A. Pengertian dismenore
Istilah dismenore (dysmenorrhea) berasal dari kata dalam bahasa yunani kuno
(Greek) kata tersebut berasal dari dys yang berarti sulit, nyeri, abnormal; meno yang berarti
bulan; dan rrhea yang berarti aliran atau arus. Secara singkat dismenore dapat di definisikan
sebagai aliran menstruasi yang sulit atau menstruasi yang mengalami nyeri (Anurogo, 2011).
Menurut Icemi Sukarni, K dan Wahyu, P (2013) ada dua tipe-tipe dari dysmenorrhea,
yaitu:
a. Primary dysmenorrhea, adalah nyeri haid yang dijumpai pada alat- alat genital yang
nyata. Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah menarche. Dismenore
primer adalah suatu kondisi yang dihubungkan dengan siklus ovulasi (Lowdermilk,
Perry, & Cashion, 2011).
B. Patofisiologi
Peningkatan produksi prostaglandin dan pelepasannya (terutama PGF2α) dari
endometrium selama menstruasi menyebabkan kontraksi uterus yang tidak
terkoordinasi dan tidak teratur sehingga menimbulkan nyeri. Selama periode
menstruasi, wanita yang mempunyai riwayat dismenorea mempunyai tekanan
intrauteri yang lebih tinggi dan memiliki kadar prostaglandin dua kali lebih banyak
dalam darah (menstruasi) dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami nyeri.
Uterus lebih sering berkontraksi dan tidak terkoordinasi atau tidak teratur.
Akibat peningkatan aktivitas uterus yang abnormal tersebut, aliran darah
menjadi berkurang sehingga terjadi iskemia atau hipoksia uterus yang menyebabkan
timbulnya nyeri. Mekanisme nyeri lainnya disebabkan oleh protaglandin (PGE2) dan
hormon lain yang membuat saraf sensori nyeri diuterus menjadi hipersensitif terhadap
kerja bradikinin serta stimulus nyeri fisik dan kimiawi lainnya (Reeder, 2013).
Kadar vasopresin mengalami peningkatan selama menstruasi pada wanita
yang mengalami dismenorea primer. Apabila disertai dengan peningkatan kadar
oksitosin, kadar vasopresin yang lebih tinggi menyebabkan ketidakteraturan kontraksi
uterus yang mengakibatkan adanya hipoksia dan iskemia uterus. Pada wanita yang
mengalami dismenorea primer tanpa disertai peningkatan prostaglandin akan terjadi
peningkatan aktivitas alur 5-lipoksigenase. Hal seperti ini menyebabkan peningkatan
sintesis leukotrien, vasokonstriktor sangat kuat yang menginduksi kontraksi otot
uterus (Reeder, 2013).
C. Gejala
Gejala pada dismenore sesuai dengan jenis dismenorenya yaitu:
a. Dismenore primer
Gejala-gejala umum seperti rasa tidak enak badan, lelah, mual, muntah, diare,
nyeri punggung bawah, sakit kepala, kadang-kadang dapat juga disertai
vertigo atau sensasi jatuh, perasaan cemas dan gelisah, hingga jatuh pingsan
(Anurogo, 2011). Nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau bersamaan
dengan awitan menstruasi dan berlangsung selama 48 sampai 72 jam. Nyeri
yang berlokasi di area suprapubis dapat berupa nyeri tajam, dalam, kram,
tumpul dan sakit. Sering kali terdapat sensasi penuh di daerah pelvis atau
sensasi mulas yang menjalar ke paha bagian dalam dan area lumbosakralis.
Beberapa wanita mengalami mual dan muntah, sakit kepala, letih, pusing,
pingsan, dan diare, serta kelabilan emosi selama menstruasi (Reeder, 2013).
ciri-ciri atau gejala dismenore primer, yaitu:
1) Nyeri berupa keram dan tegang pada perut bagian bawah
2) Pegal pada mulut vagina
3) Nyeri pinggang
4) Pegal-pegal pada paha
5) Pada beberapa orang dapat disertai mual, muntah, nyeri kepala, dan diare.
b. Dismenore Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenore sekunder yang terbatas
pada onset haid. Dismenore terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah haid
pertama, dismenore dimulai setelah usia 25 tahun.
ciri-ciri atau gejala dismenore sekunder, yaitu:
1) Darah keluar dalam jumlah banyak dan kadang tidak beraturan
2) Nyeri saat berhubungan seksual
3) Nyeri perut bagian bawah yang muncul di luar waktu haid
4) Nyeri tekan pada panggul
5) Ditemukan adanya cairan yang keluar dari vagina
6) Teraba adanya benjolan pada rahim atau rongga panggul.
Indikasi:
Obat ini digunakan sebagai analgesik yaitu untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang
antara lain nyeri pada sakit kepala, nyeri haid, nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, dan
nyeri setelah operasi.
Kontra Indikasi:
Penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung dan duodenum) yang berat dan aktif. Penderita
dengan riwayat hipersensitif terhadap Ibuprofen dan obat anti inflamasi non steroid lain.
Penderita sindroma polip hidung, angioedema dan penderita dimana bila menggunakan aspirin
atau obat anti inflamasi non steroid akan timbul gejala asma, rinitis atau urtikaria. Kehamilan
tiga bulan terakhir.
