Seniarsitekturbangunanmasjid 120218182946 Phpapp01
Seniarsitekturbangunanmasjid 120218182946 Phpapp01
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta ini
dengan segala kebesaranNya, dimana dengan melihat dan mengamati ciptaanNya, manusia dapat
berfikir dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Shalawat serta salam semoga tetap
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat, dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Dengan dilandasi semangat sehingga pemakalah dapat menyusun makalah ini sebagai
tugas makalah kelompok mata kuliah estetika tentang seni dalam perspektif Islam.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman pemakalah dalam mendalami
seni Arsitektur Islam dalam bangunan Masjid.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami selaku penyusun
makalah dan umumnya kepada para pembaca. Atas perhatiannya pemakalah mengucapkan terima
kasih.
MUMUT MUTI’AH
Daftar Isi
BAB I ................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
BAB II ............................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 6
2.4 Bangunan Masjid sebagai Unsur Estetika dan Land Mark dari suatu Lingkungan .................... 9
PENUTUP ......................................................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 19
3.1 Saran......................................................................................................................... 19
PENDAHULUAN
1
http://auliayahya.wordpress.com (diakses 21 mei 2011)
BAB II
PEMBAHASAN
Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada
berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d)
ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini
berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".2
Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata
mezquita dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam
bahasa Inggris secara luas.
Masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hijrah dari Mekkah ke
Madinah adalah Masjid Quba, lalu kemudian Masjid Nabawi. Ciri dari kedua masjid ini hampir sama
dengan masjid-masjid Madinah lainnya mengikutinya kemudian, yaitu sangat sederhana.
Bentuknya empat persegi panjang, berpagar dinding batu gurun yang cukup tinggi. Tiang-tiangnya
dibuat dari batang pohon kurma, atapnya terbuat dari pelepah daun kurma yang dicampur dengan
tanah liat. Mimbarnya juga dibuat dari potongan batang pohon kurma, memiliki mihrab, serambi
dan sebuah sumur. Pola ini mengarah pada bentuk fungsional sesuai dengan kebutuhan yang
diajarkan Nabi.Biasanya masjid pada waktu itu memiliki halaman dalam yang disebut “Shaan”,
dan tempat shalat berupa bangunan yang disebut “Liwan”. Beberapa waktu kemudian, pada masa
khalifah yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin pola masjid bertambah dengan adanya
“Riwaqs” atau serambi/selasar. Ini terlihat pada masjid Kuffah. Masjid yang dibangun pada tahun
637 M ini tidak lagi dibatasi oleh dinding batu atau tanah liat yang tinggi sebagaimana layaknya
masjid-masjid terdahulu, melainkan dibatasi dengan kolam air. Masjid ini terdiri dan tanah lapang
sebagai Shaan dan bangunan untuk shalat (liwan) yang sederhana namun terasa suasana
keakraban dan suasana demokratis (ukhuwah Islamiah).
Mesjid dapat diartikan sebagai suatu bangunan tempat melakukan ibadah shalat secara
berjamaah atau sendiri-sendiri, serta kegiatan lain yang berhubungan dengan Islam. Selain masjid
dikenal pula istilah-istilah lain seperti mushalla, langgar atau surau. Mushalla atau langgar
biasanya digunakan untuk shalat wajib (fardu) sebanyak lima kali sehari semalam, serta untuk
pendidikan dan pengajaran masalah-masalah keagamaan. Sedangkan masjid, digunakan juga
Masjid juga dipakal sebagai tempat berdiskusi, mengaji dan lain-lain yang tujuan
utamanya mengarah pada kebaikan. Karena sesuai dengan hadits, dikatakannya: “dimana kamu
bersembahyang, disitulah masjidmu”
Pada setiap masjid, tentunya ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan sesuai dengan
kebutuhan peribadatan. Yang perlu diperhatikan adalah antara lain urut-urutan kegiatan shalat
baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalam Islam secara tegas dipisahkan antara jamaah laki-laki
dan wanita. Dengan demikian, sejak awal masuk, bersuci (wudlu) sampai pada waktu shalat
sebaiknya pemisahan itu telah dilakukan.
Ruang untuk shalat atau yang disebut Liwan, biasanya berdenah segi empat. Hal ini sesuai
dengan tuntunan dalam shalat bahwa setiap jemaah menghadap kearah kiblat.dengan pandangan
yang sama dan satu sama lain berdiri rapat. Shalat berjamaah dipimpin oleh seorang imam, yang
berada dtengah pada posisi terdepan.
Untuk merencanakan sebuah masjid sebaiknya perlu ditinjau dulu konsep dasarnya,
sebagaimana juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan lain.
