Anda di halaman 1dari 33

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit

Ketika melakukan review dokumen AMDAL beberapa rumah sakit, ternyata masih banyak konsultan atau
pemrakarsa kegiatan yang masih mempergunakan Dasar Hukum Kesehatan Lingkungan rumah sakit dengan
Peraturan Nomor 986/Menkes/Per/IX/92. Sebagaimana kita ketahui bahwa Keputusan tersebut telah
diperbaharui dengan Kepmenkes Nomor 1024/Menkes/SK/X/2004 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Sebagaimana tercantum dalam Keputusan tersebut, bahwa dengan berlakunya Keputusan Menteri ini maka
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 986 Tahun 1992 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
dan peraturan pelaksanaannya dicabut dan tidak berlaku lagi.

Sebagai bahan sharing, berikut kami informasikan beberapa isi Kepmenkes dimaksud sebagai berikut :
Bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang
sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan
dan gangguan kesehatan. Terdapat 3 (Tiga) buah lampiran yang disertakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor : 1204/Menkes/SK/X/2004 Tanggal : 19 Oktober 2004 tersebut, yaitu :

1. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit


2. Kualifikasi Tenaga Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
3. Penilaian Pemeriksaan Kesehatan Lingkungan (Inspeksi Sanitasi) Rumah Sakit

I. Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit


A. Penyehatan Ruang Bangunan dan Halaman Rumah Sakit
Ruang bangunan dan halaman rumah sakit adalah semua ruang/unit dan halaman yang ada di dalam batas
pagar rumah sakit (bangunan fisik dan kelengkapannya) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan
kegiatan rumah sakit.
B. Penyehatan Hygiene Dan Sanitasi Makanan Minuman
Makanan dan minuman di rumah sakit adalah semua makanan dan minuman yang disajikan dan dapur rumah
sakit untuk pasien dan karyawan; makanan dan minuman yang dijual didalam lingkungan rumah sakit atau
dibawa dari luar rumah sakit.
C. Penyehatan Air
Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum.
D. Pengelolaan Limbah

1. Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk
padat, cair, dan gas.
2. Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat
kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan non-medis.
3. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah
benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer
bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.
4. Limbah padat non-medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di rumah sakit di luar medis
yang berasal dari dapur, perkantoran, taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila
ada teknologinya.
5. Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang
kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi
kesehatan.
6. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di rumah
sakit seperti insinerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat citotoksik.
Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
7. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin ada di
lingkungan dan organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit
pada manusia rentan.
8. Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stock bahan sangat infeksius,
otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan
bahan yang sangat infeksius.
9. Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat
sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan sel hidup.
10. Minimasi limbah adalah upaya yang dilakukan rumah sakit untuk mengurangi jumlah limbah yang
dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur
ulang limbah (recycle)

E. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry)

Laundry rumah sakit adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan saradisinfektan, mesin uap (steam
boiler), pengering, meja dan meja setrika.

F. Pengendalian Serangga, Tikus Dan Binatang Pengganggu Lainnya

Pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu lainnya adalah upaya untuk mengurangi populasi
serangga, binatang pengganggu lainnya sehingga keberadaannya tidak menjadi vektor penularan penyakit.

G. Melalui Disinfeksi Dan Sterilisasi

Dekontaminasi adalah upaya mengurangi dan/atau menghilangkan kontaminasi oleh mikroorganisme pada
orang, peralatan, bahan, dan ruang melalui disinfeksi dan sterilisasi dengan cara fisik dan
kimiawi. Disinfeksi adalah upaya untuk mengurangi/menghilangkan jumlah mikroorganisme patogen penyebab
penyakit (tidak termasuk spora) dengan cara fisik dan kimiawi. Sterilisasi adalah upaya untuk menghilangkan
semua mikroorganisme dengan cara fisik dan kimiawi.

H. Upaya Promosi Kesehatan Dari Aspek Kesehatan Lingkungan

Promosi higiene dan sanitasi adalah penyampaian pesan tentang higiene dan sanitasi rumah sakit kepada
pasien/keluarga pasien dan pengunjung, karyawan terutama karyawan baru serta masyarakat sekitarnya agar
mengetahui, memahami, menyadari, dan mau mmbiasakan diri berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta
dapat memanfaatkan fasilitas sanitaso rumah sakit dengan benar. Promosi kesehatan lingkungan adalah
penyampaian pesan tentang yang berkaitan dengan PHBS yang sasarannya ditujukan kepada karyawan.

Kewajiban sebagai Kode Etik Sanitarian


Apabila kita telah memilih Sanitrarian sebagai sebuah profesi, maka sebagai seorang sanitarain dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya harus senantiasa dilandasi oleh kode etik serta harus selalu menjujung
tinggi ketentuan yang dicanangkan oleh profesi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus selalu
berpedoman pada standar kompetensi. Sedangkan standar kompetensi itu sendiri harus senantiasa terus
dilengkapi dengan perangkat-perangkat keprofesian yang lain.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang
Standar Profesi Sanitarian, berikut merupakan Kode Etik Sanitarian/Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia.

A. KEWAJIBAN UMUM

1. Seorang sanitarian harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan profesi sanitasi dengan
sebaik-baiknya.
2. Seorang sanitarian harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
yang tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan atau praktek profesi sanitasi, seorang sanitarian tidak boleh dipengaruhi
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
4. Seorang sanitarian harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
5. Seorang sanitarian senantiasa berhati-hati dalam menerapkan setiap penemuan teknik atau cara baru
yang belum teruji kehandalannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
6. Seorang hanya memberi saran atau rekomendasi yang telah melalui suatu proses analisis secara
komprehensif.
7. Seorang sanitarian dalam menjalankan profesinya, harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
dengan menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan manusia, serta kelestarian lingkungan.
8. Seorang sanitarian harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien atau masyarakat dan teman
seprofesinya, dan berupaya untuk mengingatkan teman seprofesinya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau kebohongan dalam
Menangani masalah klien atau masyarakat.
9. Seorang sanitarian harus menghormati hak-hak klien atau masyarakat, hak-hak teman seprofesi, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan klien atau masyarakat.
10. Dalam melakukan pekerjaannya seorang sanitarian harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan seluruh aspek kesehatan lingkungan secara menyeluruh, baik fisik, biologi maupun
sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
11. Seorang sanitarian dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.

B. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP KLIEN / MASYARAKAT

1. Seorang sanitarian wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penyelesaian masalah klien atau masyarakat. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau penyelesaian masalah, maka ia wajib berkonsultasi, bekerjasama dan atau
merujuk pekerjaan tersebut kepada sanitarian lain yang mempunyai keahlian dalam penyelesaian
masalah tersebut.
2. Seorang sanitarian wajib melaksanakan profesinya secara bertanggung jawab.
3. Seorang sanitarian wajib melakukan penyelesaian masalah sanitasi secara tuntas dan keseluruhan.
4. Seorang sanitarian wajib memberikan informasi kepada kliennya atas pelayanan yang diberikannya.
5. Seorang sanitarian wajib mendapatkan perlindungan atas praktek pemberian pelayanan.

C. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI

1. Seorang sanitarian memperlakukan teman seprofesinya sebagai bagian dari penyelesaian masalah.
2. Seorang sanitarian tidak boleh saling mengambil alih pekerjaan dari teman seprofesi, kecuali dengan
persetujuan, atau berdasarkan prosedur yang ada.

D. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP DIRI SENDIRI

1. Seorang sanitarian harus memperhatikan dan mempraktekan hidup bersih dan sehat supaya dapat
bekerja dengan baik.
2. Seorang sanitarian harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan lingkungan, kesehatan dan bidang-bidang lain yang terkait.

Peran dan Fungsi Sanitarian Sesuai Standar Profesi


Sanitarian
Standard Profesi Sanitarian Sudah Dituangkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang Standar Profesi Sanitarian. Pada tahun 2005 standard
ini sebetulnya juga telah ditetapkan oleh Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) dengan surat
ketetapan nomor 03/MUNAS/V/2005. Penetapan standar ini antara lain dilatar belakangi oleh kenyataan, bahwa
tenaga Sanitarian / kesehatan lingkungan harus siap bersaing dengan tuntutan perkembangan era globalisasi,
khususnya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Sanitarian Indonesia memang harus mampu
berinteraksi bahkan bersaing dengan Sanitarian dari negara lain, hal ini memang sebuah keniscayaan.

Kita sudah sering melihat ketertinggalan dunia medis kita (bahkan) dari negara tetangga sesama Asean. Kita
sudah amat bersusah payah meredam serbuan industri rumah sakit global yang mulai merambah pelayanan
dasar kita. Dan sementara itu kita masih sangat sibuk merumuskan metode pelayanan publik yang membumi,
ditengah cibiran sebagian besar masyarakat pengguna terhadap mutu pelayanan (belum berbicara teknologi)
pada institusi pelayanan kesehatan kita.

Secara prinisip sebetulnya tujuan penetapan standard profesi sanitarian ini adalah sebagai pedoman bagi para
ahli kesehatan lingkungan dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan di bidang kesehatan
lingkungan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.

Sanitarian di Indonesia sudah diberikan batasan sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan lingkungan
yang memberikan perhatian terhadap aspek kesehatan lingkungan air, udara, tanah, makanan dan vector
penyakit pada kawasan perumahan, tempat-tempat umum, tempat kerja, industri, transportasi dan matra.
Sementara kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan adalah lulusan Sekolah Pembantu Penilik Hygiene
(SPPH), Akademi Kontrolir Kesehatan (AKK), Akademi Penilik Kesehatan (APK), Akademi Penilik Kesehatan
Teknologi Sanitasi (APK-TS), Pendidikan Ahli Madya Kesehatan Lingkungan (PAM-KL), atau lulusan Pendidikan
Tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan Kesehatan Lingkungan.

Standard Kompetensi tenaga Sanitarian di Indonesia tersebut antara lain sebagai berikut :
Peran Sebagai Pelaksana Kegiatan Kesehatan Lingkungan
Sebagai pelaksana kegiatan kesehatan lingkungan, Sanitarian mempunyai 4 (Empat) fungsi, antara lain :

1. Menentukan komponen lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia.


2. Melaksanakan pemeriksaan dan pengukuran komponen lingkungan secara tepat berdasarkan prosedur
yang telah ditetapkan.
3. Menginformasikan hasil pemeriksaan/pengukuran.
4. Menetapkan penyimpangan hasil pemeriksaan terhadap standar baku mutu sanitasi bersih.

Peran Sebagai Pengelola Kesehatan Lingkungan.


Sebagai pengelola kesehatan lingkungan, sanitarian mempunyai 5 (lima) fungsi :

1. Menganalisis hasil pengukuran komponen lingkungan yang mempengaruhi kesehatan lingkungan


2. Menginterprestasikan hasil pengukuran komponen lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia.
3. Merancang dan merekayasa Penanggulangan masalah Lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
manusia.
4. Mengorganisir Penanggulangan masalah kesehatan lingkungan.
5. Mengevaluasi hasil Penanggulangan.
Peran Sebagai Pengajar, Pelatih dan Pemberdayaan Masyarakat.
Sebagai pengajar, pelatih dan pemberdayaan masyarakat, sanitarian mempunyai 5 (lima) fungsi.

1. Menginventarisasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang kesehatan lingkungan.


2. Menentukan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan lingkungan yang perlu diintervensi.
3. Merencanakan bentuk intervensi perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan
lingkungan.
4. Melaksanakan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat yang tidak sesuai
dengan kaidah kesehatan.
5. Mengevaluasi hasil intervensi

Peran Sebagai Peneliti Kesehatan Lingkungan.


