Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ASPEK HUKUM PEMBANGUNAN


KASUS PROYEK REKLAMASI TELUK JAKARTA
Dosen Pengampu : Dr. Sudarno, S.T,M.T

Disusun Oleh :
1. Farid Abdu Salam 15105030
2. Dwitya Fauzan Zuhri 1510503053
3. Mustika Handayani 1510503005
4. Indri Setya Ningrum 1510503020

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TIDAR
2017

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Kasus proyek reklamasi teluk Jakarta dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih pada Bapak Dr. Sudarno,
S.T, M.T selaku Dosen mata kuliah Aspek Hukum Pembangunan yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kami mengenai Aspek Hukum Pembangunan. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda, demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Magelang, 22 November 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................. ii
Daftar Isi .......... iii
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang .... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
C. Tujuan ..... 1
BAB II : Pembahasan
A. Pengertian Reklamasi ................................................................. 3
B. Topologi Kawasan Reklamasi .................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Reklamasi .................................................. 4
D. Daerah Pelaksanaan Reklamasi .................................................. 5
E. Perdebatan Hukum Reklamasi Teluk Jakarta ............................. 7
F. Reklamasi Solusi dengan Kontroversi ........................................ 10
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan ............... 12
DAFTAR PUSTAKA 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proyek reklamasi Teluk Jakarta bukanlah hal baru dalam
perkembangan pembangunan Ibu Kota. Sejak awal telah mendapati
penolakan dari masyarakat dan nelayan karena dampaknya terhadap
pemburukan lingkungan pesisir maupun penggusuran ruang hidup dan
penghidupan nelayan di Teluk Jakarta. Celakanya, meski kepemimpinan di
DKI Jakarta berganti dari satu gubernur ke gubernur baru, berbagai kajian
akademik maupun pengalaman warga terhadap dampak buruk proyek
reklamasi tidak cukup menghentikan proyek tersebut. Sebaliknya, semakin
agresif dengan rencana pembangunan 17 pulau baru di depan Teluk
Jakarta.
Teranyar, sejak pertama kali dilantik 19 November 2014, Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok telah menerbitkan
sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi, masing-masing:

1. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014


tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada Pt
Muara Wisesa Samudra terbit pada tanggal 23 Desember 2014;
2. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015
tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT
Jakarta Propertindo, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;
3. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015
tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT
Jaladri Kartika Pakci, terbit pada tanggal 22 Oktober 2015;
4. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015
tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT
Pembangunan Jaya Ancol, Tbk, terbit pada tanggal 17 November
2015.

Dikeluarkannya keempat ijin pelaksanaan reklamasi tersebut


cenderung dipaksakan hingga melanggar berbagai peraturan-perundangan
di atasnya. Untuk menutupi berbagai pelanggaran tersebut dipilih jalan
pintas untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Ranperda tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Belakangan diketahui proses yang tidak transparan ini sarat praktik
korusptif. Materi ini dimaksudkan untuk menjelaskan kedudukan proyek
reklamasi Jakarta dalam berbagai dugaan pelanggaran hukum dan tindak
pidana korupsi.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diketahui rumusan masalahnya
yaitu :
1. Perdebatan hukum reklamasi teluk Jakarta
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan dari
masalahnya, yaitu:
1. Reklamasi solusi dan kontroversi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Reklamasi
Reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang
artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa
Inggris-Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, disebutkan arti reclaim
sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata
reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Ada beberapa
sumber yang mendefinisikan arti dari reklamasi yaitu sebagai berikut :

1. Menurut Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005), reklamasi adalah


kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan
cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
2. Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52 Tahun 2011 menyebutkan bahwa,
reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah
garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan.
3. Berdasarkan Pedoman Pengembangan Reklamasi Pantai dan Perencanaan
Bangunan Pengamanannya (2004), reklamasi pantai adalah meningkatkan
sumberdaya lahan dari yang kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat
ditinjau dari sudut lingkungan, kebutuhan masyarakat dan nilai ekonomis.
4. Menurut Perencanaan Kota (2013), reklamasi sendiri mempunyai pengertian
yaitu usaha pengembangan daerah yang tidak atau kurang produktif (seperti
rawa, baik rawa pasang surut maupun rawa pasang surut gambut maupun
pantai) menjadi daerah produktif (perkebunan, pertanian, permukiman,
perluasan pelabuhan) dengan jalan menurunkan muka air genangan dengan
membuat kanal kanal, membuat tanggul/ polder dan memompa air keluar
maupun dengan pengurugan.
5. Berdasarkan Modul Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi
(2007) adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang
relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna
dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di
lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.

