Anda di halaman 1dari 17

Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Komunikasi Pembangunan

Menilik Teater sebagai Medium Komunikasi Pembangunan

Dosen Pengampu :
Subejo, SP.,M.Sc.,Ph.D

Disusun Oleh :
Restra Sewakotama 18/435278/ PMU/09789

Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan


Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Abstrak
Salah satu strategi dalam pelaksanaan pembangunan menempatkan komunikasi sebagai
pendekatan kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan. Konsep pembangunan dan
komunikasi menjadi satu bagian integral yang menghadirkan entertaintment education sebagai
koridor untuk memberikan transfer pengetahuan mengenai isu-isu pembangunan.
Entertaintment education merupakan satu bentuk hiburan yang lekat dengan konten-konten
pembangunan, disampaikan dengan tujuan memberikan peningkatan pengetahuan terhadap
masyarakat agar dapat memberikan perubahan sosial yang postif dan terukur dalam keluarga,
komunitas, dan masyarakat. Salah satu model entertainment education adalah teater. Dalam
tulisan ini coba dijelaskan bagaimana teater dapat menjadi satu bentuk media hiburan yang
dapat memberikan edukasi kepada masyarakat sebagai bentuk strategi komunikasi
pembangunan.

Kata kunci : teater, entertainment education, komunikasi, realis, surealis

1. Keberadaan Teater dalam Pembangunan Masyarakat


Gurvich(dalam Wendy,2014) menuliskan konsep teater secara sosiologis sebagai
penjabaran fungsi-fungsi teater secara sosial, dengan pekerja dan penonton teater sebagai
kelompok sosial, dan pertunjukan teater sebagai produk kerangka sosial. Pada dasarnya kata
teater berasal dari Bahasa Yunani yakni, theatron yang berarti “tempat
pertunjukan”(Padmodarmaya, 1988). Secara ontologis , teater merupakan hubungan transaksi
antara aktor dengan spektator, antara penampil dengan penonton yang terjadi secara epemeral,
terjadi saat ini dan kini (Pramayoza, 2016).

Setidaknya dalam pertunjukkan teater konvensional selalu mencakup beberapa aspek,


diantaranya : (a)tujuan, (b)masukan, (c)proses, (d)keluaran, (e)batasan, (f)kendali, dan
(g)konteks. Dengan struktur dramatik yang mencakup plot, karakter, latar tempat dan waktu,
serta konflik. Tujuan merupakan gagasan, ide, isu, segala hal yang ingin disampaikan melalui
pertunjukkan teater. Masukan, proses, dan keluaran mencakup pertunjukkan teater itu sendiri.
Dimulai dari bahan-bahan pertunjukkan yang diolah dalam proses teater sehingga menghasilkan
pertunjukkan. Pada pertunjukkan teater lah terjadi komunikasi teaterikal yang menghasilkan
penyampaian pesan berupa informasi yang ingin disampaikan. Batasan, kendali, dan konteks,
kemudian terakumulasi dalam komunikasi teaterikal yang akhirnya menyisakan lakon
pertunjukan untuk dikenang penonton. Bourriaud(dalam Suprajitno, 2017) melihat hubungan
antara penampil dan penonton yang berupa komunikasi teaterikal sebagai estetika relasional.
Estetika relasional ini kemudian dijabarkan Lally, Ang, dan Anderson sebagai hal yang
memperkuat fungsi sosial teater yang dapat memberikan kesadaran sosial terhadap masyarakat
dan membentuk agensi sosial budaya baru, menjadikan teater sebagai community based
arts(Suprijanto, 2017).

Everett M. Rogers(1995) melihat pembangunan sebagai perubahan yang berguna bagi


sistem dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak sebuah Negara, dan komunikasi
merupakan dasar perubahan. Komunikasi yang diletakan dalam program pembangunan menjadi
strategi dalam pelaksanaannya, sebagaimana Pramono yang menuliskan keterkaitan
pembangunan dengan media massa dalam konteks komunikasi pembangunan dan melihat
peranan medium komunikasi dalam pembangunan(2016). Hal ini ia perkuat dengan perkataan
Alvin Tofler(1980), mengenai perkembangan gelombang ketiga dari masyarakat yang mengacu
pada perkembangan masyarakat saat ini sudah berada pada gelombang perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang canggih.

Naisbitt(dalam Pramono, 2016) mengatakan setidaknya terdapat kecenderungan


masyarakat industri yang berkembang menuju masyarakat informasi. Entertainment Education
merupakan salah satu bentuk strategi yang sukses untuk melakukan komunikasi pembangunan
karena dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam pelaksanaan pembangunan (Obregon dan
Thomas, 2014). Hal ini mendukung keberadaan entertainment education sebagai bentuk media
yang digunakan dalam strategi komunikasi pembangunan. Entertainment education merupakan
penggunaan media hiburan yang terdapat di masyarakat untuk memberikan informasi-informasi
yang mengarah pada pembangunan, mengarah pada perubahan yang lebih baik dari masyarakat.

Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat sebagai bentuk entertainment education adalah
teater (Obregon dan Thomas, 2014). Teater menjadi bentuk hiburan yang dapat memberikan
pengetahuan. Boal melalui teaternya yang berbentuk epik teater dan antitesis dari teater dramatik
Aristoteles mencoba melibatkan partisipasi masyarakat dalam pertunjukkannya sebagai
penyadaran kepalsuan dari sebuah teater. Dalam hal ini Boal(2013) mencoba memberikan
gambaran kondisi sosial-politik Amerika Latin untuk memberikan perspektif pemerintahan
melalui teaternya yang berupa kenyataan. Kenyataan dalam artian bahwa teaternya adalah bentuk
penyadaran bahwa segala bentuk cerita dalam teater adalah kepalsuan. Hal ini mengacu pada
bentuk entertainment education karena melalui teater, Boal mencoba memberikan transfer
pengetahuan. Teater merupakan salah satu cakupan koridor entertainment education yang
digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Karena menurut Boal sendiri teater merupakan
community based arts yang berfungsi sebagai alat refleksi, transformasi dan edukasi(Suprijatno,
2017). Teater yang merupakan kolaborasi artistik dapat menjadi medium yang mendorong,
memberdayakan ketika seniman berkomitmen untuk membuat karya seni bersamaan yang tidak
hanya untuk masyarakat, serta menginspirasi dan membuat ikatan bersama masyarakat (Guard,
dkk., 2012).

Dalam tulisan ini coba dijelaskan posisi teater sebagai bentuk medium dalam komunikasi
pembangunan yang terkandung dalam konsepsi entertainment education. Mulai dari sejarah
singkat teater di Indonesia, mazhab-mazhab teater, bentuk-bentuk teater, sampai pada penjabaran
singkat bagaimana teater dapat menjadi sebuah medium dalam entertainment education.

2. Klasifikasi Teater di Indonesia


Menurut Amir(dalam Suroso, 2015) pada zaman purba, teater adalah lakon nyata yang
berasal dari kehidupan nyata dan bersumber dari tradisi, kebiasaan, dan budaya terkait ritual
masyarakat. Sampai pada abad 20an teater berkembang sampai pada bentuk realis dan surealis,
ke dalam jenis yang kontemporer dengan berbagai macam gaya (Suroso, 2015). Karya-karya
Samuel Becket, Eugene Ionesco, kemudian mempengaruhi teater di Indonesia melalui tangan-
tangan senimannya yang merespon perkembangan teater.

Perkembangan teater di Eropa lantas mempengaruhi perkembangan teater di Indonesia.


Anwar(2012) dalam disirtasinya memberikan penjabaran teater di Indonesia melalui konsepsi
teater tradisional dan teater modern. Teater tradisional bentuk nyatanya berupa teater wayang
dan boneka, tidak lepas dari latar belakang historis perkembangan masyarakat Indonesia yang
berangkat dari aktivitas religi. Sedangkan, teater modern di Indonesia di klasifikasikan ke dalam
bentuk teater yang bergaya realis dan surealis. Berkembang sebagai bentuk adopsi dari
pemikiran-pemikiran barat.
2.1 Teater Tradisional dan Modern

Menurut Anwar(2012) teater tradisional berkembang dari wayang kulit dan wayang
orang sejak jaman kerajaan. Ia kemudian mengklasifikasikan teater ke dalam bentuk teater istana
dan rakyat. Teater ia bagi secara regional teater rakyat jawa tengah, timur, dan barat. Ia
menjabarkan secara historis, bahwa mulanya teater berkembang dari sisi religi, dalam bentuk
upacara adat sampai digunakan untuk menyebarkan agama, dan berkembang menjadi hiburan.
Teater rakyat ia jelaskan ke dalam bentuk lakon yang berbentuk ludruk di Jawa Timur, ketoprak
di Jawa Tengah, dan longser dari Jawa Barat. Teater rakyat ini lekat dengan keseharian
masyarakat yang mengangkat cerita berdasar pada nilai dan norma di dalam masyarakat,
dibawakan dengan unsur komedi sehari-hari. Hal tersebut senada dengan apa yang dijelaskan A.
Kasim Ahmad(1999) bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang dihasilkan
oleh kreativitas kebersamaan masyarakat dengan berakar pada etnis tertentu dan berangkat dari
lisan yang bersumber pada budaya tradisi masyarakat lingkungan tertentu.

Teater modern berkembang di Indonesia melalui tangan-tangan senimannya. Lahir


sebagai perkembangan hasil dari sebuah akulturasi budaya. Arifin C. Noor(1999) menuliskan
teater Indonesia yang modern lahir dari pergumulan masyarakat pada abad 20, melalui proses
adaptasi dari konsepsi teater barat. Pada masa 1900an masyarakat Indonesia masuk ke dalam era
modern dengan beranjak dari pola hubungan masyarakat desa-kraton menjadi masyarakat desa-
kota (Sumardjo, 1999). Hal ini ditandai dengan masuknya sistem birokrasi yang dibawa oleh
Belanda pada masa kolonialisme. Memunculkan kelompok-kelompok teater yang lepas dari
relasi masyarakat dengan kraton yang turut mempengaruhi kebutuhan masyarakat atas seni
pertunjukkan. Kedatangan Belanda memberikan koridor dalam perkembangan teater. Membawa
masuk kelompok-kelompok teater dari Belanda yang pada saat itu diperuntukkan untuk Belanda
dengan diberdirikannya gedung pertunjukan Comediagebouw oleh perkumpulan teater amatir
Belanda Ut Desint, dari sini kemudian teater bergaya barat masuk ke Indonesia.