Efek samping:
Farmakodinamik:
Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik adalah dengan cara
inhibisi pada jalur produksi prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2
(PGI2), yang bertanggungjawab dalam mencetuskan rasa nyeri, inflamasi dan demam. Ibuprofen
menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan
prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi penurunan dari sintesis
prostaglandin, oleh enzim sintase prostaglandin.
Secara spesifik, mekanisme kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi adalah melalui modus aksi
yang multipel:
Mencegah akumulasi dan adhesi leukosit seperti neutrofil, polimorfonuklear, dan monosit
makrofag pada jaringan yang mengalami inflamasi
Menghambat produksi dan aksi leukosit-leukosit yang bersifat inflamogen seperti
leukotrien B4, nitrit oksida, interleukin-1
Reduksi jalur aferen dan eferen mediasi rasa nyeri
Mekanisme kerja ibuprofen sebagai antipiretik terdiri dari dua aksi, yaitu mengendalikan
produksi leucocyte-derived interleukin-1 dan komponen peptida lainnya dari pirogen
endogen, dan menginhibisi secara langsung produksi pirogen endogen atau interleukin-
1 prostaglandin E2 (PGE2), yang diinduksi oleh hipotalamus.
Pengendalian rasa nyeri oleh ibuprofen melibatkan beberapa mekanisme yang berbeda,
namun berhubungan satu sama lainnya. Kerja ibuprofen menginhibisi produksi
prostaglandin dan nitrit oksida, yang berperan sebagai impuls aferen rasa nyeri di perifer
dan transmisi spino-thalamic. Di samping itu, ibuprofen dapat menstimulasi produksi zat
analgesik anandamide secara endogen, yang bersifat cannabinoid-like analgesic, dengan
cara menginhibisi enzim yang menghidrolisis zat tersebut menjadi arachidonic acid.
Farmakokinetik:
Absorpsi : Ibuprofen cepat diabsorpsi, setelah konsumsi per oral. Bioavailabilitas obat adalah
80%. Ibuprofen lysine, atau garam ibuprofen lebih cepat diabsorpsi dibandingkan jenis asam
ibuprofen. Konsentrasi puncak ibuprofen lysine, atau garam ibuprofen adalah sekitar 45 menit,
sedangkan asam ibuprofen adalah sekitar 90 menit. Konsentrasi puncak ibuprofen dalam serum
umumnya berlangsung sekitar 1‒2 jam. Bioavailabilitas obat hampir tidak dipengaruhi oleh
makanan. Juga tidak terdapat interferensi absorpsi ibuprofen, apabila diberikan bersamaan
dengan antasida, baik yang mengandung aluminium hidroksida, maupun magnesium hidroksida.
2) Naproksen
Indikasi:
Untuk mengobati berbagai nyeri pada gejala arthritis (radang sendi), baik osteoarthritis,
rheumatoid arthritis, ataupun arthritis pada anak-anak, hingga encok akut. Juga dapat mengobati
rasa nyeri akibat bursitis, tendonitis, atau kram menstruasi.
Kontraindikasi:
Jangan menggunakan obat ini untuk pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap naproxen,
aspirin, atau NSAID lainnya.
Efek samping:
Farmakodinamik :
Naproxen bekerja dengan menghambat enzim COX-1 dan COX-2 secara reversibel sebagai
coxib non-selektif. Ini menghasilkan penghambatan sintesis prostaglandin . Prostaglandin
bertindak sebagai molekul pemberi sinyal dalam tubuh, yang memicu peradangan. Jadi, dengan
menghambat COX-1/2, naproxen menginduksi efek anti-inflamasi.
Farmakokinetik:
Naproxen adalah substrat minor CYP1A2 dan CYP2C9 . Ini dimetabolisme secara luas di hati
menjadi 6-O-desmethylnaproxen, dan kedua obat induk dan metabolit desmethyl menjalani
metabolisme lebih lanjut untuk masing-masing metabolit terkonjugasi asilglucuronide masing-
masing. Analisis dua uji klinis menunjukkan bahwa waktu naproxen untuk memuncak
konsentrasi plasma terjadi antara 2-4 jam setelah pemberian oral, meskipun natrium naproxen
mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 1-2 jam.
3) Asam mefenamat
Indikasi:
nyeri, gangguan inflamasi (radang), dismenore (nyeri haid), nyeri ringan sampai sedang pasca
operasi
Kontraindikasi:
pengobatan nyeri peri operatif pada operasi CABG, peradangan usus besar.
Efek Samping:
Gangguan sistem darah dan limpatik berupa agranulositosis, anemia aplastika, anemia hemolitika
autoimun, hipoplasia sumsum tulang, penurunan hematokrit, eosinofilia, leukopenia,
pansitopenia, dan purpura trombositopenia. Dapat terjadi reaksi anafilaksis. Pada sistem syaraf
dapat mengakibatkan meningitis aseptik, pandangan kabur; konvulsi, mengantuk. Diare, ruam
kulit (hentikan pengobatan), kejang pada overdosis.
Farmakodinamik :
Farmakokinetik :
Asam mefenamat diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan melalui
hati diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. 90% asam mefenamat
terikat pada protein. Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2-4 jam
dengan waktu paruh 2jam. Sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai
metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan 20% obat ini ditemukan dalam fases sebagai
metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anurogo, D. (2011). Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: ANDI.
Diyan, Indriyani. (2013). Keperawatan Maternitas Pada Area Perawatan Antenatal.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Icemi Sukarni K, & Wahyu P. (2013). Buku Ajar Keperawatan Maternitas dielngkapi
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.