B. Tipologi Kawasan Reklamasi


Menurut Modul Terapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Reklamasi Pantai (2007), kawasan reklamasi dibedakan menjadi beberapa tipologi
berdasarkan fungsinya yakni :

1. Kawasan Perumahan dan Permukiman.


2. Kawasan Perdagangan dan Jasa.
3. Kawasan Industri.
4. Kawasan Pariwisata.
5. Kawasan Ruang Terbuka (Publik, RTH Lindung, RTH Binaan, Ruang
Terbuka Tata Air).

3
6. Kawasan Pelabuhan Laut / Penyeberangan.
7. Kawasan Pelabuhan Udara.
8. Kawasan Mixed-Use.
9. Kawasan Pendidikan.

Selain berdasarkan fungsinya, kawasan reklamasi juga dibagi menjadi


beberapa tipologi berdasarkan luasan dan lingkupnya sebagai berikut :
1. Reklamasi Besar yaitu kawasan reklamasi dengan luasan > 500 Ha dan
mempunyai lingkup pemanfaatan ruang yang sangat banyak dan bervariasi.
Contoh : Kawasan reklamasi Jakarta.
2. Reklamasi Sedang merupakan kawasan reklamasi dengan luasan 100 sampai
dengan 500 Ha dan lingkup pemanfaatan ruang yang tidak terlalu banyak ( 3
6 jenis ). Contoh : Kawasan Reklamasi Manado.
3. Reklamasi Kecil merupakan kawasan reklamasi dengan luasan kecil (dibawah
100 Ha) dan hanya memiliki beberapa variasi pemanfaatan ruang ( hanya 1-3
jenis ruang saja ). Contoh : Kawasan Reklamasi Makasar.

C. Tujuan dan Manfaat Reklamasi


Tujuan dari adanya reklamasi menurut Modul Terapan Pedoman
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (2007) yaitu untuk
menjadikan kawasan berair yang rusak atau belum termanfaatkan menjadi suatu
kawasan baru yang lebih baik dan bermanfaat. Kawasan daratan baru tersebut
dapat dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan
pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian, jalur transportasi alternatif,
reservoir air tawar di pinggir pantai, kawasan pengelolaan limbah dan lingkungan
terpadu, dan sebagai tanggul perlindungan daratan lama dari ancaman abrasi serta
untuk menjadi suatu kawasan wisata terpadu.
Namun menurut Perencanaan Kota (2013), tujuan dari reklamasi pantai
merupakan salah satu langkah pengembangan kota. Reklamasi diamalkan oleh
negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya
meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin
menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut,
pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga
diperlukan daratan baru.
Menurut Max Wagiu (2011), tujuan dari program reklamasi ditinjau dari
aspek fisik dan lingkungan yaitu:
1. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut.
2. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk
mendirikan bangunan yang akan difungsikan sebagai benteng
perlindungan garis pantai.
Adapun kebutuhan dan manfaat reklamasi dapat dilihat dari aspek tata
guna lahan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari aspek tata ruang, suatu wilayah
tertentu perlu direklamasi agar dapat berdaya dan memiliki hasil guna. Untuk
pantai yang diorientasikan bagi pelabuhan, industri, wisata atau pemukiman yang
perairan pantainya dangkal wajib untuk direklamasi agar bisa dimanfaatkan.
Terlebih kalau di area pelabuhan, reklamasi menjadi kebutuhan mutlak untuk

4
pengembangan fasilitas pelabuhan, tempat bersandar kapal, pelabuhan peti-peti
kontainer, pergudangan dan sebagainya. Dalam perkembangannya pelabuhan
ekspor impor saat ini menjadi area yang sangat luas dan berkembangnya industri
karena pabrik, moda angkutan, pergudangan yang memiliki pangsa eksporimpor
lebih memilih tempat yang berada di lokasi pelabuhan karena sangat ekonomis
dan mampu memotong biaya transportasi.
Aspek perekonomian adalah kebutuhan lahan akan pemukiman, semakin
mahalnya daratan dan menipisnya daya dukung lingkungan di darat menjadikan
reklamasi sebagai pilihan bagi negara maju atau kota metropolitan dalam
memperluas lahannya guna memenuhi kebutuhan akan pemukiman. Dari aspek
sosial, reklamasi bertujuan mengurangi kepadatan yang menumpuk dikota dan
meciptakan wilayah yang bebas dari penggusuran karena berada di wilayah yang
sudah disediakan oleh pemerintah dan pengembang, tidak berada di bantaran
sungai maupun sempadan pantai.
Aspek lingkungan berupa konservasi wilayah pantai, pada kasus tertentu
di kawasan pantai karena perubahan pola arus air laut mengalami abrasi, akresi
ataupun erosi. Reklamasi dilakukan diwilayah pantai ini guna untuk
mengembalikan konfigurasi pantai yang terkena ketiga permasalahan tersebut
kebentuk semula.

D. Daerah Pelaksanaan Reklamasi


Perencanaan Kota (2013) memaparkan pelaksanaan reklamasi pantai
dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula Kawasan
daratan lama berhubungan langsung dengan daratan baru dan garis pantai
yang baru akan menjadi lebih jauh menjorok ke laut. Penerapan model ini
pada kawasan yang tidak memiliki kawasan dengan penanganan khusus
atau kawasan lindung seperti :
a. kawasan permukiman nelayan
b. kawasan hutan mangrove
c. kawasan hutan pantai
d. kawasan perikanan tangkap
e. kawasan terumbu karang, padang lamun, biota laut yang dilindungi
f. kawasan larangan ( rawan bencana )
g. kawasan taman laut

5
Gambar 2.1 Reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula
Sumber : www.perencanaankota.blogspot.com (2013)

2. Daerah reklamasi yang memiliki jarak tertentu terhadap garis pantai


Model ini memisahkan (meng-enclave) daratan dengan kawasan
daratan baru, tujuannya yaitu :
a. Menjaga keseimbangan tata air yang ada
b. Menjaga kelestarian kawasan lindung (mangrove, pantai, hutan pantai,
dll)
c. Mencegah terjadinya dampak/ konflik sosial
d. Menjaga dan menjauhkan kerusakan kawasan potensial (biota laut,
perikanan, minyak )
e. Menghindari kawasan rawan bencana

Gambar 2.2 Reklamasi yang memiliki jarak tertentu terhadap garis pantai .
Sumber : www.perencanaankota.blogspot.com (2013)

3. Daerah reklamasi gabungan dua bentuk fisik (terpisah dan menyambung


dengan daratan)
Suatu kawasan reklamasi yang menggunakan gabungan dua
model reklamasi. Kawasan reklamasi pada kawasan yang potensial

6
menggunakan teknik terpisah dengan daratan dan pada bagian yang tidak
memiliki potensi khusus menggunakan teknik menyambung dengan
daratan yang lama.

Gambar 2.3 Masterplan kawasan reklamasi Batam menggunakan gabungan dua


reklamasi
Sumber : Laporan Kegiatan Kawasan Pengembangan Kota Batam (2002)

E. Perdebatan Hukum Reklamasi Teluk Jakarta

Pasca Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus dugaan


suap yang melibatkan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta M Sanusi
dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, isu
reklamasi terus menjadi perhatian publik. Tak cuma karena persoalan suap yang
melibatkan politisi dan korporasi, isu ini semakin menarik lantaran ada perdebatan
hukum dalam kasus ini.
Salah satu hal yang menjadi perdebatan adalah soal siapa pihak yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam reklamasi ini, apakah Gubernur DKI
Jakarta atau Kementerian Kelautan dan Perikanan?
Proyek reklamasi Teluk Jakarta memanglah bukan hal yang baru. Jauh
sebelum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjabat, wacana ini
sudah dibahas. Bahkan, sejumlah regulasi pun terbit, mulai dari Keputusan
Gubernur (Kepgub), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Daerah (Perda),
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta Undang-Undang
(UU). Sayangnya, justru dari sejumlah aturan itulah pangkal perdebatan muncul
belakangan ini.
Pertama, berkaitan dengan terbitnya aturan yang merevisi UU Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni
dalam aturan UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada
intinya, aturan tersebut membahas izin pengelolaan dan izin lokasi. Pasal 17 ayat
(4) UU Nomor 1 Tahun 2014 mengatur bahwa izin lokasi tidak dapat diberikan

