2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan dalam menyelesaikan Modul Diklat Pengadaan TanahTingkat I.
Modul ini disusun agar peserta diklat dapat mempelajari dan memahami materi-
materi yang diberikan.
Pada kesempatan ini pula, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan jerih payah Saudara-saudara
sekalian.
Semoga modul ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca, khususnya peserta diklat. Akhir kata dengan segala kerendahan hati,
kami menerima kritik dan saran membangun dari pembaca.
Terima kasih.
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
A. MANFAAT MODUL BAGI PESERTA................................................................................ 4
B. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................................................... 4
C. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK ................................................................ 4
BAB II TINJAUAN UMUM BERDASARKAN UU 2/2012 .................................................................. 6
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 6
B. PENGERTIAN PENGADAAN TANAH ............................................................................ 15
C. AZAS DAN TUJUAN PENGADAAN TANAH ................................................................ 18
D. POKOK-POKOK PENGADAAN TANAH ........................................................................ 20
E. PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
SEBELUM BERLAKUNYA UU 2/2012 ........................................................................... 21
F. LANDASAN PENYUSUNAN UU 2/2012 ........................................................................ 24
G. LEMBAGA PELAKSANA .................................................................................................. 26
H. HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT ........................................ 28
I. DASAR HUKUM .................................................................................................................. 28
BAB III PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BERDASARKAN UU 2/2012 DAN PERATURAN
PELAKSANANYA ................................................................................................................ 29
A. TAHAP PERENCANAAN .................................................................................................. 29
B. TAHAP PERSIAPAN .......................................................................................................... 31
C. TAHAP PELAKSANAAN .................................................................................................. 34
D. TAHAP PENYERAHAN HASIL ........................................................................................ 38
BAB IV KELEBIHAN DAN KEKURANGAN UU 2/2012 ................................................................. 39
A. KEKURANGAN UU 2/2012 ............................................................................................... 39
B. KELEBIHAN UU 2/2012 .................................................................................................... 43
BAB V STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENGADAAN TANAH ............... 45
BAB I
PENDAHULUAN
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi dalam modul ini, peserta diharapkan mampu
mengerti dan memahami dasar-dasar kebijakan di Bidang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum baik secara teoritis maupun
praktis. Selain itu peserta diharapkan mampu mengimplementasikan kebijakan
tersebut, mengidentifikasi permasalahan tugas-tugas di lapangan untuk
dimonitor, evaluasi dan memberi masukan ke arah pengembangan
(perbaikan/penyempurnaan hingga revisi) lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN UMUM BERDASARKAN
UU 2/2012
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia. Arti penting ini
menunjukan adanya pertalian yang sangat erat antara hubungan manusia
dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman dan tempat mata
pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan nasional yang
dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun
pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional.
Perkembangan pembangunan di Indonesia semakin hari semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan gedung sekolah inpres, rumah sakit, pasar,
stasiun kereta api, tempat ibadah, jembatan, pengadaan berbagai proyek
pembuatan dan pelebaran jalan serta pembangunan lainnya memerlukan tanah
sebagai sarana utamanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana pengambilan tanah
kepunyaan masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal ini memang
menyangkut persoalan yang paling kontroversial mengenai masalah
pertanahan. Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan tanah sudah
sedemikian mendesak sedangkan pada lain pihak sebagian besar warga
masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat
mata pencahariannya.
Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan
pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah
memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya
1
Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah (Suatu kajian Filsafati
dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia, Disertasi PPS Unair, Surabaya, 1993, Hal.
