Anda di halaman 1dari 4

Dismenorea

Dismenorea atau Dysmenorrhea berasal dari bahasa Yunani. Dys yang berarti sulit, nyeri,
abnormal, meno berarti bulan, dan rrhea berarti aliran. Dismenorea berarti nyeri pada saat
menstruasi. Hampir semua wanita mengalami rasa tidak enak pada perut bagian bawah saat
menstruasi. Uterus atau rahim terdiri atas otot yang juga berkontraksi dan relaksasi. Pada
umumnya kontraksi otot uterus tidak dirasakan, namun kontraksi yang hebat dan sering
menyebabkan aliran darah ke uterus terganggu sehingga timbul rasa nyeri (Sukarni &
Wahyu, 2013). Dismenorea dibagi atas dua tipe yaitu dismenorea primer dan dismenorea
sekunder. Dismenorea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa adanya kelainan
ginekologik. Nyeri biasanya dirasakan beberapa saat atau 1 hari sebelum menstruasi, namun
nyeri paling berat dirasakan selama 24 jam pertama menstruasi dan mereda pada hari kedua
(Morgan & Hamilton, 2009). Sedangkan dismenorea sekunder disebabkan oleh adanya
kelainan ginekologik seperti salpingitis kronika, endometriosis, adenomiosis uteri, stenosis
servisis uteri, dan lain-lain (Wiknjosastro dkk, 2008). Dismenorea pada remaja umumnya
adalah dismenorea primer yang terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Dismenorea sekunder
umumnya terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 25 tahun (Sukarni & Wahyu, 2013).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada dismenorea primer pada
remaja di sekolah menengah pertama.
Penyebab dismenorea
Pelucutan (withdrawal) progesteron meningkatkan ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2) yang
dapat terinduksi untuk menyintesis prostaglandin dan menurunkan ekspresi 15-
hidroksiprostaglandin dehidrogenase (PGDH), yang mendegradasi prostaglandin. Hasil
bersihnya adalah peningkatan produksi prostaglandin oleh sel stroma disertai peningkatan
kepadatan reseptor prostaglandin pada pembuluh darah dan sel-sel yang mengelilinginya
(Cunningham et al, 2012). Dismenorea disebabkan oleh adanya kontraksi miometrium yang
dirangsang oleh prostaglandin F2 (PGF2α) yang diproduksi dalam jumlah banyak pada
endometrium perempuan yang mengalami dismenorea sehingga menyebabkan kontraksi
miometrium secara berlebihan dan iskemia uteri. Sebagian besar prostaglandin dilepas dalam
2 hari pertama siklus menstruasi, bersamaan dengan bertambahnya rasa yang tidak nyaman
(Rudolph et al, 2006). Terdapat beberapa faktor yang memegang peranan sebagai penyebab
dismenorea (Wiknjosastro dkk, 2008), yaitu : (1) faktor kejiwaan, pada remaja yang secara
emosional tidak stabil mudah timbul dismenorea, (2) faktor konstitusi seperti anemia,
penyakit menahun, (3) faktor obstruksi kanalis servikalis. Pada wanita dengan uterus dalam
hiperantefleksi dapat menyebabkan terjadinya stenosis kanalis servikalis sehingga
menyebabkan dismenorea, (4) faktor alergi. Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan
adanya asosiasi antara dismenorea dengan urtikaria, migraine atau asma bronkhiale. Smith
menduga bahwa sebab alergi adalah toksin haid. Selain itu, faktor risiko penyebab
dismenorea yakni menarche dini (kurang dari 11 tahun), tidak pernah melahirkan (nullipara),
darah menstruasi yang banyak, merokok, riwayat nyeri menstruasi pada keluarga, dan
obesitas (Morgan & Hamilton, 2009).