7
pada zonasi inti kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai
umum.
Izin tersebut hanya diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dalam bentuk luasan dan waktu tertentu. Selain itu,
pemberian izin juga mesti mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil, masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak
lintas damai bagi kapal asing. Sementara, izin lokasi sendiri merupakan dasar
dalam pemberian izin pengelolaan.
Kedua, berkaitan dengan Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Aturan yang muncul dalam rangka keperluan
pengembangan kawasan di pantai utara Jakarta itu tegas menyatakan dalam Pasal
4 bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai utara Jakarta berada
pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dimana diatur wilayah
reklamasi yang meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai
utara Jakarta secara tegak lurus sampai garis yang menghubungkan titik-titik
terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter.
Selain itu, dalam aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 13
Juli 1995 itu juga diatur pembentukan Badan Pengendali yang bertugas
mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan serta penataan
kawasan pantura yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam Pasal
9 ayat (1) dinyatakan bahwa areal hasil reklamasi pantai utara diberikan status hak
pengelolaan kepada Pemerintah DKI Jakarta.
Untuk diketahui, selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada 16 Oktober
1995 juga ada aturan serupa berkaitan dengan reklamasi di pantai Kapuknaga
Tangerang. Lewat Keppres Nomor 73 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai
Kapuknaga Tangerang, juga diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab
reklamasi pantai Kapuknaga ketika itu berada pada Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Barat, sama halnya dengan pantai utara Jakarta.
Kemudian sebagai tindak lanjutnya, pada era Gubernur DKI Jakarta
Sutiyoso dibuat aturan teknis terkait reklamasi di pantai utara Jakarta sebagai
tindak lanjut dari Keppres Nomor 52 Tahun 1995, yakni dalam Kepgub Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Aturan tersebut merinci teknis pelaksanaan reklamasi mulai tahap
perencanaan hingga perjanjian pengembangan. Aturan ini juga sebagai aturan
yang merinci tentang Badan Pelaksana Reklamasi Pantura yang diatur dalam
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan
Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.
Ketiga, terkait dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Lewat aturan inilah, Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku.
Dalam Pasal 72 Ketentuan Perailhan Perpres Nomor 54Tahun 2008, dinyatakan
bahwa Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tidak belaku sepanjang terkait dengan
penataan ruang.
Keempat, terkait dengan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Aturan ini muncul lantaran Keppres Nomor

8
52 Tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, Perda inilah yang
mengubah aturan pulau-pulau reklamasi dalam Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun
1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan
Pantura Jakarta.
Kelima, terkait dengan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan ini mengatur terkait
permohonan memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi diajukan
kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati atau Walikota. Dimana, Menteri
memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis
Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan di
pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.
Selain itu, khusus untuk Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) dan
reklamasi lintas provinsi, dapat diberikan setelah mendapat pertimbangan dari
Bupati atau Walikota dan Gubernur. Sementara, Gubernur dan Bupati atau
Walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah
sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang
dikelola oleh pemerintah daerah.
Jika ditelaah, PP Nomor 26 Tahun 2008 mengatur dan menetapkan
kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu, Banten, dan
Jawa Barat ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN). Memang wewenang
pemberian izin pada KSNT berada pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Lantas,
apakah KSNT dan KSN adalah sama?
Sebetulnya di sinilah problemnya. Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
2014 menyatakan bahwa Menteri berwenang memberikan dan mencabut izin
lokasi dan izin pengelolaan wilayah perairan, pesisir, dan pulau-pulau lintas
provinsi, kawasan strategis nasional (KSN), kawasan strategis nasional tertentu
(KSNT), dan kawasan konservasi nasional. Sementara, Gubernur berwenang
memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin pengelolaan di wilayah perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil dan Bupati atau Walikota berwenang memberikan
dan mencabut izin di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Namun, UU Nomor 1 Tahun 2014 tegas hanya membahas izin
pengelolaan dan izin lokasi. Sementara, reklamasi sebagaimana diatur dalam
Keppres 52 Tahun 1995 membahas izin prinsip dan izin pelaksanaan. Dua hal itu
berbeda satu dengan lainnya. Lagipula, UU Nomor 1 Tahun 2014 tidak mengacu
pada Keppres 52 Tahun 1995.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Pemprov DKI Jakarta Oswar M Mungkasa menjelaskan bahwa kawasan strategis
pantai utara Jakarta merupakan kawasan penting yang harus dikembangkan mulai
dari tepi pantai sampai kedalaman delapan meter di bawah permukaan laut. Ia pun
meyakini bahwa pemberian izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta
telah memenuhi berbagai syarat termasuk analisis dampak lingkungan (Amdal).
Melalui reklamasi, lanjutnya, Jakarta akan diuntungkan dengan tambahan 5.100
hektare lahan pulau-pulau baru.
"Ada potensi ekonomi, pertambahan tenaga kerja, dan pertambahan
kegiatan ekonomi yang semuanya bermuara pada pertumbuhan ekonomi,"
katanya.