91
2
Bagir Manan,
3
Pilar-Pilar Hukum Tanah Nasional mengexplore bahwa pengelolaan pertanahan yang bersendikan
UUPA memiliki fundasi dengan menegdepankan asas-asas: Nasionalism (Pasal 9 UUPA, yang dimaknai bahwa
hanya warga negara yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah), Verorgaanstate (Pasal 2
Disatu sisi negara tidak mempunyai tanah, yang mempunyai tanah adalah
warga negara (rakyat, masyarakat dan Badan Hukum), sekalipun secara konkret
(inconcrito) terdapat tanah pemerintah atas nama negara, namun eskalasinya
tidak memadai untuk menampung derevasi volume pembangunan yang
sedemikian banyak dan luas dalam mempergunakan tanah. Oleh karena itu,
penyediaan tanah bagi areal pembangunan nasional yang dilakukan oleh
pemerintah atas nama negara akan melibatkan tanah kepunyaan warga negara
(individu, masyarakat dan badan hukum) dalam jumlah besar, sehingga dalam
proses pembebasan hak-hak rakyat tersebut perlu metoda yang didasari pada
metoda ilmiah tentang cara-cara mengakhiri hak-hak warga masyarakat yang
bertumpu kepada nilai-nilai kemanusiaan, layak dan berkeadilan agar tidak
melanggar hak warga negara yang mendasar (Hak Asasi
Manusia/humanright/menchenrechten).
Tanah bagi warga negara merupakan sesuatu yang sangat mendasar
dalam memenuhi hidup dan kehidupannya, bahkan saking pentingnya tanah
bagi manusia, sampai-sampai hak atas tanah (property) disejajarkan sama dan
sebanding dengan hak hidup (live) dan hak kebebasan sebagai bagian dari Hak
Asasi Manusia (human right)4.
Pembangunan Nasional yang memerlukan tanah dari masyarakat yang
punya tanah, memerlukan suatu metoda yang pas dan manusiawi serta
berkeadilan dalam melepaskan hubungan hukum antar tanah dengan pemegang
haknya, agar natinya tidak membuat kehidupan bekas pemegang haknya
menjadi lebih buruk dari sebelum tanahnya dibebaskan5, dan pembangunan
yang dihasilkan pasca pembebasan hak-hak warga negara diharapkan dapat
memajukan rakyat secara keseluruhan.
Berkenaan dengan pengambilan tanah masyarakat yang akan dipakai
untuk keperluan pembangunan dilaksanakan melalui proses pengadaan tanah
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak sesuai pasal 2 ayat (1) Peraturan
UUPA, Yng diterjemahkan bahwa negara menguasai tanah dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat)
dan Hak Bangsa (Pasal 1 UUPA, bahwa selama Negara Indonesia masih ada , maka hubungan bangsa dengan
tanah bersifat abadi)
4
Jhon Locke
5
AP. Parlindungan, Komentar Tentang UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1998, Hal. 44
6
Jhon Locke mempostulatkan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inhern atas
kehidupan (live), kebebasan (liberty) dan harta (property) yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dipindahkan atau dicabut oleh Negara, untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam. Akan tetapi, dalam
suatu kontrak sosial dimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diserahkan pada kekuasaan Negara, lihat Aslan
Noor, konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia ditinjau dari ajaran Hak Asasi Manusia, disertai PPS
Unpad, Bandung Tahun 2003, Hlm. 36. Lihat pula John Locke, two treaties of sivil government. J.M. Dent & Sons
Ltd, London, 1960, Hlm. 9 dan 77
7
Lihat peraturan pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik Atas Tanah
sistem hak atas tanah perorangan sebagai salah satu unsur ajaran negara
idealnya8.
Di masa modem, pendapat semacam itu menjadi salah satu landasan
berpikir dan konsep marxisme, khususnya komunisme. Marxisme
berpendapat, sistem pemilikan tanah perorangan merupakan cikal bakal sistem
klas dan eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de I ,home par
I'homme). Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan meniadakan
penghisapan manusia oleh manusia, sistem kepemilikan tanah perorangan
harus ditiadakan. Tetapi perlu diperhatikan, pemilikan yang dipersoalkan kaum
Marxis atau komunis adalah pemilikan perorangan juga berkaitan dengan
produksi (sebagai-sarana produksi). Jadi, tetap ada tempat bagi sistem
pemilikan di luar pemilikan perorangan dan di luar sarana produksi, yang disebut
pemilikan publik.
Terhadap sarana produksipun secara hakiki bukan menyangkut peniadaan
pranata pemilikan hak atas tanah, tetapi peralihan pemegang hak dari pemilikan
perorangan menjadi pemilikan komunitas yang diwakili negara, sehingga lazim
disebut hak milik negara (eigendomstaat).
Sebenarnya potensi eksploitasi yang merugikan bahkan menindas, dalam
sistem kepemilikan komunitas atau oleh negara tidak lebih kurang dari sistem
pemilikan perorangan, karena disertai segala atribut kekuasaan negara9.