Pada dasarnya untuk membangun atau merencanakan sebuah masjid hendaknya kembali
kepada tuntunan-tuntunan yang terdapat pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi. Dalam membangun masjid, arsitek tidak dapat melihat sejarah atau bangunan-bangunan
masjid yang telah ada saja, melainkan memahami atau belajar berdasarkan inti ajaran Islam itu
sendiri atau menurut istilahnya “the teaching it self”. Namun, tentunya kaidah-kaidah arsitektur
tetap perlu diperhatikan, sebagaimana layaknya bangunan-bangunan lain.
Kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan bagi sebuah masjid, seperti yang dituturkan Miftah
dalam bukunya berjudul “Masjid” antara lain, bahwa masjid selain mengarah ke kiblat di Masjidil
Haram, Mekkah, juga hendaknya dibangun benar-benar sesuai dengan fungsi dan tujuannya,
sehingga perlu dihindari kemungkinan adanya bagian-bagian bangunan atau ruangan yang
memang dilarang dalam Islam. Ditekankan pula, bahwa identitas yang menunjukkan pengaruh
agama-agama lain hendaknya sejauh mungkin dihindarkan walau hanya berupa elemen kecil yang
samar sekalipun. Dalam hal ini perlu sekali kearifan dan kesensitifan Arsitek untuk meng-expose
atau menvisualisasikan elemen-elemen konstruksi. Juga masjid hendaknya dibangun dengan biaya
rendah yang tidak berlebih-lebihan serta tetap memperhatikan faktor keindahan dan kebersihan.
Hal ini semua sesuai dengan tuntunan dalam Islam dan diterangkan Miftah dalam bukunya yang
berjudul “Masjid”, masing-masing lengkap dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Memahami inti ajaran Islam adalah mutlak. Dengan demikian masjid yang dibangun hanya
berdasarkan dari sejarah atau hanya melihat masjid-masjid yang telah ada, sebenarnya kurang
tepat, dalam hal ini perlu ditekankan pula motivasi dan niat yang baik dalam membangun sebuah
masjid.
3
www. google.com (diakses 24 mei 2011)
Mengenai perkembangan masjid di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jalur, yaitu:
pertama, perkembangan yang bertolak dari bangunan “sakral” tradisional daerah, kedua adalah
perkembangan yang meniru arsitektur Masjid di Timur Tengah, dan ketiga adalah perkembangan
yang baru atau modern. Bentuk Dome. Pada masa lampau manusia baru mengenal konstruksi
sederhana yang terdiri dari kolom dan balok yang ditumpang di atasnya. Justru itu, bentuk yang
terjadipun sesuai dengan konstruksinya. Kemudian, sesuai dengan tuntunan shalat bahwa shaf
(barisan dalam shalat) harus lurus dan rapat, maka dicarilah bentuk yang dapat menciptakan
ruang luas tanpa banyak diganggu oleh kolom-kolom. Maka tak heran kalau kemudian muncul
bentuk dome. Sebagaimana diketahui, dengan bentuk dome itu, gaya-gaya dapat disalurkan
melalui lengkungan-lengkungannya, sehingga tidak banyak mengganggu.Kubah adalah ciri atau
identitas masjid, dengan kubah itu tercipta suasana yang agung, sehingga manusia merasa kecil
dihadapan Khaliknya. Seperti Istiqlal di Jakarta, bentuk dome membuat ruang dibawahnya
memiliki suasana tenang dan orang yang sedang shalat akan merasa kecil. Kwalitas ruang yang
tercipta demikian agung.
Konstruksi atau struktur lengkung banyak dipilih oleh arsitek kawakan terdahulu dalam
merencanakan masjid dari pada memilih struktur balok polos (lurus) yang pasti tidak dapat
dihindari seperti “cross” (persilangan) antara balok dan kolom yang dapat menjadi silent simbol
atau identitas dari agama lain.
Untuk mendesain sebuah masjid, diperlukan tiga prasyarat, yang maksudnya untuk dapat
menstimulir kekhusukan dalam beribadat. Ketiga prasyarat itu adalah, pertama: harus selalu
bersih, dalam arti mudah dibersihkan dan mudah pemeliharaannya. Kedua, adalah tenang, yaitu
menciptakan “suasana” yang dapat mendorong lahirnya ketenangan. Dan ketiga, adalah “sakral
tapi ramah”.
Kolom, Tujuannya menciptakan suasana yang ramah, agar setiap orang yang memasuki
masjid dapat duduk sama rendah tanpa perbedaan derajat. Bukankah Islam itu agama yang
sangat demokratis? Jadi, masjid harus sederhana namun kaya akan daya ungkap ke-Islam-an”.
