Anda di halaman 1dari 34

1.

DEFINISI
Tekanan intrakranial adalah tekanan yang diakibatkan cairan cerebrospinal
dalam ventrikel otak.
Peningkatan tekanan intracranial atau TIK (intracranial pressure, ICP)
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen: otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas.
Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum.
Ia juga memiliki tentorium yang kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari
serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.

2.1 Tekanan Intrakranial


Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan menganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi,
kenaikan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah
serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH20), TIK lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalarn
kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.

1
2.2 Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanva adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin mekar. (Lihat Gambar 1, Doktrin Monro-Kellie dan gambar 2, kurva
volume tekanan).
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena
TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume (Lihat
Gambar 2, Kurva Tekanan-Volume). Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan
kedudukan pada garis datar pada kurva berapa banyak volume lesi masanya.

2
Doktrin Monro-Kellie - Kompensasi Intrakranial terhadap masa yang
berkembang. Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat
penambahan masa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSF
dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka
kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK vang
tajam seperti tampak pada gambar 2, Kurva Volume-Tekanan.
(Dikutip dengan ijin dari Narayan RK: Head Injury, in Grossman RG. Hamilton
WJ (eds): Principles of Neurosurgery. New York. Raven Press. 1991.p. 267)

Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap
pada garis datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai
melewati titik dekompensasi.

(Dipetik dengan ijin dari Narayan RK: Head Injury, in Grossman RG, Hamilton
WJ (eds): Principles of'Neurosurgery. New York. Raven Press. 1991, p. 267)

3
2.3 Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera
kepala adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya Tekanan
Perfusi Otak (TPO) adalah indikator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO
mempunyai formula sebagai berikut :

TPO = TAR - TIK


(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)

TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang


buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata
sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa
penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk
mempertahankan TPO yang adekuat. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang
sangat penting dalam penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

2.4 Aliran Darah ke Otak (ADO)


ADO normal ke dalam otak kira-kira 50mL/100 gr jaringan otak per
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 mL/100 gr/menit maka aktivitas EEG
akan hilang dan pada ADO 5ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian
dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata
50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata di bawah 50 mmHg, ADO menurun
curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering
mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-
penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia
sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak
bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang,
terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat

4
hematoma intracranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah
yang adekuat tetap harus dipertahankan.

3. SIRKULASI CAIRAN SEREBROSPINAL


3.1 Produksi
CSS diproduksi terutama oleh pleksus khoroid ventrikel lateral, tiga dan
empat, dimana ventrikel lateral merupakan bagian terpenting. 70 % CSS
diproduksi disini dan 30 % sisanya berasal dari struktur ekstrakhoroidal seperti
ependima dan parenkhima otak. Pleksus khoroid dibentuk oleh invaginasi
piamatervaskuler (tela khoroidea) yang membawa lapisan epitel pembungkus dari
lapis ependima ventrikel. Pleksus khoroid mempunyai permukaan yang berupa
lipatan-lipatan halus hingga kedua ventrikel lateral memiliki permukaan 40 sm2.
Mereka terdiri dari jaringan ikat pada pusatnya yang mengandung beberapa
jaringan kapiler yang luas dengan lapisan epitel permukaan sel kuboid atau
kolumner pendek. Produksi CSS merupakan proses yang kompleks.

3.2 Sirkulasi Ventrikuler


Setelah dibentuk oleh pleksus khoroid, cairan bersirkulasi pada sistem
ventrikuler, dari ventrikel lateral melalui foramen Monro (foramen
interventrikuler) keventrikel tiga, akuaduktus dan ventrikel keempat. Dari sini
keluar melalui foramina diatap ventrikel keempat kesisterna magna.

3.3 Sirkulasi Subarakhnoid


Sebagian cairan menuju rongga subarakhnoid spinal, namun kebanyakan
melalui pintu tentorial (pada sisterna ambien) sekeliling otak tengah untuk
mencapai rongga subarakhnoid diatas konveksitas hemisfer serebral.

5
3.4 Absorpsi
Cairan selanjutnya diabsorpsi kesistem vena melalui villi arakhnoid. Villa
arakhnoid adalah evaginasi penting rongga subarakhnoid kesinus venosus dural
dan vena epidural; mereka berbentuk tubuli mikro, jadi tidak ada membran yang
terletaka antara CSS dan darah vena pada villi. Villi merupakan katup yang
sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu arah. Bila tekanan CSS
melebihi tekanan vena, katup terbuka, sedang bila lebih rendah dari tekanan vena
maka katup akan menutup sehingga mencegah berbaliknya darah dari sinus
kerongga subarakhnoid. Secara keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di
ventrikel lateral dan ventrikel keempat dan kebanyakan diabsorpsi di sinus
sagittal.
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan dan
absorpsi CSS. Derajat absorpsi adalah tergantung tekanan dan bertambah bila
tekanan CSS meningkat. Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran tampaknya
berkurang pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan normal. Ini
membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan meningkatkan aliran
dan absorpsi CSS. Hampir dapat dipastikan bahwa jalur absorptif adalah bagian
dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan ependima ventrikel dan selaput saraf
spinal; dan kepentingan relatifnya mungkin bervariasi tergantung pada TIK dan
patensi dari jalur CSS secara keseluruhan. Sebagai tambahan atas jalur utama
aliran CSS, terdapat aliran CSS melalui otak, mirip dengan cara cairan limfe. Cara
ini kompleks dan mungkin berperan dalam pergerakan dan pembuangan cairan
edem serebral pada keadaan patologis.