Pendapat lain mengenai sistem pemilikan atas tanah dapat dipandang sebagai
gabungan antara sistem pemilikan perorangan yang tanpa batas dengan sistem
kepemilikan komunitas (negara) yang sebenamya juga tanpa batas. Pada
Negara yang tidak menjalankan sistem Marxisme atau komunisme, pemilikan
perorangan tetap dipandang sebagai salah satu hak kodrati, tetapi dengan
pembatasan yang berkaitan dengan kepentingan sosial atau kepentingan umum.
Hak milik bukan hanya dibatasi cara-cara penggunaan dan penguasaannya
8
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi
Manusia, Mandar Madju, Bandung, 2006, Hal. III
9
Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Bandung : Disertai PPS UNP AD,
2003, Hlm. 37. Lihat pula Bagir Manan dalam Pengantar Pidato Laporan Promotor Terhadap
Pertanggungjawaban Akademis Atas Nama Aslan Noor pada Sidang Promosi Doktor dalam Ujian Terbuka
Disertasi, Unpad, 2003, Hlm. 3-6
(seperti pembatasan luas), bila perlu dapat dicabut (UU No. 20 Tahun 1961 jo
Pasal 18 UUPA) demi suatu kepentingan sosial (Pasal 6 UUPA) yang lebih
luas atau suatu kepentingan umum tertentu kepentingan publik/negara).
Demikian pula pada Negara-negara yang menjalankan sistem Marxisme atau
komunisme. Negara tetap sebagai pemilik sarana produksi seperti tanah. Rakyat
hanya sebagai pemegang hak pakai atau penyewa dengan syarat-syarat dan
cara pemanfaatan yang lebih longgar. Di Republik Rakyat Cina (RRC), rakyat
menyewa atau memakai tanah Negara untuk sesuatu jangka panjang. Rakyat
bebas menentukan cata-cara pemanfaatan, cata-cara penjualan hasil, dan
bebas pula menikmati hasil-hasilnya. Hal ini sangat mendorong peningkatan
produksi dan kesejahteraan petani atau pemakai tanah10.
Sistem pemilikan tanah bangsa Indonesia tergolong unik dibanding bangsa
lain. Hak ulayat bukanlah sistem kepemilikan komunitas seperti diinginkan Plato
atau kaum Karl Marx. Sistem pemilikan ulayat tidak ada struktur kekuasaan
yang dapat dipandang sebagai pemegang hak atas tanah ulayat beserta
tumbuh-tumbuhah diatasnya. Rakyat sebagai anggota masyarakat hukum
(rechts gemeens chap) yang bersangkutan, pada dasarnya bebas
memanfaatkan hak ulayat sepanjang tidak bersentuhan dengan hak-hak sesama
anggota masyarakat hukum lainnya, misalnya tanah pernah dibuka
(dipergunakan) oleh anggota yang lain. Kalaupun ada semacam campur tangan
penguasa adat atau kepala desa, hal ini lebih bersifat pemberitahuan dari pada
sebagai pemilik. Yang lebih unik, pembukaan atau penggunaan hak ulayat
secara ilmiah, menumbuhkan hubungan pribadi antara tanah yang dibuka
(digunakan) dengan pembuka tanah yang dapat berproses sampai pada
pemilikan. Proses ini oleh Supomo disebut individualisering process dan oleh
Malinkrodt disebut sebagai vereconmisering process11.
Keunikan lain yaitu hubungan antara individu dengan tanah ditentukan oleh
intensitas hubungan individu yang bersangkutan baik dalam pemanfaatan
secara terus-menerus maupun dengan tanda-tanda tertentu yang
10
Aslan Noor, konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia, disertai PPS Unpad, Bandung Tahun
2003, Hlm. 36
11
Ibid
12
Aslan Noor, Op. Cit..Hal. III
13
Jhon Locke, Two Treases of Civil Gouvernmen,
14
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005, Hal. 151
15
Lord Acton mengatakan, bahwa manusia dalam menjalankan kekuasaannya cendrung bersalah guna
, apalagi dalam perbuatan yang benyak melibatkan negara dalam urusan pengadaan tanah untuk slan Noor, Op.
