TINJAUAN TEORI
Secara klinis, dismenore dibagi menjadi dua, yaitu dismenore primer, dan
sekunder:
1. Dismenore primer
Dismenore primer adalah nyeri haid tanpa adanya kelainan pada organ
genital dan hampir selalu muncul pertama kali pada wanita berumur 20 tahun
atau lebih muda setelah siklus ovulasi mereka tetap (Brekley, 2013). Puncak
kejadian dismenore primer adalah pada rentang usia remaja akhir menuju
dewasa muda yaitu rentang usia 15-25 tahun.
2. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder adalah nyeri haid dengan adanya kelainan pada organ
genital yang seringnya terjadi pada wanita berusia lebih dari 30 tahun (Hong
dkk, 2014). Terjadi akibat berbagai kondisi patologis seperti endometriosis,
adenomiosis, mioma uteri, stenosis uteri, dan lain-lain.
2.1.3 Etiologi disminore
Secara umum, nyeri haid muncul akibat kontraksi disritmik
miometrium yang menampilkan suatu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang
ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di
sisi medial paha. Berikut adalah penyebab nyeri haid bedasarkan
klasifikasinya:
a. Primer
1. Faktor endokrin
Umumnya ada yang beranggapan bahwa kejang yang terjadi pada
dismenore primer disebabkan oleh kontraksi uterus yang berlebihan. Hal
itu disebabkan karena endometrium dalam fase sekresi memproduksi
prostaglandin F2 yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika
jumlah prostaglandin F2 berlebih dilepaskan dalam peredaran darah, maka
selain dismenorea dapat juga dijumpai efek umum seperti diare, nausea
(mual), dan vomiting (muntah).
2. Faktor konstitusi
Faktor ini berhubungan erat dengan faktor kejiwaan yang dapat
juga menurunkan ketahanan terhadap nyeri. Faktor-faktor ini yaitu
anemia, dan juga penyakit menahun.
3. Faktor psikologis (stres)
Pada gadis-gadis remaja yang secara emosional tidak stabil,
apalagi jika mereka tidak mendapatkan penjelasan yang baik mengenai
proses menstruasi yang benar sehingga mudah mengalami kejadian
dismenore
b. Sekunder
1. Endometriosis (endometrium)
2. Mioma uteri (tumor jinak dalam kandungan)
3. Stenosis serviks (penyempitan leher rahim)
2.1.4 Patofisiologi disminore
Peningkatan produksi prostaglandin dan pelepasan prostaglandin dari
endometrium selama menstruasi menyebabkan kontraksi uterus tidak
terkoordinasi dan tidak teratur sehingga menimbulkan rasa nyeri. Selama
periode menstruasi, wanita yang mempunyai riwayat dismenore memiliki
tekanan intrauteri yang lebih tinggi dan memiliki kadar prostaglandin dua kali
lebih banyak dalam darah dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami
nyeri.
Uterus lebih sering berkontraksi secara tidak terkoordinasi atau tidak
teratur dimana peningkatan aktifitas uterus yang abnormal tersebut
mengakibatkan aliran darah menjadi berkurang sehingga terjadilah iskemia
atau hipoksia uterus yang menyebabkan timbulnya nyeri. Mekanisme nyeri
lainnya disebabkan oleh prostaglandin dan hormone lain yang membuat saraf
sensori nyeri diuterus menjadi hipersensitif terhadap kerja bradikinin serta
stimulus nyeri fisik dan kimiawi (Reeder, Martin & Griffin, 2014)
a. Disminore Primer
Wanita dengan dismenore primer didapatkan adanya peningkatan
kadar PGE dan PGF2 alfa di dalam darahnya, yang akan merangsang
miometrium dengan akibat terjadinya peningkatan kontraksi dan disritmi
uterus. Akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke uterus dan ini akan
mengakibatkan iskemia. Prostaglandin sendiri dan endoperoksid juga
menyebabkan sensitisasi dan selanjutnya menurunkan ambang rasa sakit pada
ujung – ujung saraf aferen nervus pelvicus terhadap rangsang fisik dan kimia
(Aspiani, 2017)
b. Dismenore sekunder
Dismenore sekunder dapat terjadi kapan saja setelah haid pertama,
tetapi yang paling sering mucul di usia 20 – 30 tahunan, setelah tahun – tahun
normal dengan siklus tanpa nyeri. Peningkatan prostaglandin dapat berperan
pada dismenore sekunder. Namun, penyakit pelvis yang menyertai haruslah
ada. Penyebab yang umum, di antaranya termasuk endometriosis (kejadian di
mana jaringan endometrium berada di luar rahim, dapat ditandai dengan nyeri
haid), adenomyosis (bentuk endometriosis yang invasive), polip endometrium
(tumor jinak di endometrium), chronic pelvic inflammatory disease (penyakit
radang panggul menahun), dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IU(C)D
[intrauterine (contraceptive) device].
pathway :
Prostaglandin meningkat
Merangsang miometrium
DISMINOREA
0 : Tidak disminore
2.2.2 Diagnosa
Diagnosa Keperawatan adalah suatu pernyataan yang
menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan
pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas
dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan
merubah. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan
intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat.
Adapun persyaratan dari diagnose keperawatan adalah perumusan
harus jelas dan singkat dari respons klien terhadap situasi atau keadaan
yang dihadapi, spesifik dan akurat, memberikan arahan pada asuhan
keperawatan, dapat dilaksanakan oleh perawat dan mencerminkan
keadaan kesehatan klien. Dilihat dari kesehatan klien diagnosa
dibdakan menjadi aktual, potensial, resiko dan kemungkinanan
DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Ni Made Sri Dewi. 2013. Pengaruh Dismenore pada Remaja, Jurnal Ilmu
Kesehatan, (Online). (http://ejournal.undiksha.ac.id/in dex.php/semnasmipa/article/vie
Aspiani, Reni Yuli. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Trans Info
Media
Hong J, Mark J, Gita M. The Prevalence and Risk Factor of Dysmenorrhea. Am J Epidemiol.
2014;36(1):104–13
Berkley K. Primary dysmenrrhea: an urgent mandate. Int Assoc Study Pain. 2013;21(3):1–8.
Lee, H. et al. (2020). Fennel for Reducing Pain in Primary Dysmenorrhea: A Systematic
Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Nutrients, 12 (11), 3438.
American College of Obstetricians and Gynecologists (2022). Dysmenorrhea: Painful
Periods.