Sebagai peneliti, sanitarian mempunyai dua fungsi :

1. Menentukan masalah kesehatan lingkungan.


2. Melaksanakan kegiatan penelitian teknologi tepat.

Penerapan ADKL dalam AMDAL


Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL).
ADKL pada dasarnya merupakan model pendekatan guna mengkaji dan atau menelaah secara mendalam untuk
mengenal, memahami dan memprediksi kondisi karakteristik lingkungan yang berpotensi terhadap timbulnya
resiko kesehatan, dengan mengembangkan tatalaksana terhadap sumber perubahan media lingkungan,
masyarakat terpajan dan dampak kesehatan yang terjadi.

Dengan demikian penerapan ADKL dapat dilakukan guna menelaah rencana usaha atau kegiatan dalam
tahapan pelaksanaan maupun pengelolaan kegiatan serta melakukan penilaian guna menyusun atau
mengembangkan upaya pemantauan maupun pengelolaan untuk mencegah, mengurangi, atau mengelola
dampak kesehatan masyarakat akibat suatu usaha atau kegiatan pembangunan.
Proses ADKL dapat dikembangkan dalam dua hal pokok yaitu :

1. Kajian aspek kesehatan masyarakat dalam rencana usaha atau kegiatan pembangunan baik yang wajib
atau tidak wajib menyusun studi AMDAL.
2. Kajian aspek kesehatan masyarakat dan atau kesehatan lingkungan dalam rangka pengelolaan kualitas
lingkungan hidup yang terkait erat dengan masalah kesehatan masyarakat.

Telaah ADKL sebagai pendekatan kajian aspek kesehatan masyarakat meliputi :

1. Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan dan berpengaruh
terhadap kesehatan.
2. Proses dan potensi terjadinya pemajanan
3. Potensi besarnya dampak \ risiko terjadinya penyakit (angka kesakitan dan angka kematian).
4. Karakteristik penduduk yang beresiko.
5. Sumber daya kesehatan.
6. Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit.

Telaah tersebut dilakukan dengan penilaian / analisis pada :

1. Sumber dampak atau sumber emisi (simpul 1).


2. Media lingkungan sebelum kontak dengan manusia ( simpul 2 )
3. Penduduk terpajan. ( simpul 3 )
4. Potensi Dampak Kesehatan ( simpul 4 )
Penerapan ADKL dalam AMDAL

Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomer : 876 / Menkes / SK / VIII / 2001 tentang Pedoman Tehnis
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan bahwa penerapan ADKL pada Rencana Usaha atau kegiatan yang
wajib AMDAL, ADKL di terapkan dalam menilai dokumen yang meliputi :
1. Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan ( KA ANDAL ).
2. Analisis Dampak Lingkungan ( ANDAL ).
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan ( RKL ).
4. Rencana Pemantauan Lingkungan ( RPL )
A. K.A - ANDAL.
KA Andal adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan ( ANDAL ) yang merupakan hasil pelingkupan.
Pelingkupan dilaksanakan oleh pemrakarsa dengan bantuan konsultan AMDAL, merupakan proses pemusatan
studi pada halhal penting yang berkaitan dengan dampak besar dan penting.
Dalam KA - ANDAL yang di telaah adalah :
1. Ruang Lingkup studi.
a. Lingkup rencana usaha / kegiatan.
1). Diskripsi rencana usaha / kegiatan dari diskripsi rencana usaha kegiatan dapat dianalisa tentang hal hal
yang berkaitan dengan kemungkinan kegiatan yang akan menimbulkan dampak.
2). Komponen usaha / kegiatan yang berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan sesuai dengan tahapan
kegiatan :
a). Tahap pra konstruksi.
b). Tahap konstruksi.
c). Tahap Operasi.
d). Tahap Pasca Operasi. ( bila ada )
b. Lingkup Rona Lingkungan Awal.
Kondisi kesehatan lingkungan disekitar rencana usaha / kegiatan sesuai dengan batas lingkungan wilayah studi.
c. Isu isu Pokok.
Dampak potensial yang diperkirakan muncul dikelompokkan berdasar-kan komponen yang di perkirakan akan
terkena dampak.
d. Lingkup wilayah studi, yang menyangkut :
1). Batas Rencana Usaha / Kegiatan ( tapak proyek ).
2). Batas Ekologi.
3). Batas Sosial.
4). Batas Administrasi.
2. Metodologi.
a. Metode Pengumpulan dan analisa data pada komponen lingkungan yang diperkirakan terkena dampak.
b. Metoda prakiraan dampak besar dan penting.
c. Metoda evaluasi dampak besar dan penting.

B. ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN ( ANDAL )


ANDAL adalah telaah secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha /
kegiatan
Dalam penilaian dokumen ANDAL yang perlu dicermati adalah apakah dalam proses penyusunannya telah
sesuai dengan KA - Andal yang telah disusun sebelumnya.
Hal hal yang ditelaah :
1. Identifikasi dampak Potensial yang diperkirakan akan timbul, yang meliputi :
a. Yang berhubungan dengan cemaran / polutan.
1). Sumber cemaran.
2). Penyebaran bahan pencemar di media lingkungan.
3). Jalu jalur pemajanan yang mungkin terjadi.
4). Kelompok masyarakat yang akan terpajan.
b. Yang berhubungan dengan perindukan vektor :
1). Perubahan lahan yang dapat menimbulkan genangan air
2). Perubahan vegetasi yang menunjang atau menghambat berkembang biaknya vektor.
c. Yang berhubungan dengan perilaku masyarakat :
1). Kebiasaan pemanfaatan air.
2). Kebiasaan penggunaan insektisida.
3). Kebiasaan yang berhubungan dengan sanitasi.
2. Prakiraan dampak besar dan penting.
Prakiraan dampak besar dan penting hendaknya dilaporkan secara rinci dalam dokumen ANDAL dengan
menyebut setiap tahapan dimana dampak itu kemungkinan terjadi. Pada umumnya dampak kesehatan akan
timbul setelah periode waktu tertentu. Hal hal yang perlu ditelaah adalah :
a. Penyebab timbulnya (sumber) dampak.
b. Prakiraan besar dampak yang dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan kondisi/perubahan kesehatan
lingkungan antara sebelum dan setelah adanya usaha/kegiatan.
c. Sifat penting dampak terhadap kesehatan lingkungan mengacu pada 6 kriteria pengukuran dampak penting.

3. Evaluasi dampak besar dan penitng.


Hal penting dalam evaluasi dampak besar dan penting adalah pengambilan keputusan berdasarkan data dan
atau informasi dari hasil analisis prakiraan dampak besar dan penting yang secara khusus dijelaskan hubungan
antara rencana kegiatan, rona lingkungan awal dan kemungkinan timbulnya dampak kesehatan, baik langsung
maupun tidak langsung.
Hasil telaahan evaluasi dampak besar dan penting hendaknya diuraikan secara jelas dan komprehensif dan
diarahkan pada alternatif tindakan yang harus diambil untuk mencegah atau memperkecil bahkan meniadakan
kemungkinan timbulnya dampak.
Evaluasi dampak bertujuan untuk mempelajari dampak yang dinilai tidak relevan, sehingga diperoleh dampak
besar dan penting hipotetik, yaitu prediksi yang menggambarkan potensi besarnya dampak tersebut yang
kemungkinan dapat timbul akibat perubahan lingkungan yang berasosiasi dengan masyarakat terpajan
( Population At Risk ) .
Ukuran atau nilai dari evaluasi dampak potensial didasarkan pada pertimbangan besar atau luasnya rencana
usaha/kegiatan yang :
a. Dapat menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang memungkikan berkembang biaknya vektor penyakit.
b. Memerlukan pengerahan sumber daya manusia ( lokal / pendatang ) sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
antar penduduk dan memiliki potensi untuk menimbulkan penyakit menular.
c. Membutuhkan / mengunakan bahan toksik dan mempunyai potensi untuk menimbulkan resiko kesehatan baik akut
maupun kronis.
d. Menurunkan kualitas sumber daya manusia karena daya dukung lingkungan yang tidak memadai lagi sehingga
berdampak terhadap kesehatan masyarakat

C. Rencana Pengelolaan Lingkungan ( RKL ).


RKL adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan
Dalam RKL yang ditelaah meliputi :.
1. Jenis dampak
2. Sumber dampak.
3. Tolok Ukur dampak.
4. Tujuan RKL.
5. Pengelolaan Lingkungan.
6. Lokasi Pengelolaan.
7. Periode pengelolaan.
8. Institusi pengelola
yang ditujukan pada setiap tahap kegiatan.
D. Rencana Pemantauan Lingkungan ( RPL ).
RPL adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
penting akibat dari rencana usaha / kegiatan
Dalam RPL yang ditelaah meliputi :
1. Jenis dampak
2. Sumber dampak.
3. Parameter yang dipantau.
4. Tujuan RPL.
5. Metoda Pemantauan.
6. Lokasi Pemantauan.
7. Frekwensi Pemantauan.
8. Institusi pemantau.
yang ditujukan pada setiap tahap kegiatan.

Dalam menerapkan ADKL dalam penilaian dokumen AMDAL selalu berpegang pada simpul ADKL yaitu prediksi
dampak pada :
1. Simpul 1 : sumber emisi.
2. Simpul 2 : media lingkungan.
3. Simpul 3 : masyarakat terpajan.
4. Simpul 4 : dampak kesehatan.

Jenis dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan sangat tergantung dari jenis dan lokasi rencana usaha /
kegiatan yang akan dilaksanakan. Hasil penilaian dituangkan dalam rekomendasi yang menyatakan bahwa :
1. AMDAL diterima dengan perbaikan.
2. AMDAL perlu dikaji ulang.
Pengantar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Pembangunan yang di lakukan semua sektor pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan
masyarakat. Namun demikian tidak dapat terelakkan bahwa kenyataannya pembangunan yang dilakukan juga
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup yang merupakan tempat bagi masyarakat untuk
mempertahankan kehidupannya. Hal ini terjadi karena lingkungan hidup mempunyai daya dukung dan daya
tampung yang terbatas.

Bilamana daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak dikelola secara seimbang maka akan
merugikan bagi manusia/ masyarakat itu sendiri. Karena itu, maka telah dicanangkan pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan (1984), yang memuat makna mengolah sumber daya untuk meningkatkan
kesejahteraan generasi masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan mengolah sumber daya
untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, telah diatur dalam suatu peraturan perundangan yaitu UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hidup menurut UU
tersebut adalah : Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya.
Dalam pasal 15 ayat 1 di tetapkan bahwa untuk pelestarian lingkungan hidup, maka setiap rencana usaha dan/
atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup ( AMDAL ).

Pengertian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL ).

Dalam rangka pelaksanaan Undang Undang No.


23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan tentang tata cara penyusunan dan penilaian
AMDAL, telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.

AMDAL adalah : Kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan\atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan\ atau kegiatan.

Sedangkan yang dimaksud dengan dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang
mendasar, yang diakibatkan oleh suatu usaha dan\atau kegiatan. Usaha dan\atau kegiatan yang memungkinkan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

1. Perubahan bentuk lahan dan bentang alam.


2. Ekplorasi sumber daya alam, baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui.
3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya.
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan sosial dan budaya.
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber
daya alam dan\atau perlindungan cagar budaya.
6. Introduksi jenis tumbuh tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik.
7. Pembuatan dan penggunaan lahan hayati dan non hayati.
8. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan
hidup.
9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan\atau mempengaruhi pertahanan negara.

Jenis rencana usaha dan\atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL, tercantum dalam Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 17 Tahun 2001.
Sedangkan dampak penting suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, didasarkan pada kriteria :
1. Jumlah manusia yang akan terkena dampak.
2. Luas wilayah persebaran dampak.
3. Lama dan intensitas dampak berlangsung.
4. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak.
5. Sifat kumulatif dampak.
6. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.