Cit, Hal...
16
Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah (Suatu Kumpulan Karangan), FH UI, Jakarta, 2002,
Hal. 96
17
Arie S. Hutagalung, Tbaran.., Op. Cit, Hal.107
(luput dari pendataan yuridis dan fisik) serta semena-mena dalam menetapkan
ganti rugi karena pemerintah atau pelaksana diberi kewenangan
spesial/istimewa dalam menjalankan tugasnya bahkan dapat mempergunakan
hak dikresi atau pencabutan hak jika terjadi pembangkangan.
Sesungguhnya, fungsi yang konkret dari penyelenggaraan pengadaan
tanah secara praktik adalah untuk memudahkan pelaksana (penguasa)
memperoleh tanah sesuai ketentuan prinsipil dan prosedural dari tata
perundang-undangan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Jadi, secara aksiologi bahwa dibalik kewenangan
pemerintah (penguasa/pelaksana) menyediakan tanah terkandung pula
kewajiban menyiapkan konsep teoritis serta pelaksanaan tentang :
1. ganti rugi yang layak dan berkeadilan terhadap pemegang hak yang terkena
areal pembangunan,
2. konsep dokumenen yang reasenal dan rasional (logic dan penuh rasa
tanggung jawab) pada tahap perencanaan, dan aspek koordinasi/konsultasi
publik yang didasari musyawarah mufakat sesuai RTRW/rencana
pembangunan/melibatkan tim pendamping yang indevenden/membuka ruang
privasi lembaga keberatan, yang semua ini akan menghasilkan penetapan
lokasi
3. mekanisme konsinyasi karena ada penolakan bagi pemegang hak yang
terkena areal pembangunan, yang merupakan tugas poko, fungsi dan
tanggung jawab pengadilan
4. keterlibatan sepenuhnya lembaga penilai (afraisal) dalam menetukan harga
tanah, bangunan dan tanaman
5. Audisi terhadap bekas pemegang hak pasca pelaksanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum
G. LEMBAGA PELAKSANA
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta
peraturan pelaksanaannya serta melihat dari peraturan-peraturan yang berlaku
sebelumnya, perlu kiranya kita memperbandingkan peran kelembagaan dalam
kurun waktu berlakunya Undang-Undang yang bersangkutan bila dikaitkan
dengan analisa hukumnya
I. DASAR HUKUM
Dasar hukum peraturan tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan U mum dan Peraturan Pelaksanaannya yaitu:
1. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012;
2. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014;
3. Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014;
4. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015;
5. Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015;
6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012;
7. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 6 Tahun 2015;
8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 22 Tahun 2015;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2012;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013
BAB III
PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH
BERDASARKAN UU 2/2012 DAN
PERATURAN PELAKSANANYA
Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur
secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan pelaksananya, mulai dari tahapan
perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan
hasil berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71
Tahun 2012 sebagai berikut.
A. TAHAP PERENCANAAN
Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan pada:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
2. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
o Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
o Rencana Strategis; dan
o Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
B. TAHAP PERSIAPAN
Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim Persiapan dalam
waktu paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan:
1. Bupati/Walikota,
2. SKPD Provinsi terkait,
3. instansi yang memerlukan tanah, dan
4. instansi terkait lainnya.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur
membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di
Sekretariat Daerah Provinsi. Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut:
a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani Ketua Tim Persiapan
dan diberitahukan kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan,
paling lama 20 hari kerja setelah Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah
diterima resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dapat dilakukan secara
langsung melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau surat pemberitahuan, atau
melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui media cetak maupun
media elektronik.
b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan
Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan
data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah bersama aparat
kelurahan/desa paling lama 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana
pembangunan. Hasil pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara
lokasi rencana pembangunan yang ditandatangani Ketua Tim Persiapan
sebagai bahan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan.
c. Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan
C. TAHAP PELAKSANAAN
Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum,
instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah
kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan Lokasi
Pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah
diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
(dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya
manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan), dengan
susunan keanggotaan berunsurkan paling kurang:
1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor
Wilayah BPN;
2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi Pengadaan Tanah;
3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah.