Anwar(2012) menjelaskan teater modern di Indonesia dimulai dengan gagasan dari


Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Asrul Sani mendirikan dan mengelola sebuah perguruan
tinggi seni teater bernama Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta, tahun 1955.
Dari sini kemudian seniman-seniman Indonesia lahir dan mengembangkan berbagai macam
bentuk teater, mulai dari teater modern, absurd, sampai dengan kontemporer. Dimulai dengan
pementasan-pementasan yang berupa terjemahan atau adaptasi naskah dari barat (Noor, 1999).
Dan berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta menjadi poros tengah perkembangan
teater kontemporer di Indonesia(Anwar, 2012). Dari sini seni perunjukan mengalami
perkembangan dengan belajar dari bentuk-bentuk teater yang sudah lebih dahulu muncul di
Indonesia.

2.2 Realisme dan Surealisme dalam Teater

Penjabaran teater modern sampai kontemporer di Indonesia tidak lepas keterkaitannya


pada perkembangan teater Eropa abad 20an. Pada saat itu di Eropa berkembang sebuah gaya
penyajian yang menghadirkan kenyataan ke atas panggung, atau biasa dikenal sebagai gaya
realis. Awalnya teater realis berkembang dari realisme yang mencoba menghadirkan illusion of
reality (Sumanto, 1999). Gaya-gaya teater ini yang kemudian berkembang menjadi satu bentuk
mazhab, satu bentuk konsepsi pemikiran dalam pertunjukan teater. Realisme melihat kondisi
panggung yang menyajikan gambaran kamar tidur tidak hanya dengan ranjang, tetapi lebih nyata
lagi dengan membangun panggung yang berupa persegi empat, lampu tidur, ranjang, dan segala
jenis benda di dalam kamar. Realisme menggambarkan kenyataan, sebagaimana teater dramatik
Aristoteles yang membuat penonton mengalami katarsis dari menonton pertujunjukkan, agar
penonton mengalami emosi yang sama dengan apa yang diformulasikan di atas panggung.

Realisme yang terus berkembang kemudian menghasilkan satu gaya lain dalam teater
yaitu surealis. Surealisme dalam teater memiliki unsur realisme yang lebih mengedepankan
imajinasi penonton. Surealisme dalam teater adalah proses melampaui batasan kreativitas sampai
batasan logika umum(Estrella, 2017). Dalam hal ini surealisme dalam teater tidak hanya
menggambarkan kenyataan sebagai bentuk ilusi, tetapi lebih melampaui batas itu. Dapat
berbentuk teater yang menggambarkan kamar tidur dengan dinding hitam empat sisi saja.
Imajinasi penonton diajak secara bersama-sama dalam membangun gambaran tentang kamar
tidur tersebut. Hal ini kemudian yang turut mempengaruhi bentuk-bentuk teater modern
Indonesia yang berupa modern, kontemporer, sampai pada bentuk absurd. Kontemporer menjadi
bentuk teater yang terjadi saat ini. Dalam bentuknya yang memadukan gaya barat dengan tetap
menengok pada teater tradisional (Iswantara, dkk., 2012). Absurdisme adalah satu hal yang
bertolak belakang, berlawanan, berangkat dari anggapan bahwa kondisi manusia adalah satu
kondisi hidup yang absurd dan perlu dijelaskan dengan teater yang absurd pula (Sudjiman dalam
Sumiyadi, 2010).

Bagaimana bentuk teater disajikan dengan gaya-gaya yang berbeda pada dasarnya
merupakan bentuk perkembangan teater secara keilmuan yang kemudian tertuang ke dalam
mazhab-mazhab teater. Mazhab-mazhab yang berkembang pada jagat teater kemudian muncul
sebagai pokok pemikiran utama dalam formulasi pertunjukan. Mazhab abusrdisme dalam dunia
kepenulisan misalnya, menjadi salah satu hal yang kemudian mempengaruhi bentuk pementasan
teater. Melalui pemikiran pasca perang dunia II, absurdisme muncul untuk menjelaskan
kehidupan manusia yang berangkat dari pemikiran eksitensialisme. Albert Camus, Kafka,
Heidegger, Sartre, dan para pemikir eksistensialisme lainnya sudah menuliskan pemikiran
absurdisme ke dalam sastra yang mereka buat, sampai pada akhirnya mempengaruhi teater dan
muncul melalui tangan-tangan seniman seperti Ionesco, Becket, dan Adamov (Sumiyadi, 2010).