T u j u a n.
Secara umum tujuan AMDAL adalah : Menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menekan
pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Dalam pelaksanaannya ada dua hal
pokok yang menjadi tujuan AMDAL yaitu :

1. Mengidentifikasi, memprakirakan, dan mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi terhadap lingkungan
hidup yang disebabkan oleh kegiatan yang direncanakan.
2. Meningkatkan dampak positif dan mengurangi sampai sekecil kecilnya dampak negatif yang terjadi dengan
melaksanakan RKL RPL secara konsekuen.

Proses AMDAL
Suatu rencana usaha dan/ atau kegiatan wajib AMDAL atau tidak, dilakukan penapisan terlebih dulu dengan
mengacu pada PP No. 27 Tahun 1999 dan Kep. Men. Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001. Bagi rencana
usaha dan/ atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL, maka cukup menysusn Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)

Sedangkan rencana usaha dan/ atau kegiatan yang wajib AMDAL harus melakukan Studi AMDAL yang
dituangkan dalam bentuk Dokumen AMDAL. Sebelum menyusun dokumen AMDAL yang pertama kali dilakukan
adalah melakukan Pelingkupan yang merupakan proses untuk :
1. Identifikasi dampak potensial
2. Evaluasi dampak potensial
3. Pemusatan dampak besar dan penting hipotesis

Hasil pelingkupan merupakan dasar penyusunan dokumen AMDAL yang terdiri dari :
1. Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA.ANDAL).
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL).
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL).
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

Dalam rangka penyusunan AMDAL, terdapat tiga komponen yang terkait dalam kegiatan, yaitu
1. Pemrakarsa.
Adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/ atau kegiatan yang
akan dilaksanakan.
2. Instansi yang bertanggung jawab.
Adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa
kewenangan berada pada Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
3. Komisi penilai.
Adalah komisi yang bertugas menilai Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dengan
pengertian ditingkat pusat oleh Komisi Penilai Pusat dan tingkat daerah oleh Komisis Penilai Daerah.

AMDAL merupakan salah satu azas untuk menunjang pembangunan berwawasan lingkungan. AMDAL termasuk
model yang sangat berguna bagi penanaman modal, pemerintah maupun masyarakat. Dengan berpedoman
pada dokumen AMDAL, maka dampak negatif dari suatu usaha dan/atau kegiatan dapat diminimalkan dan
dapak positifnya dapat ditingkatkan.
ESCHERICIA COLI DISEKITAR AIR MINUM KITA (?)

Manusia sangat membutuhkan air dalam hidupnya, baik untuk keperluan minum, memasak mencuci, dan
sebagainya. Menurut perhituingan kebutuhan, dalam satu hari, seorang dewasa membutuhkan sekitar 1,6 liter air
untuk dikonsumsi, sehingga penyediaan air minum yang aman mutlak diupayakan. Bahaya laten yang selalu
mengancam kita lewat media air bersih dan air minum ini adalah bakteri e-coli.Bakteri yang sangat identik
dengan pencemaran tinja.

Mikroorganisme patogen yang terkandung dalam tinja dapat menularkan beragam penyakit bila masuk tubuh
manusia, dalam 1 gram tinja dapat mengandung 1 milyar partikel virus infektif, yang mampu bertahan hidup
selama beberapa minggu pada suhu dibawah 10 derajat Celcius. Terdapat 4 mikroorganisme patogen yang
terkandung dalam tinja yaitu : virus, Protozoa, cacing dan bakteri yang umumny diwakili oleh jenis Escherichia
coli (E-coli.

Menurut catatan Badan Kesehatan dunia (WHO), air limbah domestik yang belum diolah memiliki kandungan
virus sebesar 100.000 partikel virus infektif setiap liternya, lebih dari 120 jenis virus patogen yang terkandung
dalam air seni dan tinja. Sebagian besar virus patogen ini tidak memberikan gejala yang jelas sehingga sulit
dilacak penyebabnya. Bakteri penghuni usus manusia dan hewan berdarah panas ini telah mengkontaminasi
hampir keseluruhan air baku air minum, sungai, sumur.

Setelah tinja memasuki badan air, E-coli akan mengkontaminasi perairan, bahkan pada kondis tertentu E-coli
dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam pelvix ginjal dan hati.
Sesuai Permenkes Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002
Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, dipersyaratkan bahwa angka E.coli dalam air
minum adalah Nol per 100 ml air harus dipenuhi.

Sedangkan menurut baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam PP 82/2001 tentang Pengendalian
Limbah cair menyebutkan bahwa badan air yang dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum kandungan E-coli
dalam 100 ml air tidak boleh lebih dari 10.000. Menurut salah satu penelitian (Kajian Dhani Arnantha staf peneliti
Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) jumlah E-coli dalam 100 ml air Kali Mas Surabaya
mencapai 1600 milyar

Berdasarkan data Depkes diketahui, persyaratan yang harus dipenuhi PDAM untuk kualitas bakteriologis air
minum PDAM menggunakan indikator coliform 0 per 100 ml air. Sedangkan hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan terhadap 46,858 sampel air minum dari 27 propinsi pada tahun 1995 diketahui, hanya 42,5 persen
yang memenuhi syarat (coliform 0 per 100 ml air). Artinya 57,5 persen air minum dari PDAM tidak memenuhi
syarat (teh terkontaminasi bakteri e-coli). Faktor dominan terjadinya pencemaran air PDAM oleh bakteri e-coli
adalah kebocoran pipa serta kondisi air baku.
Namun yang harus kita perhatikan dari keadaan menyangkut banyak pertanyaan, antara lain (mungkin)
menyangkut klasifikasi dan managemen. Apakah PDAM kita maunya kita masukkan dalam klasifikasi air bersih
atau air minum. Apabila termasuk dalam air minum, artinya saat keluar dari kran kita, air PDAM telah masuk
katagori siap minum (dan itu mempersyaratkan e-coli NOL). Namun apabila sepakat kita masukkan dalam
katagoriPerusahaan Daerah Air Berrsih/PDAB (tidak bisa langsung diminum) maka e-coli yang dipersyaratkan
minimal 10 per 100 ml (Permenkes 416).

Pengetahuan masyarakat terhadap bakteri E. coli agaknya memang masih kurang. Bakteri jenis ini merupakan
indikator utama terjadinya pencemaran suatau media oleh tinja, sehingga dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan bagai kita.

Berikut beberapa informasi yang terkait dengan jenis bakteri ini :

Escherichia coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia. Oleh karena itu, dikenal juga
dengan istilah koli tinja, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanam-
tanaman yang telah mati. Bakteri Escherechia coli merupakan mikroorganisme normal yang terdapat dalam
kotoran manusia, baik sehat maupun sakit. Dalam satu gram kotoran manusia terdapat sekitar seratus juta
bakteri E. coli.

Bakteri berasal dari kata Bakterion (Yunani = batang kecil). Berdasarkan Klasifikasi, bakteri digolongkan dalam
Divisio Schizomycetes. Escherichia coli (E. coli ) adalah salah satu jenis spesies utama bakteri gram negatif,
ditemukan oleh Theodor Escherich (tahun 1885). Hidup pada tinja dan menyebabkan masalah kesehatan pada
manusia, seperti diare, muntaber serta masalah pencernaan lainnya. Bakteri ini banyak digunakan dalam
teknologi rekayasa genetika sebagai vektor untuk menyisipkan gen-gen tertentu yang diinginkan untuk
dikembangkan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhannya sangat cepat dan mudah dalam penanganannya.

Secara garis besar klasifikasi bakteri E.coli , berasal dari Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria,
Ordo Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli. Secara
morfologi E.coli merupakan kuman berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2,4 x 0,4 sampai 0,7 ,
Gram-negatif, tak bersimpai , Bergerak aktif dan tidak berspora. Bakteri E.coli merupakan organisme penghuni
utama di usus besar, hidupnya komensal dalam kolon manusia dan diduga berperan dalam pembentukan
vitamin K yang berperan penting untuk pembekuan darah.

Dari berbagai penelitian menunjukkan, beberapa galur atau strain dari bakteri E. coli juga dapat menyebabkan
wabah diare atau muntaber, terutama pada anak-anak. Bakteri penyebab penyakit yang cukup berbahaya ini
diklasifikasikan berdasarkan karakteristik sifat-sifat virulensinya.

Setiap kelompok dapat menyebabkan penyakit diare melalui mekanisme yang berbeda-beda. Kelompok E. coli
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut ( sebagian besar tulisan merupakan kutipan dari buku manual
pemberantasan penyakit menular)

E. coli enteropatogen (EPEC)

Merupakan penyebab diare terpenting pada bayi, terutama di negara berkembang. Mekanismenya adalah
dengan cara melekatkan dirinya pada sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentous actin pedestal
sehingga menyebabkan diare cair (Watery diarrheae) yang bisa sembuh dengan sendirinya atau berlanjut
menjadi kronis.

Distribusi Penyakit ; Sejak akhir tahun 1960-an, EPEC tidak lagi sebagai penyebab utama diare pada bayi di
Amerika Utara dan Eropa. Namun EPEC masih sebagai penyebab utama diare pada bayi di beberapa Negara
sedang berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika bagian Selatan dan Asia. Reservoir : - Manusia . Cara
Penularan ; Dari makanan bayi dan makanan tambahan yang terkontaminasi.
Di tempat perawatan bayi, penularan dapat terjadi melalui ala-alat dan tangan yang terkontaminasi jika
kebiasaan mencuci tangan yang benar diabaikan. Masa Inkubasi ; Berlangsung antara 9 12 jam pada
penelitian yang dilakukan di kalangan dewasa. Tidak diketahui apakah lamanya masa inkubasi juga sama pada
bayi yang tertular secara alamiah.

Masa Penularan ; Tergantung lamanya ekskresi EPEC melalui tinja dan dapat berlangsung lama. Kerentanan
dan Kekebalan ; Walaupun fakta menunjukkan bahwa mereka yang rentan terhadap infeksi adalah bayi namun
tidak diketahui apakah hal ini disebabkan oleh faktor kekebalan ataukah ada hubungannya dengan faktor umur
atau faktor lain yang tidak spesifik.

Oleh karena itu diare ini dapat ditimbulkan melalui percobaan pada sukarelawan dewasa maka kekebalan
spesifik menjadi penting dalam menentukan tingkat kerentanan. Infeksi EPEC jarang terjadi pada bayi yang
menyusui (mendapat ASI). Diare seperti ini dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotika.

E. coli enterotoksigenik (ETEC)

Merupakan penyebab diare umum pada bayi di negara berkembang seperti Indonesia. Berbeda dengan EPEC,
E. coli jenis ini memproduksi beberapa jenis eksotoksin yang tahan maupun tidak tahan panas di bawah kontrol
genetis plasmid.

Pada umumnya, eksotoksin yang dihasilkan bekerja dengan cara merangsang sel epitel usus untuk menyekresi
banyak cairan sehingga terjadi diare. Identifikasi ; Penyebab utama Travelers diarrhea orang-orang dari negara
maju yang berkunjung ke negara berkembang. Penyakit ini juga sebagai penyebab utama dehidrasi pada bayi
dan anak di negara berkembang. Strain enterotoksigenik dapat mirip dengan Vibrio cholerae dalam hal
menyebabkan diare akut yang berat (profuse watery diarrhea) tanpa darah atau lendir (mucus).

Gejala lain berupa kejang perut, muntah, asidosis, lemah dan dehidrasi dapat terjadi, demam ringan dapat/tidak
terjadi; gejala biasanya berakhir lebih dari 5 hari. ETEC dapat diidentifikasi dengan membuktikan adanya
produksi enterotoksin dengan teknik immunoassays, bioasay atau dengan teknik pemeriksaan probe DNA yang
mengidentifikasikan gen LT dan ST (untuk toksin tidak tahan panas dan toksin tahan panas) dalam blot koloni.
Penyebab Penyakit ; ETEC yang membuat enterotoksin tidak tahan panas (a heat labile enterotoxin = LT) atau
toksin tahan panas ( a heat stable toxin = ST) atau memproduksi kedua toksin tersebut (LT/ST).

