KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan dalam menyelesaikan Modul Reforma Agraria. Modul ini disusun
sebagai penunjang kegiatan diklat agar peserta diklat dapat mempelajari dan
memahami materi-materi yang diberikan.
Pada kesempatan ini pula, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat dalam penyusunan modul ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas semua kebaikan dan jerih payah Saudara-saudara sekalian.
Semoga modul ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca, khususnya peserta diklat. Akhir kata dengan segala kerendahan
hati, tim penyusun mengharapkan masukan dan kritikan demi perbaikan
penyusunan modul di masa akan datang.
Terima kasih.
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
B. DESKRIPSI SINGKAT .................................................................................................. 2
C. MANFAAT MODUL BAGI PESERTA ........................................................................... 3
D. TUJUAN PEMBELAJARAN .......................................................................................... 3
E. MATERI POKOK DAN SUB POKOK BAHASAN ......................................................... 3
BAB II PENGERTIAN, TUJUAN DAN SEJARAH LANDREFORM................................................. 5
A. PENGERTIAN LANDREFORM .................................................................................... 5
B. TUJUAN LANDREFORM ............................................................................................. 6
C. SEJARAH PERKEMBANGAN DI INDONESIA .......................................................... 12
RANGKUMAN ...................................................................................................................... 22
TEST FORMATIF ................................................................................................................. 23
UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT ................................................................................ 24
BAB III DASAR HUKUM LANDERFORM ..................................................................................... 25
C. UNDANG- UNDANG .................................................................................................. 25
D. PERATURAN PELAKSANAAN .................................................................................. 26
E. KEPUTUSAN PRESIDEN .......................................................................................... 27
F. PERATURAN PELAKSANAAN LAINNYA ................................................................. 27
RANGKUMAN ...................................................................................................................... 28
TEST FORMATIF ................................................................................................................. 29
UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT ................................................................................ 30
BAB IV RUANG LINGKUP LANDREFORM .................................................................................. 32
A. PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR ....................................................... 32
B. PENETAPAN LUAS MAKSIMUM PENGUASAAN TANAH ....................................... 33
C. REDISTRIBUSI TANAH ............................................................................................. 35
D. PENGUASAAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE .................................. 37
E. GADAI TANAH PERTANIAN DAN TANAMAN KERAS ............................................. 39
F. BAGI HASIL TANAH PERTANIAN ............................................................................. 40
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Tanah sebagai sumber kehidupan, karena
disinilah setiap orang bertempat tinggal, bercocok tanam untuk memperoleh
bahan pangan, dan sebagai tempat peristirahatan yang terahir ketika dipanggil
sang pencipta. Tanah yang dulu dipandang dari sudut sosial, yang tercakup
dalam lingkungan hukum adat, Hak Ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat
dengan kaca mata ekonomi, sehingga tepat apabila Perserikatan Bangsa-
Bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut
isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah
pertanian di Indonesia telah menunjukkan bahwa penguasaan, penggunaan
dan pemilikan tanah masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam
masyarakat, dimana ada sekelompok kecil dari masyarakat memiliki atau
menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui batas sedangkan dipihak
lain sebagian kelompok dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah dalam
jumlah yang sangat terbatas, yaitu dibawah batas minimum pemilikan tanah
dan bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali,
terpaksalah hidup sebagai buruh tani yang senantiasa hidup dibawah garis
kemiskinan yang sifatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini juga sangatlah bertentangan dengan tujuan dari penerapan
Landreform yang d iimplamentasikan di Indonesia sejak tahun 1960, dimana
tujuan landreform di Indonesia dalam pidato Menteri Agraria Soedjarwo pada
tanggal 12 September 1960 adalah :
B. DESKRIPSI SINGKAT
Mata Diklat ini membekali peserta memahami penegasan tanah
negara menjadi obyek landreform yang merupakan rangkaian untuk proses
kegiatan landreform dalam hal ini sebelum dilaksanakan redistribusi tanah
melalui pembelajaran pengertian, tujuan ,sejarah, dasar-dasar hokum, ruang
lingkup landreform dan tanah objek landreform. Mata Diklat disajikan secara
interaktif melalui metode ceramah interaktif, tanya jawab, diskusi, dan
praktik.
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Hasil belajar
Setelah pembelajaran ini peserta mampu menjelaskan proses atau tahapan
dalam penegasan tanah negara menjadi tanah obyek landreform.
2. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat:
a. Menjelaskan pengertian, tujuan landreform dan sejarah perkembangan
landreform di Indonesia;
b. Menjelaskan dasar hukum pelaksanaan landreform;
c. Menjelaskan ruang lingkup landreform;
d. Menjelaskan tanah objek landreform.
c. Keputusan Presiden
d. Peraturan Pelaksanaan Lainnya
3. Ruang lingkup landreform
a. Penghapusan tanah partikelir;
b. Penetapan luas maksimum tanah pertanian;
c. Redistribusi tanah;
d. Penguasaan tanah pertanian secara absentee;
e. Gadai tanah pertanian tanaman keras;
f. Bagi hasil pertanian;
g. Luas minimum pemilikan tanah pertanian;
h. Pemecahan pemilikan tanah pertanian.
5. Tanah Objek Landreform
a. Tanah kelebihan maksimum;
b. Tanah absentee;
c. Tanah Swapraja/ bekas swapraja
d. Tanah-tanah lainnya yang dikuasai Negara
.
BAB II
PENGERTIAN, TUJUAN DAN
SEJARAH LANDREFORM
Indikator Keberhasilan : Setelah membaca modul ini diharapkan dapat menjelaskan pengertian,
tujuan dan sejarah landreform
A. PENGERTIAN LANDREFORM
Sebelum kita mempelajari Proses Penegasan Tanah Obyek
Landreform ada baik kita mengetahui terlebih dahulu secara singkat
Pengertian Landreform, tujuan landreform dan latar belakang pelaksanaan
landreform.
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri
dari kata “ Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform
artinya perubahan dasar atau merubahan untuk
membentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian. Jadi Landreform
adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan struktur
pertanian lama menuju struktur pertanian baru.
1. Pengertian Landreform di Indonesia dibagi atas dua bagian yaitu :
a. Landreform dalam arti luas, yang terkenal dengan istilah Agrarian
Reform/Panca Program, terdiri dari :
1) Pembaharuan hukum Agraria.
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah.
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perobakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta
hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan
tanah.
B. TUJUAN LANDREFORM
Tujuan diadakannya program landreform dapat diklasifikasikan
terjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus.
1. Secara Umum:
Tujuan Landreform adalah untuk mempertinggi tarap hidup dan
penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi
menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Secara Khusus:
Dengan berdasarkan pada tujuan secara umum di atas, maka
Landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek
sekaligus, yaitu :
a. Tujuan Sosial Ekonomi:
1) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat
hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik.
2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan Sosial Politik :
1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah
yang luas.
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada
pembagian hasil yang adil pula.
c. Tujuan Mental Psikologis:
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi pada petani penggarap dengan
jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya. (Departemen Penerangan R.I., 1982 :42)
Atas dasar tujuan itu maka sasaran yang akan dicapai adalah
memberikan pengayoman kepada para petani penggarap dalam usaha
memberikan kepastian hukum dankepastian hak dengan cara memberikan hak
milik atas tanah yang telah digarapnya. Sebagai pengakuan adanya hak milik
perseorangan atas tanah, maka kepada pemilik yang tanahnya diambil oleh
pemerintah diberikan ganti kerugian menurut ketentuan yang berlaku.
pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan
cita-cita persatuan bangsa.
menyatakan bahwa semua tanah hutan dan tanah yang tidak dimiliki adalah
tanah milik negara.
Dengan proklamasi 1945, elit-elit politik mendorong pengelola hutan
Indonesia untuk menemukan cara-cara baru pengaturan hutan untuk
menjalankan prinsip-prinsip UUD 1945 terutama Pasal 33 ayat 3.
Pada tahun 1964 Partai Komunis Indonesia dan masa organiasai besarnya
melancarkan aksi sepihak untuk mengambil alih dan menduduki tanah-tanah
yamg dianggap akan diredistribusikan kepada para petani. Mereka
menyatakan bahwa penerapan ini berjalan lambat, karena tuan tanah yang
sebagian berafiliasai dengan partai Islam dan Nasionalias menghalangi
penerapan aturan tersebut.
mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap
untuk mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan
laha ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat. Dalam konteks
otonomi daerah, di mana pemerintah daerah semakin diperkuat, namun
aspeklandreform secara umum masih menjadi kewenangan pusat. Lebih
ironisnya, pemerintah lokal yang lebih berpihak kepada investor swasta,
cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka. Kebijakan
landreformjelas bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk meraih
investor, retribusi, dan pendapatan daerah.
