Anda di halaman 1dari 3

Spirit Rahmatan Lil Alamin: Kearifan Lokal Hukum

yang Kembali ke Alam


Pemikiran-pemikiran yang menonjol dari Prof. Esmi terkait rekonstruksi hukum ini adalah
bahwa dalam perubahan/pembangunan hukum baru seharusnya pengembangannya dilakukan
dengan pendekatan yang holistik dan komperhensif agar hukum dapat dipahami secara utuh
(Esmi Warassih, 2001). Sebagai masyarakat yang meyakini adanya Tuhan Semesta Alam
telah memberikan kesadaran kepada kita bahwa tidak ada kejadian di muka bumi ini terpisah
dari bagian lain yang ada di alam semesta. Gempa, banjir bandang, tsunami, dan kejadian
alam lainnya tidak akan terlepas dari tangan-tangan manusia/perbuatan manusia.

Refleksi holistik dan deep ecology yang disampaikan Prof. Esmi itu pada dasarnya telah
terwujud dalam nilai-nilai hukum masyarakat Indonesia yang terkemas dalam kearifan lokal.
Pada dasamya kearifan lokal yang berupa ajaran (piwulang) dan larangan (wewaler) itu
berkaitan erat dengan pemeliharaan keseimbangan hubungan dengan alam. Hakekat yang
terkandung di dalamnya adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berprilaku yang
serasi dan selaras. Kegoncangan alam semesta, dalam bentuk bencana alam adalah
peengejawantahan dari kemarahan kekuatan alam semesta.

Secara modem pemikiran itu kemudian dituangkan oleh Fritjof Capra lewat konsep deep
ecology. Capra (2001) mengatakan bahwa living organism merupakan organism social
system dan eco system yang tidak dapat dipahami secara terpisah-pisah mengingat komponen
kehidupan tersebut telah terbangun secara interconnected dan interdependent.

Dalam bahasa Prof. Esmi beliau acap menyebutnya secara religius, bahwa pembangunan
hukum itu harus berpedoman pada kemanfaatan yang rahmatan IiI alamin, artinya bahwa
pembangunan hukum itu ditujukan untuk membangun masyarakat yang robbani dan harus
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Manusia yang dibangun harus menyadari kemanusiaannya
bahwa dirinya hanyalah bagian dari semesta alam Ciptaan Tuhan, manusia hanya bertugas
menjalankan pesan-pesan Tuhan agar kaidah-ka'dah yang terkandung dalam kitab Tuhan
dapat dilaksanakan dan dikonkritkan.

Capra dan Prof. Esmi telah mengingatkan kepada kita untuk menelami kembali nilai-nilai
kearifan lokal yang kita miliki guna membangun Hukum kita yang holistik. Spirit ecor-eligio
Esmi Warassih ini menjadi eco~moral keteladanan bangsa dalam membangun hukum, yang
menempatkan hukum sebagai bagian yang holistik dari menjaga alama semesta.

Hal ini penting karena bagi masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada
alam/lingkungan sebagai ruang hidupnya (lebensraum) dan mengatur ruang hidupnya itu
dengan kearifan lokal, keberadaan alam/lingkungan tidak sekedar sebagai ruang produksi
tetapi juga sumber budaya.

Pemikiran Prof Esmi yang rahmatan lil alamin adalah ingin menempatkan hukum kembali ke
alam dalam arti hukum bagian dari alam, berpikir demikian adalah asas eco-moral
(keteladanan moral). Hukum tidak dapat hanya melihat ke dalam dirinya sendiri dan berjalan
serta berbuat apa yang ia kehendaki. Oleh sebab itu, hukum tidak boleh berlawanan dengan
alam kecuali bila ingin menghasilkan hukum yang buruk (bertentangan dengan apa yang
telah berakar pada masyarakat).
Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat eco-sosial,
yaitu masyarakat yang merupakan suatu sistem jaringan dan jalinan hubungan antara orang
dengan orang yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah tertentu di mana masyarakat itu
tinggal di lingkungan fisik-organis itu harus diseimbangkan/disandarkan pada lingkungan
transendental (kekuatan di luar manusia).

Perkembangan hukum yang berdamai dengan alam dalam pandangan Capra adalah menjaga
kelestarian antara organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Menurut Capra untuk tumbuh
menjadi suatu masyarakat yang mampu mempertahankan kelangsungan hidup dengan baik,
maka tidak ada jalan lain kecuali memelihara dan menjaga kesatuan kehidupan itu tidak
terganggu.

Fukuyama telah mengingatkan bahwa akar kerusakan yang dahsyat di bumi ini bersumber
pada kemiskinan yang meningkat, kekayaan yang meningkat, erosi kultural yang meluas, dan
meningkatnya egoisme.

