Anda di halaman 1dari 14

Author : Dhany.

Refleksi & Dinamika Penyelenggaraan Temuteman

Temuteman (Temu Teater Mahasiswa Nusantar) kini telah berusia 15 tahun, sejak pertama kali
diselenggarakannya pada tahun 2002 di Makassar. Sebagai sebuah event, di usia tersebut, tentunya
Temuteman telah secara alami membentuk karakteristiknya sendiri, menjadi ciri khas yang
membedakannya dengan event teater lainnya di Nusantara. Dimulai dari event Temuteman I (2002)
hingga yang baru saja selesai dilaksanakan yaitu Temuteman XV di Madura (2017), telah melahirkan
beragam dinamika yang berkontribusi pada pembentukan karakter atau ciri khas Temuteman itu
sendiri.

Tentu menarik jika kita coba melakukan Flashback dan sedikit ulasan umum mengenai perubahan-
perubahan yang pernah terjadi dalam beberapa periodisasi penyelenggaraan Temuteman dari yang I
hingga ke XV. Pengalaman ini saya tulis berdasarkan berbagai catatan dan dokumentasi, cerita
pengalaman dari kakak senior, hasil diskusi dengan komunitas teater kampus, serta pengalaman yang
saya rasakan sendiri dari beberapa kali mengikuti event Temuteman.

Temuteman I (Makassar), Temuteman II (palu), Temuteman III (Gorontalo),


Temuteman IV (Banjarmasin)

Pada generasi awal event Temuteman, yaitu di empat event pertama, diskusi yang berkembang lebih
banyak membicarakan seputar penguatan ideologi Temuteman sebagai media perlawanan pada
konsep festival teater yang melakukan penjurian terhadap karya teater yang dipentaskan. Pada kondisi
saat itu, festival teater seolah menjadi kiblat bagi para seniman teater (termasuk pelaku teater
kampus) untuk memperoleh pengakuan atas hasil karyanya.

Konsep yang lazim dalam festival adalah diadakannya penjurian dan perlombaan. Bagi para penggagas
Temuteman pertama kala itu, penjurian dan ataupun perlombaan dianggap sebagai bentuk
penghakiman pada karya sehingga dinilai bertentangan dengan visi kesenian teater yang seharusnya
merdeka/bebas dalam setiap pertunjukannya. Sehingga kebutuhan pada ruang apresiasi yang tanpa
embel-embel juri pun digagas pasca pelaksanaan event Festamasio I di Samarinda tahun 2001.

Selain menolak penjurian dan perlombaan karya teater, event Temuteman juga mengusung spirit
perlawanan pada event Peksiminas yang saat itu dikelola oleh BSMI. Event Peksiminas dianggap hanya
menjadi ladang keuntungan bagi birokrat kampus dengan memanfaatkan mahasiswa dan
kreatifitasnya sebagai sapi perah nya. Semangat perlawanan itu kemudian dituangkan dalam
Deklarasi SombaOpu yang dicetuskan saat event Temuteman I, di Makassar. Semangat idealisme ini
sangat kuat dan terus digelorakan di event Temuteman generasi awal sehingga memberikan warna
tersendiri pada gejolak kesenian teater kampus kala itu.

Eksistensi Temuteman diantara berbagai event teater lainnya yang telah eksis, seakan menjadi
anomali yang memberi warna dalam dinamika perteateran di Nusantara. Temuteman yang peserta
utamanya adalah komunitas teater kampus, membawa semangat idealisme kemahasiswaan yang
merdeka, dan kritis. Meskipun dalam berbagai diskusi, teater kampus kerap dianggap sebelah mata,
karena secara kaderisasi dan pengelolaan event dianggap kurang serius dan kurang profesional,
namun jelas keberadaan teater kampus tetap tak dapat disepelehkan terutama dari kuantitas
komunitasnya serta anggotanya yang sangat banyak dan tersebar. Teater kampus juga mempunyai daya
konsistensi, survive dan kemandirian dalam berproses karena sebagian didukung dengan fasilitas
kampus dan statusnya anggotanya yang masih mahasiswa. Selain itu, daya kritis dan militansi yang lekat
dengan ciri mahasiswa memberikan modal bagi pelaku teater kampus untuk melahirkan inovasi,
bereskplorasi lebih bebas melepaskan diri dari pakem-pakem dramaturgi yang umum dianut,
keberanian merespon isu-isu sosial, serta jujur dan murni menyampaikan aspirasi melalui media seni
teater tanpa tendensi politik pragmatis. Denyut berkesenian di kalangan mahasiswa pun terus hidup,
dengan semakin intensnya pertunjukan baik di dalam maupun di luar gedung kampusnya meskipun
kadang terkendala dengan fasilitas pemanggungan ala kadarnya, manajemen yang sederhana, dana
yang minim, serta pola kaderisasi yang periodik karena terikat masa kuliah.

Penyelenggaaraan Temuteman di periode awal ini mampu menjadi ruang baru yang mewadahi
sebagian kegelisahan para komunitas teater kampus pada tersedianya ruang apresiasi teater yang
merdeka dan bebas intervensi politik praktis. Dengan kemasan event yang sederhana dan tanpa
tuntutan kompetisi, event Temuteman juga dirasakan lebih mampu membangun persaudaraan dan
silaturahmi yang lebih erat antar pelaku teater kampus se Nusantara. Hampir tak ada sekat antara
komunitas, tak ada motivasi kompetisi, dan tak ada canggung untuk saling bertukar pengalaman proses.

