggan
menggunakan jasa layanan Rumah Sakit tersebut. Seorang PR perlu memberikan
masukan pada perusahaan apakah jalan yang dipilih dapat memunculkan efek
balik (boomerang effect).

4. profesional medis yang terlalu mengandalkan keahlian medis mereka dengan


mengabaikan pentingnya komunikasi dengan pasien dianggap sebagai bentuk
arogansi, itu juga dapat membahayakan kehidupan pasien dan karier profesional
medis. Diperlukan komunikasi efektif antara perawat dan dokter di rumah sakit
dengan pasien dapat menghindari munculnya masalah; Dokter dan seluruh
komponen rumah sakit perlu menghindari akan munculnya kesan bahwa rumah
sakit tidak berempati, dll. Bagian diklat dan SDM serta Public
Relations/Kehumasan dan pimpinan rumah sakit harus memprakarsai pelatihan-
pelatihan komunikasi kesehatan bagi karyawan, perawat, dan dokter.

XII. KESIMPULAN
Proses pengawasan dan terselenggaranya jumlah SDM yang memadai;
Ketersediaan fasilitas pelayanan yang optimal; Adanya sistem yang terintegrasi
agar para aktor yang berperan dapat menjalani pekerjaan yang seharusnya
dilakukan dalam mengatasi kasus kasus kegawat daruratan di rumah sakit.

Proses menangani keluhan dan informasi media massa memerlukan skill dan
pemahaman yang harusnya disosialisasikan pada seluruh elemen rumah sakit.
Cara tanggap dan pemilihan keputusan dalam menanggapi hal tersebut harus
cerdas, tepat, menunjukkan peran aktif dan empati dari rumah sakit. Proses
soasialisasi, pelatihan dan lainnya terkait komunikasi efektif, etika dan daya
tanggap pada informasi media harus diberikan pada seluruh staff.

Pengambilan keputusan manajemen dan seluruh pimpinan harus dipikirkan


dengan baik dalam menghadapi kasus kasus dilemma etis yang disampaikan di
media massa, media social dan lainnya yang akan ditanggapi khalayak ramai.

Anda mungkin juga menyukai