Konsep pementasan dari mazhab absurdisme bisa dapat berupa apapun, sebagaimana
pementasan kontemporer yang dapat memperlihatkan apa saja di atas panggung. Menjadi
gabungan antara realisme dan surealisme dalam teater. Namun, inti dari absurdisme dalam teater
tetap menitik beratkan penggambaran kondisi kehidupan manusia yang absurd. Sebagaimana
Eslin menjelaskan (dalam Sumiyadi, 2010) dunia penuh dengan penjelasan yang keliru adalah
dunia yang kita kenal. Hal ini mempertegas bahwa absurdisme mencoba menjelaskan bahwa
segala hal dalam dunia ini masih memeiliki kekeliruan, masih memiliki ambivalensi, namun kita
tetap hidup di dalamnya sebagai satu keutuhan dengan dunia.

3. Fungsi Teater
Rendra mengatakan bahwa belajar tentang teater adalah belajar tentang hidup (Awuy,
1999). Ia dapat mengatakan itu karena baginya teater adalah sebuah proses imitasi dari dunia
nyata dan membuatnya belajar lagi tentang hidup yang ia jalani. Senada dengan Aristoteles yang
kemudian mengartikan teater sebagai proses penciptaan kembali tentang ide-ide dan gagasan dari
proses kehidupan (Boal, 2013). Teater kemudian dapat diartikan sebagai media, yang digunakan
untuk berbagai kebutuhan, salah satunya adalah media untuk menambah wawasan pengetahuan
melalui proses belajar.

Posisi teater sebagai media, dalam satu rangkaian proses komunikasi membuat teater
memiliki fungsi. Rendra melihat posisi teater sebagai satu alat yang ia gunakan untuk
memberikan pemahaman serta kritik terhadap pemerintahan melalui ekspresi seni (Awuy, 1999).
Teater dan masyarakat menjadi dua elemen yang saling melengkapi dan keberadaan teater
mampu memberikan pertunjukan yang menghadirkan isu-isu aktual seputar kritik pembangunan,
permasalahan pembangunan dan sosial (Hapsah, 2016).

Sementara itu menurut Wijaya (dalam Hapsah, 2016) fungsi teater terbagi atas ;

a. Hiburan : Fungsi praktis dari teater di dalam masyarakat adalah sebagai hiburan
b. Ritual : Dalam kehidupan, ritual keagamaan merupakan satu bentuk kegiatan teateral.
Hal ini mengacu pada keberadaan unsur-unsur teateral yang terdapat dalam proses
ritual keagamaan.
c. Ekspresi : Fungsi teater sebagai media untuk menyalurkan kreatifitas. Secara naratif
teater memuat cerita, pesan, lakon, karakter, watak, dan lain sebagainya. Namun,
secara ekspresif teater menjadi media yang menyampaikan opini dan hal ini dapat
dilihat sebagai sebuah ekspresi tentang satu hal yang kemudian disampaikan melalui
teater.
d. Ekonomi : Mengacu pada sisi finansisal dari teater, bahwa dengan teater seseorang
juga dapat meningkatkan pendapatan, meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya
sendiri.
e. Kritik : Teater tidak hanya berupa media, sebagai alat yang alakadarnya. Teater juga
merupakan lembaga, bila dilihat secara organisasi maka teater juga memiliki fungsi
untuk menyampaikan kritik. Biasanya teater digunakan untuk menyampaik kritik atas
pembangunan, kondisi pemerintahan, melalui pertunjukan yang disajikan.

4. Pandangan Teater sebagai Entertainment Education


Laswell (dalam Utari, 2016) menjelaskan praktik komunikasi merupakan sebuah
pertukaran pesan yang mencakup penyampai pesan, pesan, media, penerima pesan, dan efek dari
penyampaian pesan. Dalam pandangan pembangunan, komunikasi menjadi bagian integral yang
tidak dapat dipisahkan. Komunikasi diletakkan sebagai bagian yang saling terkait dan menjadi
variabel yang digunakan untuk membawa pembangunan (Roy dalam Sitompul, 2002).
Komunikasi merupakan strategi pembangunan sebagai alat untuk memberikan dampak positif
dan terukur dari perubahan sosial pada tataran keluarga, komunitas, masyarakat, dan kebijakan
dalam pemerintahan (Lu., et al, 2017). Memberkan peran komunikasi dalam pembangunan
sebagai aktifitas pertukaran secara timbal balik antara masyarakat dengan pemerintah dari proses
perencanaan sampai dengan evaluasi (Sitompul, 2002).

Mengacu pada konsep komunikasi Laswell yang menempatkan media sebagai alat untuk
menyampaikan pesan maka dapat dikatakan bahwa dibutuhkan alat atau koridor untuk dapat
terciptanya satu proses pertukaran pesan. Media dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam
teknologi informasi dan komunikasi, seperti media massa, media sosial, dan lain sebagainya.
Konsep komunikasi pembangunan juga menempatkan media sebagai alat untuk mendukung
terciptanya proses pertukaran pesan.