Temuteman V (malang), Temuteman VI (Surabaya), Temuteman VII (Bali),


Temuteman VIII Bogor,

Periode selanjutmya, penyelenggaraan Temuteman semakin menunjukan gaungnya, terbukti dengan


keterlibatan komunitas teater kampus dari tanah Jawa. Dari sisi jumlah Komunitas dan peserta yang
terlibat pun menjadi semakin banyak. Bagi komunitas teater kampus di Jawa tentu sudah terbiasa
dengan berbagai event teater sekelas festival baik skala nasional maupun regional, namun kehadiran
Temuteman menjadi ruang alternatif dan baru untuk berapresiasi teater, membangun pertemanan
yang lebih luas, semangat persaudaraan dan gotong royong yang kuat serta berbagai hal lainnya yang
mungkin tidak didapatkan ketika mengikuti event festival teater.

Permasalahan umum yang mulai muncul di periode ini terkait hal hal teknis seperti keterbatasan panitia
penyelenggara dalam mendapatkan pendanaan dan fasilitas baik dari kampus, pemerintah ataupun
sponsor. Kondisi ini berdampak pada minimnya fasilitas yang disediakan. Mulai dari penginapan yang
kurang memadai, kamar mandi dan toilet yang terbatas, hingga soal konsumsi yang kurang enak.
Fasilitas panggung juga tak ketinggalan dikeluhkan. Awalnya hal ini menjadi keluhan, namun karena
kembali pada semangat Temuteman yang mempunyai tujuan membangun persaudaraan, semangat
perlawanan dan kemandirian, maka justru semua masalah kekurangan inilah yang menjadi ruang untuk
membangun empati, kerjasama, gotong royong, dan saling melengkapi. Walhasil segala kekurangan
yang ada malah semakin memperkuat persaudaraan antar para peserta Temuteman. Para peserta
menyadari segala kesulitan yang dihadapi panitia dalam pendanaan dan fasilitas karena Temuteman
sebagai event yang mandiri dan jauh dari kepentingan politik praktis. Peserta pun tidak menuntut pada
panitia dalam menyediakan semua fasilitas bahkan secara mandiri menyelesaikan masalahnya masing-
masing dan turut membantu panitia.

Saya sendiri merasakan hal ini, ketika mengikuti event Temuteman Bali dengan fasilitas gedung
pertunjukannya yang kurang memadai. Para peserta tidak berlarut dengan keluhan melainkan secara
bergotong royong membantu panitia untuk merenovasi tempat pertunjukan dan fasilitasnya sehingga
lebih memadai. Hal serupa juga terjadi ketika di Bogor manakala panggung pertunjukan yang disediakan
panitia, dinilai kurang representatif. Akhirnya atas persetujuan panitia, panggung pun di rombak
bersama-sama olah peserta dan panitia hanya dalam waktu semalam. Semangat persaudaraan dan rasa
memiliki acara Temuteman sangat terasa. Semua yang hadir kala itu ikhlas berupaya membantu panitia
agar kegiatan Temuteman berjalan dengan lancar.

Penyelenggaraan Temuteman di periode ini, belum banyak perubahan mendasar dari pelaksanaan
Temuteman di generasi awalnya. Format umum seperti agenda pertunjukan, worskhop, seminar, dan
temuwicara I,II dan III terus diterapkan oleh tuan rumah penyelenggara. Tema penyelenggaraan juga
sifatnya masih umum sehingga setiap komunitas bebas ingin menampilkan karya teater dengan tema
apapun. Pemilihan naskah pun bebas, bisa menggunakan naskah sendiri ataupun naskah yang sudah
ada. Dalam forum diskusi baik yang formal ataupun non formal (lingkaran-lingkaran) masih membahas
terkait masalah kebudayaan secara umum dan sharing pengelaman berproses kesenian. Temuteman
masih sekedar menjadi ajang tahunan untuk sekedar bertemu, pentas teater, mengenal saudara dari
pulau berbeda, dan lalu kembali ke daerah masing-masing.
Pada periode ini mulai terlontar wacana untuk mendaftarkan Temuteman dalam agenda DIKTI. Ide yang
muncul sebagai salah satu solusi atas fasilitas di setiap penyelenggaraan Temuteman yang kerap
dianggap kurang memadai. Juga menjawab kesulitan panitia dalam mengumpulkan pendanaan
kegiatan. Meskipun bergulir, namun ide ini kurang mendapat apresiasi dari sebagian besar peserta
Temuteman, bahkan memicu banyak pendapat kontra karena dianggap akan merusak idealisme
Temuteman yang lagi-lagi merdeka dan bebas intervensi kepentingan. Temuteman masih nyaman
dan kuat dengan sikap idealismenya.

Temuteman IX (Riau), Temuteman X (Purwokerto), Temuteman (XI) Medan

Permasalahan seputar fasilitas nampaknya menjadi tantangan bagi penyelenggaraan Temuteman di


periode selanjutnya yaitu di Riau, Purwokerto, dan juga Medan. Pada pelaksanaan Temuteman di Riau
misalnya, pantia berhasil membangun kerjasama dengan pemerintah dan lembaga terkait sehingga bisa
memperoleh ijin memanfaatkan gedung pertunjukan yang dikelola dinas pariwisata. Gedung
pertunjukannya pun sangat megah dan berstandar internasional. Begitupula dengan fasilitas
penginapan peserta yang dirasa cukup memadai. Pada Temuteman di purwokerto juga demikian,
meskipun masih memanfaatkan sarana kampus namun cukup memberikan kenyamanan bagi peserta,
begitupula pada Temuteman di medan yang juga berhasil menggunakan fasilitas taman budaya
sumatera utara.