3.5 Komposisi CSS


CSS merupakan cairan jernih tak berwarna dengan tampilan seperti air.
Otak dan cord spinal terapung pada medium ini dan karena efek mengambang,
otak yang beratnya 1400 g akan mempunyai berat netto 50-100 g. Karenanya otak
dilindungi terhadap goncangan oleh CSS dan mampu meredam kekuatan yang
terjadi pada gerak kepala normal. Otak mempunyai kapasitas gerakan terbatas
terhadap gerakan tengkorak karena terpaku pada pembuluh darah dan saraf otak.

6
Pada dewasa terdapat 100-150 ml CSS pada aksis kraniospinal, sekitar 25
ml pada ventrikel dan 75 ml pada rongga subarakhnoid. Pencitraan Resonansi
Magnetik telah digunakan untuk mengukur isi CSS intrakranial. Isi CSS kranial
total meningkat bertahap sesuai usia pada tiap jenis kelamin. Tingkat rata-rata
pembentukan CSS sekitar 0.35 ml/menit, atau 20 ml/jam atau sekitar 500 ml/hari.
CSS terdiri dari air, sejumlah kecil protein, O2 dan CO2 dalam bentuk larutan, ion
sodium, potasium dan klorida, glukosa dan sedikit limfosit. CSS adalah isotonik
terhadap plasma darah dan sesungguhnya mungkin dianggap sebagai ultrafiltrat
darah yang hampir bebas sel dan bebas protein. Konsentrasi protein berbeda
secara bertingkat sepanjang neuraksis. Pada ventrikel nilai rata-rata protein adalah
0.256, dan pada sisterna magna 0.316. Dalam keadaan normal, TIK ditentukan
oleh dua faktor. Pertama, hubungan antara tingkat pembentukan CSS dan tahanan
aliran antara vena serebral. Kedua, tekanan sinus venosus dural, yang dalam
kenyataannya merupakan tekanan untuk membuka system aliran. Karenanya
tekanan CSS = (tingkat pembentukan X tahanan aliran) + tekanan sinus venosus
Tingkat pembentukan CSS hampir konstan pada daerah yang luas dari TIK
namun mungkin jatuh pada tingkat TIK yang sangat tinggi. Dilain fihak, absorpsi
tergantung pada perbedaan tekanan antara CSS dan sinus venosus besar,
karenanya makin tinggi tingkat absorpsi bila TIK makin melebihi tekanan vena.

3.6 Volume Darah Serebral


Bagian yang paling labil pada peninggian TIK dan yang mempunyai
hubungan yang besar dengan klinis adalah peningkatan volume darah serebral
(VDS/CBV, Cerebral Blood Volume). Ini mungkin akibat dilatasi arterial yang
berhubungan dengan peningkatan aliran darah serebral, atau karena obstruksi
aliran vena dari rongga kranial sehubungan dengan pengurangan aliran darah
serebral (ADS/CBF,Cerebral Blood Flow).
Volume darah serebral normal sekitar 100 ml. Pada percobaan binatang
dengan menggunakan sel darah merah yang dilabel dengan fosfor-32, khromium-
51 dan albumin yang dilabel dengan iodin-131 didapatkan volume darah serebral
sekitar 2 % dari seluruh isi intracranial. Pengukuran langsung VDS, ADS regional

7
dan ekstraksi oksigen kini dapat diukur pada manusia dengan menggunakan
tomografi emisi positron (PET scanning).
Sekitar 70 % volume darah intrakranial terdapat pada pembuluh
kapasitans, yaitu bagian vena dari sistem vaskular. Pada berbagai volume
intrakranial, hanya volume darah yang dapat berubah cepat sebagai respons
terhadap perubahan TIK atau perubahan pada volume in- trakranial lainnya. Ini
adalah hubungan langsung antara vena serebral, sinus venosus dural dan vena
besar dleher. Jadi tak ada yang menghalangi transmisi peninggian tekanan vena
dari dada dan leher ke isi intrakranial. Fenomena ini mempunyai kegunaan
terapeutik yang penting.
Perubahan VDS bergantung pada mekanisme yang kompleks yang
bertanggung-jawab untuk mengatur sirkulasi serebral.

3.7 Karbondioksida, ADS dan VDS


Pembuluh yang fisiologis paling aktif adalah arteriola serebral. Ia sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan metabolik. Artinya ADS regional bereaksi
atas kebutuhan metabolik jaringan. Zat vasodilator yang paling kuat adalah CO2;
ADS berubah 2-4 % untuk tiap mmHg perubahan tekanan arterial karbon
dioksida, PaCO2. ADS akan mengganda pada peninggian PaCO2 40-80 mmHg
dan akan tinggal setengahnya bila PaCO2 turun ke 20 mmHg. Dibawah 20
mmHg, perubahan PaCO2 hanya sedikit berpengaruh pada ADS karena aliran
sangat lambat dimana terjadi hipoksia jaringan. Karenanya vasokonstriksi
hipokapnik mungkin tidak menyebabkan hipoksia hingga derajat yang
menyebabkan kerusakan struktur otak. Hubungan ini pada manusia telah
dipastikan menggunakan sidik PET dengan mengukur reaksi VDS atas perubahan
PaCO2.

3.8 Oksigen, ADS dan VDS


Penurunan tekanan arterial oksigen (PaO2) berakibat peninggian ADS.
Ada ambang rangsang untuk fenomena ini dan hanya bila PaO2 dibawah 50
mmHg yang jelas menaikkan.

8
4. CEDERA KEPALA DAN AKIBATNYA
Secara umum, cedera kepala mudah dibedakan menjadi cedera terbuka dan
tertutup. Untuk jenis yang tertutup, dapat disertai atau tidak disertai “impact”.
Sebagai akibat dari cedera tersebut otak dapat mengalami cedera, yang secara
klinis dibedakan menjadi:
A. Cedera otak primer
B. Cedera otak sekunder

4.1 Cedera Otak Primer


Dengan istilah primer diartikan bahwa cedera yang ada benar-benar timbul
pada saat terjadinya cedera. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
1. Cedera Otak Fokal
2. Cedera Otak Difus.