Selain itu, rezim ini mengganti PP No. 10 Tahun 1961 menjadi PP No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak
merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional
lainnya di Indonesia. Berbeda dengan Orde Lama yang bertujuan untuk
kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum
Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini untuk kepastian hukum dari
pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika didalam UUPA dan PP No.10 Tahun 1961
lebih mendasarkan pada pendaftran tanah dengan stelsel negatif, yaitu apa
saja yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran
akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang
terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Namun dalam
prakteknya pelaksanaannya kurang berhasil. Hal itu disebabkan oleh:
a. Kondisi politik saat Orde Baru kurang stabil
b. Pembangunan pertanian Revolusi Hijau tanpa landreform, tanpa disadari
telah meminggirkan petani kecil
c. Adanya penegasan stratifikasi
RANGKUMAN
1. Kata Landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “Land” dan
“Reform”. Land berarti tanah, sedangkan Reform berarti perubahan dasar atau
merubahan untuk membentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian.
Dengan demikian Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama
menuju struktur pertanian baru
2. Landreform dalam arti luas, yang terkenal dengan istilah Agrarian Reform/Panca
Program, terdiri dari :
- Pembaharuan hukum Agraria.
- Penghapusan hak-hak asing dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah
- Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
- Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.
- Perencanaan, persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara
berencana sesuai dengan daya dan kesanggupan serta kemampuannya.
3. Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai pemilikan
dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan
dengan pengusahaan tanah.
4. Ciri pokok pelaksanaan landreform di Indonesia adalah sebagai berkut :
a. Tidak menghapus hak milik perseorangan atas tanah bahkan secara kualitatif
menambah jumlah pemilik tanah.
b. Adanya suatu jaminan pembayaran ganti rugi (kompensasi) bagi bekas
pemilik tanah-tanah pertanian kelebihan batas maksimum dan absentee yang
dikuasai oleh pemerintah.
TEST FORMATIF
5. Pasal di dalam UUPA yang terkait dengan luas maksimum dan minimum tanah
adalah :
a. Pasal 16
b. Pasal 15
c. Pasal 17
d. Pasal 8
BAB III
DASAR HUKUM LANDERFORM
C. UNDANG- UNDANG
Dalam pelaksanaan penegasan tanah objek landreform landasan
hukum penegasan tanah obyek landreform adalah sebagai berikut, yaitu :
1. Undang-Undang No.56 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960
No.174, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2117) .Undang-Undang ini
pada mulanya dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang, maka dengan undangundang No.1 Tahun 1961 telah
disahkan menjadi undang-undang.mengatur tentang Penetapan luas tanah
pertanian;
2. Undang-undang No.5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 104) tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Apabila kita
teliti ketentuan tersebut maka kita akan menemukan peberapa pasal
yang berkenaan dengan pelaksanaan landreform, yaitu:
a. Pasal 7 yang menentukan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan
umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas
tidak diperkenankan.
b. Pasal 10 ayat (1) yang menentukan bahwa setiap orang dan badan
hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara
aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
c. Pasal 13 ayat (2) yang menentukan bahwa pemerintah mencegah adanya
usahausaha dalam lapangan agraria dan organisasi-organisasi,
perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
D. PERATURAN PELAKSANAAN
Sebagai aturan pelaksana dari prinsip-prinsip Landreform yang
digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 antara lain adalah :
1. Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun
1961 No.280, Tambahan Lembaran Negara No.2322) Pelaksanaan
pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian;
2. Peranturan Pemerintah No.41 Tahun 1964, (Lembaran Negara Tahun
1964 No.112) Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No.224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian;.
3. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1977 (Lembaran Negara Tahun 1977
No.5) Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai(Absentee) bagi Para
Pensiun Pegawai Negeri;
E. KEPUTUSAN PRESIDEN
RANGKUMAN
TEST FORMATIF
5. Pasal di dalam UUPA yang terkait dengan luas maksimum dan minimum tanah
adalah :
a. Pasal 16
b. Pasal 15
c. Pasal 17
d. Pasal 8
anda terhadap materi pada bagian modul/ kegiatan belajar ini maka skor nilai anda
harus mencapai ≥ 75 %. Apabila skor nilai anda tidak/belum mencapai standar
ketentuan tersebut, maka anda sangat diharapkan untuk mempelajari kembali materi
pada modul/kegiatan belajar ini. Untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi modul/kegiatan belajar ini maka gunakan rumus berikut :
Nilai = Jawaban benar x 100 %
Jumlah soal
BAB IV
RUANG LINGKUP LANDREFORM
Para tuan tanah tidak saja berhak atas tanah partikelir, melainkan juga
dianggap menguasai orang-orang yang berada di wilayah tanahnya. Oleh
karena itu, penduduk pribumi menjadi menderita berada di tanah partikelir.