Pada periode ini mulai muncul kegelisahan dan kejenuhan yang dituangkan dalam forum diskusi yang
mana dari sekian penyelenggaraan Temuteman seolah hanya berkutat di wilayah pertemuan dan
sebatas menjalin persaudaraan. Sekedar bertemu, berteman, lalu berpisah. Temuteman hanya
menampilkan pertunjukan teater, seminar budaya, worshop-workshop perteateran dasar, dan hampir
tidak ada lahir wacana kritis tentang kebudayaan atau isu lainnya. Ajang Temuteman seakan hanya
dimaknai sederhana sebagai ajang silaturahmi dan persaudaraan. Persepsi sederhana ini akhirnya
dinilai berdampak pada kualitas karya di Temuteman yang cenderung tidak tematik, tidak aktual, tidak
kritis, dan bahkan terkesan ada yang di proses tidak serius. Berbeda jika karya teaternya dipersiapkan
untuk di festival. Idealisme Temuteman pun mulai diperdebatkan, apakah hanya mengejar
perkumpulan atau persaudaraan saja ataukah kualitas karya juga menjadi tolak ukur.

Hal ini menjadi pembahasan yang cukup ramai kala itu, terutama saat Temuteman di Purwokerto.
Sehingga, untuk meningkatkan kualitas karya di Temuteman dan keinginan menjadikan Temuteman
sebagai barometer perteateran kampus, sempat lahir rekomendasi agar karya-karya yang ingin
dipentaskan di panggung Temuteman harus melalui proses seleksi. Salah satu syaratnya harus
mengirim dokumentasi proses minimal 3 bulan sebelum penyelenggaraan. Namun wacana ini
mendapat kontra karena dianggap sangat kaku, membatasi proses dan jika melalui proses seleksi karya
atau kurasi maka sama saja dengan konsep festival.

Diskusi yang berkembang juga mengangkat kegelisahan dalam penyelenggaraan Temuteman yang
dianggap belum mampu melakukan pelibatan aktif pada masyarakt luas pertunjukannya. Penonton
karya pun hanya dinikmati antar komunitas teater yang hadir saat event Temuteman saja. Masalah yang
sebenarnya juga dialami hampir sebagian besar komunitas teater kampus ketik membuat pertunjukan
didaerahnya masing-masing. Teater kampus masih terkesan beronani dalam karya yang dibuatnya.
Masyarakat hampir tidak tersentuh dengan kerja-kerja kesenian. Padahal inspirasi karya notabene
diangkat dari permasalahan sosial budaya masyarakat. Terkadang juga, karya yang dipentaskan jauh
dari realita problem sosial yang ada disekitarnya. Komunitas teater kampus cenderung eksklusif dan
menutup diri pada gejala sosial.

Temuteman pun seakan perlu mendefinisikan kembali dirinya sendiri, sebagai event teater yang
mempunyai arah jelas dan berbeda dengan event teater mahasiswa lainnya. Pada periode ini juga lahir
point-point rekomendasi dari tuan rumah, untuk diteruskan ke penyelenggara selanjutnya. Point yang
disepakati bersama melalui proses diskusi dan menjadi acuan tuan rumah Temuteman selanjutnya.
Namun dalam prosesnya, pelaksanaan rekomendasi ini bukanlah hal yang mudah karena beberapa hal
seperti minimnya informasi dan koordinasi di antar penyelenggara (antar tuan rumah yang telah selesai
dan tuan rumah sedang berproses), serta sulitnya berkoordinasi ke wilayah-wilayah.

Diluar pelaksanaan event Temuteman, ternyata efek Temuteman baik secara langsung ataupun tidak,
ternyata mampu memperkuat ikatan solidaritas kedaerahan di kalangan Teater Kampus. Bagi tuan
rumah Temuteman, biasanya karena membutuhkan SDM yang banyak, maka sistem kepanitiannya
adalah kepanitiaan bersama, sehingga perlu melibatkan koordinasi yang intens dengan seluruh
komunitas teater kampus di regional daerahnya. Tradisi kepanitiaan bersama dimulai dari Temuteman
VI Surabaya dengan mengatasnamakan JENDELA SURABAYA sebagai penyelenggara yang merupakan
gabungan teater kampus Surabaya, kemudian berlanjut di Temuteman Bali dengan penyelenggara
FORUM KERABAT BALI, dan Temuteman Bogor dengan KTKB (Keluarga Teater Kampus Bogor). Dengan
pengalaman menjadi tuan rumah, dirasakan berdampak positif dengan tumbuhnya ikatan
persaudaraan dan solidaritas yang kuat antar teater kampus di daerah masing-masing.

Di kalangan peserta Temuteman, proses keberangkatan secara rombongan ke Temuteman, juga


menjadi wadah membangun silaturahmi regional yang erat. Sebagai contoh Makassar, yang dikenal
dengan nama PSK (Pekerja Seni Kampus) Makassar. Biasanya sebulan sebelum keberangkatan ke
Temuteman, para PSK Makassar ini aktif melakukan koordinasi membahas teknis keberangkatan, dan
kadang juga menggelar latihan bersama. Kebersamaan yang terus berlanjut saat proses keberangkatan,
hingga saat kepulangan. Untuk semakin memperkuat silaturahmi teater kampus di regional Makassar,
digelar pula event tahunan yang serupa dengan konsep Temuteman yang dikenal dengan nama PKMM
(Pentas Karya Mahasiswa Makassar).