Distribusi Penyakit ; Penyakit yang muncul terutama di negara yang sedang berkembang. Dalam 3 tahun
pertama dari kehidupan, hampir semua anak-anak di negara-negara berkembang mengalami berbagai macam
infeksi ETEC yang menimbulkan kekebalan; oleh karena itu penyakit ini jarang menyerang anak yang lebih tua
dan orang dewasa. Infeksi terjadi diantara para pelancong yang berasal dari negara-negara maju yang
berkunjung ke negara-negara berkembang. Beberapa KLB ETEC baru-baru ini terjadi di Amerika Serikat.
Reservoir ; Manusia. Infeksi ETEC terutama oleh spesies khusus; manusia merupakan reservoir strain penyebab
diare pada manusia.

Cara Penularan ; Melalui makanan yang tercemar dan jarang, air minum yang tercemar. Khususnya penularan
melalui makanan tambahan yang tercemar merupakan cara penularan yang 165 paling penting terjadinya infeksi
pada bayi. Penularan melalui kontak langsung tangan yang tercemar tinja jarang terjadi.

E. coli enterohemoragik (EHEC) dan galur yang memproduksi verotoxin (VTEC).


Di Negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, VTEC menyebabkan sejumlah kejadian luar biasa diare
dan kolitis hemoragik. Penyakit ini bersifat akut dan bisa sembuh spontan, penyakit ini ditandai dengan gejala
nyeri abdomen, diare disertai darah, gejala seperti ini merupakan komplikasi dari diare ringan. Identifikasi ;

Kategori E. coli penyebab diare ini dikenal pada tahun 1982 ketika terjadi suatu KLB colitis hemoragika di
Amerika Serikat yang disebabkan oleh serotipe yang tidak lazim, E. coli O157:H7 yang sebelumnya tidak terbukti
sebagai patogen enterik. Diare dapat bervariasi mulai dari yang ringan tanpa darah sampai dengan terlihat darah
dengan jelas dalam tinja tetapi tidak mengandung lekosit.

Yang paling ditakuti dari infeksi EHEC adalah sindroma uremia hemolitik (HUS) dan purpura trombotik
trombositopenik (TTP). Kira-kira 2-7% dari diare karena EHEC berkembang lanjut menjadi HUS. EHEC
mengeluarkan sitotoksin kuat yang disebut toksin Shiga 1 dan 2. Toksin Shiga 1 identik dengan toksin Shiga
yang dikeluarkan oleh Shigella dysentriae 1; (Article Source by Drh. Andrijanto Hauferson Angi, M.Si)

Sebuah Catatan dari Pinggir Dusun itu


Melihat keberhasilan CLTS ini, program ini kemudian diadopsi oleh World Bank dan Gate Foundation dengan
meluncurkan program Total Sanitation and Sanitation Marketing atau SToPS (Sanitasi Total dan Pemasaran
Sanitasi) di Jawa Timur sebagai pilot project.
Namun program ini agaknya terlalu cepat berlari dengan mengusung konsep marketing dan merengkuh berbagai
indikator sanitasi total, sehingga terkesan kurang membumi, padahal di bumi realitas masih disibukkan dengan
ingar bingar pertempuran melawan rezim open defication.

Mungkin tujuan praktisnya, dengan sekali dayung (ODF), sekian implikasi kejadian ikutan akan tersibak
(CTPS,SPAL,etc).Padahal sang perahu sebetulnya (kayaknya sih .. ) tetep susah payah untuk melampaui terjal
pulau tinja untuk menuju ODF Declair, dan implikasi lain yang diharapkan tetep nguntit terlalu jauh di belakang

Namun dengan segala catatan diatas, CLTS dan SToPS memang sebuah gagasan yang amat menyegarkan
ditengah stagnasi panjang kegiatan sanitasi di Indonesia. Hal ini kemudian menjadi alasan yang sangat masuk
akal, sehingga konsep ini disambut suka cita oleh Depkes, sehingga lahirlah STBM. Dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008 telah ditetapkan Strategi Nasional Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat.

Tujuan Program Sanitasi Total adalah menciptakan suatu kondisi masyarakat (pada suatu wilayah) :
1. Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat
2. Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi, setelah
menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
3. Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman
4. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).
Secara eksplisit telah disebutkan secara jelas dalam keputusan tersebut bahwa tantangan pembangunan
sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial budaya dan perilaku penduduk yang terbiasa buang air besar di
sembarang tempat. Dan agaknya step inilah yang seharusnya dijadikan sebagai fokus awal gerakan sanitasi
total (baca ODF), baru kemudian fokus ke yang lain
SetBack STBM ............

Sanitasi merupakan salah satu tantangan yang paling utama bagi negara negara berkembang. Karena menurut
WHO, penyakit diare membunuh satu anak di dunia ini setiap 15 detik, karena access pada sanitasi masih terlalu
rendah. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan lingkungan yang besar, serta merugikan pertumbuhan ekonomi
dan potensi sumber daya manusia pada skala nasional .
Terdapat beberapa data yang mendukung, antara lain :
1. Terdapat 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat
terbuka (Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006)
2. Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci
tangan adalah (1) setelah buang air besar 12%, (2) setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (3) sebelum
makan 14%, (4) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (5) sebelum menyiapkan makanan 6 %.
3. Sementara studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20 %
merebus air untuk mendapatkan air minum, namun 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli.
Kondisi seperti ini dapat dikendalikan melalui intervensi terpadu melalui pendekatan sanitasi total. Hal ini
dibuktikan melalui hasil studi WHO tahun 2007, yaitu kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses
masyarakat terhadap sanitasi dasar, 45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun, 39% perilaku
pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga. Sedangkan dengan mengintegrasikan ketiga perilaku
intervensi tersebut, kejadian diare menurun sebesar 94%.

Pemerintah telah memberikan perhatian di bidang higiene dan sanitasi dengan menetapkan Open Defecation
Free (ODF) dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat pada tahun 2009 dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai
target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air minum dan sanitasi
dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses.

Kondisi di Indonesia secara umum program sanitasi pada awalnya juga mengalami stagnasi hasil. Hal ini antara
lain dapat dilihat, berdasarkan hasil kegiatan berbagai program sanitasi, baik dalam bentuk subsidi maupun
kegiatan rutin lainnya cakupan sanitasi masih rendah (65%), - berdasarkan pada jumlah jamban yang terbangun.
Keadaan ini disebabkan antara lain karena pembangunan masih berorientasi pada target fisik serta belum
berorientasi pada perubahan perilaku di masyaarakat.

Menyadari hal tersebut di atas, pemerintah telah melaksanakan beberapa kegiatan, antara lain melakukan uji
coba implementasi Community Led Total Sanitation (CLTS) di 6 Kabupaten pada tahun 2005, termasuk
di Kabupaten Lumajang. Program ini dilanjutkan dengan pencanangan gerakan sanitasi total oleh Menteri
Kesehatan pada tahun 2006 di Sumatera Barat serta pencanangan kampanye cuci tangan secara nasional oleh
Menko Kesra bersama Mendiknas dan Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2007.

Program Community Led Total Sanitation (CLTS) merupakan cikal bakal gerakan Sanitasi total yang dipimpin
oleh masyarakat, yang juga merupakan suatu proses untuk menyemangati serta memberdayakan masyarakat
untuk :

1. Menghentikan BAB di tempat terbuka


2. Membangun serta menggunakan jamban
3. Masyarakat menganalisa profil sanitasinya (Masing-masing luasnya BAB di tempat terbuka serta
penyebaran kontaminasi kotoran yang terjadi, serta perilaku yang berperan penting).

Dalam pelaksanaannya terdapat prinsip prinsip dalam pemicuan CLTS seperti tanpa subsidi kepada
masyarakat, tidak menggurui, tidak memaksa dan tidak mempromosikan jamban, masyarakat sebagai pemimpin,
serta prinsip totalitas (seluruh komponen masyarakat terlibat dalam analisa permasalahan, perencanaan,
pelaksanaan serta pemanfaatan dan pemeliharaan).

Cara Pengukuran Tingkat Kebisingan


Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika kita berteriak suara kita lebih kuat daripada
berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk
mengukur intensitas bunyi adalah desibel (dB). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik.
Penambahan tingkat desibel berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar. Contoh, jika bunyi bertambah
3 dB, volume suara sebenarnya meningkat 2 kali lipat.

Kebisingan bisa menggangu karena frekuensi dan volumenya. Sebagai


contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih menggangu dari suara berfrekuensi
rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari kebisingan, maka perlu
dilakukan monitoring dengan bantuan alat:

Noise Level Meter dan Noise Analyzer (untuk mengidentifikasi


paparan)
Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama
paparan dan untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.

Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound


survey meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band
analyzer, dan lain-lain. Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level
meter dan octave band analyzer sudah cukup banyak memberikan informasi.
Sound Level Meter (SLM)

Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah
sirkuit elektronik termasuk attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan
tersebut distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik
dalam pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan
frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas
yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi.
Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.

Octave Band Analyzer (OBA)

Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas tone yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka
nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif. Untuk kondisi
pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat
dilakukan dalam satu oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA
dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800,
dan 4800-9600 Hz.

Standar Kebisingan

Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat diterima oleh
telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak.

1. Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas kebisingan.
lihat Tabel 2.3 untuk lebih jelas.
2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No.SE 01/MEN/1978

Nilai Ambang Batas yang disingkat NAB untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan
merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar
yang tetap untuk waktu kerja yang terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu

NAB untuk kebisingan di tempat kerja ditetapkan 85 dB (A)

Nilai Ambang Kebisingan Menurut Kep Menaker No. KEP-51/MEN/1999

Waktu Pemaparan Intensitas (dB A)


8 Jam 85

4 88

2 91

1 94
30 Manit 97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112
28,12 Detik 115

14,06 118
7,03 121

3,52 124

1,75 127

0,88 13

0,44 133

0,22 136

0,11 139

3. Kriteria Kebisingan Menurut Department of Labor OSHA

Waktu (jam/hari) Tingkat Kebisingan (dB A)


8 90

6 92

4 95

3 97

2 100

1,5 102

1 105

0,5 110

<0,25 115

4. Standard Kebisingan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.718/Men/Kes/Per/XI/1987,


tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan

Pembagian Zona Bising Oleh Menteri Kesehatan

No Zona Maksimum dianjurkan (dBA) Maksimum diperbolehkan


(dBA)
1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60
4 D 60 70

Keterangan:

Zona A = tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan dsb;

Zona B = perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya;


Zona C = perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya;

Zona D = industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.

5. Kriteria Kebisingan menurut Formula ACGIH dan NIOSH. Formula ini, dengan menggunakan rumus tertentu,
dipakai untuk menghitung waktu maksimum yang diperkenankan bagi seorang pekerja untuk berada dalam
tempat kerja dengan tingkat kebisingan tidak aman.

Kriteria Kebisingan Menurut ACGIH dan NIOSH

Waktu Paparan yang Waktu Paparan yang


DB DB
diperbolehkan (jam) diperbolehkan(jam)
80 25,4 106 37,5

81 20,16 107 2,98

82 16 108 2,36

83 12,7 109 1,88

84 10,08 110 1,49

85 8 111 1,18

86 6,35 112 0,94

87 5,04 113 0,74

88 4 114 0,59

89 3,17 115 0,47

90 2,52 116 0,37

91 2 117 0,3

92 1,59 118 0,23

93 1,26 119 0,19

94 1 120 0,15

95 0,79 121 0,12

96 0,63 122 0,09

97 0,5 123 0,07

98 0,4 124 0,06

99 0,31 125 0,05

100 0,25 126 0,04

101 0,2 127 0,03


102 0,16 128 0,02

103 0,13 129 0,02

104 0,1 130 0,01

105 0,08

Cara Pengendalian Kebisingan


Pengendalian kebisingan mutlak diperlukan untuk memperkecil pengaruhnya pada kesehatan kita. Usaha
pengendalian kebisingan harus dimulai dengan melihat komponen kebisingan, yaitu Sumber radiasi, Jalur
tempuh radiasi, serta Penerima (telinga). Antisipasi kebisingan dapat dilakukan dengan intervensi terhadap
ketiga komponen ini.

Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu


pengendalian bising aktif (active noise control) dan pengendalian
bising pasif (passive noise control).

Pada Active Noise Control dapat dilakukan dengan Kontrol pada


Sumber. Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan
dengan modifikasi sumber, yaitu penggantian komponen atau
mendisain ulang alat atau mesin supaya kebisingan yang
ditimbulkan bisa dikurangi.

Program maintenance yang baik supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya mengurangi
faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi elemen getar, melengkapi peredam pada
mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin. Tetapi cara ini memerlukan penelitian intensif dan umumnya
juga butuh biaya yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Beberapa upaya untuk
mengurangi kebisingan di sumber antara lain (Tambunan, 2005):

Mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah
Mengganti jenis proses mesin (dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah) dengan fungsi proses
yang sama, contohnya pengelasan digunakan sbg penggantian proses riveting.
Modifikasi tempat mesin, seperti pemberian dudukan mesin dengan material-material yang memiliki
koefisien redaman getaran lebih tinggi.
Pemasangan peredam akustik (acoustic barrier) dalam ruang kerja

Antisipasi kebisingan dengan kontrol sumber ternyata 10 kali lebih murah (unit harga terhadap reduksi dB)
daripada antisipasi pada propagasi atau kontrol lingkungan.

Jika kita berada pada lingkungan kerja dengan kebisingan > 100
dB A, maka usaha kontrol pada sumber kebisingan harus
dilakukan. Menurut Standard Basic Requirement OSHA, rekayasa
mesin harus dilakukan pada kondisi ini, dengan beberapa teknik
berikut :

Cladding, adalah teknik untuk mengurangi pancaran


bising dari pipa akibat aliran fluida di dalamnya. Cladding terdiri
atas lapisan penyerap suara dan bahan impermeable. Lapisan ini
ada berbagai jenis dengan tingkat atenuasi yang bervariasi.
Silencer, Attenuator, Muffler. digunakan untuk mereduksi
bising fluida dengan meletakkannya di daerah atau jalur aliran
fluida.

Secara praktis di lapangan, pengendalian bising pada sumber dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain dengan cara pemeliharaan mesin-mesin secara kontinu, penempatan mesin-mesin pada ruangan khusus
dan jauh dari kegiatan masyarakat atau karyawan, serta melengkapi mesin-mesin dengan penutup mesin
sehingga dapat mengurangi kebisingan.

Metode lain untuk meredam bising seperti penggunaan alat peredam bising silencer yang diletakkan
pada vent gas. Silencer dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi,
kompresor, blower, dan pompa vakum. Alat ini didisain sedemikian rupa sehingga aliran udara melewati tabung
akustik berlubang yang dikelilingi oleh lapisan tebal dari material penyerap suara yang akan menurunkan
kebisingan dengan range frekuensi tinggi dengan penurunan tekanan minimum.

Silencer terbuat dari konstruksi baja dimana permukaan luar dilapisi dengan baik. Alat ini didisain untuk
menangani udara kering dengan temperatur di bawah 93 oC. Untuk temperatur tinggi digunakan
kemasanfiberglass.

Selain pengendalian dengan melakukan kontrol pada sumber


bising, pengendalian kebisingan juga dapat dilakukan dengan
pengendalian pada medium perambatan. Usaha ini bertujuan untuk
menghalangi perambatan suara dari sumber suara yang menuju ke
telinga manusia. Untuk menghalangi perambatan, ditempatkanlah sound barrier antara sumber suara dan
telingan. Pemblokiran rambatan ini hanya akan berhasil jika sound barrier tidak ikut bergetar (resonansi) saat
tertimpa gelombang yang merambat, hal ini sangat tergantung pada bahan dimensi.

Pengendalian kebisingan pada medium propagasi (medium rambat) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antra
lain usaha untuk melakukan pemisahan ruangan dengan sekat atau pembatas akustik; Penggunaan material
yang memiliki daya serap suara; Pembuatan Barrier yang berfungsi untuk menghalangi paparan bising dari
sumber ke penerima dan dibangun di jalur propagasi antara sumber dan penerima. Usaha lain dapat dilakukan
misal dengan memasang panel dan penghalang, serta memperluas jarak antar sumber dan melakukan
pemagaran.

Salah satu usaha untuk mereduksi kebisingan pada daerah permukiman, dilakukan dengan Green Barrieryang
membatasi daerah sumber kebisingan dengan daerah pemukiman masyarakat. Juga dapat dilakukan dengan
memasang dinding pemisah antara sumber-sumber bising dengan ruangan tempat kerja (kedap suara).

Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan usaha proteksi secara personal. Proteksi
personal yang bisa diterapkan adalah penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini
disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa mengurangi desibel yang masuk ke
telinga lebih besar dari earplugs. Namun juga harus diingat bahwa proteksi yang berlebihan sangat
dimungkinkan dapat mengurangi efektifitas proses.

Berikut beberapa penjelasan yang terkait dengan Earmuffs dan Earplugs.

Earmuffs, terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk intensitas tinggi (>95 dB), bisa
melindungi seluruh telinga, ukurannya bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan
walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai. Kekurangannya,
penggunaan earmuffsmenimbulkan ketidaknyamanan, rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal, sukar
dipasang pada kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala dan kurang praktis karena ukurannya
besar. Earmuffs lebih protektif daripada earplugs jika digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika
penggunaannya kurang pas dan pekerja menggunakan kaca mata.

Earplugs, digunakan untuk tingkat kebisingan sedang (80-95 dB), dengan waktu paparan 8 jam. Terdapat
berbagai macam earplugs, baik bentuk padat maupun berongga. Bahannya terbuat dari karet lunak, karet keras,
lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.

Penguunaan ear plug mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah dibawa karena bentuknya yang kecil,
tidak membatasi gerakan kepala, lebih nyaman digunakan pada tempat panas, juga lebih murah
(dibandingkan ear muff), Ear Plug juga lebih mudah dipakai bersama dengan kacamata dan helm. Sedangkan
kekurangan ear plug atenuasi lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, resiko infeksi pada saluran telinga.

Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3), serta melengkapi karyawan dengan alat pelindung diri (ear muff dan ear plug).

Dasar Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit di Indonesia


Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan dimana di dalamnya terdapat bangunan, peralatan, manusia
(petugas, pasien dan pengunjung) dan kegiatan pelayanan kehatan, selain dapat menghasilkan dampak
positif berupa produk pelayanan kesehatan yangbaik terhadap pasien dan memberikan keuntungan retribusi
bagi pemerintah dan lembaga pelayanan itu sendiri, rumah sakit juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa
pengaruh buruk kepada manusia, seperti sampah dan limbah rumah sakit yang dapat menyebabkanpencemaran
lingkungan, sumber penularan penyakit dan menghambat proses penyembuhan serta pemulihan penderita.

Sampah dan limbah rumah sakit sangat layak diduga banyak mengandung bahaya atau resiko karena dapat
bersifat racun, infeksius dan juga radioaktif (Suwarso, 1996). Selain itu, karena kegiatan atau sifat pelayanan
yang diberikan, maka rumah sakit bisa menjadi depot segala macam penyakit yang ada di masyarakat, bahkan
dapat pula sebagai sumber distribusi penyakit karena selalu dihuni, dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-
orang yang rentan dan lemah terhadap penyakit. Di rumah sakit pula dapat terjadi penularan baik secara
langsung (crossinfection), melalui kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga sehingga dapat
mengancam kesehatan (vector borne infection) masyarakat umum (Kusnoputranto, 1993).

Untuk mengantisipasi dampak negatif yang tidak diinginkan dari institusi pelayanan kesehatan ini, maka
dirumuskan konsep sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengendalikan faktor-faktor yang
dapatmembahayakan bagi kesehatan manusia tersebut. Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental
sanitation) adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau
dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup
manusia. Dalam lingkup rumah sakit, sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi
dan biologik di rumah sakit yang menimbulkan atau mungkin dapat mengakibatkan pengaruh burukterhadap
kesehatan petugas, penderita, pengunjung maupun bagi masyarakat di sekitar rumah sakit. (Musadad, 1993).

Dari pengertian di atas maka sanitasi rumah sakit


merupakan upaya dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam
memberikan layanan dan asuhan pasien yang sebaik-baiknya. Karena tujuan dari sanitasi rumah sakit
tersebut adalah menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit agar tetap bersih, nyaman, dan dapat mencegah
terjadinya infeksi silang serta tidak mencemari lingkungan.

Keberadaan rumah sakit sebagai tempat berkumpulnya orang sakit atau orang sehat yang dapat menjadi sumber
penularan penyakit danpencemaran lingkungan (gangguan kesehatan),maka untuk mengatasi kemungkinan
dampak negatif yang ditimbulkan dari institusi pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit ditetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 menetapkan persyaratan-
persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit.

Persyaratan yang harus dipenuhi instansi pelayanan kesehatan, khususnya sanitasi lingkungan rumah sakit
antara lain mencakup: (1)Penyehatan Ruang Bangunan dan Halaman Rumah Sakit,(2)
Persyaratan Hygiene dan Sanitasi Makanan Minuman, (3) PenyehatanAir, (4) Pengelolaan Limbah, (5)
Pengelolaan tempat Pencucian (Laundry), (6) Pengendalian Serangga, Tikus dan Binatang
PenggangguLainnya, (7) Dekontaminasi melalui Disinfeksi dan Sterilisasi, (8) Persyaratan Pengamanan
Radiasi,(9)Upaya Promosi Kesehatan dari Aspek Kesehatan lingkungan.

Indikator Kualitas Bakteriologis Makanan


Sebagaimana kita ketahui bahwa sanitasi makanan, khususnya hygiene dan sanitasi tempat pengelolaan makanan
seperti restoran dan jasa boga, berperan penting dalam mencegah faktor makanan sebagai media penularan
penyakit dan masalah kesehatan. Beberapa masalah terkait dengan hal tersebut diantaranya terjadinya keracuanan
makanan, yang angka dan kualitasnya cenderung makin meningkat seiring mobilitas dan perkembangan industri
makanan baik kemasan maupun jenis usaha warung, restoran, dan catering/jasa boga.
Beberapa faktor determinan terjadinya keracunan makanan dapat diakibatkan karena aspek pengolah makanan,
peralatan, bahan makanan dan tempat pengelolaan makanan. terkontaminasinya makanan terutama disebabkan
oleh berbagai faktor antara lain pengetahuan penjamah makanan masih rendah termasuk perilaku sehat,
kebersihan badan penjamah makanan, kebersihan alat makan dan sanitasi makanan. Peran penjamah makanan sangat
penting dan merupakan salah satu faktor dalam penyediaan makanan yang memenuhi syarat
kesehatan. Makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri dapat menimbulkaninfeksi maupun keracunan
makanan jika dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh (Fardiaz, 1997).

Uji Bakteriologis Makanan

Agar dapat dilakukan evaluasi serta untuk mengetahui laik sehat (layak dan tidaknya), suatu makanan dapat dikonsumsi
diperlukanalat ukur dan indikator yang valid. Diantara parameter yang digunakan adalah parameter kimia
dan bakteriologis. Pemeriksaan terhadap mikroorganisme pada makanan perlu dilakukan untuk mengevaluasi
apakah makanan tersebut layak dikonsumsi atau tidak. Kegiatan ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa
konsumen terhindar dari penyakit yang ditimbulkan karena makanan yang terkontaminasi oleh bakteri maupun kimia.