Denah
Sejak awal dibangunnya sebuah masjid, denah yang ada berbentuk segi empat. Hal ini
dilakukan secara logis sesuai dengan kebutuhan shaf-shaf dalam shalat berjamaah. Bentuk
persegi akan membuat ruang-ruang yang terbentuk dapat dimanfaatkan seluruhnya, sedangkan
denah yang berbentuk sudut-sudut tertentu (lancip) akan membuat ruangan banyak yang
terbuang. Ini berarti, berlebih-lebihan atau mubazir.
Arah kiblat yang tidak tepat juga dapat mengakibatkan ruang-ruang terbuang percuma,
sehingga dalam perencanaan sebuah masjid hal ini harus benar-benar diperhatikan.
Denah segi empat, dapat berarti bujur sangkar atau empat persegi panjang. Empat
persegi panjangpun ada dua jenis, sisi panjangnya searah dengan arah kiblat atau tegak lurus
arah kiblat.
Bentuk bujur sangkar membuat arah kiblat menjadi lemah karena bentuk yang cenderung
memusat itu akan menimbulkan kesan ke atas yang kuat, paradoks dengan arah kiblat yang
semestinya ditekankan. untuk denah segi empat yang sisi panjangnya searah dengan arah kiblat,
para jemaah dapat dengan mudah melihat khatib (pemberi khotbah). Namun akan terjadi shaf
yang relatif banyak kebelakang. Ini melemahkan sifat kesamaan (demokrasi) dalam Islam.
Bentuk lain adalah segi empat yang sisi panjangnya tegak lurus arah kiblat atau sisi
terpendek searah dengan arah kiblat. Shaf yang terjadi tidaklah banyak, walau jamaah agak sulit
melihat khatib pada waktu khotbah. Namun dengan sedikit menyerong, jemaah dapat melihat
khatib dan hal ini tidak ada larangannya dalam Islam.
Pembagian denah untuk ruang shalat bagi wanita biasanya ditempatkan dibelakang.
Dengan pembatas biasanya berupa tirai ataupun dinding kerawang yang transparan. Beberapa
masjid ada juga yang menempatkan wanita di lantai atas, yang dibuat semacam balkon sehingga
jemaah wanita masih dapat melihat imam.
Sesungguhnya dalam Islam, wanita tidak wajib pergi shalat ke masjid. Pergi shalat ke
masjid bagi wanita hanyalah suatu perbuatan baik saja atau amal shaleh. Bahkan ada hadis
meriwayatkan bahwa shalat di rumah bagi wanita lebih besar pahalanya dari pada shalat di
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena itu luas liwan untuk wanita juga relatif lebih kecil
daripada liwan untuk laki-laki.
Kubah atau dome dibahagian dalam ruang masjid adalah suatu konsep untuk menciptakan
suasana sakral serta perasaan diri yang sangat kecil di hadapan Khalik tanpa dipenuhi hiasan
kuduniaan yang glamour yang jauh dari menimbulkan rasa sakral.
Ornamen pola geometris dan ArabeskAda beberapa corak ornamen atau ornamentik,
diantaranya corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari corak geometris dan corak
“stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya
larangan dalam ajaran Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai
hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara realistis di dalam
ruangan masjid.
Ornamen atau gaya ornamentik dapat di visualisasikan dengan huruf-huruf atau kaligrafi,
seperti huruf “Arab Kufa” dan “Karmalis” adalah merupakan salah satu ornamen geometris yang
berisi tulisan lafazd Al-Qur’an sebagai hiasan masjid.