BAB IV
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
UU 2/2012
A. KEKURANGAN UU 2/2012
Dalam perjalanannya, pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
menemui hambatan dimana terdapat permohonan judicial review dari Koalisi
Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang berpendapat
bahwa substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 belum berpihak kepada
kepentingan rakyat. Hal tersebut terkait definisi tentang ‘pembangunan untuk
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang
menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana
diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 di atas, menunjukkan represifnya Undang-
Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada
Diatasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam
diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal
2 Undang-Undang ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum
harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan asas-
asas lain. Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 point b Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan
penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai antara lain meliputi ruang
atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang dimaksud ‘ruang atas
tanah dan bawah tanah’ pada pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam
Undang-Undang ini maupun peraturan pelaksananya. Hal ini menjadi kabur
apabila dihubungkan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, perlu kejelasan yang dimaksud serta batasan
ruang atas tanah dan bawah tanah. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan atas ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau sering disingkat UUPA)
dimana menyebutkan bahwa hak atas tanah meliputi permukaan bumi, ruang
atasnya dan bawahnya sekedar diperlukan yang berkaitan dengan permukaan
tanahnya. Namun, dalam UUPA tersebut belum menjelaskan mengenai definisi
dan batasan ruang atas tanah dan bawah tanah. Represifnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 juga terlihat pada Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) yang
menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan
atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum
dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. Kalimat “tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari“ ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang
berlangsung di Indonesia, dalam hal ini Pasal 19 ayat (2) UUPA sebagai berikut:
Pasal 19 UUPA:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak
sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian
yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa
Sertifikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat
diganggu gugat. Seperti halnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah mengatur
batasan waktu untuk tiap tahap pengadaan tanah. Namun, masih terdapat
kekurangan dalam peraturan ini dimana belum diatur sanksi dalam hal batas
waktu untuk setiap tahapan terlampaui.
B. KELEBIHAN UU 2/2012
Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya, tidak
dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari peraturan
sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Sebagai contoh, ketentuan
Pasal 35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena
Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan
peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta
penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah
muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka
mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi
pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya
kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini
untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah
muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya. Selain itu, dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012
telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas
dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan,
sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak yang
berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi
waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres
Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi
waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan
umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen
perencanaan pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana
pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW),
letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan
perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang
melingkupi wilayah dimana letak tanah berada. Lebih lanjut, peraturan ini juga
menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan
lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak
untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan.
Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah
berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur
minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
BAB V
STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT
JENDERAL PENGADAAN TANAH
BAGAN ORGANISASI
DIREKTORAT JENDERAL PENGADAAN TANAH
DIREKTORAT JENDERAL
PENGADAAN TANAH
SEKRETARIAT
DIREKTORAT
JENDERAL
DIREKTORAT
DIREKTORAT
PEMBINAAN
PEMANFAATAN DIREKTORAT
PENGADAAN DAN
TANAH PENILAIAN TANAH
PENETAPAN TANAH
PEMERINTAH
PEMERINTAH
BAB VI
PENUTUP
Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah
yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status
hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur
Pasal 2 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Disamping itu, hal
terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan: ”setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal
28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah
baik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif
untuk kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati hak
perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual merupakan
sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya kepada warga
negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah merupakan
persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah
diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Pembebasan Hak Atas Tanah.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta peraturan
pelaksananya ditetapkan untuk menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan
pembangunan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil
sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua, keempat dan kelima Pancasila.
