Anda di halaman 1dari 23

Referensi Artikel

ANEMIA ON CRONIC DISEASE

Oleh:

Hana Indriyah Dewi G99162140


Lina Nurhana G99162146
Nisrina Mutia Ariani G99161067
Ridho Frihadananta G99161082

Pembimbing:

dr. Ratih Trikusuma Dewi, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis
maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan. Anemia ini disebut dengan anemia pada penyakit
kronis. Penyakit infeksi seperti pneumonia, sifilis, HIV-AIDS, dan juga penyakit
lain seperti artritis rheumatoid, limfoma Hodgkin dan kanker sering disertai anemia
dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis.
Pada umumya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar
antara 7-11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah. Cadangan
Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang (Setiati et al.,
2014). Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi
hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag (Muhammad dan Sianipar, 2005).
Secara garis besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada tiga
abnormalitas utama, yaitu ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat
terjadinya lisis eritrosit lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin
yang terganggu atau menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan
reutilisasi besi (Muhammad dan Sianipar, 2005).
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi
dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu
penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.
Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk menentukan defisiensi besi akan menemui
kesulitan bila berkaitan dengan anemia penyakit kronis. Pemeriksaan khusus seperti
pengecatan sumsum tulang untuk menentukan cadangan besi bersifat invasive
(Muhammad dan Sianipar, 2005).
Insidensi dari anemia penyakit kronis meningkat seiring dengan
pertambahan usia, hal ini dapat dilihat pada geriatri, dimana 77% geriatri
mengalami anemia yang tidak diketahui secara jelas penyebab anemia tersebut,

2
yang dapat mengindikasikan adanya etiologi multifaktorial pada anemia penyakit
kronis (Madu et al., 2017).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Definisi
Anemia pada penyakit kronis adalah anemia derajat ringan atau sedang yang
terjadi pada penderita dengan penyakit inflamasi kronis termasuk infeksi, artritis,
serta keganasan. Anemia pada penyakit kronis merupakan kasus terbanyak kedua
yang menyebabkan anemia setelah anemia defisiensi besI (Madu et al., 2017).
Insidensi dari anemia penyakit kronis meningkat seiring dengan
pertambahan usia, hal ini dapat dilihat pada geriatri, dimana 77% geriatri
mengalami anemia yang tidak diketahui secara jelas penyebab anemia tersebut,
yang dapat mengindikasikan adanya etiologi multifaktorial pada anemia penyakit
kronis (Madu et al., 2017).
Proses patogenesis anemia pada penyakit kronis melibatkan suatu proses
proteksi aktif yang diekspresikan oleh sistem imun seperti pada sel kanker dan
mikroorganisme pathogen. Proses ini melibatkan adanya invasi sumsum tulang oleh
tumor atau mikroorganisme pathogen, perubahan metabolisme zat besi, dan
perubahan pada Fe, hemofagotsitosis, menurunnya eritropoiesis dan menurunnya
respons pada stimulasi erythropoietin.2 Eritropoiesis dapat terpengaruh oleh
penyakit yang mendasari anemia pada penyakit kronis seperti pada infiltrasi sel
tumor ke sumsum tulang, dimana lebih lanjut, sel tumor dapat memproduksi sitokin
proinflamasi dan radikal bebas yang dapat merusak sel progenitor erithroid. Atau
infiltrasi mikroorganisme juga dapat mengakibatkan anemia seperti infeksi malaria,
HIV atau hepatitis C (Madu et al., 2017)
Anemia pada penyakit kronis merupakan suatu anemia yang dipengaruhi
oleh system imun, sitokin dan retikuloendotelial sitem mengakibatkan perubahan
pada homeostasis besi, proliferasi dari sel progenitor erithroid, produksi
eritropoietin, dan masa hidup sel darah merah, yang berperan dalam pathogenesis
anemia (Weiss dan Goodnough, 2005).

4
Proses patogenesis anemia pada penyakit kronis diperkirakan dipengaruhi
oleh aksi TNF dan IL-1 dan IL-6, dan IFN. Sitokin ini seperti halnya protein
hepsidin, diperkirakan mennghambat pengeluaran zat besi dari makrofag ke
progenitor sel eritroid. Sitokin ini juga menginduksi secara langsung pengaturan
translasi/transkripsi gen yang berpengaruh dalam homeostasis zat besi (Agustriadi,
2006).