2.4 Bangunan Masjid sebagai Unsur Estetika dan Land Mark dari suatu
Lingkungan
Dengan bertitik tolak dari fungsi Masjid sebagai pusat pembinaan umat, pusat dakwah
Islamiyah dan secara fisik sebagai unsur pengikat lingkungan, maka jelas masjid harus
mempunyai daya tarik yang kuat terhadap masyarakat di sekitarnya agar mereka senang dan
tidak segan untuk datang ke Masjid. Sebenarnya ada dua faktor yang dapat berperan dalam hal
tersebut di atas sebagaimana dikemukakan oleh A.K. Basuni:
“Masjid yang makmur, dalam arti Masjid yang bersih, dalam arti Masjid yang bersih, indah, dan
penuh dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat akan merupakan besi sembrani yang
mempunyai daya tarik bagi masyarakat yang ada di sekitarnya”4
Dengan demikian jelaslah bahwa faktor estetika ini memegang peranan penting sebagai
daya tarik, karena walaupun masjid sudah ditentukan sedemikian rupa lokasinya, sehingga
menjadi pusat lingkungan, dengan jarak jangkauannya yang relatif dekat dari lingkungan
perumahan atau perkantorandan pusat kegiatan lainnya. Akan tetapi jika Masjid tersebut kurang
dipelihara, kotor bahkan dari segi arsitekturnya memberi kesan bangunan kurang ramah (angker),
tentu saja mengurangi daya tarik Masjid tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
serang arsitektur islam sebagai berikut:
“sekarang dengan wajah-wajah angker yang seram, masjid-masjid besar setapak demi setapak
menjauh dari hati umat. Apalagi di kampung-kampung rasa negri itu ditambah dengan beberapa
kuburan di halaman masjid dn usungan mayat di dindingnya.”5
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam persoalan dunia umat Islam diberi kebebasan untuk
melakukan kreatifitas. Di sini juga merupakan peuan bagi umat Islam untuk merencanakan dan
membangun masjid yang indah dan megah asal masih dalam batas-batas ajaran Islam. Batasa-
batasan itu adalah sebagai berikut:
4
A.K. Basuni, Organisasi dan Manajemen Masjid, paper pada lokakarya Imarah Masjid se Jawa Barat,
1976,hal. 4
5
Ir. Bambang Pranggono, Arsitektur Masjid dan pemuda Masjid, Harian Kompas, 21 September 1997
Dalam hal ini kualitas ruang arsitektur yang dihasilkan para arsitek harus memenuhi
beberapa kriteria pokok sebagai berikut:6
1. Ruang yang diciptakan harus dapat memberikan ruang gerak, berinteraksi, dan
berkegiatan kepada pengguna ruang secara mudah sesuai dengan fungsi ruang, serta
memberikan kesan aman. Elemen perlengkapan (amenity) dibangun skala yang
manusiawi, baik dari segi ketinggian, detail, pertamanan, pagar, ornamen bangunan,
sampai dengan ruang-ruang terbuka yang bersifat positif.
2. Ruang yang diciptakan harus memberi bentuk yang bermakna kepada pengguna
ruangnya, memberikan kejelasan, keindahan dan kecerahan kepada lingkungannya, serta
harmonis dari sudut pandang pengguna ruang.
3. Jati diri arsitektur yang berkaitan dengan identitas ruang yang tercipta, harus dibedakan
menurut peran sertanya di dalam budaya, yaitu dalam memberikan ciri yang bersifat
universal, spesifik, dan bersifat altternatif. Universal karena berperan sama dengan
elemen-elemen budaya yang dimiliki oleh sebagian budaya di dunia, misalnya identitas
arsitektur tropis. Spesifik, karena dapat sebagai elemen-elemen budaya yang hanya
dimiliki oleh suatu kelompok suku bangsa atau tipe-tipe tertentudari individu, misalnya
arsitektur yang spesifik dari Bali, Jawa dan sebagainya. Bersifat alternatif, karena
menampilkan elemen-elemen yang terbuka karena adanya pilihan, seperti gaya-gaya yang
berkembang dalam arsitektur
4. Ruang yang diciptakan harus mampu bertahan lama, tidak tertelan zaman, permanen
mewadahi hasrat dan kegiatan manusia, dan cukup intim dalam konteks masyarakat yang
mekanis dan industrial.
Bentuk
Bentuk masjid telah diubah di beberapa bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid
terkenal yang sering dipakai adalah bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat di
Anatolia. Negara-negara yang kaya akan minyak biasanya membangun masjid yang megah
dengan biaya yang besar dan pembangunannya dipimpin oleh arsitek non-Muslim yang dibantu
oleh arsitek Muslim.
Arab-plan atau hypostyle adalah bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan
dipelopori oleh Bani Umayyah. Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang
dibangun pada sebuah dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam.
Halaman di masjid sering digunakan untuk menampung jamaah pada hari Jumat. Beberapa masjid
berbentuk hypostyle ayau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap datar
diatasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang. Contoh masjid yang menggunakan bentuk
hypostyle adalah Masjid Kordoba, di Kordoba, yang dibangun dengan 850 tiang. Beberapa masjid
bergaya hypostyle memiliki atap melengkung yang memberikan keteduhan bagi jamaah di masjid.
Masjid bergaya arab-plan mulai dibangun pada masa Abbasiyah dan Umayyah, tapi masjid
bergaya arab-plan tidak terlalu disenangi.
6
Ir. Rachmadi B.S., Arsitektur Indonesia Sebagai Pencerminan Budaya Bangsa, Jakarta, 1997
7
www.wikipedia.org
Kesultanan Utsmaniyah kemudian memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di
tengah pada abad ke-15 dan memiliki kubah yang besar, dimana kubah ini melingkupi sebagian
besar area salat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah. Gaya ini
sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan kubah besar.[1]
Masjid gaya Iwan juga dikenal dengan bagian masjid yang dikubah. Gaya ini diambil dari
arsitektur Iran pra-Islam.