Gejala dismenorea
Gejala utama nyeri dismenorea adalah terkonsentrasi di perut bagian bawah, di daerah
umbilikalis atau daerah suprapubik perut. Hal ini juga sering dirasakan di perut kanan atau
kiri. Nyeri terasa tajam, menusuk, terasa diremas atau sangat sakit. Sifat rasa nyeri kejang
berjangkit-jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah
pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit
kepala, diare, iritabilitas (Wiknjosastro dkk, 2008), hipersensitivitas terhadap suara, cahaya,
bau, sentuhan, pingsan, dan kelelahan (Sukarni & Wahyu, 2013).

Intensitas dismenorea
Intensitas ringan yaitu terjadi sejenak, dapat pulih kembali, tidak memerlukan obat, rasa nyeri
hilang sendiri, dan tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari. Intensitas sedang dimana
penderita memerlukan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit, namun tidak perlu
meninggalkan pekerjaannya sehari-hari. Intensitas berat dimana penderita merasakan rasa
sakit yang hebat sehingga tidak mampu melakukan tugas harian, harus beristirahat,
memerlukan obat dengan intensitas tinggi (Manuaba dkk, 2010) dan dapat disertai dengan
gejala-gejala seperti sakit kepala, pingsan, diare, mual dan sakit perut (Manuaba, 1999).

. Dampak dismenorea pada remaja


Dismenorea merupakan keluhan ginekologis yang paling lazim terjadi dan menyerang hampir
75% wanita (Datta et al, 2009). Menurut Wiknjosastro dkk (2008), dismenorea menyebabkan
penderita harus beristirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari,
untuk beberapa jam atau beberapa hari. Dampak lain yang diakibatkan oleh dismenorea
berupa gangguan aktivitas seperti tingginya tingkat absen dari sekolah dan keterbatasan
kehidupan sosial (Zukri et al, 2009)

2. Dysmenorrhea
2.1 Pengertian
Dysmenorrhea adalah menstruasi yang sangat nyeri (Andrews, 2009). Menurut Price (2001)
depenisi dismenorrhea adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot
uterus. Dari aspek penyebab nyeri, terdapat dua tipe yaitu dysmenorrhea pimer dan
dysmenorrhea sekunder (Liewellyn, 2001). Dalam penelitian ini dysmenorrhea sekunder
tidak menjadi fokus peneliti karena menyatakan kondisi patologis yang menyebabkan
bervariasi sementara dysmenorrhea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan
pada alat-alat genitalia yang nyata (Pawirohardjo, 1999). Dysmenorrhea primer adalah
menstruasi yang sangat nyeri, tanpa patologi pelvis yang dapat diidentifikasi, dapat terjadi
pada waku menarche atau segera setelahnya (Smeltzer, 2005).
2.2 Etiologi
Banyak teori yang telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab dysmenorrhea primer,
tetapi patofisiologisnya belum jelas dimengerti. Beberapa faktor memegang peranan sebagai
penyebab dysmenorrhea pimer, antara lain:
2.2.1 Faktor kejiwaan Para gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, apalagi jika
mereka tidak dapat penerangan yang baik tentang proses haid, mudah timbul dysmenorrhea.
2.2.2 Faktor obstruksi kanalis servikalis Salah satu teori yang paling tua untuk
menerangkan terjadinya dismenorrhea primer ialah stenosis kanalis servikalis, akan tetapi hal
ini tidak dianggap faktor yang penting sebagai penyebab dysmenorrhea.
2.2.3 Faktor endokrin pada umumnya ada anggapan bahwa kejang yang terjadi pada
dysmenorrhea disebabkan oleh kontraksi uteus yang berlebihan. Faktor endokrin mempunyai
hubungan dengan soal tonus dan kontaktilitas otot usus.
2.2.4 Faktor alergi teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya asosiasi antara
dysmenorrhea dengan utikaria, migraine, atau asma bronchiale (Prawirihardjo, 1999).
2.2.5 Faktor prostaglandin Ketika pogesteron disekresi setelah ovulasi, endometium yang
telah mengalami luteinisasi sanggup mensintesis prostaglandin. Jika ada gangguan
keseimbangan antara prostasiklin, yang menyebabkan vasodilatasi dan relaksasi miometrium,
prostaglandin F2α yang menyebabkan vasokonstiksi dan kontraksi miometrium dan
prostaglandin E2 yang menyebabkan kontraksi miometrium dan vasodilatasi, sehingga kerja
PGF2α lebih menonjol, akan terjadi iskemia miometrium (angina uteus) dan
hiperkontraktilitas uterus. Di samping itu, vasopresin meningkatkan sintesis prostaglandin
dan Universitas Sumatera Utara dapat bekerja pada arteri-arteri uterus secara langsung
(Liewellyn, 2001).
2.3 Tanda Dan Gejala
Gejala utama dysmenorrhea adalah rasa sakit terkonsentrasi di perut bagian bawah, di daerah
umbilikalis atau daerah suprapubik perut. Hal ini juga biasanya dirasakan di perut kanan atau
kiri. Mungkin menyebar ke paha dan punggung bawah. Gejala lain mungkin termasuk mual
dan muntah, diare atau sembelit, sakit kepala, pusing, disorientasi, hipersensitivitas terhadap
suara, cahaya, bau dan sentuhan, pingsan, dan kelelahan. Gejala sering segera timbul setelah
ovulasi dan dapat berlangsung hingga akhir menstruasi. Hal ini karena dysmenorrhea sering
dikaitkan dengan perubahan kadar hormon dalam tubuh yang terjadi dengan ovulasi.
Penggunaan jenis tertentu pil KB dapat mencegah gejala dysmenorrhea, karena pil KB
menghentikan ovulasi yang terjadi (Permana, 2010).
2.4 Klasifikasi Karakteristik Gejala Dysmenorrhea Ditinjau dari berat-ringannya rasa nyeri,
dysmenorrhea dibagi menjadi:
2.4.1 Dysmenorrhea ringan, yaitu dysmenorrhea dengan rasa nyeri yang berlangsung
beberapa saat sehingga perlu istirahat sejenak untuk menghilangkan nyeri, tanpa disertai
pemakaian obat.
2.4.2 Dysmenorrhea sedang, yaitu dysmenorrhea yang memerlukan obat untuk
menghilangkan rasa nyeri, tanpa perlu meninggalkan aktivitas sehari-hari.
2.4.3 Dysmenorrhea berat, yaitu dysmenorrhea yang memerlukan istirahat sedemikian lama
dengan akibat meninggalkan aktivitas sehari-hari selama 1 hari atau lebih (Okaparasta, 2003).