B. Fisiologi
1. Hematopoesis
Hematopoiesis merupakan proses pembuatan darah. Darah sendiri terdiri
atas bagian yang terbentuk (formed elements) yaitu eritrosit, leukosit, dan
trombosit yang bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop dan bagian yang tidak
terbentuk yaitu plasma yang terdiri atas molekul air, protein, lemak, karbohidrat,
vitamin, enzim, dan sebagainya yang larut dalam plasma.
Hemopoiesis merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan banyak
komponen-komponen yang saling terkait antara lain:
1. Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel
induk, sel-sel bakal dan sel-sel matur yang dianggap sebagai benih
2. Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan
mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic-micro-environment yang
dianggap sebagai tanah
3. Kompartemen ketiga terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel
darah untuk berproliferasi, berdiferensiasi atau berfungsi sesuai dengan
tugas yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth
factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik (FPH)

Kompartemen sel darah yang bertindak sebagai benih terdiri dari

1. Pluripotent Stem Cell (PSC)


Menurut teori, sel-sel darah berasal dari satu pluripotent stem cell. Sel-
sel ini berjumlah sedikit, namun mempunyai kemampuan besar
berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. LMH penting untuk PSC
sehingga PSC dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture

5
Initiating Cells (LTC-IC). LMH menghasilkan stimulator-stimulator
pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF)
yang dapat menstimulasi PSC untuk terus berproliferasi dan berdiferensiasi
sesuai jalur turunannya.
2. Comitted Progenitor Hemopoetic Cell
Dengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH
berupa stem cell factor (SCF), PSC dapat berdiferensiasi menjadi Comitted
Progenitor Hemopoetic Cell yang berfungsi menurunkan turunan-turunan
sel-sel darah, yaitu jalur-jalur turunan myeloid dan makrofag yang disebut
colony forming unit granulocyte, erythrocyte, megakaryocyte, monocyte
(CFU-GEMM) dan Lymphoid Progenitor Cell (LPC)
CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi
menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg, dan CFU-E (melalui Burst Forming
Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF; GM-CSF dapat
menstimulasiCFU-G dan CFU-MK menjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel
matur).
3. Sel-sel Darah Dewasa
Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinophil,
basophil, neutrophil), golongan-golongan monbosit/makrofag, trombosit,
eritrosit, dan limfosit B dan T.

Gambar 1. Hierarki sel darah

6
Di dalam sumsum tulang, sel-sel darah berbaur bersama dengan
kompartemen kedua yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-
macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang. Stroma terdiri
atas bermacam-macam subkompartemen yaitu fibroblast, adiposity, matriks
ekstraseluler, monosit, makrofag, dan sel endotel yang dapat menghasilkan
macam-macam zat yang dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel induk, sel-sel
bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan colony stimulating
factor (CSF) atau juga hemopoetic growth factor (HGF). CSF yang merangsang
pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating factor (G-
CSF), sedangkan yang monosit dan makrofag disebut Monocyte/Macrophage
Colony Stimulating Factor (M-CSF).
Stroma yang terdiri atas fibroblast, monosit, makrofag, endotel dan
sebagainya disebut juga sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jaringan
LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi PSC dan sel bakal.
Bila terjadi kerusakan atau defisiensi pada sel stroma atau LMH maka
pertumbuhan sel akan terganggu (hipoplastik hingga anaplastic).
Di samping itu, terdapat hemopoetic growth factor yaitu senyawa yang
dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktivitas fungsional dari sel-sel
bakal darah. Senyawa ini diproduksi oleh stroma. Normalnya HGF hanya
didapatkan dalam kadar sedikit di dalam darah. HGF ini dapat menstimulasi dua
arah, yaitu positif bila merangsang proses dan negative bila menghambat proses.

Tabel 1. Lokasi FPH

Senyawa HGF memiliki 3 sifat biologis, antara lain (1) Pleiotrofi yaitu HGF
dapat menstimulasi beberapa sel bakal meskipun dalam derajat yang berbeda,

7
(2) Redundansi yaitu satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 HGF meskipun
dalam derajat yang berbeda, (3) Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel
bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.