Menara
Menara masjid dalam perkembangan sejarah Islam pada awalnya merupakan elemen
sekunder, namun dalam perkembangan selanjutnya dan sejalan dengan dinamika peradaban umat
Islam, menara masjid menjadi bagian penting dari sebuah masjid, baik dalam memberikan makna
artistik atau makna fungsional. Bentuk umum dari sebuah masjid adalah keberadaan menara.
Kata menara berasal dari bahasa Arab almanara, akar katanya "naara, yanuura,naura"
yang artinya menyinari dan indah warnanya. Almanaara artinya menyinari dan indah warnanya.
Almanaara artinya lilin yang memiliki sinar, mercusuar dan tempat azan. Oleh karena itu, tempat
azan yang berada di masjid merupakan salah satu makna almanaara.
Masjid-masjid pada zaman Nabi Muhammad tidak memiliki menara, dan hal ini mulai
diterapkan oleh pengikut ajaran Wahabiyyah, yang melarang pembangunan menara dan
menganggap menara tidak penting dalam kompleks masjid. Menara pertama kali dibangun di
Basra pada tahun 665 sewaktu pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Muawiyah I, yang
mendukung pembangunan menara masjid untuk menyaingi menara-menara lonceng pada gereja.
Menara bertujuan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan.
Menara masjid dipandang sebagai salah satu unsur penting yang memberikan karakteristik
spesifik terhadap bangunan masjid. Penambahan menara bukan saja menambah keagungan dan
keindahan arsitektur masjid, tetapi juga berfungsi sebagai tempat mengumandangkan azan yang
dilakukan oleh seorang juru azan(muazin). Menurut cerita sejarah, menara lonceng gereja St.
John di Syria dibiarkan berdiri tegak oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik setelah ia
mengubahnya menjadi masjid. Setelah itu Al-Walid benyak membangun masjid dengan menara-
menara indah. Dari sinilah Al-Walid dipandang memiliki peran berarti dalam memperkenalkan
menara dalam arsitektur masjid. Dalam perkembangannya, menara masjid memiliki bentuk yang
sangat bervariasi, di antaranya :berbentuk silinder, Segi empat atau lebih, ada pula yang
bertingkat.
Ujung menara dapat dibuat bervariasi bentuknya, ada yang berbentuk empat persegi,
kerucut, belimbing, lembing dan sebagainya. Jumlah menara pun dapat dibuat bervariasi
jumlahnya, mulai dari satu sampai lebih dari lima. Letaknya dapat menyatu dengan masjid atau
terpisah. Untuk melihat berbagai ragam menara masjid ini dapat dilihat di kota Kairo yang
merupakan museum bagi menara dari berbagai corak sebagaimana dikemukakan di atas.
Bentuk-bentuk Menara
Pada masa awal perkembangan arsitektur masjid, setidaknya ada beberapa bentuk dasar
menara masjid. Tapi yang paling awal, seperti pada menara Masjid Nabawi dan Masjid Damaskus,
menara itu tidak berdiri sendiri melainkan menyatu dengan struktur bangunan masjid. Pola seperti
ini menyebar ke berbagai penjuru negeri-negeri muslim melintasi dataran Arab hingga ke
Andalusia. Namun ada juga menara yang dibangun terpisah dari bangunan utama masjid, seperti
menara Masjid Agung Samarra dan menara Masjid Abu Dulaf di wilayah Iraq.
Ada beberapa bentuk dasar menara masjid: menara klasik, menara variasi, menara segi
empat, menara spiral dan menara silinder. Pada menara klasik (classic minaret): lantai dasarnya
berbentuk segi empat, naik ke atas menjadi oktagonal (segi delapan) dan kemudian diakhiri
dengan tower silinder yang dipuncaki dengan sebuah kubah kecil. Termasuk jenis ini misalnya
menara Masjid Mad Chalif di Kairo, yang dibangun pada abad ke-11 masehi semasa pemerintahan
Khalifah Al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah.
Sementara itu, jenis menara variasi diawali dengan segi empat di bagian bawah, lalu
bertransformasi menjadi segi enam yang dihiasi dengan balkon segi delapan. Menara Masjid Al-
Azhar termasuk dalam jenis ini.
Sementara itu di Aleppo (di wilayah Mediterrania), terdapat tren baru bentuk menara
masjid. Menara Masjid Aleppo ini sepenuhnya berbentuk segi empat dari dasar hingga puncak.
