Anda di halaman 1dari 4

Penyebab Krisis Air Bersih di Jakarta

Sumber air bersih di DKI Jakarta semakin berkurang karena disebabkan oleh beberapa
faktor. Menurut Firdaus Ali, anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, ada beberapa
faktor yang menyebabkan krisis air bersih di Jakarta. Pertama, pasokan air baku berkurang. Selama
ini suplai air baku Jakarta sebesar 97,8% dari luar wilayah DKI Jakarta, yaitu dari Waduk Jatiluhur
dan Kali Cisadane. DKI Jakarta hanya memiliki ketahanan air baku 2,2% yang menurut Firdaus
angka ini adalah yang terburuk di Asia. Kedua, tingkat kebocoran air (nonrevenue water/NRW)
yang masih tinggi, yaitu 43%. Ketiga, persoalan tarif air yang tinggi dan terakhir telah terjadi
kesalahan dalam pengelolaan air sehingga air sungai, danau, dan kanal yang seharusnya bisa diolah
menjadi air baku, tak bisa dimanfaatkan karena sudah tercemar logam berbahaya. Selain itu, faktor
musim kemarau yang berkepanjangan juga mempengaruhi penyediaan air di DKI Jakarta.
Pergantian musim menyebabkan pasokan air tidak merata. Pergantian antara musim hujan dan
musim kemarau di Indonesia terlihat menjadi sangat kontras ketika musim hujan terjadi banjir dan
saat kemarau terjadi krisis air bersih.

Masalah lain yang menjadi pemicu krisis air bersih di Jakarta yaitu permasalahan
kependudukan dan minimnya cakupan distribusi air bersih oleh PDAM. Permasalahan
kependudukan tersebut yaitu laju pertambahan dan perpindahan penduduk ke perkotaan yang
cukup tinggi, penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan air, pembangunan
gedung-gedung di kota besar banyak yang tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan
terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah , pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi dan aktivitas domestik, industri, erosi, dan pertanian serta eksploitasi
air tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, pusat
perbelanjaan, apartemen, pengusaha laundry, dan bangunan lainnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut 80 persen air tanah di
wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta mengalami krisis air bersih atau tidak memenuhi
standar Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Jakarta Utara tercatat sebagai wilayah terparah. CAT Jakarta Utara mengandung unsur Fe (besi)
dengan kadar yang tinggi serta kandungan Na (Natrium), Cl (Klorida), TDS (Total Disolve Solid)
dan DHL (Daya Hantar Listrik) yang tinggi akibat adanya pengaruh dari intrusi air asin.
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Badan Geologi melalui Balai Konservasi Air Tanah,
dalam dua tahun ke belakang dari 200 titik sumur pengamatan (sumur pantau, sumur produksi,
sumur gali dan sumur pantek) menunjukkan bahwa sekitar 80% air tanah di wilayah Cekungan Air
Tanah (CAT) Jakarta tidak memenuhi standar Persyaratan Kualitas Air Minum.
Sementara itu, di bagian Selatan, CAT Jakarta yang mengakibatkan air tanah menjadi tidak layak
minum adalah dominasi unsur logam, seperti Mn (Mangan), Fe (besi) dan Pb (Timbal).

Tak hanya itu, permasalahan Jakarta bertambah dengan penurunan muka tanah. Dari hasil
pemantauan muka tanah (amblasan tanah) dengan mengukur secara visual dan menggunakan alat
geodetik memperlihatkan bahwa secara umum laju penurunan tanah di wilayah CAT Jakarta
berkisar antara 0 - 18,2 cm/tahun dengan lokasi yang memiliki laju penurunan tanah paling cepat,
yaitu di daerah Ancol, Pademangan dan Muara Baru- Jakarta Utara.

Namun, di sisi lain terdapat anomali di beberapa titik lokasi patok pengamatan yang
mengalami kenaikan. Hal ini menjadi hal menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Menurut Badan Geologi, penurunan muka tanah ini akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Tercatat lebih dari 4.500 sumur produksi yang mengambil air tanah Jakarta untuk keperluan
komersil. Lebih dari itu, sumur-sumur illegal tak memiliki izin pengusahaan air tanah yang tidak
masuk dalam hitungan. Kondisi tersebut mengakibatkan permukaan tanah Jakarta menurun dan
berdampak menjadi ancaman serius tenggelamnya Jakarta.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah menguasakan urusan air kepada pihak swasta
sejak 12 tahun silam yaitu, PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aerta Air Jakarta (Dulu Thames
PAM Jaya). Namun, pengurusan tersebut tanpa pengontrolan yang ketat dan aturan yang berpihak
ke negara, sehingga Pemprov praktis tidak bias memberi sanksi kepada pengelola air tersebut saat
tak mampu memenuhi distribusi air yang merata atau saat pelayanan buruk seperti air macet, keruh,
berwarna, bau, tarif tingi sampai pemutusan yang sepihak. Pelayanan pendistribusian air bersih
juga dirasa diskriminasi, untuk pendistribusian pemenuhan air bersih bagi pemukiman elit,
apartemen dan industri lainnya hampir terlayani dangan baik, namun yang sering merasakan dan
mengeluhkan buruknya pelayanan distribusi air bersih adalah masyarakat menengah kebawah,
terutama di area penduduk padat seperti Koja, Pademangan, Penjaringan, Tambora, Tamansari,
Kamal dan yang lainnya.
Penyebab lain krisis air bersih di Jakarta yaitu berkurangnya sumber air baku untuk diolah
menjadi air bersih. Sumber air yang ada di Jakarta seperti laut, sungai, waduk dan kanal pengendali
banjir sudah sejak lama tidak lagi dapat dijadikan sumber air baku karena sungai dan waduk telah
tercemar berat (85%) dan mengalami sedimentasi yang sangat tebal. Sementara air laut di
sepanjang pantai Jakarta juga telah tercemar berat akibat sampah dan limbah buangan kapal
termasuk limbah minyak atau oli bekas.
Referensi

http://www.academia.edu/28922054/PENYEDIAAN_AIR_BERSIH_STUDI_PERMASALAHA
N_KRISIS_AIR

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170610160840-85-220815/kementerian-esdm-
jakarta-krisis-air-bersih/

http://www.bppspam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=315:jakarta-krisis-
air-bersih&catid=34:bam&Itemid=99

Anda mungkin juga menyukai