Pancasila dijadikan sebagai dasar filosofi penyusunan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 ini sebagaimana halnya dengan penyusunan UUPA. Lahirnya peraturan
ini juga dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan mendasar dalam proses
1. Tahap Perencanaan
PERENCANAAN
Berdasarkan
· Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
· Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan/atau
· Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rencana Tata Ruang Wilayah
· Rencana Pembangunan Jangka
Menengah
· Rencana Strategis
· Survey sosial ekonomi Prioritas Pembangunan · Rencana Kerja Pemerintah
· Kelayakan lokasi Instantansi yang memerlukan
· Analisis dan biaya manfaaat bangunan
· Perrkiraan nilai tanah
· Dampak lingkungan dan dampak sosial Studi Kelayakan
· Studi yang diperlukan
2. Tahap Persiapan
PERSIAPAN
Gubernur
· Bupati/Walikota
Membentuk Tim Persiapan · Satuan Kerja Provinsi
beranggotakan
<10 hari · Instansi yang memerlukan tanah
· Instansi terkait lainnya
Bertugas :
· Melaksanakan rencana pembangunan
· Melakukan pendataan awal lokasi
· Melaksanakan konsultasi publik
· Menyiapkan penetepan lokasi
· Mengumumkan Penetapan lokasi
pembangunan
· Melaksanakan tugas lain terkait pengadaan
tanah
Secara Tidak
Secara Langsung
Langsung
Sosialisasi dan tatap muka : Surat pemberitahuan : Media Cetak Media elektonik
· Undangan melalui lurah/kepala · Disampaikan kepada masyarakat · Melalui surat kabar harian lokal Melalui (website) Pemerintah
desa < 3 hari sebelum · Melalui lurah/kepala desa atau dan nasional Provinsi, kab/kota, atau Instansi
pertemuan nama lain · Penerbitan mininimal 1 hari kerja yang memerlukan tanah
· Notulenesi di tandatangani ketua · < 20 sejak dokumen
Tim Persiapan/Pejabat yang perencanaan diterima Gubernur.
ditunjuk.
Pendataan Awal
Pendataan Awal
Pihak yang berhak berupa :
· Perseorangan, Dilaksanakan oleh tim persiapan
· Badan hukum,
· Badan sosial, Dokumen perencanaan
· Badan keagamaan, pengadaan tanah
· atau instansi pemerintah
Konsultasi Publik
Jangka waktu <60 hari kerja setelah ditantangani daftar lokasi
sementara, melalui
Undangan dan Pengumuman
Penanganan keberatan
Sekda Provinsi/Pejabat yang ditunjuk (Ketua) oleh Gubernur.
Ya Masyarkat · Kepala BPN (sekretaris dan anggota) Membentuk
· Instansi yang menangani perencanaan
sepakat Tim Kajian Keberatan
pembangunan daerah (anggota) < 14 hari
Berita acara
kesepakatan Tdk · Kepala Kantor wilayah KEMENHUMHAM
(anggota)
· Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk Tim Kajian Keberatan
(anggota)
Konsultasi Publik Ulang · Akademisi (anggota)
<30 hari dari berita acara
kesepakatan
Menginventasasi masalah yang
menjadi keberatan
Gubernur
Berdasarkan atau
Masyarkat Melakukan pertemuan/
Ya 1. RTRW didelegasikan
sepakat klairifikasi
2. Prioritas Pembangunan : bupati/
· RPJM walikota
· RENSTRA Membuat rekomendasi
Berita acara kesepakatan Tdk · Rencana Kerja Pemerintah Instansi
Dalam Konsultasi Publik Ulang
Rekomendasi
Tim Kajian
Instansi yang memerlukan tanah
melaporkan ke Gubernur melalui A
Tim Persiapan
Gubernur menerima
Tdk keberatan
Ya
Gambar 5 Bagan Alur Tahapan Persiapan (Konsultasi Publik dan Konsultasi Publik Ulang)
Penetepan Lokasi
Perpanjangan Penetapan Lokasi
Pembangunan
PELAKSANAAN
3. Tahap Pelaksanaan
PELAKSANAAN
Penyiapan Pelaksanaan
Penyiapan pelaksanaan, melakukan
Membuat dokumen rencana kerja: · Agenda rapat pelaksanaan
· Rencana Pendanaan Pelaksanaan · Rencana kerja dan jadwal kegiatan
· Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan · Menyiapkan pembentukan Satuan Tugas
· Rencana kebutuhan bahan dan peralatan · Perkiraan kendala teknis
pelaksanaan · Rumusan strategi dan solusi terhadap hambatan dan
· Inventasrisasi dan alternatif solusi faktor-faktor kendalanya
penghambat dalam pekaksanaan · Langkah kordinasi ke dalam maupun ke luar