Menara yang dibangun oleh penguasa Turki Seljuk pada tahun 1089 ini menggunakan batu
sebagai material utama. Uniknya, sebagai tren baru, tidak ada kubah di puncak menara. Hasan bin
Mufarraj, arsitektur yang merancangnya, memberikan sentuhan baru dengan meletakkan
muqarnas di puncak menara setinggi 46 meter ini. Muqarnas tersebut menyerupai galeri dan
berfungsi sebagai tempat muadzin.
Masih ada beberapa lagi menara segi empat yang terdapat di wilayah Mediterrania, seperti
menara Masjid Agung Sevilla (yang disebut Menara Giralda). Menara ini pernah berfungsi sebagai
menara lonceng katederal seiring dengan lahirnya kekuasaan Kristen di Spanyol. Menara segi
empat lain terdapat di Masjid Kutubiyyah (dibangun 1125-1130) di Marrakesh, Maroko.
Keberadaan menara segi empat pada masjid-masjid tersebut sangat dipengaruhi oleh menara
Masjid Qayrawan (35 meter) yang mempunyai tiga undakan segi empat. Hanya saja, ada
pengamat arsitektur yang menyebutkan bahwa bentuk menara masjid segi empat ini mengadopsi
bentuk mercusuar kuno di Iskandarsyah, Mesir.
Ada sebuah bentuk menara yang jarang diadopsi oleh menara-menara masjid di dunia,
yaitu menara spiral. Bentuk khas menara pada masjid-masjid di Samarra ini merupakan tradisi
dalam bangunan menara Mesopotamia. Menara Masjid Samarra dan Masjid Dullaf, bahkan hingga
sekarang masih tegak berdiri walaupun sudah berusia 1.200 tahun. Padahal, bangunan masjidnya
hanya tinggal reruntuhan saja. Bisa dikatakan kedua menara ini sebagai peninggalan arsitektur
yang memberikan kesan bahwa perhitungan geometri para arsitek pada masa itu sudah sangat
akurat. Masjid lain yang juga memiliki menara spiral adalah Masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.
Jika menengok ke Iran, umumnya masjid-masjid di sini memiliki dua menara (sepasang)
yang tegak berdiri di samping kanan dan kiri dan kanan pintu gerbang, seperti halnya di Masjid
Nabawi (Madinah) dan Masjidil Haram (Makkah).
Gambar 5. dua menara (sepasang) yang tegak di Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil
Haram (Makkah)
Adapun corak arsitektur menara masjid Turki Utsmani umumnya berbentuk jirin
(meruncing) semampai tinggi menjulang bagai jarum raksasa melesat ke ruang angkasa.
Gambar 6. menara berbentuk jirin (meruncing) Masjid Ahmad Kadyrov Arsitektur Turki
Usmani di Pegunungan Kaukasus
Fungsi Menara
Menara masjid selain berfungsi sebagai tempat bagi muadzin mengumandangkan adzan
juga bisa berfungsi ganda seperti halnya mercusuar atau menara pengintai. Hal ini terutama
terdapat pada menara-menara masjid yang berada di kota pelabuhan atau tepi sungai. Corak
menara Masjid Ribbat Shushah di Tunisia, misalnya, terdapat pada bangunan corak masjid yang
sangat mirip sebuah markas militer.
Menara berbentuk silinder ini dibuat dengan gaya yang teramat kokoh untuk sebuah
menara yang biasanya berbentuk ramping. Ribbat Shushah, sebagai kota pelabuhan,
memanfaatkan menara masjid sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai dari
balkon menara.
Hasilnya, mereka bisa membangun menara masjid dengan ketinggian lebih dari 70 meter.
Sebuah prestasi pada zamannya. Memang, tinggi menara-menara masjid itu masih lebih rendah
dibandingkan menara Masjid Nabawi yang 105 meter. Namun, menara masjid Nabawi tersebut
sudah merupakan hasil renovasi pemerintah Arab Saudi, yang notabene teknologinya sudah jauh
lebih canggih
Contoh Menara di masjid biasanya tinggi dan berada di bagian pojok dari kompleks masjid.
Menara masjid tertinggi di dunia berada di Masjid Hassan II, Casablanca, Maroko.
Kubah
Kubah juga merupakan salah satu ciri khas dari sebuah masjid. Seiring waktu, kubah
diperluas menjadi sama luas dengan tempat ibadah di bawahnya. Walaupun kebanyakan kubah
memakai bentuk setengah bulat, masjid-masjid di daerah India dan Pakistan memakai kubah
berbentuk bawang. Dalam tulisan berjudul A review of Mosque Architecture, Foundation for
Science Technology Civilisation (FSTC) mengungkapkan, keberadaan kubah dalam arsitektur Islam
paling tidak memiliki dua interpretasi simbolik. Yakni, merepresentasikan kubah surga dan
menjadi semacam simbol kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Seperti halnya menara dan mihrab, secara historis kubah belum dikenal pada masa
Rasulullah SAW. Arsitektur terkemuka, Prof K Cresswell dalam Early Muslim Architecture
menyatakan bahwa pada desain awal masjid Madinah sama sekali belum mengenal kubah. Dalam
rekonstruksi arsitekturnya, Cresswell menunjukkan betapa sederhananya masjid yang dibangun
Nabi Muhammad SAW.