2.5 Penanganan
2.5.1 Penerangan Dan Nasehat Perlu dijelaskan kepada penderita bahwa dysmenorrhea
adalah gangguan yang tidak berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan
diskusi mengenai cara hidup , pekerjaan, kegiatan dan lingkungan penderita.
2.5.2 Pemberian Obat Analgetik Dewasa ini banyak beredar obat-obat analgetik yang dapat
diberikan sebagai terapi simtomatik. Jika rasa nyeri berat, diperlukan istirahat di tempat tidur
dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi penderitaan. Obat analgetik yang
sering diberikan adalah preparat kombinasi aspirin, fenasetin dan kafein. Obat-obat yang
beredar di pasaran ialah antara lain novalgin, Ponstan, acet-aminophen dan sebagainya.
2.5.3 Terapi Hormonal Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi. Tindakan ini
bersifat sementara dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar
dysmenorrhea primer, atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan penting
pada waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian salah satu jenis
pil kombinasi kontrasepsi (Prawihardjo, 1999).
2.5.4 Nutrisi Beberapa suplemen gizi telah diindikasikan sebagai efektif dalam mengobati
dysmenorhea, termasuk omega-3 fatty acid, magnesium, vitamin E, seng, dan tiamin (vitamin
B1). Penelitian menunjukkan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari dysmenorrhea
adalah terganggunya keseimbangan antara anti-inflamasi (vasodilator eikosanoid) yang
berasal dari omega-3 asam lemak, dengan pencetus peradangan (vasokonstriktor eikosanoid)
yang berasal dari omega-6 fatty acid. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa asupan
omega-3 asam lemak dapat membalikkan gejala dysmenorrhea, dengan mengurangi jumlah
omega-6 FA di membran sel. Adapun sumber makanan yang kaya omega-3 asam lemak
banyak ditemukan dalam minyak rami. Asupan magnesium oral juga telah banyak membantu
seperti telah melalui penelitian dua double-blind, placebo-controlled studi yang menunjukkan
efek terapi positif magnesium pada dysmenorrhea. Penelitian A randomized, double blind,
controlled trial menunjukkan pula bahwa asupan vitamin E oral mengurangi nyeri
dysmenorrhea primer dan mengurangi kehilangan darah. Sebuah kajian sejarah kasus
menunjukkan bahwa seng, dalam 1-330 miligram dosis diberikan setiap hari selama satu
sampai empat hari sebelum menstruasi, dapat mencegah penyebab utama timbulnya nyeri
dari haid dan semua kram menstruasi. Pengambilan tiamin (vitamin B1) telah
didemonstrasikan untuk memberikan efek "kuratif" pada 87% dari perempuan yang
mengalami dysmenorrhea.
2.5.5 NSAID Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) efektif dalam meredakan
nyeri dysmenorrhea primer. NSAID dapat berefek samping seperti mual, muntah, nyeri ulu
hati, gastritis atau diare. Untuk yang kontraindikasi maka mungkin resep COX-2 inhibitor
dapat menggantikannya.
2.5.6 Hormon Kontrasepsi Meskipun penggunaan kontrasepsi hormonal dapat mengurangi
gejala dysmenorrhea primer tapi tinjauan sistematis tahun 2001 menemukan bahwa tidak ada
pengobatan modern yang umum digunakan dikombinasikan dengan dosis rendah pil
kontrasepsi oral untuk dysmenorrhea primer. Norplant dan Depo-provera juga efektif, karena
metode ini sering menyebabkan amenore. sehingga berguna dalam mengurangi gejala-gejala
dysmenorrhea.
2.5.7 Terapi Non Obat Beberapa terapi non-obat untuk dysmenorrhea telah dipelajari,
termasuk perilaku, akupunktur, akupresur, perawatan chiropractic, dan penggunaan TENS
unit. Terapi perilaku mengasumsikan bahwa proses fisiologis yang mendasari dysmenorrhea
dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor-faktor psikologis, dan bahwa dysmenorrhea dapat
diobati secara efektif dengan prosedur fisik dan kognitif yang berfokus pada strategi-strategi
untuk mengatasi gejala-gejala bukan pada perubahan proses yang mendasari. Sebuah review
sistematik 2007 menemukan bukti ilmiah bahwa intervensi perilaku mungkin efektif, tetapi
hasilnya harus dilihat dengan hatihati karena buruknya kualitas data. Akupunktur dan
akupresur digunakan untuk mengobati dismenorrhea. Dikutip dari 4 empat penelitian, dua
diantaranya adalah pasien-buta, menunjukkan bahwa akupunktur dan akupresur dapat
mengobati dysmenorrhea yang efektif. Dinyatakan bahwa perawatan muncul "menjanjikan"
untuk dysmenorrhea, tetapi para peneliti menggangap perlu penelitian lebih lanjut untuk
dapat dibenarkan. Studi lain menunjukkan bahwa akupuntur "mengurangi persepsi subjektif
dysmenorrhea ", Yang lainnya menambahkan bahwa akupunktur pada pasien dengan
dysmenorrhea dikaitkan dengan kesakitan dan dalam upaya perbaikan kualitas hidup
(Permana, 2010).

Anda mungkin juga menyukai