9
Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa semua tanah hasil reklamasi adalah
milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemprov DKI meskipun
dalam pembangunannya melibatkan pengembang swasta, BUMN, dan BUMD.
Sesuai perjanjian awal, katanya, pengembang diwajibkan menyediakan sekitar 50
persen dari luas lahan pulau reklamasi antara lain 25 persen untuk ruang terbuka
hijau (RTH), lima persen untuk ruang terbuka biru (RTB), 15 persen untuk
fasilitas umum dan sosial, serta lima persen untuk Pemprov DKI.
"Lima persen lahan milik pemprov ini nantinya digunakan untuk fasilitas
masyarakat misalnya untuk membangun apartemen bagi buruh atau pegawai
rendahan yang bekerja di pulau-pulau tersebut," ucapnya.
Untuk memastikan bahwa pembangunan dan kegiatan ekonomi tidak
hanya menguntungkan masyarakat yang menghuni pulau reklamasi, Pemprov
mengajukan tambahan kontribusi sebesar 15 persen dikali Nilai Jual Wajib Pajak
(NJOP) dikali lahan yang bisa dijual (saleable area). Dengan perhitungan NJOP
minimal Rp10 juta untuk 14 pulau dan Rp30 juta untuk tiga pulau lainnya,
pemerintah dapat memperoleh tambahan kontribusi sebesar Rp48 triliun.
"Dana itu nanti digunakan untuk subsidi silang, termasuk untuk
membangun lima pusat perikanan di pesisir, pelabuhan, tempat tambatan kapal,
dan rumah susun bagi nelayan," tutur Oswar.
Terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan
bahwa jika merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2008, Jakarta termasuk wilayah
strategis nasional. Sehingga, penerbitan izin pelaksanaan reklamasi harus
berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Saat
diajukan izin pelaksanaan kami akan berikan rekomendasi. Tanpa rekomendasi itu
izin pelaksanaan tidak bisa dijalankan," ujarnya.

F. Reklamasi Solusi dengan Kontroversi


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membuat praktik reklamasi
menjadi lumrah di Indonesia. Solusi ini dianggap sebagai jalan keluar yang
mempunyai dampak cukup signifikan sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Faktanya, proyek
reklamasi sendiri sudah dijalankan sejak dekade 80-an. Sebagai contoh reklamasi
di kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi dilaksanakan
oleh PT Pembangunan Jaya sekitar tahun 1981.
Pun-reklamasi memberikan solusi atas keterbatasan lahan hingga
memberikan manfaaat dari segi ekonomi, hampir disetiap proyek reklamasi selalu
diikuti dengan pertentangan dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan, proses
reklamasi rentan akan permasalahan yang berkaitan dengan perencanaan yang
menyalahi prosedur, dampak terhadap sosial dan lingkungan, pengusiran atau
relokasi paksa, maupun maladministrasi.
Dalam suatu kesempatan, Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani,
mengatakan reklamasi berdampak pada ekologi dan ekonomi, terutama terhadap
masyarakat yang terpapar langsung. Reklamasi yang berjalan saat ini seperti di
Teluk Jakarta terlihat dipaksakan dan tidak cermat menghitung dampak buruk
yang ditimbulkan. (baca juga: Komnas HAM Ikut Kritik Reklamasi)

10
Namun, pada kesempatan lainnya, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif
menyampaikan Kami tidak mendukung reklamasi, tapi kalau sudah terjadi harus
memenuhi tiga kriteria itu, yakni memenuhi undang-undang, memperhatikan
dampak sosial, dan pertimbangan lingkungan harus jalan. (baca juga: KPK:
Reklamasi Seharusnya Digerakkan Pemerintah)
Menyadari akan pentingnya memahami konteks hukum pelaksanaan
proyek reklamasi di Indonesia, Tim Riset & Analisis Hukumonline.com
membahas secara detail hal-hal terkait reklamasi, termasuk persyaratan serta dan
analisa putusan hakim untuk proyek reklamasi teluk Jakarta dan proyek reklamasi
pantai losari, semuanya disajikan pada pada Indonesian Law Digest edisi 496
dengan judul Reclamation: Land from the Sea.

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, membuat praktik reklamasi


menjadi lumrah di Indonesia. Solusi ini dianggap sebagai jalan keluar yang
mempunyai dampak cukup signifikan sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Namun, Menyadari akan
pentingnya memahami konteks hukum pelaksanaan proyek reklamasi di
Indonesia, Tim Riset & Analisis perlu dilakukan pembahasan secara detail hal-hal
terkait reklamasi, termasuk persyaratan serta dan analisa putusan hakim untuk
proyek reklamasi teluk Jakarta dan proyek reklamasi pantai losari.

12
DAFTAR PUSTAKA
www.perencanaankota.blogspot.com (2013)
Kertas Kasus No.01/KK/IV/16 | Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia |
www.knti.or.id
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57de850d12128/kontrak-jasa-
konstruksi-juga-pakai-bahasa-indonesia

13

Anda mungkin juga menyukai