Tabel 2. Lokasi FPH

2. Fisiologi Metabolisme Zat Besi di Duodenum dan Makrofag


Pada metabolisme besi yang normal, besi diabsorbsi di duodenum. Beriku
fase-fase penyerapan besi di enterosit duodenum :
1. Fase luminal, besi pada makanan dilepas ikatannya karena pengaruh asam
lambung dan direduksi dari feri (Fe3+) menjadi fero (Fe2+) oleh enzim
ferireduktase yang dimediasi oleh duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
2. Fase mukosal, merupakan suatu proses dimana feri yang sudah diubah
menjadi fero ditranspor ke sitoplasma enterosit melalui membran difasilitasi
oleh protein divalent metal transporter 1 (DMT1). Setelah besi masuk ke
sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk ferritin, sebagian dikeluarkan ke

8
kapiler usus melalui basolateral transporter (feroportin/FPN), dimediasi oleh
hephaestin.
3. Fase korporeal, dimana besi yang sudah diserap enterosit dan melewati
bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus lalu sebagian besi dalam
darah diikat oleh apotransferin menjadi transferrin. Satu molekul transferin
dapat mengikat maksimal 2 molekul besi membentuk kompleks besi-
transferin ini (Fe2-Tf). Hepatosit mengambil besi dari sirkulasi dalam bentuk
bebasnya maupun dalam bentuk Fe2+ yang terikat dengan transferin dalam
bentuk kompleks besi-transferin (Fe2-Tf) melalui Transferin receptor 1 dan
transferin receptor 2. Bentuk kompleks besi-transferin nantinya akan diikat
oleh reseptor transferin (transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel membentuk kompleks Fe2-Tf-Tfr, yang akan membentuk
endosom di sel hepatosit. Suatu pompa proton akan menurunkan pH
endosom, sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan
ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke
permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali (Weiss dan Goodnough,
2005).
Beberapa hal yang meregulasi absorpsi besi dalam usus, yaitu :
1. Dietary regulator, jenis diet dengan bioavailibilitas besi yang tinggi dan
adanya faktor enhancer akan meingkatkan absorpsi besi. Selain itu, di
duodenum terdapat fenomena mucosal block, dimana setelah beberapa hari
dilakukan bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorpsi
besi berikutnya.
2. Stores regulator , besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya
absorpsi besi,
3. Erythropoetic regulator, besarnya absorpsi besi berhubungan dengan
kecepatan eritropoesis,
4. Hepcidin, sebagai soluble regulator absorpsi besi di usus (Agustriadi et al.,
2006).

9
Sedangkan, metabolisme besi pada makrofag diawali dengan fagositisasi
eritrosit dan pemecahannya di fagosom, sehingga besi berada dalam di
sitoplasma makrofag, kemudian besi dikeluarkan menuju sirkulasi melalui
feroportin dengan bantuan seruloplasmin ferooksidase (Weiss dan Goodnough,
2005)

C. Etiologi
Terdapat beberapa etiologi dari anemia pada penyakit kronis, yang
dikelompokkan dalam infeksi (bacterial, virus, parasit dan jamur), kanker,
autoimun, penolakan organ transplantasi, dan CKD. Berikut adalah beberapa
etiologi anemia penyakit kronis (Weiss dan Goodnough, 2005):

Tabel 3. Etiologi anemia pada penyakit kronis

10
D. PATOFISIOLOGI

Gambar 2. Patofisiologi Anemia pada penyakit kronis

11
Pada panel A, invasi dari mikroorganisme, atau adanya sel malignansi, atau
disregulasi autoimun mengakibatkan aktivasi dari sel T CD3+ dan monosit. Sel ini
menginduksi mekanisme efektor imun, melalui produksi sitokin seperti INF ɣ dari
sel T, dan TNF α, IL-1, IL-6, dan IL-10 dari monosit.
Pada panel B, IL-6 dan lipopolisakarida menstimulasi ekspresi protein
hepsidin yang dapat menghambat absorbsi zat besi dari duodenum.
Pada panel C, INF- ɣ, lipopolisakarida, atau keduanya menaikkan jumlah
ekspresi DMT1 pada makrofag dan menstimulasi pengambilan ion Fe2+ ke dalam
sitoplasma makrofag. Sitokin IL-10 menaikkan regulasi ekspresi transferin reseptor
dan menaikkan pengambilan kompleks transferin dan zat besi ke sitoplasma
makrofag. TNF α menstimulasi aktivitas fagositosis makrofag akan eritrosit yang
mengalami penuaan untuk daur ulang zat besi. INF ɣ dan lipopolisakarida
melakukan down regulasi dari ekspresi makrofag iron transporter ferroportin 1, dan
menghambat keluarnya zat besi dari makrofag, suatu proses yang juga dimediasi
oleh hepsidin. Pada saat yang sama, TNF α, IL-1m IL-6, IL-10 menginduksi feritin
dan menstimulasi penyimpanan dan retensi Fe pada makrofag.
Pada panel D, TNF α dan INF ɣ menghambat produksi dari eritropoietin di
ginjal. Di panel E, TNF α dan INF ɣ dan IL-1 menghambat secara langsung
diferensiasi dan proliferasi dari progenitor erithroid. Sebagai tambahan, terbatasnya
avaibilitas dari zat besi dan berkurangnya aktivitas eritropoietin mengakibatkan
inhibisi eritopoiesis dan mengakibatkan anemia (Weiss dan Goodnough, 2005).

12
Tabel 4. Faktor faktor yang berperan terhadap patofisiologi anemia pada penyakit
kronis.

1. Penghambatan Eritropoiesis
Penghambatan eritropoiesis pada anemia penyakit kronis diakibatkan
beberapa hal. Yang pertama adalah IL-6. IL-6 menghambat eritropoiesis melalui

13
penurunan regulasi gen SLC4a1 pada prekursor eritrosit stadium lanjut dan
menurunkan sintesis hemoglobin. IL6 juga menurunkan massa dan fungsi
mitokondria, pada progenitor eritrosit, dan dapat menaikkan sintesis dari
hepcidin. Hepcidin mengakibatkan penurunan ekspor Fe dari enterosit dan
makrofag dan mengakibatkan keadaan hipoferemic, yang dapat menurunkan
kebutuhan dari sel eritroid akan Fe.
Selain itu, sitokin lain yang dapat menghambat eritropoiesis adalah IFN-γ.
Sitokin ini menginduksi apoptosis pada sel prekursor eritroid melalui naiknya
produksi nitrit oksida dan produksi mRNA nitrit oksida sintase. Hal ini
dimediasi oleh aksi dari ceramide dan melalui reduksi reseptor eritropoietin di
sel progenitor eritroid. Modalitas lain dari aksi IFN adalah menurunkan kuantitas
dan aktivitas eritropoietin dan juga menurunkan ekspresi growth factor.
IFN-γ dan lipopolysaccharida dari bakteri menaikkan ekspresi dari DMT-1
sehingga menaikkan ambilan Fe ke dalam sel enterosit dan makrofaf dan
mengakibatkan retensi dari Fe melalui menurunkan ekspresi dari ferroportin
mRNA. Pada pasien dengan penyakit kronis, tingginya kadar TNF-α dan IL-6
dikatakan memiliki korelasi dengan turunnya kadar Fe serum, sehingga
mengakibatkan hypoferraemia dengan terjadinnya reduksi pada eritropoiesis.
Hal ini juga dapat diakibatkan oleh naiknya erithrofagositosis, sebuah proses
yang terjadi akibat destruksi dari eritrosit senescent, yang terjadi diakibatkan
oleh sitokin, endotoksin dan spesies reactive oksigen. Sedangka keadaan
hipoksia mengakibatkan naiknya transkripsi dari mRNA hepcidin. Proses ini
diperkirakan dimediasi oleh platelet-derived growth factor. Pada produksi
radikal bebas di kondisi inflamasi mengakibatkan keluarnya sitokin pro
inflamasi termasuk hepcidin. Sitokin pro inflamatory lain seperti IFN-γ
mengakibatkan naiknya ekspresi mRNA nitrit oxide sehingga mengakibatkan
apoptosis prekursor erithroid.
Sedangkan, penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa 1,25-
dihydroxyvitamin D 3 menurunkan regulasi hepcidin dan meningkatkan ekpresi
ferroportin di sel THP-1 lipopolysaccharidestimulated. Dosis tinggi dari vitamin
D juga menurunkan prohepcidin cytokines IL-6 dan IL-1β. Sehingga dapat

14
menaikkan proliferasi dari progenitor erithroid dan juga dapat menghambat
inflamasi. Selain itu, erithroferron suatu regulator dari sintesis hepsidin dan
mengatur homeostasis Fe, telah ditemukan dapat menurunkan ekspresi mRNA
hepcidin.

2. Penghambatan Eritropoiesis pada Kanker


Anemia akibat penyakit seperti kanker diakibatkan oleh 3 mekanisme :
(a) berkurangnya produksi sel darah merah (akibat invasi tumor, efek obat
sitotoksik, nutrisi yang kurang atau penghambatan dari sitokin), (b) naiknya
destruksi sel darah merah (hemolisis atau perdarahan), dan (c) etiologi yang
masih tidak diketahui. Pada kebanyakan kasus, invasi sumsum tulang oleh sel
ganas mengakibatkan obstruksi dan destruksi dari microenvironment sumsum
tulang.
Namun, ada keadaan dimana anemia terjadi tanpa adanya invasi sumsum
tulang. Hal ini dapat diamati dari sekresi COX-2 oleh sel tumor dan VEGF,
granulocyte-monocyte colony-stimulating factor, IL-6, dan TNF-α, yang
mengakibatkan cachexia dan anemia. Celecoxib, sebuah inhibitor COX-2 dapat
menghambat anemia dan keadaan cachexia pada anemia penyakit kronis.
Growth differentiation factor 15 (GDF-15) merupakan sebuah faktor yang
berperan sebagai integrin leukosit. Molekul ini memiliki hubungan terbalik
dengan kadar serum hepcidin pada pasien kanker dengan ESA-resistant
anaemia. Kenaikan dari GDF-15 mengakibatkan menurunnya kadar
hepcidin,dan berhubungan denganmetastasis tumor, angiogenesis, progresi dan
hemopoiesis. Mekanisme ini telah diperkirakan termasuk dalam mekanisme inti
pada inflamasi yang diakibatkan oleh sel kanker.

3. Penghambatan Eritropoiesis pada Infeksi


Sedangkan pada kasus infeksi seperti infeksi Plasmodium dam HIV, produk
toksik dari parasit mengakibatkan supresi erithropoiesis secara langsung.
Organisme ini juga bersaing secara kompetitif dengan prekursor erithroid dalam
hal kebutuhan akan Fe (Madu et al, 2017).

15
4. Hepcidin
Secara struktur, hepcidin manusia adalah suatu peptida kecil kaya sistein (8
sistein) yang didapat dari gugus C-terminal dari suatu asam amino
prepropeptida, yang diisolasi dari urine dan ultrafiltrat darah, yang sebagian
besar mengandung 25 asam amino (hep-25) dan sebagian lagi ditemukan dengan
rantai asam amino yang lebih pendek (hep-20 dan hep-22) (Agustriadi et al,
2006).

Gambar 3. Struktur Hepsidin


mRN A hepcidin diproduksi oleh hepatosit dan lipopolisakarida. Beban besi
yang berlebihan baik secara oral maupun parenteral dapat merangsang produksi
hepcidin sebagai feedback terhadap keadaan overload besi tersebut (Agustriadi
et al, 2006).

16
5. Hubungan Inflamasi dengan Hepcidin

Gambar 4. Hubungan Inflamasi dengan hepsidin

Sebuah percobaan dilakukan dengan cara memberikan injeksi turpentine


(suatu stimulus inflamasi) pada tikus, dan mendapatkan hasil turpentine dapat
merangsang kenaikan mRNA hepcidin sebesar 4 kali lipa. Infeksi dan
makromolekul yang pathogen spesifik pada khususnya seperti lipopolisakarida,
kemungkinan bekerja pada makrofag, termasuk sel-sel Kupfer hati untuk
merangsang produksi IL-6 dan pada gilirannya akan meningkatkan ekspresi
mRNA hepcidin di hati. Sehingga, dapat dikatakan bahwa produksi hepcidin di
hepar dirangsang oleh inflamasi (Agustriadi, 2006).

17
6. Hubungan Hepcidin dengan Anemia

Gambar 5. Peranan Hepcidin pada Anemia Penyakit Kronis

Seperti telah diketahui, hepcidin dihasilkan oleh hepatosit. Setelah melalui


fase luminal dan mukosal, kompleks transferin zat besi melekat dengan
transferin reseptor 2, sehingga keduanya berikatan dan membentuk endosom.
Hal ini memicu terbentuknya hepsidin. Sehingga, hepsidin dikeluarkan menuju
ke sirkulasi. Selanjutnya, hepsidin melakukan down regulasi keluarnya zat besi.
Sehingga terjadi retensi dari Fe2+ di enterosit, hepatosit dan makrofag, terutama
melalui eritrofagositosis dan import transmembran oleh DMT 1. Interferon-ɣ,
lipopolisakarida dan TNF- α meningkatkan ekspresi DMT1, sehingga terjadi
peningkatan uptake besi oleh makrofag, dan menurunkan ekspresi feroportin,
hasil akhirnya adalah terjadi retensi besi pada makrofag. Akuisisi besi oleh

18
makrofag (secara transferrin-mediated) juga distimulasi oleh IL-10, yang
merupakan suatu sitokin anti-inflamasi (Flemming, 2005.
Kadar hepcidin sendiri dapat bervariasi dalam berbagai kondisi anemia.
Berikut ini adalah perbandingan kadar hepsidin dan kadar besi pada berbagai
kondisi anemia

Tabel 5. Kadar hepsidin dan kadar besi pada berbagai kondisi anemia

E. Diagnosis
1. Pemeriksaan Penunjang
Anemia pada penyakit kronis biasanya anemia normokromik, normositik
yang ditandai dengan anemia ringan Hb 9.5 g/dl hingga anemia sedang Hb 8
g/dl. Pasien dengan anemia penyakit kronis memiliki retikulosit yang rendah,
yang mana mengindikasikan adanya produksi sel darah merah yang menurun.
Pada anemia penyakit kronis dan anemia defisiensi besi, terjadi penuruan
saturasi transferin. Pada anemia penyakit kronis, turunnya saturasi transfern
diakibatkan oleh adanya turunnya kadar zat besi. Pada anemia defisiensi besi,
turunnya saturasi transferin dikarenakan serum konsentrasi dari transporter besi
transferin meningkat.
Pada anemia penyakit kronis, kadar ferritin, yang dipakai sebagai marker
cadangan simpanan besi, dapat meningkat ataupun normal. Hal ini dikarenakan
terjadi retensi zat besi dan penyimpanan zat besi di dalam sel seperti makrofag,
sehingga terjadi aktivasi imun terhadap ferritin. Berikut perbedaan laboratoris

19
anemia pada penyakit kronis dan anemia defisiensi besi (Weiss dan Goodnough,
2005).

Tabel 6. Perbedaan kadar serum yang membedakan anemia pada penyakit kronis
dengan anemia defisiensi besi

F. Tatalaksana
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia pada penyakit kronis,
antara lain:
1. Transfusi merupakan pilihan utama pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin berapa kita
harus memberi transfuse. Transfuse dapat menurunkan angka kematian secara
bermakna. Pada anemia akibat kanker, kadar Hb sebaiknya dipertahankan pada
10-11 gr/dL
2. Preparat besi pada anemia penyakit kronis dapat mencegah pembentukan TNF-
α. Pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin.

20
3. Eritropoietin diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, multiple
myeloma, artritis rheumatoid, dan pasien HIV. Pemberian eritropoietin
bertujuan untuk menghindari transfuse. Beberapa keuntungan penggunaan
eritropoietin adalah efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α
dan interferon-γ. Akan tetapi, eritropoietin dapat menambah proliferasi sel-sel
kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Terdapat 3 jenis eritropoietin: eritropoietin alfa, eritropietin beta, dan
darbopoetin (Setiati et al., 2014)

21
BAB III

PENUTUP

Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai


sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit
neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal
dan endokrin. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia berat atau
moderat. Sebagian besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker dan penyakit
hati. Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali
gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, selain itu pengobatan yang
dilakukan juga berdasarkan pengobatan penyakit dasarnya. Dengan demikian
mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronis merupakan hal yang harus
dipahami oleh setiap dokter sebelum memberikan transfusi, preparat besi maupun
eritropoietin.

22
DAFTAR PUSTAKA

Agustriadi et al. Hepcidin pada anemia of chronic disease. J Peny Dalam 2006;
7:(2)

Angelo G. Role of hepcidin in the pathophysiology and diagnosis of anemia. J


Blood Res 2013;48:10-5

Fleming RE, Bacon BR. Orchestration of iron homeostasis. N Eng J Med


2005;352:1741-4

Madu A et al. Anaemia of Chronic Disease : An In-Depth Review. Med Princ Pract
2017;26:1–9

Muhammad A, Sianipar O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit


Kronis Menggunakan Peran Indeks sTRfR-F. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005.
Diakses melalui: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-
03.pdf pada 14 April 2016.

Setiati et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing: Jakarta.

Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med


2005;352:1011-23

23

Anda mungkin juga menyukai