Mereka dikenakan bermacam kewajiban, seperti pajak hasil panen, uang sewa
rumah, juga penduduk diwajibkan bekerja rodi pada tanah partikelir. Dengan
demikian, tinggal di tanah partikelir seperti berada di tanah asing yang harus
disewanya. Padahal mereka sebagai pemilik tanah sebenarnya dan tidak
mengetahui adanya perpindahan tangan dalam hal kepemilikan tanah.
Penduduk pribumi akhirnya menjadi budak-budak para tuan tanah dan
sebaliknya para tuan tanah dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam di
Indonesia.
Dalam hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga akhir tahun
1956 dapat membeli kembali 25 tanah partikelir yang luasnya berjumlah 11.759
ha. Pada tahun 1958 diundangkan mengenai penghapusan tanah-tanah partikel
yakni UU No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
Dalam pasal 3 undang-undang tersebut ditentukan, bahwa sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya
atas semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus dan tanah-tanah bekas
tanah partikelir itu seluruhnya serentak menjadi tanah Negara, karena dalam
ketatanegaraan yang modern hak-hak pertuanan itu tidak boleh tidak haruslah
hanya ada pada Pemerintah (Negara).
sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut
taksiran 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah. Mereka itu menjadi
buruh tani atau penggarap tanah kepunyaan orang lain (penyewa, pembagi
hasil).
Yang dilarang oleh pasal 7 itu bukan hanya pemilikan tanah yang
melampaui batas, tetapi penguasaan tanah. Penguasaan itu selain dengan Hak
Milik dapat dilakukan juga dengan Hak Gadai, sewa (jual tahunan), usaha bagi
hasil dan lain-lainnya. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 17 UUPA No.
5 Tahun 1960, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) No. 56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960
dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1961. Perppu tersebut kemudian
ditetapkan menjadi Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960. UU No.
56/Prp/1960 terkenal sebagai Undang-undang Landreform.
Ada 3 hal yang diatur dalam UU No. 56 tersebut:
a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-
tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil serta soal
pengembalian.
c. Penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
C. REDISTRIBUSI TANAH
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo No. 41 Tahun 1964.
Kedua Peraturan Pemerintah ini memuat peraturan tentang tanah yang akan
dibagikan (diredistribusikan). Ternyata tanah yang dibagikan itu tidak terbatas
pada tanah kelebihan dari batas maksimal yang diambil oleh Pemerintah, tetapi
juga tanah yang diambil oleh Pemerintah karena pemiliknya absentee, tanah
swapraja dan bekas swapraja, serta tanah lain yang dikuasai langsung oleh
negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, misalnya tanah-
tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah bekas tanah partikelir. Kedua
Peraturan Pemerintah dimaksud di atas memuat pula peraturan tentang
pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik, pembagian tanah dan syarat-
syaratnya. Selain dari redistribusi, kedua Peraturan Pemerintah itu memuat
pula:
a. Pembentukan Yayasan Dana Landreform
b. Perlunya dibentuknya Koperasi Pertanian
c. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee
d. tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, yaitu:
1) Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, yaitu:
a) Yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor
S.K.30/Ka/1962 tentang Penegasan Tanah-tanah Yang Akan Dibagikan
Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 Huruf D Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961:
(1) Bagian-bagian dari tanah partikelir/eigendom yang terkena UU No. 1
Tahun 1958 :
(a) Yang merupakan tanah pertanian;
(b) Yang tidak diberikan kembali kepada bekas pemilik sebagai
ganti rugi; dan
(c) Yang tidak dapat diberikan dengan hak milik berdasarkan Pasal
5 UU Nomor 1 Tahun 1958.
(2) Tanah bekas hak erfpacht/guna usaha:
(a) Yang merupakan tanah pertanian; dan
(b) Yang sekarang sudah dikuasai langsung oleh negara.
b) Yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan
Penegasan Tanah Negara Menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan
Tanah/Landreform:
(1) Tanah negara bebas.