Contoh lain kita bisa lihat dari semangat teater kampus di Jakarta. Di Temuteman Bali, Bogor, Riau, dan
selanjutnya, komunitas teater kampus dari Jakarta, selalu manghadirkan peserta yang cukup banyak.
Koordinasi yang baik ini mendukung lahirnya gabungan teater kampus Jakarta yang kini dikenal dengan
nama ART JAKARTA. Kesolidan yang terbangun sampai akhirnya menjadi tuan rumah Temuteman XII
dengan ART JAKARTA sebagai panitia penyelenggara. Semangat militansi juga ditunjukan teater kampus
Palu yang dengan solidnya melahirkan KATEMPA (Keluarga Teater Mahasiswa Palu) dan berhasil
menjadi pelaksana Temuteman XIII. Di event Temuteman selanjutnya, gabungan teater kampus
Banjarmasin juga membentuk FKPSK (Forum Komunikasi Pekerja Seni Kampus) Kalimantan Selatan-
Banjarmasin, yang juga berhasil menjadi pelaksana Temuteman XIV.

Ikatan persaudaraan yang kuat terbangun secara alami karena proses bertemu di event Temuteman
dan nampaknya menjadi faktor utama terus eksisnya kegiatan ini. Dalam salah satu agenda di
Temuteman yaitu temuwicara III yang membahas pemilihan calon tuan rumah Temuteman, selalu
berlangsung seru dan ramai oleh komunitas yang bersaing mencalonkan daerahnya sebagai tuan
rumah. Bahkan ada yang sampai berulangkali mencalonkan diri. Tentu bagi komunitas yang sedang
mencalonkan menjadi tuan rumah sadar betul pada masalah sulitnya mengumpulkan dana yang besar,
mengkondisikan sumber daya manusia yang banyak, serta tuntutan fasilitas dasar yang perlu diadakan.
Namun semua kendala itu tidak menjadi faktor pengendur semangat, melah semakin menguatkan
semangat untuk membuktikan diri bahwa komunitasnya dan jaringan teater kampus didaerahya
mampu menyelenggarakan Temuteman dengan baik. Fenomena ini terus dirasakan disetiap
Temuwicara III Temuteman. Tentu Ini membuktikan bahwa Temuteman sangat dicintai dan merasa
dimiliki bersama oleh seluruh komunitas/peserta yang pernah berpartisipasi.

Temuteman XII (Jakarta), Temuteman XIII (Palu), Temuteman XIV (Banjarmasin)

Dari tahun ke tahun, tentu melahirkan banyak evaluasi dari sisi kegiatan. Sehingga otomatis tuan rumah
penyelenggara mendapatkan tuntutan yang semakin berat untuk memberikan perubahan-perubahan
mendasar baik dari segi konsep acara maupun fasilitas. Banyak permasalahan dan kegelisahan hasil
evaluasi dari pelaksanaan sebelumnya yang secara konkrit harus diselesaikan oleh tuan rumah. Mulai
dari bagaimana menyelesaikan persoalan klasik seperti penyediaan fasilitas dasar, permasalahan gap
gap komunitas dan ruang kebersamaan yang tidak terkelola, masalah Temuteman yang dianggap hanya
sekedar jadi ajang kumpul-kumpul, permasalahan kualitas karya yang dianggap kurang mampu bersaing
dengan event teater lain, serta mengklarifikasi kembali arah perjuangan Temuteman yang dianggap
mulai kehilangan arah dan dianggap belum mampu menjadi solusi bagi permasalahan kesenian dan
kebudayaan baik secara nasional ataupun regional daerah.

Temuteman XII Jakarta dengan ART Jakarta sebagai panitia penyelenggara, mencoba bereksperimen
dengan membuat konsep outdoor. Konsep awalnya sebenarnya menggunakan fasilitasi kampus namun
karena kendala teknis, akhirnya dialihkan menjadi konsep outdoor yang menggunakan fasitas taman
kota. Konsep yang diharapkan dapat menjawab persoalan gap-gap antar peserta, membangun ruang
interaksi yang lebih cair sehingga dapat membangun solidaritas dan persaudaraan yang lebih erat antar
peserta. Konsep baru yang coba diusung tentu melahirkan suasana baru namun tentu berhadapan juga
dengan berbagai kendala teknis. Keluhan peserta mengenai fasilitas yang minim dalam
penyelenggaraan Temuteman Jakarta pun tak dapat dihindari. Konsep outdoor yang coba diterapkan
terkendala masalah cuaca dan keterbatasan fasilitas MCK sehingga kegiatan berjalan kurang maksimal.
Panitia pun memaparkan secara terbuka mengenai kendala teknis yang dialami dalam proses
kepanitiaan. Segala kekurangan pun dimaklumkan dan peserta secara aktif memberikan kontribusinya
untuk membantu kepanitiaan dalam menyukseskan kegiatan yang tengah berjalan.

Hal menarik pada pelaksanaan Temuteman di Jakarta adalah mulai coba digulirkan wacana menjadikan
Temuteman sebagai wadah gerakan untuk mengadvokasi permasalaha kedaerahan. Dalam agenda
Temuteman Jakarta pun disisipkan forum diskusi untuk bertukarpikiran tentang permasalahan
kedaerahan. Point utama yang menjadi topik diskusi terkait dua masalah utama yaitu bagaimana upaya
massif untuk memasyarakatkan kesenian teater dan isu melawan hegemoni dewan kesenian di daerah.