1. Cedera Otak Fokal


Pada cedera otak fokal ini, secara makroskopis terlihat adanya lesi fokal yaitu :
a. Perdarahan Epidural Akut
b. Perdarahan Subdural Akut
c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral

a. Perdarahan Epidural Akut


Hematom terdapat di luar durameter, kebanyakan di daerah temporal dan
temporo-parietal, sebagai akibat dari pecahnya vasa meningea media, dimana
pada 2/3 kasus berasal dari arteri dan 1/3 kasus lainnya berasal dari vena. Kadang-
kadang juga berasal dari sinus venous terutama di daerah parieto-oksipital dan
daerah fossa posterior.
Meskipun perdarahan epidural ini relatif jarang terjadi (0,5 % dari
keseluruhan cedera kepala dan 9 % dari cedera kepala yang disertai koma), tetapi
bila ada dan segera dilakukan tindakan operasi, prognosisnya sangat baik. Angka
mortalitas dari perdarahan epidura adalah 0 % bila penderita sadar, 9 % bila
“obtunded” dan 20 % bila penderita sudah dalam keadaan koma.

9
Ciri khas pada hematom epidural adalah terdapatnya interval bebas antara
saat terjadinya cedera dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai
beberapa jam.
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar (lateralisasi).

b. Perdarahan Subdural Akut


Jenis perdarahan ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural.
Didapatkan pada 30 % kasus cedera kepala berat oleh karena pecahnya
“bridging vein”.
Perdarahan ini dapat disertai atau tanpa disertai adanya fraktur tulang
kepala.
Oleh karena letak hematom di bawah durameter maka jaringan otak di
bawahnya biasanya juga mengalami kerusakan, sehingga prognosisnya lebih jelek
bila dibandingkan dengan perdarahan epidural.
Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, maka
dibandingkan dari hematom epidural, prognosisnya lebih jelek secara klinis sukar
dibedakan dengan hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom
subdural akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang
progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia.

c. Kontusi dan Perdarahan Intraserebral


Sering terjadi di lobis frontalis dan lobus temporalis meskipun juga dapat
terjadi di serebelum dan batang otak. Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat
gambaran “salt-and-pepper” yaitu adanya bercak-bercak hiperdens pada daerah
hipodens (daerah udemateus).

2. Cedera Otak Difuss


Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
mikroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan

10
fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau
penurunan kesadaran bahkan sampai koma.
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang tak oleh massa yang
mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang
otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya
kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa
regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson.
Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson
yang mengalami kerusakan.
Percobaan di laboratorium membuktikan bahwa benturan langsung
(impact) bukan merupakan syarat untuk terjadinya cedera difus ini, tetapi justru
proses ekselerasi-deselerasilah yang lebih banyak menyebabkan kerusakan difus
pada akson. Bukti-bukti yang terakhir menunjukkan bahwa nodus Renvier sebagai
bagian yang paling rawan pada struktur akson akan mengalami regangan
(stretching) dan puntiran (twisting) pada setiap proses ekselerasi-deselerasi.
Keadaan ini selanjutnya akan diikuti beberapa proses toksik yang pada akhirnya
menyebabkan masuknya ion Ca secara berlebihan. Kerusakan ini bersifat
reversibel selama akson mampu mengatasi influk ion Ca yang berlebihan ini.
Regangan yang berlebihan juga akan merusak sitoskeleton dan mengganggu
transport yang bersifat menetap yang pada akhirnya menyebabkan transport pada
akson berhenti total. Pada pemeriksaan patologi anatomis lesi ini akan terlihat
sebagai “axonal retraction ball” yang tampak sesudah 12-72 jam.
Pada keadaan yang berat proses ekselerasi dan deselerasi juga
menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering
tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari
subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah yang
mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali
menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan
yang lebih dikenal dengan istilah “tissue tear hemorrages”.

11
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
1. Konkusi ringan
Pada keadaan ini didapatkan adanya gangguan fungsi neurologis yang
sifatnya sementara misalnya amnesia, sedang penderita tetap sadar. Karena
ringannya gambaran klinis yang ada, meskipun banyak terjadi, kerapkali luput
dari perhatian. Yang paling ringan berujud bingung (“confuse”) sedang pada yang
lebih berat berujud bingung dengan amnesia retrograd maupun amnesia post-
cederatika.
2. Konkusi klasik
Pada keadaan ini bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, yang
akan membaik kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.
Sebagian besar kasus tidak memberikan gejala sisa kecuali hanya berupa
amnesia yang berkaitan dengan cederanya, meskipun ada juga yang disertai defisit
neurologik yang sangat ringan.
3. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6
jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa
massa maupun daerah yang iskhemik.
Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson
sehingga dipakai istilah cedera akson difus.
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini
relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 %
dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang
otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai
57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.

12
B. Cedera Otak Sekunder
Dengan istilah sekunder diartikan bahwa cedera yang ada, terjadi setelah
cedera berlangsung, jadi merupakan akibat dari adanya cedera otak primer. Cedera
otak sekunder dapat timbul setiap saat, jadi ada yang datangnya awal, tetapi juga
dapat timbul beberapa waktu kemudian setelah cedera. Sebagai contoh tekanan
intrakranial yang meninggi dapat terjadi segera sesudah ada perdarahan subdural,
tetapi dapat pula timbul belakangan yaitu setelah terbentuk edema (“swelling”).
Dari penelitian Graham dkk 1978 terbukti bahwa otopsi dari 151 kasus cedera
kepala yang sebelumnya telah mendapat penanganan secara modern dan intensif,
ternyata lebih dari 80 % menunjukkan adanya gambaran iskhemik. Iskhemik ini
dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti terlihat pada tabel berikut ini :

SYSTEMIC INTRACRANIAL
Hypoxaemia Haematoma (EDH, SDH, ICH)
Arterial hypotension Brain swelling/oedema
Hypercarbia Intracranial hypertension
Pyrexia Cerebral vasospasm intracranial infection
Hyponatremia Epilepsy
Anemia
Diffuse intravascular coagulopathy

Oleh karena cedera otak primer merupakan keadaan yang sudah terjadi,
dalam penatalaksanaannya nantinya tidak ada tindakan lain kecuali hanya
mengatasi. Sebaliknya untuk cedera otak sekunder karena ini merupakan
komplikasi dari cedera otak primer maka harus diusahakan pencegahannya.

4.1 Klasifikasi Cedera Kepala Secara Klinis


Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih
jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak,
khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan
Glasgow Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi:

1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)

13
GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.
2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)
GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.
Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.
3. Cedera kepala berat.
GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak.
Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini
dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa
defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.
Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran,
dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon
motorik (= M) dan respon verbal (= V).
Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan
sehingga dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.
Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Eye opening (E)
Spontaneous 4
To call 3
To pain 2
None 1

Motor response (M)


Obeys commands 6
Localizes pain 5
Normal flexion 4
(withdrawal) 3
Abnorma flexion 2
(decoraticate) 1
Extension (decerebrate)
None (flaccid)
5
Verbal respons (V) 4
Oriented 3
Confused conversation 2
Inappropriate words 1

14
Incomprehensible sounds
None
* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score =
3

4.2 Tata Laksana


Penatalaksanaan pada pasien trauma meliputi airway, breathing,
circulation, dissability dan exposure.
A. AIR WAY MANAGEMENT
Ketidakmampuan untuk memberikan oksigenasi ke jaringan tubuh
terutama ke otak dan organ vital yang lain merupakan pembunuh tercepat
pada pasien. Oleh karena itu airway yang baik merupakan prioritas pertama
pada setiap penderita gawat darurat.
Kematian-kematian dini karena masalah airway :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung, darah

Gangguan airway dapat timbul secara total & mendadak tetapi sebaliknya
bisa secara bertahap dan pelan-pelan. Takhipnea merupakan tanda awal yang
samar-samar akan adanya gangguan terhadap airway. Adanya ketakutan &
gelisah merupakan tanda hipoksia oleh karena itu harus selalu secara
berulang-ulang kita nilai airway ini terutama pada penderita yang tidak sadar.
Penderita dengan gangguan kesadaran oleh karena cidera kepala obat-obatan
atau alkohol, cedera toraks, aspirasi material muntah atau tersedak mungkin
sekali terjadi gangguan airway.

15
Disini diperlukan intubasi endotrakheal yang bertujuan :
1. Membuka airway
2. Memberikan tambahan oksigen
3. Menunjang ventilasi
4. Mencegah aspirasi

Tanda-tanda Obyektif Sumbata Airway


1. Look
Terlihat pasien gelisah dan perubahan kesadaran. Ini merupakan gejala
adanya hipoksia dan hipercarbia. Pasien terlihat cyanosis terutama pada kulit
sekitar mulut, ujung jari kuku. Juga terlihat adanya kontraksi dari otot
pernafasan tambahan.
2. Listen
Disini kita dengarkan apakah ada suara seperti orang ngorok, kumur-kumur,
bersiul, yang mungkin berhubungan dengan adanya sumbatan partial pada
farink/larink.
3. Feel
Kita bisa rasakan bila ada sumbatan udara terutama pada saat ekspirasi bila
kedudukan trackhea di linea media

Pengenalan adanya gangguan jalan nafas & ventilasi harus bisa dilakukan
secara cepat & tepat. Bila memang ada harus secepatnya gangguan jalan
nafas dan ventilasi ini untuk segera diatasi. Hal penting ini untuk menjamin
oksigenasi ke jaringan. Haruslah diingat setiap tindakan untuk menjamin
airway yang baik harus selalu dengan penekanan untuk selalu menjaga
cervical spine terutama pada penderita dengan trauma dan cedera di atas
clavikula. Pada setiap penderita dengan gangguan saluran nafas, harus selalu
secara cepat diketahui apakah ada benda asing, cairan isi lambung, darah di
saluran nafas bagian atas. Kalau ada harus segera dicoba untuk dikeluarkan
bisa dengan jari, suction. Suatu saat bila dilapangan ada penderita dengan

16
sumbatan jalan nafas misal tersedak makanan abdominal trust akan sangat
berguna.
1. Teknik-teknik mempertahankan airway :
Pada penderita dengan kehilangan kesadaran mungkin sekali lidah akan
jatuh ke belakang dan menutupi hipofarink dan menimbulkan sumbatan jalan
nafas. Ini bisa ditolong dengan jalan :
a. Chin lift
b. Jaw thrust
c. Orofaringeal tube
d. Nasofaringeal tube
2. Airway definitif
Disini ada pipa dalam trakhea dengan balon yang dikembangkan, dimana
pipa ini dihubungkan dengan alat bantu pernafasan yang diperkaya dengan
oksigen. Cara : oratracheal, nasotracheal & surgical (krikotiroidotomi atau
trakheotomi). Indikasi pemasangan airway definitif bila ditemukan adanya
temuan klinis :
a. Apnue
b. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara yang lain
c. Untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau muntahan
d. Adanya ancaman segera sumbatan airway oleh karena cidera inhalasi patah
tulang wajah hematoma retropharingeal
Cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS ≤8). Dari
ketiga cara ini yang terbanyak dipakai adalah endotrakheal
(naso/orotrakheal). Pemilihan naso/orotrakheal intubation tergantung
pengalaman dokter. Kedua teknik ini aman dan efektif bila dilakukan dengan
tepat. Haruslah diingat pada pemasangan endotrakheal tube ini harus selalu
dijaga aligment dari columna vertebralis dengan cervikal.
3. Airway definitif surgical
Ini dikerjakan bila ada kesukaran atau kegagalan didalam memasang
endotrakheal intubasi. Pada keadaan yang membutuhkan kecepatan lebih
dipilih krikotireodektomi dari pada tracheostomi.

17
a. Needle cricothyroidoktomi
Cara dengan menusukkan jarum lewat membran krikotiroid, ini hanya bisa
memberikan oksigen dalam waktu yang pendek (30-45 menit). Disini dipakai
jarum no 12-14 (anak 16-18 tahun)
b. Surgical cricothyroidoktomi
Penderita tidur posisi supinasi sesudah dilakukan anestesi lokal buat irisan
kulit tranversal sampai membran cricothyroid lubang ini bisa dilebarkan
dengan gagang pisau dengan cara memutar 90 derajad. Disini bisa dipakai
tracheostomi tube atau endotracheal tube. Hati-hati dengan cartilago cricoid
terutama pada anak-anak (teknik ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 12
tahun), hal ini dikarenakan cartilago cricoid merupakan penyangga trachea
bagian atas. Komplikasi :
1) Aspirasi
2) Salah masuk ke dalam jaringan
3) Stenosis/oedema subglotis
4) Stenosis laringeal
5) Perdarahan/hematom
6) Laserasi esophagus
7) Laserasi trachea
8) Emphisema mediastinal
9) Paralisis pita suara

B. BREATHING AND VENTILATION


Jalan nafas yang baik dan lancar belum tentu menjamin ventilasi yang
baik. Ventilasi yang baik sangat bergantung dari fungsi paru, dinding dada
dan diafragma. Penyebab gangguan breathing :
1. Pleural effusion
2. Pneumothoraks (open dan tension)
3. Hemothoraks
4. Traumatic wet lung syndrome
Pertolongan untuk memperbaiki breathing :

18
1. Tension pneumothorax :
· Tusuk dengan jarum yang besar pada sela antar iga II
· Pemasangan chest tube pada sela antar iga IV
2. Hemothorax dengan pemasangan chest tube
3. Open pneumothorax segera ditutup dengan kasa vasein
4. Fail chest diberi analgetika

C. CIRCULATION WITH HAEMORRAHAGE CONTROL


Penyebab terbesar pasien yang mengalami shok dan berakhir dengan
kematian adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak. Oleh
karenanya pasien dengan trauma dan hipotensi, harus segera ditangani
sebagai pasien hipovolemi sampai bisa dibuktikan bahwa hipotensinya
disebabkan oleh sebab yang lain. Seperti diketahui, volume darah manusia
dewasa adalah 7% dari berat badan, anak 8-9% dari BB. Terapi resusitasi
cairan yang agresif harus segera dimulai begitu ada tanda dan gejala klinis
adanya kehilangan darah muncul. Sangatlah berbahaya bila menunggu sampai
tekanan darah menurun. Untuk menilai apakah resusitasi cairan yang
diberikan sudah cukup atau belum :
· Tanda vital
· Produksi urine
· CVP
Penyebab hipovolemia adalah :
· Cidera rongga perut
· Cidera rongga dada
· Fraktur pelvis
· Fraktur femur
· Luka tembus pembuluh darah besar
· Perdarahan diluar tubuh dari berbagai tempat

19
D. DISABILITY (NEUROLOGIC EVALUATION)
Evaluasi secara cepat dilakukan dan dikerjakan pada tahap akhir dan
primary survey dengan menilai kesadaran dan pupil penderita.
A : Alert
V : Respon to vokal stimulation
P : respon only to painful stimulation
U : Unresponsive
Glasgow coma scale merupakan penilaian yang lebih rinci, bila ini tidak
dikerjakan di primary survey bisa dikerjakan di secondary survey.

E. EXPOSURE
Disini semua pakaian pasien dibuka. Hal ini akan sangat membantu
pemeriksaan lebih lanjut. Harus diingat disini pasien dijaga agar tidak jatuh
ke hipotermia dengan jalan diberikan selimut.

F. SECONDARY SURVEY
Dikerjakan bila primary survey dan resusitasi selesai dilakukan. Disini
dilakukan evaluasi yang lebih teliti mulai dari kepala sampai ujung kaki
penderita, juga GCS bisa dikerjakan lebih teliti bila pada primary survey
belum sempat dikerjakan. Pemeriksaan laboratorium, evaluasi, radiologi dan
peritoneal lavage bisa dikerjakan.
G. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Penatalaksanaan cedera kepala pada garis besarnya ditujukan pada 2


masalah pokok yaitu :
1. Mengatasi cedera otak primer
2. Mencegah terjadinya komplikasi berupa cedera otak sekunder.
Berdasarkan gambaran klinisnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
A. Penatalaksanaan cedera kepala ringan

20
1. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cedera
sistemik.
2. Pemeriksaan neurologis.
3. Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar alkohol, pemeriksaan urine.
4. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengatahui
a. Ada tidaknya fraktur (linear, depresi)
b. Ada tidaknya fraktur facialis
c. Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami
perkapuran)
d. Permukaan udara-cairan dalam sinus
e. Ada tidaknya pneumosefalus
f. Ada tidaknya benda asing
Perlu diketahui bahwa fraktur pada kalvaria didapatkan tiga kali lebih
banyak daripada fraktur dasar tengkorak.
Fraktur dasar tengkorak sendiri jarang sekali terlihat pada foto polosnya,
sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan tanda-tanda yang ada berupa
hematom pada mata, rhinorrhea, otorrea, hemotimpanum.
5. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal dan lain-lain bila memang diperlukan.
6. Pemeriksaan CT-scan
Idealnya dilakukan pada semua pasien. Bila pada pemeriksaan awal tidak
ditemukan kelainan, pada pemeriksaan ulang beberapa jam kemudian adakalanya
nampak gambaran suatu massa.
Tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapat, pasien dengan cedera
kepala ringan dapat dipulangkan atau dapat pula dianjurkan untuk dirawat di
rumah sakit. Indikasi perawatan antara lain bila:
1. Ada amnesia post-cederatika yang berlangsung lebih dari 1 jam.
2. Ada riwayat kehilangan kesadaran.
3. Ada fraktur kepala
4. Ada otorrhoea atau rhinorrhoea
5. Ada kelainan pada pemeriksaan CT-scan-nya.

21
Kepala pasien yang dapat dipulangkan, diberikan suatu lembaran
peringatan (“warning sheet”), yang didalamnya tercantum sejumlah gejala dan
tanda yang bila sewaktu-waktu nanti timbul hendaknya yang bersangkutan segera
kembali ke dokter atau ke rumah sakit.
Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah :
1. Ada mual dan muntah
2. Timbul sakit kepala yang hebat
3. Bila timbul kejang
4. Bila nadi sangat lambat atau sangat cepat
5. Bila keluar darah atau cairan dari hidung atau telinga.

B. Penatalaksanaan cedera kepala sedang


Pasien dengan cedera kepala sedang meskipun masih dapat
mengikuti/menuruti perintah, dapat dengan cepat masuk ke dalam yang lebih berat
yaitu derajat III. Oleh karena itu dalam penanganannya harus dipikirkan
kemungkinan tersebut. Urutan pemeriksaannya adalah seperti pada cedera kepala
ringan, hanya saja pemeriksaan CT-scan di sini harus dikerjakan sesegera
mungkin.
Meskipun pada pemeriksaan CT-scan tidak ditemukan adanya kelainan,
pasien harus tetap dirawat untuk keperluan observasi.
Pengobatan medikamentosa :
1. Decardon (deksametason) : bolus 10 mg i.v, disusul 4 mg tiap 6 jam.
2. Fenitoin : bolus 500 mg i.v. dalam 10 menit

C. Penatalaksanaan cedera kepala berat


Pada pasien ini penatalaksanaannya dibagi dalam 7 tahapan yaitu :
A. Stabilisasi Kardiopulmoner
Yang perlu diketahui disini adalah :
a. Pada pasien dikerjakan intubasi (Pemasangan “endotracheal tube”) dan jika
perlu dikerjakan trakheotomi, kemudian dilakukan hiperventialsi sampai pCO2
= 25-30 mmHg, untuk menurunkan tekanan intra kranial.

22
b. Dijaga agar jangan sampai terjadi hipotensi. Hipoksia dan hipotensi merupakan
keadaan yang sangat membahayakan otak. Hipotensi sendiri sebenarnya bukan
bersumber pada otak (kecuali pada stadium terminale dimana batang otak
terganggu), melainkan berasal dari sebab lain yaitu dari adanya perdarahan,
baik perdarahan yang nampak maupun yang tidak nampak (lihat tabel 3).
Pemberian transfusi harus segera dilakukan bila Hb kurang dari 10 (Ht = 30).
Penyebab lain adalah mungkin karena adanya gangguan medula spinalis
(dengan tetraplegi atau paraplegi), kontusi jantung, tamponade dan
pneummothorax.
c. Pemasangan catheter.
Pada pasien dipasang Foley catheter dan “nasogastric-tube” (double lumen
plastic catheter).
d. Pemeriksaan radiologik : servikal, thoraks, kepala, abdomen, pelvis,
ekstremitas.

B. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini meliputi :
a. Kepala/leher
b. Thorax
c. Abdomen : cedera limpa, hepar, ginjal
d. Pelvis : perdarahan
e. Vertebra : cedera servikal biasanya menyertai cedera kepala.

C. Pemeriksaan neurologik
Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan :
a. GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks
cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis
bilateral.
c. Gerak bola mata :

23
- Oculocephalic (“doll’s eyes”)
- Oculovestibular (Calorics)
d. Pemeriksaan motorik
e. Pemeriksaan sensorik

D. Penatalaksanaan cedera-cedera yang lain


E. Penentuan Terapi
Tujuan :
1. Mencegah naiknya tekanan intrakranial.
Dapat memberikan :
a. Deksametasone (masih kontroversial)
b. Mannitol
2. Mencegah terjadinya bangkitan kejang
Dapat diberikan : Phenytoin.

F. Prosedur diagnostik
Termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan :
a. Ventrikulografi
b. Arteriografi
c. CT-Scan

G. Penentuan perlu tidaknya tindakan bedah saraf


Bila terdapat “midline shift” sebesar 5 mm atau lebih, perlu tindakan bedah saraf.
Dengan tanpa melupakan sifat otak yang kurang menguntungkan dan mengacu
kepada tindakan operasi, maka kita dapat menentukan indikasi pertolongan bedah
pada kasus cedera kapitis.
Cedera tertutup
1. Fraktur impresi
2. Perdarahan epidural
3. Perdarahan subdural
4. Perdarahan intraserebral

24
5. Operasi dekompresi misal kontusio berat atau edema.
Cedera terbuka
1. Perlukaan kranioserebral
2. Liquorhoea
3. Pneumoencephalik
4. Corpus alienum
5. Luka tembak

5. HUBUNGAN O2 DAN CO2 DENGAN TIK


Pada saat terjadinya perubahan PaO2 dan PaCO2, maka laju aliran darah ke
otak juga akan berubah. Pada PaCO2 yang tinggi dan PaO2 yang rendah akan
terjadi vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah intrakranial, sehingga akan
meningkatkan laju aliran darah ke otak, yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial karena elemen otak dan cairan serebrospinal dapat dikatakan
tidak memegang peran dalam mekanisme kompensasi bila terjadi perubahan pada
tekanan intrakranial. Sehingga praktis secara tidak langsung, pengaturan tekanan
intrakranial melalui kompensasi terdapat pada pembuluh-pembuluh darah
intrakranial.
Bila terjadi PaCO2 yang rendah dan PaO2 yang tinggi akan menyebabkan
laju aliran darah ke otak berkurang dan pada keadaan yang berlangsung terus
menerus dapat menimbulkan vasokonstriksi yang sangat sehingga menimbulkan
iskemik di otak. Selain PaO2 dan PaCO2, perubahan tekanan intrakranial melalui
mekanisme perubahan laju aliran darah ke otak juga dapat disebabkan oleh kadar
haemoglobin dan hematokrit, dimana haemoglobin dan hematokrit yang
meningkat dapat menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang, demikian pula
sebaliknya, Hsia dan Menzel menyebutkan angka 23 – 46 % kematian pada cedera
kepala berat yang diakibatkan oleh karena perubahan nilai haemoglobin, demikian
pula dengan pH darah, juga mempengaruhi laju aliran darah ke otak, karena pada
saat terjadi alkalemia maka laju aliran darah ke otak akan berkurang, sedangkan
bila terjadi asidemia maka aliran darah ke otak meningkat, angka perubahan pH
berkisar pada 38% pada penderita cedera kranioserebral berat.

25
Pada glukosa, peningkatan yang terjadi akan meningkatkan tekanan
intrakranial, walaupun tidak ada angka yang menyebutkan secara pasti berapa
persen kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral akibat peningkatan
glukosa.
Pada saat terjadinya trauma; maka akan terjadi cedera primer dan
sekunder. Dalam hal ini, seringkali proses akselerasi, deselerasi, dan puntiran
yang terjadi pada kasus-kasus cedera kranioserebral; akan mengganggu pusat
pernafasan di Medulla Oblongata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
seringkali ditemukan pasien-pasien cedera kepala datang dengan gangguan
pernafasan, yang akan mengancam oksigenasi otak.
Selain proses primer tersebut, proses sekunder yang terjadi melalui suatu
proses inflamasi, yaitu pelepasan pelepasan sitokin, aspartat, radikal bebas, dan
glutamate, akibatnya akan terjadi kerusakan di mitokondria sel yang akan
mengganggu proses respirasi intrasel. Jadi terganggunya proses respirasi tubuh
atau disfungsi pernafasan oleh cedera kranioserebral ini dapat disebabkan oleh
gangguan pada pusat pernafasan di Medulla Oblongata dan proses inflamasi yang
terjadi seketika setelah cedera kranioserebral.
Dari berbagai keputusan, didapatkan bahwa angka kejadian dari perubahan
PaO2 dan PaCO2 pada cedera kepala berat sangatlah bervariasi, nilainya berkisar
antara 30 hingga 84%, angka kematian yang diakibatkan oleh perubahan tekanan
gas gas tersebut adalah berkisar antara 16-30%, dan 10 – 20 % diantaranya
melalui mekanisme vasodilatasi dan peningkatan laju aliran darah ke otak.
Perubahan PaCO2 pada penderita cedera kranioserebral berat sangatlah bervariasi.
Namun semua kepustakaan sepakat, bahwa PaCO2 arteri, harus dijaga
dalam ambang batas normal . Apabila PaCO2 meningkat, akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah otak yang menyebabkan peningkatan laju aliran darah ke otak,
dan akhirnya akan terjadi peningkatkan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan
intrakranial ini dengan berbagai implikasinya merupakan faktor yang harus
dicegah dikarenakan akan memperburuk hasil keluaran yang ada. Sementara itu,
apabila kadar PaCO2 arteri turun terlalu rendah, melalui mekanisme

26
vasokonstriksi akan menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta
mengancam terjadinya iskemik.
Weiner mengemukakan bahwa penurunan 1 mmHg PaCO2 akan
menurunkan laju aliran darah ke otak sebesar 2%. Beberapa peneliti memberi
batasan angka kadar PaCO2 normal antara 35-45 mmHg (beberapa penulis
menyebut angka 30 mmHg sebagai batas minimal bagi laju aliran darah ke otak
yang adekuad) oleh PaCO2 yang melebihi 45 mmHg sudah dapat meningkatkan
tekanan intrakranial, karena terjadi peningkatan aliran darah ke otak sedangkan
bila PaCO2 menurun hingga 26 mmHg dan terus menurun hingga di bawah 25
mmHg, maka CBF akan turun di bawah angka kurang dari 17 mmHg/100
gr/menit (Currie memberikan angka suatu penurunan CBF di bawah 20 cc/100
gr/menit);. Selain terhadap laju aliran darah ke otak, PaCO2 pun berpengaruh
terhadap tekanan perfusi otak, karena tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh
mean arterial blood pressure dikurangi dengan tekanan intracranial.
Dari kepustakaan, didapatkan keterangan bahwa perubahan PaO 2 arteri,
tidak memiliki akibat sebesar perubahan PaCO2 namun mereka pun sepakat untuk
menjaga PaO2 tetap dalam ambang batas normal bahkan cenderung tinggi.
Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka akan menimbulkan
hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah otak yang akan
diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan intracranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah. Winer menyebutkan bahwa perubahan kadar
PaO2 sebanyak 15% persen, hanya akan mengubah sedikit aliran darah ke otak. Di
beberapa kepustakaan disebutkan bahwa sebaiknya kita menjaga PaO 2 minimal
100 mmHg, bahkan ada penulis yang memberikan nilai yang lebih tinggi, yaitu
berkisar antara 140-160 mmHg. Namun perlu juga diperhatikan, bahwa tubuh
seringkali mengadakan kompensasi tertentu (pada saat keadaan asidosis/alkalosis
baik itu respiratorik maupun metabolic) bila telah terjadi perubahan pada status
analisa gas darah penderita, sehingga kadang menyulitkan kita untuk mengetahui
apakah nilai dari PaO2 dan PaCO2 yang timbul merupakan nilai sebenarnya atau
nilai yang telah terkompensasi, hal demikian juga timbul bila terjadi gangguan

27
pada fungsi ginjal dan paru kronis yang akan menyebabkan perubahan PaCO2 dan
PaO2.
Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan peningkatan tekanan
intrakranial adalah dilakukan suatu tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut
terjadinya trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar PaCO2 sekitar 20-
25 mmHg, yang dikenal sebagai tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini
akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan kondisi ini secara
langsung akan menyebabkan penurunan laju aliran darah ke otak; dengan akibat
(secara tidak langsung) akan memicu proses iskemik cerebral.
Hiperventilasi sendiri, memiliki 3 tingkatan, yaitu : Normoventilasi
(PaCO2 36-45 mmHg), Moderathiperventilasi (PaCO2 26-35 mmHg), dan Deep
Hipervetilasi (PaCO2 20-25 mmHg).
Beberapa peneliti, masih ada yang beranggapan, bahwa hiperventilasi
merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mengontrol peningkatan
tekanan intrakranial, namun lebih banyak yang beranggapan bahwa: dikarenakan
pada masa akut trauma; otak sangat memerlukan oksigen; hingga riskan untuk
“mengurangi” jalur pengisian oksigen ke otak. Kemudian harus diantisipasi resiko
terjadinya iskemik yang menghantui tindakan hiperventilasi.
Suatu tindakan hiperventilasi pada masa akut kurang popular
diterima,yang sering dilakukan (menurut beberapa penelitian) adalah suatu
hiperventilasi intermitten dengan durasi sekitar 20-30 menit (disertai monitor
yang ketat) lalu setelah itu diberikan oksigen dalam takaran yang tinggi. Tindakan
ini dilakukan beberapa kali dalam sehari, sehingga meskipun terjadi
peningkatan tekanan intracranial, tetapi tetap dapat terkendali.
Suatu jurnal yang menuliskan tentang adanya suatu kemungkinan
pemberian oksigen dosis tinggi yang selain untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme otak yang sedang meningkat,juga akan berguna untuk memenuhi
target tekanan parsial oksigen dan karbondioksida. Peningkatan kadar oksigen,
ternyata disinyalir dapat menurunkan terlepasnya faktor-faktor inflamasi, sitokin
dan mengurangi produksi laktat dari hasil metabolisme otak.

28
6. TEKNIK ANESTESI PADA KASUS TIK MENINGKAT
6.1 Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan
anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping
kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll. CT
scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya
midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel
(atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah
hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan
abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan
normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing,
tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan
kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan
intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial
dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan
intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg.
Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300,
mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh
normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan
semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila
diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial,
tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter
intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari
10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial
dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan
tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase
resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak
diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama

29
terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320
mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40
mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah
otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan
neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap
drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi
barbiturat dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk
mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif
hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral
tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah
otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat
penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera
kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai
outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu
penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi
adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien
dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan
hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume
darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan
tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase
vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena
jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses
otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh
otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus
dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer
(merupakan komponen dari trias Cushing).

30
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak
Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus
digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama
transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan
memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai
keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu,
penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian
sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi
pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek.
Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu
dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak
Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya
neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk
melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah
dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada
sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan
memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol
hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi
mannitol.

6.2 Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan
intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasien datang ke
kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan
nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan
lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang
stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun
prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama

31
pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2
mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan
intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien
dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetapi, depresi kardiovaskuler
selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil
pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial,
akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan
pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat.
Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan
disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika
intrakranial. Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena
dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya
pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming
terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi
intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain
1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah
kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan
pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir
secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal
disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan
masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat
ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi
berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya
multiple trauma.

32
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah
otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini
berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat
depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon
terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek proteksi
melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan sequele
yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi
tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara
definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan,
tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.

6.3 Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila
masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas
spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up,
jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi,
normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C).
Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang.
Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.

33
DAFTAR PUSTAKA

Reinhard Rohkamm, M. (2004). Color Atlas of Neurology. New York: Thieme


New York.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Cedera Kapitis dalam Buku Ajar Neurologi
Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2005.
R.M. Padmo Santojo, Daryo Sumitro, Tindakan Bedah Saraf Cedera Kepala,
Bagian Bedah Saraf FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, 2008.
R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, Cedera Kepala, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi
Revisi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,2010.
Sabiston, Penatalaksanaan Orang Cedera Akut Cedera Kapitis dan Medula
Spinalis, Buku Ajar Bedah, Bagian pertama, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta, 2008.
Satriawan, I Kadek Eric. Asuhan Keperawatan Peningkatanan Tekanan Intra
Kranial. Available from: http://www.ericsatriawan.co.cc/2012/06/asuhan-
kepera watan-peningkatanan.html
Sumantri, Fritz Usman Sr. Resiko Kematian pada Pasien Cedera
Kranioserebral Berat Ditinjau dari Aspek PaO2 dan PaCO2. Available
from: http://www.freewebs.com/fsumantri/po2pco2traumakepala.htm

34

Anda mungkin juga menyukai