Menurut Obregon dan Tufte (2014) entertaintment education merupakan pandangan


komunikasi fungsionalis yang mengambil sumber dari penelitian tentang efek media massa.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan media massa dan efeknya pada
perubahan sosial, meliputi ;

a. Tahapan individu dalam proses perubahan perilaku


b. Psikologi sosial yang berhubungan dengan perubahan perilaku
c. Model psikologi terkait perubahan perilaku
d. Drama dan peran terkait naskah maupun realita kehidupan mereka sendiri
e. Studi efek dengan fokus penonton
f. Model hybrid yang menggabungkan elemen teori sementera dengan fokus utama perubahan
perilaku,
g. Kontekstual yang berusaha bergerak ke luar dari perubahan perilaku individu.

Konsep yang menggunakan media untuk mendorong terjadinya perubahan sosial maka
dapat dikatakan sebagai entertainment education (McPhail, Thomas, dalam Khalid, 2014).
Entertainment education adalah proses yang didesain dan mengimplementasikan pesan dengan
cara mengedukasi dan menghibur, untuk meningkatkan pengetahuan penonton terkait nilai dan
norma sosial (Khalid dan Ahmed, 2014). Hal ini menjadi penggabungan antara hiburan dan
edukasi, dengan cara penyampaian hiburan kepada penonton yang berisikan konten-konten
edukasi. Salah satunya adalah opera sabun yang berupa melodramatik, cerita drama melankolis
yang berisi dengan isu-isu pembangunan (Nairman, 1993). Seperti halnya siaran televise Sesame
Street yang digunakan sebagai strategi untuk memberikan transfer pengetahuan, membuat acara
televisi yang meberikan edukasi sekaligus memberikan hiburan kepada anak-anak (Snyder,
2001).

Menurut Singhal, dan Rogers (dalam Khalid, 2014) entertainment education menjadi
salah satu strategi komunikasi yang baik dalam pembangunan karena mencakup dua hal, yakni ;

1. Dapat mempengaruhi kesadaran dari penonton, tingkah laku, dan kebiasaan yang
mengacu pada masyarakat. Fokus terhadap individu.
2. Dapat mempengaruhi kondisi eksternal individu, atau satu kondisi sosial, yang dapat
mengkondisikan sebuah perubahan sosial yang dibutuhkan dalam kelompok dan
sistematis.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Obregon dan Tufte (2014) bahwa
entertainment education memperkuat akar komunikasi secara fungsional dengan menggunakan
media yang mengacu artikulasi perubahan sosial pada tataran individu dalam koridor
pembangunan.

Sebuah pertunjukan tidak akan lepas pada apa yang ingin disampaikan, ia menjadi alat
untuk menyampaikan pesan. Tujuan utama dari sebuah teater adalah menyampaikan gagasan,
ide, yang dapat berupa berbagai macam isu, gaya, pendekatan artistik, estetis, kombinasi dari
semua itu sebagai bentuk pesan yang ingin disampaikan (Paramayoza, 2013). Rendra (dalam
Awuy, 1999) kemudian mejabarkan bentuk teaternya yang berupa sebuah kritik pada sistem
pemerintahan saat itu, dengan menempatkan naskah-naskah yang berisikan dialog penuh kritik
pemerintahan otoriter. Rendra mencoba memberikan kritik yang berupa pesan untuk
mengedukasi masyarakat, memberikan penyadaran sekaligus ikatan emosional untuk dapat
melawan sistem pemerintahan yang otoriter. Nano Riantiarno juga melakukan hal yang serupa,
dengan membuat kelompok teater yang memberikan kritik melalui pesan yang dibalut
pertunjukan hiburan teater bergaya opera (Awuy, 1999).

Teater dapat dilihat sebagaimana opera sabun dengan gaya penceritaan yang dapat dilihat
sebagai bentuk penyampaian pesan, dan dapat dilihat sebagai salah satu model dalam
komunikasi pembangunan. Menjadi salah satu cara tradisional yang memiliki kapasitas untuk
mengedukasi, menggerakkan, dan mempererat ikatan solidaritas dalam pembangunan (Sawchuk
dalam Guard, 2012). Teater menjadi alat untuk komunikasi yang dapat melibatkan penonton
secara emosional dan mendalam terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitarnya
(JØsendal dan Skarlhot, 2007). Aristoteles melalui konsepsi teater dramatiknya menjelaskan
bahwa teater pada dasarnya memberikan transfer emosi dari panggung kepada penonton, dengan
tujuan teater dramatik yang mencoba memberikan katarsis emosi kepada penonton (Boal, 2013).
Teater memberikan pengalaman emosional yang melekat dalam benak penonton dan
berkomunikasi melalui bentuk estetis dari tata panggung, musik, dan cerita dari apa yang
ditampilkan diatas panggung (JØsendal dan Skarlhot, 2007). Teater membuat individu merasakan
makna kehidupan yang ada dalam diri manusia (Estrella, 2017). Dengan begitu teater menjadi
medium yang paling baik dan dapat diandalkan dalam edukasi penonton karena dapat
merangsang proses berpikir dari penonton dengan menyentuh emosi, perasaan, yang diharapkan
nantinya dapat membuat logika berpikir penonton menjadi lebih hidup. Hal ini tidak terlepas dari
fungsi deiksis teater yang membuat asosiasi penonton dengan dunia aktualnya untuk menyadari
adanya dunia mimetik di dalam lakon dengan aktor-aktor, peristiwa, cerita, yang tidak terlihat
(Pramayoza, 2013).

Suprajitno (2017) pun membuat teater sebagai bentuk strategi untuk pemberdayaan
masyarakat dengan menggunakan praktik riset dalam pembuatan satu pementasan. Ia juga
menjabarkan teater dapat digunakan sebagai media untuk (a) membentuk kesadaran sosial para
partisipan; (b) membangkitkan tanggung jawab partisipan sebagai anggota masyarakat (civic
responsibility); serta (c) teater sebagai sarana pembentukan agensi budaya partisipan (Suprajitno,
2017). Kesadaran partisipan dibangun melalui riset dalam penulisan naskah, sehingga naskah
dan dialog yang tercipta berdasar pada kehidupan sehari-hari, berangkat dari apa yang dituliskan
oleh masyarakat yang terlibat dalam pementasan. Dari cara tersebut kemudian dapat memberikan
rasa keterikatan satu sama lain dan membangkitkan rasa tanggung jawab bersama. Dan, masing-
masing anggota merupakan agen budaya yang membawa nilai-norma sosial budaya masyarakat
ke dalam bentuk yang estetis.
JØsendal dan Skarlhot (2007) memulai penjelasan teater sebagai entertainment education
dengan menjelaskan posisi riset dalam dunia teater. Dimana dalam formulasi sebuah pertunjukan
juga dibutuhkan sebuah riset yang mendalam, untuk membuat pertunjukkan berdasar pada
asumsi pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Suroso (2015) menuliskan bahwa proses
pembuatan pertunjukan teater perlu memperhitungkan naskah, penonton, dan instrumen lain
yang mendukung pertunjukan. Melalui perspektif hiburan yang mengedukasi maka penonton
merupakan unsur krusial sebagai objek pertunjukan. Naskah kemudian menjadi instrument
sentral yang dibuat melalui riset agar dapat memberikan pesan yang baik dalam pertunjukan.
Mereka kemudian menitik beratkan posisi teater sebagai bentuk hiburan yang dapat
mengedukasi dengan menempatkan riset pertunjukkan ke dalam action research yang
melibatkan aktor-aktor dalam formulasi pertunjukan sebagai aktor yang juga perlu mengambil
andil proses edukasi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang dimiliki sebuah
komunitas. Sebagaimana posisi riset dapat merangsang proses pembelajaran sebuah komunitas,
dengan alasan;
1. Riset merupakan satu disiplin pendekatan untuk menemukan, untuk memahami, dengan
komitmen untuk berbagi dengan siapa, atau apa, yang diteliti.
2. Membangunan kapabilitas, dengan meningkatkan kesadaran dan kapabilitas, individu
maupun kolektif untuk meproduksi solusi dari permasalahan apa yang sedang dihadapi.
3. Praktek, satu bentuk kegiatan yang dapat membuat individu bekerja secara praktis untuk
mendapatkan hasil.

Hal yang menurut saya cukup membuat bias teater menjadi satu fungsi yang tidak hanya
menghibur tetapi juga mengedukasi adalah faktor sutradara. Nano (dalam Awuy, 1999)
menjelaskan bahwasanya sutradara menjadi orang yang paling penting dalam formulasi
pertunjukan. Dalam hal sutradara dapat mengarahkan pertunjukan teater itu menjadi lebih
dominan untuk menghibur atau mengedukasi, dapat menentukan gaya pementasan yang akan
dilakukan. Kompleksitas itu tercipta sebagai akibat dari hakikat teater sebagai kesenian kolektif,
yang menggabungkan hasil kerja dari penulis lakon, sutradara, aktor, penata panggung, penata
kostum, penata musik, dan lain-lain (Pramayoza, 2013). Semakin kabur ketika kita perlu
memahami pula bahwa teater mengandung unsur keindahan. Mazhab keindahan yang
mempengaruhi gaya pertunjukan dapat membiaskan pesan yang ingin disampaikan.

Pramayoza (2013) menjelaskan bahwa teater adalah satu formulasi estetis yang penuh
dengan proses penandaan, dimana teater penuh dengan simbol, tanda, yang kemudian perlu
dimaknai oleh penontonnya. Semakin sulit ketika satu bentuk teater yang surealis dapat
menghasilkan berbagai macam tanda, dimana penonton perlu mencari secara mandiri konfigurasi
makna dari setiap tanda yang muncul dalam pertunjukan teater. Pelampauan batasan kreatif yang
apa adanya menjadi lebih sulit untuk dipahami karena semakin memberikan makna yang
beragam (Estrella, 2017).

Konfigurasi tanda ini akan mempermudah artikulasi pesan baik dari aktor-aktor yang
membuat pertunjukan atau penonton bila satu bentuk pertunjukkan berupa teater tradisional.
Karena teater tradisional adalah satu bentuk teater yang berasal dari keseharian masyarakat dan
lebih banyak dibawakan dengan komedi keseharian masyarakat. Komedi merupakan memiliki
pembahasaan naskah yang lebih pragmatis, dengan berangkat dari kekonyolan atau tindakan
yang memantik kebahagiaan dengan unsur kelucuan sehari-hari (Pramayoza, 2013). Namun
sebaliknya, konfirgurasi ini akan semakin sulit dilakukan untuk mendapatkan artikulasi yang
baik atas pesan yang ingin disampaikan ketika kita berhadapan dengan bentuk pementasan teater
kontemporer, absurd, atau teater yang bergaya surealis. Penyampaian pesan dalam gaya yang
surealis misalnya, akan mempersulit proses edukasi karena penonton diajak untuk berimajinasi
bersama-sama untuk melampaui batas kreativitas. Absurdisme, kontemporer, dan mazhab-
mazhab lain yang berkembang dari gaya surealis akan lebih sulit dimengerti karena konfigurasi
yang terjadi merupakan penggabungan dua dimensi yang berbeda dan terkadang tidak meminta
atau bahkan penonton tidak dapat mengalami katarsis emosi dari apa yang ia lihat. Terlebih,
karena pertunjukan surealis banyak menuntut penonton untuk mengerti pertunjukan, tidak seperti
teater realis yang memberikan pengertian kepada penonton dengan menghadirkan kenyataan di
atas panggung.

5. Konklusi
Melalui tulisan diatas pada dasarnya teater adalah satu bentuk pertunjukan yang dapat
meningkatkan daya cipta manusia dan membuat manusia menjadi lebih peka terhadap setiap hal
yang ada di sekitarnya (Rendra dalam Awuy, 1999). Karena menurut Aristoteles proses awal
teater adalah menirukan, menciptakan kembali apa yang sudah ada kedalam konsep yang
berbeda (Boal, 2013). Namun, seiring dengan perkembangan zaman, teater turut berkembang
dengan berbagai mazam mazhab yang turut mempengaruhi bentuk pertunjukan. Bentuk
pertunjukan ini mencakup tata lampu, panggung, aktor, dan seterusnya, yang kemudian juga
berperan dalam penyampaian pesan. Bahwa teater pada dasarnya adalah medium pembelajaran
yang menyampaikan pesan. Komunikasi pembangunan melihat teater sebagai salah satu medium
yang dapat digunakan dalam pendekatan kepada masyarakat, dengan memberikan hiburan
sekaligus pembelajaran karena setiap pertunjukan teater akan lekat dengan pesan yang berupa
isu-isu permasalahan apa yang terjadi dalam kehidupan.

Fungsi teater sebagai entertainment education menjadi bias. Terdapat fungsi teater
sebagai media untuk berkespresi yang dapat dimaknai sebagai media untuk mengaktualisasikan
diri. Karena pada akhirnya pementasan teater akan terbagi menjadi dua ; pementasan yang
mudah dimengerti karena sangat sesuai dengan apa yang terjadi di keseharian, dan pementasan
yang tidak mudah dimengerti karena penonton dituntut menggunakan daya imajinasinya untuk
mengerti satu pertunjukan. Sesederhana realisme dan surealisme menyajikan dua hal yang
berbeda, dan surealisme lebih memiliki banyak makna, simbol, yang meminta penonton untuk
bekerja keras melakukan konfigurasi makna untuk artikulasi pesan yang benar.

Teater akan menjadi satu bentuk entertainment education yang baik bila gaya
pementasan atau pertunjukan didasarkan pada aspek-aspek kehidupan masyarakat. Bahwa teater
tradisional merupakan bentuk sederhana pertunjukan dari kondisi kehidupan yang senyatanya
terjadi (Hapsah, 2016). Akan menjadi alat yang efektif untuk melaksanakan pembangunan bila
bentuk pertunjukan lekat dengan bentuk-bentuk teater tradisional yang berangkat dari unsur-
unsur keseharian masyarakat dengan pembahasaan yang sederhana dan sarat unsur komedi
sehari-hari. Kunci suksesnya adalah penyusunan naskah dialog yang dirancang secara rinci
berdasar falsafah kehidupan sehari-hari (Sumanto, 1999). Namun, teater akan menjadi media
yang ekslusif dalam pencapaian perubahan perilaku karena pada akhirnya teater akan dianggap
sebagai media yang turut tersegmentasi, menghadirkan masing-masing penonton untuk masing-
masing pertunjukan. Hal ini merupakan paradoks, yang terjadi ketika teater digolongkan sebagai
bentuk entertaintment education.