Upaya memasyarakatkan kesenian ini sebagai jawaban dari kegelisahan bahwa teater kampus dinilai
eksklusif dalam berkarya dan tidak peka pada realitas sosial. Teater kampus perlu mampu merancang
strategi untuk melibatkan masyarakat dalam pertunjukan teaternya serta membuat kantong-kantong
kesenian di daerah. Sedangkan perlawanan pada hegemoni dewan kesenian adalah untuk menjawab
permasalahan fasilitas gedung pertunjukan yang kerap menjadi kendala teater kampus. Pentas dengan
fasilitas gedung pertunjukan taman budaya atau gedung megah lainnya bukan menjadi suatu ukuran
bagi kualitas pertunjukan teater kampus. Teater kampus sedianya harus memiliki semangat perlawanan
dan kemandirian. Bahkan kalau perlu menjadikan panggung panggung masyarakat sebagai tempat
pertunjukannya. Tidak berharap lagi pada fasilitas mewah gedung kesenian atau taman budaya. Hasil
dari diskusi tersebut dituangkan dalam Pernyataan Sikap yang terjabar dalam beberapa point. Point-
point itulah yang diharapkan menjadi strategi bersama untuk dijalankan para koumunitas teater
kampus di daerahnya masing-masing dan sekaligus menjadi rekomendasi bagi Temuteman selanjutnya.

Pada pelaksanaan di Palu dan Banjarmasin, Pernyataan Sikap yang lahir dari Temuteman Jakarta,
mulai disambut. Meskipun belum secara keseluruhan point point pernyataan sikap tersebut dijalankan
oleh panitia dan seluruh peserta di daerahnya masing-masing. Namun, setidaknya pada
penyelenggaraan Temuteman di Palu dan Banjarmasin wacana tentang bagaimana mengadvokasi
permasalahan kedaerahan kedalam karya teater, mulai menguat. Karya/Naskah pertunjukan di
Temuteman Palu dan di Banjarmasin pun sudah sebagian besar berangkat dari hasil riset dan eksplorasi
sendiri oleh komunitas tentang isu kebudayaan, lingkungan, kesetaraan, HAM, dll yang terjadi di
daerahnya. Teater kampus kemudian menjadikan wadah Temuteman untuk mengkomunikasikan
permasalahan di daerahnya. Sesi diskusi karya pasca pertunjukan pun tidak lagi menjadi sesi
penghakiman karya pada hal-hal teknis, melainkan lebih banyak berdiskusi tentang proses kerja kreatif
dan isu yang melatarbelakanginya.

Setiap penyelenggaraan Temuteman sebenarnya selalu memproduksi rekomendasi-rekomendasi baik


sifatnya konsep maupun teknis. Rekomendasi yang di wariskan ke tuan rumah/panitia Temuteman
selanjutnya. Biasanya dalam setiap penyelenggaraan baik isi rekomendasi ataupun namanya cenderung
berubah tergantung pada hasil diskusi. Jika di Temuteman Jakarta menyebut rekomendasinya dengan
Pernyataan Sikap, maka di Palu dan Banjarmasin menyebutnya dengan Traktat. Apapun namanya,
tujuannya adalah sebagai panduan umum bagi penyelenggaraan Temuteman ke depan. Isi dari
rekomendasi ada yang dijalankan namun ada juga yang tidak dijalankan karena kendala-kendala teknis
dan juga lemahnya koordinasi antar kepanitiaan Temuteman yang telah selesai dan yang akan berjalan.
Begitupun dengan kerja koordinator wilayah yang dibentuk untuk memudahkan koordinasi juga belum
berjalan dengan efektif.

Persolan terkait idealisme dan garis perjuangan Temuteman, memang tak pernah habis dibahas dan
terus menjadi wacana yang hangat disiskusikan hingga sampai ke Temuteman Banjarmasin. Terlebih
dengan banyaknya pandangan yang menganggap bahwa Temuteman telah keluar jalur sehingga
perlu diluruskan kembali. Tercetuslah keinginan untuk menghadirkan kembali para tokoh
penyelenggara Temuteman di generasi awal seperti dari Makassar, Palu, Gorontalo, dll. Namun,
keinginan tersebut belum bisa terwujud karena berbagai kendala. Persoalan sejarah juga masih
dianggap kabur terutama bagi komunitas yang baru bergabung di Temuteman, sehingga lahir pula
wacana untuk membuat buku putih sejarah penyelenggaraan Temuteman dari tahun ke tahun.
Wacana membuat buku sejarah Temuteman juga bukanlah hal baru, namun sangat sulit terealisasi.
Teater Tangan Makassar pernah membuat sebuah buku pada tahun 2011 tentang cerita di balik layar
penyelenggaraan Temuteman 1 di Makassar.

Diluar hal tersebut, permasalahan perijinan dan rekomendasi dari Universitas rupanya menjadi masalah
yang mengemuka. Beberapa komunitas teater kampus mengungkapkan kesulitannya dalam
mendapatkan rekomendasi dan juga bantuan dana dari kampus karena event Temuteman dianggap
illegal dalam artian belum diakui dan dimasukan sebagai agenda DIKTI. Permasalahan teknis yang
klasik juga mulai diungkapkan oleh kepanitiaan karena kesulitan dalam mengupayakan fasilitas gedung
pertunjukan, fasilitas penginapan dan lain-lain. Permasalahan klasik ini kemudian memantik lagi wacana
untuk melakukan audiensi ke DIKTI terkait penyelenggaraan Temuteman.

Temuteman XV (Madura)

Penyelenggaraan Temuteman XIV di Banjarmasin memilih Madura sebagai tuan rumah Temuteman ke
XV. Temuteman Madura digalangi kepanitiaan bersama tater kampus Madura dengan nama KATEMMU
(Keluarga Teater Mahasiswa Madura). Lokasi penyelenggaraan adalah di kampus Universitas Trunojoyo
Madura dan berlangsung selama 10 hari terhitung sejak tanggal 2 agustus hingga 12 agustus 2017.
Temuteman XV Madura, memberikan warna baru bagi dinamika penyelenggaraan Temuteman. Dimulai
dengan menguatnya kembali wacana terkait legalitas event Temuteman. Bahkan pada
penyelenggaraan Temuteman sebelumnya yaitu di Banjarmasin, wacana ini menjadi bagian dari
rekomendasi yang perlu dilakukan tuan rumah Madura, yaitu melakukan audiensi ke DIKTI terkait event
Temuteman.

Wacana terkait DIKTI, selalu saja berakhir dengan pro kontra. Di media sosial seperti Group Facebook
Temu Teater Mahasiswa Nusantara, ketika wacana ini dihembuskan oleh panitia, seketika ramai
memancing Pro-Kontra. Perdebatan klasik yang kembali mencuat ke permukaan. Yang kontra
berlandaskan pada dasar idealisme Temuteman yang sangat merdeka dan menghindari kepentingan
politis. Sementara yang pro melandaskan pada tuntutan kesulitan panitia dalam menyediakan fasilitas
teknis yang selalu terbentur pada persoalan dana. Juga soal kesulitan beberapa komunitas teater
kampus mendapat ijin dari kampusnya untuk mengikuti Temuteman karena bagi birokrasi kampusnya,
dianggap sebagai kegiatan tidak legal.

Terlepas dari Pro-Kontranya, Isu klasik ini ternyata menjadi warna baru dalam dinamika perjalanan
Temuteman. Panitia Temuteman Madura ternyata berhasil melakukan audiensi dan mendatangkan
perwakilan DIKTI untuk membuka acara Temuteman XV di Pelabuhan Kamal, Madura. Dalam
sambutannya perwakilan DIKTI bahkan membuka pintu kepada Temuteman untuk menjadi kegiatan
yang terdaftar di DIKTI dan tentunya akan mendapat dukungan anggaran pembinaan. Namun syaratnya
Temuteman harus berbentuk sebagai organisasi yang legal. Dengan berbentuk sebagai organisasi maka
Temuteman harus mempunyai Ketua atau Koordinator umum dan juga membunyai AD/ART organisasi.

Persyaratan menjadi organisasi dengan tuntutan memiliki ketua dan pengurus harian, mempunyai AD-
ART, serta ketakutan Temuteman akan kehilangan idealismenya membuat persyaratan ini ditentang
beberapa komunitas. Namun tidak sedikit juga komunitas yang merasa tidak keberatan dengan pilihan
ini karena merasa Temuteman tetap bisa berjalan dengan idealismenya dan tidak akan terbawa arus
kepentingan politik praktis. Hal yang dianggap hanya merupakan ketakutan semu. Pilihan bernaung di
bawah DIKTI juga dianggap lebih memudahkan kerja panitia dalam hal teknis sehingga bisa lebih fokus
pada konsep acara yang lebih meriah.

Gayung bersambut, panitia pun membuka diskusi khusus untuk membahas perlu atau tidaknya legalitas
Temuteman sebagai syarat bernaung di bawah DIKTI. Forum berjalan alot dengan adanya pro kontra
yang mengetengahkan kelebihan, kelemahan, peluang serta tantangan ketika bernaung di bawah DIKTI.
Akhirnya untuk menengahi pertentangan, dicetuskanlah ide untuk membuat sebuah wadah yang
kemudian disebut FORUMTEMAN (Forum Teater Mahasiswa Nusantara). Ide ini kemudian dianggap
netral sehingga disepakati oleh peserta diskusi.

Pembahasan terkait pendirian Forumteman pun di flowup dengan diskusi-diskusi lanjutan.


Forumteman yang dibentuk adalah jauh dari kepentingan politis dan murni ditujukan sebagai wadah
koordinasi teater mahasiswa nusantara yang mampu melakukan kerja yang lebih luas dari ssekedar
Temuteman. Dengan format ini, maka Temuteman menjadi salah satu event/kegiatan yang dikelola
dalam Forumteman. Ibaratnya, jika temuteman merupakan event tahunan, maka Forumteman bisa
bekerja sepanjang tahun untuk mengkoordinasikan banyak hal seperti pengawalan pada koordinasi
penyelenggaraan Temuteman, mengkoordinasikan wacana pergerakan dan advokasi teater kampus
pada berbagai masalah sosial budaya, riset-riset sosial budaya, dan termasuk pengelolaan media,
publikasi, dan kerja pengarsipan Temuteman.

Menilik dari runtutan acara Temuteman Madura, dimulai dari pembukaan, pertunjukan karya, hingga
penutupan acara, nampaknya panitia telah mengkonsep acara sedemikianrupa dengan memposisikan
event Temuteman sebagai media untuk membangkitkan kesadaran dan semangat gerakan pelaku
teater kampus untuk mengadvokasi permasalahan sosial dan budaya di daerahnya. Dan teater menjadi
alat untuk mengkomunikasikan itu. Tren ini secara jelas mulai terlihat sejak Temuteman XIII di Palu,
berlanjut di Banjarmasin dan kini Madura. Temuteman Madura mencoba mengakomodasi isu
kedaerahannya dengan mengusung tema Madura, Jembatan dan Laut Kenangan. Jembatan dan laut
merupakan dua basis material kebudayaan yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Madura
hingga saat ini.

Pembukaan acara Temuteman Madura dilakukan di pelabuhan Kamal, dan diisi dengan serangkaian
karnaval, performance art dan ritual membawa sesajen di laut. Sebuah ritual kebudayaan yang khas
bagi masyarakat pesisir. Untuk pertunjukan teater yang berlangsung kurang lebih selama 10 hari, karya
yang dipentaskan juga banyak mengangkat isu daerah seperti problematika budaya tradisi, kasus
lingkungan, krisis pangan, konflik SARA, dll. Sebagai contoh pertunjukan yang diangkat oleh kawan-
kawan dari Banjarmasin yang mengangkat isu kota seribu sungai yang kini sungainya semakin kritis,
kawan dari Solo yang mengangkat isu kedaulatan pangan, dari Purwokerto yang mengangkat isu
perusakan Gunung Slamet, dan dari teater Tangan Makassar yang mengangkat isu konflik SARA, serta
berbagai pertunjukan lainnya yang juga mengangkat hal serupa sesuai kondisi di wilayahnya. Saat
penutupan acara, panitia juga menghadirkan tamu yaitu komunitas SeBumi yang mana komunitas ini
aktif berkampanye dengan karya musik dan sajak-sajaknya untuk menolak kapitalisasi industri pada
masyarakat lokal, seperti yang terjadi di Gunung Kendeng, Rembang.

Gambar : Dokumentasi Pertunjukan Teater Sirat dari Solo yang mengangkat isu kedaulatan pangan

Hal yang disayangkan adalah isu-isu kedaerahan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam forum diskusi yang
lebih terfokus, melainkan hanya berhenti di diskusi karya. Belum ada strategi bersama yang didiskusikan
untuk mengadvokasi permasalahan kedaerahan tersebut. Tentu hal yang tidak diinginkan adalah
kepekaan terhadap masalah sosial budaya tersebut hanya sebatas euforia untuk dipertunjukan saat
event Temuteman saja. Dan ketika kembali ke daerah masing-masing, isu tersebut menguap atau
tidak di tindaklanjuti.

Persoalan klasik yang juga belum mampu difasilitasi dalam setiap event Temuteman hingga Temuteman
Madura adalah kecenderungan karya teater yang dipentaskan hanya menjadi santapan bagi para
komunitas teater kampus. Belum ada strategi untuk meleburkan ruang sehingga sajian karya teater
lebih mudah untuk di akses masyarakat sekitar. Media promosi dan publikasi belum dikelola dengan
baik sehingga belum mampu mendatangkan penonton dari masyarakat luas. Selain itu belum ada
terobosan dalam event Temuteman yang mencoba membuat panggung-panggung di lingkungan
masyarakat dengan tentunya melibatkan koordinasi banyak pihak. Sebuah upaya yang mungkin bisa
membongkar stigma lama bahwa teater kampus cenderung eksklusif.

Menjelang berakhirnya penyelenggaran Temuteman Madura, maka di gelarlah temuwicara III, yang
agendanya adalah pemilihan Tuan Rumah Temuteman selanjutnya. Dan seperti biasa terjadi, komunitas
teater yang mewakili daerahnya selalu antusias untuk mencalonkan diri. Terjaring sampai 5 kandidat
diantaranya Surabaya, Banjarmasin, Padang, Bone dan Jogja. Pemilihan Tuanrumah selalu berlangsung
alot dan melalui diskusi yang panjang, jika diskusi buntu biasanya dipilih jalan voting. Namun sejak
gelaran Temuteman di Banjarmasin berhasil dilakukan pemilihan tuan rumah secara musyawarah tanpa
voting. Proses yang baik melalui musyawarah disepakati untuk dipertahankan dipertahankan dan
diterapkan di pemilihan tuan rumah kali ini. Dari pengkerucutan awal, akhirnya Surabaya dan
Banjarmasin dengan legowo mengundurkan diri dari pencalonan tuan rumah dengan alasan
memberikan kesempatan bagi yang belum pernah menjadi tuan rumah.

Gambar : Dokumentasi di Temuteman Madura Saat Temuwicara Dengan Agenda Pemilihan Tuan Rumah

Tersisa tinggal 3 kandidat, yaitu Padang, Bone dan Jogja. Ketiga calon tuan rumah ini masing-masing
mempresentasikan kesiapannya menjadi tuan rumah, dan mengangkat permasalahan lokal daerahnya
sebagai suatu urgensi menjadi tuan rumah. Perwakilan calon tuan rumah Padang memaparkan tentang
kesenian tradisional randai yang mulai ditinggalkan dan pendidikan ala modernisme yang mulai
melunturkan kultur dengan menghapus mata pelajaran muatan lokal kedaerahan. Perwakilan calon
tuan rumah Bone memaparkan tentang kebutuhan dukungan secara massif dari teater kampus se-
Nusantara dalam upaya mengembalikan naskah-naskah tua epos i Lagaligo yang mana sebagian besar
naskahnya masih berada di perpustakaan Belanda. Serta Jogja yang memaparkan tentang upaya
memberikan warna baru bagi kesenian teater di Jogja yang dianggap sudah jemu dengan festival dan
dianggap sudah mapan. Temuteman dinilai mempunyai keunikan serta spirit kemahaiswaan yang kental
yang mana ini belum dimiliki event event teater lainnya di Jogja. Ketiga kandidat kesemuanya
memaparkan masalah yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama sama ingin
menggunakan Temuteman sebagai media untuk mengadvokasi permasalahan daerahnya.

Permasalahan teknis terkait fasilitas meskipun sangat penting, namun tidak terlalu didiskusikan secara
panjang. Ketersediaan fasilitas pun akhirnya tidak lagi menjadi ketakutan mendasar bagi komunitas
yang ingin mencalonkan diri menjadi tuan rumah Temuteman. Hal ini tentu dengan sendirinya bisa
membongkar anggapan lama bahwa tuan rumah Temuteman akan terbebani dari segi finansial ataupun
perijinan untuk menyediakan fasilitas dasar. Juga ada keyakinan yang terbangun bahwa temuteman
adalah ajang yang mengedepankan gotongroyong dan pesertanya tidak menuntut ketersediaan fasilitas
yang mewah.