Untuk parameter bakteriologis dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut. Angka bakteri adalah perhitungan
jumlah bakteri yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel bakteri hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi
satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi,
jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan hasil perhitungannya merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah
suspensi tersebut (Bibiana, 1994).

Bakteri E.coli dan Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri indikator untuk menilai pelaksanaan sanitasi
makanan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 098/Menke s/SK/VII/2003 tentang
Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, angka kuman E.coli dalam makanan jadi disyaratkan 0 per
gram contoh makanan, dan untuk minuman disyaratkan angka kuman E.coli 0 per 100 ml contoh
minuman (WHO, 2000).

Seperti batas angka kuman untuk daging ayam yang diolah dengan pemanasan, batas maksimum yangdisyaratkan
untuk Staphylococcus aureus adalah 0 per gram contoh makanan. Untuk jenis minuman ringan dan sari buah
batas maksimum yang disyaratkan untuk Staphylococcus aureus adalah 0 per ml (Keputusan Dirjen POM
Nomor 03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan).

Untuk peraturan dan dasar hukum terbaru tentang angaka kuman dalam makanan akan ditulis pada kesempatan
mendatang.

Faktor Perilaku PenjamahMakanan Pada Laik


Hygiene Kantin
Makanan selain mutlak bermanfaat, juga dapat sebagai media penularan penyakit dan masalah kesehatan. Kondisi ini
dapat terjadi, baik secara alamiah(include dalam makanan) maupun masuk dari luar, seperti makanan menjadi
beracun karena tercemarmikroba.
Beberapa defenisi atau pengertian makanan, diantaranya : Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat
gizi dan hygienis serta berguna bila dimasukan ke dalam tubuh, dan makanan jadi adalah makanan yang telah diolah dan
atau langsung disajikan/dikonsumsi ((Depkes, 1996).

Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi
zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukan ke dalam tubuh, sedangkan zat gizi yang dimaksud adalah ikatan kimia
yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan,
serta mengatur proses-proses kehidupan Menurut Almatsier (2002).

Berdasarkan beberapa penelitian, penyebab beberapa kasus keracunan makanan diantaranya adalah
bakteri Staphylococcus aureus, Vibrio cholera, E.colidan Salmonella. Bakteri E.coli dan Staphylococcus aureus adalah
salah satu bakteri indikator untuk menilai kualitas sanitasi makanan. Bakteri E.coli merupakan bakteri yang berasal
dari kotoranhewan maupun manusia. Sedangkan sumber bakteri Staphylococcus aureus dapat berasal dari
tangan, rongga hidung, mulut dan tenggorokan pekerja. Sekitar 70 % kasus keracunan makanan di dunia disebabkan
oleh makanan siap santap yaitu makanan yang sudah diolah, terutama oleh usaha katering, rumah makan,
kantin,restoran maupun makanan jajanan (Fardiaz, 1997).

Makanan mulai dari awal proses pengolahan sampai siap dihidangkan dapat memungkinkan terjadi kontaminasi oleh
bakteri. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada makanan antara lain dapat berasal
dari orang yang mengolah atau menangani makanan termasuk perilaku dan higiene perorangan orang yang menangani
makanan tersebut serta faktor tempat/bangunan pengelolaan makanan termasuk sanitasinya (Depkes, 1999).

Usaha untuk meminimalisasi dan menghasilkan kualitas makanan yang memenuhi standard kesehatan,
dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip sanitasi. Menurut Jenie (1996) bahwa ilmu sanitasi merupakan
penerapan dari prinsip-prinsip yang akan membantu memperbaiki, mempertahankan, atau mengembalikan
kesehatan yang baik pada manusia, sanitasi meliputi kegiatankegiatan aseptik dalam persiapan, pengolahan,
dan penyajian makanan; pembersihan dan sanitasi lingkungan kerja; dan kesehatan pekerja. Secara lebih terinci
sanitasi meliputi pengawasan mutu bahan makanan mentah, penyimpanan bahan, suplai air yang baik,
pencegahan kontaminasi makanan dari lingkungan, peralatan, dan pekerja, pada semua tahap proses.

Sebagaimana teori HL Bloom, faktor perilaku terkait pengelolaan makanan ini menjadi faktor penting dalam hygiene
sanitasi makanan. Aspek perilaku ini, termasuk perilaku sehat merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Hal tersebut termasuk tindakan-
tindakan untuk mencegah penyakit, menjaga kebersihan tubuh perorangan, menjaga sanitasi makanan dan
penyajian makanan. Peran penjamah makanan termasuk perilaku higienis merupakan salah satu faktor dalam
penyediaan makanan atau minuman yang memenuhi syarat kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Pendapat senada mengungkapkan bahwa bahwa - sanitasi merupakan bagian penting dalam pengolahan
pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan
penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai
perpindahan penyakit tersebut (Purnawijayanti, 2001).

Penjamah makanan adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari
tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian. Peran penjamah makanan
sangat penting dan merupakan salah satu faktor dalam penyediaan makanan/minuman yangmemenuhi
syarat kesehatan. Personal higiene dan perilaku sehat penjamah makanan harus diperhatikan. Seorang
penjamah makanan harus beranggapan bahwa sanitasi makanan harus merupakan pandangan hidupnya serta
menyadari akan pentingnya sanitasi makanan, higiene perorangan dan mempunyai kebiasaan bekerja, minat maupun
perilaku sehat (WHO dan Depkes RI, 2004).
Pemeliharaan kebersihan penjamah makanan, penanganan makanan secara higienis dan higiene perorangan
dapat mengatasi masalah kontaminasi makanan. Dengan demikian kebersihan penjamah makananadalah sangat
penting untuk diperhatikan karena merupakan sumber potensial dalam mata rantai perpindahan bakteri ke dalam
makanan sebagai penyebab penyakit. WHO (1996) menyebutkan penjamah makanan menjadi
penyebab potensial terjadinya kontaminasi makanan apabila: 1) menderita penyakit tertentu;2) kulit, tangan, jari-jari
dan kuku banyak mengandung bakteri kemudian kontak dengan makanan; 3) apabila batuk, bersin maka akan
menyebarkan bakteri; 4) akan menyebabkan kontaminasi silang apabila setelah memegang sesuatu kemudian
menyajikan makanan; dan 5) memakai perhiasan (Jenie, 1996).

Persyaratan higiene perilaku penjamah makanan


Persyaratan higiene perilaku penjamah makanan, khususnya pda kantin sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 meliputi, antara lain :
a. Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.
b. Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan : sarung tangan plastik, penjepit makanan, sendok
garpu dan sejenisnya.
c. Setiap tenaga pengolah makanan pada saat bekerja harus memakai celemek dan penutup rambut.
d. Setiap tenaga penjamah makanan pada saat bekerja harus berperilaku :
Tidak makan atau mengunyah makanan kecil/permen.
Tidak memakai perhiasan (cincin).
Tidak bercakap-cakap.
Selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil.
Tidak memanjangkan kuku.
Selalu memakai pakaian yang bersih.

Menentukan Status Gizi dengan Metode Antropometri


Sebagaimana rekan-rekan public health community kenal, terdapat berbagai macam metode penentuan status
gizi, salah satu diantaranya dengan metode antropometri. Antropometri berasal dari kata anthroposdan metros,
dengan anthropos berarti tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran daritubuh.
Pengertian dari sudut pandang gizi sebagaimana diungkapkan Jellife dapat disimpulkan bahwa antropomerti gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi.

Jika dibandingkan dengan metode lain, antropometri mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya prosedur
sederhana dan aman, sehingga relatif tidak membutuhkan tingkat keahlian yang tinggi, dapat dilakukan
oleh tenaga yang sudah dilatih (dalam waktu singkat). Juga peralatan yang dibutuhkan murah, mudah dibawa,
tahan lama, serta alat dapat dibuat sesuai lokasi setempat. Namun yang perlu diperhatikan, harus dilakukan
validasi pada peralatan yang digunakan.

Metode antropometri selain tergolong akurat, juga dapat dibakukan. Juga dapat menggambarkan riwayat gizi
masa lalu. Metode ini secara umum dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, serta gizi buruk. Metode
antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu dan juga dapat digunakan
untuk screening pada kelompok yang rawan masalah gizi.

Kelemahan metode antropometri ada pada sensitivitasnya yang kurang, terutama karena faktor di luar gizi dapat
menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran. Kesalahan yang terjadi saat pengukuran dapat
memengaruhi presisi, akurasi, validitas pengukuran antropometri (Supariasa, 2001).

Pada metode antopometri kita kenal dengan Indeks Antropometri. Indeks antropometri adalah kombinasi antara
beberapa parameter, yang merupakan dasar dari penilaian status gizi. Beberapa indeks telah diperkenalkan
seperti berat badan dibagi tinggi badan (BB)/(TB), tinggi badan dibagi umur (TB)/(U), tinggi badan dibagi berat
badan (TB)/(BB). Kelebihan indeks TB/BB antara lain sensitivitas dan spesivisitasnya termasuk tinggi untuk
menilai status gizi masa lampau. Tetapi juga ada kelemahannya antara lain: tinggi badan tidak cepat naik,
bahkan tidak mungkin turun. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga perlu
dua orang untuk melakukannya. Ketepatan umur sulit didapat (Supariasa, 2001).

Indikator antropometri merupakan kombinasi dari beberapa parameter untuk menentukan status gizi
seseorang. Misalnya kombinasi antara berat badan (BB) dan umur (U) membentuk indikator BB menurut U yang
disimbolkan dengan BB/U, kombinasi antara tinggi badan (TB) dan U membentuk indikator TB menurut U yang
disimbolkan dengan TB/U dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB yang
disimbolkan dengan BB/TB. Untuk menyatakan bahwa indikator tersebut normal,lebih rendah atau
lebih tinggi dapat dibandingkan dengan baku rujukan misalnya baku rujukan WHONCHS (World
Health OrganizationNational Center for Health Statistics). Apabila hasil perbandingannya normal, maka
digolongkan pada status gizi baik. Apabila kurang berarti berstatus gizi kurang dan apabila tinggi berarti
tergolong status gizi lebih (Soekirman, 1999).

Untuk membandingkan indikator tersebut dengan baku rujukan WHO NCHS dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu :
1. Dengan Persen Median yaitu membandingkan antara antara hasil pengukuran dengan median baku dikalikan
100%. Hasil perbandingan tersebut lalu disesuaikan dengan cut off points yang meliputi :

a. TB/U : < 90% dari median baku digolongkan sebagai stunted/ pendek.
b. BB/TB : < 80% dari median baku digolongkan sebagai wasted/ kurus.
c. BB/U : < 80% dari median baku digolongkan sebagai underweight.

2. Dengan menghitung nilai skor simpang baku (standart deviation score = ZScore) yaitu membandingkan dengan
rata rata atau median dan standar deviasi dari suatu angka baku rujukan WHO NCHS. Dikatakan status
gizi normal apabila angka atau nilainya terletak antara -2SD sampai +2SD dari median baku. Status gizi
dikatakan kurang apabila nilainya di bawah -2SD, dan menjadi buruk apabila berada di bawah -
3SD. Sebaliknya apabila nilai Z-Score berada diatas +2SD disebut gizi lebih (gemuk) dan di atas +3SD gemuk
sekali (Gibson, 1990 )

Jati Diri Klinik Sanitasi


Sebetulnya program Klinik Sanitasi sudah mulai diperkenalkan dan dilaksanakan sejak
tahun 2003. Namun dibanyak tempat program ini seperti jalan di tempat, tanpa tanda-
tanda kehidupan, dengan segudang permasalahan dan alasan. Jikapun ada, dibanyak
tempat, kegiatan klinik sanitasi seperti bergerak tanpa esensi, dan sebatas sekedar
gerakan diatas kertas. Untuk mengingatkan kita bersama, berikut disarikan beberapa hal
terkait dengan program klinik sanitasi. Sumber acuan
menggunakan, Pedoman Pelaksanaan Klinik Sanitasi untuk Puskesmas,dan Standar
Prosedur Operasional Klinik Sanitasi Depkes RI tahun 2003.