Referensi
Ahmad, A.Kasim. 1999. Esai Pengaruh Teater Tradisional pada Teater Indonesia, Teater
Indonesia, Konsep, Sejarah, Promblema. Dewan Kesenian Jakarta : Jakarta.
Anwar, S. Achmad. 2012. Disirtasi Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968 – 2008.
Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia :
Depok.
Awuy, Tommy F. 1999. Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problema. Dewan Kesenian
Jakarta : Jakarta.
Bakdi, Sumanto. 1999. Jurnal Humaniora No.11 Mei, 1999, Realisme dalam Jagat Teater.
Boal, Augusto. 2013. Teater Kaum Tertindas. Yayasan Kelola : Jakarta.
Estrella, Violleta. 2017. Jurnal Publikasi Ilmiah untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mendapatkan Gelar Strata 1, Penyutradaraan Naskah Jeblog Karya Nazarudin Azhar.
Jurusan Teater, Program Studi Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Instititu Seni
Indonesia : Yogyakarta.
Guard, Julie., et al. 2012. Labor Studies Journal 37(2) 163-182, Art as Activism : Empowering
Workers and Reviving Unions through Popular Theater. DOI :
10.1177/0160449X11431895 United Asociation for Labor Education
Gundykust, William B., and Bella Mody. 2001. Handbook of International and Intercultural
Communication, Second Edition. Sage Publications, Inc : Thousand Oaks, California.
HS, Wendy. 2014. Jurnal Kajian Seni Vol.1 No.1 November 2014, 32-47, Dramaturgi Teater
Rakyat di Minangkabau. Jurusan Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukkan, Institut Seni
Indonesia Padangpanjang : Padang.
Hapsah. 2016. eJournal Ilmu Komunikasi, 2016, 3(4): 69-82 Fungsi Teater dalam Kelompok
Seni Forum Aktualisasi Seni Tradisional (Format) sebagai Media Komunikasi dalam
Menyampaikan Kritik dan Komentar Sosial. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas
Mulawarman : Samarinda.
Khalid, M. Zahra., Aaliya Ahmed. 2014. Review of Journalism and Mass Communication Vol.2,
No.1 66-89, Entertainment Education Media Strategies for Social Change :
Opportunities and Emerging Trends. ISSN: 2333-5742 (Print), 2333-5734 (Online),
Published by American Research Institute for Policy Development.
Iswantara, Nur., dkk. 2012. Jurnal Resital Vol.13 No. 2, Proses Kreatif Teater Garasi
Yogyakarta dalam Lakon “Waktu Batu”. Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.
JØsendal, Kari., Kari Skarlhot. 2007. Communicating Through Theatre: How Organizational
Theatre Engages Researchers and Industrial Companies. DOI 10.1007/s11213-006-
9050-4. Springer Science+Business Media, LLC 2006.
Lu, Ming., et al. 2017. Infectious Diseases of Proverty (2017) 6:47 Implementing The
Communication for Development Strategy to Improve Knowledge and Coverage of
Measles Vaccination in Western Chinese Immunization Programs : a Before and After
Evaluation. DOI 10.1186/s40249-017-0261.
Noor, Arifin C. 1999. Esai Teater Saya Adalah Teater Kini, Teater Indonesia, Konsep, Sejarah,
Problema. Dewan Kesenian Jakarta : Jakarta.
Obregon, Rafael and Thomas Tufte. 2014. The Handbook of Development Communication and
Social Change, First Edtion, Rethinking Entertainment Education for Development and
Social Change. John Wiley & Sons, Inc : United States.
Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Perum Penerbitan dan Percetakan
Balai Pustaka : Jakarta.
Pramayoza, Dede. 2013. Jurnal ISI Vol.8 No.2, Juli 2013, Pementasan Teater sebagai Suatu
Sistem Penandaan. Institut Seni Indonesia Padangpanjang : Padang.
Pramono, M. Fajar. 2016. ETTISAL Journal of Communication, Vol.1 No.1 Juni 2016,
Komunikasi Pembangunan dan Media Massa : Suatu Telaah Historis, Paragdimatik, dan
Prospektif. UNIDA Gontor.
Rogers, M. Everett. 1995. Diffusion of Innovations Fourth Edition. The Free Press A Division of
Simon de Schuster Inc : New York.
Sitompul, Mukti. 2002. Artikel Konsep-konsep Komunikasi Pembangunan. Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik, Universitas Sumatera Utara : Medan.
Snyder, Leslie B. 2001. Article Development Communications in Handbook of International and
Intercultural Communication, Second Edition. Sage Publications, Inc : Thousand Oaks,
California.
Sumiyadi. 2010. Artikel Mazhab Sastra : Absurdisme. Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas
Pendidikan Indonesia : Bandung.
Suprijatno, Stefanus. 2017. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, Vol.3 No.1, September
2017, 96-107, Teater sebagai Media untuk Pengabdian Masyarakat.
http://jurnal.ugm.ac.id/jpkm DOI : http://doi.org/10.22146/jpkm.25757, Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta.
Utari, R.Widya. 2016. Jurnal JOM FISIP Vol.3 No.2 Oktober 2016, Strategi Komunikasi PT.
Bank Riau Kepri Cabang Syariah Pekanbaru dalam Mempromosikan Tabungan
Simpanan Pelajar (SimPel iB). Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Riau : Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai