JUDUL KASUS
Dilema Etik Bedah Mulut Dengan Komplikasi Operasi dan Pemberian Konsul
Lanjutan Gratis.
Seorang bapak (Tn.M) datang berkonsultasi ke salah satu dokter spesialis bedah
mulut (dr.G) di rumah sakit tersebut untuk mencabut gigi. Pada waktu Tn.M sudah
selesai melakukan operasi giginya, pasien pulang dan disarankan kontrol setelahnya.
Beberapa waktu kemudian Tn.M datang untuk kontrol pasca operasi. Saat itu Tn.M
mengeluhkan mulutnya sudah sejak operasi itu dilakukan dirasanya baal (paresthesia) dan
tidak hilang sampai hari beliau kontrol tersebut.
Pada saat itu dr.G menyatakan bahwa hal itu biasa terjadi, efek paresthesia itu
akan hilang dengan sendirinya seiiring waktu, yang berbeda-beda pada tiap-tiap orang
dan tidak perlu dikhawatirkan. Tn.M pun pulang dengan membawa obat tambahan untuk
keluhannya. Kemudian beberapa waktu setelah itu Tn.M datang kembali dan masih
mengeluhkan hal yang sama. Saat itu, dr.G mulai menyadari bahwa komplikasi operasi
mungkin sudah terjadi pada Tn.M dan komplikasinya mungkin irreversible. Namun dr.G
tidak menyatakan apapun mengenai hal tersebut dan Tn.M boleh datang kembali ke RS
dengan biaya gratis apabila masih mengalami hal yang sama. Pada saat itu Tn.M
menganggap bahwa dr.G sungguh berbaik hati karena menggratiskan biaya pengobatan
beliau (dan terjadi selama 3 tahun)
Beneficence
Ada empat kondisi yang biasanya digunakan dalam prinsip double effect:
1. Alamiah yang terjadi dari penatalaksaan. Penatalaksanaan itu sendiri
tidak boleh salah; haruslah sesuatu hal yang memiliki niat baik atau
bersifat netral secara moral.
2. Niat dari pemberian agent. Agent yang diberikan harus hanya memiliki
efek baik, bukan buruk, walaupun sudah tampak sebelumnya.
3. Perbedaan antara rata-rata dan efek. Efek buruk tidak boleh berarti rata-
rata dari efek baik.
4. Proporsional antara efek baik dan buruk. Efek baik harus melebihi
kejahatan yang diperbolehkan, dalam kata lain, efek buruk.
Non-maleficence
Walau mekanisme terjadinya kerusakan pada saraf lingual belum
sepenuhnya diketahui, namun ada kemungkinan hal ini terjadi selama
prosedur dilakukan, dimana ujung jarum yg berisi anestesi local berkontak
dengan tulang dan patah, atau apabila ujung jarum suntik tersebut mengenai
saraf lingual pada proses penyuntikan, hal ini dapat menyebabkan signifikan
trauma fisik begitu jarum suntik tersebut ditarik keluar dari gusi.
Suntikan yang digunakan dalam procedural gigi berdiameter .45mm.
dalam perbandingan, saraf yang paling sering rusak dan terkena berukuran 4
sampai 7 kali lebih besar. Selain karena trauma fisik pada saraf, bisa juga
terjadi formasi hematom yang disebabkan pergerakan jarum suntik melewati
jaringan lunak yang mungkin merusak pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan. Konstriksi hematom yang terbentuk akan menekan saraf yang
melewatinya.
Justice
Tn.M dalam hal mungkin adalah pasien yang memakai asuransi kesehatan
(askes). Dari pengamatan yang telah dilakukan seblumnya, pada rumah sakit
lainnya, beberapa dokter memang membedakan antara pasien umum dengan
pasien askes. Apa yang terjadi pada Tn.M adalah contoh nyata suatu injustice
yang dilakukan karena status pasien (status ekonomi dan social).
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk
terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Honesty
Kerusakan saraf lingual yang terjadi pada Tn.M tidak pernah dinyatakan
kepada Tn.M secara terang-terangan. Sudah sekitar 3 tahun Tn.M terus
menerus menemui dr.G tanpa mengetahui komplikasi yang sebenarnya ia
alami. Ketidakjujuran dokter G telah menjadi suatu masalah etik yang serius
karena melanggar prinsip dari honesty (kejujuran).
Dalam etika kedokteran, diperlukan suatu bentuk kejujuran baik dari
pasien terlebih dari dokter. Pasien memiliki hak dan kewajiban dalam proses
menerima dan mengeathui kondisi dan segala potensi secara jujur dan terbuka
akan dirinya dan kondisi kesehatannya. Penerapan kejujuran dan pemahaman
akan hal tersebut perlu diwadahi oleh rumah sakit, sehingga konsep dan
prinsip dasar etik dapat dilaksanakan,
1. Informed consent mutlak diperoleh ter-utama dalam tindakan medis yang dikategorikan
sebagai extraordinary means, sebagai ungkapan hormat akan otonomi dan integritas
pribadi pasien.
2. Informed consent diperoleh dari pasien sendiri, tetapi bila pasien tidak kompeten, maka
dapat diperoleh dari keluarga atau wali sah yang mampu memberikan persetujuan
rasional. Jika keluarga dan/atau wali hadir namun tidak kompeten juga, maka tenaga
medis dapat memutuskan sendiri untuk bertindak sesuai kondisi pasien demi kepentingan
terbaik pasien (prinsip beneficentia).
3. Berdasarkan informasi yang diberikan tenaga medis, pasien dan atau keluarga dapat saja
menolak memberikan persetujuan atas tindakan medis tertentu (informed refusal).
Menghadapi hal sedemikian tenaga medis harus bersikap rasional sebagai seorang
medikus seka-ligus etikusmoralis, dengan mempertimbangkan kompetensi penolakan
tersebut dan kondisi pasien yakni entah tindakan medis masih bermanfaat baginya
ataukah sudah menjadi sia-sia belaka.
4. Informed consent tidak dibutuhkan da-lam kasus darurat (emergency) atau kri-tis di mana
tindakan medis harus segera diambil demi keselamatan pasien. Tindakan ini diambil atas
dasar prinsip beneficentia.
5. Informed consent dan the professional practice standard sangat penting diper-hatikan,
karena setiap kelalaian atau ke-salahan tindakan medis akan membawa konsekuensi
hukum yuridis.
6. Dalam pelayanan kesehatan di Indonesia untuk dilakukannya suatu operasi misalnya,
informasi disampaikan kepada keluarga dan keluarga yang menandatangani surat
persetujuan, bukan oleh pasien sendiri walaupun ia kompeten, maka hal ini hanya
merupakan perbeda-an budaya saja yang umum berlaku di Asia.
7. Pemahaman dan sosialisasi kepada seluruh tenaga medis, non medis dan keperawatan
sangat dibutuhkan. Mind set terkait pemberian pelayanan aman dan beretika menjadi
suatu hal yang mencagah kerugian baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima
pelayanan
VII. JUDUL KASUS
Dilema Etik Kasus Persalinan tanpa Penjaminan dan Informasi Media Massa
Pasien Ny.S (20 tahun), tanggal 22 Juli jam 04.45 WIB datang ke UGD RSUD dengan
keluhan : hamil 9 bulan, mules-mules, ketuban sudah pecah di rumah. Diperiksa dokter
jaga di UGD, kesimpulan : Pasien sudah dalam proses persalinan (inpartu). Saat itu UGD
sangat sibuk; fasilitas tempat di UGD terbatas; kamar bersalin sedang penuh. Pasien
menolak untuk dirujuk ke RS lain dengan alasan biaya; pasien mengaku tidak mampu,
tetapi tidak memiliki surat keterangan tidak mampu, Kartu JKN dan atau sejenisnya.
Tanpa didampingi perawat, dengan dituntun suami, pasien berjalan ke Kamar bersalin,
yang berada pada jarak 30 meter dari UGD. Dalam perjalanan, pasien mendadak merasa
mules hebat, jatuh terkulai dilantai, mengejang kuat sehingga bayi lahir spontan.
Kebetulan saat itu lewat seorang perawat yang segera memberikan pertolongan, bayi
dibersihkan mulut dan hidungnya, dan bayi segera menangis kuat. Salah seorang perawat
lain memanggil bidan jaga dari kamar bersalin, yang segera datang dan memotong tali
pusat dan melahirkan placenta. Selanjutnya ibu dan bayi dibawa ke kamar bersalin, dan
mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Keadaan ibu pasca melahirkan baik, jalan
lahir utuh (tidak ada robekan), perdarahan berhenti. Bayi normal,bb 2800 kg, panjang
badan 48 kg. Sehari sesudah melahirkan ibu dan bayi diperbolehkan pulang dalam
keadaan baik.
Esok harinya, hampir semua surat kabar lokal memuat berita tersebut yang cukup
membuat heboh masyarakat ibu Kota/Kabupaten tersebut. Ternyata ayah Ladilla adalah
seorang wartawan surat kabar lokal di kota tersebut!
IX. TINJAUAN PUSTAKA
Media Massa (Mass Media) adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau
alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang
diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication). Komunikasi massa
sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media massa (communicate with
media).Yang termasuk media massa terutama adalah suratkabar, majalah, radio, televisi,
dan film sebagai The Big Five of Mass Media (Lima Besar Media Massa), juga internet
(cybermedia, media online).
Surat Pembaca (SP) adalah opini yang ditulis pendek dan singkat oleh pembaca
berdasarkan fakta memiliki kekuatan tersendiri dalam membentuk opini khalayak, begitu
pula dengan informasi media massa lainnya. Karena dianggap mampu mempengaruhi
khalayak, banyak pembaca memanfaatkann surat pembaca, inormasi melalui media
(social media, mass media dll) untuk menyampaikan keluhan, protes, ketidakpuasan,
maupun informasi lainnya yang biasanya berupa unek-unek dari jelek atau buruknya
pelayanan suatu perusahaan. Karena diinformasikan lewat media massa pula, perusahaan
yang diprotes itu biasanya langsung memberikan tanggapan, bisa langsung ke penulis SP,
atau bisa pula melakukan hak jawab lewat halaman SP yang sama, konferensi perss dan
bentuk tanggapan lainnya.
Bagi Public Relations, SP dan keluhan keluhan melalui media massa haruslah
merupakan santapan sehari-hari yang disikapi bijak. Mengabaikan SP yang bermuatan
keluhan di sebuah media cetak sama halnya merusak citra perusahaan, begitu pula
dengan berita atau informasi lainnya yang berupa keluhan/ekspresi ketidakpuasan.
X. PEMBAHASAN
a. Secara Umum
Kasus diatas merupakan kasus yang seharusnya tidak boleh terjadi di sebuah
Rumah Sakit. Analisa dan buat penilaian mengenai peristiwa ini, hal-hal apa yang
perlu dipertanyakan dalam hal peristiwa ini, secara sistematis:
1. Pelayanan UGD untuk pasien kebidanan di RS
2. Kondisi pasien saat datang di UGD
3. Tingkat sosial ekonomi pasien, apakah pasien menjalani prenatal care?
dimana? dsb
4. Keadaan di UGD saat itu sedang ekstra sibuk
5. Fasilitas UGD, sarana/prasarana dan SDM-nya
6. Siapa yang bertanggungjawab mengenai peristiwa di UGD
7. Seberapa jauh pimpinan RS turut bertanggungjawab menghadapi keadaan
ini
8. Seberapa jauh pihak PEMDA (selaku Pemilik RS) turut bertanggungjawab
mengenai peristiwa iini
9. Secara makro kejadian ini menggambarkan adanya sesuatu yang tidak
beres dalam hal organisasi & manajemen dari RS ini. Apa kira-kira inti
dan akar permasalahannya?
Jadi jika Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut memang sudah
kewalahan dalam menangani pasien kegawat daruratan, sebaiknya pihak
manajemen Rumah Sakit perlu segera mengadakan perubahan manajemen di
Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tersebut.
2. Kondisi Pasien Saat Datang Di UGD
Pasien dalam keadaan inpartu tetapi di UGD tidak ada bidan hanya ada
dokter jaga dan perawat yang sibuk. Pada saat itu juga UGD sangat sibuk dan
fasilitas tempat di UGD juga terbatas serta kamar bersalin sedang penuh, sehingga
pasien tidak terpantau. Seharusnya Instalasi Unit Gawat Darurat Rumah Sakit
tersebut sudah selayaknya mempunyai ruang Triase, dimana jika memang harus
ditangani sesegera mungkin seperti ibu yang akan melahirkan, seharusnya dapat
ditolong persalinannya pada ruang triase tersebut.