Akhirnya diskusi yang berkembang di Temuwicara ini lebih pada kebaruan konsep yang ditawarkan
calon tuan rumah, kemampuan menjawab hasil evaluasi Temuteman sebelumnya, dan manfaat
Temuteman bagi daerah tersebut. Setelah melalui proses musyawarah yang panjang hingga dini hari
akhirnya terpilihlah Padang sebagai tuanrumah Temuteman XVI. Perwakilan dari Jogjakarta dan Bone
pun dengan bijak menerima keputusan musyawarah dan kemudian mendukung Padang sebagai tuan
rumah Temuteman selanjutnya.

ForumTeman

Forumteman yang baru saja di bentuk di Temuteman XV Madura, menjadi harapan baru bagi
penyelenggaraan Temuteman kedepan yang lebih baik. Forumteman sebagai wadah koordinasi pekerja
teater kampus nusantara mempunyai fungsi komunikasi, pengawalan, networking, dan perencanaan
berbagai produk karya yang lebih luas. Sebagai gambaran, Forumteman diharapkan menjadi wadah
komunikasi antar penyelenggara Temuteman dan para koordinator wilayah, mengkoordinasikan
wacana pergerakan dan advokasi teater kampus, melakukan riset-riset sosial budaya, pengelolaan
media, publikasi, dan kerja dokumentasi serta pengarsipan Temuteman. Sebuah agenda kerja yang
besar sehingga membutuhkan komitmen yang besar pula.

Forumteman yang dilahirkan dari proses diskusi alot pada Temuteman Madura, memang lahir sebagai
kanalisasi dari perdebatan tentang perlu-tidaknya legalitas DIKTI. Namun, terkait rencana
Forumteman menjadi lembaga yang legal dan berada dibawah naungan DIKTI ataukah akan tetap
independent, tentu bukanlah suatu sikap yang serta merta harus langsung ditentukan. Perlu waktu
untuk mengkaji hal tersebut secara intensif di Forumteman. Terlepas dari kebutuhan legalitas event
temuteman, keberadaan Forumteman memang saat ini dianggap perlu karena mengingat fungsinya
untuk mengkoordinasikan banyak hal, terutama dalam hal pengawalan isu, kendala koordinasi yang
kerapkali terputus dan kebutuhan besar pada inovasi-inovasi baru di Temuteman.
Forumteman yang digagas untuk saat ini masih berbentuk organisasi nonformal dengan adanya
koordinator umum dan koordinator wilayah. Sementara Temuteman tidak akan berbentuk sebagai
organisasi melainkan tetaplah menjadi sebuah event tahunan. Forumteman dapat diposisikan sebagai
lembaga yang mewadahi event Temuteman. Sebagai aturan umum maka disusunlah rumusan AD
(anggaran dasar) Forumteman. Rumusan AD tersebut akan di koordinasikan ke wilayah masing masing
melalui bantuan korwil-korwil yang telah diajukan. Setelah dikoordinasikan di wilayah masing-masing,
maka rumusan anggaran dasar akan ditinaklanjuti lagi dalam disskusi di Forumteman.

Dalam rapat bersama para Korwil dan panitia Temuteman Madura ketika membahas rumusan AD, juga
disepakati akan diagendakan pertemuan bagi Para Korwil dan juga terbuka bagi peserta lainnya yang
ingin hadir. Pertemuan Korwil tersebut memang belum disepakati waktunya, namun direncanakan
memilih waktu pada liburan semester ganjil. Tuan rumah yang telah ditunjuk adalah Bogor. Selain
membahas rumusan AD, pertemuan korwil Forumteman juga akan membahas usulan-usulan program
yang akan di akomodir oleh Forumteman.

Temuteman yang sudah bergulir selama 15 kali, dengan segala dinamika yang terjadi, tentunya
menciptakan jalinan persaudaraan yang solid antar pelaku teater kampus se Nusantara. Temuteman di
usianya yang ke 15 tahun juga (meskipun secara perlahan), telah mengalami pendewasaan, dan
penegasan karakter secara alami. Dalam beberapa event terakhir (Temuteman Palu, Banjarmasin dan
Madura), Temuteman seakan mulai menemukan tren bentuk dan mempertegas diri sebagai wadah
untuk mengkomunikasikan secara kritis permasalahan kedaearahan. Dan tentunya dengan adanya
Forumteman, isu dan wacana tersebut dapat diorganisir dengan lebih baik.

Melalui wadah Forumteman, juga diharapkan mampu membangun networking yang lebih luas
sehingga mendobrak batasan eksklusifitas teater kampus dan Temuteman yang kerap dianggap
beronani dengan karyanya. Terobosan dalam konsep pertunjukan dan kemasan juga sangat
dibutuhkan untuk mengatasi masalah stagnannya konsep acara dan minimnya inovasi karya dalam
setiap penyelenggaraan Temuteman. Kedepannya, Temuteman juga tidak hanya dimaknai lagi sebagai
euforia tahunan, namun semangat idealisme dan perlawanannya harus mampu diteruskan menjadi
sebuah gerakan dan advokasi bersama pada permasalahan nasional di negeri ini ataupun yang terjadi
di daerah masing-masing. Dengan langkah tersebut, bukan tidak mungkin Temuteman menjadi gerakan
yang kuat dan diperhitungkan dalam dinamika teater Nusantara.

Tetap berjuang dengan semangat persaudaraan dan Sampai berjumpa di Padang, Teman..!!!

Anda mungkin juga menyukai