Arsitektur awal masjid Rasul berbentuk segi empat dengan dinding sebagai pembatas
sekelilingnya. Di sepanjang bagian dalam dinding tersebut dibuat semacam serambi yang
langsung berhubungan dengan lapangan terbuka yang berada di tengahnya. Seiring
berkembangnya teknologi arsitektur, maka kubah pun muncul sebagai penutup bangunan masjid.
Kubah memang bukan berasal dan berakar dari arsitektur Islam. Itu karena memang
ajaran Islam tidak membawa secara langsung tradisi budaya fisik atau Islam tidak mengajarkan
secara konkrit tata bentuk arsitektur. Islam memberi kesempatan kepada umatnya untuk
menentukan pilihan-pilihan fisiknya pada akal-budi.
Hampir semua kebudayaan mengenal dan memiliki kubah. Dari masa ke masa bentuk
kubah selalu berubah-ubah. Konon, peradaban pertama yang mengenal dan menggunakan kubah
adalah bangsa Mesopotamia sejak 6000 tahun yang lalu. Pada abad ke-14 SM, di Mycenaean
Greeks sudah ditemukan bangunan makam berbentuk kubah (tholos tombs).
Namun, ada pula yang menyatakan bahwa kubah mulai muncul pada masa Imperium
Romawi, sekitar tahun 100 M. Salah satu buktinya adalah bangunan pantheon (kuil) di kota Roma
yang dibangun Raja Hadria pada 118 M - 128 M. Penggunaan kubah tercatat mulai berkembang
pesat di periode awal masa Kristen.
Struktur dan bentang kubah pada waktu itu tak terlalu besar, seperti terdapat pada
bangunan Santa Costanza di Roma. Pada era kekuasaan Bizantium, Kaisar Justinian juga telah
membangun kubah kuno yang megah. Pada tahun 500 M, dia menggunakan kubah pada
bangunan Hagia Spohia di Konstantinopel.
Secara historis dan arkeologis, kubah pertama dalam arsitektur Islam ditemukan di Kubah
Batu (Dome of Rock) atau yang biasa dikenal sebagai Masjid Umar di Yerusalem. Kubah Batu
dibangun sekitar tahun 685 M sampai 691 M.
Sejak saat itulah, para arsitek Islam terus mengembangkan beragam gaya kubah pada
masjid yang dibangunnya. Pada abad ke-12 M, di Kairo kubah menjadi semacam lambang
arsitektur nasional Mesir dalam struktur masyarakat Islam. Dari masa ke masa bentuk kubah pada
masjid juga terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Ketika Islam menyebar dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, para arsitek
Islam tampaknya tidak segan-segan untuk mengambil pilihan-pilihan bentuk yang sudah ada,
termasuk teknik dan cara membangun yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat
tersebut.
Tak heran, jika bentuk kubah masjid pun terbilang beragam, sesuai dengan budaya dan
tempat masyarakat Muslim tinggal. Hampir di setiap negara berpenduduk Muslim memiliki masjid
berkubah. Di antara masjid berkubah yang terkenal antara lain; Masjid Biru di Istanbul Turki, Taj
Mahal di Agra India, Kubah Batu di Yerusalem, dan lainnya.
Secara umum, kubah berbentuk seperti separuh bola atau seperti kerucut yang
permukaannya melengkung keluar. Berdasarkan bentuknya, dalam dunia arsitektur dikenal ada
'kubah piring', karena puncak yang rendah dan dasar yang besar.
Selain itu, ada pula 'kubah bawang', karena hampir menyerupai bentuk bawang. Kubah
biasanya akan diletakkan pada tempat tertinggi di atas bangunan, berfungsi sebagai atap. Ada
pula yang ditempatkan di atas rangka bangunan petak dengan menggunakan singgah kubah.
Kubah juga biasa dianggap seperti gerbang yang diputarkan pada rangka penyangganya.
Ini bermakna bahwa kubah mempunyai kekuatan struktur yang besar, laiknya jembatan gerbang
tertekan. Pada awalnya, kubah dibangun dari batu bata atau beton. Seiring berkembangnya
teknologi, kubah masjid pun dibentuk dari bahan alumunium.