3. Justice / Keadilan
Dari cerita kasus Ny.S diatas dapat terlihat bahwa rumah sakit
telah bertindak adil, karena adanya keadaan yang cukup padat (ruang
bersalin penuh, IGD sangat sibuk dll), proses merujuk pasien menjadi
suatu jalan yang baik untuk menghindari proses yang tidak diinginkan
(kebijakan dalam merujuk dari rumah sakit tersebut telah cukup baik,
karena kondisi saat itu tidak optimal untuk memberikan pelayanan bagi
pasien)
Kasus ini menjadi bahan pembelajaran, bahwa dalam proses
merujuk dan menerima pasien tanpa jaminan dibutuhkan sejumlah
pemahaman dari para pengambil keputusan, tenaga pelaksana medis dan
non medis; sehingga tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Pasien
menerma pelayanan aman dan bermutu, rumah sakit juga tidak mengalami
permasalahan dalam memberi pelayanan.
c. Dari Perspektif Kedokteran
Penanganan dokter jaga di UGD dalam hal ini seharusnya juga tetap
memberi perhatian pada pasien. Terkait kondisi pasien tanpa penjamin dan
kelengkapan administrasi harus menjadi suatu informasi untuk mengambil
keputusan secara cepat dalam memberikan pelayanan (dengan dikonsultasikan
bersama pihak manejerial rumah sakit). Keadaan sibuk UGD tidak bisa menjadi
suatu alasan, pengaturan akan jumlah SDM dan lainnya harus cepat dan tepat.
Kecakapan seorang dokter dalam hal ethicomedicolegal reasoning
membutuhkan penguasaan yang memadai terhadap konsep-konsep teori bioetika.
Sedangkan untuk pendekatan bioetika sebagai disiplin ilmu, yang paling mendasar
adalah penelaahan filosofis yang dimaksudkan untuk mendapatkan alasan yang
logis (logical reasoning), kejelasan konsep, koherensi dan justifi kasi yang
rasional.
Beberapa permasalahan pembahasan etik dalam kehidupan sehari-hari
terkait persalinan adalah sebagai berikut: a. Persetujuan dalam proses melahirkan.
b. Memilih dan mengambil keputusan dalam persalinan. c. Kegagalan dalam
proses persalinan. d. Pelaksanaan (Ultrasonogarfi) USG dalam kehamilan; hal ini
memerlukan pemahaman dari dan oleh para dokter, perawat dan bidan di rumah
sakit.
2. pilih cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Perusahaan yang dikomplain
melalui media seperti pada surat pembaca atau milis di dunia maya tidak usah
bereaksi berlebihan seperti kebakaran jenggot. Melalui PR, perusahaan dapat
menggunakan hak jawab di media. Hindari menyatakan keluhan publik di media
sebagai pencemaran nama baik, lalu mengajukan tuntutan pada korban untuk
mencabut pernyataan, apalagi sampai ke pengadilan. Untuk menjawab atau
menyanggah sebuah SP atau informasi media massa lainnya maka dibutuhkan
keahlian berbahasa dan berdiplomasi sehingga jawaban atau sanggahan yang
dibuat tidak memperburuk suasana.
3. bila dipilih jalur hukum, dibutuhkan perimbangan yang matang; apakah ihal
tersebut merupakan solusi terbaik. Nama baik lembaga yang terpuruk jauh lebih
sulit diperbaiki dibanding mempertahankannya, hasilnya, publik malah enggan
menggunakan jasa layanan Rumah Sakit tersebut. Seorang PR perlu memberikan
masukan pada perusahaan apakah jalan yang dipilih dapat memunculkan efek
balik (boomerang effect).
XII. KESIMPULAN
Proses pengawasan dan terselenggaranya jumlah SDM yang memadai;
Ketersediaan fasilitas pelayanan yang optimal; Adanya sistem yang terintegrasi
agar para aktor yang berperan dapat menjalani pekerjaan yang seharusnya
dilakukan dalam mengatasi kasus kasus kegawat daruratan di rumah sakit.
Proses menangani keluhan dan informasi media massa memerlukan skill dan
pemahaman yang harusnya disosialisasikan pada seluruh elemen rumah sakit.
Cara tanggap dan pemilihan keputusan dalam menanggapi hal tersebut harus
cerdas, tepat, menunjukkan peran aktif dan empati dari rumah sakit. Proses
soasialisasi, pelatihan dan lainnya terkait komunikasi efektif, etika dan daya
tanggap pada informasi media harus diberikan pada seluruh staff.