Untuk itu, menurut Prof Esmi, saat inilah justru diperlukan empati dan belajar dari pola pikir
masyarakat yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kearifan lokal dalam melaksanakan
pengelolaan dan menjaga semesta alam. Salah satu caranya adalah kita perlu meninjau
kembali apa yang telah dilakukan oleh hukum selama ini dan ke depan harus menuju hukum
yang holistik dan komperhensif.

Menuju Upaya Rekonstruksi Hukum yang Berbasis Kearifan Lokal.

Dalam konteks rekonstruksi hukum ini ada kegundahan Prof Esmi terkait hukum kita, bahwa
sekalipun kita telah memiliki nilai-nilai moralitas hukum yang tinggi ('budi luhur) ~yang
tercerminm dalam kearifan

lokal- namun nilai-nilai itu belum sampai menukik ke dalam kultur hukum kita. Dalam
pembangunan hukum hendaknya harus dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik, hal ini
mengingat hukum bukan sekedar fonnalitas atau berurusan dengan soal-soal normatif semata,
melainkan unsur kultur pun perlu mendapat perhatian yang lebih disamping struktur dan
subtansinya (Esmi Warassih, 2016a). Ditambahkan oleh beliau bahwa selama ini hukum kita
bersifat Sentralistik, didominasi oleh lembaga-lembaga formal seperti eksekutif, bersifat
represif, dan dibentuk untuk mcmpertahankan kekuasaan (status Quo), Iebih mencerminkan
kepentingan kelompok yang memiliki bargaining Position yang kuat, tidak mencapai suatu
tujuan yang benar yaitu keadilan.

Menurut Nurjaya (2009) SDA hukum negara (state law) merupakan hukum yang superior
dibandingkan keberadaan hukum rakyat (kearifan lokal) tersebut, bahkan seringkali negara dengan
hukumnya melakukan distorsi dengan menghindarkan fakta historis keberadaan masyarakat hukum
adat yang utamanya menggunakan kearifan lokal dalam pengaturan sumber daya alamnya.

Negara merasa sebagai pemilik atas SDA kemudian muncul yang tercermin dari manipulasi
interpretasi atas hak menguasai negara yakni, pertama, pemerintah telah memberikan interpretasi
sempit atas negara, di mana negara semata-mata diinterpretasikan sebagai pemerintah saja
bukan pemerintah dan rakyat. Kedua, implikasi manipulasi interpretasi di mana rakyat diposisikan
sebagai subordinasi yang bersifat bawahan (inferior) sedangkan pemerintah sebagai atasan
(superior). Ketiga, pola hubungan super-subordinasi antara pemerintah dengan rakyat berimplikasi
pada pilihan paradigma pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan yang berbasis
pemerintah bukan negara (pemerintah dan rakyat).

Untuk itu, beberapa upaya alternatif atas rekonstruksi hukum -dalam arti upaya
pembaharuan/pembangunan kembali hukumyang berbasis kearifan lokal perlu dilakukan,
dengan melihat latar yang melingkupinya di atas upaya-upaya yang dapat dilakukan
diantaranya:
Pertama, Perlu mengajarkan pendidikan hukum yang menekankan pada perubahan pemikiran
paradigma hukum. Menurut Prof. Esmi (2012a): Melakukan perubahan hukum bukan pada
revisi peraturan perundang-undangan secara parsial. Pembaharuan hukum yang hanya pada
level perubahan pasal-pasal tertentu hanya meredamkan luka namun tidak
menyembuhkannya. Perlunya racikan obat yang mujarab, betapa hukum hendaknya
ditanggulangi patologi yang diidapnya secepat mungkin dan seefektif mungkin. Perubahan
yang paling radikal hingga menusuk ke urat syaraf yang paling fundamental, yakni perubahan
paradigma. Paradigma yang dianut arus besar pendekatan hukum yang dominan adalah
legalistik formal. Terlalu mengagung-agungkan dan mengkultuskan peraturan perundang-
undangan. Padahal cara berpikir seperti itu sudah sampai pada tataran anomali.

Kedua, Aturan-aturan hukum yang dibuat substansi pengaturannya harus memuat nilai-nilai
moral kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu terkemas pula dalam nilai-nilai kearifan
lokal.

Ketiga, Merawat budaya hukum dengan penanaman nilai-nilai, penggalian nilai-nilai hukum,
dan keteladanan. Menurut Prof Esmi para individu sejak kecil telah diresapi oleh nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakat, konsepsi-konsepsi yang dimiliki itu sejak lama telah
berakar dalam alam jiwa mereka.

Anda mungkin juga menyukai