Di era modern, para arsitektur sudah memperkenalkan bentuk kubah geodesi. Kubah ini
berbentuk hemisfer dan menggunakan kekisi sebagai rangka, menjadikannya lebih ringan.
Perkembangan teknologi juga memungkinkan penggunaan cermin dan plastik sebagai padatan.
Kini keberadaan kubah pada bangunan masjid telah bergeser dari tuntutan fungsional. keinginan
untuk membentuk struktur bentang lebar pada ruang masjid - menjadi ciri dan simbol peradaban
Islam yang ditempatkan pada bangunan masjid.
Kehadiran kubah pada bangunan masjid-masjid di Indonesia terbilang masih baru. Atap
kubah baru hadir di Indonesia pada akhir abad ke-19 M. Itu berarti, selama lima abad lamanya,
bangunan masjid di Nusantara tak menggunakan atap. Bahkan di Jawa, atap masjid berkubah
baru muncul pada pertengahan abad ke-20 M.
Kubah merupakan elemen yang dapat menghadirkan ruang positif yang besar pada suatu
bangunan. Ruang positif yang dihadirkan kubah pada bangunan masjid membuat orang yang
berada di dalamnya akan merasa leluasa. Selain menghadirkan kesan megah, keberadaan kubah
juga dapat membuat orang yang beribadah di masjid merasa kecil di hadapan kebesaran Tuhan
yang menciptakannya.
Salah satu sudut dalam Masjid dengan Mihrab pada bagian tengah ruangan
Tempat ibadah
Tempat ibadah atau ruang salat, tidak diberikan meja, atau kursi, sehingga
memungkinkan para jamaah untuk mengisi shaf atau barisan-barisan yang ada di dalam ruang
salat. Bagian ruang salat biasanya diberi kaligrafi dari potongan ayat Al-Qur'an untuk
memperlihatkan keindahan agama Islam serta Al-Qur'an. Ruang salat mengarah ke arah Ka'bah,
sebagai kiblat umat Islam. Di masjid juga terdapat mihrab dan mimbar. Mihrab adalah tempat
imam memimpin salat, sedangkan mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah.[39]
Tempat bersuci
Dalam komplek masjid, di dekat ruang salat, tersedia ruang untuk menyucikan diri, atau
biasa disebut tempat wudhu. Di beberapa masjid kecil, kamar mandi digunakan sebagai tempat
untuk berwudhu. Sedangkan di masjid tradisional, tempat wudhu biasanya sedikit terpisah dari
bangunan masjid.
Fasilitas lain
Masjid modern sebagai pusat kegiatan umat Islam, juga menyediakan fasilitas seperti
klinik, perpustakaan, dan tempat berolahraga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Arsitektur Islam adalah cara membangun yang Islami sebagaimana ditentukan oleh
hukum syariah, tanpa batasan terhadap tempat dan fungsi bangunan, namun lebih
kepada karakter Islaminya dalam hubungannya dengan desain bentuk dan dekorasi.
Definisi ini adalah suatu definisi yang meliputi semua jenis bangunan, bukan hanya
monumen ataupun bangunan religius (Saoud, 2002: 2).
Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada
berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata
masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi.
Kata masgid (m-s-g-d) ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".
Masjid memiliki nilai historis yang sangat banyak sejak dibangunnya, dan masing-
masing bangun memiliiki nilai historis, nilai sosial dan nilai-nilai yang terdapat di
sekitarnya.
Dalam membangun sebuah masjid dari kajian tidak terdapat konsep perencanaan
yang tidak mudah dan memiliki ketentuan tertentu
Dalam mendesain sebuah bangunan masjid hendaknya memperhatikan batasan-
batasan yang telah ada sehingga tujuan pembangunan masjid tidak menyimpang.
Masjid memiliki berbagai komponen bangunan, diantaranya adalah: bentuk,
menara, kubah, Mihrab, tempat bersuci, Tempat ibadah, dan fasilitas lain. Karena
perkembangan zaman maka komponen bangunan masjid ini menjadi berkembang
dan berubah menjadi bervariasi
3.1 Saran
Hendaknya sebagai seorang muslim kita memelihara karya seni rupa (arsitektur) dalam
bangunan masjid yaitu dengan tidak merusak agar rumah Allah tetap terjaga
Sebagai seorang arsitek dalam merancang arsitektur bangunan masjid hendaknya
mengetahui batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan dalam membangun masjid agar tidak
terjadi mubazir dalam bangunan masjid tersebut
Daftar Pustaka
Basuni, A.K., Organisasi dan Manajemen Masjid, paper pada lokakarya Imarah Masjid se Jawa
Barat, 1976
Pranggono, Bambang. Arsitektur Masjid dan pemuda Masjid. (Jakarta: Harian Kompas, 21
September 1997)