· Sistem monitoring pelaksanaan · Administrasi yang diperlukan
· Pengajuan anggran operasional
· Menetapkan penilai
· Membuat dokumen rapat
Penyiapan Pelaksanaan
Penyiapan Pelaksanaan
Penilaian meliputi:
· Tanah Pelaksanaan Pengadaan
· Ruang atas dan bawah tanah Penilai
· Bangunan <30 hari kerja
· Tanaman
· Benda yang berkaitan dengan
tanah
· Kerugian lain yang dapat dinilai
Penilaian Ganti Kerugian
Dari ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, <30 hari kerja
memberikan :
· peta bidang tanah; · Berita acara penyerahan hasil
· daftar nominatif; dan penilaian
· dan data yang diperlukan · Besaarnya nilai nanti kerugian
Besarnya nilai ganti rugi setiap bidang tanah dijadikan
disampaikan kepada Ketua dasar musyawarah untuk
Hasil Inventaris dan Indentifikasi Pelaksana Pengadaan Tanah menetapkan ganti rugi
Musyawarah
Gambar 10 Bagan Alur Tahapan Pelaksanaan (Penetapan Penilai Dan Besarnya Nilai Ganti
Kerugian )
Musyawarah
<30 hari sejak hasil penilaian dari
Penilai diertima Ketua Pelaksanaan
· Berita acara penyerahan hasil Pengadaan Tanah
penilaian
· Besaarnya nilai nanti kerugian
setiap bidang tanah dijadikan
dasar musyawarah untuk Pelaksana Pengadaan Tanah
menetapkan ganti rugi
Undangan
<5 hari kerja sebelum waktu
musyawarah
Berita acara kesepakatan :
· Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya
· Pelaksana Pengadaan Tanah Musyawarah menetapkan bentuk · Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang tidak setuju
ganti rugi serta menyampaikan · Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak memberikan
· Pihak yang Berhak besarnya ganti kerugian
· Intansi yang memerlukan tanah <30 hari kerja
kuasa.
Pemberian Ganti
Rugi Pelepasan Hak
Gambar 11 Bagan Alur Tahapan Pelaksanaan (Musyawarah, Proses Beracara di Pengadilan Negeri
Dan Mahkamah Agung)
Berita acara:
· Daftar Pihak yang berhak penerima ganti rugi
· Bentuk dan besarnya ganti rugi kerugian yang telah diberikan
Pemberian · Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi
Ganti Rugi · Berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan
tanah
Penitipan Ganti Kerugian Instansi yang memerlukan tanah menitipkan ganti kerugian
Penyerarah bukti
penguasaan atau Disertai surat pengantar dari
kepemilikan objek kepada Pengambilan ganti ketua pelaksana pengadaan
ketua pelaksanaan kerugian oleh pihak yang tanah
pengadaan tanah berhak
Pelaksanaan Pengadaan Tanah melakukan : Penerima Ganti Rugi atau kuasanya wajib:
· Menyiapkan surat pernyataan pelepasan/penyerahan · Menadatangani surat pernyataan pelepasan/
hak atas tanah penyerahan hak atas tanah
· Menartik bukti penguasaan atau kepemilikan objek · Menandatangani berita acara Pelapesan hak
Pengadaan Tanah dari Pihak yang terkait · Menyerahkan bukti-bukti penguasaan atau
· Memberikan tanda terima pelepasan kepemilikan objek
· Mebubuhi tanggal, paraf, dan cap pada sertifikat dan · Menyerahkan salinan/fotocopy identitas kuasanya
buku tanah bukti kepemilikan yang sudah dilepaskan
kepada negara
Pemutusan hubungan hukum pada tanah yang ganti Pemutusan hubungan hukum antara pihak yang
kerugiannya dititipkan di pengadilan karena : berhak dengan objek pengadaan tanah terhadap aset
· Sedang berpekara di pengadilan Pemerintah/Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik
· Masih dipersengkatakan pemiliknya Negara/Badan Usaha Milik Daerah/Kas Desa
· Objek sitaan dari pihak berwenang berlaku
· Menjadi jaminan bank
> 60 hari sejak ditetapkannya penetapan lokasi
Pendokumentasian
peta bidang, daftar normatif, dan data
adminstrasi pengadaan tanah
PENYERAHAN HASIL
PENYERAHAN HASIL
Dokumentasi:
· Peta bidang tanah
· Daftar nominatif Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
· Data administrasi Membuat dokumentasi menjadi 2(dua) rangkap
Berita acara
Pelaksanaan Pembangunan
DAFTAR PUSTAKA