(2) Tanah bekas erfpacht.
(3) Tanah bekas HGU yang telah berakhir jangka waktunya dan tidak
diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan oleh
pemerintah.
(4) Tanah kehutanan yang telah digarap/dikerjakan oleh rakyat dan
telah dilepaskan haknya oleh instansi yang bersangkutan.
(5) Tanah bekas gogolan.
(6) Tanah bekas hak adat/ulayat.
yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang
empunya. Perubahan tersebut pada pokoknya melarang pemilikan tanah
pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya. Larangan itu tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang
bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut
pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II masih memungkinkannya
untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.
Dikecualikan dari larangan absentee ialah:
a. Mereka yang menjalankan tugas negara
b. Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
c. Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri
agraria
Bagi pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan
dengan mereka, yang sedang menjalankan tugas negara, pengecualian tersebut
terbatas pada pemilikan tanah pertanian secara absentee seluas 2/5 dari luas
maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Di daerah yang
sangat padat, misalnya batas itu adalah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam
pengecualian itu termasuk pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih
menjadi tanggungannya. Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri itu yang
dipersamakan dengan mereka itu berhenti dari menjalankan tugas negara,
misalnya pensiun, maka ia wajib memenuhi ketentuan tersebut di atas di dalam
waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya. Jangka waktu itu dapat
diperpanjang oleh Menteri Agraria jika ada “alasan yang wajar”.
Apakah tanah absentee itu boleh dialihkan/dihibahkan kepada
pegawai negeri yang tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang
bersangkutan? Tidak boleh, karena kemungkinan bagi seorang pegawai negeri
(termasuk istri dan anaknya) untuk memiliki tanah pertanian secara absentee itu
pada azasnya hanya terbatas pada pemilikan tanah yang sudah ada pada
tanggal 24 September 1961. Dalam pasal 3d dalam PP No. 41 Tahun 1964
bahkan ditegaskan bahwa semua bentuk pemindahan hak atas tanah pertanian
yang mengakibatkan penerima hak memiliki tanah secara absentee dilarang.
Tetapi biarpun demikian, mengingat ketentuan dalam UUPA para
pegawai negeri boleh memperoleh dan mempunyai tanah pertanian guna
persediaan hari tuanya. Menteri Agraria tidak berkeberatan untuk mengikut
tafsiran bahwa sebagai pengecualian dan dalam batas-batas tertentu pula
pemberian hibah kepada pegawai negeri yang absentee dapat juga
dimungkinkan, tetapi (jumlah) tanah pertanian yang dimilikinya secara absentee
tetap tidak boleh melebihi 2/5 luas maksimum untuk daerah yang bersangkutan.
Sepanjang yang mengenai tanah pertanian hal itu diatur sekaligus dalam UU
No. 56/Prp/1960, karena mungkin ada hubungannya langsung dengan
pelaksanaan ketentuan mengenai luas maksimum.
RANGKUMAN
1. Ruang lingkup landreform terdiri dari : redistribusi tanah, larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee, pengaturan kembali gadai tanah pertanian dan
tanaman keras, perjanjian bagi hasil tanah pertanian, penetapan luas minimum
pemilikan tanah pertanian, dan larangan pemecahan pemilikan tanah pertanian;
2. Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan
orang-orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa
kepada Belanda.
3. Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria pasal 7 dan pasal 17 mengatur tentang Pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas, merugikan kepentingan umum karena terbatasnya
persediaan tanah pertanian khususnya di daerah-daerah yang padat
penduduknya, peraturan pelaksanaannya di atur dalam Undang-undang No. 56
TEST FORMATIF
1. Ruang lingkup landreform terdiri :
a. Redistribusi tanah, larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee,
pengaturan kembali gadai tanah pertanian dan tanaman keras Tanah
kawasan hutan
b. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian, penetapan luas minimum pemilikan
tanah pertanian, dan larangan pemecahan pemilikan tanah pertanian.
c. Redistribusi tanah, larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee,
pengaturan kembali gadai tanah pertanian dan tanaman keras, perjanjian bagi
hasil tanah pertanian, penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian,
dan larangan pemecahan pemilikan tanah pertanian.
d. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee, pengaturan kembali
gadai tanah pertanian dan tanaman keras, perjanjian bagi hasil tanah
pertanian, penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian
3. Luas minimum pemilikan tanah pertanian untuk sawah , tanah kering, atau
sawah dan tanah kering adalah
a. 15 hektar
b. 2 hektar
c. 20 hektar
d. 10 hektar
b. Perjanjian jual beli yang diadakan atas tanah pertanian yang diusahakan
c. Perjanjian penggarapan antara pemilik tanah dengan penggarap
d. Perjanjian seswa menyewa tanah untuk digarap
BAB V
TANAH OBJEK LANDREFORM
Indikator Keberhasilan : Setelah membaca modul ini diharapkan dapat menjelaskan tanah
kelebihan maksimum,tanah absentee, Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja dan Tanah-tanah
lainnya yang dikuasai oleh negara
Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering,
maka untuk menghitung luas maksimum tersebut luas sawah dijumlah dengan
luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan tanah sawah
ditambah 30 % di daerah-daerah yang tidak padat, dan 20 % di daerah-daerah
yang padat dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya
tidak boleh melebihi dari 20 hektar.
Pengecualian terhadap ketentuan batas maksimum pemilikan atau
penguasaan tanah pertanian adalah sebagai berikut :
a. Tanah pertanian yang dikuasai dengan Hak Guna Usaha.
b. Tanah pertanian yang dikuasai dengan hak-hak sementara, terbatas pada
yang didapatkan dari pemerintah, misalnya hak pakai.
c. Tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh badan-badan hukum.
Tanah selebihnya dari batas maksimum yang dipunyai oleh satu keluarga
dikuasai oleh pemerintah dan diredistribusikan kepada mereka yang memenuhi
syarat ketentuan Pasal 8 dan 9 Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961,
dengan harapan untuk mendorong kenaikan hasil produksi pertanian, karena
akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang
bersangkutan yang telah menjadi miliknya, dan kepada bekas pemiliknya
diberikan ganti rugi.
B. TANAH ABSENTEE
Tanah absentee adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal
diluar kecamatan letak tanahnya.Pemilikan yang demikian itu disamping
pengusahaan tanah yang tidak ekonomis juga menimbulkan sistem
penghisapan.Larangan tersebut berkaitan dengan berlakunya azas tanah
pertanian harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Hal ini
merupakan pelaksanaan dari azas yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-
undang No.5 Tahun 1960, baEwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjgkan
atau mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif. Pengertian mengerjakan
sendiri secara aktif adalah mereka yang memiliki atau menguasai tanah
pertanian tidak harus mengerjakan ataau mengusahakan dengan tenaganya
sendiri, melainkan dapat meminta bantuan kepada buruh tani dengan memberi
upah yang layak atau menggunakan sarana produksi lain.
Pemilik tanah absentee diwajibkan dalam waktu 6 bulan sejak tanggal 24
September 1961 mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang
RANGKUMAN
1. Tanah kelebihan maksimum adalah tanah-tanah selebihnya dari batas
ketentuan peraturan perundang-undangan yang boleh dimiliki oleh keluarga.
2. Penetapan maksimum luas tanah pertanian bagi perorangan bertujuan :
a. Terwujudnya keadilan dan pemerataan penguasaan dan pemilikan
tanah.
b. Mencegah terjadinya pemusatan dan pemilikan tanah serta mencegah
terjadinya spekulasi.
c. Tercapainya efesiensi dan optimalisasi pemanfaatan tanah guna
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat banyak
terutama golongan ekonomi lemah.
3. Tanah absentee adalah tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal
diluar kecamatan letak tanahnya. Pemilik tanah absentee diwajibkan dalam
waktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1961 mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal ditempat letak tanahnya
atau ia sendiri harus pindah ke kecamatan dimana tanahnya terletak.
4. Tanah Swapraja dan bekas Swapraja adalah tanah domein Swapraja dan
bekas swapraja yang dimiliki oleh kerajaan dan bukan milik pribadi dari raja
yang bersifat feodal
5. Tanah-tanah lainnya yang dikuasai oleh negara adalah tanah yang dikuasai
langsung oleh negara karena telah habis waktu atau dibatalkan haknya
TEST FORMATIF
c. Letak tanah hendaknya yang masih memiliki tingkat kesuburan tanah yang
tinggi
d. Letak tanah hendaknya memiliki bagian yang akan dikonservasi
BAB VI
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA