Anda di halaman 1dari 29

SIFILIS

Oleh:
MUHAMMAD AFYUDIN

2005730043

Pembimbing:

dr. RIZQA HAERANI, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSI JAKARTA SUKAPURA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sifilis” dengan baik. Tidak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr.Rizqa Haerani, Sp.KK yang telah membimbing
penulis dalam usahanya untuk menyelesaikan referat ini. Terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Tidak ada gading yang tak retak, termasuk referat ini yang tidak luput dari
kesalahan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang berguna untuk kesempurnaan
penulisan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi yang membacanya dan bermanfaat
pula bagi penulis.

Jakarta, 17 Mei 2010

Penulis
DAFTAR ISI

hlm

Kata Pengantar…………………………………………………………….…...i

Daftar Isi……………………………………………………………...……..…ii

I. Pendahuluan....................................................................................................1

II. Epidemiologi..................................................................................................1

III. Definisi/etiologi.............................................................................................2

IV. Patogenesis....................................................................................................2

V. Gambaran klinis..............................................................................................3

VI. Pemeriksaan penunjang................................................................................15

VII. Diagnosis banding.......................................................................................18

VIII. Diagnosis....................................................................................................21

IX. Penatalaksanaan...........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….........iii
SIFILIS

I. Pendahuluan
Sifilis adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Sifilis
biasanya menular melalui hubungan seksual atau dari ibu kepada bayi, akan tetapi sifilis
juga dapat menular tanpa hubungan seksual pada daerah yang mempunyai kebersihan
lingkungan yang buruk. Treponema pallidum juga dapat menular melalui transfusi
darah.1
Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan,
karena merupakan penyakit berat. Hampir semua organ tubuh dapat diserang, termasuk
sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat
menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat
menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah untuk penyakit ini yaitu raja singa
sangat tepat karena keganasannya.2

II. Epidemiologi

Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada
yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak
bush Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun
1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis
dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi
yang sama.2
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar
antara 0,04 -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di
Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Di bagian kami penderita yang
terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka
ialah sifilis stadium II.2
WHO memperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada tahun 1999,
dimana lebih dari 90% terdapat di negara berkembang.1
III. Definisi/etiologi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat
menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan
dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.1,2,3
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae,
dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um,
lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa
rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pem-
belahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.2
Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat
dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu Treponema
pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum sub
species pertenue yang menyebaban frambusia, Treponema pallidum sub species
endemicum yang menyebabkan bejel, Treponema carateum menyebabkan pinta.3
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di
vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke
kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam kandungan dan menyebabkan
cacat bawaan.4

IV. Patogenesis
Stadium dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lender,
biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan
membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di
perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T.
pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler
dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan
perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis
tampak sebagai S1.2
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional
secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan
menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai
delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat
tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya
sembuh berupa sikatriks. SII jugs mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu
menghilang.2
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi
dengan sifilis kongenital.2

Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada
saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat
ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami mass laten yang bervariasi guma tersebut timbul di
tempat-tempat lain.2

V. Gambaran klinis
Sifilis primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa
juga terdapat tukak lebih dari satu.3,5 Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia
eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami
erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi
ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang
mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan
berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek
primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada
wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di
lidah, tonsil, dan anus.2 Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal
medial unilateral/bilateral.3
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-
tanda radang akut.2

Gambar 1. Lesi sifilis primer

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah
syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan
yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.2

Sifilis sekunder (SII)


Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan.
Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala
tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa
anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan
artralgia.2
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan
kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan
serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis,
papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat
ditemukan pada sifilis kongenital.3
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the
.great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan
pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf.2 Gejala lainnya
adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,
demam dan anemia.4

Gambar 2. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi
kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut
yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut
alopesia areolaris.2,5
Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak
diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.6

Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat
laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit
akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk
3
gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Tes serologik darah
positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL
dan TPHA.2,3
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius
kembali muncul .4

Sifilis lanjut

Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:3

1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan
pada wanita hamil.

2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan Tpallidum, pada sifilis
lanjut tidak ditemukan.

3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang
cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.

4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut destruktif

5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi
pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah,
sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan
sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi
pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.

 Sifilis laten lanjut

Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes


serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat
seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
aorititis.2

 Sifilis tersier (S III)


Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I.
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak,
dan destruktif.2

Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di
atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan.
setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang
mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut.
Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang
sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.2

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,


dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus
berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus,
maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar.
Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum
biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat
disertai demam.2

Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan
kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan
umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam
perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus.
Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus
lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai
kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata).
Warnanya merah kecoklatan.2

Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa. Bagian


yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis.
Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang
disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak
melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.2

S III pada mukosa


Guma jugs ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang
setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan
melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan
septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah
guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia.2

S III pada tulang

Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus.
Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis
gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X.2

S III pada alat dalam

Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi,
membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.2

Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau
di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma
dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada
ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak
nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior
skrotum.2

 Sifilis kardiovaskuler

Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30


tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga
kali daripada wanita.2

Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup.


Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms,
berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat
mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi,
arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisms aorta torakales
merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan
katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah
reaktif, pada tahap pertama hares diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat
dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.3

 Neurosifilis

Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang


terjadi dalam bentuk murni.2,3 Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa
endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa
yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.3

Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:2,3,4

 Neurosifilis asimtomatik.

 Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,


meningomielitis, endarteritis sifilitika.

 Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.

 Guma.

1. Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan tersebut
belum cukup memberi gejala klinis.2

2. Sifilis meningovaskular
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan medula
spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit,
sel plasma, dan fibroblas.2
Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga
perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat terjadi
trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil multipel.2

Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya
bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah:
nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan
mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi
nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksi dan
defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis
sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak.2

3. Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.2,3

Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama. Kira-
kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama pada
radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa
saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus
oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia,
arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala
lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-angsur
terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.2

Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi
primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah
10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia paralitika.
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia
basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada korteks dan
substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus.2
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur dan
progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian kehilangan
dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi depresif
atau maniakal.2
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka
topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan,
ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal.2

4. Guma

Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada tulang
tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat
solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.2
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan
gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan
intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia.2

Sifilis kongenital

Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat mass
kehamilan 10 minggu.2

Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah
infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu
menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %.2

Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian
menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan
kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis
kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga
bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi
yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.2

Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap.


Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam
kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum
20 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun
bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi
bayi terhadap infeksi.3

Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata.2,3 Batas antara dini dan lanjut ialah dua
tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut ber-
bentuk gums dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut.2
 Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat
lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk
ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.2
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang
simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat
yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupa-
kan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus;
bentuknya memancar (radiating).2

Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit
berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku
dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh
kuku yang bare akan kabur dan bentuknya berubah.2
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses
seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum
dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles.
Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat
menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques
muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat
membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11.

Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang
difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal
dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada
umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang
disebut "pneumonia putih".2
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam bulan
dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang
terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis
dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa
terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan
dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah
dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya
terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.2

Gambar 3. Sifilis kongenital pada telapak kaki bayi

Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum pada


otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk
neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkan kon-
vulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibat korioditis atau
akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis akan
menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis
sifilitika akuta.2

 Sifilis kongenital lanjut


Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada
hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila
meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan
deformitas. Guma pada palatum mole dan durum jugs sering terjadi sehingga
menyebabkan perforasi pada palatum.2
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan
menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada
tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi pada
daerah frontal dan parietal.2
Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara
umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis
kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi
ketulian yang biasanya bilateral.2
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi dan
disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur sepuluh
sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa meninggalkan
kerusakan.2
Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis.
Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus kranial,
hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilia biasanya
terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juvenilia umumnya terjadi
kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis sangat jarang
terjadi.2

 Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan parut
dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis
kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran
tersebut.3
1. Stigmata lesi dini.3
a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi Mullberry
c. Ragades
d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
c. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi pada
retina.

2. Stigmata dan lesi lanjut.3


a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
c. Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
d. Ketulian syaraf

VI. Pemeriksaan penunjang


Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan laboratorium berupa :3,4
1. a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field)
Ream sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum
diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan
keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T.
pall berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Hares hati-hati membedakannya
dengan Treponema lain yang ada di daerah genitalia. Karena di dalam mulut banyak
dijumpai Treponema komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat
digunakan.3
b. Mikroskop fluoresensi
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton,
sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan
mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat
memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan
lapangan gelap. 3
2. Penentuan antibodi di dalam serum.
Pada waktu terjadi infeksi Treponema, baik yang menyebabkan sifilis,
frambusia, atau pinta, akan dihasilkan berbagai variasi antibodi. Beberapa tes yang
dikenal sehari-hari yang mendeteksi antibodi nonspesifik, akan tetapi dapat
menunjukkan reaksi dengan IgM dan juga IgG, ialah :3

a. Tes yang menentukan antibodi nonspesifik.


 Tes Wasserman
 Tes Kahn
 Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)

Cara pemerisaannya sebagai berikut:7


Prinsip: terbentuknya flokulasi
Cara kerja:antigen yang digunakan adalah ektrak jantung sapi
• Kualitatif
- Tandai slide vdrl lubang 1(test) dan lubang 2 ( kontrol)
- Pada lubang 1masukkan 50ul serum dan 18 ul antigen
- Pada lubang 2masukkan NaCl fisiologis 50 ul dan 18 ul antigen
- Masukkan dalam rotator kec 180 rpm selama 5 menit
- Lihat mikroskop perbesaran 100x
Hasil – jika berbentuk batang menyebar rata seluruh lapangan pandang
Hasil + jika terdapat flokulasi
• Kuantitatif
- Isi lubang 1-5 dengan 50 ul NaCl
- Masukkan 50 ul serum kelubang 1 dan encerkan kelubang lubang
berikutnya
- Lubang 1=1/2 x
Lubang 2=1/4 x
Lubang 3=1/8 x
Lub1ng 4=1/16 x
Lubang 5=1/32 x
Lubang 6=sebagai pembuangan yang digunakan untuk pengenceran
kembali apabila pengenceran 1/32 x masih menyatakan hasil + (terjadi
flokulasi)
- Masukkan 18 ul antigen kedalam masing masing lubang kecuali lubang 6.
- Masukkan dalam rotator dengan kec 180 selam 5 menit
Lihat mikroskop perbesaran 100x
Jika hasil kualitatif – maka titer nya adalah 1:1
Jika haisl kuantitatif pada pengenceran 1/16 x tidak terjadi flokulasi maka titer
tertinggi adalah 1/16.
Interpretasi
a. Kualitatif
Hasil non reaktif : tidak ada infeksi, masih dalam masa inkubasi atau
telah mendapat pengobatan yang efektif.
Jika terjadi flokulasi :
 Gumpalan besar dan medium  reaktif
 Gumpalan kecil  reaktif lemah
b. Kuantitatif
Laporan hasil pengamatan dengan pengenceran tertinggi yang masih
memberikan hasil reaktif  dalam bentuk titer ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32 dan
seterusnya.
Hasil reaktif : sedang terinfeksi atau pernah terinfeksi sifilis atau positif
semu.
 Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
 Tes Automated reagin
b. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein
Complement Fixation).
c. Yang menentukan antibodi spesifik yaitu:
 Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
 Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed).
 Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)

Cara pemeriksaannya adalah sebagai berikut :7


Sampel: serum, plasma , LCS.
Reagen:
TPHA diluent (tutup warna putih tabung kuning)
Test cell (tutup warna merah, sel darah merah domba yang telah ditempeli
ekstrak treponema pallidum yang berfiungsi sebagai antigen
Control cell ( tutup warna putih , tabung warna hijau),tidak akan terjadi
hemaglutinasi , karena tidak tejadi reaksi dengan Ab.
Control positif (tutup warna merah kecil0
Control negatif( tutup warna biru kecil)
Pada saat inkubasi disuhu ruang hendaknya dihindari adanya getaran agar
hemaglutinasinya tidak lepas.
Alat;
Pipet 90, 10, 25 ul
Mikroplate v
Reading miror / kaca pembaca
Solasi
Cara kerja:
1. Masukkan 90 ul TPHA diluent + 10 ul kontrol positif pada sumur pertama
2. Masukkan 25 ul TPHA diluent pada sumur ke2, 3, 4, 5 disamping sumur
pertama
3. Homogenkan sumur pertama dengan pipet mikro 25 ul,
Ambil dari sumur pertama, 25 ul masukkan ke sumur 2, campur/
homogenkan, ambil 25 ul buang.
Ambil dari sumur pertama 25 ul masukkan ke sumur 3,homogenkan, ambil
25 ul masukkan ke sumur ke 4, homogenkan, ambil 25 ul masukan kesumur
ke 5, ambil 25 ul masukkan kesumur 6.
4. Tambahkan 75 ul control test pada sumur ke 2
5. Tambahkan 75 ul tets cell pada sumur ke 3, 4, 5.
6. Homogenkan keseluruhan dengan sedikit getaran.
Interpretasi
Hasil reaktif : sedang terinfeksi, pernah infeksi reaksi positif semu.
Hasil non reaktif : tidak pernah terinfeksi atau pada masa inkubasi (belum
terbentuk antibodi)
 Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay)

Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi
pada S II, S Ill, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis kardiovaskular, misalnya untuk melihat
aneurisms aorta.2
Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak khas.
Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis hanya menunjukkan
adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan tidak selalu berarti terdapat neurosifilis.
Harga normal ialah 0-3 sel/mm3, jika limfosit melebihi 5/mm3 berarti ada peradangan. Harga
normal protein total ialah /20-40 mg/100 mm 3 , jika melebihi 40 mg/mm 3 berarti terdapat
peradangan.2

VII. Diagnosis banding


Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass
inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada
rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus yang bersih, solitar,
bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. pallidum positif. Kelainan dapat
nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen, tidak
berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. Tes serologik setelah beberapa
minggu bereaksi positif lemah.2
Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
1. Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering
berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.2
2. Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak
kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadenitis regional
disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan terdapat
leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.2

3. Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat predileksi,
misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah juga akan menderita
penyakit yang sama.2
4. Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.2
5. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul, ulkus,
dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai tanda-tanda
radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis. L.G.V. disertai gejala
konstitusi: demam, malese, dan artralgia.2
6. Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan kulit
berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk diagnosis, perlu
biopsi.2
7. Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula ulserasi
pada mulct dan lesi pada mata.2
8. Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-tanda radang akut,
terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika terjadi
limfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi supurasi serentak.2

Diagnosis banding S II
Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan minggu
sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakit kulit.
Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa pegangan. Pada anamnesis
hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka di alai genital (S I) yang tidak
nyeri.2
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki jugs dikenai. Pada S II
lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun menurut
susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat
limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi pada
S II lanjut.2

Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karena itu
diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan diuraikan.2
1. Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema
sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis biasanya
tidak gatal.2

2. Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.2
3. Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama
halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit. Penyakit
ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.2
4. Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak
didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda tetesan
lilin dan Auspitz.2
5. Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama. Perbedaannya
pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat seboroik, skuama
berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis generalisata.2
6. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-runcing,
sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta eksudatif.2
7. Alopesia areata
Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa,
sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti digigit
ngengat.2

Diagnosis banding S III


Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada
penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada S III
dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis, apakah
penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan histopatologik.2
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak sesuai
dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan ditemukan jamur
penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas
infiltrat yang melunak seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan
abdomen. Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya
tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh
Actinomyces.2
Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya dengan
pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma S III
bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara
membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.2

VIII. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik.4
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga
digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.4
Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan
serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksan antibodi.4

IX. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah
proses lebih lanjut.2
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.2,3,5
1. PENISILIN
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang
terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.2
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari
0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama
sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk
neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah
lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang
biak.2
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:2
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi
bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama
kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua
sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang
pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya
setiap minggu.2
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum dapat
bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti
pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan,
yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke dalam darah di otak,
sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G
benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak
menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri
pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat
ini kini jarang digunakan.2
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin
9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis
terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari,
diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua
100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,
setiap hari selama 10 hari.2
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.6
Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang coati.
Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam
sampai due betas jam pada suntikan penisilin yang pertama.2
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan
berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala,
artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.8 Gejala lokal yakni afek
primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasa-
nya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan penderita
pada S I.2
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis
pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya
karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur
aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh
terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.2
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya
dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai
pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan
dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari
kemudian.2

2. ANTIBIOTIK LAIN
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai
pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.2
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau
aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari
bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil,
efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin,
yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.2
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang
diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.9
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg
sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.
selama 15 hari.2
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang
sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg sehari sebagai
dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk.
Penyembuhannya mencapai 84,4%.2
tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya
mencapai 84,4%.2
Pencegahan 6,8
 Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan
 Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
 Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
 Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah berhubungan
sexual.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Peeling, R.W et al. Syphilis available at http//www.nature.com/reviews/micro. Accessed


on May 14, 2010.
2. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.
3. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.
4. Sifilis available at http//www.medicastore.com. Acccesed on May 14, 2010.
5. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. Jakarta. 2000. h:170.
6. CDC National Prevention Information Network. Syphilis available at http//www.cdc.com.
accessed on May 14, 2010.
7. Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam: Hardjoeno dkk.
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Penerbit LETHAS, Makasar.2003.
h:353-61.
8. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at http//www.medlineplus.com.
Accessed on may 14, 2010.
9. Wong T et al. Serological Treatment Response to Doxycycline/Tetracycline versus
Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 Oct; 121:903.
10. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al. Single-Dose
Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the Treatment of Early Syphilis. NEJM
2005 Volume 353:1236-1244.

Anda mungkin juga menyukai