Penyakit berbasis lingkungan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


Indonesia. Hal ini tercermin dari tingginya angka kejadian dan kunjungan penderita
beberapa penyakit ke sarana kesehatan. Penyakit tersebut meliputi Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA), tuberkulosis paru, diare, malaria, Demam Berdarah
Dengue(DBD), keracunan makanan, kecacingan, serta gangguan kesehatan akibat
keracunan bahan kimia dan pestisida.

Klinik sanitasi adalah suatu upaya atau kegiatan yang mengintegrasikan pelayanan
kesehatan promotif, preventif, dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang berisiko tinggi
untuk mengatasi masalah penyakit berbasis lingkungan pemukiman yang dilaksanakan oleh
petugas puskesmas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan secara pasif dan aktif di
dalam dan di luar gedung.

Integrasi upaya kesehatan lingkungan dan upaya pemberantasan penyakit berbasis


lingkungan semakin relevan dengan ditetapkannya paradigma sehat yang lebih
menekankan pada upaya promotif-preventif dibanding upaya kuratif-rehabilitatif.
Melalui klinik sanitasi, ketiga upaya pelayanan kesehatan yaitu promotif,
preventif, dan kuratif dilakukan secara terintergrasi dalam pelayanan kesehatan
program pemberantasan penyakit berbasis lingkungan, di dalam maupun di luar gedung .

Klinik sanitasi merupakan suatu wahana masyarakat dalam mengatasi masalah


kesehatan lingkungan untuk pemberantasan penyakit dengan bimbingan,
penyuluhan, dan bantuan teknis dari petugas puskesmas. Klinik sanitasi bukan
sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari
kegiatanPuskesmas.
Secara umum klinik sanitasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melaui upaya preventif, kuratif, dan promotif yang dilakukan secara terpadu,
terarah dan terus menerus. Secara khusus bertujuan:

1. Terciptanya keterpaduan kegiatan lintas program dan lintas sektor dalam program
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan dengan
memberdayakan masyarakat;
2. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemampuan dan perilaku masyarakat
(pasien, klien dan masyarakat) untuk mewujudkan lingkungan dan perilaku
hidup bersih dan sehat;
3. Meningkatnya pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk
mencegah dan menanggulangi penyakit berbasis lingkungan serta masalah
kesehatan lingkungan dengan sumber daya yang ada;
4. Menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan dan meningkatnya kondisi
kesehatan lingkungan.

Sasaran program klinik sanitasi meliputi: 1) penderita penyakit (pasien) yang berhubungan
dengan masalah kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang
diketemukan di lapangan); 2) masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah
kesehatan lingkungan (yang datang ke puskesmas atau yang menemui petugas
klinik sanitasi di lapangan); 3) lingkungan penyebab masalah bagi penderita/klien dan
masyarakat sekitarnya.

Klinik sanitasi dilaksanakan di dalam gedung dan di luar gedung puskesmas oleh
petugas sanitasi dibantu oleh petugas kesehatan lain dan masyarakat. Kegiatan dalam
gedung difokuskan pada identifikasi penyakit yang diderita pasien, kegiatan
konseling, penyuluhan dan membuat perjanjian untuk kunjungan rumah. Kegiatan di
luar gedung berupa kunjungan rumah. Kegiatan tersebut meliputi inspeksi sanitasi
lingkungan tempat tinggal pasien, penyuluhan yang lebih terarah kepada pasien,
keluarga dan tetangga sekitar. Inspeksi sanitasi lingkungan bertujuan untuk mengetahui
faktor risiko lingkungan dan ketepatan jenis intervensi yang akan dilakukan.

Strategi operasional dari program klinik sanitasi meliputi :

1. Inventarisasi masalah kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis lingkungan


yang dihadapi oleh masyarakat dengan cara pengumpulan data dan pemetaan
yang berkaitan dengan penyakit, perilaku, sarana sanitasi, dan keadaan
lingkungan.
2. Mengintegrasikan intervensi kesehatan lingkungan dengan program terkait di
puskesmas dalam rangka pemberantasan penyakit berbasis lingkungan.
3. Menentukan skala prioritas penyusunan perencanaan
dan pelaksanaanpenanganan masalah kesehatan lingkungan
dengan mempertimbangkan segala sumber daya yang ada dengan melibatkan
lintas program dan lintas sektor terkait, baik dalam lingkup kabupaten maupun
puskesmas.
4. Menumbuhkembangkan peran serta masyarakat melalui kemitraan dengan
kelembagaan yang ada.
5. Membentuk jaringan kerjasama antar kabupaten/kecamatan yang merupakan
satuan ekologis atau satuan epidemiologis penyakit.
6. Menciptakan perubahan dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui upaya promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat.
7. Mengupayakan dukungan dana dari berbagai sumber antara lain masyarakat,
swasta, pengusaha, dan pemerintah.
Pemisahan Tempat Sampah Medis

Untuk melaksanakan kegiatan program klinik sanitasi diperlukan adanya tenaga


pelaksana, sarana dan prasarana, dan dukungan dana. Tenaga pelaksana sebaiknya
berlatarbelakang pendidikan kesehatan lingkungan atau tenaga kesehatan lain yang ditunjuk
oleh kepala puskesmas dan telah mendapat pelatihan tentang klinik sanitasi.

Kelengkapan sarana dan prasarana seperti ruangan untuk konseling dan bengkel, peralatan,
transportasi, alat peraga atau media penyuluhan, formulir pencatatan dan pelaporan, dan
buku pedoman. Tenaga dan sarana/prasarana yang tersedia dapat diberdayakan dengan
baik jika ada dukungan dana operasional.

Beberapa hambatan yang mungkin ditemui dalam pelaksanaan klinik sanitasi sebagai
berikut :

1. Masih terbatasnya tenaga puskesmas sebagai pelaksana klinik sanitasi, sehingga


kegiatan ini belum menjadi prioritas puskesmas.
2. Terbatasnya jangkauan petugas klinik sanitasi untuk membina desa yang
ada di wilayah puskesmas karena luasnya wilayah, kondisi geografis, dan
terbatasnya transportasi.
3. Terbatasnya dana untuk kegiatan klinik sanitasi.

Beber apa peluang yang mungkin ditem ui dalam pelaksanaan klinik sanitasi
sebagai berikut.

1. A d a n y a dana operasional Puskesmas yang dapat


dimanfaatkan untuk kegiatan klinik sanitasi.
2. Penyakit berbasis lingkungan masih mendominasi kasus yang terjadi.
3. Adanya mekanisme lokakarya mini di puskesmas yang dapat digunakan untuk
pengembangan dan koordinasi kegiatan klinik sanitasi.
4. Pendayagunaan tenaga kesehatan lingkungan yang saat ini bekerja di luar bidang
tugasnya untuk pelaksanaan klinik sanitasi.
5. Adanya dana sektor lain yang dapat dialokasikan di desa sehingga dapat
menunjang kegiatan klinik sanitasi.
6. Semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa
sebagai dampak dari pemberdayaan masyarakat selama ini.
7. Telah tersediaannya alat ( water test kit dan media penyuluhan).
8. Pener apan par adig m a sehat yang selar as deng an pelaksanaan klinik
sanitasi.
9. Baku Mutu Lingkungan dan Dasar Hukumnya
Baku mutu lingkungan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Baku mutu lingkungan ini berfungsi untuk menentukan terjadinya pencemaran lingkungan hidup.
Sedangkan Baku mutu lingkungan hidup meliputi baku mutu air; baku mutu air limbah; baku mutu air
laut; baku mutu udara ambien; baku mutu emisi; baku mutu gangguan; dan baku mutu lain sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara prinsip setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup, sal
dapat memnuhi beberapa persyaratan, antra lain memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Fungsi Baku Mutu Lingkungan adalah untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak
atau tercemar dan untuk mengetahui telah terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan digunakan.
nilai ambang batas merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau
kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi dan terendah dari kandungan zat-zat, mahluk
hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap interaksi yang berkenaan dengan lingkungan
khususnya yang mempengaruhi mutu lingkungan. Dapat dikatakan lingkungan tercemar apabila kondisi
lingkungan telah melewati ambang batas (batas maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan
berdasarkan baku mutu lingkungan. telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku mutu
limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air laut. (Bapedal, 2001).

Menurut undang-undang tentang pengelolahan lingkungan hidup No. 23/1997, limbah adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan. Sedangkan, limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lain.

Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas. Baku mutu limbah cair rumah sakit
adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan
rumah sakit.

Menurut Nomor PP No. 18/1999 Jo. PP No.85/1 999, bahwa limbah medis termasuk limbah B3 definisi
limbah B3 menurut PP No.18/1 999 Jo. PP No.85/1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun disingkat B3 adalah sisa atau suatu usaha dan / atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau persentasinya dan/atau jumlah, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau
membahayakan lingkungan hidup kesehatan.

eberapa Unsur Penilaian Baku Mutu Air Bersih


Sebagaimana kita ketahui, air yang telah tercemar menyebabkan penyimpangan standar kualitas air. Terdapat
beberapa faktor yang dapat menyebabkan perjadinya perubahan kualitas air sehingga tidak sesuai lagi dengan
standar baku mutu yang dipersyaratkan. Beberapa faktor penyebab tersebut antara lain :

1. Secara alamiah sumber air yang digunakan mengandung bahan-bahan kimia dalam jumlah yang
berlebihan sehingga memerlukan pengolahan yang lebih sempurna.
2. Air yang telah memenuhi standar kualitas akan dapat tercemar, baik secara alamiah maupun akibat
aktivitas manusia.
3. Kurangnya pengertian individu atau masyarakat yang menggunakan fasilitas air bersih.

Beberapa komponen dan standar baku pada air bersih meliputi berbagai aspek baik fisik, kimia, maupun
bakteriologis. Beberapa aspek yang dinilai sebagai acuan standar baku air tersebut meliputi unsur-unsur antara
lain :

1. Suhu. Kenaikan suhu menimbulkan beberapa akibat antara lain menurunnya jumlah oksigen terlarut
dalam air, meningkatkan kecepatan reaksi kimia serta terganggunya kehidupan ikan dan hewan air
lainnya. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.
2. pH. Nilai pH air yang normal antara 6 8, sedangkan pH air terpolusi misalnya air buangan, berbeda-
beda tergantung dari jenis buangannya.
3. Warna, bau dan rasa. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya polusi. Warna air
dibedakan atas dua macam yaitu warna sejati (true colour) yang disebabkan oleh bahan-bahan terlarut,
dan warna semu (apparent colour), yang selain disebabkan adanya bahan terlarut juga karena adanya
bahan tersuspensi, termasuk di antaranya yang bersifat koloid. Bau air tergantung dari sumber airnya.
Timbulnya bau pada air secara mutlak dapat dipakai sebagai salah satu indikator terjadinya tingkat
pencemaran air yang cukup tinggi. Air yang normal sebenarnya tidak mempunyai rasa. Apabila air
mempunyai rasa (kecuali air laut), hal itu berarti telah terjadi pelarutan garam.
4. Kesadahan. Standar kesadahan total adalah 500 mg/l, jika melebihi akan dapat menimbulkan beberapa
resiko seperti : a) mengurangi efektivitas sabun, b) terbentuknya lapisan kerak pada alat dapur, c)
kemungkinan terjadi ledakan pada boiler, d) sumbatan pada pipa air.
5. Besi (Fe). Dalam jumlah kecil zat besi dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel darah merah.
Kandungan zat besi di dalam air yang melebihi batas akan menimbulkan gangguan. Standar kualitas
ditetapkan 0,1 1.0 mg/l.
6. Mangaan (Mn). Tubuh manusia membutuhkan mangaan rata-rata 10 mg/l sehari yang dapat dipenuhi
dari makanan. Mangaan bersifat toksik terhadap organ pernafasan. Standar kualitas ditetapkan 0,05
0,5 mg/l dalam air.
7. Nitrit (NO2) dan Nitrat (NO3). Jumlah nitrat yang besar dalam tubuh cenderung berubah menjadi nitrit
dan dapat membentuk methaemoglobine sehingga dapat menghambat perjalanan oksigen dalam tubuh,
hal ini dapat menyebabkan penyakit blue baby. Nitrit dalah zat yang bersifat racun sehingga kehadiran
bahan ini dalam air minum tidak diperbolehkan.
8. Cadmium (Cd). Cadmium merupakan zat beracun yang bersifat akumulasi dalam jaringan tubuh
sehingga dapat menyebabkan batu ginjal, gangguan lambung, kerapuhan tulang, mengurangi
hemoglobin darah dan pigmentasi gigi. Selain itu cadmium juga bersifat karsinogenik.
9. Timbal (Pb). Timbal sangat berbahaya bagi kesehatan karena cenderung terakumulasi dalam tubuh,
serta meracuni jaringan syaraf.
10. Kekeruhan. Kekeruhan dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena adanya bahan yang
tidak terlarut seperti debu, tanah liat, bahan organik atau inorganik, dan mikroorganisme air. Akibatnya
air menjadi kotor dan tidak jernih sehingga bakteri pathogen dapat berlindung di dalam atau di sekitar
bahan penyebab kekeruhan.
11. Bakteri coli. Organisme pathogen di perairan merupakan indikasi adanya pencemaran air. Oleh karena
itu organisme pathogen di perairan harus diketahui. Mengingat tidak mungkin mengindikasikan berbagai
macam organisme pathogen, maka pengukuran pengukurannya menggunakan bakteri-coli sebagai
indikator organisme. Standar Coli pada air bersih ditetapkan sebesar 10 coli/100 ml air.

Referensi, antara lain : Fardiaz,S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius.; Sutrisno,T.C. dan Suciati,E.,
2004, Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta; Wardhana, A.W., 1999. Dampak Pencemaran
lingkungan. Andi Offset

Pencemaran Lingkungan Leachate Pada Tempah


Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Leachate adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan
dan membilas materi-materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis. Kuantitas
dan kualitas leachate sangat bervariasi dan berfluktuasi. Sebagai gambaran dapat dilihat data komposisi
leachate dari proses pembusukan sampah yang terjadi di landfill (Tchobanoglous, et al, 1993), berikut ini :

Landfill (< 2 tahun) Landfill (>10


Parameter Range Tipikal tahun)
BOD5 2.000-30.000 10.000 100-200
TOC 1.500-20.000 6.000 80-160
COD 3.000 60.000 100-500
TSS 200-2.000 500 100-400
Organik Nitrogen 10-800 200 80-120
Amonia nitrogen 10-800 200 20-40
Nitrate 5-40 25 5-10
Total Phosporus 5-100 30 5-10
Ortho Phosporus 4-80 20 4-8
Alkalinitas (CaCO3) 1.000-10.000 3.000 200-1000
PH 4.5 7.5 6 6.5-7.5
Total Hardness as CaCO3 300-10.000 3.500 200-500
Calcium 200-3.000 1.000 100-400
Magnesium 50-1.500 250 50-200
Potassium 200-1.000 300 50-400
Sodium 200-2.500 500 100-200
Chloride 200-3000 500 100-400
Sulfate 50-1.200 300 20-50
Total iron 50-1.200 60 20-200

Salah satu dampak yang ditimbulkan leachate adalah terjadinya pencemaran air tanah karena leachate.
Sebagaimana kita ketahui, pencemaran air tanah adalah berubahnya tatanan air di bawah permukaan
tanah oleh kegiatan manusia atau proses alam yang mengakibatkan mutu air tanah turun sampai ke
tingkat tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran air tanah pada saat ini
sudah sedemikian kronis, terutama karena kegiatan industri dan peningkatan jumlah penduduk dan
urbanisasi ke beberapa kota besar.

Menurunnya kualitas air tanah dapat karena kontaminasi yang bersumber dari pembuangan atau
penimbunan sampah padat, pembuangan air kotor maupun karena aktivitas pertanian. Jika sampah
dibuang atau ditimbun pada suatu tempat dengan menggunakan cara pembuangan atau penimbunan
yang keliru maka kontaminasi atau pengotoran air tanah dapat tejadi.

Suatu timbunan sampah padat tidak hanya


disusun oleh komponen komponen padat saja, tetapi terkandung pula cairan sampah yang disebut
lindian (leachate). Lindian ini mengandung unsur-unsur kimia, baik zat organik maupun anorganik dan
sejumlah bakteri pathogen atau parasitik, sehingga bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan
manusia. Pada daerah dengan curah hujan tinggi, lindian menjadi lebih mudah terbentuk dan jumlahnya
akan menjadi banyak. Kontaminasi atau pengotoran air tanah akan terjadi bila lindian masuk dalam air
tanah.

Leachate atau air lindi yang telah mencapai air tanah akan terbawa oleh aliran air tanah. Bersama aliran
air tanah, air lindi dapat mencemari air sumur dengan bahan pencemar yang terkandung di dalamnya.
Masuknya lindi atau polutan kedalam sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain Jarak
penyebaran pencemar di dalam tanah; Tekstur tanah; Porositas tanah; Aliran air tanah; Frekuensi
pemakaian air; dan Temperatur.

Pengendalian Vektor dengan Survey Kepadatan


Nyamuk Dewasa
Kita mungkin terbiasa dengan survey jentik, namun
kurang terbiasa dengan survey nyamuk. Teori dan praktikum survey nyamuk pasti sudah pernah kita dapatkan
ketika pendidikan dulu. Namun kegiatan ini jarang kita lakukan, antara lain karena keterbatasan sarana dan
sistem tindak lanjut yang kurang aplikatif. Misalnya jika data survey sudah kita dapatkan (jenis nyamuk dan
lainnya), kemudian harus kita gunakan untuk apa data ini. Hal ini berbeda dengan survey jentik sebagai salah
satu tahap penyelidikan epidemiologi pada kasus demam berdarah dengue misalnya, maka sistem tindak
lanjutnya praktis akan terkait dengan kriteria gerakan PSN atau perlu tidaknya tindakan fogging.

Sementara ini survey nyamuk yang kita lakukan pada umumnya terkait dengan pengerjaan tugas penelitian dan
bersifat insidentil, seperti penyusunan tugas akhir, skripsi, atau thesis. Dan hasilnya bersifat menambah wacana
keilmuan, kemudian raib tidak berbekas. Padahal jika kita gunakan data-data itu, secara praktis dapat kita
gunakan misalnya untuk penilaian tingkat resistensi nyamuk terhadap insektisida, dosis yang harus kita
aplikasikan pada fogging, waktu paling efektif melakukan fogging, pola pemberantasan biologis yang
memungkinkan, dan lain sebagainya. Sementara kebanyakan kita berasumsi teori terkait hal tersebut tidak
berubah dari jaman kita sekolah dulu.

Artikel ini mungkin dapat mengingatkan kembali tentang survey nyamuk. Saya jadi teringat ketika menempuh
pendidikan di Akademi Kesehatan Lingkungan Surabaya (sekarang Poltekes Kemenkes). Pada saat ujian lisan,
mungkin karena grogi, seorang teman ketika ditanya prosedur menangkap tikus, dia menjawab antara lain
dilakukan dengan cara umpan badan, maka meledaklah tawa kita ketika itu. Tentu umpan badan yang dimaksud
ketika itu sebagai prosedur tangkap nyamuk pada mata kuliah pengendalian vektor, bukan tangkap tikus.

Survey nyamuk dengan kegiatan tangkap nyamuk dilakukan pada sasaran sampel rumah penduduk baik di
dalam maupun di luar rumah. Terdapat dua macam jenis penangkapan nyamuk berdasarkan kebiasaaan
nyamuk.

1. Landing collection, yaitu penangkapan nyamuk yang hinggap, dilakukan selama 20 menit untuk setiap
rumah.
2. Resting collection, yaitu penangkapan nyamuk yang istirahat, dilakukan selama 5 menit pada setiap
rumah.
Prosedur dan Metode Penangkapan Nyamuk

Penangkapan nyamuk dilakukan pada masa aktif nyamuk mencari inang atau mengisap darah, misalnya pada
jenis nyamuk Aedes, dilakukan pada pukul 08.00-11.00 WIB. Sedangkan jika sasaran penangkapan nyamuk kita
adalah Anopheles, maka beberapa pertimbangan terkait bionomik Anopheles harus kita jadikan sebagai dasar
penentuan waktu dan sasaran.

Penangkapan nyamuk dewasa dilakukan oleh dua orang kolektor, masing-masing satu orang melakukan
penangkapan nyamuk di dalam dan satu orang lagi di luar rumah. Setiap kolektor berperan sebagai umpan dan
sekaligus penangkap. Setiap kolektor duduk dalam suatu ruangan yang ditentukan (dalam rumah) atau di
halaman rumah (luar rumah). Sementara prosedur penangkap (umpan badan) diantaranya dengan menggulung
ujung celana sampai ke lutut, tidak beralas kaki, dan tidak makan, tidak menggunakan parfum atau repellent,
tidak makan minum atau merokok. Ketika terdapat nyamuk maka ketika nyamuk hinggap sebelum menggigit
(landing), nyamuk ditangkap dengan menggunakan aspirator, kemudian ditempatkan dalam paper cup.

Sementara prosedur penangkapan nyamuk istirahat (resting place) dilakukan menggunakan aspirator selama
lima menit pada nyamuk yang hinggap dalam rumah, seperti pada dinding, gantungan baju, dan lain sebagainya.
Sedangkan pada lokasi luar rumah antara lain pada tempat-tempat seperti pada tanaman, pagar, sekitar ternak,
dan lain sebagainya. Kemudian dilakuakn pembiusan pada nyamuk yang tertangkap menggunakan khlorofom
untuk kemudian dilakukan pinning dan proses identifikasi.

Jika kita simpulkan beberapa penjelasa diatas maka prosedur tangkap nyamuk secara ringkas dapat kita
tulisakan sebagai berikut :

Beberapa Bahan yang digunakan pada kegiatan survey nyamuk antara lain : Paper cup, Kertas Label, Alat tulis,
dan Khlorofom. Sedangkan alat yang digunakan berupa Aspirator.

Prosedur Kerja

1. Menentukan wilayah yang akan disurvey


2. Menyiapkan alat dan bahan yang akan di gunakan untuk
3. Pemasangan umpan badan
4. Melakukan penangkapan nyamuk dengan aspirator antara lain pada feeding place dan resting place
baik di dalam maupun diluar rumah.
5. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke dalam papercup, kemudian diberi label dengan informasi
tentang lokasi, jam, tanggal dan nama collector.
6. Survey dilakukan selama 6 jam, dengan waktu optimalnya 40 menit setiap jamnya.
7. Pencatatan hasil perhitungan kepadatan nyamuk.
8. Menyusun laporan hasil survey.

Sedangkan perhitungan kepadatan nyamuk (Man Hour Density) dihitung menggunkan formula berikut :
MHD (Man Hour Density) :

Anda mungkin juga menyukai